bab ii landasan teori - uksw · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan...

36
17 BAB II LANDASAN TEORI Fokus bab ini adalah menjelaskan argumen atau tesis penulis bahwa pada prinsipnya setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang sama khususnya hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dimana keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Untuk menjustifikasi argument tersebut penulis akan menjelaskan empat teori hukum yang menurut penulis sebagai batu uji permasalahan penelitian ini. Keempat teori tersebut adalah teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufenbau theory), teori pendelegasian kewenangan (delegated legislation), teori hak konstitusional warga negara ( the citizen‟s constitutional rights) khususnya hak politik (political rights) dan teori hukuman ganda (double jeopardy). Argumen tersebut dimulai dengan menjelaskan terlebih dahulu yaitu pertama, teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory), teori pendelegasian kewenangan (delegated legislation). Kedua, menjelaskan mengenai teori hak konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional rights) dan spesifik mengenai hak politik (political rights). Dan Ketiga, akan menjelaskan teori hukuman ganda (double jeopardy).

Upload: others

Post on 18-Mar-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

17

BAB II

LANDASAN TEORI

Fokus bab ini adalah menjelaskan argumen atau tesis penulis bahwa pada

prinsipnya setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang sama khususnya

hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan dimana

keberadaannya dijamin oleh konstitusi. Untuk menjustifikasi argument tersebut

penulis akan menjelaskan empat teori hukum yang menurut penulis sebagai batu uji

permasalahan penelitian ini. Keempat teori tersebut adalah teori hirarki peraturan

perundang-undangan (stufenbau theory), teori pendelegasian kewenangan (delegated

legislation), teori hak konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional rights)

khususnya hak politik (political rights) dan teori hukuman ganda (double jeopardy).

Argumen tersebut dimulai dengan menjelaskan terlebih dahulu yaitu pertama,

teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory), teori pendelegasian

kewenangan (delegated legislation). Kedua, menjelaskan mengenai teori hak

konstitusional warga negara (the citizen‟s constitutional rights) dan spesifik

mengenai hak politik (political rights). Dan Ketiga, akan menjelaskan teori hukuman

ganda (double jeopardy).

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

18

A. TEORI HIRARKI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(Stufenbau Theory)

Pembentukan norma hukum yang bersifat umum dan abstrak (general and

abstract legal norms) berupa peraturan yang bersifat tertulis (statutory form), pada

umumnya didasarkan atas dua hal. Pertama, pemebentukannya diperintahkan oleh

undang-undang dasar; Kedua, Pembentukannya dianggap perlu karena kebutuhan

hukum1.

Dalam hal pembentukan norma hukum atau perundang-undangan, sejatinya

perlu memperhatikan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan pada

jenjang yang lebih tinggi, sebagaimana diatur dalam hierarki peraturan perundang-

undangan yang berlaku di indonesia.2 Konsep atau teori hierarki peraturan

perundang-undangan, merupakan prinsip hukum yang menghendaki bahwa norma

hukum dalam sebuah negara tersusun secara berjenjang dan dalam rantai validitas

yang membentuk piramida hukum (stufent-theori).

Secara historis, teori pertingkatan atau perjenjangan norma hukum dipelopori

oleh Adolf Merkl yang selanjutnya dianut oleh Hans Kelsen. Dalam teori ini Kelsen,

menggambarkan bahwa rantai validitas yang berujung pada konstitusi negara, dimana

konstitusi tersebut adalah presuposisi terakhir, postulat final, dimana validitas semua

1 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (selanjutnya disebut Perihal Undang-Undang

1), Penerbit: Konstitusi, Jakarta 2006. 2 Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Penerbit: Genta Publishing,

Yogyakarta, 2016. h. 65.

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

19

norma dalam tata aturan hukum bergantung. Artinya, presuposisi inilah yang disebut

dengan istila trancendental logical presupposition.3

Selanjutnya, terkait dengan perjenjangan hukum dalam sebuah negara, Jimly

Asshiddiqie dalam karangan lainnya yang mengemukakan bahwa baik Adolf Merkl

maupun Hans kelsen sama-sama mengembangkan doktrin “hirerachy of norms”

(Stufenbau der Rechtsordenung) dengan menempatkan konstitusi (verfassungsrecht)

pada puncak hirarki norma hukum. Sehingga hukum tertinggi inilah yang

menentukan bentuk dan lingkup isi undang-undang biasa (einfaches gesetzesrecht,

statutory law.4 Sehingga hal tersebut sejalan dengan pandangan hans kelsen yang

dikutip Maria Farida Indrati yang menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-

jenjang dan berlapis lapis dalam suatu hierarki (tata susunan) yang mengandung arti

bahwa, suatu norma yang lebih rendah bersumber dan berdasar pada norma yang

lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku bersumber dan berdasar pada norma

yang lebih tinggi lagi dengan demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang

tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar

(grundnorm).5 Sehingga pendapat Maria Farida Indrati diamini oleh Maruar Siahaan

dengan dalil bahwa, hukum tersusun dalam suatu pertingkatan. Artinya, peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya menjadi sumber perundang-

3 Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa‟at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Penerbit:

Konstitusi, h. 169, 172; dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Penerbit:

Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. H.65. 4 Ibid., h. 66.

5 Hans Kelsen, Op., Cit., h.113. yang Dikutip oleh Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-

undangan (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan-Jilid 1), Penrbit: Kanisius, Yogyakarta, 2007, h.41.

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

20

undangan yang lebih rendah dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah

tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.6

Untuk mempertegas pemaknaan teori hierarki peraturan perundang-undangan

sebagai prinsip dasar pemberlakuan suatu peraturan perundang-undangan maka

Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, dalam bukunya tentang “perihal kaidah

hukum” yang menyatakan bahwa agar suatu peraturan perundang-undangan dapat

diberlakukan, peraturan perundang-undangan tersebut harus memenuhi persyaratan

kekuatan berlaku. Ada 3 (tiga) macam kekuatan berlaku antara lain sebagai berikut:

pertama, kelakuan atau hal berlakunya secara yuridis;7kedua, kelakuan sosiologis

atau hal berlakunya secara sosilogi;8ketiga, kelakuan filosofis atau hal berlakunya

secara filosofis.9Sehingga Untuk menjaga kesatuan sistem tata hukum dalam Negara,

perlu dilakukan pengujian apakah suatu kaidah hukum tidak berlawanan dengan

6 Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas Peraturan Perundang-undangan Negara Kita:

Masalah dan Tantangan, Jurnal Konstitusi Sekretariat Jendral Mahkamah Konstitusi, Volume 7

Nomor 4, Agustus 2010, h. 26. Dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah,

Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. h. 66. 7 Terkait syarat yuridis, ada tiga ahli yang berpendapat: “(1) Hans Kelsen menyatakan

bahwa kaedah hukum mempunyai kelakuan yuridis, apabila penentuannya berdasarkan kaedah yang

lebih tinggi tingkatannya; (2)W. Zevenbergen menyatakan, bahwa suatu kaedah hukum mempunyai

kelakuan yuridis, jikalau kaidah tersebut, “…op de cereischte wrijze is tot stant gekomen”

(Terjemahannya: “…terbentuk menurut cara yang telah ditetapkan.”); (3)J.H.A Logemann mengatakan

bahwa secara yuridis kaidah hukum mengikat, apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu

kondisi dan akibatnya. 8 Hal terkait syarat sosiologis, ada dua teori yang menyatakan bahwa: “(1)Teori Kekuasaan

(“macht theorie”; “the power theory”) yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum

mepunyai kelakuan sosiologis, apabila dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima ataupun tidak

oleh warga-warga masyarakat; (2) Teori Pengakuan (“anerkennungs theorie”, “the regongnition

theory”) yang berpokok pada pendapat, bahwa kelakuan kaidah hukum didasarkan pada penerimaan

atau pegakuan oleh mereka kepada siapa kaedah hukum tadi tertuju. 9 Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, Perihal Kaidah Hukum, Penerbit PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1993, h. 88. Terkait syarat filosofis yang intinya bahwa kaidah hukum tersebut

sesuai dengan cita-cita hukum (“rechtsidee”) sebagai nilai positif yang tertinggi (“uberpositieven

wert”), misalnya, pancasila, masyarakat adil dan makmur dan seterusnya.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

