komodifikasi pusaka budaya pura tirta

354
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Setiap bangsa di dunia ini memiliki sejarahnya sendiri, yang masing- masing relatif berbeda antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh berbagai faktor misalnya kondisi sosial budaya, lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Sejarah masa lalu ternyata telah membentuk kepribadian suatu bangsa, seperti yang direfleksikan oleh kebudayaan nasional bangsa yang bersangkutan. Proses sejarah manusia berjalan terus sebagai suatu kesinambungan hidup yang tidak mungkin dapat di potong-potong dengan mudah. Berkaitan dengan hal itu, di kalangan ahli sejarah ada yang berpendapat bahwa sejarah akan berulang kembali, tetapi akan muncul dalam nuansa yang berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pada suatu kurun waktu tertentu (Sutaba, 1991 : 1). Sejarah bangsa Indonesia telah membuahkan kepribadian nasional seperti yang tercermin dalam kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa mencakup kebudayaan lama sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah di seluruh tanah air. Sebagian dari kebudayaan lama ini adalah sejumlah pusaka budaya yang tersebar hampir di seluruh pelosok nusantara, antara lain di Sumatra, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Bagian Timur. Adapun pusaka budaya itu, misalnya sisa-sisa keraton kerajaan Sriwijaya di Palembang, Candi Borobudur dan 1

Upload: vankhuong

Post on 30-Dec-2016

297 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Setiap bangsa di dunia ini memiliki sejarahnya sendiri, yang masing-

masing relatif berbeda antara bangsa yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan

itu mungkin disebabkan oleh berbagai faktor misalnya kondisi sosial budaya,

lingkungan hidup, dan lain sebagainya. Sejarah masa lalu ternyata telah

membentuk kepribadian suatu bangsa, seperti yang direfleksikan oleh kebudayaan

nasional bangsa yang bersangkutan. Proses sejarah manusia berjalan terus sebagai

suatu kesinambungan hidup yang tidak mungkin dapat di potong-potong dengan

mudah. Berkaitan dengan hal itu, di kalangan ahli sejarah ada yang berpendapat

bahwa sejarah akan berulang kembali, tetapi akan muncul dalam nuansa yang

berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi pada suatu kurun waktu tertentu

(Sutaba, 1991 : 1).

Sejarah bangsa Indonesia telah membuahkan kepribadian nasional

seperti yang tercermin dalam kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa mencakup

kebudayaan lama sebagai puncak-puncak kebudayaan daerah di seluruh tanah air.

Sebagian dari kebudayaan lama ini adalah sejumlah pusaka budaya yang tersebar

hampir di seluruh pelosok nusantara, antara lain di Sumatra, Jawa, Bali,

Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Bagian Timur. Adapun pusaka budaya itu,

misalnya sisa-sisa keraton kerajaan Sriwijaya di Palembang, Candi Borobudur dan

1

Page 2: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Prambanan di Jawa Tengah, Keraton Majapahit di Jawa Timur, Pura Besakih, Goa

Gajah, Pura Tirta Empul di Bali, sisa-sisa kerajaan Kutai di Kalimantan Timur,

dan lain-lain. Semua itu adalah sebagian dari kekayaan budaya bangsa (national

cultural property) sebagai bukti sejarah yang gemilang, yang memberikan

gambaran tentang berbagai aspek kehidupan masa lalu. Pusaka budaya itu

memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan yang telah dicapai,

misalnya kehidupan sosial budaya, ekonomi, politik, dan lain sebagainya

Pusaka budaya yang merupakan sebagian dari kebudayaan masa lalu,

juga merupakan hasil tanggapan manusia pendukungnya terhadap lingkungan

alam dalam usahanya untuk memenuhi keperluan hidupnya. Bagi bangsa

Indonesia yang pernah mengalami masa lalu yang gemilang, tentu pusaka budaya

yang telah melahirkan kepribadian bangsa akan menempati kedudukan yang

sangat penting dalam pembangunan yang berakar pada sejarahnya sendiri.

Pusaka budaya (heritage) dewasa ini telah mendapat perhatian yang

luas. Tumbuhnya kesadaran tentang perlunya penyelamatan benda budaya yang

merupakan bukti sejarah masa lalu, dan di sisi lain, adanya peluang ekonomi

pariwisata yang memanfaatkan benda budaya tersebut, melahirkan berbagai upaya

pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan untuk kepentingan peningkatan

kehidupan masyarakat. Jika benda-benda tersebut dikelola secara baik dan

profesional, sebagai bagian dari suatu kebudayaan, pusaka budaya bisa menjadi

alat pemberdayaan bagi pihak-pihak yang terkait, yaitu pemerintah selaku

pemegang kebijakan politik, pengusaha dalam bidang ekonomi, dan masyarakat

sebagai pemilik kebudayaan.

2

Page 3: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dalam konteks pengembangan pariwisata, Indonesia merupakan salah

satu negara di Asia Tenggara yang memiliki paling banyak pusaka budaya, baik

yang berasal dari masa prasejarah, Hindu Buddha, Islam, dan masa kolonial, yang

tersebar di seluruh nusantara (Ardika, 2007 : 47-48). Di tingkat Asia Tenggara

pemanfaatan pusaka budaya yang dikaitkan dengan industri pariwisata membuat

beberapa negara yang tergabung dalam Association of South East Asian Nations

(ASEAN), menandatangani Deklarasi Borobudur yang dilampiri dengan rencana

kerja Borobudur Plan of Actions pada Agustus 2006. Penandatanganan

kesepakatan tersebut merupakan rangkaian agenda Simposium Internasional

bertema ”Jejak-jejak Peradaban” (trails of civilization), yang isinya berupa

komitmen untuk mengembangkan pariwisata melalui pengelolaan dan promosi

pusaka peradaban bersama dalam wujud kerja sama wisata ziarah dan budaya.

Banyak negara di dunia yang mengembangkan sektor pariwisata sebagai

sumber pendapatan menjadikan aspek budaya negerinya sebagai salah satu

andalan daya tarik wisata. Keinginan untuk memanfaatkan pusaka budaya sebagai

daya tarik wisata mulai muncul tahun 1963 ketika Dewan Ekonomi dan Sosial

Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nations) mengadakan konferensi tentang

”international travel and tourism” di Roma. Dalam laporan Konferensi Roma itu

UNESCO menyajikan laporan bertajuk The Cultural Factors in Tourism (Aspek-

aspek Budaya dalam Pariwisata), yang isinya selain menekankan pentingnya

pariwisata untuk mempromosikan perdamaian, persahabatan antarnegara, laporan

itu juga menegaskan pentingnya negara-negara untuk melestarikan (preserve) dan

mempromosikan (promote) pusaka budaya dalam pembangunan ekonominya.

3

Page 4: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pengenalan pusaka budaya ditempuh untuk memperkaya pengalaman wisatawan

dan pada saat yang bersamaan keuntungan ekonomi yang diperoleh dari industri

pariwisata dapat digunakan untuk meningkatkan program konservasi dan

pembangunan budaya (Darma Putra, 2002 : 149).

Pilihan mengembangkan industri pariwisata dengan memanfaatkan

kekayaan pusaka budaya dan memanfaatkan hasil industri untuk melestarikan

budaya juga menjadi strategi banyak negara. Negeri Cina, Mesir, dan Indonesia,

dalam pengembangan pariwisata masing-masing juga memanfaatkan pusaka

budaya, baik dalam pengertian fisik maupun nilai dan gaya hidup untuk memikat

wisatawan. Cina yang membuka diri kepada dunia luar sejak akhir tahun 1970-an,

sangat menyadari betapa besar arti pusaka budaya yang mereka miliki untuk

mengembangkan industri pariwisata. Negeri berpenduduk 1,2 milyar ini terkenal

memiliki peradaban yang sangat tinggi dengan peninggalan budaya yang eksotik

dan monumental (Tembok Cina). Dalam berbagai promosinya, Cina menonjolkan

dirinya sebagai destinasi wisata yang beralam indah, memiliki tempat

bersejarah/purbakala yang mengagumkan, dan kebudayaan yang beranekaragam.

Fakta bahwa ribuan wisatawan yang datang ke tempat ini menjadi bukti bahwa

pusaka budaya itulah yang menjadi daya tarik utama Cina.

Keajaiban dunia yang lain, yakni piramida dan candi-candi kuno yang

terdapat di Mesir juga dijadikan sarana bagi pemerintah negeri itu untuk menarik

wisatawan. Pemerintah Mesir sangat menyadari bahwa pertumbuhan sektor

pariwisata sangat tergantung pada pusaka budaya piramida dan peninggalan

sejarah, serta bangunan tradisional lainnya. Meskipun Mesir mengembangkan

4

Page 5: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

objek wisata baru, maskot promosinya tetap menonjolkan warisan budaya

bersejarah sehingga wisatawan dunia mau menempatkan Mesir sebagai daftar

untuk dikunjungi. Demikian juga Indonesia memiliki banyak situs arkeologi yang

diakui sebagai warisan budaya dunia. Situs-situs itu antara lain ialah situs manusia

purba di Sangiran, Candi Prambanan di Yogyakarta, Candi Borobudur di

Magelang Jawa Tengah, dan lain-lain.

Bali merupakan ekologi pulau kecil yang memiliki keterbatasan sumber

daya alam, kecil dalam jumlah penduduk, namun besar dalam potensi

kebudayaan. Dalam perjalanan sejarah yang amat panjang dengan melewati masa

prasejarah dan kemudian masuk ke dalam era sejarah serta peradaban modern,

Bali dengan manusia dan kebudayaannya berkembang secara horizontal dan

vertikal.

Dalam perkembangan yang berdimensi horizontal, wilayah, manusia,

dan kebudayaan Bali terbuka serta terkomunikasi secara lokal, nasional, global

menembus batas-batas etnik, ras, dan nasion. Dalam perkembangan yang

berdimensi vertikal, wilayah, manusia, dan kebudayaan Bali terbuka dan tumbuh

mengikuti perkembangan peradaban umat manusia yang diindikasikan melalui

kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan informasi melalui revolusi

telekomunikasi, transportasi, perdagangan, serta pariwisata.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada manusia dan kebudayan Bali

juga berkembang fenomena global yang manifes secara simultan melalui

terjadinya pola-pola kehidupan masyarakat yang merefleksikan gerak globalisasi

dan Balinisasi. Gerak globalisasi diindikasikan oleh makin meluas dan

5

Page 6: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

berkembangnya jaringan relasi yang terbuka secara internasional, sementara itu

gerak Balinisasi diindikasikan oleh pencarian jatidiri manusia Bali yang tiada

henti disertai dengan proses involusi ekologis, sosial, dan budaya (Geriya,

2008 : 47).

Kebudayaan Bali sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia yang

bersifat Bhineka Tunggal Ika, dalam dua dekada terakhir ini memperlihatkan

dinamika dan perubahan yang sangat pesat. Fenomena internal yang mendorong

perubahan adalah trasformasi struktur masyarakat agraris ke masyarakat industri

dan jasa, perubahan ekologi, serta perkembangan visi orang Bali sebagai etnik

melalui kemajuan pendidikan. Fenomena eksternal yang mendorong perubahan

mencakup dampak telekomunikasi, transportasi, perdagangan, pariwisata, dan

intensifnya sentuhan peradaban global.

Masyarakat Bali masa kini sebagai refleksi masyarakat transisi dan

masyarakat yang bergerak makin heterogen mendukung sekaligus dikhotomi

kebudayaan, yaitu kebudayaan tradisional dan kebudayaan modern. Interaksi

antara kebudayaan tradisional dengan kebudayaan modern, disatu sisi

menunjukkan proses integrasi adaptif dan di sisi lain juga menunjukkan dialektik

antagonistik. Berbagai benturan budaya muncul dalam beberapa kasus dengan

membawa dampak negatif, seperti fenomena distorsi, degradasi, demoralisasi

sampai dengan berbagai pelecehan kultural (Geriya, 2008 : 2).

Bali mempunyai potensi yang besar di bidang pusaka budaya.

Keindahan alam dan budaya telah menjadi image kepariwisataan daerah ini.

Pemerintah Daerah Bali telah mencanangkan bahwa pariwisata yang

6

Page 7: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dikembangkan adalah pariwisata budaya yang dijiwai oleh agama Hindu (Ardika,

2004 : 21). Pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam

pengembangannya menggunakan kebudayaan Bali sebagai potensi dasar, yang di

dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik yang serasi,

selaras, dan seimbang antara pariwisata dan kebudayaan.

Terkait dengan pengembangan pariwisata budaya, Bali atau Gianyar

khususnya, sesungguhnya sangat beruntung karena sejak lama telah mendapat

citra yang positif. Citra itu ternyata memiliki sejarah, yaitu sebagai kreasi orang-

orang Barat yang pada akhirnya diambil alih oleh orang Bali sendiri. Miguel

Covarrubias dalam bukunya Island of Bali menyebutkan Bali sebagai surga dunia

yang terakhir (1972 : 14). Representasi Covarrubias tentang Pulau Bali adalah

Bali yang eksotis, Bali dengan identitas perempuan yang “bertelanjang dada”.

Pemerintah kolonial Belanda juga berhasil menciptakan citra tentang Bali sebagai

sebuah pulau Hindu yang dikelilingi oleh lautan dan ribuan pulau di sekitarnya.

Dengan demikian, identitas keagamaan orang Bali dibangun sebagai sesuatu yang

berbeda dengan pulau-pulau sekitarnya yang masyarakatnya mayoritas beragama

Islam. Citra Bali sebagai pulau surga merupakan salah satu produk politik

representasi yang populer dalam enam puluh tahun terakhir ini (Dwipayana, 2005:

x-xi). Bahkan sejak tahun 1970-an ketika Bali benar-benar terintegrasi dengan

sistem kapitalisme pariwisata global, citra tersebut semakin hegemonik.

Gianyar adalah salah satu di antara delapan kabupaten di Provinsi Bali.

Masyarakat Gianyar mempunyai sejarah masa lalu yang amat panjang, seperti

terbukti dari tinggalan purbakala/arkeologi dalam jumlah dan ragam yang sangat

7

Page 8: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

banyak, bahkan terbanyak jika dibandingkan dengan kabupaten lainnya di Bali.

Oleh karena itu, Gianyar, khususnya Desa Pejeng dan sekitarnya sering disebut

sebagai desa “museum hidup”. Tinggalan arkeologi cukup padat di Kabupaten

Gianyar merupakan pusaka budaya yang harus tetap dipelihara dan dilestarikan

demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan.

Berdasarkan hasil-hasil penelitian dapat diketahui bahwa pusaka budaya

tersebut ternyata memperlihatkan kemampuan masyarakat Gianyar yang

signifikan, yang kemudian menjadi landasan kuat bagi perkembangan budaya

hingga dewasa ini. Sampai sekarang bukti-bukti sejarah masyarakat Gianyar

ditemukan tersebar di desa-desa yang terletak di antara Sungai Pakerisan dan

Sungai Petanu, antara lain berpusat di desa-desa Panempahan, Tampaksiring,

Basangambu, Pejeng, Bedulu, dan sekitarnya. Bukti-bukti sejarah tersebut secara

umum dapat dikelompokkan menurut bahan-bahannya, yaitu ada yang dibuat dari

kayu, tulang, batu bata, batu padas, dan dari logam (besi, kuningan, perunggu,

emas). Di samping itu, dapat juga dikelompokkan sebagai benda-benda bergerak

(moveable), seperti prasasti, arca-arca kuno, dan benda-benda tidak bergerak

(unmoveable), seperti candi dan pura-pura kuno.

Penglompokan pusaka budaya di Kabupaten Gianyar dapat juga

dilakukan secara kronologis, yaitu ada yang berasal dari zaman prasejarah ketika

masyarakat belum mengenal aksara dan dari zaman sejarah ketika masyarakat

telah mengenal tulisan. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis yang sudah ditemukan

dapat diketahui bahwa masyarakat Gianyar baru mulai membangun kehidupannya

pada masa bercocok tanam kira-kira 4.000 tahun yang lalu seperti terbukti dari

8

Page 9: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

temuan beberapa buah alat-alat pertanian berupa beliung persegi, belincung, di

Desa Taro, Pejeng, Tatiapi, Bedulu dan Keramas (Sutaba, 1980 : 34-35). Alat-alat

pertanian tersebut telah dikerjakan dengan cermat dan digosok/diupam hingga

halus.

Perkembangan teknologi pertanian telah mengantarkan masyarakat

Gianyar memasuki masa perundagian hingga mencapai tingkat teknologi yang

lebih maju, yaitu teknologi seni tuang logam (metalurgi), yang memerlukan

tenaga-tenaga terampil (Soejono, 1984 : 238-239). Penguasaan teknologi logam

terbukti telah memberikan peluang yang sangat besar bagi perkembangan potensi

lokal yang menghasilkan kearifan lokal (local genius). Salah satu produksinya

yang terpenting pada masa itu adalah ”bulan Pejeng”, sebuah nekara perunggu

sekarang tersimpan di Pura Penataran Sasih di Desa Pejeng dan dianggap sebagai

media pemujaan yang sakral (Sutaba, 2007 : 13).

Sementara itu, kawasan budaya di antara Sungai Pakerisan dan Petanu

berkembang semakin maju. Di kawasan ini terjadi persentuhan dengan budaya

dari India yang membawa aksara dan agama Hindu-Buddha. Sungai Pakerisan

dan Sungai Petanu menjadi terkenal dalam sejarah Bali kuno karena telah

membangun kawasan budaya (cultural area) yang sampai sekarang masih

menjadi kawasan yang sakral (sacred area) bagi masyarakat sekitarnya. Penelitian

arkeologi yang dimulai pada awal abad ke-20 telah mendapatkan bukti-bukti

bahwa kawasan tersebut menyimpan sejumlah pusaka budaya yang sampai

sekarang masih berfungsi sakral. Salah satu diantaranya adalah Pura Tirta Empul.

9

Page 10: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pura Tirta Empul memiliki ciri khas dan keunikan bila dibandingkan

dengan tinggalan budaya lainnya, sehingga sangat menarik minat wisatawan,

lebih-lebih didukung dengan tetap difungsikannya sebagai tempat suci, tempat

persembahyangan umat Hindu (living monument). Tidak mengherankan, Pura

Tirta Empul di Tampaksiring merupakan sebuah daya tarik wisata yang cukup

banyak menyerap pengunjung dan menjadikannya sebagai salah satu tujuan

wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, selain Gua Gajah dan Gunung Kawi.

Pusaka budaya Pura Tirta Empul telah diajukan sebagai Warisan Budaya Dunia.

Pura Tirta Empul dipilih sebagai obyek penelitian, selain sesuai dengan

hal-hal yang telah dikemukakan, secara lebih khusus juga dilandasi pada hal-hal

berikut. Pertama, tersedianya sumber data berupa prasasti, yaitu prasasti

Manukaya untuk mengungkap sejarah pendirian pusaka budaya tersebut. Selain

prasasti Manukaya, sejarah yang berkaitan dengan pura ini dijumpai pula dalam

kitab Usana Bali. Dalam hal-hal tertentu, keadaan itu diharapkan dapat

memberikan peluang atau kemungkinan untuk mengembangkan pemahaman serta

uraian yang lebih jelas. Kedua, berdasarkan pengamatan terhadap Pura Tirta

Empul, ternyata situs ini menunjukkan perpaduan yang harmonis antara konsep

pura, bangunan tradisional, dan konsep taman. Keberadaan sejumlah tinggalan

arkeologi di dalamnya serta ditunjang oleh hawa yang sejuk dan panorama yang

indah di dalam pura, menjadikan situs ini menarik untuk diteliti dalam konteks

pariwisata global.

Dewasa ini, Gianyar telah mengalami perkembangan secara signifikan

sebagai akibat dari perkembangan dan pertumbuhan sektor pariwisata.

10

Page 11: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Perkembangan pariwisata tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kemajuan

pembangunan inprastruktur, kemajuan ilmu pengetahuan, dan teknologi.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah melahirkan globalisasi,

termasuk globalisasi di sektor pariwisata.

Secara empirik perkembangan pariwisata di Gianyar mulai terjadi pada

tahun 1970-an, diawali sejak munculnya kebijakan tentang Rencana Induk

Pengembangan Pariwisata Bali dalam tahun 1971. Dengan berpijak kepada

kebijakan pemerintah pusat dalam pengembangan induk pariwisata maka

Pemerintah Daerah Tingkat I Bali telah menetapkan Perda No.3/1974 dan

kemudian diganti dengan Perda No. 3/1991 tentang Pariwisata Budaya. Melalui

peraturan ini diharapkan bahwa pengembangan dan pembinaan industri pariwisata

di daerah Bali pada umumnya dan Gianyar khususnya berorientasi kepada

kebudayaan daerah. Penetapan peraturan daerah ini merupakan tindakan yang

bijaksana, karena pemerintah daerah telah menetapkan kebudayaan daerah sebagai

modal dasar pembangunan. Kecuali sektor pertanian, pemerintah daerah telah

memberikan prioritas yang tinggi kepada sektor kepariwisataan yang telah

memberi penghidupan kepada penduduk setempat.

Dampak dari perkembangan aktivitas pariwisata yang semakin maju

pada tahun 1980-an, ternyata pusaka budaya telah dimanfaatkan sebagai daya

tarik pariwisata budaya di Kabupaten Gianyar (Rata, 1988 : 94-95). Sejumlah

daya tarik wisata yang mengandung tinggalan arkeologi dikelola secara kemitraan

antara masyarakat dan pemerintah daerah.

11

Page 12: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Beberapa tours ditawarkan kepada wisatawan oleh biro perjalanan.

Pusaka budaya mulai dari masa prasejarah yang tersimpun di Museum Gedong

Arca di Desa Bedulu, di pura-pura, serta tinggalan budaya dari masa klasik

(Hindu, Buddha) merupakan tujuan wisata dalam setiap program tour. Dengan

demikian pusaka budaya merupakan salah satu modal dasar dalam pengembangan

pariwisata budaya yang dicanangkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Gianyar.

Pariwisata budaya menawarkan potret budaya masa lalu pada masa kini

di mana bentuk baru reproduksi budaya masa lalu berkorelasi dengan pola

konsumsi wisatawan, yaitu terlihat secara langsung dan total dengan budaya

setempat. Perpaduan antara lokal dan global dapat dilihat sebagai manifestasi

posmodernisme. Dalam masyarakat posmodern, pariwisata sering dikonsep-

tualisasikan sebagai sebuah rangkaian kompleks tentang kegiatan yang

berhubungan dengan produksi. Posmodernisme ditandai oleh perkembangan

teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi yang menjadikan

bagian-bagian dunia sangat dekat, sehingga banyak orang dapat melakukan

perjalanan wisata sesuai keinginan dan kecendrungan global (Nuryanti, 1996 :

250).

Namun demikian, dibalik perkembangan pesat pariwisata di Kabupaten

Gianyar ternyata menimbulkan kekhawatiran berbagai kalangan (Bagus, 1991 :

17). Fenomena globalisasi yang bercirikan budaya modernisme seperti nilai-nilai

rasionalisme, individualisme, konsumerisme, dan komersialisme di tenggarai

mempunyai kekuatan dasyat yang dapat menghancurkan tatanan kehidupan

masyarakat serta komunitas lokal. Hanna (1972 : 18-19) secara tajam

12

Page 13: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

memaparkan tentang komersialisasi budaya yang diakibatkan oleh pariwisata. Dia

melihat buktinya dalam transformasi yang terjadi dalam kesenian Bali, baik dalam

bidang seni rupa yang diubah menjadi barang yang dijual dan menjadi sovenir-

sovenir kasar, maupun dalam bidang seni pertunjukkan yang disesuaikan dengan

selera dan batasan pemahaman penonton asing. Selain itu, ia juga melihat telah

terjadi komersialisasi budaya untuk kepentingan pariwisata seperti (1) warisan

budaya dijadikan suatu komodite yang dijual pada pengunjung asing, (2)

pemalsuan tradisi-tradisi asli yang diubah demi memenuhi harapan wisatawan, (3)

pelecehan upacara agama yang dijadikan pertunjukkan-pertunjukkan komersial,

dan (4) hilangnya nilai-nilai yang dapat menimbulkan anomi umum masyarakat.

Sejak kedatangan para wisatawan, kebudayaan Gianyar tidak hanya

milik orang Gianyar saja, karena yang mencitrakan Gianyar sebagai daerah tujuan

wisata adalah perpaduan antara upacara agama, kegiatan adat, dan kreativitas seni.

Berkat keterpikatan wisatawan terhadap Gianyar, kebudayaan yang merupakan

modal utama harus dimanfaatkan, dipasarkan, dipromosikan di pasaran

pariwisata. Keharusan ini menimbulkan suatu sikap mendua di kalangan

masyarakat ketika menanggapi kebudayaannya. Bila sebelum kedatangan

wisatawan kebudayaan ditanggapi sebagai “warisan” yang harus diselamatkan

atau dilestarikan, sebaliknya setelah kehadiran wisatawan kebudayaan dijadikan

“modal” untuk pengembangan pariwisata budaya.

Berbagai permasalahan segera muncul yang dipandang sebagai sebuah

tantangan. Tantangan tersebut cenderung bersifat mengancam keberadaan dan

kelestarian pusaka budaya. Ancaman tersebut umpamanya bisa dalam bentuk (1)

13

Page 14: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

perusakan/penelantaran, (2) pemanfaatan secara komersial, (3) sisi gelap

pariwisata (pencurian, perdagangan) dan (4) pemugaran nonkonservatif.

Walaupun pusaka budaya dan pariwisata dianggap memunculkan suatu

kontradiksi, yaitu antara tradisi yang memerlukan stabilitas keberlanjutan dan

pariwisata yang sifatnya dinamis dan penuh dengan perubahan, pusaka budaya

harus memiliki kemampuan untuk mengikuti perubahan tersebut. Terjadi sinergi

di antara keduanya, sehingga semua pihak tidak ada yang dirugikan. Pusaka

budaya bisa bermanfaat dan pendapatan dari pariwisata dapat digunakan untuk

pelestarian dan pengembangannya.

Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata diakui penuh

risiko dan potensial menimbulkan masalah, antara lain karena faktor manusia

(pengunjung), dan yang paling mengkhawatirkan adalah ekspansi komersial yang

dapat merusak tatanan lingkungan pura tersebut. Pariwisata telah menjadi

generator penggerak dalam pembangunan ekonomi dan menjadi lokomotif dalam

perubahan sosial budaya di beberapa daerah tujuan wisata. Internasional lewat

pariwisata, khususnya pariwisata budaya, telah membawa masyarakat lokal

terjepit di antara dua kutub kekuatan. Di satu pihak, mereka wajib memelihara

tradisi adat dan budayanya, di sisi lain secara sengaja membenturkan kebudayaan

lokal tersebut dengan dunia modern. Ini memberi peluang besar bahwa budaya

lokal akan hanyut dalam derasnya gelombang budaya global (Picard, 2006 : 117).

Masyarakat setempat yang sangat religius sebagaimana manusia Bali

pada umumnya, memberi perhatian yang sangat besar pada Pura Tirta Empul

sebagai tempat suci. Dengan sifatnya sebagai living monument berarti masyarakat

14

Page 15: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

sangat mensakralkan tempat suci tersebut, yang diyakini dapat memberi

keselamatan, kebahagiaan, dan ketentraman rohani. Dengan demikian, secara

tidak langsung masyarakat telah melaksanakan upaya pelestarian melalui

kegiatan-kegiatan keagamaan.

Sejak Pura Tirta Empul menjadi salah satu tujuan wisata, maka

komersialisasi budaya tidak dapat terhindarkan. Komodifikasi Pura Tirta Empul

dalam konteks pariwisata global menjadi hal yang menarik untuk diteliti lebih

mendalam terkait dengan sosial budaya dan segala aspek kehidupan masyarakat

pendukungnya. Kenyataan menunjukkan bahwa kedatangan wisatawan baik lokal

maupun asing sebagai konsumen telah membawa pengaruh terhadap sosial

ekonomi masyarakat. Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata dikomodifikasi

untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Hal tersebut memunculkan budaya

konsumerisme dan kapitalisme yang dapat menimbulkan komodifikasi pada setiap

aspek kehidupan masyarakat. Para kapitalis menggunakan segala cara untuk

mengkomersialkan seluruh ranah kehidupan dan ranah kebudayaan, termasuk

pusaka budaya Pura Tirta Empul. Globalisasi menyebabkan fungsi Pura Tirta

Empul berkembang, tidak saja berfungsi sakral tetapi juga berfungsi ekonomi

dalam kaitannya dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat. Adanya kepentingan

selera pasar telah mengakibatkan terjadinya pergeseran pemaknaan dan

pendefinisian terhadap sakralitas Pura Tirta Empul, pergeseran nilai terhadap

pemahaman Pura Tirta Empul, serta perubahan perilaku dan praktik-praktik

budaya masyarakat Desa Manukaya. Tarik-menarik kepentingan dalam proses

komodifikasi Pura Tirta Empul kini sedang dan telah terjadi. Sudah tentu hal

15

Page 16: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

seperti itu merupakan permasalahan, dan bila tidak dicermati secara mendalam,

maka akan dapat mengganggu keseimbangan manusia dalam usaha mencapai

kesejahteraan lahir maupun batin.

Dialektika antara pariwisata global di satu sisi dan Balinisasi atau jatidiri

di sisi lain, sebagaimana yang terjadi di Pura Tirta Empul merupakan suatu

fenomena yang layak, dan relevan diangkat sebagai sebuah kajian dari perspektif

cultural studies.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah yang hendak

dibahas dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Bagaimanakah proses komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks

pariwisata global?

2. Faktor-faktor apa sajakah yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul

dalam konteks pariwisata global?

3. Bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam

konteks pariwisata global?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara garis besar penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut.

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengungkap fenomena

komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Permasalahan

pusaka budaya sebagai jatidiri dan pengaruh budaya global melalui pariwisata

16

Page 17: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menjadi menarik untuk diteliti karena ada tarik-menarik kepentingan. Selain itu

penelitian ini ingin mengkaji fenomena budaya lokal dalam perspektif kajian

budaya dalam mengungkap faktor penyebab di balik fenomena komodifikasi Pura

Tirta Empul yang berkaitan dengan kehadirannya serta upaya pemanfaatan atau

pelestariannya sebagai bagian dari khasanah budaya nasional yang harus

diselamatkan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus penelitian adalah (1) untuk mengetahui dan

memahami proses komodifikasi Pura Tirta Empul, (2) mengungkap faktor-faktor

yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, dan (3) menginterpretasikan

dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata

global. Dengan mencermati semua data yang diperoleh di lapangan dari para

informan atau data dari perpustakaan, maka akan dilakukan kajian yang

mendalam, sehingga memperoleh jawaban mengenai hal-hal yang terkait dengan

permasalahan yang diajukan di atas.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat teoretis dan manfaat

praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi

pengembangan ilmu yang holistik-integratif sesuai dengan keberadaannya sebagai

sebuah kajian budaya yang terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam

17

Page 18: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

konteks pariwisata global. Salah satu sisi penting posisi teoretis-konseptual kajian

budaya adalah karakteristiknya yang multidisipliner, sehingga memberi kontribusi

untuk penelitian bagi berbagai disiplin ilmu dan kebijakan publik. Selain itu, hasil

penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para akademis karena dapat dipakai

sebagai acuan, referensi, tentang arti penting pusaka budaya dikaitkan dengan

pembangunan pariwisata yang dilaksanakan oleh pemerintah dewasa ini. Tema

penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain, terutama yang melakukan

penelitian sejenis dengan topik dan permasalahan yang berbeda.

1.4.2 Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa pihak,

yakni sebagai berikut.

1. Hasil penelitian ini dapat dipakai oleh pemerintah sebagai bahan

pertimbangan dalam membuat kebijakan pembangunan yang

menyangkut pemberdayaan pusaka budaya dalam era globalisasi,

termasuk dalam pengembangan pariwisata modern yang berbasis

budaya.

2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi kepada para

pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu

kebijakan di tingkat lokal dan nasional sebagai sumber rujukan dalam

memecahkan berbagai persoalan pembangunan, khususnya

pembangunan pariwisata budaya.

3. Di samping itu, hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai proses

transformasi, partisipasi, dan keterlibatan aktif semua pihak dalam

18

Page 19: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pemanfaatan pusaka budaya terkait dengan pengembangan pariwisata

dengan melibatkan partisipasi masyarakat.

4. Bagi kebudayaan dan pengembangan pariwisata dalam rangka

pemberdayaan modal budaya (cultural capital) menjadi modal

ekonomi (economic cultural) melalui pariwisata untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat sekaligus melestarikan lingkungan,

khususnya Pura Tirta Empul.

19

Page 20: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Kajian pustaka yang dimaksud di sini adalah tinjauan mengenai hasil-

hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para ahli, baik dalam

bentuk laporan penelitian, jurnal, artikel ilmiah, makalah, buku, dan sebagainya,

yang ada hubungannya dengan objek penelitian ini. Hasil-hasil penelitian atau

buku-buku tersebut selanjutnya dicermati untuk mengetahui apakah topik dan

masalah yang akan dikaji telah diteliti oleh peneliti lain.

Kajian pustaka yang dijadikan rujukan terutama adalah pustaka yang

memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan dan berfungsi sebagai

pelengkap informasi serta dapat menunjang penelitian ini. Kajian terhadap

pustaka perlu dilakukan secara komprehensif agar diperoleh benang merah yang

mampu menghubungkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan terdahulu

dengan penelitian sekarang ini.

Upaya memahami peranan pusaka budaya dalam pembangunan nasional

telah lama menjadi wacana di kalangan para ahli. Pusaka budaya memiliki fungsi

yang sangat penting dalam kaitannya dengan proses pertumbuhan dan

perkembangan kebudayaan suatu bangsa. Pusaka budaya mencerminkan cipta,

rasa, dan karya leluhur yang dapat memberi inspirasi dalam pembangunan bangsa.

20

20

Page 21: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Sehingga dengan demikian pusaka budaya harus dipelihara, dilindungi, dan

dikelola secara profesional agar tetap lestari (Tjandrasasmita, 1980, 104-105).

Upaya inventarisasi dan penulisan tinggalan arkeologi sebagai pusaka

budaya di daerah Bali pada umumnya dan Gianyar khususnya, telah lama dimulai.

Pada tahun 1929 W.F. Stutterheim berhasil membuat laporan tentang

kepurbakalaan di daerah ini dalam bukunya yang berjudul ”Oudheden van Bali”.

Buku yang menggunakan bahasa Belanda ini memuat uraian deskriptif tentang

kepurbakalaan yang ada di Desa Pejeng, Bedulu, Tampaksiring, dan sekitarnya. Ia

mengemukakan bahwa tinggalan arkeologi yang tersebar di Bali merefleksikan

nilai-nilai budaya agama Hindu. Buku ini mempunyai relevansi yang sangat

penting terkait dengan penelitian ini karena di dalamnya menguraikan nilai

historis situs Pura Tirta Empul.

Tiga puluh satu tahun setelah terbit karya WF. Stutterheim itu, Bernet

Kempers menerbitkan kitab Bali Purbakala (1960). Kitab ini juga memuat

petunjuk singkat tentang kepurbakalaan di daerah Bali pada umumnya atau

Gianyar khususnya. Beberapa kepurbakalaan di Kabupaten Gianyar yang

mendapat perhatian dan disinggung dalam kitab itu antara lain : situs Gua Gajah,

relief Yeh Pulu, Pura Kebo Edan, Pura Penataran Sasih, Pura Pusering Jagat, Pura

Pengukur-ukuran, Candi Padas Gunung Kawi, Pura Tirta Empul, Pura Bukit

Dharma, Candi Padas Kelebutan, Candi Padas Krobokan, dan sebagainya.

Tentang Pura Tirta Empul disinggung secara sepintas Prasasti Manukaya yang

bertahun 844 Saka/962 Masehi yang berkaitan erat dengan sejarah pendirian Pura

Tirta Empul. Prasasti Manukaya adalah prasasti pertama yang menyebut nama

21

Page 22: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Tirta Empul. Kitab ini berguna bagi peneliti untuk memahami sejauh mana kajian-

kajian terhadap Pura Tirta Empul telah dilakukan sebelumnya oleh para ahli,

sehingga penulis memperoleh data umum tentang situs tersebut.

Pada tahun 1970-an, secara empirik terjadi perkembangan pariwisata di

daerah Bali. Tidak dapat dimungkiri bahwasanya pariwisata mempunyai andil

besar dalam laju pesat pertumbuhan ekonomi Bali dan terutama dalam

pembenahan fisik yang semakin berkembang di pulau ini. Dengan kata lain,

pariwisata merupakan solusi terbukti dari semakin progresif dinamisnya

kehidupan sosial, seni dan budaya di Bali, tetapi di pihak lain pariwisata

mendatangkan banyak kerugian, kegelisahan, kekhawatiran, dan bahkan ancaman

bagi kelangsungan kebudayaan Bali.

Terkait dengan kekhawatiran banyak orang tentang dampak negatif

pariwisata terhadap kebudayaan Bali, reaksi keras pertama-tama muncul dari

Willard Hanna, seorang warga Amerika Serikat pemerhati Asia Tenggara. Dalam

artikelnya yang berjudul “Bali in the Seventies” (1972) dipaparkan tentang

kerusakan atau polusi sosial budaya yang diakibatkan pariwisata Bali. Lebih jauh

ia mengatakan bahwa meskipun pariwisata dapat sukses komersial” tetapi tragedi

kemerosotan kebudayaan tak dapat dihindarkan.

Pendapat senada juga dilontarkan oleh Millau dua tahun kemudian.

Begitu pemerintah Indonesia di zaman Orde Baru dengan gigih mengembangkan

pariwisata Bali, kritik tajam muncul pada sebuah majalah Pariwisata “Pitie pour

Bali” (1974). Majalah tersebut memperingatkan bahwa pariwisata siap

menghancurkan keajaiban sebuah kebudayaan termurni yang pernah ada di dunia.

22

Page 23: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Kedua artikel tersebut dapat membantu penulis dalam upaya pemahaman yang

lebih mendalam tentang dampak negatif pariwisata terhadap kebudayaan.

Pada tahun 1980-an, studi-studi mengenai dampak sosial budaya

pariwisata serta seminar-seminar tentang hubungan antara pariwisata dan

kebudayaan semakin sering dibicarakan. Froment (1981) dalam artikel majalah

Pariwisata berjudul “Ferie a Bali” kembali mengingatkan bahwa Bali telah

kehilangan nyawanya. Pulau indah dengan ribuan pura serta aneka upacara adat

kini sudah tercemar. Sistem sosial keagamaan Bali yang luar biasa rumitnya itu

sedang berada diambang kehancuran akibat dampak pariwisata seperti halnya

artikel Hanna dan Millau. Artikel ini merupakan bahan masukan penting untuk

memahami bagaimana pariwisata berdampak negatif terhadap kelestarian pusaka

budaya.

Berkaitan dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan pusaka budaya,

tulisan Cleere (1990) yang berjudul International the Rationale of Archeological

Heritage Management perlu juga diperhatikan. Cleere berpendapat bahwa pusaka

budaya harus dimanfaatkan dengan memperhatikan kepentingan masyarakat luas

serta berorientasi ke masa depan. Pusaka budaya sebagaimana sumberdaya

lainnya adalah warisan untuk seluruh masyarakat sehingga pemanfaatannya perlu

diketahui oleh masyarakat. Kepentingan masyarakat luas harus diutamakan dalam

pengelolaannya, di samping juga memperhatikan keberlanjutan dari pusaka

budaya tersebut agar dapat diwariskan kepada masyarakat. Pustaka ini bermanfaat

dalam upaya memahami cara-cara pemanfaatan dan pelestarian pusaka budaya

sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat luas.

23

Page 24: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Terkait dengan manajemen sumberdaya budaya, perlu juga disimak tesis

S2 Drajat (1991) yang berjudul “Exploitative Management of the Archaeological

Heritage Management in Indonesia”. Penelitian ini secara khusus menyoroti

manajemen sumberdaya budaya terhadap tinggalan purbakala (arkeologi) di

Indonesia. Ia mencatat bahwa pengelolaan sumberdaya budaya mencakup dua

strategi yang bersifat dikotomis, yaitu antara pelestarian dan pemanfaatan. Dalam

penerapannya kedua konsep tersebut sering menimbulkan konflik akibat

perbedaan kepentingan dari berbagai pihak. Dampak konflik kepentingan itu

adalah menurunnya kualitas sumberdaya budaya. Fenomena tersebut dapat dilihat

pada pemanfaatan pusaka budaya sebagai objek pariwisata. Dari tesis ini penulis

memperoleh informasi tentang model pengelolaan pusaka budaya sesuai dengan

prisip-prinsip yang telah disepakati, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan.

Terkait dengan keberadaan Pura Tirta Empul di Tampaksiring, hasil

penelitian dalam bentuk tesis yang berjudul ”Kemitraan Lembaga Adat dengan

Pemerintah Dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan : Studi Kasus di Desa

Manukaya, Tampaksiring, Gianyar” (1999) Karya I Ketut Jaman perlu dicermati.

Dari hasil kajiannya diperoleh informasi tentang bentuk kemitraan antara desa

adat Manukaya dengan pemerintah Kabupaten Gianyar terkait dengan pembagian

wilayah pengelolaan dan pembagian hasil retribusi melalui pariwisata. Tesis ini

berguna sebagai referensi untuk mengetahui sejauh mana pusaka budaya Pura

Tirta Empul memberi kontribusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebuah artikel yang menyoroti hubungan antara kebudayaan dan

pariwisata ditulis oleh Darma Putra (2002). Pada intinya artikel tersebut

24

Page 25: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

memaparkan bagaimana Pemda Bali memutuskan untuk menetapkan konsep

pariwisata budaya sebagai ideologi, roh, rambu-rambu atau solusi pengembangan

pariwisata Bali. Di satu pihak pilihan itu merupakan solusi terbukti dari semakin

progresifnya kehidupan sosial, seni, dan budaya di Bali, tetapi di pihak lain

pariwisata mendatangkan banyak keraguan, kegelisahan, bahkan kecaman, bahwa

pariwisata budaya sebagai polusi. Dampak positif dan negatif pariwisata terhadap

kebudayaan Bali menjadi pengamatan yang tidak kalah penting dalam artikel yang

berjudul “Pariwisata Budaya, Antara Polusi dan Solusi : Pengalaman Bali”. Dari

artikel ini penulis memperoleh informasi tentang dampak positif negatif

pariwisata terhadap kebudayaan suatu daerah, sehingga artikel ini menjadi

penting dalam upaya memahami dampak pariwisata terhadap kebudayaan.

Tentang ketahanan kebudayaan Bali akibat pengaruh pariwisata, tulisan

Michel Picard (2006) yang berjudul Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya

Pariwisata perlu juga diperhatikan. Peneliti yang bekerja di Pusat Penelitian Ilmu

Pengetahuan Nasional Prancis ini melihat pariwisata sebagai pengembangan dari

ekonomi moneter, memasarkan pemandangan dan hasil budaya serta mengubah

kawasan menjadi produk pariwisata. Menurut Picard, dibalik kegiatan pemasaran,

sesungguhnya berlangsung juga proses lain, yang menyangkut jati diri bangsa,

serta bagaimana memahami dampak-dampak kongkrit dalam hal budaya dari

pengembangan pariwisata pada masyarakat Bali. Buku ini sangat membantu

penulis karena memberi banyak informasi tentang pariwisata, kebudayaan, serta

tanggapan masyarakat Bali atas posisi kebudayaanya ketika berhadapan dengan

pariwisata.

25

Page 26: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Terkait dengan dampak pariwisata terhadap kebudayaan, artikel yang

berjudul “Industri Budaya Dalam Pariwisata Bali” karya Pitana (2006) sangat

layak untuk diperhatikan. Menurut pakar pariwisata ini bahwa pariwisata budaya

pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk industri budaya, karena dalam

sistem pariwisata budaya, ada proses produksi, pengemasan, distribusi, presentasi

dan konsumsi. Selanjutnya dikatakan bahwa pariwisata dengan industrialisasi

budayanya merupakan “musuh” dalam pelestarian budaya dan sebaliknya

pariwisata juga merupakan wahana yang sangat baik dalam pelestarian

kebudayaan. Artikel ini sangat penting karena telah memberi pemahaman baru

tentang hubungan pariwisata dengan industri budaya.

Sebuah buku yang relatif berhubungan dengan penelitian ini adalah

Pusaka Budaya dan Pariwisata karya Ardika (2007). Buku tersebut menyangkut

isu betapa pusaka budaya yang berbentuk tinggalan-tinggalan arkeologi dapat

dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan pariwisata. Komponen budaya

dijadikan sebagai produk untuk dikonsumsi oleh para wisatawan. Komponen

budaya yang dimaksud antara lain (1) situs arkeologi dan museum, (2) arsitektur,

(3) seni (art), patung, kerajinan, festival budaya, (4) musik dan tari, (5) drama

(teater, film), (6) bahasa dan sastra, (7) upacara agama, dan (8) budaya tradisional

(Richards, 1999 : 22 ; Ardika, 2004 : 23). Buku ini menjadi penting dalam

kaitannya dengan penelitian ini, karena di dalamnya memaparkan betapa

tinggalan arkeologi mempunyai peranan penting dalam upaya pengembangan

pariwisata budaya di daerah Bali.

26

Page 27: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Tentang isu globalisasi, meskipun tidak secara khusus membahas secara

mendalam, buku Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan tulisan Irwan Abdullah

(2007) perlu juga disebutkan di sini. Menurut Abdullah, globalisasi telah menjadi

kekuatan besar yang ditandai dengan integrasi budaya lokal ke dalam suatu

tatanan global. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam

kehidupan telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan

memunculkan praktik kehidupan yang beragam. Perbedaan-perbedaan cara hidup

telah melahirkan proses individualisasi yang meluas dan menjauhkan manusia

dari konteks generalnya. Selanjutnya dikatakan bahwa sejalan dengan arus

komunikasi yang canggih, unsur-unsur kebudayaan (baca kebudayaan Bali) bukan

hanya mengalami penyesuaian, tetapi juga dengan mudah dapat ditemukan

diberbagai tempat di luar batas-batas geografis kebudayaan Bali. Ekspansi pasar

melalui teknologi telah mempengaruhi pembentukan praktik, nilai dan ide-ide

baru dalam kehidupan sosial. Buku ini sangat bermanfaat bagi penulis dalam

upaya memahami konsep globalisasi dalam kaitannya dengan kehidupan sosial

budaya dan sosial ekonomi masyarakat dewasa ini.

Dari beberapa kajian pustaka tersebut di atas menunjukkan bahwa belum

ada penelitian kajian budaya tentang komodifikasi Pura Tirta Empul sebagaimana

penelitian ini. Penelusuran pustaka seperti yang sudah disebutkan di atas sudah

jelas berbeda paradigma dengan substansi penelitian ini, baik secara ontologi,

yaitu hubungan setema dengan penelitian maupun secara epistemologi, yaitu yang

terkait dengan konsep, teori, model, termasuk kaitannya dengan aksiologi, yaitu

27

Page 28: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tujuan dan manfaat penelitian. Dengan demikian kiranya cukup jelas bahwa

masalah tersebut masih menunggu penelitian yang seksama.

