bab ii kajian teoritisrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/t2... · 2017-12-18 · yang...

19
BAB II KAJIAN TEORITIS Manusia secara individu maupun kelompok tidak pernah terlepas dari aspek budaya dalam hal ini adat. Adat merupakan makna hidup dan menjadi identitas suatu masyarakat, untuk mengetahui dengan jelas bentuk dan sistem perkawinan dalam suatu masyarakat tentu perlu dibahas mengenai hubungan antara individu yang terbentuk melalui sebuah budaya yang ada, yang kemudian membentuk sistem masyarakat pada suatu daerah tertentu. Dalam bab ini, penulis akan membahas lebih mendalam mengenai ritual tiris sopi dalam perkawinan adat yang merupakan sebuah sistem budaya di Romkisar. Di mana landasan teori yang digunakan adalah teori perkawinan dan ritus. 2.1. Dasar Perkawinan 2.1.1. Pengertian Perkawinan Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar khidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena manusia adalah hewan berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan

Upload: lamhanh

Post on 03-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

BAB II

KAJIAN TEORITIS

Manusia secara individu maupun kelompok tidak pernah terlepas dari aspek

budaya dalam hal ini adat. Adat merupakan makna hidup dan menjadi identitas suatu

masyarakat, untuk mengetahui dengan jelas bentuk dan sistem perkawinan dalam

suatu masyarakat tentu perlu dibahas mengenai hubungan antara individu yang

terbentuk melalui sebuah budaya yang ada, yang kemudian membentuk sistem

masyarakat pada suatu daerah tertentu. Dalam bab ini, penulis akan membahas lebih

mendalam mengenai ritual tiris sopi dalam perkawinan adat yang merupakan sebuah

sistem budaya di Romkisar. Di mana landasan teori yang digunakan adalah teori

perkawinan dan ritus.

2.1. Dasar Perkawinan

2.1.1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar

khidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan bukan saja terjadi dikalangan

manusia, tetapi juga terjadi pada tanaman tumbuhan dan hewan. Oleh karena

manusia adalah hewan berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang

beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan

masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit

dan tertutup, dalam masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju,

luas dan terbuka. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu

masyarakat atau pada suatu bangsa tidak terlepas dari pengaruh budaya dan

Page 2: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

16

lingkungan di mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakatnya. Ia

dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang

dianut oleh masyarakat yang bersangkutan.1 Oleh sebab itu dapat disimpulkan

bahwa, perkawinan merupakan suatu peristiwa yang penting dan tidak pernah

terlupakan dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina

keluarga bahagia.

2.1.2. Tujuan Perkawinan

Perkawinan merupakan suatu aktivitas dari sepasang manusia untuk hidup

bersama.2 Begitu pentingnya momen sebuah perkawinan, sehingga setiap orang

umumnya menginginkan merayakan momen itu dalam sebuah upacara yang sakral

dan meria, dengan melibatkan para kerabat dan unsur masyarakat lainnya. Menurut

penulis momen tersebut penting karena perkawinan sendiri adalah suatu hubungan

yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

dari segi adat. Karena itu perkawinan bukan saja suatu momen yang penting tetapi

juga memiliki nilai yang sakral. Sebab melalui perkawinan, seseorang akan

melepaskan dirinya dari lingkungan keluarganya untuk mulai membentuk keluarga

yang baru.

Perkawinan menurut hukum agama yaitu, perbuatan yang suci (sakramen,

samskara) dalam artian bahwa suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi

perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan

berumah tangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan ajaran

1Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia: Menurut Perundangan Hukum Adat,

Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), 1. 2 Walgito Bimo, Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta:Andi, 2002), 11

Page 3: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

17

agama masing-masing.3 Menurut hukum Kristen dan Katolik, perkawinan adalah

persekutuan hidup antara pria dan wanita atas dasar ikatan cinta kasih yang total

dengan persetujuan bebas dari keduanya yang tidak dapat ditarik kembali.4

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan bukan saja

berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus

merupakan perikatan kekerabatan dan keketanggaan. Jadi terjadinya suatu ikatan

perkawinan juga menyangkun hubungan-hubungan adat istiadat kewarisan,

kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta menyangkut upacara-upacara adat

dan keagamaan. Ter Haar menyatakan bahwa, upacara perkawinan itu adalah urusan

kerabat, urusan keluarga, urusan masyarakat, urusan martabat dan urusan pribadi,

satu sama lain dalam hubungannya yang berbeda-beda.5 Oleh sebab itu, dapat

disimpulkan bahwa penting sekali suatu hukum dalam mengatur, dan mengarahkan

manusia untuk berada di jalur yang benar.

