bab ii kajian teoretik, kajian normatif, dan ......bab ii kajian teoretik, kajian normatif, dan...

27
BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant Imanuel Kant adalah seorang filsuf bangsa jerman, hidup antara tahun 1724- 1804. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Mataphysische Afangsrunde” (Ajaran Metafisika dalam Hukum). 1 Menurut Imanuel Kant; “manusia dilahirkan sederajat dan segala kehendak, kemauan dalam masyarakat negara harus melalui dan didasarkan dengan undang- undang”, peraturan-peraturan hukum harus pula dirumuskan dan harus menjadi dasar pelaksana pemerintahan, Di samping itu ia memandang bahwa perlu adanya pemisahan kekuasaaan, seperti diajarkan oleh Montesquieu (Kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan Yudisial ). Dalam kepustakaan dikatakan bahwa Imanuel Kant lah yang member nama ajaran Montesquieu tentang “pemisahan kekuasaan” (separation of power) itu dengan nama “Trias Politika”. Jadi tujuan negara menurut Imanuel Kant adalah: menegakan hak-hak dan kebebasan warga negara atau kemerdekaan individu. Untuk menjamin kebebasan individu berupa jaminan perlindungan HAM harus diadakan pemisahan kekuasaan seperti Trias Politika. 2 b. Teori Mac Iver 1 Atmadja, I Dewa Gede, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep dan Kajian Kenegaraan, Penerbit Setara Press, Malang, 2012, h.53. 2 Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.53-54.

Upload: others

Post on 03-Nov-2020

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

BAB II

KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN

PEMBAHASAN

I. KAJIAN TEORETIK

1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA

a. Teori Imanuel Kant

Imanuel Kant adalah seorang filsuf bangsa jerman, hidup antara tahun 1724-

1804. Ia menulis dalam bukunya yang berjudul “Mataphysische Afangsrunde”

(Ajaran Metafisika dalam Hukum).1

Menurut Imanuel Kant; “manusia dilahirkan sederajat dan segala kehendak,

kemauan dalam masyarakat negara harus melalui dan didasarkan dengan undang-

undang”, peraturan-peraturan hukum harus pula dirumuskan dan harus menjadi

dasar pelaksana pemerintahan, Di samping itu ia memandang bahwa perlu adanya

pemisahan kekuasaaan, seperti diajarkan oleh Montesquieu (Kekuasaan Legislatif,

Eksekutif, dan Yudisial ). Dalam kepustakaan dikatakan bahwa Imanuel Kant lah

yang member nama ajaran Montesquieu tentang “pemisahan kekuasaan”

(separation of power) itu dengan nama “Trias Politika”. Jadi tujuan negara menurut

Imanuel Kant adalah: menegakan hak-hak dan kebebasan warga negara atau

kemerdekaan individu. Untuk menjamin kebebasan individu berupa jaminan

perlindungan HAM harus diadakan pemisahan kekuasaan seperti Trias Politika.2

b. Teori Mac Iver

1 Atmadja, I Dewa Gede, Ilmu Negara: Sejarah, Konsep dan Kajian Kenegaraan, Penerbit Setara

Press, Malang, 2012, h.53.

2

Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.53-54.

Page 2: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Pendapat Mac Iver dapat dibaca dalam dua buah bukunya, yaitu: “Modern

State” dan “Web of Government”. Dalam bukunya “Modern State”,

mengemukakan bahwa, fungsi negara adalah ditinjau dari segi intern, artinya

dilihat menurut kebutuhan negara itu sendiri. Ia mengatakan fungsi negara dilihat

dari kepentingan intern, mencakup:3

1). Memelihara ketertiban dan menghormati kepribadian warga negara yang

merupakan tugas negara secara positif maupun negatif. Tugas negara secara

positif artinya negara melindungi dan mensejahterakan warga negaranya,

sedangkan tugas negara yang negative artinya negara mempunyai wewenang

menindak, menhjukum setiap orang yang melanggar aturan hukum.

2). Perlindungan, fungsi ini perlu diperluas untuk perkembangan (development)

dan konservasi (conservation). Melalui fungsi perlindungan yang mencakup

pengembangan dan koservasi atau pelestarian, dan apabila negara dan aparatnya

menjalankan fungsi ini dengan baik, maka akan dapat dinikmati oleh generasi

yang akan datang. Misalnya pelestarian sumber-sumber alam, seperti

pemeliharaan hutan-hutan, pemeliharaan sumber sumber mineral, pemeliharaan

kekakayaan laut, sehingga generasi yang akan dating dapat memanfaatkan warisan

berupa “kekayaan alam”.

2. TEORI HUBUNGAN NEGARA DAN HUKUM

Dengan mengelaborasi pandangan G.W Paton tersebut, dapat dirinci bahwa

ketiga teori hukum hubungan antara negara dan hukum dengan merujuk pandangan

pakar hukum, sebagai berikut:4

3 Ibid, h.56. 4 Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.195-196.

Page 3: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

- Teori analisis (John Austin) yang merumuskan hukum perintah penguasa yang

berdaulat (Law as sovereign command). Penguasa yang berdaulatlah yang

membentuk hukum, dan ia tidak tunduk atau tidak terikat oleh hukum, hanya

masyarakat yang terikat kepada hukum. Jadi, negara lebih tinggi (superior), diatas

hukum. Teori analitis dari John Austin memberikan dasar pada ajaran kedaulatan

negara.

