manipulasi tanda dalam cerpen “bertengkar …

12
Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 23 MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR BERBISIK” KARYA M. KASIM: TINJAUAN SIMULAKRA JEAN BAUDRILLARD *) (Manipulation of Signs on M. Kasim’s ““Bertengkar Berbisik”” in the Perspective of Jean Baudrillard’s Simulacrum) Aliyatul Himmah Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Indonesia Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia, 55281 Telepon penulis (WhatsApp) +6282133106315 Pos-el: [email protected] *) Diterima: 12 Februari 2020, Disetujui: 10 Maret 2020 ABSTRAK Artikel ini mengkaji cerpen ―Bertengkar Berbisik‖ yang ditulis oleh M. Kasim dengan menerapkan konsep simulakra oleh Jean Baudrillard. Simulakra merupakan sebuah upaya untuk memanipulasi tanda agar makna yang dimanipulasi tersebut tampak nyata dan dianggap sebuah realitas sejati oleh masyarakat. Simulakra dicirikan dengan adanya dua hal, yakni hiperrealitas dan simulasi. Berdasarkan hal itu, ditemukan sebuah upaya manipulasi tanda yang dilakukan oleh tiga tokoh yang berperan sebagai musafir dalam cerpen. Motif yang dilakukan melalui tindakan ini adalah keinginan tiga tokoh akan kemudahan akses kepada kepala kampung agar mereka dapat diterima dengan baik. Semula hiperrealitas serta simulasi sebagai komponen dari simulakra, yang dibangun oleh ketiga tokoh ini bekerja dengan apik hingga mereka sendiri menghancurkan bangunan tersebut. Kata kunci: bertengkar berbisik, hiperrealitas, simulakra, manipulasi tanda, konsumsi ABSTRACT This article examines “Bertengkar Berbisik” short story by M. Kasim applying the concept of simulcrum by Jean Baudrillard. Simulacrum is an attempt to manipulate a sign so that the manipulated meaning appears real and is considered a true reality by the community. Simulacrum is characterized by two components, hyperreality and simulation. Through this theory, it is seen that an attempt was made to manipulate the signs carried out by the three figures who acted as travelers in “Bertengkar Berbisik” short story. The motive carried out by the three figures is their desire to have easy access to the head of the village in order to be well accepted. In the beginning, hyperreality and simulation, as components of simulacrum, built by these three figures worked successfully. However, they temselves consciously destroy the building so that their manipulated sign is known by the society. Keywords: “Bertengkar Berbisik”, hyperreality, simulacrum, manipulation of signs, consumption

Upload: others

Post on 20-Nov-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 23

MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR BERBISIK”

KARYA M. KASIM: TINJAUAN SIMULAKRA JEAN BAUDRILLARD *)

(Manipulation of Signs on M. Kasim’s ““Bertengkar Berbisik”” in the Perspective of

Jean Baudrillard’s Simulacrum)

Aliyatul Himmah

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Indonesia

Jalan Sosiohumaniora, Bulaksumur, Yogyakarta, Indonesia, 55281

Telepon penulis (WhatsApp) +6282133106315

Pos-el: [email protected]

*) Diterima: 12 Februari 2020, Disetujui: 10 Maret 2020

ABSTRAK

Artikel ini mengkaji cerpen ―Bertengkar Berbisik‖ yang ditulis oleh M. Kasim dengan menerapkan

konsep simulakra oleh Jean Baudrillard. Simulakra merupakan sebuah upaya untuk memanipulasi

tanda agar makna yang dimanipulasi tersebut tampak nyata dan dianggap sebuah realitas sejati oleh

masyarakat. Simulakra dicirikan dengan adanya dua hal, yakni hiperrealitas dan simulasi. Berdasarkan

hal itu, ditemukan sebuah upaya manipulasi tanda yang dilakukan oleh tiga tokoh yang berperan

sebagai musafir dalam cerpen. Motif yang dilakukan melalui tindakan ini adalah keinginan tiga tokoh

akan kemudahan akses kepada kepala kampung agar mereka dapat diterima dengan baik. Semula

hiperrealitas serta simulasi sebagai komponen dari simulakra, yang dibangun oleh ketiga tokoh ini

bekerja dengan apik hingga mereka sendiri menghancurkan bangunan tersebut.

Kata kunci: bertengkar berbisik, hiperrealitas, simulakra, manipulasi tanda, konsumsi

ABSTRACT

This article examines “Bertengkar Berbisik” short story by M. Kasim applying the concept of

simulcrum by Jean Baudrillard. Simulacrum is an attempt to manipulate a sign so that the

manipulated meaning appears real and is considered a true reality by the community. Simulacrum is

characterized by two components, hyperreality and simulation. Through this theory, it is seen that an

attempt was made to manipulate the signs carried out by the three figures who acted as travelers in

“Bertengkar Berbisik” short story. The motive carried out by the three figures is their desire to have

easy access to the head of the village in order to be well accepted. In the beginning, hyperreality and

simulation, as components of simulacrum, built by these three figures worked successfully. However,

they temselves consciously destroy the building so that their manipulated sign is known by the society.

