bab ii kajian pustaka 2.1.konsepliterasi 2.1.1.konsep...

44
12 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasi Literasi berasaldari kataliteracy yang artinya melek huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwacanaan atau kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale dan Sulzby, 1986; Cooper,1993,6; Alwasilah, 2001). Pengertian Literasi berdasarkan konteks penggunaannya dinyatakan Baynham (1995,9) bahwa literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara,menulis, membaca dan berfikir kritis. Menurut Graff (2006, 808) Literasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis.Sementara itu Alberta (2009, 201) menyatakan, bahwa arti literasi bukan hanya sekedar kemampuan untuk membaca dan menulis, namun kemampuan menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dapat membuat seseorang memiliki kemampuan berfikir kritis, mampu memecahkan masalah dalam berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif dan mampu mengembangkan potensi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. National Assesment of Educational Progress mengartikan literasi sebagai kemampuan

Upload: buimien

Post on 27-Apr-2019

237 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

12

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1.KonsepLiterasi

2.1.1.Konsep Literasi

Literasi berasaldari kataliteracy yang artinya melek

huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwacanaan atau

kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale dan

Sulzby, 1986; Cooper,1993,6; Alwasilah, 2001).

Pengertian Literasi berdasarkan konteks penggunaannya

dinyatakan Baynham (1995,9) bahwa literasi merupakan

integrasi keterampilan menyimak, berbicara,menulis,

membaca dan berfikir kritis.

Menurut Graff (2006, 808) Literasi didefinisikan

sebagai kemampuan untuk membaca dan

menulis.Sementara itu Alberta (2009, 201) menyatakan,

bahwa arti literasi bukan hanya sekedar kemampuan

untuk membaca dan menulis, namun kemampuan

menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan

yang dapat membuat seseorang memiliki kemampuan

berfikir kritis, mampu memecahkan masalah dalam

berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif

dan mampu mengembangkan potensi dan berpartisipasi

aktif dalam kehidupan bermasyarakat.

National Assesment of Educational Progress

mengartikan literasi sebagai kemampuan

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

13

perfomansimembaca dan menulis yang diperlukan

sepanjang hayat ( Winterowd, 1999, 5).

Berkaitan dengandunia pendidikan, Irene dan Gay

(2001, 115) menyatakan bahwa nilai-nilai literasi yang

berkualitas tergambar dari ketika siswa berhasil

menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan

dituangkan kembali ke dalam tulisan mereka sendiri.

Kemampuan literasi yang demikian itu tentu

memerlukan proses yang berkelanjutan dan harus

dimulai sejak dini. Dalam kaitan ini, National Literacy

Forum (2014, 12) menyebutkan bahwa ada empat cara

yang harus dilakukan dalam membangun literasi yang

universal, yaitu meningkatkan kemampuan bahasa sejak

dini di rumah dan dalam pendidikan non formal, lebih

mengefektifkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan

keterampilan membaca dan menulis di sekolah,adanya

akses untuk membaca dan program yang membuat anak

merasa senang melakukan kegiatan literasi, menciptakan

kerjasama antara sekolah, lingkungan, keluarga dan

lingkungan kerja untuk dapat mendorong tumbuh dan

berkembangnya budaya membaca.

Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

dapat diambil jntisari dan benang merahnya, bahwa

literasi adalah (1) kemampuan baca-tulis atau

kemelekwacanaan, (2) berdasarkan penggunaannya

literasi berarti kemampuan integrasi antara menyimak,

berbicara, membaca, menulis dan berpikir, (3)

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

14

kemampuan yang siap digunakan untuk menguasai

gagasan baru atau cara mempelajarinya, (4) piranti

kemampuan sebagai penunjang keberhasilannya dalam

lingkungan akademik atau sosial, (5) kemampuan

perfomansi membaca dan menulis yang selalu diperlukan

dan (6) kompetensi seorang akademisi dalam memahami

wacana secara professional.

Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas

membaca dan menulis.Namun, Deklarasi Praha pada

tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup

bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat.

Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang

terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya

(UNESCO, 2003). Deklarasi UNESCO itu juga

menyebutkan bahwa literasi informasi berkaitan pula

dengan kemampuan untuk mengidentifikasikan,

menentukan, menemukan, mengevaluasi, serta

menciptakan secara efektif dan terorganisasi,

menggunakan dan mengkomunikasikan informasi untuk

mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan

itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk

berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu juga

merupakan bagian dari hak dasar manusia menyangkut

pembelajaran sepanjang hayat.

Literasi dalam bahasa Inggris bertuliskan literacy, kata

ini berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang memiliki

definisi melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan

konvensi-konvensi yang menyertainya. Berkenaan dengan ini

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

15

Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif

sebagai berikut:

“Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge.”

Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa

literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Adapun

pengetahuan tentang genre adalah pengetahuan tentang

jenis-jenis teks yang berlaku/ digunakan dalam

komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi,

deskripsi dan lain-lain. Terdapat tujuh unsur yang

membentuk definisi tersebut, yaitu berkenaan dengan

interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural,

pemecahan masalah, refleksi, dan penggunaan bahasa.

Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dari

literasi. Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip

pendidikan literasi, yaitu:

a. Literasi melibatkan interpretasi

Penulis/pembicara dan pembaca/pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni:

penulis/pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/pendengar kemudian

mengiterpretasikan. interpretasi penulis/pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

16

b. Literasi melibatkan kolaborasi Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/

pembicara dan membaca/pendengar.Kerjasama itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama.

Penulis/pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/dikatakan berdasarkan pemahaman mereka

terhadap pembaca/ pendengarnya.Sementara pembaca/pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat

membuat teks penulis bermakna. c. Literasi melibatkan konvensi

Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang

berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini

mencakup aturan aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.

d. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.

Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu.Sehingga

orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan beresiko salah dipahami oleh orang-orang

yang berada dalam sistem budaya tersebut. e. Literasi melibatkan pemecahan masalah.

Karena kata-kata selalu melekat pada konteks

linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-

hubungan di antara katakata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan duniadunia.

Upaya,membayangkan/memikirkan/mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.

f. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri. Pembaca/pendengar dan penulis/pembicara

memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

17

memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa

mengatakan hal tersebut. g. Literasi melibatkan penggunaan bahasa.

Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu

digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/diskursus.

Berdasarkan pendapat Kern di atas, kiranya

dapat disimpulkan bahwaliterasi mengandung tujjuh

prinsip, yaitu literasi melibatkan interpretasi,

kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan

masalah, refleksi diri, dan melibatkan penggunaan

bahasa. Ketujuh prinsip tersebut menurut kern

merupakan unsur-unsur pokok yang menjadi prinsip

literasi.Dengan pendapatnya ini Kern ingin

menegaskan bahwa literasi memiliki prinsip-prinsip

yang komprehensif dan lengkap.

Masih menurut Kern, Konsep literasi bukan

hanya sekedar berkaitan dengan aktivitas membaca,

menyimak, dan menulis saja, melainkan sebuah

aktivitas yang secara prinsip melibatkan penggunaan

bahasa baik secara lisan maupun tulisan, interpretasi

(menafsirkan), Kolaborasi, konvensi, pengetahuan

kultural dan yang lebih penting lagi adalah

mengandung prinsip pemecahan masalah.Dengan

mencermati pendapat Kern diatas, maka sangatlah

tepat bila kemampuan berliterasi bagi semua orang

perlu ditingkat sepanjang hayat.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

18

2.1.2.Komponen Literasi

Secara konsep, literasi dipahami lebih dari sekedar

membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan

berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan

dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori.Di era

ini, kemampuan yang dimaksud ialah sebagai literasi

informasi.Clay dan Ferguson (2001), menjabarkan

bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi

dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media,

literasi teknologi, dan literasi visual.Dalam konteks

Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar

pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya. Komponen

literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a. Literasi Dini (Early Literacy)

Yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami

bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan

lisan yang dibentuk oleh pengalamannya berinteraksi

dengan lingkungandirumah. Pengalaman peserta

didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu

menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.

b. Literasi Dasar (Basic Literacy)

Yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara,

membaca, menulis, dan menghitung (counting)

berkaitan dengan kemampuan analisis untuk

menghitung (calculating), mempersepsikan informasi

(perceiving), mengomunikasikan informasi, serta

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

19

menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan

pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.

c. Literasi Perpustakaan (Library Literacy)

Memberikan pemahaman cara membedakan bacaan

fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi

dan periodikal, memahami Dewey Decimal System

sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan

dalam menggunakan perpustakaan, memahami

penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga

memiliki pengetahuan dalam memahami informasi

ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan,

penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.

d. Literasi Media (Media Literacy)

Yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai

bentuk media yang berbeda, seperti media cetak,

media elektronik (radio, televisi), media digital (media

internet), dan memahami tujuan penggunaannya.

e. Literasi Teknologi (Technology Literacy)

Yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang

mengikuti teknologi seperti perangkat keras

(hardware), perangkat lunak (software), serta etika

dan etiket dalam memanfaatkan

teknologi.Berikutnya, kemampuan dalam memahami

teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan

mengakses internet. Dalam praktiknya, pemahaman

menggunakan komputer (computer literacy) yang

didalamnya mencakup menghidupakan dan

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

20

mematikan komputer, menyimpan dan mengelola

data, serta mengoprasikan program perangkat lunak.

Sejalan dengan membanjirnya informasi karena

perkembangan teknologi saat ini, diperlukan

pemahaman yang baik dalam mengelola informasi

yang dibutuhkan..

f. Literasi Visual (Visual Literacy)

Adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi

media dan leterasi teknologi, yang mengembangkan

kemampuan dan kebutuhan belajar dengan

memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara

kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual

yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak,

auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut

teks media dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya

banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar

perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.

Di era ini, kemampuan yang dimaksud ialah

sebagai literasi informasi. Clay dan Ferguson (2001),

menjabarkan bahwa komponen literasi informasi

terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi

perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan

literasi visual.. Komponen literasi tersebut dijelaskan

sebagai berikut: Dengan mencermati pandangan Clay

dan Ferguson diatas, terlihatbahwa menurut kedua

pakar tersebut perkembangan konsep literasi perlu

dilekatkan secara kontekstual nsesuai perkembangan

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

21

jaman. Oleh karena itu Komponen literasi pada era

sekarang memang perlu dipahami secara kontekstual

sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan

tenologi yang sangat pesat.

Komponen Literasi seperti yang dikemukakan Clay

dan Fergusaon telah disusun dan disistematisir

seperti sebuah kronologi dari tahap perkembangan

literasi itu sendiri.Hal itu dapat dilihat dari komponen

literasi pertama literasi Clay dimulai dari literasi dini,

kemudian literasi dasar, selanjutnya literasi

perpustakaan, literasi media, literasi teknologi dan

terakhir adalah literasi visual.

2.2. Gerakan Literasi Sekolah

2.2.1. Konsep Gerakan Literasi Sekolah (GLS)

GLS merupakan suatu usaha atau kegiatan yang

bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah

yang meliputi peserta didik, guru, kepala sekolah,

tenaga kependidikan, Pengawas sekolah, Komite

Sekolah, orang tua / wali murid peserta didik, serta

akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh

masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan,

dunia usaha, dan lain-lain), dan pemangku

kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.

GLSadalah gerakan sosial dengan dukungan

kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

22

untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca

peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan

15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga

sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan

konteks atau target sekolah).

Setelah pembiasaan membaca terbentuk,

selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan,

dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan

Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa

perpaduan pengembangan keterampilan reseptif

maupun produktif.Dalam pelaksanaannya, pada periode

tertentu yang terjadwal, dilakukan asesmen agar

dampak keberadaan GLS dapat diketahui dan terus-

menerus dikembangkan.GLS diharapkan mampu

menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan,

dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki,

melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai

bagian penting dalam kehidupan.

2.2.2.Landasan Filosofi dan Landasan Hukum

a. Landasan Filosofi

1) Sumpah Pemuda pada butir ketiga (3) menyatakan,

“menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia

yang memiliki makna pengakuan terhadap

keberadaan ratusan bahasa daerah yang memiliki

hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing

sesuai dengan keperluannya.”. Butir ini

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

23

menegaskan pentingnya pembelajaran berbahasa

dalam pendidikan nasional.

2) Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989

tentang pentingnya penggunaan bahasa ibu.

Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa,

khususnya mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu

difasilitasi dengan bahasa ibu saat mereka

memasuki pendidikan dasar kelas rendah (kelas I,

II, III).

3) Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang

kecakapan literasi dasar dan kecakapan

perpustakaan yang efektif merupakan kunci bagi

masyarakat yang literat dalam menghadapi

derasnya arus informasi teknologi. Lima komponen

yang esensial dari literasi informasi itu adalah basic

literacy, library media literacy, technology literacy,

dan visual literacy.

Secara filosofis Gerakan Literasi di telah

memiliki landasan yang sangat mengakar.Hal itu

tercermin dari dicantumkannya pernyataan yang

menegaskan pentingnya pembelajaran Bahasa

Indonesia pada butir 3 Naskah Sumpah Pemuda.

Pada masa pergerakan pemuda untuk

memperjuangkan kemerdekaan itu, sudah disadari

akan arti pentingnya pembelajaran bahasa

Indonesia, dimana Bahasa Indonesia dipandang

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

24

sebagai alat pemersatu bangsa dan pendorong

kemajuan bangsa.

Pada masa Indonesia modern, gerakan literasi

sebagai prasyarat penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi kembali mendapatkan landasan filosofis

dengan Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang

kecakapan literasi dasar dan kecakapan

perpustakaan. Konvensi PBB tersebut memberikan

landasan bagi pembentukan masyarakat yang

literat dalam Lima komponen yang esensial dari

literasi informasi yaitu basic literacy, library media

literacy, technology literacy, dan visual literacy.

Dengan landasan filosofis tersebut Gerakan Literasi

di Indonesia diharapkan mampu menguasi lima

komponen literasi dimaksud..

b. Landasan Hukum

1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3:

“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan

satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan

keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang

diatur dengan undang-undang.”

2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43

Tahun 2007 tentang Perpustakaan.

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

25

4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24

tahun 2009 tentang Bendera,Bahasa, dan Lambang

Negara serta Lagu Kebangsaan.

5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32

Tahun 2013 tentangPerubahan Kedua atas

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

19tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014

tentang Pelaksanaan UUNomor 43 Tahun 2007

tentang Perpustakaan.

7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun

2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam

Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan

Bahasa Daerah.

8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24

tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana

untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah(SD/MI),

Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan

Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah

(SMA/MA).

9) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor23 Tahun 2015 tentang

Penumbuhan Budi Pekerti.

10) Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan 2015-2019.

2.2.3. Tujuan Gerakan Literasi Sekolah.

a. Tujuan Umum

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

26

Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik

melalui pengembangan budaya membaca yang

diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar

mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.

b. Tujuan Khusus

a.Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah.

b.Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan

sekolah agar literat.

c.Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang

menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah

mampu mengelola pengetahuan.

d. Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan

menghadirkan beragam bukubacaan dan mewadahi

berbagai strategi membaca.

2.2.4. Sasaran GLS

Sasaran gerakan literasi sekolah adalah ekosistem

sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan

menengah. Yang dimaksud dengan Ekosisten sekolah

disini adalah komunitas sekolah dan lingkungan

Sekolah dimana proses belajar mengajar dilaksanakan

serta lingkungan fisik dan social lain yang masih

terkait dengan proses KBM tersebut

2.2.5. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah

Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik

dalam gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-

prinsip sebagai berikut.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

27

a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap

perkembanganyang dapat diprediksi.

Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca

dan menulis saling beririsan antartahap

perkembangan. Memahami tahap perkembanganli

terasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk

memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran

literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan

mereka.

b. Program literasi yang baik bersifat berimbang

Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang

menyadari bahwatiap peserta didik memiliki

kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu,strategi

membaca dan jenis teks yang dibaca perlu

divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang

pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat

dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya

ragam teks,seperti karya sastra untuk anak dan

remaja.

c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum

Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah

adalah tanggung jawab semua guru di semua mata

pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun

membutuhkan bahasa, terutama membaca dan

menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

28

guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru

semua mata pelajaran.

d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan

kapanpun

Misalnya, „menulis surat kepada presiden‟ atau

„membaca untuk ibu‟ merupakan contoh-contoh

kegiatan literasi yang bermakna.

e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan

Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan

memunculkan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi

tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan

diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan untuk

perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis

dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk

menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling

mendengarkan, dan menghormati perbedaan

pandangan.

f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran

terhadapkeberagaman

Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui

kegiatan literasi disekolah. Bahan bacaan untuk

peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya

Indonesia agar mereka memahami pengalaman

multikultural bangsa Indonesia..

2.2.6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

29

a. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang

menyenangkan di ekosistem sekolah

Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat

terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca

dalam diri warga sekolah.Penumbuhan minat baca

merupakan hal fundamental bagi pengembangan

kemampuan literasi peserta didik.

b. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk

meningkatkan Kemampuan literasi

Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan

mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan

mengaitkannya dengan pengalaman pribadi,berpikir

kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara

kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan

pengayaan (Anderson & Krathwol, 2001).

c. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis

literasi

Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan

mengembangkan kemampuan memahami teks dan

mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir

kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi

secarakreatif melalui kegiatan menanggapi teks buku

bacaan pengayaan danbuku pelajaran (cf. Anderson &

Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada tagihan yang

sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran).

Kegiatan membaca pada tahap ini untuk mendukung

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

30

pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan

peserta didik membaca buku nonteks pelajaran yang

dapat berupa buku tentang pengetahuan umum,

kegemaran, minat khusus,atau teks multimodal, dan

juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu

sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa

SMP, dan 18buku bagi siswa SMA/SMK. Buku

laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran

ini disediakan oleh wali kelas.

2.2.7. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah

Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam

pengembangan budaya literasi, Beers, (2009, 27)

menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan

budaya literasi yang positif di sekolah.

a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi

Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan

dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan

fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk

pembelajaran. Sekolah yang mendukung

pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang

karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah,

termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru.

Selain itu, karya-karya peserta didik diganti secara

rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua

peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat

mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

31

Baca di semua kelas, kantor, dan area lain di sekolah.

Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik

akan memberikan kesan positif tentang komitmen

sekolah terhadap pengembangan budaya literasi.

b.Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif

sebagai model komunikasi dan interaksi yang

literat

Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model

komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah.

Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas

capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian

penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera

setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta

didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan

hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta

didik. Dengan demikian, setiap peserta didik

mempunyai kesempatan untuk memperoleh

penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan

dapat mewarnai semua perayaan penting di

sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan

dalam bentuk festival buku, lomba poster,

mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan

sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan

aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan

membangun budaya kolaboratif antar guru dan

tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang

dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing.

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

32

Peran orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan

semakin memperkuat komitmen sekolah dalam

pengembangan budaya literasi.

c.Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan

akademik yang literat

Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat

dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari

perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di

sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi

waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran

literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan

membaca dalam hati dan guru membacakan buku

dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran

berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru

dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk

mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan

untuk peningkatan pemahaman tentang program

literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya.

2.3. Evaluasi Program

2.3.1.Konsep Program

Program adalah suatu rangkaian kegiatan

sebagai bentuk implementasi dari suatu kebijakan.

Menurut pengertian secara umum, program diartikan

sebagai “rencana” yang akan dilakukan/dikerjakan

oleh seseorang atau suatu organisasi dalam rangka

mencapaitujuan. Namun apabila program tersebut

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

33

dikaitkan dengan evaluasi program, maka program

didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan

kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi

dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang

berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu

organisasi yang melibatkan sekelompok orang

(Suharsimi dan Cepi Safruddin, 2009).

Dalam pengertian ini, definisi program mencakup

tiga persyaratan, yaitu: (1)program merupakan

realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan; (2)

berlangsung dalam waktu yang relatif lama, bukan

kegiatan tunggal tetapi kegiatan jamak yang

berkesinambungan; dan (3) terjadi dalam suatu

organisasi yang melibatkan sekelompok orang.

Pada prakteknya, terdapat juga program yang

berlangsung hanya dalam waktu singkat, misalnya

program Peringatan Hari Besar Nasional oleh OSIS

disuatu sekolah atau oleh Unit Kegiatan

Mahasiswa.Kegiatan-kegiatan dalam program ini dapat

klasifikasikan sebagai program karena mengandung

beberapa komponen kegiatan, seperti misalnya:

kegiatan peringatan HUT Proklamasi, Hardiknas,

Harkitnas dsb. Selainitu, program tersebut juga

memuat kegiatan-kegiatan yang berangkai,

seperti:penggalangan dana, pembentukan kepanitiaan,

perizinan, sampai pelaksanaannya.

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

34

Selain mengandung tiga persyaratan tersebut,

ada pula program-program tertentuyang

menunjukkan ciri khusus, yaitu kegiatan jamak yang

berangkai. Misal, program pembelajaran adalah

kegiatan jamak yang berangkai, karena mengandung

kegiatan-kegiatan sebagai berikut: penyusunan

kurikulum, penyusunan perangkat pembelajaran

seperti silabus dan RPP, pelaksanaan kegiatan

pembelajaran, dan evaluasinya.

2.3.2. Evaluasi Program.

Menurut Arikunto (2010) evaluasi program

adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan

dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan

program. Sejalan dengan pendapat diatas, Sufflebeam

&Shinkield (2007) berpendapat bahwa evaluasi adalah

pengumpulan dan analisis informasi yang berkualitas

bagi pengambil keputusan. Dari dua pendapat

tersebut, Arikunto menekankan bahwa evaluasi

program merupakan kegiatan tanpa mendefinisikan

lebih rinci kegiatan apa saja yang dapat melihat

tingkat keberhasilan suatu program. Sedangkan

Sufflebeam & Shinkield memberikan penjelasan yang

lebih rinci bahwa kegiatan yang dilakukan untuk

mengevaluasi program terdiri dari pengumpulan dan

analisis informasi yang berkualitas. Dalam hal tujuan

program, Arikunto lebih menekankan bahwa tujuan

evaluasi program adalah untuk melihat keberhasilan

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

35

program sedangkan Sufflebeam & Shinkield lebih

kepada memberikan kontribusi dalam pengambilan

keputusan organisasi.

Berdasarkan konteksnya faktor-faktor penentu

keberhasilan evaluasi program dipengaruhi oleh

kualitas input (program, aktor, satpras,dll), kualitas

proses (mengumpulkan dan menganalisis informasi

secara berkualitas) serta kualitas output berupa

realisasi program dan pengambilan keputusan.

Namun demikian banyak faktor yang bisa

menghambat pelaksanaan evaluasi program seperti

faktor subyektifitas dan minimnya pengetahuan

evaluator tentang evaluasi. Untuk menjadi evaluator

diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang

memadai sehingga tujuan evaluasi program dapat

tercapai.

Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa

evaluasi dilakukan oleh para ahli professional/ pakar

dengan kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan

memproses suatu informasi secara berkualitas untuk

melihat keberhasilan terhadap suatu program dan

kendala-kendala yang dihadapi sehingga organisasi

dapat mengambil sebuah keputusan tentang tindak

lanjut dari program tersebut.

Menurut Arikunto (2012) terdapat poin penting

dalam evaluasi program yakni pembahasan rangkaian

kegiatan untuk melihat ketercapaian program melalui

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

36

evaluasi dan tindak lanjut keputusan terhadap

program tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut

dapat dipahami, bahwa hasil akhir dari evaluasi

program adalah pemberian keputusan tindak lanjut

terhadap suatu program.

Arikunto lebih lanjut menegaskan, bahwa

terdapat empat macam kebijakan tindak lanjutan

yang dapat diambil setelah dilakukannya sebuah

evaluasi terdahap suatu program sebagai berikut:

1. Kegiatan tersebut dilanjutkan, karena program

tersebut sangat bermanfaat.

2. Kegiatan tersebut tetap dilanjutkan tetapi dengan

penyempurnaan, karena pelaksnaanya kurang

lancar.

3. Kegiatan tersebut dimodifikasi ulang, karena

diketahui kemanfaatannya masih kurang tinggi.

