bab ii kajian pustaka 2.1 jurnalistik media onlineeprints.umm.ac.id/38128/3/bab ii.pdf2.1...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Jurnalistik Media Online
Dunia jurnalistik saat ini tidak hanya terdapat pada media massa cetak yang
khusus dalam koran dan majalah serta media elektroknik yang khususnya pada
radio dan televisi. Telah hadir jurnalistik yang disiarkan lewat internet yang
disebut situs berita atau media online. Sejak dunia internet berkembang dengan
sangat pesat dan canggih, jurnalistik lewat dunia internet pun turut berkembang.
Jurnalistik ini menjadi pesaing yang sangat ketat bagi jurnalistik media cetak,
khususnya koran dan majalah. Jurnalistik media online juga dianggap paling
unggul diantara jenis-jenis jurnalistik yang lain seperti media cetak dan
elektronik.
(Zaenuddin, 2011:7-8) menyatakan, Jurnalistik media online memliki
sejumlah keunggulan dibanding jurnalistik media cetak. Pertama, berita-berita
yang disampaikan jauh lebih cepat, bahkan setiap berapa menit dapat di-up date.
Peristiwa-peristiwa besar yang baru saja terjadi sudah dapat diketahui dengan
membaca berita di media online, masyarakat tidak harus menunggu esok hari
lewat koran atau pekan depan lewat majalah. Faktor kecepatan inilah yang tidak
diperoleh lewat media cetak dan membuat media online sangat dibutuhkan bagi
mereka yang ingin mengetahui perkembangan dunia setiap saat, termasuk foto-
foto peristiwa yang menyertai berita tersebut. kedua, untuk mengakses berita-
berita yang disajikan, tidak hanya dapat dilakukan lewat komputer atau laptop
yang dipasang internet, tetapi lewat ponsel pun bisa sehingga sangat mudah dan
11
praktis. Ketiga, pembaca media online dapat memberikan tanggapan atau
komentar secara langsung terhadap berita-berita yang disukai atau tidak
disukainya dengan mengetik pada kolom komentar yang telah disediakan.
2.2 Bahasa Jurnalistik
Bahasa jurnalistik adalah salah satu ragam bahasa Indonesia, bukan bahasa
yang benar-benar khusus hingga berbeda sekali dengan bahasa Indonesia. Bahasa
jurnalistik harus tetap didasarkan pada bahasa baku bahasa Indonesia yang tetap
memperhatikan kaidah-kaidah tata bahasa, ejaan dan tanda baca yang benar, serta
dalam pemilihan kosa kata juga mengikuti perkembangan bahasa dalam
masyarakat. Hanya saja bahasa jurnalistik memiliki sifat-sifat tertentu, dan ini
terkait dengan sifat-sifat media massa, baik cetak maupun elektronik (Zaenuddin,
2011:148).
Widarmanto (2015:43) menyatakan bahwa bahasa jurnalistik diciptakan
untuk semua lapisan masyarakat di kota dan di desa, di gunung dan di lembah, di
darat dan di laut. Tidak ada satupun kelompok masyarakat yang dianakemaskan
atau dianaktirikan oleh bahasa jurnalistik. Oleh karena itu bahasa jurnalistik
sangat mengutamakan kemampuan untuk menyampaikan semua informasi yang
dibawa kepada pembaca secepatnya dengan mengutamakan daya komunikasinya.
Bahasa yang terdapat dalam berita atau laporan surat kabar, tabloid,
majalah, radio, televisi, dan media online yang tidak akrab di mata, telinga, dan
benak khalayak, tidak layak disebut bahasa jurnalistik, bahkan harus jelas-jelas
ditolak sebagai bahasa jurnalistik (Widarmanto, 2015:44). Dalam penampilannya
bahasa jurnalistik yang baik bisa ditengarai dengan kalimat-kalimat yang mengalir
12
lancar dari atas sampai akhir menggunakan kata-kata populer yang merakyat,
akrab di telinga masyarakat sehari-hari. Susunan kalimat jurnalistik yang baik
akan menggunakan kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana
serta isi dalam pesannya. Bahkan nuansa yang terkandung dalam masing-masing
kata pun perlu diperhitungkan (Dewabrata dalam Widarmanto, 2015:47)
2.3 Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Gaya bahasa atau
style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang
mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk
menghadapi situasi tertentu. Sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua
hirarki kebahasan seperti halnya, pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan
kalimat. Dilihat dari segi bahasa, gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa.
Gaya bahasa memungkinkan kita dapat menilai pribadi, watak, dan kemampuan
seseorang yang mempergunakan bahasa itu. Semakin baik gaya bahasanya,
semakin baik pula penilaian orang terhadapnya, semakin buruk gaya bahasa
seseorang, semakin buruk penilaian diberikan padanya (Keraf: 1987:112-113).
