bab ii landasan teori - uksw · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan...
TRANSCRIPT
17
BAB II
LANDASAN TEORI
Fokus bab ini adalah menjelaskan argumen atau tesis penulis bahwa pada
prinsipnya setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang sama khususnya
hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dimana
keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Untuk menjustifikasi argument tersebut
penulis akan menjelaskan empat teori hukum yang menurut penulis sebagai batu uji
permasalahan penelitian ini. Keempat teori tersebut adalah teori hirarki peraturan
perundang-undangan (stufenbau theory), teori pendelegasian kewenangan (delegated
legislation), teori hak konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional rights)
khususnya hak politik (political rights) dan teori hukuman ganda (double jeopardy).
Argumen tersebut dimulai dengan menjelaskan terlebih dahulu yaitu pertama,
teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory), teori pendelegasian
kewenangan (delegated legislation). Kedua, menjelaskan mengenai teori hak
konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional rights) dan spesifik
mengenai hak politik (political rights). Dan Ketiga, akan menjelaskan teori hukuman
ganda (double jeopardy).
18
A. TEORI HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Stufenbau Theory)
Pembentukan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and
abstract legal norms) berupa peraturan yang bersifat tertulis (statutory form), pada
umumnya didasarkan atas dua hal. Pertama, pemebentukannya diperintahkan oleh
undang-undang dasar; Kedua, Pembentukannya dianggap perlu karena kebutuhan
hukum1.
Dalam hal pembentukan norma hukum atau perundang-undangan, sejatinya
perlu memperhatikan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan pada
jenjang yang lebih tinggi, sebagaimana diatur dalam hierarki peraturan perundang-
undangan yang berlaku di indonesia.2 Konsep atau teori hierarki peraturan
perundang-undangan, merupakan prinsip hukum yang menghendaki bahwa norma
hukum dalam sebuah negara tersusun secara berjenjang dan dalam rantai validitas
yang membentuk piramida hukum (stufent-theori).
Secara historis, teori pertingkatan atau perjenjangan norma hukum dipelopori
oleh Adolf Merkl yang selanjutnya dianut oleh Hans Kelsen. Dalam teori ini Kelsen,
menggambarkan bahwa rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara, dimana
konstitusi tersebut adalah presuposisi terakhir, postulat final, dimana validitas semua
1 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (selanjutnya disebut Perihal Undang-Undang
1), Penerbit: Konstitusi, Jakarta 2006. 2 Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Penerbit: Genta Publishing,
Yogyakarta, 2016. h. 65.
19
norma dalam tata aturan hukum bergantung. Artinya, presuposisi inilah yang disebut
dengan istila trancendental logical presupposition.3
Selanjutnya, terkait dengan perjenjangan hukum dalam sebuah negara, Jimly
Asshiddiqie dalam karangan lainnya yang mengemukakan bahwa baik Adolf Merkl
maupun Hans kelsen sama-sama mengembangkan doktrin “hirerachy of norms”
(Stufenbau der Rechtsordenung) dengan menempatkan konstitusi (verfassungsrecht)
pada puncak hirarki norma hukum. Sehingga hukum tertinggi inilah yang
menentukan bentuk dan lingkup isi undang-undang biasa (einfaches gesetzesrecht,
statutory law.4 Sehingga hal tersebut sejalan dengan pandangan hans kelsen yang
dikutip Maria Farida Indrati yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-
jenjang dan berlapis lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) yang mengandung arti
bahwa, suatu norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi dengan demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar
(grundnorm).5 Sehingga pendapat Maria Farida Indrati diamini oleh Maruar Siahaan
dengan dalil bahwa, hukum tersusun dalam suatu pertingkatan. Artinya, peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya menjadi sumber perundang-
3 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit:
Konstitusi, h. 169, 172; dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Penerbit:
Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. H.65. 4 Ibid., h. 66.
5 Hans Kelsen, Op., Cit., h.113. yang Dikutip oleh Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-
undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan-Jilid 1), Penrbit: Kanisius, Yogyakarta, 2007, h.41.
20
undangan yang lebih rendah dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah
tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.6
Untuk mempertegas pemaknaan teori hierarki peraturan perundang-undangan
sebagai prinsip dasar pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan maka
Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, dalam bukunya tentang “perihal kaidah
hukum” yang menyatakan bahwa agar suatu peraturan perundang-undangan dapat
diberlakukan, peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan
kekuatan berlaku. Ada 3 (tiga) macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:
pertama, kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis;7kedua, kelakuan sosiologis
atau hal berlakunya secara sosilogi;8ketiga, kelakuan filosofis atau hal berlakunya
secara filosofis.9Sehingga Untuk menjaga kesatuan sistem tata hukum dalam Negara,
perlu dilakukan pengujian apakah suatu kaidah hukum tidak berlawanan dengan
6 Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan Negara Kita:
Masalah dan Tantangan, Jurnal Konstitusi Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, Volume 7
Nomor 4, Agustus 2010, h. 26. Dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah,
Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. h. 66. 7 Terkait syarat yuridis, ada tiga ahli yang berpendapat: “(1) Hans Kelsen menyatakan
bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang
lebih tinggi tingkatannya; (2)W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai
kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut, “…op de cereischte wrijze is tot stant gekomen”
(Terjemahannya: “…terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan.”); (3)J.H.A Logemann mengatakan
bahwa secara yuridis kaidah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu
kondisi dan akibatnya. 8 Hal terkait syarat sosiologis, ada dua teori yang menyatakan bahwa: “(1)Teori Kekuasaan
(“macht theorie”; “the power theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum
mepunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak
oleh warga-warga masyarakat; (2) Teori Pengakuan (“anerkennungs theorie”, “the regongnition
theory”) yang berpokok pada pendapat, bahwa kelakuan kaidah hukum didasarkan pada penerimaan
atau pegakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju. 9 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Penerbit PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 88. Terkait syarat filosofis yang intinya bahwa kaidah hukum tersebut
sesuai dengan cita-cita hukum (“rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (“uberpositieven
wert”), misalnya, pancasila, masyarakat adil dan makmur dan seterusnya.
21
kaidah hukum lain, dan terutama apakah suatu kaidah hukum tidak ingkar dari atau
bersifat menyisihkan kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya.10
Selanjutnya, berkenaan dengan dalil atau kaidah dalam tata susunan atau hirarki
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, maka Maria Farida Indrati menegaskan bahwa
dinamika suatu norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma
hukum yang vertical dan dinamika norma hukum yang horizontal.11
Dinamika
vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah atau adari bawah ke atas
yang artinya, suatu norma hukum berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
hukum yang di atasnya, dan seterusnya sampai pada norma hukum yang menjadi
dasar dari semua norma hukum yang di bawahnya. Demikian juga dengan dinamikan
dari atas ke bawah yang mengandung makna bahwa, norma dasar itu selalu menjadi
sumber dan menjadi dasar dari norma hukum dibawahnya, dan norma hukum di
bawahnya selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum yang ada
dibawahnya lagi. Adapun mengenai dinamika norma hukum horisontal adalah
dinamika yang bergeraknya tidak keatas atau ke bawah tetapi ke samping.