4. Kegiatan tersebut tidak dapat dilanjutkan, karena

dari data yang terkumpul bahwa hasilnya kurang

bermafaat (Arikunto, 2012).

Sejalan dengan pendapat diatas, menurut

Sukardi (2008) evaluasi merupakan proses yang

menentukan kondisi dimana suatu tujuan telah dapat

tercapai. Proses penetuan kondisi ini, dipahami

sebagai pengumpulan informasi guna membuat

alternatif-alternatif keputusan.

Sebagai referensi dalam penelitian ini, kiranya

perlu dikemukakan pula evaluasi program di bidang

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

37

pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Tyler, bahwa

Evaluasi program bidang pendidikan menurut Tyler

(1950) dalam Arikunto dan Cepi Safruddin A,Jabar,

(2009,5), evaluasi program adalah proses untuk

mengetahui apakah tujuan pendidikan terealisasikan.

Dalam ilmu evaluasi program pendidikan,

dikenal banyak model yang digunakan untuk

menevaluasi keterlaksanaan program. Meskipun

antara satu model dengan model yang lain berbeda

tetapi maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan

pengumpulan data atau informasi yang berkenaan

dengan obyek yang dievaluasi, yang tujuannya

menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam

menentukan tindaklanjut suatu program. Steppen

Isaac (1986 dalam Arikunto, 2004) membedakan

adanya 4 (empat) hal (orientasi) yang digunakan untuk

membedakan ragam model evaluasi, yaitu:

1) Berorientasi pada tujuan (goal oriented)

2) Berorientasi pada keputusan (decision oriented)

3) Berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang

menanganinya (transactional oriented), dan

4)Berorieentasi pada pengaruh dan dampak (research

oriented).

2.3.3.Model-model Evaluasi Program

Selain empat model evaluasi yang dibedakan

menurut orientasinya, para pakar yang dikenal

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

38

sebagai penemu evaluasi telah membedakan model

evaluasi menjadi 8 (delapan) model, yaitu:

1) Goal oriented model,(dikembangkan oleh Tyler)

Model evaluasi yang dikembangkan oleh Tyler ini

merupakan model yang muncul paling awal.Yang

menjadi obyek pada model ini adalah tujuan dari

program yang sudah ditetapkan/direncanakan

sebelumnya. Evaluasi dilakukan secara

berkelanjutan dan terus-menerus guna meneliti

sejauhmana tujuan tersebut sudah tercapai dalam

pelaksanaan program.

Secara umum model evaluasi ini memberikan

penekanan terhadap produktivitas dan akuntabilitas

dalam pelaksanaan program.Model ini juga sering

digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan dan

kemajuan program.

Lebih lanjut Tyler (1951 dalam Azizi, 2008)

menjelaskan langkah pertama evaluasi adalah

mengenali tujuan program, setelah tujuan program

diketahui, perlu diketahui indicator-indikator

pencapaian tujuan dan alat pengukuran secara

pasti. Selanjutnya hasil kajian akan dibandingkan

dengan tujuan program dan dibuat penelaian level

pencapaian yang diperoleh. Apabila tujuan program

tidak tercapai sepenuhnya ini membawa implikasi

bahwa pelaksanaan program lemah atau bahwa

tujuan yang dipilih tidak tepat atau tidak sesuai.

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

39

2) Goal Free Evaluation (dikembangkan oleh Michael

Scriven)

Goal Free Evaluation atau seringkali diterjemahkan

menjadi Evaluasi Bebas Tujuan ini dapat dikatakan

bertolak belakang dengan model evaluasi Goal

Oriented yang dikembangkan oleh Tyler. Jika dalam

model yang dikembangkan oleh Tyler, evaluator

terus-menerus memamtau tujuan dan melihat

sejauh mana tujuan tersebut sudah tercapai, maka

dalam model Goal Free Evaluation (evaluasi Bebas

Tujuan) evaluator justeru kurang memperhatikan

tujuan.

Menurut Scriven dalam melaksanakan evaluasi

program, evaluator tidak perlu memperhatikan apa

yang menjadi tujuan-tujuan khusus program. Yang

perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah

bagaimana kerjanya program, dengan jalan

mengidentifikasi penampilan-penampilan yang

terjadi, baik hal-hal yang positif (yang diharapkan)

maupun hal-hal negative (yang tidak diharapkan).

Alasan mengapa tujuan program tidak perlu

diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator

terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus,

jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya

terpenuhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa

memperhatikan sejauhmana masing-masing

penampilan tersebut mendukung penampilan akhir

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

40

yang diharapkan oleh tujuan umum, maka

akibatnya jumlah penampilan khusus tersebut tidak

banyak manfaatnya.

Dari uraian di atas kiranya dapat dipahami bahwa

yang dimaksud dengan evaluasi Bebas Tujuan

dalam model ini bukannya lepas sama sekali dari

tujuan, melainkan hanya lepas dari tujuan khusus.

Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum

yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci

perkomponen.

3) Formatif Summatif Evaluation (dikembangkan

oleh Michael Scriven)

Model evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven ini

sesuai dengan namanya menunjukkan adanya

tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi. Dalam

model evaluasi ini, evaluasi dilaksanakan pada

waktu program sedang berjalan (disebut evaluasi

formatif) dan ketika program sudah selesai atau

berakhir (disebut evaluasi Sumatif). Dengan kata

lain evaluasi ini menunjuk tentang “Apa, Kapan,

dan Tujuan “ evaluasi tersebut dilaksanakan.

Evaluasi Formatif secara prinsip merupakan

evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih

berlangsung atau ketika program berada di tahap

awal kegiatan.Tujuan evaluasi Formatif tersebut

adalah untuk mengetahui sejauhmana program

yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

41

mengidentifikasi hambatan.Dengan mengetahui

hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program

tidak lancar, pengambil keputusan dapat

mengadakan perbaikan-perbaikan secara dini.

Evaluasi Sumatif dilakukan setelah program

berakhir.Tujuan dari evaluasi Sumatif adalah untuk

mengukur ketercapaian program setelah program

berakhir.