Keywords: “Bertengkar Berbisik”, hyperreality, simulacrum, manipulation of signs, consumption

Page 2: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

24 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020

PENDAHULUAN

―Bagaimana jika tanda itu tidak

berhubungan dengan objek atau

makna, tetapi dengan dukungan tanda

itu sebagai tanda?‖ (Baudrillard, 2002:

188). Apa yang dipertanyakan oleh

Baudrillard tersebut sebenarnya jamak

terjadi dalam dunia nyata. Simbol atau

tanda tidak semata-mata menunjukkan

makna riil akan objek, tetapi

memberikan makna yang lain. Alih-

alih sebuah realitas, yang tertangkap

hanya berbagai macam simulakra, yang

seolah-olah menampakkan wujud

sebagai yang nyata. Dunia kini telah

digantikan citranya dalam

pengambilalihan realitas oleh tanda-

tanda (Hughes, 1992).

―Simulasi‖ semacam itu, bagi

Baudrillard, tidak hanya menunjukkan

hilangnya realitas, tetapi juga

kemungkinannya. Tujuan dari

―simulasi‖ bukan hanya untuk

menyingkir dari dunia realitas, tetapi

juga untuk mewujudkan hal tersebut

dan membuatnya nyata. Semakin

simulasi tersebut bekerja secara

sempurna, semakin kita memiliki sense

akan yang nyata dan tenggelam dalam

―kenyataan‖ tersebut. Tindakan-

tindakan simulasi tersebut tidak luput

terepresentasikan dalam karya sastra.

Karya sastra, sebagai potret dari

pengalaman-pengalaman kemanusiaan,

mencoba mengorelasikan peristiwa dan

struktur-struktur dalam karya sastra

dengan kondisi riil di luar wilayah

diskursif meskipun hanya dalam

wilayah diskursif struktur, peristiwa-

peristiwa, serta hubungan-hubungan

yang terjadi di alam nyata itu diberikan

makna sehingga hubungan-hubungan

tersebut dapat membentuk skenario

representasi yang memiliki makna

tersendiri (Suharmono, 2015: 7).

Fenomena simulasi dalam karya

sastra tampaknya tidak luput terekspos

dalam karya-karya M. Kasim. Nama

M. Kasim tidak asing lagi dalam

khazanah kesusasteraan Indonesia. Ia

merupakan salah satu di antara

sastrawan angkatan Balai Pustaka yang

telah menulis beberapa novel dan

cerpen sekaligus menerjemahkan

banyak karya asing. Ajip Rosidi (1959:

28) menisbatkan Kasim sebagai Bapak

Cerpen Indonesia karena cerita-

ceritanya yang dimuat dalam majalah

Pandji Poestaka pada 1920-an sebagai

cerpen paling awal.

Karya-karya terbitan Balai

Pustaka pada masa itu, salah satu

karakteristiknya yang dominan adalah

bersifat didaktis. Hal itu juga yang

dilakukan Kasim setiap menulis cerita,

salah satunya cerpen yang berjudul

―Bertengkar Berbisik‖. Cerita tersebut

merupakan cerpen pertama Kasim yang

bercerita mengenai tiga musafir yang

sedang puasa dan hendak mencari

makanan untuk berbuka. Nahasnya,

mereka masih berada di sebuah desa

kecil yang jauh dari tujuan. Mereka

memutar akal supaya mereka diterima

di kampung tersebut untuk menumpang

makan. Dimulailah petualangan

mereka di desa tersebut dengan

melakukan penyamaran sebagai

rombongan kepala kampung dan

ajudannya.

Secara singkat, melalui cerpen ini

Kasim seolah ingin memberikan

sebuah pelajaran mengenai utamanya

bersikap jujur dan patutnya

bermusyawarah. Namun, lebih dari itu,

Kasim, secara sadar atau tidak,

mencoba memperlihatkan upaya-upaya

manipulasi tanda melalui senarai

tindakan yang dilakukan oleh tokoh-

tokoh fiktifnya. Tindakan-tindakan

manipulatif ini dilakukan oleh para

tokoh diniatkan untuk mendapatkan

Page 3: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 25

privilese berupa kemudahan akses dan

komunikasi kepada petinggi desa.

Tampilan mereka menunjukkan

masyarakat dari kasta tinggi. Dalam

hal ini, pakaian bekerja untuk

memanipulasi tanda dari tokoh Burkat,

Togop, dan Togu, sebagai tokoh utama

dalam cerita.

Ini sejalan dengan konsep

simulakra mengenai kenyataan yang

telah digantikan oleh simulasi

kenyataan. Siapa yang mampu

membangun persepsi paling kuat

melalui tanda, dialah pemenangnya.

Persepsi yang paling banyak dipercayai

akan menjadi kebenaran mutlak yang

dianggap sebagai sumber kebenaran.

Kajian mengenai teori simulakra

yang telah digagas oleh Baudrillard ini

telah banyak dilakukan dalam

diskursus budaya pop, utamanya dalam

ranah media, dunia hiburan, serta tren,

dan mode. Dalam ranah sastra,

penelitian mengenai simulakra juga

dapat ditemukan, seperti apa yang telah

dilakukan oleh Azmi (2013) yang

membandingkan posmodernisme

termanifestasikan dalam bentuk-bentuk

hiperrealitas dalam novel Generation

X: Tales for Accelerated Culture

(1991) dan Bilangan Fu (2008). Hasil

penelitian menunjukkan bahwa bentuk

hiperrealitas dalam novel yang pertama

berupa pemikiran dan perbuatan,

sedangakan dalam novel kedua,

hiperrealitas berupa pengontrolan

emosi, pemikiran dan orientasi.