Pandangan Maria Farida Indrati diatas, diilhami oleh pemikiran Hans Kelsen
yang sebagaimana dikutip oleh Maruarar Siahaan12
yang menentukan sebagai berikut:
“The relation existing between a norm wich governs the creation or
the content of another norm and the norm which is created can be
presented in a spatial figure. The first is the “superior” norm; the second
the “inferior”. If one views the legal order from this dynamic point of
view, it does not appear, as it does from the static point of view, as e
system of norm of equal rank, standing one beside the other, but rathers
10
Ni‟Matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Penerbit: Nusa Media, Bandung, 2009, h.
117. 11
Maria Farida Indrati, Ilmu …, Op.Cit. h. 23-24. 12
Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas …, Op. Cit., h. 26.
22
as hierarchy in wich the norm of the constitution from the top most
stratum. In this functional sense, „constitution‟ means those norms that
determine the creation, and occasionally to some extent the content, of
the general legal norms which in turn govern such individual norms as
judicial decision”13
Kemudian, sebagai prinsip hukum yang diakui keberadaannya di Indonesia,
pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh
Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria Farida Indrati, memperoleh
penegasan oleh Bagir Manan dimana menentukan bahwa teori hierarki norma hukum
pada intinya mengandung asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:
Pertama, Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus
bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-
undangan tingkat lebih tinggi; dan Kedua, Isi atau materi muatan
peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh
menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
tingkat lebih tinggi, kecuali apabila perundang-undangan yang lebih
tinggi dibuat tanpa wewenang (onbevorgd) atau melapaui wewenang
(detournement de pouvoir).14
Harjono menegaskan, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Alim bahwa
adanya perjenjangan atau hierarki peraturan perundang-undangan merupakan
parameter untuk menentukan sala satu unsur negara hukum yaitu pembatasan
kekuasaan. Sebab, perkembangan ilmu hukum kini telah sampai pada konsep dimana
13
Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia adalah: “Hubungan yang ada antara norma yang
mengatur penciptaan atau isi norma lain dan norma yang dibuat dapat disajikan dalam bentuk spasial.
Yang pertama adalah norma "superior"; yang kedua “inferior”. Jika seseorang melihat tatanan
hukum dari sudut pandang dinamis ini, ia tidak muncul, seperti yang terjadi dari sudut pandang statis,
sebagai sistem norma yang setara, berdiri di samping yang lain, tetapi bapak sebagai hierarki di mana
norma konstitusi dari strata paling atas. Dalam pengertian fungsional ini, 'konstitusi' berarti norma-
norma yang menentukan kreasi, dan kadang-kadang sampai batas tertentu isi, dari norma hukum
umum yang pada gilirannya mengatur norma-norma individu tersebut sebagai keputusan
pengadilan”. 14
Muntoha, Otonomi Daerah dan Perkembangan “Peraturan-Peraturan Daerah
Bernuansa Syariah”,(Disertasi pada program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia)
Jakarta, 2008, h. 35. Dalam Dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah,
Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. h. 67.
23
aturan hukum pada hakikatnya tersusun secara hirarkis. Sehingga keberadaan konsep
ini diterima oleh kalangan keilmuan hukum dengan muncul kecenderungan bahwa
ada tidaknya hierarkis, perjenjangan atau tata urutan peraturan perundang-undangan,
dijadikan sebagai tolak ukur tentang ada tidaknya unsur negara hukum. Sehingga
esensi dari adanya perjengangan atau tata urutan peraturan perundang-undangan
tersebut adalah sebagai pembatasan dalam membuat peraturan hukum.15
Selanjutnya, mengenai teori perjenjangan norma hukum atau hirarki peraturan
perundang-undangan yang dipelopori oleh Hans Kelsen, dikembangkan oleh Hans
Nawianski dengan menentukan bahwa pertingkatan norma (theory von stufenbau der
rechtsordenung) terjadi secara berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, juga
berkelompok-kelompok, yang terdiri atas empat kelompok besar yaitu: Kelompok I :
Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental negara; Kelompok II :
Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara); Kelompok III : Formell Gasetz (Undang-
Undang Formal) dan Kelompok IV : Verordnung & Autosatzung (Aturan Pelaksana
dan Aturan Otonom.16
Di Indonesia, sejarah pertingkatan norma hukum yang sebagaimana
diutarakan oleh Kelsen dan Nawiasky dalam teori hirarki peraturan perundang-
undangan, awalnya ditentukan dalam TAP MPRS RI No. XX/MPRS/1966 tentang
memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan
Tata Urutan Peraturan Perundangan Rapublik Indonesia, yang menggolongkan
15
Muhammad Alim, Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya dengan Konstitusi, Jurnal
Hukum Ius Quia Iustum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta, Volume 17 No.1
Januari, 2010, h.127. 16
Maria Farida Indrati, Ilmu …, Op. Cit, h. 44-45.
24
bentuk/ jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; b. Ketetapan MPR; c. Undang-
Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;
e. Keputusan Presiden; f. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainya seperti, Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainya.
Kemudian, pada masa transisi (reformasi), MPR periode 1999-2004 mencabut
dan mengganti Tap MPRS a quo dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, yang mana dalam Pasal 2 ditegaskan
tentang jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia
sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; c. Undang-Undang; d. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); e. Peraturan Pemerintah; f.
Keputusan Presiden; g. Peraturan Daerah.17
Selanjutnya, setelah diberlakukan selama sepuluh tahun maka dilakukan
perubahan lagi menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang secara khusus ditentukan dalam Pasal 7 bahwa
jenis dan tata Urutan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d.
Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah, meliputi (Peraturan Daerah Provinsi,
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa).
17
Pasal 2Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor.III/MPR/2000 tentang Sumber
Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.
25
Kemudian, seiring perkembangannya maka Undang-undang No.10 Tahun 2004
dicabut dan diganti dengan Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan, yang berlaku saat ini, yang mana memuat jenis dan
tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7
adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/ Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan
Preiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.18
Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa
ketentuan yang mengatur mengenai teori perjenjangan norma hukum atau teori
hirarki peraturan perundang undangan maka mengandung makna bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi sumber atau dasar berlakunya
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan isinya dengan peraturan yang lebih tinggi.
