jurnalistik dakwah

91
Jurnalistik Dakwah 1

Upload: syarifudin-amq

Post on 12-Aug-2015

94 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 1

Page 2: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 2

PERAN JURNALISTIK DAKWAH

MENCEGAH BENTURAN PERADABAN

Oleh: Syarifuddin

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Setengah abad yang lalu amat mudah mendapatkan kota

atau negeri yang homogen, dihuni oleh satu kelompok etnik,

budaya atau agama tertentu. Tapi sekarang tidak lagi. Mobilitas

penduduk yang bergerak sangat dinamis, didukung oleh

perkembangan iptek yang luar biasa, telah menyebabkan

struktur dan komposisi penduduk di berbagai daerah berubah

cepat. Jurnalistik dakwah lahir sebagai ilmu baru yang akan

memberikan pencerahan pada semua media di dunia ini. Hal ini

latarbelakangi akibat media dewasaini kurang mampu

memberikan kenyamanan di tengah masyarakat. Hal ini tampak

dari produksi berita yang disampaikan lebih pada penonjolan

erotisme, materialisem, sosialisme, kapitalisme, humanisme

yang merusak cakwala manusia sebagaimana yang pernah

terjadi pada masa lalu.

Menghindari hal tersebut terulang kembali maka lahirlah

jurnalistik dakwah yang akan menjadi ilmu penyeimbang dari

jurnalistik yang ada dewasa ini. Masyarakat multikultural, atau

masyarakat bhinneka dengan heterogenitas yang semakin tinggi,

cenderung rentang dengan konflik sehingga membutuhkan

media massa yang memiliki kepekaan sosial dalam

memberitakan setiap berita yang akan dipublikasikan.

Dalam masyarakat multicultural setiap kelompok berhak

mengembangkan diri sesuai dengan ‚jalan‛ jati diri atau

Page 3: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 3

karakteristik kelompoknya (HAR Tilaar, 2004). Faham ini tidak

menganggap cukup dengan adanya Hukum dalam suatu

demokrasi konstitusional, karena dalam masyarkat multicultural

dibutuhkan adanya jaminan terhadap hak-hak kelompok

minoritas untuk mengembangkan martabat atas dasar jati diri

mereka. Jadi dibutuhkan adanya kesadaran kolektif yang

mendorong munculnya kebudayaan politik yang ditandai oleh

adanya penghormatan timbal-balik atas hak-hak manusia, sebab

dengan demikianlah demokrasi konstitusional bisa menjamin

hak-hak kelompok minoritas untuk duduk bersama dengan

kebudayaan kelompok-kelompok lain, tanpa ada rasa takut akan

kehilangan identitas atau ‚ditelan‛ oleh kelompok mayoritas

yang dominan.

Apa relevansi multikulturalisme bagi kita sebagai muslim

dan warga bangsa Indonesia? Pertama, berangkat dari realita

kita sebagai bangsa yang penuh keragaman. De facto bangsa ini

tersebar di 17.000 lebih pulau, terdiri dari puluhan etnik dengan

bahasa, tradisi, dan agama yang tidak sama. De jure, kita

sebenarnya telah mengadopsi semangat multikulturalisme

sekalipun dengan aktualisasi yang masih gamang. Pancasila dan

UUD 1945 telah mencoba merangkul semua unsur keragaman

itu, sebagaimana teukir tegas pada simbol (Garuda) negara

dengan kalimat Bhinneka Tunggal Ika. ‚Berbeda-beda tetapi

tetap satu‛, sungguh merupakan semboyan yang paling pas

untuk merangkum prinsip-prinsip multikulturalisme. Nah .

Bagimana Peran jurnalistik dakwah dalam mencegah benturan

peradaban menghindari benturan peradaban di indoensia dan

bahkan dunia. Inilah yang akan menjadi kajian dalam jurnalistik

dakwah.

Page 4: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 4

B. PEMBAHASAN

Pengalaman pada masa pemerintahan yang lalu bisa

menjadi pelajaran berharga tentang perlunya sikap istiqomah

pada semangat multikulturalisme, demi kelangsungan hidup

bangsa yang memang bersifat multikultural. Kebijakan

pemerintah Orde Baru yang otoriter-sentralistik sejak lama telah

‚membongsai‛ kebhinnekaan daerah-daerah demi keTunggal

Ikaan yang semu. Atas nama persatuan dan kesatuan ruang

gerak keanekaragaman kultural yang terdapat di daerah-daerah

dipersempit, sehingga menghancurkan local cultural geniuses,

seperti tradisi pemerintahan nagari di Minangkabau, pela

gandong di Ambon, komunitas dalihan natolu di Tapanuli.

Padahal keanekaragaman tradisi sosio-kultural seperti ini

merupakan kekayaan kultural yang luar biasa, yang mengandung

pranata-pranata sosial yang antara lain berfungsi sebagai

defense mechanism untuk memelihara integrasi dan keutuhan

sosio-kultural masyarakat (Azyumardi Azra, 2003). Maka

pantas diduga jika kekerasan dan konflik bernuansa perbedaan

etnik-agama yang marak sejak tahun 1996, tidak lepas dari

kebijakan yang telah memandulkan local geniuses tersebut.

Ketiga, pengalaman pendek era Reformasi yang

mendebarkan karena kebijakan desentralisasi kekuasaan

pemerintah ke daerah-daerah cenderung memperlihatkan gejala

‚daerahisme‛ yang tampil tumpang tindih dengan

etnisitas‚sukuisme‛. Kecenderungan ini, jika tidak terkendali,

mempunyai bobot ancaman yang lebih besar terhadap keutuhan

bangsa dibandingkan dengan pengalaman yang salah dari

pemerintahan Orde Baru yang sentralistik. Jika dulu

kebhinnekaan yang terancam, sekarang bandul ancaman itu

Page 5: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 5

bergerak ke sisi keTunggal Ikaan. Sesungguhnya tidak ada yang

salah dengan pengungkapan identitas etnik dan agama karena di

dalamnya ada kebanggan karakter diri dan kemartabatan

kultural yang diperlukan oleh tiap bangsa untuk maju dan kuat.

Namun dalam suatu masyarakat yang multikultural,

pengungkapan identitas yang sempit bisa menimbulkan

antiklimaks yang mengancam kepentingan bersama.

Keempat adalah posisi umat Islam yang mayoritas,

sehingga kelangsungan hidup bangsa ini tidak salah kalau

disandarkan pada kearifan orang-orang muslim dalam

menghargai keanekaragaman kultural tersebut. Apa yang

seharusnya kita lakukan dari jurnalistik dakwah? Harus disadari

bahwa keragaman atau pluralitas kultural itu sudah merupakan

suatu kenyataan yang umum, sejalan dengan arah perkembangan

masyarakat dari berbagai dimensi. Persoalannya adalah

bagaimana pluralitas itu disikapi dan dikonseptualisasikan tanpa

harus menghadang laju perkembangan masyarakat. Al-Qur’an

pun memastikan trend perkembangan ke arah masyarakat yang

multikultural itu, sekaligus mengajarkan bagaimana manusia

harus mensikapi keragaman tersebut sebagaimana tersurat pada

Al-Hujarat 13: ‚Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan

kamu dari jenis laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan

kamu berbagai bangsa dan kelompok agar kamu saling

mengenal. Sungguh yang paling mulia di antara kamu di sisi

Allah adalah mereka yang paling takwa. Allah Maha Tahu dan

Maha Teliti‛.

Jaidi sekalipun pada posisi minoritas, Nabi saw bersama

sahabat-sahabatnyas bukan hanya aktif berinteraksi dengan

warga kelompok mayoritas, tetapi bahkan mengambil inisiatif

Page 6: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 6

untuk membangun struktur masyarakat baru yang sesuai dengan

sikon zaman. Tetapi harus dicatat, awal dari semua langkah

inisiatif yang berani ini adalah dengan perhitungan atau siyasah

yang terukur. Dimulai dengan suatu cacah penduduk, lalu

melakukan konsolidasi internal untuk mengukuhkan soliditas

kaum muslim yang terdiri dari berbagai kelompok-suku. Pasal 3

sampai 23 dari Piagam Madinah dapat difahami sebagai upaya

konsolidasi internal, memperkuat sel-sel jaringan Ukhuwah

Islamiyah sebagai persiapan untuk memenangkan ‚pertarungan‛

interaksi sosial antarkelompok dalam kompleksitas masyarakat

yang multikultural. Ambil contoh dari pasal (17) ‚Perdamaian di

antara Muslimin adalah satu. Tidak seseorang muslim pun boleh

bersepakat untuk menyetujui perdamaian dengan mengenyahkan

muslim lainnya‛, dan pasal (23) ‚Bila terdapat perbedaan

tentang sesuatu hal, hendaklah diserahkan kepada Allah dan

Muhammad‛. Kedua dictum ini sangat jelas tertuju pada

maksud mempersatukan kaum Muslim yang memang berpotensi

konflik karena karakter heterogenitasnya.

Jadi, belajar dari apa yang dicontohkan Nabi dan para

sahabat di Madinah, salah satu persiapan untuk memasuki

masyarakat global yang multikultural itu adalah kemampuan

managerial untuk mempersatukan kaum muslim yang tidak

homogen. Kaum muslim yang terbelah-belah sudah merupakan

realitas sejarah, persoalannya adalah kepemimpinan siapa yang

mampu mempersatukan untuk membawa mereka dengan

percaya diri dan bermartabat ke kompleksitas masyarakat yang

multikulutral, bukan hanya sebagai obyek tetapi sebagai

inisiator yang mampu mengaktualisasikan ajaran-ajaran Islam

sebagai rahmat bagi semua kelompok masyarakat yang ada.

Page 7: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 7

Berikutnya adalah membangun ukhuwah wathoniyah &

bashariah di tengah pluralitas ummah yang ingin hidup bersama

secara damai, dengan cara saling menjaga diri (taqwa). Tiap

kelompok punya otonomi kultural sendiri, dan mereka berhak

mengekspresikan diri sesuai dengan kriteria-kriteria hukum

agama dan budayanya. Jaminan atas hak ini dalam Piagam

Madina antara lain terlihat pada pasal (25) ‚Agama orang-orang

Yahudi untuk mereka sendiri, agama kaum muslim untuk

mereka sendiri. Hal ini termasuk mawla mereka dan diri

(person) mereka sendiri‛. Diktum ini yang sekarang disebut

sebagai salah satu prinsip dalam Multikulturalisme, yaitu bisa

menghargai orang lain seperti apa adanya - you are what you

are, sebenarnya tak lebih dari upaya sosialisasi atas prinsip-

prinsip kebebasan serta oengakuan atas adanya perbedaan

agama seperti yang difirmankan Tuhan (S.al-Kafirun)

sebelumnya pada periode makkiyah dengan kalimat lakum

dienukum wa liyadien.

Bagaimana dengan tugas dakwah? Dakwah tetap

berlangsung wajar di tengah-tengah pluralitas yang saling

menghargai, untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran ilahiah

terhadap warga masyarakat yang semakin kompleks. Dakwah

dalam masyarakat yang multikultural berakentuasi pada proses

interaksi antarkelompok yang ada, yaitu lewat perilaku-perilaku

warga muslim yang menimbulkan proses saling mempengaruhi

dengan warga dari kelompok lain. Tuntunan normatif yang

diberikan al-Qur’an untuk tampil dengan sikap terbuka, percaya

diri, dan menjaga dignity Islam, sebagaimana telah disebut di

atas, dimaksudkan untuk efektivitas penularan norma-norma

dan nilai Islam dalam proses interaksi antarkelompok tersebut.

Page 8: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 8

Sementara tuntunan tentang taqwa, sikap selalu menjaga diri,

dimaksudkan untuk memupuk pengendalian diri terhadap

potensi-potensi konflik yang lazim ada dalam proses interaksi

antarkelompok. Dengan demikian setiap muslim diharapkan bisa

tampil dengan perilaku interaksi yang berbobot dakwah bil haal,

baik dalam hubungan-hubungan yang bersifat asosiatif maupun

yang bersifat disasosiatif.

Fenomena global yang menumbuhkan masyarakat-

masyarakat multikultural meyakinkan orang mukmin akan

universalitas Islam, karena embrio pengembangan masyarakat

multikultural tersebut telah didemonstrasikan Nabi pada periode

Madina 1400 tahun yang lalu. Apa yang dituntunkan Nabi

adalah: (1) Keberanian untuk memasuki masyarakat

multikultural (ummah) secara terbuka, percaya diri, dan

menjunjung tinggi martabat Islam (2) Konsolidasi internal

dengan membangun ukhuwah Islamiyah. Berbeda pendapat

(khilafiyah) sudah merupakan keniscayaan, maka adagium yang

tepat adalah ‚bersatu dalam ushul, bertoleransi dalam furu’ ‚

(KHM Isa Anshary, 1984). (3) Interaksi sosial dengan

kelompok-kelompok lain atas dasar saling menjaga diri dengan

saling menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang

ada. (4) Membangun ukuwah wathoniyah wa bashariyah

antarkelompok etnik-agama yang ada. Kualifikasi dai

bagaimana yang dibutuhkan untuk bisa memenuhi empat

tuntunan di atas, antara lain dapat disebut beberapa hal.

Pertama harus beriman dan ikhlas terhadap agama yang

hendak didakwahkan, sebab keberanian, percaya diri, dan

kesetiaan untuk menjaga martabat Islam hanya muncul dari

iman serta sifat ikhlas tersebut. Perlu dibangun kesadaran baru

Page 9: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 9

tentang makna kewajiban dakwah sebagai tugas untuk

menyampaikan kebenaran-kebenaran ilahiah secara hikmah

kepada semua orang. Keihlasan dalam dakwah membuat seorang

dai bisa lebih berlapang dada.

Kedua bersifat adil, dalam arti hanya mendakwahkan apa

yang sudah diamalkan (Al-Baqarah, 44), tidak menyembunyikan

kebenaran Tuhan (Al Imran, 187) karena berbagai kepentingan,

dan mendakwahkan Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.

Ketiga memiliki hikmah sehingga mampu berdakwah

sesuai dengan sikon obyeknya. Dakwah untuk masyarakat kota

yang mengalami rasionalisasi dan alienasi sudah tentu - dengan

sifat hikmah - didekati dengan cara yang berbeda jika

berhadapan dengan masyarakat desa yang stagnan. Dakwah

dengan pendekatan esoteris atau estetis dapat dilakukan untuk

masyarakat kota, sementara untuk masyarakat desa tersebut

dakwah dilakukan dengan pendekatan etis. Penyajian materi

dakwah pun tentu bilhikmati, yaitu ke masyarakat kota yang

dinamik-plural dengan hidayah sentris sementara ke masyarakat

desa yang stagnan dengan rasio sentris. Tetapi bagaimana

hikmah bisa dimiliki seseorang (dai), Al-Ghazali mengajukan

empat prasyarat: ‘ilmu, iffah, saja’ah, dan ‘adlu.

Keempat, berakhlaq karimah agar bisa tampil sebagai

sosok teladan seperti yang dicontohkan dan menjadi kunci

sukses dakwah Rasulullah Saw.

Nabi dan para sahabat tampil sebagai inisiator masyarakat

multicultural di Madinah dalam posisi sebagai kelompok

minoritas. Kaum muslim di Indonesia yang mayoritas (85%)

mestinya bisa lebih berhasil dengan menjadikan jejak-jejak

Page 10: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 10

sejarah Nabi tersebut sebagai model dakwah dalam membangun

masyarakat bangsa yang multikultural.

III. PENUTUP

Peran jurnalistik dakwah dalam mencegah benturan

peradaban adalah media jurnalistik dakwah karena memiliki

cakrawala dan idiologi rahmatalli’alamin. Filosofi inilah

sehingga jurnalistik dakwah mampu mewadahi semua

perbedaan, suku, bangsa, warna, dan ia berada di atas semua

perbedaan. Jurnalistik dakwah sebagai satu kekuatan untuk

mendesain berita yang mampu memberikan spirit pencerahan

kepada semua manusia. Ilmu jurnalistik dakwah laksana filosofi

air yang memberikan kelembutan, kesegaran, keceriaan,

kebugaran, dan kehidupan pada semua makhluk. Paradigma dan

filosofi air ini, tidak pernah mengeluh karena ia sadar bahwa

eksistensinya berbuat kebaikan adalah tujuan akhirnya.

Begitupulan idiologi jurnalistik dakwah dalam mencegah

terjadinya benturan peradaban perlu memberikan kemasan berita

yang dapat mengolah perbedaan sebagai kekuatan untuk

memberikan berita yang dapat mencerahkan manusia dari semua

warna menuju satu titik yakni adanya ekosisten hidup yang

saling membutuhkan dan saling ketergantungan. (QS Al-

Hujurat/49: 13).

Jurnalistik Dakwah

Page 11: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 11

Oleh: Ramlan M

A. Latar Belakang

‚Sesungguhnya yang pertama diciptakan Allah adalah al-

Qalam, kemudian Allah menciptakan Nûn, yakni tinta; lalu Ia

berkata padanya: Tulislah, al-Qalam bertanya: apa yang harus

kutulis? Ia berfirman: tulislah apa yang telah terjadi dan apa

yang akan terjadi sampai hari kiamat baik perbuatan,

peninggalan, maupun pemberian. Lalu al-Qalam pun menuliskan

apa yang telah terjadi sampai hari kiamat. Itulah maksud Allah-

‘Nûn’, perhatikan Alqalam dan apa yang dituliskannya, begitu

sabda Rasulullah Saw.‛1

Kajian tentang metode penelitian jurnalistik dakwah

relatif masih baru atau sebut saja masih balita. Hal ini

disebabkan karena disiplin ilmu jurnalistik dakwah juga relatif

masih sangat baru. Dakwah dan jurnalistik merupakan dua

kajian yang akan dikompromikan dalam tulisan ini. Setidaknya

ada dua hal yang harus diklarifikasi sebelum masuk pada

pembahasan. Pertama, kata Jurnalitik dalam terminologi

‚jurnalistik dakwah‛ berfungsi sebagai kata sifat sehingga bisa

dipahami bahwa kegiatan dakwah yang dimaksud adalah

bersifat atau melalui media jurnalistik. Kedua, oleh karena

jurnalistik bagian dari komunikasi maka metode penelitian

‚jurnalistik dakwah‛ dalam tulisan ini akan meminjam metode

(model) penelitian yang biasa dipakai dalam ilmu komunikasi.

Bagi penulis, hal ini tidaklah tabu karena dakwah itu sendiri

1 Ramlan M diakses dalam jurnal mujatahid STAIN Palopo.

Page 12: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 12

sangat erat kaitannya dengan komunikasi, bahkan boleh

dikatakan sangat mirip.

