bab ii kajian pustaka 2.1.konsepliterasi 2.1.1.konsep...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1.KonsepLiterasi
2.1.1.Konsep Literasi
Literasi berasaldari kataliteracy yang artinya melek
huruf, kemampuan baca tulis, kemelekwacanaan atau
kecakapan dalam membaca dan menulis (Teale dan
Sulzby, 1986; Cooper,1993,6; Alwasilah, 2001).
Pengertian Literasi berdasarkan konteks penggunaannya
dinyatakan Baynham (1995,9) bahwa literasi merupakan
integrasi keterampilan menyimak, berbicara,menulis,
membaca dan berfikir kritis.
Menurut Graff (2006, 808) Literasi didefinisikan
sebagai kemampuan untuk membaca dan
menulis.Sementara itu Alberta (2009, 201) menyatakan,
bahwa arti literasi bukan hanya sekedar kemampuan
untuk membaca dan menulis, namun kemampuan
menambah pengetahuan, keterampilan dan kemampuan
yang dapat membuat seseorang memiliki kemampuan
berfikir kritis, mampu memecahkan masalah dalam
berbagai konteks, mampu berkomunikasi secara efektif
dan mampu mengembangkan potensi dan berpartisipasi
aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
National Assesment of Educational Progress
mengartikan literasi sebagai kemampuan
13
perfomansimembaca dan menulis yang diperlukan
sepanjang hayat ( Winterowd, 1999, 5).
Berkaitan dengandunia pendidikan, Irene dan Gay
(2001, 115) menyatakan bahwa nilai-nilai literasi yang
berkualitas tergambar dari ketika siswa berhasil
menerapkan apa yang telah mereka pelajari dan
dituangkan kembali ke dalam tulisan mereka sendiri.
Kemampuan literasi yang demikian itu tentu
memerlukan proses yang berkelanjutan dan harus
dimulai sejak dini. Dalam kaitan ini, National Literacy
Forum (2014, 12) menyebutkan bahwa ada empat cara
yang harus dilakukan dalam membangun literasi yang
universal, yaitu meningkatkan kemampuan bahasa sejak
dini di rumah dan dalam pendidikan non formal, lebih
mengefektifkan pembelajaran yang dapat menumbuhkan
keterampilan membaca dan menulis di sekolah,adanya
akses untuk membaca dan program yang membuat anak
merasa senang melakukan kegiatan literasi, menciptakan
kerjasama antara sekolah, lingkungan, keluarga dan
lingkungan kerja untuk dapat mendorong tumbuh dan
berkembangnya budaya membaca.
Dari berbagai pendapat para ahli tersebut, maka
dapat diambil jntisari dan benang merahnya, bahwa
literasi adalah (1) kemampuan baca-tulis atau
kemelekwacanaan, (2) berdasarkan penggunaannya
literasi berarti kemampuan integrasi antara menyimak,
berbicara, membaca, menulis dan berpikir, (3)
14
kemampuan yang siap digunakan untuk menguasai
gagasan baru atau cara mempelajarinya, (4) piranti
kemampuan sebagai penunjang keberhasilannya dalam
lingkungan akademik atau sosial, (5) kemampuan
perfomansi membaca dan menulis yang selalu diperlukan
dan (6) kompetensi seorang akademisi dalam memahami
wacana secara professional.
Kegiatan literasi selama ini identik dengan aktivitas
membaca dan menulis.Namun, Deklarasi Praha pada
tahun 2003 menyebutkan bahwa literasi juga mencakup
bagaimana seseorang berkomunikasi dalam masyarakat.
Literasi juga bermakna praktik dan hubungan sosial yang
terkait dengan pengetahuan, bahasa, dan budaya
(UNESCO, 2003). Deklarasi UNESCO itu juga
menyebutkan bahwa literasi informasi berkaitan pula
dengan kemampuan untuk mengidentifikasikan,
menentukan, menemukan, mengevaluasi, serta
menciptakan secara efektif dan terorganisasi,
menggunakan dan mengkomunikasikan informasi untuk
mengatasi berbagai persoalan. Kemampuan-kemampuan
itu perlu dimiliki tiap individu sebagai syarat untuk
berpartisipasi dalam masyarakat informasi, dan itu juga
merupakan bagian dari hak dasar manusia menyangkut
pembelajaran sepanjang hayat.
Literasi dalam bahasa Inggris bertuliskan literacy, kata
ini berasal dari bahasa Latin littera (huruf) yang memiliki
definisi melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan dan
konvensi-konvensi yang menyertainya. Berkenaan dengan ini
15
Kern (2000) mendefinisikan istilah literasi secara komprehensif
sebagai berikut:
“Literacy is the use of socially-, and historically-, and culturallysituated practices of creating and interpreting meaning through texts. It entails at least a tacit awareness of the relationships between textual conventions and their context of use and, ideally, the ability to reflect critically on those relationships. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic – not static – and variable across and within discourse communities and cultures. It draws on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken language, on knowledge of genres, and on cultural knowledge.”
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
literasi memerlukan kemampuan yang kompleks. Adapun
pengetahuan tentang genre adalah pengetahuan tentang
jenis-jenis teks yang berlaku/ digunakan dalam
komunitas wacana misalnya, teks naratif, eksposisi,
deskripsi dan lain-lain. Terdapat tujuh unsur yang
membentuk definisi tersebut, yaitu berkenaan dengan
interpretasi, kolaborasi, konvensi, pengetahuan kultural,
pemecahan masalah, refleksi, dan penggunaan bahasa.
Ketujuh hal tersebut merupakan prinsip-prinsip dari
literasi. Menurut Kern (2000) terdapat tujuh prinsip
pendidikan literasi, yaitu:
a. Literasi melibatkan interpretasi
Penulis/pembicara dan pembaca/pendengar berpartisipasi dalam tindak interpretasi, yakni:
penulis/pembicara menginterpretasikan dunia (peristiwa, pengalaman, gagasan, perasaan, dan lain-lain), dan pembaca/pendengar kemudian
mengiterpretasikan. interpretasi penulis/pembicara dalam bentuk konsepsinya sendiri tentang dunia.
16
b. Literasi melibatkan kolaborasi Terdapat kerjasama antara dua pihak yakni penulis/
pembicara dan membaca/pendengar.Kerjasama itu dalam upaya mencapai suatu pemahaman bersama.
Penulis/pembicara memutuskan apa yang harus ditulis/dikatakan atau yang tidak perlu ditulis/dikatakan berdasarkan pemahaman mereka
terhadap pembaca/ pendengarnya.Sementara pembaca/pendengar mencurahkan motivasi, pengetahuan, dan pengalaman mereka agar dapat
membuat teks penulis bermakna. c. Literasi melibatkan konvensi
Orang-orang membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara itu ditentukan oleh konvensi/ kesepakatan kultural (tidak universal) yang
berkembang melalui penggunaan dan dimodifikasi untuk tujuan-tujuan individual. Konvensi disini
mencakup aturan aturan bahasa baik lisan maupun tertulis.
d. Literasi melibatkan pengetahuan kultural.
Membaca dan menulis atau menyimak dan berbicara berfungsi dalam sistem-sistem sikap, keyakinan, kebiasaan, cita-cita, dan nilai tertentu.Sehingga
orang-orang yang berada di luar suatu sistem budaya itu rentan beresiko salah dipahami oleh orang-orang
yang berada dalam sistem budaya tersebut. e. Literasi melibatkan pemecahan masalah.