- Teori kedaulatan hukum (Krabbe) merumuskan bahwa hukum tidak diciptakan

oleh negara, tetapi hukum lahir dari kesadaran hukum yang bersumber pada

perasaan hukum individu-individu. Begitu pula pandangan Von Jhering dengan

political argument-nya, dengan Jelinek melalui theory of atolimitaion atau

zelbbindoengtheorie, yang mengharuskan penguasa negara lembaga negara

mengikatkan diri dan tunduk kepada aturan hukum secara sukarela (lihat Abdoel

Gani; 1984: 159).

Dengan demikian hubungan negara dan hukum tidak dapat dipisahkan, negara

menciptakan hukum tetapi kekuasaan pemerintah juga dibatasi oleh hukum, hukum

memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara, seperti

kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan bertempat tinggal, dan jaminan akan

kepastian hukum.5

3. TEORI HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA

Dalam sebuah negara, keberadaan agama sangat melekat kuat pada

masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam suatu negara bisa terdapat beberapa agama

yang diakui secara nasional. Seperti halnya Indonesia, Indonesia saat ini telah

mengakui lima (5) agama secara nasional, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu,

5 Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.198.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

dan Budha. Dan satu (1) agama lagi yang baru saja diakui di Indonesia, yaitu Kong

Hu Chu.

Dalam teori theokrasi, disebutkan bahwa urusan negara tidak dapat

dipisahkan dari urusan keagamaan. Negara berdasarkan atas ketuhanan menurut

suatu agama tertentu. Negara selalu mengatur urusan agama dan mewajibkan warga

negara untuk melaksanakannya. Negara diatur oleh syariat agama (negara agama).

Konsep negara dan agama tersebut teraplikasi dalam konsep Tahta Suci Vatikan

(Soeswoto, 1996:11). R Kranenburg mengemukakan bahwa ada beberapa

akademisi, rohaniawan gereja, dan negarawan yang memandang hubungan antara

agama dan negara secara berbeda.6

Menurut pandangan John Locke, antara lain, “manusia, sejak dilahirkan

mempunyai kebebasan dan hak-hak kodrati yang ditakdirkan oleh alam, yakni hak

hidup (life), kebebasan (liberty), dan hak milik (property). Tujuan membentuk

negara adalah untuk melindungi hak-hak kodrati (HAM). Oleh karena itu,

kekuasaan negara tidak boleh melanggar hak-hak kodrati. Kekuasaan negara harus

menjamin kebebasan beragama, kekuasaan negara tidak dipergunakan untuk

memeluk suatu agama” (Azhary; op.cit.;:121).7

Mahatma Gandhi berpendapat bahwa “semua agama, sekalipun berbeda dalam

banyak hal, seperti doktrin, sistem hukum, sistem moral bahkan dalam tujuan

akhirnya, tetapi relasinya dengan negara adalah sederajat. Bila satu agama dijadikan

dasar negara atau dijadikan agama negara, maka yang diskriminatif terhadap

agama-agama lain”.8

6

Ibid, h.178.

7 Ibid, h.189.

8 Atmadja, I Dewa Gede Op.Cit., h.191.

Page 5: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Salah satu hubungan antara negara dan agama yang paling terlihat nyata

adalah dalam bidang perkawinan. Negara memegang peranan penting terutama

terkait dengan pembentukan regulasi/peraturan dalam bidang perkawinan.

Pembentukan regulasi/peraturan ini dilakukan oleh pemerintah yaitu pemegang

kekuasaan legislatif bersama dengan eksekutif (DPR dan Presiden) dan produk

regulasi yang telah diciptakan pemerintah yaitu UU Perkawinan pada tahun 1974.

Sementara pemerintah yang memegang kekuasaan yudikatif (MK dan MA)

berperan dalam melaksanakan fungsi peradilan terkait dengan berbagai

permasalahan yang muncul seiring keberadaan UU Perkawinan sebagai norma

acuan bagi warga negara Indonesia apabila hendak melangsungkan perkawinan di

wilayah NKRI.

II. KAJIAN NORMATIF

1. FUNGSI NEGARA MENURUT UUD 1945

Dalam alinea ketiga pembukaan (preambule) UUD 1945 secara tersirat tertulis

bahwa negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarjan

kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.9

Ketentuan tersebutlah yang dapat ditarik sebagai fungsi negara yaitu untuk

melindungi seluruh bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang

kemudian diturunkan kedalam ketentuan Pasal yang terdapat dalam UUD 1945.

Namun, fungsi negara yang paling utama adalah terkait dengan perlindungan

9

Pembukaan UUD 1945.

Page 6: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam Bab XA Pasal 28 bagian a sampai

bagian j. Dan ketentuan Pasal 28B yang berbunyi:

(1) setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan perkawinan yang

sah.

(2) setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Seharusnya menjadi tonggak bagi negara dalam menjalankan fungsinya yaitu

menjamin perindungan HAM warga negara Indonesia dalam bidang

perkawinan.

2. CAKUPAN HAM DALAM DUHAM

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum

untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar

setiap orang dan setiap badan di masyarakat.10

Deklarasi ini juga berusaha untuk mengajarkan dan memberikan

pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-

kebebasan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional

maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatan yang universal

dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari negara-negara anggota sendiri maupun

oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada dibawah wilayah kekuasaan

hukum mereka.11

10

Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, h.2.

11

Ibid

Page 7: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Beberapa ketentuan yang terdapat didalam DUHAM diantaranya

sebagai berikut:12

- Pasal 1

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang

sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama

lain dalam persaudaraan.

- Pasal 2

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di

dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaaan

ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal

usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan

lain.

Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik,

hukum, atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang

berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilayah-wilayah

perwalian, jajahan atau yang berada dibawah batasan kedaulatan yang lain.

- Pasal 6

Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di

mana saja ia berada.

- Pasal 16

12 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, h.2-4.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi

kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk

membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal

pekawinan, didalam masa perkawinan dan di saat perceraian.

(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan

persetujuan penuh oleh kedua mempelai.

(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan

berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan negara.

3. KONSEP PERKAWINAN MENURUT UU PERKAWINAN

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan) adalah hasil

suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional. Ia merupakan produk hukum

yang memberikan produk nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaaan dan

kebudayaan “bhineka tunggal ika”. Dan ia juga merupakan unifikasi yang unik

dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan

kepercayaannya itu.13

UU Perkawinan secara resmi mulai berlaku pada tanggal diundangkan,

yaitu tanggal 2 Januari 1974, namun mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1

Oktober 1975. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa undang-undang

ini berlaku untuk semua warga negara dan seluruh wilayah Indonesia. Di

samping itu, undang-undang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan

memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan

13 Hazairin, Tinjauan Mengenai UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, Penerbit Tintamas, Jakarta,

1986, h.1-2.

Page 9: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

dan telah berlaku bagi golongan dalam masyarakat kita dan sekaligus juga telah

meletakkan asas-asas hukum perkawinan nasional.14

Dalam Undang-undang ini perkawinan dibatasi dengan baik sebagai

“ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri

dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.15

Dan untuk sampai kepada sahnya

suatu perkawinan, Undang-undang menentukan harus menurut hukum masing-

masing agama dan kepercayaannya itu.16

Pandangan ini sejalan dengan sifat

religius dari bangsa Indonesia yang terealisasikan dalam kehidupan beragama

dan bernegara.17

4. PERATURAN PERKAWINAN CAMPURAN MENURUT HUKUM

KOLONIAL

Peraturan Perkawinan Campuran atau dalam bahasa aslinya Regeling

op de Gemengde Huwelijken (6HR) adalah produk hukum kolonial, yang

setelah kemerdekaan masih langsung berlaku bagi bangsa Indonesia

berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Peraturan ini dibuat untuk

mengatasi terjadinya banyak perkawinan antara orang-orang yang tunduk pada

hukum-hukum yang berlainan.18

14 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986, h.16-17.

15

Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974.

16 Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974.

17 Asmin, Op.Cit., h.20.

18

Hasbullah Bakri, Pengaturan Undang-Undang Perkawinan Umat Islam, Penerbit Bulan Bintang,

Jakarta, 1970, h.30-31.

Page 10: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Menurut peraturan ini yang dinamakan perkawinan campuran ialah

perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang

berlainan (Ps.1). hukum yang berlainan itu dapat terjadi karena disebabkan oleh

perbedaan ke-warganegaraannya, perbedaan agamanya atau perbedaan asalnya

(keturunan).19

Menurut peraturan ini juga dusebutkan bahwa perbedaan-

perbedaan tersebut sama sekali bukan menjadi penghalang terhadap

perkawinan.20

Pelaksanaan perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang

berlaku terhadap suaminya, dengan tidak mengurangi persetujuan suami-istri

seperti yang diisyaratkan.tetapi bila hukum suaminya itu tidak mengharuskan

oleh siapa atau dihadapan siapa pelaksanaan perkawinan itu dilakukan, maka

pelaksanaan perkawinan itu harus dilakukan dihadapan kepala suku dari suami

atau wakilnya yang sah, dan bila kepala itu tidak ada, dihadapan kepala bagian

kota, kepala desa atau kampung tempat pelaksanaan (Ps.6) perkawinan itu.21

Perkawinan tidak dapat di langsungkan sebelum terbukti hal-hal yang

mengenai diri istri telah dipenuhi, yakni peraturan-peraturan atau persyaratan-

persyaratan hukum yang berlaku terhadapnya (Ps.7). Apabila persyaratan-

persyaratan tersebut tidak dapat diperoleh karena adanya penolakan dari pihak

yang berwenang, maka atas permohonan pihak istri atau orang-orang yang

berkepentingan, hakim dapat memutuskan apakah penolakan itu beralasan atau

19 Asmin, Op.Cit., h.79.

20

Ibid, h.80.

21

Asmin, Op.Cit., h.80.

Page 11: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

tidak; jika tidak maka keputusan hakim itu dapat sebagai pengganti surat

keterangan yang dimaksud.22

Demikian isi pokok-pokok peraturan perkawinan campuran, yang

dalam praktiknya ternyata mengundang berbagai persoalan terutama mengenai

perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama. Surat-surat keterangan

yang dibutuhkan oleh calon istri untuk persyaratan perkawinan campuran

ternyata tidak mudah untuk mendapatkannya. Misalnya bila seorang perempuan

Islam hendak kawin dengan laki-laki non Islam, biasanya petugas pencatat

nikah bagi orang Islam (penghulu) setempat sangat keberatan untuk

mengeluarkan surat keterangan yang dibutuhkan calon istri tersebut. Sebab bila

petugas itu mengijinkan, dianggap ia telah memberikan izin perkawinan yang

oleh agama Islam dilarang. Dalam hal demikian, biasanya akan berlanjut ke

pengadilan, dan pada umumnya hakim pengadilan membenarkan calon

mempelai. Dengan demikian tidak ada halangan bagi calon mempelai tersebut

melaksanakan perkawinan campuran. Namun perkawinan demikian seringkali

menimbulkan polemik berkepanjangan, dan bahkan menimbulkan protes keras

dikalangan umat Islam.23

III. PEMBAHASAN

1. Keabsahan Perkawinan Menurut UU Perkawinan

Suatu perkawinan dapat dikatakan sah apabila semua syarat-syarat yang telah

ditetapkan dalam UU Perkawinan dapat terpenuhi secara kumulatif. Artinya apabila

salah satu syarat saja tidak terpenuhi, maka perkawinan tersebut tidak dapat

dikatakan sebagai suatu perkawinan yang sah.