Salah satu tujuan tulisan ini adalah untuk menggugah

kesadaran orang Muslim bahwa aktifitas dakwah bukan hanya

terbatas pada dakwah bil Kalam (DBK) akan tetapi juga sebagai

Dakwah Bil Qalam (DBK). Kalau pegertian dakwah disepakati

sebagai proses mengajak, membimbing, mengarahkan,

memotivasi kaum Muslim untuk menjalankan syariat Islam

(Allah), maka media yang dipakai dalam proses itu bisa

bermacam-macam. Sebahagian dai (komunikator) lebih senang

menggunakan media oral sebagai cara untuk berdakwah, tetapi

sebahagian yang lain lebih suka berdakwah melalui tulisan. Dari

sinilah bisa dilihat hubungan antara dakwah dan jurnalistik.

Sehingga, seorang jurnalis sangat layak disebut sebagai seorang

dai.

Menurut A. Faisal Bakti, setidaknya ada beberapa alasan

kenapa jurnalistik dakwah menjadi penting. Pertama, objek

bacaan dalam perintah Tuhan yang pertama adalah keharusan

membaca alam raya (teks kauniyah) dan teks qauliyah (Alquran

dan Hadis). Perintah Allah swt untuk membaca teks qauliyah

dan alam raya menunjukkan pentingya dilakukan riset (research)

dan pengembangan (development). Kedua, signifikansi al-

Qalam (tulisan) ada pada fungsinya sebagai media sebagai

penghantar pesan-pesan. Ilmu tidak bisa ditangkap tanpa

pembacaan dan pemaknaan oleh manusia. Menurutnya goresan

qalam (tekstualitas) lebih kuat sebagai penghantar ilmu

dibanding dakwah verbal (oralitas). Jika produk DBQ terbaca

dengan baik, ia akan cenderung melahirkan kreatifitas dan

kultur baru (cree la culture). Sedangkan DBK lebih cenderung

Page 13: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 13

mewariskan kultur (heriter la culture). Ketiga, bahwa Alquran

adalah ‚kata Tuhan‛ sedangkan jurnalistik adalah ‚tulisan

tangan manusia‛ menunjukkan kelengkapan ‚persaudaraan‛.

Dalam hal ini, peran jurnalisitk sebagai karya tangan manusia

adalah mengolah, mencari dan mengekspresikan pesan-pesan

Tuhan (Suf Kasman, 2004: x-xi).

Al-Shabuny mengatakan ‚perhatikanlah Qalam dan segala

sesuatu yang ditulisnya‛ (Muhammad Ali al-Shabûniy, 1996:

529). Dalam ayat ini, Allah bersumpah dengan Qalam dan Kitab

yang ditulis, dengan maksud membuka pintu pengajaran

keduanya (Ahmad Musthâfa al-Marâgy, t.th: 27). Betapa Qalam

itu termasuk nikmat besar yang telah di anugrahkan oleh-Nya,

agar orang dapat menuliskan buah pikiran, keinginan, dan

perasaan seseorang (Departemen Agama RI, 1995: 287). Dengan

Qalam, ilmu pengetahuan tiada tersisa tercatat, (Hamka, 1983:

40). bahkan para pengarang dan pujangga telah mengantarkan

bangsanya untuk merdeka, di-sebabkan sari buah pena (M. Isa

Anshary, 1995: 34).

Tulisan seseorang dapat membentuk pendapat umum dan

mengubah pola pikir dapat menguncang dunia seketika, hal ini

membuat Presiden John Fitzgerald Kennedy pernah menyatakan

‚lebih takut pada seorang wartawan ketimbang seribu tentara‛

(Ainur Rafiq Sophiaan, 1993: vii). Dibantu oleh kekuatan pers,

Lenin juga mencapai suatu gerakan revolusi, ke titik puncak,

lalu mengingatkan ‚waspadalah terhadap kekuatan pers‛ (Albert

L. Hester dan Wai Lan J., 1997: 41). Karena tarikan pena sang

kuli tinta itu bisa merakit sederet tulisan sakti (Garin Nugroho,

1995: 47). Memang, tulisan adalah tamannya para ulama, begitu

Page 14: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 14

pameo klasik Ali bin Abi Thalib. (Rusjdi Hamka dan Rafiq,

1983: 40).

Umat Islam dalam perspektif kekinian harus semakin

kritis terhadap informasi yang tiap hari diterima. Salah satu dari

berbagai tantangan yang dihadapi umat Islam tersebut adalah

menumbuh kembangkan jurnalistik Islami, atau menjadikan pers

Islami sebagai ‚ideologi‛ para jurnalis muslim, demi membela

kepentingan Islam dan umatnya, dan juga mensosialisasikan

nilai-nilai Islam sekaligus meng-counter dan memfilter derasnya

arus informasi jahili dari Barat.

Pers (umum) sering didefinisikan sebagai proses meliput,

mengolah, dan menyebar luaskan peristiwa (berita) atau

opini/pandangan (views) kepada masyarakat luas. Bertolak dari

pengertian itulah maka pers Islami dapat dimaknai

sebagai‛suatu proses meliput, mengolah, dan menyebarluaskan

berbagai peristiwa dengan muatan nilai-nilai Islam, khususnya

yang menyangkut agama dan umat Islam kepada khalayak, serta

berbagai pandangan dengan perspektif ajaran Islam‛ (Asep

Syamsul M. Romli, 2000: 85-86). Sebagai pers berkarakteristik

religius (bernafaskan ajaran Islam), Alamsyah Ratu

Perwiranegara yang dikutip Rusjdi Hamka dalam buku Islam

dan Era informasi mengatakan, seharusnya media massa Islam

memegang peranan penting dan berjasa besar dalam kehidupan

beragama masyarakat, terutama masyarakat Islami.

Sejarah telah membuktikan bagaimana kepeloporan media

massa Islam dalam sejarah peradaban masyarakat di dunia.

Sebelum Eropa menemukan tiga penemuan barunya, yaitu: seri

cetak, pemakaian mesin, dan kompas, yang menjadi motor

pemercepat tumbuhnya gerakan Renaisance, gerakan kelahiran

Page 15: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 15

kembali peradaban Eropa yang lahir sejak abad 14 Masehi yang

kelak menjadi titik awal jaman Kerajaan Abbasiah (pada abad

VIII dan X-an) telah banyak tumbuh industri-industri kertas

setempat. Pada abad XII-an baru masuk kedaratan Eropa. Hal

inilah satu realitas yang dapat dibanggakan oleh kaum

muslimin, yakni kontribusinya dalam membuat kertas yang

dihadiahkan sekaligus membuka peradaban baru bangsa Eropa

(Rusjdi Hamka dan Rafiq, 1983: 42-43). Itulah fakta sejarah,

yang secara historis telah menjadi saksi bagaimana peran pers

Islami dalam sejarah peradaban umat Islam melukis sejarah

peradaban modern yang kita saksikan dewasa ini.

Hanya saja umat Islam dewasa ini kerap di hadapkan suatu

dilema yang lumayan pelik, yaitu tidak memilikinya suatu

media massa yang memadai untuk memperjuangkan dan

menegakkan nilai-nilai Islam. Dampaknya, yang terjadi tidak

hanya kurang tersalurkannya aspirasi umat, tetapi juga umat

Islam hanya menjadi konsumen bagi media non-Islam massa lain

yang tidak jarang membawa informasi yang tidak relevan dalam

rangka pemberdayaan umat. (Asep Syamsul M. Romli, 2000:

81).

Jadi, kehadiran jurnalistik dakwah yang penulis angkat

sebagai titik acuan, selain berfungsi sebagai alat informasi

pendidikan dan hiburan, namun intinya sebagai pembimbing

kerohanian atau pengembangan misi ‘amar ma’ruf nahi munkar,

sesuai firman Allah dalam QS.Ali Imran [3]: 104.

Page 16: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 16

Pengertian Jurnalistik dakwah (DBQ)

1. Pengertian Dakwah

Dakwah; secara etimologis, perkataan dakwah berasal dari

bahasa Arab دعوة– يدعوا – دعا yang berarti menyeru,

memanggil, mengajak dan menjamu (Ibnu Manzur, 1998: 359-

360). Sedangkan orang yang melakukan seruan atau ajakan

tersebut dikenal dengan panggilan da’i (orang yang menyeru).

Tetapi mengingat bahwa proses penyampaian (tablîgh) atas

pesan-pesan tertentu, maka dikenal pula istilah muballig yaitu

orang yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan

pesan (message) kepada pihak komunikan (Toto Tasmara, 1997:

31).

Secara etimologis pengertian dakwah adalah mengajak

umat manusia kepada al-khaer dan al-huda serta me-

merintahkan mereka berbuat ma’rûf dan mencegah berbuat

mungkar agar mereka memperoleh hidup di dunia dan akhirat

(Ali Mahfuz, 1952: 17).

Kata da’ā pertama kali dipakai dalam Alquran dengan arti

mengaduh (meminta pertolongan kepada Allah) yang pelakunya

adalah Nabi Nuh as (QS. al-Qamar (54): 10) Lalu kata ini berarti

memohon pertolongann kepada Tuhan yang pelakunya adalah

manusia (dalam arti umum) (QS. al-Qamar (39): 8). Setelah itu,

kata da’ā berarti menyeru kepada Allah yang pelakunya adalah

kaum Muslimin (QS. Fushshilat (41): 33).

Kemudian kata yad’ū, pertama kali dipakai dalam Alquran

dengan arti mengajak ke neraka yang pelakunya adalah syaitan

(QS. Fathir (35): 6). Lalu kata itu berarti mengajak ke surga

yang pelakunya adalah Allah (QS. Yunus (10):25), bahkan

dalam ayat lain ditemukan bahwa kata yad’ū dipakai bersama

Page 17: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 17

untuk mengajak ke neraka yang pelakunya orang-orang musyrik

dan mengajak ke surga yang pelakunya Allah, sebagai dalam

QS. al-Baqarah (2):221. (Departemen Agama RI, 1989: 54).

Sedangkan kata dakwah atau da’watan sendiri, pertama

kali digunakan dalam Alquran dengan arti seruan yang

dilakukan oleh para Rasul Allah itu tidak berkenan kepada

obyeknya (QS. al-Mu’min (40):43). Namun kemudian kata itu

berarti panggilan yang juga disertai bentuk fi’il (da’ākum) dan

kali ini panggilan akan terwujud karena Tuhan yang memanggil

(QS. al-Rum (30):25). Lalu kata itu berarti permohonan yang

digunakan dalam bentuk doa kepada Tuhan dan Dia menjanjikan

akan mengabulkannya (QS. al-Baqarah (2):186).

Dari uraian-uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa

kata dakwah dalam pengertian terminologi adalah menyeru,

memanggil, mengajak dan menjamu. Adapun orang yang

melakukan ajakan atau seruan tersebut dikenal dengan da’i

(orang yang menyeru).

Pada sisi lain, karena penyampaian dakwah termasuk

tablīgh, maka pelaku dakwah tersebut di samping dapat disebut

sebagai da’i, dapat pula disebut sebagai muballig yaitu orang

yang berfungsi sebagai komunikator untuk menyampaikan pesan

(message) kepada pihak komunikan.

Sedangkan pengertian dakwah secara terminologis adalah

mengajak umat manusia kepada al-khaer serta memerintahkan

mereka berbuat ma’rūf dan mencegah berbuat munkar agar

mereka memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

Pengertian dakwah ini, berdasar pada QS. al-Imrān (3): 104

sebagai berikut:

Page 18: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 18

ولتكن منكم امة يدعون الي الخير ويأمرون بالمعروف وينهون عن المنكر وألئك هم

الم ون

Terjemahnya :

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang

menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf

dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang

yang beruntung. (Departemen Agama RI, h. 93).

Pengertian dakwah di atas, agaknya cukup mewakili

pengertian-pengertian dakwah secara terminologis yang banyak

dikemukakan oleh ulama dan cendekiawan Muslim lainnya.

Sejalan dengan pengertian dakwah tersebut, Didin Hafiduddin

menyatakan bahwa makna dakwah ini, ada beberapa hal yang

perlu diperhatikan secara seksama, yakni :

a. Dakwah sering disalah mengertikan sebagai pesan yang

datang dari luar, sehingga langkah pendekatan lebih

diwarnai dengan interventif, dan para dai lebih

mendudukkan diri sebagai orang asing, tidak terkait dengan

apa yang dirasakan dan dibutuhkan oleh masyarakat.

b. Dakwah sering diartikan menjadi sekedar ceramah dalam

arti sempit, sehingga orientasi dakwah sering pada hal-hal

yang bersifat rohani saja.

c. Masyarakat yang dijadikan sasaran dakwah sering dianggap

vacuum, padahal dakwah berhadapan dengan setting

masyarakat dengan berbagai corak dan keadaannya.

Sehingga dakwah itu harus dinamis dan selalu berkembang

baik dalam hal materi, metode maupun strategi dakwah itu

sendiri.

d. Dakwah yang diartikan hanya sekedar menyampaikan dan

hasil akhirnya terserah kepada Allah, akan menafikan

Page 19: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 19

perencanaan, pelaksanan dan evaluasi dari kegiatan dakwah.

Oleh karena itu, tidak pada tempatnya bila kegiatan dakwah

hanya asal-asalan.

2. Jurnalistik

Jurnalistik berasal dari kata ‚jurnal‛ atau ‚dujour‛ yang

berarti hari, dimana segala berita atau warta sehari itu termuat

dalam lembaran yang tercetak (Asep Syamsul M. Romli, 68).

Dalam kamus Bahasa Inggris ‚Journal‛ diartikan sebagai

majalah, surat kabar, dan diary (buku catatan harian), sedangkan

‚journalistic‛ diartikan kewartawanan (warta=berita, kabar)

(Wojowasito dan W.J.S. Poerwadarminta, 1982: 93). Jadi

jurnalistik adalah salah satu bentuk publisistik/komunikasi yang

menyiarkan berita dan atau ulasan berita tentang peristiwa-

peristiwa sehari yang umum dan aktual dengan secepat-

cepatnya (Riyati Irawan dan Teguh Meinda, 1981: 1). Di

samping itu, jurnalistik diapandang sebagai suatu pengelolaan

laporan harian yang menarik minat khalayak mulai dari

peliputan berita sampai penyebarannya kepada masyarakat (

Onong Uchana Effendi, 2001: 151).

Argumen-argumen yang mendasari pentingnya penerapan

dakwah jurnalitik adalah untuk menumbuh kembangkan gerakan

dakwah Islam lewat media cetak. Karena selama dekade ini

pasaran pers Indonesia selalu ditandai dengan aneka ragam

penerbitan majalah, mulai majalah berita, hiburan, majalah

wanita dan anak-anak, begitupula olah raga, sastra sampai pada

yang lebih khas seperti, ‚motor dan mobil (otomotif). Di antara

aneka ragam itu yang barang kali bersamaan timbulnya dengan

sejarah pers Indonesia ialah majalah yang bernafaskan Islam

Page 20: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 20

diterbitkan oleh penerbit dan pengarang-pengarang Islam untuk

tujuan penyebaran dan pendalaman akhlak pembacanya.

Mengingat saat ini, bangsa Indonesia semakin terpuruk dan

gelisah hingga berusaha mencari ‚jawaban‛ terhadap persoalan

hidup atau problema kemasyarakatan lewat siraman rohani dari

jurnalistik dakwah.

Jadi, jurnalistik dakwah adalah suatu aktifitas dan proses

mengajak, membimbing, memotivasi, membina, menyampaikan

pesan-pesan agama kepada orang Muslim melalui media tulisan

(jurnalistik) baik majalah, surat kabar, bulletin, buku dan

sebagainya.

3. Metode Penelitian Jurnalistik Dakwah

Ada beberapa model metode penelitian yang bisa dipakai

dalam penelitian jurnalistik dakwah atau dakwah bil Qalam

(DBQ). Metode penelitian yang akan dipakai dalam jurnalistik

dakwah ini berasal dari metode penelitian yang biasa dipakai

dalam kajian komunikasi antara lain, model penelitian 1) Jarum

Hipodermik, 2) Use and Gratification, 3) Analisa Isi, 4)

Analisis Framing.

a. Metode Jarum Hipodermik

Penelitian model ini dilakukan oleh Hovland untuk

meneliti pengaruh propaganda sekutu dalam mengubah sikap.

Model ini berasumsi bahwa komponen komunikasi

(komunikator, pesan, dan media) sangat kuat dalam

mempengaruhi komunikasi. Disebut model ‚jarum hipodermik‛

karena seakan-akan komunikasi disuntikkan langsung ke dalam

jiwa komunikan (al-Mad’u). Model ini disebut juga sebagai

‚bullet theory‛ karena seakan-akan al-Mad’u (komunikan atau

Page 21: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 21

audiens) secara pasif menerima berondongan pesan dari

komunikator (al-Dai). Jika komunikator sudah dipilih dengan

tepat, pesan yang baik, serta media yang benar baik media

elektronik maupun media cetak, maka komunikan akan

diarahkan sekehendak komunikator (Jalaluddin Rakhmat, 2000:

62). Untuk mengetahui variabel efek (pengaruh) dapat dilihat

dari tiga kategori yakni segi kognitif (perubahan pendapat,

penambahan pengetahuan serta perubahan kepercayaan), segi

afektif (sikap, perasaan, dan kesukaan), segi behavioral yakni

prilaku atau kecenderungan prilaku (Jalaluddin Rakhmat, 2000:

64).

b. Model Penelitian Uses and Gratification (Penggunaan dan

Pemenuhan Kebutuhan).

Model ini merupakan antitesa dari model penelitian Jarum

Hipdermik yakni tidak tertarik untuk melihat apa yang

dilakukan atau pengaruh media pada diri seseorang, tetapi ia

tertarik pada apa yang dilakukan orang terhadap media.

Misalnya, sejauh mana surat kabar membantu responden

memperjelas suatu maslaah atau menemukan masalah. Jadi,

model penelitian ini tidak akan melihat sejauh mana pengaruh

komunikator, pesan serta media dalam merubah sikap dan

prilaku audiens, akan tetapi bagaimana sikap responden

(komunikan) terhadap media, pesan, serta komnikator tersebut

(Jalaluddin Rakhmat, 2000: 65-67). Model penelitian ini

menempatkan materi dakwah, media dakwah sebagai objek

respond audiens. Maksudya, al-Mad’u (audiens) akan puas

terhadap seorang dai jika materi dakwah dan media yang

Page 22: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 22

digunakan dapat memenuhi apa yang dibutuhkan seorang al-

Mad’u (audiens).

c. Penelitian Model Analisis Isi dan Wacana

Penelitian ini tidak melihat dan terpengaruh kepada

komuikator, media, serta pesan dakwah. Tetapi untuk model

analisis isi, penelitian ini lebih melihat materi dakwah yang

diangkat oleh seorang dai. Aplikasi metode ini adalah seorang

peneliti jurnalistik dakwah akan melihat dan mencata tema-

tema inti yang diminati audiens dan yang sering dikemukakan

oleh seorang dai baik yang berkaitan dengan akidah, akhlak,

muamalah, serta ibadah. Sementara di lain sisi, analisis wacana

tidak melihat seberapa sering tema dakwah muncul dalam

jurnalistik dakwah. Fokus kajian analisis wacana terletak pad

ide, latar belakang serta konteks yang ada di luar dengan

pemilihan tema seorang dai (jurnalis).