Pada tahun 2015, Suharmono

dalam tesisnya mengkaji aspek

konsumerisme tokoh dalam novel

Jalan Menikung (1999) karya Umar

Kayam. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa Umar Kayam,

melalui novel Jalan Menikung,

menggambarkan masyarakat konsumen

dalam jaring kebudayaan yang

kompleks dan saling berkelindan.

Terlebih, wacana posmodernisme yang

dibangun pengarang memungkinkan

pembaca untuk mensimulasi sehingga

mempengaruhi pikiran, perasaan, dan

tindakan pembaca dalam menyikapi hal

yang berkenaan dengan kebudayaan

posmodernisme.

Simulakra merupakan buah pikir

Baudrillard mengenai media massa

yang dicirikan oleh realitas semu

(hiperrealitas) dan simulasi. Konsep ini

mengacu pada suatu realitas baik

virtual ataupun artifisial dalam

komunikasi massa dan konsumsi

massa. Realitas tersebut membentuk

manusia dalam berbagai bentuk

simulasi. Simulasi merupakan suatu

realitas yang pada dasarnya bukan

realitas sesungguhnya. Ia hanya realitas

yang dibentuk oleh kesadaran manusia

melalui media massa (Juliswara, 2014:

154).

Baudrillard (1998: 14—15)

memandang bahwa dalam masyarakat

konsumen, orang tidak hanya

mengonsumsi barang, tetapi juga

mengonsumsi jasa dan hubungan

antarmanusia. Dalam pandangan

Baudrillard, konsumsi dipahami secara

holistik. Dengan kata lain, konsumsi

adalah integrasi sosial meliputi seluruh

aspek kehidupan manusia, baik

materiel, spiritual, jasmani, dan rohani.

Bahkan, konsumsi dapat juga bersifat

semu atau palsu (Suharmono, 2015: 3).

Lebih jauh, definisi konsumsi menurut

Baudrillard mencakup beberapa hal,

seperti tatanan pemaknaan pada satu

panoply objek, sistem atau kode,

tatanan manipulasi tanda, manipulasi

objek sebagai tanda, sistem komunikasi

sebagaimana fungsi bahasa, satu sistem

pertukaran simbol, sebuah moralitas,

Page 4: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

26 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020

yaitu satu sistem pertukaran ideologis,

faktor penyebab perbedaan

(distinction), satu generalisasi proses

fashion secara kombinatif, mengisolasi

dan mengindividu, sistem kontrol

bawah sadar, baik dari sistem tanda

dan dari sistem sosio-ekonomika-

politik, dan sebuah logika sosial

(Baudrillard, 1998: 14–15).

Baudrillard (1994: 6)

mengidentifikasi ciri-ciri simulakra

sebagai berikut:

a. refleksi dari realitas sejati;

b. menyelubungi dan mengubah

realitas sejati;

c. menyembunyikan keberadaan

realitas sejati;

d. tidak memiliki kaitan pada

realitas manapun;

e. murni dari simulacrum-nya

sendiri.

Adapun perekayasaan makna

untuk menyembunyikan realitas sejati

sehingga yang rekayasa dianggap lebih

nyata dari kenyataan diistilahkan

Baudrillard sebagai hiperrealitas.

Hiperrealitas telah menghapuskan

perbedaan antara yang nyata dan yang

imajiner.

Baudrillard mendefinisikan

simulasi menjadi tiga jenis diantaranya

simulasi yang terkait dengan

pemalsuan, seperti yang dominan pada

zaman klasik Renaissance; simulasi

yang terkait dengan produksi dalam

zaman industri; dan simulasi pada

masa kini yang banyak didominasi oleh

kode. Pada objek yang dipalsukan,

tampak ada perbedaan antara objek

yang nyata atau alami (Lechte, 2001:

357).

Simulasi merupakan realitas

semu sebab dalam simulasi tidak

ditemukan referensi antara tanda

dengan realitas di dunia nyata.

Simulasi adalah realitas kedua (second

reality) yang bereferensi pada dirinya

sendiri (simulacrum of simulacrum).

Simulasi tidak mempunyai relasi

langsung dengan dunia realitas. Bahasa

dan tanda-tanda dalam simulasi

seakan-akan (as if) menjadi realitas

yang sesungguhnya, ia adalah realitas

buatan (artificial reality). Simulasi

menciptakan realitas lain di luar

realitas faktual (hiperrealitas). Realitas

ciptaan simulasi pada tingkat tertentu

akan tampak (dipercaya) sama nyata.

Bahkan, lebih nyata dari realitas yang

sesungguhnya. Dalam pengertian ini,

simulasi menciptakan realitas baru atau

lebih tepatnya realitas imajiner yang

dianggap riil (Suyanto, 2010: 404).

Sejauh pengamatan penulis,

kajian simulakra dalam cerita pendek

―Bertengkar Berbisik‖ belum pernah

dilakukan. Sementara itu melihat

karakteristik cerpen, yang menurut

Edgar Allan Poe, merupakan cerita

pendek yang diceritakan atau dibaca

dalam sekali duduk, cerpen memiliki

pengaruh tunggal atau efek tertentu

bagi pembaca dengan bentuknya yang

padat (Lawrence, 1917: 275).