22 Ibid.

23

Asmin, Op.Cit., h.81.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan meliputi syarat

materiil maupun formil. Syarat-syarat materiil yaitu syarat-syarat yang mengenai

diri pribadi calon mempelai; sedangkan syarat formil menyangkut formalitas-

formalitas atau tatacara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat

dilangsungkannya perkawinan. Syarat materiil itu sendiri ada yang berlaku untuk

semua perkawinan (umum) dan ada yang berlaku hanya untuk perkawinan tertentu

saja.24

a. Syarat-syarat materiil yang berlaku umum25

Syarat-syarat yang termasuk ke dalam kelompok ini diatur dalam pasal dan

mengenai hal sebagai berikut:

1.) Pasal 6 ayat (1); harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai;

2.) Pasal 7 ayat (1); usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan

wanita sudah mencapai 16 tahun;

3.) Pasal 9; tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain (kecuali dalam

hal yang diijinkan oleh Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4);

4.) Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 dan Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975;

mengenai waktu tunggu bagi seorang wanita yang putus

perkawinannya, yaitu:

- 130 hari, bila perkawinan putus karena kematian.

- 3 kali suci atau minimal 90 hari, bila putus karena perceraian dan ia

masih berdatang bulan.

- Tidak ada waktu tunggu, bila belum pernah terjadi hubungan kelamin.

24

Asmin, Op.Cit., h.22.

25 Ibid, h.22-23.

Page 13: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

- Penghitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan

pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap bagi suatu

perceraian, dan sejak hari kematian bila perkawinan putus karena

kematian.

Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut menimbulkan ke-tidakwenangan

untuk melangsungkan perkawinan dan berakibat batalnya suatu perkawinan.

b. Syarat Materiil yang Berlaku Khusus26

Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi

hal-hal sebagai berikut:

1.) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagai yang diatur dalam Pasal

8, Pasal 9 dan Pasal 10 UU No.1/1974, yaitu mengenai larangan

perkawinan antara dua orang yang:

a.) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun

ke atas;

b.) Berhubungan darah dalam garis keturunan ke samping;

c.) Berhubungan semenda;

d.) Berhubungan susuan;

e.) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau

kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari

seorang;

f.) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain

yang berlaku, dilarang kawin;

26 Asmin, Op.Cit., h.23-24.

Page 14: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

g.) Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal

tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4. (Pasal 9).

h.) Telah bercerai untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-

masing agamanya dan kepercayaannya tidak menentukan lain

(Pasal 10).

2.) Ijin dari kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai usia 21

Tahun. Bila salah satu orang tua telah meninggal, ijin dapat diperoleh

dari orang tua yang masih hidup; bila itupun tidak ada, dari wali, orang

yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah

dalam garis keturunan lurus ke atas; atau bisa juga ijin dari pengadilan,

bila orang-orang tersebut tidak ada atau tidak mungkin diminta ijinnya

(Pasal 6 ayat (2) sampai dengan ayat (5) ).

Mengenai syarat “persetujuan kedua calon mempelai” dan syarat harus

adanya “ijin kedua orang tua bagi yang belum berusia 21 tahun”

sebagaimana diatur oleh Pasal 6, berlaku sepanjang hukum masing-

masing agama dan ke-percayaannya itu dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain. Jadi, syarat-syarat perkawinan sebagai yang diatur

dalam Pasal 6 itu berlaku sebagai “lex generalis” terhadap syarat

perkawinan menurut hukum agama sebagai “lex specialis” nya.

c. Syarat-Syarat Formil27

Syarat-syarat formil ini meliputi:

1.) Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada

pegawai pencatat perkawinan;

27

Asmin, Op.Cit., h.24.

Page 15: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

2.) Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan;

3.) Pelaksanaan perkawinan menurut hukum agamanya dan

kepercayaannya masing-masing;

4.) Pencatatan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Dari ketentuan-ketentuan diatas, jelaslah betapa besarnya peranan hukum agama

dalam menentukan sah atau tidaknya suatu perkawinan. Kita melihat pula adanya

hubungan saling melengkapi antara Undang-Undang Perkawinan Nasional dengan

hukum perkawinan menurut agama dan kepercayaannya itu. Jadi, UU Perkawinan

merupakan pedoman dasar yang harus ditaati oleh warga negara dalam

melangsungkan perkawinan yang sah di wilayah Indonesia.

2. Politik Hukum Pembentukan UU Perkawinan

Jika dilihat kembali proses pembentukan UU Perkawinan, terlihat betapa

rumitnya proses kelahiran UU tersebut. Selama masa persidangan, banyak kritik,

pendapat, dan harapan yang disampaikan oleh masyarakat kepada DPR, baik

dilakukan melalui tulisan-tulisan di media massa. Polemik yang muncul pada garis

besarnya berputar pada persoalan-persoalan kepastian hukum dan perlindungan

terhadap hak-hak kaum wanita.