Neuman menyebutkan bahwa ‚content analysis is a

technique for gathering and analyzing the content of text‛

maksudnya, analisis isi adalah teknik pengumpulan data serta

analisis terhadap isi suatu teks. Yang dimaksud teks di sini

bukan hanya sebatas tulisan tetapi juga termasuk ide, tema,

pesan, arti maupun symbol-simbol yang terdapat dalam teks

baik berupa tulisan, gambar maupun pidato (Bambang Prasetyo

dan Lina Miftahul Jannah, 2006: 167).

d. Model Penelitian Analisis Framing

Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks

yang berada dalam kategori penelitian konstruksionis.

Paradigma ini memandang realitas kehidupan social bukanlah

Page 23: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 23

realitas yang natural tetapi hasil dari konstruksi. Karenanya,

analisis pada paradgima konstruksionis adalah menemukan

bagaimana pristiwa dan realitas tersebut dikonstruksi dan

dengan cara apa konstruksi itu dibentuk (Eriyanto, 2005: 37).

Jadi pesan yang dikirim dalam lalulintas komunikasi diproduksi

dan dipertukarkan makannya oleh pengirim, penerima, serta

dihubungkan dengan konteks social di mana mereka berada.

Analisis framing adalah suatu model penelitian dalam

komunikasi yang melihat bagaimana realitas itu dibentuk dan

dikonstruksi oleh media. Framing adalah sebuah cara bagaimana

pristiwa disajikanoleh media. Penyajian tersebut dilakukan

dengan cara menekankan bagian tertentu, menonjolkan aspek

tertentu. Oleh karena itu, yang dilakukan oleh media adalah

menseleksi, menghubungkan, menonjolkan, serta menekankan

isu tertentu sehingga makna suatu pristiwa lebih mudah

menyentuh dan diingat oleh khalayak (Eriyanto, 1994: 368).

Model framing ini seringkali dipakai juga oleh seorang dai

dalam melaksanakan misi penyebaran agama Islam. Dalam

dunia tafsir, analisis framing hamper mirip dengan metode tafsir

maudhui yang mencoba mengkonstruksi, menghubungkan,

menseleksi teks-teks tertentu untuk memberikan pemahaman

yang lebih mudah dan tersentuh oleh audiens (al-mad’u).

Penutup

Setelah penulis memberikan penjelasan deskriptif tentang

jurnalistik dakwah atau Dakwah Bil Qalam yang diikuti dengan

inisiasi metode penelitian jurnalistik dakwah yang dipinjam dari

ranah ilmu psikologi, maka penulis mengemukakan beberapa

poin-poin singkat sebagai kesimpulan.

Page 24: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 24

1. Penelitian dan Pengembangan dakwah khususnya

Jurnalistik dakwah atau Dakwah Bil Qalam (DBQ)

merupakan perintah agama yang ditandai dengan

turunnya surah al-‘Alaq.

2. Jurnalistik dakwah atau Dakwah bil Qalam (DBQ)

suatu upaya aktifitas, proses mengajak, membimbing,

memotivasi, membina, menyampaikan pesan-pesan

agama kepada orang Muslim melalui media tulisan

(jurnalistik) baik majalah, surat kabar, bulletin, buku

dan sebagainya.

3. Dalam pengembangan jurnalistik dakwah, ada beberapa

tawaran metode yang bisa digunakan antara lain

penelitian model Jarum Hipodermik, Use and

Gratification, Analisis Isi dan Wacana, serta model

Analisis Framing.

DAFTAR RUJUKAN BUKU

Alamudi, Abdullah. Pedoman Untuk Wartawan, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1997.

al-Marâgy, Ahmad Musthâfa. Tafsîr al-Marâgiy, Beirut: Dâr

Ahyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, t.th.

al-Râziy, Imam Fakhr. Al-Tafsîr al-Kabîr ‘an Mafâtih al-Ghaib,

Cet.I; Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiah, 1990.

Page 25: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 25

al-Shabûniy, Muhammad Ali. Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir,

Cet.I; Lubnân: Dâr al-Fikr, 1996.

al-Suyûtiy, al-Imâm ‘Abd. al-Rahmân Jalâl al-Din. Al-Dur al-

Mantsûr Fiy Tafsîr al-Ma’tsûr, jilid VIII, Cet.I; Bairut:

Dâr al-Fikr, 1983.

al-Tirmidziy, Imâm Muhammad Isâ bin Sûrah. Sunan al-

Tirmiziy, Beirut: Dâr al-Fikr, 1994.

Anshary, M. Isa Mujahid. Dakwah, Cet V; Bandung: CV

Diponegoro, 1995.

Effendi, Onong Uchjana. Komunikasi: Teori dan Praktek,

Bandung: Rosda Karya, 2001.

Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi dan Politik

Media, Cet. III; Jogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2005.

Hamka, Rusjdi dan Rafiq. Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka

Panjimas, 1983.

Irawan, Riyati dan Teguh Meinda. Tanya Jawab Dasar-dasar

Jurnalistik, Cet. I; Bandung: Armico, 1981.

Kasma, Suf. Jurnalisme Universal: Menelusuri Prinsip-prinsip

Dakwah bil Qalam dalam Al-Quran, Cet. I; Jakarta:

Teraju, 2004.

Mahfuz, Ali. Hidayat al-Murshidin, Kairo: Dar al-Kutub al-

Arabi’, 1952.

Manzur, Ibnu. Lisan al-Arab, Beirut: Dar al-Ihya’ al-Turas al-

Arabiy, 1998.

Nugroho, Garin. Kekuasaan dan Hiburan, Cet. I; Yogyakarta:

Yayasan Benteng Budaya, 1995.

Poerwadarminta, W.J.S. dan Wojowasito. Kamus Lengkap

bahasa Inggeris – Indonesia, Bandung: Hasta, 1982.

Page 26: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 26

Prasetyo, Bambang dan Lina Miftahul Jannah, Metode

Penelitian Kualitatif: Teori dan Aplikasi, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2006.

Rakhmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi, Bandung:

Rosdakarya, 2000.

Romli, Asep Syamsul M. Jurnalistik Praktis Untuk Pemula, Cet.

II; Bandung: Rajawali Rosdakarya, 2000.

Sophiaan, Ainur Rafiq. Tantangan Media informasi Islam;

Antara Profesionalisme dan Dominasi Zionis, Cet. I;

Surabaya: Risalah Gusti, 1993.

Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah, Cet.II; Jakarta: Gaya

Media Pratama, 1997.

Sumber Lain

Departemen Agama RI; Proyek Penggandaan Kitab Suci Al-

Quran, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Jakarta: YPPA, 1995.

Departemen Agama RI, Al-Qu’an dan Terjemahnya, Surabaya:

Mahkota, 1989.

Soesilo, Arie S. dan Philo C.Wasburn, Constructing a Political

Spectacle: American and Indonesian Media Accounts of

the Crisis in the Gulf, The Sociological Quraterly, Vol. 35.

No. 2, 1994.

Page 27: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 27

MEDIA MASSA MASYARAKAT

Oleh: Wahyuni Husain

Abstrak : Media on-line on the Internet continues to grow and to attract audiences to choose the media is a source of information. This of course can disrupt the stability of other traditional media in presenting the news that the actual competition. However, despite news delivered via on-line media is much faster than the newspapers published, but it does not mean more complete. Also in the media on-line does not provide much space discussing the news in detail, it is different in the traditional media space for more news, so even a small problem became news. These factors cause the print media still remains as medium used by the public.

Kata kunci : media on-line, cyber, cyberspace, media

cetak, informasi.

A. Pendahuluan

Sumber informasi utama masyarakat adalah media massa.

Keterbatasan kemampuan manusia untuk memperoleh informasi

itulah sehingga manusia membutuhkan suatu media yang dapat

memenuhi kebutuhan informasinya. Pada saat ini telah terjadi

revolusi informasi dimana manusia dihadapkan pada banyak

pilihan media seperti media cetak dengan berbagai macam versi

penyajiannya, media elektronik televisi dan audio visualnya

serta media internet dengan megapustaka untuk berbagai

informasi yang dibutuhkan.

Page 28: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 28

Frederick William mengatakan bahwa kita dalam

kehidupn modern ini secara terus menerus memilih media

komunikasi mana yang dapat mewakili situasi yang ada. Ia juga

mengatakan bahwa salah satu hal yang membedakan gambaran

mengenai dunia kita dalam komunikasi modern adalah bahwa

kita memiliki banyak pilihan dalam menggunakan media

komunikasi. Tidak hanya itu saja, media menjadi bervariasi dan

isinya berhubungan pada teknologi komunikasi baru. Contohnya

televisi bisa kita terima di rumah hanya dengan kabel, disk atau

tape yang berhubungan langsung dengan satelit. Sebenarnya kita

hidup dalam dunia yang memiliki banyak alternatif komunikasi

yang mungkin mendorong kita untuk meningkatkan pilihan-

pilihan yang lebih banyak.

Era globalisasi muncul menyusul terjadinya revolusi

komunikasi dan informasi yang mulai menggejala sejak tahun

1970-an atau sekitar seperempat abad silam. Revolusi

komunikasi dan informasi dipicu oleh revolusi telekomunikasi

dengan berbagai perwujudannya. Fenomena tersebut kemudian

dikenal pula dengan nama Cybercommunication (Cybercom).

Sejarah menyaksikan munculnya komunikasi satelit, telepon

antarbenua, televisi, telepon selular, dan TV kabel hingga

jaringan internet sejagat (A. Muis, !999: 188– 189).

Pada saat revolusi komunikasi dan informasi seperti

dikatakan A. Muis di atas terdapat kecenderungan

bertambahnya jumlah masyarakat yang selalu ‚haus‛ akan

informasi baru serta menjamurnya industri media massa.

Tingkat ketergantungan masyarakat pada media massa pun

semakin meningkat. Maka dari itu komunikasi memiliki

kekuatan yang cukup luas di masyarakat dan berada pada setiap

Page 29: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 29

aspek – ekonomi, politik, sosial, budaya – yang dapat

mempengaruhi jalannya suatu negara. Komunikasi dalam hal ini

berhubungan dengan media massa yang dijadikan mediator

antara masyarakat juga antara masyarakat dengan pemerintah.

Media massa merupakan media komunikasi yang dijadikan

sumber informasi terbesar bagi masyarakat untuk memenuhi

rasa ingin tahunya. Media massa juga dijadikan jembatan

informasi antara satu tempat dengan tempat lain. Hal inilah

yang menyebabkan masyarakat sangat tergantung pada media

massa. Sehingga apapun yang disajikan akan dengan mudah

dipercayai oleh penerima. Karena masyarakat tidak memiliki

kesempatan untuk melakukan cek dan ricek atas apa yang

dikemukakan media massa. Saat itulah media massa akan

dengan mudah melakukan ‘brain washing’ pada pembaca dan

mengarahkan masyarakat sesuai dengan keinginan orang-orang

di belakang informasi.

Berbagai cara ditempuh untuk memenuhi kebutuhan

informasi masyarakat dengan menyajikan berita-berita yang up

to date, sehingga terjadilah persaingan antar media massa. Salah

satu cara yang digunakan media untuk memperoleh informasi

yang aktual adalah dengan menyebarkan koresponden ke seluruh

dunia. Dengan begitu, media massa akan lebih mudah

mendapatkan informasi aktual dari seluruh dunia dalam waktu

singkat. Cara lain yaitu dengan membentuk kantor berita seperti

kantor berita di Indonesia dengan nama Kantor Berita Antara

atau Reuters di Inggris dan NHK di Jepang.

Teknologi komunikasi dalam hal penyebaran informasi

melalui media massa semakin berkembang. Kali ini tidak hanya

melalui media cetak ataupun elektronik tetapi internet. Suatu

Page 30: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 30

media alternatif selain media massa yang telah ada, internet

merupakan suatu mega pustaka dimana seluruh informasi yang

dibutuhkan dapat diperoleh disana.

Berdasarkan artikel Charles Elliot (E-Paper in Asia, News

Flows and the Computer-Mediated Press, 1999), internet

merupakan hasil teknologi komunikasi yang menjadi jaring

penghubung terbesar di dunia. Ia sebagai perantara yang

menjembatani hubungan antara dunia Barat dan Timur sehingga

hanya dalam waktu yang relatif singkat dan biaya murah

seseorang dpaat membaca surat kabar berbagai terbitan dunia

dengan aktualitas yang terjamin.

Penggunaan internet sebagai media pengiriman informasi

mulai dilirik oleh para ‚pencinta‛ jurnalistik. Internet dianggap

sebagai suatu cara yang paling mudah dan murah dalam

penyampaian informasi dari pelosok manapun juga yang

memiliki jaringan internet. Maka telepon dan facsimile

walaupun masih digunakan tetapi dianggap tiak secepat internet

dalam penyampaian berita.

Dalam dunia jurnalistik, internet memberikan kekuasaan

pada individu dengan komputer untuk mengembangkan pusat

penerbitannya sendiri. Internet menawarkan suatu PC dasar

hanya dengan menggunakan telepon hubungan web serta

layanan sistem informasi global yang gratis.

Berkembangnya teknologi internet sebagai media

informasi elektronik yang akhir-akhir ini berkembang pesat di

negara maju sejak 35 tahun yang lalu dan mulai pula

berkembang di Indonesia, diperkirakan dapat mempengaruhi

teknologi penyebaran informasi dari teknik tradisional menjadi

teknik penyebaran melalui media elektronik (cyber). Revolusi

Page 31: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 31

teknologi informasi di Indonesia memang sedang terjadi,

walaupun agak terlambat dibanding dengan negara lain. Hal ini

dibuktikan dengan bertambah banyaknya jumlah pengguna

internet, perusahaan jasa provider dan merebaknya media on-

line membuktikan bahwa internet ini mulai membudaya di

Indonesia.

Perkembangan teknologi komunikasi juga mempengaruhi

kalangan praktisi pers. Saat ini terutama media cetak tidak lagi

dihadapi dengan media elektronik yang tentu saja memiliki

banyak kelebihan dibanding dengan media cetak dalam hal

visualisasi. Tapi tampaknya media cetak lagi-lagi harus ‘gigit

jari’ dengan munculnya media on-line di internet. Seperti yang

kita ketahui bahwa internet tidak memiliki hambatan dalam

penyampaian informasinya. Tidak ada yang membatasi ataupun

peraturan-peraturan tertulis yang mengaturnya.

Masuknya media baru ini di tengah-tengah masyarakat

yang sedang merangkak menuju kedewasaan berpikir pasti tidak

akan mudah. Perkembangan teknologi ini harus disesuaikan

dengan budaya pemakai dan konsumen. Sampai sejauh mana

inovasi ini dapat mempengaruhi cara mereka berpikir. Apalagi

kebebasan penyebaran informasi di internet yang seperti tanpa

penghalang. Pengawasan terhadap internet hampir tidak

mungkin karena begitu ramainya lalu lintas dan karena identitas

sangat mudah disamarkan. Bahkan salah seorang operator

Amerika menyediakan layanan anonimitas, menanggalkan

semua penanda dari pesan yang dikirim melalui servernya,

sehingga orang merasa bebas mengekspresikan diri.

George Owel seperti dikutip A. Muis (1999 : 193)

meramalkan media massa akan dikendalikan oleh sebuah

Page 32: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 32

kekuatan misterius yang otoriter pada saat memasuki era

globalisasi informasi. Karena pada saat ini dunia yang mulanya

terasa sangat luas akan menjadi kecil, modem serta jaringan

telepon kita akan dengan mudah meraih informasi apa saja tanpa

kita ketahui siapa di belakang semuanya.

Dilihat dari jumlah pengguna internet yang sudah

menjangkau sebagian besar kota-kota di Indonesia dan

menjamurnya Warnet (Warung Internet) di seluruh pelosok

membuktikan bahwa internet telah menjadi salah satu alternatif

masyarakat untuk memperoleh informasi. Apalagi nilai

aktualiatas berita di internet jauh lebih aktual dibandingkan

dengan media tradisional seperti media cetak dan media

elektronik. Hal ini disebabkan oleh proses penyampaian berita

pada media cetak dan elektronik melalui berbagai macam tahap,

sehingga waktu terus berjalan yang menyebabkan nilai

aktualitas suatu berita berkurang.

Melihat gejala seperti ini, maka mulai bermunculan media

interaktif internet, walau pada mulanya jarang dikenal oleh

masyarakat. Tetapi kemudian internet secara gradual menjadi

budaya baru di tengah-tengah masyarakat dan mulai diterima

serta dianggap sebagai salah satu alternatif sumber informasi.

Penyebaran informasi melalui internet yang tidak

mengenal batas negara dan peraturan-peraturan pemerintah

memang salah satu kelebihan selain aktualitas berita yang

tinggi. Kebebasan mengungkapkan pendapat dan menyebarkan

informasi secara global memang sangat menarik perhatian

masyarakat. Setidaknya mereka dapat memperoleh informasi

yang tidak atau belum disiarkan di media tradisional.

Page 33: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 33

Kecenderungan peralihan pemilihan sumber informasi

masyarakat menjadi salah satu sebab media tradisional untuk

melakukan peningkatan mutu. Bahkan ada beberapa media

menyajikan beberapa versi seperti dengan mengeluarkan versi

media ceta, elektronik dan internet. Sehingga muncullah istilah

media kembar, disebut demikian karena memang isi dari ketiga

versi itu tidak jauh berbeda. Hanya kelebihannya ketiga versi itu

dapat meraih lebih banyak audiens dari berbagai lapisan.

Terdapat kecenderungan, media on-line di internet terus

berkembang dan menjadi daya tarik khalayak untuk memilih

media ini menjadi sumber informasi. Hal ini tentu saja dapat

mengganggu stabilitas kerja media tradisional lainnya dalam

bersaing menyajikan berita yang aktual. Dengan demikian,

penulis membatasi masalah dengan memaparkan bagaimana

penerimaan masyarakat yang dihadapkan pada beberapa

alternatif sumber informasi terutama dengan kehadiran media

baru.