4) Countenance Evaluation Model (dikembangkan

oleh Stake)

Model ini dikembangkan oleh Stake, yang kemudian

diulas lebih lanjut oleh Fernandes (1984, dalam

Arikunto, 2004), menekankan adanya pelaksanaan

dua hal pokok, yaitu Deskripsi (description), dan

Pertimbangan (Judgement), serta membedakan

adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu 1()

Anteseden (antecedents/context), (2) Transaksi

(Transaction/process) (3) Keluaran (output-

outcomes).

Analisis proses evaluasi yang dikemukakan Stake

(1967, dalam Tayibnapis, 2000) membawa dampak

yang cukup besar dalam bidang evaluasi dan

meletakkan dasar sederhana namun merupakan

konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang

lebih jauh dalam bidang evaluasi.

5) Responsive Evaluation Model (dikembangkan oleh

Stake)

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

42

Menurut Stake (1967, dalam Azizi, 2008)

menjelaskan bahwa model evaluasi ini berdasarkan

pada apa yang biasa individu lakukan untuk menilai

suatu perkara.Untuk melakukan evaluasi ini,

evaluator dipaksa untuk bekerja keras untuk

memastikan individu yang dipilih memahami apa

yang perlu dilakukan. Evaluator juga perlu

memahami prosedur yang baku dan mencari serta

mengatur tim untuk meneliti pelaksanaan program

tersebut. Terdapat empat tahap dalam evaluasi

model ini, yaitu:

(1).Pada awal pelaksanaan evaluasi, evaluator dank

lien (stakeholder) membuat perundingan tentang

kontrak mengenai tujuan penilaian, validitas,

dan jaminan kerahasiaan. Stakeholder disini

adalah individu yang terlibat dalam evaluasi

tersebut dan memiliki hak untuk memberikan

ijin dan isu-isu yang berkaitan dengan proses

evaluasi.

(2).Mengenal pasti Perhatian (concern) isu, nilai-nilai

dari stakeholder.

(3).Tahap ketiga mengumpulkan informasi yang

memiliki hubungan dengan tujuan, isu, nilai

yang dikenal pasti oleh stakeholder. Evaluator

juga dapat mendasarkan data dan informasi

secara deskriftif tentang perkara yang dievaluasi

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

43

dan standar yang dipergunakan untuk membuat

pertimbangan.

(4).Penyediaan laporan evaluasi yang berisis bahan

pengambilan keputusan atau alternatif kebijakan.

6).CSE-UCLA Evaluation Model (dikembangkan oleh

Alkin)

CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan

UCLA.Yang pertama CSE merupakan singkatan dari

Center for the Study of Evolution, sedangkan UCLA

merupakan singkatan dari Unversity of California in

Los Angeles.

Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap

yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan,

pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.

Sementara itu Fernandes (1984, dalam Arikunto

2004) memberikan penjelasan tentang model CSE-

UCLA menjadi empat tahap, yaitu (1) need

assessment, (2) program planning, (3) formative

evaluation, dan (4) summative evaluation.

Pada tahap Need Assessmen, evaluator memusatkan

perhatian pada penentuan masalah, dengan

mengajukan pertanyaan-pertanyaan hal-hal apakah

yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan

keberadaan program, kebutuhan apakah yang

terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan

program, serta tujuan jangka panjang apakah yang

dapat dicapai melalui program ini.

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

44

Pada Tahap Program planning, evaluator

mengumpulkan data yang terkait langsung dengan

pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan

kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap

pertama.

Pada Tahap Formative evaluation, evaluator

memusatkan perhatian pada keterlaksanaasn

program. Dengan demikian evaluator diharapkan

benar-benar terlibat dalam pelaksanaan program

karena harus menghimpun data dan informasi dari

pengembang program.

Tahap berikutnya adalah tahap Summative

Evaluation, dimana pada tahap ini evaluator

diharapkan dapat mengumpulkan semua data

tentang hasil dan dampak dari program. Melalui

evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui

apakah tujuan yang dirumuskan untuk program

sudah tercapai, dan kalau belum dicari bagian mana

yang belum dan apa penyebabnya.

7) CIPP Evaluation Model.

CIPP merupakan singkatan dari huruf awal empat

buah kata, yaitu Context, Input, Process, dan

Product. Keempat kata yang disebut dalam singkatan

CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang

tidak lain meliputi evaluasi Context, evaluasi Input,

evaluasi Process dan evaluasi Product, dimana

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

45

sebuah program yang dievaluasi dipandang sebagai

sebuah system.

(a) Evaluasi Konteks (Contevt) disini diartikan

sebagai suatu situasi atau latar belakang yang

mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi

yang akan dikembangkan dalam program yang

bersangkutan, seperti kebijakan organisasi,

sasaran yang ingin dicapai, masalah SDM yang

dihadapi, dan lain sebagainya.

(b) Evaluasi Masukan (Input) adalah evaluasi

tentang apa yang menjadi masukan dari program.

Model evaluasi Input ini meliputi kegiatan

pendeskripsian masukan dan sumber daya

program, perkiraan untung rugi, dan melihat

alternative prosedur dan strategi yang perlu

disarankan dan dipertimbangkan. Singkatnya

evaluasi Input digunakan untuk menentukan

bagaimana cara agar penggunaan sumber akan

selesai.tentang apakah perlu mencari bantuan

dari pihak lain atau tidak.

(c) Evaluasi Proses (Process), dalam model CIPP

diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang

dilaksanakan sudah terlaksana sesuai dengan

rencana. Evaluasi yang dilakukan dalam model

CIPP menunjuk pada “apa”(what) kegiatan yang

dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

46

yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program,

“kapan” (when) kegiatan.

(d)Evaluasi Produk (product), Evaluasi produk

diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan

perubahan yang terjadi pada masukan mentah

kepada hasil akhir.

8) Discrepancy Model Evaluation (dikembangkan oleh

Malcom Provus)

Provus (1971, dalam Azizi, 2008) mendefinisikan

evaluasi discrepancy sebagai alat untuk membuat

pertimbangan (judgement) atas kekurangan dan

kelebihan suatu obyek berdasarkan perbandingan

antara standard an kinerja. Model ini juga dianggap

menggunakan pendekatan formatif dan berorientasi

pada analisis sistem. Dengan model ini, proses

evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan

capaian program dengan standar. Sementara pada

waktu yang sama mengidentifikasi standar baru

untuk dipakai sebagai perbandingan di masa

berikutnya. Masih menurut Provus, evaluasi model

Deskripancy memilki lima tahap evaluasi, yaitu

tahap Definition stage, tahap Instalation stage, tahap

Process stage, tahap Producs stage, dan tahap cost-

benefit.