Perkawinan merupakan sebuah tradisi yang ada dalam sejarah manusia

sehingga perkawinan juga memiliki tujuan-tujuan. Pertama, tujuan menurut

perundangan dalam pasal 1 UU no. 1-1974 dikatakan bahwa yang menjadi tujuan

perkawinan sebagai suami istri adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga).

Karena itu, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan

3 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, (Bandung: Bandar Maju, 2003),

190 4 AL. Budyapermata, Membangun Keluarga Kristiani, (Yogyakarta: Kanisius, 1968), 14

5 Ter Haar Ben, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat: Terjemahan Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Pradnja Paramita, 1985), 158.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

18

spiritual dan material. Pembentukan keluarga itu pula erat dengan keturunan, di mana

pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.6

Hukum agama berbeda antara agama satu dengan agama yang lain. Menurut

hukum Islam, tujuan perkawinan adalah untuk menegakan ajaran agama yaitu

memperoleh keturunan yang sah.7 Menurut agama Kristen dan Katolik, perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan persekutuan hidup antara pria dan wanita berdasarkan

cinta kasih. Menurut agama Hindu, perkawinan bertujuan selain untuk mendapatkan

keturunan, juga untuk menebus dosa orangtua dengan menurunkan seorang putera.8

Apabila tujuan-tujuan perkawinan ini dihubungkan, maka akan ada kaitan satu

dengan yang lain sehingga membentuk satu tujuan yakni, menjalankan mandat untuk

hidup bersatu dalam cinta kasih membentuk keluarga yang bahagia dan memperoleh

keturunan.

Tujuan perkawinan menurut hukum adat adalah pertama, untuk

mempertahankan dan menentukan keturunan menurut garis keturunan bapak dan

garis keturunan ibu. Kedua, untuk kebahagian rumah tangga keluarga dan kerabat.

Ketiga, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya dan kedamaian. Keempat, untuk

mempertahankan kewarisan. Oleh karena itu tujuan perkawinan adat bagi masyarakat

adat boleh dikatakan berbeda-beda antara suku yang satu dan suku yang lain,

maupun daerah yang satu dengan daerah yang lain.

6 Hilman. Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Alumni, 1977), 25.

7 Mahmud. Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Muhmudiah, 1960), 1.

8 G. Pudja, Hukum Kewarisan Hindu Yang diresepir ke dalam hukum adat di bali dan Lombok

(Jakarta: CV Junussco, 1977), 9.

Page 5: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

19

2.2. PerkawinanAdat

Perkawinan memiliki beragam tata cara diberbagai tempat dengan latar

belakang budaya adat yang berbeda. Semuanya dipengaruhi oleh sistem masyarakat

yang ada di tiap-tiap daerah. Pakar konsep struktur sosial seperti Radclife Brown

yang dikutip oleh Hans Daeng berpendapat bahwa, orang harus mempelajari

susunan-susunan hubungan antara individu-individu yang menimbulkan adanya

bentuk dan sistem masyarakat.9

Perkawinan adat adalah salah satu bagian penting dari kehidupan masyarakat

adat. Pengaruh adat masih terasa seperti adat perkawinanan. Romkisar salah satu

desa atau negeri adat di Kabupaten Maluku Barat Daya yang masih mempraktekan

adat perkawinan tersebut.

2.2.1. Adat

Kata adat sebenarnya berasal dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan.

Pendapat lain mengemukakan kata adat berasal dari bahasa Sansekerta yang terdiri

dalam dua suku kata yaitu”a” (berarti bukan) dan “dato” (berarti sifat kebendaan).

Jika demikian maka adat merupakan sifat yang memiliki sebuah nilai wujud dari

suatu benda, di mana adat dapat dilihat sebagai suatu bentuk material yang ada

kaitannya dengan sistem kepercayaan setempat.10

Kamus Besar Bahasa Indonesia11

memberikan batasan adat dalam berbagai

ragam pengertian adalah sebagai berikut:

9Hans J.Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),

106. 10

Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 2012), 70.

