bab ii kajian pustaka 1. kajian teori a. negara …

26
16 BAB II KAJIAN PUSTAKA 1. Kajian Teori A. NEGARA KESEJAHTERAAN Negara kesejahteraan atau Welfare State merupakan suatu model pembangunan sebuah negara yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan dan penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai cerminan dari adanya hak asasi manusia yaitu hak kewarganegaraan (right of citizenship). Negara merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di dalam daerah tertentu, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat. 14 Ciri utama dalam negara kesejahteraan adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Menurut Habermas, jaminan kesejahteraan rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas “The risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be covered largely through welfare provisions of the state.” 15 Oleh sebab itu, kesejahteraan merupakan hak yang harus diterima oleh warga negara yang harus dipenuhi oleh sebuah negara sebagai sebuah kewajiban negara (state obligation). 14 Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi) Renaka Cipta, Jakarta, hlm. 64. 15 Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State “Sosiological Introduction, California: Standford University Press, 1992, hlm. 126.

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

16

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1. Kajian Teori

A. NEGARA KESEJAHTERAAN

Negara kesejahteraan atau Welfare State merupakan suatu model pembangunan

sebuah negara yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan dan penyelenggaraan

sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai cerminan

dari adanya hak asasi manusia yaitu hak kewarganegaraan (right of citizenship). Negara

merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok

masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di dalam daerah tertentu, dan

mempunyai pemerintahan yang berdaulat.14 Ciri utama dalam negara kesejahteraan

adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Menurut Habermas,

jaminan kesejahteraan rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas “The

risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be

covered largely through welfare provisions of the state.”15 Oleh sebab itu, kesejahteraan

merupakan hak yang harus diterima oleh warga negara yang harus dipenuhi oleh sebuah

negara sebagai sebuah kewajiban negara (state obligation).

14 Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi) Renaka Cipta,

Jakarta, hlm. 64.

15 Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State “Sosiological Introduction”,

California: Standford University Press, 1992, hlm. 126.

17

Andersen mengungkapkan bahwa welfare state merupakan institusi negara

dimana kekuasaan yang dimilikinya (dalam hal kebijakan ekonomi dan politik)

ditujukan untuk:16

1) Memastikan setiap warga negara beserta keluarganya memperoleh

pendapatan minimum sesuai dengan standar kelayakan;

2) Memberikan layanan sosial bagi setiap permasalahan yang dialami warga

negara (baik dikarenakan sakit, tua, atau menganggur), serta kondisi lain

semisal krisis ekonomi;

3) Memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa

memandang perbedaan status, kelas ekonomi, dan perbedaan lain.

Alfred Marshall (1842-1924),17 mendefinisikan welfare state sebagai bagian dari

masyarakat modern yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik

demokratis.18 Sedangkan Paul Spicker,19 menjelaskan welfare state tidak hanya

mencakup deskripsi cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan

social (social services), tetapi juga konsep normatif bahwa setiap orang harus

memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.20

16 Andersen, J.G, Welfare States and Welfare State Theory, Centre for Comparative Welfare

Studies, working paper 2012).

17 Alfred Marshall, ekonom berkebangsaan Inggris dalam bukunya yang berjudul Principles of

Economics (1890) telah menggambarkan hubungan matematis antara variabelvariabel ekonomi. Marshall

mampu memperlihatkan bagaimana nilai ditentukan secara parsial oleh kepuasan marjinal (marginal

utility) dari suatu barang dan bagaimana keinginan menurun dengan diperolehnya setiap unit tambahan

dengan menggunakan kalkulus. Lihat George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, terj. T.

Gilarso, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 136-142, dan Christopher Pass dan Bryan Lowes, Collins,

hlm. 402-403.

18 Ibid.

19 Paul Spicker adalah Direktur the Center for Public Policy and Management, Skotlandia. Banyak

menulis tentang kebijakan sosial, dan salah satu penelitiannya adalah Studi hubungan antara manfaat

sistem pengiriman, santunan orang tua, masyarakat tidak normal (psychiatric patients), manajemen

perumahan, dan strategi anti kemiskinan lokal. Beberapa Karyanya adalah Stigma and Social Welfare.

20 Paul Spicker, Social Policy: Themes and Approaches, (London: Prentice Hall, 1995)

sebagaimana dikutip Edie Suharto, "Negara Kesejahteraan Dan Reinventing Depsos".

