bab ii gambaran umum perubahaan sosial di … · 2017-04-01 · 24 bedulu, pura samuan tiga...
TRANSCRIPT
23
BAB II
GAMBARAN UMUM PERUBAHAAN SOSIAL DI BLAHBATUH
2.1 Letak Geografis dan Demografi
Kecamatan Blahbatuh terletak disebelah selatan wilayah Kabupaten Gianyar.
Dengan luas wilayah 39,70 km2. Kecamatan Blahbatuh memiliki 9 ( Sembilan ) Desa
dinas meliputi Desa Blahbatuh, Desa Bedulu, Desa Buruan, Desa Belega , Desa Bona,
Desa Saba, Desa Pering, Desa Keramas, dan Desa Medahan. Terdiri dari 37 desa
Pakraman dan 67 Dusun/Banjar Dinas. Batas wilayah Kecamatan Blahbatuh adalah
sebagai berikut : sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Ubud. sebelah Timur
berbatasan dengan Kecamatan Gianyar. sebelah Selatan berbatasan dengan Selat
Badung. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Sukawati.
Wilayah Kecamatan Blahbatuh memiliki pantai meliputi sebagai berikut :
Pantai Saba terletak di Desa Saba, Pantai Masceti terletak di Desa Keramas, Pantai
Keramas terletak di Desa keramas, Pantai Cucukan terletak di Desa Keramas.
Kecamatan Blahbatuh memiliki objek wisata yang dominan dikunjungi oleh wisatawan
baik luar maupun dalam negeri. Selain objek wisata tersebut ada yang lain seperti
sebagai berikut: Goa Gajah terletak di Desa Bedulu, Museum Purbakala terletak di
Desa Bedulu, Taman Safari terletak di Desa Keramas, Yeh Pulu terletak di Desa
24
Bedulu, Pura Samuan Tiga terletak di Desa Bedulu, Pura Durga Kutri terletak di Desa
Buruan.1
Pertumbuhan penduduk di Kecamatan Blahbatuh sangat tinggi, memiliki
potensi dalam sektor tenaga kerja. Dilihat dari jumlah penduduk kecamatan yang
begitu besar, maka sangat jelas faktor penduduk sangat menentukan arah dan kebijakan
ekonomi. Penduduk di Kecamatan Blahbatuh Tahun 2012 mencapai 68.000 jiwa dan
meningkat per September menjadi 78.132 jiwa dengan kepadatan penduduk 1.968
jiwa/km2. Desa yang memiliki jumlah penduduk terbanyak adalah Desa Bedulu
sebanyak 10,299 jiwa. Diikuti dengan Desa Blahbatuh dengan jumlah penduduk
sebanyak 9,009 jiwa, Desa Bona memiliki jumlah penduduk yang paling sedikit yaitu
4,015 jiwa. Dan jumlah penduduk di Kecamatan Blahbatuh meningkat pada tahun
2013.
Tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Blahbatuh mencapai 1.713 orang
per kilometer persegi. Jumlah penduduk laki – laki dan perempuan di Kecamatan
Blahbatuh relatif berimbang. Hal ini ditunjukan dari sex ratio yang mendekati 100
persen. Namun demikian secara umun laki – laki masih lebih banyak dari perempuan.
Karakteristik penduduk Kecamatan Blahbatuh didominasi oleh penduduk usia muda
dengan kisaran usia 30 sampai 40 tahun. Tingkat kelahiran di kecamatan Blahbatuh
1 Profil Kecamatan Blahbatuh tahun 2014. pp. 4 - 12
25
terbilang tinggi. Terlihat dari komposisi penduduk pada kelompok umur 0 – 4 tahun
yang cukup besar untuk penduduk laki – laki maupun perempuan.2
2.2 Blahbatuh dalam Subjektif Kognitif
Sejarah umum di Blahbatuh dikenal masyarakat dengan melalui babad (silsilah
Keturunan), hal ini telah diimplikasikan masyarakat melalui bentuk candi (tempat suci)
disebut “Merajan Gede” terletak di rumah-rumah yang menjadi asal mula keberadaan
mereka dari generasi ke generasi untuk mengingat akan hal itu sebagai bimbingan
dalam melangkah tanpa melupkan asal dari keberadaan mereka sendiri, khususnya di
blahbatuh muncullah tokoh sentral yang dianggap panutan masyarakat blahbatuh yang
dikenal dengan nama Kebo Iwo, di blahbatuh bukan hanya tentang Kebo Iwo. Selain
tokoh ini ada juga tokoh yang merupakan salah satu tokoh sentral berdirinya Blahbatuh
yaitu : Raja Blahbatuh, Gusti Ngurah Jelantik diceritakan melalui Babad Blahbatuh dan
keturunan pendeta di Blahbatuh melalui Babad Brahmana, dimulai dari Babad