Sebenarnya usaha ke arah kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan itu

sudah ada sejak lama, yakni sejak dibentuknya Panitia Penyelidik Hukum

Perkawinan, Talak, dan Rujuk (Panitia NTR) pada tahun 1950.28

Bahkan sebelum

bangsa Indonesia merdeka, Pemerintah Hindia Belanda pernah mengajukan rencana

pendahuluan Ordonansi Perkawinan yang tercatat (tahun 1937) yang berlaku bagi

orang Indonesia dan Timur Asing Bukan Tionghoa.29

Namun, semua usaha tersebut

28 Arso Sastro Atmodjo, Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, 1981, h.9.

29

Maria Ulfah, Perjuangan Untuk Mencapai Undang-Undang Perkawinan, Penerbit Idayu, Jakarta,

1981,h.10.

Page 16: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

baik pada masa penjajahan maupun pada masa kemerdekaan selalu saja mengalami

kegagalan. Upaya kodifikasi dan unifikasi hukum perkawinan baru terwujud pada

tahun 1974, yaitu dengan diundangkannya UU No.1 Tahun 1974, yaitu dengan

diundangkannya UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa undang-undang ini berlaku

untuk semua warga negara dan seluruh wilayah Indonesia. Di samping itu, undang-

undang ini berusaha untuk menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan

hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi

golongan dalam masyarakat kita dan sekaligus juga telah meletakkan asas-asas

hukum perkawinan nasional.30

Jadi, dapat disimpulkan bahwa politik hukum dari

pembentukan UU Perkawinan ini adalah untuk menyeragamkan regulasi tentang

Perkawinan ditengah keberagaman yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia.

3. Perbedaan Agama Bukan Sebagai Penghalang Perkawinan

Menurut RUU Perkawinan tahun 1973 seperti disebut dalam Pasal 11 ayat (2),

perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, agama/kepercayaan, dan

keturunan, tidak merupakan penghalang perkawinan.

Kalau ketentuan ini dibandingkan dengan ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR

(Peraturan Perkawinan Campuran) S.1898 No.158 seperti yang disebut dalam Bab

II di atas, maka sebenarnya ketentuan yang menyebut bahwa perbedaan agama

bukan sebagai penghalang perkawinan itu bukan merupakan hal yang baru, karena

dalam Pasal 7 ayat (2) GHR juga disebut demikian, yaitu perbedaan agama,

bangsa/asal, sama sekali bukan penghalang perkawinan.31

30

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1986, h.16-17.

31

Taufiqurrohman Syauhuri, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia, Penerbit Kencana, Jakarta,

2013,h.112-113.

Page 17: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Dimasukkannya kembali ketentuan Pasal 7 ayat (2) GHR itu dalam RUU

Perkawinan itu, menyebabkan terjadinya perubahan pada pengertian perkawinan

antara orang-orang berbeda agama termasuk dalam pengertian perkawinan

campuran, maka sekarang, menurut RUU Perkawinan 1973, perkawinan demikian

bukan termasuk dalam perkawinan campuran, sebab RUU Perkawinan 1973

sebagaimana tersebut dalam penjelasan Pasal 64, hanya mengenal istilah

perkawinan campuran karena perbedaan kewarganegaraan.32

Jadi, berdasarkan beberapa alasan yang telah dikemukakan diatas, seharusnya

perbedaan agama/kepercayaan bukanlah menjadi penghalang bagi warga negara

untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk suatu keluarga.

4. Keabsahan Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari Fungsi Negara

Konstitusi merupakan norma dasar yang menjadi acuan dalam pembentukan

peraturan lain dibawahnya, termasuk pengaturan terkait dengan perkawinan. Salah

satu peraturan yang sudah terbentuk yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

(UU Perkawinan).

Di dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal II Aturan Peralihan ditegaskan:

“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama

belum diadakan sistem hukum yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

Makna yang tersirat dalam ketentuan tersebut adalah segala badan negara dan

sistem hukum atau peraturan hukum yang ada dan pernah berlaku pada masa

kolonial, masih bisa berlaku terus di negara Indonesia, dengan catatan, berlakunya

itu tidak untuk selamanya, melainkan hanya untuk sementara waktu, yakni selama

32 Ibid., h.113.

Page 18: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

belum diadakan badan negara dan sistem hukum atau peraturan hukum yang baru

menurut UUD 1945.33

Seperti telah dibahas sebelumnya, bahwa perkawinan yang dilakukan antar

agama seharusnya tetap dapat dilakukan. Di dalam hukum adat, perkawinan itu

disamping harus dilakukan menurut tatacara dan syarat-syarat yang berlaku pada

masyarakat tersebut, juga pengesahannya dilakukan menurut hukum agama dan

kepercayaan dari masyarakat yang bersangkutan.34

Salah satu putusan yang telah diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) terkait

dengan perkawinan antar agama yaitu pada tanggal 16 Februari 1955.35

Dalam hal

seorang anak perempuan yang beragama Islam akan menikah dengan laki-laki

beragama Kristen, berlakulah peraturan tentang Perkawinan Campuran dari

Staatsblad 1898-158, yang dalam Pasal 7 ayat (3) menentukan bahwa dalam hal ini

harus ada keterangan dari Kepala Kantor Urusan Agama ditempat, bahwa tiada

halangan untuk perkawinan itu.