21

kaidah hukum lain, dan terutama apakah suatu kaidah hukum tidak ingkar dari atau

bersifat menyisihkan kaidah hukum yang lebih tinggi derajatnya.10

Selanjutnya, berkenaan dengan dalil atau kaidah dalam tata susunan atau hirarki

yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, maka Maria Farida Indrati menegaskan bahwa

dinamika suatu norma hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dinamika norma

hukum yang vertical dan dinamika norma hukum yang horizontal.11

Dinamika

vertikal adalah dinamika yang berjenjang dari atas ke bawah atau adari bawah ke atas

yang artinya, suatu norma hukum berlaku, bersumber dan berdasar pada norma

hukum yang di atasnya, dan seterusnya sampai pada norma hukum yang menjadi

dasar dari semua norma hukum yang di bawahnya. Demikian juga dengan dinamikan

dari atas ke bawah yang mengandung makna bahwa, norma dasar itu selalu menjadi

sumber dan menjadi dasar dari norma hukum dibawahnya, dan norma hukum di

bawahnya selalu menjadi sumber dan menjadi dasar dari norma hukum yang ada

dibawahnya lagi. Adapun mengenai dinamika norma hukum horisontal adalah

dinamika yang bergeraknya tidak keatas atau ke bawah tetapi ke samping.

Pandangan Maria Farida Indrati diatas, diilhami oleh pemikiran Hans Kelsen

yang sebagaimana dikutip oleh Maruarar Siahaan12

yang menentukan sebagai berikut:

“The relation existing between a norm wich governs the creation or

the content of another norm and the norm which is created can be

presented in a spatial figure. The first is the “superior” norm; the second

the “inferior”. If one views the legal order from this dynamic point of

view, it does not appear, as it does from the static point of view, as e

system of norm of equal rank, standing one beside the other, but rathers

10

Ni‟Matul Huda, Hukum Pemerintahan Daerah, Penerbit: Nusa Media, Bandung, 2009, h.

117. 11

Maria Farida Indrati, Ilmu …, Op.Cit. h. 23-24. 12

Maruarar Siahaan, Uji Konstitusionalitas …, Op. Cit., h. 26.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

22

as hierarchy in wich the norm of the constitution from the top most

stratum. In this functional sense, „constitution‟ means those norms that

determine the creation, and occasionally to some extent the content, of

the general legal norms which in turn govern such individual norms as

judicial decision”13

Kemudian, sebagai prinsip hukum yang diakui keberadaannya di Indonesia,

pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh

Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria Farida Indrati, memperoleh

penegasan oleh Bagir Manan dimana menentukan bahwa teori hierarki norma hukum

pada intinya mengandung asas-asas atau prinsip-prinsip sebagai berikut:

Pertama, Peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah harus

bersumber atau memiliki dasar hukum dari suatu peraturan perundang-

undangan tingkat lebih tinggi; dan Kedua, Isi atau materi muatan

peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah tidak boleh

menyimpangi atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

tingkat lebih tinggi, kecuali apabila perundang-undangan yang lebih

tinggi dibuat tanpa wewenang (onbevorgd) atau melapaui wewenang

(detournement de pouvoir).14

Harjono menegaskan, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Alim bahwa

adanya perjenjangan atau hierarki peraturan perundang-undangan merupakan

parameter untuk menentukan sala satu unsur negara hukum yaitu pembatasan

kekuasaan. Sebab, perkembangan ilmu hukum kini telah sampai pada konsep dimana

13

Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia adalah: “Hubungan yang ada antara norma yang

mengatur penciptaan atau isi norma lain dan norma yang dibuat dapat disajikan dalam bentuk spasial.

Yang pertama adalah norma "superior"; yang kedua “inferior”. Jika seseorang melihat tatanan

hukum dari sudut pandang dinamis ini, ia tidak muncul, seperti yang terjadi dari sudut pandang statis,

sebagai sistem norma yang setara, berdiri di samping yang lain, tetapi bapak sebagai hierarki di mana

norma konstitusi dari strata paling atas. Dalam pengertian fungsional ini, 'konstitusi' berarti norma-

norma yang menentukan kreasi, dan kadang-kadang sampai batas tertentu isi, dari norma hukum

umum yang pada gilirannya mengatur norma-norma individu tersebut sebagai keputusan

pengadilan”. 14

Muntoha, Otonomi Daerah dan Perkembangan “Peraturan-Peraturan Daerah

Bernuansa Syariah”,(Disertasi pada program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia)

Jakarta, 2008, h. 35. Dalam Dalam Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah,

Penerbit: Genta Publishing, Yogyakarta, 2016. h. 67.

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

23

aturan hukum pada hakikatnya tersusun secara hirarkis. Sehingga keberadaan konsep

ini diterima oleh kalangan keilmuan hukum dengan muncul kecenderungan bahwa

ada tidaknya hierarkis, perjenjangan atau tata urutan peraturan perundang-undangan,

dijadikan sebagai tolak ukur tentang ada tidaknya unsur negara hukum. Sehingga

esensi dari adanya perjengangan atau tata urutan peraturan perundang-undangan

tersebut adalah sebagai pembatasan dalam membuat peraturan hukum.15

Selanjutnya, mengenai teori perjenjangan norma hukum atau hirarki peraturan

perundang-undangan yang dipelopori oleh Hans Kelsen, dikembangkan oleh Hans

Nawianski dengan menentukan bahwa pertingkatan norma (theory von stufenbau der

rechtsordenung) terjadi secara berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang, juga

berkelompok-kelompok, yang terdiri atas empat kelompok besar yaitu: Kelompok I :

Staatsfundamentalnorm (Norma Fundamental negara; Kelompok II :

Staatsgrundgesetz (Aturan Dasar Negara); Kelompok III : Formell Gasetz (Undang-

Undang Formal) dan Kelompok IV : Verordnung & Autosatzung (Aturan Pelaksana

dan Aturan Otonom.16

Di Indonesia, sejarah pertingkatan norma hukum yang sebagaimana

diutarakan oleh Kelsen dan Nawiasky dalam teori hirarki peraturan perundang-

undangan, awalnya ditentukan dalam TAP MPRS RI No. XX/MPRS/1966 tentang

memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia Dan

Tata Urutan Peraturan Perundangan Rapublik Indonesia, yang menggolongkan

15

Muhammad Alim, Perda Bernuansa Syariah dan Hubungannya dengan Konstitusi, Jurnal

Hukum Ius Quia Iustum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta, Volume 17 No.1

Januari, 2010, h.127. 16

Maria Farida Indrati, Ilmu …, Op. Cit, h. 44-45.

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

24

bentuk/ jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan sebagai berikut: a.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945; b. Ketetapan MPR; c. Undang-

Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah;

e. Keputusan Presiden; f. Peraturan-peraturan Pelaksanaan lainya seperti, Peraturan

Menteri, Instruksi Menteri, dan lain-lainya.

Kemudian, pada masa transisi (reformasi), MPR periode 1999-2004 mencabut

dan mengganti Tap MPRS a quo dengan Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber

Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan, yang mana dalam Pasal 2 ditegaskan

tentang jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia

sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar 1945; b. Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; c. Undang-Undang; d. Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu); e. Peraturan Pemerintah; f.

Keputusan Presiden; g. Peraturan Daerah.17

Selanjutnya, setelah diberlakukan selama sepuluh tahun maka dilakukan

perubahan lagi menjadi Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yang secara khusus ditentukan dalam Pasal 7 bahwa

jenis dan tata Urutan peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: a.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang/

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d.

Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah, meliputi (Peraturan Daerah Provinsi,

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa).

17

Pasal 2Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor.III/MPR/2000 tentang Sumber

Hukum dan Tata Urutan Perundang-undangan.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

25

Kemudian, seiring perkembangannya maka Undang-undang No.10 Tahun 2004

dicabut dan diganti dengan Undang-undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, yang berlaku saat ini, yang mana memuat jenis dan

tata urutan peraturan perundang-undangan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7

adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c. Undang-Undang/ Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan Pemerintah; e. Peraturan

Preiden; f. Peraturan Daerah Provinsi; dan g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.18

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa

ketentuan yang mengatur mengenai teori perjenjangan norma hukum atau teori

hirarki peraturan perundang undangan maka mengandung makna bahwa peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi menjadi sumber atau dasar berlakunya

peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah tidak boleh bertentangan isinya dengan peraturan yang lebih tinggi.

Apabila ditemukan isi atau materi muatan peraturan yang lebih rendah bertentangan

dengan peraturan yang lebih tinggi, maka yang berlaku adalah isi atau materi muatan

peraturan yang lebih tinggi.

18

(Pasal 7 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang pembentukan Perundang-undang).

Penjelasan lengkap mengenai sejarah pertingkatan norma hukum di indonesia dapat dilihat dalam

tulisan Umbu Rauta, Konstitusionalitas Pengujian Peraturan Daerah, Penerbit: Genta Publishing,

Yogyakarta, 2016. h. 69-70.

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

26

B. TEORI PENDELEGASIAN KEWENANGAN

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(Delegated Legislation)

Undang-undang sebagai suatu instrument penting dalam sistem ketatanegaraan

di Indonesia, haruslah memuat kecermatan dalam pelaksanaannya, mengingat adanya

cita pemerintah dan masyarakat yang membutuhkan suatu ketentuan yang jelas dan

lebih rinci serta memuat perintah apa yang harus dan tidak boleh di lakukan.

Menurut Jimmly Asshiddiqie, undang-undang dapat dipahami sebagai naskah

hukum dalam arti yang luas, yang menyangkut materi dan bentuk tertentu, hal ini

sejalan dengan pendapat Jeremy Bentham19

dan John Austin20

yang mengaitkan istila

„legislation‟ sebagai “any form of law-making”. “The term is, however, restricted to

a particular form of law-making, viz. the declaration in statutory form of rules of law

by the legislature of the State. The law that has its source in legislation is called

enacted law or statute or written law”21

.

Dengan demikian, bentuk peraturan yang dapat ditetapkan oleh lembaga

legislatif untuk maksud mengikat umum dapat dikaitkan dengan pengertian “enacted

19

Jeremy Bentham, An Introduction to the principle of Morals and Legislation, ed. J.H.

Burns and H.L.A. Hart, (Oxford: Clarendon Press, 1996), dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-

Undang, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 22. 20

J.L. Austin, The Province of Jurisprudence Determined and the Uses of the Study of

Jurisprudence, (London: Weidenfeld and Nicolson, 1954), dalam Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-

Undang, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 22. 21

Dalam Terjemahan Bahasa Indonesia adalah: “Istilah ini, bagaimanapun, terbatas pada

bentuk tertentu pembuatan undang-undang, yaitu. deklarasi dalam bentuk undang-undang aturan

hukum oleh legislatif Negara. Hukum yang memiliki sumbernya dalam undang-undang disebut

hukum yang berlaku atau undang-undang atau hukum tertulis ”.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

27

law”, “statute” atau undang-undang dalam arti yang luas.22

Sehingga, untuk

menentukan keabsahan serta daya ikat suatu peraturan perundang-undangan maka

sangat dibutuhkan peran lembaga legislatif, peran tersebut haruslah berdasarkan pada

kehendak rakyat, karena pada dasarnya rakyatlah yang berdaulat dalam negara

demokrasi. Sehingga seharusnya pembentukan suatu undang-undang, serta

pengaturan yang bersumber pada undang-undang haruslah menjunjung tinggi

kecermatan.

Di Indonesia, implementasi dari teori hierarki peraturan perundang-undangan

secara spesifik telah ditentukan dan diberlakukan dalam Undang-Undang Nomor 12

Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai dasar

pijakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Kemudian, Sama halnya

dengan teori hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia,

implementasi dari teori pendelegasian kewenangan (deleated legislation) adalah

untuk dapat mewujudkan kecermatan dan ketertiban. Maka, perundang-undangan

sebagaimana dimaksud, haruslah dibuat oleh lembaga yang berwenang

membentukanya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi. Hal tersebut berlaku

karena perundang-undangan susunanya berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis

sehingga membentuk suatu hierarki.

Spesifik mengenai hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam Pasal 7

ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 memuat tentang jenis dan hierarki

peraturan perundang-undangan yang mana terdiri dari; “a. Undang-Undang Dasar

22

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang (selanjutnya disebut Perihal Undang-

Undang 2), Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. h. 21-22.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

28

Negara Republik Indonesia; b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; c.

Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; d. Peraturan

Pemerintah; e. Peraturan Presiden; f. Peraturan Daerah Profinsi;dan g. Peraturan

Daerah Kabupaten/ kota”. Selanjutnya pada ayat (2) dipertegas lagi yaitu mengenai

kekuatan berlakunya yaitu kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai

dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).23

Selanjutnya Dalam Pasal 8

ayat (1) ditentukan bahwa:

“Ayat (1) jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan

oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi,

Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri,

badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan

Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau

yang setingkat;

Ayat (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan

yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan

Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) maka ketentuan

diatas diakui secara sah keberadaanya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang

diperintahkan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

tingkatannya atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Artinya, Pasal 7 ayat (1) dan

ayat (2) secara tegas harus dipahami bahwa kekuatan berlakunya suatu peraturan

perundang-undangan sesuai dengan jenjang dan hierarki, sedangkan berdasarkan

23

Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 82).

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

29

prinsip hierarki peraturan perundang-undangan maka setiap jenis peraturan

perundang-undangan harus berdasarkan kaidah bahwa peraturan perundang-undangan

yang lebih rendah tingkatannya, tidak boleh bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam ilmu perundang-undangan, agar suatu undang-undang dapat di terapkan

pada tataran yang lebih teknis, maka undang-undang tersebut perlu dijabarkan secara

lebih rinci. Untuk menjabarkan pada tataran yang lebih rinci, maka dikenal-lah

prinsip delegated legislation atau pendelegasian kewenangan yang berlaku di

Indonesia.

Terkait dengan prinsip delegated legislation, perlu di ketahui bahwa sejarah

ketatanegaraan dunia mencatat bahwa pendelegasian wewenang/kekuasaan delegated

legislation atau pengaturan undang-undang kepada peraturan yang lebih rendah

terjadi sejak abad 16, yaitu pada masa pemerintahan Raja Inggris Henry VII.24

Artinya pendelegasian wewenang tidak terjadi pada Abad 19 atau 20-an yang mana

kemajuan di bidang sosial-ekonomi berkembang begitu pesat.

Di Indonesia pendelegasian wewenang legislasi (legislative delegation of rule-

making power) dipahami sebagai langkah pemberian kewenangan oleh pembentuk

undang-undang untuk mengatur hal-hal tertentu lebih lanjut dalam bentuk peraturan

pelaksana yang lebih rendah tingkatannya. Artinya legislator utama “primary

legislator” atau “principal legislator” adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),

sedangkan pemerintah atau Presiden dalam bentuk atau penetapan peraturan

24

Sir William Wade and Christopher Forsyth, Administrative Law, eight edition, Oxford

University Press, New York, 2000, h. 840-841.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

30

pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah atau bentuk lainnya dapat disebut sebagai

“delegated legislator” atau “secondary legislator” sehingga Peraturan Perundang-

undangan pelaksana disebut sebagai “delegated legislation” sedangkan yang

merupakan peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang disebut

“subordinate legislation”.