Menurut Dale [et al] (dalam Tarigan, 2013:4) gaya bahasa adalah bahasa
indah yang digunakan untuk meningkatkan efek dengan jalan memperkenalkan
serta membandingkan suatu benda atau hal tertentu dengan benda atau hal lain
yang lebih umum. Secara singkat penggunaan gaya bahasa tertentu dapat
mengubah serta menimbullkan konotasi tertentu. Arsyad Dkk (1999:3.3)
berpendapat bahwa, gaya bahasa adalah cara mengatakan, mengungkapkan, atau
menggambarkan pikiran atau perasaan dengan mempergunakan bentuk-bentuk
13
bahasa tertentu, sehingga yang diungkapkan itu menjadi menarik dan bersifat khas
yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis.
Pendapat lain menyatakan, gaya bahasa merupakan bentuk retorik, yaitu
penggunaan kata-kata dalam berbicara dan menulis untuk meyakinkan atau
mempengaruhi penyimak dan pembaca. Gaya bahasa dan kosa kata mempunyai
hubungan erat, hubungan timbal balik. Semakin kaya kosa kata seseorang,
semakin beragam pula gaya bahasa yang dipakainya. Peningkatan pemakaian
gaya bahasa jelas memperkaya kosakata pemakainya (Tarigan, 2013:4-5).
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar di atas
dapat disimpulkan bahwa gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa untuk
menggambarkan, meyakinkan dan mempengaruhi pembaca atau penyimak yang
dilakukan oleh penulis atau pengguna bahasa tersebut. Melalui gaya bahasa,
seseorang dapat menilai kepribadian, watak dan kemampuan orang lain yang
menggunakan gaya bahasa tersebut. Semakin baik gaya bahasa yang digunakan
semakin baik pula penilaian seseorang. Semakin buruk gaya bahasa yang
digunakan semakin buruk pula penilaian seseorang.
2.4 Jenis-Jenis Gaya Bahasa
Gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berbagai cara. Lain penulis lain
pula klasifikasi yang dibuatnya. Gorys Keraf dalam bukunya “Diksi dan Gaya
Bahasa” membagi jenis-jenis gaya bahasa menjadi dua kategori, yaitu gaya bahasa
dari segi nonbahasa dan gaya bahasa dari segi bahasa (Keraf, 1987:115),
keduanya akan dijelaskan sebagai berikut.
14
2.4.1 Gaya Bahasa dari Segi Nonbahasa
Gaya bahasa dari segi nonbahasa dapat dibagi atas tujuh gaya bahasa
(Keraf, 1987:115-116). Pertama, yaitu gaya bahasa berdasarkan pengarang
merupakan gaya yang disebut sesuai dengan nama pengarang atau dikenal
berdasarkan ciri-ciri yang digunakan oleh pengarang atau penulis dalam
karangannya. Kedua, yaitu gaya bahasa berdasarkan masa dikenal karena ciri-ciri
tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Ketiga, yaitu gaya
bahasa berdasarkan medium merupakan bahasa dalam arti komunikasi. Keempat,
yaitu gaya bahasa berdasarkan subjek, dalam hal ini subjek yang dimaskud adalah
yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi
pula gaya bahasa sebuah karangan. Kelima, yaitu gaya bahasa berdasarkan tempat
yang mendapatkan namanya dari lokasi geografis, kerana ciri-ciri kedaerahan
mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. Keenam, yaitu gaya bahasa
berdasarkan hadirin seperti halnya dengan subjek, maka hadirin atau jenis
pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang.
Ketujuh, yaitu gaya bahasa berdasarkan tujuan yang memperoleh namanya dari
maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, dimana pengarang ingin
mencurahkan segala perasaanya.
2.4.2 Gaya bahasa dari Segi Bahasa
Dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya
bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang digunakan,
yaitu.
15
a. Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata
Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata mempersoalkan kata mana yang
paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat
tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam
masyarakat. Dengan kata lain gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan
kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Dalam bahasa standar atau
bahasa baku dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu gaya bahasa resmi, gaya bahasa
tak resmi dan gaya bahasa percakapan (Keraf, 1987:117).
b. Gaya Bahasa Berdasarkan Nada yang Terkandung dalam Wacana
Gaya bahasa berdasarkan nada didasarkan pada sugesti yang dipancarkan
dari rangkaian kata-kata yang terdapat dalam sebuah wacana. dikarenakan nada
itu pertama-tama lahir dari sugesti yang dipancarkan oleh rangkaian kata-kata,
sedangkan ramgkaian kata-kata itu tunduk pada kaidah-kaidah sintaksis yang
berlaku, maka nada, pilihan kata, dan struktur kalimat sebenarnya berjalan sejajar.
Yang satu akan mempengaruhi yang lain. Dengan latar belakang ini, gaya bahasa
dilihat dari sudut nada yang terkandung dalam sebuah wacana, dibagi atas: gaya
yang sederhana, gaya mulia dan bertenaga, serta gaya menengah (Keraf,
1987:121).
c. Gaya Bahasa Berdasarkan Struktur kalimat
Keraf (1987:124) menjelaskan bahwa struktur sebuah kalimat dapat
dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Yang dimaksud dengan
struktur kalimat disini adalah bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang
dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, kendur,
dan kalimat berkembang.