Setelah memahami duduk perkara dalam putusan MA diatas, maka dapat

disimpulkan alasan hukum yang terkandung didalamnya yaitu negara ini dari

dahulu sampai sekarang didiami oleh orang-orang yang berlainan agama dan kultur

dan oleh karena itu berlainan hukum perkawinan, sementara Konstitusi

menetapakan tentang kebebasan bagi warga negara untuk memeluk agama dan

kepercayaan yang diyakininya. Selain itu, pengesahan perkawinan beda agama

juga diperlukan agar tidak memperbanyak anak-anak yang tidak mempunyai orang

tua yang sah menurut hukum, yang karena selain itu dari tidak terjamin hak nya atas

33

Taufiurrohman Syauhuri, Op.Cit., h.83.

34Asmin, Op.Cit., h.11.

35Gautama, Sudargo, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran, Penerbit Citra Aditya Bakti,

Bandung, 1996,h.363-369.

Page 19: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

pemeliharaan warisan, terutama selama hidupnya mungkin sekali akan menderita

penghinaan dalam pergaulannya.

Dalam peraturan perkawinan campuran, dalam pasal 6 ayat (1) dengan tegas

disebutkan bahwa “perkawinan campuran dilakukan menurut hukum yang berlaku

bagi pihak laki-laki, yang berarti bahwa bila perbuatan itu dipengaruhi oleh hukum

agama-menurut keadaannya masing-masing pada satu waktu satu hukum agama

yang tertentu dilakukan dan pada waktu lain hukum agama lain.”

Sehingga, bentuk penolakan yang berkaitan dengan perbedaan agama,

nasionalitas, atau keturunan (Pasal 7 ayat (2)) tidak diperbolehkan. Dengan kata

lain, peraturan yang telah berlaku pada saat itu me-legal-kan perkawinan beda

agama karena dipandang memiliki tujuan yang baik. Ketentuan yang mengesahkan

perkawinan beda agama juga tidak melanggar HAM dari warga negara, melainkan

untuk kepentingan dari anak-anak yang terlahir dari perkawinan beda agama agar

mendapatkan status kedudukan yang sah dimata hukum.

Putusan MA selanjutnya dikeluarkan dengan Putusan Nomor

421/Pdt.P/2013/PN.Ska yang dikeluarkan pada tanggal 29 Agustus 2013. Putusan

MA ini merupakan penetapan atas perkara perkawinan beda agama dengan pihak

pemohon seorang wanita bernama Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik

dengan seorang laki-laki bernama Nugroho Endro Prastowo yang beragama

Kristen. Pengajuan permohonan ke MA didasarkan pada adanya penolakan dari

Pengadilan Negeri Surakarta dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil terhadap

pendaftaran perkawinan yang hendak dilakukan oleh para pihak pemohon.

Pertimbangan hukum terkait dengan perkara diatas diantaranya yaitu:

Pemohon I Alvienilawati Yuniar yang beragama Katholik dan Pemohon II Nugroho

Page 20: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Endro Prastowo yang beragama Kristen yang masing-masing tidak berniat untuk

melepaskan keyakinan agamanya.

Selanjutnya, dalam Undang-Undang no. 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan ayat

(2) menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila sudah dilakukan menurut

tata cara hukum agamanya dan kepercayaannya itu dan kemudian dicatat oleh

instansi yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,

sedangkan dalam Peraturan Pemerintah no. 9 tahun 1975 pasal 10 ayat (2)

menyatakan bahwa UU Perkawinan hanya berlaku bagi perkawinan antara 2 orang

yang sama agamanya.

Regulasi lainnya yang terkait dengan perkara ini yaitu didalam Undang

Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 10 ayat (1)

menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu keluarga dan

melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas kehendak yang

bebas. Hal ini tentunya didasari tujuan untuk melindungi HAM warga negara dan

untuk menutupi kekosongan hukum karena belum adanya pengaturan yang secara

rinci mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan serta

untuk menghindari adanya penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama.

Pertimbangan lainnya juga didasarkan pada Putusan MA sebelumnya, yaitu

Putusan MA No. 1400 K/Pdt/1986 tertanggal 20 Januari 1989 yang mengabulkan

permohonan kasasi tentang ijin perkawinan beda agama.

Berdasarkan pertimbangan hukum yang telah dikemukakan diatas, maka

sangat tidak manusiawi apabila permohonan Para Pemohon yang telah

menunjukkan itikad baik untuk melangsungkan perkawinan harus ditolak hanya

dengan alasan tidak ada hukum /undang-undang yang mengatur tentang

perkawinan beda agama. Sejatinya, perkawinan antar agama secara obyektif

Page 21: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

sosiologis adalah wajar dan sangat memungkinkan terjadi mengingat letak

geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara

sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis bilamana perkawinan beda

agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-

undang.

Putusan MA lainnya terkait dengan keabsahan perkawinan beda agama, yaitu

melalui Putusan Nomor 3/Pdt.P/2015/PN.Llg yang dikeluarkan pada tanggal 27

Februari 2015 yang merupakan pelimpahan dari Pengadilan Negeri Lubuk

Linggau. Dalam putusan ini tercatat perkara terkait perkawinan beda agama antara

seorang laki-laki yang beragama Budha dengan seorang perempuan yang beragama

Katholik. Tercatat bahwa para pemohon bernama Irawan Wijaya dan Claramitha

Joan yang berkedudukan sebagai Pemohon I dan Pemohon II.

Dalam duduk perkara yang terlampir, dinyatakan bahwa pihak Pemohon I dan

Pemohon II sebelumnya telah melaksanakan perkawinan disebuah Vihara. Dalam

putusan ini juga menetapkan bahwa perkawinan keduanya dapat disahkan menurut

hukum yang berlaku. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan hakim yang

memutus perkara ini, dimana hakim ini bertindak sebagai hakim tunggal, yaitu

Agus Windhana,SH.