Jimmly dalam bukunya tentang “Perihal Undang-Undang” menyatakan,

apabila suatu kewenangan dimandatkan kepada suatu lembaga lain untuk

melaksanakannya atas nama pemberi mandat, maka lembaga pemberi mandat atau

mandator itu dapat saja menarik kembali mandatnya itu sewaktu-waktu dari lembaga

penerima mandat.25

Namun dalam teori tentang pendelegasian, pelimpahan

kewenangan dari suatu lembaga kepada lembaga yang lain berakibat akan terjadinya

perpindahan kewenangan secara mutlak. Artinya kewenangan yang telah

didelegasikan kepada lembaga lain tidak dapat lagi ditarik kembali oleh lembaga

pemberi delegasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa delegasi (delegation) berbeda

dengan mandat.

Dalam Algemene Wet Bestuursrecht (AWB), 1992/1993 yang menyatakan

bahwa delegasi adalah “het overdragen door een bestuursorgaan van zijn

bevoegdheid tot het nemen van besuiten aan een ander die deze onder eigen

verantwoordelijkheid uitoefent” dalam terjemahan bahasa indonesia delegasi adalah

pemberian, pelimpahan, atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan

kepada pihak lain untuk mengambil keputusan atas pertanggungjawaban sendiri”

sedangkan mandat adalah “Mandat merupakan kewenangan yang diberikan oleh

25

Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang 1… Op., Cit., h. 264.

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

31

suatu organ pemerintahan kepada orang lain untuk atas nama atau

tanggungjawabnya sendiri mengambil keputusan. Sedangkan mandat adalah “het

door een bestuutsorgaan aan een ander verlenen van de bevoegdheid in zijn naan

besluiten te nemen” dalam terjemahan bahasa Indonesia mandat adalah kewenangan

yang diberikan oleh suatu organ pemerintahan kepada orang lain untuk atas nama

atau tanggungjawabnya sendiri mengambil keputusan.26

Konsep diatas menunjukkan bahwa dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan, seringkali diperlukan perumusan-perumusan yang berhubungan

dengan masalah pendelegasian kewenangan dari peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.27

Dalam

konsep pendelegasian kewenangan, pembentukan peraturan perundang-undangan

tersebut dapat terjadi karena dua hal, yaitu karena adanya kewenangan atribusi atau

karena kewenangan delegasi. Kewenangan atribusi dalam pembentukan pembentukan

peraturan perundang-undangan (attributie van wetgevingsbevoegdheid) adalah

pemberian atau penciptaan kewenangan dalam bentuk peraturan perundang-undangan

yang diberikan oleh groundwet (Undang-Undang Dasar) atau oleh wet (Undang-

Undang) kepada suatu lembaga negara atau lembaga pemerintahan; Kewenangan

delegasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (delegatie van

wetgevingsbevoegdheid) adalah pelimpahan kewenangan membentuk peraturan

perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih

26

Lihat Algemene Wet Bestuursrecht (AWB), 1992/1993, artikel 1.A.1.2.1. Dan Artikel

1.A.1.1.1. 27

Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan 2, Op., Cit., h.167.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

32

tinggi kepada peraturan yang lebih rendah.28

Alasan dilakukannya pelimpahan

kewenangan adalah karena terdapat beberapa hal yang tidak dapat dirumuskan secara

langsung dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta dikarenakan

oleh sifatnya yang mudah berubah, atau bersifat terlalu teknis.

Contohnya, mengenai kaitannya dengan konsep pendelegasian kewenangan

yang dilaksanakan melalui ketentuan peraturan perundang-undangan yang di

delegasikan maka secara spesifik tertuang dalam Pasal 1 angka 8 Undang-Undang

Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 5 Tahun

1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) menyatakan bahwa “Pasal 1

Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang

melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang undangan”29

sehingga untuk menentukan keabsahan (legalitas) dari setiap perbuatan pemerintah

yang dilakukan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) hal ini juga

menunjukkan bahwa kewenangan pemerintah berasal dari peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Hal tersebut diatas sejalan dengan penjelasan oleh Ridwan HR dalam bukunya

Hukum Administrasi Negara, Ridwan menjelaskan bahwa seiring dengan pilar utama

negara hukum, yaitu asas legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van

wetmatigheid van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang

pemerintah berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang

28

Ibid., h.168 29

Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5079).

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

33

bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan. Secara teoritik, kewenangan

yang bersumber dari peraturan perundangundang tersebut diperoleh melalui tiga cara

yaitu atribusi, delegasi dan mandat.30

Khusus mengenai konsep delegasi, H.D. Van Wijk/Williem Konijnebelt

mendefinisikan sebagai berikut. “Delegatie; overdracht van een bevoegheid van het

ene bestuursorgaan aan een ander, (delegasi adalah pelimpahan wewenang

pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya).

Selanjutnya dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi terdapat

beberapa syarat menurut Philipus M.Hadjon dalam makalah pada penataran hukum

Administrasi, maka yang sebagai berikut Pertama, delegasi harus definitif dan

pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi menggunakan sendiri wewenang yang

telah dilimpahkan itu; Kedua, delegasi harus berdasarkan ketentuan peraturan

perundang-undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan kalau ada ketentuan

untuk itu dalam peraturan perundang-undangan; Ketiga, delegasi tidak kepada

bawahan, artinya dalam hubungan hierarki kepegawaian tidak diperkenankan adanya

delegas; Keempat, kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), artinya delegans

berhak untuk meminta penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut; Kelima,

peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans memberikan instruksi (petunjuk)

tentang penggunaan wewenang tersebut.31

Dengan berdasar pada penjelasan diatas

maka jelas pada delegasi tidak terdapat penciptaan wewenang melainkan (delegated

30

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Penerbit: PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2016, h. 101. 31

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah pada Penataran Hukum Administrasi,

Fukultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 1998, h.9-10.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

34

legislation) atau pelimpahan kewenangan yang mana dalam konsep HAN berlaku

dari satu pejabat kepada pejabat lainnya sehingga tanggungjawab yuridis tidak lagi

berada pada pemberi delegasi (delegans), tetapi beralih pada penerima delegasi

(delegataris).

Adapun penjelasan secara spesifik mengenai pendelegasian kewenangan dari

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah telah dirumuskan dalam lampiran II Undang-Undang

Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan angka

198-216 halaman 60 yang rinciannya sebagai berikut;

(…198. Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dapat

mendelegasikan kewenangan mengatur lebih lanjut kepada peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah;

199. Pendelegasian kewenangan dapat dilakukan dari suatu

Undang-Undang kepada Undang-Undang yang lain dari Peraturan

Daerah Provinsi kepada Peraturan Daerah Provinsi yang lain, atau dari

Peraturan Daerah Kabupaten/Kota kepada Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota yang lain;

200. Pendelegasiang kewenangan mengatur harus menyebut

dengan tegas: a. ruang lingkup materi muatan yang diatur; dan b. jenis

Peraturan Perundang-undangan;

201. Jika materi muatan yang didelegasikan sebagian sudah diatur

pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang

mendelegasiakan dan tidak boleh didelegasikan lebih lanjut ke Peraturan

Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat

Ketentuan lebih lanjut mengenai… diatur dengan…;

202. Jika peraturan materi muatan tersebut dibolehkan

didelegasikan lebih lanjut (subdelegasi), gunakan kalimat Ketentuan

lebih lanjut mengenai … diatur dengan atau berdasarkan…;

203. Jika materi muatan yang didelegasikan sama sekali belum

diatur pokok-pokoknya di dalam Peraturan Perundang-undangan yang

mendelegasikan dan materi muatan itu harus diatur di dalam Peraturan

Perundang-undangan yang lebih rendah (subdelegasi), gunakan kalimat

Ketentuan mengenai … diatur dengan …;

204. Jika pengaturan materi tersebut dibolehkan didelegasiakan

lebih lanjut (subdelegasi) digunakan kalimat Ketentuan mengenai …

diatur dengan atau berdasarkan…;