16
Berdasarkan ketiga macam struktur kalimat sebagai yang dikemukakan di
atas, maka diperoleh gaya-gaya bahasa sebagai berikut.
1) Klimaks
Gaya bahasa klimaks adalah gaya bahasa yang memaparkan suatu pikiran
atau hal berturut-turut dari yang sederhana dan kurang penting kemudian
meningkat kepada suatu hal atau gagasan yang penting atau kompleks. Shadily
(dalam Tarigan, 1986:79) menyatakan, gaya bahasa klimaks merupakan sejenis
gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang semakin lama semakin
mengandung penekanan, kebalikannya dengan antiklimaks. Sedangkan Arsyad
Dkk (1999:3.5) berpendapat bahwa gaya bahasa klimaks adalah gaya bahasa
penegasan dengan menyatakan beberapa hal berturut-turut yang semakin lama
semakin meningkat.
Pendapat lain menyatakan bahwa gaya bahasa klimaks diturunkan dari
kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat
kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya (Keraf, 1987:124).
Contoh : Di depan sidang yang terhormat ini, saya ingin menyampaikan terima
kasih dan penghargaan kepada seluruh lembaga negara, atas
kekompakkan, sinergi dan atas kerjasama yang baik selama ini.
2) Antiklimaks
Antiklimaks merupakan kebalikan gaya bahasa klimaks. Keraf (1987:125)
menyatakan, Gaya bahasa ini dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur
mengendur. Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang
gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan
17
yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang efektif karena gagasan yang
penting ditempatkan pada awal kalimat, sehingga pembaca atau pendengar tidak
lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat ini.
Contoh : Kita ingin kerja bersama tidak hanya dalam pemerataan ekonomi yang
berkeadilan tapi juga dalam pembangunan ideologi, politik, sosial
dan budaya.
3) Paralelisme
Paralelisme merupakan gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran
dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama
dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat berbentuk anak
kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya ini lahir
dari struktur kalimat yang berimbang (Keraf, 1987:126).
Contoh : Dalam semangat persatuan Indonesia itu, lembaga-lemabaga negara
justru bisa bekerja dengan lebih baik, bila saling mengingatkan, bila
saling kontrol, bila saling mengimbangi dan saling melengkapi.
4) Antitesis
Antitesis merupakan gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang
bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang
berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang (Keraf, 1987:126).
Contoh : Tindak kejahatan sekarang tidak membedakan lagi siang malam, pagi
petang, laki-Iaki perempuan, dengan kekerasan atau tanpa
kekerasan.
18
5) Repetisi
Keraf (1987:127) menyatakan, Repetisi merupakan perulangan bunyi, suku
kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberikan tekanan
dalam sebuah konteks yang sesuai. Seperti halnya dengan paralelisme dan
antitesis, repetisi lahir dari kalimat yang berimbang. Repetisi yang berbentuk kata,
frasa atau klausa dianggap mempunyai nilai yang tinggi, maka dalam oratori
timbullah bermacam-macam variasi repetisi yang pada prinsipnya didasarkan
pada tempat kata yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat.
Contoh : Bangsa kita adalah bangsa yang teruji. Bangsa kita adalah bangsa petarung.
d. Gaya Bahasa Berdasarkan Langsung tidaknya Makna
Gaya bahasa berdasarkan makna diukur dari langsung tidaknya makna,
yaitu apakah acuan yang dipakai masih mempertahankan makna denotatifnya atau
sudah ada penyimpangan. Bila acuan yang digunakan itu masih mempertahankan
makna dasar, maka bahasa itu masih bersifat polos. Namun bila sudah ada
perubahan makna, entah berupa makna konotatis atau sudah menyimpang jauh
dari makna denotatifnya, maka acuan itu dianggap sudah memiliki gaya sebagai
yang dimaksudkan disini. Gaya bahasa ini dibagi atas dua kelompok, yaitu gaya
bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan (Keraf, 1987:129-145).
1. Gaya Bahasa Retoris
a) Aliterasi
Aliterasi merupakan gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan yang
sama. Gaya bahasa Aliterasi biasa dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang
dalam pros yang dipergunakan untuk perhiasan atau untuk penekanan.
Contoh : Saudara-saudara se-Bangsa dan se-Tanah Air
19
b) Asonansi
Asonasi merupakan gaya bahasa yang berwujud perulangan bunyi vokal
yang sama. Gaya bahasa Asonasi biasa digunakan dalam puisi, kadang-kadang
juga dalam prosa untuk memperoleh penekanan atau sekedar untuk keindahan.