11 Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), 6.

Page 6: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

20

a. Adat sebagai aturan (perbuatan) yang lazim diturut atau dilakukan sejak

dahulu kala.

b. Adat sebagai kebiasaan; cara kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan.

c. Adat sebagai cukai menurut peraturan yang berlaku (di pelabuhan).

d. Adat sebagai wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai

budaya, norma hukum dan aturan-aturan yang satu dengan yang lainnya

berkaitan menjadi suatu sistem.

Adat menurut Surojo Widnjodipuro adalah:

Pencerminan dari kepribadian suatu bangsa dan merupakan salah satu

penjelmaan dari pada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad.

Oleh sebab itu maka setiap bangsa di dunia memiliki adat masing-masing

yang berbeda satu dengan yang lain.12

Selain itu Koentjaraningrat berpendapat:

Adat merupakan suatu sistem nilai dan kaidah-kaidah sosial yang

tumbuh bersama, dengan tumbuhnya pengalaman hidup suatu

masyarakat dan juga merupakan suatu unsur kebudayaan yang berakar

kuat dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pada hakekatnya adat

merupakan suatu yang menyangkut kebiasaan dalam masyarakat yang

berhubungan dengan sistem kepercayaan dan sistem hukum yang ada

dalam masyarakat.13

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat simpulkan bahwa adat merupakan

tata kelakuan yang dimaksudkan untuk mengatur, mengendalikan dan memberi arah

kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam hubungan masyarakat. Adat yang

berlaku dalam masyarakat selalu berdasar pada caraberpikir, pandangan hidup dan

kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Koentjaraningrat berpendapat bahwa, adat

merupakan wujud ideal dari kebudayaan, secara lengkap wujud itu disebut sebagai

12

Surojo. Widnjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung, 1983), 13.

13 Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalis dan Pembangunan, (Jakrta: Gramedia, 1974), 10-11.

Page 7: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

21

adat tata kelakuan, secara singkat disebut adat dan dalam bentuk jamaknya disebut

adat-istiadat.14

Realitas kehidupan adat istiadat di Indonesia pada umunya dibagi menjadi

empat bagian yaitu:15

1. Adat yang sebenarnya adat ini merupakan undang-undang alam. Dimana dan

kapanpun akan tetap sama, antara lain adat air membasahi, adat api membakar

dan sebagainya.

2. Adat istiadat, ini adalah peraturan pedoman hidup seluruh daerah dan diwariskan

oleh generasi yang sekarang dari generasi yang dahulu supaya dapat kokoh

berdirinya.

3. Adat nan terdapat, ini adalah kebiasaan setempat. Dapat ditambah dan dikurangi

menurut tempat dan waktu.

4. Adat yang diadatkan, ini adalah adat yang dipakai setempat. Seperti dalam suatu

daerah adat menyambut mempelai dalam perkawinan harus menggunakan

pakaian kebesaran, kalau tidak ada helat maka itu tidak akan terjadi; tetapi pada

waktu sekarang karena sukar mencari pakaian kebesaran, maka pakaian biasa

saja dapat dipakai.

Sejalan dengan hal tersebut maka, Soepomo menekankan bahwa untuk

memahami adat setiap masyarakat, maka kita harus menyelami dasar-dasar alam

pemikiran yang hidup dalam masyarakat tersebut.16

Dari realitas kehidupan adat itu

14

Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalis, 5-6. 15

Taneko, Hukumu Adat Indonesia,71-73. 16

Soepomo menekankan bahwa sendi-sendi dasar-dasar hukum adat Indonesia, bagi Soepomo untuk memahami budaya bangsa kita, maka kita harus benar-benar masuk ke dalam budaya bangsa Indonesia. Bagi Soepomo adat di Indonesia berbeda dari adat di barat, perbedaan itu dapat dilihat dalam Hukum Adat (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), 6-7.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

22

maka, dapat disimpulkan bahwa adat yang dimiliki setiap suku bangsa adalah

warisan leluhur dari generasi ke generasi sehingga memiliki ikatan dan pengaruh

yang kuat dalam integrasi pola perilaku masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka,

untuk memahami adat suatu tempat, kita tidak dapat menggunakan ukuran adat

tempat lain, hal ini disebabkan setiap suku bangsa memiliki adat yang berdeda-beda.