2.2 Konsep

Konsep sebagai alat analisis merupakan konstruksi terhadap gejala

sesuatu sehingga konsep merupakan gambaran pikiran tentang sesuatu. Alwi

(2002 : 588) mengartikan konsep sebagai proses atau upaya akal budi untuk

memahami sesuatu objek, keadaan, atau benda. Dengan demikian konsep adalah

semacam konstruksi pikiran (ide) tentang segala sesuatu. Dengan kata lain,

konsep adalah suatu abstraksi yang digunakan oleh peneliti untuk membangun

proposisi yang diharapkan dapat menerangkan sesuatu fenomena. Untuk itu

penelitian ini akan dikemukakan tiga satuan konsep yang mendukung penelitian,

yaitu konsep komodifikasi, pusaka budaya Pura Tirta Empul, dan konteks

pariwisata global.

2.2.1 Komodifikasi

Komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang

sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi (Piliang, 2004 : 21).

Dengan kata lain, komodifikasi secara umum adalah menjadikan sesuatu yang

pada awalnya bukan dagangan menjadi produk yang dapat dijual-belikan.

Komodifikasi diasosiasikan dengan kapitalisme yang mengubah objek dan tanda-

tanda sehingga menjadi komoditas yang layak untuk dijual (Barker, 2005 : 517).

Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang semata. Komodifikasi menyangkut

28

Page 29: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

seluruh bidang ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, dan konsumsi (Fairlough,

1995 : 2007).

Dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi

dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan.

Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai guna (use

value), tetapi untuk mencari nilai tukar (exchange value). Proses komodifikasi,

yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar,

merupakan satu bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme (Adorno, 1991 : 27).

Komodifikasi tidak saja menunjuk pada barang-barang kebutuhan

konsumer, tetapi telah merambat pada bidang kebudayaan. Apa yang dilakukan

masyarakat kapitalisme pada kebudayaan adalah menjadikannya patuh pada

hukum komoditi kapitalisme. Masyarakat seperti itu hanya menghasilkan

kebudayaan industri (culture industry), yaitu satu bentuk kebudayaan yang

ditujukan untuk massa dan produksinya berorientasi pada mekanisme pasar.

Komodifikasi merupakan konsep yang luas, tidak hanya menyangkut

masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yang sempit tentang

barang-barang yang diperjualbelikan, tetapi permasalahan bagaimana barang-

barang tersebut diproduksi, didistribusi, dan dikonsumsi termasuk juga di

dalamnya.

Dalam kaitannya dengan komodifikasi Pura Tirta Empul, pada awalnya

pusaka budaya ini bukan dibuat untuk tujuan komersial, melainkan sebagai tempat

suci untuk memuja kebesaran/keagungan Tuhan dengan segala manifestasinya.

Pengaruh globalisasi dan westernisasi menyebabkan fungsi Pura Tirta Empul juga

29

Page 30: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mengarah ke fungsi lain yang bertendensi ekonomi. Proses komodifikasi

dimainkan oleh pengusaha dan berelasi dengan pemerintah daerah dalam

memproduksi dan mendistribusi Pura Tirta Empul termasuk kepentingan

masyarakat pendukung budaya. Pada dewasa ini Pura Tirta Empul yang dulunya

tidak dikomersialkan mengalami komodifikasi karena dikembangkan untuk tujuan

tertentu, yaitu dijadikan daya tarik untuk kepentingan pariwisata.

Berdasarkan paparan di atas maka dapat dikatakan bahwa yang

dimaksud dengan komodifikasi dalam penelitian ini adalah sebuah proses

menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan merupakan benda komoditas, tetapi

kini menjadi komoditas berupa situs Pura Tirta Empul beserta lingkungannya

yang dibuat, ditata, dikembangkan, serta dimanfaatkan di samping sebagai tempat

suci juga untuk kepentingan pariwisata demi meningkatnya kesejahteraan hidup

masyarakat Desa Manukaya, Tampaksiring, Gianyar.

2.2.2 Pusaka Budaya Pura Tirta Empul

Pusaka budaya Pura Tirta Empul sebagai salah satu produk budaya, lahir

dari proses perjalanan sejarah. Pusaka budaya sebagai salah satu representasi

identitas etnis selalu bersinggungan dengan kekuasaan, yang kemudian terkait

dengan kepentingan di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya.

Pusaka budaya Pura Tirta Empul yang muncul sebagai daya tarik wisata

menjadi potensi besar dalam menarik kunjungan wisatawan di Tampaksiring

Gianyar. Keberadaan Pura Tirta Empul dengan lokasi yang strategis ternyata

membawa manfaat besar bagi masyarakat Desa Manukaya dan Pemerintah

Daerah Kabupaten Gianyar.

30

Page 31: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pusaka budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 712)

diartikan dengan harta benda peninggalan leluhur yang tidak boleh dijual. Pusaka

budaya merupakan khasanah bermakna bagi segala macam upaya berkaitan

dengan kebudayaan, pengembangannya, perlindungannya, maupun pemanfaatan-

nya. Pusaka budaya pada dasarnya dapat berupa karya-karya budaya yang

mempunyai nilai luhur dalam suatu masyarakat (Sedyawati, 2002 : 10).

Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengenai pusaka budaya

dunia terkait dengan perlindungan pusaka budaya menjelaskan cakupan pusaka

budaya sebagai (1) monumen (monuments), (2) kelompok bangunan (group of

building), dan (3) situs (sites) (Nuryanti, 1996 : 251).

Kecenderungan pariwisata global menunjukkan bahwa pusaka budaya

menjadi salah satu daya tarik wisata. Hal ini dilandasi oleh pemikiran

posmodernisme bahwa wisatawan ingin menikmati pusaka budaya dianggap asli

atau autentik. Upaya untuk memahami pusaka budaya tidak hanya dilakukan

dalam wilayah negara sendiri, tetapi juga secara lintas negara. Pusaka budaya

sering dimanfaatkan sebagai modal dalam pengembangan pariwisata budaya

(Ardika, 2006 : 160). Di antara pusaka budaya tersebut ada yang dilindungi oleh

Undang-undang, oleh karena itu disebut “benda cagar budaya” (Sedyawati, 2008:

207).

Sementara itu, mengenai Pura Tirta Empul dapat diuraikan sebagai

berikut. Konsep pura dalam penelitian ini berarti tempat beribadah atau

bersembahyang bagi umat Hindu Dharma (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 711).

Dalam Kamus Bali-Indonesia (Tim Penyusun Kamus Bali-Indonesia, 1978 : 460)

31

Page 32: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pura diartikan sebagai tempat suci umat Hindu Dharma. Dalam konteks ini pura

berfungsi sebagai tempat untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya

(para Dewa) dan roh suci leluhur yang telah menyatu dengan-Nya. Kata tirta

berarti ”air suci” dalam rangka upacara agama bagi umat Hindu, dan kata empul

berarti ”sumber (mata) air yang menyembul dari dalam tanah.

Pura Tirta Empul sebagaimana namanya adalah sebuah tempat suci umat

Hindu yang terletak di Desa Manukaya yang mempunyai sumber mata air yang

sangat jernih dan dengan debit air yang cukup tinggi. Mata air ini oleh masyarakat

setempat diyakini sebagai sumber kekuatan magis yang dapat memberi

kehidupan, kemakmuran, dan menghilangkan berbagai penyakit karena terkena

kekuatan magis.

Dalam konteks penelitian ini, objek penelitian Pura Tirta Empul yang

dimaksud adalah areal Pura Tirta Empul yang terdiri atas Pura Tirta Empul

dengan tiga halaman (dalam, tengah, luar), pertamanan di depan pura, kios-kios

yang menjual cenderamata yang berada di bagian paling selatan pura, serta tempat

parkir kendaraan bagi para pengunjung.

2.2.3 Konteks Pariwisata Global

Terkait dengan konsep ”konteks pariwisata global” dapat dijelaskan

sebagai berikut. Kata konteks pada hakikatnya berarti situasi yang ada

hubungannya dengan sesuatu kejadian (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa

Indonesia, 1988 : 458). Sementara itu, tentang pariwisata berbagai definisi telah

dikemukakan oleh para ahli. Namun demikian definisi pariwisata belum ada yang

diterima secara universal, karena hal itu sangat tergantung dari cara pandang

32

Page 33: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

terhadap pariwisata itu sendiri. Ada tiga pengertian yang sering digunakan, yaitu

(1) pariwisata sebagai industri yang ditunjukkan oleh adanya keterlibatan berbagai

usaha, lembaga, dan manusia yang saling berkompetisi dalam menghasilkan

barang dan jasa, (2) sebagai aktivitas, meliputi hubungan berbagai usaha yang

mengakomodasi kebutuhan manusia dalam melakukan kegiatan perjalanan dalam

skala regional, nasional, maupun internasional di luar tempat tinggalnya, dan (3)

pariwisata sebagai suatu sistem yang mencakup berbagai subsistem yang saling

mempengaruhi perjalanan manusia, dari mulai tempat tinggalnya, ke tempat

tujuan, hingga kembali ke tempat tinggalnya (Cooper, dkk., 1996 : 2-3).Menurut

Richard (1997 : 20) pariwisata adalah :

”the temporary short-term movement of people to destivation outside the place where they normaly live and work, and activities during their stay at these destination : it includes movement for all purposes, as well as day visits and excursions”.

Hal itu menegaskan bahwa wisatawan bermaksud bersenang-senang

mencari sesuatu yang berbeda serta tidak menetap, namun kembali lagi ke tempat

asalnya. Kehadirannya para imigran ke suatu tempat dilakukan untuk sementara

waktu, tidak untuk tujuan menetap dan mencari pekerjaan, tetapi semata-mata

sebagai konsumen untuk menikmati dan memenuhi kebutuhannya.

Pariwisata mencakup pergerakan manusia dari tempat tinggalnya ke

tempat lain, perjalanan bersifat sementara, dan dilakukan untuk berbagai tujuan,

kecuali menetap dan bekerja. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988 : 649)

disebutkan pariwisata berhubungan dengan perjalanan untuk rekreasi,

pelancongan, dan turisme. Pariwisata menyangkut berbagai macam kegiatan

33

Page 34: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh

masyarakat, pemerintah, dan pengusaha.

Dari beberapa keterangan tersebut di atas, kiranya dapat difahami bahwa

pariwisata pada hakikatnya adalah menyangkut pergerakan/perpindahan orang

dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan akan sesuatu yang berbeda. Dengan

kata lain, pariwisata menyangkut proses bepergian seseorang atau kelompok

orang menuju tempat lain di luar tempat tinggalnya untuk sementara waktu

dengan tujuan bersenang-senang mencari kepuasan dan tidak untuk tujuan bekerja

yang mendapatkan penghasilan. Dorongan kepergiannya menurut Ardika (2007 :

105) adalah karena berbagai kepentingan, baik karena kepentingan ekonomi,

sosial, budaya, politik, agama, maupun kepentingan lain, seperti karena sekedar

ingin tahu, menambah pengalaman, atau untuk belajar.

Kata global memiliki makna universal yang dapat berarti sedunia,

sejagat. Konsep global melahirkan konsep-konsep, seperti konsep kepentingan

bersama (common interest), warisan bersama umat manusia (common heritage of

mankind), dan kerjasama (cooperation) untuk mewujudkan tujuan-tujuan bersama

(Putra, 1998 : 2). Dari kata global berkembang kata globalisasi yaitu sebuah

istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan

ketergantungan antarbangsa, antarmanusia, di seluruh dunia melalui perdagangan,

investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain,

sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Globalisasi memiliki pengertian

yang dapat dijabarkan berawal dari kata “global” yang maknanya ialah universal.

Sebagai fenomena baru, globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali

34

Page 35: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

sekedar definisi kerja, sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada

yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, proses sejarah, atau proses

alamiah yang akan membawa seluruh negara di dunia semakin terikat satu sama

lain dengan mewujudkan satu tatanan kehidupan baru dengan meningkatkan

batas-batas geografis, ekonomi, dan budaya masyarakat.

Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang di

usung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan

negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain

adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang

kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara

miskin semakin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Globalisasi

cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh

terhadap bidang-bidang lain, seperti budaya dan agama.

Isu globalisasi dewasa ini semakin ramai diperbincangkan oleh para

ilmuwan, khususnya ilmuwan sosial. Hal ini disebabkan karena kecenderungan

historis yang sangat menonjol di era modern ini adalah perubahan menuju

globalisasi. Seiring dengan akselerasi kekuatan arus globalisasi yang semakin luas

daya jelajahnya, maka semakin kuat pula intensitas daya pengaruhnya. Hampir

tidak ada wilayah negara pada dewasa ini yang luput dari pengaruh proses

tersebut. Kemajuan bidang komunikasi merupakan salah satu faktor penting bagi

pencapaian percepatan, perluasan, dan pengintensifan pengaruh globalisasi yang

melanda hampir semua negara di dunia (Astra, 2004 : 107). Masyarakat di

35

Page 36: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

seluruh dunia menjadi saling bergantung di semua aspek kehidupan, terutama

kehidupan politik, ekonomi, dan kultural (Sztompka, 2007 : 102).

Globalisasi telah menimbulkan proses perkembangan kehidupan

manusia dan menjadikan seluruh kehidupan di muka bumi ini terkesan menyatu

tanpa batas-batas yang jelas. Proses globalisasi diikuti oleh adanya kemajuan

dalam berbagai bidang, seperti ilmu pengetahuan, teknologi, transportasi, dan

komunikasi. Kemajuan dalam berbagai bidang kehidupan itu telah menimbulkan

transformasi sosial dan merombak tata kehidupan masyarakat yang dilanda,

termasuk di dalamnya masyarakat Bali.

Globalisasi merupakan hasil interaksi antara konsep global dengan

konsep-konsep liberalisme yang berkembang bersamaan dengan liberalisasi

perdagangan dunia. Interaksi kedua konsep ini melahirkan konsep liberalisasi,

nondiskriminasi, persaingan bebas, jujur dan terbuka, serta pengabaian batas-batas

negara atau globalisasi. Hasil interaksi ini juga melahirkan persyaratan-

persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh setiap orang, masyarakat, dan

negara, yaitu kemampuan individual, kemampuan kerjasama, kemampuan

bersaing, jujur, dan nondiskriminasi.

Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya

fenomena globalisasi di dunia.

1. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan

barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet

menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya.

36

Page 37: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

2. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda

menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan

internasional dan peningkatan pengaruh perusahaan multi nasional.

3. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media

massa (terutama televisi, film, musik) saat ini, dan kita mendapat pengalaman

baru tentang hal-hal yang melintas beraneka ragam budaya.

4. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang

lingkungan hidup, krisis multi nasional, inflasi regional dan lain-lain

(Giddens, 2003 : 18-19).

Proses globalisasi ditandai dengan integrasi budaya lokal ke dalam suatu

tatanan global. Nilai-nilai kebudayaan luar yang beragam menjadi basis dalam

pembentukan subkebudayaan yang berdiri sendiri dengan kebebasan-kebebasan

ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan

telah mendorong pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan

memunculkan praktik kehidupan yang beragam (Featherstone, 1991 : 36).

Globalisasi telah menjadi kekuatan besar yang membutuhkan respons tepat,

karena ia memaksa suatu strategi bertahan hidup dan strategi pengumpulan

kekayaan bagi berbagai kelompok dan masyarakat. Proses ini telah membawa

“pasar” menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan tata nonsosial.

Pasar telah pula memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas, sekaligus

mengaburkan batas-batas sosial budaya (Appadurai, 1996 : 71-78).

Sementara itu, globalisasi kultur juga terjadi benturan-benturan ketika

peradaban Barat merasuk ke dalam kultur pribumi di kawasan jajahan mereka.

37

Page 38: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pada periode belakangan ini kultur pada skala global umumnya ditampilkan

melalui media massa terutama melalui TV. Imperialisme media makin lama

mengubah dunia menjadi “dusun global” yang mana lingkup pengalaman kultural

dan produknya pada dasarnya adalah sama. Akhirnya, kultur tradisional muncul

dalam batas komunitas, terpaku pada ruang dan waktu, sedangkan kultur modern

melintasi jarak ruang dan waktu melalui teknologi komunikasi dan transportasi

tanpa terikat pada ruang dan waktu (Adullah, 2007 : 55-56).

Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada dalam

masyarakat, termasuk di antaranya aspek budaya. Berkembangnya globalisasi

kebudayaan dicirikan oleh hal-hal berikut, yaitu (1) berkembangnya pertukaran

kebudayaan internasional, (2) penyebaran prinsip multi kebudayaan, (3)

berkembangnya pariwisata, (4) berkembangnya mode yang berskala global, dan

(5) bertambah banyaknya peristiwa-peristiwa berskala global.

Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu jenis ideologi yang

menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan masyarakat yang

bertumpu pada proses identifikasi diri. Hampir tidak ada satu masyarakat pun

yang terbebas sepenuhnya dari pengaruh globalisasi yang semakin kuat sejalan

dengan perbaikan transportasi dan teknologi komunikasi. Kapitalisme telah

menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini, yang tidak hanya mampu

menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi mengubah tatanan masyarakat

menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan-perbedaan yang mengarah pada

pembentukan status dan kelas tertentu.

38

Page 39: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dari penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa yang dimaksud

dengan konteks pariwisata global dalam penelitian ini adalah situasi yang ada

hubungannya dengan mendunianya pergerakan manusia dari satu tempat ke

tempat lain untuk bersenang-senang, mencari suatu yang baru, sehingga terjadi

proses penyatuan, kesalingberkaitan, dan kesalingterhubungkan antarmanusia di

seluruh dunia.

2.3 Landasan Teori

Kebudayaan Bali dalam dua dekade ini telah memperlihatkan suatu

dinamika dan perubahan yang sangat pesat. Pendorong utama dari perubahan ini

adalah fenomena internal dan eksternal yang sangat berpengaruh dalam

menstraformasi struktur masyarakat yang semula bersifat agraris kini beralih

menuju masyarakat industri dan jasa. Adanya berbagai pengaruh, baik secara

intern maupun secara ekstern Pura Tirta Empul sebagai produk budaya tradisi

sudah terkomodifikasi bentuk, fungsi, dan maknanya. Berdasarkan asumsi dan

rumusan masalah, akan dirujuk beberapa teori yang diharapkan mampu

membangun berangka analisis atas data yang dikumpulkan sesuai dengan

karakteristik kajian budaya.

Untuk memahami permasalahan yang diteliti, penelitian ini dilakukan

berdasarkan pendekatan kajian budaya (culture studies). Kajian budaya

merupakan bidang penelitian interdisipliner yang mempelajari produksi dan peta-

peta makna, serta menaruh perhatian pada isu-isu kekuasaan dalam praktik

pemaknaan formasi-formasi kehidupan manusia (Barker, 2005 : 515). Fokus

kajian budaya sesungguhnya terletak pada persoalan bagaimana budaya

39

Page 40: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dipraktikkan atau bagaimana praktik budaya memungkinkan berbagai budaya dan

kelas berjuang melawan dominasi kebudayaan. Cultural studies secara konsisten

menaruh perhatian pada masalah isu kekuasaan, politik, ideologi, serta kebutuhan

akan perubahan sosial.

Kebudayaan yang menjadi ontologi kajian budaya mempunyai

pengertian yang berbeda dengan pemahaman umum. Kebudayaan dalam kajian

budaya adalah kebudayaan dalam arti luas yang terkait dengan isu-isu politik,

sosial, dan ideologis. Kebudayaan dalam kajian budaya merupakan suatu ajang

pertikaian ideologi. Dengan kata lain, kebudayaan dalam kajian budaya

didefinisikan secara politis daripada secara estetis. Obyek penelitian kajian

budaya bukanlah kebudayaan dalam pengertian sempit, tetapi kebudayaan sebagai

teks-teks dan praktik-praktik kehidupan sehari-hari (Storey, 1996 : 2-3).

Untuk mendapatkan hasil penelitian sesuai dengan yang diharapkan,

penelitian ini menggunakan teori-teori kritis yang tergolong posmodern. Teori-

teori sebelumnya (tradisional dan modern) dianggap gagal mencapai

emansipatoris dalam rangka menjelaskan perkembangan masyarakat kontemporer,

dianggap bersifat tertutup, tidak kritis, dan terlalu berputar-putar pada prinsip-

prinsip umum. Teori-teori kritis menawarkan suatu ciri dan karakter yang

berbeda, yakni (1) curiga dan kritis terhadap masyarakat, (2) berpikir secara

historis, dan (3) menelaah kontradiksi-kontradiksi secara totalitas (Sindhunata,

1983 : 80-84).

Teori kritis berlawanan dengan pandangan positivisme yang menyatakan

bahwa sains harus menjelaskan hukum alam masyarakat. Sebaliknya, teori kritis

40

Page 41: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

percaya bahwa masyarakat ditandai oleh historis, yaitu terus mengalami

perubahan. Peran teori kritis bersifat politis karena berpartisipasi dalam

mendorong perubahan sosial. Selanjutnya, teori kritis berpandangan bahwa

dominasi bersifat struktural, yakni kehidupan masyarakat sehari-hari dipengaruhi

oleh institusi sosial seperti politik, ekonomi, budaya, diskursus, gender, dan ras.

Teori ini mengungkap struktur untuk membantu masyarakat dalam memahami

akar global dan rasional penindasan yang mereka alami. Pada level ini, teori kritis

berkeyakinan bahwa struktur dominasi direproduksi melalui kesadaran palsu

manusia,dilanggengkan oleh ideologi (Marx), reifikasi (Lukacs), hegemoni

(Gramsci), pemikiran satu dimensi (Marcuse), dan metafisika keberadaan

(Derrida) (Agger, 2007 : 7-9).

Teori kritis mencoba mengungkap kesadaran palsu tersebut dan

meyakini adanya kemampuan untuk mengubahnya. Perubahan itu dapat dilakukan

dari diri sendiri, keluarga, dan kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang

struktur dapat dijadikan dasar untuk mengubah struktur sosial yang tidak adil.

Manusia bertanggung jawab atas kebebasannya dan berkewajiban untuk

mencegah agar tidak terjadi penindasan antarsesama. Teori kritis menolak

pragmatisme revolusioner karena kebebasan dan keadilan tidak boleh diraih

dengan mengorbankan kebebasan (Lubis, 2006 : 63).

Teori Mazhab Frankfurt merupakan salah satu teori yang memberikan

pengaruh sangat luas terhadap kajian budaya kontemporer. Ide-ide teori kritis

berpengaruh pada praksis yang bertujuan melawan kemiskinan dunia, kehidupan

yang ditimbulkan oleh rasionalitas sistem dunia, dan kehidupan sebagai akibat

41

Page 42: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dominasi rasionalitas instrumental. Ada empat teori yang dipakai untuk

membedah permasalahan dalam penelitian ini, yaitu teori komodifikasi,

hegemoni, dekonstruksi, dan teori semiotika.

2.3.1 Teori Komodifikasi

Arus globalisasi telah melanda kehidupan manusia di seluruh penjuru

dunia, baik di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Globalisasi politik dan

ekonomi tampak dari fenomena semakin meluasnya pengaruh penetrasi sistem

organisasi modern yang menembus sekat-sekat negara, sedangkan globalisasi

pada level budaya mengacu pada persebaran prinsip-prinsip hidup modern, seperti

rasionalisasi, komersialisasi, dan konsumerisme (Triono, 1996 : 136). Globalisasi

budaya sangat sulit dikontrol lebih-lebih adanya kemajuan teknologi komunikasi

dan transportasi yang memudahkan kontak antarmanusia secara intensif. Sebagai

akibat dari kecendrungan itu maka terjadi apa yang disebut sebagai

“universalisme budaya”, di mana wajah budaya dunia dipandang menuju ke satu

arah, yaitu homogenisasi budaya modernitas dan memudarnya magis serta tradisi

lokal.

Proses modernisasi melalui pembangunan yang kapitalis atau membela

kepentingan modal dapat menyebabkan komodifikasi. Komodifikasi adalah proses

yang diasosiasikan dengan kapitalisme di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda

diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya adalah untuk

dijual di pasar (Barker, 2005 : 517). Komoditas dipahami sebagai suatu hasil

produksi yang dibuat untuk ditukar di pasar. Dengan kata lain, komoditas adalah

segala sesuatu yang diproduksi untuk dijual. Akibat ekonomi uang yang

42

Page 43: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

berdasarkan atas spirit menciptakan keuntungan sebanyak-banyaknya

mengakibatkan munculnya komodifikasi di berbagai sektor kehidupan.

Orientasi pencarian keuntungan pada masyarakat kapitalis menyebabkan

terciptanya produk-produk beragam dan luas. Akhirnya pada masyarakat

pascamodern komoditi telah merambah ke berbagai sektor kehidupan dan ranah

kebudayaan (Lury, 1998 : 64). Gejala ini oleh penganut postrukturalis disebut

sebagai “merkantilisme”, yaitu berubahnya status segala wacana, termasuk

pengetahuan, pendidikan, dan informasi menjadi komoditi (Piliang, 2006 : 296).

Fenomena demikian menjadikan komoditas tidak semata-mata terhenti pada nilai

tukar (exchange value) dan nilai guna (use value), namun sudah sampai ke nilai

tanda (sign value) (Baudrillard, 1981 : 18).

Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut

masalah produksi komoditas tentang barang yang diperjualbelikan. Permasalahan

bagaimana barang tersebut didistribusikan dan dikonsumsi juga termasuk di

dalamnya. Komodifikasi bukan merupakan suatu proses baru, tetapi saat ini telah

memperoleh kekuatan sebagai suatu aspek kebudayaan perusahaan.

Komodifikasi di berbagai dimensi kehidupan ini telah melahirkan

masyarakat komoditas (commodity society). Dalam hubungan ini Ibrahim (1997 :

24-25) memerinci masyarakat komoditas sebagai berikut.

Masyarakat komoditas memiliki empat ciri, yaitu (1) suatu masyarakat komoditas adalah masyarakat yang menampakkan produksi barang-barang bukan demi kebutuhan semata, tetapi kebutuhan manusia terpuaskan hanya secara insidental ; (2) dalam masyarakat komoditas muncul kecenderungan ke arah konsentrasi kapital luar biasa yang memungkinkan terselubungnya operasi pasar bebas demi keuntungan produksi massa ; (3) masyarakat komoditas sarat dengan antagonisme sebagai akibat hubungan produksi yang terus membelenggu kekuatan produksi yang ada, dan (4) meningkatnya

43

Page 44: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tuntutan terus menerus sebagai kecenderungan umum dari kelompok yang lebih kuat melalui sarana yang tersedia.

Komodifikasi sudah merambah ke seluruh sektor pariwisata dan sistem

kapitalis. Dalam dunia pariwisata, komodifikasi secara sadar atau tidak sadar telah

menyentuh langsung pada makna-makna kebudayaan, lebih-lebih ketika

melibatkan atau memanfaatkan simbol-simbol, ikon-ikon seni, budaya, dan

agama. Dengan penggunaan teknologi media, komodifikasi sudah menjadi suatu

ritual usaha ekonomi. Fenomena merebaknya industri kebudayaan untuk publik

seperti menjamurnya majalah populer, televisi swasta, kawasan wisata, pusat

hiburan, dan perbelanjaan modern menempatkan Bali sebagai masyarakat

komoditas (Darmadi, 2006 : 67 – 68).

Dalam pengembangan pariwisata yang memanfaatkan pusaka budaya

atau tinggalan arkeologi (artefak, fitur, situs) harus digarisbawahi bahwa

pariwisata pusaka budaya merupakan manifestasi dari komodifikasi kebudayaan

(comodification of culture). Hancurnya atau hilangnya batas-batas antara

kebudayaan dan ekonomi adalah sebagai sebuah penanda penting posmodernitas

(Richards, 1996 : 262 – 263). Perlu dikemukakan bahwa komodifikasi tidak

semata-mata dilakukan oleh para pelaku ekonomi, seperti pemodal pariwisata,

masyarakat lokal pun berpotensi dan bahkan sering melakukannya.

Dewasa ini sebagian masyarakat telah mengalami gejala touristifikasi

dan menjadi “touristic society”. Proses touristifikasi mempunyai dampak yang

sangat tinggi terhadap eksistensi kebudayaan lokal dan mampu

mentransformasikan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Banyak kalangan

khawatir dengan touristifikasi ini, karena akan dapat mengubah inti kebudayaan,

44

Page 45: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan, serta hilangnya bentuk-

bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat (Pitana,

2006 : 260).

Banyak orang berpendapat bahwa kebudayaan Bali telah mengalami

erosi, yang dapat dilihat dari munculnya efek peniruan, tanpa mempertimbangkan

kesesuaiannya dengan kebudayaan sendiri, terjadinya komodifikasi terhadap

kebudayaan, terjadinya penurunan kualitas hasil kesenian, dan profanisasi

kegiatan ritual atau tempat suci.

Beberapa studi kasus telah dilakukan oleh sejumlah peneliti mengenai

proses komodifikasi terhadap komponen budaya dalam kaitannya dengan

pengembangan pariwisata. Menurut Ardika (2008 : 4-5) komodifikasi pada

umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor

internal berkaitan dengan keinginan masyarakat, seniman, perajin, dan faktor

eksternal karena permintaan konsumen, selera pasar, pariwisata, dan kondisi

ekonomi. Berbagai barang kerajinan dibuat sedemikian rupa untuk memenuhi

selera pasar atau wisatawan. Namun, tanpa disadari bahwa budaya, khususnya

barang-barang kerajinan dan benda-benda seni, dibuat sesuai dengan pesanan

wisatawan tanpa memperhatikan jatidiri budaya setempat. Kenyataan ini perlu

diantisipasi agar budaya tidak kehilangan jatidirinya yang berlandaskan pada

nilai-nilai spiritual agama Hindu.

Globalisasi telah menjadi kekuatan besar pada dewasa ini. Pasar dalam

hal ini muncul sebagai kekuatan dalam membangun dunia kehidupan sehari-hari.

Dengan kata lain, pasar menjadi kekuatan dominan dalam pembentukan nilai dan

45

Page 46: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tatanan sosial. Pasar telah memperluas orientasi masyarakat dan mobilitas batas-

batas sosial budaya. Pasar sekaligus menguburkan batas-batas itu akibat

berubahnya orientasi ruang dalam masyarakat (Appadurai, 1994 : 49).

Teori komodifikasi dikaitkan dengan industri pariwisata, relasinya

dengan kebutuhan untuk mengonsumsi suatu produk kebudayaan adalah sebagai

trend global yang sedang berkembang dewasa ini. Hal semacam ini tidak bisa

ditolak dan tentu saja mengarah pada komodifikasi kebudayaan sejalan dengan

pelayanan jasa yang ditawarkan oleh industri pariwisata dengan menjual produk

kebudayaan tersebut. Oleh Picard (2006 : 164) disebut turistifikasi, yaitu suatu

budaya dan masyarakat dijadikan sebagai produk pariwisata. Dalam penelitian ini

teori komodifikasi diposisikan sebagai teori payung dan digunakan sebagai

landasan kajian untuk membedah rumusan masalah yang telah ditetapkan.

2.3.2 Teori Hegemoni

Teori hegemoni (hegemony) dari Antonio Gramsci (1891 – 1937)

menduduki posisi sentral dan sangat penting dalam kaitannya dengan kajian

budaya. Konsep hegemoni dikembangkan atas dasar dekonstruksinya terhadap

konsep-konsep Marxis Ortodok. Hegemoni mencakup sarana kultural dan

ideologis yang di dalamnya kelompok-kelompok penguasa menjalankan atau

melestarikan kekuasaannya atas masyarakat melalui konsensus terhadap pihak-

pihak yang didominasi. Gramsci (1971) menggunakan istilah hegemoni untuk

mengacu pada cara kelompok dominan dalam masyarakat mendapat dukungan

dari kelompok-kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan intelektual

dan moral.

46

Page 47: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gramsci menyoroti persoalan baru yang sebelumnya tidak dipikirkan

oleh pemikir Marxisme. Integritas intelektual kaum filsuf adalah persoalan yang

muncul secara orisinal dalam pengalaman politik di Italia di bawah rezim fasis

Mussolini. Dalam hubungan ini Simon (2004 : xv-xvi) menulis sebagai berikut.

”Dalam realitas sosial yang dianalisis Gramsci menunjukkan bahwa formasi sosial kapitalistik yang eksploitatif dan penindasan politik rezim fasisme Mussolini ternyata tidak secara otomatis melahirkan revolusi sosial, malah muncul gejala menguatnya “deproletarisasi”, di mana para buruh rela dan “concern” menerima penderitaan, bahkan mendukung keberadaan rezim Mussolini. Pengalaman penyerahan ideologi dan budaya kaum tertindas terhadap golongan yang menindas ini menarik perhatian Gramsci, dan reaksi intelektual atas kejadian itu, Gramsci mencetuskan teorinya tentang hegemoni. Teori ini pada dasarnya menjadi antitesa terhadap model perubahan sosial yang sangat positivistik dalam teori Marxisme saat itu”.

Hal-hal yang dijelaskan di atas menunjukkan bahwa pemikiran Gramsci

berpengaruh besar terhadap penyadaran kritis. Beberapa pemikirannya mengenai

civil society, counter hegemony dan terutama konsepnya mengenai war of

position telah mendorong munculnya gerakan tandingan terhadap hegemoni

dominan.

Dalam karya terpentingnya, Prison Notebooks (1929-1933), Gramsci

mematahkan tesis utama Marxisme bahwa dominasi kekuasaan tidak selamanya

berakhir pada kepentingan ekonomis belaka, melainkan juga karena akar-akar

kebudayaan dan politis. Ideologi memegang peranan penting dalam teori

hegemoni. Sebagaimana postrukturalisme yang bermaksud menanggulangi

kelemahan strukturalisme, teori hegemoni bertujuan merevisi kelemahan konsep-

konsep marxisme, seperti perkembangan politik dianggap sebagai akibat langsung

perkembangan ekonomi. Meskipun demikian, sesuai dengan paradigmanya,

cultural studies melangkah lebih jauh, di satu pihak dengan menempatkan

47

Page 48: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kebudayaan sebagai titik pusat pembicaraan dalam memperjuangkan kepentingan

kelompok, di pihak lain bagaimana kebudayaan memberikan bentuk historis pada

struktur sosial.

Sebagaimana ciri-ciri aliran Marxis pada umumnya, hegemoni Gramsci

sesungguhnya mengandung ide-ide tentang usaha untuk mengadakan perubahan

sosial secara radikal dan revolusioner (Ratna, 2005 : 185). Pluralisme

multikultural dan budaya marginal yang menjadi isu pokok dalam cultural

studies, pada dasarnya telah terkandung dalam gagasan Gramsci. Teori hegemoni

Gramsci secara tidak langsung menolak reduksi manusia, termasuk narasi kecil,

menolak konsep-konsep yang menjunjung tinggi kebenaran mutlak, baik yang

terkandung dalam aliran Marxisme maupun nonmarxisme.

Hegemoni menurut Gramsci tidak hanya digunakan untuk menjelaskan

relasi antarkelas, akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas. Konsep hegemoni

tidak hanya menjelaskan dominasi politik lewat kekuatan, akan tetapi yang lebih

penting, lewat kepemimpinan intelektual dan moral. Menurut Gramsci, dominasi

kekuasaan diperjuangkan, di samping lewat kekuatan senjata, juga lewat

penerimaan publik, yaitu diterimanya ide kelas berkuasa oleh masyarakat luas.

Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa

dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting di dalam prinsip

hegemoni. Makna (meaning) dan nilai-nilai (value) dominan yang dihasilkan

lewat berbagai media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial itu

sendiri (Piliang, 2009 : 136).

48

Page 49: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dengan mengacu para pakar yang membahas gagasan Gramsci,

misalnya, Simon (2004 : 21-22), Fakih (2002 : 64) bahwa kelas berkuasa selalu

berkeinginan memertahankan kekuasaannya dengan cara dominasi maupun

hegemoni. Dominasi adalah kontrol sosial eksternal dengan menggunakan

hukuman dan ganjaran, bahkan bisa juga kekerasan, sedangkan hegemoni

merupakan kontrol sosial internal dengan membentuk keyakinan pada norma yang

berlaku. Pemertahanan kekuasaan acap kali tidak bisa hanya mengandalkan pada

dominasi, melainkan harus disertai dengan hegemoni. Jika hegemoni berhasil,

maka peluang bagi pemertahanan kekuasaan menjadi lebih mudah.

Dengan mengikuti gagasan Gramsci (dalam Sugiono, 1999 : 17) dalam

hubungan yang hegemonik, kelompok berkuasa mendapatkan persetujuan

kelompok subordinat atas subordinasinya. Kelompok berkuasa yakin dalam hal ini

Pemda Gianyar beserta jajarannya tidak ditentang oleh kelompok yang dikuasai,

yakni masyarakat Desa Adat Manukaya, karena ideologi, kultur, nilai-nilai,

norma-norma, dan politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan sendiri

oleh kelompok subordinat. Begitu konsensus didapat, maka ideologi, kultur, nilai

norma, dan politik akan terlihat semakin wajar dan terlegitimasi.

”Hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pengertian Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih melalui upaya politis, kultural, dan inetelektual guna menciptakan pandangan dunia bersama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti bahwa kelompok penguasa harus ”menguniversalkan” pandangan dan kepentingannya serta harus memastikan bahwa pandangan dan kepentingan itu tidak hanya bisa, tetapi juga harus menjadi pandangan dan kepentingan kelompok subordinat” (Sugiono, 1999 : 41).

49

Page 50: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pencapaian sasaran ini memerlukan berbagai cara, misalnya melalui

lembaga-lembaga masyarakat yang menentukan secara langsung maupun tidak

langsung struktur-struktur kognitif dan efektif masyarakat.

Hegemoni sebagai kekuasaan berdasarkan konsensus telah

mempengaruhi struktur-struktur kognitif yang dikuasai. Pihak-pihak yang di

hegemoni menerima gagasan-gagasan, nilai-nilai, dan kepemimpinan kelompok

penghegemoni tidak karena dipaksa atau dibujuk, tetapi karena mereka sendiri

memiliki alasan-alasan tertentu untuk menerimanya. Dengan kata lain, proses

hegemoni terjadi jika cara hidup, cara berpikir, dan pandangan pemikiran

masyarakat kaum proletar telah meniru dan menerima cara berpikir dan gaya

hidup kelompok elite yang mendominasi dan mengeksploitasi mereka. Dalam

hegemoni, konsensus dibuat oleh para penghegemoni tetapi konsensus tersebut

dibuat berdasarkan kepentingan-kepentingan yang terhegemoni. Dengan

demikian, hegemoni kelihatan mengekspresikan apa-apa yang menjadi keinginan

yang terhegemoni tersebut. Hegemoni bukanlah dominasi dengan menggunakan

kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan dengan menggunakan pendekatan

kepemimpinan politik dan ideologi (Simon, 2004 : 38).

Terkait teori hegemoni, ada tiga cara untuk membentuk gagasan, yaitu

bahasa, pendapat umum, dan folklor. Bahasa merupakan sarana yang sangat

penting dan mempunyai pengaruh yang besar terhadap penyebaran konsep-konsep

ideologi tertentu. Makin luas dan makin banyak penguasaan bahasa, maka makin

mudah penyebaran ideologi yang dapat dilakukan. Sementara itu, pendapat umum

meskipun tidak sistematis dan bersifat kolektif, tetapi memiliki sifat pervasif yang

50

Page 51: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

cukup kuat. Pendapat umum telah menjadi arena penting dalam pertarungan

ideologi serta berfungsi untuk melawan ideologi. Sedangkan folklor yang pada

umumnya terkait dengan sistem kepercayaan, opini, dan takyul juga berperanan

dalam menopang hegemoni, karena dalam folklor tersembunyi kekuatan yang

berfungsi untuk mengikat masyarakat tanpa kekerasan (Ratna, 2005 : 188). Lebih-

lebih hegemoni didukung oleh kaum intelektual yang secara terus menerus

menyokong, mengembangkan, dan menyebarkan ideologi hegemoni penguasa.

Dalam setiap masyarakat kelompok intelektual memegang peranan penting.

Berbeda dengan pendapat umum yang biasanya memberikan ciri kepada

kemampuan rasio, Gramsci lebih banyak melihatnya melalui posisinya dalam

kelas sosial. Dengan demikian, pada dasarnya hegemoni tidak dipaksakan dari

atas, tidak berkembang secara bebas, tidak disengaja, tetapi hegemoni diperoleh

melalui negosiasi dan kesepakatan.

Hegemoni sebagai sarana maupun ideologis tempat kelompok-kelompok

yang dominan dalam masyarakat melestarikan dominasinya melalui persetujuan

sepontan kelompok-kelompok subordinat. Melalui penciptaan negosiasi

konsensus politik maupun ideologis kemudian menyusup ke dalam kelompok-

kelompok dominan maupun yang didominasi. Konsep hegemoni mengandung

pengertian bahwa kelas politik tersebut telah berhasil membujuk kelas-kelas lain

dalam masyarakat untuk menerima nilai-nilai moral, politik, maupun kulturalnya.

Kelompok-kelompok subordinat menerima gagasan, nilai-nilai, maupun

kepemimpinan kelompok dominan tersebut bukan disebabkan secara fisik atau

mental diindoktrinasi secara ideologis, melainkan karena mereka punya alasan-

51

Page 52: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

alasan tersendiri. Kebudayaan yang dibangun dengan hegemoni ini akan

mengekspresikan kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok subordinat

tersebut. Hegemoni bukanlah suatu perintah fungsional kapitalisme, melainkan

merupakan sekumpulan gagasan konsensus yang membentuk kelas maupun

konflik-konflik sosial lainnya.

Dengan menggunakan kerangka hegemoni tersebut, semakin setuju

pihak-pihak yang dikuasai dengan kekuasaan yang dijalankan, semakin berhasil

hegemoni yang terjadi. Dalam hal ini ide-ide yang dijalankan dalam kekuasaan

tampak wajar dan legitimate seolah-olah merupakan inisiatif dari yang dikuasai

dan bukan dari pihak-pihak lain karena terlebih dahulu sudah ada internalisasi

ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan segi-segi politik.

Teori hegemoni relevan digunakan untuk menganalisis bentuk hegemoni

pemerintah (Kabupaten Gianyar) dalam aktivitas komodifikasi pusaka budaya

Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata budaya. Melalui lembaga Diparda

Kabupaten, Kecamatan, sampai ke tingkat desa, pemerintah mengeluarkan

instruksi, kebijakan, dan peraturan untuk mempengaruhi, mengarahkan, dan

membentuk pola pikir masyarakat.

Berdasarkan prinsip teori hegemoni tersebut, maka penelitian ini

diarahkan pada pencermatan komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta Empul yang

bersinggungan dengan ideologi kekuasaan atau pihak yang berkepentingan. Teori

hegemoni digunakan sebagai landasan kajian untuk mengungkap faktor-faktor

apakah yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul.

2.3.3 Teori Dekonstruksi

52

Page 53: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dekonstruksi dapat diartikan sebagai pengurangan atau penurunan

intensitas bentuk yang sudah tersusun, sebagai bentuk yang sudah baku. Dalam

teori kontemporer dekonstruksi sering diartikan sebagai pembongkaran,

penolakan, penghancuran, dalam kaitannya dengan penyempurnaan arti semula

(Ratna, 2005 : 250-251).

Istilah dekonstruksi yang digunakan oleh Jacques Derrida, sebenarnya

sudah digunakan oleh ahli tata bahasa Prancis dalam mengungkap kaidah-kaidah

konstruksi kalimat, khususnya tentang keberlakuan kalimat dalam keadaan yang

berbeda-beda (difference). Menurut Stuart Sim, ada tiga asumsi dasar

dekonstruksi yaitu pertama, menyangkut ketidakstabilan makna bahasa, kedua,

tidak ada metode analisis yang memiliki klaim istimewa atas otoritas tafsir

tekstual, dan ketiga, tafsir lebih merupakan kegiatan yang tak terbatas dan lebih

mirip dengan permainan daripada analisis (Sim, 2002 : 28).

Bertolak dari asumsi tersebut, tampak jelas bahwa dekonstruksi

mementingkan pencarian makna baru. Untuk mencapai tujuan itu, maka

dekonstruksi menangguhkan semua yang sebelumnya sudah mapan. Bagi Derrida,

relasi signifier (penanda) dengan signified (petanda) tidak statis. Pemaknaan tanda

merupakan proses pembongkaran tetapi tujuan akhir yang hendak dicapai adalah

penyusunan kembali ke dalam tataran yang lebih signifikan, sesuai dengan

hakikat objek, sehingga aspek-aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan

semaksimal mungkin. Derrida menunjukkan bahwa dalam proses pemahaman

makna tanda bukan sekedar karena ada proses oposisi atau differensiasi, tetapi

karena ada proses ”penundaan” hubungan antara penanda (bentuk tanda) dan

53

Page 54: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

petanda (makna) untuk menemukan makna lain atau makna baru (Norris, 2008 :

69). Proses dalam hubungan yang baru ini disebut Derrida dengan differance.

Differance menunjukkan sebuah perbedaan pasif sebagai kondisi dari penandaan

serta sebuah tindakan membedakan atau menunda yang menghasilkan perbedaan.

Dengan demikian, inti teori dekonstruksi Derrida adalah perbedaan (differance)

sekaligus penundaan untuk mendekonstruksi legitimasi oposisi biner.

Derrida tampil sebagai seorang ahli membuat makna ganda dan makna

tersembunyi. Ia mengajak menuju cara baru dalam membaca dan menulis dan

beranggapan bahwa semua yang ada merupakan ”teks”. Bahan pokok semua teks,

masyarakat, dan apa pun adalah makna-makna yang perlu diurai atau

didekonstruksi. Guna mencapai makna-makna itu, menurut Derrida, harus

dilakukan tafsir atau hermeneutika.

Dalam kaitan dengan hakikat bahasa, Derrida mencoba menemukan

bagaimana bahasa mempunyai arti. Derrida mengkritik filsuf-filsuf Barat karena

meletakkan ”arti” dalam kekuatan rasio dan kalimat manusia dipakai untuk

menggambarkan realitas yang sebenarnya. Untuk itu, Derrida menggunakan

konsep perbedaan (difference) yang dicetuskan pertama kali oleh Ferdinand de

Sousssure. Namun demikian, ia tidak memakainya begitu saja, melainkan

membuat perubahan dan mengubah maknanya. Dengan sentuhan artistiknya,

Derrida mengubah ”difference” menjadi ”differance” yang berarti berbeda atau

menuda. Lewat kata ”differance”, Derrida mengkritik tradisi Barat yang

mengatakan bahwa tulisan hanyalah gambaran dari ucapan manusia, karena

ucapan lebih langsung sifatnya dibandingan dengan tulisan.

54

Page 55: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dekonstruksi adalah segala sesuatu yang ditolaknya. Konsep ini

memakai asumsi filsafat atau filologi untuk menghantam konsep logo sentrisme.

Ia mencegah agar tidak terlalu cepat menyingkap arti dalam sebuah teks. Derrida

menunjukkan berbagai kesulitan yang ada dalam teori-teori yang memaksakan

diri mencari kebenaran arti tunggal. Sebuah teks senantiasa berkorelasi dan

mempunyai konteks sehingga selalu mengandung kemungkinan arti-arti yang lain

(Sutrisno, dkk., 2005 : 171).

