bab ii kajian teoretik, kajian normatif, dan ......bab ii kajian teoretik, kajian normatif, dan...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN
PEMBAHASAN
I. KAJIAN TEORETIK
1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA
a. Teori Imanuel Kant
Imanuel Kant adalah seorang filsuf bangsa jerman, hidup antara tahun 1724-
1804. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Mataphysische Afangsrunde”
(Ajaran Metafisika dalam Hukum).1
Menurut Imanuel Kant; “manusia dilahirkan sederajat dan segala kehendak,
kemauan dalam masyarakat negara harus melalui dan didasarkan dengan undang-
undang”, peraturan-peraturan hukum harus pula dirumuskan dan harus menjadi
dasar pelaksana pemerintahan, Di samping itu ia memandang bahwa perlu adanya
pemisahan kekuasaaan, seperti diajarkan oleh Montesquieu (Kekuasaan Legislatif,
Eksekutif, dan Yudisial ). Dalam kepustakaan dikatakan bahwa Imanuel Kant lah
yang member nama ajaran Montesquieu tentang “pemisahan kekuasaan”
(separation of power) itu dengan nama “Trias Politika”. Jadi tujuan negara menurut
Imanuel Kant adalah: menegakan hak-hak dan kebebasan warga negara atau
kemerdekaan individu. Untuk menjamin kebebasan individu berupa jaminan
perlindungan HAM harus diadakan pemisahan kekuasaan seperti Trias Politika.2
b. Teori Mac Iver
1 Atmadja, I Dewa Gede, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep dan Kajian Kenegaraan, Penerbit Setara
Press, Malang, 2012, h.53.
2
Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.53-54.
Pendapat Mac Iver dapat dibaca dalam dua buah bukunya, yaitu: “Modern
State” dan “Web of Government”. Dalam bukunya “Modern State”,
mengemukakan bahwa, fungsi negara adalah ditinjau dari segi intern, artinya
dilihat menurut kebutuhan negara itu sendiri. Ia mengatakan fungsi negara dilihat
dari kepentingan intern, mencakup:3
1). Memelihara ketertiban dan menghormati kepribadian warga negara yang
merupakan tugas negara secara positif maupun negatif. Tugas negara secara
positif artinya negara melindungi dan mensejahterakan warga negaranya,
sedangkan tugas negara yang negative artinya negara mempunyai wewenang
menindak, menhjukum setiap orang yang melanggar aturan hukum.
2). Perlindungan, fungsi ini perlu diperluas untuk perkembangan (development)
dan konservasi (conservation). Melalui fungsi perlindungan yang mencakup
pengembangan dan koservasi atau pelestarian, dan apabila negara dan aparatnya
menjalankan fungsi ini dengan baik, maka akan dapat dinikmati oleh generasi
yang akan datang. Misalnya pelestarian sumber-sumber alam, seperti
pemeliharaan hutan-hutan, pemeliharaan sumber sumber mineral, pemeliharaan
kekakayaan laut, sehingga generasi yang akan dating dapat memanfaatkan warisan
berupa “kekayaan alam”.
2. TEORI HUBUNGAN NEGARA DAN HUKUM
Dengan mengelaborasi pandangan G.W Paton tersebut, dapat dirinci bahwa
ketiga teori hukum hubungan antara negara dan hukum dengan merujuk pandangan
pakar hukum, sebagai berikut:4
3 Ibid, h.56. 4 Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.195-196.
- Teori analisis (John Austin) yang merumuskan hukum perintah penguasa yang
berdaulat (Law as sovereign command). Penguasa yang berdaulatlah yang
membentuk hukum, dan ia tidak tunduk atau tidak terikat oleh hukum, hanya
masyarakat yang terikat kepada hukum. Jadi, negara lebih tinggi (superior), diatas
hukum. Teori analitis dari John Austin memberikan dasar pada ajaran kedaulatan
negara.
- Teori kedaulatan hukum (Krabbe) merumuskan bahwa hukum tidak diciptakan
oleh negara, tetapi hukum lahir dari kesadaran hukum yang bersumber pada
perasaan hukum individu-individu. Begitu pula pandangan Von Jhering dengan
political argument-nya, dengan Jelinek melalui theory of atolimitaion atau
zelbbindoengtheorie, yang mengharuskan penguasa negara lembaga negara
mengikatkan diri dan tunduk kepada aturan hukum secara sukarela (lihat Abdoel
Gani; 1984: 159).