Adat yang berlaku dalam suatu masyarakat, tidak semuanya merupakan hukum

adat. Ada perbedaan antara adat istiadat biasa dan hukum adat. Hanya adat yang

bersanksi yang dapat disebut sebagai hukum adat. Sanksi adalah berupa reaksi dari

masyarakat hukum yang bersangkutan.17

Untuk menjelaskan bagaimana sebuah

peraturan adat-istiadat yang ada dalam suatu masyarakat dapat diakui sebagai hukum

adat maka, kita dapat menyimak apa yang dikemukan oleh Van Vollenhoven dan Ter

Haar yang dikutip oleh Suriyaman18

adalah sebagai berikut:

Van Vallenhoven berpendapat bahwa,

Apabila ada peraturan-peraturan adat, tindakan-tindakan (tingkah laku) yang

oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para penduduk, serta ada

perasaan umum yang menyatakan bahwa peraturan-peraturan itu harus

dipertahankan oleh para kepala adat, maka peraturan-peraturan adat itu

bersifat hukum.

Ter Haar berpendapat bahwa,

Adat dapat bersifat hukum apabila ada penetapan-penetapan dari kepala adat,

rapat adat, perangkat desa sebagaimana yang dinyatakan di dalam atau di

luar persengketaan. Penetapan-penetapan yang diambil berdasarkan nilai-

nilai hidup masyarakat setempat.

Berdasarkan rumusan di atas, maka dapat dikatakan hukum adat merupakan

suatu yang kompleks dari norma-norma yang bersumber pada perasaan keadilan

rakyat, meliputi peraturan-peraturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-

17

Suriyaman. Mustari Pide, Hukum Adat: Dahulu, Kini, dan Akan Datang, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), 5-6.

18Pide, Hukum Adat, 7-8.

Page 9: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

23

hari di masyarakat. Hukum adat sebagaian besar tidak tertulis tetapi senantiasa ditaati

dan dihormati sebab memiliki akibat hukum atau sanksi. Hukum adat sama seperti

hukum pada umunya di mana terkandung unsur-unsur peraturan dan larangan yang

dilihat sebagai pinata kehidupan sosial, ekonomi dan moral masyarakat. Hukum adat

berfungsi sebagai control sosial (social control) yang mempertegas masyarakat

dalam keamanan tata hidup.

Hukum adat lahir dari keputusan-keputusan warga masyarakat, terutama

keputusan berwibawa dari kepala-kepala adat yang bertugas mengadili sengketa.

Keputusan yang diambil dalam menyelesaikan hukum adat adalah keputusan

berdasarkan keyakinan pemimpin yang dipengaruhi tatanan kehidupan masyarakat

setempat.19

Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam masyarakat yang memberlakukan

hukum adat ada orang-orang tertentu yang mempunyai tugas menentukan,

melaksanakan, mempertahankan dan memberlakukan aturan-aturan dalam kehidupan

bersama. Mereka yang memiliki tugas demikian lazim disebut sebagai “penguasa.”20

Jadi dapat dikatakan bahwa keputusan yang berlaku dalam hukum adat adalah

keputusan sepihak berdasarkan pertimbangan pribadi dari para pemimpin adat.

Keputusan-keputusan dibuat kemudian menjadi kebenaran yang mendapat

pengakuan umum masyarakat. Hukum adat dalam masyarakat kebanyakan tidak

secara tertulis, bersifat paksaan dan mempunyai akibat hukum.21

Istilah hukum adat dikalangan masyarakat umum sangat jarang dijumpai sebab,

masyarakat cenderung memakai istilah “adat”, penyebutan ini mengarah pada suatu

kebiasaan yaitu rangkaian perbuatan yang umumnya berlaku dalam struktur

19 Imam. Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat: Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2010), 6-7.

20Sudiyat, Asas-Asas Hukum Adat, 15.

21Sudiyat, Asas-Asas Hukum, 18.

Page 10: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

24

masyarakat. Adat yang dimiliki setiap suku bangsa merupakan pencerminan dari

kepribadian masyarakat yang berbeda dan unik satu sama lainnya. Kebudayaan yang

dimiliki setiap bangsa merupakan warisan turun temurun yang dengannya manusia

berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang

kehidupan dan sikap-sikap terhadap kehidupan. Kebudayaan selalu ada sebagai

upaya dan kegiatan manusia untuk menguasai dan mengelolahnya bagi pemenuhan

kebutuhan manusia.