Alasan hukum yang dapat disimpulkan berdasarkan duduk perkara dalam

putusan ini yaitu dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

maupun dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah nomor 9

tahun 1975 tidak ditemukan aturan yang tegas mengatur mengenai perkawinan

beda agama.

Selanjutnya, perkawinan yang terjadi diantara 2 orang yang berlainan status

agamanya hanya diatur dalam penjelasan pasal 35 huruf a Undang-undang nomor

Page 22: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,dimana dalam penjelasan pasal

35 huruf a ditegaskan kalau yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan

pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.

Dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia hal-hal yang berkaitan dengan

perkawinan diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan Peraturan

Pemerintah Nomor 9 tahun 1975, dimana dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

nomor 1 tahun 1974 Jo Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun

1975 ditegaskan bila suatu perkawinan sah dilakukan menurut agama dan

kepercayaannya masing-masing. Ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) undang-Undang

nomor 1 Tahun 1974 tersebut merupakan ketentuan yang berlaku bagi perkawinan

diantara 2 orang yang sama agama dan keyakinannya. Perkawinan beda agama

merupakan keadaan dan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan sudah

merupakan kebutuhan sosial yang harus dicarikan jalan keluarnya menurut hukum

agar tidak menimbulkan dampak negatif dalam kehidupan bermasyarakat dan

beragama.

Disisi lain, dalam UUD 1945 khususnya Pasal 27 menentukan bahwa seluruh

warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, tercakup di dalamnya

kesamaan hak asasi untuk melangsungkan perkawinan dengan sesama warga

Negara sekalipun berlainan agama, sedangkan Pasal 29 UUD 1945 mengatur

bahwa negara menjamin kemerdekaan warga negara untuk memeluk agamanya

masing-masing. Selain itu, di dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia, di dalam Pasal 10 ayat (1), (2) pada pokoknya mengatur bahwa setiap

orang berhak untuk menikah dan membentuk keluarga serta melanjutkan keturunan

yang dilangsungkan atas kehendak bebas sesuai dengan ketentuan undang-undang.

Page 23: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Jadi, Berdasarkan beberapa putusan yang telah dikemukakan diatas, putusan MA

tersebut memiliki banyak kesamaan, salah satunya adalah terkait dengan putusan hakim

yang seluruhnya menerima permohonan dari pihak pemohon agar dapat mencatatkan

pernikahan beda agamanya di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil agar diakui

oleh negara.

Dasar pertimbangan hakim yang memutus perkara perkawinan beda agama pun juga

hampir seluruhnya sama yaitu untuk melindungi HAM warga negara seperti terdapat

didalam Undang Undang no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM),

Pasal 10 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk membentuk suatu

keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah dan atas

kehendak yang bebas. Selain didasari tujuan untuk melindungi HAM warga negara

dan untuk menutupi kekosongan hukum karena belum adanya pengaturan yang

secara rinci mengatur mengenai perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan

serta untuk menghindari adanya penyelundupan nilai-nilai sosial maupun agama.

Pada dasarnya, perkawinan merupakan suatu tindakan yang dilandasi dengan

itikad baik, sehingga berbagai perbedaan yang menjadi halangan bagi terjadinya

perkawinan dapat diatasi. Terlebih jika penghalang yang ada berkaitan dengan hal

yang prinsipil dan menyangkut keyakinan atau kepercayaan yang tidak bisa

dipaksakan, yaitu perbedaan agama.

Perkawinan beda agama sesungguhnya sangat wajar terjadi mengingat letak

geografis Indonesia, penduduk Indonesia dan bermacam agama yang diakui secara

sah keberadaannya di Indonesia, maka sangat ironis apabila perkawinan beda

agama di Indonesia tidak diperbolehkan karena tidak diatur dalam suatu undang-

undang.

Page 24: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Substansi yang terdapat dalam UU Perkawinan yang ada saat ini sudah tidak

sesuai dengan berbagai permasalahan yang muncul dalam Perkawinan, terutama

terkait dengan Perkawinan beda agama. Jadi, seharusnya negara segera

memperbarui pengaturan terkait penikahan beda agama, bukan dengan melarang

perkawinan beda agama. Karena jika ditarik kembali kepada Pasal II Aturan

Peralihan UUD 1945, selama belum ada substansi yang mengatur perkawinan beda

agama dalam UU Perkawinan saat ini.

Dengan hadirnya Putusan MA, dapat dilihat bahwa MA telah mengambil

sikap tegas dalam mengatasi masalah terkait dengan perkawinan beda agama yang

terjadi, yaitu dengan mengabulkan permohonan para pemohon agar perkawinan

beda agama dapat dicatatkan dan disahkan dimata negara dan hukum.

Dalam hal ini dapat dilihat bahwa negara juga turut campur tangan /intervensi

terkait dengan problematika perkawinan beda agama di Indonesia. Campur tangan

negara terlihat dari sikap yang diambil oleh Lembaga Negara, terutama Lembaga

Negara Yudikatif yaitu MA dan MK yang bertugas untuk menjalankan fungsi

peradilan dan mengeluarkan produk hukum berupa putusan yang memiliki

kekuatan hukum tetap dan dapat dijadikan acuan untuk memutus perkara yang

sama di masa mendatang.

5. Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat UUD 1945

Putusan MK No. 68/PUU-XII/2014 dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi

tanggal 16 Juli 2014 yang kemudian diperbaiki pada tanggal 17 September 2014.