Karena kata-kata selalu melekat pada konteks
linguistik dan situasi yang melingkupinya, maka tindak menyimak, berbicara, membaca, dan menulis itu melibatkan upaya membayangkan hubungan-
hubungan di antara katakata, frase-frase, kalimat-kalimat, unit-unit makna, teks-teks, dan duniadunia.
Upaya,membayangkan/memikirkan/mempertimbangkan ini merupakan suatu bentuk pemecahan masalah.
f. Literasi melibatkan refleksi dan refleksi diri. Pembaca/pendengar dan penulis/pembicara
memikirkan bahasa dan hubungan-hubungannya dengan dunia dan diri mereka sendiri. Setelah mereka berada dalam situasi komunikasi mereka
17
memikirkan apa yang telah mereka katakan, bagaimana mengatakannya, dan mengapa
mengatakan hal tersebut. g. Literasi melibatkan penggunaan bahasa.
Literasi tidaklah sebatas pada sistem-sistem bahasa (lisan/tertulis) melainkan mensyaratkan pengetahuan tentang bagaimana bahasa itu
digunakan baik dalam konteks lisan maupun tertulis untuk menciptakan sebuah wacana/diskursus.
Berdasarkan pendapat Kern di atas, kiranya
dapat disimpulkan bahwaliterasi mengandung tujjuh
prinsip, yaitu literasi melibatkan interpretasi,
kolaborasi, konversi, pengetahuan kultural, pemecahan
masalah, refleksi diri, dan melibatkan penggunaan
bahasa. Ketujuh prinsip tersebut menurut kern
merupakan unsur-unsur pokok yang menjadi prinsip
literasi.Dengan pendapatnya ini Kern ingin
menegaskan bahwa literasi memiliki prinsip-prinsip
yang komprehensif dan lengkap.
Masih menurut Kern, Konsep literasi bukan
hanya sekedar berkaitan dengan aktivitas membaca,
menyimak, dan menulis saja, melainkan sebuah
aktivitas yang secara prinsip melibatkan penggunaan
bahasa baik secara lisan maupun tulisan, interpretasi
(menafsirkan), Kolaborasi, konvensi, pengetahuan
kultural dan yang lebih penting lagi adalah
mengandung prinsip pemecahan masalah.Dengan
mencermati pendapat Kern diatas, maka sangatlah
tepat bila kemampuan berliterasi bagi semua orang
perlu ditingkat sepanjang hayat.
18
2.1.2.Komponen Literasi
Secara konsep, literasi dipahami lebih dari sekedar
membaca dan menulis, namun mencakup keterampilan
berpikir menggunakan sumber-sumber pengetahuan
dalam bentuk cetak, visual, digital, dan auditori.Di era
ini, kemampuan yang dimaksud ialah sebagai literasi
informasi.Clay dan Ferguson (2001), menjabarkan
bahwa komponen literasi informasi terdiri atas literasi
dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media,
literasi teknologi, dan literasi visual.Dalam konteks
Indonesia, literasi dini diperlukan sebagai dasar
pemerolehan berliterasi tahap selanjutnya. Komponen
literasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Literasi Dini (Early Literacy)
Yaitu kemampuan untuk menyimak, memahami
bahasa lisan, dan berkomunikasi melalui gambar dan
lisan yang dibentuk oleh pengalamannya berinteraksi
dengan lingkungandirumah. Pengalaman peserta
didik dalam berkomunikasi dengan bahasa ibu
menjadi fondasi perkembangan literasi dasar.
b. Literasi Dasar (Basic Literacy)
Yaitu kemampuan untuk mendengarkan, berbicara,
membaca, menulis, dan menghitung (counting)
berkaitan dengan kemampuan analisis untuk
menghitung (calculating), mempersepsikan informasi
(perceiving), mengomunikasikan informasi, serta
19
menggambarkan informasi (drawing) berdasarkan
pemahaman dan pengambilan kesimpulan pribadi.
c. Literasi Perpustakaan (Library Literacy)
Memberikan pemahaman cara membedakan bacaan
fiksi dan nonfiksi, memanfaatkan koleksi referensi
dan periodikal, memahami Dewey Decimal System
sebagai klasifikasi pengetahuan yang memudahkan
dalam menggunakan perpustakaan, memahami
penggunaan katalog dan pengindeksan, hingga
memiliki pengetahuan dalam memahami informasi
ketika sedang menyelesaikan sebuah tulisan,
penelitian, pekerjaan, atau mengatasi masalah.
d. Literasi Media (Media Literacy)
Yaitu kemampuan untuk mengetahui berbagai
bentuk media yang berbeda, seperti media cetak,
media elektronik (radio, televisi), media digital (media
internet), dan memahami tujuan penggunaannya.
e. Literasi Teknologi (Technology Literacy)
Yaitu kemampuan memahami kelengkapan yang
mengikuti teknologi seperti perangkat keras
(hardware), perangkat lunak (software), serta etika
dan etiket dalam memanfaatkan
teknologi.Berikutnya, kemampuan dalam memahami
teknologi untuk mencetak, mempresentasikan, dan
mengakses internet. Dalam praktiknya, pemahaman
menggunakan komputer (computer literacy) yang
didalamnya mencakup menghidupakan dan
20
mematikan komputer, menyimpan dan mengelola
data, serta mengoprasikan program perangkat lunak.
Sejalan dengan membanjirnya informasi karena
perkembangan teknologi saat ini, diperlukan
pemahaman yang baik dalam mengelola informasi
yang dibutuhkan..
f. Literasi Visual (Visual Literacy)
Adalah pemahaman tingkat lanjut antara literasi
media dan leterasi teknologi, yang mengembangkan
kemampuan dan kebutuhan belajar dengan
memanfaatkan materi visual dan audio-visual secara
kritis dan bermartabat. Tafsir terhadap materi visual
yang tidak terbendung, baik dalam bentuk cetak,
auditori, maupun digital (perpaduan ketiganya disebut
teks media dengan baik. Bagaimanapun di dalamnya
banyak manipulasi dan hiburan yang benar-benar
perlu disaring berdasarkan etika dan kepatutan.
Di era ini, kemampuan yang dimaksud ialah
sebagai literasi informasi. Clay dan Ferguson (2001),
menjabarkan bahwa komponen literasi informasi
terdiri atas literasi dini, literasi dasar, literasi
perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan
literasi visual.. Komponen literasi tersebut dijelaskan
sebagai berikut: Dengan mencermati pandangan Clay
dan Ferguson diatas, terlihatbahwa menurut kedua
pakar tersebut perkembangan konsep literasi perlu
dilekatkan secara kontekstual nsesuai perkembangan
21
jaman. Oleh karena itu Komponen literasi pada era
sekarang memang perlu dipahami secara kontekstual
sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
tenologi yang sangat pesat.
Komponen Literasi seperti yang dikemukakan Clay
dan Fergusaon telah disusun dan disistematisir
seperti sebuah kronologi dari tahap perkembangan
literasi itu sendiri.Hal itu dapat dilihat dari komponen
literasi pertama literasi Clay dimulai dari literasi dini,
kemudian literasi dasar, selanjutnya literasi
perpustakaan, literasi media, literasi teknologi dan
terakhir adalah literasi visual.
2.2. Gerakan Literasi Sekolah
2.2.1. Konsep Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
GLS merupakan suatu usaha atau kegiatan yang
bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah
yang meliputi peserta didik, guru, kepala sekolah,
tenaga kependidikan, Pengawas sekolah, Komite
Sekolah, orang tua / wali murid peserta didik, serta
akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh
masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan,
dunia usaha, dan lain-lain), dan pemangku
kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan.