Blahbatuh menceritakan tentang :
Ki Gusti Ngurah Gede yang berceritera kepada adiknya bernama Ki Gusti Alit
Oka tentang riwayat leluhur mereka, yang merupakan keturunan Waisnawa.Cerita ini
dimulai dengan I Gusti Nyuh Aya, berputra tujuh orang laki-laki. Yang sulung Ki Gusti
Patandakan bertempat tinggal di Karangasem, ada pula adiknya di Akah, di Cacaran,
2 Profil ., Ibid. pp 7 - 9
26
di Anggan, di Pelangan, menurunkan Pladug, Tambega, Prasi, di Kroping menurunkan
Ngurah Kroping. Di Akah berputra Ki Gusti Dawuh Bale Agung yang menjadi
bhagawan. Ki Gusti Ngurah Dawuh berputra Ki Gusti Ngurah Pande, Ki Gusti Anjar
Rame. Ki Gusti Ngurah Pande berputra tiga orang laki-laki, yang sulung Ki Gusti
Byasama, Ki Gusti Jalegog, Ki Gusti Plapung. Ki Gusti Cacaran berputra Ki Gusti
Ngurah Jelantik. Pangeran Peninggungan berputra I Gusti Pangalesan Pasimpangan. I
Gusti Pangalesan Pasimpangan berputra dua orang laki-laki yaitu Ki Gusti Ngurah
Jelantik Wayahan dan Ki Gusti Ngurah Made Tenganan.Ki Gusti Ngurah Jelantik
Wayahan dijadikan anak angkat oleh Ki Gusti Dawuh, sedangkan Ki Gusti Ngurah
Tenganan masih tinggal di Jelantik dan bergelar Ki Gusti Ngurah Jelantik. Keturunan
Ki Gusti Ngurah Jelantik inilah yang kemudian secara turun - temurun menjadi
penguasa di wilayah Blahbatuh dengan gelar yang sama pula.3 Dari kisah – kisah Gusti
Ngurah Jelantik beserta keturunan dan pengikutnya yang tersebar di wilayah
Kecamatan Blahbatuh melahirkan desa – desa yang sekarang ini ada.
3 I Nyoman Sujana. Dkk,Babad Blahbatuh Babad Brahmana,( Denpasar :
Kantor Dokumentasi Budaya Bali. 2000) p. 3
27
Diagram Babab Blahbatuh
Lahirnya anak Kryan jelantik yang
bernama I Bogog yang mewarisi
nama ayahnya Kryan Jelantik
pada masa akhir pemerintahan
raja Seganing yang digantikan
oleh anaknya Dalem di Madhe
yang tidak mempedulikan
tentang kryan Jelantik muncullah
utusan dari nusa memohon agar
dikalahnya ki dewa bungkuk dan
di utuslah Kryan Jelantik untuk
melawan dan berhasil
mengalahkannya dan di berikan
hadiah oleh raja dan kembali
pulang.
Kryan Jelantik pda masa kerajaan
Gelgel yang mengabdi sebagai
punggawa di sana dan
ditugaskan menyerang Pasurwan
dan tewas di medan tempur
28
Dalem wafat digantikan oleh
putranya Ki Dewa Pemayun
kryan Jelantik tidak menaruh
perhatian dengannya lalu
kemudian kryan Jelantik wafat
digantikan oleh Ki Gusti Ngurah
Gede yang memakai gelar yang
sama dan ditugaskan beradu di
daerah Kuta dan berhasil
kembali ke pulang
Kryan Jelantik wafat digantikan oleh
putranya Ki gusti Gede Ngurah dengan
gelar yang sama terjadi permusuhan
dengan kyayi agung pada masa
pemerintahan ki dewa Pembayun
yang diemban oleh kyayi agung di
desa Jelantik kemudian pergi
meninggalkan tempatnya keberbagai
tempat sampai di daerah selantik di
Marga
Kryan Jelantik wafat setelah berhasil
menguasai Selantik dibawah kekuasaan
mengwi digantikan oleh putranya ki gusti
ngurah gede dengan menggunakan gelar
yang sama berselang datang utusan dari
gelgel yang mengajak kembali dan
kembalilah permusuhan kyayi agung
dengan kryan Jelantik diberi tugas untuk
berhadapan dengan orang pegunungan
dan berhasil kemudian kembali pulang
dan mulailah pertarungan antara kyayi
agung dengan kryan Jelantik
Kryan jelantik wafat di
Petandakan digantikan oleh I
Gusti Gede Oka dengan gelar
yang sama terjadi pertempuran
sengit Antara kyayi agung
dengan kryan Jelantik yang
memanas yang mengharuskan
kryan Jelantik pergi dari jelantik
dan menuju ke daerah bala
batuh atas bantuan pamanya
29
Babad Brahmana menggambarkan pengaruh
kepercayaan ajaran melalui tokoh – tokoh yang memperkuat kepercayaan masyarakat
Blahbatuh. Dari berbagai kisah – kisah yang terkandung dalam Babad Brahmana
memiliki arti dan fungsi bagi masyarakat Blahbatuh.