Apabila ditemukan isi atau materi muatan peraturan yang lebih rendah bertentangan
dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang berlaku adalah isi atau materi muatan
peraturan yang lebih tinggi.
18
(Pasal 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan Perundang-undang).
Penjelasan lengkap mengenai sejarah pertingkatan norma hukum di indonesia dapat dilihat dalam
tulisan Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Penerbit: Genta Publishing,
Yogyakarta, 2016. h. 69-70.
26
B. TEORI PENDELEGASIAN KEWENANGAN
PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Delegated Legislation)
Undang-undang sebagai suatu instrument penting dalam sistem ketatanegaraan
di Indonesia, haruslah memuat kecermatan dalam pelaksanaannya, mengingat adanya
cita pemerintah dan masyarakat yang membutuhkan suatu ketentuan yang jelas dan
lebih rinci serta memuat perintah apa yang harus dan tidak boleh di lakukan.
Menurut Jimmly Asshiddiqie, undang-undang dapat dipahami sebagai naskah
hukum dalam arti yang luas, yang menyangkut materi dan bentuk tertentu, hal ini
sejalan dengan pendapat Jeremy Bentham19
dan John Austin20
yang mengaitkan istila
„legislation‟ sebagai “any form of law-making”. “The term is, however, restricted to
a particular form of law-making, viz. the declaration in statutory form of rules of law
by the legislature of the State. The law that has its source in legislation is called
enacted law or statute or written law”21
.
Dengan demikian, bentuk peraturan yang dapat ditetapkan oleh lembaga
legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enacted
19
Jeremy Bentham, An Introduction to the principle of Morals and Legislation, ed. J.H.
Burns and H.L.A. Hart, (Oxford: Clarendon Press, 1996), dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-
Undang, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 22. 20
J.L. Austin, The Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of
Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954), dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-
Undang, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 22. 21
Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia adalah: “Istilah ini, bagaimanapun, terbatas pada
bentuk tertentu pembuatan undang-undang, yaitu. deklarasi dalam bentuk undang-undang aturan
hukum oleh legislatif Negara. Hukum yang memiliki sumbernya dalam undang-undang disebut
hukum yang berlaku atau undang-undang atau hukum tertulis ”.
27
law”, “statute” atau undang-undang dalam arti yang luas.22
Sehingga, untuk
menentukan keabsahan serta daya ikat suatu peraturan perundang-undangan maka
sangat dibutuhkan peran lembaga legislatif, peran tersebut haruslah berdasarkan pada
kehendak rakyat, karena pada dasarnya rakyatlah yang berdaulat dalam negara
demokrasi. Sehingga seharusnya pembentukan suatu undang-undang, serta
pengaturan yang bersumber pada undang-undang haruslah menjunjung tinggi
kecermatan.
Di Indonesia, implementasi dari teori hierarki peraturan perundang-undangan
secara spesifik telah ditentukan dan diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar
pijakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian, Sama halnya
dengan teori hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,
implementasi dari teori pendelegasian kewenangan (deleated legislation) adalah
untuk dapat mewujudkan kecermatan dan ketertiban. Maka, perundang-undangan
sebagaimana dimaksud, haruslah dibuat oleh lembaga yang berwenang
membentukanya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi. Hal tersebut berlaku
karena perundang-undangan susunanya berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis
sehingga membentuk suatu hierarki.
Spesifik mengenai hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7
ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang jenis dan hierarki
peraturan perundang-undangan yang mana terdiri dari; “a. Undang-Undang Dasar
22
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (selanjutnya disebut Perihal Undang-
Undang 2), Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 21-22.
28
Negara Republik Indonesia; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.
Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan
Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Profinsi;dan g. Peraturan
Daerah Kabupaten/ kota”. Selanjutnya pada ayat (2) dipertegas lagi yaitu mengenai
kekuatan berlakunya yaitu kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai
dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).23
Selanjutnya Dalam Pasal 8
ayat (1) ditentukan bahwa:
“Ayat (1) jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,
Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,
badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan
Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau
yang setingkat;
Ayat (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan
yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) maka ketentuan
diatas diakui secara sah keberadaanya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang
diperintahkan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannya atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Artinya, Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (2) secara tegas harus dipahami bahwa kekuatan berlakunya suatu peraturan
perundang-undangan sesuai dengan jenjang dan hierarki, sedangkan berdasarkan
23
Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82).
29
prinsip hierarki peraturan perundang-undangan maka setiap jenis peraturan
perundang-undangan harus berdasarkan kaidah bahwa peraturan perundang-undangan
yang lebih rendah tingkatannya, tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dalam ilmu perundang-undangan, agar suatu undang-undang dapat di terapkan
pada tataran yang lebih teknis, maka undang-undang tersebut perlu dijabarkan secara
lebih rinci. Untuk menjabarkan pada tataran yang lebih rinci, maka dikenal-lah
prinsip delegated legislation atau pendelegasian kewenangan yang berlaku di
Indonesia.
Terkait dengan prinsip delegated legislation, perlu di ketahui bahwa sejarah
ketatanegaraan dunia mencatat bahwa pendelegasian wewenang/kekuasaan delegated
legislation atau pengaturan undang-undang kepada peraturan yang lebih rendah
terjadi sejak abad 16, yaitu pada masa pemerintahan Raja Inggris Henry VII.24
Artinya pendelegasian wewenang tidak terjadi pada Abad 19 atau 20-an yang mana
kemajuan di bidang sosial-ekonomi berkembang begitu pesat.
Di Indonesia pendelegasian wewenang legislasi (legislative delegation of rule-
making power) dipahami sebagai langkah pemberian kewenangan oleh pembentuk
undang-undang untuk mengatur hal-hal tertentu lebih lanjut dalam bentuk peraturan
pelaksana yang lebih rendah tingkatannya. Artinya legislator utama “primary
legislator” atau “principal legislator” adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),
sedangkan pemerintah atau Presiden dalam bentuk atau penetapan peraturan
24
Sir William Wade and Christopher Forsyth, Administrative Law, eight edition, Oxford
University Press, New York, 2000, h. 840-841.
30
pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah atau bentuk lainnya dapat disebut sebagai
“delegated legislator” atau “secondary legislator” sehingga Peraturan Perundang-
undangan pelaksana disebut sebagai “delegated legislation” sedangkan yang
merupakan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang disebut
“subordinate legislation”.