Derrida merupakan pemikir yang sangat konsisten dengan sikap

kritisnya. Ia terus berusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan tradisi

pemikiran lama, yaitu tradisi pemikiran yang baginya tidak memberi ruang pada

sesuatu yang berbeda. Di sini dapat dilihat bahwa Derrida memang sosok yang

tidak terlalu simpatik pada konsep pemikiran yang hanya berkutat pada satu

tujuan, yaitu pencapaian kebenaran atau makna tunggal yang obyektif dan berlaku

universal. Dengan konsep dekonstruksi, Derrida berusaha mengadakan perubahan

dengan sesuatu yang dapat dihasilkannya sendiri, sesuatu yang tidak sekedar

mengambil dari apa yang sudah tersedia dalam pemikiran yang hendak

dikritiknya.

Untuk melawan kesewenang-wenangan cara berpikir yang selalu

berusaha menemukan makna tunggal sebuah teks, Derrida berpendapat bahwa

konsep pemikiran masa modern mesti di ubah, dihancurkan, atau didekonstruksi.

Dasar pemikiran Barat modern harus terlebih dahulu di hancurkan agar dapat

dibangun kembali suatu cara berpikir baru yang terbuka, yang mau menerima

model pendekatan apa saja terhadap realitas sebagai teks. Derrida sangat

55

Page 56: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menekankan keanekaragaman cara berpikir dan pendekatan terhadap teks yang

ada. Ia memproklamasikan kebebasan untuk mengeksplorasi realitas atau teks

yang akan membawa pada keberagaman makna (Lubis, 2006: 120). Sebuah teks

atau realitas yang sama dapat dibaca secara berbeda oleh orang lain. Dengan kata

lain, dengan adanya kesadaran bahwa makna dari realitas itu beragam, maka

setiap orang diharapkan akan lebih siap untuk merayakan keberagaman itu.

Dalam penelitian ini teori dekonstruksi digunakan untuk mengkritisi,

membongkar, tanda-tanda konvensi kultural yang tersembunyi dari ideologi

dominan. Teori dekonstruksi dijadikan sebagai salah satu strategi budaya dalam

mengkritisi ideologi dibalik komodifikasi Pura Tirta Empul. Selain

mendekontrduksi ideologi intelektual yang selama ini dianggap memiliki

kompetensi yang relatif tetap dan permanen dalam memperkuat struktur

kekuasaan. Pada tataran makna, teori dekonstruksi digunakan untuk membongkar

dampak dan makna komodifikasi pusaka budaya dalam konteks pariwisata global,

khususnya pada makna-makna yang terlahir sebagai akibat konvensi budaya yang

tersembunyi dari ideologi pemerintah, pengusaha, dan masyarakat sipil.

Tujuannya adalah untuk mendapatkan makna-makna baru, bukan dalam tataran

makna yang monolitik, tetapi makna pluralistik. Dalam penelitian ini, teori

dekonstruksi digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga,

yaitu faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, serta dampak

dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global.

2.3.4 Teori Semiotika

56

Page 57: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dalam upaya memahami makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam

konteks pariwisata global digunakan pula teori semiotika. Semiotika berasal dari

kata Yunani semeion yang berarti ”tanda” sehingga semiotika berarti ”ilmu

tanda”. Tanda dianggap mewakili suatu objek secara representatif. Istilah

semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dengan kata lain

semiotika maupun semiologi sering digunakan bersama-sama, tergantung dimana

istilah itu populer.

Di antara banyak ahli yang membicarakan tentang tanda, terdapat dua

tokoh yang hasil penelaahannya hingga kini tetap menjadi dasar kajian serta terus

dipelajari oleh para ahli. Kedua tokoh tersebut berasal dari negara yang berbeda

yaitu Charles Sanders Peirce (1834-1914) dari Amerika Serikat dan Ferdinand de

Saussure (1857-1913) dari Swiss. Peirce adalah seorang ahli filsafat dan logika,

sedangkan Saussure adalah ahli bahasa bahkan dianggap sebagai Bapak

Linguistik Modern (Van Zoest, 1992 : 1-2 ; Ratna, 2006 : 98).

Menurut Peirce yang harus dipelajari dalam logika adalah bagaimana

cara orang bernalar. Penalaran itu menurut Pierce dilakukan melalui tanda-tanda

yang memungkinkan untuk berpikir, berhubungan dengan orang lain, dan

memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Kajian tentang

tanda tersebut oleh Peirce dinamakan dengan semiotika yang sebenarnya sinonim

dengan logika. Sementara itu, Saussure mengembangkan dasar-dasar teori

linguistik umum. Menurutnya, bahasa sebagai suatu gejala budaya dapat dijadikan

objek studi, kekhasan teorinya adalah menganggap bahasa sebagai sistem tanda.

57

Page 58: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Teori tentang tanda linguistik perlu ditempatkan dalam suatu teori yang lebih

umum, untuk hal itu diusulkanlah nama semiologi.

Kajian ini selanjutnya didasarkan pada pendapat Peirce, sebab menurut

Peirce terdapat kemungkinan luas dalam keanekaragaman tanda. Menurut Peirce

(dalam Endraswara, 2003 : 65) ada tiga jenis tanda berdasarkan hubungan antara

tanda dengan yang ditandakan, yaitu (1) ikon, yaitu tanda yang secara inheren

memiliki kesamaan dengan arti yang ditunjuk, (2) indeks, yaitu tanda yang

mengandung hubungan kausal dengan apa yang ditandakan, dan (3) simbol, yaitu

tanda yang memiliki hubungan makna dengan yang ditandakan sesuai dengan

konvensi suatu lingkungan sosial tertentu. Dengan pengertian itu Peirce

berpendapat bahwa teorinya bersifat umum dan dapat diterapkan dalam berbagai

bidang ilmu termasuk ilmu budaya.

Dalam analisis semiotika, Pierce menawarkan sistem tanda yang harus

diungkap. Menurut dia, ada tiga faktor yang menentukan adanya tanda, yaitu

tanda itu sendiri, hal yang ditandai, dan sebuah tanda baru yang terjadi dalam

batin penerima tanda. Antara tanda dan yang ditandai ada kaitan representasi

(menghadirkan). Kedua tanda itu akan melahirkan interpretasi di benak penerima.

Hasil interpretasi itu merupakan tanda baru yang diciptakan oleh penerima pesan.

Dalam perkembangan selanjutnya, semiotika pasca Saussure dan Peirce

dikembangkan oleh beberapa ilmuwan, salah satu di antaranya adalah Umberto

Eco. Ia adalah tokoh semiotika asal Italia yang bertolak dari pandangan Peirce dan

mendorong penelitian berbagai bidang ilmu dengan menggunakan teori semiotika.

Dalam kaitannya dengan penelitian sastra sebagai bagian dari kebudayaan,

58

Page 59: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Umberto Eco mengemukakan bahwa pengarang haruslah berusaha agar perangkat

sandi yang diyakini dapat ditangkap pembaca. Pengarang harus dapat memahami

pembacanya. Menurutnya, sandi dan konvensi gaya yang dipakai dalam teks

bukan hanya memikat pembaca, namun juga mengonstruksinya dengan cara

memberi petunjuk untuk memahami teks tersebut.

Penggunaan semiotika sebagai teori di dalam berbagai cabang keilmuan

dimungkinkan, oleh kaerna ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang

berbagai diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, dan seni sebagai fenomena

bahasa. Berdasarkan pandangan semiotika, bila seluruh praktik sosial dapat

dianggap sebagai fenomena bahasa, maka ia dapat pula dipandang sebagai tanda

(Piliang, 2003 : 257).

Dalam kaitan dengan penelitian ini, kajian struktural semiotik akan

mengungkap produk budaya sebagai sistem tanda. Tanda tersebut merupakan

sarana komunikasi yang bersifat estetis, karena setiap tanda membutuhkan

pemaknaan. Teori semiotika relevan digunakan secara ekletik untuk membedah

permasalahan yang terkait dengan makna komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai

produk budaya masyarakat Desa Manukaya.

2.4 Model Penelitian

Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata

global ini dapat digambarkan dalam model berikut :

59

Page 60: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 2.1 Model Penelitian

Keterangan : Hubungan langsung dua arahHubungan langsung satu arah

Penjelasan Model

60

BudayaLokal

Budaya Global

Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam Konteks

Pariwisata Global

Faktor Internal Perubahan Pola Pikir

Kreativitas masyarakatMotivasi Kesejahteraan

Faktor EksternalPariwisata

Industri BudayaMedia Massa

Hegemoni Pemerintah

Faktor-faktor yang mendorong

Komodifikasi Pura Tirta Empul

Dampak dan Makna Komodifikasi Pura Tirta

Empul

Proses Komodifikasi Pura

Tirta Empul

Konstruksi Identitas Kebalian

Page 61: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Model penelitian ini (Gambar 2.1) dapat dijelaskan sebagai berikut.

Dalam penelitian ini ada dua unsur besar yang mempengaruhi masyarakat

Manukaya, Tampaksiring, terkait komodifikasi Pura Tirta Empul. Dua unsur

tersebut adalah budaya global dan budaya lokal. Budaya global dengan indikator

masuknya dimensi orang/pariwisata, industri budaya, media massa, dan hegemoni

pemerintah. Sedangkan unsur budaya lokal dengan indikator perubahan pola pikir

masyarakat, kreativitas masyarakat, dan motivasi peningkatan kesejahteraan.

Di satu sisi budaya lokal termasuk di dalamnya Pura Tirta Empul

berusaha mempertahankan ketradisiannya dan berusaha menghadapi arus

pengaruh budaya global yang sulit dibendung kekuatannya, tetapi di sisi lain

budaya global yang wujudnya kapitalisme memainkan peran penting dalam

perubahan. Globalisasi menjadi suatu pertanda zaman baru, tidak bisa dibendung

dan itu berarti banyak aspek dalam kehidupan sosial budaya masyarakat

mengalami perubahan.

Fenomena yang berkembang memunculkan beberapa masalah yang

terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam kehidupan sosial masyarakat

pendukungnya. Terkait dengan masalah-masalah tersebut, ada tiga masalah yang

hendak dianalisis secara mendalam, yakni (1) proses komodifikasi Pura Tirta

Empul (2) faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul, dan (3)

dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul.

Dengan metodologis yang telah ditentukan, data dianalisis dengan

menggunakan beberapa teori secara eklektik (terpadu), yaitu teori komodifikasi,

teori hegemoni, teori dekonstruksi, dan teori semiotika. Dengan demikian, dalam

61

Page 62: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

analisis tahap akhir diharapkan dapat menemukan suatu hal yang baru tentang

komodifikasi Pura Tirta Empul di Tampaksiring, Gianyar, dalam konteks

pariwisata global.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata

global merupakan penelitian yang dirancang sesuai dengan paradigma keilmuan

kajian budaya (cultural studies). Kajian budaya (Lubis, 2006 : 145-152) menaruh

perhatian untuk meneliti berbagai kepentingan, ideologi, dan hegemoni yang

muncul dari informasi media massa. Selain itu, cultural studies juga mengkaji

berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan.

Dengan demikian, cultural studies adalah kajian yang menekankan keterkaitan

budaya dengan masalah hubungan sosial dan kehidupan sehari-hari.

Lubis (2006, 145-146) menguraikan beberapa karakteristik cultural

studies yaitu (1) cultural studies bertujuan mengkaji berbagai kebudayaan dan

praktik budaya yang berkaitan dengan kekuasaan, (2) cultural studies tidak

membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks sosial politik, akan tetapi

mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial politik, (3) dalam cultural studies

budaya dikaji dari aspek objek dalam tradisi kritis, (4) cultural studies berupaya

62

62

Page 63: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mendekonstruksi aturan-aturan dan pengkotak-kotakan ilmiah konvensional, serta

berupaya mendamaikan pengetahuan yang obyektif, dan (5) cultural studies

melibatkan diri dengan nilai dan pertimbangan moral masyarakat modern serta

tindakan politik dan konstruksi sosial. Dengan demikian, cultural studies tidak

hanya bertujuan memahami realitas masyarakat atau budaya, tetapi merubah

struktur dominasi, struktur sosial budaya yang menindas, khususnya dalam

masyarakat kapitalis industrial (Sardar & Van Loon, 1997 : 9). Cultural studies

mencoba mendekonstruksi pandangan lama dan mengangkat budaya yang

terpinggirkan itu pada tingkat yang wajar. Bertitik tolak dari penjelasan tersebut

dan mengingat budaya populer merupakan narasi kajian budaya, maka teori

komodifikasi, teori hegemoni, dan teori dekonstruksi digunakan untuk

menganalisis data. Penggunaan teori tersebut dipandang relevan untuk memahami

komodifikasi Pura Tirta Empul dengan fenomena yang sangat kompleks.

Oleh karena penelitian ini merupakan sebuah penelitian kajian budaya

(cultural studies), maka penelitian ini mengintegrasikan disiplin-disiplin lain. Hal

ini sesuai dengan prinsip lintas bidang atau multidisiplin dalam kajian budaya,

seperti semangat tiadanya batas dalam ilmu sosial. Di samping itu, kajian ini

bersifat multidisiplinner dengan adanya berbagai fenomena menarik di dalamnya,

seperti pariwisata, politik historis, sosial budaya, lingkungan, arkeologi, dan

sebagainya.

Sebagai kajian budaya, penelitian ini dirancang dengan pendekatan

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah jenis penelitian yang temuan-temuannya

tidak diperoleh melalui prosedur statistik atau bentuk hitungan lainnya. Ciri

63

Page 64: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dominan penelitian kualitatif menurut Bungin (2007 : 62-64) adalah (1) sumber

datanya langsung berupa data situasi alami dan peneliti adalah instrumen kunci,

(2) bersifat deskriptif, (3) lebih menekankan pada makna proses daripada hasil,

(4) analisis datanya bersifat induktif, dan (5) makna merupakan perhatian utama

dalam pendekatan penelitian.

Penelitian kualitatif dapat digunakan untuk meneliti kehidupan

masyarakat, sejarah, tingkah laku, pergerakan sosial, dan lain-lain. Kajian budaya

menggunakan metode yang menekankan keterkaitan budaya dengan masalah

sosial dan kehidupan sehari-hari. Ciri kualitatif sesungguhnya sudah terlihat

dalam setiap penelitian kajian budaya, karena penelitian kualitatif merupakan

paradigma penelitian yang berkepentingan dengan makna dan penafsiran.

3.2 Lokasi Penelitian

Areal Pura Tirta Empul sebagai obyek penelitian berlokasi di Desa

Manukaya, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Pura ini berada pada

sebuah lembah di antara Istana Kepresidenan Tampaksiring dan Candi

Pegulingan. Sesuai dengan namanya, pura ini berlokasi pada suatu sumber mata

air (tirta) yang mengalir ke Sungai Pakerisan. Kawasan ini sekarang telah

berkembang menjadi kawasan wisata yang ramai dikunjungi, baik oleh wisatawan

lokal, domestik, maupun wisatawan mancanegara.

Keaslian dari situs Pura Tirta Empul masih terlihat pada beberapa

bangunan kuno serta temuan arca-arca kuno dan lingga yoni yang berada di

halaman jeroan pura ini. Temuan lingga yoni merupakan bukti bahwa terdapat

aliran siwaistis yang berkembang pada abad X di daerah itu. Sementara itu,

64

Page 65: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bangunan pura secara menyeluruh merupakan bangunan yang dibuat belakangan

sebagai konskuensi adanya perubahan konsep pemujaan ketika pengaruh

Majapahit datang dari Jawa Timur.

Seiring dengan perjalanan waktu, dewasa ini Pura Tirta Empul juga

dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Sebagai daya tarik wisata, Pura

Tirta Empul banyak dikunjungi oleh para wisatawan, baik dalam maupun luar

negeri. Di era global, tantangan yang dihadapi manusia semakin kompleks.

Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global yang meresap ke

sendi-sendi kehidupan manusia tidak bisa ditolak. Pengaruh arus budaya global

berimplikasi pada praktik-praktik budaya kapitalisme, seperti munculnya industri

budaya yang mengacu pada komodifikasi bentuk-bentuk budaya. Pura Tirta

Empul tidak hanya menjadi perangkat budaya yang magis religius, melainkan

juga menjadi hiburan yang lebih mengarah ke komersial.

Proses komodifikasi Pura Tirta Empul didasarkan atas suatu

kecenderungan untuk menjadikannya sebagai komoditas yang dapat dijual untuk

memperoleh keuntungan ekonomi. Pura Tirta Empul disajikan dalam konteks

selera konsumen. Hal seperti itu terjadi karena berbagai faktor yang

mempengaruhi komodifikasi Pura Tirta Empul menjadi barang komoditas.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini, jenis data yang digunakan adalah data kualitatif

dan data kuantitatif (yang sifatnya menunjang data kualitatif). Data kualitatif

adalah data dalam bentuk uraian kata-kata, kalimat atau narasi, dan ungkapan

yang berkaitan dengan keberadaan komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks

65

Page 66: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pariwisata global di Desa Manukaya Gianyar. Data kuantitatif sebagai data

penunjang terutama yang terkait dengan jumlah dan informasi yang dinyatakan

dalam bentuk angka-angka, seperti jumlah penduduk, jumlah kunjungan wisata,

dan lain-lain. Data kualitatif penulis peroleh dari hasil observasi lapangan, dan

rekaman hasil wawancara yang dilakukan secara mendalam dan terbuka.

Sementara data kuantitatif diperoleh melalui dokumen-dokumen, buku, majalah,

jurnal, dan transkrip lainnya.

Sementara itu, sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber

data sekunder. Sumber data primer adalah obyek yang diobservasi langsung di

lapangan dan para informan yang diwawancarai. Dengan kata lain, data primer

adalah data yang diperoleh langsung di lokasi penelitian, melalui proses

wawancara dengan para informan, seperti tokoh adat dan agama, aparat

pemerintah, pemuka masyarakat, masyarakat pemanfaat pura, pedagang, perajin,

pelaku pariwisata, pecalang, dan lain-lain. Data ini juga dilengkapi dengan data

foto, gambar, dan peta untuk melengkapi data primer.

Sumber data sekunder adalah berupa dokumen atau sumber-sumber

tertulis pada umumnya, seperti monografi desa, statistik penduduk, brosur/iklan.

Data sekunder diperoleh dari sejumlah tempat, kantor dan lembaga. Data sekunder

ini juga sangat berharga bagi peneliti guna memahami lebih mendalam tentang

permasalahan yang dijadikan obyek penelitian.

3.4 Instrumen Penelitian

Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka peneliti dijadikan

sebagai instrumen utama dalam penelitian. Hal ini terkait dengan penggunaan cara

66

Page 67: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pengamatan dan pengamatan terlibat dalam penelitian. Sementara itu, untuk

teknik wawancara dipersiapkan instrumen berupa kisi-kisi pertanyaan terbuka

yang memungkinkan pertanyaan dapat terarah dan berkembang ke arah yang lebih

spesifik.

Demikian pula untuk melakukan perekaman dengan mencatat segala

kejadian yang ada sekaligus, baik melalui alat perekam maupun catatan-catatan

singkat. Instrumen ini disiapkan untuk kepentingan menggali informasi dari

informan. Posisi peneliti, menempatkan diri secara aktif dalam setiap kegiatan dan

peristiwa, dan berusaha menjalani hubungan yang wajar, penuh keakraban dengan

informan.

3.5 Penentuan Informan

Informan adalah orang yang memberikan informasi tentang data yang

diperlukan. Dalam penentuan informan teknik yang digunakan adalah purposif,

yaitu berdasarkan tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti (Endraswara, 2006 :

115). Selanjutnya untuk menjaring data, diawali dengan penentuan informan

kunci. Apabila informan ini memahami benar masalah yang akan dikaji dan dapat

memberikan informasi data yang dibutuhkan, maka dapat saja peneliti

menetapkannya sebagai informan kunci. Seorang informan yang baik adalah

informan yang mampu menangkap, memahami, dan memenuhi permintaan

peneliti. Ia harus memiliki kemampuan reflektif, meluangkan waktu untuk

wawancara, bersemangat untuk berperan serta dalam penelitian, dan memiliki

pengetahuan yang luas mengenai permasalahan yang diteliti (Sudikan, 2001 : 91).

67

Page 68: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Berdasarkan uraian di atas, informan kunci yang dipilih peneliti adalah

Bendesa Adat Manukaya I Made Mawi Arnata. Selanjutnya, dari keterangan yang

diberikan informan, peneliti kemudian menginventarisasi informan-informan lain

yang dapat memberikan keterangan terhadap masalah dan tujuan yang ingin

dicapai dalam penelitian ini. Bilamana data yang telah diperoleh sudah dianggap

cukup dan telah memenuhi tujuan yang diinginkan, maka pengumpulan data

dihentikan. Dengan kata lain, pencarian informan akan dihentikan ketika data

yang diperlukan dianggap telah cukup sesuai dengan kebutuhan.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Data penelitian ini dikumpulkan melalui tiga cara, yaitu observasi,

wawancara, dan studi dokumen.

3.6.1 Observasi

Observasi adalah cara memperoleh data melalui pengamatan langsung

ke lokasi penelitian untuk mendapatkan data yang akurat tentang objek yang

diteliti. Usaha pengamatan yang cermat merupakan satu cara penelitian ilmiah.

Dalam observasi, selain melakukan pengamatan, juga dilakukan pencatatan-

pencatatan rinci tentang hal-hal yang terkait dengan permasalahan yang telah

dirumuskan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam observasi adalah

membuat dokumentasi berupa foto. Penggunaan foto-foto sangat penting artinya

dalam rangka melengkapi data yang tidak dapat diperoleh dalam pengamatan

maupun wawancara. Diharapkan, dengan melakukan pengamatan, pencatatan dan

68

Page 69: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pendokumentasian secara empiris dapat ditemukan kenyataan-kenyataan yang

dapat dijadikan data penelitian ini.

3.6.2 Wawancara

Wawancara adalah sebuah percakapan dengan tujuan-tujuan tertentu.

Percakapan ini dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang

mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan

jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Adapun maksud mengadakan wawancara

adalah mengkonstruksi mengenai orang, kejadian, organisasi, motivasi,

kepedulian, memverifikasi, mengubah, dan memperluas konstruksi yang

dikembangkan oleh peneliti (Moleong, 1999 : 86). Dalam kaitannya dengan

pelaksanaan penelitian lapangan, wawancara mutlak dilakukan untuk menjaring

data melalui para informan.

Adapun jenis wawancara yang dilakukan dalam penelitian ini adalah

wawancara mendalam, yaitu teknik wawancara berdasarkan daftar pertanyaan

berupa pedoman wawancara yang telah direncanakan dan disusun sebelumnya

(Koentjaraningrat, 1983 : 174-175). Kepada para informan yang diwawancarai

diajukan pertanyaan-pertanyaan yang telah dipersiapkan. Informan diberikan

keleluasaan untuk menjawab pertanyaan sesuai dengan pengetahuan yang

dimilikinya. Dalam hal ini wawancara dilakukan oleh peneliti sendiri, dengan

tujuan agar peneliti secara langsung dapat mengetahui situasi dan kondisi hal-hal

yang diteliti, sehingga lebih mudah melakukan analisis dan menyimpulkannya.

Untuk memperoleh data yang memadai digunakan teknik wawancara

pembicaraan informal, yaitu hubungan antara peneliti dan para informan

69

Page 70: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

disituasikan sedapat mungkin berada dalam suasana santai, bersahabat, akrab,

seperti pembicaraan biasa dalam kehidupan sehari-hari. Catatan-catatan dan

pertanyaan ini dikembangkan di lapangan melalui pedoman wawancara sesuai

dengan situasi selama melakukan wawancara menuju pada kedalaman

percakapan. Titik berat perhatian diusahakan pada pandangan emik, yaitu peneliti

menaruh perhatian penuh pada masalah penelitian melalui keterangan data yang

diberikan informan sebagai pemilik budaya, sebaliknya tidak berdasarkan

pandangan etik, yaitu dari pandangan dan pemahaman peneliti.

3.6.3 Studi Dokumen

Di samping wawancara dan observasi, penelitian ini juga menggunakan

studi dokumen. Bahan dokumen sering mencakup hal-hal khusus yang sukar

ditangkap dengan observasi, sehingga studi dokumen menjadi penting. Studi

dokumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menelusuri dokumen dan laporan

yang terkait dengan permasalahan komodifikasi Pura Tirta Empul. Dokumen yang

digunakan adalah buku-buku, laporan penelitian, foto, klip media massa, majalah,

dan lain-lain yang diperoleh dari berbagai sumber. Semua dokumen yang telah

dikumpulkan tersebut ditelaah lebih lanjut sehingga diperoleh data sekunder yang

relevan dengan permasalahan penelitian.

3.7 Teknik Analisis Data

Sebelum dilakukan analisis, semua data yang telah terkumpul, baik data

primer maupun data sekunder diidentifikasi dan diklasifikasi sesuai dengan

permasalahan yang diajukan. Selanjutnya data diklasifikasi, dianalisis dengan

70

Page 71: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mengaplikasikan teori-teori yang telah ditetapkan. Adapun analisis yang

digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif dan

interpretatif. Analisis seperti ini merupakan bagian dari prosedur penelitian

kualitatif yang lebih menekankan pada upaya memahami makna atau menafsirkan

realitas empirik dari obyek penelitian (Singarimbun, 1995 : 143)

Proses analisis kualitatif meliputi tiga alur kegiatan, yaitu reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah proses pemilahan,

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data

kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah

merangkai dan menyusun informasi yang memberi kemungkinan adanya

penyederhanaan informasi yang kompleks, selektif, dan mudah difahami.

Penyajian data menggunakan bentuk teks naratif yang dilengkapi dengan jaringan

kerja, sehingga semua informasi yang disusun mudah dilihat dan dimengerti.

Menarik simpulan adalah suatu kegiatan konfigurasi yang utuh atau tinjauan ulang

terhadap catatan-catatan di lapangan, yakni dengan maksud menguji kebenaran,

kecocokan, dan validitas makna-makna yang muncul di lokasi penelitian

(Sudikan, 2001 : 99).

3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian

Tahap penyajian merupakan tahapan pemaparan hasil penelitian dalam

wujud tulisan secara urut dan integral. Dalam konteks ini penyajian hasil

penelitian dilakukan secara informal, yaitu penyajian hasil penelitian dilakukan

menggunakan deskripsi kata-kata dengan bahasa ragam ilmiah ditunjang dengan

71

Page 72: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

teknik penyajian formal berupa tabel, bagan, dan gambar atau foto. Penyajian

dibuat sedemikian rupa, sehingga mampu melukiskan keberadaan fenomena real

budaya masyarakat yang diteliti.

72

Page 73: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

DAN PURA TIRTA EMPUL

4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Pada subbab ini diuraikan gambaran umum Desa Manukaya dengan

penjelasan menurut metode etnografis. Seperti diketahui bahwa Pura Tirta Empul

yang menjadi objek penelitian ini terletak di desa tersebut. Adapun tujuan uraian

etnografis adalah untuk mendeskripsikan struktur sosial dan budaya suatu

masyarakat dengan melakukan observasi ke lapangan. Pola penulisan gambaran

umum ini termasuk ke dalam perpaduan deskripsi etnografi klasifikasi dan

etnografi analitis. Unsur-unsur universal yang dibahas disusun secara sistematis

disesuaikan dengan konteks relevansi kajian.

4.1.1 Letak dan Kondisi Geografis

Pura Tirta Empul sebagai objek penelitian berlokasi di Desa Manukaya,

Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali (lihat Gambar 4.1). Desa ini

mempunyai lingkungan alam yang menghijau menggambarkan kesuburan dengan

hamparan tanah pertanian yang produktif. Di desa ini terdapat beberapa buah

sungai, antara lain yang terpenting ialah Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu,

merupakan sumberdaya alam yang penting bagi kelangsungan hidup masyarakat

sekitarnya. Kedua sungai tersebut mendapatkan air dari sumbernya di kaki

pegunungan Kintamani, sehingga hampir tidak pernah kekurangan cadangan air.

73

72

Page 74: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Air dari sungai-sungai itu selanjutnya dialirkan ke sawah-sawah

pertanian dengan harapan agar mendapatkan hasil pertanian yang melimpah.

Kecuali kedua sungai tersebut di atas, Desa Manukaya juga mempunyai sejumlah

mata air yang cukup besar, terdapat di antara Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu,

yaitu petirtaan Pura Tirta Empul dan petirtaan Pura Mangening yang dianggap

suci dan mendapat resapan air yang tidak pernah kering dari kaki pegunungan

Kintamani (Sutaba, 2007 : 5).

Hutan di bagian perbukitan atau di daerah dataran tinggi Desa Manukaya

dengan berbagai pepohonan antara lain, ialah ada yang menghasilkan buah-

buahan seperti durian, mangga, pisang, telah menciptakan suasana yang

memberikan kesan tersendiri. Di tengah-tengah hutan yang serba hijau, terdapat

sejumlah fauna sebagai penghuninya, ternyata telah melengkapi ekosistem desa

tersebut. Dari bagian dataran tinggi menurun ke arah selatan, terdapat dataran

rendah yang dimanfaatkan sebagai permukiman penduduk dengan membangun

desa untuk tempat hunian. Sebagian dari dataran ini adalah tanah sawah pertanian

yang subur karena mengandung endapan material vulkanik dari Gunung Batur

yang meletus berkali-kali. Tanah sawah penduduk yang berteras-teras adalah

ekosistem kehidupan alami yang sangat menarik dan menawarkan keharmonisan,

keseimbangan hidup, kepada masyarakat pemukimnya.

Bentang alam dan lingkungan hidup seperti di atas, memperlihatkan

wajah yang sarat dengan tinggalan sejarah masa lalu, yang sudah lama menarik

perhatian para ahli arkeologi, sejarah, dan kebudayaan. Dua di antara sungai-

sungai tersebut di atas, yakni Sungai Pakerisan dan Sungai Petanu menjadi

74

Page 75: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

terkenal dalam sejarah Bali Kuno. Di sepanjang aliran kedua sungai ini telah

dibangun kawasan budaya (cultural area) yang sampai sekarang masih menjadi

kawasan sakral (sacred area) bagi masyarakat (Sutaba, 2007 : 6).

Penelitian arkeologi yang dimulai pada awal abad XX telah

mendapatkan bukti-bukti bahwa kawasan ini memang menyimpan sejumlah

tinggalan arkeologi yang sampai sekarang masih berfungsi sakral (sacred living

monuments), tersebar di Desa Panempahan, Desa Manukaya, dan Tampaksiring.

Padatnya populasi pusaka budaya di kawasan ini dapat dipandang sebagai suatu

indikasi mengenai pemukiman masyarakat dan padatnya hunian atau tingginya

mobilitas sosial yang terjadi di masa lalu. Konsentrasi pusaka budaya di desa ini

dapat pula dianggap bahwa peradaban Bali Kuno lahir di kawasan budaya ini.

Pusaka budaya yang tersebar di kawasan ini salah satu diantaranya adalah Pura

Tirta Empul.

Seperti telah disebutkan di atas bahwa Desa Manukaya adalah salah satu

desa yang ada di Kecamatan Tampaksiring. Desa ini berjarak 18 km dari ibukota

Kabupaten Gianyar dan 38 km dari Kota Denpasar. Desa Manukaya relatif datar,

dengan beberapa buah sungai kecil membelah desa dan mengalir ke sawah-sawah

yang ada di wilayah desa tersebut. Pertanian basah yang relatif subur telah

menghasilkan padi yang berlimpah, sementara pertanian kering yang cukup luas

dapat menghasilkan berbagai komoditi, seperti kacang tanah, jagung, ketela

pohon, dan ketela lambat. Lahan perkebunan yang ada di wilayah Desa Manukaya

menghasilkan cengkeh, kopi, panili, dan kelapa.

75

Page 76: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 4.1. Peta Keletakan Pura Tirta Empul di Kabupaten Gianyar(Sumber : Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB,

NTT, 2009)

76

Page 77: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Secara geografis Desa Manukaya memiliki posisi yang strategis, karena

berada di jalur pariwisata yang berhubungan dengan jalur wisata Kintamani dan

Besakih. Secara topografis bentuk lahan di wilayah ini adalah berupa dataran yang

cukup subur dan terletak pada ketinggian 500-700 meter di atas permukaan laut.

Curah hujan dalam setiap tahunnya mencapai 1488 mm, dengan suhu udara yang

cukup sejuk sekitar 27 OC ( Balai Penyuluh Pertanian Tampaksiring, 2007).

Secara administratif wilayah Desa Manukaya terdiri atas sembilan desa

adat dan 13 banjar/dusun. Kesembilan desa adat tersebut ialah Desa Adat

Manukaya Let, Manukaya Anyar, Panempahan, Malet, Temen, Keranjangan,

Basangambu, Maniktawang, dan Mancingan. Sedangkan ke-13 banjar yang ada di

wilayah Desa Manukaya adalah Banjar Manukaya Let, Tatag, Bantas, Manukaya

Anyar, Panempahan, Malet, Temen, Keranjangan, Basangambu, Belahan,

Maniktawang, dan Panedengan (Lihat Tabel 4.2).

Adapun batas teritorial Desa Manukaya (Gambar 4.2) adalah sebagai

berikut.

(1) Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Pengelumbaran (Bangli).

(2) Di sebelah timur berbatasan dengan Desa Susut Bangli.

(3) Di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tampaksiring (Gianyar), dan

(4) Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Pupuan Tegallalang (Gianyar).

77

Page 78: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 4.2 Peta Desa Manukaya(Sumber : Monografi Desa Manukaya, 2007)

78

Page 79: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

4.1.2 Kependudukan

Berdasarkan hasil registrasi kepadatan penduduk pada akhir tahun 2008,

Desa Manukaya memiliki jumlah penduduk 9630 jiwa (2.449 KK), terdiri atas

penduduk laki-laki 4918 jiwa dan penduduk perempuan 4712 jiwa, dengan

kepadatan penduduk 687 orang per km2. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat

umur dapat dilihat pada Tabel 4.1 di bawah ini.

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Desa Manukaya Berdasarkan Tingkat Umur

No UmurJenis Kelamin

JumlahLaki-laki Perempuan

1. 0 – 4 th 478 412 8902. 5 – 9 th 443 400 8433. 10 – 14 th 580 540 11204. 15 – 24 th 944 907 18515. 25 – 45 th 1499 1554 30536. 50 th ke atas 974 899 1873

Jumlah 4918 4712 9630Sumber : Kantor Kepala Desa Manukaya Tahun 2009

Berdasarkan jumlah penduduk pada Tabel 4.1, ternyata penduduk

dengan tingkat umur 25-45 tahun jumlah yang paling banyak, disusul oleh

penduduk dengan tingkat umur 50 tahun ke atas, dan umur 15-24 tahun.

Sementara itu, tingkat umur antra 5-9 tahun menduduki tingkat terendah.

Keseluruhan jumlah data kependudukan di atas, sudah termasuk dengan para

pendatang lainnya, sebagai penduduk di Desa Manukaya. Umumnya, mata

pencaharian penduduk adalah sebagai PNS/ABRI, petani, tukang, pedagang, dan

perajin.

4.1.3 Sistem Kemasyarakatan

79

Page 80: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dalam hidupnya manusia cendrung mengadakan hubungan antara

sesamanya yang akhirnya membentuk suatu masyarakat. Pola hubungan antara

sesama manusia menjadi dasar dari suatu interaksi sosial di antara kelompok serta

terciptanya kelompok-kelompok sosial. Selain itu, hubungan juga berkembang

dengan lingkungannya sebagai usaha untuk menanggapi secara aktif lingkungan

alam tersebut. Beberapa bentuk atau pola hubungan yang berkembang serta pola

tanggapan manusia terhadap lingkungannya memunculkan bentuk atau pola-pola

kehidupan yang khas disebut sebagai pola-pola kebudayaan manusia (Astika,

1986 : 11).

Masyarakat Hindu di Desa Manukaya menganut sistem sosial yang

mengikat terdiri atas beberapa sistem sosial. Sesuai dengan sistem pemerintahan,

bahwa di desa tersebut sekarang terdapat dua jenis desa, yakni desa dinas dan desa

adat. Desa dinas adalah merupakan kesatuan wilayah administrasi terkecil dalam

suatu susunan wilayah pemerintahan. Kepala desa dinas disebut perbekel atau

lurah berkedudukan sebagai aparat pemerintah di desa yang berfungsi

melaksanakan tugas-tugas kedinasan. Para warga desa terikat oleh kesatuan fungsi

yang dijalankan oleh desa sebagai bagian dari struktur vertikal pemerintahan

resmi sebagai kesatuan administratif. Kesatuan ini dibatasi oleh adanya wilayah

desa yang jelas batas-batasnya, penduduk atau warga desa yang bertempat tinggal

di wilayah desa tersebut, dan sistem aturan pemerintahan desa. Warga desa dinas

mempunyai fungsi memelihara dan mengaktifkan kegiatan dalam desa serta

tunduk pada sistem aturan yang berlaku.

80

Page 81: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Desa adat adalah merupakan suatu kesatuan atau persekutuan wilayah

berdasarkan atas kesatuan tradisi dari tatakrama pergaulan hidup yang di warisi

secara turun-temurun serta diikat oleh suatu kahyangan tiga, yaitu Pura Desa,

Pura Puseh, dan Pura Dalem (Ardana dkk., 1983 : 10). Dengan kata lain, desa adat

merupakan suatu komunitas tradisional dengan fokus fungsi dalam bidang adat

dan agama Hindu, serta merupakan satu kesatuan wilayah di mana para

anggotanya secara bersama-sama melaksanakan kegiatan sosial dan keagamaan

yang ditata oleh suatu sistem budaya (Pitana, 1994 : 139). Meskipun pada

mulanya desa adat menangani segala urusan sosial kemasyarakatan atau segala

urusan yang berhubungan dengan kehidupan bersama masyarakat manusia,

namun dewasa ini kegiatannya cenderung hanya terbatas kepada kegiatan-

kegiatan yang menyangkut adat-istiadat atau sosial religius dari masyarakat,

karena fungsi-fungsi lainnya telah diambil alih oleh desa dinas. Namun demikian,

rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat oleh adanya karang desa

(pekarangan, wilayah atau tempat bangunan desa) dan awig-awig desa (sistem

aturan desa yang dibuat dan diberlakukan kepada segenap warga desa).

Pada umumnya tampak beberapa perbedaan antara desa-desa adat di

pegunungan dan desa-desa adat di dataran. Desa-desa adat di pegunungan

biasanya lebih kecil dan keanggotaannya terbatas pada orang-orang asli yang lahir

di desa itu. Sesudah kawin, orang itu langsung menjadi warga desa adat (krama

desa) dan berhak mengikuti rapat-rapat desa yang diadakan secara teratur pada

hari-hari tertentu. Desa-desa adat di tanah datar biasanya lebih besar dan meliputi

daerah yang relatif luas, demikian pula keanggotaannya.

81

Page 82: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Kekuasaan tertinggi pada desa adat terdapat pada rapat anggota atau

sangkep, sedangkan bendesa adat hanya berfungsi sebagai pemegang mandat dari

krama desa adat dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang berhubungan

dengan eksistensi desa adat. Desa adat juga mempunyai harta kekayaan, baik

berupa material maupun immaterial. Salah satu kekayaan desa adat adalah pura-

pura dengan tanah pelabanya, karena keberadaan desa adat terkait langsung

dengan kepemilikan kahyangan tiga.

Desa adat juga mempunyai otonomi, baik ke luar maupun ke dalam.

Otonomi ke luar diartikan sebagai kebebasan untuk mengadakan kontak langsung

dengan institusi di luar desa adat, sedangkan otonomi ke dalam berarti kebebasan

untuk mengatur rumah tangganya sendiri.

Dalam hubungan ini, Griadhi (1991 : 58-59) menulis sebagai berikut.

”Sesungguhnya otonomi tersebut merupakan otonomi yang bersifat asli, yang muncul dari kelahiran desa adat itu sendiri yang merupakan kekuasaan untuk mengatur kehidupan warganya sehingga segala kepentingan dapat dipertemukan. Otonomi desa adat dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) otonomi dalam bidang keorganisasian, yang merupakan kekuasaan desa adat untuk mengatur kehidupan sebagai suatu organisasi, (2) otonomi dalam bidang sosial ekonomi, yang merupakan kekuasaan untuk mengatur hubungan antar anggota dengan kelompok masyarakat serta mengelola berbagai kekayaan desa adat, dan (3) otonomi di bidang religius, yang menyangkut kepemilikan atas berbagai sarana dan prasarana upacara serta pengaturan terhadap hak dan kewajiban warga desa terhadap berbagai tempat pemujaan yang ada di desa.

Dalam perkembangannya, desa adat senantiasa mengalami perubahan-

perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan lingkungannya.

Demikian pula Desa Adat Manukaya Let. Perubahan-perubahan yang terjadi dapat

dipandang sebagai suatu progress dari masyarakat tradisional menuju masyarakat

yang lebih kompleks atau modern. Berbagai perubahan tersebut seiring dengan

82

Page 83: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

usaha desa adat di dalam mengadakan berbagai penyesuaian terhadap situasi

lingkungan luar, yang meliputi lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi, politik,

dan teknologi.

Intensitas kontak kebudayaan Bali dengan kebudayaan luar meningkat,

terkait erat dengan adanya perkembangan teknologi yang pesat di bidang

komunikasi dan transportasi, serta keberhasilan Bali menjadi daerah tujuan

wisata. Adanya perkembangan kepariwisataan dengan berbagai implikasinya,

menyebabkan terjadinya banyak perubahan pada masyarakat Bali, termasuk pula

lembaga tradisional desa adat. Desa adat telah mengalami transformasi.

Transformasi pada lembaga ini umumnya menuju kepada usaha peningkatan

efisiensi kerja dan nilai praktis pelaksanaan berbagai kegiatan (Pitana, 1994 :

159).

Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa desa adat bergerak

dalam bidang adat-istiadat dan agama, namun dewasa ini banyak desa adat secara

aktif bergerak di bidang ekonomi, sesuai dengan tuntutan masyarakat dan

pembangunan. Di beberapa desa adat, termasuk Desa Adat Manukaya Let, telah

terjadi pemanfaatan azet desa adat untuk mendatangkan pendapatan ekonomis,

termasuk pengontrakan tanah desa kepada masyarakat untuk pembangunan

prasarana kepariwisataan. Pendapatan yang diperoleh dari berbagai kegiatan

tersebut digunakan untuk membiayai pelestarian dan pengembangan obyek

wisata, rehabilitasi tempat suci, pelaksanaan upacara, dan sebagainya.

Dengan dua pengertian seperti itu, jelas dapat dibedakan pengertian desa

adat sebagai suatu kesatuan masyarakat dalam satu wilayah desa yang secara

83

Page 84: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bersama-sama mengaktifkan suatu sistem upacara yang berhubungan dengan

kesucian desa. Sedangkan desa dinas adalah suatu kesatuan masyarakat dalam

wilayah pemerintahan desa yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan

administratif bagi kelancaran sistem pemerintahan dan pengaturan warga desa.

Banjar adalah kelompok masyarakat yang lebih kecil dari desa dan

menjadi bagian dari desa adat serta merupakan persekutuan hidup sosial. Sebagai

bentuk komunitas kecil, banjar mempunyai peranan penting dalam membentuk

kehidupan masyarakatnya. Banjar juga menjadi pusat orientasi para anggota

masyarakat untuk suatu kegiatan tertentu serta pilihan untuk pengadaan tenaga

dalam upacara. Sebagai bagian dari desa, banjar juga mempunyai ciri-ciri yang

khas sebagai kesatuan kelompok sosial (Astika, 1986 : 2).

Banjar sebagai organisasi sosial dapat dibedakan menjadi dua, yakni

banjar adat dan banjar dinas atau banjar patus. Banjar adat mempunyai tugas

dan kewajiban khusus dalam kaitannya dengan upacara agama Hindu atau banjar

suka-duka, sedangkan banjar dinas merupakan perpanjangan tangan dari

organisasi pemerintahan negara di bawah desa dinas. Banjar adat merupakan

organisasi di bawah pemerintahan desa adat yang kini berdasarkan Peraturan

Daerah Bali No. 3 Tahun 2001 disebut dengan nama desa pakraman. Desa

pakraman pada hakikatnya adalah kesatuan masyarakat adat yang anggotanya

adalah mereka yang beragama Hindu dan terkait dengan kahyangan tiga secara

turun temurun.

Sementara itu, azas yang melandasi persekutuan hidup sosial dalam

sistem banjar adalah azas kebersamaan dan kekeluargaan. Azas kebersamaan dan

84

Page 85: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kekeluargaan itu mendorong munculnya jiwa dan semangat gotong-royong di

kalangan warga banjar itu sendiri. Dengan demikian maka dapat difahami bahwa

fungsi pokok organisasi banjar adalah mewujudkan gotong royong dalam

persekutuan hidup bersama di kalangan warga banjar, baik dalam keadaan suka

maupun duka.

Desa Manukaya sebagai desa administrasi terdiri atas sembilan desa adat

dan 13 banjar/dusun. Untuk lebih lengkapnya keberadaan lembaga-lembaga

tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut.

Tabel 4.2 Desa Adat dan Banjar Dinas di Desa Manukaya

No Nama Desa Adat Jumlah Nama Banjar1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Desa Adat Manukaya Let

Desa Adat Manukaya Anyar

Desa Adat Panempahan

Desa Adat Malet

Desa Adat Temen

Desa Adat Keranjangan

Desa Adat Basangambu

Desa Adat Maniktawang

Desa Adat Mancingan

3

1

1

1

1

1

2

2

1

Banjar Manukaya LetBanjar TatagBanjar Bantas

Banjar Manukaya Anyar

Banjar Panempahan

Banjar Malet

Banjar Temen

Banjar Keranjangan

Banjar BasangambuBanjar Belahan

Banjar ManiktawangBanjar Panedengan

Banjar MancinganSumber : Kantor Kepala Desa Manukaya, 2009.

Setiap desa adat telah memiliki awig-awig tertulis yang disusun

berdasarkan paruman desa adat. Desa adat dipimpin oleh bendesa adat dan

dibantu penyarikan (sekretaris). Desa adat sangat berperan dalam melestarikan

tradisi dan budaya, terutama dalam pelaksanaan upacara keagamaan.

85

Page 86: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Selain banjar, di Desa Manukaya ada juga penglompokkan sosial lain

dalam wujud yang lebih kecil, baik dalam lingkup kepentingannya, cakupan

wilayah, maupun jumlah anggotanya, yang disebut seka. Kadang-kadang seka ini

merupakan bagian dari organisasi banjar, tetapi sering pula seka-seka tersebut

lepas dari ikatan banjar. Pada beberapa kasus bahkan anggota seka bisa terdiri

atas anggota banjar, sehingga merupakan suatu bentuk organisasi sosial yang

khas (Astika, 1994 : 111).