Dalam perjalanan Kryan
Jelantik sudah sampai di banda
yang terus berjalan sampai di
Blahbatuh menuju tojan
bertemu dengan bendesa
Blahbatuh dan memerintah di
blahbatuh
Kryan Jelantik wafat di tojan
digantikan oleh putranya bernama Ki
Gusti Ngurah Cekug dengan gelar
yang sama setelah lama masa
pemerintahanya wafat Kryan Jelantik
digantikan oleh anaknya, Ki gusti Gede
Ngurah dengAN GELAR yang sama Kryan Jelantik atau Ki
Gusti Ngurah Jelantik
yang memakai gelar ini
adalah ki gusti gede
gredeg meninggal
digantikan oleh ki gusti
gede kerug bertahta di
blahbatuh dengan gelar
yang sama. Dan
seterusnya berganti –
ganti sampai sekarang.
30
2.2.1 Stratifikasi Sosial
Masyarakat Bali khususnya di Blahbatuh telah memiliki jenis kepercayaan dan
pemujaan yang dilakukan yang pada zaman sebelum masuk ajaran Hindu yaitu:
1. Pemujaan terhadap arwah leluhur
2. Pemujaan terhadap arwah para pemuka masyarakat
3. Pemujaan terhadap kekuatan alam
Setelah masuknya ajaran Hindu ke Bali mulai muncul ajaran mengenai 7 sekte
yaitu :
1. Sekte Siwa Sidhanta adalah singkatan dari Sikara yang berarti Rudra, Dhakara
yang berarti Iswara, dan Anta yang berarti Siwa. Jadi Shidanta berarti
penunggalan dari hakekat Rudra, Iswara, dan Siwa. Disamping itu Sakara
berarti pertiwi, Dakara Berarti angkasa, dan Anta berarti Sorga. Jadi Sidhanta
berarti Hakekat Beliau yang menguasai dunia yang tiga
2. Sekte Pasupati juga merupakan sekte pemujaan Siwa. Bedanya dengan Siwa
Shidanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupatati
adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya /
berstananya dewa Siwa. Jadi penyembahan lingga sebagai lambing Siwa
adalah merupakan Ciri khas sekte Pasupata.
31
3. Sekte Sora adalah sekte yang memuja dewa Surya sebagai dewa utama.
Suryasewana yang dilakukan oleh para pendeta di Bali adalah pengaruh dari
sekte ini.
4. Sekte Ganapatya adalah sekte yang memuja dewa Ganesha sebagai dewa
utama. Banyaknya patung – patung Ganesha yang ditemukan di Bali ( yang
semuanya dibuat sebelum zaman Gelgel) menunjukkan betapa besarnya
pengaruh sekte ini di Bali pada zaman itu. Dewa Ganesa adalah dewa Wihgna-
gnha ( pengganggu – gangguan). Jadi dewa Ganesa adalah pembasmi dari apa
yang mengganggu.
5. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durgha sebagai dewa utama.
Pemujaan terhadap Dewi Durgha di Pura Dalem yang ada di desa adat di Bali
adalah merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu
Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte ini. Sekte ini merupakan
salah satu sekte wacamara (sekte aliran kiri), yang mendambakan kekuatan
magis yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Dalam sekte ini memiliki
ajaran – ajaran yang menjadi dasar kehidupan di dunia ini.
6. Sekte Waisnawa adalah sekte yang memuja Wisnu sebagai dewa yang utama.
7. Sekte Sogata adalah sekte yang memuja Budha.4
4 Wayan Nurkancana, Menguak Tabir Perkembangan Hindu,( Denpasar : PT
BP. 1998) pp. 134 - 137
32
Keberadaan sekte – sekte sangat mempengaruhi keberadaan sejarah masyarakat
Blahbatuh disebabkan karena pengaruh dari sekte - sekte ini tetap diwariskan generasi
ke generasi dimulai dari kerajan Bedahulu, Raja yang pertama suami istri adalah Sri
Dharma Udayana / Gunapria Dharmapatni didampingi Bagawanta Mpu Kuturan,
penganut Siwasidhanta. Pada mulanya sekte – sekte hidup berdampingan secara damai
namun lama kelamaan dalam perkembangannya sering terjadinya persaingan –
persaingan. Bahkan tidak jarang terjadi bentrokan secara fisik. Sehubungan dengan hal
tersebut, raja lalu menugaskan kepada senopati Mpu Kuturan untuk mengatasi. Atas
dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan lalu mengundang semua pemimpinan sekte dalam
suatu pertemuan yang diadakan di Baatanyar. (Daerah ini disebut Pejeng sekarang).