Dalam tulisan ini, penulis mengumpulkan data melalui

studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan

dari buku bacaan maupun artikel serta hasil penelitian yang

relevan dengan pembahasan dalam makalah ini. Dalam

menganalisisnya, penulis menggunakan metode analisis

deskriptif.

1. Teknologi Komunikasi dan Informasi

Teknologi komunikasi menurut Rogers dirumuskan

sebagai peralatan perangkat keras, setruktur-struktur

organisasional, dan nilai-nilai sosial dengan mana individu

mengumpulkan, mengolah dan saling bertukar informasi dengan

Page 34: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 34

individu lain. Adapun mengenai teknologi informasi mencakup

sistem-sestem komunikasi seperti satelit siaran langsung, kabel

interkatif dua arah, penyiaran bertenaga rendah (low power

broadcasting), komputer (termasuk PC dan komputer genggam

yang baru), dan televisi (termasuk video disk dan video tape

cassette)‛ (Ely, 1982: 5).

Memang ada pembahas yang membedakan antara

teknologi komunikasi dengan teknologi informasi dengan

menyatakan bahwa yang pertama mencakup pengertian yang

lebih luas, termasuk sistem, saluran, perangkat keras dan

perangkat lunak dari komunikasi modern, di mana teknologi

informasi merupakan bagian daripadanya. Sedangkan ilmuan

lainnya membedakan teknologi informasi dalam pengertian

hardware atau perangkat keras saja. Bahkan ada yang

menafsirkan teknologi informasi sebagai perangkat komputer

berikut segala kelengkapannya saja. Namun bila diamati dengan

lebih dalam, nyatalah bahwa di antara kedua bidang tersebut

saling berkaitan satu sama lain, bahkan seringkali digunakan

untuk menyebut hal yang sama secara bergantian.

Dalam mendefinisikan teknologi komunikasi selalu

berkaitan dengan istilah hardware dan software. Hardware

adalah bagian yang paling nyata dari sistem teknologi baru

dimulai dari hardware. Tetapi bagaimana pun dalam memahami

teknologi komunikasi tidak cukup hanya memahami hardware.

Sangatlah penting untuk memahami pesan-pesan komunikasi

yang disampaikan melalui sistem teknologi dimana pesan-pesan

ini dijadikan ‘software’ (August E. Grant, 1996 : 143).

Teknologi komunikasi merubah secara dramatis cara orang

mengirim dan menerima pesan. Media baru bukan mengenai

Page 35: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 35

meletakkan surat kabar, majalah, radio dan televisi di luar

bisnis. Tetapi saluran baru komunikasi menjadi sangat popular

dan menawarkan alternatif disamping media tradisional. Dalam

beberapa kasus, Anda perlu mempertimbangkan ‚media baru‛

ini (Jim Macnamara, 1999: ).

Kata cyber sejak tahun 1948 selalu dikaitkan dengan robot

dan komputer. Banyak sekali cyber seperti cyberspace,

cyberborg, dan lain-lain, tetapi yang kerap kali digunakan

adalah cyberspace yang diartikan sebagai kombinasi teknologi

komunikasi dan informasi.

Perputaran informasi sudah tidak lagi menggunakan

hitungan jam tetapi menggunakan hitungan detik. Peristiwa

akan terus terjadi pada saat wartawan sedang menulis berita dan

begitu selanjutnya. Aktualitas berita semakin tinggi diharapkan

sehingga persaingan antara media semakin ketat.

Teknologi komunikasi memang banyak menjanjikan

harapan (rising expectations) sekaligus menimbulkan frustasi

(rising frustrations). Banyak hal yang harus kita hadapi akibat

pesatnya teknologi komunikasi ini. Pertama, teknologi

komunikasi akan melahirkan kelas baru dalam masyarakat.

Kedua, teknologi komunikasi bisa membentuk nilai baru.

Ketiga, teknologi komunikasi bisa memperpendek jam kerja

kita, orang bisa kerja tanpa harus pergi ke kantor karena

dihubungkan oleh telekomunikasi. Keempat, pesatnya teknologi

komunikasi bisa dimanfaatkan para pengusaha sebagai arena

persuasi massal di media massa. Kelima, teknologi komunikasi

membawa ekses juga pada timbulnya ketergantungan pada

negara lain. Hingga sekarang, misalnya perangkat keras dan

Page 36: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 36

lunak (hardware dan software) dalam bidang komputer dan

teknologi komunikasi berasal dari negara Barat.

2. Media On-line

Media komunikasi di Indonesia sejak masa reformasi

khususnya media massa cetak sudah mulai membumi terutama

setelah MENPEN membebaskan penerbitan media cetak bagi

siapapun juga yang berkeinginan untuk menjadi Pemred

mendadak. Semakin banyak media cetak yang beredar tentu saja

semakin membingungkan masyarakat yang mulai tergantung

pada media tersebut. Kemudian kebebasan pers yang semula

dianggap sebagai barang langka di kalangan pers, sekarang

menjadi barang obralan yang tidak lagi memperhatikan

mutunya. Tak ada cek dan ricek atas penyajian informasi, tidak

ada lagi rasa ‘hormat’ pada pemerintah atau pejabat-pejabat.

Semua dianggap boleh dilakukan di media cetak.

Masyarakat yang mulanya menyambut baik kemunculan

media-media baru mulai meragukan nilai faktual dan etikanya.

Lalu terjadilah seleksi oleh khalayak dan mulai beberapa media

tidak terbit lagi karena ditinggalkan pembacanya. Kesempatan

kebebasan penyajian informasi ini juga dimanfaatkan oleh para

inovator Indonesia. Mereka mampu melihat sesuatu dari sisi

yang berbeda, sisi lain yang jarang disentuh orang yaitu

penerbitan Media On-line. Masyarakat yang semula saling

berebut menerbitkan media cetak, kemudian ‘berani’

menerbitkan media on-line yang tentu saja masih belum

membudaya dan masih jarang disentuh oleh para pemasang iklan

di Indonesia sebagai sumber pendapatan.

Page 37: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 37

Media on-line dapat dianggap sebagai media masa depan,

dan suatu saat masyarakat Indonesia akan menganggap media

on-line sebagai media alternatif selain media cetak dan

elektronik. Sekarang pun media on-line sudah mulai dikenal

oleh masyarakat banyak sebagai sumber yang terpercaya. Untuk

beberapa kalangan tertentu, informasi di internet dianggap

sebagai sumber informasi aktual dan tercepat.

Pada penelitian yang dilakukan oleh University of

Southern California (1998), disebutkan bahwa pada awal 90-an,

hanya setengah lusin surat kabar besar dan sedikit surat kabar

kecil saja yang memiliki Surat Kabar On-line atau interaktif

pada web atau internet provider seperti Amerika On-line.

Walaupun tanpa produk on-line, ratusan surat kabar memiliki

halaman web. Pertengahan 90-an Surat Kabar On-line baru

menawarkan untuk menyajikan berita utama surat kabar

tersebut untuk ditempatkan di web dan sebagian besar surat

kabar telah menempatkan semua isi surat kabar versi cetak pada

web. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Barret (1997)

ditemukan bahwa 67 % pembaca on-line secara kontinyu

membaca Surat Kabar On-line dan Majalah On-line di internet.

3. Media Modern dan Media Tradisional

Yang tergolong media modern adalah media on-line

sedangkan yang termasuk media tradisional adalah media cetak

dan elektronik. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk

melihat perbedaan kedua media ini, salah satunya adalah yang

dilakukan oleh Christoph Neuberger, Jan Tannemacher,

Matthias Biebl dan Andre Duck (JCMC, 1998) dari Catholic

University di Jerman melakukan penelitian tentang media on-

Page 38: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 38

line sebagai media masa depan. Mereka melakukan penelitian

dengan cara membandingkan media cetak dan media on-line.

Variabel yang digunakan pada kuesioner untuk melihat

kelebihan dan kekurangan media on-line dibandingkan dengan

media cetak dengan menanyakan 2541 responden yaitu :

Kelebihan :

1) Digunakan secara gratis

2) Beritanya lebih aktual

3) Dapat menggunakan lingkup yang lebih luas

4) Menggunakan saluran

5) Dapat otomatis mencari informasi yang dibutuhkan

6) Dapat melihat berita dari surat kabar luar negeri

7) Dapat menghubungi editor melalui e-mail

8) Adanya forum diskusi

Kekurangan :

1) Laporan media on-line tidak seluruhnya informasi yang

disajikan

2) Menghabiskan waktu lama untuk mengakses

3) Tidak dapat dibaca saat perjalanan

4) Membaca di layar komputer sangat melelahkan

5) Akses internet menghabiskan biaya besar

6) Terlalu banyak ‘link’ jadi membingungkan

7) Menghabiskan waktu yang lama untuk berhubungan

dengan link yang tersedia.

Salah satu kesimpulan penelitian ini adalah bahwa updates

pada media on-line kerap kali terjadi. Dan satu dari dua belas

berita akan dilakukan perubahan lebih dari tiga kali dalam

Page 39: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 39

sehari, karena memang disitulah kelebihan media on-line yaitu

kecepatan penyampaian berita. Perilaku pembaca surat kabar

juga berubah. Menurut survei yang dibuat oleh Jupiter sebuah

perusahaan konsultan, menunjukkan bahwa 12 % orang melihat

breaking news melalui internet dulu, ketimbang melalui radio.

Tetapi mereka tidak menginginkan artikel panjang, mereka

ingin judul saja dan berita yang di-update secara rutin.

Selain internet orang banyak mencari breaking news dari

jaringan televisi 24 jam, sama dengan wire service yang

mensuplai berita ke AOL atau Yahoo, dua situs besar di

internet, sedangkan surat kabar berada di urutan paling akhir.

Berdasarkan penelitian yang dibuat Merce Management

Consulting beberapa tahun lalu, televisi dan radio menjadi

sumber yang lebih penting untuk berita yang aktual, sedangkan

surat kabar lebih berharga untuk berita property, pekerjaan,

olahraga, hiburan, seni, makanan, persoalan rumah tangga.

Tetapi kemudian mereka yang di internet mengambil bidang itu

yang menyajikannya lebih mendalam. Maka pencinta olahraga

lebih suka masuk web site tim favorit mereka dibandingkan

surat kabar.

Walaupun internet telah mengungguli media massa

tradisional, kebutuhan untuk berita yang ditulis dengan baik dan

berdasarkan penelitian mendalam tetap ada. ‚The easier it is to

publish, the more rubbish will get published‛ demikian pendapat

para jurnalis tradisional. Institusi media massa tradisional yang

sudah memiliki reputasi baik yang mempublikasikan isinya di

internet lebih dipercaya dibandingkan the cheap journalist.

(Kompas on-line).

Page 40: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 40

PENUTUP

Berita-berita yang disampaikan melalui media on-line

memang lebih cepat dibandingkan dengan surat kabar yang

diterbitkan, tetapi bukan berarti lebih lengkap. Juga pada media

on-line tidak menyediakan banyak ruang yang membahas berita

secara detail, lain halnya pada media tradisional yang ruang

untuk beritanya lebih banyak sehingga masalah kecil pun

diangkat menjadi beritanya.

Media on-line lebih mengutamakan agar pembaca

mengetahui peristiwa bukan memahami apa yang terjadi,

sedangkan pada media tradisional sebaliknya, berita tidak hanya

untuk diketahui tetapi dipahami juga. Pengaruh pemberitaan

melalui media on-line hanya pada kecepatan pemberitaan suatu

peristiwa, sehingga yang mengakses informasi melalui media ini

memperoleh informasi secara aktual tidak seperti pada media

tradisional.

Masyarakat cenderung menggunakan media on-line karena

keaktualan informasi yang disampaikan dan tidak

mempengaruhi penyebaran informasi melalui media tradisional.

Hal ini disebabkan karena media tradisional masih digunakan

luas di masyarakat karena biayanya relatif murah dan mudah

mengaksesnya.

Page 41: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 41

Daftar Rujukan

Buick, Joanna dan Zaron Zevtic, Mengenal Cyberspace For

Beginners, Bandung : Mizan, 1997.

Ely, D.P., Information Technology in Education: The Best of

ERIC, New York: ERIC Clearinghouse on Information

Resources, 1982.

Grant, E August, Communication Technology Update, Fifth

Edition, Butterworth-Heinemann, 1996.

Koswara, E, Dinamika Informasi dalam Era Global, Bandung :

PT. Remaja Rosdakarya, 1998.

Macmara, Jim, Strategi Jitu Menjinakkan Media, Jakarta : PT.

Mitra Media Publisher, 1999.

Muis, A., Jurnalistik Hukum Komunikasi Massa, Jakarta : PT.

Dharu Anuttama, 1999.

Negroponte, Nicholas, Being Digital, Yogyakarta: Mizan, 1998.

Piliang, Amir Yasraf, Sebuah Dunia Yang Dilipat, Yogyakarta :

Mizan Pustaka, 1998.

William, Frederick, The New Communication, Third Edition,

California: Wadsworth Publishing Company, 1992.

Page 42: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 42

PENDEKATAN KOMUNIKASI DALAM

PEMBELAJARAN BAHASA ARAB

Oleh Kartini

Abstrak: Communicative approach (al-madhal al-ittishali)

in study of Arabic language that create to competition as

purpose study that direct to procedure of language skill, that

consist of attention (istima’), speaking (kalam), reading

(qiraah), and writing (kitabah). Communication approach (al-

madhal al-ittishal) to stimulate students to learning activity.

The used of communication approach activity, that is functional

of communication language that another to share information

and information process and social interaction activity that is

dialog, simulation, debating, and another discussion activity.

Kata kunci: Pendekatan Komunikatif (al-madhal al-ittishal),

Pembelajaran, Bahasa Arab.

A. Pendahuluan

Pendekatan komunikatif yang dalam bahasa Arab disebut

dengan al-madhal al-ittishali yaitu pendektan yang

mempokuskan pada kemampuan komunikasi aktif dan praktis.

Menurut pemerhati bahasa, pendekatan ini telah mengadakan

terobosan baru yang strategis dibidang pengajaran bahasa

kedua, dan dianggap sebagai pendekatan yang integral dan

memiliki cirri-ciri yang pasti. Hal ini karena ia merupakan

perpaduan strategi-strategi yang bertumpu pada suatu tujuan

Page 43: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 43

tertentu yang pasti, yaitu melatih menggunakan bahasa secara

spontanitas dan kreatif.

Sasaran pendekatan ini adalah memberikan kesempatan

kepada peserta didik untuk menggunakan bahasa Arab pada

situasi yang alami dengan sikap spontanitas kreatif, disamping

penguasaan tata bahasa. Fokus pendekatan ini adalah

menyampaikan makna atau maksud yang tepat sesuai dengan

tuntunan dan fungsi komunikasi pada waktu tertentu.

B. Karakteristik Pendekatan Komunikatif

1. Sejarah Lahirnya Pendekatan Komunikatif

Pada tahun 1960-an tradisi pembelajaran bahasa di Inggris

mengalami perubahan cukup mendasar. Perubahan ini dipicu

oleh asumsi baru tentang hakikat pembelajaran bahasa yang

secara mendasar mengikuti asumsi-asumsi baru. Hal inilah yang

mendorong munculnya pembelajaran Bahasa Komunikatif

(Communikative Language Teaching).

Pada tahun-tahun sebelumnya, situasional Language

Teaching mendominasi percaturan pembelajaran bahasa Inggris.

Pada ‚Situasional Language Teaching‛ dalam hal ini tertentu

mirip dengan pendekatan komunikatif. Bahasa diajarkan dengan

cara melatih siswa tentang struktur dasar dalam berbagai

aktivitas yang didasarkan pada hal-hal yang bermakna.

Pendekatan pembelajaran bahasa tersebut tidak dapat bertahan

lama sebab ada bantahan-bantahan dari para pakar linguis di

Amerika. Dalam pendekatan audiolingual sebagai bagian dari

penerapan pendekatan Situasi Language Teaching. Selanjutnya,

Howatt (dalam Tolla,1996) mengatakakan pendekatan

Situasional Language Teaching merupakan suatu gagasan yang

Page 44: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 44

keliru karena memprediksi bahasa berdasarkan kejadian-

kejadian situasional atau situasional tertentu. Pendekatan

tersebut lebih seksama akan kembali pada konsep tradisional.

Hal yang sama diungkapkan oleh Noam Chomsky seorang

pakar linguistik Amerika Serikat dalam bukunya ‚Syntaktic

Struktures‛ yang diterbitkan 1957 menunjukkan bahwa teori

struktural terbukti tidak mampu menjelaskan karakteristik

bahasa yang fundamental kreativitas (Purwo, 1990). Di samping

itu, para pakar linguis terapan di Inggris menekankan pada

dimensi bahasa yang mendasar lainnya yang belum tergarap

secara memadai pada pendekatan pembelajaran bahasa yang

telah berlaku saat itu, yaitu dimensi fungsional dan komunikatif.

Menurut penilaian mereka, perlu ada pemberian perhatian yang

cukup memadai dalam pembelajaran bahasa dengan menekankan

pendekatan komunikatif daripada pendekatan struktural.

Para sarjana yang memprakarsai pandangan tersebut, yaitu

Christopher Candlin dan Henri Widdoson yang telah banyak

mengkaji karya-karya linguis Fungsional Inggris, seperti John

Firth, dan M.A.K. Halliday. Karya-karya yang bersifat

sosiolinguistik, seperti Dell Hymes, John Gumperz dan william

Labov dari Amerika. Karya-karya filsafat, seperti John Austin

dan John Searle dari Amerika dan London (Tolla, 1996).

Dalam pandangan fundamental dalam kaitannya dengan

hakikat pembelajaran bahasa merupakan embrio bagi

pendekatan lain dalam pembelajaran asing yang bersumber dari

perubahan realitas pembelajaran bahasa di Eropa dan

membentuk suatu dewan yang dinamakan ‚Dewan Eropa‛ yang

mendukung sepenuhnya terbentuknya Asosiasi Linguistik

Terapan Internasional (Internasional Assosiasi of Applied

Page 45: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 45

Linguistics). Assosiasi ini dianggap sangat penting untuk

mengembangkan dan menyebarluaskan metode-metode

pembelajaran bahasa.

Sebagai realisasi dari program-program perkumpulan

tersebut, tahun 1971 mulai dikembangkan pembelajaran bahasa

dalam suatu sistem kredit, yaitu sebuah sistem yang tugas-tugas

pembelajarannya dipecah-pecah ke dalam bagian atau unit-unit.

Setiap unit berhubungn dengan unit lainnya (Aleksander dalam

Azies, 1996 :2). Upaya tersebut mulai dipertajam oleh D.A.