GLSadalah gerakan sosial dengan dukungan
kolaboratif berbagai elemen. Upaya yang ditempuh
22
untuk mewujudkannya berupa pembiasaan membaca
peserta didik. Pembiasaan ini dilakukan dengan kegiatan
15 menit membaca (guru membacakan buku dan warga
sekolah membaca dalam hati, yang disesuaikan dengan
konteks atau target sekolah).
Setelah pembiasaan membaca terbentuk,
selanjutnya akan diarahkan ke tahap pengembangan,
dan pembelajaran (disertai tagihan berdasarkan
Kurikulum 2013). Variasi kegiatan dapat berupa
perpaduan pengembangan keterampilan reseptif
maupun produktif.Dalam pelaksanaannya, pada periode
tertentu yang terjadwal, dilakukan asesmen agar
dampak keberadaan GLS dapat diketahui dan terus-
menerus dikembangkan.GLS diharapkan mampu
menggerakkan warga sekolah, pemangku kepentingan,
dan masyarakat untuk bersama-sama memiliki,
melaksanakan, dan menjadikan gerakan ini sebagai
bagian penting dalam kehidupan.
2.2.2.Landasan Filosofi dan Landasan Hukum
a. Landasan Filosofi
1) Sumpah Pemuda pada butir ketiga (3) menyatakan,
“menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia
yang memiliki makna pengakuan terhadap
keberadaan ratusan bahasa daerah yang memiliki
hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing
sesuai dengan keperluannya.”. Butir ini
23
menegaskan pentingnya pembelajaran berbahasa
dalam pendidikan nasional.
2) Konvensi PBB tentang Hak Anak pada tahun 1989
tentang pentingnya penggunaan bahasa ibu.
Indonesia yang memiliki beragam suku bangsa,
khususnya mikrokultur-mikrokultur tertentu perlu
difasilitasi dengan bahasa ibu saat mereka
memasuki pendidikan dasar kelas rendah (kelas I,
II, III).
3) Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang
kecakapan literasi dasar dan kecakapan
perpustakaan yang efektif merupakan kunci bagi
masyarakat yang literat dalam menghadapi
derasnya arus informasi teknologi. Lima komponen
yang esensial dari literasi informasi itu adalah basic
literacy, library media literacy, technology literacy,
dan visual literacy.
Secara filosofis Gerakan Literasi di telah
memiliki landasan yang sangat mengakar.Hal itu
tercermin dari dicantumkannya pernyataan yang
menegaskan pentingnya pembelajaran Bahasa
Indonesia pada butir 3 Naskah Sumpah Pemuda.
Pada masa pergerakan pemuda untuk
memperjuangkan kemerdekaan itu, sudah disadari
akan arti pentingnya pembelajaran bahasa
Indonesia, dimana Bahasa Indonesia dipandang
24
sebagai alat pemersatu bangsa dan pendorong
kemajuan bangsa.
Pada masa Indonesia modern, gerakan literasi
sebagai prasyarat penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi kembali mendapatkan landasan filosofis
dengan Konvensi PBB di Praha tahun 2003 tentang
kecakapan literasi dasar dan kecakapan
perpustakaan. Konvensi PBB tersebut memberikan
landasan bagi pembentukan masyarakat yang
literat dalam Lima komponen yang esensial dari
literasi informasi yaitu basic literacy, library media
literacy, technology literacy, dan visual literacy.
Dengan landasan filosofis tersebut Gerakan Literasi
di Indonesia diharapkan mampu menguasi lima
komponen literasi dimaksud..
b. Landasan Hukum
1) Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 31, Ayat 3:
“Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
diatur dengan undang-undang.”
2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43
Tahun 2007 tentang Perpustakaan.
25
4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24
tahun 2009 tentang Bendera,Bahasa, dan Lambang
Negara serta Lagu Kebangsaan.
5) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32
Tahun 2013 tentangPerubahan Kedua atas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
19tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.
6) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2014
tentang Pelaksanaan UUNomor 43 Tahun 2007
tentang Perpustakaan.
7) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun
2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam
Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan
Bahasa Daerah.
8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24
tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana
untuk Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah(SD/MI),
Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs), dan
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
(SMA/MA).
9) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor23 Tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti.
10) Rencana Strategis Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan 2015-2019.
2.2.3. Tujuan Gerakan Literasi Sekolah.
a. Tujuan Umum
26
Menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik
melalui pengembangan budaya membaca yang
diwujudkan dalam Gerakan Literasi Sekolah agar
mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat.
b. Tujuan Khusus
a.Menumbuhkembangkan budaya literasi di sekolah.
b.Meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan
sekolah agar literat.
c.Menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang
menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah
mampu mengelola pengetahuan.
d. Menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan
menghadirkan beragam bukubacaan dan mewadahi
berbagai strategi membaca.
2.2.4. Sasaran GLS
Sasaran gerakan literasi sekolah adalah ekosistem
sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Yang dimaksud dengan Ekosisten sekolah
disini adalah komunitas sekolah dan lingkungan
Sekolah dimana proses belajar mengajar dilaksanakan
serta lingkungan fisik dan social lain yang masih
terkait dengan proses KBM tersebut
2.2.5. Prinsip-prinsip Literasi Sekolah
Menurut Beers (2009), praktik-praktik yang baik
dalam gerakan literasi sekolah menekankan prinsip-
prinsip sebagai berikut.
27
a. Perkembangan literasi berjalan sesuai tahap
perkembanganyang dapat diprediksi.
Tahap perkembangan anak dalam belajar membaca
dan menulis saling beririsan antartahap
perkembangan. Memahami tahap perkembanganli
terasi peserta didik dapat membantu sekolah untuk
memilih strategi pembiasaan dan pembelajaran
literasi yang tepat sesuai kebutuhan perkembangan
mereka.
b. Program literasi yang baik bersifat berimbang
Sekolah yang menerapkan program literasi berimbang
menyadari bahwatiap peserta didik memiliki
kebutuhan yang berbeda. Oleh karena itu,strategi
membaca dan jenis teks yang dibaca perlu
divariasikan dan disesuaikan dengan jenjang
pendidikan. Program literasi yang bermakna dapat
dilakukan dengan memanfaatkan bahan bacaan kaya
ragam teks,seperti karya sastra untuk anak dan
remaja.
c. Program literasi terintegrasi dengan kurikulum
Pembiasaan dan pembelajaran literasi di sekolah
adalah tanggung jawab semua guru di semua mata
pelajaran sebab pembelajaran mata pelajaran apapun
membutuhkan bahasa, terutama membaca dan
menulis. Dengan demikian, pengembangan profesional
28
guru dalam hal literasi perlu diberikan kepada guru
semua mata pelajaran.
d. Kegiatan membaca dan menulis dilakukan
kapanpun
Misalnya, „menulis surat kepada presiden‟ atau
„membaca untuk ibu‟ merupakan contoh-contoh
kegiatan literasi yang bermakna.
e. Kegiatan literasi mengembangkan budaya lisan
Kelas berbasis literasi yang kuat diharapkan
memunculkan berbagai kegiatan lisan berupa diskusi
tentang buku selama pembelajaran di kelas. Kegiatan
diskusi ini juga perlu membuka kemungkinan untuk
perbedaan pendapat agar kemampuan berpikir kritis
dapat diasah. Peserta didik perlu belajar untuk
menyampaikan perasaan dan pendapatnya, saling
mendengarkan, dan menghormati perbedaan
pandangan.
f. Kegiatan literasi perlu mengembangkan kesadaran
terhadapkeberagaman
Warga sekolah perlu menghargai perbedaan melalui
kegiatan literasi disekolah. Bahan bacaan untuk
peserta didik perlu merefleksikan kekayaan budaya
Indonesia agar mereka memahami pengalaman
multikultural bangsa Indonesia..