18

Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hakekat dari negara

kesejahteraan adalah sebuah model kebijakan negara yang mengarah kepada

perlindungan sosial atau kesejahteraan publik (public welfare) yang menjamin adanya

rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan bagi warga negaranya agar tidak jatuh ke

dalam kesengsaraan. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham negara

kesejahteraan, sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945. Prinsip Welfare State, dapat

ditemukan secara jelas dalam beberapa pasal yang berkaitan dengan aspek sosial dan

ekonomi dalam UUD NRI 1945. Dengan masuknya perihal kesejahteraan dalam

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly

Asshidiqie, Konstitusi Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic

constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution).21

Hal ini dapat dibuktikan pada salah satu tujuan negara Indonesia, sebagaimana

ditegaskan dalam pembukaan UUD NRI 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum.

Pasal dalam UUD NRI 1945 yang mengatur tentang kesejahteraan adalah Pasal 33

UUD 1945 yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”.

Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945, dinyatakan bahwa:

Ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat.”

Ayat (4) “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi

ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,

berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

21 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta:

2005, hlm. 124.

19

Sumber daya alam tambang, sebagai sumber daya alam yang tidak dapat

diperbaharui harus dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya

guna, berhasil guna, dan berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat Indonesia baik untuk

masa sekarang maupun masa yang akan datang. Demi peningkatan kesejahteraan

masyarakat, maka pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tambang harus

dikuasai oleh negara agar tidak jatuh ke tangan orang asing atau orang yang tidak

bertanggung jawab. Dengan dikuasai dan dikelola secara penuh oleh negara, diharapkan

sektor pertambangan mampu memberikan kontribusi yang besar dalam dunia

perekonomian Indonesia dan juga mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat

Indonesia.

Prinsip kesejahteraan menjadi pedoman atau bingkai hukum yang melandasi

sistem perizinan pada sektor pertambangan di Indonesia. Namun, sebelum menganut

sistem perizinan, dikenal sistem kontrak karya dalam sektor pertambangan Indonesia.

Sistem kontrak karya berpegang pada prinsip keadilan distributif. Tokoh yang

mengenalkan istilah keadilan distributif adalah Rawls. Rawls merumuskan dua prinsip

utama dalam keadilan distributif, sebagai berikut:22

1) The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang

sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama

bagi semua orang.

Makna The greatest equal principle adalah adanya jaminan kebebasan

yang sama demi mewujudkan adalanya keadilan. Keadilan akan terwujud

apabila adanya kesetaraan antara hak dan kewajiban. Prinsip ini

merupakan roh dari adanya asas kebebasan berkontrak.

2) Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga

perlu diperhatikan asas atau prinsip berikut:

22 http://kumpulan-teori-skripsi.blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-distributif-john-rawls.html

diunduh hari Jumat, 16 November 2018, pukul 16:06.

20

a) The different principle, dan

b) The principle of fair quality of opportunity

Prinsip ini menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan

kewajiban para pihak, sehingga secara wajar diterima adanya perbedaan

pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness. Oleh sebab

itu kedua prinsip ini berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan

lainnya.

Kedua prinsip di atas atau yang disebut dengan teori keadilan distributif menjadi

payung hukum pelaksanaan sistem kontrak karya dalam sektor pertambangan Indonesia.

Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya

terkait dengan keadilan dalam kontrak, maka harus memadukan konsep kesamaan hak

dalam pertukaran sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan distributif.

Berdasarkan teori ini, kedua belah pihak memiliki kebebasan yang sama dalam

membuat kontrak, sehingga kedua belah pihak memperoleh hak dan kewajiban yang

sama. Namun, demi menciptakan keadilan kita tidak hanya berkaca pada sebuah

kebebasan saja karena keadilan tidak semata-mata berbicara mengenai kebebasan.

Setiap kebebasan harus dibatasi, oleh sebab itu negara dibutuhkan sebagai komando

terbaik untuk membatasi kebebasan seseorang demi kesejahteraan rakyat.

B. KONSTITUSI DALAM TATA URUTAN PERUNDANG-

UNDANGAN

Konstitusi adalah sebuah dokumen formal hasil perjuangan bangsa di waktu

lampau, yang merupakan hukum tertinggi hasil refleksi pemikiran filosofis dan

kesepakatan para pendiri bangsa yang merupakan cita hukum (reschtsidee) yang

menjadi panduan kehidupan berbangsa dan bernegara demi tercapainya cita-cita

21

kemerdekaan, kedaulatan, dan keadilan sosial.23 Dilihat dari segi obyek ilmu hukum

konstitusi, maka ilmu hukum konstitusi adalah ilmu hukum yang mempunyai obyek

material konstitusi dan mempunyai obyek formal hukum dasar termasuk Undang-

Undang Dasar sebagai hukum dasar tertulis (written fundamental law, written basic

law) yang menjadi hukum dasar tertulis tertinggi dari tata hukum nasional (national

legal order) suatu negara.24 Konstitusi memiliki arti dan peran yang sangat penting dan

selayaknya harus dimiliki oleh setiap negara. Sejarah lahirnya Negara Kesatuan

Republik Indonesia juga berasal dari sebuah konstitusi yang disusun dalam Undang-

Undang Dasar, yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)

pada tanggal 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia 1945 merupakan konstitusi dan landasan fundamental negara Indonesia.