Seka adalah lembaga atau kelompok sosial dari beberapa orang anggota

banjar yang menghimpun diri atas dasar kepentingan yang sama. Setiap seka

mempunyai jenis kegiatan yang berbeda, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Namun satu hal yang menonjol dari keberadaan seka adalah walaupun berbeda

dalam kegiatannya, tetapi tetap berorientasi pada kehidupan masyarakat dan tidak

terlepas dari banjar. Kegiatan seka, di samping aktivitas yang menyangkut

kepentingan anggotanya, juga banyak membantu kegiatan banjar. Seperti halnya

banjar, seka mempunyai anggota, struktur pimpinan, aturan atau awig-awig dan

fungsi tertentu dalam kaitannya dengan kelompok sosial di lingkungan banjar.

Seka-seka yang populer misalnya seka manyi untuk menanam padi, seka numbeg

untuk mengolah tanah sawah, seka memula untuk menanam padi, seka gong

untuk menabuh gamelan, seka kecak kelompok penari kecak, seka baris

perkumpulan tari baris, seka arja perkumpulan tari arja, dan masih banyak lagi

seka-seka yang lain.

Keberadaan sebuah seka dalam struktur organisasi banjar atau desa

kadang-kadang lebih bersifat struktural, artinya suatu jenis seka memang harus

86

Page 87: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

ada, seperti misalnya seka teruna, seka gong, seka kidung. Sementara itu, ada juga

seka di lingkungan banjar terus aktif dan berfungsi dalam menunjang kegiatan

banjar seperti seka subak, yang bergerak di bidang irigasi untuk kepentingan

pertanian. Hampir seluruh petani terikat dengan seka atau organisasi ini.

Organisasi subak adalah para pemilik atau penggarap sawah yang menerima air

irigasi dari bendungan-bendungan yang diurus oleh subak (Bagus, 1979 : 291).

Subak merupakan organisasi petani yang mengelola air irigasi untuk anggota-

anggotanya, dan organisasi ini sangat terkenal di seluruh dunia. Sebagai suatu

organisasi, subak mempunyai pengurus dan aturan-aturan keorganisasian atau

awig-awig, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Sebagaimana halnya organisasi tradisional, organisasi subak

menggunakan dasar filosofi tri hita karana. Filosofi ini mengajarkan bahwa

kebahagiaan manusia akan dapat dicapai jika manusia mampu menjaga

keharmonisan hubungan antara tiga faktor dari filosofis tersebut, yaitu

parhyangan (unsur ketuhanan) pawongan (manusia) dan palemahan (unsur alam).

Seperti desa-desa lainya di Bali, di Desa Manukaya eksistensi seka

meliputi beberapa aspek kehidupan masyarakat di antaranya menyangkut aspek

sosial, budaya, dan ekonomi. Dalam aspek sosial beberapa seka yang eksis adalah

seka-teruna-teruni (perkumpulan muda-mudi) dari seluruh anggota banjar.

Fungsinya adalah membantu para anggotanya dalam kegiatan suka-duka,

melaksanakan kegiatan-kegiatan kepemudaan (olah raga, kesenian), dan

membantu kegiatan-kegiatan yang ada di banjar.

87

Page 88: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dalam aspek budaya, seka yang ada di Desa Manukaya adalah seka

gong (perkumpulan penabuh) dan seka pesantian (perkumpulan nyanyian

keagamaan). Seni tabuh gong sudah berkembang sejak lama, sedangkan seka

pesantian telah ada sejak tahun 1990-an. Selain itu, masing-masing banjar adat

memiliki perangkat gong lengkap dengan seka gongnya, serta beberapa jenis seni

pertunjukkan, seperti tari rejang, tari baris, tari topeng, wayang kulit, tari lepas,

dan lain-lain.

Dalam aspek ekonomi, seka yang pernah eksis di Desa Manukaya adalah

seka memula (kelompok menanam padi), seka manyi (kelompok menanam padi),

dan seka numbeg (kelompok mencangkul). Seka-seka tersebut awalnya dibentuk

untuk mempererat hubungan kerjasama dalam kegiatan-kegiatan pertanian.

Munculnya teknologi modern di bidang pertanian menyebabkan penduduk beralih

ke teknologi yang lebih maju, sehingga berpengaruh terhadap eksistensi seka-seka

tersebut. Demikian juga perkembangan pariwisata di Desa Manukaya dan

sekitarnya juga berpengaruh terhadap eksistensi seka-seka yang ada, karena mata

pencaharian penduduk sebagian beralih ke sektor pariwisata.

4.1.4 Perekonomian

Perekonomian suatu masyarakat erat kaitannya dengan kondisi

lingkungan di mana mereka bertempat tinggal. Selain itu, perekonomian juga

ditentukan oleh kemampuan manusia dalam beradaptasi dan memanfaatkan

potensi lingkungan hidup itu sendiri. Dalam hal ini, daya kreatif sangat

diperlukan, sehingga peluang dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam

memenuhi keperluan hidup sehari-hari.

88

Page 89: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Penampilan kehidupan ekonomi di daerah pedesaan, khususnya di Desa

Manukaya, dimaksudkan untuk memberi gambaran ringkas mengenai kondisi

sosial ekonoi masyarakat desa tersebut. Secara geografis, Desa Manukaya

sesungguhnya mempunyai bentang alam yang menghijau dengan hamparan tanah

pertanian yang subur. Dengan demikian, Desa Manukaya merupakan daerah

agraris dengan lahan pertanian berupa persawahan dan tegalan untuk perkebunan,

peternakan, dan tanaman pangan. Walaupun sebagian penduduk menekuni

kerajinan, tetapi pertanian tetap merupakan pencaharian pokoknya. Selain

menghasilkan padi dari pertanian sawah, di Desa Manukaya menghasilkan

tanaman perkebunan, terutama cengkeh, kopi, panili, kelapa, pisang, dan jagung.

Peternakan sapi diusahakan terutama di dusun-dusun yang memiliki tanah tegalan

yang cukup luas, seperti dusun Malet, Panempahan, Basangambu, dan

Mancingan. Selain sapi, penduduk juga memelihara babi dan ayam. Binatang

piaraan itu tentu sangat membantu dalam menunjang perekonomian masyarakat.

Penduduk Desa Manukaya juga merespon kegiatan pemerintah dengan

membuka kios cenderamata dan toko seni (artshop) di daerah daya tarik wisata

Pura Tirta Empul dan sepanjang jalan protokol jurusan Denpasar – Kintamani.

Jumlah kios dan toko seni di wilayah Desa Manukaya tahun 2008 sebanyak 116

buah (Sumber : Profil Desa Manukaya, 2009). Perkembangan pariwisata di daerah

Tampaksiring dan sekitarnya telah mempengaruhi lahan pertanian yang digarap

sebagai mata pencaharian utama. Meskipun kena pengaruh pariwisata, lahan

pertanian masih tetap dipertahankan mendominasi menjadi spasial lahan agraris di

89

Page 90: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

wilayah desa tersebut. Pertanian tampaknya masih menjadi pilar pendukung bagi

perekonomian masyarakat.

Dari luas keseluruhan wilayah Desa Manukaya, tanah pertanian masih

merupakan bagian terbesar. Hal itu dapat dilihat dalam Tabel 4.3 dibawah ini.

Tabel 4.3 Data Penggunaan Lahan di Desa Manukaya Tahun 2007.

No Jenis Penggunaan Lahan Luas (Ha)1.

2.

3.

4.

5.

Tanah sawah

Tanah pekarangan

Tanah tegalan/kebun

Hutan

Kolam

141

76,97

891,97

25

0,90Sumber : Diolah dari Monografi Desa Manukaya Tahun 2009.

Tabel 4.3 menunjukkan bahwa lahan perkebunan merupakan spasial

terbesar (891,97 ha) dari keseluruhan luas tanah yang mencapai 1.496 ha.

Walaupun demikian, tampak juga kenyataan bahwa bidang pertanian atau

perkebunan sedikit demi sedikit mulai ditinggalkan oleh penduduk akibat beralih

ke profesi lain.

Manukaya dengan daya dukung keindahan alam yang dimilikinya, baik

sumberdaya budaya (cultural resource) maupun sumberdaya alam (natural

resource), telah membuat kawasan ini menampilkan diri sebagai wilayah wisata

yang memiliki ciri khas, yaitu wisata pusaka budaya. Wisata pusaka budaya

menawarkan potret masa lalu yang menjadi identitas pengembangan pariwisata di

daerah Tampaksiring dan sekitarnya. Beberapa daerah yang memiliki potensi

keindahan alam dan pusaka budaya ditumbuhi berbagai spasial kawasan dalam

bentuk kios-kios untuk menjual sovenir.

90

Page 91: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Bagi penduduk Desa Manukaya, pariwisata mempunyai arti yang sangat

penting, misalnya dapat menambah kesempatan kerja, meningkatkan

kesejahteraan hidup masyarakat, mengurangi urbanisasi, dan lain-lain. Seperti

halnya desa-desa lain di Kabupaten Gianyar, Desa Manukaya memiliki

kemampuan yang cukup memadai untuk merespon perkembangan kepariwisataan,

dengan mewujudkan bentuk-bentuk barang kerajinan dan pelayanan yang sesuai

dengan kebutuhan serta memberi corak yang khas terhadap kebudayaan Bali.

Letak geografis Desa Manukaya yang berada di jalur utama Jurusan

Denpasar – Kintamani dan letaknya relatif dekat dengan desa-desa yang

merupakan daerah tujuan wisata seperti Tampaksiring, Sebatu, Bedulu, serta

Kintamani memberi peluang kepada masyarakat untuk membuka kios-kios

kesenian sekaligus sebagai tempat pemasaran industri kerajinan masyarakat.

Masyarakat Desa Manukaya sangat bersyukur dengan adanya Pura Tirta Empul

dan Istana Presiden RI Tampaksiring. Keberadaan Pura Tirta Empul dan Istana

Presiden tersebut telah membawa dampak positif bagi perkembangan industri

kerajinan. Kedua pusaka budaya itu merupakan potensi yang besar bagi

pengembangan kepariwisataan di Desa Manukaya.

Sementara itu, pembangunan sektor perindustrian berlangsung cukup

pesat di Desa Manukaya, karena didukung oleh sarana perhubungan yang cukup

lancar. Adanya konsumen asing dan domestik serta adanya tempat pemasaran,

terutama toko-toko seni dan kios-kios cenderamata di daerah Kuta, Ubud, dan

Tampaksiring. Jenis kerajinan yang banyak diproduksi oleh masyarakat Desa

Manukaya antara lain patung, ukiran, dan asesoris. Dengan adanya perkembangan

91

Page 92: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

industria kecil maka 46,15% penduduk angkatan kerja menekuni kerajinan

sebagai mata pencaharian pokok. Petani yang jumlahnya 37,01% dari jumlah

penduduk juga menggunakan waktu luangnya terutama pada malam hari dengan

kegiatan kerajinan sebagai upaya menambah pendapatan (Informasi Kepala Desa

Manukaya, 24 Mei 2010).

Di sektor perdagangan terjadi peningkatan jumlah fasilitas, seperti

pengembangan pasar tradisional untuk kepentingan pengembangan ekonomi

masyarakat pedesaan. Suasana pedesaan dari aktivitas pasar tradisional tercermin

dari komoditas yang dijual, yang pada umumnya berupa kebutuhan pokok sehari-

hari.

Perdagangan memegang peranan penting dalam menunjang

perekonomian masyarakat Desa Manukaya. Hasil-hasil bumi dan barang-barang

kerajinan merupakan komoditi penting dalam perdagangan. Barang-barang

kerajinan yang merupakan ciri khas produk Tampaksiring banyak digemari oleh

para wisatawan yang berkunjung, baik wisata domestik maupun wisatawan manca

negara.

4.1.5 Agama dan Kepercayaan

Seperti diketahui bahwa mayoritas penduduk Desa Manukaya memeluk

agama Hindu. Agama Hindu, seperti diketahui, berasal dari daratan India. Sebagai

negara besar di kawasan Asia Selatan, sejak lama India telah memainkan peranan

penting bahkan pengaruhnya, terutama pengaruh budaya sampai ke daratan Asia

Tenggara. Kenyataan itu telah memperkuat pendapat betapa luasnya pengaruh

92

Page 93: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kebudayaan India baik dalam bentuk Hinduisme maupun Buddhisme (Yadav,

1998 : 5).

Desa Manukaya, proses kehidupan sejarah masyarakat dimulai sejak

munculnya pengaruh agama Hindu pada sekitar pertengahan abad IX. Keberadaan

agama Hindu dapat diketahui berdasarkan temuan fragmen prasasti berbahasa

Sanskerta yang ditemukan di Desa Pejeng, Blahbatuh, dan Tatiapi. Di antara

bagian-bagian yang masih terbaca antara lain berbunyi .... siwas .... ddha.... yang

diperkirakan selengkapnya berbunyi siwasiddhanta (Astra, 1997 : 52). Hal itu

memberi petunjuk bahwa isi prasasti tersebut pada umumnya bersifat keagamaan,

dalam hal ini agama Hindu sekte Siwa (Stutterheim, 1929 : 62).

Desa Manukaya sesungguhnya memiliki sejarah yang sangat panjang.

Beberapa tinggalan arkeologi yang ada di wilayah desa ini memperlihatkan

adanya aktivitas kehidupan masa lalu, yang sudah lama menarik perhatian para

ahli khususnya ahli arkeologi, sejarah, dan kebudayaan.

Bukti-bukti sejarah dan arkeologi menunjukkan bahwa masyarakat

Manukaya sejak lama telah menganut agama dan kepercayaan dengan berbagai

alirannya. Agama adalah kunci sejarah. Kita tidak dapat memahami hasil-hasil

budaya masyarakat tanpa mengerti kepercayaan keagamaan yang menjadi latar

belakangnya. Dalam semua zaman, hasil utama budaya didasarkan pada gagasan-

gagasan keagamaan dan diabadikan untuk tujuan keagamaan (Zoetmulder, 1965 :

327).

Pernyataan Dawson yang dikutip oleh Zoetmulder itu berlaku pada

situasi dan kondisi Desa Manukaya, sebab tampak bahwa sejumlah hasil budaya

93

Page 94: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

materi dari masa lalu menunjukkan latar belakang dan semangat keagamaan. Pura

Tirta Empul beserta sejumlah tinggalan arkeologi di dalamnya jelas menunjukkan

fungsinya sebagai benda yang dibuat untuk kepentingan agama, khususnya

Agama Hindu. Oleh karena mempunyai latar belakang sejarah yang panjang, pola

pikir dan perilaku masyarakat sampai saat ini masih kental mencerminkan budaya

Bali yang dijiwai oleh agama Hindu. Budaya Bali mempengaruhi baik karakter

maupun orientasi hidup sebagian besar masyarakat Manukaya. Budaya Bali dan

Agama Hindu saling berinteraksi, berintegrasi, sekaligus merupakan landasan

bagi kehidupan masyarakat Desa Manukaya.

Agama merupakan hak dasar manusia yang paling hakiki dan sekaligus

merupakan ciri yang universal bagi kehidupan sosial manusia. Masyarakat

Manukaya melaksanakan ajaran agama dilandasi oleh tiga kerangka dasar Agama

Hindu, yakni tatwa (filsafat), susila (etika), dan upacara (ritual). Penerapan

falsafah Tri Hita Karana merupakan pengejawantahan dari hubungan manusia

dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta makhluk lainnya, dan

hubungan manusia dengan alam lingkungannya di mana ia berada. Hal ini

merupakan proyeksi dari keyakinan Agama Hindu yang disebut panca sradha,

yaitu lima dasar keyakinan Agama Hindu yakni percaya adanya Tuhan, Atman,

punarbhawa, karmaphala, dan moksa, ke dalam tata kehidupan masyarakat, baik

secara individual maupun kolektif. Pada akhirnya, tujuan akhir agama Hindu

adalah moksartham jagadhitaya ca iti dharmah yang berarti tujuan beragama

(dharma) ialah untuk mencapai kelepasan, kebebasan atau kesempurnaan roh

94

Page 95: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

(moksa), kesejahteraan umat manusia, kedamaian, dan kelestarian dunia

(jagadhita).

4.2 Gambaran Umum Pura Tirta Empul

4.2.1 Keadaan Pura dan Lingkungannya

Pura Tirta Empul (lihat Gambar 4.3) dapat dicapai dengan mudah,

karena telah dihubungkan oleh jalan raya yang sangat baik. Dari Kota Denpasar,

perjalanan akan menempuh jarak lebih kurang 32 km melalui jurusan Desa

Bedulu – Pejeng – Tampaksiring. Untuk sampai di lokasi, pada pertigaan jalan

sebelum memasuki area Istana Presiden Tampaksiring terdapat jalan membelok

ke kanan. Setelah menempuh jarak sekitar 600 meter maka tibalah di Pura Tirta

Empul.

Gambar 4.3 Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

95

Page 96: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Secara astronomis, posisi Pura Tirta Empul terletak pada koordinat

115018’43’ Bujur Timur dan 8010’30’ Lintang Selatan serta berada pada

ketinggian 479 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata pada situs ini adalah

23 oC dan curah hujan pertahun mencapai 1618 mm, dengan kelembaban udara

76%. Kondisi klimatologis seperti itu menyebabkan suhu yang sejuk di dalam

pura. Lingkungan mikro yang cukup lembab ini mungkin disebabkan oleh karena

letak Pura Tirta Empul boleh dikatakan paling rendah jika dibandingkan dengan

tempat sekitarnya yang merupakan perbukitan kecil. Tempat yang rendah ini

tampaknya disebabkan karena pusaka budaya ini berorientasi pada mata air yang

pada umumnya terdapat pada bagian yang paling rendah.

Memasuki areal Pura Tirta Empul, tampak panorama yang cukup indah.

Tidak jauh dari pura, tepatnya di sebelah timur sungai kecil terdapat puluhan kios

yang menjual barang cendramata. Selain itu, terdapat pula halaman parkir yang

cukup luas untuk menampung kendaraan pengunjung. Fasilitas ini tersedia karena

Pura Tirta Empul merupakan salah satu daya tarik wisata dan mendapat

kunjungan wisatawan yang cukup banyak.

Sebagaimana namanya, situs Pura Tirta Empul mempunyai sumber mata

air yang sangat jernih. Mata air yang dianggap suci ini terletak di bagian halaman

tengah pura, lalu dialirkan ke kolam permandian yang ada di halaman luar melalui

lubang pancuran (Gambar 4.4) dan sisanya dialirkan ke Sungai Pakerisan yang

berada di sisi timur pura. Mata air ini oleh masyarakat setempat diyakini sebagai

sumber kekuatan magis yang dapat memberi kehidupan dan kemakmuran serta

menyucikan diri.

96

Page 97: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 4.4 Kolam Permandian Beserta Pancurannya(Dok. Setiawan, 2010)

Keadaan pura saat ini secara keseluruhan terawat dengan baik, karena

merupakan daya tarik wisata yang secara langsung mendapat pengawasan dari

pemerintah maupun desa adat setempat. Sebagai daya tarik wisata yang banyak

dikunjungi oleh para wisatawan, kawasan ini telah ditatat sesuai dengan konsep

pelestarian yang diamanatkan oleh Undang-undang Benda Cagar Budaya. Selain

itu, diupayakan pula untuk membedakan kawasan yang bersifat profan dan sakral.

Kawasan sakral sama sekali tidak boleh ada bangunan lain kecuali terkait dengan

kegiatan upacara keagamaan. Sedangkan kawasan profan diperuntukkan untuk

kepentingan umum seperti toilet, artshop, lahan parkir, tiketing, warung makan,

dan sebagainya.

97

Page 98: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

4.2.2 Sejarah Pura

Pura Tirta Empul merupakan representasi dari pura taman air yang

dikembangkan oleh para penguasa di masa lalu. Pemilihan mata air sebagai lokasi

tempat suci tampaknya sangat sesuai dengan konsep India Kuno yang

mensyaratkan bahwa lokasi sebuah kuil sedapat mungkin harus berdekatan

dengan sumber air (Acharya, 1933 : 13-14). Karena itu, tidaklah mengherankan

jika di sepanjang daerah aliran Sungai Pakerisan ditemukan cukup banyak

bangunan bersejarah berbentuk candi atau pura, seperti Candi Gunung Kawi,

Candi Mangening, Pura Pengukur-ukuran, Candi Tegallinggah, dan Tirta Empul

itu sendiri.

Untuk dapat mengungkap sejarah pendirian Pura Tirta Empul, ada

beberapa sumber tertulis yang dapat digunakan, antara lain Prasasti Manukaya

dan pustaka lontar Usana Bali. Prasasta Manukaya adalah sebuah prasasti yang

dipahatkan pada sebuah batu, sekarang prasasti tersebut tersimpan pada sebuah

palinggih (bangunan suci) di Pura Puseh Desa Manukaya.

Sejak tahun 1924 Prasasti Manukaya telah menarik perhatian di

kalangan para ahli purbakala, khususnya ahli purbakala dari Belanda. Diantara

mereka yang menaruh minat besar terhadap prasasti ini adalah W.F. Stutterheim.

Stutterheim adalah orang pertama yang berhasil membaca Prasasti Manukaya dan

kemudian diterbitkan dalam bukunya yang berjudul Oudheden Van Bali

(Stutterheim, 1929 : 68-69). Selanjutnya prasasti ini dibaca ulang oleh R. Goris

dan diterbitkannya dalam bukunya yang berjudul Prasasti Bali I (Goris, 1954 :

75-76).

98

Page 99: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Prasasti Manukaya yang sangat disucikan oleh masyarakat setempat

dipahatkan pada sebuah batu kedua sisi, namun huruf-huruf yang terpahat sudah

demikian ausnya, sehingga tidak semua isi prasasti dapat dibaca. Sisi pertama (A)

terdiri atas 15 baris tulisan, sedangkan sisi kedua (B) terdiri atas 8 baris tulisan.

Prasasti Manukaya menggunakan bahasa dan huruf Bali Kuno.

Sisi A yang masih dapat dibaca antara lain menyebut tahun dikeluarkan

prasasti yaitu 882 Saka /960 Masehi, serta menyebut nama raja Jayasingha

Warmadewa. Selain itu, prasasti ini juga memuat perintah raja untuk memugar

atau memperbaiki telaga atau tirtha di air Mpul (sekarang Tirta Empul di

Tampaksiring) yang setiap tahun mengalami kerusakan akibat derasnya aliran air.

Telaga itu sampai saat ini masih dianggap suci oleh masyarakat terutama sekaa

barong di daerah Gianyar. Setiap tahun sekali diadakan odalan, dan prasasti batu

tersebut diarak ke Pura Tirta Empul untuk disucikan. Dengan demikian, jika

angka tahun prasasti tersebut di atas dianggap sebagai tahun berdirinya tempat

suci ini, maka dapat dipastikan bahwa umur Pura Tirta Empul saat ini sudah

mencapai 1050 tahun.

Selain keterangan prasasti tersebut di atas, sejarah Pura Tirta Empul juga

dapat diketahui berdasarkan cerita rakyat yang berkembang hingga saat ini yang

bersumber dari Kekawin Usana Bali. Isi lontar itu terutama mengisahkan bahwa

pada zaman dahulu pasukan apsara dari surga yang dipimpin oleh Dewa Indra

berangkat dari Kahyangan ke Bali. Dewa Indra dengan pasukannya turun di

Kahyangan Basukih, kemudian berangkat melanjutkan perjalanan ke barat untuk

menyerang Raja Mayadanawa di Bedahulu. Raja Mayadanawa adalah raja yang

99

Page 100: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

sangat sombong, angkuh dan melarang rakyat mengadakan persembahan kepada

Dewa. Sikap Mayadanawa yang demikian menyebabkan para Dewa menjadi

marah. Dewa Indra dengan Patih Citranggada, Citrasena dan Jayanta beserta

pasukankannya membagi tugas mengatur siasat perang untuk melawan

Mayadanawa. Suara kendang berdentuman alunan gong bergemuruh, bendera

berkibar, bala tentara berjalan menjejal menuju Desa Bedahulu.

Mayadanawa menghina dan mencela tiada henti-hentinya dengan

sombong, congkak, dan kasar, diikuti oleh raksasa yang lain. Mengetahui akan

musuhnya datang, pasukan Mayadanawa segera menghadang. Maka terjadilah

pertempuran yang sangat dasyat antara pasukan Dewa Indra melawan pasukan

Mayadanawa. Beribu-ribu pasukan bertempur bergemuruh hingga banyak korban

bergelimpangan.

Entah beberapa lama perang berlangsung, akhirnya pasukan Dewa Indra

berhasil mendesak mundur pasukan Mayadanawa. Dari keretanya Mayadanawa

melihat kekalahan pasukannya, sehingga ia turun ke medan perang. Pertempuran

dasyat kembali terjadi. Mayadanawa sangat marah gemertak giginya dan bersuara

menggelegar. Mayadanawa menantang berperang berhadap-hadapan (perang

tanding), sementara Dewa Indra dengan tenang terus mendesak raksasa itu dengan

melepaskan beberapa anak panah.

Karena terdesak, Mayadanawa akhirnya melarikan diri ke arah utara dan

terus dikejar oleh pasukan Dewa Indra. Sampai di Desa Manukaya, raja

Mayadanawa berubah wujud menjadi manuk (ayam jantan). Akhirnya manuk ini

dipanah oleh Dewa Indra, maka matilah raksasa itu. Konon darah Mayadanawa

100

Page 101: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dari mulutnya menyembul pusaran air, aliran air Petanu namanya. Air sungai itu

tidak boleh diminum, tidak boleh digunakan untuk mandi atau cuci muka karena

air itu dipercaya bersumber dari darah raksasa (Pupuh xv : 1).

Sementara itu, di sebelah selatan desa Manukaya terdapat suatu tempat

yang bernama Alas Pagulingan. Di tempat inilah Patih Kalawong (Patih

Mayadanawa) membuat tirta mala yang menyebabkan kematian pasukan apsara.

Melihat keadaan seperti itu, lalu Dewa Indra menciptakan air suci. Air ini lalu

diperciki kepada para pasukan apsara yang telah mati, sehingga berhasil hidup

kembali. Air suci ini kemudian bernama Tirta Empul.

Jika kaum Brahmana dan ksatria mandi dan cuci muka di sini, wajah dan

tubuhnya akan segar serta terhindar dari dosa dan malapetaka. Jika kaum Wesya

dan Sudra yang berdosa mau datang ke sini, pasti selamat, sedangkan yang

berbudi luhur akan mendapat keberuntungan. Mereka yang datang diharapkan

menghaturkan sesaji diiringi puja mantra memuja Dewa Siwa. Untuk jelasnya

berikut dikutipkan Kakawin Usana Bali Pupuh xiv 1-4 (Kusuma : 2005, 74-75)

sebagai berikut.

Pupuh xiv1. Byaktitan patining mahasura Maya radin atisaya tustaning sabhuwana,

hyang sakra ndan asighra mantuk umareng nguwu saha balakusa wahana kabeh, ndararyan tepining nadi parama nirmala siratelas adyu sahyas asalin, ngka muja ribhatara suksma siwa tarppana ginawayarat kasugatin.

2. Airampul pengaranya dengku lingiramarapati kateka tekeng helem ike, atyanteki pawitraning parama tirtha saphala gumawe suka parimita, monsang brahmana yan ksimatriya kuneng mahasa-hasa lanadyusa sring arahup, mukta klesa sarira punyaguna labda tinemu nira papa pataka hilang.

3. Towi praptanira agawe widhi-whidana gelaring anustanakya tinata, mudhra mantra tkeng pranayana jiwas marana sahaja kuta mantra ri tengah, sang weruh mangkana bhagya yadjapi tatar weruh irika

101

Page 102: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

manganugraha nemu phala, ngkana jadma nijadma sidha bayu manggihing ika sang atirthayatra ri helem.

4. Yadyastun hana waisya sudra tuwisawakan ika jadi tuccha jati datenga, byakta mangguha sasinadhyan ika yan duga-duga ring ulahnya labha katemu, nahan pajarira Hyang Indra ri sedengnira lumekasaken siwaccana widhi, matrongkara sakeng langit kusuma warssa jaya-jaya susiddi rasthu.

Artinya : 1. Setelah kematian Mayadanawa dunia menjadi tentram, Dewa Indra

kembali ke pesanggrahannya diikuti oleh seluruh pasukannya, beristirahat di tepi sumber air ciptaannya itu lalu mandi dan mengganti busana, selanjutnya memuja kehadapan Dewa Siwa agar dianugrahi kebahagiaan.

2. Kata Dewa Indra ”ini ku namai air empul” sampai kelak, siapa yang diperciki air ini akan mendapat keberhasilan dan keselamatan, jika kaum Brahmana dan Kesatrya mandi dan cuci muka di sini, wajah dan tubuhnya akan segar serta terhindar dari dosa dan malapetaka.

3. Mereka yang datang diharapkan menghaturkan sesaji walaupun sangat sederhana, diiringi puja mantra sambil memuja kehadapan Dewa Siwa yang di tengah, bagi yang mengetahui akan berbahagia dan bagi yang belum mengetahui akan dianugrahi kesuksesan, mereka yang melakukan tirtayatra di sana akan mendapat keselamatan di kemudian hari.

4. Jika kaum wesya dan sudra yang berdosa mau datang ke sini, pasti selamat, sedangkan yang berbudi luhur mendapat keberuntungan. Begitulah permohonan Dewa Indra saat memuja Dewa Siwa, terdengar sabda dari angkasa kemenangan yang mengharumkan.

4.2.3 Struktur Pura

Secara horizontal Pura Tirta Empul (lihat Gambar 4.5) terbagi atas tiga

bagian, yaitu jaba pura (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan

(halaman dalam). Pembagian atas tiga halaman seperti itu tampaknya mempunyai

dasar pemikiran filosofis, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang

melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu bhurloka, bhuwarloka, dan swarloka.

Jaba pura melambangkan bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan

manusia. Jaba tengah melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah tempat

102

Page 103: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kehidupan manusia yang sudah disucikan, dan jeroan melambangkan swarloka

yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa.

Adapun struktur tiga bagian Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut.

1. Jaba pura, adalah halaman paling luar. Di hadalam ini terdapat balai

wantilan dan sebuah kolam. Balai wantilan adalah bangunan terbuka berfungsi

sebagai tempat keramaian pada waktu upacara piodalan, sebagai tempat

mengadakan sabungan ayam yang berfungsi tabuh rah (korban darah), tempat

pertemuan, dan tempat untuk kepentingan upacara lainnya. Sedangkan kolam

yang berada di sebelah barat balai wantilan berfungsi untuk memperindah

areal pura, dengan sejumlah ikan hias di dalamnya. Pada bagian barat kolam

berdiri beberapa buah bangunan sebagai tempat untuk memajang barang-

barang kerajinan/souvenir yang diperjualbelikan kepada para pengunjung.

Barang-barang souvenir di tempat ini dikelola oleh sebuah koperasi dibawah

koordinasi Bendesa Adat Manukaya Let. Kompleks kolam ini dibatasi oleh

tembok penyengker berbentuk persegi empat dengan arsitektur tradisional

Bali. Di bagian utara halaman luar juga terdapat dua buah pelinggih apit

lawang yang mengapit pintu masuk menuju kolam di mana orang melakukan

prosesi melukat (menyucikan diri).

2. Jaba tengah, adalah halaman tengah dari Pura Tirta Empul. Di

halaman ini terdapat taman suci, yaitu berupa kolam dengan ukuran panjang

20 meter dan lebar 10 meter. Kolam yang berbentuk persegi empat panjang ini

pada bagian tengahnya terdapat mata air yang muncul dari dalam tanah (tirta

empul). Tirta berarti ”air suci” dan empul artinya air yang memancur dari

103

Page 104: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tanah (kelebutan). Selanjutnya, air dari sumber mata air ini dialirkan ke kolam

permandian yang lebih rendah di sebelah selatan melalui 26 buah pancoran.

Empat buah pancoran berada pada kolam paling barat berderet dari utara ke

selatan, dan 22 buah pancoran berderet dari timur ke barat menghadap ke

selatan. Masing-masing pancoran menurut tradisi masyarakat setempat

mempunyai nama tersendiri, di antaranya pancoran penglukatan, pebersihan,

sudamala, panglebur gering, dan panegtegan. Pada pancuran yang

menghadap ke selatan inilah banyak orang menyucikan diri (melukat), yaitu

mandi dengan tetap menggunakan pakaian adat dan pada umumnya mereka

juga memper-sembahkan sesajen berupa canang sebelum melukat. Pada hari-

hari tertentu, misalnya hari raya (Umanis Galungan, Umanis Kuningan, Banyu

Pinaruh), Purnama (bulan terang), Tilem (bulan mati) atau pada hari libur

banyak orang melukat di kolam tersebut, hingga penuh sesak. Di kolam ini

orang tidak diperkenankan memakai sabun, tidak diperkenankan mencuci

pakaian, serta diwajibkan menghaturkan sesajen seperlunya. Selain taman suci

dan kolam permandian, pada halaman ini juga terdapat beberapa bangunan,

seperti Bale Pegat, Bale Agung, dan Bale Gong. Bale Pegat terletak di bagian

barat halaman ini, Bale Agung di bagian timur, dan Bale Gong di sebelah

selatan menghadap ke arah utara. Di tengah-tengah halaman ini juga terdapat

tinggalan megalitik berupa batu yang masih disucikan oleh masyarakat

setempat.

3. Jeroan, adalah halaman yang paling dalam, paling hulu, dan

merupakan bagian halaman yang tersuci. Di halaman ini terdapat pelinggih-

104

Page 105: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pelinggih/ (bangunan suci) untuk memuja Tuhan, para Dewa, atau Bhatara-

bhatari. Untuk mencapai tempat ini harus melalui sebuah pintu masuk yang

disebut candi bentar. Halaman ini ditempatkan lebih tinggi dari halaman

tengah, sehingga secara keseluruhan bentuk denah pura bertingkat-tingkat

semakin meninggi. Bangunan suci terpenting yang terdapat di sini adalah

bangunan tepasana berbentuk segi empat menyerupai bangunan candi.

Bangunan suci dengan tinggi lebih kurang 5 meter ini adalah tempat

bersthananya Dewa Indra, seperti yang diceritakan dalam kitab Usana Bali. Di

depan pelinggih inilah biasanya orang atau masyarakat bersembahyang mohon

keselamatan, kebahagiaan, ketentraman lahir dan batin. Selain pelinggih

tepasana, di halaman ini masih terdapat banyak pelinggih yang lain, berderet

dari barat ke timur, antara lain bale priasan, bale pemereman, bale pewedan,

pelinggih Mayadanawa, bale priasan Dewa, gedong pengemit, gedong dewa,

bale penyimpenan, gedong limas, gedong sari, dan bale pengaruman. Di

bagian barat halaman ini terdapat bale penandingan dan bale gong,

sedangkan di bagian selatan menghadap ke arah utara terdapat bale peselang

dan bale pecanangan.

Selain ketiga halaman pura tersebut, masih ada satu halaman khusus

yang terletak pada sudut barat laut pura, yaitu halaman penyucian (lihat Gambar

4.5). Di halaman ini terdapat beberapa buah bangunan yang berfungsi untuk

melakukan persiapan upacara. Bangunan yang terdapat di halaman ini antara lain,

bale penandingan, bale penyelaman, bale gede, bale pertemuan, dan bale kulkul.

105

Page 106: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

4.2.4 Karakter Pura

Pura sebagai tempat suci umat Hindu tersebar di seluruh wilayah Pulau

Bali, baik di daerah pegunungan, dataran, atau tepi pantai. Dari ribuan jumlah

pura yang ada, berdasarkan karakternya dapat dikelompokkan atas empat

kelompok besar sebagai berikut.

1. Pura Umum, adalah pura yang mempunyai ciri umum sebagai tempat

pemujaan Tuhan dengan segala manifestasinya (para dewa). Pura yang

tergolong umum dipuja oleh seluruh umat Hindu sehingga sering disebut

”Kahyangan Jagat Bali”. Pura-pura yang tergolong mempunyai ciri-ciri

tersebut adalah Pura Besakih, Pura Batur, Pura Lempuyang, Pura Andakasa,

Pura Goa Lawah, Pura Uluwatu, Pura Batukaru, dan sebagainya.

Pura-pura lain yang juga tergolong umum adalah pura di samping

berfungsi sebagai tempat memuja Tuhan, juga untuk memuja kebesaran

seorang pendeta guru suci atau Dang Guru, karena pada hakikatnya umat

Hindu merasa berhutang jasa kepada Beliau atas dasar ajaran agama Hindu

yang disebut Rsi Rna. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter ini adalah

Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura

Silayukti, Pura Sakenan, Pura Tanah Lot, dan lain-lain. Pura-pura tersebut

berkaitan dengan dharmayatra (perjalanan suci) yang dilakukan oleh Empu

Kuturan dan Dang Hyang Nirartha, karena peranannya sebagai Dang Guru

Suci.

106

Page 107: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 4.5 Denah Pura Tirta Empul(Sumber Kantor BP3, Bali, NTB, NTT, 2009)

107

Page 108: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

2. Pura Teritorial, adalah pura yang mempunyai ciri kesatuan wilayah (teritorial)

sebagai tempat pemujaan dari warga desa yang diikat oleh kesatuan wilayah

dari suatu desa. Ciri khas suatu desa adat di Bali adalah memiliki tiga buah

pura yang disebut Kahyangan Tiga, yaitu Pura Desa atau Bale Agung, Pura

Puseh, dan Pura Dalem. Ketiga pura tersebut pada hakikatnya berfungsi untuk

memuja Dewa Trimurti, yaitu Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa dengan

fungsinya masing-masing sebagai dewa pencipta, pemelihara, dan pemeralina

segala yang ada di dunia ini.

3. Pura Fungsional, adalah pura yang mempunyai karakter khusus dan umat

penyungsungnya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai profesi

yang sama dalam sistem mata pencaharian hidup, seperti petani, pedagang,

dan nelayan. Pura-pura yang tergolong ke dalam karakter ini adalah Pura

Subak, Pura Ulun Danu, Pura Masceti, dipuja oleh para petani, dan Pura

Melanting yang pada umumnya didirikan di dalam suatu pasar dipuja oleh

para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4. Pura Kawitan, yaitu pura yang mempunyai karakter yang ditentukan oleh

adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelahiran (genealogis). Pura

yang tergolong karakter ini adalah Pura Dadya dipuja oleh kelompok keluarga

yang berasal dari leluhur yang sama. Tempat pemujaan satu keluarga inti

disebut sanggah atau merajan yang ada di dalam masing-masing rumah

dengan pelinggih/bangunan pokok kemulan taksu. Klen besar merupakan

kelompok kerabat yang lebih luas terdiri atas beberapa kelompok kerabat

108

Page 109: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dadya. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat

pemujaan yang disebut Paibon atau Pura Panti (Ardana, 1982 : 116-117).

Berdasarkan uraian di atas Pura Tirta Empul termasuk pura berkarakter/

berstatus sebagai pura jagat atau Dang Kahyangan. Hal ini terbukti dari

banyaknya orang dari seluruh Bali bersembahyang ke pura ini. Sebagai pura jagat,

Pura Tirta Empul berfungsi sebagai tempat persembahyangan, penyucian, baik

penyucian pretima (arca, prasasti) maupun penyucian diri (melukat) untuk

mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan lahir batin.

4.2.5 Tinggalan Arkeologi

Seperti pada umumnya pura-pura di Bali, Pura Tirta Empul secara

horizontal terbagi atas tiga halaman, yaitu halaman luar, halaman tengah, dan

halaman dalam. Pada halaman luar (jaba) terdapat beberapa bangunan seperti

wantilan dan kolam beserta ikan hias untuk memperindah pura. Di halaman

tengah terdapat beberapa bangunan, antara lain, Bale Pegat, Bale Agung, Bale

Gong, dan Taman suci. Pada halaman dalam yang merupakan halaman tersuci

terdapat sejumlah bangunan suci pemujaan seperti Bale Piyasan, Bale

Pemereman, Bale Pawedan, Pelinggih Mayadanawa, Pelinggih Patih

Mayadanawa, Bale Priyasan Dewa, Gedong Pengemit, Gedong Dewa, Tepasana,

Gedong Sari, Bale Pengaruman, dan Bale Peselang.

Tinggalan arkeologi yang merupakan ciri kekunaan Pura Tirta Empul

terdapat di halaman tengah dan halaman dalam pura. Beberapa tinggalan

arkeologi yang terdapat di Pura Tirta Empul adalah sebagai berikut.

109

Page 110: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

1. Empat buah batu alam

Batu-batu alam ini berada di halaman dalam pura, letaknya di dekat bangunan

Gedong Sari. Batu-batu alam ini masih dianggap suci oleh masyarakat

pengempon pura. Dari pengamatan yang seksama dapat dikatakan bahwa batu-

batu itu kemungkinan besar adalah menhir atau tahta batu yang terkait untuk

kepentingan keagamaan. Menhir adalah batu tegak yang didirikan sebagai

tanda peringatan dan melambangkan arwah nenek moyang. Menhir dapat

berdiri tegak atau berkelompok. Menhir merupakan refresentasi monumen

megalitik yang didirikan oleh sekelompok masyarakat di tempat-tempat

tertentu dan akan melegitimasikan hubungan antar kelompok masyarakat

dengan leluhur atau nenek moyangnya. Sementara itu tahta batu adalah salah

satu hasil teknologi batu yang mula-mula berfungsi sakral sebagai tahta arwah

nenek moyang atau pemimpin yang dihormati. Penelitian di lapangan

menunjukkan bahwa tahta batu itu dibangun dengan teknik susun tumpuk,

yaitu dengan jalan menyusun tumpuk batu-batu menurut keperluan tanpa

mengubah bentuk aslinya (Sutaba, 1995 : 74-75). Dalam perkembangan

selanjutnya, teknik susun tumpuk telah mengalami penyempurnaan sehingga

menjadi teknik susun timbun dalam pembangunan candi-candi. Dengan

demikian terbukti bahwa teknik susun tumpuk telah menjadi dasar teknik

pembangunan yang berkembang belakangan di daerah Bali. Di Kabupaten

Gianyar hanya ditemukan dua buah tahta batu, yaitu sebuah tahta batu yang

dibuat dari sebuah batu kali yang dipangkas menjadi bagian sandaran dan alas

tempat duduk. Tahta batu ini sampai sekarang dipandang sebagai media

110

Page 111: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pemujaan yang sakral disimpan di Pura Sakenan, Ubud, bersama-sama dengan

bentuk-bentuk megalitik lainnya. Tahta batu yang kedua, adalah deretan tahta

batu disusun memanjang, ditemukan di Desa Lebih yang juga berfungsi

sakral. Menurut fungsinya dewasa ini, tahta batu itu berfungsi sebagai media

pemujaan kepada leluhur atau pemimpin dengan harapan dapat memberi

kesejahteraan kepada masyarakat.

2. Lingga-Yoni

Lingga yoni terdapat pada sebuah pelinggih arca di halaman tengah di sebelah

barat kolam suci Tirta Empul (lihat Gambar 4.6). Lingga yang terletak

(berdiri) pada lubang yoni dibuat dari bahan batu padas, dengan ukuran tinggi

21 cm dan lebar 16 cm. Sedangkan yoni yang berada di bawahnya, bagian

sisinya berukuran 50 cm. Sebagai sarana peribadatan benda ini diketahui

melambangkan kesatuan Dewa Siwa dengan saktinya Dewi Parwati.

Adakalanya yoni ditemukan tanpa ada lingganya. Sedangkan lingganya dapat

diwujudkan dalam bentuk phalus sebagaimana dijumpai di Pura Pusering

Jagat, di Desa Pejeng, Gianyar. Pasangan lingga-yoni pada umumnya

dijumpai pada bilik candi-candi Hindu, di daerah Jawa Timur maupun Jawa

Tengah untuk menggantikan arca Dewa yang seharusnya terdapat dalam

sebuah candi. Ada kalanya kedua benda itu dijumpai tanpa ada suatu

bangunan yang diduga memiliki kaitan dengan keberadaannya, misalnya

lingga-yoni sebagai lambang kesuburan.

Yoni adalah benda berbentuk seperti lumpang batu yang mempunyai cerat

pada salah satu sisinya. Menurut kepercayaan Hindu, yoni merupakan simbol

111

Page 112: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pasangan Dewa Siwa dalam wujud lingga. Oleh karena itu, yoni mempunyai

pasangan berupa lingga yang bentuknya seperti tiang atau batu penumbuk

yoni juga merupakan lambang unsur wanita, sedangkan lingga merupakan

lambang unsur laki-laki. Persatuan kedua unsur tersebut dianggap sebagai

lambang penciptaan dan kesuburan (Kempers, 1956 : 42-43).

Gambar 4.6 Lingga Yoni di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan, 2010)

3. Arca Binatang

Tokoh binatang tentu paling mudah diketahui karena jelas identitasnya.

Namun, dalam kaitannya dengan dunia kedewataan, arca binatang seringkali

bukanlah binatang dalam arti biasa, tetapi merupakan kendaraan Dewa

tertentu, sehingga kehadiran tokoh ini seringkali dapat dijadikan petunjuk

mengenai Dewa Utama yang hadir bersamanya. Di Pura Tirta Empul

112

Page 113: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

ditemukan dua arca binatang, yaitu lembu dan singa yang ditempatkan

bersama-sama dengan lingga-yoni tersebut di atas. Sebuah arca lembu dari

bahan batu padas ditemukan di Pura Tirta Empul (Gambar 4.7). Arca ini

berukuran panjang 82 cm dengan lebar 37 cm. Binatang ini pada umumnya

dijumpai sebagai arca, baik sebagai kendaraan Dewa Siwa maupun sebagai

musuh Durga (Mahisa Asura). Arca lembu pada umumnya ditampilkan

sebagai binatang dalam posisi mendekam. Sebagai wahana Dewa Siwa, lembu

biasanya ditampilkan terpisah dari Siwa. Namun sebagai musuh Durga, lembu

(bersama asura) selalu digambarkan dalam bentuk adegan di mana Durga

dalam posisi menginjaknya. Penggambaran seperti itu ditemukan di Pura

Bukit Dharma, Desa Kutri, Gianyar. Sedangkan Arca Singa terutama yang

terbuat dari bahan batu padas umumnya dipajang sebagai penjaga bangunan

suci.

Gambar : 4.7 Arca Lembu/Nandi di Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

113

Page 114: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

4. Fragmen Arca Perwujudan

Di samping kiri Bale Peselang kompleks Pura Tirta Empul dijumpai beberapa

buah arca perwujudan seorang tokoh (Gambar 4.8) . Arca yang sudah agak aus

ini ada yang berukuran tinggi 49 cm dan lebar 27 cm, dibuat dari bahan batu

padas. Sebagai komponen yang berdiri sendiri, arca adalah sarana ritual yang

digunakan untuk melambangkan kehadiran seorang tokoh.

Gambar 4.8 Pragmen Arca Perwujudan yang sangat aus(Dok. Setiawan, 2010)

Arca dipandang sebagai media yang dapat ”hidup” ketika esensi tokoh tertentu

masuk ke dalamnya melalui suatu upacara tertentu. Dalam pemikiran

keagamaan Hindu cara pandang di atas dinyatakan dalam perwujudan arca.