Adat dan budaya yang dimiliki oleh semua suku bangsa selalu berkaitan

dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat setempat. Nilai-nilai yang terkandung

dalam adat selalu dipertahankan untuk menjaga perilaku manusia supaya tetap ada

pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Untuk menjaga sistem nilai yang

ada dalam masyarakat itu maka, ada hukum adat yang mendasari semua tindakan.

Sistem hukum adat bersendi atas dasar-dasar alam pikiran masyarakatnya, yang tidak

sama dengan alam pikiran yang menguasai hukum adat di tempat lain.22

Dari uraian diatas maka, dapat disimpulkan bahwa masyarakat itu hidup tanpa

terlepas dari adat. Sistem nilai yang terkandung dalam adat mengajarkan masyarakat

untuk bagaimana mengatur kehidupan sosial budayanya dengan lingkungan di

sekitar, maupun dengan sesamanya, yang dilakukan pada masa kini, sekarang

maupun yang akan datang. Suatu nilai adat yang perlu dimiliki oleh lebih banyak

manusia dari lapisan masyarakat adalah nilai adat dan budaya yang berorintasi ke

masa depan. Suatu nilai adat atau budaya semacam itu akan mendorong manusia

22

Koentjaraningrat, Kebudayaan, Mentalis dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 2002), 5-6.

Page 11: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

25

untuk melihat dan merencanakan masa depannya dengan lebih saksama dan teliti,

dan oleh karena itu akan memaksa manusia untuk hidup lebih berhati-hati.

Hukum adat bertujuan mewujudkan kebaikan bersama, jika terjadi

penyimpangan maka akandiberikan sanksi sesuai adat istiadat setempat

Koentjaraningrat melihat bahwa adat adalah wujud ideal dari kebudayaan yang

sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto, dan hanya ada di dalam pikiran yang

dituangkan kedalam cerita, tulisan (karangan-karangan) untuk diwariskan kepada

generasi berikutnya dimana kebudayaan itu hidup, dan juga merupakan rasa cinta,

hormat dan bukti adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan berbagai

perbuatan yang bertujuan ancaman dengan dunia gaib.23

2.2.2. Asas-asas Perkawinan Adat

Hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur

tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan

putusnya perkawinan di Indonesia. Aturan-aturan hukum adat perkawinan diberbagai

daerah di Indonesia berbeda-beda, dikarenakan sifat kemasyarakatan, adat istiadat,

agama dan kepercayaan masyarakat yang berbeda-beda. Di samping itu dikarenakan

kemajuan zaman, selain adat perkawinan itu di sana-sini sudah terjadi pergeseran-

pergeseran, telah banyak juga terjadi perkawinan campuran antara suku, adat istiadat

dan agama yang berlainan.24

Jadi walaupun sudah berlaku undang-undnag

perkawinan yang bersifat nasional, yang berlaku untuk seluruh Indonesia namun, di

sana-sini di berbagai daerah dan berbagai golongan masyarakat masih berlaku

23

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, (Jakarta: Asdi Mahasatya, 2003), 76. 24

Iman Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1981), 132.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

26

hukum perkawinan adat. Apalagi undang-undang tersebut hanya mengatur hal-hal

pokok saja dan tidak mengatur hal-hal yang bersifat khusus setempat.

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara

seorang pria dengan wanita sebagai suami-isteri untuk maksud mendapatkan

keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi

juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari

pihak isteri dan dari pihak suami. Terjadinya perkawinan, berarti berlakunya ikatan

kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan kekerabatan

yang rukun dan damai. Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari

perkawinan itu didapatkan keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua

dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu ataupun garis orangtua. Adanya

silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang sebagai anggota kerabat, adalah

merupakan barometer dari asal-usul keturunan seseorang yang baik dan teratur.25

Sehubungan dengan azas-azas perkawinan yang dianut oleh UU No. 1/1974,

maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat adalah sebagai berikut:26

1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan

kekerabatan yang rukun dan damai atau kekal.

2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama atau

kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.

3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai

istri yang kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat

setempatnya.

25

Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, 70. 26

Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, 71.

Page 13: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

27

4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat.

Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui

masyarakat adat.

5. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau

masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus

berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat.

6. Perceraian ada yang bolehkan dan ada yang tidak dibolehkan. Perceraian antara

suami istri dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua belak

pihak.

7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri-istri berdasarkan ketentuan

hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan sebagai ibu rumah

tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.

2.2.3. Bentuk-bentuk Perkawinan Adat

Manusia tidak akan dapat berkembang tanpa adanya perkawinan, karena

perkawinan menyebabkan adanya keturunan, dan keturunan menimbulkan keluarga

yang berkembang menjadi kerabat dan masyarakat. Jadi perkawinan merupakan

unsur tali temali yang meneruskan kehidupan manusia dan masyarakat.

Oleh sebab itu dalam membentuk suatu ikatan perkawinan adat maka, yang

paling utama dilihat adalah persiapan ke-arah perkawinannya. Dengan demikian,

maka perkawinan adat itu sendiri terbagi atas dua yaitu, melalui peminangan dan

juga bisa melewati jalur kawin lari. Peminangan atau yang dikenal dengan pelamaran

adalah, hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua-tua pihak pria dengan

orang tua-tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan. Apabila

Page 14: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

28

pinangan atau lamaran diterima, maka diadakan pertungan lebih dulu sebagai janji

kedua belak pihak untuk melangsungkan suatu perkawinan tertentu.27

Kawin lari

merupakan tindakan melarikan seorang wanita tanpa izin, yang bertujuan untuk

hidup bersama maupun menikah. Dapat juga berarti penculikan gadis di bawah umur

atas persetujuannya, namun tak disukai oleh orang tuanya. Ini bisa diartikan dengan

menculik pengantin wanita, baik dengan taktik, paksaan, maupun ancaman.28

Di Maluku Barat Daya adat perkawinan secara umum diselenggarakan melalui

tiga tahap yaitu tahap pertama, masuk minta calon istri sekaligus menentukan waktu

pernikahan yang akan dilaksanakan. Tahap kedua, pemenuhan kewajiaban yang ada

kaitannya dengan pembayaran harta buang dari keluarga pengantin laki-laki kepada

pengantin perempuan, ketika dikemudian hari ada terjadinya perceraian. Tahap

ketiga, proses perkawinan adat.

2.3. Ritus

2.3.1. Pengertian Ritus

Ritus adalah suatu bentuk dari tindakan-tindakan yang tertata secara teratur

yang meliputi sejumlah gerakan-gerakan, kata-kata, dan objek-objek yang dilakukan

di tempat tertentu dan didesain untuk mempengaruhi entiti-entiti yang bersifat alamih

atau untuk mempengaruhi kekuatan-kekuatan yang ditujuh.29

Konsep ritual yang

digunakan pada zaman sekarang ini dalam berbagai ilmu pengetahuan dan bahasa

sehari-hari yaitu, menurut Van Gennep yang dikutip oleh Rubin bahwa, kehidupan

27

Iman. Sudiyat, Hukum Adat: Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 1978), 128. 28

Ter Haar Ben, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat: Terjemahan Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pradnja Paramita, 1960), 163.

29 Victor. T, Symbol in African Ritual dalam Symbolic Anthropology A Reader in the study of

symbols and meanings. (ed) Janet. L. Dolgin, et al. (New York: Colombia University press, 1997), 183-184

Page 15: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

29

individu disetiap masyarakat sebagai rangkaian peristiwa yang berurutan dari satu

usia ke usia yang lain.30

Selain itu Van Gennep juga menjelaskan bahwa, ritus

merupakan transisi (peralihan) individu dari situasi ke situasi yang lain, sehingga

kehidupan masyarakat dapat diidentifikasi dalam ritual siklus kehidupan mereka.31

Ritus yang diadakan secara kolektif berfungsi agar masyarakat disegarkan dan

dikembalikan akan pengetahuan dan makna-makna kolektif, terkhusus makna realitas

dalam masyarakat (makna sosial).32

Makna dari ritus ini yang akan membentuk

identitas masyarakat adat dalam kehidupan sosialnya.