Contoh : Dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote.
c) Anastrof
Anastrof merupakan gaya retoris yang diperoleh dengan pembalikan
susunan kata yang biasa dalam kalimat. Merupakan gaya bahasa permutasi atau
perubahan urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis, yaitu dengan kata lain
perubahan urutan subjek-predikat menjadi predikat-subjek.
Contoh : Pergilah ia meninggalkan kampung halamannya untuk mencari harapan
baru di kota.
d) Apofasis atau Preterisio
Apofasis atau preterisio merupakan gaya bahasa dimana penulis atau
pengarang menegaskan sesuatu, tetapi tampaknya menyangkal. Gaya bahasa yang
digunakan penulis, pengarang atau pembicara untuk menegaskan sesuatu tetapi
tampaknya menyangkalnya.
Contoh : Saya tidak mau mengungkapkan dalam forum ini bahwa Saudara telah
menggelapkan ratusan juta rupiah uang negara.
e) Apostrof
Apostrof merupakan gaya bahasa yang berbentuk pengalihan amanat dari para
hadirin kepada sesuatu yang tidak hadir. Dalam pidato yang disampaikan kepada
suatu massa, para orator tiba-tiba mengarahkan pembicaraannya langsung kepada
sesuatu yang tidak hadir atau kepada yang gaib, misalnya kepada orang yang sudah
20
meninggal dunia, kepada roh-roh atau kepada barang atau objek khayalan, yang
abstrak, yang membuat dia seolah-olah tidak berbicara kepada yang hadir.
Contoh : Hai kamu dewa-dewa yang berada di surga, datanglah dan bebaskanlah
kami dari belenggu penindasan ini.
f) Asindeton
Asindenton adalah gaya bahasa yang berupa acuan, yang bersifat padat
dimana beberapa kata, frasa, atau klausa yang sederajat tidak dihubungkan dengan
kata sambung. Bentuk-bentuk tersebut biasanya dipisahkan dengan koma.
Contoh : Pelajaran yang sangat penting dari sejarah bangsa kita adalah
kemerdekaan bisa kita rebut, bisa kita raih, bisa kita proklamasikan
karena semua anak-anak bangsa mampu untuk bersatu, mampu untuk
bekerjasama, mampu untuk kerja bersama.
g) Polisindeton
Polisindeton merupakan kebalikan dari asindeton. Beberapa kata, frasa, atau
klausa yang berurutan dihubungkan satu sama lain dengan kata-kata sambung.
Contoh : Saya yakin dengan kekompakan, dengan sinergi, dengan kerja bersama
itu, tidak akan memperlemah tugas dan tanggung jawab konstitusional
yang dijalankan oleh setiap lembaga negara, tetapi justru memperkuat
semua dalam memenuhi amanah rakyat.
h) Kiasmus
Kiasmus adalah acuan atau gaya bahasa yang terdiri dari dua bagian, baik
frasa atau klausa, yang sifatnya berimbang, dan dipertentangkan satu sama lain,
tetapi susunan frasa atau klausanya itu terbalik bila dibandingkan dengan frasa
atau klausa lainnya.
21
Contoh : Jangan kamu putar-balikkan yang benar menjadi salah, dan yang salah
menjadi benar.
i) Elipsis
Elipsis adalah suatu gaya yang berwujud menghilangkan suatu unsur
kalimat yang dengan mudah dapat diisi atau ditafsirkan sendiri oleh pembaca atau
pendengar, sehingga struktur gramatikal atau kalimatnya memenuhi pola yang
berlaku.
Contoh : Makanan ringan itu telah habis olehnya. (penghilangan unsur predikat
verbal intransitif “dimakan” sebelum kata “olehnya”)
j) Eufemismus
Eufemismus adalah semacam acuan berupa ungkapan-ungkapan yang tidak
menyinggung perasaan orang, atau ungkapan-ungkapan yang halus untuk
menggantikan acuan-acuan yang mungkin dirasakan menghina, menyinggung
perasaan atau mensugestikan sesuatu yang tidak menyenangkan.
Contoh : Banyak warga negara kita yang masih berada di kelas ekonomi
menengah ke bawah. (ekonomi menengah ke bawah = miskin)
k) Litotes
Litotes merupakan gaya bahasa yang dipakai untuk menyatakan sesuatu
dengan tujuan merendahkan diri. Tarigan (2013:58) menyatakan dalam
pengungkapannya gaya bahasa litotes menyatakan sesuatu yang positif dengan
bentuk yang negatif atau bentuk yang bertentangan untuk mengurang atau
melemahkan kekuatan pernyataan yang sebenarnya.
Contoh : Aku hanya bisa memberikan bantuan ala kadarnya dan tidak seberapa.
Silakan diterima dengan senang hati.
22
l) Histeron Proteron
Histeron proteron merupakan gaya bahasa kebalikan dari sesuatu yang logis
atau kebalikan dari sesuatu yang wajar, misalnya menempatkan sesuatu yang
terjadi kemudian pada awal peristiwa.