Temuan arca-arca seperti tersebut di atas merupakan bukti bahwa sistem relegi

114

Page 115: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

masyarakat berpusat kepada kultur nenek moyang. Pada waktu itu masyarakat,

percaya kepada roh nenek moyang yang dapat memberikan keselamatan dan

kesejahteraan kepada masyarakat yang masih hidup. Masyarakat juga percaya

bahwa arwah nenek moyang itu bersemayam di puncak gunung atau bukit.

Oleh karena itu, masyarakat menganggap bahwa gunung sebagai tempat suci.

Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Agama Hindu masuk ke Bali,

gunung tetap dianggap sebagai tempat suci, tempat bersemayamnya para

Dewa. Paparan di atas diharapkan dapat memberikan pemahaman bahwa

manusia Bali (baca Manukaya) pada akhir masa prasejarah, atau menjelang

masa sejarah, telah mencapai tingkat kehidupan sosial budaya, religi,

teknologi, yang relatif maju dan kompleks. Dengan bekal itulah mereka

menyongsong kehadiran pengaruh budaya asing, yaitu budaya Hindu-Buddha

yang berasal dari daratan India. Pada masa Bali Kuno atau masa pengaruh

Hindu-Buddha, pengertian arca dihubungkan dengan istilah vigraha atau

bimba yang dalam bahasa Sanskerta berarti ”perwujudan dewa”. Selain itu, di

Bali dikenal pula istilah pralina, yaitu penggambaran tokoh/raja yang sudah

diperdewakan. Kedua jenis penggambaran tersebut digunakan sebagai media

untuk mengadakan hubungan secara langsung dengan dewa yang

digambarkan. Menurut kepercayaan Hindu, dewa adalah personifikasi

kekuatan alam. Menurut pemikiran tersebut, angin, gunung, laut, matahari,

bulan, api, air, dan sebagainya adalah kekuatan yang berada di luar diri

manusia dan diwujudkan dalam bentuk manusia super. Kekuatan manusia

super tersebut antara lain diwujudkan melalui penggambarannya yang tidak

115

Page 116: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

wajar, misalya mempunyai kepala lebih dari satu atau mempunyai lengan

banyak. Setiap dewa atau dewi mempunyai laksana (ciri atau atribut) yang

membedakan satu tokoh dengan tokoh yang lain. Selain laksana, dewa juga

dapat dibedakan melalui mudra (sikap atau posisi tangan), dan asana (posisi

duduk atau berdiri seorang tokoh). Dengan demikian, laksana, mudra, dan

asana merupakan penentu identitas tokoh (Atmosudiro, 2001 : 75-76).

5. Fragmen Bangunan dan Bangunan Tepasana

Tidak jauh dari temuan arca perwujudan, ditemukan pula fragmen bangunan.

Berdasarkan bentuknya, fragmen bangunan ini diperkirakan merupakan

bagian dari susunan atap prasada atau candi. Fragmen yang berbahan dari batu

padas ini pada bagian sisi-sisinya telah ditumbuhi lumut, sedangkan bagian

sudut dan bawahnya dalam keadaan aus. Selain fragmen bangunan, di Pura

Tirta Empul terdapat bangunan utama, yaitu tepasana yang mirip dengan

bentuk candi (lihat Gambar 4.9). Candi adalah salah satu bangunan

keagamaan yang mendapat pengaruh dari budaya Hindu Buddha. Dari kitab

Negarakertagama dan Pararaton diperoleh keterangan bahwa pembangunan

candi bertalian erat dengan peristiwa wafatnya seorang raja. Sebuah candi

didirikan sebagai tempat untuk mengabadikan dharma-Nya dan memuliakan

rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya (Seokmono, 1993 : 67).

Secara konseptual bentuk fisik candi yang menjulang tinggi merupakan

replika gunung, tempat bersemayam para Dewa dan roh-roh suci. Candi yang

berfungsi sebagai kuil pemujaan agama Hindu dan Buddha biasanya

mempunyai ruang untuk menempatkan arca/patung yang menggambrkan

116

Page 117: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dewa, sekaligus raja titisannya. Di Bali, roh leluhur lebur menyatu dengan

Dewa yang di dunia manusia diwakili oleh raja. Dengan demikian, pemujaan

terhadap Dewa agama Hindu dan Buddha waktu itu merupakan bentuk baru

dari pemujaan terhadap roh leluhur atau nenek moyang (Atmosudiro, 2001 :

47).

Gambar 4.9 Bangunan Tepasana Tempat Memuja Dewa Indra(Dok. Setiawan, 2010)

Secara vertikal candi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu kaki candi, tubuh

candi, dan atap candi. Ketiga bagian itu melambangkan tiga tingkatan dunia,

yaitu bhurloka, bhuwah loka, dan swahloka. Kaki candi melambangkan

bhurloka, yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Di dalam kaki candi

117

Page 118: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

di bagian tengah terdapat sumuran untuk menempatkan pripih, yaitu wadah

berisi kepingan-kepingan logam, batu mulia, dan biji-bijian, yang menjadi

media bagi para Dewa untuk memasukkan ”zat inti” kedewaannya. Tubuh

candi melambangkan bhuwahloka, yaitu dunia tengah tempat kehidupan

manusia yang sudah disucikan, Dalam tubuh candi di atas sumuran itulah

ditempatkan arca Dewa atau obyek pemujaan lainnya. Sedangkan atap candi

melambangkan swahloka, yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa.

Bangunan tepasana di Pura Tirta Empul yang mirip dengan candi berfungsi

sebagai tempat pemujaan terhadap Dewa Indra.

6. Petirtaan

Sebagaimana telah disebutkan di atas di kompleks situs Pura Tirta Empul

terdapat sumber mata air yang sangat jernih. Mata air ini terletak di bagian

halaman tengah pura dan merupakan air suci yang dimanfaatkan untuk

kepentingan upacara keagamaan. Selain itu masyarakat meyakini bahwa mata

air tersebut memiliki kekuatan magis yang dapat menghilangkan segala

macam mala (kotor) dalam tubuh manusia. Sumber mata air itu dialirkan ke

kolam permandian yang ada di halaman luar pura. Di situlah pada hari-hari

tertentu banyak orang datang dan melukat untuk membersihkan tubuhnya/

menyucikan dirinya (lihat Gambar 4.10). Di Pura Tirta Empul sekarang

terdapat tiga buah kolam, yaitu kolam utama sebagai pusat sumber air,

sedangkan kolam kedua dan ketiga sebagai tempat penampungan air melalui

beberapa pancuran yang berjajar dari barat ke timur. Dari satu mata air yang

dianggap suci, air dialirkan melalui pancuran yang dibutuhkan oleh manusia

118

Page 119: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dalam kehidupannya. Di antara air suci (tirta) itu, ada di antaranya yang

berfungsi untuk pembersihan, untuk pengobatan, untuk menghilangkan

kutukan, dan untuk upacara keagamaan. Tidak terhitung jumlah orang yang

datang menyucikan diri ke kolam suci Pura Tirta Empul. Dari hari biasa

sampai pada hari tertentu yang dianggap suci, jumlah umat yang datang

sungguh luar biasa. Mereka rela menunggu giliran dalam antrean panjang,

dengan kesabaran dan ketulusan hari untuk memohon berkah dari yang Maha

Kuasa. Air dari kolam ini sebagian dialirkan ke jaringan irigasi untuk mengairi

sawah di Desa Pejeng, dan sebagian lagi dialirkan ke sebuah kolam

permandian yang ada di sebelah timur, dan sisanya dialirkan ke Sungai

Pakerisan yang berada di sisi timur pura.

Gambar 4.10 Umat Sedang Melakukan Prosesi Melukat di Kolam Suci Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

119

Page 120: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

4.2.6 Fungsi Pura

4.2.6.1 Pura Tirta Empul Sebagai Tempat Peribadatan

Pura Tirta Empul mempunyai sejarah yang sangat panjang. Sebelum

tahun 1980-an pura ini belum populer dan hanya berfungsi sebagai tempat suci.

Keberadaan pura ini sebagai tempat suci dapat diketahui berdasarkan keterangan

Prasasti Manukaya tahun 960 yang dikeluarkan oleh Raja Bali Kuno Jayasingha

Warmadewa. Kini prasasti tersebut disimpan di Pura Sakenan di Desa Manukaya,

Tampaksiring, Gianyar (Goris, 1954 : 75-76). Selain Prasasti Manukaya, sejarah

Pura Tirta Empul juga dapat diketahui berdasarkan Kitab Kakawin Usaha Bali

karya Dang Hyang Nirartha, yang mengisahkan pertempuran Mayadanawa

dengan Dewa Indra yang akhirnya dimenangkan oleh Dewa Indra beserta

pasukannya (Kusuma, 2005 : 64-96). Tirta Empul adalah ”air suci” yang

diciptakan oleh tongkat Dewa Indra yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai

kepentingan, seperti membersihkan diri (melukat), membuang aib, termasuk juga

untuk kepentingan upacara keagamaan.

Dari kedua sumber tertulis tersebut, maka dapat diketahui bahwa pada

mulanya Pura Tirta Empul jelas didirikan untuk kepentingan keagamaan. Dengan

kata lain, Pura Tirta Empul sebagai tempat suci berkaitan erat dengan kehidupan

keagamaan bagi masyarakat Hindu di Bali, khususnya Desa Manukaya,

Tampaksiring, Gianyar. Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan

kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan gaib atau supernatural yang

berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat. Kepercayaan itu

menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdoa, memuja, serta menimbulkan sikap

120

Page 121: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah, dan lainnya dari individu

dan masyarakat yang mempercayainya (Agus, 2006 : 1).

Kehidupan beragama adalah kenyataan hidup manusia yang ditemukan

sepanjang sejarah masyarakat dan kehidupan pribadinya. Ketergantungan

masyarakat dan individu kepada kekuatan gaib telah ada sejak zaman purba

bahkan sampai ke zaman modern sekarang ini. Kepercayaan itu diyakini

kebenarannya sehingga menjadi kepercayaan keagamaan atau kepercayaan

religius. Mengadakan upacara-upacara pada hari-hari tertentu, pada suatu tempat,

juga berlangsung sejak lama hingga zaman modern ini. Mempercayai sesuatu

sebagai yang suci atau sakral juga ciri khas kehidupan beragama. Demikian juga

adanya aturan kehidupan yang dipercayai berasal dari Tuhan juga termasuk ciri

kehidupan beragama. Semua itu menunjukkan bahwa kehidupan beragama

merupakan gejala universal yang ditemukan dalam kehidupan individu dan

masyarakat (Koentjaraningrat, 1977 : 228-229).

Di samping universal, kehidupan beragama di zaman modern ini sudah

demikian kompleks. Kehidupan beragama dewasa ini ada yang dijadikan tempat

penyejuk jiwa dan pelarian dari hiruk-pikuk ekonomi dan sosial politik sehari-

hari. Ada pula yang dijadikan sumber motivasi untuk mencapai kehidupan

ekonomi dan sosial politik. Di samping itu, ada pula yang dijadikan alasan untuk

mendapatkan ketenangan, kebahagiaan rohani, dan keselamatan dalam kehidupan

di dunia ini.

Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu, hampir setiap hari

didatangi umat dengan tujuan bersembahyang. Lebih-lebih pada hari purnama

121

Page 122: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

(bulan terang), tilem (bulan gelap), kajeng keliwon, atau hari-hari libur lainnya,

umat membludak datang ke tempat suci ini. Di samping melakukan

persembahyangan, kebanyakan di antara mereka melakukan pembersihan jasmani

rohani (melukat) pada kolam suci yang terdapat di halaman luar Pura Tirta Empul.

Karena banyaknya umat datang untuk melukat pada hari-hari tertentu belakangan

ini, desa adat dewasa ini telah menyiapkan tempat ganti pakaian berupa kotak-

kotak yang terbuat dari papan kayu. Dengan menyewa sebesar Rp. 3.000,- mereka

dapat menaruh pakaian pada kotak-kotak tersebut disertai kunci untuk membuka

dan menutup kotak.

Gambar 4.11 Suasana Ketika Umat Sedang Bersembahyang di Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

122

Page 123: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Sembahyang adalah perwujudan rasa bakti manusia terhadap Hyang

Widhi/Tuhan dengan segala manifestasinya. Dengan ketulusan hati serta rasa

cinta kasih yang mendalam umat menyembah Tuhan mohon anugrahNya agar

selalu dibimbing dalam kehidupan di dunia ini. Selain itu, umat juga memohon

berkah dan kekuatan untuk menjalani segala ujian dan cobaan yang mungkin

datang setiap saat. Pada pokoknya upacara persembahyangan itu terdiri atas dua

macam kegiatan yang harus dilakukan oleh para umat, yaitu ”mebanten” atau

mempersembahkan sesaji dan ”mebaktii” atau menjalankan persembahyangan.

Desa Adat Manukaya, Panempahan, dan Malet yang terdiri atas lima

banjar merupakan satu kesatuan wilayah kemasyarakatan dalam kaitannya dengan

pelaksanaan upacara keagamaan di Pura Tirta Empul. Pemerintahan desa adat

dalam mengaktifkan upacara-upacara keagamaan tampak memiliki rasa kesatuan

sebagai desa adat dengan menjalankan konsep filosofi kearifan lokal yang disebut

Tri Hita Karana. Filosofi ini mengajarkan bahwa kebahagiaan manusia akan

dapat dicapai bila manusia mampu menjaga keharmonisan hubungan antara tiga

faktor, yaitu parhyangan (unsur ketuhanan), pawongan (manusia) dan palemahan

(unsur alam).

Parhyangan adalah merupakan jiwa dari pada palemahan (karang desa)

yang tidak bisa dipecah-pecah dengan seluruh aktivitas kehidupan desa.

Palemahan adalah karang desa yang ditentukan secara definitif batas-batasnya,

dan pawongan adalah kerama desa yang merupakan warga desa itu sendiri.

Oleh karena Pura Tirta Empul sebagai tempat suci yang disakralkan,

maka diadakan tata tertib masuk ke dalamnya. Beberapa larangan masuk ke pura

123

Page 124: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

yang tertulis dalam awig-awig desa antara lain : dalam keadaan sebel karena

punya kematian, sebel karena kotor kain, sebel karena sakit lepra (gede),

menyusui anak, dan membuang air kecil/besar (wawancara dengan dengan

Bendesa Adat Manukaya I Made Mawi Arnata Tgl. 12 Mei 2010).

Pura Tirta Empul merupakan tempat suci untuk memuja Tuhan dengan

segala manifestasinya. Dengan demikian, upacara untuk menghormati Tuhan/Ida

Sang Hyang Widhi yang dilakukan disini bermacam-macam dan sangat kompleks.

Perkataan upacara artinya sama dengan istilah aci, karya, yaitu suatu istilah yang

umum digunakan untuk menyebutkan upacara yang berlaku pada pura-pura di

Bali. Upacara ini dilaksanakan dengan cara menghaturkan persembahan berupa

upakara, yaitu alat-alat perlengkapan upacara berbentuk saji-sajian dan

perlengkapan kepada Hyang Widhi dengan pengharapan memohon keselamatan

dan kesejahteraan untuk semua makhluk.

Adapun jenis-jenis upacara dilaksanakan di Pura Tirta Empul menurut

Jero Mangku Gde Wenten yang diwawancarai (14 Mei 2010) mengatakan.

Boleh dikata hampir setiap hari di sini (Pura Tirta Empul) ada upacara persembahan yang dilakukan oleh umat yang tidak saja berasal dari Desa Adat Manukaya tetapi juga dari desa-desa lain terutama di Kabupaten Gianyar dan Bangli. Selain itu, setiap hari Purnama, Tilem, Kajeng Kliwon upacara rutin diadakan, lebih-lebih belakangan ini banyak sekali umat datang dengan maksud membersihkan diri/melukat, sudah tentu juga ngaturin canang untuk memohon izin serta mengharapkan keselamatan dari Ida Bhatara yang melinggih di pura ini.

Selain upacara sehari-hari, berdasarkan jangka waktu, maka upacara

rutin yang berlangsung di Pura Tirta Empul dilaksanakan setiap 6 bulan (210 hari)

dan setiap satu tahun (420 hari). Upacara setiap 6 bulan adalah upacara ngebekin

yang dilaksanakan bertepatan dengan hari Raya Galungan dan Kuningan.

124

Page 125: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Sebelum upacara ini juga diadakan upacara ngeresigana yang diadakan pada hari

Sugihan Jawa (enam hari sebelum Galungan). Sedangkan upacara setiap satu

tahun adalah upacara petirtaan atau odalan yang dilaksanakan setiap purnama

kapat yang jatuh setiap bulan Oktober. Petirtaan atau odalan pada hakikatnya

adalah hari ulang tahun suatu pura atau hari ulang tahun peresmian (pemelaspas)

bangunan itu. Penyelenggara upacara dilakukan oleh pemangku Pura Tirta Empul

dengan berkoordinasi dengan Bendesa Adat Manukaya.

Pura Tirta Empul juga memiliki fungsi memperkokoh kehidupan

beragama, khususnya agama Hindu. Agama dan kehidupan beragama demikian

kompleks. Untuk memahami fenomena kehidupan beragama, diperlukan

pengetahuan tentang aspek yang dimiliki oleh agama. Koentjaraningrat (1987 :

80) menyebut aspek kehidupan beragama dengan komponen religi. Menurutnya

ada lima komponen religi, yaitu (1) emosi keagamaan, (2) sistem keyakinan, (3)

sistem ritus dan upacara, (4) peralatan ritus dan upacara, dan (5) umat beragama.

Agama sebagaimana yang difahami, adalah pandangan dan prinsip hidup

yang didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh

dalam kehidupan manusia. Dalam kehidupan beragama juga ditemukan sikap

menyakralkan sesuatu, baik tempat maupun benda. Bagi penganut agama atau

masyarakat yang menyucikan benda sakral, sifat suci pada benda itu tentu

dianggap sifat sungguhan. Benda suci itu dipercaya suci karena punya kelebihan.

Sesuatu yang sakral selalu dipuja, dihormati, disembah, dan diperlakukan dengan

tata cara dan upacara tertentu. Dalam agama, upacara ritual biasa dikenal dengan

ibadah, kebaktian, berdoa atau sembahyang. Sembahyang bagi umat Hindu berarti

125

Page 126: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bersujud atau menyembah kepada yang disucikan, yang dimuliakan sebagai obyek

pemujaan, yaitu Tuhan dengan segala manifestasinya.

Agama adalah ajaran yang diturunkan oleh Tuhan untuk petunjuk bagi

umat manusia dalam menjalani kehidupannya. Agama pada hakikatnya

menyangkut kepercayaan atau keyakinan suci kepada Tuhan beserta ajarannya

yang selalu dijunjung tinggi dan dalam pelaksanaannya dipakai sebagai pegangan

untuk mencapai kebahagiaan hidup lahir batin (Agus, 2006 : 33).

Pada dasarnya agama mempunyai tiga unsur pokok atau tiga kerangka

dasar, yaitu (1) filsafat agama (tattwa), (2) etika (tata susila), dan (3) ritual

(upacara). Filsafat agama adalah yang pertama menjawab persoalan yang

berkaitan dengan dunia ini, baik mengenai asal-usul maupun mengenai nasib

seseorang. Hanya saja filsafat agama memberi semua jawaban dalam bentuk

mitos, wahyu, yang sukar dibuktikan kebenarannya dengan akal. Dalam filsafat

agama biasanya dipaparkan secara teoretis dan filosofis tentang berbagai doktrin

atau ajaran pokok keagamaan, seperti konsep theologi (ketuhanan) beserta sifat-

sifatnya, kosmologi (wujud alam), kosmogoni (terjadinya alam), dewa-dewa, roh

nenek moyang, makhluk halus, dan lain sebagainya. Ajaran pokok keyakinan

biasanya diuraikan secara panjang lebar dan merupakan inti hakikat ajaran agama.

Kerangka kedua adalah etika/tatasusila. Etika adalah tingkah laku yang

berpola diatur oleh aturan-aturan tertentu (norma) sehingga tindakan itu disebut

baik atau buruk. Jadi yang menjadi sasaran etika adalah manusia, khususnya sikap

dan tingkah lakunya di dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang disebut baik

126

Page 127: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

adalah sesuatu yang dibenarkan menurut agama, sebaliknya apa yang disebut

tidak baik adalah sesuatu yang bertentangan dengan agama itu sendiri.

Kemudian mengenai ritual/upacara dapat dikatakan sebagai realisasi dari

agama itu yang berwujud aktivitas dan tindakan manusia dalam melaksanakan

kebaktian kepada Tuhan Yang Maha Esa, para Dewa, roh nenek moyang, dan

makhluk-makhluk lainnya. Upacara agama berlangsung berulang-ulang, setiap

hari, setiap bulan, tiga bukan, enam bulan, setahun, dan seterusnya. Dalam agama,

upacara ritual ini biasanya disebut ibadah, berdoa, sembahyang. Setiap agama

mengajarkan berbagai macam ibadah, doa, dan bacaan-bacaan pada momen-

momen tertentu. Kecendrungan agama mengajarkan ibadah dalam kehidupan

sehari-hari agar manusia selalu ingat dengan Tuhan.

Agama juga mengatur tindakan manusia, baik dalam hukum maupun

ajaran moral. Hukum dan moral perilaku lahiriah dalam kehidupan sehari-hari

menjadi perhatian hampir setiap agama. Ada makanan dan minuman yang

diharamkan sebagaimana banyak pula yang dihalalkan. Ada perilaku yang

diharamkan sebagaimana banyak pula yang dihalalkan dan diwajibkan. Agama

pada umumnya mengajarkan sikap tertentu dalam kehidupan sehari-hari secara

keseluruhan.

Menurut Durkheim (1965 : 38-42), upacara-upacara ritual dan ibadah

berfungsi meningkatkan solidaritas sosial masyarakat, menghilangkan perhatian

kepada kepentingan individu, serta memperkokoh kehidupan beragama.

Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, dalam konteks ini jelas

127

Page 128: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

fungsinya adalah memperkokoh kehidupan beragama, khususnya agama Hindu,

bagi masyarakat Desa Manukaya.

Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai tempat suci pemujaan bagi umat

Hindu, khususnya di wilayah Desa Manukaya. Masyarakat senantiasa memohon

keselamatan dan kesejahteraan di sana dengan cara bersembahyang dan

menghaturkan sesajen pada hari-hari tertentu. Pemanfaatan Pura Tirta Empul

sebagai tempat pemujaan adalah merupakan tujuan dari pelestariannya.

Pelestarian pusaka budaya living monument hendaknya dikaitkan dengan

keamanan dan kegunaannya, sehingga pelaksanaannya bertalian erat dengan

peningkatan kualitas bagi pemakainya.

Sementara itu, kepercayaan keagamaan oleh masyarakat penyungsung

Pura Tirta Empul didasarkan kepada kepercayaan adanya kekuatan gaib, yaitu

Tuhan Yang Maha Esa yang berada di atas alam ini. Tuhan Yang Maha Esa, roh,

tenaga gaib, alam gaib adalah hal-hal di luar alam nyata. Kepercayaan kepada

adanya kekuatan gaib dalam ilmu Antropologi lebih dikenal dengan supernatural

beings, merupakan inti kepercayaan keagamaan.

Oleh karena itu, agama sebagaimana yang biasa difahami adalah

pandangan dan prinsip hidup yang didasarkan atas kepercayaan adanya kekuatan

gaib yang berpengaruh dalam kehidupan manusia. Wujud supernatural pertama

dalam kehidupan beragama adalah kepercayaan kepada adanya Tuhan. Tuhan

dipercaya sebagai yang mahakuasa, mahaadil, mahapenyayang, mahapengasih,

mahasuci, dan lain sebagainya. Dalam pandangan Hindu, Tuhan Yang Maha Esa

adalah satu, ekam evadvityam brahman (hanya ada satu Tuhan Brahman, tiada

128

Page 129: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

duanya). Demikian disebutkan di dalam Mahavakhya yang berarti ungkapan

agung atau wahyu yang utama kitab suci Weda, kitab sucinya agama Hindu.

Selain percaya akan adanya Tuhan, umat Hindu juga percaya dengan

adanya para Dewa yang jumlahnya banyak. Dewa-dewa itu bukanlah Tuhan,

tetapi perwujudan atau personifikasi dari sifat-sifat kemahakuasaan atau

keagungan Tuhan yang mengatur alam semesta, dunia, dan akhirat dengan segala

isinya. Selain itu, roh-roh suci, para Nabi atau Maha Rsi, roh raja-raja, roh orang-

orang yang berjasa dan rohaniawan yang dianggap telah menjadi Dewa. Demikian

juga arwah-arwah leluhur yang telah disucikan dari dosa-dosanya melalui

persembahan suci dan permohonan pengampunan kepada Tuhan. Semua itu

dibuatkan tempat-tempat suci yang disebut pelinggih di pura-pura pemujaan.

Itulah menyebabkan terdapat banyak pelinggih/bangunan sudi di pura pemujaan

di Bali termasuk di Pura Tirta Empul yang pada umumnya berbentuk meru,

gedong, padmasana, dan lain-lain. Kompleksitas pemujaan itulah yang

sesungguhnya merupakan aspek kehidupan budaya, khususnya kehidupan agama,

yang cukup banyak mengikat partisipasi anggota masyarakat di lingkungan desa

adat. Sejumlah upacara dan kegiatan lain yang menunjang kehidupan agama

memerlukan partisipasi dan aktivitas dari sebagian besar warga masyarakat

demikian pula Pura Tirta Empul. Para pengempon pura adalah warga yang

terhimpun dalam sebuah desa adat secara bersama-sama mengorganisasikan dan

menggiatkan upacara di pura yang bersangkutan. Para pengempon pura

melakukan segala aktivitas yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara,

129

Page 130: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pencarian dana atau biaya upacara, menjaga kesucian pura, membangun dan

memperbaiki bangunan-bangunan/ pelinggih-pelinggih yang ada di pura.

Umat Hindu memfungsikan pura sebagai tempat persembahyangan.

Persembahyangan yang dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan

tulusan akan menumbuhkan rasa cinta kasih pada setiap diri manusia. Rasa cinta

kasih dapat mendorong tenggang rasa/toleransi, yang pada akhirnya dapat

meningkatkan solidaritas di antara sesama manusia.

4.2.6.2 Pura Tirta Empul Sebagai Tempat Penyucian Diri

Proses internasionalisasi yang terjadi melalui aktivitas pariwisata, telah

menjadikan Bali sebagai masyrakat dunia yang multibudaya. Namun demikian

pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang arahnya berlawanan, yaitu

suatu proses ke dalam mencari identitas yang bisa disebut sebagai proses

tradisionalisasi. Proses ini antara lain ditandai dengan meningkatnya kegairahan

beragama atau religiusitas masyarakat. Kegairahan religiusitas dapat dilihat

melaui indikator antara lain adanya intensitas pelaksanaan ritual, intensitas

keyakinan akan adanya kekuatan gaib yang berpengaruh terhadap kehidupan

manusia, dan keyakinan akan adanya benda/objek sakral (Pitana, 2005 : 147-148).

Keyakinan akan kekuatan gaib dan kekuatan supranatural yang

mempengaruhi kehidupan manusia masih sangat kuat di antara masyarakat Hindu

dewasa ini. Seiring dengan keyakinan itu, berbagai simbol dan objek diyakini

mempunyai kekuatan yang tidak mampu dijelaskan dengan logika rasional, dan

objek tersebut bagi masyarakat adalah wujud sekala dari berbagai kekuatan

niskala, sehingga objek tersebut benar-benar disakralkan. Perilaku masyarakat

130

Page 131: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Bali (Hindu) terhadap objek sakral ini dengan mudah dapat diamati dalam setiap

kegiatan ritual. Banyak masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religius

sebagaimana dipraktikkan dalam berbagai aliran pendalaman agama, seperti

kelompok-kelompok spiritual, kelompok tirta yatra, dan sejenisnya.

Pura Tirta Empul adalah salah satu tempat suci yang banyak mendapat

kunjungan dari kelompok spiritual tersebut di atas. Keberadaan Pura Tirta Empul

sebagai tempat peribadatan dan penyucian diri (melukat) memungkinkan

masyarakat atau kelompok-kelompok spiritual melakukan prosesi ritual

keagamaan. Belakangan ini prosesi pembersihan diri (melukat) sangat ramai

dilakukan masyarakat di kolam suci Pura Tirta Empul. Tidak terhitung jumlah

orang yang datang menyucikan diri di kolam suci di kompleks pura tersebut,

mulai dari anak-anak, orang dewasa, orangtua, bahkan para turis dari

mancanegara.

Secara umum, melukat (penyucian diri) dilakukan dengan tujuan untuk

menyucikan badan jasmani dan rohani. Sehubungan dengan adanya air yang

dianggap suci (tirta) di Pura Tirta Empul, proses melukat yang dilakukan oleh

masyarakat (lokal, asing) tidak hanya untuk membersihkan jasmani dan rohani,

tetapi juga untuk tujuan tertentu, misalnya penyembuhan penyakit, kelancaran

rejeki, keselamatan perjalanan, dan sebagainya.

Sebagaimana tujuan utama penciptaan tirta (air suci) di Pura Tirta

Empul (menurut Kakawin Usana Bali) adalah untuk mengobati pasukan para

Dewa dari penderitaan akibat luka-luka setelah bertempur melawan pasukan

Mayadanawa. Air suci itu mempunyai khasiat yang luar biasa, selain

131

Page 132: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menyembuhkan penyakit, juga dapat menghidupkan kembali pasukan para Dewa

yang sudah mati. Keterangan Kitab Kekawin Usana Bali yang berkaitan dengan

khasiat air suci tersebut tampaknya menjadi salah satu faktor pendorong

masyarakat melakukan prosesi melukat di Pura Tirta Empul, dengan harapan

dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit dan keselamatan dalam

kehidupan ini.

Mata air keramat ini tidak pernah kering sepanjang zaman. Dalam

Kekawin Usana Bali disebutkan pula bahwa kolam suci di Pura Tirta Empul juga

sebagai tempat permandian para Dewa serta dilengkapi dengan tempat pemujaan

terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud sebagai Dewa Pasupati. Mata air

Tirta Empul diciptakan dengan tujuan untuk memelihara alam semesta beserta

isinya, seperti untuk kesuburan alam, pengobatan, pembersihan, dan untuk

upacara keagamaan.

4.2.6.3 Pura Tirta Empul Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya

Budaya sangat penting perannya dalam pariwisata. Salah satu hal yang

menyebabkan orang ingin melakukan perjalanan wisata adalah adanya keinginan

untuk melihat cara hidup dan budaya orang lain di belahan dunia lain serta

keinginan untuk mempelajari budaya tersebut. Industri pariwisata mengakui peran

budaya sebagai faktor penarik para wisatawan. Dengan kata lain, sumberdaya

budaya dimungkinkan menjadi faktor utama yang menarik wisatawan untuk

melakukan perjalanan wisata (Pitana, 2009 : 75).

Dalam pariwisata, jenis pariwisata yang memanfaatan sumberdaya

budaya sebagai modal utama dikenal sebagai pariwisata budaya. Jenis pariwisata

132

Page 133: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

ini memberi variasi yang lebih luas menyangkut budaya mulai dari seni

pertunjukkan, seni rupa, festival makanan tradisional, dan lain-lain termasuk juga

bangunan bersejarah. Pariwisata budaya dapat dilihat sebagai peluang bagi

wisatawan untuk mengalami, memahami, dan menghargai kekayaan atau

keragaman budayanya. Pariwisata budaya memberi kesempatan kontak pribadi

secara langsung dengan masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan khusus

tentang suatu objek budaya. Pura Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat

suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata budaya. Seperti diketahui

bahwa wisata budaya memanfaatkan aspek budaya sebagai daya tarik.

Para wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta Empul sudah tentu

berharap mendapatkan sesuatu yang memberikan kepuasan atau kesan yang

mendalam. Hal itu dapat diperolehnya dari keunikan situs atau dari keunggulan

mutu dari benda-benda tinggalan arkeologi yang ada di dalamnya. Para wisatawan

dapat memperoleh kesan mendalam mengenai suasana pura yang nyaman dan

khas, serta merasa puas karena mendapatkan pengetahuan baru dari apa yang

ditemukan di dalam pura.

Wisata budaya secara umum bertujuan mendekatkan bangsa-bangsa,

baik pada dimensi kultural maupun kemanusiaannya. Sudah tentu dari segi

penyelenggara pariwisata sendiri yang penting adalah keuntungan yang dapat

diperoleh. Namun untuk menjamin kepercayaan konsumen atau wisatawan, maka

kualitas layanan merupakan prasyarat yang tidak dapat dianggap remeh. Pura

Tirta Empul dewasa ini selain sebagai tempat suci, telah berkembang menjadi

daya tarik wisata (lihat Gambar 4.12).

133

Page 134: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 4.12 Pura Tirta Empul Sebagai Obyek Wisata(Dok. Setiawan, 2010)

Sebagai daya tarik wisata unggulan di Kabupaten Gianyar, Pura Tirta

Empul mendapat kunjungan wisatawan yang cukup banyak. Seiring dengan

meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali, jumlah kunjungan wisatawan ke

Pura Tirta Empul dalam tiga tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4.4 di bawah

ini.

Tabel 4.4 Perbandingan Kunjungan Wisatawan Asing di Beberapa Obyek Daya Tarik Wisata Unggulan di Kabupaten Gianyar Tahun 2007-2009.

NoNama Daya Tarik

WisataTahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009

1

2

3

Goa Gajah

Tirta Empul

Gunung Kawi

109.668

218.621

71.032

113.418

221.034

65.740

121.067

232.971

67.421Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2010.

134

Page 135: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Berdasarkan tabel di atas tampak bahwa Pura Tirta Empul mendapat

kunjungan wisatawan terbanyak dibandingkan dengan daya tarik wisata lain di

Kabupaten Gianyar. Selain faktor keindahan alam, Pura Tirta Empul juga

didukung oleh daya tarik wisata lain yang berdekatan, seperti Pura Mangening

dan Istana Presiden Tampaksiring. Pura Tirta Empul sebagai salah satu

sumberdaya budaya dalam pengembangan pariwisata di Kabupaten Gianyar

dibuka untuk para wisatawan. Namun demikian, setiap pengunjung diharapkan

tetap menaati ketentuan yang berlaku di Desa Adat Manukaya Let yang

menekankan pada unsur kesucian, mengingat Pura Tirta Empul adalah sebuah

tempat suci. Untuk pengamanan Pura Tirta Empul, siang dan malam dijaga oleh

petugas keamanan secara bergiliran yang ditunjuk berdasarkan aturan yang

menjadi landasan dalam pelaksanaannya. Para petugas, selain memungut retribusi,

juga menjaga kebersihan, keamanan, serta ketertiban di objek dan daya tarik

wisata.

Untuk membantu umat yang akan melakukan persembahyangan di Pura

Tirta Empul, Desa Adat Manukaya Let menugaskan tiga orang pemangku. Mereka

bertugas secara bergiliran setiap hari mulai sekitar pukul 09.00 hingga 17.00 Wita,

kecuali pada hari-hari tertentu (hari-hari besar Hindu) disesuaikan dengan

kehadiran umat yang datang bersembahyang. Dengan bantuan sejumlah prejuru

adat, pemangku berkewajiban memimpin upacara serta mengawasi semua

kegiatan ritual di pura tersebut.

Selain petugas tersebut, secara khusus Desa Adat Manukaya Let

menunjuk warga untuk menjaga dan mengamankan pura beserta seluruh warisan

135

Page 136: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

budaya yang ada di dalamnya. Untuk siang hari, pura ini dijaga oleh enam orang

pecalang, sedangkan di malam hari dijaga oleh sembilan orang pekemit, yang

diatur bendesa adat secara bergiliran. Keberadaan para petugas tersebut di atas

diharapkan dapat menjamin kelangsungan pura sebagai tempat suci dan sekaligus

sebagai daya tarik wisata yang menarik untuk dikunjungi.

Seorang wisatawan yang selesai berkunjung ke suatu obyek wisata,

termasuk kunjungan ke Pura Tirta Empul, akan memperoleh kesan tertentu

mengenai citra obyek yang dikunjunginya itu. Apabila banyak wisatawan, dan

dari berbagai asal kebangsaan, mendapatkan kesan citra yang sama, maka citra itu

akan benar-benar menjadi citra umum dari bangsa dan negara bersangkutan. Suatu

hasil budaya yang menggambarkan suatu pencapaian tertentu di masa lalu,

umumnya dikagumi. Pencapaian itu dapat dalam hal teknologi, konsep yang

direpresentasikan, nilai keindahan, atau kesemuanya. Pura Tirta Empul

merupakan suatu contoh produk budaya yang memiliki ketiga jenis keunggulan

tersebut.

Dewasa ini Pura Tirta Empul telah menjadi daya tarik wisata budaya

unggulan di Kabupaten Gianyar. Mengingat sifatnya sebagai pusaka budaya,

maka obyek tersebut pada pertamanya harus digarap sebagai sumber ilmu, sumber

belajar, sumber informasi, dan bukan sebagai tempat hiburan (Sedyawati, 2008 :

249). Kalaulah harus memiliki kualifikasi rekreasi, maka haruslah rekreasi yang

bermanfaat dan terjaga tingkat akurasi informasinya. Perlu diingat bahwa

wisatawan tidak semata-mata terdiri dari orang-orang dangkal yang hanya

mencari hiburan. Tidak sedikit di antara mereka mungkin tergolong sebagai

136

Page 137: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

special interest tourists yang bepergian ke luar dari tempat tinggalnya untuk

mendapatkan pengetahuan mendalam tentang suatu kebudayaan.

Menurut penjelasan Bourdieu (dalam Barker, 2005), kekayaan budaya

seperti itu oleh masyarakat pemiliknya dapat dijadikan modal budaya (cultural

capital). Masyarakat Desa Manukaya telah mencoba mentransformasikan modal

budaya (baca Pura Tirta Empul) menjadi modal ekonomi (economic capital)

dalam pengembangan pariwisata budaya. Kawasan pariwisata berbasis pusaka

budaya di Desa Manukaya sebagai modal ekonomi mengintegrasikan beberapa

komponen industri pariwisata.

Sebagai daerah wisata, desa ini tidak hanya memiliki kekayaan pusaka

budaya Pura Tirta Empul, tetapi juga berbagai komponen industri pariwisata

lainnya. Hanya, Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya di desa ini dapat

dikatakan modal terpenting kepariwisataan, sehingga tetap membutuhkan

berbagai komponen industri pariwiasta lainnya. Hal ini membutuhkan kerjasama

bisnis pariwisata dari semua pihak yang terkait, baik pemerintah, swasta maupun

masyarakat.

Pusaka budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai modal

pengembangan pariwisata, merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam

posisinya sebagai bagian dari sistem pembangunan daerah. Untuk itu, proses

tersebut dapat dijelaskan dengan teori komodifikasi, karena ada upaya secara

sengaja dan penuh kesadaran untuk menjadikan produk budaya tersebut menjadi

barang dagangan yang siap dijual bagi wisatawan. Pura Tirta Empul mengalami

proses komodifikasi karena menjadi komoditas. Menurut Barker (2005 : 408),

137

Page 138: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

komoditas adalah suatu yang tujuan utamanya adalah untuk dijual di pasar.

Hancurnya batas-batas budaya dan ekonomi, sebagaimana yang sudah lama

terjadi dalam praktik-praktik kepariwisataan dengan pariwisata budayanya,

menjadi penanda penting posmodernitas.

138

Page 139: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

BAB V

PROSES KOMODIFIKASI PURA TIRTA EMPUL DALAM

KONTEKS PARIWISATA GLOBAL

Pembahasan dalam bab ini difokuskan pada pembahasan mengenai

masalah bagaimana proses terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul di Desa

Manukaya, Tampaksiring, Gianyar. Untuk mendapatkan pemahaman yang

berkaitan dengan hal tersebut, maka analisis pembahasan menggunakan teori

komodifikasi.

Sebelum membahas lebih lanjut, terlebih dahulu perlu dijelaskan

mengenai istilah proses. Kata proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(1988 : 703) berarti runtunan perubahan peristiwa dalam perkembangan sesuatu,

atau rangkaian tindakan, pembuatan/pengolahan yang menghasilkan produk.

Perkembangan sesuatu yang dimaksud di sini adalah komodifikasi Pura Tirta

Empul menjadi produk komoditas. Dalam kerangka pikir Fairclough komodifikasi

tidak hanya menyangkut produksi, tetapi juga distribusi dan konsumsi. Meminjam

kerangka pikir Fairclough tersebut, analisis proses komodifikasi Pura Tirta Empul

dalam penelitian ini menyangkut proses produksi, distribusi, dan konsumsi.

Produksi adalah barang, dalam hal ini produk budaya Pura Tirta Empul yang

dihasilkan dari suatu sistem yang tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi juga nilai

tukar. Distribusi adalah menyalurkan atau mempromosikan produk budaya agar

diketahui masyarakat, dan konsumsi adalah pengguna atau pemakai suatu produk

(budaya).

139

138

Page 140: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

5.1 Proses Produksi Pura Tirta Empul

5.1.1 Awal Komodifikasi

5.1.1.1 Gejala Komodifikasi

Masyarakat Desa Manukaya sebagaimana umumnya masyarakat Bali

cenderung menjalankan kehidupannya ke sisi religius. Nilai religiusitas ini

diasumsikan dapat membangun sikap pikir yang selalu berusaha menemukan

keseimbangan terhadap alam sekitarnya. Sikap ini dilandasi oleh kesadaran bahwa

alam semesta adalah kompleksitas unsur-unsur yang satu sama lain terkait dan

membentuk sistem kesemestaan. Totalitas alam yang demikian itu memiliki

kekuatan untuk menarik orientasi religi manusia agar selalu menyesuaikan diri

dan berusaha menjalin hubungan dengan elemen-elemen alam dan kehidupan

yang mengitarinya. Mereka pada umumnya senantiasa ingin menciptakan suasana

kedamaian dan ketentraman, tidak saja sesama makhluk, namun juga terhadap

elemen-elemen alam raya.

Pola pemukiman masyarakat Desa Manukaya yang berbasis kosmologi

semacam itu tidak saja dipedominya dalam menjalankan kehidupan sosialnya,

tetapi juga ketika memutuskan untuk membangun suatu bangunan dalam ruang

tertentu. Dalam kawasan yang lebih luas, topografi kawasan pedesaan tradisional

Bali, misalnya masih dapat dilihat adanya pengejawantahan konsep keseimbangan

tri hita karana yang membawakan pesan filosofis. Konsep filosofis tri hita

karana menghendaki adanya hubungan yang harmonis antara manusia, alam, dan

ketuhanan. Bagus (1996 : 32) menyebutkan bahwa keterkaitan tersebut telah

140

Page 141: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mengikat masyarakat, yang kemudian melahirkan berbagai bentuk kegiatan dan

kreativitas dalam wujud budaya agraris.

Persoalannya kemudian ketika industrialisasi pariwisata masuk ke

kawasan wisata, termasuk Pura Tirta Empul, tentulah terdapat nilai-nilai baru

yang terbawa oleh industrialisasi pariwisata dan mempengaruhi prilaku sosial

ekonomi masyarakat setempat. Sebagai desa agraris yang kini sedang mengalami

dinamika sosial, penduduk Desa Manukaya tetap mengkonsepsikan diri bahwa

desa adalah bagian dari dirinya sendiri. Persepsi loyalitas etnis ini menyebabkan

mereka memandang semua warga desa adalah keluarga. Perwujudan dari perasaan

bersama itu dituangkan melalui adanya pusat orientasi bersama berupa tempat

pemujaan, yaitu Pura Tirta Empul. Sebagai pusat orientasi bersama, maka semua

warga dapat dikelompokkan ke dalam satu wilayah yang disebut desa adat.

Perkembangan tata nilai tersebut dipengaruhi oleh adanya transformasi budaya

dari budaya agraris ke sektor pariwisata/industri. Perubahan dalam masyarakat

dan kebudayaan terjadi pesat sejak Bali menjadi pusat pengembangan pariwisata

(Bagus, 1980 : 297).

Sejalan dengan proses komodifikasi, produk budaya Pura Tirta Empul

sebagai salah satu bagian dari ikon budaya masyarakat Desa Manukaya pun

mengalami dinamika dalam dialektika sakral dan profan. Di satu sisi masyarakat

dengan berbagai komponen di dalamnya berusaha melestarikan dengan tetap

mempertahankan nilai-nilai kesakralan, tetapi di sisi lain adanya pengaruh

berbagai faktor, khususnya faktor ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan,

menjadikan masyarakat pendukung budaya Pura Tirta Empul dilematis.

141

Page 142: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Kedatangan para wisatawan dengan berbagai latar belakang budaya ke

Pura Tirta Empul sesungguhnya secara tidak langsung telah menggeser nilai-nilai

sakral ke nilai profan. Pergeseran Pura Tirta Empul dari sakral ke profan tidak

dengan sendirinya terjadi, tetapi melalui suatu proses pertentangan-pertentangan,

sejalan dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Selanjutnya, jika dikaitkan

dengan perkembangan zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi,

serta terbukanya akses-akses pengaruh luar terhadap pandangan hidup masyarakat

Desa Manukaya, maka perlahan-lahan, disadari atau pun tidak, mulai terjadi

pergeseran nilai-nilai tradisi.

Sesuatu dikatakan sakral terkait dengan Pura Tirta Empul di Desa

Manukaya, dibangun dan berkaitan dengan adanya klasifikasi terhadap eksistensi

Pura Tirta Empul yang lebih menekankan fungsi ritual daripada fungsi lainnya

sebagai produk budaya yang hanya memenuhi tuntutan wisatawan dan selera

pasar. Namun demikian, jika tetap mempertahankan nilai kesakralan, maka lambat

atau pun cepat akan ditinggalkan oleh generasi berikutnya. Hal itu terjadi sebagai

akibat proses globalisasi yang tidak bisa dihindari melanda seluruh penjuru dunia.

Potensi budaya yang dimiliki Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata, masuk

ke dalam industri budaya.

Strinati (2003 : 67-68) memberikan penjelasan bahwa masuknya produk

budaya ke dalam industri budaya, berarti dia tunduk kepada hukum ekonomi

sehingga dia berubah menjadi budaya massa. Perubahan ini berimplikasi terhadap

aura kebudayaan yang tidak lagi mengikuti kehendak pembuatnya, tetapi tunduk

kepada mekanisme pasar. Akhirnya produk budaya terlepas dari pengalaman

142

Page 143: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

estetis dan terkena fetisisme komoditi sehingga nilai gunanya dilepaskan, diganti

dengan nilai tukar.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa gejala yang

tampak pada Pura Tirta Empul pada dasarnya mencerminkan produk budaya itu

telah masuk ke dalam industri budaya. Gejala ini berkaitan dengan motif mencari

keuntungan atau usaha memanfaatkan kebudayaan sebagai modal budaya menjadi

modal ekonomi, sehingga komodifikasi terhadap Pura Tirta Empul tidak

terhindarkan. Kesemuanya ini tidak bisa dilepaskan dari keinginan masyarakat

untuk mendapatkan uang. Uang sangat penting, karena globalisasi mengakibatkan

manusia terjerat pada ideologi pasar.

Kondisi ini menjangkit masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta

Empul. Hal ini berkaitan pula dengan perubahan yang dialami oleh masyarakat,

yakni dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, bahkan lebih jauh lagi,

yakni masyarakat pascamodern atau pascaindustri. Bersamaan dengan itu maka

masyarakat pun terjangkit pemikiran modern, yakni apa yang bisa dikomodifikasi

termasuk modal budaya guna mendapatkan uang.