Dengan demikian hubungan negara dan hukum tidak dapat dipisahkan, negara
menciptakan hukum tetapi kekuasaan pemerintah juga dibatasi oleh hukum, hukum
memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara, seperti
kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan bertempat tinggal, dan jaminan akan
kepastian hukum.5
3. TEORI HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA
Dalam sebuah negara, keberadaan agama sangat melekat kuat pada
masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam suatu negara bisa terdapat beberapa agama
yang diakui secara nasional. Seperti halnya Indonesia, Indonesia saat ini telah
mengakui lima (5) agama secara nasional, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
5 Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.198.
dan Budha. Dan satu (1) agama lagi yang baru saja diakui di Indonesia, yaitu Kong
Hu Chu.
Dalam teori theokrasi, disebutkan bahwa urusan negara tidak dapat
dipisahkan dari urusan keagamaan. Negara berdasarkan atas ketuhanan menurut
suatu agama tertentu. Negara selalu mengatur urusan agama dan mewajibkan warga
negara untuk melaksanakannya. Negara diatur oleh syariat agama (negara agama).
Konsep negara dan agama tersebut teraplikasi dalam konsep Tahta Suci Vatikan
(Soeswoto, 1996:11). R Kranenburg mengemukakan bahwa ada beberapa
akademisi, rohaniawan gereja, dan negarawan yang memandang hubungan antara
agama dan negara secara berbeda.6
Menurut pandangan John Locke, antara lain, “manusia, sejak dilahirkan
mempunyai kebebasan dan hak-hak kodrati yang ditakdirkan oleh alam, yakni hak
hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak milik (property). Tujuan membentuk
negara adalah untuk melindungi hak-hak kodrati (HAM). Oleh karena itu,
kekuasaan negara tidak boleh melanggar hak-hak kodrati. Kekuasaan negara harus
menjamin kebebasan beragama, kekuasaan negara tidak dipergunakan untuk
memeluk suatu agama” (Azhary; op.cit.;:121).7
Mahatma Gandhi berpendapat bahwa “semua agama, sekalipun berbeda dalam
banyak hal, seperti doktrin, sistem hukum, sistem moral bahkan dalam tujuan
akhirnya, tetapi relasinya dengan negara adalah sederajat. Bila satu agama dijadikan
dasar negara atau dijadikan agama negara, maka yang diskriminatif terhadap
agama-agama lain”.8
6
Ibid, h.178.
7 Ibid, h.189.
8 Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.191.
Salah satu hubungan antara negara dan agama yang paling terlihat nyata
adalah dalam bidang perkawinan. Negara memegang peranan penting terutama
terkait dengan pembentukan regulasi/peraturan dalam bidang perkawinan.
Pembentukan regulasi/peraturan ini dilakukan oleh pemerintah yaitu pemegang
kekuasaan legislatif bersama dengan eksekutif (DPR dan Presiden) dan produk
regulasi yang telah diciptakan pemerintah yaitu UU Perkawinan pada tahun 1974.
Sementara pemerintah yang memegang kekuasaan yudikatif (MK dan MA)
berperan dalam melaksanakan fungsi peradilan terkait dengan berbagai
permasalahan yang muncul seiring keberadaan UU Perkawinan sebagai norma
acuan bagi warga negara Indonesia apabila hendak melangsungkan perkawinan di
wilayah NKRI.
II. KAJIAN NORMATIF
1. FUNGSI NEGARA MENURUT UUD 1945
Dalam alinea ketiga pembukaan (preambule) UUD 1945 secara tersirat tertulis
bahwa negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarjan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.9
Ketentuan tersebutlah yang dapat ditarik sebagai fungsi negara yaitu untuk
melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang
kemudian diturunkan kedalam ketentuan Pasal yang terdapat dalam UUD 1945.
Namun, fungsi negara yang paling utama adalah terkait dengan perlindungan
9
Pembukaan UUD 1945.
terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam Bab XA Pasal 28 bagian a sampai
bagian j. Dan ketentuan Pasal 28B yang berbunyi:
(1) setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan perkawinan yang
sah.
(2) setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Seharusnya menjadi tonggak bagi negara dalam menjalankan fungsinya yaitu
menjamin perindungan HAM warga negara Indonesia dalam bidang
perkawinan.
2. CAKUPAN HAM DALAM DUHAM
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum
untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar
setiap orang dan setiap badan di masyarakat.10
Deklarasi ini juga berusaha untuk mengajarkan dan memberikan
pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-
kebebasan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional
maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatan yang universal
dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun
oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada dibawah wilayah kekuasaan
hukum mereka.11
10
Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, h.2.
11
Ibid
Beberapa ketentuan yang terdapat didalam DUHAM diantaranya
sebagai berikut:12
- Pasal 1
Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang
sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama
lain dalam persaudaraan.
- Pasal 2
Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di
dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaaan
ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal
usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan
lain.
Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik,
hukum, atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang
berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah
perwalian, jajahan atau yang berada dibawah batasan kedaulatan yang lain.
- Pasal 6
Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di
mana saja ia berada.
- Pasal 16
12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, h.2-4.
(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi
kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk
membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal
pekawinan, didalam masa perkawinan dan di saat perceraian.
(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan
persetujuan penuh oleh kedua mempelai.
(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan
berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.
3. KONSEP PERKAWINAN MENURUT UU PERKAWINAN
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) adalah hasil
suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional. Ia merupakan produk hukum
yang memberikan produk nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaaan dan
kebudayaan “bhineka tunggal ika”. Dan ia juga merupakan unifikasi yang unik
dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan
kepercayaannya itu.13
UU Perkawinan secara resmi mulai berlaku pada tanggal diundangkan,
yaitu tanggal 2 Januari 1974, namun mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1
Oktober 1975. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa undang-undang
ini berlaku untuk semua warga negara dan seluruh wilayah Indonesia. Di
samping itu, undang-undang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan
13 Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas, Jakarta,
1986, h.1-2.
dan telah berlaku bagi golongan dalam masyarakat kita dan sekaligus juga telah
meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional.14
Dalam Undang-undang ini perkawinan dibatasi dengan baik sebagai
“ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri
dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.15
Dan untuk sampai kepada sahnya
suatu perkawinan, Undang-undang menentukan harus menurut hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu.16
Pandangan ini sejalan dengan sifat
religius dari bangsa Indonesia yang terealisasikan dalam kehidupan beragama
dan bernegara.17
4. PERATURAN PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT HUKUM
KOLONIAL
Peraturan Perkawinan Campuran atau dalam bahasa aslinya Regeling
op de Gemengde Huwelijken (6HR) adalah produk hukum kolonial, yang
setelah kemerdekaan masih langsung berlaku bagi bangsa Indonesia
berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan ini dibuat untuk
mengatasi terjadinya banyak perkawinan antara orang-orang yang tunduk pada
hukum-hukum yang berlainan.18
14 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986, h.16-17.
15
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974.
16 Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974.
17 Asmin, Op.Cit., h.20.
18
Hasbullah Bakri, Pengaturan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam, Penerbit Bulan Bintang,
Jakarta, 1970, h.30-31.
Menurut peraturan ini yang dinamakan perkawinan campuran ialah
perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang
berlainan (Ps.1). hukum yang berlainan itu dapat terjadi karena disebabkan oleh
perbedaan ke-warganegaraannya, perbedaan agamanya atau perbedaan asalnya
(keturunan).19
Menurut peraturan ini juga dusebutkan bahwa perbedaan-
perbedaan tersebut sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap
perkawinan.20
Pelaksanaan perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang
berlaku terhadap suaminya, dengan tidak mengurangi persetujuan suami-istri
seperti yang diisyaratkan.tetapi bila hukum suaminya itu tidak mengharuskan
oleh siapa atau dihadapan siapa pelaksanaan perkawinan itu dilakukan, maka
pelaksanaan perkawinan itu harus dilakukan dihadapan kepala suku dari suami
atau wakilnya yang sah, dan bila kepala itu tidak ada, dihadapan kepala bagian
kota, kepala desa atau kampung tempat pelaksanaan (Ps.6) perkawinan itu.21
Perkawinan tidak dapat di langsungkan sebelum terbukti hal-hal yang
mengenai diri istri telah dipenuhi, yakni peraturan-peraturan atau persyaratan-
persyaratan hukum yang berlaku terhadapnya (Ps.7). Apabila persyaratan-
persyaratan tersebut tidak dapat diperoleh karena adanya penolakan dari pihak
yang berwenang, maka atas permohonan pihak istri atau orang-orang yang
berkepentingan, hakim dapat memutuskan apakah penolakan itu beralasan atau
19 Asmin, Op.Cit., h.79.
20
Ibid, h.80.
21
Asmin, Op.Cit., h.80.