Wilkins pada tahun 1972 dalam makalahnya berjudul

‚Grammatikal, Situasional an National Syllabus‛ yang

disampaikan dalam konfrensi Linguistik Terapan di

Copenhagen. Sejak itu kepopuleran pembelajaran bahasa secara

komunikatif menyebar ke seluruh penjuru dunia dan mampu

menggoyangkan konsep pembelajaran bahasa yang

dikembangkan oleh kaum struktural. Dalam konferensi tersebut,

Wilkins mendemonstrasikan sistem makna yang mendasari

penggunaan bahasa secara komunikatif. Wilkins menguraikan

dua jenis makna yaitu kategori nasional meliputi konsep-konsep

seperti waktu, urutan, kuantitas, lokasi, frekuensi dan kategori

fungsi komunikatif seperti penolakan, penawaran, keluhan dan

sebagainya. Wilkins kemudian merevisi dan melengkapi

makalahnya sehingga tersusun sebuah buku berjudul National

Syllabuses (1976) dan memiliki pengaruh besar terhadap

pembelajaran bahasa komunikatif (PBK).

Sekalipun pada mulanya gerakan ini tumbuh di Inggris,

tetapi pada umumnny pengaruhnya meluas sampai ke Amerika

pada pertengahan 1970-an. Para pendukungnya baik di Inggris

Page 46: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 46

maupun di Amerika sama-sama melihat sebagai suatu

pendekatan bukan metode.

2. Pengertian dan Hakikat Pendekatan Komunikatif

Istilah pendekatan komunikatif yang pertama kali muncul

di Inggris dengan nama Communicative Approach. Tujuan

pendekatan ini adalah (a) menciptakan kompetensi sebagai

tujuan pembelajaran bahasa dan (b) mengembangkan prosedur

keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca,

dan menulis (Tolla, 1996: 95). Selanjutnya, Littlewood (dalam

Azies,1996: 4) menjelaskan bahwa salah satu ciri khas utama

penmbelajaran bahasa komunikatif adalah pemberian perhatian

sistematis terhadap aspek-aspek fungsional dan struktural

bahasa. Berdasarkan ciri tersebut, maka ia menetapkan dua

dimensi yang perlu diperhatikan dalam menyusun program

pembelajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif di

antaranya adalah :

a) Dimensi yang berkaitan dengan perumusan tujuan

keterampilan yang diperlukan pembelajar bahasa yang

tidak hanya terbatas pada pemakaian struktur bahasa,

tetapi juga penguasaan keterampilan yang lain, yaitu

keterampilan bagaimana menghubungkan struktur-

struktur tersebut dan fungsi-fungsi komunikasi sesuai

dengan situasi peristiwa bahasa.

b) Dimensi yang berkaitan dengan jenis-jenis kegiatan

belajar yang diperlukan untuk mencapai tujuan pertama.

Asumsinya adalah belajar berkomunikasi, tetapi yang

lebih penting ialah pembelajar mampu menggunakan

bahasa itu secara otomatis atau spontan.

Page 47: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 47

Berdasarkan kedua dimensi di atas dapat dipahami bahwa

kemahiran penggunaan bahasa dalam situasi komunikasi yang

nyata sesungguhnya jauh lebih penting dimiliki oleh para siswa

dibandingkan dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah

bahasa (pendekatan struktural). Pendekatan komunikatif

memberikan tekanan pada kebermaknaan dan fungsi bahasa atau

dari struktural ke fungsional.

Dalam hal ini, bahasa lebih tepat dipandang sebagai

sesuatu yang berkenaan dengan apa yang dapat dilakukan

(fungsi) atau berkenaan dengan makna apa yang dapat

diungkapkan (nosi) melalui bahasa dan bukan yang berkenaan

dengan butir-butir bahasa. Dengan demikian, penggunaan

bahasa untuk tujuan tertentu seperti: menyapa, meminta maaf,

menasihati, memuji atau mengungkapkan pesan tertentu dalam

kegiatan berkomunikasi (Pateda, 1991). Untuk lebih memahami

hakikat pendekatan komunikatif secara mendalam ada delapan

hal yang perlu dijelaskan yaitu:

(a) Teori Bahasa: Pendekatan komunikatif berdasarkan pada

teori bahasa yang menyatakan bahwa pada hakikatnya

bahasa itu merupakan suatu sistem untuk mengekspresikan

makna. Teori ini lebih memberi tekanan pada dimensi

semantik dan komunikatif dibandingkan pada ciri-ciri

gramatikal bahasa. Oleh karena itu, dalam pembelajaran

bahasa yang berdasarkan pada pendekatan komunikatif

bahasa, bukan pengetahuan tentang bahasa.

(b) Teori Belajar; Kegiatan belajar dikembangkan dengan

mengarahkan pembelajar ke dalam komunikasi nyata.

Pembelajar dituntut pula untuk menggunakan bahasa yang

dipelajarinya. Teori belajar yang cocok untuk pendekatan

Page 48: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 48

ini adalah pemerolehan bahasa kedua secara alamiah. Teori

ini beranggapan bahwa proses belajar bahasa lebih efektif

apabila bahasa diajarkan secara informal melalui

komunikasi langsung di dalam bahasa yang sedang

dipelajari.

(c) Tujuan; yang ingin dicapai di dalam pembelajaran bahasa

yang berdasarkan pendekatan komunikatif merupakan

tujuan yang lebih mencerminkan kebutuhan siswa. Karena

kebutuhan siswa yang utama dalam belajar bahasa berkaitan

dengan kebutuhan komunikasi. Oleh karena itu, tujuan

umum pembelajaran bahasa adalah mengembangkan

kemampuan siswa untuk berkomunikasi (kompotensi dan

performansi komunikatif).

(d) Silabus; Silabus harus disusun searah dengan tujuan

pembelajaran. Oleh karena itu, dalam penyusunan silabus

pembelajaran bahasa yang berdasarkan pendekatan

komunikatif yang harus diperhatikan ialah kebutuhan dan

materi-materi yang dipilih harus sesuai dengan kebutuhan

siswa.

(e) Tipe Kegiatan di dalam pembelajaran bahasa yang

menggunakan pendekatan komunikatif, pembelajar

diarahkan ke dalam situasi komunikasi nyata. Kegiatan

komunikasi tersebut dapat berupa kegiatan tukar informasi,

negoisasi makna, atau kegiatan berinteraksi.

(f) Peranan Guru; Dalam pembelajaran bahasa Arab, guru

dapat berperan sebagai fasilitator dalam proses komunikasi,

partisipan tugas dan teks, menganalisis kebutuhan,

konselor, dan manajer kegiatan belajar mengajar dalam

kelas.

Page 49: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 49

(g) Peranan Siswa; Dalam pembelajaran bahasa Arab

pembelajar berperan sebagi pemberi dan penerima, sebagai

negoisator dan interaktor dalam kegiatan pembeajaran

bahasa Arab dengan pendekatan komunikatif pembelajar.

Dengan demikian, para siswa tidak diharuskan menguasai

bentuk-bentuk dan makna-maknanya dalam kaitannya

dengan konteks pemakaiannya.

(h) Peranan materi; Dalam pembelajaran bahasa Araba materi

disusun dan disajikan dalam peranan sebagai pendukung

usaha peningkatan kemahiran berbahasa dalam tindak

komunikasi yang nyata. Materi ditempatkan sebagai bagian

yang memiliki andil besar dalam mencapai tujuan

pembelajaran. Dengan demikian, dalam pembelajaran

bahasa komunikatif materi berfungsi sebagai sarana yang

sangat penting dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran

(Sumardi, 1992).

Berdasarkan uraian di atas, maka pendekatan komunikatif

adalah pembelajaran bahasa yang berdasarkan pada tujuan

pembelajaran yang mementingkan fungsi bahasa sebagai alat

komunikasi. Siswa diarahkan untuk dapat menggunakan bahasa,

bukan mengetahui tentang bahasa dan bertujuan untuk

membentuk kompetensi komunikasi, bukan semata-mata

membentuk kompetensi kebahasaan, dengan memanfaatkan

seluruh sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar.

3. Ciri-ciri Pendekatan Komunikatif

Untuk menentukan ciri-ciri pendekatan komunikatif,

landasan pokok yang berkenaan hal tersebut, adalah hakikat

Page 50: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 50

teori bahasa, hakikat belajar bahasa, dan hakikat pembelajaran

bahasa.

a. Hakikat Teori Bahasa

Pendekatan komunikatif pertama-tama berdasarkan pada

teori bahasa sebagai komunikasi (language as communication).

Teori bahasa yang secara khusus merupakan pengembangan

pendekatan komunikatif. Teori ini bertentangan dari kebiasaan

penekanan struktur bahasa. Dalam teori bahasa tersebut bahasa

dilihat dari sistem gramatika sebagai sebuah sistem komunikasi

di tingkat teori bahasa, pendekatan komunikatif memiliki

landasan teoretis yang cukup kokoh (Pateda, 1991). Teori yang

melandasi pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: (a)

Bahasa adalah sistem untuk mengungkapkan makna. (b) Fungsi

utama bahasa adalah untuk interaksi dan komunikasi. (c)

Struktur bahasa mencerminkan kegunaan fungsional dan

komunikatifnya.

Teori lain yang juga melandasi pendekatan komunikatif

adalah tentang fungsi bahasa yang diketengahkan oleh Halliday

(dalam Pateda, 1991). Ketujuh fungsi bahasa tersebut sebagai

berikut: (a) Fungsi instrumental yaitu menggunakan bahasa

untuk memperoleh sesuatu. (b) Fungsi regulator yaitu

menggunakan bahasa untuk mengontrol perilaku orang lain. (c)

Fungsi interaksional yaitu menggunakan bahasa untuk

menciptakan interaksi dengan orang lain. (d) Fungsi personal

yaitu menggunakan bahasa untuk mengungkapkan perasaan dan

makna. (e) Fungsi teoristik yaitu menggunakan bahasa untuk

belajar dan menemukan makna. (f) Fungsi imajinatif yaitu

Page 51: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 51

menciptakan dunia imajinasi. (g) Fungsi representasional yaitu

menggunakan bahasa untuk menyampaikan informasi.

b. Hakikat Belajar Bahasa

Beberapa ahli ilmu bahasa terapan dalam pembelajaran

bahasa, antara lain Brumfit, Johnson, serta Littlewood (dalam

Syafi’ie, 1993) mengemukakan beberapa prinsip teori belajar

bahasa yang menjadi dasar pendekatan komunikatif sebagai

berikut:

1) Untuk mendorong kegiatan proses belajar bahasa

dibutuhkan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan

komunikasi yang sebenarnya. Berdasarkan prinsif ini,

tidak berarti bahwa pembelajaran bahasa selalu berupa

aktivitas berkomunikasi yang sebenarnya terjadi. Adapun

kegiatan-kegiatan pembelajaran yang berupa latihan-

latihan pemakaian bahasa bukanlah tujuan pembelajaran

melainkan media untuk mencapai tujuan yakni

kemampuan berkomunikasi oleh karena latihan-latihan

menuju pendekatan komunikatif penggunaan bahasa

bukan pengetahuan kebahasaan.

2) Penciptaan kegiatan-kegiatan yang bermakna pada siswa

dengan penggunaan bahasa akan mendorong proses belajar

bahasa. Dari prinsif ini pembelajaran bahasa dengan

pendekatan komunikatif sangat mengutamakan berbagai

tugas yang bermakna bagi siswa.

3) Bahasa yang bermakna bagi siswa akan mendorong proses

belajar siswa. Berdasarkan prinsif ini, materi pembelajaran

bahasa melalui pendekatan komunikatif adalah bahasa

dalam pemakaian.

Page 52: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 52

Selanjutnya, Angela Scarino (dalam Azies, 1996: 28-32)

mengemukakan delapan prinsip belajar bahasa yang bercorak

komunikatif sebagai berikut : (a) Pembelajar akan belajar bahasa

dengan baik bila diperlakukan sebagai individu yang memiliki

kebutuhan dan minat. (b) Pembelajar akan belajar bahasa

dengan baik bila ia diberi kesempatan untuk berpartisipasi

dalam menggunakan bahasa sasaran secara komunikatif dalam

berbagai aktivitas. (c) Pembelajar akan belajar bahasa dengan

baik jika ia dipajankan (exposed) ke dalam situasi komunikasi

yang dapat dipahami dan relevan dengan kebutuhan dan

minatnya. (d) Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik, bila

ia secara sengaja memfokuskan pembelajarannya kepada bentuk,

keterampilan dan strategi untuk mendukung proses pemerolehan

bahasa. (e) Pembelajar akan belajar dengan baik bila ia

memperoleh gambaran tentang data sosiokultural dan

pengalaman budaya yang merupakan bagian dari bahasa sasaran.

(f) Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika ia

menyadari peran serta hakikat bahasa dan budaya. (g)

Pembelajar akan belajar bahasa dengan baik jika ia diberi umpan

balik yang tepat yang menyangkut kemajuan mereka.

c. Hakikat Pembelajaran Bahasa

Dalam pembelajaran bahasa, pembelajaran adalah untuk

mengembangkan kompetensi komunikatif para pembelajar yang

mencakup kemampuan menafsirkan bentuk-bentuk linguistik

baik yang dinyatakan eksplisit maupun implisit.

Pendekatan komunikatif dalam pembelajaran bahasa

sering diasosiasikan dengan silabus, tidak didasarkan pada

tingkat kesukaran dan kerumitan butir struktur, tetapi

Page 53: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 53

didasarkan pada kebutuhan pembelajar. Dengan demikian,

analisis kebutuhan merupakan hal yang mutlak perlu

dilaksanakan sebelum pembelajaran bahasa pendekatan

komunikatif.

Pendekatan komunikatif sebenarnya adalah pendekatan

pada desain silabus bukan pendekatan pada metode

pembelajaran bahasa. Dalam pendekatan tersebut materi disusun

dengan memperhatikan fungsi-fungsi bahasa atau pemakaian

bahasa. Materi yang baik untuk pendekatan pembelajaran yang

memperhatikan fungsi bahasa karena didasarkan pada

kebutuhan-kebutuhan komunikasi pembelajar dan tidak

didasarkan pada sistematika butir-butir bahasa.

Materi yang terdapat dalam pembelajaran bahasa adalah

materi yang berupa teks, materi yang berorientasi pada tugas,

dan materi yang berupa benda yang sebenarnya. Mengacu pada

ketiga bentuk materi tersebut, maka ada beberapa prinsip yang

perlu diketahui di antaranya: (a) Materi harus menunjang

tujuan-tujuan yang dirumuskan dalam kurikulum. (b) Materi

yang disusun mengacu pada keperluan dan autentik. (c) Materi

harus dapat menstimulasi terjadinya interaksi antara guru

dengan siswa dan interaksi antara siswa. (d) Materi yang

disajikan harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk

dapat memperhatikan bentuk-bentuk bahasa. (e) Materi harus

dapat memberikan dorongan pembelajar untuk mengembangkan

keterampilan belajar. (f) Materi harus dapat menciptakan

pembelajar menerapkan keterampilan berbahasa (Syafi’ie,

1997).

Berdasarkan uraian pada landasan pendekatan komunikatif

di atas, maka ciri-ciri pendekatan komunikatif dapat dinyatakan

Page 54: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 54

sebagai berikut: (a) Pendekatan komunikatif dapat menunjukkan

aktivitas yang realistis untuk mendorong pembelajar untuk

belajar. (b) Melalui aktivitas-aktivitas bahasa bertujuan untuk

mengerjakan tugas-tugas yang mendorong pembelajar untuk

belajar. (c) Materi dan silabus dipersiapkan setelah melakukan

analisis mengenai kebutuhan (needs) pembelajar. (d) Penyajian

materi dan aktivitas dalam kelas berorientasi pada pembelajar.

(e) Cara berperan sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan

pembelajar, dan manajer kelompok. Untuk berkomunikasi baik

lisan maupun tulis yang wajar. (f) Peranan materi dapat

menunjang komunikasi pembelajar secara aktif (Subiyakto,

1993: 70-73).

Prosedur Pembelajaran Bahasa dalam Pendekatan

Komunikatif. Secara umum, tujuan pembelajaran bahasa

berdasarkan pendekatan komunikatif adalah mempersiapkan

pembelajar untuk melakukan interaksi yang bermakna dengan

cara mengikhtiarkan pembelajar untuk mampu memahami dan

menggunakan bahasa secara alamiah. Pengelolaan kelas bahasa

yang mencerminkan penggunaan bahasa yang alamiah, yakni

penggunaan bahasa yang nyata sesuai dengan penggunaan

bahasa dalam kehidupan sehari-hari.

Berkenaan dengan prosedur pembelajaran bahasa

berdasarkan pendekatan komunikatif ini, Finochiaro dan

Brumfit menawarkan garis besar pembelajaran pada tingkat

sekolah menengah pertama. Garis besar kegiatan pembelajaran

yang ditawarkan kedua tokoh tersebut dapat disimpukan sebagai

berikut: (a) Penyajian dialog singkat, yaitu penyajian dialog

singkat ini sebaiknya didahului dengan pemberian motivasi

dengan cara menghubungkan situasi dialog tersebut dengan

Page 55: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 55

pengalaman pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. (b)

Pelatihan lisan dialog yang disajikan, yaitu pelatihan lisan

dialog ini biasanya diawali dengan contoh yang dilakukan oleh

guru.

Para siswa mengulang contoh lisan gurunya, baik secara

bersama-sama dilakukan oleh seluruh siswa, setengahnya,

sekelompok kecil, maupun individual. (c) Tanya jawab, yaitu

tanya jawab ini dapat dilakukan pada dua fase. Pertama, tanya

jawab yang berdasarkan topik dan situasi dialog. Kedua, tanya

jawab tentang topik itu dikaitkan dengan pengalaman-

pengalaman pribadi siswa. (d) Pengkajian, yaitu para siswa

diajak untuk mengkaji salah satu ungkapan yang terdapat dalam

dialog. Lalu para siswa diberi tugas untuk memberikan contoh

ungkapan lain yang fungsi komunikatifnya sama. (e) Penarikan

kesimpulan, yaitu para siswa diarahkan untuk membuat

kesimpulan tentang kaidah bahasa yang terkandung dalam

dialog. (f) Aktivitas Interpretatif, yaitu pada langkah ini, para

siswa diarahkan untuk menafsirkan (menginterpretasikan)

beberapa dialog yang dilisankan. (g) Aktivitas Produksi lisan,

yaitu Aktivitas produksi lisan (berbicara) dimulai dari aktivitas

komunikasi terbimbing sampai kepada aktivitas yang bebas. (h)

Pemberian Tugas, yaitu memberikan tugas tertulis sebagai

pekerjaan rumah. Dan (1) Evaluasi, yaitu evaluasi pembelajaran

dilakukan secara lisan (Tarigan, 1988: 280).