Jimmly dalam bukunya tentang “Perihal Undang-Undang” menyatakan,
apabila suatu kewenangan dimandatkan kepada suatu lembaga lain untuk
melaksanakannya atas nama pemberi mandat, maka lembaga pemberi mandat atau
mandator itu dapat saja menarik kembali mandatnya itu sewaktu-waktu dari lembaga
penerima mandat.25
Namun dalam teori tentang pendelegasian, pelimpahan
kewenangan dari suatu lembaga kepada lembaga yang lain berakibat akan terjadinya
perpindahan kewenangan secara mutlak. Artinya kewenangan yang telah
didelegasikan kepada lembaga lain tidak dapat lagi ditarik kembali oleh lembaga
pemberi delegasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa delegasi (delegation) berbeda
dengan mandat.
Dalam Algemene Wet Bestuursrecht (AWB), 1992/1993 yang menyatakan
bahwa delegasi adalah “het overdragen door een bestuursorgaan van zijn
bevoegdheid tot het nemen van besuiten aan een ander die deze onder eigen
verantwoordelijkheid uitoefent” dalam terjemahan bahasa indonesia delegasi adalah
pemberian, pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan
kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas pertanggungjawaban sendiri”
sedangkan mandat adalah “Mandat merupakan kewenangan yang diberikan oleh
25
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang 1… Op., Cit., h. 264.
31
suatu organ pemerintahan kepada orang lain untuk atas nama atau
tanggungjawabnya sendiri mengambil keputusan. Sedangkan mandat adalah “het
door een bestuutsorgaan aan een ander verlenen van de bevoegdheid in zijn naan
besluiten te nemen” dalam terjemahan bahasa Indonesia mandat adalah kewenangan
yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada orang lain untuk atas nama
atau tanggungjawabnya sendiri mengambil keputusan.26
Konsep diatas menunjukkan bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perundang-undangan, seringkali diperlukan perumusan-perumusan yang berhubungan
dengan masalah pendelegasian kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.27
Dalam
konsep pendelegasian kewenangan, pembentukan peraturan perundang-undangan
tersebut dapat terjadi karena dua hal, yaitu karena adanya kewenangan atribusi atau
karena kewenangan delegasi. Kewenangan atribusi dalam pembentukan pembentukan
peraturan perundang-undangan (attributie van wetgevingsbevoegdheid) adalah
pemberian atau penciptaan kewenangan dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang diberikan oleh groundwet (Undang-Undang Dasar) atau oleh wet (Undang-
Undang) kepada suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan; Kewenangan
delegasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (delegatie van
wetgevingsbevoegdheid) adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan
perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
26
Lihat Algemene Wet Bestuursrecht (AWB), 1992/1993, artikel 1.A.1.2.1. Dan Artikel
1.A.1.1.1. 27
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 2, Op., Cit., h.167.
32
tinggi kepada peraturan yang lebih rendah.28
Alasan dilakukannya pelimpahan
kewenangan adalah karena terdapat beberapa hal yang tidak dapat dirumuskan secara
langsung dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta dikarenakan
oleh sifatnya yang mudah berubah, atau bersifat terlalu teknis.
Contohnya, mengenai kaitannya dengan konsep pendelegasian kewenangan
yang dilaksanakan melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang di
delegasikan maka secara spesifik tertuang dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyatakan bahwa “Pasal 1
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang undangan”29
sehingga untuk menentukan keabsahan (legalitas) dari setiap perbuatan pemerintah
yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) hal ini juga
menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah berasal dari peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Hal tersebut diatas sejalan dengan penjelasan oleh Ridwan HR dalam bukunya
Hukum Administrasi Negara, Ridwan menjelaskan bahwa seiring dengan pilar utama
negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van
wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang
pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang
28
Ibid., h.168 29
Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5079).
33
bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik, kewenangan
yang bersumber dari peraturan perundangundang tersebut diperoleh melalui tiga cara
yaitu atribusi, delegasi dan mandat.30
Khusus mengenai konsep delegasi, H.D. Van Wijk/Williem Konijnebelt
mendefinisikan sebagai berikut. “Delegatie; overdracht van een bevoegheid van het
ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang
pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).
Selanjutnya dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi terdapat
beberapa syarat menurut Philipus M.Hadjon dalam makalah pada penataran hukum
Administrasi, maka yang sebagai berikut Pertama, delegasi harus definitif dan
pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang
telah dilimpahkan itu; Kedua, delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan
untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; Ketiga, delegasi tidak kepada
bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya
delegas; Keempat, kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans
berhak untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; Kelima,
peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk)
tentang penggunaan wewenang tersebut.31
Dengan berdasar pada penjelasan diatas
maka jelas pada delegasi tidak terdapat penciptaan wewenang melainkan (delegated
30
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2016, h. 101. 31
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi,
Fukultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, h.9-10.
34
legislation) atau pelimpahan kewenangan yang mana dalam konsep HAN berlaku
dari satu pejabat kepada pejabat lainnya sehingga tanggungjawab yuridis tidak lagi
berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi
(delegataris).
Adapun penjelasan secara spesifik mengenai pendelegasian kewenangan dari
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-
undangan yang lebih rendah telah dirumuskan dalam lampiran II Undang-Undang
Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan angka
198-216 halaman 60 yang rinciannya sebagai berikut;
(…198. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat
mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah;
199. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu
Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain dari Peraturan
Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah
Kabupaten/Kota yang lain;
200. Pendelegasiang kewenangan mengatur harus menyebut
dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis
Peraturan Perundang-undangan;
201. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur
pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
mendelegasiakan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat
Ketentuan lebih lanjut mengenai… diatur dengan…;
202. Jika peraturan materi muatan tersebut dibolehkan
didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan
lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan…;
203. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum
diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang
mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan
Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat
Ketentuan mengenai … diatur dengan …;
204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasiakan
lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai …
diatur dengan atau berdasarkan…;
35
205. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan
materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi
akan didelagasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, gunakan
kalimat “Ketentuan mengenai….. diatur dalam …”;
206. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan
maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu)
peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang
mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-
undangan) … tentang Peraturan Pelaksanaan …”;
207. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan
pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu
mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan
diatur lebih lanjut;
208. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan
dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan;
209. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan
dapat di pertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena
materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur
dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya;
210. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh
adanya delegasi blangko;
211. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang
kepada menteri, pemimpin lembaga negara nonkementrian, atau pejabat
yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat
teknis administratif;
212. Kewenangan yang didelegasiakan kepada suatu alat
penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat
penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh undang-undang yang
mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu;
213. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal,
sekretaris jenderal, atau pejabad yang setingkat;
214 Pendelegasian langsung kepada direktur jendral atau pejabat
yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-
undangan yang setingkatnya lebih rendah daripada Undang-Undang;
215. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaanya hendaknya
tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur didalam Peraturan
Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut
memang tidak dapat dihindari;
216. Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali
rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan
Perundang-undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan
kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan
tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan
36
norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atu beberapa pasal atau
ayat atau beberapa ayat selanjutnya.32
)
Sejatinya, selain menjunjung tinggi kecermatan, pendelegasian kewenangan
juga harus pula memperhatikan adanya pengaturan yang tidak boleh bertentangan
dengan hak asasi, artinya perhatian terhadap hak asasi merupakan yang harus lebih
diutamakan megingat kesejahtraan seluruh warga negara adalah cita bangsa, sehingga
untuk dapat di terapkan pada tataran praktis dan rinci ketentuan tersebut harus
memperhatikan hak asasi manusia. Hak asasi manusia disini adalah khusus hak warga
negara yang apabila dikaitkan dengan thesis penulis yaitu hak kostitusional warga
negara khusus mantan terpidana, dimana pengaturan mengenai syarat keikutsertaan
dalam pemilihan kepala daerah telah terjadi pertentangan yaitu antara Peraturan KPU
dan Undang-Undang Pilkada.