tidak; jika tidak maka keputusan hakim itu dapat sebagai pengganti surat
keterangan yang dimaksud.22
Demikian isi pokok-pokok peraturan perkawinan campuran, yang
dalam praktiknya ternyata mengundang berbagai persoalan terutama mengenai
perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama. Surat-surat keterangan
yang dibutuhkan oleh calon istri untuk persyaratan perkawinan campuran
ternyata tidak mudah untuk mendapatkannya. Misalnya bila seorang perempuan
Islam hendak kawin dengan laki-laki non Islam, biasanya petugas pencatat
nikah bagi orang Islam (penghulu) setempat sangat keberatan untuk
mengeluarkan surat keterangan yang dibutuhkan calon istri tersebut. Sebab bila
petugas itu mengijinkan, dianggap ia telah memberikan izin perkawinan yang
oleh agama Islam dilarang. Dalam hal demikian, biasanya akan berlanjut ke
pengadilan, dan pada umumnya hakim pengadilan membenarkan calon
mempelai. Dengan demikian tidak ada halangan bagi calon mempelai tersebut
melaksanakan perkawinan campuran. Namun perkawinan demikian seringkali
menimbulkan polemik berkepanjangan, dan bahkan menimbulkan protes keras
dikalangan umat Islam.23
III. PEMBAHASAN
1. Keabsahan Perkawinan Menurut UU Perkawinan
Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila semua syarat-syarat yang telah
ditetapkan dalam UU Perkawinan dapat terpenuhi secara kumulatif. Artinya apabila
salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak dapat
dikatakan sebagai suatu perkawinan yang sah.
22 Ibid.
23
Asmin, Op.Cit., h.81.
Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan meliputi syarat
materiil maupun formil. Syarat-syarat materiil yaitu syarat-syarat yang mengenai
diri pribadi calon mempelai; sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-
formalitas atau tatacara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat
dilangsungkannya perkawinan. Syarat materiil itu sendiri ada yang berlaku untuk
semua perkawinan (umum) dan ada yang berlaku hanya untuk perkawinan tertentu
saja.24
a. Syarat-syarat materiil yang berlaku umum25
Syarat-syarat yang termasuk ke dalam kelompok ini diatur dalam pasal dan
mengenai hal sebagai berikut:
1.) Pasal 6 ayat (1); harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai;
2.) Pasal 7 ayat (1); usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan
wanita sudah mencapai 16 tahun;
3.) Pasal 9; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain (kecuali dalam
hal yang diijinkan oleh Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4);
4.) Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975;
mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus
perkawinannya, yaitu:
- 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian.
- 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia
masih berdatang bulan.
- Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan kelamin.
24
Asmin, Op.Cit., h.22.
25 Ibid, h.22-23.
- Penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan
pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu
perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena
kematian.
Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ke-tidakwenangan
untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya suatu perkawinan.
b. Syarat Materiil yang Berlaku Khusus26
Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi
hal-hal sebagai berikut:
1.) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang diatur dalam Pasal
8, Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.1/1974, yaitu mengenai larangan
perkawinan antara dua orang yang:
a.) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun
ke atas;
b.) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping;
c.) Berhubungan semenda;
d.) Berhubungan susuan;
e.) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari
seorang;
f.) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin;
26 Asmin, Op.Cit., h.23-24.
g.) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal
tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4. (Pasal 9).
h.) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain
(Pasal 10).
2.) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21
Tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal, ijin dapat diperoleh
dari orang tua yang masih hidup; bila itupun tidak ada, dari wali, orang
yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah
dalam garis keturunan lurus ke atas; atau bisa juga ijin dari pengadilan,
bila orang-orang tersebut tidak ada atau tidak mungkin diminta ijinnya
(Pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (5) ).
Mengenai syarat “persetujuan kedua calon mempelai” dan syarat harus
adanya “ijin kedua orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun”
sebagaimana diatur oleh Pasal 6, berlaku sepanjang hukum masing-
masing agama dan ke-percayaannya itu dari yang bersangkutan tidak
menentukan lain. Jadi, syarat-syarat perkawinan sebagai yang diatur
dalam Pasal 6 itu berlaku sebagai “lex generalis” terhadap syarat
perkawinan menurut hukum agama sebagai “lex specialis” nya.
c. Syarat-Syarat Formil27
Syarat-syarat formil ini meliputi:
1.) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada
pegawai pencatat perkawinan;
27
Asmin, Op.Cit., h.24.
2.) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan;
3.) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan
kepercayaannya masing-masing;
4.) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Dari ketentuan-ketentuan diatas, jelaslah betapa besarnya peranan hukum agama
dalam menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Kita melihat pula adanya
hubungan saling melengkapi antara Undang-Undang Perkawinan Nasional dengan
hukum perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi, UU Perkawinan
merupakan pedoman dasar yang harus ditaati oleh warga negara dalam
melangsungkan perkawinan yang sah di wilayah Indonesia.
2. Politik Hukum Pembentukan UU Perkawinan
Jika dilihat kembali proses pembentukan UU Perkawinan, terlihat betapa
rumitnya proses kelahiran UU tersebut. Selama masa persidangan, banyak kritik,
pendapat, dan harapan yang disampaikan oleh masyarakat kepada DPR, baik
dilakukan melalui tulisan-tulisan di media massa. Polemik yang muncul pada garis
besarnya berputar pada persoalan-persoalan kepastian hukum dan perlindungan
terhadap hak-hak kaum wanita.