Pada tahap Definition stage, pelaksana program

mendifinisikan gambaran tujuan, proses, atau

aktivitas dan kemudian menggambarkan sumber

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

47

daya yang diperlukan, serta harapan dan standar

yang digunakan.

Pada tahap Instalation stageini, desain program

menjadi standar baku untuk diperbandingkan

dengan penilaian operasi awal program. Tujuannya

adalah untuk menentukan apakah program telah

diterapkan sebagaimana desainnya.

Selanjutnya pada tahap Process stage, evaluasi

ditandai dengan pengumpulan data untuk menjaga

keterlaksanaan program.Tujuannya adalah untuk

memperhatikan kemajuan program kemudian

menemukan dampak awal, pengaruh atau efek

pelaksanaan program.

Dalam Tahap Product stage, pengumpulan data dan

analisa yang membantu kea rah penentuan tingkat

capaian sasaran dari outcomes.

Tahap terkhir dari evaluasi Discrepancy adalah

tahap cost-benefit, pada tahap inimerupakan tahap

untuk membandingkan hasil atau keuntungan yang

dicapai dengan ongkos atau biaya yang dikeluarkan.

Dari beberapa pendapat diatas dapat dipahami

bahwa evaluasi program merupakan serangkaian

kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan

informasi mengenai program guna mengambil suatu

keputusan keberlangsungan suatu program. Dari

pendapat para pakar di atas, secara garis besar model

evaluasi dapat dibedakan berdasarkan orientasi dari

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

48

kegiatan evaluasi itu sendiri, yaitu evaluasi yang

berorientasi pada tujuan (goal oriented), evaluasi yang

berorientasi pada keputusan (decision oriented),

Berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang

menanganinya (transactional oriented) dan evaluasi pada

pengaruh atau dampak program (research oriented).

Sesuai dengan tujuan dari penelitia ini yakni

untuk melakukan evaluasi pelaksanaan program,

mengevaluasi pengaruh dan dampak program gerakan

literasi sekolah, maka jenis model evaluasi yang paling

tepat digunakan adalah model Evaluasi Bebas Tujuan

(Goal Free Evaluation) yang digagas oleh Scriven.

2.3.3. Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free

Evaluation)

Model evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free

Evaluation Model) dikemukakan oleh Michael Scriven

(1973). Evaluasi ini merupakan evaluasi mengenai

pengaruh yang sesungguhnya, dan objektif yang ingin

dicapai oleh program.Ia mengemukakan bahwa evaluasi

seharusnya tidak mengetahui tujuan program sebelum

melakukan evaluasi. Evaluator melakukan evaluasi

untuk mengetahui pengaruh yang sesungguhnya dari

operasi program.Pengaruh program yang sesungguhnya

mungkin berbeda atau lebih banyak atau lebih luas dari

tujuan yang dinyatakan dalam program. Seorang

evaluator yang mengetahui tujuan program sebelum

melakukan evaluasi terkooptasi oleh tujuan dan akan

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

49

tidak memerhatikan pengaruh program di luar tujuan

tersebut.

Dalam proses yang sedang berlangsung,

pelaksanaan suatu program dapat mempunyai tiga jenis

pengaruh baik positif maupun negative. Pengaruh

tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

a. Pengaruh sampingan yang negatif. Yaitu pengaruh

sampingan yang tidak dikehendaki oleh program.Ini

seperti jika orang meminum obat yang sering

mempunyai efek sampingan yang tidak dikehendaki.

Misalnya, program-program untuk orang miskin di

samping membantu kehidupan orang miskin juga

dapat membuat malas penerima layanan program

menjadi malas bekerja

b. Pengaruh positif yang ditetapkan oleh tujuan program

c. Pengaruh sampingan positif. Yaitu pengaruh positif

program di luar pengaruh positif yang ditentukan

boleh tujuan program.

Jika evaluator akan melaksanakan Goal Free

Evaluation Model perlu didefinisikan ketiga pengaruh

tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena evaluasi

dilakukan dengan tujuan yang definitif tidak terbuka

atau open ended sehingga melebar dan tidak

terkontrol. Ini harus dilakukan juga dalam kaitan

beban kerja evaluator dan untuk menghitung

perkiraan sumber-sumber (biaya, waktu, alat) yang

diperlukan untuk melakukan evaluasi.

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

50

Proses evaluasi dengan mepergunakan Model Evaluasi

Bebas Tujuan adalah:

a) Evaluator mempelajari cetak biru program

b) Mengidentifikasi tujuan evaluasi

c) Pengaruh sampingan program yang negatif yang

tidak diharapkan

d) Pengaruh sampingan positif di luar tujuan

program

e) Pengaruh positif program yang diharapkan oleh

tujuan program.

f) Mengembangkan desain dan instrumen evaluasi

g) Memastikan pelaksanaan telah mencapai

tujuannya

e) Menjaring dan menganalisi data

f) Menyusun laporan hasil evaluasi

g) Pemanfaatan hasil evaluasi

2.3.4. Fungsi Goal Free Evaluation

Scriven dalam Model Evaluasi Bebas Tujuan

(1972) menunjukkan bahwa fokus pada program atau

tujuan kegiatan ini dapat menjadi tempat awal yang

penting untuk teknolog bekerja dalam domain evaluasi

Scriven (1972) percaya bahwa "tujuan program

tertentu/khusus tidak harus diambil sebagai yang

diberikan", tapi diperiksa dan dievaluasi juga (Guskey,

2000).

Model Goal -Free berfokus pada hasil yang

sebenarnya dari suatu program atau kegiatan, bukan

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

51

hanya tujuan-tujuan yang teridentifikasi. Jenis model

memungkinkan teknolog untuk mengidentifikasi dan

mencatat hasil yang tidak termasuktujuan yang

diidentifikasikan oleh perancang program ( Guskey,

2000). Melalui prosesteknik baik terang-terangan dan

terselubung, metode ini berusaha untuk

mengumpulkan data dalam rangka untuk membentuk

deskripsi program, mengidentifikasi proses akurat,

dan menentukan pentingnya mereka ke program (

Boulmetis & Dutwin , 2005 ). Sementara model ini

berfokus pada hasil tanpa tujuan, model lain berfokus

pada proses pengambilan keputusan dan

menyediakan administrator kunci dengan analisis

mendalam untuk membuat keputusan yang adil dan

tidak bias.