Contoh : Pegang teguhlah maka kamu bakal hancur, bertindaklah adil maka kamu
akan terpencil.
m) Pleonasme dan Tautlogi
Pleonasme dan tautlogi adalah acuan yang mempergunakan kata-kata lebih
banyak daripada yang diperlukan untuk menyatukan suatu pikiran atau gagasan.
Dalam artian lain pleonasme merupakan bila kata yang berlebihan tersebut
dihilangkan, maka artinya tetap utuh.
Contoh : Majulah engkau ke depan dan kemudian mundur ke belakang.
n) Perifrasis
Perifrasis merupakan gaya yang sama dengan pleonasme, yaitu
menggunakan kata-kata yang berlebihan dari yang diperlukan. Perbedaanya
terletak pada kata-kata yang berlebihan tersebut sebenarnya dapat diganti dengan
hanya satu kata.
Contoh : Ia telah beristirahat dengan damai (=mati, atau meninggal)
o) Prolepsis atau Antisipasi
Prolepsis atau antisipasi adalah semacam gaya bahasa dimana menggunakan
lebih dahulu kata-kata atau sebuah kata sebelum peristiwa atau gagasan
sebenarnya terjadi.
Contoh : Kami sangat gembira, minggu depan kami memperoleh hadiah dari
Bapak Bupati.
23
p) Erotesis atau Pertanyaan Retoris
Erotesis atau pertanyaan retoris merupakan sejenis gaya bahasa yang berupa
pertanyaan yang digunakan dalam tulisan atau pidato yang bertujuan untuk
mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali
tidak menuntut suatu jawaban.
Contoh : Rakyatkah yang harus menanggung akibat semua korupsi dan
manipulasi di negara ini?
q) Silepsis dan Zeugma
Silepsis dan zeugma adalah gaya dimana orang mempergunakan dua
konstruksi rapatan dengan menguhubungkan sebuah kata dengan dua kata lain
yang sebenarnya hanya salah satunya mempunyai hubungan dengan kata yang
pertama.
Contoh : Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.
r) Koreksio atau Epanortosis
Koreksio atau epanortosis merupakan suatu gaya yang berwujud mula-mula
ingin menegaskan sesuatu, tetapi kemudian memperbaiki mana-mana yang salah.
Contoh : Bukankah kau putri Pak Lurah, ah, maaf, putri Pak Bupati?
s) Hiperbol
Hiperbol merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-besarkan sesuatu hal. Dengan kata
lain hiperbol adalah ungkapan yang melebih-lebihkan apa yang sebenarnya
dimaksudkan: jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya.
24
Contoh : Kepercayaan rakyat adalah jiwa dan sekaligus energi bagi lembaga-
lembaga negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya masing-
masing.
t) Paradoks
Paradoks merupakan semacam gaya bahasa yang mengandung pertentangan
yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks dapat juga berarti semua hal
yang menarik perhatian karena kebenarannya.
Contoh : Aku sangat menderita dalam pertemuan yang membahagiakan ini.
u) Oksimoron
Oksimoron adalah suatu acuan yang beruasaha untuk menggabungkan kata-
kata untuk mencapai efek yang bertentangan. Atau dapat juga dikatakan,
oksimoron adalah gaya bahasa yang mengandung pertentangan dengan
menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frasa yang sama, dan sebab itu
sifatnya lebih padat dan tajam dari paradoks.
Contoh : Itu sudah menjadi rahasia umum.
2. Gaya Bahasa Kiasan
Gaya bahasa kiasan ini pertama-tama dibentuk berdasarkan perbandingan
atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal lain, berarti
mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan antara kedua hal
tersebut.
a) Persamaan atau Smile
Persamaan atau smile merupakan suatu perbandingan yang bersifat eksplisit.
Yang dimaksud dengan perbanding eksplisit ialah bahwa langsung menyatakan
sesuatu yang sama dengan hal yang lain. Arsyad Dkk (1999:3.16) menyatakan
25
gaya bahasa ini merupakan perbandingan yang bersifat eksplisit dalam
menunjukkan kesamaan-kesamaan itu dengan menggunakan kata-kata laksana,
bagaikan, seperti dan sebagainnya.
Contoh : Bibirnya seperti delima merekah.
b) Metafora
Metafora adalah gaya bahasa yang membandingkan dua hal secara
langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat. Metafora adalah pemakaian kata-kata
bukan arti sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan
atau perbandingan (Poerwadarminta dalam Tarigan, 2013:15).
Contoh : Generasi muda adalah tulang punggung negara (generasi muda
dianalogikan sebagai tulang punggung).
c) Alegori, Parabel, dan Fabel
Alegori merupakan suatu cerita singkat yang mengandung makna kiasan,
makna kiasan ini harus ditarik dari bawah permukaan ceritanya. Tarigan
(2013:24) menyatakan alegori biasanya mengandung sifat-sifat moral atau spritual
manusia. Biasanya cerita-cerita panjang dan rumit dengan maksud dan tujuan
yang terselubung namun bagi pembaca yang jeli justru cerita tersebut nyata dan
jelas.
