bab ii kajian pustaka 1. kajian teori a. negara …
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Kajian Teori
A. NEGARA KESEJAHTERAAN
Negara kesejahteraan atau Welfare State merupakan suatu model pembangunan
sebuah negara yang difokuskan pada peningkatan kesejahteraan dan penyelenggaraan
sistem perlindungan sosial yang melembaga bagi setiap warga negara sebagai cerminan
dari adanya hak asasi manusia yaitu hak kewarganegaraan (right of citizenship). Negara
merupakan organisasi tertinggi di antara satu kelompok atau beberapa kelompok
masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu hidup di dalam daerah tertentu, dan
mempunyai pemerintahan yang berdaulat.14 Ciri utama dalam negara kesejahteraan
adalah isu mengenai jaminan kesejahteraan rakyat oleh negara. Menurut Habermas,
jaminan kesejahteraan rakyat yang dimaksud diwujudkan dalam perlindungan atas “The
risk of unemployment, accident, ilness, old age, and death of the breadwinner must be
covered largely through welfare provisions of the state.”15 Oleh sebab itu, kesejahteraan
merupakan hak yang harus diterima oleh warga negara yang harus dipenuhi oleh sebuah
negara sebagai sebuah kewajiban negara (state obligation).
14 Moh Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia (Edisi Revisi) Renaka Cipta,
Jakarta, hlm. 64.
15 Gianfranco Poggi, The Development of the Modern State “Sosiological Introduction”,
California: Standford University Press, 1992, hlm. 126.
17
Andersen mengungkapkan bahwa welfare state merupakan institusi negara
dimana kekuasaan yang dimilikinya (dalam hal kebijakan ekonomi dan politik)
ditujukan untuk:16
1) Memastikan setiap warga negara beserta keluarganya memperoleh
pendapatan minimum sesuai dengan standar kelayakan;
2) Memberikan layanan sosial bagi setiap permasalahan yang dialami warga
negara (baik dikarenakan sakit, tua, atau menganggur), serta kondisi lain
semisal krisis ekonomi;
3) Memastikan setiap warga negara mendapatkan hak-haknya tanpa
memandang perbedaan status, kelas ekonomi, dan perbedaan lain.
Alfred Marshall (1842-1924),17 mendefinisikan welfare state sebagai bagian dari
masyarakat modern yang sejalan dengan ekonomi pasar kapitalis dan struktur politik
demokratis.18 Sedangkan Paul Spicker,19 menjelaskan welfare state tidak hanya
mencakup deskripsi cara pengorganisasian kesejahteraan (welfare) atau pelayanan
social (social services), tetapi juga konsep normatif bahwa setiap orang harus
memperoleh pelayanan sosial sebagai haknya.20
16 Andersen, J.G, Welfare States and Welfare State Theory, Centre for Comparative Welfare
Studies, working paper 2012).
17 Alfred Marshall, ekonom berkebangsaan Inggris dalam bukunya yang berjudul Principles of
Economics (1890) telah menggambarkan hubungan matematis antara variabelvariabel ekonomi. Marshall
mampu memperlihatkan bagaimana nilai ditentukan secara parsial oleh kepuasan marjinal (marginal
utility) dari suatu barang dan bagaimana keinginan menurun dengan diperolehnya setiap unit tambahan
dengan menggunakan kalkulus. Lihat George Soule, Pemikiran Para Pakar Ekonomi Terkemuka, terj. T.
Gilarso, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 136-142, dan Christopher Pass dan Bryan Lowes, Collins,
hlm. 402-403.
18 Ibid.
19 Paul Spicker adalah Direktur the Center for Public Policy and Management, Skotlandia. Banyak
menulis tentang kebijakan sosial, dan salah satu penelitiannya adalah Studi hubungan antara manfaat
sistem pengiriman, santunan orang tua, masyarakat tidak normal (psychiatric patients), manajemen
perumahan, dan strategi anti kemiskinan lokal. Beberapa Karyanya adalah Stigma and Social Welfare.
20 Paul Spicker, Social Policy: Themes and Approaches, (London: Prentice Hall, 1995)
sebagaimana dikutip Edie Suharto, "Negara Kesejahteraan Dan Reinventing Depsos".
18
Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hakekat dari negara
kesejahteraan adalah sebuah model kebijakan negara yang mengarah kepada
perlindungan sosial atau kesejahteraan publik (public welfare) yang menjamin adanya
rasa aman, ketentraman, dan kesejahteraan bagi warga negaranya agar tidak jatuh ke
dalam kesengsaraan. Negara Kesatuan Republik Indonesia juga menganut faham negara
kesejahteraan, sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945. Prinsip Welfare State, dapat
ditemukan secara jelas dalam beberapa pasal yang berkaitan dengan aspek sosial dan
ekonomi dalam UUD NRI 1945. Dengan masuknya perihal kesejahteraan dalam
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Jimly
Asshidiqie, Konstitusi Indonesia dapat disebut sebagai konstitusi ekonomi (economic
constitution) dan bahkan konstitusi sosial (social constitution).21
Hal ini dapat dibuktikan pada salah satu tujuan negara Indonesia, sebagaimana
ditegaskan dalam pembukaan UUD NRI 1945 adalah memajukan kesejahteraan umum.
Pasal dalam UUD NRI 1945 yang mengatur tentang kesejahteraan adalah Pasal 33
UUD 1945 yang berjudul “Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial”.
Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945, dinyatakan bahwa:
Ayat (3) “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.”
Ayat (4) “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi
ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”
21 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta:
2005, hlm. 124.
19
Sumber daya alam tambang, sebagai sumber daya alam yang tidak dapat
diperbaharui harus dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya
guna, berhasil guna, dan berkelanjutan demi kesejahteraan rakyat Indonesia baik untuk
masa sekarang maupun masa yang akan datang. Demi peningkatan kesejahteraan
masyarakat, maka pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam tambang harus
dikuasai oleh negara agar tidak jatuh ke tangan orang asing atau orang yang tidak
bertanggung jawab. Dengan dikuasai dan dikelola secara penuh oleh negara, diharapkan
sektor pertambangan mampu memberikan kontribusi yang besar dalam dunia
perekonomian Indonesia dan juga mampu mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat
Indonesia.
Prinsip kesejahteraan menjadi pedoman atau bingkai hukum yang melandasi
sistem perizinan pada sektor pertambangan di Indonesia. Namun, sebelum menganut
sistem perizinan, dikenal sistem kontrak karya dalam sektor pertambangan Indonesia.
Sistem kontrak karya berpegang pada prinsip keadilan distributif. Tokoh yang
mengenalkan istilah keadilan distributif adalah Rawls. Rawls merumuskan dua prinsip
utama dalam keadilan distributif, sebagai berikut:22
1) The greatest equal principle, bahwa setiap orang harus memiliki hak yang
sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama
bagi semua orang.
Makna The greatest equal principle adalah adanya jaminan kebebasan
yang sama demi mewujudkan adalanya keadilan. Keadilan akan terwujud
apabila adanya kesetaraan antara hak dan kewajiban. Prinsip ini
merupakan roh dari adanya asas kebebasan berkontrak.
2) Ketidaksamaan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga
perlu diperhatikan asas atau prinsip berikut:
22 http://kumpulan-teori-skripsi.blogspot.com/2011/09/teori-keadilan-distributif-john-rawls.html
diunduh hari Jumat, 16 November 2018, pukul 16:06.
20
a) The different principle, dan
b) The principle of fair quality of opportunity
Prinsip ini menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan
kewajiban para pihak, sehingga secara wajar diterima adanya perbedaan
pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness. Oleh sebab
itu kedua prinsip ini berkaitan erat dan tidak dapat dipisahkan satu dengan
lainnya.
Kedua prinsip di atas atau yang disebut dengan teori keadilan distributif menjadi
payung hukum pelaksanaan sistem kontrak karya dalam sektor pertambangan Indonesia.
Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya
terkait dengan keadilan dalam kontrak, maka harus memadukan konsep kesamaan hak
dalam pertukaran sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan distributif.
Berdasarkan teori ini, kedua belah pihak memiliki kebebasan yang sama dalam
membuat kontrak, sehingga kedua belah pihak memperoleh hak dan kewajiban yang
sama. Namun, demi menciptakan keadilan kita tidak hanya berkaca pada sebuah
kebebasan saja karena keadilan tidak semata-mata berbicara mengenai kebebasan.
Setiap kebebasan harus dibatasi, oleh sebab itu negara dibutuhkan sebagai komando
terbaik untuk membatasi kebebasan seseorang demi kesejahteraan rakyat.
B. KONSTITUSI DALAM TATA URUTAN PERUNDANG-
UNDANGAN
Konstitusi adalah sebuah dokumen formal hasil perjuangan bangsa di waktu
lampau, yang merupakan hukum tertinggi hasil refleksi pemikiran filosofis dan
kesepakatan para pendiri bangsa yang merupakan cita hukum (reschtsidee) yang
menjadi panduan kehidupan berbangsa dan bernegara demi tercapainya cita-cita
21
kemerdekaan, kedaulatan, dan keadilan sosial.23 Dilihat dari segi obyek ilmu hukum
konstitusi, maka ilmu hukum konstitusi adalah ilmu hukum yang mempunyai obyek
material konstitusi dan mempunyai obyek formal hukum dasar termasuk Undang-
Undang Dasar sebagai hukum dasar tertulis (written fundamental law, written basic
law) yang menjadi hukum dasar tertulis tertinggi dari tata hukum nasional (national
legal order) suatu negara.24 Konstitusi memiliki arti dan peran yang sangat penting dan
selayaknya harus dimiliki oleh setiap negara. Sejarah lahirnya Negara Kesatuan
Republik Indonesia juga berasal dari sebuah konstitusi yang disusun dalam Undang-
Undang Dasar, yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
pada tanggal 18 Agustus 1945. Oleh sebab itu, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 merupakan konstitusi dan landasan fundamental negara Indonesia.
Lahirnya UUD 1945, telah menjadikan negara Indonesia sebagai sebuah negara
hukum. Selain sebagai negara hukum, Indonesia juga dikenal sebagai negara demokrasi,
yaitu demokrasi perwakilan berdasar kedaulatan rakyat dan pemerintahan yang tidak
bersifat absolut yang diatur dalam konstitusi yang memberi perlindungan dan
kesejahteraan bagi warga negaranya.25 Oleh karena itu, penerapan prinsip hukum dalam
negara demokrasi berlandaskan asas kedaulatan rakyat, yang dioperasionalkan melalui
peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan sistem demokrasi
perwakilan atau demokrasi tidak langsung.