5.1.1.2 Kreativitas Memperindah Pura

Proses komodifikasi sebagai dasar pengembangan pariwisata Pura Tirta

Empul tidak terlepas dari semakin banyaknya kunjungan wisatawan ke pura

tersebut. Komodifikasi Pura Tirta Empul terjadi sejak proses produksi, distribusi,

dan dalam berbagai bentuk konsumsi, baik sebagai satu kesatuan elemen budaya,

maupun komodifikasi pada unsur-unsur atau bagian-bagian tertentu dari Pura

Tirta Empul. Produksi Pura Tirta Empul dilakukan atas inisiatif sendiri dan secara

143

Page 144: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kelembagaan dengan adanya kerjasama dengan pemerintah dalam upaya

memperindah dan melestarikan sebuah produk budaya. Sejak kedatangan pada

wisatawan, Pura Tirta Empul menjadi kajian yang tiada habisnya. Demikian juga

ketika Pura Tirta Empul dijadikan daya tarik wisata, Pura Tirta Empul lebih

dikenal sebagai tempat yang indah, perpaduan antara tempat suci yang agung dan

pertamanan yang layak untuk dikunjungi.

Menarik untuk dikaji, yang terjadi di Pura Tirta Empul, termasuk

tradisionalisasi, tidak terlepas dari pengaruh pariwisata. Segala sesuatu yang

terjadi di Pura Tirta Empul selalu dibungkus dalam wacana tradisi dan

kebudayaan, yang justru selama ini dianggap harus dilestarikan daripada disikapi.

Pembangunan dan pariwisata pada akhirnya mereduksi kebudayaan menjadi

sebuah benda, objek berharga, yang bisa diberi merk dagang dan dijual kepada

wisatawan melalui jalur pariwisata budaya. Akhirnya masyarakat pemilik

kebudayaan melakukan tradisionalisasi diri, menyesuaikannya dengan

”permintaan pasar” dengan tujuan untuk mendapat keuntungan finansial dari

pariwisata.

Terkait dengan hal itu dan seirama dengan perkembangan pariwisata,

Pura Tirta Empul lalu ditata, dikembangkan atau direproduksi sehingga semakin

menarik untuk dikunjungi. Renovasi dilakukan secara bertahap, mulai dari

pelinggih-pelinggih (bangunan suci) di halaman pura, kolam suci, bale wantilan,

pertamanan di depan pura, dan perluasan parkir.

Dalam kaitan ini, Made Mawi Arnata yang diwawancarai (26 April

2010) mengatakan :

144

Page 145: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pura Tirta Empul sebagai tempat suci telah berkali-kali mengalami renovasi sesuai dengan kemampuan masyarakat pengempon pura, mulai dari hanya mengganti atap bangunan dari alang-alang dengan ijuk, mengganti bahan-bahan kayu yang rusak dengan kayu yang lebih berkualitas. Demikian pula memperbaiki kembali pura yang bahannya sudah aus dengan bahan baru yang lebih modern serta penambahan berbagai variasi berupa ragam hias sesuai dengan kreativitas para undagi untuk memperindah pura. Sudah tentu penambahan berbagai jenis ragam hias ini disesuaikan dengan peruntukan serta nilai-nilai simbolis yang terkandung di dalamnya sehingga tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang tersurat dalam Kitab Asta Kosala Kosali.

Untuk renovasi bangunan suci diperlukan perancang ahli dan pelaksana

yang mampu mewujudkan gagasan dan ide ke dalam bentuk bangunan.

Penentuan bentuk bangunan, pengumpulan bahan, dan tenaga pekerja merupakan

langkah-langkah persiapan untuk renovasi bangunan. Dalam proses pelaksanaan

suatu bangunan, setiap langkah harus disertai atau didahului oleh suatu upacara.

Penyusunan rencana kerja pada tahap persiapan diawali dengan musyawarah

anggota penyungsung/penyiwi pura. Langkah-langkah pelaksanaan disesuaikan

pula dengan kemampuan, keadaan, dan peraturan adat untuk suatu bangunan.

Rancangan untuk mewujudkan ide dimusyarawahkan dengan undagi dan

sangging. Demikian pula untuk ragam hiasnya. Penentuan hari baik atau dewasa

ayu dalam proses reproduksi bangunan dimusyawarahkan dengan pengarah

upacara, yaitu Pedanda, Pemangku dan tukang banten yang akan membuat

banten sebagai sarana upacara.

Untuk bangunan, lebih-lebih bangunan suci, selain memenuhi

persyaratan fisik juga harus memenuhi persyaratan tataguna dan penempatan

sesuai dengan macam dan fungsi bangunan. Untuk keserasian hubungan dengan

manusia dan alam, pengadaan bahan berusaha memilih bahan-bahan dari alam

145

Page 146: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

sekitarnya. Batu bata sebagai batu buatan dan batu alam dari berbagai jenis

dipasang dalam keadaan telanjang untuk bebaturan atau dinding tembok. Kayu,

bambu, ijuk, genteng, juga dipasang telanjang agar menampakkan warna alam

atau warna aslinya. Pemantapan estetika dalam bangunan tradisional terletak pada

proporsi, komposisi, ragam hias, dan pemakaian bahan. Keindahan bangunan

adalah keselarasan bangunan, manusia, alam, dan lingkungan (Gelebet, 1986 :

126).

Ragam hias pada bangunan-bangunan tradisional umumnya

menampakkan warna asli, warna bahan yang merupakan warna alam. Untuk

bentuk-bentuk lelengisan dan pepalihan, keindahan warna alam merupakan

penonjolan keindahan hiasan. Keserasian bentuk-bentuk ukiran juga didukung

oleh keserasian warna-warna asal dari jenis-jenis batu alam atau jenis-jenis kayu

yang diukir. Hitamnya batu bazolt, merah bata, kelabunya batu padas merupakan

pokok-pokok warna yang dapat divariasi dalam berbagai kombinasi. Warna

buatan sebagai pewarna hiasan pada bentuk-bentuk hiasan memakai warna pokok,

biru, merah, kuning, dan hijau. Hitam dan putih juga merupakan warna yang

digunakan untuk mempermuda atau mempertua warna dalam suatu susunan irama

warna.

Bentuk-bentuk hiasan yang dilukiskan dengan pewarnaan umumnya

menggunakan warna kontras. Pewarnaan pepulasan memakai dua warna, yaitu

warna dasar dan warna yang di pulaskan di atas bidang pulasan. Warna kuning

perade emas sebagai warna pulasan di atas kayu diberi warna-warna pokok.

Merah, biru, hijau, jingga, hitam merupakan warna dasar dipulas dengan warna

146

Page 147: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kuning emas perade atau perade gede. Hampir semua bangunan suci di halaman

dalam Pura Tirta Empul, terutama bagian konstruksi kayunya yang berukir

dipulas dengan perade, sehingga kelihatan sangat indah dan agung, seperti

Gambar 5.1 dibawah ini.

Gambar 5.1 Konstruksi Kayu Berukir Dengan Pulasan Perada Untuk Memperindah Pura(Dok. Setiawan, 2010)

Selain bangunan suci, kolam suci juga telah dimodifikasi. Modifikasi

kolam suci ini diawali dengan perbaikan dinding pada ke empat sisi. Batu-batu

lama yang kebanyakan telah aus diganti dengan batu-batu baru yang merupakan

batu-batu alam yang lebih keras. Bebaturan dibuat dengan pasangan batu tegak

sebagai tepi lantai di atas pasangan pondasi dasar bebaturan. Pasangan tegak tepi

bebaturan juga merupakan pondasi pasangan dinding tembok kolam. Tangga

naik dengan lebar atampak ngandang dibuat pada sisi-sisi arah naik turun dari

147

Page 148: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

halaman ke kolam atau dari kolam ke halaman. Bagian lantai dasar kolam diisi

kerikil atau batu-batu kali warna hitam yang sangat keras. Sejumlah pancoran

tampak juga ada berbagai hiasan dengan beberapa varian-varian ukiran untuk

memperindah. Tahap akhir dari pekerjaan konstruksi adalah penyelesaian bagian-

bagian konstruksi yang memerlukan penyelesaian akhir. Menghias dinding

tembok kolam, menghaluskan elemen-elemen konstruksi, dan merapikan sudut-

sudut kolam. Untuk bagian-bagian elemen yang dihias, ragam hias juga

dikerjakan pada tahap penyelesaian sebagai tahap akhir.

Bentuk-bentuk hiasan, tata warna, dan penempatannya semua

mengandung arti dan maksud-maksud tertentu. Hiasan dibentuk dalam pola-pola

yang memungkinkan penempatannya di beberapa bagian tertentu dari sebuah

bangunan atau elemen-elemen yang memerlukannya. Benda-benda alam yang

dijadikan bentuk-bentuk hiasan masih menampakkan identitas walaupun diolah

dalam usaha penonjolan nilai-nilai keindahan. Estetik, etika, dan logika juga

merupakan dasar-dasar pertimbangan dalam mencari, mengolah, dan

menempatkan ragam hias. Secara umum, ragam hias yang digunakan untuk

memperindah bangunan suci (baca Pura Tirta Empul) adalah flora, fauna, dan

alam (Gelebet, dkk., 1986 : 331).

1. Flora

Motif-motif flora ditampilkan sebagai latar belakang hiasan-hiasan

bidang dalam bentuk pahatan relief. Cerita-cerita pewayangan, legenda, dan

kepercayaan yang dituangkan ke dalam pahatan relief umumnya dilengkapi

dengan latar belakang berbagai macam tumbuh-tumbuhan untuk menunjang

148

Page 149: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

penampilannya. Berbagai macam flora yang ditampilkan sebagai hiasan dalam

bentuk simbolis dipolakan dalam bentuk-bentuk pepatraan yang sagat indah.

Ragam hias yang dikenakan pada bagian-bagian bangunan kompleks

Pura Tirta Empul dari jenis-jenis flora umumnya dipahatkan pada kekarangan dan

pepatraan. Kekarangan umumnya menampilkan suatu bentuk hiasan yang

berusaha mendekati bentuk-bentuk flora dengan penekanan pada bagian-bagian

keindahan. Ada tiga jenis kekarangan yang tampak pada bangunan-bangunan suci

di Pura Tirta Empul, yaitu karang simbar, karang bunga dan karang suring.

Karang simbar adalah suatu hiasan rancangan yang menyerupai tumbuh-

tumbuhan dengan daun terurai ke bawah (simbar manjangan). Karang simbar

dipakai untuk hiasan sudut bebaturan di bagian atas pada pasangan batu sebuah

bangunan. Karang bunga adalah suatu hiasan rancangan yang berbentuk bunga

dengan kelompok dan sehelai daun, yang juga digunakan untuk hiasan sudut-

sudut bebaturan atau hiasan tonjolan bidang-bidang tertentu. Sedangkan karang

suring adalah suatu hiasan yang menyerupai serumpun perdu dalam bentuk kubus

yang difungsikan untuk sendi alas tiang tugeh dalam bentuk singa bersayap

(Ardana, dkk., 1993 : 108).

Tentang pepatraan yang menghias bangunan suci Pura Tirta Empul juga

banyak didasarkan pada bentuk-bentuk keindahan flora. Ragam hias yang

tergolong pepatraan merupakan pola berulang yang dapat diwujudkan dalam

pola berkembang. Masing-masing pepatraan memiliki identitas yang kuat untuk

penampilannya, sehingga mudah diketahui.

149

Page 150: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 5.2 Hiasan Patra Punggel Pada Pelinggih di Pura Tirta Empul (Dok. Setiawan 2010

Beberapa jenis pepatraan yang dapat diamati antara lain (1) patra sari,

(2) patra punggel, (3) patra samblung, dan (4) patra sulur. Patra sari bentuknya

menyerupai flora dari jenis daun berbatang jalar melingkar timbal balik berulang.

Penonjolan sari bunga merupakan ciri khas patra ini. Daun-daun dan bunga-bunga

dilukiskan melalui batang yang melingkar merupakan pola-pola identitas yang

mudah dikenali. Patra punggel umumnya mengambil bentuk dasar liking paku,

yaitu sejenis flora dengan lengkung-lengkung daun pohon paku (lihat Gambar

5.2). Bagian-bagiannya ada yang disebut batun poh, kuping guling, util, sebagai

identitas patra punggel. Pola patra ini merupakan pengulangan dengan lengkung

timbal balik atau searah pada gegodeg hiasan sudut atap bangunan. Patra punggel

paling banyak digunakan, selain bentuknya yang murni dan utuh, patra ini pada

umumnya melengkapi segala jenis dan bentuk kekarangan. Patra samblung

150

Page 151: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

umumnya berbentuk pohon jalar dengan daun-daun lebar dipolakan dalam bentuk

samblung. Ujung-ujung pohon jalar melengkung dengan kelopak daun dihias

lengkung-lengkung yang sangat harmonis. Serupa dengan patra samblung, ada

pula patra olanda, patra Cina, patra Bali yang banyak menghias bangunan suci

Pura Tirta Empul. Terakhir adalah patra sulur. Patra ini melukiskan pohon jalar

jenis beruas dengan daun-daun sulur bercabang-cabang tersusun berulang-ulang.

2. Fauna

Sebagai materi hiasan, fauna dipahatkan dalam bentuk-bentuk

kekarangan yang merupakan pola tetap, relief dan patung yang bervariasi dari

berbagai macam binatang. Fauna sebagai patung hiasan pada bangunan umumnya

mengambil jenis kera dari cerita Ramayana.

Gambar 5.3 Hiasan Karang Gajah pada bagian sudut bebaturan bangunan suci(Dok. Setiawan, 2010)

151

Page 152: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 5.4 Hiasan Karang Goak(Dok. Setiawan, 2010)

Ukiran fauna pada bidang relief di dinding, panil, umumnya berbentuk

cerita rakyat, legenda, dan Cerita Tantri dari dunia binatang. Ragam hias dari

jenis-jenis fauna umumnya mengandung arti dan maksud edukatif konstruktif

(Gelebet, 1986: 372). Ragam hias dari jenis-jenis fauna ditampilkan sebagai

materi hiasan dalam bentuk kekarangan dan patung. Ragam hias kekarangan

fauna yang banyak ditemukan di Pura Tirta Empul adalah bentuk gajah, burung

goak, dan binatang-binatang khayal. Karang gajah/asti (Gambar 5.3) mengambil

bentuk gajah yang diabstrakkan sesuai dengan seni hias yang diekspresikan

dengan bentuk kekarangan. Karang asti melukiskan kepala gajah dengan belalai

dan taring gadingnya bermata bulat. Sesuai dengan kehidupan gajah, karang asti

ini ditempatkan sebagai hiasan pada sudut-sudut bebaturan di bagian bawah

152

Page 153: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bangunan. Tentang karang goak (Gambar 5.4), bentuknya menyerupai kepala

burung gagak/goak. Karang goak digambarkan paruh atas bertaring, gigi runcing,

dan mata bulat. Sesuai dengan kehidupan burung gagak sebagai binatang

bersayap, hiasan karang goak ini ditempatkan pada sudut-sudut bebaturan di

bagian atas sebuah bangunan.

Karang goak umumnya disatukan dengan karang simbar dari jenis flora

yang ditempatkan di bagian bawah karang goak. Terakhir adalah ragam hias

fauna yang mengambil bentuk binatang, yaitu karang boma dan karang sae.

Karang boma berbentuk kepala raksasa yang dilukiskan dari leher ke atas lengkap

dengan hiasan dan mahkota yang diambil dari cerita Bomantaka. Karang boma

ada yang tanpa tangan dan ada pula yang lengkap dengan tangan dari pergelangan

dengan jari-jari mekar. Karang boma di Pura Tirta Empul dilengkapi dengan

patra punggel, ditempatkan sebagai hiasan di atas lubang pintu masuk sebuah

kori agung. Sedangkan karang sae berbentuk kepala kelelawar raksasa bertanduk

dengan gigi-gigi runcing. Seperti halnya karang boma, karang sae dilengkapi

dengan hiasan flora patra punggel.

Mengenai ragam hias fauna yang berbentuk patung umumnya

mengambil bentuk-bentuk burung dan binatang, misalnya burung garuda,

binatang singa, dan naga. Patung Garuda sebagai ragam hias dibuat dengan sikap

tegak siap terbang, sayap dan ekor mengepak melebar. Patung ini ditempatkan

pada bangunan sebagai sendi alas tiang tugeh yang menyangga konstruksi puncak

atap bangunan. Patung singa berwujud seekor singa bersayap. Fungsinya sama

dengan patung Garuda untuk sendi alas tugeh. Sedangkan patungnya merupakan

153

Page 154: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

perwujudan ular naga dengan mahkota kebesaran hiasan gelung kepala, bebadong

leher, anting-ating telinga, rambut terurai, rahang terbuka, taring gigi runcing, dan

memiliki lidah api bercabang. Patung naga (Gambar 5.5) digambarkan dalam

sikap tegak, bertumpu pada dada, ekor menjulang ke atas, dan gelang permata di

ujung ekor. Patung naga sebagai penghias bangunan ditempatkan sebagai pengapit

tangga menghadap ke depan, dan lekuk-lekuk ekornya mengikuti tingkatan tangga

ke arah atas. Pemakaian patung naga sebagai pengapit tangga digunakan pada

tangga bangunan suci sebagai tempat pemujaan.

Gambar 5.5 Ular Naga Sebagai Hiasan Simbolik Pada Bangunan Suci(Dok. Setiawan, 2010)

3. Alam

Ragam hias alam sebagai ungkapan keindahan banyak dijumpai pada

bangunan-bangunan suci di kompleks Pura Tirta Empul. Ragam hias alam adalah

154

Page 155: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

perwujudan yang alamiah dan naturalis benda-benda alam yang tampak di alam

raya ini. Berbeda dengan pepatraan yang menampilkan keindahan bagian-bagian

flora dan fauna, alam sebagai ragam hias umumnya ditampilkan dalam keadaan

lengkap sebagaimana adanya di alam ini, misalnya pohon kayu digambarkan

lengkap dengan akar-akarnya, batang, cabang, dan daun-daunnya. Benda-benda

alam sebagai hiasan diwujudkan sebagaimana adanya sesuai dengan kebebasan

kreativitas para seniman atau sangging.

Nama-nama ragam hias alam diambil dari nama unsur yang menjadikan

adanya alam beserta isinya, misalnya air, api, awan, gunung, kekayuan, dan lain-

lain. Air dalam penampilannya sebagai ragam hias berwujud sebagai kolam/

telaga, danau, sungai, dan laut. Dalam penampilannya, ragam hias air biasanya

dilengkapi dengan ragam hias yang lain, seperti pepohonan, bebatuan, atau ikan-

ikan yang berada dalam air. Demikian juga ragam hias yang memperlihatkan

suasana di udara menampilkan awan yang ada di langit, atau suasana pegunungan

dengan berbagai pepohonan sering dijumpai dalam relief-relief bangunan suci.

Kayu-kayu sebagai isi alam merupakan ragam hias naturalis yang melukiskan

keadaan yang sebenarnya dan pada umumnya ragam hias ini melengkapi

penampilan suatu cerita dalam bentuk relief.

Ragam hias yang diambil dari alam, perwujudannya mendekati keadaan

yang sebenarnya dalam bentuk-bentuk ukiran, tatahan, dan pepulasan. Ragam

hias dalam bentuk ukiran dibuat dalam dinding yang relatif luas. Pasangan batu

padas sebagai dinding tembok di Pura Tirta Empul diukir dengan menampilkan

cerita-cerita yang dilatarbelakangi keadaan alam. Bentuk-bentuk ukiran relief

155

Page 156: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dengan materi alam disesuaikan dengan imajinasi dan kreasi para sangging sesuai

dengan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya.

Alam sebagai materi ragam hias ada pula yang ditampilkan dalam

bentuk tatahan. Pada bentuk-bentuk ukiran relief, penampilan tiga dimensi dari

satu sisi memungkinkan penampilan yang lebih jelas. Bentuk tatahan memperjelas

penampilan dengan warna kontras atau gelap terang. Hiasan yang mengambil

materi dari unsur-unsur alam juga dibuat dengan bentuk-bentuk pepulasan. Pada

bentuk-bentuk pepulasan bahan pewarna tidak diharuskan sama dengan warna

benda alam yang dijadikan materi hiasan. Pepulasan dengan komposisi beberapa

jenis mengutamakan keindahan dan kemegahan dan tidak sepenuhnya menyamai

warna alam.

Ragam hias dengan nama-nama dan berbagai macam bentuknya

ditempatkan sesuai dengan aturan penempatannya. Ragam hias dalam bangunan

suci mengandung arti dan maksud-maksud tertentu, antara lain sebagai unsur yang

membangun keindahan, ungkapan simbolis, dan sebagai media pendidikan dan

komunikatif. Berbagai jenis hiasan yang menghias sebuah bangunan dimaksudkan

untuk memperindah penampilannya. Ketepatan dan keindahan hiasan dapat

mempertinggi nilai suatu bangunan. Dengan hiasan, penampilan suatu bangunan

tampak lebih indah, agung, megah, dan menyegarkan. Sementara itu, ragam hias

untuk ungkapan simbolis dapat mengungkap simbol-simbol yang terkandung di

dalamnya. Penampilan dalam hubungan dengan fungsi-fungsi ritual merupakan

simbol-simbol filosofis yang dijadikan landasan jalan pikiran. Beberapa jenis

hiasan fauna, seperti berdawang naga sebagai stabilitas gerak dinamis kehidupan

156

Page 157: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

di bumi dijadikan dasar bangunan tepasana di Pura Tirta Empul. Demikian juga

patung singa bersayap, gajah sebagai simbol ketangkasan dan kekuasaan. Terakhir

adalah ragam hias sebagai alat komunikasi dan edukatif. Dengan bentuk hiasan

yang dikenakan pada bangunan tertentu dapat memberi informasi dari hiasan-

hiasan tersebut. Ragam hias dari jenis-jenis fauna misalnya, bagian-bagian cerita

Tantri sebagai legenda yang telah memasyarakat mengandung arti dan maksud

edukatif konstruktif.

Sesungguhnya banyak cerita-cerita Tantri yang digunakan sebagai ragam

hias suatu bangunan mengandung arti dan maksud edukatif. Cerita-cerita wayang

Mahabharata dan Ramayana yang dipahatkan pada relief juga mengandung

maksud-maksud edukatif, yaitu menanamkan pengertian kebenaran,

kepahlawanan, dan sikap hidup sesuai ajaran agama. Falsafah keagamaan atau

nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran agama diungkapkan dalam bentuk

perwujudan ragam hias pada bangunan suci. Tata cara penempatan, fungsi, dan

bentuk penampilannya memperhatikan ketentuan-ketentuan etika yang berlaku

dalam agama Hindu. Dengan kata lain, sebagai pelengkap, peralatan, dan sarana

keagamaan, ragam hias juga menerapkan nilai ajaran agama dan kepercayaan

dalam berbagai bentuk perwujudan simbolis.

5.1.2 Komodifikasi Pura Tirta Empul Tahun 1980-an Sampai Sekarang

5.1.2.1 Komodifikasi Tahun 1980-an

Dalam rentang waktu sejak tahun 1980-an Pura Tirta Empul sebagai

tempat suci umat Hindu di Desa Manukaya mengalami perkembangan yang cukup

signifikan. Perkembangan Pura Tirta Empul itu tampaknya sangat berkaitan erat

157

Page 158: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dengan perkembangan kepariwisataan di daerah Bali yang menuju kearah

modernisasi. Dalam proses modernisasi yang didorong pula oleh kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi, menyebabkan terjadinya transformasi kebudayaan

yaitu komersialisasi produk budaya, yang sebelumnya hanya untuk kepentingan

upacara, sekarang sudah berorientasi pada pasar. Berbicara masalah modernisasi,

memang mencakup pengertian yang sangat luas, termasuk pembangunan dan

pengembangan budaya secara fisik, sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran

dalam pola-pola akupasi masyarakat. Terkait dengan Pura Tirta Empul, pada

mulanya masyarakat hanya berorientasi pada kepentingan agama dan

kepercayaan, tetapi karena berbagai kemajuan seperti transportasi, sehingga

mereka berubah kepada kegiatan perdagangan serta berorientasi kepada pasar

(Geriya, 2008 : 103).

Dalam dekade sejak tahun 1980-an perkembangan di bidang

kepariwisataan di Bali sangat berpengaruh terhadap aspek mobilitas sosial yang

ditandai oleh meningkatnya mobilitas penduduk, baik antar daerah maupun antar

negara. Proses transformasi ini sangat meluas dan membesar melalui fenomena

globalisasi dengan substansi yang berintikan empat revolusi utama (four

revolutions), yakni telekomunikasi, transportasi, perdagangan, dan pariwisata

(Abdullah, 2007 : 29-30). Transformasi ini berangkat dari sistem fisik dan lahirlah

menembus dengan sangat pesat ke dalam tataran kelembagaan dan sistem nilai

sampai menyentuh jiwa kebudayaan Bali.

Pada tataran fisik, berkembang pesat berbagai kegiatan konstruksi,

rekonstruksi, renovasi bangunan. Pembangunan kebudayaan lebih diwujudkan

158

Page 159: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

melalui pembangunan sarana dan pelestarian artefak dibandingkan dorongan

kreativitas budaya, revitalisasi nilai-nilai dasar dan konstruksi nilai-nilai baru

yang cocok bagi kemajuan peradaban. Demikian pula pembangunan agama

menekankan pembangunan tempat ibadah dibandingkan usaha pendalaman

kesradaan.

Pada tataran ideal, nilai-nilai baru dalam masyarakat terkonstruksi dari

lingkungan dan perspektif materialisme atau komersialisme, sehingga

memanifestasikan fenomena keserakahan dan feodalisme baru. Pada hakikatnya

transformasi membuka peluang secara sangat luas dan beragam yang terkait

dengan kemajuan ekonomi, politik, dan sosial budaya. Dengan kata lain, di satu

pihak membuka berbagai peluang yang bersifat ekonomi, teknologi, sosial, dan

kultural, serta di pihak lain membawa ancaman komersialisme, materialisme, dan

individualisme.

Sejak kedatangan para wisatawan, kebudayaan Bali tidaklah hanya milik

orang Bali saja, karena yang mencitrakan Bali sebagai daerah tujuan wisata

adalah perpaduan yang khas antara upacara agama, kegiatan adat, dan kreaktivitas

seni. Sehingga berkat keterpikatan wisatawan terhadap Bali, kebudayaan yang

merupakan salah satu modal utama harus dimanfaatkan, dipasarkan,

dipromosikan, di pasaran pariwisata internasional, termasuk di antaranya adalah

Pura Tirta Empul.

Dalam kaitan dengan hal ini, Picard (2006 : 270) menyatakan sebagai

berikut.

159

Page 160: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

”Bagaimanapun juga, justru adanya peralihan dari nilai warisan ke nilai modal yang memungkinkan wacana pariwisata budaya memperoleh pembenaran dengan memberi prioritas kepada pengembangan pariwisata, oleh karena kini pariwisata yang dianggap mampu membina kebudayaan yang melandasi perkembangannya. Sebetulnya, meskipun berkali-kali dilontarkan pernyataan bahwa nilai-nilai budaya tidak akan dikorbankan demi kepentingan industri pariwisata, ternyata instansi-instansi Bali justru menyerukan kepada masyarakat agar melestarikan kebudayaannya oleh karena nilai ekonomi modal pariwisata Bali sangat tergantung pada nilai kultural warisan budayanya, atau dengan perkataan yang lebih gamblang, untuk lebih banyak menarik wisatawan datang ke Bali. Dan kebudayaan yang dimaksud di sini bukan lagi warisan budaya, tetapi sudah merupakan modal pariwisata, karena dia tidak berubah dari suatu nilai budaya yang harus dipertahankan menjadi nilai ekonomi yang harus dibuat berlimpah- ruah”.

Pariwisata budaya tampak sebagai suatu ragam pariwisata yang

melestarikan sumber-sumber yang dimanfaatkannya, yaitu ragam pariwisata yang

mengembangkan budaya. Sumberdaya yang dapat dikelola adalah kebudayaan

dan jenis produk yang dapat dipasarkan adalah produksi-produksi seni, upacara,

dan pusaka budaya yang telah mengangkat reputasi Pulau Bali di mata para

pengunjung.

Wisatawan yang mengunjungi Bali diajak ke desa-desa yang merupakan

pusat-pusat yang sesungguhnya dari kebudayaan Bali tradisional. Wisatawan

diajak menyaksikan kegiatan budaya “asli Bali”. Kegiatan tersebut umpamanya

terdiri dari berbagai perayaan dan upacara, seperti upacara di pura, arak-arakan,

upacara pembakaran mayat yang menyajikan tontotan serba megah yang amat

menarik. Dengan menarik wisatawan untuk mengunjungi desa-desa pedalaman,

diharapkan para wisatawan memberikan sumbangan nyata pada pembangunan

merata di Pulau Bali.

160

Page 161: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Demikian juga, melalui kekayaan pusaka budaya yang penuh dengan

nilai sejarah, termasuk di antaranya Pura Tirta Empul, merupakan potensi

pariwisata yang luar biasa. Namun demikian, pariwisata budaya bukanlah sekedar

cara untuk memenuhi harapan wisatawan yang mencari kegiatan-kegiatan budaya

asli, tetapi juga diusahakan suatu perlindungan sejenis benteng untuk

menempatkan kebudayaan di luar jangkauan sentuhan komersialisasi budaya.

Karena dalam proses pencampuran itu terdapat benih penodaan dan pencemaran

budaya, yang pada akhirnya akan berpeluang menghilangkan identitas (Ardika,

1995 : 7 ; Pitana, 1997 : 18).

Untuk menghindari ancaman “polusi budaya” masyarakat Manukaya

hendaknya memperkuat lembaga-lembaga adat dan keteguhan moral, dengan

pengertian bahwa semakin kokoh landasan pijakan, dalam hal ini dasar religius

yang menjadi jatidiri, semakin teguh pula sikap dalam menghadapi godaan-

godaan yang ditimbulkan oleh uang para wisatawan.

Selain itu, kesadaran tentang betapa tingginya nilai pusaka budaya Pura

Tirta Empul harus lebih dipertajam, sehingga orang merasa berkepentingan

melindunginya. Ajaran agama harus dikembangkan agar dapat meningkatkan

pemahaman tentang landasan filsafat dan upacara-upacara yang sangat semarak.

Harus disadari bahwa kegiatan seni berasal dari agama. Apabila semangat dan

pemahaman religius berhasil ditanamkan, diharapkan makin sedikit orang

dipengaruhi oleh materialistis yang lazim dilakukan para wisatawan terhadap

pura-pura dan upacara-upacara lainnya.

161

Page 162: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Usaha membedakan mana yang termasuk budaya dan mana yang

tergolong pariwisata hendaknya difahami oleh masyarakat. Intisari budaya

senantiasa diusahakan berada di luar jangkauan wisatawan, sedangkan yang dapat

diberikan hanyalah “kulit” budayanya.

Akhirnya masalah yang dihadapi orang Bali adalah sejauh mana nilai-nilai budaya mereka dapat diukur dengan takaran ekonomi. Bila mereka tidak mampu membedakan apa yang termasuk budaya dan mana yang tergolong pariwisata, mereka menanggung resiko tidak mampu juga memisahkan nilai-nilai mereka dari nilai-nilai wisatawan. Dan seandainya itu terjadi, pertanda budaya Bali sudah menjadi “kebudayaan pariwisata”, yaitu suatu situasi gamang di mana nilai budaya dan nilai pariwisata bercampur aduk (Picard, 2006 : 199).

Untuk menghindari budaya berubah menjadi kebudayaan pariwisata,

dianjurkan agar sebagian dari keuntungan yang didapat dari industri pariwisata

dipakai untuk usaha pelestarian dan pembinaan kebudayaan. Hal itu berarti harus

meyakinkan perusahaan-perusahaan pariwisata, bahwa mereka juga

berkepentingan menanam modal dalam sektor kultural, demi melestarikan

sumberdaya. Berkat sumber pembiayaan itu, pusaka budaya Pura Tirta Empul

tetap tegak dan lestari, upacara-upacara agama serta pertunjukkan-pertunjukkan

terkait lainnya akan dapat diselenggarakan dengan megah, sehingga para

wisatawan akan lebih banyak jumlahnya datang guna menyaksikan dan

menikmatinya. Oleh karena itu, sejak Pura Tirta Empul ditetapkan oleh

pemerintah untuk dijadikan daerah tujuan wisata yang utama, pemerintah sendiri

berkepentingan seperti juga industri pariwisata untuk melindungi, melestarikan,

dan membina kelestariannya.

Upaya-upaya pengembangan pariwisata pusaka budaya dilakukan dengan

adanya kesadaran akan pentingnya kekayaan warisan sejarah. Hal itu

162

Page 163: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menunjukkan pentingnya dikembangkan pariwisata postmodern, yaitu pariwisata

pusaka budaya (heritage tourism). Seluruh jenis pengembangan pariwisata mutlak

membutuhkan peran dan partisipasi masyarakat di sekitarnya, termasuk dalam

pengembangan pariwisata pusaka budaya. Dalam pariwisata pusaka budaya,

faktor masyarakat menjadi sangat penting, karena secara umum mereka adalah

pemilik, pendukung, dan pelaku kebudayaan.

5.1.2.2 Komodifikasi Tahun 1990-an

Mulai tahun 1990-an sampai tahun 2000-an komodifikasi Pura Tirta

Empul terjadi secara besar-besaran, seiring semakin banyaknya kunjungan

wisatawan ke pura tersebut. Uang yang diperoleh dari pariwisata digunakan untuk

merenovasi semua bangunan yang ada di pura tersebut termasuk lingkungannya.

Masyarakat menyadari akan keberadaan Pura Tirta Empul yang mempunyai

potensi besar untuk mendatangkan keuntungan ekonomi.

Di era globalisasi seperti sekarang ini, proses modernisasi melalui

pembangunan yang sangat kapitalisme dapat menyebabkan komodifikasi.

Komodifikasi pembangunan yang dimaksud di sini adalah bagaimana Pura Tirta

Empul dijadikan komoditas oleh pemiliknya untuk memperoleh uang sebanyak-

banyaknya. Komodifikasi Pura Tirta Empul harus diakui tidak saja terjadi pada

proses pembangunan kebudayaan, tetapi juga pada proses pengembangan

pariwisata budaya. Secara teoretis, komodifikasi telah merambah pariwisata

sedemikian intens. Dalam konteks ini Pura Tirta Empul yang merupakan produk

budaya masyarakat Desa Manukaya mengalami objektivasi dan menjadi daya

tarik wisata sebagai dagangan yang dijual untuk kepentingan mendapatkan uang

163

Page 164: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dan pemenuhan kepuasan wisatawan. Pura Tirta Empul memang secara sengaja

dipromosikan sebagai suatu yang menjadi alasan mengapa wisatawan harus

datang dan melihatnya. Dengan paparan di atas, maka sesungguhnya komodifikasi

telah dan sedang terjadi pada daya tarik wisata Pura Tirta Empul. Sebagai produk

komoditas, Pura Tirta Empul yang sebelumnya tidak diperjualbelikan, tetapi

sekarang sudah menjadi produk komersial yang memiliki nilai jual.

Proses komodifikasi Pura Tirta Empul di era globalisasi adalah Pura

Tirta Empul diproduksi, didistribusi dalam bentuk kemasan objek yang indah dan

menarik untuk disaksikan dan dinikmati. Namun demikian, dibalik itu semua

sesungguhnya perlahan tapi pasti, ketradisian dan kesakralannya diabaikan. Pura

Tirta Empul sebagai produk budaya oleh masyarakat pendukungnya

dikomersialisasikan seperti barang dan jasa atau dikomodifikasi dalam berbagai

bentuk dan tampilan. Komersialisasi produk budaya dapat juga dianggap sebagai

bentuk adaptif dengan budaya global melalui pariwisata yang menghasilkan

bentuk dan makna baru (Piliang, 2004 : 286-287). Kecenderungan pengaruh

budaya kapitalisme membawa budaya konsumerisme, budaya citra, dan budaya

tontonan, yang sesungguhnya proses produksi kapitalisme global sedang dalam

proses penghancuran budaya lokal.

Di era tahun 1990-an Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi karena

diciptakan, diproduksi untuk dijadikan barang dan jasa perdagangan dalam bentuk

tampilan. Dengan demikian, pembahasan dalam subbab ini akan diarahkan pada

sejumlah permasalahan komodifikasi yang memerlukan penjelasan sejalan dengan

pemikiran Fairclough (2005 : 206-207), bahwa komodifikasi difahami sebagai

164

Page 165: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

suatu proses produksi komoditas yang tidak terbatas pada lingkup ekonomi yang

sempit, yaitu hanya pada persoalan penjualan barang-barang kebutuhan, tetapi

juga mengacu pada pengorganisasian dan konseptualisasi pada produksi,

distribusi, dan konsumsi.

Perubahan budaya masyarakat dari budaya agraris ke budaya pariwisata

membawa dampak yang sangat besar terhadap perubahan pola ruang Pura Tirta

Empul. Hal ini sejalan dengan pendapat Rochim (2004 : 154) yang menyatakan

bahwa perubahan pola aktivitas manusia akan berpengaruh terhadap pola ruang

yang mewadahinya.

Pertumbuhan industri jasa pariwisata yang dilanjutkan dengan

pembangunan inprastruktur (listrik, jalan, telepon, dan lain-lain) menimbulkan

pergerakan dalam fenomena globalisasi. Fenomena globalisasi sebagaimana

dicirikan oleh pergerakan manusia, uang, teknologi, media massa, dan ideologi,

telah mendorong terjadinya perubahan kebudayaan masyarakat Desa Manukaya

yang ditandai oleh perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong

pembentukan definisi baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik

kehidupan yang beragam. Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan

diferensiasi terjadi secara meluas yang menunjukkan sifat relatif suatu praktik

sosial (Abdullah, 2007 : 107).

Informasi yang disalurkan melalui berbagai media telah membentuk

ideologi yang paling mendasar, yakni perbedaan karena pilihan informasi begitu

seragam sehingga banyak pilihan tersedia untuk membangun perbedaan-

perbedaan (Bourdieu, 1994 : 27). Perbedaan merupakan tanda penting dalam

165

Page 166: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kehidupan masyarakat modern. Globalisasi sesungguhnya telah melahirkan suatu

jenis ideologi yang menjadi dasar dari pembentukan, pelestarian, dan perubahan

masyarakat yang bertumpu pada proses identifikasi diri dan pembentukan

perbedaan antara orang.

Ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi yang kurang ideal sebelum

tahun 1990-an dan masuknya peluang industri pariwisata sebagai alternatif baru

yang menjanjikan, menyebabkan sebagian masyarakat Desa Manukaya membuat

keputusan secara rasional dengan beralih profesi dan mulai menekuni profesi

ganda. Pariwisata semakin berkembang dan hal ini tentu dimanfaatkan sebaik-

baiknya sebagai peluang untuk membuka usaha demi peningkatan tarap hidup.

Sementara itu, Pura Tirta Empul sebagai produk budaya juga selalu ramai

mendapat kunjungan para wisatawan.

Meningkatnya pendapatan masyarakat dimaknai sebagai rakhmat dari

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga wajib untuk mempersembahkan kembali

sebagai bagian dari upacara pengorbanan atau yadnya. Yadnya yang dibuat

dilakukan secara tulus sebagai umat beragama yang bakti kepada Tuhan dan

Leluhur. Untuk itu, salah satu bentuk yajna adalah kesepakatan masyarakat Desa

Adat Manukaya Let untuk merenovasi secara menyeluruh pola ruang Pura Tirta

Empul dengan mengacu pada ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam lontar

Asta Bumi dan Asta Kosala-kosali.

Pura Tirta Empul yang pada mulanya hanya dikelola secara parsial oleh

warga Banjar Manukaya Let dianggap relevan untuk dijadikan pemersatu warga

Desa Adat Manukaya Let, yang terdiri dari tiga banjar, yaitu Manukaya Let,

166

Page 167: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Bantas, dan Tatag. Aktualisasinya adalah keterlibatan seluruh warga Desa Adat

Manukaya Let dalam bentuk ayah-ayahan pada saat upacara odalan.

Perkembangan zaman dan pertumbuhan penduduk yang terus meningkat,

terutama ketika umat melakukan persembahyangan yang dirasa sudah sangat

sesak, sehingga memerlukan ruang yang lebih luas daripada kondisi sebelumnya.

Hal itu juga menjadi pemikiran bagi masyarakat Desa Adat Manukaya Let untuk

memperluas halaman pura, bahkan melengkapi dengan halaman-halaman yang

belum tersedia. Berdasarkan hal itu, globalisasi yang merambah sebagian besar

masyarakat telah menggeser wujud-wujud kebudayaannya, dari wujud nilai ke

wujud perilaku, dan wujud fisik, sebagaimana yang akhirnya terlihat saat ini di

Pura Tirta Empul.

Perkembangan pariwisata yang terus meningkat tahun 1990-an

berpengaruh terhadap perkembangan Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul

kemudian terus direnovasi dan dimodifikasi dengan pola tri mandala, yaitu yang

terdiri atas tiga halaman, yaitu jeroan, halaman tengan dan halaman luar. Pada

masing-masing halaman terdapat sejumlah bangunan sesuai dengan peruntukan

dan fungsinya.

Pertamanan di depan pura (Gambar 5.6 dan 5.7) ditata sedemikian rupa

sehingga menambah kenyamanan, kesejukan, dan keindahan aral Pura Tirta

Empul. Para pengunjung dapat memanfaatkan pertamanan untuk beristirahat atau

melepas lelah setelah bersembahyang atau melukat di Pura Tirta Empul.

167

Page 168: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 5.6 Pertamanan di depan Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

Gambar 5.7 Penataan pertamanan yang asri sebagai pelestarian lingkungan(Dok. Setiawan 2010)

168

Page 169: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Antusias dan semangat masyarakat Desa Adat Manukaya Let secara

kelembagaan untuk merenovasi Pura Tirta Empul secara total menunjukkan

bahwa konsep rna (hutang) yang diwariskan sejak dahulu tetap dipertahankan,

sehingga sesungguhnya di Desa Adat Manukaya Let telah terjadi global paradox,

yaitu pergerakan informasi dan teknologi modern yang direspon dengan

penghayatan dan pengamalan nilai-nilai budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai

agama Hindu. Pengembangan pola ruang terhadap area Pura Tirta Empul yang

dilakukan oleh masyarakat pengemong pura, baik dengan tujuan memperluas

halaman atau memperindah mandala pura pada hakikatnya merupakan praktik-

praktik komodifikasi.

Selain pola ruang, komodifikasi juga dilakukan terhadap pola bangunan.

Pola bangunan yang dimaksud dalam perspektif spasial bangunan suci adalah

bentuk bangunan serta tata letak bangunan dalam lingkungan mandala. Hal ini

perlu dikaji karena bentuk bangunan, dalam pengertian denah dan dimensi

bangunan yang berubah akan berpengaruh terhadap fungsi secara keseluruhan.

Demikian pula perubahan tata letak bangunan, baik pengurangan maupun

penambahan bangunan pada area pura akan berpengaruh pada luas halaman pura.

Pura Tirta Empul yang telah mengalami renovasi secara total mulai

tahun 1990-an meliputi semua bangunan pelinggih yang ada di halaman dalam/

jeroan, di halaman tengah, dan di halaman luar. Demikian pula renovasi

dilakukan terhadap Candi Bentar dan Candi Kurung (Gambar 5.8) yang

membatasi masing-masing halaman pura. Dari segi bentuk denahnya, bangunan-

169

Page 170: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bangunan yang direnovasi tidak mengalami perubahan yang berarti dari bentuk

aslinya.

Gambar 5.8 Candi Kurung beserta kolam yang dipenuhi ikan-ikan hias di bagian Barat Daya, Kompleks Pura Tirta Empul.(Dok. Setiawan, 2010)

Gambar di atas berupa kolam dan candi kurung yang direnovasi tahun

1992 sebagai wujud pengembangan dan perubahan pola bangunan. Selain

perubahan pola bangunan, perubahan yang menonjol terjadi pada ornamen dan

ragam hiasnya. Walaupun secara dimensional ornamen dan ragam hias tidak

banyak mempengaruhi spasial, namun secara persepsi dapat memberikan kesan

yang berbeda. Secara filosofi, penempatan ornamen pada bangunan tidak

mengalami perubahan, misalnya ornamen pada bataran pelinggih berwujud

karang asti, pada bagian atas berupa karang goak, dan di atas pintu berupa

karang boma atau karangsae. Namun secara estetika, hal itu mengalami

170

Page 171: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

perubahan menurut perkembangan zaman. Perubahan yang lain adalah

penggunaan bahan bangunan yang jauh lebih baik kualitasnya dari bahan

sebelumnya, baik bahan yang berasal dari kayu maupun dari batu yang digunakan

untuk membuat bangunan, seperti kayu jati, nangka, atau paras hitam, batu bata

yang mempunyai kualitas tinggi. Hal itu menunjukkan bahwa tingkat

kemampuan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi dan tingkat kehidupan

yang semakin baik.

Bagi masyarakat Manukaya, salah satu wujud dalam membayar hutang

kepada Tuhan adalah dengan memperbaiki pura sebagai sthanaNya sesuai dengan

keyakinan dan kemampuan masyarakat. Pura sebagai life monument diusahakan

selalu disempurnakan, lebih-lebih pada dewasa ini Pura Tirta Empul banyak

memberi materi finansial bagi masyarakat Desa Adat Manukaya Let untuk

membangun desanya.

”Kami bersyukur keberadaan Pura Tirta Empul yang sangat kami banggakan telah banyak memberi keuntungan finansial bagi masyarakat di sini. Kunjungan wisatawan baik lokal maupun asing telah mendatangkan sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan masyarakat. Kami memandang hal itu sebagai berkah yang harus disyukuri sebagai pican Ida Bhatara, semoga pica itu terus menerus turun, sehingga kami dapat membangun desa ke arah kemajuan yang lebih baik di kemudian hari” (wawancara dengan Ngh. Putu Sujana, 26 April 2010).

Pernyataan di atas jelas menunjukkan bahwa materi uang sangat

dibutuhkan oleh masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Namun demikian kesucian pura semaksimal mungkin berusaha dipertahankan,

sehingga kebutuhan jasmani dan rohani berjalan secara seimbang.

Selain konsep rna, sistem terbuka masyarakat juga memberi peluang

untuk melakukan perubahan yang bersifat selektif-adaptif. Sikap selektif-adaptif

171

Page 172: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

masyarakat terhadap perubahan tercermin dari penggunaan material bagian pura.

Misalnya bahan atap alang-alang yang banyak dipakai tahun 1970-an sekarang

diganti ijuk, sehingga lebih memberikan kesan sakral dan magis. Produk-produk

modern sebagai bagian dari budaya asing diterima sebagai penunjang aktivitas di

pura selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang diyakini oleh masyarakat.