Parabel adalah suatu kisah singkat dengan tokoh-tokoh biasanya manusia,
yang selalu mengandung tema moral. Fabel adalah suatu metafora berbentuk
cerita mengenai dunia binatang, di mana binatang-binatang bahkan makhluk-
makhluk yang tidak bernyawa bertindak seola-olah sebagai manusia.
26
d) Personifikasi atau Prosopopoeia
Personifikasi atau prosopopoeia adalah gaya bahasa kiasan yang
menggambarkan benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa
seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan.
Contoh : Angin yang meraung di tengah malam yang gelap itu menambah lagi
ketakutan kami.
e) Alusi
Alusi adalah gaya bahasa yang berusaha mensugestikan kesamaan antar
orang, tempat, atau peristiwa. Biasanya, alusi ini adalah suatu referensi yang
eksplisit atau implisit kepada peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, atau tempat dalam
kehidupan nyata, mitologi, atau dalam karya-karya sastra yang terkenal.
f) Eponim
Eponim merupakan suatu gaya dimana seseorang yang namanya begitu
sering dihubungkan dengan sifat tertentu, sehinnga nama itu dipakai untuk
menyatakan sifat itu.
g) Epitet
Epitet adalah gaya bahasa yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khusus
dari seseorang atau sesuatu hal. Keterangan itu adalah suatu frasa deskriptif yang
menjelaskan atau mengantikan nama seseorang atau suatu barang.
Contoh : Kembang desa jadi rebutan buaya darat.
h) Sinekdoke
Sinekdoke adalah gaya bahasa yang menyebutkan nama bagian sebagai
pengganti nama keseluruhannya. Sinekdoke merupakan semacam bahasa figuratif
yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan
27
(sinekdoke pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan
sebagian (sinekdoke totum pro parte).
Contoh : Setiap tahun semakin banyak mulut yang harus diberi makan di Tanah
Air kita ini. (sinekdoke pars pro toto)
Indonesia dikecam oleh Australia akan hukuman mati yang menimpa
warganya. (sinekdoke totum pro parte)
i) Metonimia
Metonimia adalah gaya bahasa yang mempergunakan sebuah kata untuk
menyatakan suatu hal lain, karena mempunyai pertalian yang sangat dekat (Keraf,
1987:142). Dengan kata lain, metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama
ciri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang, atau hal, sebagai
penggantinya (Moeliono dalam Tarigan, 2013:121).
Contoh : Dan akhirnya ia menjual honda kesayangannya untuk biaya sekolah.
(motor)
j) Antonomasia
Antonomasia merupakan bentuk khusus dari sinekdoke yang berupa
pemakaian sebuah epitet untuk menggantikan nama diri atau gelar resmi, atau
jabatan untuk menggantikan nama diri (Keraf, 1987:142). Dengan kata lain,
antonomasia adalah gaya bahasa yang merupakan penggunaan gelar resmi atau
jabatan sebagai pengganti nama diri.
Contoh : Yang saya hormati Yang Mulia duta besar negara-negara sahabat bapak
ibu hadirin sekalian yang berbahagia.
28
k) Hipalase
Hipalase merupakan semacam gaya bahasa dimana sebuah kata tertentu
dipergunakan untuk menerangkan sebuah kata, yang seharusnya dikenakan pada
sebuah kata lain. Atau secara singkat dapat dikatakan bahwa hipalase adalah suatu
kebalikan dari suatu relasi alamiah antara dua komponen gagasan.
Contoh : Ia duduk pada sebuah bangku yang gelisah. (yang gelisah adalah ia,
bukan bangku)
l) Ironi, sinisme, dan sarkasme
Ironi adalah gaya bahasa yang mengimplikasikan sesuatu yang nyata
berbeda, bahkan seringkali bertentangan dengan yang sebenarnya (Tarigan,
2013:61). Sebagai bahasa kiasan, ironi atau sindirian adalah suatu acuan yang
ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya (Keraf, 1987:143).
Kadang-kadang digunakan juga istilah lain, yaitu sinisme yang diartikan
sebagai suatu sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan
terhadap keikhlasan atau ketulusan hati. sinisme adalah ironi yang lebih kasar
sifatnya. Berbeda dengan ironi dan sinisme, sarkasme merpukan suatu acuan yang
lebih kasar yang mengandung kepahitan dan celaan yang getir.
Contoh : (Ironi) Maaf, Ibu. Tulisan Ibu terlalu besar sehingga saya tidak dapat
membaca! dari sini. (kenyataannya, tulisan bu guru terlalu kecil)
m) Satire
Satire merupakan suatu ungkapan yang menertawakan atau menolak
sesuatu. Bentuk ini tidak perlu harus bersifat ironis. Satire mengandung kritik
29
tentang kelemahan manusia. Tujuan utamanya adalah agar diadakan perbaikan
secara etis maupun estetis.
n) Ineundo
Ineundo merupakan semacam sindiran yang mengecilkan kenyataan yang
sebenarnya. Seseorang menyatakan kritik dengan sugesti yang tidak langsung, dan
sering tampaknya tidak menyakitkan kalau dilihat sambil lalu.