Lahirnya UUD 1945, telah menjadikan negara Indonesia sebagai sebuah negara

hukum. Selain sebagai negara hukum, Indonesia juga dikenal sebagai negara demokrasi,

yaitu demokrasi perwakilan berdasar kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang tidak

bersifat absolut yang diatur dalam konstitusi yang memberi perlindungan dan

kesejahteraan bagi warga negaranya.25 Oleh karena itu, penerapan prinsip hukum dalam

negara demokrasi berlandaskan asas kedaulatan rakyat, yang dioperasionalkan melalui

peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan sistem demokrasi

perwakilan atau demokrasi tidak langsung.

23 Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Yogyakarta, 2009,

hlm.vii.

24 Astim Riyanto, Pengetahuan Hukum Konstitusi Menjadi Ilmu Hukum Konstitusi, Universitas

Pendidikan Indonesia, Bandung, 2015, hlm. 186.

25 Ibid.

22

Berbicara mengenai peraturan perundang-undangan, maka tidak ada sistem di

dunia ini yang secara positif mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-

undangan. Apabila ada, pengaturannya mungkin hanya sebatas pada asas yang

menyebutkan misalnya:

“Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi tingkatannya’ atau dikenal istilah “the

supreme law of the land” (hukum tertinggi) yang artinya Undang-

Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dari segala peraturan

perundang-undangan yang ada, sehingga peraturan dibawahnya tidak

boleh bertentangan dengan UUD 1945.”26

Beberapa ahli hukum, juga memiliki pandangan dan ungkapan yang berbeda-beda

terhadap peraturan perundang-undangan menurut sudut pandang mereka masing-

masing. Teori Hans Kelsen merupakan salah satu teori yang sangat terkenal dan

mendapat banyak perhatian terutama mengenai hierarki norma hukum dan rantai

validitas yang membentuk piramida hukum (stufenbau theorie). Teori umum yang

dikembangkan oleh Hans Kelsen tentang hukum meliputi dua aspek penting, yaitu

aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek

dinamis (nomodinamic).27 Dalam buku Hans Kelsen “General Theori of Law and

State” terjemahan dari Teori Umum Tentang Hukum dan Negara yang diuraikan oleh

Jimly Assihiddiqie antara lain bahwa:28

“Analisis hukum, yang mengungkapkan karakter dinamis dari sistem norma dan

fungsi norma dasar, juga mengungkapkan suatu kekhasan lebih lanjut dari hukum:

hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum

menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat

tertentu, menentukan isi dari norma yang lainnya itu. Karena, norma hukum yang

26 Ni’matul Huda, Negara Hukum demokrasi dan judicial Review, Cetakan Pertama (Yogyakarta:

UII Press, 2005), hlm. 48.

27 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara Judul Aslinya (Theory Of Law and

State) Diterjemahkan Rasul Muttakin, Cetakan ke IV, Nusa Media, Bandung: 2010, hlm. 179.

28 Ibid, hlm. 109.

23

satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum

yang lain, dan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma

hukum yang disebut pertama.”

Menurut Hans Kelsen, norma itu diatur dalam sebuah sistem yang berjenjang

berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki. Pengertiannya, norma hukum yang di

bawah berlaku dan bersumber, dan berdasar dari norma yang lebih tinggi, dan norma

lebih tinggi juga bersumber dan berdasar dari norma yang lebih tinggi lagi, begitu

seterusnya hingga berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai Norma

Dasar (Grundnorm) dan menurut Hans Kelsen termasuk dalam sistem norma yang

dinamis.29 Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga

otoritas yang berwenang membentuknya, berdasarkan norma yang lebih tinggi,

sehingga norma yang lebih rendah (Inferior) dapat dibentuk berdasarkan norma yang

lebih tinggi (superior), pada akhirnya hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-

lapis membentuk suatu Hierarki.30 Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of

norms yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dapat dimaknai sebagai berikut:31

Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau

memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi;

Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak

boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

yang lebih tinggi.

Melalui teori tersebut, memberikan dampak yang positif terhadap struktur

ketatanegaraan Indonesia yaitu memudahkan masyarakat dalam memahami hierarki

struktur hukum di Indonesia. Adapun mengenai tata urutan perundang-undangan

29 Ibid.

30 Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, Cetakan Pertama, Sinar

Grafika, Jakarta: 2011, hlm. 14-15.