Permohonan pengajuan uji materi UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

dengan UUD 1945. Permohonan ini diajukan oleh tiga (3) orang pemohon yaitu:

Page 25: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

Damian Agata Yuvens (Konsultan Hukum), Rangga Sujud Widigda (Konsultan

Hukum), dan Anbar Jayadi (Mahasiswa).

Dalam latar belakang pengajuan permohonan, dalam angka ke tiga (3) dan

empat (4) secara garis besar dinyatakan bahwa ada implikasi pada tidak sahnya

perkawinan yang dilakukan diluar penafsiran negara atas masing-masing agama dan

kepercayaannya. Atau dengan kata lain negara “memaksa” agar setiap warga

negaranya untuk tunduk tunduk kepada suatu penafsiran yang dianut negara atas

masing-masing agama/kepercayaannya. Serta pengaturan ini menyebabkan ke-

tidakpastian hukum bagi orang-orang yang hendak melangsungkan perkawinan di

Indonesia, karena penerapan hukum agama dan kepercayaan sangatlah bergantung

pada interpretasi negara.

Putusan yang dikeluarkan oleh ke sembilan (9) hakim konstitusi menyatakan

bahwa menolak permohonan para pemohon. Pendapat Mahkamah terlihat pada poin

[3.12.3] atau pada halaman ke 151 yang menyatakan bahwa: “….. Menurut

Mahkamah, dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib

tunduk terhadap pembatasan yang ditetapkan dengan maksud semata-mata untuk

menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Menurut Mahkamah, UU 1/1974 telah dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang

terkandung dalam Pancasila dan UUD I945 serta telah pula dapat menampung

segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat.”

Jika Pendapat Mahkamah ini dibandingkan dengan substansi yang terdapat

dalam UU Perkawinan, maka UU Perkawinan sudah tidak dapat lagi menampung

segala kenyataan hidup yang ada dalam masyarakat, salah satunya belum diaturnya

ketentuan mengenai perkawinan beda agama didalamnya. Sehingga memunculkan

berbagai persoalan terkait dengan keberadaan perkawinan beda agama yang banyak

Page 26: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

terjadi di Indonesia. Dan jika ditilik dari segi HAM, UU Perkawinan secara tidak

langsung membatasi dan memaksa warga negaranya untuk melangsungkan

perkawinan hanya dengan sesama agamnya saja. Jadi, Pendapat Mahkamah ini

sangat bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat dan juga

melanggar HAM warga negaranya dalam hal ketentuan untuk melaksanakan

perkawinan.

Pendapat berbeda (concurring opinion) seorang hakim MK yaitu Maria Farida

Indrati, menyatakan bahwa memang benar Undang-Undang a quo telah

menimbulkan berbagai permasalahan khususnya terhadap pelaksanaan perkawinan

beda agama, bahkan menyebabkan terjadinya penyelundupan hukum karena

ketidakpatuhan warga negara terhadap hukum negara.

Namun demikian, permohonan para Pemohon agar Mahkamah Konstitusi

menjatuhkan putusan yang menyatakan bahwa, Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang tidak dimaknai, “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu, sepanjang penafsiran

mengenai hukum agama dan kepercayaannya itu diserahkan kepada masing-

masing calon mempelai”, adalah tidak beralasan menurut hukum.

Penyelesaian terhadap permasalahan perkawinan beda agama dan

kepercayaannya tidak akan tercapai hanya dengan menambahkan frase “sepanjang

penafsiran mengenai hukum agama dan ke-percayaannya itu diserahkan

kepada masing-masing calon mempelai” dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan

akan membuat penafsiran yang lebih bervariasi.

Berdasarkan berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa Putusan MK

No.68/PUU-XII/2014 bertentangan dengan amanat Konstitusi terkait dengan

Page 27: BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN ......BAB II KAJIAN TEORETIK, KAJIAN NORMATIF, DAN PEMBAHASAN I. KAJIAN TEORETIK 1. TEORI TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA a. Teori Imanuel Kant

keabsahan perkawinan beda agama dimata negara sesuai dengan ketentuan dalam

UU Perkawinan yang tidak mengatur terkait perkawinan beda agama.

Dan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 2 Aturan Peralihan UUD 1945 yang

berimplikasi pada belum adanya substansi yang mengatur terkait perkawinan beda

agama dalam UU Perkawinan, maka ketentuan hukum yang sudah ada sebelumnya,

seperti hukum kolonial yang masih relevan seharusnya dapat berlaku dan menjadi

dasar pertimbangan bagi negara dalam membuat regulasi terkait perkawinan beda

agama di Indonesia. Dari rumusan tersebut di atas jelas terlihat bahwa pencatatan

perkawinan merupakan faktor yang menentukan sah/tidaknya perkawinan, terlepas

dari persoalan apakah perkawinan itu sendiri dilangsungkan menurut ketentuan

hukum perkawinan masing-masing ataupun dilangsungkan menurut kedua

ketentuan dimaksud, yaitu menurut undang-undang dan menurut hukum

perkawinan masing-masing (hukum adat,hukum islam,HQCI, dan BW). Dengan

begitu, selain perkawinan harus dilakukan di depan pegawai pencatat perkawinan

dan dicatatkan, terdapat tiga pilihan hukum bagi sahnya perkawinan. Ini berarti bagi

orang-orang Islam misalnya, terbuka kemungkinan melangsungkan perkawinan

tanpa menggunakan hukum perkawinan Islam. Pencatatan perkawinan fungsinya

hanyalah sekedar memenuhi kebutuhan administrasi.