Pengaturan terhadap ketentuan yang lebih rinci haruslah bersifat demokratis
serta sesuai dengan konstitusi. Hal ini sejalan dengan esensi kewenangan yang
dimiliki pemerintah dalam melakukan perbuatan nyata untuk mengadakan pengaturan
atau mewujudkan keputusan yang berdasarkan atau tidak bertentangan dengan
kostitusi dengan cara pendelegasian kewenangan.
Sehingga berdasarkan penjelasan atau pemaparan konsep delegated legislation
sebagaimana disebutkan diatas, maka dapat dipahami bahwa munculnya konsep
delegated legislation sejatinya adalah dibutuhkan sebagai mekanisme pengaturan
terhadap peraturan pelaksana dari suatu undang-undang. Selain itu konsep delegated
32
Lampiran II Pedoman Nomor 198-216 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82).
37
legislation merupakan hal demokratis dan mutlak dimana pengaturan terhadap
perundang-undangan mengikat adanya kekuasaan pemerintah, dan juga mengingat
pemerintah merupakan pilihan rakyat dalam pemilu, dengan demikian legitimasi yang
diberikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana telah cukup kuat
dengan tujuan adalah untuk menjamin hak setiap warga negara.
38
C. TEORI HAK KONSTITUSIONAL (Constitutional Right)
Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin oleh kostitusi atau Undang-
Undang Dasar, baik jaminan itu dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Sehingga
karena dicantumkan dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar, maka ia menjadi
bagian dari konstitusi sehingga seluruh cabang kekuasaan negara wajib
menghormatinya.33
Artinya adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak
kostitusional merupakan titik tolak adanya pembatasan terhadap kekuasaan negara.
Sehingga untuk dapat menjamin adanya hak-hak konstitusional tersebut maka hak
konstitusional yang merupakan bagian dari konstitusi ini harus dilindungi
keberadaannya.
Mengenai perlindungan terhadap hak-hak konstitusional, sejarah mencatat
bahwa perlindungan hak-hak konstitusional tidak lepas dari tradisi pemikiran atau
doktrin barat tentang hak-hak individu (individual rights).34
Akan tetapi tidak tepat
apabila pemikiran mengenai hak-hak individu (yang kemudian berevolusi menjadi
hak-hak asasi manusia) merupakan produk peradaban barat. Dalam doktrin barat,
hak-hak individu ini dikonsepsikan sebagai hak-hak alamiah (natural rights),
sementara doktrin mengenai hak-hak alamiah itu sendiri merupakan bagian dari
doktrin hukum alam (natural law).35
Dalam perkembangannya, evolusi mengenai
33
I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint): Upaya
Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit: Sinar Grafika
Jakarta, 2013, h. 111. 34
Louis Henkin, Human Rights, Fondation Press: New York, 1999, h. 16. Dalam I Dewa
Gede Palguna Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint): Upaya Hukum Terhadap
Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 35
Durga Das Basu, Human Rights In Constitutional Law, Nagpur-Agra: Wadhwa and
Company, New Delhi, h. 48. Dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutionl
39
hak-hak alamiah yang (yang kemudian dikenal sebagai HAM) menjadi hak-hak
konstitusional, dimana perlindungan terhadap hak-hak tersebut secara mutlak di
jamin oleh konstitusi.
Selanjutnya, para ahli berpendapat bahwa perumusan mengenai konsep hak
asasi manusia dimulai pada abad ke-17 sekalipun mereka mengakui bahwa
pemasalahan mengenai hak-hak asasi manusia telah dimulai pada abad ke-13.
Kemudian hal serupa berbarengan dengan ditandatanganinya Magna Carta oleh Raja
John Lackland pada Tahun 1215, menyatakan bahwa Raja tunduk pada dan terikat
oleh hak tertentu dan terikat oleh hukum dan bahwa raja tidak boleh menahan atau
memenjarakan orang secara sewenang-wenang. Akan tetapi banyak pertanyaan
mengenai isi Magna Charta terhadap sejarah hak asasi manusia dimana dikawatirkan
hal tersebut hanya mencerminkan pergulatan kekuasaan antara raja dan para
bangsawan.
Namun, sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya, dengan dibatasinya
kekuasaan raja, Magna Charta merupakan langkah penting pertama bagi
perkembangan ideolog hak-hak individu, juga kontribusinya terhadapa hak untuk
diadili oleh juri (right to a jury trial), pembentukan habeas corpus, dan right to due
process of law.36
Sehingga, berkaitan dengan doktrin hak-hak alamiah, maka Magna Carta-lah
yang merupakan dokumen pertama yang menjalankan doktrin mengenai hak-hak
alamiah itu ke dalam kenyataan praktik. Durga Das Basu mengatakan bahwa; “The
Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit:
Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 112. 36
Louis Henkin at al, loc Cit.
40
doctrine of natural rights thus passed in to realm of practical reality whe an absolute
monarch himself (King John) was made to acknowledge that there were certain rights
of the subjects which could not be violated event by a sovereign in whom all powers
legally vested.”37
Selanjutnya, untuk memaknai hak-hak alamiah, Thomas Hobbes menyatakan
bahwa setiap individu manusia memiliki hak alamiah (jus natural) yaitu kebebasan
(liberty) untuk menggunakan kekuatannya sendiri, sesuai dengan kemauannya
sendiri, guna mempertahankan sifat hakikinya, yaitu kehidupannya. Sedangkan,
kebebasan (liberty) adalah tidak adanya halangan external. Namun, dalam keadaan
alami (in the state of nature) manusia yang satu memandang manusia lain sebagai
ancaman sehingga mereka senantiasa berada dalam suasana perang satu dengan yang
lain sepanjang waktu. Untuk menghentikan “perang” itu maka menurut Hobbes,
adalah rasional jika kemudian para individu itu membuat kontrak untuk mendirikan
suatu pemerintahan yang dijalankan oleh penguasa yang diberikan kekuasaan
absolute karena hanya kekuasaan absolutelah yang memadai untuk menyelesaikan
pertikaian antar individu; atau, jika tidak, masyarakat akan bubar karena konflik dan,
sebagai akibatnya, kehidupan bersama pun akan terancam.38
37
Durga Das Basu, Op. Cit., h. 49. Dalam Bahasa Indonesia: Doktrin hak-hak alamia
dengan demikian diteruskan ke ranah realitas praktis saat raja (Raja John) dibuat untuk megakui bahwa
ada hak-hak tertentu dari warga yang tidak dapat dilanggar oleh penguasa dimana semua kekuasaan
dipegang secara hukum. 38
Thomas Hobbes, “Leviathan”, Chapter 13 dan 14, dalam Steven M. Chan, Op. Cit.,
h.224-227; Dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutionl Complaint) :
Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit: Sinar Grafika,
Jakarta, 2013, h. 116.