2.2.6. Tahapan Gerakan Literasi Sekolah
29
a. Tahap ke-1: Pembiasaan kegiatan membaca yang
menyenangkan di ekosistem sekolah
Pembiasaan ini bertujuan untuk menumbuhkan minat
terhadap bacaan dan terhadap kegiatan membaca
dalam diri warga sekolah.Penumbuhan minat baca
merupakan hal fundamental bagi pengembangan
kemampuan literasi peserta didik.
b. Tahap ke-2: Pengembangan minat baca untuk
meningkatkan Kemampuan literasi
Kegiatan literasi pada tahap ini bertujuan
mengembangkan kemampuan memahami bacaan dan
mengaitkannya dengan pengalaman pribadi,berpikir
kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi secara
kreatif melalui kegiatan menanggapi bacaan
pengayaan (Anderson & Krathwol, 2001).
c. Tahap ke-3: Pelaksanaan pembelajaran berbasis
literasi
Kegiatan literasi pada tahap pembelajaran bertujuan
mengembangkan kemampuan memahami teks dan
mengaitkannya dengan pengalaman pribadi, berpikir
kritis, dan mengolah kemampuan komunikasi
secarakreatif melalui kegiatan menanggapi teks buku
bacaan pengayaan danbuku pelajaran (cf. Anderson &
Krathwol, 2001). Dalam tahap ini ada tagihan yang
sifatnya akademis (terkait dengan mata pelajaran).
Kegiatan membaca pada tahap ini untuk mendukung
30
pelaksanaan Kurikulum 2013 yang mensyaratkan
peserta didik membaca buku nonteks pelajaran yang
dapat berupa buku tentang pengetahuan umum,
kegemaran, minat khusus,atau teks multimodal, dan
juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran tertentu
sebanyak 6 buku bagi siswa SD, 12 buku bagi siswa
SMP, dan 18buku bagi siswa SMA/SMK. Buku
laporan kegiatan membaca pada tahap pembelajaran
ini disediakan oleh wali kelas.
2.2.7. Strategi Membangun Budaya Literasi Sekolah
Agar sekolah mampu menjadi garis depan dalam
pengembangan budaya literasi, Beers, (2009, 27)
menyampaikan beberapa strategi untuk menciptakan
budaya literasi yang positif di sekolah.
a. Mengkondisikan lingkungan fisik ramah literasi
Lingkungan fisik adalah hal pertama yang dilihat dan
dirasakan warga sekolah. Oleh karena itu, lingkungan
fisik perlu terlihat ramah dan kondusif untuk
pembelajaran. Sekolah yang mendukung
pengembangan budaya literasi sebaiknya memajang
karya peserta didik dipajang di seluruh area sekolah,
termasuk koridor, kantor kepala sekolah dan guru.
Selain itu, karya-karya peserta didik diganti secara
rutin untuk memberikan kesempatan kepada semua
peserta didik. Selain itu, peserta didik dapat
mengakses buku dan bahan bacaan lain di Sudut
31
Baca di semua kelas, kantor, dan area lain di sekolah.
Ruang pimpinan dengan pajangan karya peserta didik
akan memberikan kesan positif tentang komitmen
sekolah terhadap pengembangan budaya literasi.
b.Mengupayakan lingkungan sosial dan afektif
sebagai model komunikasi dan interaksi yang
literat
Lingkungan sosial dan afektif dibangun melalui model
komunikasi dan interaksi seluruh komponen sekolah.
Hal itu dapat dikembangkan dengan pengakuan atas
capaian peserta didik sepanjang tahun. Pemberian
penghargaan dapat dilakukan saat upacara bendera
setiap minggu untuk menghargai kemajuan peserta
didik di semua aspek. Prestasi yang dihargai bukan
hanya akademik, tetapi juga sikap dan upaya peserta
didik. Dengan demikian, setiap peserta didik
mempunyai kesempatan untuk memperoleh
penghargaan sekolah. Selain itu, literasi diharapkan
dapat mewarnai semua perayaan penting di
sepanjang tahun pelajaran. Ini bisa direalisasikan
dalam bentuk festival buku, lomba poster,
mendongeng, karnaval tokoh buku cerita, dan
sebagainya. Pimpinan sekolah selayaknya berperan
aktif dalam menggerakkan literasi, antara lain dengan
membangun budaya kolaboratif antar guru dan
tenaga kependidikan. Dengan demikian, setiap orang
dapat terlibat sesuai kepakaran masing-masing.
32
Peran orang tua sebagai relawan gerakan literasi akan
semakin memperkuat komitmen sekolah dalam
pengembangan budaya literasi.
c.Mengupayakan sekolah sebagai lingkungan
akademik yang literat
Lingkungan fisik, sosial, dan afektif berkaitan erat
dengan lingkungan akademik. Ini dapat dilihat dari
perencanaan dan pelaksanaan gerakan literasi di
sekolah. Sekolah sebaiknya memberikan alokasi
waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran
literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan
membaca dalam hati dan guru membacakan buku
dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran
berlangsung. Untuk menunjang kemampuan guru
dan staf, mereka perlu diberikan kesempatan untuk
mengikuti program pelatihan tenaga kependidikan
untuk peningkatan pemahaman tentang program
literasi, pelaksanaan, dan keterlaksanaannya.
2.3. Evaluasi Program
2.3.1.Konsep Program
Program adalah suatu rangkaian kegiatan
sebagai bentuk implementasi dari suatu kebijakan.
Menurut pengertian secara umum, program diartikan
sebagai “rencana” yang akan dilakukan/dikerjakan
oleh seseorang atau suatu organisasi dalam rangka
mencapaitujuan. Namun apabila program tersebut
33
dikaitkan dengan evaluasi program, maka program
didefinisikan sebagai suatu unit atau kesatuan
kegiatan yang merupakan realisasi atau implementasi
dari suatu kebijakan, berlangsung dalam proses yang
berkesinambungan, dan terjadi dalam suatu
organisasi yang melibatkan sekelompok orang
(Suharsimi dan Cepi Safruddin, 2009).
Dalam pengertian ini, definisi program mencakup
tiga persyaratan, yaitu: (1)program merupakan
realisasi atau implementasi dari suatu kebijakan; (2)
berlangsung dalam waktu yang relatif lama, bukan
kegiatan tunggal tetapi kegiatan jamak yang
berkesinambungan; dan (3) terjadi dalam suatu
organisasi yang melibatkan sekelompok orang.
Pada prakteknya, terdapat juga program yang
berlangsung hanya dalam waktu singkat, misalnya
program Peringatan Hari Besar Nasional oleh OSIS
disuatu sekolah atau oleh Unit Kegiatan
Mahasiswa.Kegiatan-kegiatan dalam program ini dapat
klasifikasikan sebagai program karena mengandung
beberapa komponen kegiatan, seperti misalnya:
kegiatan peringatan HUT Proklamasi, Hardiknas,
Harkitnas dsb. Selainitu, program tersebut juga
memuat kegiatan-kegiatan yang berangkai,
seperti:penggalangan dana, pembentukan kepanitiaan,
perizinan, sampai pelaksanaannya.