Hal itu dapat dilihat pada ruang dapur umum dan bangunan wantilan di Pura Tirta

Empul. Dapur yang digunakan untuk menyiapkan konsumsi bagi para pemangku

dan pengayah pura, serta wantilan yang multifungsi ditata dengan pola modern.

Demikian juga toilet dan lampu penerangan telah memanfaatkan teknologi

modern. Dalam perkembangan dewasa ini Pura Tirta Empul mengalami proses

komodifikasi mengikuti perubahan zaman dan selera kreativitas masyarakat. Pola

ruang dan pola bangunan beserta ornamen dan ragam hiasannya diciptakan

sebagai sebuah tanda yang dapat menjadi komoditi.

5.1.2.3 Komodifikasi Tahun 2005 Sampai Sekarang

Di era global, tantangan yang dihadapi manusia semakin kompleks.

Tingginya intensitas pergulatan nilai-nilai lokal dan global yang meresap ke

segenap sendi-sendi kehidupan manusia tidak bisa dibendung atau ditolak.

Globalisasi menjadi suatu pertanda zaman baru telah tiba, dan hal ini berarti

banyak aspek tatanan sosial dan budaya dalam kehidupan masyarakat yang

berubah. Salah satu wujud globalisasi adalah kapitalisme dengan fokus

penekanannya pada masalah ekonomi. Wacana globalisasi turut memberikan

kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang secara multidimensional

172

Page 173: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas (Barker,

2005 : 133).

Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik budaya

kapitalisme, seperti munculnya industri budaya yang mengacu pada komodifikasi

bentuk-bentuk budaya untuk mengikuti ideologi pasar. Pada awalnya Pura Tirta

Empul bukan produk budaya yang sengaja dibuat untuk tujuan komersial. Di era

kekinian produk tersebut telah mengalami komodifikasi karena dibuat dengan

tujuan dijadikan barang dagangan untuk berbagai kepentingan. Proses

berlangsungnya industri budaya, di dalamnya termasuk industri pariwisata dapat

menyebabkan komodifikasi. Gejala komodifikasi Pura Tirta Empul tampak pada

objek, kualitas, ruang, tanda, serta pola-pola hias dijadikan sebagai komoditas

untuk menarik selera konsumen (pasar).

Gambar 5.9 Kunjungan wisatawan asing ke Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

173

Page 174: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Sebagai suatu proses, komodifikasi dapat dirujuk dari pemikiran Marx,

bahwa akibat ekonomi uang yang berdasarkan kapitalisme, semangat

mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya gejala

komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul yang disebabkan oleh industri

pariwisata sesungguhnya telah dan sedang berlangsung, lebih-lebih Bali telah

ditetapkan sebagai salah satu daerah tujuan wisata unggulan (Pitana, 2005 : 156-

157).

Gambar 5.10 Beberapa wisatawan asing yang berkunjung ke Pura Tirta Empul juga melakukan prosesi melukat dan bersembahyang.(Dok. Setiawan 2010)

Gambar 5.9 dan 5.10 di atas menunjukkan betapa ramainya wisatawan

asing berkunjung ke Pura Tirta Empul, bahkan ada di antara wisatawan itu ikut

melukat dan bersembahyang di pura tersebut. Mereka membayar kontribusi ketika

memasuki pura sebagai turis atau melukat di kolam suci dengan menyewa kotak

174

Page 175: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tempat pengganti pakaian. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa betapa Pura

Tirta Empul sebagai tempat suci telah berkembang ke arah komersialisasi sebagai

wujud ideologi pasar.

Membicarakan ideologi pasar atau selera konsumen, erat kaitannya

dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Pada dewasa ini, apa pun produk yang

dihasilkan, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul, keinginan pasar atau

ideologi pasar memegang peranan penting. Ideologi menurut Atmaja (2008 : 247)

adalah salah satu sistem kepercayaan yang mengagungkan pasar sebagai media

utama bagi pemenuhan segala kebutuhan manusia. Ideologi pasar tujuan

utamanya adalah mengalihkan modal budaya, dalam hal ini Pura Tirta Empul

menjadi modal ekonomi. Pemanfaatan modal budaya sebagai modal ekonomi

berimflikasi atas pemaknaan manusia terhadap barang, yakni segala hal adalah

komoditas. Setiap barang tunduk pada logika komodifikasi, yakni bisa ditukarkan

lewat pasar guna mendapatkan uang. Logika komodifikasi memunculkan

pemaknaan yang berbeda terhadap produk budaya.

Masyarakat yang menganut logika komodifikasi memaknai produk

budaya Pura Tirta Empul adalah komoditas atau barang dagangan. Dengan

meminjam Hobermas (2006 : 87-88) bisa pula dikatakan bahwa masyarakat

pendukung Pura Tirta Empul telah terjebak pada rasionalitas instrumental. Hal itu

menimbulkan imflikasi terhadap pemaknaan Pura Tirta Empul, yakni bukan saja

sebagai tempat yang sakral, melainkan sebagai instrumen untuk mendapatkan

uang. Uang adalah bagian dari nafas kehidupan, mengingat bahwa pemenuhan

lima indra manusia bergantung pada uang. Manusia terjerat pada budaya

175

Page 176: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

konsumsi, budaya tontonan, dan materialisme. Kesemuanya itu sangat bergantung

pada uang, karena apa pun yang mereka konsumsi lewat pasar mutlak

memerlukan uang.

Berkenaan dengan itu, maka meminjam gagasan Barthes (2007 : 14)

bahwa zona suci pura telah kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang

dilandasi oleh nilai-nilai agama. Dalam konteks ini, Atmaja (2008 : 249)

mengatakan sebagai berikut.

”Masyarakat telah mengalami perubahan sehingga zona suci telah mengalami difersifikasi makna. Zona suci telah mengalami pembongkaran semiologis dan dekonstruksi untuk memperoleh makna lain yang baru, yakni ruang, yang dapat mendatangkan uang dan nilai ekonomi”.

Marx memberi makna bahwa melalui kerja dihasilkan suatu produk, dan

apa pun yang diproduksi adalah untuk diperjualbelikan. Sebagai sebuah

komoditas, produk tidak hanya penting dan berguna tetapi juga berdaya jual.

Masyarakat konsumen adalah mereka yang menikmati Pura Tirta Empul sebagai

suatu barang komoditas. Budaya konsumen dipandang sebagai bentuk yang

spesifik dari budaya materi/benda yang memberi jarak kritis mengenai

pemahaman (konsep) konsumsi sehari-hari dengan konsumsi dalam praktik-

praktik budaya.

Menurut Boudrillard (2009 : 28) ciri adanya suatu masyarakat

komodifikasi adalah adanya suatu masyarakat konsumen yang tidak lagi membeli

suatu barang untuk mendapatkan nilai guna dari benda tersebut, melainkan dibeli

sebagai tanda suatu komoditas. Konsumsi tidak lagi difahami sebagai konsumsi

nilai manfaat suatu kebutuhan berdasarkan fungsi material, tetapi sebagai

konsumsi tanda (Featherstone, 2008 : 142).

176

Page 177: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Kebudayan posmoderinisme telah memutarbalikkan kategori-kategori

kebudayaan atau menjungkirbalikkan nilai-nilai budaya, serta berperan besar

dalam menciptakan perubahan kultural. Posmodernisme mengusulkan narasi-

narasi kecil yang plural, membangun heterogenitas budaya, menghidupkan

kembali lokalitas dan etnisitas dalam rangka menghargai perbedaan. Selain itu,

posmodernisme merupakan dekonstruksi terhadap tembok pemisah antara budaya

tinggi dan budaya rendah, sehingga klaim-klaim luhur/murahan, indah/tidak indah

tidak lagi relevan.

Menurut Piliang (2004 : 427-429) posmodernisme dapat juga dilihat

sebagai sebuah kecenderungan ”politik kebudayaan”, yaitu bagaimana

kebudayaan berhimpitan dengan soal kekuasaan, yang di dalamnya ada

kecenderungan-kecenderungan baru beroperasinya kekuasaan dalam kebudayaan,

yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Politik konsumsi, artinya politik kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari

ekonomi politik kapitalisme, yang di dalamnya berkembang masyarakat

konsumer (consumer society). Masyarakat konsumer adalah masyarakat yang

menjadikan konsumsi sebagai ideologi, yaitu bagaimana nilai dan makna

kehidupan diperoleh lewat tindak konsumsi. Objek konsumsi tidak lagi

bersadar pada logika fungsi dan kebutuhan, melainkan pada logika tanda.

2. Politik tontonan, artinya masyarakat posmodern adalah masyarakat tontonan

(society of the spetacle). Di dalam tontonan (televisi, hiburan, iklan, musik)

menjadi titik pusat kehidupan budaya dan tontonan menjadi penentu relasi di

177

Page 178: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

antara kelompok-kelompok sosial. Tontonan adalah cara manusia memaknai

hidup atau menjajah dunia kehidupan.

3. Politik tanda, artinya budaya posmodern adalah budaya tanda (sign culture)

dalam bentuknya yang baru. Tanda digunakan bukan untuk menyampaikan

pesan, tetapi menampakkan kelucuan atau kegilaan. Motif komunikasi telah

berakhir dari pencarian pesan ke arah keterpesonaan yang ditimbulkan oleh

permainan dan kecanggihan teknologi media.

4. Politik citra, yaitu strategi dalam sistem produksi dan konsumsi yang di

dalamnya konsep, gagasan, tema, atau ide-ide dikemas dan ditanamkan pada

objek konsumsi untuk dijadikan memori publik. Citra (image) atau pencitraan

(imagology) merupakan instrumen untuk menguasai kehidupan jiwa serta

mengatur tingkah laku eskternal setiap orang yang dipengaruhinya. Citra

menjadi landasan rasional dalam memilih, menentukan baik-buruk, benar,

salah, berguna-tak berguna.

Bertolak dari kecenderungan politik kebudayaan posmodern tersebut

maka dapat dikemukakan bahwa tindakan mengkomodifikasikan Pura Tirta

Empul memiliki latar belakang ideologis. Artinya, apa yang mereka lakukan tidak

saja merupakan pengaplikasian dari suatu ideologi, tetapi juga untuk

mempertahankannya. Hal itu sejakan dengan gagasan Althusser (2004 : 31)

bahwa ideologi diselinapkan pada setiap aktivitas manusia. Karena itu, suatu

ideologi bisa bersembunyi dibalik suatu aktivitas sehingga seseorang tidak

menyadarinya.

178

Page 179: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dengan mengacu kepada gagasan Marcuse (2004 : 27) masyarakat

industi modern dewasa ini adalah masyarakat berdimensi satu. Cirinya adalah

segala segi kehidupan diarahkan pada satu tujuan, yakni sistem kapitalisme.

Manusia melakukan kegiatan ekonomi secara bebas dengan sasaran mendapatkan

laba sebanyak-banyaknya. Sistem ekonomi kapitalis pada masyarakat secara luas

mempengaruhi unsur superstruktur ideologi. Pengungkapan-pengungkapan

simbolik yang memiliki nilai estetika, emosional atau intelektual bagi suatu

masyarakat, berubah menjadi komoditas guna mendapatkan keuntungan bagi

pendukung suatu produk budaya.

Sementara itu, Sanderson (1993 : 27) menyatakan apapun bentuk

tindakan manusia tidak terlepas dari superstruktur ideologi yang ada dibaliknya.

Superstruktur ideologi berfungsi sebagai resep bertindak bagi seseorang dalam

kehidupan bermasyarakat. Ideologi adalah sebuah sistem nilai atau keyakinan

yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh suatu kelompok (Oenil, 2001 :

33). Sedangkan menurut Steger (2005 : 7), ideologi sebagai sistem gagasan

dengan diikuti keyakinan yang berpola, norma, dan nilai terpadu, serta gagasan-

gagasan regulatif yang diterima sebagai kenyataan/kebenaran oleh suatu

kelompok masyarakat.

Dengan demikian, ideologi merupakan suatu gagasan yang di dalamnya

mencakup nilai dan norma yang diyakini benar oleh penganutnya. Karena itu,

gagasan tersebut diaktualisasikan sebagai praktik material guna melakukan

penataan terhadap kenyataan sosial. Aspek-aspek yang bertentangan dengannya,

sengaja disembunyikan guna memberikan pembenaran terhadap gagasan yang

179

Page 180: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tercakup dalam ideologi yang mereka anut. Ideologi bisa dijumpai dalam praktik

kehidupan sehari-hari, dan bukan hanya dalam bentuk ide-ide tertentu, tetapi bisa

pula melahirkan jurang kekuasaan. Namun orang tidak menyadarinya, karena

mereka terbius secara ideologis (Storey, 2003 : 8).

Bertolak dari gagasan tersebut maka dapat dikemukakan bahwa

komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global memiliki latar

belakang ideologis, yaitu ideologi pasar. Ideologi pasar semakin kuat melandasi

kehidupan masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul bersamaan

dengan adanya globalisasi. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari adanya kenyataan

bahwa ideologi pasar tidak saja melandasi globalisasi, tetapi sekaligus juga nafas

atau semangat yang diembuskan oleh globalisasi.

Pasar telah menjadi kekuatan penting terutama melalui proses integrasi

dan ekspansi. Integrasi pasar telah menghasilkan suatu penyatuan sistem kerja dan

ketergantungan pada struktur pasar yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip

ekonomi. Ekspansi pasar tidak hanya memperkenalkan barang-barang baru, tetapi

juga memperluas jaringan distribusi barang yang mempengaruhi tata nilai dan

hubungan-hubungan sosial. Ekspansi pasar juga kemudian mengubah kehidupan

menjadi suatu proses transaksi dan setiap orang menghitung cost dan benefit dari

setiap hubungan sosial (Abdullah, 2007 : 112). Pasar kemudian berfungsi ganda,

yaitu sebagai penekan dengan batasan-batasan dan pengaturan, serta sebagai

solusi yang memberikan jalan ke luar dengan menyediakan berbagai fasilitas

untuk meningkatkan kapasitas pribadi dalam usaha memenuhi aturan main yang

ditetapkan oleh pasar.

180

Page 181: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Etos kerja kapitalistik yang terbentuk merupakan contoh nyata dari

ekspansi pasar di mana orang berorientasi kepada pencarian kehidupan yang lebih

baik dalam berbagai bentuk dan tingkat. Segmentasi pasar, yang menentukan

keterlibatan seseorang berdasarkan prasyarat yang ditentukan untuk kepentingan

pasar, merupakan kekuatan baru yang mempengaruhi tata kehidupan.

Pariwisata sebagai media yang memperkuat daya tarik Pura Tirta Empul,

telah menempatkan masyarakat Desa Manukaya pada jalan bercabang. Di satu sisi

mereka berusaha untuk bertahan dalam ketradisionalannya, namun di sisi lain,

pada saat yang sama mereka ingin menjadi modern dengan memanfaatkan

pariwisata untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Akibatnya, Pura Tirta Empul

mengalami komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks

pariwisata global, artinya Pura Tirta Empul diproduksi, didistribusi, dan

dikonsumsi dalam bentuk tampilan yang indah, tetapi sesungguhnya perlahan-

perlahan ketradisian kesakralannya diabaikan. Pura Tirta Empul

dikomersialisasikan, diperdagangkan seperti barang atau komoditi. Pura Tirta

Empul sebagai komoditi dalam konteks ini dimaksudkan sebagaimana dialami

sekarang, yaitu pengalaman lahir karena budaya konsumsi dan didukung oleh

teknologi informasi baru. Dengan kata lain, produk budaya ini lahir dan bertahan

karena kehendak media (dengan ideologi kapitalisme) dan konsumsi. Media dan

konsumsi menggeser ikatan sosial yang semula mementingkan aspek moral dan

kognisi dengan ikatan estetik (Strinati, 2007 : 13).

Pura Tirte Empul sebagai daya tarik wisata budaya unggulan di

Kabupaten Gianyar tidak pernah sepi dari kunjungan wisawatan, baik lokal

181

Page 182: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

maupun asing. Mereka dengan menyewa kain dan selendang dapat dengan leluasa

berkeliling di areal pura bahkan dapat memasuki halaman dalam tersuci dari

sebuah pura (Gambar 5.11 dan 5.12)

Gambar 5.11 Suasana sehari-hari di halaman dalam Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

Status kekinian yang diemban Pura Tirta Empul sebagai budaya massa

dimulai ketika produk budaya tersebut mengalami komodifikasi. Dengan status ini

maka Pura Tirta Empul dalam proses produksi dan distribusi tidak lagi

memperhatikan kaidah-kaidah estetika sebagai suatu ilmu, tetapi telah bergeser

dari estetika sakral ke estetika profan, dengan fungsi pemaknaannya untuk tujuan

mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Pura Tirta Empul lebih

diapresiasi sebagai barang dagangan/komoditas yang keberhasilannya diukur dari

berapa jumlah keuntungan yang didapatkan.

182

Page 183: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 5.12 Umat dan wisatawan asing berbaur di halaman dalam pura(Dok. Setiawan, 2010)

Produk budaya Pura Tirta Empul didistribusi sebagai budaya massa

boleh dikatakan bersifat sementara, karena sifat budaya massa sangat tergantung

pada konsumen atau pasar. Pura Tirta Empul bukan lagi menjual estetika

sakralitas, tetapi estetika posmodern berupa keindahan arsitektur bangunan,

panorama alam, atau permandian suci beserta pancuran-pancuran yang berjejer

menghiasinya. Parameter budaya massa berkaitan erat dengan apresiasi

pengunjung/penonton, karena tujuan utamanya adalah menarik perhatian massa.

Kepopuleran Pura Tirta Empul yang didasarkan atas keuntungan sebesar-besarnya

semakin nyata ketika agen distribusi memainkan peran aktifnya melalui televisi,

majalah, brosur, koran, dan media lainnya, menjadikan Pura Tirta Empul semakin

populer, tidak saja di Bali, tetapi di berbagai tempat belahan dunia.

183

Page 184: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dalam kaitannya dengan kapitalisme, azas pertukaran akan selalu

mendominasi azas manfaat, karena ekonomi kapitalis berputar-putar di sekitar

produksi, distribusi, dan konsumsi komoditas yang selalu mendominasi

kebutuhan-kebutuhan riil manusia. Uang merupakan contoh betapa berbagai relasi

sosial di antara masyarakat bisa mengambil perwujudan luar biasa dari suatu

hubungan, sekaligus merupakan sarana utama tempat nilai komoditas dalam

masyarakat kapitalis (Strinati, 2007 : 101). Pura Tirta Empul sebagai budaya

massa menjadi objek pertarungan makna dan ideologi yang berlangsung terus

menerus dalam rangka mengejar citra dan merebut hati konsumen.

Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global yang tidak

terelakkan akan menciptakan suatu masyarakat yang terikat dalam suatu jaringan

komunikasi internasional dengan batas-batas yang tidak begitu jelas. Namun

demikian, pada saat yang bersamaan terjadi pula proses yang berlawanan, yaitu

suatu proses untuk mencari identitas melalui pendalaman ajaran agama. Selain

munculnya kegairahan pendalaman tattwa (membawa kitab agama), muncul pula

kegairahan mencari pengalaman batin (spiritual experience) dalam masyarakat

Bali. Hal ini bisa dilihat dari munculnya kelompok-kelompok spiritual yang

melakukan tirta yatra (perjalanan ke tempat-tempat suci) untuk memperoleh

ketengan batin.

Tirta yatra dalam bahasa sehari-hari adalah mendatangkan tempat-

tempat suci, tempat yang mendukung konsentrasi untuk melakukan prosesi

pemujaan kehadapan Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi. Penyucian lahir dan batin

pada diri manusia dapat dianggap sebagai tujuan melakukan tirta yatra. Umat

184

Page 185: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tampaknya semakin menyadari bahwa tirta yatra adalah sebuah yadnya yang

mudah dilakukan oleh siapa pun. Bagi masyarakat umum atau masyarakat yang

mempunyai tingkat pemahaman spiritual yang belum begitu tinggi, maka kegiatan

tangkil ke pura atau tirta yatra mempunyai tujuan praktis, yaitu memohon

keselamatan, kesehatan, penebus dosa, kesuksesan atau ketenangan jiwa.

Pura Tirta Empul salah satu tempat suci yang sangat ideal sebagai

tempat tirta yatra. Areal pura yang cukup luas, hawa yang cukup sejuk, suasana

yang tenang, sangat memungkinkan orang melakukan kegiatan keagamaan untuk

memperoleh ketenangan lahir batin. Mulai pada sekitar tahun 2005 (informasi dari

Bendesa Adat Manukaya Let dan Jero Mangku Pura Tirta Empul) umat banyak

sekali datang melukat dan bersembahyang di pura tersebut. Tidak terhitung

jumlah orang yang datang terutama melukat di kolam suci pura. Mereka rela

bergiliran dalam antrean panjang melakukan prosesi tersebut. Mereka umumnya

percaya bahwa air suci di pura tersebut memiliki khasiat untuk menyucikan diri

bahkan dapat menyembuhkan penyakit, seperti yang disampaikan oleh Wayan

Kantun (58 tahun) dari Payangan (wawancara 5 Juni 2010) yang menyatakan

sebagai berikut.

”Tiang mencoba datang ke sini karena mendengar informasi bahwa air suci di pura ini juga dapat menyembuhkan penyakit. Tiang menderita penyakit rematik, dan sudah tiga kali melukat di kolam suci melalui pancuran-pancuran itu. Dengan ketulusan hati tiang memohon kemurahan Ida Bhatara yang melinggih di Pura Tirta Empul, melalui sarana canang sari, agar Ida Bhatara berkenan memberi anugerah. Dan tiang merasakan ada sedikit perubahan pada kedua kaki ini, tiang akan terus tangkil di sini, mudah-mudahan permohonan tiang dikabulkan oleh Ida Bhatara”.

185

Page 186: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pengharapan yang sama juga disampaikan oleh Ketut Rembyok (52

tahun) dari Desa Batuan yang menderita penyakit kulit (wawancara 25 Mei 2010)

yang mengatakan:

Saya secara rutin seminggu sekali melakukan melukat di kolam ini. Saya senantiasa berdoa agar Ida Bhatara berkenan memberi anugerah untuk kesembuhan penyakit ini. Selain melakukan prosesi melukat, saya juga melakukan persembahyangan, semoga doa-doa saya didengar oleh Ida Bhatara.

Pernyataan kedua orang di atas jelas memperlihatkan betapa yakinnya

mereka terhadap khasiat air suci di Pura Tirta Empul. Namun demikian mereka

sepenuhnya menyerahkan semua itu kepada Ida Bhatara. Tidak hanya dilakukan

oleh masyarakat lokal, turis asing pun banyak yang melakukan kegiatan melukat

ini. Mereka umumnya ingin tahu dan terlibat langsung sebagai pengalaman

pribadi. Wisatawan melakukan sesuatu kegiatan yang terkait dengan objeknya,

yaitu untuk mendapatkan suatu pengalaman budaya. Kegiatan pariwisata sendiri

adalah salah satu ungkapan budaya. Mungkin tidak semua kebudayaan

mempunyai konsep yang sama mengenai kegiatan berwisata. Bahkan mungkin

ada yang sama sekali tidak mengenalnya. Pariwisata sebagai sebuah upaya yang

sengaja, bertujuan untuk mendapatkan suatu pengalaman khusus di tempat lain, di

luar kawasan hunian wisatawan.

Seperti halnya cerita pemutaran Gunung Mandara, ketika air laut diaduk

oleh para Dewa dan Raksasa, maka keluarlah air suci. Demikian pula mata air

suci di Pura Tirta Empul menghasilkan bermacam tirta yang keluar dari masing-

masing pancuran, yang berfungsi berbeda-beda. Di antara fungsi-fungsi air

pancuran itu, ada yang berfungsi sebagai tirta pembersihan, tirta menghilangkan

186

Page 187: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kutukan, dan tirta untuk penyembuhan penyakit (informasi Pemangku Pura Tirta

Empul).

Tirta (air suci) adalah air yang telah mendapat berkah dari Tuhan. Dalam

hal ini berkah itu dapat berupa limpahan energi atau sinar suci. Tirta sebaai media

penyembuhan bukanlah semata-mata air dalam pengertian harfiah, melainkan

lebih pada pengertian yang dipengaruhi oleh sosiokultural, di mana air suci itu

dipercaya dapat memberikan pengaruh pada diri manusia (Astawa, tt, 38). Untuk

mendapatkan manfaat seperti telah disebutkan di atas, satu hal yang harus

diperhatikan adalah melakukan secara ikhlas dan pasrahkan semuanya kepada

Tuhan/Ida Sang Hyang Widhi, karena semua yang terjadi adalah kuasa Tuhan

semata.

5.2 Proses Distribusi Pura Tirta Empul

Distribusi dalam penelitian ini adalah menyalurkan dalam arti

memperkenalkan, mempromosikan pusaka budaya Pura Tirta Empul, agar dapat

diketahui oleh masyarakat umum, termasuk wisatawan nusantara dan wisatawan

asing. Dengan diperkenalkan atau dipromosikan Pura Tirta Empul masyarakat

luas menjadi tertarik dan berkeinginan untuk mengetahui lebih dekat bahkan

mengonsumsinya. Mengonsumsi sesungguhnya adalah tujuan akhir dari proses

produksi dan distribusi.

5.2.1 Media Elektronik

Di zaman ini, setelah kebudayaan manusia dikatakan telah mengalami

lonjakan perkembangan ilmu informatika, maka ranah informasi menjadi

187

Page 188: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

berfungsi strategis bagi proses pembentukan kebudayaan dalam berbagai skala.

Benda-benda hasil industri pun dapat diisi dengan informasi budaya, sehingga

berkembanglah apa yang secara umum diberi label ”industri budaya”. Benda-

benda ini melalui kandungan isinya, mempunyai dampak budaya terhadap siapa

pun yang menjadi konsumennya. Perdagangan produk-produk industri budaya di

satu sisi dapat menyumbangkan kepada pertumbuhan ekonomi, namun di sisi lain

dapat merupakan penyelinapan budaya yang dapat menggerogoti jatidiri budaya

suatu daerah yang diposisikan sebagai konsumen bagi kebudayaan asing

(Sedyawati, 2008 : vii). Sejajar dengan ini adalah industri budaya, yaitu media

elektronik (radio, televisi, internet).

Media, khususnya media elektronik tidak dapat dipisahkan dari

kepentingan yang ada di balik media tersebut. Di dalam perkembangan media

mutakhir, ada satu kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi

(economic interest). Keberadaan sebuah iklan yang media massa seperti sekarang

ini bukanlah wacana yang langka dalam diskursus kultur ekonomi kapital. Iklan di

media massa bukan lagi sebagai elemen pelengkap sistem industrialisasi dan

kapitalisme, melainkan telah menjadi salah satu instrumen paling vital di era

globalisasi seperti sekarang ini. Iklan telah terbukti mempunyai kekuatan dahsyat

untuk membujuk hasrat konsumen terhadap produk melalui serangkaian ideologi

citra yang dibangunnya. Iklan difahami sebagai aktivitas penyampaian pesan-

pesan visual kepada khalayak dengan maksud menginformasikan atau

mempengaruhi mereka untuk membeli produk barang dan jasa yang direproduksi

(Kasiyan, 2009 : 149). Iklan dirancang sebagai penyampaian pesan untuk

188

Page 189: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mempersuasi khalayak tertentu, untuk menerima penawaran produk dengan

mengeluarkan biaya.

Kehadiran televisi (TV) merupakan tanda dari perubahan peradaban.

Pada saat TV mulai menggantikan institusi keluarga, teman, dan komunitas

sebagai titik pusat peradaban, maka titik interaksi dan pembentukan nilai berpusat

pada TV. Peran orang tua bergeser pada saat remote control berada di tangan

seorang penonton yang kemudian mengendalikan serangkaian nilai dengan cara

menghadirkan ”suatu” yang dia pilih dalam proses konsumsi waktu luang.

TV sesungguhnya telah mengaburkan batas-batas fisik dan budaya

sehingga menciptakan ”deteritorialisasi” suatu dunia baru dengan batas-batas

wilayah dan nilai yang bersifat relatif. Proses deteritorialisasi ini merupakan suatu

proses penting, karena ia menjadi titik balik peradaban kontemporer yang

memiliki implikasi yang luas dalam berbagai proses sosial (Abdullah, 2007 : 55).

Program TV secara langsung mentransformasikan sistem nilai yang berlaku.

Suatu hal yang sangat mencolok bahwa TV telah

mentransformasikan suatu produk menjadi simbol yang terkait pada sistem

pemaknaan tertentu. Nilai-nilai simbolik dari suatu praktik dewasa ini

menjadi sangat dominan dibandingkan dengan kegunaan dari produk itu

sendiri. Suatu corak kehidupan yang dihadirkan oleh TV menjadi model

dari realitas sosial telah melanda masyarakat modern. Kehidupan sebagai

proses etis tampaknya mengalami pergeseran secara mendasar sejalan

dengan dominannya nilai simbolik dalam proses kehidupan sosial yang

menunjukkan adanya kecenderungan penekanan pada aspek material.

189

Page 190: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Proses produksi pun mengalami estetisasi di mana suatu nilai telah

menjadi kekuatan dalam produksi suatu barang yang dipresentasikan di

berbagai acara dalam berbagai bentuk wacana yang dibangun dalam

pertukaran sosial di TV.

Selain TV, radio juga merupakan salah satu media elektronik yang bisa

dimanfaatkan oleh seseorang atau masyarakat untuk mengiklankan produk, baik

radio milik pemerintah maupun radio milik swasta. Radio mempunyai visi dn misi

yang cukup kompleks, tidak hanya sebagai lembaga penyampaian berita, tetapi

juga sebagai media pendidikan, media hiburan, serta media yang bersifat sosial

dan ekonomis.

TV, radio, dan internet dimanfaatkan oleh banyak pihak yang

berkepentingan untuk mengiklankan produknya, termasuk produk budaya Pura

Tirta Empul. Media elektronik tersebut dimanfaatkan sebagai media untuk

mempromosikan Pura Tirta Empul dalam bentuk tayangan atau pengumuman

yang dikemas dalam acara sosial. Tujuannya tidak lain adalah agar dapat

diketahui dan sekaligus mampu menarik minat masyarakat, baik lokal maupun

asing. Tayangan produk budaya Pura Tirta Empul dalam TV One melalui acara

”Riwayatmoe Doeloe” dan TV lokal (Dewata TV) melalui acara ”Prasasti

Dewata” dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menarik minat masyarakat

untuk mengonsumsinya.

5.2.2 Media Massa Cetak

Selain media massa elektronik, media massa cetak juga digunakan untuk

mempromosikan pusaka budaya Pura Tirta Empul. Media massa cetak

190

Page 191: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mengutamakan pesan-pesan visual, dan umumnya media ini berbentuk lembaran

kertas dengan sejumlah kata, gambar, atau foto bagian-bagian yang menarik dari

produk tersebut. Media cetak jenis ini terutama berbentuk surat kabar, majalah,

brosur, selebaran, dan poster.

Media sebagai sebuah diskursus sesungguhnya tidak dapat dipisahkan

dengan kesalingberkaitan antara bahasa yang digunakan di dalamnya,

pengetahuan yang melandasinya, dan bentuk-bentuk kepentingan yang beroperasi

di baliknya. Dengan kata lain, media tidak dapat dipisahkan dari ideologi yang

membentuknya, yang pada akhirnya mempengaruhi bahasa yang digunakan dan

pengetahuan yang dihasilkan (Piliang, 2009 : 134). Dalam upaya memperebutkan

penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai

peranan yang sangat penting.

Persoalan ideologi pada media muncul ketika apa yang disampaikan

media memunculkan berbagai problematika di dalam kehidupan sosial budaya.

Rekayasa di dalam media juga sering kali berlangsung secara halus dan tidak

tampak, sehingga tidak disadari sebagai suatu rekayasa. Salah satu bentuk

rekayasa media adalah apa yang disebut dengan ”hiperealitas media”, yaitu

penciptaan realitas-realitas artifisial di dalam media yang menciptakan realitas

tandingan. Istilah hiperealitas media digunakan oleh Jean Baudrillard untuk

menjelaskan perekayasaan makna di dalam media. Hiperealitas media

menciptakan satu kondisi sedemikian rupa, sehingga di dalamnya kesemuan

dianggap lebih nyata dari pada kenyataan.

191

Page 192: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Berkembangnya hiperealitas media tidak terlepas dari perkembangan

teknologi media, yang disebut teknologi simulasi. Dalam konteks media, simulasi

adalah penciptaan realitas media yang tidak lagi mengacu para realitas di dunia

nyata sebagai referensinya, sehingga ia menjadi semacam realias kedua yang

refrensinya adalah dirinya sendiri yang disebut simulakra. Simulakra tampil

seperti realitas yang sesungguhnya, pada hal ia adalah realitas artifisial, yaitu

realitas yang diciptakan lewat teknologi simulasi, sehingga pada tingkat tertentu

realita media ini dipercaya lebih nyata dari realitas yang sesungguhnya (Piliang,

2009 : 141).

Pura Tirta Empul sebagai produk budaya masyarakat Desa Manukaya

juga telah dipromosikan melalui media massa cetak. Beberapa media massa cetak

telah digunakan untuk mendistribusikan Pura Tirta Empul kepada konsumen.

Berbagai benda cetakan tersebut diantaranya ada yang berbentuk brosur, koran,

dan buku, seperti Gambar 5.13 di bawah ini

192

Page 193: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 5.13 Pura Tirta Empul dalam berbagai media massa cetak(Dok. Setiawan, 2010)

5.3 Proses Konsumsi Pura Tirta Empul

5.3.1 Karakteristik Konsumen

Konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai pemakai atau

pengguna suatu produksi. Dalam kontek penelitian ini, konsumsi Pura Tirta

Empul ditekankan pada analisis bagaimana Pura Tirta Empul dikonsumsi oleh

para konsumennya untuk memenuhi kebutuhan rohaninya melalui kegiatan

wisata, khususnya wisata budaya. Seperti diketahui bahwa tujuan wisata yang

berupa kebudayaan pada dasarnya diarahkan kepada terjadinya suatu penghayatan

pengalaman bagi wisatawan, yang sering kali merupakan sesuatu yang baru dan

dirasakan unik. Pada diri wisatawan diharapkan tumbuh kesan yang dalam serta

penghargaan yang tinggi terhadap kebudayaan yang dikunjunginya itu.

Seorang atau serombongan wisatawan yang mengunjungi Pura Tirta

Empul sebagai daya tarik wisata sudah tentu berharap untuk mendapatkan sesuatu

yang memberinya kepuasan atau kesan yang mendalam. Hal itu dapat

diperolehnya dari keunikan atau dari keunggulan suatu objek yang bersangkutan.

Mereka dapat memperoleh kesan mendalam mengenai suasana Pura Tirta Empul

yang nyaman dan khas, atau merasa puas karena mendapat pengetahuan baru dari

apa yang dilihat di sana.

Hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa yang menjadi

konsumen produk budaya Pura Tirta Empul adalah masyarakat lokal, wisatawan

193

Page 194: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

nusantara, dan wisatawan asing. Masing-masing konsumen tentu mempunyai

karakteristik yang berbeda-beda. Masyarakat lokal hanya mengonsumsi Pura Tirta

Empul terkait dengan kepentingan keagamaan, terutama bersembahyang untuk

mendekatkan diri dengan Tuhan atau melukat (menyucikan diri) di kolam suci

Pura Tirta Empul untuk memperoleh ketenangan lahir dan batin. Aktivitas yang

dilakukan oleh umat Hindu seperti itu lazim disebut tirta yatra, yaitu perjalanan

suci mengunjungi tempat-tempat suci untuk bersembahyang dan membersihkan

diri melalui air suci (tirta). Penyucian diri baik lahir maupun batin dipandang

sebagai tujuan dari tirta yatra melalui pelaksanaan bakti, tekun, tulus ikhlas, dan

sungguh-sungguh. Umat Hindu semakin menyadari bahwa tirta yatra adalah

sebuah yadnya yang paling mudah dilakukan oleh siapapun.

Kegiatan tirta yatra pada dasarnya adalah upaya orang untuk

mendekatkan diri dengan sumbernya, yakni Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang

Hyang Widhi. Pendekatan diri dengan Sang Pencipta dapat dilakukan dengan

melatih diri dan dari hati sanubari yang paling dalam. Kesucian hati menyebabkan

orang memperoleh kebahagiaan, seperti disampaikan oleh Putu Ayu, wanita asal

Desa Angantaka, Badung (wawancara, 2 Agustus 2010) sebagai berikut.

”Saya sering melukat di Pura Tirta Empul. Saat ini saya bersama keluarga menekuni pengobatan alternatif. Setiap kali selesai proses pengobatan selalu diakhiri dengan melukat, sebagai penguat dari proses pengobatan tersebut. Saya merasakan vibrasi yang sangat kuat ketika melukat pada pancoran di tirta gering”.

Dalam prosesi melukat, umumnya orang memakai pakaian adat

sebagaimana layaknya hendak melakukan pembersihan. Orang laki-laki memakai

kain dan selendang seperti hendak bersembahyang, sedangkan para wanita juga

194

Page 195: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

memakai kain, baju, dan selendang. Seperti tertulis dalam papan petunjuk, maka

setiap orang yang hendak melukat harus menaati aturan, seperti tidak dibenarkan

hanya memakai pakaian dalam dan berenang seperti di kolam renang, tidak

diperbolekan mandi dengan menggunakan sabun, karena dapat menodai kesucian

tempat tersebut.

Sementara itu, para wisatawan (asing, nusantara) yang mengonsumsi

Pura Tirta Empul secara umum bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu untuk

mendapatkan kesenangan. Mereka ingin melihat/menyaksikan secara langsung,

sehingga memperoleh pengetahuan dan pengalaman baru tentang sesuatu objek

wisata. Di samping pariwisata dengan tujuan umum, terdapat pula pariwisata

minat khusus. Para wisatawan minat khusus ini melakukan sesuatu kegiatan yang

terkait dengan objek Pura Tirta Empul, seperti ikut bersembahyang (lihat Gambar

5.14) dan juga melakukan prosesi melukat berbaur dengan masyarakat lokal.

Mereka melakukan kegiatan dengan tujuan untuk mendapatkan suatu pengalaman

budaya.

195

Page 196: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 5.14 Wisatawan asing ikut bersembahyang di Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

Wisatawan nusantara yang berkunjung ke Pura Tirta Empul umumnya

adalah rombongan pelajar yang memanfaatkan liburan sekolah. Selain pelajar ada

juga kelompok-kelompok lain atau sebuah keluarga dengan berbagai macam

kepentingan. Sementara, itu wisatawan asing yang berkunjung ke Pura Tirta

Empul umumnya melalui agen-agen pariwisata. Umumnya mereka tinggal di

resort-resort di pinggir laut, seperti Nusa Dua, Sanur, Kuta, dan Jimbaran. Selain

di tempat-tempat tersebut di atas, wisatawan yang berkunjung ke Pura Tirta

Empul sebagian tinggal di daerah pariwisata yang cukup terkenal, yaitu daerah

Ubud. Berbeda dengan resort-resort pinggir pantai, Ubud berfungsi rangkap

sebagai kawasan pemukiman dan tujuan wisata. Daerah Ubud menarik wisatawan

yang lebih melihat Bali dalam citra seni atau desa pelukis.

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan wisatawan asing di

lapangan dapat dikatakan bahwa sesungguhnya wisata belum menjadi kebutuhan

utama, tetapi wisata menjadi pilihan dalam kehidupan ini. Perjalanan wisata

bukan merupakan keharusan, tetapi selalu direncanakan secara matang dan

dipersiapkan jauh-jauh hari agar biaya perjalanan bisa dikumpulkan. Jika ada

kebutuhan kehidupan lain yang dianggap lebih penting seperti pendidikan, maka

dana untuk perjalanan wisata menurut mereka akan dialihkan dan rencana liburan

ditunda. Destinasi yang dipilih tidak harus mewah dan terkenal, tetapi daerah

tujuan wisata harus bisa memenuhi kebutuhannya. Wisata yang dilakukan harus

196

Page 197: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

memberikan pengalaman yang berimbang dengan beban biaya, waktu, dan tenaga

yang disisihkan. Mereka umumnya senang berinteraksi dengan budaya baru

bahkan dijadikan hidup. Mereka tidak canggung untuk melakukan kontak sosial

dengan budaya, bahkan sangat senang saling bercerita dan bertukar pengalaman

dengan masyarakat setempat. Dengan demikian, lintas budaya sudah menjadi

bagian dalam perjalanan wisata.

5.3.2 Konsumsi dan Pelestarian Pusaka Budaya

Industri pariwisata memiliki hubungan yang sangat erat dengan daya

tarik wisata, dalam hal ini Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul merupakan aset

pariwisata budaya dan mendapatkan dampak karena sifat situs yang rapuh

(fragile) dan tak terpisahkan (inseparability). Bersifat rapuh karena situs

merupakan karya manusia yang jika dirusak belum tentu kembali seperti

sediakala. Bersifat tidak terpisahkan karena manusia harus mendatangi situs untuk

dapat menikmatinya. Secara teoretis, hubungan situs dengan pariwisata harus

mutual dan bermanfaat. Wisatawan menikmati situs dan pendapatan yang dibayar

wisatawan digunakan untuk pelestarian dan memelihara situs guna

keberlangsungan pariwisata.

Pura Tirta Empul sebagai BCB wajib dilestarikan. Pelestarian BCB

paling tidak mempunyai dua tujuan, yakni (1) pelestarian wujud fisik dan (2)

pelestarian nilai-nilai budaya. Pelestarian fisik bertujuan melestarikan atau

menyelamatkan fisik sebuah BCB (baca Pura Tirta Empul) beserta

lingkungannya, baik lingkungan alam maupun masyarakat di sekitarnya. Hal ini

sangat perlu, karena suatu BCB bersama lingkungannya dalam pengertian yang

197

Page 198: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

luas merupakan suatu kesatuan ekosistem, yang secara ideal diharapkan berada

dalam suatu kondisi dan hubungan yang selaras dan serasi. Jika salah satu dari

unsur ekosistem itu mengalami gangguan, maka akan terjadi ketidakharmonisan

yang dapat merusak keindahan (Sutaba, 1991 : 12).

Tujuan yang kedua ialah melestarikan nilai-nilai budaya (cultural

values) yang terkandung di dalam BCB untuk diwariskan kepada generasi

penerus. Penerusan nilai-nilai budaya kepada masyarakat luas sangat perlu

dilakukan secara terencana, untuk mencegah hilangnya nilai-nilai luhur itu dari

masyarakat. Dengan demikian, kesenjangan budaya dalam masyarakat dapat

dihindari. Hal itu berarti bahwa transformasi nilai-nilai akan berjalan dengan baik,

sehingga ketahanan budaya akan menjadi kokoh. Jika ketahanan budaya yang

kokoh dapat diciptakan, maka kepribadian bangsa tidak tergoyahkan, sehingga

pembangunan berkesinambungan dan berwawasan budaya akan berjalan dengan

baik.

Di dalam Pasal 33 UUD 1945 dinyatakan bahwa pemerintah

”memajukan kebudayaan naisonal Indonesia”. Untuk melaksanakan

pembangunan yang bertujuan memajukan kebudayaan nasional tersebut perlu

keterpaduan sehingga terwujud keselamatan dan keseimbangan antar bidang.

Salah satu unsur sosial budaya yang perlu diperhatikan pelestariannya adalah

BCB, yang merupakan pusaka budaya bangsa.

BCB sebagai warisan mempunyai nilai penting bagi ilmu pengetahuan,

sejarah, dan kebudayaan. Pusaka budaya juga sangat berguna bagi pendidikan,

yaitu sebagai wahana dalam memupuk rasa kebanggaan nasional, memperkokoh

198

Page 199: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kesadaran jatidiri sebagai bangsa, serta untuk memperkaya pengetahuan pada

umumnya (Sedyawati, 2008 : 188).

Garis-garis Besar Haluan Negara menegaskan bahwa nilai, tradisi, dan

peninggalan sejarah yang memberikan corak khas pada kebudayaan bangsa perlu

terus digali, dipelihara, serta dibina untuk memupuk cinta tanah air. Perencanaan

tata ruang di semua tingkatan harus memperhatikan pelestarian bangunan dan

benda yang mengandung nilai sejarah. Oleh karena itu, dalam upaya lebih

menjamin terpeliharanya BCB dari proses kerusakan dan kemusnahan,

pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 5 Tahun 1992 tentang BCB

(UU-BCB) yang diundangkan di Jakarta pada tanggal 21 Maret 1992.

Namun kenyataan menunjukkan bahwa BCB sebagai aset budaya yang

tak ternilai harganya itu sampai saat ini masih mendapat ancaman kepunahan.

Ancaman tersebut dapat berupa peristiwa alam seperti gempa bumi, letusan

gunung, cuaca, maupun oleh adanya ancaman karena kegiatan manusia, seperti

perusakan, pencurian, dan pengembangan lahan yang berkaitan dengan aktivitas

kegiatan pembangunan.

Dalam era pembangunan dewasa ini sering terjadi perbedaan

kepentingan yang tidak jarang mengancam kelestarian BCB, khususnya BCB

yang bergerak. Selain itu, juga masih dirasakan adanya berbagai usaha yang

mengarah kepada penggelapan terhadap BCB. Untuk menanggulangi hal tersebut

perlu usaha melestarikan BCB dalam bentuk kegiatan yang mempunyai sasaran

pokok tertentu, misalnya (1) mewujudkan pelestarian BCB dengan berbagai aspek

pemanfaatan secara luas, (2) melindungi BCB secara utuh, (3) mewujudkan

199

Page 200: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pengamanan dengan cara mengarahkan pada pemanfaatan untuk kepentingan

pendidikan, sosial, dan lain-lain, dan (4) menggugah kepedulian dan partisipasi

masyarakat luas dalam mendukung pelestarian dan pemanfaatan BCB

(Tjandrasasmita, 1983 : 10 ; Sedyawati, 2008 : 189).

BCB merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi

pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan,

sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan dalam rangka membentuk rasa

kebanggaan dan memupuk rasa memiliki jati diri bangsa. Oleh karena itu,

pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk melindungi dan melestarikan

bangunan yang bernilai sejarah dan purbakala. Bangunan bersejarah merupakan

jatidiri dari identitas suatu bangsa.

Gambar 5.14 Pura Tirta Empul sebagai benda cagar budaya(Dok. Setiawan, 2010)

200

Page 201: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pelestarian dan pemanfaatan bangunan aset budaya dapat dilakukan

tanpa meninggalkan prinsip atau kaidah pelestariannya. Kedua prinsip tersebut

dapat berjalan bersamaan dengan mematuhi seperangkat ketentuan ICOMOS

(1992) yang menyangkut tentang keaslian suatu bangunan, yaitu keaslian bahan,

bentuk/desain, tata letak, serta keaslian cara-cara pembuatannya. Dengan

demikian, setiap perubahan atau perusakan pada suatu bangunan dianggap

mengurangi tingkat keaslian yang seharusnya dipertahankan atau dilestarikan.

Ada dua aspek yang perlu diperhatikan dalam upaya pelestarian pusaka

budaya, termasuk Pura Tirta Empul, yaitu kelembagaan dan sumberdaya manusia.