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

35

205. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan dan

materi muatan tersebut tercantum dalam beberapa pasal atau ayat tetapi

akan didelagasikan dalam suatu Peraturan Perundang-undangan, gunakan

kalimat “Ketentuan mengenai….. diatur dalam …”;

206. Jika terdapat beberapa materi muatan yang didelegasikan

maka materi muatan yang didelegasikan dapat disatukan dalam 1 (satu)

peraturan pelaksanaan dari Peraturan Perundang-undangan yang

mendelegasikan, gunakan kalimat “(jenis Peraturan Perundang-

undangan) … tentang Peraturan Pelaksanaan …”;

207. Untuk mempermudah dalam penentuan judul dari peraturan

pelaksanaan yang akan dibuat, rumusan pendelegasian perlu

mencantumkan secara singkat tetapi lengkap mengenai apa yang akan

diatur lebih lanjut;

208. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan

dimuat pada ayat terakhir dari pasal yang bersangkutan;

209. Jika pasal terdiri dari beberapa ayat, pendelegasian kewenangan

dapat di pertimbangkan untuk dimuat dalam pasal tersendiri, karena

materi pendelegasian ini pada dasarnya berbeda dengan apa yang diatur

dalam rangkaian ayat-ayat sebelumnya;

210. Dalam pendelegasian kewenangan mengatur tidak boleh

adanya delegasi blangko;

211. Pendelegasian kewenangan mengatur dari Undang-Undang

kepada menteri, pemimpin lembaga negara nonkementrian, atau pejabat

yang setingkat dengan menteri dibatasi untuk peraturan yang bersifat

teknis administratif;

212. Kewenangan yang didelegasiakan kepada suatu alat

penyelenggara negara tidak dapat didelegasikan lebih lanjut kepada alat

penyelenggara negara lain, kecuali jika oleh undang-undang yang

mendelegasikan kewenangan tersebut dibuka kemungkinan untuk itu;

213. Pendelegasian kewenangan mengatur dari suatu Peraturan

Perundang-undangan tidak boleh didelegasikan kepada direktur jenderal,

sekretaris jenderal, atau pejabad yang setingkat;

214 Pendelegasian langsung kepada direktur jendral atau pejabat

yang setingkat hanya dapat diberikan oleh Peraturan Perundang-

undangan yang setingkatnya lebih rendah daripada Undang-Undang;

215. Peraturan Perundang-undangan pelaksanaanya hendaknya

tidak mengulangi ketentuan norma yang telah diatur didalam Peraturan

Perundang-undangan yang mendelegasikan, kecuali jika hal tersebut

memang tidak dapat dihindari;

216. Di dalam peraturan pelaksanaan tidak mengutip kembali

rumusan norma atau ketentuan yang terdapat dalam Peraturan

Perundang-undangan lebih tinggi yang mendelegasikan. Pengutipan

kembali dapat dilakukan sepanjang rumusan norma atau ketentuan

tersebut diperlukan sebagai pengantar (aanloop) untuk merumuskan

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

36

norma atau ketentuan lebih lanjut di dalam pasal atu beberapa pasal atau

ayat atau beberapa ayat selanjutnya.32

)

Sejatinya, selain menjunjung tinggi kecermatan, pendelegasian kewenangan

juga harus pula memperhatikan adanya pengaturan yang tidak boleh bertentangan

dengan hak asasi, artinya perhatian terhadap hak asasi merupakan yang harus lebih

diutamakan megingat kesejahtraan seluruh warga negara adalah cita bangsa, sehingga

untuk dapat di terapkan pada tataran praktis dan rinci ketentuan tersebut harus

memperhatikan hak asasi manusia. Hak asasi manusia disini adalah khusus hak warga

negara yang apabila dikaitkan dengan thesis penulis yaitu hak kostitusional warga

negara khusus mantan terpidana, dimana pengaturan mengenai syarat keikutsertaan

dalam pemilihan kepala daerah telah terjadi pertentangan yaitu antara Peraturan KPU

dan Undang-Undang Pilkada.

Pengaturan terhadap ketentuan yang lebih rinci haruslah bersifat demokratis

serta sesuai dengan konstitusi. Hal ini sejalan dengan esensi kewenangan yang

dimiliki pemerintah dalam melakukan perbuatan nyata untuk mengadakan pengaturan

atau mewujudkan keputusan yang berdasarkan atau tidak bertentangan dengan

kostitusi dengan cara pendelegasian kewenangan.

Sehingga berdasarkan penjelasan atau pemaparan konsep delegated legislation

sebagaimana disebutkan diatas, maka dapat dipahami bahwa munculnya konsep

delegated legislation sejatinya adalah dibutuhkan sebagai mekanisme pengaturan

terhadap peraturan pelaksana dari suatu undang-undang. Selain itu konsep delegated

32

Lampiran II Pedoman Nomor 198-216 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011

Nomor 82).

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

37

legislation merupakan hal demokratis dan mutlak dimana pengaturan terhadap

perundang-undangan mengikat adanya kekuasaan pemerintah, dan juga mengingat

pemerintah merupakan pilihan rakyat dalam pemilu, dengan demikian legitimasi yang

diberikan kepada pemerintah untuk membuat peraturan pelaksana telah cukup kuat

dengan tujuan adalah untuk menjamin hak setiap warga negara.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

38

C. TEORI HAK KONSTITUSIONAL (Constitutional Right)

Hak konstitusional adalah hak-hak yang dijamin oleh kostitusi atau Undang-

Undang Dasar, baik jaminan itu dinyatakan secara tegas maupun tersirat. Sehingga

karena dicantumkan dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar, maka ia menjadi

bagian dari konstitusi sehingga seluruh cabang kekuasaan negara wajib

menghormatinya.33

Artinya adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak

kostitusional merupakan titik tolak adanya pembatasan terhadap kekuasaan negara.

Sehingga untuk dapat menjamin adanya hak-hak konstitusional tersebut maka hak

konstitusional yang merupakan bagian dari konstitusi ini harus dilindungi

keberadaannya.

Mengenai perlindungan terhadap hak-hak konstitusional, sejarah mencatat

bahwa perlindungan hak-hak konstitusional tidak lepas dari tradisi pemikiran atau

doktrin barat tentang hak-hak individu (individual rights).34

Akan tetapi tidak tepat

apabila pemikiran mengenai hak-hak individu (yang kemudian berevolusi menjadi

hak-hak asasi manusia) merupakan produk peradaban barat. Dalam doktrin barat,

hak-hak individu ini dikonsepsikan sebagai hak-hak alamiah (natural rights),

sementara doktrin mengenai hak-hak alamiah itu sendiri merupakan bagian dari

doktrin hukum alam (natural law).35

Dalam perkembangannya, evolusi mengenai

33

I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint): Upaya

Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit: Sinar Grafika

Jakarta, 2013, h. 111. 34

Louis Henkin, Human Rights, Fondation Press: New York, 1999, h. 16. Dalam I Dewa

Gede Palguna Pengaduan Konstitusional (constitutional complaint): Upaya Hukum Terhadap

Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 35

Durga Das Basu, Human Rights In Constitutional Law, Nagpur-Agra: Wadhwa and

Company, New Delhi, h. 48. Dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutionl

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

39

hak-hak alamiah yang (yang kemudian dikenal sebagai HAM) menjadi hak-hak

konstitusional, dimana perlindungan terhadap hak-hak tersebut secara mutlak di

jamin oleh konstitusi.

Selanjutnya, para ahli berpendapat bahwa perumusan mengenai konsep hak

asasi manusia dimulai pada abad ke-17 sekalipun mereka mengakui bahwa

pemasalahan mengenai hak-hak asasi manusia telah dimulai pada abad ke-13.