34
Selain mengandung tiga persyaratan tersebut,
ada pula program-program tertentuyang
menunjukkan ciri khusus, yaitu kegiatan jamak yang
berangkai. Misal, program pembelajaran adalah
kegiatan jamak yang berangkai, karena mengandung
kegiatan-kegiatan sebagai berikut: penyusunan
kurikulum, penyusunan perangkat pembelajaran
seperti silabus dan RPP, pelaksanaan kegiatan
pembelajaran, dan evaluasinya.
2.3.2. Evaluasi Program.
Menurut Arikunto (2010) evaluasi program
adalah suatu rangkaian kegiatan yang dilakukan
dengan sengaja untuk melihat tingkat keberhasilan
program. Sejalan dengan pendapat diatas, Sufflebeam
&Shinkield (2007) berpendapat bahwa evaluasi adalah
pengumpulan dan analisis informasi yang berkualitas
bagi pengambil keputusan. Dari dua pendapat
tersebut, Arikunto menekankan bahwa evaluasi
program merupakan kegiatan tanpa mendefinisikan
lebih rinci kegiatan apa saja yang dapat melihat
tingkat keberhasilan suatu program. Sedangkan
Sufflebeam & Shinkield memberikan penjelasan yang
lebih rinci bahwa kegiatan yang dilakukan untuk
mengevaluasi program terdiri dari pengumpulan dan
analisis informasi yang berkualitas. Dalam hal tujuan
program, Arikunto lebih menekankan bahwa tujuan
evaluasi program adalah untuk melihat keberhasilan
35
program sedangkan Sufflebeam & Shinkield lebih
kepada memberikan kontribusi dalam pengambilan
keputusan organisasi.
Berdasarkan konteksnya faktor-faktor penentu
keberhasilan evaluasi program dipengaruhi oleh
kualitas input (program, aktor, satpras,dll), kualitas
proses (mengumpulkan dan menganalisis informasi
secara berkualitas) serta kualitas output berupa
realisasi program dan pengambilan keputusan.
Namun demikian banyak faktor yang bisa
menghambat pelaksanaan evaluasi program seperti
faktor subyektifitas dan minimnya pengetahuan
evaluator tentang evaluasi. Untuk menjadi evaluator
diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang
memadai sehingga tujuan evaluasi program dapat
tercapai.
Dari uraian diatas dapat kita pahami bahwa
evaluasi dilakukan oleh para ahli professional/ pakar
dengan kegiatan mengumpulkan, menganalisis dan
memproses suatu informasi secara berkualitas untuk
melihat keberhasilan terhadap suatu program dan
kendala-kendala yang dihadapi sehingga organisasi
dapat mengambil sebuah keputusan tentang tindak
lanjut dari program tersebut.
Menurut Arikunto (2012) terdapat poin penting
dalam evaluasi program yakni pembahasan rangkaian
kegiatan untuk melihat ketercapaian program melalui
36
evaluasi dan tindak lanjut keputusan terhadap
program tersebut. Berdasarkan pendapat tersebut
dapat dipahami, bahwa hasil akhir dari evaluasi
program adalah pemberian keputusan tindak lanjut
terhadap suatu program.
Arikunto lebih lanjut menegaskan, bahwa
terdapat empat macam kebijakan tindak lanjutan
yang dapat diambil setelah dilakukannya sebuah
evaluasi terdahap suatu program sebagai berikut:
1. Kegiatan tersebut dilanjutkan, karena program
tersebut sangat bermanfaat.
2. Kegiatan tersebut tetap dilanjutkan tetapi dengan
penyempurnaan, karena pelaksnaanya kurang
lancar.
3. Kegiatan tersebut dimodifikasi ulang, karena
diketahui kemanfaatannya masih kurang tinggi.
4. Kegiatan tersebut tidak dapat dilanjutkan, karena
dari data yang terkumpul bahwa hasilnya kurang
bermafaat (Arikunto, 2012).
Sejalan dengan pendapat diatas, menurut
Sukardi (2008) evaluasi merupakan proses yang
menentukan kondisi dimana suatu tujuan telah dapat
tercapai. Proses penetuan kondisi ini, dipahami
sebagai pengumpulan informasi guna membuat
alternatif-alternatif keputusan.
Sebagai referensi dalam penelitian ini, kiranya
perlu dikemukakan pula evaluasi program di bidang
37
pendidikan sebagaimana dijelaskan oleh Tyler, bahwa
Evaluasi program bidang pendidikan menurut Tyler
(1950) dalam Arikunto dan Cepi Safruddin A,Jabar,
(2009,5), evaluasi program adalah proses untuk
mengetahui apakah tujuan pendidikan terealisasikan.
Dalam ilmu evaluasi program pendidikan,
dikenal banyak model yang digunakan untuk
menevaluasi keterlaksanaan program. Meskipun
antara satu model dengan model yang lain berbeda
tetapi maksudnya sama yaitu melakukan kegiatan
pengumpulan data atau informasi yang berkenaan
dengan obyek yang dievaluasi, yang tujuannya
menyediakan bahan bagi pengambil keputusan dalam
menentukan tindaklanjut suatu program. Steppen
Isaac (1986 dalam Arikunto, 2004) membedakan
adanya 4 (empat) hal (orientasi) yang digunakan untuk
membedakan ragam model evaluasi, yaitu:
1) Berorientasi pada tujuan (goal oriented)
2) Berorientasi pada keputusan (decision oriented)
3) Berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang
menanganinya (transactional oriented), dan
4)Berorieentasi pada pengaruh dan dampak (research
oriented).
2.3.3.Model-model Evaluasi Program
Selain empat model evaluasi yang dibedakan
menurut orientasinya, para pakar yang dikenal
38
sebagai penemu evaluasi telah membedakan model
evaluasi menjadi 8 (delapan) model, yaitu:
1) Goal oriented model,(dikembangkan oleh Tyler)
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Tyler ini
merupakan model yang muncul paling awal.Yang
menjadi obyek pada model ini adalah tujuan dari
program yang sudah ditetapkan/direncanakan
sebelumnya. Evaluasi dilakukan secara
berkelanjutan dan terus-menerus guna meneliti
sejauhmana tujuan tersebut sudah tercapai dalam
pelaksanaan program.
Secara umum model evaluasi ini memberikan
penekanan terhadap produktivitas dan akuntabilitas
dalam pelaksanaan program.Model ini juga sering
digunakan untuk mengukur pencapaian tujuan dan
kemajuan program.
Lebih lanjut Tyler (1951 dalam Azizi, 2008)
menjelaskan langkah pertama evaluasi adalah
mengenali tujuan program, setelah tujuan program
diketahui, perlu diketahui indicator-indikator
pencapaian tujuan dan alat pengukuran secara
pasti. Selanjutnya hasil kajian akan dibandingkan
dengan tujuan program dan dibuat penelaian level
pencapaian yang diperoleh. Apabila tujuan program
tidak tercapai sepenuhnya ini membawa implikasi
bahwa pelaksanaan program lemah atau bahwa
tujuan yang dipilih tidak tepat atau tidak sesuai.
39
2) Goal Free Evaluation (dikembangkan oleh Michael
Scriven)
Goal Free Evaluation atau seringkali diterjemahkan
menjadi Evaluasi Bebas Tujuan ini dapat dikatakan
bertolak belakang dengan model evaluasi Goal
Oriented yang dikembangkan oleh Tyler. Jika dalam
model yang dikembangkan oleh Tyler, evaluator
terus-menerus memamtau tujuan dan melihat
sejauh mana tujuan tersebut sudah tercapai, maka
dalam model Goal Free Evaluation (evaluasi Bebas
Tujuan) evaluator justeru kurang memperhatikan
tujuan.