Fungsi evaluasi bebas tujuan adalah untuk

mengurangi bias dan menambah objektifitas. Dalam

evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang

evaluator secara subjektif persepsinya akan

membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan

pada umumnya hanya formalitas dan jarang

menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari suatu

proyek.Lagipula, banyak hasil program penting yang

tidak sesuai dengan tujuan program. Evaluasi bebas

tujuan berfokus pada hasil yang sebenarnya bukan

pada hasil yang direncanakan. Dalam evaluasibebas

tujuan ini, memungkinkan evaluator untuk

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

52

menambah temuan hasil atau dampak yang tidak

direncanakan.

2.3.5. Kekurangan dan Kelebihan Goal Free Evaluation

Model evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free

Evaluation) ini mempunyai kekurangan dan

kelebihannya. Kelebihan dari model bebas tujuan di

antaranya adalah:

a. Evaluator tidak perlu memperhatikan secara rinci

setiap komponen, tetapi hanya menekankan pada

bagaimana mengurangi prasangka (bias).

b. Model ini menganggap pengguna sebagai audiens

utama. Melalui model ini, Scriven ingin evaluator

mengukur kesan yang didapat dari sesuatu program

dibandingkan dengan kebutuhan pengguna dan

tidak membandingkannya dengan pihak perencana..

c. Pengaruh konsep pada masyarakat, bahwa tanpa

mengetahui tujuan dari kegiatan yang telah

dilakukan, seorang penilai bisa melakukan evaluasi.

d. Kelebihan lain, dengan munculnya model bebas

tujuan yang diajukan oleh scrieven, adalah

mendorong pertimbangan setiap kemungkinan

pengaruh tidak saja yang direncanakan, tetapi juga

dapat diperhatikan sampingan lain yang muncul

dari produk.

Walaupun demikian, yang diajukan scrieven

ternyata juga memiliki kelemahan seperti berikut:

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

53

1).Model bebas tujuan ini pada umumnya bebas

menjawab pertanyaan penting, seperti apa

pengaruh yang telah diperhitungkan dalam suatu

proses yang sedang berlangsung dan bagimana

mengidentifikasi pengaruh tersebut.

2).Walaupun ide scrieven bebas tujuan bagus untuk

membantu kegiatan yang paralel dengan evaluasi

atas dasar kejujuran, pada tingkatan praktis

scrieven tidak terlalu berhasil dalam

menggambarkan bagaimana evaluasi sebaiknya

benar-benar dilaksanakan.

3).Tidak memberikan rekomendasi bagaimana

menghasilkan penilaian kebutuhan walau pada

akhirnya mengarah pada penilaian kebutuhan.

4).Diperlukan evaluator yang benar-benar kompeten

untuk dapat melaksanakan evaluasi model ini.

5).Langkah-langkah sistematis yang harus

dilakukan dalam evaluasi hanya menekankan

pada obyek sasaran saja.

Dari uraian diatas, kiranya dapat disimpulkan

bahwa Model Bebas Tujuan merupakan sebuah model

evaluasi program, dimana objek yang dievaluasi tidak

perlu terkait dengan tujuan,tetapi langsung kepada

implikasi keberadaan program apakah bermanfaat

atau tidak objek tersebut atas dasar penilaian

kebutuhan yang ada.

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

54

Dengan Evaluasi Bebas Tujuan akan dapat

diketahui pula apakah dalam implementasi sebuah

program terdapat pengaruh-pengaruh sampingan

(baik pengaruh sampingan positif maupun negatif)

serta dampak dari implementasi program tersebut.

2.4. Penelitian Yang Relevan

Guna melengkapi referensi dalam penelitian ini,

kira perlu disampaikan penelitian-penelitian terdahulu

yang relevan terkait dengan Gerakan Literasi Sekolah,

yaitu penelitian Ranti Wulandari (2017), berjudul

Implementasi Gerakan Literasi Sekolah di SDIT

Lukman Al Hakim.Ranti Wulandari melakukan

penelitian dengan sasaran pelaksanaan GLS pada

jenjang sekolah dasar.Hasil penelitiannya

menyebutkan bahwa Implementasi Gerakan Literasi di

sekolah tersebut berpengaruh signifikan pada

peningkatan minat baca peserta didik.

Penelitian Lea Sakti Mitasari (2015), yang

berjudul Peran Kegiatan Literasi Sekolah Dalam

Meningkatkan Minat Membaca dan Menulis Siswa

Kelas Atas di SDN Glumpang, tahun 2015. Dari

peneltian yang dilakukan oleh Lea Sakti Mitasari ini

didapatkan kesimpulan yang sama, bahwa kegiatan

Literasi Sekolah memang terbukti sangat berpengaruh

dalam meningkatkan minat membaca dan menulis

siswa kelas atas di SDN Glumpang.

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1.KonsepLiterasi 2.1.1.Konsep Literasirepository.uksw.edu/bitstream/123456789/16956/2/T1_942012008_BAB II...Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka

55

Kedua penelitian di atas lebih fokus pada

pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah pada siswa

sekolah dasar. Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah

dasar, sesuai dengan kebijakan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, diarahkan sesuai dengan

tahap perkembangan anak dalam belajar membaca

dan menulis yang salingberirisan antartahap

perkembangansiswa pada jenjang Sekolah Dasar.

Selain jenjang Sekolah Dasar, Gerakan Literasi

sekolah juga dilaksanakan serentak bagi jenjang

Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah

Atas.Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah pada

jenjang SMP pada umumnya sudah dilaksanakan

sejak tahun ajaran 2016.Namun berdasarkan

penelusuran belum banyak dilakukan penelitian

evaluasi terhadap program tersebut.Oleh karena

itulah, penelitian terhadap Program Gerakan Literasi

Sekolah di jenjang SMP ini cukup penting dilakukan..