23 Hardjono, Legitimasi Perubahan Konstitusi, Pustaka Pelajar, Cetakan I, Yogyakarta, 2009,
hlm.vii.
24 Astim Riyanto, Pengetahuan Hukum Konstitusi Menjadi Ilmu Hukum Konstitusi, Universitas
Pendidikan Indonesia, Bandung, 2015, hlm. 186.
25 Ibid.
22
Berbicara mengenai peraturan perundang-undangan, maka tidak ada sistem di
dunia ini yang secara positif mengatur tentang tata urutan peraturan perundang-
undangan. Apabila ada, pengaturannya mungkin hanya sebatas pada asas yang
menyebutkan misalnya:
“Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi tingkatannya’ atau dikenal istilah “the
supreme law of the land” (hukum tertinggi) yang artinya Undang-
Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dari segala peraturan
perundang-undangan yang ada, sehingga peraturan dibawahnya tidak
boleh bertentangan dengan UUD 1945.”26
Beberapa ahli hukum, juga memiliki pandangan dan ungkapan yang berbeda-beda
terhadap peraturan perundang-undangan menurut sudut pandang mereka masing-
masing. Teori Hans Kelsen merupakan salah satu teori yang sangat terkenal dan
mendapat banyak perhatian terutama mengenai hierarki norma hukum dan rantai
validitas yang membentuk piramida hukum (stufenbau theorie). Teori umum yang
dikembangkan oleh Hans Kelsen tentang hukum meliputi dua aspek penting, yaitu
aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek
dinamis (nomodinamic).27 Dalam buku Hans Kelsen “General Theori of Law and
State” terjemahan dari Teori Umum Tentang Hukum dan Negara yang diuraikan oleh
Jimly Assihiddiqie antara lain bahwa:28
“Analisis hukum, yang mengungkapkan karakter dinamis dari sistem norma dan
fungsi norma dasar, juga mengungkapkan suatu kekhasan lebih lanjut dari hukum:
hukum mengatur pembentukannya sendiri karena suatu norma hukum
menentukan cara untuk membuat norma hukum yang lain, dan juga sampai derajat
tertentu, menentukan isi dari norma yang lainnya itu. Karena, norma hukum yang
26 Ni’matul Huda, Negara Hukum demokrasi dan judicial Review, Cetakan Pertama (Yogyakarta:
UII Press, 2005), hlm. 48.
27 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara Judul Aslinya (Theory Of Law and
State) Diterjemahkan Rasul Muttakin, Cetakan ke IV, Nusa Media, Bandung: 2010, hlm. 179.
28 Ibid, hlm. 109.
23
satu valid lantaran dibuat dengan cara yang ditentukan oleh suatu norma hukum
yang lain, dan norma hukum yang lain ini menjadi landasan validitas dari norma
hukum yang disebut pertama.”
Menurut Hans Kelsen, norma itu diatur dalam sebuah sistem yang berjenjang
berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki. Pengertiannya, norma hukum yang di
bawah berlaku dan bersumber, dan berdasar dari norma yang lebih tinggi, dan norma
lebih tinggi juga bersumber dan berdasar dari norma yang lebih tinggi lagi, begitu
seterusnya hingga berhenti pada suatu norma tertinggi yang disebut sebagai Norma
Dasar (Grundnorm) dan menurut Hans Kelsen termasuk dalam sistem norma yang
dinamis.29 Oleh sebab itu, hukum selalu dibentuk dan dihapus oleh lembaga-lembaga
otoritas yang berwenang membentuknya, berdasarkan norma yang lebih tinggi,
sehingga norma yang lebih rendah (Inferior) dapat dibentuk berdasarkan norma yang
lebih tinggi (superior), pada akhirnya hukum menjadi berjenjang-jenjang dan berlapis-
lapis membentuk suatu Hierarki.30 Teori stufenbau des recht atau the hierarchy of
norms yang dikemukakan oleh Hans Kelsen dapat dimaknai sebagai berikut:31
Peraturan perundang-undangan yang lebih rendah harus bersumber atau
memiliki dasar hukum atau validasi dari suatu peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi;
Isi atau materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak
boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Melalui teori tersebut, memberikan dampak yang positif terhadap struktur
ketatanegaraan Indonesia yaitu memudahkan masyarakat dalam memahami hierarki
struktur hukum di Indonesia. Adapun mengenai tata urutan perundang-undangan
29 Ibid.
30 Aziz Syamsuddi, Proses Dan teknik Penyusunan Undang-undang, Cetakan Pertama, Sinar
Grafika, Jakarta: 2011, hlm. 14-15.
31 Ibid.
24
menurut hukum di Indonesia, diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia (lebih lanjut
disingkat dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011). Sedangkan mengenai
hierarki peraturan perundang-undangan Republik Indonesia diatur dalam Pasal 7 ayat
(1) yang berbunyi :32
1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d) Peraturan Pemerintah;
e) Peraturan Presiden;
f) Peraturan Daerah Provinsi; dan
g) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Ketujuh peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal
7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Republik Indonesia, dalam pelaksanaannya harus saling
berkesinambungan dan tidak boleh saling bertentangan. Kaitannya dengan peraturan
perundang-undangan, Undang-Undang merupakan salah satu produk hukum yang
termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1 angka (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011
Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yang dimaksud dengan
Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan
Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden. Materi muatan yang harus
diatur dengan Undang-Undang berisi:
1) Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
32 Konsideran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Pasal 7 ayat (1).
25
2) Perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang;
3) Pengesahan perjanjian internasional tertentu;
4) Tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
5) Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.