Sebenarnya usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan itu
sudah ada sejak lama, yakni sejak dibentuknya Panitia Penyelidik Hukum
Perkawinan, Talak, dan Rujuk (Panitia NTR) pada tahun 1950.28
Bahkan sebelum
bangsa Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda pernah mengajukan rencana
pendahuluan Ordonansi Perkawinan yang tercatat (tahun 1937) yang berlaku bagi
orang Indonesia dan Timur Asing Bukan Tionghoa.29
Namun, semua usaha tersebut
28 Arso Sastro Atmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1981, h.9.
29
Maria Ulfah, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Penerbit Idayu, Jakarta,
1981,h.10.
baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan selalu saja mengalami
kegagalan. Upaya kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan baru terwujud pada
tahun 1974, yaitu dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 1974, yaitu dengan
diundangkannya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa undang-undang ini berlaku
untuk semua warga negara dan seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu, undang-
undang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan
hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi
golongan dalam masyarakat kita dan sekaligus juga telah meletakkan asas-asas
hukum perkawinan nasional.30
Jadi, dapat disimpulkan bahwa politik hukum dari
pembentukan UU Perkawinan ini adalah untuk menyeragamkan regulasi tentang
Perkawinan ditengah keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.
3. Perbedaan Agama Bukan Sebagai Penghalang Perkawinan
Menurut RUU Perkawinan tahun 1973 seperti disebut dalam Pasal 11 ayat (2),
perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, agama/kepercayaan, dan
keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.
Kalau ketentuan ini dibandingkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR
(Peraturan Perkawinan Campuran) S.1898 No.158 seperti yang disebut dalam Bab
II di atas, maka sebenarnya ketentuan yang menyebut bahwa perbedaan agama
bukan sebagai penghalang perkawinan itu bukan merupakan hal yang baru, karena
dalam Pasal 7 ayat (2) GHR juga disebut demikian, yaitu perbedaan agama,
bangsa/asal, sama sekali bukan penghalang perkawinan.31
30
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986, h.16-17.
31
Taufiqurrohman Syauhuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta,
2013,h.112-113.
Dimasukkannya kembali ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR itu dalam RUU
Perkawinan itu, menyebabkan terjadinya perubahan pada pengertian perkawinan
antara orang-orang berbeda agama termasuk dalam pengertian perkawinan
campuran, maka sekarang, menurut RUU Perkawinan 1973, perkawinan demikian
bukan termasuk dalam perkawinan campuran, sebab RUU Perkawinan 1973
sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 64, hanya mengenal istilah
perkawinan campuran karena perbedaan kewarganegaraan.32
Jadi, berdasarkan beberapa alasan yang telah dikemukakan diatas, seharusnya
perbedaan agama/kepercayaan bukanlah menjadi penghalang bagi warga negara
untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk suatu keluarga.
4. Keabsahan Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Fungsi Negara
Konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi acuan dalam pembentukan
peraturan lain dibawahnya, termasuk pengaturan terkait dengan perkawinan. Salah
satu peraturan yang sudah terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
(UU Perkawinan).
Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal II Aturan Peralihan ditegaskan:
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
belum diadakan sistem hukum yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Makna yang tersirat dalam ketentuan tersebut adalah segala badan negara dan
sistem hukum atau peraturan hukum yang ada dan pernah berlaku pada masa
kolonial, masih bisa berlaku terus di negara Indonesia, dengan catatan, berlakunya
itu tidak untuk selamanya, melainkan hanya untuk sementara waktu, yakni selama
32 Ibid., h.113.
belum diadakan badan negara dan sistem hukum atau peraturan hukum yang baru
menurut UUD 1945.33
Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa perkawinan yang dilakukan antar
agama seharusnya tetap dapat dilakukan. Di dalam hukum adat, perkawinan itu
disamping harus dilakukan menurut tatacara dan syarat-syarat yang berlaku pada
masyarakat tersebut, juga pengesahannya dilakukan menurut hukum agama dan
kepercayaan dari masyarakat yang bersangkutan.34
Salah satu putusan yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait
dengan perkawinan antar agama yaitu pada tanggal 16 Februari 1955.35
Dalam hal
seorang anak perempuan yang beragama Islam akan menikah dengan laki-laki
beragama Kristen, berlakulah peraturan tentang Perkawinan Campuran dari
Staatsblad 1898-158, yang dalam Pasal 7 ayat (3) menentukan bahwa dalam hal ini
harus ada keterangan dari Kepala Kantor Urusan Agama ditempat, bahwa tiada
halangan untuk perkawinan itu.