31 Ibid.

24

menurut hukum di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia (lebih lanjut

disingkat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). Sedangkan mengenai

hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia diatur dalam Pasal 7 ayat

(1) yang berbunyi :32

1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

d) Peraturan Pemerintah;

e) Peraturan Presiden;

f) Peraturan Daerah Provinsi; dan

g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Ketujuh peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal

7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan Republik Indonesia, dalam pelaksanaannya harus saling

berkesinambungan dan tidak boleh saling bertentangan. Kaitannya dengan peraturan

perundang-undangan, Undang-Undang merupakan salah satu produk hukum yang

termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan

ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011

Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud dengan

Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Materi muatan yang harus

diatur dengan Undang-Undang berisi:

1) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

32 Konsideran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 ayat (1).

25

2) Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;

3) Pengesahan perjanjian internasional tertentu;

4) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Pada sektor pertambangan di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang

pernah berlaku adalah sebagai berikut:

1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok

Pertambangan;

2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara;

3) PP Nomor 32 Tahun 1967 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1967;

4) PERMEN ESDM Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perubahan

Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Kontrak Karya dan Perjanjian

Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;

Dari ke-empat peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum

pertambangan di Indonesia, maka dua diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 11

Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-Undang

Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara akan dijelaskan lebih rinci oleh

penulis dalam bab pembahasan, terutama terkait dengan adanya perubahan politik

hukum dan perubahan legalitas usaha dari sistem kontrak karya ke sistem perijinan.

26

C. POLITIK HUKUM

John Austin mengatakan Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah

perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan

tertinggi atau yang memegang kedaulatan.33 Berdasarkan pernyataan yang diberikan

oleh John Austin, maka secara implisit mengandung pengertian bahwa hukum adalah

produk politik atau kekuasaan. Hukum dan politik hukum merupakan sesuatu yang

berhubungan dan tidak dapat dipisahkan.

Apa itu politik hukum? Beberapa pakar ilmu hukum memberikan definisi yang

berbeda tentang Politik Hukum. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus

mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar menentukan arah, bentuk,

maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Lebih lengkapnya beliau melengkapi

dengan kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk

menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut berkaitan dengan

pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.34

Berbeda dengan Padmo Wahjono, Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik

hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu

tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.35 Menurut Satjipto Rahardjo

terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu:

“tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada, cara-

cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai

33 Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya

Bakti, Bandung 2001, hlm.58.

34 Padmo Wahjono, Negara Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1986,

hlm. 160.

35 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung:1991, hlm. 352.

27

mencapai tujuan tersebut, kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan

melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan, dan

dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa

membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk

mencapai tujuan tersebut secara baik”36

L. J. Van Apeldorn mendefiniskan politik hukum sebagai politik perundang-undangan.

Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan

(pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja). Sedangkan Moh.

Mahfud MD, mengatakan bahwa politik hukum adalah “legal policy”, atau garis

(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan

hukum baru maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan

Negara”.37

“Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa

Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtpolitiek, yang berasal dari kata

recht dan politiek. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa negara

Indonesia merupakan bekas negara jajahan Belanda, oleh sebab itu

sistem hukum negara Indonesia menganut dari sistem hukum Negara

Belanda (asas konkordansi). Kata recht apabila diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia berarti hukum. Kata hukum berasal dari bahasa arab

yaitu Hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti (Judgement,

verdict, decision), ketetapan (provision), pemerintah (command),

pemerintahan (government), kekuasaan (author, power), hukuman

(sentences), dll. Adapun dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh

Ven der Tas, kata politiek mengandung arti beleid. Kata Beleid dalam

bahasa Indonesia berarti kebijakan (Policy). Dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia, kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi

garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,

kepemimpinan dan cara bertindak.”38

Dengan demikian, dari penjelasan secara etimologis dapat disimpulkan bahwa

politik hukum berarti kebijakan hukum. Berdasarkan berbagai definisi yang telah

disebutkan maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum yaitu kebijakan dasar

36 Ibid.

37 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (edisi revisi), Rajawali Pers, Jakarta: 2011, hlm. 1.