Mulai saat itulah orang Bali mengatur adat istiadat maupun pemerintahaan dengan
bimbingan Mpu Kuturan, yang bermusyawarah di Bedulu terkenal dengan sebutan
SamuanTiga, (yang kini menjadi Pura SamuanTiga). Dalam musyawarah mencapai
kata sepakat dengan keputusan, sebagai berikut :
a. Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti bahwa di dalamnya
telah tercakup paham seluruh sekte yang berkembang di Bali saat itu.
b. Dalam pertemuan tersebut Mpu Kuturan yang membangun sistem
kemasyarakatan, yang dimuat didalam prasasti Batuan tahun 944 S (1022
M) memunculkan istilah desa. Namun pengaruhnya lebih berkisar pada
sistem organisasi dan kepercayaan masyarakatnya, bukan pengawasaanya
dari atas. Dalam setiap desa (desa adat) supaya di bangun kahyangan tiga
33
yaitu Pura Balai Agung, Pura Puseh, Pura Dalem. Di setiap rumah didirikan
bangunan suci berruang tiga (Rong Tiga) sebagai tempat permujaan Tri
Murti.
c. Penduduk dibagi menjadi dua golongan yaitu :
a. . Kaum Bangsawan /Penguasa dan
b. Yang lainnya masyarakat professional dengan julukan/warna sesuai dengan
keahliannya/ pekerjaannya masing – masing seperti :
a. Rama Kabayan , penguasa /pimpinan suatu desa
b. Sangging / Undagi para seniman gambar dan ukir
c. Pande: pembuat senjata, alat2 dapur, alat petani maupun perhiasan dan
gambelan.
d. Bujangga atau Sri Mpu/JeroMangku, pemimpin agama termasuk adat
istiadat.5
Masyarakat pada zaman Mpu Kuturan sangat percaya akan ajaran diajarkan
melahirkan penyatuan kelompok dan pengelompokan sosial di masyarakat melalui
keahlian yang dikuasai masyarakatnya di Bali. Dalam ajaran agama Hindu dikenal
dengan nama catur warna.
5 Wayan Nurkancana, Ibid., pp. 138 - 139
34
Pada tahun saka 1259 naik tahta raja Bedahulu dengan gelar Bhatara Sri
Astasura Ratna Bumi Banten dengan patih Pasung Gigris dan salah satu patih selain
Pasung Gigris yaitu Kebo Iwa. Dalam penelitian R. Goris tidak disebutkan tentang hal
tersebut, akan tetapi Kebo Iwa ditulis dalam Purana, Prasasti Pura Maospahit, Babad
Bara Batu dan dipercayai keberadaannya oleh masyarakat Blahbatuh , inti isi mengenai
Kebo Iwa menceritakan sebagai berikut :
Pada masa pemerintahan Astasura Ratna Bumi Banten mengadakan
pertarungan antara Kebo Iwo dengan semua patih dan rakyat dalam adu tanding dan
dimenangkan oleh Kebo Iwa. Dengan demikian raja kagum atas kekuatan Kebo Iwa,
lalu Kebo Iwo diangkat menjadi patih andalan. Beliau sangat terkenal sampai diluar
Bali. Diceritakan penyerangan Gajah Mada ke Bali dibantu Arya Damar dan Arya
lainnya gagal disebabkan adanya patih Kebo Iwo. Untuk dapat mengalahkannya Gajah
Mada menggunakan siasat yaitu membujuk Kebo Iwa untuk datang ke Jawa dengan
imbalan akan disandingkan dengan putri dari Jawa Madura.
Kemudian setelah tiba di Jawa dan disambut oleh orang – orang Surabaya,
Madura, tak terbilang banyak menyambut kedatangannya. Ia lalu disuruh membuat
sumur di lereng gunung untuk pemandian Sang Dyah di kala hari pernikahan nanti.
Setelah Kebo Iwa menggali sumur, lalu ditimbun dengan bongkahan – bongkahan batu,
lalu disangga batu itu dengan belahan tangan dan dihempaskan kembali dari dalam
sumur, bagaikan hujan batu, semuanya lari tunggang langgang menyelamatkan diri
takut kena bongkahan batu. Lalu Kebo Iwa keluar dari dalam sumur seraya berucap,
35
“Hai kamu prajurit semua, kalau kamu mengaharapkan aku mati, aku takkan mati oleh
batu, juga dengan senjata buatan manusia, malu aku kembali ke Bali. Dengarkan
ucapanku, kalau kamu ingin membunuh aku, dengan kapur bubuk timbun aku kedalam
sumur beserta canang wangi, seperti bunga, daun, air, dupa, buah. Jika aku mati atas
kehendak kamu semua. Semoga di kemudian hari di bumi ini akan dimasuki Kebo
Putih. Saat itu semuanya akan kesusahan,” demikian akhirnya Kebo Iwa meninggal di
dalam sumur menuju kesunyian.6
Cerita ini menjelaskan awal mula maksud dari icon Kecamatan Blahbatuh yaitu
patung Kebo Iwo. Ini memberikan pelambangan keadaan Blahbatuh itu sendiri.
Memang bagi masyarakat yang bukan masyarakat Kabupaten Gianyar khususya
Blahbatuh pasti menganggap Kebo Iwo tidak memiliki bukti yang jelas tentang
keberadaannya namun masyarakat melihat dari sejarah hidupnya yang dapat dijadikan
simbolis. Dan peninggalan yang pernah dihasilkan Kebo Iwo dijadikan warisan budaya
masyarakat di Kecamatan Blahbatuh. Untuk itu masyarakat merasa memerlukan sosok
figur dalam membimbing masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik maka
masyarakat Blahbatuh dan Gianyar memberikan nama jalan dan tempat penting seperti
jalan, pura, GOR, dan lain - lainnya di wilayah masing – masing dengan nama Kebo
Iwo untuk menunjukkan berartinya beliau di mata masyarakat Kabupaten Gianyar
khususnya Kecamatan Blahbatuh.