Contoh : Ia menjadi kaya-raya karena sedikit mengadakan komersialisasi
jabatannya.
o) Antifrasis
Antifrasis merupakan semacam ironi yang berwujud penggunaan sebuah
kata dengan makna kebalikannya, yang bisa saja dianggap sebagai ironi sendiri,
atau kata-kata yang dipakai untuk menangkal kejahatan, roh jahat, dan
sebagainya.
p) Pun atau Paronomasia
Pun atau paronomasia merupakan suatu kiasan dengan mempergunakan
kemiripan bunyi tetapi bermakna lain. Istilah paronomasia sering juga disamakan
dengan yang mengandung makna yang sama.
Contoh : Pada pohon paku di muka rumah kami tertancap beberapa buah paku
tempat menyangkutkan pot bunga.
2.5 Makna dan Jenis Makna
2.5.1 Makna
Makna adalah arti atau maksud yang terkandung dalam penggunaan bahasa
seperti halnya dalam kata, kalimat dan pembicaraan. Djajasudarma (2009:7
30
menyatakan makna adalah pertautan yang ada di antara unsur-unsur bahasa itu
sendiri terutama kata-kata. Istilah makna (meaning) merupakan kata dan istilah
yang membingungkan. Ogden dan Richards (dalam Pateda, 2001:81) berpendapat
bahwa, dalam kehidupan sehari-hari orang sulit menerapkan makna yang terdapat
dalam kamus, sebab makna sebuah kata sering bergeser jika berada dalam satuan
kalimat. Dengan kata lain setiap kata kadang mempunyai makna luas. Itu
sebabnya kadang-kadang orang tidak puas dengan makna kata yang tertera di
dalam kamus. Hal-hal ini muncul jika orang bertemu atau berhadapan dengan
idiom, gaya bahasa, metafora, peribahasa dan ungkapan.
2.5.2 Jenis-Jenis Makna
Terdapat beberapa pendapat mengenai jenis makna. Pateda (dalam Chaer,
2013: 59), misalnya, secara alfabetis telah mendaftarkan adanya 25 jenis makna, yaitu
makna afektif, makna denotatif, makna deskriptif, makna ekstensi, makna emotif,
makna gereflekter, makna ideasional, makna intensi, makna gramatikal, makna
kiasan, makna kognitif, makna kolokasi, makna konotatif, makna konseptual, makna
konstruksi, makna leksikal, makna luas, makna piktonal, makna proposional, makna
pusat, makna referensial, makna sempit, makna stilistika, dan makna tematis. Ada
istilah yang berbeda untuk maksud yang sama atau hampir sama, tetapi ada pula
istilah yang sama untuk maksud yang berbeda-beda.
Chaer (2013:59-60) menyatakan bahwa, sesungguhnya jenis atau tipe makna
dapat dibedakan beberapa kriteria dan sudut pandang. Berdasarkan jenis semantiknya
dapat dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, berdasarkan ada
tidaknya referen pada sebuah kata/leksem dapat dibedakan adanya makna referensial
31
dan makna nonreferensial, berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata atau
leksem dapat dibedakan adanya makna denotatif dan makna konotatif, berdasarkan
ketepatan maknanya dikenal dengan adanya makna kata dan makna istilah atau makna
umum dan makna khusus. Lalu berdasarkan kriteria lain atau sudut pandang lain dapat
disebut adanya makna-makna asosiatif, kolokatif, reflektif, idiomatik, dan sebagainya.
Dalam penelitian ini memfokuskan pada jenis makna berdasarkan ada tidaknya nilai
rasa pada sebuah kata atau leksem yaitu makna denotatif dan makna konotatif, berikut
akan dijelaskan secara jelas.
a. Makna Denotatif
Makna denotatif (denotatif meaning) adalah makna kata atau kelompok kata
yang didasarkan atas hubungan lugas antara satuan bahasa dan wujud diluar
bahasa yang diterapkan satuan bahasa itu secara tepat. Makna denotatif adalah
makna polos, makna apa adanya yang bersifat obejktif. Makna denotatif
didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu luar bahasa atau yang
didasarkan pada konvesi tertentu (Harimurti dalam Pateda, 2001:98).
Keraf (1987: 28) berpendapat bahwa makna denotatif disebut juga dengan
beberapa istilah lain seperti: makna denotasional, makna kognitif, makna
konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional.
Disebut makna denotasional, referensial, konseptual, atau ideasional, karena
makna itu menunjuk (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari
suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan
kesadaran atau pengetahuan; stimulus dan respon menyangkut hal-hal yang dapat
dicerap pancaindra dan rasio manusia. Dan makn ini disebut juga makna
proposional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-
pernyataan bersifat faktual.