38 Ibid.

28

penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang

bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara

yang dicita-citakan. Dalam definisi ini terdapat penyelenggara negara, dan yang kita

ketahui adalah penyelenggara negara adalah pemerintah yang dalam pengertian luas

mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Dalam politik hukum dan undang-undang selalu terdapat kodifikasi, dimana

kodifikasi berasal dari bahasa Inggris yakni codification, dimana menurut Black’s Law

Dicitionary mempunyai arti:

“The process of collecting and arranging systematically, usually by subject, the

laws of state or country; or the rules and regulations covering a particular area

subject of law practice.”39

Politik hukum dibutuhkan suatu negara untuk menunjukkan eksistensi hukum

negara tertentu. Suatu unsur dikatakan ketentuan hukum yang berlaku atau bukan

menentukan apakah seorang petugas atau aparat penegak hukum yang menghadapi

perubahan kehidupan dalam masyarakat perlu melakukan politik hukum.40 Oleh sebab

itu, dalam setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia pasti terdapat politik

hukum. Adapun tujuan dari adanya politik hukum menurut Soehino ada 3 (tiga) tujuan

pengkajian politik hukum, diantaranya:41

1) Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa lampau, yang

melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-

ketentuan hukum yang sedang berlaku. Sehingga setiap orang mampu

mengaplikasikan dan menerapkan aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan

hukum sebagaimana mestinya;

39 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St.Paul, West Publishing, Minnesota: 1991,

hlm. 258.

40 Abdul Latif & Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2010, hlm. 68.

41 Soehino, Politik Hukum, BPFE, Yogyakarta: 2010.

29

2) Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran

tersebut diatas, yang dapat dipergunakan sebagai atau menjadi dasar

penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum ius

constitutum dari ius constituendum yang berlaku dalam rangka

menghadapi perkembangan, perubahan, atau pertumbuhan kehidupan

bermasyarakat. Sehingga mampu menetapkan aturan-aturan hukum

dan/atau ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai dengan kebutuhan

kehidupan bermasyarakat; dan

3) Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan kerangka

dan arah tata hukum yang berlaku. Sehingga dapat menerapkan dan

mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup bermasyarakat

dalam satu sistem.

Hukum diciptakan sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan suatu negara. Sama

hal nya dengan hukum, politik hukum juga menjadi sebuah alat atau sarana yang

digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-

cita bangsa dan tujuan negara. Adapun menurut sifatnya, politik hukum dibedakan

menjadi 2 (dua) yaitu:

1) Politik Hukum Permanen

Politik hukum permanen adalah politik hukum yang bersifat permanen

seperti pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan,

keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dengan hukum-hukum

nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan

kekuasaan kehakiman dan sebagainya.

2) Politik Hukum Periodik

Politik hukum periodik adalah politik hukum yang dibuat berdasarkan

kebutuhan dan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode

tertentu baik yang akan diberlakukan maupun dicabut, misalnya: pada

periode 1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi dan

unifikasi dalam bidang-bidang hukum tertentu, pada periode 1983-1988

ada politik hukum untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara, dan

30

pada periode 2004-2009 ada lebih 250 rencana pembuatan undang-undang

yang dicantumkan di dalam program legislasi nasional.

Semakin berkembanganya zaman, tentu memberikan pengaruh dalam sistem

hukum suatu negara. Salah satunya adalah dengan adanya perubahan pada peraturan

perundang-undangan. Adanya perubahan dalam suatu peraturan perundang-undangan,

tentu saja memberikan perubahan terhadap politik hukum dari peraturan yang

sebelumnya.

“Politik hukum sudah berlaku di Indonesia sejak masa demokrasi

terpimpin hingga reformasi. Dalam setiap periode politik hukum yang

ada tentu berbeda-beda. Politik hukum pada periode demokrasi terpimpin

lebih mengutamakan pemerintah yang terpusat pada Presiden Soekarno

dan didampingi 2 (dua) kekuatan lain setelah Presiden Soekarno yang

mempunyai peran politik, yaitu Angkatan Darat dan PKI. Jadi

konfigurasi politik pada waktu itu ditandai oleh persaingan tiga

kekuasaan tersebut dengan kekuatan besar ada di tangan Presiden

Soekarno.”42

“Pada masa Orde Baru, politik hukum yang ada adalah adanya

konsolidasi ekonomi, pimpinan pemerintah yang kuat, dan susunan

pemerintah yang stabil. Setelah Soekarno dan PKI tergeser

kedudukannya pada masa Orde Baru, muncul Angkatan Darat sebagai

pemeran utama dalam Orde Baru. Sehingga dengan munculnya Angkatan

Darat ini, militer memiliki dua kekuasaan yaitu disamping memiliki

tugas kemiliteran juga memiliki kekuasaan politik.43

Politik hukum terus mengalami perubahan hingga memasuki Era Reformasi. Perubahan

yang terjadi pada Era Reformasi adalah adanya berbagai perubahan tentang produk

hukum era Orde Baru, dan telah mengutamakan demokrasi sebagai syarat dalam

mengadakan politik hukum.