41
Sementara itu, berkenaan dengan rumusan hah-hak alamiah maka John Locke
lebih rinci yang disebut hak-hak alamiah itu sebagai hak untuk hidup, kebebasan dan
milik:
“Man being born … With a title to perfect freedom and an
uncontrolled enjoyment of all the rights and privilages of the law of
Nature, equally with any other man, or number of men in the world, hath
by nature a power not only to preserve his property- that is, his life,
liberty, and estate against the injuries and ettemps of other man, but tu
judge of and punish the breaches of that law in others, as he is persuaded
the offence deserves, even with death itself, in crimes whwre the
heinousness of the fact, in his opinion, requires it.”39
Menurut Locke, dalam keadaan alam (in the state of nature) manusia diatur
oleh hukum alam (law of nature). Namun demi mewujudkan suasana baik dan aman
maka ia dan manusia-manusia lainnya mengadakan kontrak sosial membentuk suatu
masyarakat politik (political society) untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan
dan milik mereka. Disinilah Locke menunjukkan perbedaan antara pendapatnya
dengan Hobbes namun mereka berangkat dari ajaran yang sama. Menurut Locke cara
untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak alamiah manusia bukan dengan
adanya suatu pemerintahan yang absolut tetapi dengan membatasi kekuasaan
pemerintah itu: “And hence it is evident that absolute monarchy, which by some men
39
John Locke, Two Treatises of Civil Government, London: J.M. Dent & Sons, 1960,
Chapter VII h. 158-159; Dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutionl
Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit:
Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 117. Dalam Bahasa Indonesia: Manusia terlahir ... Dengan sebutan
untuk kebebasan yang sempurna dan kenikmatan yang tak terkendali dari semua hak dan hak
istimewa dari hukum Alam, sama dengan manusia lain, atau jumlah manusia di dunia, secara alamiah
memiliki kekuatan tidak hanya untuk melestarikannya. properti - yaitu, hidupnya, kebebasan, dan
harta bendanya terhadap luka-luka dan ettemps orang lain, tetapi tu menghakimi dan menghukum
pelanggaran hukum itu pada orang lain, karena ia dibujuk pelanggaran yang layak, bahkan dengan
kematian itu sendiri, dalam kejahatan mengapa kekejaman fakta itu, menurutnya, membutuhkannya.n
42
is counted the only government in the world, is indeed inconsistent with civil society,
and so can be no form of civil government at all.”40
Dengan demikian manfaat ajaran Locke adalah, ia tidak saja berhenti sebatas
pada apa penentangannya terhadap kekuasaan pemerintah (executive power) yang
sewenang-wenang, tetapi juga terhadap pembuat undang-undang (legislative power)
yang sewenang-wenang dengan esensi bahwa tidak boleh bertentangan dengan hak
alamia (yang telah berevolusi memjadi hak konstitusional) meskipun ia
memposisikan pembentuk undang-undang sebagai kekuasaan tertinggi dalam
masyarakat (the supreme power).
Perkembangan selanjutnya adalah setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka
mulailah muncul gagasan tentang hak-hak alamiah dan menjadi perhatian
internasional yang diwujudkan dengan berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB). Diketahui bahwa sejak saat ditandatanganinya piagam PBB yang kemudian
diikuti dengan pembentukan komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia (1946), maka
istila HAM (human right) menjadi populer mengantikan istilah hak alamiah. Tutuan
pembentukan komisi tersebut adalah untuk secara tegas menjadikan pemajuan serta
mendorong ke arah penghormatan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan mendasar
manusia tanpa diskriminasi sebagai tujuannya.41
40
Ibid., h. 160 41
Piagam PBB, Pasal 1 angka (3): “The purpose of the united nations are … (3) to achieve
international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or
humanitarian character, and in promotion and encouraging respect for human rights and for
fundamental freedoms for all without distinction as tu race, sex, language, or religion”; dikutip dari
Departement of public information, tanpa tahun, Charter of the United Nations and Statute of the
international Court of Justice, United Nations: New York.
43
Dimasukannya HAM kedalam kostitusi tertulis berarti memberi status kepada
hak-hak itu sebagai hak-hak konstitusional.42
Konstitusi adalah hukum dasar atau
hukum fundamental (fundamental law) dengan esensi bahwa hak-hak kostitusional
itu pun mendapatkan kedudukan sebagai hak fundamental. Implikasinya ialah, hak-
hak kontitusional itu adalah hak-hak fundamental dan konstitusi adalah hukum dasar
(fundamental) sehingga setiap tindakan negara yang bertentangan atau tidak sesuai
dengan hakikat konstitusi (atau hak fundamental) itu harus dibatalkan oleh
pengadilan karena bertentangan atau tidak sesuai dengan hakikat kostitusi sebagai
hukum dasar (fundamental).43
Berdasarkan pemaparan teori atau doktrin hak kostitusional diatas maka dapat
dipahami bahwa timbulnya perjuangan untuk mewujudkan hak konstitusional sebagai
hak fundamental adalah merupakan hasil perjuangan seluruh warga negara dengan
tujuan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan pemerintah
yang sewenang-wenang. Sehingga implikasi dari teori ini adalah untuk menunjukkan
bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang secara mutlak, dijamin
dan dilindungi oleh pemerintah terhadap pelanggaran hak-hak kostitusional.