Pada sektor pertambangan di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang
pernah berlaku adalah sebagai berikut:
1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pertambangan;
2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara;
3) PP Nomor 32 Tahun 1967 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967;
4) PERMEN ESDM Nomor 18 Tahun 2009 tentang Tata Cara Perubahan
Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Kontrak Karya dan Perjanjian
Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;
Dari ke-empat peraturan perundang-undangan yang menjadi payung hukum
pertambangan di Indonesia, maka dua diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 11
Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara akan dijelaskan lebih rinci oleh
penulis dalam bab pembahasan, terutama terkait dengan adanya perubahan politik
hukum dan perubahan legalitas usaha dari sistem kontrak karya ke sistem perijinan.
26
C. POLITIK HUKUM
John Austin mengatakan Law is a command of the Lawgiver (hukum adalah
perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan
tertinggi atau yang memegang kedaulatan.33 Berdasarkan pernyataan yang diberikan
oleh John Austin, maka secara implisit mengandung pengertian bahwa hukum adalah
produk politik atau kekuasaan. Hukum dan politik hukum merupakan sesuatu yang
berhubungan dan tidak dapat dipisahkan.
Apa itu politik hukum? Beberapa pakar ilmu hukum memberikan definisi yang
berbeda tentang Politik Hukum. Padmo Wahjono disetir oleh Kotam Y. Stefanus
mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar menentukan arah, bentuk,
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Lebih lengkapnya beliau melengkapi
dengan kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut berkaitan dengan
pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.34
Berbeda dengan Padmo Wahjono, Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik
hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu
tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.35 Menurut Satjipto Rahardjo
terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum, yaitu:
“tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada, cara-
cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai
33 Lili Rasyidi & Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Cet. ke VIII, PT Citra Adtya
Bakti, Bandung 2001, hlm.58.
34 Padmo Wahjono, Negara Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1986,
hlm. 160.
35 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung:1991, hlm. 352.
27
mencapai tujuan tersebut, kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan
melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan, dan
dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa
membantu memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk
mencapai tujuan tersebut secara baik”36
L. J. Van Apeldorn mendefiniskan politik hukum sebagai politik perundang-undangan.
Politik Hukum berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan
(pengertian politik hukum terbatas hanya pada hukum tertulis saja). Sedangkan Moh.
Mahfud MD, mengatakan bahwa politik hukum adalah “legal policy”, atau garis
(kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan
hukum baru maupun dengan peggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan
Negara”.37
“Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa
Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtpolitiek, yang berasal dari kata
recht dan politiek. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa negara
Indonesia merupakan bekas negara jajahan Belanda, oleh sebab itu
sistem hukum negara Indonesia menganut dari sistem hukum Negara
Belanda (asas konkordansi). Kata recht apabila diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia berarti hukum. Kata hukum berasal dari bahasa arab
yaitu Hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti (Judgement,
verdict, decision), ketetapan (provision), pemerintah (command),
pemerintahan (government), kekuasaan (author, power), hukuman
(sentences), dll. Adapun dalam kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh
Ven der Tas, kata politiek mengandung arti beleid. Kata Beleid dalam
bahasa Indonesia berarti kebijakan (Policy). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi
garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak.”38
Dengan demikian, dari penjelasan secara etimologis dapat disimpulkan bahwa
politik hukum berarti kebijakan hukum. Berdasarkan berbagai definisi yang telah
disebutkan maka dapat disimpulkan bahwa politik hukum yaitu kebijakan dasar
36 Ibid.
37 Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (edisi revisi), Rajawali Pers, Jakarta: 2011, hlm. 1.
38 Ibid.
28
penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara
yang dicita-citakan. Dalam definisi ini terdapat penyelenggara negara, dan yang kita
ketahui adalah penyelenggara negara adalah pemerintah yang dalam pengertian luas
mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Dalam politik hukum dan undang-undang selalu terdapat kodifikasi, dimana
kodifikasi berasal dari bahasa Inggris yakni codification, dimana menurut Black’s Law
Dicitionary mempunyai arti:
“The process of collecting and arranging systematically, usually by subject, the
laws of state or country; or the rules and regulations covering a particular area
subject of law practice.”39
Politik hukum dibutuhkan suatu negara untuk menunjukkan eksistensi hukum
negara tertentu. Suatu unsur dikatakan ketentuan hukum yang berlaku atau bukan
menentukan apakah seorang petugas atau aparat penegak hukum yang menghadapi
perubahan kehidupan dalam masyarakat perlu melakukan politik hukum.40 Oleh sebab
itu, dalam setiap peraturan perundang-undangan di Indonesia pasti terdapat politik
hukum. Adapun tujuan dari adanya politik hukum menurut Soehino ada 3 (tiga) tujuan
pengkajian politik hukum, diantaranya:41
1) Agar orang mampu memahami pemikiran-pemikiran masa lampau, yang
melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-
ketentuan hukum yang sedang berlaku. Sehingga setiap orang mampu
mengaplikasikan dan menerapkan aturan-aturan serta ketentuan-ketentuan
hukum sebagaimana mestinya;
39 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, St.Paul, West Publishing, Minnesota: 1991,
hlm. 258.