6 I Made Bawa, Kebo Iwo dan Sri Karang Buncing dalam Dinasti Raja – Raja
Bali Kuno,( Denpasar : Buku Arti. 2011) pp. 92 - 95
36
Diceritakan kembali mengenai Raja Bedahulu Astasura Ratna Bumi Banten
yang diserang oleh pasukan Gajah Mada dari 4 arah akhirnya gugur dan patihnya beliau
bernama Pasung Gigris tertawan, lalu diperintahkan menjadi penguasa sementara. Sisa
pasukan yang masih hidup melarikan diri ke pedalaman. Dan melakukan perlawanan
dari daerah – daerah pedalaman. Pada tahun 1343 para penguasa Bali yang memegang
pemerintahan sebelumnya seperti Pasung Gigris bertugas menyerang raja Sumbawa
yaitu Dedelanata dan keduanya gugur di dalam pertempuran. Untuk memegang
pemerintahan, Gajah Mada atas nama kerajaan Majapahit menugaskan Dalem Ketut
Sri Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali. Raja ini merupakan keturunan Mpu
Kepakisan dan medirikan kerajaan Samprangan, daerah Gianyar.
Para arya yang berjasa menaklukan pulau Bali, ditempatkan di desa–desa.
Dalem Ketut Kresna Kepakisan masih menghadapi pemberontakan rakyat “ Baliaga”.
Sri Kresna Kepakisan tidak berhasil memadamkan pemberontakan tersebut, hingga
putus asa, lalu mengirim utusan ke Majapahit mohon mengundurkan diri. Permohonan
pengunduran diri ditolak oleh Patih Gajah Mada. Melalui utusan tesebut Gajah mada
memberikan nasehat–nasehat untuk membesarkan hati Raja Bali dan memberikan
hadiah berupa keris. Orang–orang Baliaga mulai mendapat serangan dan tunduk.
Keturunan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan menggantikan kedudukannya
sebagai raja yaitu Dalem Samprangan. Karena beliau tidak cakap dalam memerintah
maka digantikan oleh Dalem Ketut Ngelesir dengan bantuan Kebon Tubuh yang
mempersembahkan tanah miliknya di Gelgel untuk membangun istana. Kerajaan
37
Gelgel mulai tumbuh. Dalem Ketut Ngelesir menyempurnakan pemerintahan dengan
memberikan perhatian terhadap pembesar – pembesar “Baliaga”. Mereka yang
memegang pemerintah secara turun - temurun memakai gelar “Dalem”. Gelar ini
dipakai sejak kerajaan Bali berpusat di Samprangan sampai Gelgel runtuh. Dimulai
dari Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan dilanjutkan dengan Dalem Samprangan
dilanjutkan dengan Dalem Ketut Ngelesir dilanjutkan Dalem Waturenggong
dilanjutkan dengan Dalem Bekung dilanjutkan lagi Dalem Seganing dan raja terakhir
adalah Dalem Dimade.
Orang – orang yang memegang jabatan di bawah raja merupakan keturunan
para Arya yang menaklukan Bali. Secara turun temurun mereka memakai gelar
“Gusti”. Lain halnya setelah kerajaan Klungkung berdiri. Raja yang memegang
pemerintah di Kerajaan Klungkung memakai gelar “Dewa Agung”7 dan diikuti oleh
keturunan memakai gelar yang sama.
Menurut pandangan penulis awal mula kelas sosial atau di masyarakat Bali
dikenal dengan nama catur kasta (empat kelas sosial berdasarkan keturunan di
masyarakat) di Bali dimulai dari pemakaian gelar oleh para petinggi suatu
pemerintahan karena penerangan sejarah para petinggi di BUali bawahan berasal dari
kerajaan Majapahit yang berada di Bali, selalu menggunakan gelar yang sama pada
setiap keturunannya. Karenanya di masyarakat muncul perbedaan antara rakyat dengan
7 Departemen Pendidikan Kebudayaan, Sejarah Daerah Bali,( Jakarta :
Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. 1978) pp.38 -62
38
penguasa. Dengan berjalannya waktu pada masyarakat muncul golongan atas diikuti
oleh masyarakat golongan bawah dan meluas dipengaruh di setiap wilayah di Bali
disebabkan keadaan dan kondisi zaman. Golongan atas melahirkan golongan tri
wangsa yang artinya tiga golongan yang diartinya tiga gelar atau sebutan bagi garis
keturunan yang memiliki peranan dalam struktur dalam masyarakat. Sedangkan
golongan bawah melahirkan golongan jaba yang artinya gelar atau sebutan bagi garis
keturunan yang tidak memiliki peranan dalam struktur dalam masyarakat.