42
I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., h. 133 43
Lihat lebih jauh Laurence H. Tribe 1985, Constitutional Choices, Harvard University
Press: Cambridge-Massachusetts-London, h. 246-248; dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan
Konstitusional (Constitutionl Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak
Konstitusional Warga Negara, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 133
44
Hak Politik (Political Rights)
Hak politik (political rights) adalah seperangkat hak yang menurut sifatnya
berkaitan dengan aktivitas dan partisipasi dalam proses bernegara atau dalam
penyelenggaraan pemerintahan44
. Dengan demikian hak-hak politik memiliki ciri
demokratis seperti tersirat dari definisi yang dikemukakan Kelsen: “those rights
which give their possessor an influence on the formation of the will of the State.”45
Sesuai dengan pengertian ini maka hak initi dari hak-hak politik adalah hak atas
kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi atau menyatakan pendapat.46
Selajutnya Kelsen menegaskan bahwa hak politik dapat diartikan sebagai
kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga negara yang berperan serta
dalam pemerintahan, dalam pembentukan “kehendak” negara. Sehingga, terlepas dari
makna kiasannya, hak politik ini berarti bahwa warga negara dapat berperan serta
dalam pembuatan peraturan hukum.47
Oleh sebab itu, yang terutama terdapat dalam
pemikiran orang adalah pembuatan norma-norma atau “perundang-undangan”, dalam
arti yang sangat luas. Peran serta dalam pembuatan undang-undang oleh para individu
sebagai subjek peraturan hukum tersebut merupakan ciri demokrasi, yang
membedakannya dari otokrasi yang tidak melibatkan subjeknya dalam pembuatan
44
Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, (The Jimly Court 2003-2008), Penerbit: Mandar Maju, Bandung. Bekerja sama
dengan Fakultas Hukum – Universitas Kristen Satya Wacana, September, 2015, h. 254. (Selanjutnya
Disingkat Titon Slamet Kurnia II). 45
Hans Kelsen, Teori Umum… Op., Cit., h. 235. 46
Titon Slamet Kurnia II, Loc. Cit. 47
Hans Kelsen, Teori Umum… Loc., Cit, h. 127
45
undang-undang, yakni tidak mempunyai hak-hak politik.48
Sehingga kewajiban
hukum merupakan fungsi esensial dari setiap norma hukum dalam tatana hukum.49
Di Indonesia, khusus ketentuan mengenai hak politik secara tegas dapat di
identifikasi dalam Bab XA UUD NRI 1945 adalah sebagai berikut. Pasal 28E ayat (3)
UUD NRI 1945 menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat berkumpul dan
berpendapat. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara
berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 28F UUD
NRI 1945 menjamin hak untuk berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan
informasi. Pasal 28E ayat (2) UUD NRI 1945 menjamin hak untuk menyatakan
pikiran sesuai hati nurani. Hak ini diperkuat oleh Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945
yang menentukan bahwa “hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani” merupakan hak
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Terakhir, Pasal 28C ayat (2) UUD
NRI 1945 yang menjamin bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya
dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya.50
Berkenaan dengan ketentuan hak-hak politik dalam UUD NRI 1945, maka
sejalan dengan pernyataan HAM Internasional (UDHR) yang ditentukan dalam
Art.19 UDHR mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi, adalah sebagai
berikut: “everyone has the right to freedom of opinion and expression”. Dengan
cakupannya yaitu meliputi “freedom to hold opinions without interference and to
seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of
48
Ibid., 49
Ibid., h. 130 50
Titon Slamet Kurnia II, Op.Cit., h. 255.
46
frontiers.” Selanjutnya Art.20 UDHR menentukan tentang kebebasan berkumpul dan
berserikat sebagai berikut: “Everione has the right to freedom of peaceful assembly
and association.” Sebagai implikasi penghargaan terhadap kebebasan tersebut maka
“no one may be compelled to belong to an association.” Sehingga untuk mendukung
sifat politik dari hak-hak tersebut secara nyata ditentukan dalam Art.21 (1) UDHR
bahwa “every one has the right to take part in the government of his country, directly
or through freely chosen representatives,” dengan berdasar pada asas “ the will of the
people shall be the basis of the authority of government.”51
Artinya bahwa, dukungan
terhadap hak politik bukan hanya di Indonesia tetapi sudah menjadi kewajiban
Internasional. Selanjutnya, International Covenant on Civil and Political Rights
(ICCPR) khususnya dalam Art. 25 ICCPR yang menentukan:
Every citizen shall have the right and the opportunity, without any
of the dictinctions mentioned in article 2 and without unreasonable
restriction: (a) To take part in the conduct of public affairs, direcly or
through freely chosen representatives; (b)To vote and to be elected at
genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage
and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the
will of the electors; (c) To have access, on general terms of equality, to
public serfice in his country.52
51
Lihat: Article 19, Article 20, dan Article 21 UDHR (Universal Declaration Of Human
Rights) Dalam Titon Slamet Kurnia II, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia, (The Jimly Court 2003-2008), Penerbit: Mandar Maju, Bandung.
Bekerja sama dengan Fakultas Hukum – Universitas Kristen Satya Wacana, September, 2015, h. 255 52
Lihat: Article 25 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights)
terjemahan dalam bahasa Indonesia: Setiap warga negara akan memiliki hak dan kesempatan, tanpa
salah satu dari yang disebutkan dalam pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak masuk akal: (a) Untuk
mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik, secara langsung atau melalui perwakilan yang
dipilih secara bebas; (b) Untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum periodik murni yang harus
dengan hak pilih yang universal dan sama dan harus diadakan dengan pemungutan suara secara
rahasia, menjamin kebebasan ekspresi keinginan para pemilih; (C) Untuk memiliki akses, pada istilah
umum kesetaraan, untuk jabatan publik di negaranya. Adopted by the General Assembly of the United
Nations on 19 December 1966.
47
Berdasarkan penjelasan diatas, mengandung makna bahwa hak-hak politik
mengalami penyempitan cakupan secara ratione personae, dari hak asasi manusia
(human rights) menjadi hak warga negara (cityzen‟s rights) yang dapat dinikmati oleh
warga negara dalam hubungannya dengan negaranya. Artinya, hak-hak politik
tersebut merupakan ketentuan yang umum, dimana ketika di implementasikan
sebagai warga negara menjadi lebih spesifik yaitu hak untuk memilih dan dipilih baik
aktif maupun pasif sebagai hak untuk turut serta dalam pemerintahan.53
Secara konseptual, hakekat dari hak-hak politik sesuai asas demokrasi adalah
political freedom, maka hak-hak politik tersebut harus mencerminkan kapasitas
sebagai self-government dari rakyat. Dengan kata lain hak-hak politik dalam negara
demokratis berfungsi mewujudkan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi rakyat.
Hal ini sejalan dengan system demokrasi perwakilan yang telah lazim di praktikkan
oleh negara-negara domkrasi modern dimana rakyat memberikan haknya kepada
pemerintah melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas tetapi dengan hal tersebut
tidak berarti bahwa rakyat kehilangan seluruh haknya untuk memerintah sendiri.