40 Abdul Latif & Hasbi Ali, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta: 2010, hlm. 68.
41 Soehino, Politik Hukum, BPFE, Yogyakarta: 2010.
29
2) Agar orang mampu menentukan dan memilih pemikiran-pemikiran
tersebut diatas, yang dapat dipergunakan sebagai atau menjadi dasar
penetapan aturan-aturan hukum dan atau ketentuan-ketentuan hukum ius
constitutum dari ius constituendum yang berlaku dalam rangka
menghadapi perkembangan, perubahan, atau pertumbuhan kehidupan
bermasyarakat. Sehingga mampu menetapkan aturan-aturan hukum
dan/atau ketentuan-ketentuan hukum baru sesuai dengan kebutuhan
kehidupan bermasyarakat; dan
3) Agar orang mampu memahami kebijakan yang menggariskan kerangka
dan arah tata hukum yang berlaku. Sehingga dapat menerapkan dan
mengembangkan hukum sesuai dengan kebutuhan hidup bermasyarakat
dalam satu sistem.
Hukum diciptakan sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan suatu negara. Sama
hal nya dengan hukum, politik hukum juga menjadi sebuah alat atau sarana yang
digunakan pemerintah untuk menciptakan sistem hukum nasional guna mencapai cita-
cita bangsa dan tujuan negara. Adapun menurut sifatnya, politik hukum dibedakan
menjadi 2 (dua) yaitu:
1) Politik Hukum Permanen
Politik hukum permanen adalah politik hukum yang bersifat permanen
seperti pemberlakuan prinsip pengujian yudisial, ekonomi kerakyatan,
keseimbangan antara kepastian hukum, keadilan, dengan hukum-hukum
nasional, penguasaan sumber daya alam oleh negara, kemerdekaan
kekuasaan kehakiman dan sebagainya.
2) Politik Hukum Periodik
Politik hukum periodik adalah politik hukum yang dibuat berdasarkan
kebutuhan dan perkembangan situasi yang dihadapi pada setiap periode
tertentu baik yang akan diberlakukan maupun dicabut, misalnya: pada
periode 1973-1978 ada politik hukum untuk melakukan kodifikasi dan
unifikasi dalam bidang-bidang hukum tertentu, pada periode 1983-1988
ada politik hukum untuk membentuk Peradilan Tata Usaha Negara, dan
30
pada periode 2004-2009 ada lebih 250 rencana pembuatan undang-undang
yang dicantumkan di dalam program legislasi nasional.
Semakin berkembanganya zaman, tentu memberikan pengaruh dalam sistem
hukum suatu negara. Salah satunya adalah dengan adanya perubahan pada peraturan
perundang-undangan. Adanya perubahan dalam suatu peraturan perundang-undangan,
tentu saja memberikan perubahan terhadap politik hukum dari peraturan yang
sebelumnya.
“Politik hukum sudah berlaku di Indonesia sejak masa demokrasi
terpimpin hingga reformasi. Dalam setiap periode politik hukum yang
ada tentu berbeda-beda. Politik hukum pada periode demokrasi terpimpin
lebih mengutamakan pemerintah yang terpusat pada Presiden Soekarno
dan didampingi 2 (dua) kekuatan lain setelah Presiden Soekarno yang
mempunyai peran politik, yaitu Angkatan Darat dan PKI. Jadi
konfigurasi politik pada waktu itu ditandai oleh persaingan tiga
kekuasaan tersebut dengan kekuatan besar ada di tangan Presiden
Soekarno.”42
“Pada masa Orde Baru, politik hukum yang ada adalah adanya
konsolidasi ekonomi, pimpinan pemerintah yang kuat, dan susunan
pemerintah yang stabil. Setelah Soekarno dan PKI tergeser
kedudukannya pada masa Orde Baru, muncul Angkatan Darat sebagai
pemeran utama dalam Orde Baru. Sehingga dengan munculnya Angkatan
Darat ini, militer memiliki dua kekuasaan yaitu disamping memiliki
tugas kemiliteran juga memiliki kekuasaan politik.43
Politik hukum terus mengalami perubahan hingga memasuki Era Reformasi. Perubahan
yang terjadi pada Era Reformasi adalah adanya berbagai perubahan tentang produk
hukum era Orde Baru, dan telah mengutamakan demokrasi sebagai syarat dalam
mengadakan politik hukum.
Pasca Orde Baru, perubahan politik hukum terus terjadi pada peraturan
perundang-undangan di Indonesia. Salah satunya adalah yang terjadi pada tahun 2009
yaitu Perubahan politik hukum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 menjadi
42 Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 144.
43 Ibid.
31
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 di bidang pertambangan Indonesia. Perubahan
politik hukum ini dimaksudkan sebagai bentuk pemusatan pegelolaan sumber daya alam
kepada negara demi kemakmuran rakyat.