Harmer (dalam Pateda, 1991) mengemukakan pula bahwa

tahap-tahap pembelajaran bahasa komunikatif harus dimulai

dari aktivitas nonkomunikatif, menuju aktivitas komunikatif.

Dalam fase kegiatan untuk berkomunikasi dan tujuan

berkomunikasi. Selanjutnya, Littlewood mengatakan (dalam

Page 56: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 56

Saadie, 1998) bahwa penggunaan pendekatan komunikatif

dalam pembelajaran bahasa ada dua kegiatan yang harus

diketahui, yaitu kegiatan komunikasi fungsional dan kegiatan

interaksi sosial. Kegiatan komunikasi fungsional meliputi antara

lain kegiatan saling membagi informasi dan mengolah

informasi. Kegiatan interaksi sosial meliputi dialog, simulasi,

memerankan lakon pendek yang lucu, improvisasi, berdebat dan

melaksanakan berbagai bentuk diskusi.

Berdasarkan uraian di atas, dapat memberikan suatu

indikasi bahwa dalam pembelajaran bahasa yang menggunakan

pendekatan komunikatif guru bahasa dapat menggunakan

alternatif prosedur yang memungkinkan terciptanya

pembelajaran yang dinamis.

Kesimpulan

Berdasarkan dengan uraian di atas, dapat disimpulkan

sebagai berikut:

1) Belajar bahasa pada hakikatnya adalah belajar

berkomunikasi. Oleh karena itu pembelajaran bahasa Arab

dalam pendekatan komunikatif diarahkan untuk

meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan

menggunakan bahasa Indonesia baik secara lisan maupun

tulisan.

2) Tujuan pendekatan komunikatif yaitu, membentuk

kompetensi sebagai tujuan penmbelajaran bahasa dan

mengembangkan prosedur keterampilan berbahasa.

3) Ciri khas pembelajaran bahasa Arab dalam pendekatan

komunikatif adalah pemberian perhatian sistematis

terhadap aspek fungsional dan struktur bahasa.

Page 57: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 57

4) Kemahiran menggunakan bahasa dalam situasi komunikasi

yang nyata sesungguhnya lebih penting dimiliki para siswa

disbanding dengan pengetahuan tentang kaidah-kaidah

bahasa.

5) Hakikat pendekatan komunikasi meliputi teori bahasa, teori

belajar, tujuan, silabus, tipe kegiatan, peranan guru, peranan

siswa, dan peranan materi.

6) Ciri-ciri pendekatan komunikatif di antaranya adalah : (a)

pendekatan komunikatif menunjukkan aktivitas yang

realistis untuk menstimulasi pembelajar untuk belajar, (b)

materi dari silabus dipersiapkan setelah dilakukan analisis

kebutuhan pembelajar, (c) penyajian materi dan aktivitas

dalam kelas berorientasi kepada pembelajar, (d) guru

berperan sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan

pembelajar dan menejer kelompok untuk berkomunikasi

baik secara lisan maupun tulisan.

Daftar Rujukan

Azies, Furqanul dan A. Chaedar Alwasilah. 1996. Pengajaran

Bahasa Komunikatif: Teori dan Praktek. Bandung : PT

Remaja Rosdakarya.

Pateda, Mansur. 1991. Linguistik Terapan. Flores: Nusa Indah.

Purwo, Bambang Kaswanti. 1990. Pragmatik dan Pengajaran

Bahasa. Yogyakarta: Kanisius

Page 58: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 58

Saadie, Ma’mur. 1998. Pendekatan Komunikatif dalam

Penggunaan Bahasa Indonesia. Jakarta : Proyek Penataran

Guru SLTP Setara D3 Dirjen Pendidikan Dasar dan

Menengah Depdikbud.

Subiyakto, Sri Utari N. 1993. Metodologi Pengajaran Bahasa.

Jakarta: Gramedia.

Sumardi, Muljanto. 1992. Berbagai Pendekatan dalam

Pengajaran Bahasa dan Sastra. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Syafi’ie, Imam. 1996. Terampil Berbahasa Indonesia 1;

Petunjuk Guru Bahasa Indonesia untuk Sekolah Menengah

Umum Kelas 1. Jakarta: PT General Bhakti Pertama.

Syafi’ie, Imam. 1997. Pendekatan Pembelajaran Bahasa

Indonesia. Jakarta: Universitas Terbuka.

Tarigan, H.G. 1988. Metode Pengajaran Bahasa. Bandung:

Angkasa.

Tolla, Ahmad. 1996. Kajian Pendekatan Komunikatif dalam

Pengajaran Bahasa Indonesia di SMU di Kotamadya

Ujung Pandang. Tesis. Malang: IKIP Malang.

Zainuddin, Radliyah. 2005. Metodologi dan Strategi Alternaif

Pembelajaran Bahasa Arab. Cirebon: STAIN Cirebon Pres.

Page 59: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 59

EKSISTENSI SURAT KABAR SEBAGAI

MEDIA DAKWAH

Oleh Efendi P.

Abstrak; The press is one of the media propaganda is very

effective in the delivery of religious messages to the public. In

the modern world human needs of the press described as the air,

where every time people will definitely need it. The press as

propaganda media have functions and goals include: educate,

inform, entertain, influence, and as social control. Thus, the

presence of newspapers as a medium of propaganda is very

strategic.

Kata kunci : dakwah, media, pengaruh

A. Pendahuluan

Dalam dunia modern kehidupan masyarakat tidak lagi

dapat dipisahkan dari jurnalistik dan pers. Secara ekstrem para

ahli jurnalistik menyamakan pers dengan udara yang dibutuhkan

manusia untuk hidup. Manusia modern tidak lagi dapat hidup

tanpa mendapatkan suguhan pers, yang memenuhi kebutuhan

masyarakat akan informasi (H. Assegaff, 1991: 9).

Keberhasilan dakwah tidak semata terletak pada format

dan isi, tetapi sangat tergantung pula pada metode dan media,

pengaruh media informasi sungguh makin nyata. Sementara di

kalangan umat Islam umumnya kita juga mulai menyaksikan

adanya semacam pergeseran proporsionalitas struktur

penggunaan media dakwah, yakni da’wah bil qalam (media

Page 60: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 60

cetak) mendapat posisi besar di samping dakwah billisan

(Hamka dan Rafiq, 1989:122).

Secara umum fungsi media komunikasi massa tersebut

adalah:

a. memberikan informasi

b. mendidik

c. menghibur dan

d. mempengaruhi (Effendy, 1986: 116).

Surat kabar sebagai salah satu media dakwah, baik surat

kabar harian maupun mingguan, keduanya telah memiliki fungsi

tersebut di atas. Persoalannya adalah apakah muballigh sudah

siap untuk menggunakan dan memanfaatkan surat kabar sebagai

media saluran dakwah? Ini adalah sebuah tantangan bagi para

muballigh dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada

masyarakat khususnya melalui media cetak (surat kabar).

Ciri masyarakat informasi ditandai dengan makin lebar

dan intensidnya kegiatan komunikasi, baik yang bersifat

interakatif maupun media massa. Teknologi informasi

merupakan ciri dominan kehidupan masyarakat dalam mencari,

memproses, dan menyajikan informasi (Firdaus, 2003: 12).

Dengan demikian tampak ada kesamaan antara fungsi

surat kabar (pers) dan fungsi dakwah. Hasanuddin mengatakan

bahwa persamaan antara dakwah dan publisistik yaitu sama-

sama menyampaikan isi pernyataan, objeknya sama-sama

manusia, sama-sama bertujuan agar manusia lain jadi

sependapat, selangkah dan serasi dengan orang yang

menyampaikan isi pernyataan (Ardhana, 199: 45).

Page 61: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 61

Surat kabar sebagai media informasi dan media dakwah

sangat besar pengaruhnya dalam penyiaran Islam kepada

masyarakat. Surat kabar sebagai media massa memuat dan

menyajikan berbagai macam informasi yang dibutuhkan oleh

masyarakat selalu konsumen. Makalah ini akan membahas

pengaruh dakwah melalui surat kabar.

B. Dakwah Melalui Surat Kabar

Dakwah adalah kewajiban yang harus ditegakkan oleh

umat Islam, kapan dan di manapun mereka berada. Dakwah

dapat dilaksanakan dalam berbagai bentuk, misalnya melalui

perbuatan (akhlak), tutur kata (lisan), dan melalui tulisan (surat

kabar). Untuk membahas dakwah melalui tulisan, maka di

bawah ini akan dikemukakan pengertian, beberapa media

dakwah dan pengaruhnya melalui surat kabar.

a. Pengertian media dakwah

Kata ‚media‛ berasal dari bahasa latin, yaitu

‚median‛ yang artinya alat perantara. Sedangkan kata media

merupakan jamak darikata median tersebut (Syukir, 1983:163).

Dari pengertian ini dipahami, bahwa yang dimaksud dengan

media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

mencapai suatu tujuan tertentu.

Menurut H. Hamzah Ya’qub (1981: 47), bahwa media

dakwah adalah ‚alat obyektif yang menjadi saluran

menghubungkan ide dengan ummat, suatu elemen yang vital dan

merupakan urat nadi dalam totaliteit dakwah‛.

Asmuni Syukir (1983:163) menjelaskan bahwa media

dakwah adalah alat yang dapat digunakan untuk mencapai

tujuan dakwah yang telah ditentukan. Media dakwah ini dapat

Page 62: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 62

berupa barang (material), manusia, tempat, kondisi tertentu dan

sebagainya.

Abd. Kadir Munsyi (1981: 41), menjelaskan bahwa media

dakwah adalah alat yang menjadi saluran penghubung ide

dengan umat, suatu elemen yang vital yang merupakan urat

nadi dalam totalitiet dakwah. Dari penjelasan di atas, dapat

disimpulkan bahwa media dakwah adalah segala sesuatu yang

dipergunakan dalam rangka pelaksanaan dakwah demi

tercapainya tujuan dari pada dakwah.

b. Beberapa media Dakwah

Mengingat banyak media yang dapat digunakan oleh para

da’i dalam menyampaikan pesan-pesan agama kepada

masyarakat, maka berikut akan dikemukakan beberapa pendapat

para ahli tentang media dakwah. H. Hamzah Ya’qub (1981: 47-

48) membagi media dakwah dalam lima (5) bahagian, yaitu:

1) Lisan, seperti khutbah, pidato, ceramah, kuliah diskusi,

seminar, musyawarah, nasehat, pidato radio, ramah tamah,

anjang sana, obrolan secara bebas dan lain sebagainya

yang menggunakan lidah dan suara.

2) Tulisan, misalnya menyampaikan dakwah lewat buku-

buku,

3) majalah, surat kabar, buletin, spanduk, dan lain-lainnya.

4) Lukisan, seperti gambar-gambar, foto, film cerita dan lain-

lain lukisan yang mengandung nilai-nilai dakwah.

5) Audio visual, yaitu yang dapat didengar dan dilihat.

Misalnya televisi dan lain-lain.

Page 63: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 63

6) Akhlak (uswatun hasanah), yakni menunjukkan perbuatan

nyata seperti mensiarhi orang sakit, membangun masjid,

sekolah, poliklinik dan lain-lain.

Menurut Abd. Kadir Munsyi, bahwa ada enam (6) macam

media dakwah yaitu:

a) Lisan

b) Tulisan

c) Lukisan atau gambar

d) Audio visual

e) Perbuatan

f) Organisasi (Munsyi, 1981: ix-x).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa,

media dakwah adalah alat yang digunakan sebagai perantara

dalam rangka pencapaian tujuan dakwah. Meskipun hanya

sebagai alat perantara tetapi sangat berperan dalam pelaksanaan

dakwah. Hal tersebut menunjukkan bahwa media dakwah

sangat dibutuhkan dalam proses penyelenggaraan aktivitas

dakwah di masyarakat. Dengan demikian media dakwah yang

meliputi segala sesuatu yang digunakan dalam hubungannya

dengan pelaksanaan dakwah, sekalipun hanya alat penunjang,

akan tetapi sangat besar pengaruhnya dalam pencapaian

tujuan yang ingin dicapai oleh dakwah.

Sekalipun media dakwah itu sangat banyak, tetapi tidak

ada media yang sempurna, masing-masing memiliki kelebihan

dan kekurangan, kekurangan yang ada pada media yang satu

akan disempurnakan oleh media lainnya. Makin banyak

menguasai penggunaan media dalam pelaksanaan dakwah, maka

Page 64: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 64

semakin mengantar kepada keberhasilan dan kesuksesan dalam

pelaksanaan dakwah. Oleh karena itu, dalam memilih media

dakwah sebaiknya selalu dikondisikan dengan objek dakwah,

sebab tidak semua media dakwah bisa digunakan dalam semua

kondisi dan situasi.

Media dakwah merupakan salah satu unsur dakwah yang

dapat menunjang suksesnya dakwah. Sebab itu, materi dakwah

yang akan disampaikan harus disesuaikan degan media yang

akan digunakan. Dengan demikian, dakwah yang disalurkan

lewat media lebih mudah mempengaruhi mad’u. Di sinilah

pentingnya media bagi juru dakwah dalam menyampaikan

materi dakwah terhadap mad’u.

Pesan yang akan disampaikan oleh komunikator melalui

media cetak (suarat kabar) sedapat mungkin dirumuskan sebagai

berikut:

1. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa,

sehingga dapat menarik perhatian komunikan.

2. Pesan harus menggunakan lambang-lambang tertuju

kepada pengalaman yang sama antara komunikator dan

komunikan, sehingga sama-sama mengerti.

3. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi

komunikan dan menyarankan beberapa cara untuk

memperoleh kebutuhan tersebut.

4. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh

kebutuhan yang layak bagi situasi komunikan (Effendy,

1986:39).

Page 65: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 65

C. Pengaruh Dakwah Melalui Surat Kabar

Akhir abad XX dewasa ini adalah masa terjadinya banjir

media massa dan menjurus kepada terjadinya kekerasan media

massa yang sukar diabaikan oleh pembentuk-pembentuk watak

manusia. Media massa seperti surat kabar, televisi, radio, film,

teater, majalah dan sebagainya. Oleh para da`i harus

dimanfaatkan seefektif mungkin, sebab bila tidak, media

tersebut akan cenderung berupa alat sekularistis yang akan

mendangkalkan penghayatan keagamaan umat Islam.

Surat kabar sebagai salah satu media dakwah sangat besar

peranannya dalam mentransformasikan nilai-nilai ajaran agama

kepada masyarakat. Peranan surat kabar antara lain dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1) Empat buah koran yang memusuhi lebih berbahaya

daripada seribu bayonet.

2) Dalam melaksanakan perjuangan meletakkan dasarnya

cita-cita atau penyebaran cita-cita maka koran merupakan

benteng pertahanan

3) Untuk mengetahui amanat penderitaan rakyat yang

sebenarnya dapat dicerminkan dalam koran

4) Apabila koran dibiarkan secara merdeka, saya tidak akan

bisa memerintah lebih dari 30 bulan (Napolion)

5) Koran dapat disamakan dengan mata, telinga, dan

lidahnya rakyat

6) Adapun yang tidak benar yang disiarkan oleh koran bisa

mengakibatkan benar dan rakyat akan mempercayainya

7) Koran langsung bisa menjadi pembunuh bila ia terlalu

dibebaskan berbicara

Page 66: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 66

8) Bila digunakan sebenarnya koran dapat menguasai dan

memerintah dunia Suatu negara bisa menjadi baik atau

buruk tergantung dari peranan korannya.

9) Bicara hanya menghasilkan sejumlah kecil manusia yang

terpengaruh, tetapi dengan koran jutaan manusia bisa

terpengaruh (H.M. Iskandar, 2008:58).

Fungsi dakwah adalah membentuk opini, merubah sikap

dan untuk mengarahkan tingkah perseorangan dan masyarakat.

Dakwah sebagai agen pembaharuan, perbaikan dan perubahan,

mempunyai sarana yang sama dengan pendidikan, yaitu

keluarga, pendidikan formal, lingkungan masyarakat dan media

massa (Habib, 1982:138). Sebagai agen perubahan, maka

sesungguhnya keluarga selain menempati tempat yang paling

penting, juga sebagai pendahuluan dan tahap awal pendidikan

manusia. Oleh karena itu, melalui fungsi keluarga dakwah

sangat penting artinya dalam pembentukan watak dan pribadi

muslim, sebagai benih terbentuknya masyarakat yang

dikendalikan oleh pola dakwah (Habib, 1982: 138).

Surat kabar sebagai media dan sarana dakwah diperlukan

oleh manusia yang akan berkembang terus-menerus sejalan

dengan laju dan perkembangan manusia. Apabila dikaitkan

dengan media dan sarana dakwah dalam al-Qur’an, maka akan

ditemukan sebagai contoh media dakwah, misalnya pentingnya

baca tulis sebagai media dakwah. Informasi tentang perintah

baca tulis dapat dilihat dalam al-Qur’an surah al-‘alaq: 1-5;

Terjemahnya:

Page 67: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 67

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang

Menciptakan,

2. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,

4. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam,

5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak

diketahuinya. (Departemen Agama RI., 1989:1079).

Media tulis, termasuk di dalamnya surat kabar sangat

membantu dalam pelaksanaan dakwah terutama yang ditujukan

kepada masyarakat dan kelompok-kelompok yang

berpendidikan. Di sini juru dakwah mesti proaktif mengambil

bagian dan betul-betul memanfaatkan media massa tersebut.

Berkaitan dengan itu, diperlukan teknik penyajian yang

menarik, seperti penggunaan bahasa, materi yang menarik dan

sebagainya. Karena itu pemanfaatan media secara efektif

memerlukan ketrampilan dan keahlian bagi pengguna media itu.

Di sini perlunya lembaga dakwah dan pendidikan membentuk

kader-kader dai berupa:

1. Menyiapkan para pengarang, penerjemah dan penulis yang

memenuhi syarat untuk memenuhi pasaran bacaan ilmiah

sastra budaya yang di dalamnya ditemukan benih-benih

tauhid yang kuat dan kokoh.

2. Menyiapkan penyiaran dan perfilman, agar dunia film

suatu waktu akan dipengaruhi dengan cerita yang

menyebabkan orang asyik menontonnya dan barulah pada

akhirnya menarik nafas puas, karena film itu ternyata film

yang bernada agama.

Page 68: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 68

3. Menyiapkan seniman dalam segala macam jenisnya yang

mampu mengantarkan karya seninya untuk mendekatkan

diri kepada Allah, mengagumi keindahan dan menghargai

segala ciptaan Allah di alam raya ini.

Tenaga-tenaga seperti inilah yang diharapkan dapat

memanfaatkan media komunikasi massa sehingga dakwah dapat

berkembang dan turut mewarnai kehidupan umat manusia.