Ritus merupakan bagian dari kehidupan sosial kelompok yang terorganisasi,

yang di dalamnya orang dilahirkan. Setiap orang menunaikan kewajiban

keagamaannya menurut wataknya, artinya dengan lebih atau kurang bergairah, tetapi

tidak ada seorang pun yang tidakberagama, sebab pelaksanaan ritual adalah

kewajiban sosial. Oleh sebab itu religi itu tidaklah untuk menyelamatkan jiwa-jiwa,

tetapi untuk pelestarian dan kesejahteraan masyarakat.33

Menurut Malinowski yang dikutip oleh Van Baal bahwa, magi dan religi

kedua-duanya termasuk dalam bidang sakral, suatu kategori yang tidak diberi definisi

lebih lanjut, tetapi menurut pemikiran Malinowski mungkin paling baik dapat

diterangkan dengan istilah supranatural. Magi harus dibedakan dari religi, karena

magi diarahkan pada tujuan-tujuan yang kongkret dan jelas uraiannya. Sedangkan

30

Miri. Rubin, “Introduction: Rites of passage, “in Rites of Passage: Cultures of Transition in the Fourteenth Century,(University of York’s: York Medieval Press, 2004), 1.

31 Arnold Van Gennep, The Rites of Passage, trans. Monica B. Vizedom and Gabrielle L. Caffee

(Chicago: The University of Chicago Press, 1960), 13. 32

Johannes Supriyono, “Paradigma Kultural Masyarakat Durkheimian,” in Teori-Teori Kebudayaan, ed. Mudji Sutrisno and Hendar Putranto (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 96-97.

33 J. Van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya; Jilid 1, (Jakarta: Gramedia,

1987), 105.

Page 16: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

30

religi dalam hal ini urainnya menjadi tidak memuaskan, mengejar tujuan-tujuan yang

samar-samar, religi adalah badan mandiri dari sebuah tindakan untuk menjadi diri

sendiri dalam pemenuhan tujuan dari religi yang lebih bersifat abstrak.

Ritus inisiasi adalah ekspresi ritual dan dramatis dari kekuasaan tertinggi dan

nilai dari tradisi dalam masyarakat primitif, di mana mereka juga turut melayani dan

mengesankan kekuatan dan nilai pada benak setiap generasi, dan mereka pada saat

yang sama, dan cara yang sangat efisiendapat menularkan pengetahuan suku,

mengasuransikan kontinuitas dalam tradisi dan mempertahankan keadaan suku.34

Ritus inisiasi berfungsi sebagaisebuah tradisi yang sakral.35

Jadi sebagaimana dapat

dikatakan oleh Malinowski bahwa, kekuatan yang terkandung dalam ritus tersebut

dapat membuat sekelompok orang atau masyarakat agar senantiasa patuh terhadap

apa yang diyakini dari generasi ke generasi, sebab ritus itu sendiri mengandung nilai-

nilai sakral atau yang dapat disebut sebagai supranatural.

2.3.2. Bentuk-Bentuk Ritus

Secara teoritis, ada empat kategori ritus atau seremoni yaitu:36

1. Ritus pencerminan, misalkan ritus yang berkaitan dengan masa orientasi

kepada seseorang sebelum ia melakukan tugasnya dalam sebuah persekutuan.

2. Ritus penguatan, misalkan yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan untuk

memperteguh identitas sosial sesorang.

34

J. Van Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya; Jilid 2, (Jakarta: Gramedia, 1988), 70.

35Baal, Sejarah Dan Pertumbuhan, 71.

36 Xaverius Wonmut, Ritual Kematian Marind Anim, (Salatiga: Widya Sari Press, 2008), 47.

Page 17: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

31

3. Ritus pembaharuan, misalkan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan

seseorang.

4. Ritus integrasi yang bertujuan untuk menciptakan iklim dan perasaan serta

kebersamaan diantara kelompok masyarakat dan meningkatkan komitmen

terhadap sebuah tradisi.

Dari bentuk-bentuk ritus di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ritus

merupakan suatu aturan khusus dalam ruang dan waktu. Dalam hal ini ritus adalah

sebagian tindakan yang secara luas dapat dikenal oleh masyarakat yang berbudaya

demi sebuah relasi dengan diri sendiri, dunia, dan yang Ilahi. Dengan sebuah

pemahaman tentang perasaan secara sadar yang diwujudkan dengan melakukan

sesuatu. Misalnya ritus yang ada dalam sebuah kepercayaan adat yang senantiasa

dipatuh dan dilaksanakan oleh masyarakat setempat dalam ruang dan waktu yang

berbeda dan dapat diwujudkan dalam tingkah laku setiap hari.