Dalam sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah terjadi
perubahan-perubahan politik secara bergantian (berdasar pada periode sistem politik)
antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan
dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, maka karakter produk hukum juga
berubah. Pada saat konfigurasi tampil secara demokratis, maka produk hukum yang
dihasilkan bersifat responsif, sebaliknya ketika konfigurasi tampil secara otoriter, maka
hukum-hukum yang dilahirkannya berkarakter ortodoks.44
Mahfud MD mengatakan dalam sebuah pernyataan menarik bahwa “Tidaklah
mungkin bagi kita membangun hukum responsif tanpa lebih dahulu membangun sistem
politik yang demokratis, sebab hukum responsif tidak mungkin lahir di dalam sistem
politik yang otoriter.”45 Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum yang akan
diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak
diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti
yang tercantum di dalam pembukaan UUD 1945. Oleh sebab itu, beberapa peraturan
perundang-undangan yang ada di Indonesia beberapa kali mengalami perubahan,
pencabutan maupun penghapusan didasarkan oleh pernyataan tersebut.
44 Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 373.
45 Ibid, hlm. 380.
32
D. ASPEK PENGATURAN DALAM PERTAMBANGAN
a. Aspek Hukum Kontrak
Secara umum kontrak dapat diartikan sebagai satu atau serangkaian janji yang
dibuat oleh para pihak dalam sebuah perjanjian tertulis. Menurut Pasal 1313 KUH
Perdata, kontrak atau perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua
orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap orang lain. Berdasarkan Ketentuan
Umum Hukum Kontrak Belanda, pengertian kontrak adalah suatu perbuatan hukum
(juridical act), yang dibuat dengan formalitas yang memungkinkan, dan diijinkan oleh
hukum yang berwenang dan dibuat bersesuaian dan harus ada ungkapan niat dari satu
atau dua pihak secara bersama-sama yang saling bergantung satu sama lain
(interdependent).46 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kontrak diartikan dalam
beberapa pengertian sebagai berikut:
a) perjanjian (secara tertulis) antara dua pihak dalam perdagangan, sewa
menyewa, dan sebagainya;
b) persetujuan yang bersanksi hukum antara dua pihak atau lebih untuk
melakukan atau tidak melakukan kegitan;
c) mengikat dengan perjanjian (tentang mempekerjakan orang dan sebagainya);
dan
d) menyewa.
Kontrak atau perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum yang ada
selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Kontrak dibuat dengan
46 Ibid.
33
tujuan untuk menciptakan akibat hukum demi kepentingan satu pihak dan juga untuk
pihak lain. Oleh sebab itu kontrak merupakan perbuatan hukum. Pengaturan mengenai
hukum kontrak diatur dalam Buku III KUH Perdata, yang terdiri dari 18 Bab dan 631
Pasal (dimulai dari Pasal 1233 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata).
Adapun unsur-unsur dari kontrak adalah sebagai berikut:47
a) Unsur Esensiali
Unsur Esensiali adalah kesepakatan mengenai hal tertentu diantara kedua belah
pihak dalam sebuah kontrak. Unsur Esensiali harus ada dalam suatu kontrak
karena tanpa adanya kesepakatan tentang unsur esensiali ini maka tidak ada
kontrak. Tanpa kesepakatan, maka kontrak tersebut batal demi hukum karena
tidak ada hal tertentu yang diperjanjikan.
b) Unsur Naturalia
Unsur Naturalia merupakan unsur yang telah diatur dalam undang-undang
apabila tidak diatur oleh para pihak dalam kontrak, undang-undang yang
mengaturnya. Dengan demikian, unsur naturalia ini merupakan unsur yang
selalu dianggap ada dalam kontrak.
c) Unsur Aksidentalia
Unsur ini merupakan unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para
pihak memperjanjikannya. Sebagai contoh, dalam kontrak jual beli dengan
angsuran diperjanjikan bahwa apabila pihak debitur lalai dalam membayar
utangnya dikenakan denda dua persen perbulan keterlambatan, dan apabila
debitur lalai membayar selama tiga bulan berturut-turut, barang yang sudah
dibeli dapat ditarik kembali oleh kreditor tanpa melalui pengadilan.
Selain mengenal adanya unsur, dalam kontrak juga dikenal beberapa asas
diantaranya sebagai berikut:
a) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak merupakan tiang dari sistem hukum perdata,
khususnya hukum perikatan yang diatur Buku III KUH Perdata. Bahkan
menurut Rutten, hukum perdata, khususnya hukum perjanjian, seluruhnya
47 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta: 2010, hlm.31.
34
didasarkan pada asas kebebasan berkontrak.48 Asas kebebasan berkontrak
diatur dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”. Dengan adanya asas kebebasan berkontrak, setiap
orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam
perjanjian bernama dan isinya menyimpang dari perjanjian bernama yang
diatur oleh undang-undang.49
Sutan Remy Sjahdeini menyimpulkan ruang lingkup asas kebebasan berkontrak
sebagai berikut:50
i. kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian;
ii. kebebasan untuk memilih dengan pihak siapa ia ingin membuat perjanjian;
iii. kebebasan untuk memilih causa perjanjian yang akan dibuatnya;
iv. kebebasan untuk menentukan objek suatu perjanjian;
v. kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian;
vi. kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang
yang bersifat opsional (aanvullen, optional).
b) Asas Konsensualisme (concencualism)
Asas konsensualisme diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara
kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua pihak. Dengan asas
konsensualisme, perjanjian dikatakan telah lahir jika ada kata sepakat atau
48 Purwahid Patrik, Asas Iktikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 1986, hlm. 3.
49 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1993, hlm. 36.