Sehingga dapat dipahami bahwa hak-hak politik memiliki fungsi protektif yaitu tidak
hanya untuk menjamin supaya seorang dapat berpartisipasi dalam pemerintahan tetapi
yang terpenting adalah untuk menjamin bahwa pemerintah tidak memerintah menurut
kehendaknya sendiri. Kemudian, berkaitan dengan konsep demokrasi maka Miriam
Budiardjo menegaskan gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah
53
Titon Slamet Kurnia II, Op. Cit., h.256.
48
pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindang sewenang-
wenang terhadap warga negarannya.54
Dalam pelaksanaanya, eksistensi hak politik atau hak untuk memilih dan dipilih
yang berasal dari HAM tersebut sejatinya bukanlah merupakan sesuatu yang final dan
mutlak adanya. Sebab, sangat dimungkinkan dilakukan adanya pembatasan dengan
tujuan untuk mejamin hak dan kebebasan orang lain serta untuk dapat memenuhi
tututan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,
dan ketertiban umum dalam suatu maryarakat demokratis. Hal ini secara tegas telah
ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”
Sehingga berdasarkan ketentuan diatas, jelas menunjukkan bahwa dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, dapat dimungkinkan adanya pembatasan.
Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal a quo harus diatur dalam
undang-undang, artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut maka
tidak dimungkinkan pula untuk dilakukannya pembatasan terhadap pelaksanaan hak
dan kebebasan yang secara mutlak melakat pada setiap orang serta warga negara
Indonesia.
Berdasarkan pemaparan konsep hak politik sebagaimana telah dijelaskan diatas,
maka dapat dimapahami bahwa timbulnya hak politik didasarkan pada proses
54
Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revsi, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008, h. 107.
49
aktifitas dan pastisipasi dalam proses bernegara dimana poin utama dari hak politik
adalah menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
berpendapat. Selain itu konsep ini juga bertujuan sebagai suatu proteksi yaitu dengan
mengekang (dengan membatasi) kekuasaan pemerintah terhadap warga negara untuk
memperoleh haknya dalam cakupan hak untuk turut serta berpartisipasi dalam
pemerintahan.
50
D. TEORI HUKUMAN GANDA (Double Jeopardy)
Hukuman ganda (Double Jeopardy) atau dalam bukunya Munir Fuady yang
berjudul “Hak Asasi Tersangka Pidana” disebut konsep atau teori penggandaan
resiko, adalah prinsip hukum yang menjamin seorang tersangka pidana oleh hukum
dijamin hak fundamentalnya, yang salah satunya adalah hak untuk tidak di proses
hukum dua kali atau lebih terhadap satu kasus yang disangkakan kepadanya yang
sebelumnya telah pernah diproses secara hukum.55
Sejatinya, prinsip ini merupakan bagian integral dari negara-negara yang
menganut sisitem hukum Eropa Kontinental seperti di Prancis, Jerman Belanda, dan
juga karenanya Indonesia, tetapi juga berlaku di negara-negara yang menganut
system hukum Anglo Saxon, seperti Inggris, Australia dan Amerika Serikat.56
Sehingga secara spesifik keberadaannya dituangkan dalam Amandemen ke-5 dari
konstitusi Amerika Serikat yang menyatakan bahwa:
“Nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in
jeopardy of life and limb; Nor shall be compelled of life, liberty, or property, without
due process of law; Nor shall private property be taken for public use, without just
compensation”. Yang artinya adalah seseorang tidak dapat dihukum dua kali untuk
kasus yang sama, tidak dapat juga dipaksa untuk menjadi saksi pidana bagi dirinya
sendiri, tidak dapat juga diambil propertinya untuk kepentingan publik tanpa suatu
55
Munir Fuandy dan Sylvia Laura L. Fuady “Hak Asasi Tersangka Pidana” Edisi Pertama,
Penerbit: Prenada Media Group, Jakarta, 2015, h. 242-243 56
Ibid.,
51
konpensasi yang adil.57
Dengan dibentuknya dalil terhadap hukuman ganda artinya
Amerika Serikat menganggap bahwa hukuman ganda merupakan isu krusial dan
fundamental karena menyangkut hak asasi.
Selanjutnya, hal serupa juga dipertegas oleh pendapat IICPR (The International
Covenant on Civil and Political Rights) yang secara tegas melarang atas tindakan
hukum yang dilakukan lebih dari satu kali terhadap suatu perbuatan atau tuduhan
pidana. Dalam hal ini Pasal 14 ayat (7) IICPR yang berdalih sebagai berikut: “no one
shall be liable tried or puished again for an offense for which he has already been
finaly convicted or acuetted in accordance with the law and penal procedure of each
country”58
. Yang artinya adalah tidak seorangpun dapat diproses hukum dua kali atau
dihukum kembali atas tuduhan yang telah membuatnya dihukum atau dibebaskan
sesuai hukum dan prosedur pidana di masing-masing negara.
Di Indonesia konsep hukuman ganda (double jeopardy) dikenal juga dengan
asas nebis in idem yang di tentukan dalam Pasal 76 (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa “seseorang tidak dapat dituntut
dua kali karena perbuatan yang oleh hakim indonesia terhadap dirinya telah diadili
dengan putusan yang tetap”.59
Artinya asas ini berlaku dalam hal seorang telah
mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau
pemidanaan (veroordeling) [lihat Pasal 75 ayat (2) KUHP].
57
The Fifth Amendment to the United States Constitution. 58
Article 14, verse (7) “The International Covenant on Civil and Political Rights”, Adobe
by The General Assembly of the United Nation on 19 December, 1966, h. 177. 59
Moeljatno, Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit: Bumi
Aksara, 2014, Cet. 31, h. 32.
52
Selanjutnya, terkait dengan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan,
maka penerapan asas nebis in idem di tentukan dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-
Undang No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Terhadap materi
muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak
dapat dimohonkan pengujian kembali”60
.
Sejatinya, penerapan asas ne bis in idem ataupun prinsip double jeopardy
adalah bertujuan untuk melindungi hak asasi seseorang yang telah menerima
hukuman pidana untuk dipidana kembali dengan dalil yang sama. Dengan demikian
kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang
Nomor.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa “Setiap
orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu
perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap”.61
Sehingga tidak ada kemungkinan bahwa setiap orang di proses hukum atau
dihukum dua kali atau lebih terhadap suatu kasus yang sama, yang dapat merugikan
orang tersebut, yang mengakibatkan terciderainya keadilan, dan hak orang tersebut.
Sehingga, berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dsimpulkan bahwa
kaidah dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h bertentangan dengan prinsip double jeopardy.
60
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226). 61
Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(Lembaran Negara Pepublik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3886).