Pasca Orde Baru, perubahan politik hukum terus terjadi pada peraturan

perundang-undangan di Indonesia. Salah satunya adalah yang terjadi pada tahun 2009

yaitu Perubahan politik hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi

42 Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 144.

43 Ibid.

31

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 di bidang pertambangan Indonesia. Perubahan

politik hukum ini dimaksudkan sebagai bentuk pemusatan pegelolaan sumber daya alam

kepada negara demi kemakmuran rakyat.

Dalam sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah terjadi

perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasar pada periode sistem politik)

antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan

dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, maka karakter produk hukum juga

berubah. Pada saat konfigurasi tampil secara demokratis, maka produk hukum yang

dihasilkan bersifat responsif, sebaliknya ketika konfigurasi tampil secara otoriter, maka

hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks.44

Mahfud MD mengatakan dalam sebuah pernyataan menarik bahwa “Tidaklah

mungkin bagi kita membangun hukum responsif tanpa lebih dahulu membangun sistem

politik yang demokratis, sebab hukum responsif tidak mungkin lahir di dalam sistem

politik yang otoriter.”45 Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum yang akan

diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak

diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti

yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, beberapa peraturan

perundang-undangan yang ada di Indonesia beberapa kali mengalami perubahan,

pencabutan maupun penghapusan didasarkan oleh pernyataan tersebut.

44 Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 373.

45 Ibid, hlm. 380.

32

D. ASPEK PENGATURAN DALAM PERTAMBANGAN

a. Aspek Hukum Kontrak

Secara umum kontrak dapat diartikan sebagai satu atau serangkaian janji yang

dibuat oleh para pihak dalam sebuah perjanjian tertulis. Menurut Pasal 1313 KUH

Perdata, kontrak atau perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua

orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Berdasarkan Ketentuan

Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian kontrak adalah suatu perbuatan hukum

(juridical act), yang dibuat dengan formalitas yang memungkinkan, dan diijinkan oleh

hukum yang berwenang dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari satu

atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu sama lain

(interdependent).46 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontrak diartikan dalam

beberapa pengertian sebagai berikut:

a) perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa

menyewa, dan sebagainya;

b) persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk

melakukan atau tidak melakukan kegitan;

c) mengikat dengan perjanjian (tentang mempekerjakan orang dan sebagainya);

dan

d) menyewa.

Kontrak atau perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada

selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Kontrak dibuat dengan

46 Ibid.

33

tujuan untuk menciptakan akibat hukum demi kepentingan satu pihak dan juga untuk

pihak lain. Oleh sebab itu kontrak merupakan perbuatan hukum. Pengaturan mengenai

hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri dari 18 Bab dan 631

Pasal (dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata).

Adapun unsur-unsur dari kontrak adalah sebagai berikut:47

a) Unsur Esensiali

Unsur Esensiali adalah kesepakatan mengenai hal tertentu diantara kedua belah

pihak dalam sebuah kontrak. Unsur Esensiali harus ada dalam suatu kontrak

karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada

kontrak. Tanpa kesepakatan, maka kontrak tersebut batal demi hukum karena

tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.

b) Unsur Naturalia

Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang

apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang

mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang

selalu dianggap ada dalam kontrak.

c) Unsur Aksidentalia

Unsur ini merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para

pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan

angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai dalam membayar

utangnya dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila

debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah

dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan.

Selain mengenal adanya unsur, dalam kontrak juga dikenal beberapa asas

diantaranya sebagai berikut:

a) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)

Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata,

khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUH Perdata. Bahkan

menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya

47 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta: 2010, hlm.31.

34

didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.48 Asas kebebasan berkontrak

diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya”. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, setiap

orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam

perjanjian bernama dan isinya menyimpang dari perjanjian bernama yang

diatur oleh undang-undang.49

Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak

sebagai berikut:50

i. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;

ii. kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;

iii. kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;

iv. kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;

v. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;

vi. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang

yang bersifat opsional (aanvullen, optional).

b) Asas Konsensualisme (concencualism)

Asas konsensualisme diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang

menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya

kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara

kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua pihak. Dengan asas

konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau

48 Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, Semarang, 1986, hlm. 3.

49 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 36.

50 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para

Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 47.

35

persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.51

Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban

kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau

konsensus para pihak yang membuat kontrak.52

c) Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)

Asas kepastian hukum atau yang disebut juga dengan pacta sunt servanda

merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Istilah “pacta

sunt servanda” berarti “janji itu mengikat”. Sehingga yang dimaksud dengan

asas ini adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak

mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut.