Setelah memahami duduk perkara dalam putusan MA diatas, maka dapat
disimpulkan alasan hukum yang terkandung didalamnya yaitu negara ini dari
dahulu sampai sekarang didiami oleh orang-orang yang berlainan agama dan kultur
dan oleh karena itu berlainan hukum perkawinan, sementara Konstitusi
menetapakan tentang kebebasan bagi warga negara untuk memeluk agama dan
kepercayaan yang diyakininya. Selain itu, pengesahan perkawinan beda agama
juga diperlukan agar tidak memperbanyak anak-anak yang tidak mempunyai orang
tua yang sah menurut hukum, yang karena selain itu dari tidak terjamin hak nya atas
33
Taufiurrohman Syauhuri, Op.Cit., h.83.
34Asmin, Op.Cit., h.11.
35Gautama, Sudargo, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, Penerbit Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996,h.363-369.
pemeliharaan warisan, terutama selama hidupnya mungkin sekali akan menderita
penghinaan dalam pergaulannya.
Dalam peraturan perkawinan campuran, dalam pasal 6 ayat (1) dengan tegas
disebutkan bahwa “perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku
bagi pihak laki-laki, yang berarti bahwa bila perbuatan itu dipengaruhi oleh hukum
agama-menurut keadaannya masing-masing pada satu waktu satu hukum agama
yang tertentu dilakukan dan pada waktu lain hukum agama lain.”
Sehingga, bentuk penolakan yang berkaitan dengan perbedaan agama,
nasionalitas, atau keturunan (Pasal 7 ayat (2)) tidak diperbolehkan. Dengan kata
lain, peraturan yang telah berlaku pada saat itu me-legal-kan perkawinan beda
agama karena dipandang memiliki tujuan yang baik. Ketentuan yang mengesahkan
perkawinan beda agama juga tidak melanggar HAM dari warga negara, melainkan
untuk kepentingan dari anak-anak yang terlahir dari perkawinan beda agama agar
mendapatkan status kedudukan yang sah dimata hukum.
Putusan MA selanjutnya dikeluarkan dengan Putusan Nomor
421/Pdt.P/2013/PN.Ska yang dikeluarkan pada tanggal 29 Agustus 2013. Putusan
MA ini merupakan penetapan atas perkara perkawinan beda agama dengan pihak
pemohon seorang wanita bernama Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik
dengan seorang laki-laki bernama Nugroho Endro Prastowo yang beragama
Kristen. Pengajuan permohonan ke MA didasarkan pada adanya penolakan dari
Pengadilan Negeri Surakarta dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil terhadap
pendaftaran perkawinan yang hendak dilakukan oleh para pihak pemohon.
Pertimbangan hukum terkait dengan perkara diatas diantaranya yaitu:
Pemohon I Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik dan Pemohon II Nugroho
Endro Prastowo yang beragama Kristen yang masing-masing tidak berniat untuk
melepaskan keyakinan agamanya.
Selanjutnya, dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan ayat
(2) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila sudah dilakukan menurut
tata cara hukum agamanya dan kepercayaannya itu dan kemudian dicatat oleh
instansi yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
sedangkan dalam Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975 pasal 10 ayat (2)
menyatakan bahwa UU Perkawinan hanya berlaku bagi perkawinan antara 2 orang
yang sama agamanya.
Regulasi lainnya yang terkait dengan perkara ini yaitu didalam Undang
Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1)
menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan
melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang
bebas. Hal ini tentunya didasari tujuan untuk melindungi HAM warga negara dan
untuk menutupi kekosongan hukum karena belum adanya pengaturan yang secara
rinci mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan serta
untuk menghindari adanya penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama.
Pertimbangan lainnya juga didasarkan pada Putusan MA sebelumnya, yaitu
Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989 yang mengabulkan
permohonan kasasi tentang ijin perkawinan beda agama.
Berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dikemukakan diatas, maka
sangat tidak manusiawi apabila permohonan Para Pemohon yang telah
menunjukkan itikad baik untuk melangsungkan perkawinan harus ditolak hanya
dengan alasan tidak ada hukum /undang-undang yang mengatur tentang
perkawinan beda agama. Sejatinya, perkawinan antar agama secara obyektif
sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi mengingat letak
geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara
sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis bilamana perkawinan beda
agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-
undang.
Putusan MA lainnya terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama, yaitu
melalui Putusan Nomor 3/Pdt.P/2015/PN.Llg yang dikeluarkan pada tanggal 27
Februari 2015 yang merupakan pelimpahan dari Pengadilan Negeri Lubuk
Linggau. Dalam putusan ini tercatat perkara terkait perkawinan beda agama antara
seorang laki-laki yang beragama Budha dengan seorang perempuan yang beragama
Katholik. Tercatat bahwa para pemohon bernama Irawan Wijaya dan Claramitha
Joan yang berkedudukan sebagai Pemohon I dan Pemohon II.