Menurut Scriven dalam melaksanakan evaluasi
program, evaluator tidak perlu memperhatikan apa
yang menjadi tujuan-tujuan khusus program. Yang
perlu diperhatikan dalam program tersebut adalah
bagaimana kerjanya program, dengan jalan
mengidentifikasi penampilan-penampilan yang
terjadi, baik hal-hal yang positif (yang diharapkan)
maupun hal-hal negative (yang tidak diharapkan).
Alasan mengapa tujuan program tidak perlu
diperhatikan karena ada kemungkinan evaluator
terlalu rinci mengamati tiap-tiap tujuan khusus,
jika masing-masing tujuan khusus tercapai, artinya
terpenuhi dalam penampilan, tetapi evaluator lupa
memperhatikan sejauhmana masing-masing
penampilan tersebut mendukung penampilan akhir
40
yang diharapkan oleh tujuan umum, maka
akibatnya jumlah penampilan khusus tersebut tidak
banyak manfaatnya.
Dari uraian di atas kiranya dapat dipahami bahwa
yang dimaksud dengan evaluasi Bebas Tujuan
dalam model ini bukannya lepas sama sekali dari
tujuan, melainkan hanya lepas dari tujuan khusus.
Model ini hanya mempertimbangkan tujuan umum
yang akan dicapai oleh program, bukan secara rinci
perkomponen.
3) Formatif Summatif Evaluation (dikembangkan
oleh Michael Scriven)
Model evaluasi yang dikembangkan oleh Scriven ini
sesuai dengan namanya menunjukkan adanya
tahapan dan lingkup obyek yang dievaluasi. Dalam
model evaluasi ini, evaluasi dilaksanakan pada
waktu program sedang berjalan (disebut evaluasi
formatif) dan ketika program sudah selesai atau
berakhir (disebut evaluasi Sumatif). Dengan kata
lain evaluasi ini menunjuk tentang “Apa, Kapan,
dan Tujuan “ evaluasi tersebut dilaksanakan.
Evaluasi Formatif secara prinsip merupakan
evaluasi yang dilaksanakan ketika program masih
berlangsung atau ketika program berada di tahap
awal kegiatan.Tujuan evaluasi Formatif tersebut
adalah untuk mengetahui sejauhmana program
yang dirancang dapat berlangsung, sekaligus
41
mengidentifikasi hambatan.Dengan mengetahui
hambatan dan hal-hal yang menyebabkan program
tidak lancar, pengambil keputusan dapat
mengadakan perbaikan-perbaikan secara dini.
Evaluasi Sumatif dilakukan setelah program
berakhir.Tujuan dari evaluasi Sumatif adalah untuk
mengukur ketercapaian program setelah program
berakhir.
4) Countenance Evaluation Model (dikembangkan
oleh Stake)
Model ini dikembangkan oleh Stake, yang kemudian
diulas lebih lanjut oleh Fernandes (1984, dalam
Arikunto, 2004), menekankan adanya pelaksanaan
dua hal pokok, yaitu Deskripsi (description), dan
Pertimbangan (Judgement), serta membedakan
adanya tiga tahap dalam evaluasi program, yaitu 1()
Anteseden (antecedents/context), (2) Transaksi
(Transaction/process) (3) Keluaran (output-
outcomes).
Analisis proses evaluasi yang dikemukakan Stake
(1967, dalam Tayibnapis, 2000) membawa dampak
yang cukup besar dalam bidang evaluasi dan
meletakkan dasar sederhana namun merupakan
konsep yang cukup kuat untuk perkembangan yang
lebih jauh dalam bidang evaluasi.
5) Responsive Evaluation Model (dikembangkan oleh
Stake)
42
Menurut Stake (1967, dalam Azizi, 2008)
menjelaskan bahwa model evaluasi ini berdasarkan
pada apa yang biasa individu lakukan untuk menilai
suatu perkara.Untuk melakukan evaluasi ini,
evaluator dipaksa untuk bekerja keras untuk
memastikan individu yang dipilih memahami apa
yang perlu dilakukan. Evaluator juga perlu
memahami prosedur yang baku dan mencari serta
mengatur tim untuk meneliti pelaksanaan program
tersebut. Terdapat empat tahap dalam evaluasi
model ini, yaitu:
(1).Pada awal pelaksanaan evaluasi, evaluator dank
lien (stakeholder) membuat perundingan tentang
kontrak mengenai tujuan penilaian, validitas,
dan jaminan kerahasiaan. Stakeholder disini
adalah individu yang terlibat dalam evaluasi
tersebut dan memiliki hak untuk memberikan
ijin dan isu-isu yang berkaitan dengan proses
evaluasi.
(2).Mengenal pasti Perhatian (concern) isu, nilai-nilai
dari stakeholder.
(3).Tahap ketiga mengumpulkan informasi yang
memiliki hubungan dengan tujuan, isu, nilai
yang dikenal pasti oleh stakeholder. Evaluator
juga dapat mendasarkan data dan informasi
secara deskriftif tentang perkara yang dievaluasi
43
dan standar yang dipergunakan untuk membuat
pertimbangan.
(4).Penyediaan laporan evaluasi yang berisis bahan
pengambilan keputusan atau alternatif kebijakan.
6).CSE-UCLA Evaluation Model (dikembangkan oleh
Alkin)
CSE-UCLA terdiri dari dua singkatan, yaitu CSE dan
UCLA.Yang pertama CSE merupakan singkatan dari
Center for the Study of Evolution, sedangkan UCLA
merupakan singkatan dari Unversity of California in
Los Angeles.
Ciri dari model CSE-UCLA adalah adanya lima tahap
yang dilakukan dalam evaluasi, yaitu perencanaan,
pengembangan, implementasi, hasil dan dampak.
Sementara itu Fernandes (1984, dalam Arikunto
2004) memberikan penjelasan tentang model CSE-
UCLA menjadi empat tahap, yaitu (1) need
assessment, (2) program planning, (3) formative
evaluation, dan (4) summative evaluation.
Pada tahap Need Assessmen, evaluator memusatkan
perhatian pada penentuan masalah, dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan hal-hal apakah
yang perlu dipertimbangkan sehubungan dengan
keberadaan program, kebutuhan apakah yang
terpenuhi sehubungan dengan adanya pelaksanaan
program, serta tujuan jangka panjang apakah yang
dapat dicapai melalui program ini.
44
Pada Tahap Program planning, evaluator
mengumpulkan data yang terkait langsung dengan
pembelajaran dan mengarah pada pemenuhan
kebutuhan yang telah diidentifikasi pada tahap
pertama.
Pada Tahap Formative evaluation, evaluator
memusatkan perhatian pada keterlaksanaasn
program. Dengan demikian evaluator diharapkan
benar-benar terlibat dalam pelaksanaan program
karena harus menghimpun data dan informasi dari
pengembang program.
Tahap berikutnya adalah tahap Summative
Evaluation, dimana pada tahap ini evaluator
diharapkan dapat mengumpulkan semua data
tentang hasil dan dampak dari program. Melalui
evaluasi sumatif ini, diharapkan dapat diketahui
apakah tujuan yang dirumuskan untuk program
sudah tercapai, dan kalau belum dicari bagian mana
yang belum dan apa penyebabnya.
7) CIPP Evaluation Model.