Sekarang media massa memasuki babak baru dengan istilah

abad informasi dan globalisasi. Media ini mempunyai efek yang

sangat luas, tidak terbatas pada suatu daerah, bahkan mungkin

sampai ke seluruh dunia. Karena itu materi dakwah melalui

media surat kabar akan dapat menjangkau sasaran yang luas.

Penutup

Dari uraian yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan

pokok-pokoknya sebagai berikut:

1. Surat kabar sebagai salah satu media massa, hanya

merupakan alat penunjang untuk mempercepat

sampainya informasi (pasan) yang disampaikan oleh

komunikator (da’i) kepada komunikan (mad’u).

2. Dakwah melalui surat kabar jaungkauannya lebih luas,

sehingga pengaruhnya juga lebih banyak. Adapun

hasilnya kembali kepada mad’unya, terima atau tidak,

mengamalkan atau tidak.

3. Keberadaan media cetak khususnya surat kabar menjadi

peluang emas bagi juru dakwah untuk mengambil bagian

di dalamnya dengan mengisi pesan-pesan agama bagi

masyarakat.

Page 69: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 69

DAFTAR RUJUKAN

Assegaff, Dja’far H. Jurnalistik Masa Kini. Cet. III; Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1991.

Departemen Agama RI. al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya:

Mahkota, 1989.

Effendy, Onong Uchjana. Dimensi-Dimensi Komunikasi. Cet.

II; Bandung: Alumni, 1986.

Eka Ardhana, Sutirman. Jurnalistik Dakwah. Cet. I; Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 1995.

Firdaus, Haris. Generasi Muda Islam di Ambang Kehancuran.

Cet. II; Bandung: Mujahid, 2003.

Habib, M. Syafa’at. Buku Pedoman Da’wah. Cet. I; Jakarta:

Widjaya, 1982.

Hamka, Rusjdi dan Rafiq, Islam dan Era Informasi. Cet. I;

Jakarta: Pustaka Panjimas, 1989.

Iskandar, H.M. Ilmu Dakwah. Cet. I; Palopo: Lembaga

Penerbitan Kampus (LPK) STAIN, 2008.

Munsyi, Abdul Kadir. Metode Diskusi dalam Dakwah.

Surabaya: al-Ikhlas, 1981.

Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya:

al-Ikhlas, 1983.

Yaqub, H. Hamzah. Publisistik Islam Teknik Da’wah dan

Leadership. Cet. II; Bandung: Diponegoro, 1981.

Page 70: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 70

PERAN MEDIA MASSA DALAM MELAKUKAN

PERUBAHAN SOSIAL

Oleh; Hamdani Thaha

Abstrak : The present of mass media in society generate

various impact, both for negative and also positive. Expected by

negative impact of media like penetration of Western

civilization values, can be reduce various value and cultural

from outside with abilityy society itself to become the net for a

cultural resilience and local wisdom. Expected also for jurnalist

to be presentation order through mass media pay attention to

the code of etik and religion values so that can lessen the

negative impact from media.

Kata kunci : media massa, efek, afektif, kognitif, konatif, pers,

hegemoni.

A. Pendahuluan

Teknologi komunikasi massa sering dijuluki sebagai

faktor penentu perubahan yang kehadirannya tidak bisa

dibendung. Makin mendekati abad 21 makin banyak perubahan

yang terjadi akibat pengaruh kemajuan teknologi komunikasi.

Proses pengaruh ini tidak berjalan pada satu bidang saja, tetapi

juga merambah kebidang-bidang lain dalam kehidupan manusia.

Maka teori tentang efek komunikasi massa sekitar permulaan

abad ke-20 menyatakan bahwa individu sangat dipengaruhi

secara langsung oleh pesan-pesan media utamanya dalam bentuk

pendapat umum. Kemudian tahun 1950-an efek media

dipandang sangat sedikit, tetapi setelah tahun 1970-an para

Page 71: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 71

sarjana datang kembali meneliti dimana khalayak ramai

dianggap sangat dipengaruhi oleh media massa.

Para ahli dalam dasawarsa 1950 dan 1960 menaruh

harapan besar pada potensi media massa untuk meningkatkan

pembangunan. Media massa memiliki kemapuan yang besar

untuk menyebarkan pesan-pesan pembangunan kepasa banyak

orang. Yang tinggal di tempat terpisah dan tersebar, secara

serentank dengan kecepatan tinggi. Oleh karena itu media massa

dijuluki sebagai ‚pengganda ajaib‛ (Rogers, et,al., 1985:184).

Pada masa pra komunikasi media massa, umumnya orang

bergantung kepada orang-orang lain untuk mencatat,

menafsirkan, menyampaikan pesan-pesan kepadanya dengan

cara yang amat pribadi. Zaman komunikasi massa tiba ketika

orang-orang telah mampu menciptakan mesin reproduksi yang

dapat menggantikan komunikator pribadi dan melipatgandakan

pesan-pesannya. Maka setelah perkembangan media massa

sebagai sarana informasi di Indonesia, tidak terlepas dari

jalannya pembangunan nasional di segala sektor kehidupan

masyarakat.

Kecenderungan misi media massa pada posisi terpenting

dalam perumusan pola kebijakan pembangunan nasional untuk

itu harus di topang institusi, pengontrol serta perangkat aturan

lain, yang jelas konsep dan pelaksanaanya (kode etik media

massa). Terjadinya penyimpangan kode etik pada media massa

disebabkan oleh lemahnya kontrol terhadap media massa serta

tidak dilaksanakannya secara tegas UU untuk kode etik yang

dibuat agar tidak terjadi efek media massa yang negatif dan

dapat menyebabkan ketimpangan dalam agama. Tulisan ini akan

Page 72: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 72

mengungkapkan mengenai efek yang ditimbulkan oleh media

massa dan bagaimana pengaruhnya terhadap masyarakat.

B. Pengertian Media Massa

Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk

menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Istilah

‚massa‛mengacu pada kolektivitas tanpa bentuk, yang

komponennya sulit dibedakan satu sama lain (McQuail, 1994:

31). Menurut kamus bahasa Inggris ringkas memberikan definisi

‚massa‛ sebagai suatu kumpulam orang banyak yang tidak

mengenal keberadaan individualitas‛.

Jika khalayak tersebar tanpa diketahui dimana mereka

berada, maka biasanya digunakan media massa. Media massa

adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari

sumber ke penerima dengan menggunakan alat-alat komunikasi

mekanis seperti surat kabar, film, radio dan televisi. Adapun

karakteristik media massa menurut Hafied Cangara (1998: 134-

135) adalah:

a) Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media

terdiri dari banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan,

pengelolaan sampai pada penyajian informasi.

b) Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan

kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim

dan penerima. Kalau toh terjadi reaksi atau umpan balik,

biasanya memerlukan waktu dan tertunda.

c) Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan

waktu dan jarak, karena ia memiliki kecepatan bergerak

secara luas dan simultan, dimana informasi yang

Page 73: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 73

disampaikan diterima oleh banyak orang pada saat yang

sama.

d) Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio,

televisi, film dan semacamnya.

e) Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh

siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis

kelamin, dan suku bangsa.

Jadi, media massa adalah industri dan teknologi

komunikasi yang mencakup surat kabar, majalah, radio, televisi

dan film. Istilah ‘massa’ mengacu pada kemampuan teknologi

komunikasi untuk mengirimkan pesan melalu ruang dan waktu

dan menjangkau banyak orang.

C. Efek Media Massa

Ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu: kognitif,

afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan

kesadaran, belajar, dan tambahan pengetahuan. Efek afektif

berhubungan dengan emosi, perasaan, dan attitude (sikap).

Sedangkang efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat

untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Meskipun

dimensi-dimensi efek ini berhubungan satu sama lain, ketiganya

juga independen satu sama lain. Sebagai contoh meningkatnya

pengetahuan tentang suatu isu tidak selalu diikuti oleh

perubahan attitude (Bem dalam Amri Jahi, 1993: 31).

Dalam hampir seluruh tindakan komunikasi, efek yang

sangat dikehendaki ialah yang bertalian dengan belajar, sikap

dan perilaku. Survey kowledge, attitude, and Practice (KAP)

yang banyak dilakukan oleh badan-badan bantuan internasional

Page 74: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 74

biasanya berkaitan juga dengan efek-efek ini (Rogers dalam

Amri Jahi, 1993:32). Komunikasi dapat menimbulkan efek yang

berbeda-beda. Orang-orang tertentu mungkin belajar lebih

banyak daripada yang lain, dan dalam difusi inovasi, sejumlah

kecil orang cenderung untuk mengadopsi inovasi lebih dahulu

dari pada yang lainnya. Perbedaan dalam tambahan

pengetahuan, attitude, dan perubahan perilaku dapat

menimbulkan ‚kesenjangan efek komunikasi‛ (Shingi dan

Mody, 1976: 171). Perbedaan-perbedaan dalam belajar diantara

bebagai segmen khalayak telah diketahui dalam studi-studi awal

komunikasi. Sebagai contoh, Hyman dan Sheatsley (1947: 412)

menulis tentang orang-orang yang selalu tidak tahu apa-apa

dalam review mereka tentang kampanye-kampanye informasi

publik.

Minat pada belajar diferensial hidup kembali ketika

Tichenor dan kawan-kawannya (1970:159) mengusulkan

‚hipotesis kesenjangan pengetahuan‛. Mereka menjelaskan

bahwa ‚ketika informasi yang masuk melalui media massa ke

dalam suatu sistem sosial meningkat, segmen-segmen populasi

itu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi cenderung

untuk memperoleh informasi ini lebih cepat daripada segmen-

segmen yang status sosial ekonominya lebih rendah, sehingga

kesenjangan dalam pengetahuan di antara segmen-segmen ini

cenderung meningkat daripada berkurang‛.

Kesenjangan pengetahuan ini tidak bersifat absolut,

melainkan relatif. Kelompok-kelompok dengan status sosial

ekonomi yang lebih rendah tidaklah sepenuhnya tidak memiliki

informasi, tetapi cenderung kurang tahu daripada kelompok-

kelompok yang status sosial ekonominya lebih tinggi. Ketika

Page 75: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 75

kesenjangan pada satu topik informasi tertutup, kesenjangan

baru mungkin terbentuk pada isu-isu yang lain, yang kelompok

berstatus sosial ekonomi lebih tinggi memiliki akses yang lebih

baik dari sumber-sumber informasi yang menyangkut isu

tersebut.

Menurut Tichenor (1973: 45), kesenjangan efek

komunikasi terjadi karena: 1) Perbedaan tingkat keterampilan

berkomunikasi diantara segmen suatu khalayak secara

keseluruhan, 2) Tingkat pengetahuan tentang isu yang dikuasai

sebelumnya, 3) Kontak sosial yang relevan dengan orang-orang

yang memiliki lebih banyak informasi, 4) Persepsi selektif, 5)

Kerelevanan fungsional dan utilitas, 6) Akses yang berbeda pada

sumber daya yang terbatas, 7) Bias urban pada media massa, 8)

Bantuan yang tidak memadai dari badan yang melakukan

intervensi sosial, 9) Kurangnya partisipasi dari khalayak sasaran

dalam pembuatan keputusan dan implementasi keputusan

tersbut, dan 10) Perbedaan pendidikan, minat, atau motivasi.

Pendidikan tampaknya menjadi suatu faktor yang

menentukan dalam mendapatkan pengetahuan. Ia juga

melengkapi segmen tertentu khalayak dengan keterampilan

berkomunikasi yang diperlukan (Schramm dalam Jahi, 1993:

33). Penggunaan media yang tinggi juga melengkapi mereka

dengan tingkat pengetahuan yang lebih tinggi dalam beberapa

topik (Rogers dalam Jahi, 1993:33). Dengan demikian proses

atensi, komprehensif dan retensi yang selektif selain anggapan

mereka tentang penggunaan inovasi, memberikan kontribusi

pada perbedaan pengetahuan, attitude, dan perilaku khalayak.

Dimensi efek komunikasi melalui media massa dapat juga

ditinjau dari dimensi lain, yaitu: a) Langsung atau kondisional,

Page 76: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 76

b) Spesifik-isi atau umum-menyebar, c) Perubahan atau

stabilitas, d) Kumulatif atau non kumulatif. e) Jangka pendek

atau panjang, f) Mikro atau makro, dan g) Efek prososial atau

antisosial (Chaffe dalam Amri Jahi, 1993: 34).

Pendapat umum tentang suatu efek komunikasi ialah suatu

respon yang langsung, isomorfik atau satu demi satu. Dalam

komunikasi media massa, hal ini menunjukkan juga suatu

dampak yang segera, yang sama kemungkinannya untuk setiap

orang dalam suatu khalayak, seperti pada teori peluru atau

jarum suntik (McLeod dan Reeves dalam Jahi, 1993: 34). Efek

mungkin spesifik sesuai dengan isi pesan atau menyebar.

Peneliti dapat mempelajari efek program televisi untuk anak-

anak, seperti Sesame Street di Amerika Latin dan mennetukan

bagaimana program itu telah mempengaruhi kemampuan

membaca dan menulis dan juga berhitung di antara penonton-

penonton muda itu. Selain itu riset dapat juga bersifat lebih

umum, speerti penelitian tentang dampak sosial penggunaan

radio dan televisi melalui satelit di India dan Indonesia.

Misalnya, dari penelitian semacam itu diketahui bahwa jadwal

siaran televisi menimbulkan konflik dengan waktu shalat dan

waktu belajar (Budhisantoso, 1981: 151).

Media massa sering digunakan untuk menimbulkan

perubahan, yang melibatkan difusi atau suatu inovasi atau tipe

lain program intervensi sosial. Di pihak lain, beberapa peneliti

menggarisbawahi fungsi konservatif media massa. Mereka

mengungkapkan bahwa fungsi media massa yang lebih umum

ialah untuk memperkuat kepercayaan yang telah ada, attitude,

dan cara mengerjakan sesuatu, daripada mendorong perubahan.

Dalam melaporkan berita, beberapa peneliti berpendapat bahwa

Page 77: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 77

kadang kala media mendorong informasi yang memiliki potensi

merusak (McLeod dan Reeves dalam Jahi, 1993: 35).

Beberapa peneliti mencoba menentukan apakah efek

media kumulatif atau tidak. Sebagai contoh, terlalu banyak

menonton televisi mengarah pada timbulnya gambaran tentang

dunia yang menakutkan. Proses inilah yang mereka sebut

sebagai mainstreaming, yang menunjukkan bahwa televisi dapat

mengembangkan konsepsi realitas di antara kelompok khalayak

yang berbeda (Garbner dalam Jahi, 1993: 35).

Suatu dimensi yang juga ada hubungannya ialah apakah

efek tersebut jangka pendek atau jangka panjang. Dalam studi

televisi di Samoa Amerika (Schramm dalam Jahi, 1993: 35),

peneliti menemukan efek belajar jangka panjang di kalangan

para pelajar, selain perilaku meniru. Kondisi personal dan

struktural yang menyebabkan macam belajar dan modifikasi

perilaku ini terjadi perlu dipelajari juga. Efek media massa juga

dapat dipandang dari suatu sudut mikro, yang individu dalam

suatu masyarakatnya, dijadikan unit pengamatan, atau dari

sudut makro, yang isu-isu seperti pemilikan media massa dan

peliputan berita, penggunaan televisi dan radio, produksi surat

kabar (McLeod dalam Jahi, 1993: 35) dijadikan unit

pengamatan.

Efek antisosial media massa lebih sering ditekankan

daripada efek prososial mereka. Kekerasan dalam televisi

Amerika Serikat dan efeknya pada keagresifan anak-anak

mendapat lebih banyak publisitas daripada efek belajar program

pendidikan seperti Sesame Street atau dramatisasi seperti Roots

atau The Day After sekalipun (Chaffee et. al. Dalam Jahi, 1993:

35).

Page 78: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 78

Media juga memiliki efek fisik, dimana media

memperkenalkan alat-alat baru rumah tangga di mana-mana di

dunia, dari masa kecil seperti radio dan perekam kaset video,

sampai kepada media besar seperti satelit. Di samping itu,

media massa baru menggabungkan beberapa teknologi yang

sudah ada. Teleteks menggunakan sinyal televisi untuk

menyiarkan informasi kepada penerima khusus, sedangkan

videoteks menggabungkan teknologi telepon dan komputer.

Sementara itu, satelit memperlancar transmisi informasi ke

wilayah yang sangat luas. Media baru ini memiliki potensi

untuk membantu pelaksanaan tugas-tugas pembangunan jika

digunakan secara selektif dan tepat. Ada juga efek psikologis

komunikasi massa, seperti kepuasan yang diperoleh dari

berbagai penggunaan media massa.

Di sisi lain terdapat konsekuensi kultural dan psikologis

yang negatif dari media massa, yang merupakan ancaman

terhadap kualitas kehidupan individual modern (Sonny Yuliar,

2001: 249). Terlepas dari pengaruh positif dan negatif, pada

intinya media massa telah menjadi cerminan budaya tontonan

bagi masyarakat dalam era informasi dan komunikasi yang

semakin berkembang pesat. Karena media massa menciptakan

suatu situasi dimana khalayak secara serempak memperhatikan

pesan (Onong uchjana Efendy, 1991: 11).

Terdapat sejumlah cara yang ditempuh oleh media massa

untuk membuat kehidupan sehari-hari menjadi lebih mudah bagi

kita. Pertama, media massa memberitahukan dan membantu kita

mengamati dunia kita, media melakukan fungsi pengawasan.

Media menyediakan berita, informasi dan peringatan yang kita

butuhkan untuk membuat keputusan yang trinformasi. Media

Page 79: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 79

juga memberitahukan kita mengenai keadaan dan kejadian yang

dengan cepat.

Kedua, media massa mengatur agenda kita dan membantu

menyusun kehidupan kita. Ketiga, media massa membantu kita

berhubungan dengan bermacam-macam kelompok dan golongan

dalam masyarakat. Keempat, media massa membantu untuk

mensosialisasikan kita. Melalui media massa kita menambah

apa yang susdah dipelajari mengenai perilaku dan nilai-nilai

dalam pertemuan langsung dengan orang lain, media mengajar

kita norma-norma dan nilai-nilai dan berperan serta dalam

sosialisasi kita. Kelima, media massa digunakan untuk

mengajak kita dan untuk memanfaatkan sumber-sumber pesan.

Keenam, media massa adalah menghibur. Efek terpenting dari

media massa adalah memperkuat sikap-sikap dan pendapat yang

telah ada. Media massa juga berfungsi memantau aktivitas

pemerintah (A.S. Ahmad, 1992: 36).