2.3.3. Ritus-Ritus Keagamaan

Ritus keagamaan terdiri dari tindakan-tindakan simbolis untuk mengungkapkan

makna-makna religius. Kepercayaan-kepercayaan religius merupakan ekspresi dari

aspek kognitif dari agama (mengetahui dan percaya), maka ritus-ritus keagamaan

merupakan perwujudan makna-makna keagamaan. Kepercayaan-kepercayaan dan

ritus-ritus mempunyai hubungan yang sangat erat. Ritus-ritus merupakan salah satu

bentuk ungkapan dari kepercayaan-kepercayaan. Arti dan bentuk dari ritus-ritus itu

berbeda dari satu agama ke agama yang lain. Kepercayaan dan ritus-ritus merupakan

simbol-simbol yang mempersatukan kelompok serentak berfungsi untuk

meningkatkan kesatuan di dalam kelompok itu. Dengan melakukan tindakan-

Page 18: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

32

tindakan ritual tertentu, kelompok secara bersama mengingat kembali makna

bersama yang mereka hayati dan memperkuat kesadaran akan kebersamaan itu.

Sebuah tindakan disebut ritus keagamaan bukan karena isi dari tindakan itu

melainkan karena arti atau makna yang diberikan oleh kelompok agama

bersangkutan.37

Dapat disimpulkan bahwa agama adalah suatu fenomena abadi yang dapat

memberikan gambaran bahwa keberadaan agama tidak lepas dari pengaruh realitas

kehidupan disekelilingnya. Sering kali praktek-praktek keagamaan pada suatu

masyarakat dikembangkan dari ajaran-ajaran budaya di lingkungan sekitarnya. Oleh

sebab itu, demi mewujudkan budaya ritus agama sebagai sebuah sistem kepercayaan

masyarakat adat, maka perlu memposisikan ritus agama sebagai sebuah tindakan

simbolis keagamaan yang merupakan basik utama guna mengatualisasikan nilai-nilai

budaya rituskeagamaan ke dalam wujud kehidupan riel masyarakat adat dalam

kehidupannya sehari-hari. Sebagai bukti dari hal tersebut adalah nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya, seperti nilai kekeluargaan maupun nilai agama yang

membuat masyarakat patuh terhadap budaya ritus tersebut.

Dalam hidup religius seseorang, ritus-ritus inisiasi menandai permulaan

kematangan kedewasaannya dalam soal-soal religius. Inisiasi itu sendiri memberikan

kepadanya hak-hak dan kewajiban-kewajiban untuk berpartisipasi secara penuh

dalam hidup religius di masyarakat. Menurut Van Gennep yang dikutip oleh

Mariasusai bahwa, ritus penerimaan menunjuk pada dua tipe ritus. Tipe pertama

menandai penerimaan seorang individu dari suatu status sosial yang satu ke yang lain

37Bernard Raho, Agama Dalam Perspektif Sosiologi, (Jakarta: Obor, 2013), 13.

Page 19: BAB II KAJIAN TEORITISrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/13335/2/T2... · 2017-12-18 · yang disatukan dalam sebuah tali pernikahan baik dari gereja, pemerintah, maupun

33

dalam perjalanan hidupnya. Tipe kedua menandai saat-saat penting yang dikenal

dalam kelangsungan waktu seperti tahun baru, bulan baru, titik balik matahari. Para

sejarawan religius mengartikan istilah tersebut yaitu pertama, bahwa ritus-ritus

tersebut yang berkenaan dengan kelahiran, kedewasaan, perkawinan, dan kematian

disebut ritus penerimaan.38

Jadi melalui dua tipe ritus di atas, maka dapat dikatakan bahwa ritus

merupakan tingkah laku manusia yang di dalamnya didasarkan pada akal rasional

maupun logika, mengenai peranjakan status seseorang dalam kehidupan sosial, baik

dari tingkah laku keagamaan, maupun budaya dari kelahiran hingga kematian.Begitu

pula, inisiasi juga merupakan tingkah laku manusia yang menyadari akan hal-hal

yang harus ia lakukan dan hak yang ia miliki dalam hal religi ditengah masyarakat.

38

Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 189.