CIPP merupakan singkatan dari huruf awal empat
buah kata, yaitu Context, Input, Process, dan
Product. Keempat kata yang disebut dalam singkatan
CIPP tersebut merupakan sasaran evaluasi, yang
tidak lain meliputi evaluasi Context, evaluasi Input,
evaluasi Process dan evaluasi Product, dimana
45
sebuah program yang dievaluasi dipandang sebagai
sebuah system.
(a) Evaluasi Konteks (Contevt) disini diartikan
sebagai suatu situasi atau latar belakang yang
mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan strategi
yang akan dikembangkan dalam program yang
bersangkutan, seperti kebijakan organisasi,
sasaran yang ingin dicapai, masalah SDM yang
dihadapi, dan lain sebagainya.
(b) Evaluasi Masukan (Input) adalah evaluasi
tentang apa yang menjadi masukan dari program.
Model evaluasi Input ini meliputi kegiatan
pendeskripsian masukan dan sumber daya
program, perkiraan untung rugi, dan melihat
alternative prosedur dan strategi yang perlu
disarankan dan dipertimbangkan. Singkatnya
evaluasi Input digunakan untuk menentukan
bagaimana cara agar penggunaan sumber akan
selesai.tentang apakah perlu mencari bantuan
dari pihak lain atau tidak.
(c) Evaluasi Proses (Process), dalam model CIPP
diarahkan pada seberapa jauh kegiatan yang
dilaksanakan sudah terlaksana sesuai dengan
rencana. Evaluasi yang dilakukan dalam model
CIPP menunjuk pada “apa”(what) kegiatan yang
dilakukan dalam program, “siapa” (who) orang
46
yang ditunjuk sebagai penanggungjawab program,
“kapan” (when) kegiatan.
(d)Evaluasi Produk (product), Evaluasi produk
diarahkan pada hal-hal yang menunjukkan
perubahan yang terjadi pada masukan mentah
kepada hasil akhir.
8) Discrepancy Model Evaluation (dikembangkan oleh
Malcom Provus)
Provus (1971, dalam Azizi, 2008) mendefinisikan
evaluasi discrepancy sebagai alat untuk membuat
pertimbangan (judgement) atas kekurangan dan
kelebihan suatu obyek berdasarkan perbandingan
antara standard an kinerja. Model ini juga dianggap
menggunakan pendekatan formatif dan berorientasi
pada analisis sistem. Dengan model ini, proses
evaluasi dilakukan dengan cara membandingkan
capaian program dengan standar. Sementara pada
waktu yang sama mengidentifikasi standar baru
untuk dipakai sebagai perbandingan di masa
berikutnya. Masih menurut Provus, evaluasi model
Deskripancy memilki lima tahap evaluasi, yaitu
tahap Definition stage, tahap Instalation stage, tahap
Process stage, tahap Producs stage, dan tahap cost-
benefit.
Pada tahap Definition stage, pelaksana program
mendifinisikan gambaran tujuan, proses, atau
aktivitas dan kemudian menggambarkan sumber
47
daya yang diperlukan, serta harapan dan standar
yang digunakan.
Pada tahap Instalation stageini, desain program
menjadi standar baku untuk diperbandingkan
dengan penilaian operasi awal program. Tujuannya
adalah untuk menentukan apakah program telah
diterapkan sebagaimana desainnya.
Selanjutnya pada tahap Process stage, evaluasi
ditandai dengan pengumpulan data untuk menjaga
keterlaksanaan program.Tujuannya adalah untuk
memperhatikan kemajuan program kemudian
menemukan dampak awal, pengaruh atau efek
pelaksanaan program.
Dalam Tahap Product stage, pengumpulan data dan
analisa yang membantu kea rah penentuan tingkat
capaian sasaran dari outcomes.
Tahap terkhir dari evaluasi Discrepancy adalah
tahap cost-benefit, pada tahap inimerupakan tahap
untuk membandingkan hasil atau keuntungan yang
dicapai dengan ongkos atau biaya yang dikeluarkan.
Dari beberapa pendapat diatas dapat dipahami
bahwa evaluasi program merupakan serangkaian
kegiatan yang dilakukan untuk mengumpulkan
informasi mengenai program guna mengambil suatu
keputusan keberlangsungan suatu program. Dari
pendapat para pakar di atas, secara garis besar model
evaluasi dapat dibedakan berdasarkan orientasi dari
48
kegiatan evaluasi itu sendiri, yaitu evaluasi yang
berorientasi pada tujuan (goal oriented), evaluasi yang
berorientasi pada keputusan (decision oriented),
Berorientasi pada kegiatan dan orang-orang yang
menanganinya (transactional oriented) dan evaluasi pada
pengaruh atau dampak program (research oriented).
Sesuai dengan tujuan dari penelitia ini yakni
untuk melakukan evaluasi pelaksanaan program,
mengevaluasi pengaruh dan dampak program gerakan
literasi sekolah, maka jenis model evaluasi yang paling
tepat digunakan adalah model Evaluasi Bebas Tujuan
(Goal Free Evaluation) yang digagas oleh Scriven.
2.3.3. Model Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free
Evaluation)
Model evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free
Evaluation Model) dikemukakan oleh Michael Scriven
(1973). Evaluasi ini merupakan evaluasi mengenai
pengaruh yang sesungguhnya, dan objektif yang ingin
dicapai oleh program.Ia mengemukakan bahwa evaluasi
seharusnya tidak mengetahui tujuan program sebelum
melakukan evaluasi. Evaluator melakukan evaluasi
untuk mengetahui pengaruh yang sesungguhnya dari
operasi program.Pengaruh program yang sesungguhnya
mungkin berbeda atau lebih banyak atau lebih luas dari
tujuan yang dinyatakan dalam program. Seorang
evaluator yang mengetahui tujuan program sebelum
melakukan evaluasi terkooptasi oleh tujuan dan akan
49
tidak memerhatikan pengaruh program di luar tujuan
tersebut.
Dalam proses yang sedang berlangsung,
pelaksanaan suatu program dapat mempunyai tiga jenis
pengaruh baik positif maupun negative. Pengaruh
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Pengaruh sampingan yang negatif. Yaitu pengaruh
sampingan yang tidak dikehendaki oleh program.Ini
seperti jika orang meminum obat yang sering
mempunyai efek sampingan yang tidak dikehendaki.
Misalnya, program-program untuk orang miskin di
samping membantu kehidupan orang miskin juga
dapat membuat malas penerima layanan program
menjadi malas bekerja
b. Pengaruh positif yang ditetapkan oleh tujuan program
c. Pengaruh sampingan positif. Yaitu pengaruh positif
program di luar pengaruh positif yang ditentukan
boleh tujuan program.
Jika evaluator akan melaksanakan Goal Free
Evaluation Model perlu didefinisikan ketiga pengaruh
tersebut. Hal ini perlu dilakukan karena evaluasi
dilakukan dengan tujuan yang definitif tidak terbuka
atau open ended sehingga melebar dan tidak
terkontrol. Ini harus dilakukan juga dalam kaitan
beban kerja evaluator dan untuk menghitung
perkiraan sumber-sumber (biaya, waktu, alat) yang
diperlukan untuk melakukan evaluasi.