Mengikatnya secara penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut

oleh hukum kekuatannya dianggap sama dengan kekuatan mengikat dari suatu

undang-undang. Oleh sebab itu hakim atau pihak ketiga harus menghormati

substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya undang-

undang.

d) Asas Itikad Baik (good faith)

Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi:

“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Makna dari asas ini adalah

bahwa para pihak yang terikat dalam kontrak harus melaksanakan substansi

kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan

baik dan dilarang saling merugikan pihak yang lain atau melanggar ketentuan

yang telah diatur dalam kontrak.

51 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 27.

52 Ibid, hlm 82.

36

e) Asas Kepribadian (personality)

Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang

akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan

perseorangan saja. Hal ini diatur dalam Pasal 1315 yang menegaskan: “Pada

umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain

untuk dirinya sendiri” dan Pasal 1340 KUH Perdata yang berbunyi: “perjanjian

hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.” Oleh sebab itu makna dari

asas ini adalah setiap orang yang melakukan perjanjian dengan orang lain

berarti ia melakukan perjanjian dengan dirinya sendiri atau dengan kata lain ia

membuat perjanjian untuk kepentingan dirinya dan orang lain yang membuat

perjanjian tersebut.

Selain asas, di dalam kontrak juga diatur mengenai syarat sahnya sebuah kontrak

yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, diantaranya:

a) Adanya kesepakatan kedua belah pihak;

b) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;

c) Adanya obyek atau hal tertentu; dan

d) Kausa yang halal.

b. Aspek Hukum Kontrak Karya

Kontrak karya adalah sistem kontrak yang dipakai pada sektor pertambangan yang

diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, dimana prinsipnya adalah sama

dengan kontrak pada umumnya. Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari

Bahasa Inggris, yaitu kata contract of work. Kontrak karya merupakan sebuah istilah

perjanjian/kontrak yang dikenal dalam dunia pertambangan.

37

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan, maka kontrak karya dikonstruksikan

sebagai sebuah perjanjian dimana subjeknya adalah Pemerintah Indonesia dengan

perusahaan swasta asing atau joint venture antara perusahaan asing dan perusahaan

nasional. Sedangkan objek dalam kontrak karya adalah pengusahaan mineral. Dengan

demikian, maka dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur yang melekat dalam kontrak

karya, yaitu:

a) Adanya kontraktual, yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak;

b) Adanya subjek hukum, yaitu Pemerintah Indonesia/Pemerintah Daerah

(Provinsi/Kabupaten/Kota) dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau

golongan antara pihak asing dengan pihak Indonesia;

c) Adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi;

d) Dalam bidang pertambangan umum; dan

e) Adanya jangka waktu dalam kontrak.

Kontrak Karya Pertambangan (yang selanjutnya disingkat KKP) merupakan

perjanjian antara pemerintah dan pengusaha pertambangan yang menjadi dasar hukum

bagi pihak pengusaha untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pertambangan di

Indonesia.53 Dalam kontrak ini, pemerintah Indonesia menjadi principal dan pihak

pengusaha merupakan contractor. Dalam KKP terdapat ketentuan-ketentuan yang

mengatur berbagai hak dan kewajiban kontraktor serta berbagai kemudahan yang dapat

diberikan pemerintah kepada kontraktor untuk melaksanakan kegiatan usahanya.54

Pemberlakuan sistem KKP ini sempat berhasil menarik para investor asing untuk

53 Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum Keperdataan) Jurnal Hukum dan

Pembangunan Tahun ke-38 No.2, 2008, hlm. 204.

54 Joko Susilo dan Adi Prathomo, "Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia

(Kumpulan Tulisan S. Sigit, \967-2004)", Yayasan Minergy Informasi Indonesia, Jakarta, 2004 hlm. 27.

38

menanamkan modal mereka di sektor pertambangan dikarenakan beberapa hal, antara

lain:55

a) KKP memuat ketentuan yang mencakup praktis segala aspek pelaksanaan

usaha pertambangan;

b) pemerintah memberi perlakuan lex specialis pada KKP, segala ketentuan

dalam kontrak tidak akan diubah oleh peraturan perundangan dikemudian hari,

kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak;

c) dalam melaksanakan kegiatannya, kontraktor mendapat hak berkelanjutan

(conjuctive title) dari satu tahap ke tahap berikutnya, yaitu tahap penyelidikan

umum sampai dengan tahap eksploitasi, pengolahan dan pemasaran;

d) bila timbul sengketa antara principal dan kontraktor yang tidak dapat

diselesaikan secara musyawarah atau kompromi, maka kontraktor berhak

untuk membawa persoalannya ke arbitrase internasional; dan

e) KKP baru dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Presiden sesudah

terlebih dahulu dikonsultasikan dengan (dan disetujui oleh) DPR, dengan

demikian kedudukan KKP secara hukum sangat kuat, boleh dikata hampir

sekuat undang-undang.