Kemudian hal serupa berbarengan dengan ditandatanganinya Magna Carta oleh Raja

John Lackland pada Tahun 1215, menyatakan bahwa Raja tunduk pada dan terikat

oleh hak tertentu dan terikat oleh hukum dan bahwa raja tidak boleh menahan atau

memenjarakan orang secara sewenang-wenang. Akan tetapi banyak pertanyaan

mengenai isi Magna Charta terhadap sejarah hak asasi manusia dimana dikawatirkan

hal tersebut hanya mencerminkan pergulatan kekuasaan antara raja dan para

bangsawan.

Namun, sebagaimana dikatakan oleh para pendukungnya, dengan dibatasinya

kekuasaan raja, Magna Charta merupakan langkah penting pertama bagi

perkembangan ideolog hak-hak individu, juga kontribusinya terhadapa hak untuk

diadili oleh juri (right to a jury trial), pembentukan habeas corpus, dan right to due

process of law.36

Sehingga, berkaitan dengan doktrin hak-hak alamiah, maka Magna Carta-lah

yang merupakan dokumen pertama yang menjalankan doktrin mengenai hak-hak

alamiah itu ke dalam kenyataan praktik. Durga Das Basu mengatakan bahwa; “The

Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit:

Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 112. 36

Louis Henkin at al, loc Cit.

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

40

doctrine of natural rights thus passed in to realm of practical reality whe an absolute

monarch himself (King John) was made to acknowledge that there were certain rights

of the subjects which could not be violated event by a sovereign in whom all powers

legally vested.”37

Selanjutnya, untuk memaknai hak-hak alamiah, Thomas Hobbes menyatakan

bahwa setiap individu manusia memiliki hak alamiah (jus natural) yaitu kebebasan

(liberty) untuk menggunakan kekuatannya sendiri, sesuai dengan kemauannya

sendiri, guna mempertahankan sifat hakikinya, yaitu kehidupannya. Sedangkan,

kebebasan (liberty) adalah tidak adanya halangan external. Namun, dalam keadaan

alami (in the state of nature) manusia yang satu memandang manusia lain sebagai

ancaman sehingga mereka senantiasa berada dalam suasana perang satu dengan yang

lain sepanjang waktu. Untuk menghentikan “perang” itu maka menurut Hobbes,

adalah rasional jika kemudian para individu itu membuat kontrak untuk mendirikan

suatu pemerintahan yang dijalankan oleh penguasa yang diberikan kekuasaan

absolute karena hanya kekuasaan absolutelah yang memadai untuk menyelesaikan

pertikaian antar individu; atau, jika tidak, masyarakat akan bubar karena konflik dan,

sebagai akibatnya, kehidupan bersama pun akan terancam.38

37

Durga Das Basu, Op. Cit., h. 49. Dalam Bahasa Indonesia: Doktrin hak-hak alamia

dengan demikian diteruskan ke ranah realitas praktis saat raja (Raja John) dibuat untuk megakui bahwa

ada hak-hak tertentu dari warga yang tidak dapat dilanggar oleh penguasa dimana semua kekuasaan

dipegang secara hukum. 38

Thomas Hobbes, “Leviathan”, Chapter 13 dan 14, dalam Steven M. Chan, Op. Cit.,

h.224-227; Dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutionl Complaint) :

Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit: Sinar Grafika,

Jakarta, 2013, h. 116.

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

41

Sementara itu, berkenaan dengan rumusan hah-hak alamiah maka John Locke

lebih rinci yang disebut hak-hak alamiah itu sebagai hak untuk hidup, kebebasan dan

milik:

“Man being born … With a title to perfect freedom and an

uncontrolled enjoyment of all the rights and privilages of the law of

Nature, equally with any other man, or number of men in the world, hath

by nature a power not only to preserve his property- that is, his life,

liberty, and estate against the injuries and ettemps of other man, but tu

judge of and punish the breaches of that law in others, as he is persuaded

the offence deserves, even with death itself, in crimes whwre the

heinousness of the fact, in his opinion, requires it.”39

Menurut Locke, dalam keadaan alam (in the state of nature) manusia diatur

oleh hukum alam (law of nature). Namun demi mewujudkan suasana baik dan aman

maka ia dan manusia-manusia lainnya mengadakan kontrak sosial membentuk suatu

masyarakat politik (political society) untuk mempertahankan kehidupan, kebebasan

dan milik mereka. Disinilah Locke menunjukkan perbedaan antara pendapatnya

dengan Hobbes namun mereka berangkat dari ajaran yang sama. Menurut Locke cara

untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak alamiah manusia bukan dengan

adanya suatu pemerintahan yang absolut tetapi dengan membatasi kekuasaan

pemerintah itu: “And hence it is evident that absolute monarchy, which by some men

39

John Locke, Two Treatises of Civil Government, London: J.M. Dent & Sons, 1960,

Chapter VII h. 158-159; Dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutionl

Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, Penerbit:

Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 117. Dalam Bahasa Indonesia: Manusia terlahir ... Dengan sebutan

untuk kebebasan yang sempurna dan kenikmatan yang tak terkendali dari semua hak dan hak

istimewa dari hukum Alam, sama dengan manusia lain, atau jumlah manusia di dunia, secara alamiah

memiliki kekuatan tidak hanya untuk melestarikannya. properti - yaitu, hidupnya, kebebasan, dan

harta bendanya terhadap luka-luka dan ettemps orang lain, tetapi tu menghakimi dan menghukum

pelanggaran hukum itu pada orang lain, karena ia dibujuk pelanggaran yang layak, bahkan dengan

kematian itu sendiri, dalam kejahatan mengapa kekejaman fakta itu, menurutnya, membutuhkannya.n

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

42

is counted the only government in the world, is indeed inconsistent with civil society,

and so can be no form of civil government at all.”40

Dengan demikian manfaat ajaran Locke adalah, ia tidak saja berhenti sebatas

pada apa penentangannya terhadap kekuasaan pemerintah (executive power) yang

sewenang-wenang, tetapi juga terhadap pembuat undang-undang (legislative power)

yang sewenang-wenang dengan esensi bahwa tidak boleh bertentangan dengan hak

alamia (yang telah berevolusi memjadi hak konstitusional) meskipun ia

memposisikan pembentuk undang-undang sebagai kekuasaan tertinggi dalam

masyarakat (the supreme power).

Perkembangan selanjutnya adalah setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka

mulailah muncul gagasan tentang hak-hak alamiah dan menjadi perhatian

internasional yang diwujudkan dengan berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB). Diketahui bahwa sejak saat ditandatanganinya piagam PBB yang kemudian

diikuti dengan pembentukan komisi PBB tentang Hak Asasi Manusia (1946), maka

istila HAM (human right) menjadi populer mengantikan istilah hak alamiah. Tutuan

pembentukan komisi tersebut adalah untuk secara tegas menjadikan pemajuan serta

mendorong ke arah penghormatan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan mendasar

manusia tanpa diskriminasi sebagai tujuannya.41

40

Ibid., h. 160 41

Piagam PBB, Pasal 1 angka (3): “The purpose of the united nations are … (3) to achieve

international co-operation in solving international problems of an economic, social, cultural, or

humanitarian character, and in promotion and encouraging respect for human rights and for

fundamental freedoms for all without distinction as tu race, sex, language, or religion”; dikutip dari

Departement of public information, tanpa tahun, Charter of the United Nations and Statute of the

international Court of Justice, United Nations: New York.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

43

Dimasukannya HAM kedalam kostitusi tertulis berarti memberi status kepada

hak-hak itu sebagai hak-hak konstitusional.42

Konstitusi adalah hukum dasar atau

hukum fundamental (fundamental law) dengan esensi bahwa hak-hak kostitusional

itu pun mendapatkan kedudukan sebagai hak fundamental. Implikasinya ialah, hak-

hak kontitusional itu adalah hak-hak fundamental dan konstitusi adalah hukum dasar

(fundamental) sehingga setiap tindakan negara yang bertentangan atau tidak sesuai

dengan hakikat konstitusi (atau hak fundamental) itu harus dibatalkan oleh

pengadilan karena bertentangan atau tidak sesuai dengan hakikat kostitusi sebagai

hukum dasar (fundamental).43

Berdasarkan pemaparan teori atau doktrin hak kostitusional diatas maka dapat

dipahami bahwa timbulnya perjuangan untuk mewujudkan hak konstitusional sebagai

hak fundamental adalah merupakan hasil perjuangan seluruh warga negara dengan

tujuan untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya dari tindakan pemerintah

yang sewenang-wenang. Sehingga implikasi dari teori ini adalah untuk menunjukkan

bahwa setiap warga negara memiliki hak konstitusional yang secara mutlak, dijamin

dan dilindungi oleh pemerintah terhadap pelanggaran hak-hak kostitusional.