Golongan Tri Wangsa menduduki kedudukan tertinggi baik dalam ajaran
agama maupun pemerintahan yang ada pada masa itu. Golongan tri wangsa terdiri dari
Brahmana: Ida Bagus bagi laki – laki, Ida Ayu bagi perempuan dan bila disucikan
secara agama maka mendapat gelar Ida Penanda Lanang bagi laki – laki dan Ida
penanda Istri bagi perempuan. Ksatria : Cokorda untuk laki – laki, Cokorda istri untuk
perempuan, Anak Agung untuk laki –laki, Anak Agung Ayu untuk perempuan, Dewa
untuk laki – laki, Desak untuk perempuan, tambahan mengenai dewa ada juga
menggunakan Dewa Pungakan disingkat menjadi Dewa Ngakan atau Ngakan bagi laki
– laki, Sangayu bagi perempuan. Dan untuk para pengikut (para arya) memakai “Gusti”
baik laki – laki maupun perempuan. Bagi golongan Ksatria yang masuk kedalam
Kesucian ajaran agama maka memakai gelar Mpu, Rsi dan Mangku. Golongan Tri
wangsa memiliki peranan sebagai berikut: Brahmana sebagai pembuat, pelaksana, dan
pembina kepercayaan masyarakat terhadap ajaran–ajaran agama dan leeluhur di dalam
masyarakat itu sendiri.
39
Golongan Ksatria berperan dalam pemeliharaan, pembinaan dan pelaksana
pemberian hukuman terhadap tindakan yang mengabaikan aturan yang berada dalam
masyarakat itu sendiri. Golongan Jaba terdiri dari: Wayan, Putu, Made, Komang,
Ketut, Nengah dan lain – lain, ini digunakan untuk menunjukkan tingkat lahir
keturunan dalam golongan Jaba. Bagi golongan Jaba yang ingin masuk kedalam
kesucian ajaran agama maka digunakan gelar “Mangku”. Golongan Jaba memiliki
peran sebagai pelayan atau pembantu bagi golongan tri wangsa dalam menjalankan
ajaran – ajaran yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dan juga penyedian saranan
yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Di berikan hak kepada golongan Ksatria dan
jaba mendapatkan peran sebagai pelaksana (tokoh agama) dalam pelaksanaan suatu
ajaran.
Dengan melalui pendidikan dalam abad ke XIV sampai permulaan abad XIX
mempunyai corak yang sesuai dengan masyarakat tradisional. Pendidikan dilakukan
oleh golongan elit (triwangsa) atas inisiatif pribadi. Pendidikan yang menonjol pada
waktu itu adalah pendidikan keagamaan dan hal–hal yang berhubungan dengan
kehidupan kerajaan. Orang–orang yang meberikan pendidikan terdiri dari orang –
orang Brahmana. Orang yang memberikan pelajaran disebut “Sang Guru”. Dimata
masyarakat seorang guru dianggap telah memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Gelar
Sang Guru didapati melalui kelahiran kedua kalinya (dwijati), maksudnya pertama kali
manusia lahir ke dunia tidak memiliki apa – apa dalam hidupnya (hampa) dan kelahiran
40
kedua didapatkan dengan ilmu pengetahuan yang luas melalui pengalaman dalam suatu
kegiatan ( upacara).
Orang yang belajar dari sang Guru disebut “Sisya”. Dalam proses sumber -
sumber pembelajaran tersebut disebut “Aguru”, sedangkan proses memberikan
pelajaran disebut “asisia”. Sebagai seorang sisya harus mentaati peraturan–peraturan
yang sangat ketat. Peraturan berupa pengekangan diri (tapa Brata). Seorang guru
melakukan pengarahan pada seorang sisya melalui kegiatan (upacara) dalam tujuan
membersihkan diri sisya dengan istilah “Abebersih” atau Diksita (diksa)”. Setelah
“Mediksa’. Barulah seorang golongan Brahmana, Ksatya, Jaba mendapat gelar sebagai
seorang tokoh (diatas sebagai berikut). Biasanya untuk menggantikan dirinya, seorang
guru cukup menunjukkan salah seorang keturunanya sebelum meninggal. Khusus bagi
golongan ksatrya tentang ilmu – ilmu berhubungan pemerintahaan.8
Menurut peneliti dari cara hidup masyarakat tradisional muncullah istilah catur
guru sebagai dasar kehidupan masyarakat. Kata catur berasal dari bahasa sansekerta
yang berarti empat kata guru berasal dari akar kata sansekerta, gu berarti kegelapan
dan ru berarti penerangan. Jadi guru adalah seseorang yang berpengetahuan dan
memberikan pencerahan serta mampu untuk mengarahkan orang lain. Catur guru
memiliki arti empat guru yang dihormati, diagungkan, dipuja, ditaati, dan ditakuti
8 Departemen Pendidikan Kebudayaan, Ibid., pp.73-74
41
dalam kehidupan masyarakat tradisional pada masa itu. Catur Guru terdiri dari empat