50 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para
Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm. 47.
35
persesuaian kehendak diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.51
Berdasarkan asas konsensualisme itu, dianut paham bahwa sumber kewajiban
kontraktual adalah bertemunya kehendak (convergence of wills) atau
konsensus para pihak yang membuat kontrak.52
c) Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau yang disebut juga dengan pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Istilah “pacta
sunt servanda” berarti “janji itu mengikat”. Sehingga yang dimaksud dengan
asas ini adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak
mengikat para pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut.
Mengikatnya secara penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut
oleh hukum kekuatannya dianggap sama dengan kekuatan mengikat dari suatu
undang-undang. Oleh sebab itu hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya undang-
undang.
d) Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Makna dari asas ini adalah
bahwa para pihak yang terikat dalam kontrak harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan
baik dan dilarang saling merugikan pihak yang lain atau melanggar ketentuan
yang telah diatur dalam kontrak.
51 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hlm. 27.
52 Ibid, hlm 82.
36
e) Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang
akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan
perseorangan saja. Hal ini diatur dalam Pasal 1315 yang menegaskan: “Pada
umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri” dan Pasal 1340 KUH Perdata yang berbunyi: “perjanjian
hanya berlaku antara para pihak yang membuatnya.” Oleh sebab itu makna dari
asas ini adalah setiap orang yang melakukan perjanjian dengan orang lain
berarti ia melakukan perjanjian dengan dirinya sendiri atau dengan kata lain ia
membuat perjanjian untuk kepentingan dirinya dan orang lain yang membuat
perjanjian tersebut.
Selain asas, di dalam kontrak juga diatur mengenai syarat sahnya sebuah kontrak
yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, diantaranya:
a) Adanya kesepakatan kedua belah pihak;
b) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
c) Adanya obyek atau hal tertentu; dan
d) Kausa yang halal.
b. Aspek Hukum Kontrak Karya
Kontrak karya adalah sistem kontrak yang dipakai pada sektor pertambangan yang
diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967, dimana prinsipnya adalah sama
dengan kontrak pada umumnya. Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari
Bahasa Inggris, yaitu kata contract of work. Kontrak karya merupakan sebuah istilah
perjanjian/kontrak yang dikenal dalam dunia pertambangan.
37
Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan, maka kontrak karya dikonstruksikan
sebagai sebuah perjanjian dimana subjeknya adalah Pemerintah Indonesia dengan
perusahaan swasta asing atau joint venture antara perusahaan asing dan perusahaan
nasional. Sedangkan objek dalam kontrak karya adalah pengusahaan mineral. Dengan
demikian, maka dapat dikemukakan bahwa unsur-unsur yang melekat dalam kontrak
karya, yaitu:
a) Adanya kontraktual, yaitu perjanjian yang dibuat oleh para pihak;
b) Adanya subjek hukum, yaitu Pemerintah Indonesia/Pemerintah Daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota) dengan kontraktor asing semata-mata dan/atau
golongan antara pihak asing dengan pihak Indonesia;
c) Adanya objek, yaitu eksplorasi dan eksploitasi;
d) Dalam bidang pertambangan umum; dan
e) Adanya jangka waktu dalam kontrak.
Kontrak Karya Pertambangan (yang selanjutnya disingkat KKP) merupakan
perjanjian antara pemerintah dan pengusaha pertambangan yang menjadi dasar hukum
bagi pihak pengusaha untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan pertambangan di
Indonesia.53 Dalam kontrak ini, pemerintah Indonesia menjadi principal dan pihak
pengusaha merupakan contractor. Dalam KKP terdapat ketentuan-ketentuan yang
mengatur berbagai hak dan kewajiban kontraktor serta berbagai kemudahan yang dapat
diberikan pemerintah kepada kontraktor untuk melaksanakan kegiatan usahanya.54
Pemberlakuan sistem KKP ini sempat berhasil menarik para investor asing untuk
53 Ari Wahyudi Hertanto, Kontrak Karya (Suatu Kajian Hukum Keperdataan) Jurnal Hukum dan
Pembangunan Tahun ke-38 No.2, 2008, hlm. 204.
54 Joko Susilo dan Adi Prathomo, "Sepenggal Sejarah Perkembangan Pertambangan Indonesia
(Kumpulan Tulisan S. Sigit, \967-2004)", Yayasan Minergy Informasi Indonesia, Jakarta, 2004 hlm. 27.
38
menanamkan modal mereka di sektor pertambangan dikarenakan beberapa hal, antara
lain:55
a) KKP memuat ketentuan yang mencakup praktis segala aspek pelaksanaan
usaha pertambangan;
b) pemerintah memberi perlakuan lex specialis pada KKP, segala ketentuan
dalam kontrak tidak akan diubah oleh peraturan perundangan dikemudian hari,
kecuali dengan kesepakatan kedua belah pihak;
c) dalam melaksanakan kegiatannya, kontraktor mendapat hak berkelanjutan
(conjuctive title) dari satu tahap ke tahap berikutnya, yaitu tahap penyelidikan
umum sampai dengan tahap eksploitasi, pengolahan dan pemasaran;
d) bila timbul sengketa antara principal dan kontraktor yang tidak dapat
diselesaikan secara musyawarah atau kompromi, maka kontraktor berhak
untuk membawa persoalannya ke arbitrase internasional; dan
e) KKP baru dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Presiden sesudah
terlebih dahulu dikonsultasikan dengan (dan disetujui oleh) DPR, dengan
demikian kedudukan KKP secara hukum sangat kuat, boleh dikata hampir
sekuat undang-undang.