42

I Dewa Gede Palguna, Op. Cit., h. 133 43

Lihat lebih jauh Laurence H. Tribe 1985, Constitutional Choices, Harvard University

Press: Cambridge-Massachusetts-London, h. 246-248; dalam I Dewa Gede Palguna, Pengaduan

Konstitusional (Constitutionl Complaint): Upaya Hukum Terhadap Pelanggaran Hak-Hak

Konstitusional Warga Negara, Penerbit: Sinar Grafika, Jakarta, 2013, h. 133

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

44

Hak Politik (Political Rights)

Hak politik (political rights) adalah seperangkat hak yang menurut sifatnya

berkaitan dengan aktivitas dan partisipasi dalam proses bernegara atau dalam

penyelenggaraan pemerintahan44

. Dengan demikian hak-hak politik memiliki ciri

demokratis seperti tersirat dari definisi yang dikemukakan Kelsen: “those rights

which give their possessor an influence on the formation of the will of the State.”45

Sesuai dengan pengertian ini maka hak initi dari hak-hak politik adalah hak atas

kebebasan berkumpul, berserikat, berekspresi atau menyatakan pendapat.46

Selajutnya Kelsen menegaskan bahwa hak politik dapat diartikan sebagai

kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi warga negara yang berperan serta

dalam pemerintahan, dalam pembentukan “kehendak” negara. Sehingga, terlepas dari

makna kiasannya, hak politik ini berarti bahwa warga negara dapat berperan serta

dalam pembuatan peraturan hukum.47

Oleh sebab itu, yang terutama terdapat dalam

pemikiran orang adalah pembuatan norma-norma atau “perundang-undangan”, dalam

arti yang sangat luas. Peran serta dalam pembuatan undang-undang oleh para individu

sebagai subjek peraturan hukum tersebut merupakan ciri demokrasi, yang

membedakannya dari otokrasi yang tidak melibatkan subjeknya dalam pembuatan

44

Titon Slamet Kurnia, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, (The Jimly Court 2003-2008), Penerbit: Mandar Maju, Bandung. Bekerja sama

dengan Fakultas Hukum – Universitas Kristen Satya Wacana, September, 2015, h. 254. (Selanjutnya

Disingkat Titon Slamet Kurnia II). 45

Hans Kelsen, Teori Umum… Op., Cit., h. 235. 46

Titon Slamet Kurnia II, Loc. Cit. 47

Hans Kelsen, Teori Umum… Loc., Cit, h. 127

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

45

undang-undang, yakni tidak mempunyai hak-hak politik.48

Sehingga kewajiban

hukum merupakan fungsi esensial dari setiap norma hukum dalam tatana hukum.49

Di Indonesia, khusus ketentuan mengenai hak politik secara tegas dapat di

identifikasi dalam Bab XA UUD NRI 1945 adalah sebagai berikut. Pasal 28E ayat (3)

UUD NRI 1945 menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat berkumpul dan

berpendapat. Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 menjamin bahwa setiap warga negara

berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Pasal 28F UUD

NRI 1945 menjamin hak untuk berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan

informasi. Pasal 28E ayat (2) UUD NRI 1945 menjamin hak untuk menyatakan

pikiran sesuai hati nurani. Hak ini diperkuat oleh Pasal 28I ayat (1) UUD NRI 1945

yang menentukan bahwa “hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani” merupakan hak

yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Terakhir, Pasal 28C ayat (2) UUD

NRI 1945 yang menjamin bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya

dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,

bangsa dan negaranya.50

Berkenaan dengan ketentuan hak-hak politik dalam UUD NRI 1945, maka

sejalan dengan pernyataan HAM Internasional (UDHR) yang ditentukan dalam

Art.19 UDHR mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi, adalah sebagai

berikut: “everyone has the right to freedom of opinion and expression”. Dengan

cakupannya yaitu meliputi “freedom to hold opinions without interference and to

seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of

48

Ibid., 49

Ibid., h. 130 50

Titon Slamet Kurnia II, Op.Cit., h. 255.

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

46

frontiers.” Selanjutnya Art.20 UDHR menentukan tentang kebebasan berkumpul dan

berserikat sebagai berikut: “Everione has the right to freedom of peaceful assembly

and association.” Sebagai implikasi penghargaan terhadap kebebasan tersebut maka

“no one may be compelled to belong to an association.” Sehingga untuk mendukung

sifat politik dari hak-hak tersebut secara nyata ditentukan dalam Art.21 (1) UDHR

bahwa “every one has the right to take part in the government of his country, directly

or through freely chosen representatives,” dengan berdasar pada asas “ the will of the

people shall be the basis of the authority of government.”51

Artinya bahwa, dukungan

terhadap hak politik bukan hanya di Indonesia tetapi sudah menjadi kewajiban

Internasional. Selanjutnya, International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) khususnya dalam Art. 25 ICCPR yang menentukan:

Every citizen shall have the right and the opportunity, without any

of the dictinctions mentioned in article 2 and without unreasonable

restriction: (a) To take part in the conduct of public affairs, direcly or

through freely chosen representatives; (b)To vote and to be elected at

genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage

and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the

will of the electors; (c) To have access, on general terms of equality, to

public serfice in his country.52

51

Lihat: Article 19, Article 20, dan Article 21 UDHR (Universal Declaration Of Human

Rights) Dalam Titon Slamet Kurnia II, Interpretasi Hak-Hak Asasi Manusia Oleh Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, (The Jimly Court 2003-2008), Penerbit: Mandar Maju, Bandung.

Bekerja sama dengan Fakultas Hukum – Universitas Kristen Satya Wacana, September, 2015, h. 255 52

Lihat: Article 25 ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights)

terjemahan dalam bahasa Indonesia: Setiap warga negara akan memiliki hak dan kesempatan, tanpa

salah satu dari yang disebutkan dalam pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak masuk akal: (a) Untuk

mengambil bagian dalam pelaksanaan urusan publik, secara langsung atau melalui perwakilan yang

dipilih secara bebas; (b) Untuk memilih dan dipilih pada pemilihan umum periodik murni yang harus

dengan hak pilih yang universal dan sama dan harus diadakan dengan pemungutan suara secara

rahasia, menjamin kebebasan ekspresi keinginan para pemilih; (C) Untuk memiliki akses, pada istilah

umum kesetaraan, untuk jabatan publik di negaranya. Adopted by the General Assembly of the United

Nations on 19 December 1966.

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

47

Berdasarkan penjelasan diatas, mengandung makna bahwa hak-hak politik

mengalami penyempitan cakupan secara ratione personae, dari hak asasi manusia

(human rights) menjadi hak warga negara (cityzen‟s rights) yang dapat dinikmati oleh

warga negara dalam hubungannya dengan negaranya. Artinya, hak-hak politik

tersebut merupakan ketentuan yang umum, dimana ketika di implementasikan

sebagai warga negara menjadi lebih spesifik yaitu hak untuk memilih dan dipilih baik

aktif maupun pasif sebagai hak untuk turut serta dalam pemerintahan.53

Secara konseptual, hakekat dari hak-hak politik sesuai asas demokrasi adalah

political freedom, maka hak-hak politik tersebut harus mencerminkan kapasitas

sebagai self-government dari rakyat. Dengan kata lain hak-hak politik dalam negara

demokratis berfungsi mewujudkan pemerintahan yang sesuai dengan aspirasi rakyat.