guru yaitu :
Guru Swadyaya adalah Sang Yang Widi Wasa merupakan perwujudan
penyatuan dari Tri murti disebut maha Guru kehidupan (Guru Utama) yang
memberikan tuntunan hidup manusia melalui ajaran-ajarannya yang diturunkan
melalui wahyu yang diterima oleh masyarakat melalui golongan Brahmana. Peneliti
menggambarkan bagikan Pohon Kehidupan, yang terdiri dari Betara Brahma
perwujudan dari pencipta yang berada dalam kuncup yang tumbuh di kulit kayu yang
terletak di pohon kehidupan, digambarkan sebagai Ilmu Pengetahuan melalui
keyakinan atu kepercayaan puncaknya menjadi kebijaksanaan dalam menjalani hidup,
yang nantinya akan menjadi kekuatan dalam diri pribadinya dan tercermin dalam
perilakunya., Betara Wisnu perwujudan dari pelindung berada pada daun rimbun dan
buahnya yang lonjong digambarkan sebagai kekuasaan dan Kekayaan hasil dari
kebijaksanaan yang diperoleh dari prilaku dalam dirinya, Betara Siwa perwujudan dari
peleburan berada pada dedaunan tua dan buah yang membusuk dari dalam
digambarkan kekuasaan yang menghilang dan kekayaan yang habis diakibatkan oleh
waktu, ketiga kekuatan penguasa kehidupan ini dipercayai oleh masyarakat tradisional
sebagai Maha Guru Kehidupan. Untuk menghormati maka didirikan tempat suci yang
dikenal dengan Pura Dalem, Pura
Maha Guru kehidupan yang mengajari sisia (individu – individu dalam
masyarakat) mengenai arti dan mengerti jalan kehidupan yang sesungguhnya melalui
42
pengalaman sisia dalam menjalani hidupnya. Maha guru kehidupan mengajari sisianya
dengan cara melakukan kegiatan untuk mencari kehidupan dikenal dengan nama
penghidupan di dalam masyarakat. Maha Guru kehidupan memberikan tugas pada
sisianya mencari pengertian arti sesungguhnya kehidupan, di masyarakat lebih dikenal
sebagai mata pencaharian hidup. Dan sisia yang bisa menyelesaikan tugasnya dengan
baik akan menjadi “orang meninggalkan dunia menuju alamNya”
Guru Wisesa adalah pemerintahan dalam suatu wilayah peneliti
menggambarkan sebagai batang pohon yang memiliki struktur terdiri dari penguasa
yang dianggap sebagai perwujudan dari betara di bumi, berada pada inti batang pohon
menggambarkan keberadaan pelindungi wilayah tersebut, dengan pengikutnya yang
menjaga keberadaan penguasa tersebut, menggambarkan kekuatan dari keberadaan
pelindungi wilayah tersebut. Masyarakat tradisional mempercayai pemerintahan
sebagai Guru Pelindung Kehidupan, karena masyarakat tradisional mematuhi peraturan
yang dibuat oleh pemerintah penguasa tersebut bagaikan seorang sisia yang menututi
gurunya. Guru Pelindung Kehidupan memberikan tugas pada sisia untuk siap atau
sanggup dalam situasi apapun dalam kehidupannya, didalam masyarakat dikenal
dengan istilah mengabdi. Karenanya pada masa kerajaan dulu masyarakat memandang
bahwa pemerintah adalah seorang guru yang akan memberikan pengarahan pada
masyarakat kemana harus melangkah sehingga banyak masyarakat dulu memiliki sifat
bersedia mengikuti apa – apapun yang dianggapnya perlu. Sisia yang dapat
43
menyelesaikan tugasnya dengan baik akan menjadi “orang besar menerima kenyataan
hidup ”.
Guru Pengajian adalah masyarakat memiliki kemampuan di suatu wilayah
peneliti menggambarkan sebagai akar pohon yang muncul dipermukaan tanah,
maksudnya masyarakat yang memiliki kemampauan tersebut dilihat oleh pemerintah
dijadikan aparat pemerintah di masyarakat sendiri. Dimata masyarakat tradisional,
masyarakat yang memiliki kemampuan dalam menjaga kepercayaan akan dijadikan
panutan bagi masyarakat lainnya. Karena itu dianggap sebagai Guru Penjaga
kehidupan. Para sisia ditugaskan oleh guru penjaga untuk menjaga kehidupan di
wilayah melalui ketrampilan dalam seni yang dikuasai masyarakat tersebut dan dalam
menjaga ketrampilan dalam seni agar keberadaannya tetap ada maka muncul sebuah
seni tulisan. Sisia yang menyelesaikan tugasnya dengan baik akan menjadi “orang
mampu dalam kemampuan”.
Guru Rupaka adalah orang tua dalam suatu masyarakat di suatu wilayah
peneliti menggambarkan sebagai akar pohon yang dalam tanah yang tidak kelihatan
namun memberi kehidupan bagi akar permukaan, batang pohon, bagian atas pohon.