Pemadatan kisah menjadi satu cerita

singkat yang sangat terbatas

mengharuskan penulis mampu

menyampaikan pesan-pesannya dengan

baik. Kesangkilan dari cerpen inilah

yang menjadi titik awal dipilihnya

cerpen M. Kasim sebagai objek kajian

dalam penelitian ini.

Tujuan dari kajian dalam tulisan

ini adalah menemukan bentuk-bentuk

manipulasi tanda yang dilakukan tokoh

dalam cerpen dan mengetahui nilai-

nilai yang hendak didapatkan oleh para

tokoh melalui manipulasi simbol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

“Bertengkar Berbisik”: Bangun-

Runtuh Simulakra

Page 5: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 27

Karya sastra sebagai objek material

dari sebuah penelitian maka yang

diteliti dan dikaji adalah kata, frasa dan

kalimat yang dinarasikan oleh

pengarang yang disebut fakta tersurat.

Objek material kedua adalah fakta

tersirat teks, yang diperoleh melalui

jalur penalaran dari tanda-tanda dan

fakta-fakta yang tersurat. Melalui

keduanya, akan didedah bagaimana

proses dan usaha manipulasi tanda

memeroleh citranya sendiri yang lain

dari aslinya.

―Bertengkar Berbisik‖ adalah

cerita pendek anak-anak yang ditulis

oleh M. Kasim. Cerita tersebut

berlatarkan kampung kecil di Batang

Toru, sebuah kecamatan di Tapanuli

Selatan, Sumatera Utara. ―Bertengkar

Berbisik‖ mengisahkan muslihat tiga

musafir–bernama Burkat, Togop, dan

Togu–untuk mendapatkan hidangan

buka puasa gratis dari kepala kampung.

Sebenarnya, ketiga musafir tadi

membawa bekal makanan mentah–di

antaranya berupa beras. Karena sedang

berpuasa, tidak ada seorang pun yang

sanggup bertanak nasi untuk menu

buka puasa. Selain itu, gagasan untuk

mengibuli kepala kampung muncul

sebab di kampung kecil itu tidak

terdapat lepau (warung nasi). Mereka

juga tidak mempunyai sanak kerabat di

sana.

“Di kampung itu tidak ada lepau

nasi, kenalan kita pun tidak ada.

Di manakah kita akan

menumpang? Bertanak sendiri

dalam puasa begini, saya tak

sanggup rasanya,” kata seorang,

yang bernama si Burkat. (Kasim,

1978: 77)

Secara tersurat memang tidak

dijelaskan bahwa tiga musafir tersebut

berasal dari golongan yang mampu.

Apalagi mereka juga tidak

mengendarai hewan atau kendaraan

lain. Namun, melalui redaksi yang

dituturkan M. Kasim, status sosial, atau

setidaknya kemampuan finansial

mereka dapat diketahui. Misalnya dari

narasi “di kampung itu tidak ada lepau

nasi”, bisa dipahami kalau mereka

mempunyai uang saku yang cukup

untuk membeli nasi di warung.

Di tengah kebuntuan itu, Burkat

menyampaikan idenya agar mereka

bertiga bisa berbuka puasa sekaligus

menumpang untuk melepas lelah walau

hanya semalam. Berawal dari hal itu,

manipulasi tanda ditera.

“...Dengarlah baik-baik. Kita

semua tahu, orang yang ternama

atau orang yang berpangkat

lebih dimalui orang daripada

orang sembarang saja. Jadi,

salah seorang di antara kita, kita

sebut kepala kampung, dua

orang jadi pengiringnya. Dengan

hal demikian, di kampung ini kita

menetap saja ke rumah kepala

kampungnya. Saya rasa dia suka

menjamu kita buat semalam ini.”

(Kasim, 1978: 77)

Burkat beralasan, jika kepala kampung

disambangi orang penting beserta

pengiringnya dari jauh maka mau tidak

mau ia pasti akan menjamu mereka.

Agar dapat melaksanakan muslihat

Burkat, mereka tentu telah memikirkan

segala hal, termasuk soal kostum.

Anggaplah menjadi kepala kampung di

tahun 1920-an termasuk jabatan

prestisius, yang mengharuskan

seseorang untuk memakai pakaian

Page 6: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

28 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020

yang mewah. Jika benar demikian

maka bisa dikatakan bahwa ketiga

musafir tadi, terutama Burkat,

mempunyai baju-baju mewah yang

memungkinkan mereka bersandiwara.

Mereka yakin, dengan mengenakan

pakaian mahal, kepala kampung akan

menerima kedatangannya dan

menjamunya dengan suguhan yang

enak.

Berdasarkan hal itu, dapat dibaca

bahwa Burkat, Togop, dan Togu

sedang berupaya untuk memanipulasi

tanda. Mereka–dan kepala kampung

beserta warganya–mengidentifikasi

pakaian sebagai simbol yang

mencitrakan kemakmuran dan

kekayaan pemakainya. Melalui

simulasi, realitas riil–berupa petanda

musafir– dihancurkan dan

didekonstruksi secara sosial untuk

mencapai posrealitas, yaitu kondisi

realitas yang terlampaui–petanda lain

berupa kepala kampung beserta

ajudannya.