Dalam duduk perkara yang terlampir, dinyatakan bahwa pihak Pemohon I dan
Pemohon II sebelumnya telah melaksanakan perkawinan disebuah Vihara. Dalam
putusan ini juga menetapkan bahwa perkawinan keduanya dapat disahkan menurut
hukum yang berlaku. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan hakim yang
memutus perkara ini, dimana hakim ini bertindak sebagai hakim tunggal, yaitu
Agus Windhana,SH.
Alasan hukum yang dapat disimpulkan berdasarkan duduk perkara dalam
putusan ini yaitu dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
maupun dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 9
tahun 1975 tidak ditemukan aturan yang tegas mengatur mengenai perkawinan
beda agama.
Selanjutnya, perkawinan yang terjadi diantara 2 orang yang berlainan status
agamanya hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf a Undang-undang nomor
23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,dimana dalam penjelasan pasal
35 huruf a ditegaskan kalau yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan
pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.
Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan
perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974 Jo Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975 ditegaskan bila suatu perkawinan sah dilakukan menurut agama dan
kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) undang-Undang
nomor 1 Tahun 1974 tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan
diantara 2 orang yang sama agama dan keyakinannya. Perkawinan beda agama
merupakan keadaan dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan sudah
merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum
agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan
beragama.
Disisi lain, dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 menentukan bahwa seluruh
warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, tercakup di dalamnya
kesamaan hak asasi untuk melangsungkan perkawinan dengan sesama warga
Negara sekalipun berlainan agama, sedangkan Pasal 29 UUD 1945 mengatur
bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya
masing-masing. Selain itu, di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1), (2) pada pokoknya mengatur bahwa setiap
orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan
yang dilangsungkan atas kehendak bebas sesuai dengan ketentuan undang-undang.
Jadi, Berdasarkan beberapa putusan yang telah dikemukakan diatas, putusan MA
tersebut memiliki banyak kesamaan, salah satunya adalah terkait dengan putusan hakim
yang seluruhnya menerima permohonan dari pihak pemohon agar dapat mencatatkan
pernikahan beda agamanya di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar diakui
oleh negara.
Dasar pertimbangan hakim yang memutus perkara perkawinan beda agama pun juga
hampir seluruhnya sama yaitu untuk melindungi HAM warga negara seperti terdapat
didalam Undang Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM),
Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas
kehendak yang bebas. Selain didasari tujuan untuk melindungi HAM warga negara
dan untuk menutupi kekosongan hukum karena belum adanya pengaturan yang
secara rinci mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan
serta untuk menghindari adanya penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama.
Pada dasarnya, perkawinan merupakan suatu tindakan yang dilandasi dengan
itikad baik, sehingga berbagai perbedaan yang menjadi halangan bagi terjadinya
perkawinan dapat diatasi. Terlebih jika penghalang yang ada berkaitan dengan hal
yang prinsipil dan menyangkut keyakinan atau kepercayaan yang tidak bisa
dipaksakan, yaitu perbedaan agama.
Perkawinan beda agama sesungguhnya sangat wajar terjadi mengingat letak
geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara
sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis apabila perkawinan beda
agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-
undang.
Substansi yang terdapat dalam UU Perkawinan yang ada saat ini sudah tidak
sesuai dengan berbagai permasalahan yang muncul dalam Perkawinan, terutama
terkait dengan Perkawinan beda agama. Jadi, seharusnya negara segera
memperbarui pengaturan terkait penikahan beda agama, bukan dengan melarang
perkawinan beda agama. Karena jika ditarik kembali kepada Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945, selama belum ada substansi yang mengatur perkawinan beda
agama dalam UU Perkawinan saat ini.
Dengan hadirnya Putusan MA, dapat dilihat bahwa MA telah mengambil
sikap tegas dalam mengatasi masalah terkait dengan perkawinan beda agama yang
terjadi, yaitu dengan mengabulkan permohonan para pemohon agar perkawinan
beda agama dapat dicatatkan dan disahkan dimata negara dan hukum.
Dalam hal ini dapat dilihat bahwa negara juga turut campur tangan /intervensi
terkait dengan problematika perkawinan beda agama di Indonesia. Campur tangan
negara terlihat dari sikap yang diambil oleh Lembaga Negara, terutama Lembaga
Negara Yudikatif yaitu MA dan MK yang bertugas untuk menjalankan fungsi
peradilan dan mengeluarkan produk hukum berupa putusan yang memiliki
kekuatan hukum tetap dan dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang
sama di masa mendatang.
5. Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat UUD 1945
Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi
tanggal 16 Juli 2014 yang kemudian diperbaiki pada tanggal 17 September 2014.
Permohonan pengajuan uji materi UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
dengan UUD 1945. Permohonan ini diajukan oleh tiga (3) orang pemohon yaitu:
Damian Agata Yuvens (Konsultan Hukum), Rangga Sujud Widigda (Konsultan
Hukum), dan Anbar Jayadi (Mahasiswa).
Dalam latar belakang pengajuan permohonan, dalam angka ke tiga (3) dan
empat (4) secara garis besar dinyatakan bahwa ada implikasi pada tidak sahnya
perkawinan yang dilakukan diluar penafsiran negara atas masing-masing agama dan
kepercayaannya. Atau dengan kata lain negara “memaksa” agar setiap warga
negaranya untuk tunduk tunduk kepada suatu penafsiran yang dianut negara atas
masing-masing agama/kepercayaannya. Serta pengaturan ini menyebabkan ke-
tidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan di
Indonesia, karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung
pada interpretasi negara.
Putusan yang dikeluarkan oleh ke sembilan (9) hakim konstitusi menyatakan
bahwa menolak permohonan para pemohon. Pendapat Mahkamah terlihat pada poin
[3.12.3] atau pada halaman ke 151 yang menyatakan bahwa: “….. Menurut
Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib
tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan maksud semata-mata untuk
menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD I945 serta telah pula dapat menampung
segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.”
Jika Pendapat Mahkamah ini dibandingkan dengan substansi yang terdapat
dalam UU Perkawinan, maka UU Perkawinan sudah tidak dapat lagi menampung
segala kenyataan hidup yang ada dalam masyarakat, salah satunya belum diaturnya
ketentuan mengenai perkawinan beda agama didalamnya. Sehingga memunculkan
berbagai persoalan terkait dengan keberadaan perkawinan beda agama yang banyak
terjadi di Indonesia. Dan jika ditilik dari segi HAM, UU Perkawinan secara tidak
langsung membatasi dan memaksa warga negaranya untuk melangsungkan
perkawinan hanya dengan sesama agamnya saja. Jadi, Pendapat Mahkamah ini
sangat bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat dan juga
melanggar HAM warga negaranya dalam hal ketentuan untuk melaksanakan
perkawinan.
Pendapat berbeda (concurring opinion) seorang hakim MK yaitu Maria Farida
Indrati, menyatakan bahwa memang benar Undang-Undang a quo telah
menimbulkan berbagai permasalahan khususnya terhadap pelaksanaan perkawinan
beda agama, bahkan menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum karena
ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum negara.
Namun demikian, permohonan para Pemohon agar Mahkamah Konstitusi
menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran
mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-
masing calon mempelai”, adalah tidak beralasan menurut hukum.
Penyelesaian terhadap permasalahan perkawinan beda agama dan
kepercayaannya tidak akan tercapai hanya dengan menambahkan frase “sepanjang
penafsiran mengenai hukum agama dan ke-percayaannya itu diserahkan
kepada masing-masing calon mempelai” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan
akan membuat penafsiran yang lebih bervariasi.
Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Putusan MK
No.68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat Konstitusi terkait dengan
keabsahan perkawinan beda agama dimata negara sesuai dengan ketentuan dalam
UU Perkawinan yang tidak mengatur terkait perkawinan beda agama.
Dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang
berimplikasi pada belum adanya substansi yang mengatur terkait perkawinan beda
agama dalam UU Perkawinan, maka ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya,
seperti hukum kolonial yang masih relevan seharusnya dapat berlaku dan menjadi
dasar pertimbangan bagi negara dalam membuat regulasi terkait perkawinan beda
agama di Indonesia. Dari rumusan tersebut di atas jelas terlihat bahwa pencatatan
perkawinan merupakan faktor yang menentukan sah/tidaknya perkawinan, terlepas
dari persoalan apakah perkawinan itu sendiri dilangsungkan menurut ketentuan
hukum perkawinan masing-masing ataupun dilangsungkan menurut kedua
ketentuan dimaksud, yaitu menurut undang-undang dan menurut hukum
perkawinan masing-masing (hukum adat,hukum islam,HQCI, dan BW). Dengan
begitu, selain perkawinan harus dilakukan di depan pegawai pencatat perkawinan
dan dicatatkan, terdapat tiga pilihan hukum bagi sahnya perkawinan. Ini berarti bagi
orang-orang Islam misalnya, terbuka kemungkinan melangsungkan perkawinan
tanpa menggunakan hukum perkawinan Islam. Pencatatan perkawinan fungsinya
hanyalah sekedar memenuhi kebutuhan administrasi.