Hal ini sejalan dengan system demokrasi perwakilan yang telah lazim di praktikkan

oleh negara-negara domkrasi modern dimana rakyat memberikan haknya kepada

pemerintah melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas tetapi dengan hal tersebut

tidak berarti bahwa rakyat kehilangan seluruh haknya untuk memerintah sendiri.

Sehingga dapat dipahami bahwa hak-hak politik memiliki fungsi protektif yaitu tidak

hanya untuk menjamin supaya seorang dapat berpartisipasi dalam pemerintahan tetapi

yang terpenting adalah untuk menjamin bahwa pemerintah tidak memerintah menurut

kehendaknya sendiri. Kemudian, berkaitan dengan konsep demokrasi maka Miriam

Budiardjo menegaskan gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah

53

Titon Slamet Kurnia II, Op. Cit., h.256.

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

48

pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindang sewenang-

wenang terhadap warga negarannya.54

Dalam pelaksanaanya, eksistensi hak politik atau hak untuk memilih dan dipilih

yang berasal dari HAM tersebut sejatinya bukanlah merupakan sesuatu yang final dan

mutlak adanya. Sebab, sangat dimungkinkan dilakukan adanya pembatasan dengan

tujuan untuk mejamin hak dan kebebasan orang lain serta untuk dapat memenuhi

tututan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan,

dan ketertiban umum dalam suatu maryarakat demokratis. Hal ini secara tegas telah

ditentukan dalam Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, yang menyatakan bahwa:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib

tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang

dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta

penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain untuk memenuhi

tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,

keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Sehingga berdasarkan ketentuan diatas, jelas menunjukkan bahwa dalam

menjalankan hak dan kebebasannya, dapat dimungkinkan adanya pembatasan.

Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ketentuan Pasal a quo harus diatur dalam

undang-undang, artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut maka

tidak dimungkinkan pula untuk dilakukannya pembatasan terhadap pelaksanaan hak

dan kebebasan yang secara mutlak melakat pada setiap orang serta warga negara

Indonesia.

Berdasarkan pemaparan konsep hak politik sebagaimana telah dijelaskan diatas,

maka dapat dimapahami bahwa timbulnya hak politik didasarkan pada proses

54

Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revsi, Penerbit: PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, 2008, h. 107.

Page 33: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

49

aktifitas dan pastisipasi dalam proses bernegara dimana poin utama dari hak politik

adalah menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul dan

berpendapat. Selain itu konsep ini juga bertujuan sebagai suatu proteksi yaitu dengan

mengekang (dengan membatasi) kekuasaan pemerintah terhadap warga negara untuk

memperoleh haknya dalam cakupan hak untuk turut serta berpartisipasi dalam

pemerintahan.

Page 34: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

50

D. TEORI HUKUMAN GANDA (Double Jeopardy)

Hukuman ganda (Double Jeopardy) atau dalam bukunya Munir Fuady yang

berjudul “Hak Asasi Tersangka Pidana” disebut konsep atau teori penggandaan

resiko, adalah prinsip hukum yang menjamin seorang tersangka pidana oleh hukum

dijamin hak fundamentalnya, yang salah satunya adalah hak untuk tidak di proses

hukum dua kali atau lebih terhadap satu kasus yang disangkakan kepadanya yang

sebelumnya telah pernah diproses secara hukum.55

Sejatinya, prinsip ini merupakan bagian integral dari negara-negara yang

menganut sisitem hukum Eropa Kontinental seperti di Prancis, Jerman Belanda, dan

juga karenanya Indonesia, tetapi juga berlaku di negara-negara yang menganut

system hukum Anglo Saxon, seperti Inggris, Australia dan Amerika Serikat.56

Sehingga secara spesifik keberadaannya dituangkan dalam Amandemen ke-5 dari

konstitusi Amerika Serikat yang menyatakan bahwa:

“Nor shall any person be subject for the same offense to be twice put in

jeopardy of life and limb; Nor shall be compelled of life, liberty, or property, without

due process of law; Nor shall private property be taken for public use, without just

compensation”. Yang artinya adalah seseorang tidak dapat dihukum dua kali untuk

kasus yang sama, tidak dapat juga dipaksa untuk menjadi saksi pidana bagi dirinya

sendiri, tidak dapat juga diambil propertinya untuk kepentingan publik tanpa suatu

55

Munir Fuandy dan Sylvia Laura L. Fuady “Hak Asasi Tersangka Pidana” Edisi Pertama,

Penerbit: Prenada Media Group, Jakarta, 2015, h. 242-243 56

Ibid.,

Page 35: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

51

konpensasi yang adil.57

Dengan dibentuknya dalil terhadap hukuman ganda artinya

Amerika Serikat menganggap bahwa hukuman ganda merupakan isu krusial dan

fundamental karena menyangkut hak asasi.

Selanjutnya, hal serupa juga dipertegas oleh pendapat IICPR (The International

Covenant on Civil and Political Rights) yang secara tegas melarang atas tindakan

hukum yang dilakukan lebih dari satu kali terhadap suatu perbuatan atau tuduhan

pidana. Dalam hal ini Pasal 14 ayat (7) IICPR yang berdalih sebagai berikut: “no one

shall be liable tried or puished again for an offense for which he has already been

finaly convicted or acuetted in accordance with the law and penal procedure of each

country”58

. Yang artinya adalah tidak seorangpun dapat diproses hukum dua kali atau

dihukum kembali atas tuduhan yang telah membuatnya dihukum atau dibebaskan

sesuai hukum dan prosedur pidana di masing-masing negara.

Di Indonesia konsep hukuman ganda (double jeopardy) dikenal juga dengan

asas nebis in idem yang di tentukan dalam Pasal 76 (1) Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa “seseorang tidak dapat dituntut

dua kali karena perbuatan yang oleh hakim indonesia terhadap dirinya telah diadili

dengan putusan yang tetap”.59

Artinya asas ini berlaku dalam hal seorang telah

mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van alle rechtsvolging) atau

pemidanaan (veroordeling) [lihat Pasal 75 ayat (2) KUHP].

57

The Fifth Amendment to the United States Constitution. 58

Article 14, verse (7) “The International Covenant on Civil and Political Rights”, Adobe

by The General Assembly of the United Nation on 19 December, 1966, h. 177. 59

Moeljatno, Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Penerbit: Bumi

Aksara, 2014, Cet. 31, h. 32.

Page 36: BAB II LANDASAN TEORI - UKSW · 2019. 8. 9. · pendapat tentang teori hirarki peraturan perundang-undangan (stufentbau theory) oleh Hans Kelsen dan berangkat dari pendapat Maria

52

Selanjutnya, terkait dengan pengujian terhadap peraturan perundang-undangan,

maka penerapan asas nebis in idem di tentukan dalam Pasal 60 ayat (1) Undang-

Undang No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang menyatakan bahwa “Terhadap materi

muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak

dapat dimohonkan pengujian kembali”60

.

Sejatinya, penerapan asas ne bis in idem ataupun prinsip double jeopardy

adalah bertujuan untuk melindungi hak asasi seseorang yang telah menerima

hukuman pidana untuk dipidana kembali dengan dalil yang sama. Dengan demikian

kaidah tersebut sejalan dengan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang

Nomor.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa “Setiap

orang tidak dapat dituntut untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu

perbuatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

tetap”.61

Sehingga tidak ada kemungkinan bahwa setiap orang di proses hukum atau

dihukum dua kali atau lebih terhadap suatu kasus yang sama, yang dapat merugikan

orang tersebut, yang mengakibatkan terciderainya keadilan, dan hak orang tersebut.

Sehingga, berdasarkan pemaparan di atas maka dapat dsimpulkan bahwa

kaidah dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h bertentangan dengan prinsip double jeopardy.

60

Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lebaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226). 61

Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Nomor.39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia

(Lembaran Negara Pepublik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3886).