“Sesampai di rumah, Sutan

Menjinjing Alam dipersilakan

duduk di atas permadani dan

kedua kawannya di atas sehelai

tikar pandan yang putih bersih.”

“Sebuah talam yang berisi

penganan diangkat orang ke

hadapan Sutan Menjinjing Alam,

sedang si Togop dan si Togu

dilayani seperti biasa saja.”

“...pada piring gulainya

tampaklah terbelintang sebuah

paha ayam, dan pada piring lain

sebilah dada ayam yang

digoreng. Si Togop dan si Togu

hanya mendapat tulang-tulang

rusuk dan tulang-tulang

belakang saja.”

“Waktu akan tidur, yang

empunya rumah mengembangkan

sehelai kasur untuk kepala

kampung palsu itu, lengkap

dengan bantal dan selimutnya;

dan pengiringnya hanya

mendapat sehelai tikar dan dua

buah bantal.” (Kasim, 1978: 78)

Meskipun terjadi perbedaan dalam

distribusi keuntungan dari manipulasi

tanda—petanda yang berbeda akan

menghasilkan dampak yang berbeda,

kepala kampung lebih dihormati

daripada pengiringnya. Apa yang

ditulis M. Kasim menunjukkan bahwa

bangunan simulakra yang dirancang

oleh Burkat telah berdiri. Ia berhasil

memperdaya kepala kampung yang

asli.

Meskipun simulasi telah berjalan

sebagaimana yang diharapkan oleh tiga

musafir tersebut, terdapat perbedaan

distribusi barang hingga kemudian

terbit kecemburuan antartokoh,

bangunan simulakra perlahan retak.

Bisik-bisik cekcok semakin

memperparah keadaan hingga kepala

kampung yang asli memergoki adu

mulut mereka, yang pada akhirnya

menjadi momen pengungkapan

kebenaran.

“Ia bukan raja, bukan kepala

kampung, tetapi penipu… Ia

yang mengajak kami menipu

Engku, menyuruh kami menyebut

dia kepala kampung…”

“Engkau pun penipu!” kata

kepala kampung palsu itu

terengah-engah sebab ketakutan.

“O, sekarang aku sudah

mengerti, kamu bertiga ini

bangsat…penipu…menyungkahk

an nasiku dengan akal busuk.

Ayo! Kamu orang kampung ini,

tangkap ketiga bangsat ini, boleh

kita bawa kepada Engku Jaksa di

Batangtoru,” kata yang empunya

rumah kepada orang banyak,

Page 7: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 29

yang sementara itu datang

berkerumun ke tempat itu.

(Kasim, 1978: 79)

Dari paparan tersebut, dapat diketahui

bahwa simulakra yang coba dibangun

oleh ketiga tokoh dalam cerpen

akhirnya diruntuhkan sendiri oleh

mereka. Hasil yang didapat tidak

merata karena perbedaan simbol yang

dikenakan masing-masing. Jika ketiga

tokoh tidak bertengkar yang pada

akhirnya diketahui oleh kepala

kampung, tentu manipulasi tanda yang

mereka lakukan tidak dapat diketahui

dan terkesan bahwa apa yang mereka

lakukan adalah alami dan itulah realita

yang ada. Itu didukung pula oleh tidak

adanya rasa curiga dari kepala

kampung di awal pertemuan hingga

sebelum pertikaian terjadi.

Cerpen tersebut pada akhirnya

menceritakan tiga tokoh yang hendak

diadili oleh warga kampung. Namun,

sebelum hal itu terjadi, ketiga tokoh

malah ―melompat dari jendela dan

hilang di tempat yang kelam‖. Itu dapat

mengimplikasikan banyak hal. Jika

berkaitan dengan manipulasi simbol,

hilangnya tokoh di tempat yang tidak

diketahui dapat menjadi tanda bahwa

simulakra di dunia ini tidak dapat

diadili. Ia terus ada, bekerja, dan

berlipat ganda.

Konsumsi Baudrillard: Sebuah

Rekayasa dalam Hubungan Sosial

Bagi Baudrillard, sebagaimana yang

telah disebut sebelumnya, konsumsi

tidak hanya berkutat mengenai

pemakaian suatu barang hasil produksi,

melainkan lebih dari itu. Konsumsi

juga bisa dikatakan untuk pola

penggunaan jasa, atau bahkan

hubungan sosial. Selain perluasan

makna konsumsi, Baudrillard juga

membedakan motif konsumsi. Bagi

masyarakat konsumerisme, konsumsi

tidak lagi terpaku pada penggunaan

barang atau jasa atas dasar nilai guna,

melainkan nilai tanda atau citraan yang

melekat pada barang atau jasa tersebut.

Motif dari pola konsumsi ini adalah

agar seorang konsumen mendapatkan

pengakuan atas perilakunya dalam

mengikuti gaya hidup yang sedang

ngetren.

Dalam membaca teori konsumsi

Baudrillard ini, setidaknya ada perkara

penting yang menarik untuk dikaji

lebih lanjut. Diketahui bahwa Jean

Baudrillard adalah seorang filsuf

posmodernisme yang mengajukan teori

mengenai pergeseran pola konsumsi

yang terjadi pada masa lalu dan masa

kini. Ia mengatakan bahwa pola

konsumsi lama cenderung lebih

mengutamakan nilai guna daripada

nilai tanda. Adapun yang terjadi pada

masa sekarang adalah sebaliknya.