32
Makna denotatif lazim disebut sebagai makna yang sesuai dengan hasil
observasi menurut pengelihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi
faktual objektif. Lalu karena itu makna denotatif sering disebut juga sebagai
“makna sebenarnya” (Chaer, 2013: 65-66). Makna denotatif dapat dibedakan atas
dua macam relasi, yaitu relasi antara sebuah barang individual yang diwakilinya
dan relasi antara sebuah kata dan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang
yang diwakilinya (Keraf, 1987:29)
b. Makna Konotatif
Makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau
makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan
respon mengandung nilia-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi
karena pembicara ingin menimbulkan persaan setuju atau tidak setuju, senang
atau tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar atau pembaca, di pihak
lain, kata yang dipilih itu memperlihatkan bahwa pembicaraanya juga memendam
perasaan yang sama (Keraf, 1987:29).
Makna konotatif sebuah kata dapat berbeda dari suatu kelompok masyarakat
yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan
hidup dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tersebut(Chaer,
2013:69). Makna konotatif juga dapat berubah dari waktu ke waktu. Makna
konotatif tidak terbatas pada bahasa tetapi juga pada sistem komunikasi yang lain.
Makna konotatif tidak stabil sesuai dengan intensitas rasa yang dimiliki
pembicara, pendengar, penulis dan pembaca (Keraf, 1987:113).
33
2.6 Fungsi Bahasa
Sudaryanto (dalam Aslinda, 2010: 89) menyatakan bahwa fungsi mengarah
untuk keperluan apa saja bahasa itu digunakan manusia. Bahasa mempunyai
fungsi yang amat penting bagi manusia, terutama fungsi komunikatif. Fungsi dari
penggunaan bahasa menjadi hal yang sangat penting bagi perkembangan bahasa.
Melalui fungsi, dapat diketahui untuk apa saja suatu bahasa digunakan oleh
pemakai bahasa. Halliday dalam bukunya “Explorations in the Functions of
Language” (dalam Tarigan, 1986:5-6) mengemukakan tujuh fungsi bahasa, yaitu.
a. Fungsi Intrumental
Fungsi instrumental untuk melayani pengelolaan lingkungan, menyebabkan
peristiwa-peristiwa tertentu terjadi. (Aslinda, 2010: 89) menyatakan fungsi
instrumental bertujuan untuk memanipulasi lingkungan penghasil kondisi tertentu
sehingga menyebabkan suatu peristiwa terjadi. Fungsi ini mengingatkan dengan apa
yang umumnya dikenal dengan perintah (Sudaryanto dalam Aslinda, 2010: 89).
b. Fungsi Regulasi
Fungsi regulasi bertindak untuk mengawasi serta mengendalikan peristiwa-
peristiwa serta mengandalkan peristwa-peristiwa. Fungsi regulasi atau pengaturan
ini bertindak untuk mengatur serta mengendalikan orang lain. Fungsi ini
merupakan kontrol perilaku sosial.
c. Fungsi Representasional
Fungsi representasional adalah penggunaan bahasa untuk membuat
pernyataan-pernyataan, menyampaikan fakta-fakta dan pengetahuan, menjelaskan
atau melaporkan, dengan perkataan lain “menggambarkan” realitas yang
sebenarnya, seperti yang dilihat seseorang. Sudaryanto (dalam Aslinda, 2010: 91)
menyatakan, bahwa fungsi ini mengingatkan pada apa yang dikenal dengan berita.
d. Fungsi Interaksional
34
Fungsi interaksional bertugas untuk menjamin serta menetapkan ketahanan
dan kelangsungan komunikasi sosial. Aslinda (2010: 91) menyatakan fungsi ini
mengacu pada pembinaan mempertahankan hubungan sosial antarpenutur dengan
menjaga kelangsungan komunikasi.
e. Fungsi Personal
Fungsi personal memberi kesempatan kepada seseorang penulis atau
pembicara untuk mengekspresikan perasaan, emosi, pribadi, serta reaksi-reaksinya
yang mendalam. Orientasi fungsi ini tertuju pada penuturnya sendiri.
f. Fungsi Heuristik
Fungsi heuristik melibatkan penggunaan bahasa untuk memperoleh ilmu
pengetahuan, mempelajari seluk-beluk lingkungan. Fungsi heuristik seringkali
digunakan dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban. Aslinda
(2010: 92) menyatakan fungsi heuristik disebut sebagai pemertanya yang
berfungsi untuk memperoleh pengetahuan.
g. Fungsi Imajinatif
Fungsi imajinatif melayani penciptaan sistem-sistem atau gagasan yang
bersifat imajinatif. Mengisahkan cerita-cerita dongeng, membaca lelucon, atau
menulis novel merupakan praktek penggunaan fungsi imajinatif bahasa. Aslinda
(2010: 92) menyatakan fungsi imajinatif berfungsi sebagai pencipta sistem,
gagasan, atau kisah imajinatif.