Meskipun sempat menaikkan iklim investasi khususnya di sektor pertambangan,
namun pelaksanaan sistem kontrak karya ini harus terhenti di tahun 2009 dikarenakan
beberapa hal dan melahirkan adanya peraturan baru yaitu Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang mengganti sistem
kontrak karya menjadi sistem perizinan.
c. Aspek Hukum Perijinan
Perizinan merupakan salah satu aspek penting yang ada di dalam hukum
pertambangan. Perizinan di dalam kamus istilah hukum, berasal dari kata izin
(vergunning) yang diartikan sebagai perkenaan/izin dari pemerintah yang diisyaratkan
untuk perbuatan yang pada umumnya memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang
pada umumnya tidaklah dianggap sebagai hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.56
55 Ibid, hlm. 28.
56 HR,Ridwan, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm.198.
39
Beberapa ahli memberikan definisi perizinan dengan sudut pandang yang berbeda-beda
antara satu dengan yang lain. Beberapa pengertian perizinan menurut para ahli adalah
sebagai berikut:
a) E.Utrech mengartikan perizinan, bila pembuat peraturan umumnya tidak
melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asal saja
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkret, keputusan
administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut suatu izin
(vergunning).57
b) Bagir Manan mengartikan perizinan sebagai izin dalam arti luas, yang berarti
suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan
untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan tertentu yang
secara umum dilarang.58
c) N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, memberi pengertian izin merupakan suatu
persetujuan dan penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan larangan
perundang-undangan (izin dalam arti sempit).59
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan perizinan adalah bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan atau
pemberian legalitas kepada seseorang atau pelaku usaha/kegiatan tertentu, baik dalam
bentuk izin maupun daftar usaha. Konsep perizinan pada umumnya hampir sama
57 E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta, 1957, hlm. 187.
58 Bagir Manan, Ketentuan-Ketentuan Mengenai Pengaturan Penyelenggaraan Hak Kemerdekaan
Berkumpul Ditinjau dari Perspektif UUD 1945, Jakarta, 1995, hlm. 8.
59 Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Sinar Grafika, Jakarta, 2012 hlm. 77. Mengutip
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Perizinan, Yuridika, Surabaya, 1993 hlm. 2-3.
40
dengan konsep perizinan pada pertambangan. Perizinan dalam sektor pertambangan
dikenal dengan istilah Izin Usaha Pertambangan (IUP).
Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah legalitas pengelolaan dan pengusahaan
bahan galian yang diperuntukkan bagi badan usaha baik swasta nasional, maupun badan
usaha asing, koperasi, dan perseorangan. Adapun jenis izin usaha pertambangan
menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara lebih sederhana dibanding dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan Umum.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara, bahwa usaha pertambangan dilaksanakan dalam
bentuk:
a) Izin Usaha Pertambangan;
b) Izin Pertambangan Rakyat; dan
c) Izin Usaha Pertambangan Khusus.
Secara umum fungsi dari adanya perizinan adalah sebagai sarana pengendalian
dari segala bentuk kegiatan pemerintah terkait ketentuan-ketentuan yang berisi pedoman
yang harus dilaksanakan oleh pihak yang berkepentingan maupun oleh pejabat yang
diberi kewenangan. Tanpa adanya perizinan, maka akan mempersulit atau bahkan
menghambat setiap program atau kegiatan yang akan dilaksanakan. Tujuan dari adanya
perizinan dapat dilihat dari dua sisi yaitu:60
a) Dari sisi pemerintah, tujuan pemberian izin adalah sebagai berikut:
i. Untuk melaksanakan peraturan
60 Adrian Sutedi, Hukum Perizinan Dalam Sektor Pelayanan Publik, Sinar Grafika, Jakarta, 2011,
hlm. 200.
41
Dalam hal ini maksudnya adalah apakah ketentuan-ketentuan yang termuat
dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam praktiknya atau
tidak dan sekalipun untuk mengatur ketertiban.
ii. Sebagai sumber pendapatan daerah
Dengan adanya permintaan permohonan izin, maka secara langsung
pendapatan pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang
dikeluarkan pemohon harus membayar retribusi dahulu. Semakin banyak
pula pendapatan di bidang retribusi tujuan akhirnya yaitu untuk membiayai
pembangunan.
b) Dari sisi masyarakat, tujuan pemberian izin adalah sebagai berikut:
i. Menjamin adanya kepastian hukum;
ii. Menjamin adanya kepastian hak;
iii. Untuk mendapatkan fasilitas setelah bangunan yang didirikan mempunyai
izin
Dengan pemberlakuan adanya sistem perizinan memberikan kesejahteraan bagi
masyarakat karena pemerintah langsung yang mengelola sistem pertambangan
Indonesia. Dengan mengikatkan tindakan-tindakan pada suatu sistem perizinan,
pembuatan undang-undang dapat mengejar berbagai tujuan dari izin. Dengan demikian,
ketertiban dan kenyamanan dapat tercipta dalam setiap aktivitas penyelenggaraan
negara di berbagai sektor kehidupan terutama pada sektor pertambangan.