(Piliang, 2003:17). Akan tetapi,

menurut penulis, pola konsumsi atas

nilai tanda itu juga terjadi pada masa

sebelum teori Baudrillard ada. Dengan

redaksi lain, Baudrillard hanya

mengajukan klasifikasi atas peristiwa

yang sifatnya generik dan kekal.

Pergeseran yang dimaksud oleh

Baudrillard, dengan demikian, sama

sekali tidak terpaut dengan waktu

melainkan pola pikir masyarakat. Oleh

karena itu, tidak salah apabila penulis

melakukan analisis atas cerpen M.

Kasim yang berjudul ―Bertengkar

Berbisik‖ yang terbit pada 1929

dengan menggunakan teori konsumsi

Baudrillard.

Lebih lanjut lagi, teori

Baudrillard mengenai nilai ini pada

Page 8: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

30 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020

awalnya adalah ―penyempurnaan‖ atas

teori Karl Marx mengenai nilai

komoditas. Menurut Marx, komoditas

sebagai hasil dari produksi mempunyai

dua nilai: nilai tukar dan nilai guna.

Dalam transaksi ekonomi, komoditas

dihargai sesuai dengan dua nilai

tersebut. Baudrillard (1998: 47)

menyebutkan bahwa sebuah komoditas

tidak hanya memiliki dua nilai tersebut,

melainkan juga nilai tanda dan nilai

simbol. Seseorang membeli kaus

bermerk Polo bukan demi kaus itu

sendiri atau demi nilai tukarnya,

melainkan juga demi citra yang

melekat dalam kaus Polo. Seseorang

sering menongkrong di Starbucks

bukan hanya karena kelezatan kopinya,

tetapi juga karena menyimbolkan

tempat nongkrong bagi kaum

menengah ke atas. Kenyataan yang

seperti ini disebut oleh Baudrillard

dengan the regime of sign-value, yaitu

sebuah rezim tanda ketika manusia

hidup dengan mengonsumsi tanda.

Teori konsumsi yang

dikemukakan oleh Baudrillard ini juga

bertentangan dengan pemikiran Adam

Smith. Menurut Adam Smith,

seseorang akan membeli dan

mengonsumsi sesuatu jika ia

membutuhkannya. Rasa butuh itu tidak

muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui

serangkaian pertimbangan rasional, dan

kalkulasi untung-rugi. Prinsip

konsumsi yang dianut adalah membeli

benda yang bermanfaat dan sesuai

dengan kebutuhannya–atau dengan

kata lain berkualitas tinggi–namun

dengan harga yang serendah-

rendahnya. Akan tetapi bagi

Baudrillard, logika yang berlaku dalam

pola konsumsi nilai tanda bukan lagi

logika kebutuhan, melainkan logika

hasrat. (Suyanto, 2013: 109—110).

Hal yang perlu ditegaskan bahwa

citraan yang melekat dalam komoditas

dan sekaligus diharapkan oleh

konsumen bukan semata gengsi, atau

prestise, melainkan bermacam-macam.

Misalnya seseorang membeli rokok

Surya 12 untuk mendapatkan citra laki-

laki pemberani. Di zaman modern,

citra-citra tersebut tidak lagi muncul

secara organik dalam benak

masyarakat, tetapi diungkapkan secara

gamblang melalui tagline yang muncul

di iklan.

Dari pemaparan di atas, ada

beberapa perkara penting dalam teori

konsumsi: 1) pergeseran pola konsumsi

dari konsumsi atas nilai guna dan nilai

tukar, menjadi konsumsi atas nilai

tanda atau citraan; 2) agen produksi

citraan komoditas adalah iklan. Agen

ini sendiri tidak harus berasal dari

divisi khusus dari produsen, tapi bisa

juga berupa agensi luar produsen,

maupun masyarakat secara luas; 3)

konsumsi terjadi dalam rangkaian kerja

ekonomi, yaitu terdapat alat tukar sah

untuk mendapatkan komoditas. Dalam

ilmu ekonomi modern alat tukar

tersebut adalah uang (uang kartal, giral,

kuasi, dan elektronik).

Berdasarkan pembacaan penulis,

hanya ada satu peristiwa dalam cerpen

yang dapat dimaknai sebagai konsumsi

jasa yang bersifat nilai tanda.

“Baik. Tetapi mula-mula

patutlah saya diberi bergelar

dahulu. Sebut sajalah saya Sutan

Menjinjing Alam. Tetapi hati-

hati, jangan sesat, kalau-kalau

terbuka rahasia kita. Jika

terbuka, bukan saja kita tidak

dapat makan, tetapi badan kita

akan merasai pula orang buat.

Bungkusan dan payung saya ini

bawalah oleh kamu berdua,

karena tak pantas lagi seorang

raja membawa bungkusan kalau

Page 9: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 31

saya ada pengiringnya.” (Kasim,

1978:77)

Kalimat terakhir dari ucapan Burkat

tersebut menandakan bagaimana

citraan kepala kampung diproduksi

melalui pemindahan barang bawaan

kepada dua temannya. Motif dari pola

konsumsi ini adalah untuk

mendapatkan citraan kepala kampung

yang melekat dalam dua ajudan yang

membawa barang-barang majikannya.