50
Proses evaluasi dengan mepergunakan Model Evaluasi
Bebas Tujuan adalah:
a) Evaluator mempelajari cetak biru program
b) Mengidentifikasi tujuan evaluasi
c) Pengaruh sampingan program yang negatif yang
tidak diharapkan
d) Pengaruh sampingan positif di luar tujuan
program
e) Pengaruh positif program yang diharapkan oleh
tujuan program.
f) Mengembangkan desain dan instrumen evaluasi
g) Memastikan pelaksanaan telah mencapai
tujuannya
e) Menjaring dan menganalisi data
f) Menyusun laporan hasil evaluasi
g) Pemanfaatan hasil evaluasi
2.3.4. Fungsi Goal Free Evaluation
Scriven dalam Model Evaluasi Bebas Tujuan
(1972) menunjukkan bahwa fokus pada program atau
tujuan kegiatan ini dapat menjadi tempat awal yang
penting untuk teknolog bekerja dalam domain evaluasi
Scriven (1972) percaya bahwa "tujuan program
tertentu/khusus tidak harus diambil sebagai yang
diberikan", tapi diperiksa dan dievaluasi juga (Guskey,
2000).
Model Goal -Free berfokus pada hasil yang
sebenarnya dari suatu program atau kegiatan, bukan
51
hanya tujuan-tujuan yang teridentifikasi. Jenis model
memungkinkan teknolog untuk mengidentifikasi dan
mencatat hasil yang tidak termasuktujuan yang
diidentifikasikan oleh perancang program ( Guskey,
2000). Melalui prosesteknik baik terang-terangan dan
terselubung, metode ini berusaha untuk
mengumpulkan data dalam rangka untuk membentuk
deskripsi program, mengidentifikasi proses akurat,
dan menentukan pentingnya mereka ke program (
Boulmetis & Dutwin , 2005 ). Sementara model ini
berfokus pada hasil tanpa tujuan, model lain berfokus
pada proses pengambilan keputusan dan
menyediakan administrator kunci dengan analisis
mendalam untuk membuat keputusan yang adil dan
tidak bias.
Fungsi evaluasi bebas tujuan adalah untuk
mengurangi bias dan menambah objektifitas. Dalam
evaluasi yang berorientasi pada tujuan, seorang
evaluator secara subjektif persepsinya akan
membatasi sesuai dengan tujuan. Padahal tujuan
pada umumnya hanya formalitas dan jarang
menunjukkan tujuan yang sebenarnya dari suatu
proyek.Lagipula, banyak hasil program penting yang
tidak sesuai dengan tujuan program. Evaluasi bebas
tujuan berfokus pada hasil yang sebenarnya bukan
pada hasil yang direncanakan. Dalam evaluasibebas
tujuan ini, memungkinkan evaluator untuk
52
menambah temuan hasil atau dampak yang tidak
direncanakan.
2.3.5. Kekurangan dan Kelebihan Goal Free Evaluation
Model evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free
Evaluation) ini mempunyai kekurangan dan
kelebihannya. Kelebihan dari model bebas tujuan di
antaranya adalah:
a. Evaluator tidak perlu memperhatikan secara rinci
setiap komponen, tetapi hanya menekankan pada
bagaimana mengurangi prasangka (bias).
b. Model ini menganggap pengguna sebagai audiens
utama. Melalui model ini, Scriven ingin evaluator
mengukur kesan yang didapat dari sesuatu program
dibandingkan dengan kebutuhan pengguna dan
tidak membandingkannya dengan pihak perencana..
c. Pengaruh konsep pada masyarakat, bahwa tanpa
mengetahui tujuan dari kegiatan yang telah
dilakukan, seorang penilai bisa melakukan evaluasi.
d. Kelebihan lain, dengan munculnya model bebas
tujuan yang diajukan oleh scrieven, adalah
mendorong pertimbangan setiap kemungkinan
pengaruh tidak saja yang direncanakan, tetapi juga
dapat diperhatikan sampingan lain yang muncul
dari produk.
Walaupun demikian, yang diajukan scrieven
ternyata juga memiliki kelemahan seperti berikut:
53
1).Model bebas tujuan ini pada umumnya bebas
menjawab pertanyaan penting, seperti apa
pengaruh yang telah diperhitungkan dalam suatu
proses yang sedang berlangsung dan bagimana
mengidentifikasi pengaruh tersebut.
2).Walaupun ide scrieven bebas tujuan bagus untuk
membantu kegiatan yang paralel dengan evaluasi
atas dasar kejujuran, pada tingkatan praktis
scrieven tidak terlalu berhasil dalam
menggambarkan bagaimana evaluasi sebaiknya
benar-benar dilaksanakan.
3).Tidak memberikan rekomendasi bagaimana
menghasilkan penilaian kebutuhan walau pada
akhirnya mengarah pada penilaian kebutuhan.
4).Diperlukan evaluator yang benar-benar kompeten
untuk dapat melaksanakan evaluasi model ini.
5).Langkah-langkah sistematis yang harus
dilakukan dalam evaluasi hanya menekankan
pada obyek sasaran saja.
Dari uraian diatas, kiranya dapat disimpulkan
bahwa Model Bebas Tujuan merupakan sebuah model
evaluasi program, dimana objek yang dievaluasi tidak
perlu terkait dengan tujuan,tetapi langsung kepada
implikasi keberadaan program apakah bermanfaat
atau tidak objek tersebut atas dasar penilaian
kebutuhan yang ada.
54
Dengan Evaluasi Bebas Tujuan akan dapat
diketahui pula apakah dalam implementasi sebuah
program terdapat pengaruh-pengaruh sampingan
(baik pengaruh sampingan positif maupun negatif)
serta dampak dari implementasi program tersebut.
2.4. Penelitian Yang Relevan
Guna melengkapi referensi dalam penelitian ini,
kira perlu disampaikan penelitian-penelitian terdahulu
yang relevan terkait dengan Gerakan Literasi Sekolah,
yaitu penelitian Ranti Wulandari (2017), berjudul
Implementasi Gerakan Literasi Sekolah di SDIT
Lukman Al Hakim.Ranti Wulandari melakukan
penelitian dengan sasaran pelaksanaan GLS pada
jenjang sekolah dasar.Hasil penelitiannya
menyebutkan bahwa Implementasi Gerakan Literasi di
sekolah tersebut berpengaruh signifikan pada
peningkatan minat baca peserta didik.
Penelitian Lea Sakti Mitasari (2015), yang
berjudul Peran Kegiatan Literasi Sekolah Dalam
Meningkatkan Minat Membaca dan Menulis Siswa
Kelas Atas di SDN Glumpang, tahun 2015. Dari
peneltian yang dilakukan oleh Lea Sakti Mitasari ini
didapatkan kesimpulan yang sama, bahwa kegiatan
Literasi Sekolah memang terbukti sangat berpengaruh
dalam meningkatkan minat membaca dan menulis
siswa kelas atas di SDN Glumpang.
55
Kedua penelitian di atas lebih fokus pada
pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah pada siswa
sekolah dasar. Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah
dasar, sesuai dengan kebijakan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, diarahkan sesuai dengan
tahap perkembangan anak dalam belajar membaca
dan menulis yang salingberirisan antartahap
perkembangansiswa pada jenjang Sekolah Dasar.
Selain jenjang Sekolah Dasar, Gerakan Literasi
sekolah juga dilaksanakan serentak bagi jenjang
Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah
Atas.Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah pada
jenjang SMP pada umumnya sudah dilaksanakan
sejak tahun ajaran 2016.Namun berdasarkan
penelusuran belum banyak dilakukan penelitian
evaluasi terhadap program tersebut.Oleh karena
itulah, penelitian terhadap Program Gerakan Literasi
Sekolah di jenjang SMP ini cukup penting dilakukan..