Dari beberapa efek positif yang ditimbulkan media massa

di atas, maka dapat disimpulkan fungsi dari media itu sendiri,

antara lain:

a) Media dapat menghibur, mendidik, kontrol sosial, sebagai

bahan informasi.

b) Media massa bisa berguna bagi pendidikan dan

pengembangan intelegensia.

c) Peran media mencirikan bahwa proses interaksi manusia

merupakan hal terpenting dalam masyarakat untuk

meningkatkan pengetahuan terhadap informasi yang

berkembang.

d) The surveilance of the environment, yaitu mengamati

lingkungan.

Page 80: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 80

e) The correlation of the part of society in responding to the

environment, yaitu mengadakan korelasi antara informasi

data yang diperoleh dengan kebutuhan khalayak sasaran,

karena komunikator lebih menekankan pada seleksi

evaluasi dan interpretasi.

f) Transmission of the social heritage from one generation to

the next, maksudnya ialah menyalurkan nilai-nilai budaya

dari satu generasi ke generasi berikutnya.

g) Efek ekonomis, sosial, penjadwalan kegiatan,

penyalur/penghilangan perasaan tertentu, perasaan orang

terhadap media (Jalaluddin Rakhmat, 1985: 217).

Disamping efek positif yang ditimbulkan media massa

terdapat pula efek negatif dari media massa antara lain:

1) Kehadiran media massa dapat membentuk tindakan

seseorang keluar dari kebiasaannya.

2) Media dapat mengancam nilai-nilai sosial yang ada dalam

masyarakat.

3) Media dipandang sebagai ancaman, seperti meningkatkan

pengangguran, meningkatkan kontrol dan pengawasan

terhadap rakyat.

4) Media merupakan faktor pengubah tatanan masyarakat.

5) Media mengajak manusia mengganti kehidupan rilnya

yang membosankan dengan sebuah pengalaman yang

berantakan.

6) Media mengubah pengalaman dan pemahaman diri

manusia secara mendasar.

7) Media dapat mempengaruhi karakter keseluruhan para

remaja.

Page 81: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 81

8) Media melaporkan dunia nyata secara selektif yang

mempengaruhi pembentukan citra tentang lingkungan

sosial yang timpang, bias dan tidak cermat (Charles P.

Wright, 1988: 170).

D. Media Massa dan Masyarakat

Media audio visual terutama televisi tidak bisa dilepaskan

dari denyut nadi kehidupan masyarakat karena efeknya yang

banyak mempengaruhi perilaku pemirsa. Kalau ada pertanyaan

seberapa jauh pengaruh media terhadap perilaku? Maka

jawabannya akan sulit, meski ada beberapa penelitian yang telah

mencoba menggali hubungan antara tayangan media dengan

perilaku masyarakat, tidak semua mampu mengungkap dengan

gamblang hubungan tersebut akan tetapi yang pasti program-

program tersebut mempengaruhi perilaku manusia.

Media mencerminkan keadaan suatu masyarakat, artinya

bahwa realitas yang ada dalam masyarakat kemudian

dikonstruksi kembali ke dalam media dengan cara yang berbeda

sesuai dengan kapasitas, struktur kelembagaan dan ideologi

media. Semua elemen tersebut berpadu dan membentuk

gambaran tayangan yang hadir ke hadapan publik.

Tidaklah mengherankan jika satu event/kejadian yang

sama seperti bencana alam, kecelakaan dan kegiatan seremoni

bisa dihadirkan secara berbeda. Ini disebabkan karena media

mengambilnya dari sudut (angle) yang berbeda dan

dipersepsikan secara berbeda pula. Bagaimanapun warna sebuah

berita setidaknya ditentukan oleh wartawan di lapangan,

redaktur, kebijakan redaksional, visi dan ideologi media. Elemen

Page 82: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 82

tersebut merupakan bagian tak terpisahkan dari proses produksi

pesan baik pada media cetak maupun elektronik.

Perkembangan teknologi telah menempatkan komunikasi

di garis depan dari sebuah perubahan sosial. Dalam konteks ini

perubahan dan dinamika dalam suatu masyarakat dipengaruhi

oleh proses komunikasi lintas wilayah dan budaya. Komunikasi

mempengaruhi pola perilaku, gaya hidup, cara pandang, dan

tatanan sosial masyarakat.

Seiring globalisasi, dinamika kehidupan manusia modern

melingkupi pergerakan manusia, barang atau gagasan di antara

negara dan akselerasi wilayah. Ada empat dimensi pokok

globalisasi yang saat ini dapat kita jadikan acuan menggali

hubungan ekonomi dan kapital; media, informasi dan teknologi

komunikasi, imigrasi dalam skala besar, produksi kebudayaan

dan konsumerisme.

Dalam situasi dimana pergulatan ideologi berlangsung

dengan ketat, bangsa Indonesia mengalami tekanan yang

mengakibatkan keterpurukan dan krisis dalam berbagai aspek

kehidupan – khususnya watak bangsa (nation character)

sehingga sulit melihat dengan jernih bagaimana kolonialisme

bermetamorfosis dengan banyak istilah seperti ‘globalisasi

ekonomi’ yang secara perlahan masuk melalui banyak pintu.

Kolonialisme dan kapitalisme selalu bermuara pada pengerukan

sebanyak-banyaknya sumber-sumber produksi untuk mencapai

keuntungan sebanyak-banyaknya.

Paham ini mulai berkembang di kota-kota utama dunia

besar sebagai pusat masuknya informasi yang kemudian

merembes ke kota besar dan kota-kota kecil lainnya lewat

istilah kosmopolitan. Karena istilah ini lahir dalam budaya

Page 83: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 83

Barat – tentu saja tidak terlepas dari akar ideologi tersebut.

Pada intinya istilah kosmopolitan mengandung dimensi

keanekaragaman lalu lintas budaya dari berbagai kutub

peradaban. Namun yang kemudian terjadi adalah istilah ini

kemudian menyempit dan menjadi ‘made in USA’ .

Salah satu pengertian sempit globalisasi adalah

Amerikanisasi – pengertian ini rasanya tidak berlebihan bila

melihat desarnya arus modal Amerika yang menembus berbagai

belahan dunia. Pada tahun 2002 Divisi Kependudukan PBB

mencatat bahwa Mc. Donald’s sebagai salah satu ‘made in

Amerika’ terkemuka memiliki 30.000 warung di 118 negara di

dunia dan diperkirakan dalam dekade 1999 - 2000 an setiap hari

ada 3 warung Mc. Donald’s di buka, bisa dibayangkan

bagaimana derasnya penetrasi label Amerika di hampir seluruh

penjuru dunia.

Penetrasi ini secara perlahan menggiring berbagai lapisan

masyarakat terutama generasi muda yang dengan tidak sadar

membangun konsep diri (self concept) yang rentan

menimbulkan rasa minder (inferior) bila mengidentifikasikan

diri di saat juga harus menghadapi masalah dan tekanan dari luar

dan dalam budaya sendiri. Mereka merasa malu dan minder bila

tidak nongkrong di KFC, berbalut merek Blue Jeans dan Lee

Cooper serta rasa minder kalau tidak mengidentifikasikan

dirinya dengan label-label Barat.

Bila ini menjangkiti generasi muda maka disinilah pintu

masuknya Amerikanisasi berawal, khasanah nilai-nilai dan

kearifan lokal yang mengagungkan kesederhanaan, beralih

dengan mempersepsikan sesuatu sesuai dengan standar materi

dan hedonisme.

Page 84: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 84

Tayangan yang hadir di layar kaca mewakili secara

simbolis realitas yang ada didalam masyarakat. Jika saat ini -

misalnya dalam program stasiun televisi di negeri ini saat ini

banyak yang bermunculan tayangan bertema hantu-itulah

realitas masyarakat kita. Lalu ketika muncul protes dan kritikan

karena dianggap kurang mendidik apakah mesti dibuatkan

Undang-Undang Anti hantu seperti halnya Rencana Undang-

Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi yang saat ini

sedang digagas dan menimbulkan pro dan kontra?

Meskipun banyak pendapat yang mengatakan bahwa

realitas dalam masyarakat dikonstruksi kembali kedalam media

melalui film dan sinetron namun semuanya belumlah merupakan

realitas sesungguhnya. Kita bisa melihat bagimana sinetron di

televisi sebagai hiburan yang mengangkat ‚realitas perempuan‛

yang mayoritas penontonnya perempuan muda, ibu-ibu dan

pembantu rumah-tangga. Kebanyakan tayangan tersebut

menampilkan perempuan yang memarahi anak gadis, suami,

pembantu hingga tetangganya sampai kelihatan urat lehernya.

Mungkin salah satu sebab mengapa para tenaga kerja wanita

yang berprofesi sebagai PRT yang dikirim keluar negeri

mengalami pelecehan karena dari dalam negeri sendiri terlalu

sering dikatakan pembantu bodoh dan dungu. Secara tidak sadar

perempuan Indonesia direpresentasikan oleh seringnya tokoh

perempuan menangis dalam begitu banyak episode Sinetron dan

film serta pakaian minim artis dan liuk tubuh penyanyi dangdut

perempuan. Pertanyaannya adalah apakah realitas yang

dikonstruksi media tersebut identitas perempuan bangsa

Indonesia? Jawabannya mungkin bukan mencerminkan identitas

Page 85: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 85

perempuan Indonesia tetapi itulah realitas perempuan Indonesia

saat ini.

Diakui atau tidak, media massa telah menarik begitu

banyak energi sosial mulai dari pakaian, cita rasa, hingga

pemakaian bahasa. Melalui media massa elemen-elemen budaya

pop Amerika seakan menjadi menu yang melebur dan

membentuk watak budaya pop di Indonesia, merembes dari

kota-kota besar lalu menuju kota-kota kecil. Lihatlah bagaimana

Britney Spears, Christina Aguillera atau Ashley Simpson

kemudian menular ke Agnes Monika dan artis remaja lainnya

dan menjadi ikon remaja yang diikuti gaya dandanannya.

Kalau kebetulan ke Jakarta dan berjalan-jalan ke pusat

perbelanjaan maka kita akan menjumpai begitu banyak istilah

yang campur aduk mulai dari hingar-bingar pemakaian kata-kata

bahasa Inggris tertentu seperti ‚thank you‛, ‚okay‛, atau ‚cool‛

sampai ‚so what gitu loh‛ di hampir semua media elektronik,

Summit Building, Plaza Senayan, Atrium Plaza Senen, Depok

Trade Center dan masih banyak lagi – bahkan sudah merambah

ke daerah tercinta lewat ‚Sultan Square‛ - hanya untuk

memberi label tempat merupakan ciri dari bahasa budaya pop

Indonesia. Akibatnya sering tidak terhindar dari kelatahan salah

kaprah pemahaman makna padahal begitu banyak padanannya

dalam bahasa Indonesia.

Bila kita menonton tayangan dari negeri lainnya di Asia

seperti Jepang, Thailand dan Cina hampir tidak ditemukan

eskpresi kemarahan berlebihan seperti di Indonesia. Keberadaan

perempuan yang konstruksi dalam berbagai jenis sinerton atau

apapun namanya boleh jadi merupakan gambaran kondisi

psikologis yang disebut patologi sosial ‚masyarakat yang sakit‛

Page 86: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 86

suatu masyarakat yang sakit secara sosial karena banyaknya

himpitan persoalan yang tidak bisa dipecahkan sementara di lain

pihak mereka tidak mempunyai kemampuan subsistensi sosial

yang cukup kuat, suatu keadaan dimana masyarakat toleran dan

sabar menghadapi berbagai macam persoalan hidup. Antonio

Gramsci, seorang penyokong teori media kritis menyatakan

bahwa proses hegemoni dapat muncul dalam banyak cara dan

pola, intinya hal itu terjadi ketika sesuatu diinterpretasi pada

cara yang menungkinkan kepentingan satu kelompok diatas

yang lainnya.

Mc.Quail dalam teori media kritis lainnya mengatakan

bahwa media merupakan pemain utama dalam pertarungan

ideologi, dimana ideologi yang dominan dapat diabadikan oleh

media. Dalam pandangan marxisme klasik media merupakan

instrumen kelas atau kelompok yang dominan dimana kaum

kapitalis mengembangkan ideologinya. Media menyebarkan

ideologi penguasaan dan menindas kelas lain dalam masyarakat.

Pada gilirannya apa yang tertangkap stasiun televisi di

pusat kekuasaan kemudian merembes menuju kota lain dan

kota-kota kecil sampai pelosok desa yang terjangkau siaran

tersebut. Pada tahap ini tidak ada yang dapat membendung

penetrasi berbagai nilai dan budaya dari luar selain kemampuan

masyarakat itu sendiri untuk dapat menjadi jaring bagi sebuah

ketahanan budaya dan kearifan lokal.

E. Pandangan Agama terhadap Media Massa

Jika pandangan teologis mengenai media massa diberikan

kedudukan formal sebagai bagian dari sistem media massa yang

berlaku, maka peran netral agama dalam bidang itu sulit

Page 87: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 87

berkembang. Padahal sistem media massa di negara kita telah

menentukan adanya keharusan bertanggung jawab kepada

Tuhan Yang Maha Esa (UU Pers dan UU Perfilman).

Makin formal kedudukan agama dalam urusan kebebasan

media massa makin memiliki sifat sebagai alat legitimasi sistem

media massa tersebut. Akibatnya, kemandirian pandangan

agama terhadap persoalan-persoalan media massa kurang bisa

berkembang. Inilah yang terjadi ketika banyak muncul gejala

pelaksanaan fungsi hiburan sebagian media massa yang

menawarkan selera rendah.

Dalam film atau televisi sering disajikan adegan

pembunuhan, perusakan dan sebagainya yang merusak dan

mencelakakan orang lain. Adegan kekerasan ini biasanya

dianggap sebagai bagian yang ramai dari penyajian film.

Bersama adegan seks, adegan kekerasan adalah pemancing

penonton yang paling manjur. (veven S. Wardhana, 1997: 147).

Untuk itu jika agama banyak memberikan legitimasi

kepada sistem media massa dalam penentuan sajian hiburan

yang pantas dan tak pantas, maka proses lembaga-lembaga

agama terhadap berbagai sajian hiburan yang dinilai vulgar,

misalnya di televisi swasta dan majalah-majalah hiburan, takkan

banyak artinya. Karena itu pandangan teologis terhadap peran

media massa harus dinetralisasikan sesuai dengan kesalehan

yang menjadi ciri agama Samawi.

Semua agama menjunjung tinggi kebebasan komunikasi

dan informasi di antara umat manusia. Bahkan Tuhan

memerintahkan manusia selalu berkomunikasi dengan-Nya.

Untuk itu sistem komunikasi sosial dan sistem media massa,

menurut agama Islam misalnya, ada pula disebut kebebasan

Page 88: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 88

komunikasi atau kebebasan media massa yang bertanggung

jawab. Yang dimaksud bertanggung jawab tentulah bertanggung

jawab kepada Allah SWT. Di TAP MPR No. XXXII/1966 dan

UU Pers ditentukan, bahwa kebebasan pers harus dibatasi

dengan tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara

implisit UU perfilman pun menentukan hal yang sama (UU No.

8/1992 pasal 21 dan pasal 26 ayat 1 (A. Muis, 2001: 181).

Pandangan al-Qurán dan Hadist tersebut mengenai

kebebasan pers cenderung diformalkan oleh sistem pers yang

berlaku, seperti juga semua teori lainnya tentang kebebasan

pers, sehingga semua teori akan terserap ke dalam sistem

tersebut. Di Indonesia, sebenarnya sistem pers pancasila tidak

bertentangan dengan pandangan teologis mengenai kebebasan

pers dan pembatasannya. Tetapi, manakala agama banyak

menyodorkan legitimasi kepada kebijaksanaan pemerintah

tentang kebebasan pers, maka pandangan teologis mengenai

kebebasan media massa tidak lagi bisa netral.

F. Kesimpulan

Efek media massa selain positif juga memiliki dampak

negatif. Pengelola komunikasi massa dapat dipastikan tidak

berniat untuk menyebarkan dampak negatif kepada

khalayaknya. Media massa harus memiliki efek menambah

pengetahuan, mengubah sikap, menggerakkan perilaku. Efek

yang terjadi pada tiga aspek yaitu efek pengetahuan (afektif),

perasaan (kognitif), dan pada sikap perilaku (konatif).

Ada beberapa alasan yang mendorong kita untuk

meningkatkan peranan media massa antara lain agar media

dapat memperkenalkan dan mengintegrasikan inovasi yang

Page 89: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 89

diperlukan dalam perikehidupan masyarakat, agar media massa

memperluas wawasan yang dapat mengurangi ketegangan yang

menyertai perubahan di era global ini, agar media massa

meredam konflik dengan menyediakan forum diskusi dan dialog

antara individu maupun antarkelompok dalam masyarakat.

DAFTAR RUJUKAN

Achmad, A.S., Komunikasi, Media Massa dan Khalayak, Cet. I,

Ujung Pandang: Hasanuddin University Press, 1992.

Cangara, Hafied, Pengantar Ilmu Komunikasi, Jakarta: PT Raja

Grafindo Persada, 1998.

Effendy, Onong Uchjana, Radio Siaran: Teori dan Praktek, Cet.

III, Bandung: CV Mandar Maju, 1991.

Jahi, Amri, Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar, Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama, 1993.

Kuswandi, Wawan, Komunikasi Massa: Sebuah Analisis Media Televisi, Cet. I, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1996.

Liliweri, Alo, Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya, Cet. I,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Muis, A., Komunikasi Islam, Cet. I, Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2001.

Mulyana, Deddy dan Idy Subandi Ibrahim, Bercinta dengan Televisi: Ilusi, Impresi dan Imaji Sebuah Kotak Ajaib,

Cet. I. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997.

Page 90: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 90

Rakhmat, Jalaluddin, Islam Aktual: Refleksi Sosial Seorang Cendikiawan Muslim, Bandung: Mizan, 2001.

........., Psikologi Komunikasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

2001.

Rogers, Everett M.; Zao Xiaoyan; Pan Zhondang; Chen Milton,

The Beijing Audience Study. Communication Research 12, 1985.

Susanto, Astrid, Filsafat Komunikasi, Bandung: Binacipta,

1976.

........., Komunikasi dalam Teori dan Praktek, Bandung:

Binacipta, 1976.

Wardhana, Veven S., Kapitalisme Televisi dan Strategi Budaya Massa, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Woods, John L., A Question for the Media Managers, Media

Asia 3, 1976.

Wright, Charles R., Mass Communication: A Sociological

Perspektive, diterjemahkan oleh Liliwati Trimo dan

Jalaluddin Rakhmat dengan judul: Sosiologi Komunikasi

Massa, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1988.

Yuliar, Sonny, Memotret Telematika Indonesia: Menyongsong Masyarakat Informasi Nusantara, Bandung: Pustaka

Hidayah, 2001.

Page 91: Jurnalistik dakwah

Jurnalistik Dakwah 91