Menurut Tsiotsou dan Wirtz

(2015: 106), terdapat tiga tahap

konsumsi jasa. Tahap pertama adalah

pra pembelian, tahap kedua adalah

pelayanan, dan tahap terakhir adalah

pasca pelayanan. Tahap pertama adalah

analisis kebutuhan konsumen dan

pencarian informasi mengenai

penyedia jasa. Dalam ―Bertengkar

Berbisik‖, Burkat melakukan

serangkaian pemikiran untuk

mendapatkan makanan dan pelayanan

gratis.

“Dengarlah baik-baik. Kita

semua tahu, orang yang tenama

atau orang yang berpangkat

lebih dimalui orang daripada

orang sembarang saja. Jadi,

salah seorang di antara kita,

kita sebut kepala kampung, dua

orang jadi pengiringnya.

Dengan hal demikian, di

kampung ini kita menetap saja

ke rumah kepala kampungnya.

Saya rasa dia suka menjamu

kita buat semalam ini.” (Kasim,

1978: 77)

Dari ucapan Burkat di atas diketahui

bahwa pada masa itu seseorang akan

merasa mendapat kehormatan jika ia

mampu memberikan jamuan dan

penghormatan kepada kepala kampung

atau orang penting yang mampir ke

desanya. Burkat memanfaatkan

informasi tersebut untuk memeras

penduduk desa yang kaya. Burkat

dengan kecerdikannya mengurapi

dirinya menjadi kepala kampung dan

menjadikan dua temannya sebagai

bawahannya. Pengolahan informasi

menjadi produksi jasa tersebut menjadi

tahap kedua dari tiga tahap konsumsi

jasa. Pada akhirnya, akal bulus mereka

berhasil dan akhirnya mereka bisa

makan enak dan istirahat. Kepuasan

yang tersirat dalam wajah Burkat ini

bisa dikatakan sebagai tahap akhir dari

konsumsi jasa.

Motif dari konsumsi jasa yang

dilakukan oleh tiga musafir ini tidak

berhenti pada munculnya citraan

kepala kampung saja, tetapi

mendapatkan jamuan dan penginapan

gratis. Oleh karena itu, peristiwa

konsumsi jasa ini berhenti ketika

mereka telah mendapatkan jamuan

tersebut. Secara periodik, peristiwa

konsumsi jasa atas dasar nilai tanda

bisa ditampilkan dalam alur berikut.

―Adalah suatu kemuliaan apabila

mampu menjamu orang penting‖

(informasi) Bagaimana menjadi, atau

berpenampilan layaknya orang

penting? (analisis) Burkat menyuruh

dua temannya untuk membawa barang

bawaan (pelayanan, nilai tanda)

Ucapan tersirat Burkat: ―Lihatlah

komidi kita berhasil baik‖ (pasca

pelayanan: kepuasan).

Dari analisis di atas terdapat satu

unsur yang terlewatkan dari proses

konsumsi jasa, yaitu penggunaan alat

tukar sah dalam ekonomi. Dalam

pemakaian jasa, Burkat sama sekali

tidak menggunakan uang, pun kedua

Page 10: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

32 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020

temannya yang menjadi penyedia jasa

juga tidak meminta uang sebagai

bayaran atas jasa yang diberikan. Tidak

hanya itu, Togop dan Togu pun dengan

sukarela berpura-pura menjadi

bawahan Burkat.

”Menurut pikiran saya akal itu

dapat dipakai. Tetapi, karena

engkau yang mendapat akal itu,

engkaulah pula kita angkat jadi

kepala kampung itu. Kami

berdua jadi pengiring,” kata si

Togop. (Kasim, 1978: 77)

Meskipun tidak terdapat uang sebagai

bayaran atas jasa, Burkat menjanjikan

jamuan enak dan gratis bagi dua

temannya. Hal itu dilakukan sebagai

imbalan apabila citraan yang mereka

produksi ditangkap dan diolah dengan

baik oleh kepala kampung. Pada

akhirnya tiga musafir tersebut,

khususnya Burkat, disambut dan

diperlakukan secara istimewa oleh

kepala kampung.

SIMPULAN

Melalui cerpennya yang berjudul

―Bertengkar Berbisik‖, selain

mewartakan keluhuran kejujuran, M.

Kasim juga mencontohkan bagaimana

kostum atau tanda memengaruhi

persepsi massa. Dengan menggunakan

teori simulakra Jean Baudrillard,

momen-momen ketika simulakra mulai

dibangun hingga menemui

kehancurannya dapat tersingkap.

Semula ketiga tokoh (Togop, Togu,

dan Burkat) telah membangun

hiperrealitas dan simulasi dengan apik

sehingga proses manipulasi tanda yang

mereka lakukan tampak nyata dan

diterima masyarakat sebagai realitas

sejati. Akan tetapi hal tersebut

diruntuhkan sendiri. Masing-masing

simbol yang diperankan mendapat

respon dan perlakuan yang berbeda

sehingga tokoh yang mendapat

perlakuan kurang baik akan memprotes

hal tersebut.

Ciri-ciri simulakra yang

terepresentasikan dalam cerpen ini

merupakan refleksi dari realitas sejati.