Karena dalam ajaran catur guru pekerjaan guru rupaka merupakan pekerjaan terberat
dalam catur guru disebabkan manusia mempelajari hakekat hidupnya dalam kehidupan
manusia melalui 3 tahap yaitu : tahap pertama, merangkak, menunduk artinya
menyerahkan hidupnya pada orang lain, selanjutnya menangis artinya meminta sesuatu
dari orang lain. tahap kedua, berjalan dengan kedua kaki artinya mempelajari cara
44
berdiri sendiri, selanjutnya berbicara artinya mulai mempelajari sarana berkomunikasi
untuk memiliki sesuatu, selanjutnya menulis juga sarana dalam memperoleh sesuatu
dan menunjukkan sesuatu. Dan tahap ketiga. Menunggu artinya menyerahkan sesuatu,
selanjutnya diam artinya kehilangan sesuatu. Hakekat hidup ini hanya salah satu dari
berbagai ajaran mengenai hakekat hidup. Karenanya itu keluarga merupakan Guru
Pembimbing kehidupan. Sisia diberi tugas oleh Guru pembimbing Kehidupan untuk
mengetahui kehidupannya dengan menjadi “orang yang hidup dan belajar artinya
hidup”.
Pendidikan pada masa itu berdasarkan atas keturunan dan kelas sosial atau
golongan. Bagi golongan atas diberikan pelajaran dari 4 guru di atas sedangkan
golongan kelas bawah tidak dizinkan untuk mendapatkan pendidikan dari guru wisesa
dan guru pengajian hanya didapat melalui guru swadiayaya dan guru rupaka melalui
guru ini mereka mengenal arti dari kedudukan dan kekuasaan dari alam maupun
manusia karena pendidikan itu sangat didasarkan pada kepercayaan baik dari alam
ataupun manusia sendiri. Kepercayaan itu melahirkan sebuah kebudayaan masyarakat
menjadikan rutinitas masyarakat pada masa itu.banyak hasil karya yang dihasilkan
pada kebudayaan itu yaitu gong, alat musik tradisional khususnya seluruh wilayah Bali
merupakan harta berharga. Karena pada awal datangnya orang Belanda disambut
dengan musik tradisional memberikan kejutan pada orang Belanda dan membuat
bangsa belanda kebinggungan diawalnya lama kelamaan menjadi daya tarik dan
memunculkan kekaguman dari rasa itu menjadi cikal bakal aset bagi Bali untuk
45
menculnya pariwisata. Alasan mengapa belanda sangat di terima wilayah bali awalnya
terutama wilayah kerajaan sampranga dulu disebabkan rasa tidak menyukai sikap yang
pernah dibawa orang jawa.
Pada masa itu, masyarakat tidak menyenangi sikap menipu mungkin
masyarakat menganggap bahwa pelajaran dari empat guru adalah yang utama. Dan
juga masyarakat pada masa itu memiliki jiwa murni yang bila di kotori akan mencemari
nilai ajaran yang ada. Artha benda menjadi hal ringan bagi masyarakat saat itu
karenanya bangunan baik itu tempat tinggal maupun tempat sembahyang dibangun
menyatu dengan alam. Menurut pandangan peneliti masyarakat tradisional
menganggap bahwa guru swadiayaya dapat ditemui melalui penyatuan masyarakat
dengan alam itu sendiri. Sekarang kembali pada penjelasan mengenai setelah masa
pemerintah gelgel dilanjutkan dengan masa penjajahan. Dari penjajahan ini munculnya
pariwisata. Pariwisata masuk ke Blahbatuh pada tahun 1981 dimulai dengan masuk
investor dalam upayanya mencari lahan untuk pariwisata. Hal ini sejalan pada
perkembangan blahbatuh yang membangun fasilitas yang untuk dapat menunjang
kebutuhan masyarakatnya. Akan tetapi diantara setiap wilayah blahbatuh munculkan
pro dan kontra masalah mengenai perkembangan pariwisata di masyarakat.
Hal ini memunculkan perbedaan antara suatu wilayah dengan wilayah lain
misal wilayah blahbatuh yang dekat kecamatan ubud seperti bedulu menerima lebih
perkembangan pariwisata karena ada fasilitas yang menunjang contoh objek wisata goa
gajah yang juga dijadikan pasar seni, museum arkeologi dan yeh pulu. Perkembangan
46
pariwisata ini tidak hanya sampai disini berkat munculnya jalan Bypass Prof. Dr. Ida
bagus mantra yang diresmikan tahun 2007, yang menghubungkan antara badung
dengan karang asem menjadi peluang bagi pariwisata masuk ke sekitar pantai wilayah
blahbatuh yaitu desa Saba, Keramas,dan medahan yang menjadi daya tariknya villa –
villa yang di bangun sekitar pantai. Perubahan yang terjadi di blahbatuh bukan hanya
sebatas pariwisata juga bidang lain seperti perdagangan modern yang datang sekitar
tahun 2010 mengubah sistem yang sudah di wilayah blahbatuh tersebut, selain itu,
bidang pendidikan ikut berubah dengan masuknya pariwisata di wilayah blahbatuh
memunculkan jurusan Bahasa menjadi perimadona di sekolah – sekolah swasta.
Perubahan pola pikir masyarakat berubah dari religious menjadi ekonomis, akan tetapi
tidak terlihat kepermukaan mungkin disebabkan para aparat desa yang berjasa akan hal
tersebut, menjaga baik tradisi yang sudah ada.