Meskipun sempat menaikkan iklim investasi khususnya di sektor pertambangan,

namun pelaksanaan sistem kontrak karya ini harus terhenti di tahun 2009 dikarenakan

beberapa hal dan melahirkan adanya peraturan baru yaitu Undang-Undang Nomor 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengganti sistem

kontrak karya menjadi sistem perizinan.

c. Aspek Hukum Perijinan

Perizinan merupakan salah satu aspek penting yang ada di dalam hukum

pertambangan. Perizinan di dalam kamus istilah hukum, berasal dari kata izin

(vergunning) yang diartikan sebagai perkenaan/izin dari pemerintah yang diisyaratkan

untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang

pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.56

55 Ibid, hlm. 28.

56 HR,Ridwan, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.198.

39

Beberapa ahli memberikan definisi perizinan dengan sudut pandang yang berbeda-beda

antara satu dengan yang lain. Beberapa pengertian perizinan menurut para ahli adalah

sebagai berikut:

a) E.Utrech mengartikan perizinan, bila pembuat peraturan umumnya tidak

melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja

diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan

administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut suatu izin

(vergunning).57

b) Bagir Manan mengartikan perizinan sebagai izin dalam arti luas, yang berarti

suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan

untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang

secara umum dilarang.58

c) N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, memberi pengertian izin merupakan suatu

persetujuan dan penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan

pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan

perundang-undangan (izin dalam arti sempit).59

Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan perizinan adalah bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan atau

pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam

bentuk izin maupun daftar usaha. Konsep perizinan pada umumnya hampir sama

57 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1957, hlm. 187.

58 Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan

Berkumpul Ditinjau dari Perspektif UUD 1945, Jakarta, 1995, hlm. 8.

59 Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, 2012 hlm. 77. Mengutip

Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, 1993 hlm. 2-3.

40

dengan konsep perizinan pada pertambangan. Perizinan dalam sektor pertambangan

dikenal dengan istilah Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah legalitas pengelolaan dan pengusahaan

bahan galian yang diperuntukkan bagi badan usaha baik swasta nasional, maupun badan

usaha asing, koperasi, dan perseorangan. Adapun jenis izin usaha pertambangan

menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara lebih sederhana dibanding dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Umum.

Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa usaha pertambangan dilaksanakan dalam

bentuk:

a) Izin Usaha Pertambangan;

b) Izin Pertambangan Rakyat; dan

c) Izin Usaha Pertambangan Khusus.

Secara umum fungsi dari adanya perizinan adalah sebagai sarana pengendalian

dari segala bentuk kegiatan pemerintah terkait ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman

yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berkepentingan maupun oleh pejabat yang

diberi kewenangan. Tanpa adanya perizinan, maka akan mempersulit atau bahkan

menghambat setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Tujuan dari adanya

perizinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu:60

a) Dari sisi pemerintah, tujuan pemberian izin adalah sebagai berikut:

i. Untuk melaksanakan peraturan

60 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,

hlm. 200.

41

Dalam hal ini maksudnya adalah apakah ketentuan-ketentuan yang termuat

dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam praktiknya atau

tidak dan sekalipun untuk mengatur ketertiban.

ii. Sebagai sumber pendapatan daerah

Dengan adanya permintaan permohonan izin, maka secara langsung

pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang

dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi dahulu. Semakin banyak

pula pendapatan di bidang retribusi tujuan akhirnya yaitu untuk membiayai

pembangunan.

b) Dari sisi masyarakat, tujuan pemberian izin adalah sebagai berikut:

i. Menjamin adanya kepastian hukum;

ii. Menjamin adanya kepastian hak;

iii. Untuk mendapatkan fasilitas setelah bangunan yang didirikan mempunyai

izin

Dengan pemberlakuan adanya sistem perizinan memberikan kesejahteraan bagi

masyarakat karena pemerintah langsung yang mengelola sistem pertambangan

Indonesia. Dengan mengikatkan tindakan-tindakan pada suatu sistem perizinan,

pembuatan undang-undang dapat mengejar berbagai tujuan dari izin. Dengan demikian,

ketertiban dan kenyamanan dapat tercipta dalam setiap aktivitas penyelenggaraan

negara di berbagai sektor kehidupan terutama pada sektor pertambangan.