Akan tetapi, tokoh-tokoh dalam cerita

mencoba menyelubungi dan mengubah

realitas sejati tersebut menjadi sebuah

realitas baru yang seolah nyata dengan

cara menyembunyikan keberadaan

realitas sejati. Hal ini dapat dilihat dari

bagaimana para tokoh mencoba

mengubah penampilan demi menutupi

identitas asli mereka. Tentu realitas

―buatan‖ itu - Burkat yang menjadi

seorang Raja dan memiliki dua ajudan

(Togu dan Togop) - tidak pernah

benar-benar ada. Ia tidak memiliki

kaitan pada realitas mana pun dan

murni dari simulacrum-nya sendiri.

―Bertengkar Berbisik‖ sebagai

cerpen terbitan Balai Pustaka (1920-an)

secara eksplisit tampak menggurui

pembaca tentang keutamaan bersikap

jujur dan musyawarah. Lebih dari itu,

disadari atau tidak, Kasim juga

mempertontonkan adanya distingsi

kelas sosial yang menyolok dan

keberpihakan kaum borjuis terhadap

pemegang kelas sesamanya. Itu

termanifestasi dalam perlakuan Kepala

Kampung terhadap Togop, Togu, dan

Burkat ketika menjadi Sultan

Menjinjing Alam dan bala pengikutnya

dibandingkan dengan ketika ketiganya

sudah diketahui status aslinya.

Dalam hubungannya dengan teori

konsumsi Baudrillard, yang dimaksud

Page 11: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

Manipulasi Tanda dalam Cerpen “Bertengkar Berbisik”... (Aliyatul Himmah) 33

pergeseran pola konsumsi, bukanlah

pergeseran dalam rentang waktu

melainkan pergeseran pola konsumsi

masyarakat yang lepas dari ikatan

waktu. Tidak ada pembedaan dalam

perubahan pola konsumsi baik

masyarakat pada masa dahulu maupun

sekarang. Realitas masyarakat sekarang

cenderung konsumtif atas nilai tanda

suatu komoditas, pun tidak menutup

kemungkinan jika masyarakat masa

lalu juga berbuat demikian.

DAFTAR PUSTAKA

Azmi, Nurul Nayla. 2013.

―Posmodernisme dalam Novel

Generation X: Tales for

Accelerated Culture dan Bilangan

Fu‖. Tesis Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara,

Medan.

Baudrillard, Jean. 1994. Simulakra and

Simulasi. Trans. Sheila Faria

Glaser. Ann Arbor: University of

Michigan Press.

_______________. 1998. The

Consumer Society Myths and

Structures. London: Sage

Publication.

_______________. 2002. Screened

Out. New York: Verso.

Hughes, Robert. 1992. ―The Patron

Saint of Neo-Pop‖

http://www.nybooks.com/articles/a

rchives/1989/jun/01/the-patron-

saint-of-neo-pop/ diakses pada

tanggal 13 Januari 2020, Pukul

20.22 WIB.

Juliswara, Vibriza. 2014. Pendekatan

terhadap Kekerasan dalam Film

Kartun Tom & Jerry. Jurnal

Komunikasi: Volume 12, Nomor

2, Mei–Agustus 2014.

Kasim, Muhammad. 1978. “Bertengkar

Berbisik” dalam John U. Wolf

(Editor). Indonesian Readings. New

York: Cornell University.

Lawrence, James Cooper. ―A Theory of

the Short Story. The North American

Review: Volume 205, Nomor 735,

Februari 1917.

Lechte, John. 2001. 50 Filsuf

Kontemporer dari Strukturalisme

sampai Postmodernitas. Yogyakarta:

Kanisius. Piliang, Yasraf Amir. 2003.

Hipersemiotika: Tafsir Cultural

Studies atas Matinya Makna.

Yogyakarta: Jalasutra.

Rosidi, Ajip. 1959. Tjerita Pendek

Indonesia. Jakarta: Gunung

Agung.

Suharmono. 2015. ―Masyarakat

Konsumen dalam Novel Jalan

Menikung Karya Umar Kayam:

Tinjuan Postmodern Jean

Baudrillard‖. Tesis Magister Sastra

Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

Suyanto, Bagong. 2010. Anatomi dan

Perkembangan Teori Sosial.

Yogyakarta: Aditya Media Publishing.

Suyanto, Bagong. 2013. Sosiologi

Ekonomi: Kajian tentang Kapitalisme

dan Konsumsi di Era Masyarakat

Post-Industrial. Jakarta: Kencana.

Tsiotsou, Rodoula H. dan Jochen Wirtz.

2015. ―The Three-Stage Model of

Service Consumption‖, dalam

John R. Bryson (Editor).

Handbook of Service Business:

Management, Marketing,

Innovation, and

Internationalisation. Cheltenham:

Edward Elgar Publishing Limited. Woodrich, Christopher A. 2014. ―Nama

yang tak Terlupakan: Tiga Penulis

Awal Cerita Pendek Berbahasa

Page 12: MANIPULASI TANDA DALAM CERPEN “BERTENGKAR …

34 ALAYASASTRA, Volume 16, No. 1, Mei 2020

Melayu: Selayang Pandang‖. Jurnal

Ilmiah Kebudayaan SINTESIS:

Volume 8, Nomor 2, Oktober

2014.