Untuk masyarakat Desa Manukaya, kunci pemertahanan budaya ada di kekuatan

institusi keagamaan untuk integrasi internal dengan mempertahankan keberdayaan

institusi-institusi tradisional. Di luar itu ada pula sejumlah institusi modern,

seperti pendidikan formal dan organisasi-organisasi lintas banjar, yang dapat

berperan sebagai dinamisator ”penantang”. Kedua jenis institusi itulah yang harus

dilihat sebagai kekuatan kelembagaan inti, sedangkan institusi-institusi ekonomi,

termasuk di dalamnya kepariwisataan dan industri budaya, adalah institusi-

institusi ”pinggir”, dalam arti yang mengambil manfaat dalam upaya-upaya

pemasaran. Untuk meningkatkan kesejahteraan umum masyarakat, institusi

ekonomi sangat penting, namun tidak boleh dilupakan bahwa sumber inti

kreatifnya harus tetap dijaga kekuatannya.

Aspek strategi yang kedua menyangkut sumberdaya manusia.

Sumberdaya manusia yang dimaksud di sini adalah anggota masyarakat Desa

Manukaya dalam berbagai peranannya. Mereka yang merupakan pelaku dalam

201

Page 202: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

perumusan nilai-nilai (pemimpin, pendidik formal dan non formal), sumber

keahlian, adalah mereka yang harus dijaga kemandiriannya dan keberadaannya.

Di samping mereka yang berperan sebagai pelaku dalam penerusan

pusaka budaya, terdapat pula mereka yang berkedudukan sebagai penerima, yaitu

khalayak ramai. Melalui jalur-jalur pendidikan dan media massa masyarakat luas

dapat dilayani untuk membuat dirinya menjadi masyarakat yang sadar budaya dan

sadar sejarah. Warga masyarakat yang demikianlah pada gilirannya mampu

menjadikan masyarakatnya masyarakat yang kuat juga dalam segi budaya.

Pengembangan pariwisata hendaknya juga memperhatikan prinsip-

prinsip Kode Etik Pariwisata Dunia (Global Code of Ethics for Tourism), yang

antara lain menyatakan bahwa para pelaku pariwisata dan wisatawan wajib

memperhatikan tradisi atau praktik-praktik sosial budaya dari masyarakat

pendukung budaya tersebut. Kegiatan pariwisata harus dilakukan dalam kondisi

yang harmonis sesuai kekhasan dan tradisi daerah yang bersangkutan, serta

menghormati Undang-undang, adat-istiadat, dan kebiasaan yang berlaku di daerah

tersebut. Selain itu, penduduk setempat harus diikutsertakan dalam kegiatan

kepariwisataan dan secara adil menikmati keuntungan ekonomi yang didapat (cf.

Chris Ryan dan Aicken, 2005 : 5-6). Dengan kata lain, pengelolaan pusaka

budaya untuk kepentingan pariwisata harus melibatkan masyarakat lokal, baik

dalam perencanaan maupun implementasinya. Pemanfaatan pusaka budaya untuk

pariwisata harus menguntungkan masyarakat lokal.

Memperhatikan prinsip-prinsip kode etik pariwisata dunia tersebut di

atas, maka sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap kelestarian

202

Page 203: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pusaka budaya atau keberadaan budaya lokal dalam kaitannya dengan kegiatan

pariwisata. Kode etik telah mengharuskan pelaku pariwisata dan wisatawan untuk

menghormati dan mengapresiasi budaya masyarakat tuan rumah. Sementara itu,

dalam pengertian yang lebih luas pelestarian dalam konteks ini juga menyangkut

masalah perlindungan, pengelolaan, dan pemanfaatan.

a. Perlindungan

Sarana perlindungan terhadap pusaka budaya adalah berupa peraturan

perundang-undangan, dalam hal ini UU No. 5/1992 tentang benda-benda cagar

budaya. Dalam UU tersebut telah diatur mengenai penguasaan, pemilikan,

penemuan, pencarian, perlindungan, pemeliharaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan

pengawasan. Semua itu harus ada izin tertulis dari Direktur Jenderal Sejarah dan

Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Kemudian diatur pula

masalah pemindah tanganan sebuah artefak, penemuan, larangan penggalian

benda-benda monumen tanpa izin tertulis. Terdapat pula pasal mengenai sanksi

pelanggaran bahkan diatur pula tentang denda-denda lainnya.

Kecuali sarana hukum untuk perlindungan pusaka budaya, pemerintah

juga telah membentuk struktur organisasi yang menangani bidang tersebut dengan

tugas antara lain sebagai berikut.

1. Menyelenggarakan pemeliharaan, konservasi, pemugaran, perlindungan,

pengawasan terhadap benda-benda bergerak maupun tak bergerak beserta

situs-situsnya yang mempunyai nilai sejarah dan purbakala.

2. Menyelenggarakan pengembangan, pembinaan, bimbingan dan penyuluhan

kesejarahan dan kepurbakalaan serta situs-situsnya.

203

Page 204: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

3. Menyelenggarakan pendokumentasian, inventarisasi, dan publikasi, dan

4. Menyusun saran tentang perlindungan dan perizinan mengenai benda cagar

budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(Tjandrasasmita, 1980 : 99).

Dalam melaksanakan tugas-tugasnya, sudah barang tentu Direktorat

Perlindungan dan Pembinaan Sejarah dan Purbakala di pusat dan di dearah-daerah

bekerja sama dengan semua instansi yang berkepentingan. Lebih-lebih dalam

masalah perlindungan atau pengamanan bahkan pemeliharaan dan pemugaran

perlu bekerja sama dengan kepolisian, bea cukai, Departemen Dalam Negeri,

Pemerintah Daerah, Kejaksaan, dan sebagainya. Bahkan kerjasama itu tidak hanya

di dalam negeri, tetapi juga dengan luar negeri khususnya dengan badan-badan

yang mengelola peninggalan sejarah dan purbakala. Kerjasama dengan badan-

badan di luar negeri ada kaitannya dengan UNESCO melalui konvensi-konvensi

dan rekomendasi-rekomendasinya serta Badan-badan Internasional seperti

ICOMOS (International Council of Monuments and Sites), ICOM (International

Council of Monuments), SPAFA (Seameo Project in Archaeology and Fine Arts),

dan lain-lain.

b. Pengelolaan

Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya dewasa ini telah ditetapkan

sebagai Benda Cagar Budaya (BCB). Pusaka budaya merupakan kekayaan budaya

yang mempunyai nilai penting bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu

pengetahuan, dan kebudayaan dalam kerangka memupuk kepribadian masyarakat

dan bangsa. Selain itu, Pura Tirta Empul sebagai bangunan suci, secara implisit

204

Page 205: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mencerminkan dekatnya hubungan manusia dengan lingkungan alam. Dikatakan

demikian karena pada hakikatnya bangunan suci merupakan hasil adaptasi

manusia dengan lingkungan alam, dalam mengatasi berbagai tantangan kehidupan

manusia di alam ini.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

sangat pesat dan disertai dengan pertumbuhan penduduk yang cukup cepat, serta

kegiatan industri, khususnya pariwisata yang berkembang dewasa ini,

menimbulkan perubahan-perubahan yang kurang terkendali, sehingga dapat

membahayakan dan mengancam kelestarian produk budaya tersebut. Karena itu,

untuk mencegah dan mengurangi terjadinya kerusakan dan pengrusakan BCB dan

lingkungannya, perlu dilakukan pengelolaan sumberdaya secara proaktif.

Pengelolaan dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan terpadu untuk menjaga

kelestarian dan keseimbangan sosial ekonomi, budaya, dan ekologi dalam nuansa

pembangunan yang berkelanjutan. Pengertian pengelolaan pusaka budaya dalam

hal ini dapat diartikan sebagai upaya terpadu untuk melestarikan produk budaya

dan fungsi lingkungannya melalui kebijakan perlindungan, pembinaan, dan

pemanfaatan pusaka budaya untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan.

Perkembangan pariwisata di daerah Bali dewasa ini, selain memberi

dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi, di sisi lain juga membawa

dampak negatif terhadap kelangsungan suatu produk budaya, lebih-lebih

pariwisata yang dikembangkan adalah pariwisata budaya. Dengan kata lain, dalam

wacana kepariwisataan dikenal apa yang disebut sebagai wisata budaya (cultural

tourism). Badan dunia seperti UNESCO menaruh perhatian sungguh-sungguh

205

Page 206: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pada penggalakan, namun sekaligus penanganan yang amat hati-hati terhadap

subjek budaya. Di satu sisi wisata budaya menjanjikan peningkatan dan

pendalaman interaksi manusia antarbangsa, namun di sisi lain pemanfaatan

khasanah budaya, sekaligus mengandung bahaya ”keausan”. Maka di sinilah

terdapat relevansi untuk membicarakan kebijakan pengelolaan terhadap objek-

objek budaya yang dijadikan sasaran kunjungan wisatawan.

Sebagai landasan berpijak bagi suatu pembahasan mengenai pengelolaan

kebudayaan untuk memenuhi berbagai fungsi, serta kebijakan yang mendasarinya,

perlu lebih dahulu pemahaman mengenai kebudayaan secara komprehensif. Inti

kebudayaan terdiri atas perangkat ide-ide yang terintegrasi, yang terwujud ke

dalam berbagai produk mental, seperti konsep dan nilai, yang selanjutnya dapat

membangun perangkat-perangkat ide yang lebih khusus, seperti norma, ideologi,

estetika, struktur sosial, kaidah pelaksanaan agama, filsafat, dan lain-lain. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa inti kebudayaan sesungguhnya terdapat di dalam

akal-budi manusia.

Menurut Sedyawati (2008 : 132) perangkat ide-ide itulah yang

memberikan arahan bagi tingkah laku manusia dalam masyarakat, serta juga

sejalan dengan tujuan-tujuan hidup tertentu mengarahkan penciptaan atau

pembuatan benda-benda hasil budaya, yang pada gilirannya juga dapat menandai

suatu masyarakat atau suatu bangsa. Justru perbedaan budaya di antara bangsa-

bangsa inilah yang seringkali dapat menjadikan kebudayaan sebagai daya tarik

wisata.

206

Page 207: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Daya tarik terhadap produk budaya Pura Tirta Empul pada dasarnya

berkisar sekitar dua hal pokok. Pertama, terdapatnya makna sejarah yang tinggi

pada produk budaya bersangkutan dan merupakan sumbangan dalam sejarah

peradaban manusia. Sedangkan penyebab daya tarik kedua, adalah terdapatnya

unsur yang ”aneh, eksotis”, yaitu yang asing dan jauh berbeda dengan

kebudayaan pemirsa.

Bagi orang awam, atau di mata pelaku ekonomi yang berwawasan

sempit, kebudayaan seolah-olah hanya terwakili oleh karya-karya budaya yang

terlihat dominan di pasar. Bahkan melalui selera dan pertimbangan sendiri,

produsen karya-karya industri budaya pun dapat menciptakan pasar dan

mempengaruhi selera massa. Maka yang dibutuhkan adalah, di samping para

pembina kebudayaan yang aktif di kawasan hulu, juga pelaku-pelaku ekonomi di

kawasan hilir yang semakin cerdas serta berwawasan budaya yang luas dan

mendalam, sehingga yang akan terjadi adalah sinergi antara hulu dan hilir, dan

juga antara pencipta, mediator, dan konsumen. Suatu keniscayaan yang tak dapat

diingkari adalah bahwa produk-produk budaya harus senantiasa dirawat dan

dilestarikan agar tidak menjadi kering dan mati. Apabila produk-produk itu kering

maka yang ”dijual” pun lama-kelamaan akan menjadi ”tidak bersaing”.

Jika diambil contoh-contoh konkret mengenai daya tarik wisata budaya,

maka dapat diajukan klasifikasi sebagai berikut. Pertama, yang daya tariknya

berasal dari makna sejarah kebudayaan dari suatu unsur khasanah masyarakat, dan

kedua, yang daya tariknya disebabkan oleh keunikan atau keanehannya. Golongan

pertama misalnya antara lain : (1) tempat atau peninggalan sejarah budaya yang

207

Page 208: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

arti pentingnya disebabkan oleh karena peninggalan tersebut merupakan contoh

yang spesifik dari suatu pencapaian teknologi maupun gaya arsitektur, dan (2)

suatu tempat atau peninggalan sejarah yang arti pentingnya disebabkan oleh

adanya peristiwa sejarah penting yang terjadi di tempat tersebut.

Adapun golongan kedua yang berdasarkan daya tarik karena keunikan,

adalah pelaksanaan tradisi yang berlaku khusus dalam masyarakat, yaitu

melakukan prosesi melukat secara masal di kompleks kolam suci Pura Tirta

Empul. Prosesi melukat belakangan ini semakin banyak dilakukan oleh

masyarakat sehingga menarik perhatian para wisatawan, bahkan beberapa di

antara wisatawan tersebut ikut pula melakukan prosesi ini.

Dengan menggunakan kerangka klasifikasi tersebut, maka pembinaan

budaya untuk menunjang pariwisata dapat diarahkan dengan tepat sasaran.

Sarana-sarana industri budaya perlu diperkuat untuk mengarah ke dua sasaran

sekaligus, yaitu untuk pendidikan masyarakat sendiri dan untuk meningkatkan

daya tarik wisata. Pengemasan dan penyebarluasan informasi budaya merupakan

lahan garapan yang amat luas, dan tidak dapat dilakukan secara sembarangan

apabila tidak menghendaki terpuruknya budaya masyarakat. Kebijakan wisata

budaya perlu tetap dipusatkan pada peningkatan produk industri budaya yang

bermutu, menjualnya dengan harga pantas sehingga memungkinkan imbalan yang

pantas pula bagi para masyarakat pendukung budaya tersebut, serta sekaligus

memperhitungkan imbal-baliknya untuk perawatan sumber-sumber kreatif bagi

keberlanjutan kebudayaan itu sendiri. Dengan itulah pembinaan dan

208

Page 209: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pengembangan industri budaya dan wisata dapat menjadi bermakna untuk

menciptakan kesejahteraan bersama.

c. Pemanfaatan

Dalam Undang-undang No. 5/1992 tentang BCB pasal 19 disebutkan

bahwa benda cagar budaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan agama, sosial,

pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Demikian pentingnya

sebuah BCB, maka pelestariannya sebagai bagian dari kebudayaan nasional,

sangat mutlak diperhatikan.

Dalam batasan pengertian mengenai ”pelestarian budaya” yang

dirumuskan dalam Undang-undang tentang kebudayaan (1999) dijelaskan bahwa

pelestarian budaya berarti pelestarian terhadap eksistensi suatu kebudayaan dan

bukan berarti membekukan kebudayaan dalam bentuk-bentuknya yang sudah

pernah dikenal. Dalam kenyataannya, kebudayaan senantiasa berada dalam proses

berkembang, menyusut, berubah atau berstransformasi. Dalam batasan tersebut di

atas pelestarian dilihat sebagai suatu yang terdiri atas tiga aspek, yaitu

perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Dalam aspek pemanfaatan itulah

terdapat kepentingan pariwisata.

Untuk mendeskripsikan konteks yang tepat, maka perlu ditambahkan

penjelasan bahwa pemanfaatan pusaka budaya, dalam hal ini Pura Tirta Empul

dapat diarahkan ke berbagai tujuan, bukan hanya pariwisata. Ada tiga tujuan

pemanfaatan pusaka budaya (Sedyawati, 2008 : 152), yaitu sebagai berikut.

209

Page 210: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

(1) Pendidikan (formal maupun non formal, berstruktur maupun tidak

berstruktur).

(2) Industri, dalam hal ini untuk menghasilkan produk kemasan industri budaya.

(3) Pariwisata, baik untuk wisatawan umum maupun wisatawan minat khusus.

Pemanfaatan pusaka budaya untuk tujuan pendidikan adalah sebagai

substansi untuk disosialisasikan dalam berbagai tujuan yang lebih khusus, seperti

(1) untuk memacu internalisasi nilai-nilai budaya yang dapat memperkuat

integritas sebagai bangsa yang mampu menunjang moral yang tinggi, (2) untuk

menumbuhkan kepekaan dan toleransi dalam pergaulan antar golongan, dan (3)

untuk menumbuhkan dan meningkatkan kesadaran sejarah.

Pemanfaatan untuk tujuan pengembangan industri budaya berarti

memberikan pada kemasan-kemasan industri budaya (buku, video, film) isi yang

bermanfaat. Kemanfaatan isi tersebut dilihat dari kekuatan pengaruhnya untuk

meningkatkan mutu pengetahuan orang mengenai berbagai hal yang bersifat

budaya, serta dari kegunaannya sebagai pemberi hiburan yang sehat. Kenyataan

yang ada sekarang adalah bahwa pasar dibanjiri oleh produk-produk industri

budaya asing, atau sebaliknya produk industri budaya lokal yang meniru isi

produk asing, yang semuanya sama sekali tidak berfungsi mencerdaskan,

melainkan sebaliknya cenderung menggerakkan efek kecanduan. Dalam hal ini,

jika industri budaya lokal dapat meningkatkan daya saing dengan sekaligus

mengangkut muatan budaya lokal yang dapat dibanggakan, maka dengan besar

hati pula produk-produk itu dapat ”dijajakan” kepada wisatawan mancanegara, di

samping dipakai sendiri untuk menambah kekuatan jati diri budaya bangsa.

210

Page 211: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pemanfaatan pusaka budaya yang ketiga yaitu pemanfaatan untuk

pariwisata. Pariwisata budaya merupakan aktivitas yang memungkinkan

wisatawan untuk mengetahui dan memperoleh pengalaman tentang perbedaan

cara hidup orang lain merefleksikan tradisi religiusnya, dan ide-ide intelektual

yang terkandung dalam pusaka budaya yang belum dikenalnya. Pusaka budaya

Pura Tirta Empul sebagai hasil karya manusia mempunyai nilai estetis, simbolis,

dan informatif, sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Lebih-

lebih Pura Tirta Empul sebagai living monument sehingga pemeliharaan dan

pelestarian dilakukan secara berkesinambungan oleh masyarakat setempat atau

pengemong pura bersangkutan. Pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik

wisata diharapkan memberi dampak positif bagi kelestarian pura tersebut.

211

Page 212: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

212

Page 213: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

BAB VI

FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG KOMODIFIKASI PURA

TIRTA EMPUL DALAM KONTEKS PARIWISATA GLOBAL

Uraian dalam bab ini difokuskan pada faktor-faktor yang mendorong

komodifikasi Pura Tirta Empul. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya

suatu produk kebudayaan termasuk Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi.

Bagi masyarakat Desa Manukaya, produk kebudayaan Pura Tirta Empul

merupakan pusaka budaya yang dibanggakan serta merupakan bagian hakiki dari

suatu identitas. Eksistensi Pura Tirta Empul dalam bentuknya yang sekarang

terkait erat dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya, baik faktor internal

maupun faktor eksternal.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya

telekomunikasi, transportasi, perdagangan, dan pariwisata di era globalisasi

dewasa ini sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat Desa Manukaya

kekinian dalam berpikir, bertindak, dan berinteraksi. Produk budaya Pura Tirta

Empul dalam perkembangan dan perubahannya juga mengikuti dinamika

perubahan sosial budaya masyarakat. Perubahan adalah suatu proses yang harus

terjadi dalam kehidupan, sehingga apa pun itu, termasuk produk budaya Pura

Tirta Empul mengalami perubahan dalam bentuk penampilan. Gejala ke arah itu

sesungguhnya telah terjadi pada produk budaya Pura Tirta Empul, seperti dapat

disimak keberadaannya dewasa ini menjadi produk komoditas yang dipasarkan

untuk mendapatkan keuntungan finansial.

213

211

Page 214: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pusaka budaya Pura Tirta Empul merupakan representasi dari budaya

lokal masyarakat Desa Manukaya mengalami proses komodifikasi. Representasi

lahir dari dalam diri masyarakat (faktor internal) sendiri, sebagai tanggapan aktif

masyarakat terhadap diri dan lingkungannya dalam memaknai praktik-praktik

budaya Pura Tirta Empul sebagai teks yang hidup, tetapi di sisi lain faktor

eksternal secara signifikan mereduksi pemaknaan baru terhadap Pura Tirta Empul

dalam konteks pariwisata global.

Di bawah ini akan diuraikan faktor-faktor yang mendorong terjadinya

komodifikasi Pura Tirta Empul, baik faktor internal maupun faktor eksternal.

Faktor internal terdiri atas munculnya paradigma baru dalam pola pikir

masyarakat lokal, kreativitas memperindah pura, dan motivasi untuk peningkatan

kesejahteraan. Selanjutnya faktor eksternal terdiri atas perkembangan pariwisata,

kapitalisme dan industri budaya, serta peranan media massa.

6.1 Faktor Internal

6.1.1 Munculnya Paradigma Baru dalam Pola Pikir Masyarakat Lokal

Perubahan dan dinamika merupakan suatu ciri yang sangat hakiki dalam

masyarakat dan kebudayaan. Adalah suatu fakta bahwa perubahan merupakan

suatu fenomena yang selalu diwarnai perjalanan sejarah setiap masyarakat dan

kebudayaan. Tidak ada suatu masyarakat yang statis. Setiap masyarakat selalu

mengalami transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang

mempunyai potret yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat

tradisional maupun masyarakat modern (Garna, 1992 : 1-2).

214

Page 215: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Demikian juga masyarakat Desa Manukaya, suatu perubahan selalu

berlaku pada semua masyarakat. Proses perubahan bisa berlangsung secara lambat

atau cepat. Globalisasi pariwisata telah membawa dampak sosial budaya yang

signifikan, sehingga menyebabkan perubahan yang sangat struktural bagi

masyarakat. Perubahan karakter masyarakat merupakan hal yang menonjol,

sementara pada saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih

besar. Proses integrasi masyarakat ke suatu tatanan global tidak terelakkan lagi.

Tradisi kultur pribumi atau lokal semakin bergeser ke arah modernisasi, sehingga

menyebabkan kultur konsumen atau budaya model Barat menjalar dalam

kehidupan masyarakat.

Paradigma secara normatif berarti kerangka berpikir, pola/model dalam

teori ilmu pengetahuan (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 648). Paradigma dalam

konteks ini diartikan sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang berfungsi

untuk menuntun tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama dalam

kehidupan sehari-hari (Ratna : 2008 : 2).

Paradigma adalah sebuah teknik atau cara yang sistematis dipraktikkan

di lingkungan masyarakat untuk menanamkan suatu kesan bahwa kehidupan

dengan cara lama harus mulai ditinggalkan. Berbagai nilai yang akan dirasakan

oleh masyarakat dengan melaksanakan paradigma baru, secara terus menerus

ditanamkan dalam masyarakat dengan berbagai cara. Pengenalan paradigma baru

ini juga disertai dengan alasan tentang fakta yang terjadi di berbagai tempat yang

berhasil mengantarkan masyarakat ke suatu keadaan yang lebih baik. Sebuah

proses perubahan paradigma dicanangkan dalam rangka meningkatkan

215

Page 216: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kesejahteraan masyarakat. Paradigma yang dimaksud adalah untuk mewujudkan

tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Berbagai sumberdaya yang

merupakan modal sudah saatnya dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata,

termasuk Pura Tirta Empul.

Masyarakat Desa Manukaya sebagai salah satu bagian dari masyarakat

Bali tidak terlepas dari fenomena ini. Bahkan proses itu terjadi cukup cepat,

terkait dengan kenyataan bahwa Pura Tirta Empul merupakan aset daya tarik

wisata yang potensial dan menarik banyak pengunjung, baik oleh wisatawan

lokal, nusantara, maupun mancanegara. Kedatangan para wisatawan dari berbagai

negara dengan aneka ragama budayanya, sehingga mau tidak mau masyarakat

lokal dan kebudayaannya harus berkomunikasi dengan budaya aneka bangsa yang

beraneka ragam tersebut. Akibatnya, masyarakat Desa Manukaya berada dalam

masa transisi dari masyarakat dengan budaya ekonomi agraris menuju masyarakat

dengan budaya ekonomi jasa.

Pengaruh globalisasi tampaknya telah berpengaruh terhadap dinamika

sosial budaya masyarakat Desa Manukaya sebagai pendukung produk budaya

Pura Tirta Empul. Roh globalisasi telah membungkus sedemikian rupa sehingga

tanpa terasa keberadaan Pura Tirta Empul, mengalami pergeseran pemaknaan.

Masyarakat desa ingin menjadi modern sambil melestarikan budayanya. Untuk

itu mereka membutuhkan uang para wisatawan, yang merupakan wahana

modernisasi. Akibatnya, terdorong oleh alasan pelestarian budaya dan kebutuhan

ekonomi, masyarakat membina tradisinya demi mendapatkan uang yang

dibutuhkan untuk modernisasi. Unsur-unsur sakralitas, magis, religius berjalan

216

Page 217: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bersama-sama dengan selera konsumen yang menjadikan Pura Tirta Empul

sebagai barang komoditi yang telah bergeser fungsi sosialnya.

Masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul dalam

perannya untuk pengembangan pelestarian budaya tidak bisa dimungkiri sangat

dipengaruhi oleh globalisasi. Secara otomatis syarat-syarat global harus dipenuhi,

yang cenderung kepada budaya instan dan populer dalam mengapresiasi sebuah

produk budaya. Masyarakat pendukung produk budaya Pura Tirta Empul adalah

masyarakat egaliter dan terbuka terhadap modernisasi. Dalam pola pikirnya,

mereka memiliki cara untuk menjaring semua yang diperoleh dari pengaruh

global untuk ditolak atau digunakan dalam mempertinggi nilai budaya.

Dalam proses menuju masyarakat industri/jasa dan kemudian dalam arus

globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, tidak sedikit tantangan yang harus

dihadapi. Tantangan-tantangan tersebut bisa saja menggoyahkan sendi-sendi

kehidupan sosial budaya atau bahkan bisa mengancam kelangsungannya apabila

tidak diantisipasi dengan cermat dan diupayakan agar tantangan-tantangan itu

dapat dijadikan peluang bagi masyarakat untuk memperkuat jati dirinya pada

masa-masa mendatang sesuai dengan tuntutan modernisasi.

Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab moral masyarakat, khususnya

masyarakat Desa Manukaya agar Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya yang

bernilai luhur dapat dilestarikan, dalam arti, bukan hanya mempertahankan nilai-

nilai lama, tetapi sekaligus menjaga dan mengembangkannya. Dalam hal ini

unsur-unsur tradisional yang perlu dipertahankan supaya diperkokoh, sedangkan

217

Page 218: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

unsur-unsur yang dipandang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan, baik masa

kini maupun masa datang dapat dicarikan pemecahan permasalahannya.

Terkait dengan kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul Bendesa Adat

I Made Mawi Arnata mengatakan sebagai berikut.

”Dari pengamatan setiap hari tentang kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul, baik wisatawan lokal, domestik, atau mancanegara, kami mempunyai keyakinan bahwa produk budaya Pura Tirta Empul yang kami banggakan sebagai tempat suci dan juga sebagai daya tarik wisata yang potensial di desa kami, akan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, karena nilai finansial yang diperoleh kami kembalikan untuk membangun desa” (wawancara Tgl. 5 April 2010).

Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah, dan

Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB, NTT, bekerjasama dengan

Kepala Desa dan tokoh masyarakat Desa Manukaya secara rutin memberi

pembinaan dan ide-ide dalam upaya pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya

tarik wisata budaya.

Ide-ide yang dilontarkan ke tengah masyarakat lebih banyak mengandung

muatan tentang strategi yang harus ditempuh oleh masyarakat untuk memperoleh

keadaan yang lebih baik. Melalui penerapan ide-ide baru tersebut, cara-cara hidup

lama yang hanya mengharapkan dari hasil pertanian, perkebunan, harus diganti.

Berbagai wacana yang disampaikan oleh penguasa dan tokoh masyarakat

menunjukkan adanya kekuasaan yang sangat besar untuk mempengaruhi

masyarakat lokal. Hal itu sesuai dengan pendapat Foucoult (2002 : 175) yang

mengatakan bahwa kekuasaan sama luasnya dengan lembaga-lembaga sosial,

tidak ada ruang yang sama sekali bebas di celah-celah jaringannya.

218

Page 219: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Berbagai nilai yang akan dirasakan oleh masyarakat dengan melaksanakan

paradigma baru, secara terus menerus ditanamkan dalam masyarakat dengan

berbagai cara. Penganalan paradigma baru juga disertai dengan alasan-alasan

tentang fakta yang terjadi di berbagai tempat yang berhasil mengantarkan

masyarakat ke suatu keadaan yang lebih baik. Sebuah proses perubahan

paradigma dicanangkan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat lokal. Paradigma yang dimaksud adalah bahwa untuk

mewujudkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih baik, sumberdaya yang

tersedia, baik sumberdaya alam maupun sumberdaya budaya yang merupakan

modal yang bernilai tinggi sudah saatnya dimanfaatkan untuk pengembangan

pariwisata di Desa Manukaya.

Tidak ada pilihan lain bagi kami untuk melaksanakan paradigma baru. Kami harus mempersiapkan diri untuk dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan situasi dan keadaan yang segera akan berubah, hingga berbagai sumberdaya yang kami miliki akan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan sakralitas pura” (wawancara dengan Nyoman Negara, Tgl. 5 April 2010).

Paradigma yang dicanangkan tersebut mempunyai implikasi akan

terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat lokal dalam hal pemanfaatan Pura

Tirta Empul, yang mempunyai nilai budaya yang sangat tinggi. Dalam proses

perubahan paradigma tersebut, diperlukan proses sosialisasi yang tidak hanya

memerlukan waktu, tetapi harus melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang

disegani dalam lingkungan masyarakat setempat.

Untuk meningkatkan kesejahteraan, kita harus merubah pola pikir dan mengikuti perkembangan zaman. Tradisi-tradisi lama yang kiranya menghambat sebuah kemajuan harus ditinggalkan, sementara hal-hal baru yang membawa perubahan ke arah kemajuan dan kesejahteraan, itulah yang harus dikejar. Terkait tentang Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, saya

219

Page 220: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tetap menyucikan sebagai tempat untuk memohon keselamatan/kerahayuan. Namun kemajuan zaman harus pula diikuti sepanjang hal itu dapat membawa kesejahteraan (wawancara dengan I Made Suja, Tgl. 1 April 2010).

Pernyataan di atas jelas bahwa masyarakat Desa Manukaya terbuka

terhadap hal-hal yang modern dan mengejar sesuatu bermuara pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat. Masyarakat terbuka terhadap berbagai perubahan yang

memang tidak bisa dihindarkan. Namun demikian, prinsip-prinsip kesakralan

diusahakan tetap dapat dipertahankan sebagai cerminan identitas budaya

masyarakat Desa Manukaya.

Pura Tirta Empul salah satu produk budaya dibangun dalam proses

akumulasi sejarah dan budaya dengan pijakan representasi masyarakat Manukaya

sebagai pemilik budaya. Pura Tirta Empul sebagai representasi etnis dan identitas

didomain oleh masyarakat pendukungnya dalam mereduksi wujud komodifikasi

makna baru, sesuai dengan representasi yang dibangun oleh mereka untuk

kepentingan ekonomi.

Representasi dapat saja lahir dari dalam diri masyarakat sendiri (faktor

intern), sebagai tanggapan aktif masyarakat Desa Manukaya terhadap diri dan

lingkungannya dalam memaknai praktik-praktik budaya yang direpresentasikan

melalui Pura Tirta Empul. Hal inilah yang memberi tantangan dilematis pada

masyarakat Manukaya sebagai pemilik budaya antara melestarikan tradisi magis

religius Pura Tirta Empul sebagai representasi etnis dan identitasnya atau

mendapatkan ’dolar’ sebagai representasi baru. Dengan semangat kapitalisme

Pura Tirta Empul telah menjadi produk komoditas mengikuti selera konsumen.

220

Page 221: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pura Tirta Empul yang merupakan bukti sejarah, identitas, dan

kebanggaan masyarakat telah dikomodifikasi oleh “pemiliknya” dengan dukungan

pemerintah untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya. Komponen budaya

telah dijadikan komoditas atau mengalami proses komodifikasi untuk dikonsumsi

oleh wisatawan sehingga menimbulkan kesan komersialisasi dan mungkin saja

terjadi penurunan kualitas sebuah kebudayaan.

6.1.2 Kreativitas Pengembangan Estetis

Faktor internal lain yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul

adalah kemampuan kreativitas masyarakat. Kreativitas adalah salah satu

kemampuan intelektual manusia atau proses berpikir, kemampuan memecahkan

masalah, berkaitan dengan usaha menciptakan gagasan-gagasan dan hal-hal baru

yang berguna. Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi atau

mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya, atau kreativitas adalah

kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru (Ratna, 2005 : 313).

Pura Tirta Empul sebagai suatu produk budaya masyarakat Manukaya,

dalam proses kehadirannya, tidak bisa dilepaskan dari berbagai kreativitas

manusia yang menjadi satu dalam memenuhi rasa keindahan. Kreativitas

pengembangan estetis Pura Tirta Empul merupakan akumulasi dari pemikiran-

pemikiran kreatif manusia sepanjang waktu sampai kekinian, sebagai suatu

tanggapan aktif mereka terhadap pemenuhan rasa keindahan yang terus-menerus.

Ngakan Putu Sujana seorang undagi (wawancara 2 Mei 2010) mengatakan

bahwa.

221

Page 222: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

”Wujud penampilan Pura Tirta Empul seperti yang sekarang ini sesungguhnya adalah merupakan proses kreativitas orang-orang Desa Manukaya yang tidak pernah berhenti dan terus-menerus. Dia akan selalu berproses dan berproses serta terus berkreativitas untuk penyempurnaan-penyempurnaan dalam mencapai nilai estetika tertinggi sebagai identitas suatu etnis”.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kreativitas

yang tinggi untuk mencapai nilai estetika tertinggi. Berbagai kreativitas

ditunjukkan melalui berbagai bentuk dan variasi hiasan yang ditampilkan pada

bangunan suci Pura Tirta Empul. Pola massa spasial bangunan suci adalah bentuk

massa (bangunan) dan tata letak massa dalam lingkungan mandala. Bentuk massa

berpengaruh terhadap fungsi secara keseluruhan. Perubahan pola ruang dan pola

massa berpengaruh terhadap perubahan spasialnya. Sebelum tahun 1980, bentuk

dan massa bangunan yang mengalami renovasi total mencerminkan

kesederhanaan, tetapi tetap mencerminkan nilai-nilai kesucian.

Pura Tirta Empul yang direnovasi secara besar-besaran tahun 1990-an

meliputi semua pelinggih di jeroan dan jaba tengah, candi bentar, dan bataran

bangunan. Dari segi bentuk (lay-out)nya, bangunan-bangunan yang direnovasi

tidak mengalami perubahan dari aslinya. Perubahan hanya terjadi pada ragam

hiasannya, sehingga memberikan kesan yang berbeda, seperti penggunaan

berbagai hiasan pepatraan pada beberapa pelinggih pura. Dengan kesejahteraan

yang mulai meningkat, timbul keinginan untuk memperbaiki pelinggih-pelinggih

dengan membongkar bangunan yang lama dan mengganti dengan bangunan baru,

dengan ukuran yang lebih besar, material yang lebih baik, dan tampilan ornamen

serta ragam hias yang lebih baik. Dengan kata lain, perubahan terjadi tidak saja

222

Page 223: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

terbatas pada bentuk-benutk luar bangunan, tetapi juga detail bangunan, seperti

bahan, ornamen, dan warna (lihat Gambar 6.1 dan 6.2) di bawah ini.

Gambar 6.1 Bentuk kreativitas diwujudkan dalam bentuk ukiran kayu yang sangat indah pada bangunan suci.(Dok. Setiawan, 2010)

Gambar 6.2 Ukiran kayu yang dipulas dengan pulasan prada berwarna emas pada pelinggih/bangunan suci.(Dok. Setiawan, 2010)

223

Page 224: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Ukiran kayu dengan pulasan prada pada bangunan suci di atas

memperlihatkan betapa besar perhatian masyarakat Desa Manukaya Let terhadap

parahyangan sebagai stana Ida Sang Hyang Widhi, sebagai wujud penerapan

kearipan lokal tri hita karana. Konsep tri hita karana diterapkan di Desa Adat

Manukaya, yang merupakan pedoman keseimbangan antara krama desa (warga

desa), pekraman (teritorial desa), dan parhyangan desa (tempat pemujaan desa).

Sesuai dengan maknanya, bahwa dalam hidup ini perlu adanya keseimbangan

antara kedamaian rohani yang terkait dengan prinsip ketuhanan dengan penghuni

serta rumah termasuk berbagai kebutuhan sehari-hari. Desakan dari prinsip

ekonomi yang merupakan bagian dari kebutuhan sehari-hari menimbulkan sikap

hidup yang kurang mampu memisahkan antara pura sebagai tempat suci dan

sebagai objek komersial. Atau sekurang-kurangnya akan terjadi perubahan dengan

mengadakan variasi antara tata dasar dengan bentuk-bentuk baru.

Sulitnya kehidupan ekonomi serta peluang pariwisata yang cukup

menjanjikan kehidupan yang lebih baik, berpengaruh terhadap dinamika

kesadaran budaya masyarakat, seperti munculnya konsepsi dan orientasi bahwa

ruang dalam konteks ini adalah Pura Tirta Empul, adalah situs untuk mendapatkan

uang atau keuntungan dalam bentuk lain. Konsep tersebut semakin berkembang

dan membentuk identitas ke arah komersialisasi, yang ditandai dengan sikap

promosi. Sikap itu dapat dilihat dalam realita seperti merenovasi pura,

memperindah pura dengan berbagai ornamen dan ragam hias, penataan

lingkungan, pembuatan taman, dan lain-lain yang dieksplotir untuk kepentingan

komersial.

224

Page 225: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Bersamaan dengan perkembangan pola komersial, hadirnya teknologi

juga memberikan corak tertentu terhadap kesadaran tentang konsepsi pura. Dari

fungsi sakral sampai dengan fungsi komersial, telah menyajikan suatu bentuk

pelayanan yang disesuaikan dengan kemajuan teknologi. Bangunan dengan bahan

yang berkualitas rendah diganti dengan bahan yang berkualitas tinggi, atap

bangunan dari alang-alang diganti dengan ubin atau ijuk, lantai bangunan dari

tanah diganti dengan keramik, ruang-ruang dengan bentangan lebar, yang

sebelumnya tidak mungkin dibuat dengan bahan kayu, diganti dengan beton cor.

Sejalan dengan desakan komersialisasi dan didukung oleh teknologi mutakhir,

serta komunikasi yang intensif dengan pihak luar melalui pariwisata dan media-

media informasi, mempertegas pergeseran pusaka budaya Pura Tirta Empul

sebagai situs komersial.

Apa yang ditampilkan oleh Pura Tirta Empul dewasa ini adalah hasil

kreativitas manusia Desa Manukaya. Dalam berkreativitas, kemampuan adalah

faktor penentu. Manusia memiliki ide, kreasi, kemauan dan kemampuan dalam

mengekspresikan pengalaman jiwanya.

”Kreativitas adalah ruang kebebasan dalam mengolah pikiran untuk berekspresi dalam merefleksikan pengalaman dan rangsangan dari lingkungannya. Manusia dituntut kepekaan, naluri, dan kemampuan mengolah pengalaman-pengalaman untuk diekspresikan menjadi sebuah karya yang originial dan mampu menjadikan pengalaman baru yang unik dan estetik bagi orang lain (Wirakusuma, 2005 : 30-31).

Pendapat yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kreativitas adalah

persoalan kebebasan pribadi dalam berkarya. Kebebasan berkreativitas hendaknya

dapat menyatu dengan kehidupan sehari-hari dan selalu berada di tengah-tengah

kehidupan bersama. Kreativitas masyarakat dalam upaya memperindah pura, baik

225

Page 226: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

sebagai tempat suci maupun sebagai daya tarik wisata, secara langsung atau tidak

langsung, berperan ikut mempercepat atau mendorong komodifikasi Pura Tirta

Empul.

Dalam perkembangannya, inovasi dan kreativitas masyarakat banyak

ditentukan oleh para sponsor, yaitu penguasa ekonomi dan penguasa politik yang

mempunyai kepedulian dan kepentingan dengan Pura Tirta Empul. Lembaga atau

instansi pemerintah yang secara langsung terlibat adalah Dinas Pariwisata

Kabupaten Gianyar. Seiring dengan perkembangan otonomi daerah, Pemerintah

Daerah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah dengan giat mencari

berbagai farmasi yang mungkin bisa dikembangkan untuk menambah pemasukan

daerah. Salah satunya adalah pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai modal dalam

upaya pengembangan pariwisata. Aset Pura Tirta Empul menjadi semacam

”magnet” yang dipakai untuk mengajak setiap elemen masyarakat mendukung

dan menerima kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan terkait dengan aset daya

tarik wisata Pura Tirta Empul.

Secara politis, hegemoni di sekitar praktik-praktik pariwisata datang dari

pemerintah atau pemegang otoritas (misalnya melalui kebijakan), sebagian lagi

datang dari kalangan pengusaha (ekonomi), dan masyarakat, dalam hal ini

masyarakat Desa Manukaya yang memang berkeinginan memanfaatkan Pura Tirta

Empul untuk menambah pendapatan finansial. Kelompok-kelompok itu bergerak

dalam bidang-bidang yang berbeda, tetapi saling berhubungan dalam suatu

formasi sosial. Dalam konteks ini, teori hegemoni menjadi berguna dalam

226

Page 227: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menelusuri bentuk-bentuk hegemoni pemegang kekuasaan (politis), sosial, dan

budaya.

Globalisasi yang sedang merambah masyarakat dewasa ini tampaknya

bagi sebagian masyarakat memahaminya sebagai peristiwa atau proses

kebudayaan dalam arti luas. Di satu sisi globalisasi menuntut keseragaman, tetapi

di sisi lain membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas. Dengan

demikian kreaktivitas masyarakat untuk pembaharuan merupakan salah satu

faktor pendorong komodifikasi Pura Tirta Empul.

6.1.3 Motivasi Untuk Peningkatan Kesejahteraan

Sejumlah studi menunjukkan bahwa masyarakat miskin di pedesaan

masih cukup banyak. Mereka menjadi bagian dari komunitas dengan struktur dan

kultur pedesaan. Mereka umumnya belum mempunyai pendapatan yang cukup

untuk bebas dari kekurangan. Mereka masih dililit oleh ketidakberdayaan.

Ideologi dan teknologi baru yang diperkenalkan kepada mereka acapkali di respon

secara negatif, terutama karena tidak memiliki jaminan sosial yang cukup untuk

menghadapi resiko kegagalan (Usman, 1998 : 32).

Oleh karena itu, kegiatan pembangunan perlu diarahkan untuk merubah

kehidupan mereka menjadi lebih baik. Perencanaan dan implementasi

pembangunan hendaknya berisi usaha untuk memberdayakan masyarakat

sehingga mereka mempunyai akses pada sumber-sumber ekonomi. Untuk

mengatasi hal itu, pemerintah sesungguhnya telah mencanangkan berbagai macam

program pembangunan pedesaan. Salah satu diantaranya adalah pembangunan

melalui pengembangan pariwisata. Tidak dapat dimungkiri bahwa ketika suatu

227

Page 228: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

situs dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, sebuah proses transaksi

ekonomi harus terjadi. Realita seperti itu secara nyata terjadi atas situs Pura Tirta

Empul. Arus manusia dari berbagai penjuru dunia datang berkunjung untuk

menikmati apa sesungguhnya yang ada di area situs tersebut.

Pembangunan pedesaan, meskipun kini telah memasuki era baru yang

dikatakan “Orde Reformasi” pasca pemerintahan Orde Baru yang sentralistik,

permasalahan mendasar pembangunan masih muncul, terutama keseimbangan

antara pembangunan pertanian dan industri pariwisata. Masyarakat Desa

Manukaya yang secara geografis dan topografis berbasis pertanian, makin lama

makin kehilangan budaya pertaniannya. Tradisi pertanian di sawah, ladang,

kebun, mulai ditinggalkan. Sebaliknya, pariwisata yang kelihatan modern dan

menjanjikan dolar menjadi ideologi baru. Para anak muda di desa tidak lagi

tertarik untuk menjadi petani, tetapi lebih memilih pekerjaan di sektor pariwisata

untuk meningkatkan kesejahteraannya.

Sang Putu Alit (wawancara 11 April 2010) mengatakan:

Kehidupan modern yang pada awalnya kami yakini akan mampu memberi kesejahteraan jangka panjang, ternyata juga menimbulkan dampak negatif. Masuknya budaya asing yang tidak dapat dibendung tentu menimbulkan kekhawatiran kami akan dapat merusak nilai-nilai budaya lama yang diwariskan oleh leluhur kami”.

Keterangan di atas menunjukkan bahwa walaupun terlibat langsung

dalam aktivitas kepariwisataan di wilayahnya, masyarakat lokal menyadari

sepenuhnya bahwa budaya kapitalisme maupun konsumerisme yang mulai

tumbuh di wilayah mereka akan dapat mengancam budaya lokal. Sadar akan

kenyataan tersebut, berbagai aktivitas yang bernuansa sosial budaya sebagai

228

Page 229: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bentuk revitalisasi terhadap berbagai sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat

lokal, selalu mendapat prioritas dalam pelaksanaannya.

Ramainya kunjungan para wisatawan ke Pura Tirta Empul menimbulkan

berbagai dampak, khususnya dampak ekonomi yang sangat dirasakan oleh

masyarakat. Keterlibatan masyarakat lokal dalam berbagai aktivitas ekonomi

tidak lepas dari usaha-usaha yang secara serius diusahakan, baik oleh masyarakat

maupun pemerintah. Bagi masyarakat lokal, melibatkan diri secara langsung

dalam mengelola usaha pariwisata merupakan suatu usaha untuk meningkatkan

taraf hidup mereka.

Aktivitas dan berbagai kepariwisataan tidak hanya berdampak kepada

pelaku pariwisata yang ada di lingkungan kawasan tersebut, tetapi juga

menciptakan berbagai usaha di luar kawasan yang merupakan aktivitas

komplementer. Berbagai peluang usaha tumbuh dan dimanfaatkan oleh

masyarakat. Berbagai konskuensi dari kegiatan yang dilakukan oleh para pelaku

pariwisata di dalam kawasan, kebutuhan makan dan minum serta kebutuhan

lainnya dirasa sangat mendesak oleh para karyawan yang bekerja di berbagai

fasilitas pariwisata yang ada di sekitar area Pura Tirta Empul. Masyarakat lokal

membaca peluang yang ada, berbagai keputusan bisnis diambil, misalnya

membuka warung makan dan minum, menyediakan oleh-oleh sebagai

cenderamata, serta fasilitas-fasilitas lainnya yang dibutuhkan. Dalam hubungan ini

I Wayan Parsa Susila yang diwawancarai 11 April 2010 mengatakan :

”Pengembangan dan modifikasi Pura Tirta Empul yang dilakukan oleh masyarakat secara terus menerus memiliki tujuan untuk memperindah pura, di samping subakti kepada Ida Bhatara sebagai pralingganya. Kemudian pura yang tampak sekarang ini setidak-tidaknya dapat pula menarik

229

Page 230: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kunjungan para wisatawan. Dengan demikian denyut pariwisata akan terus berjalan, sehingga keuntungan ekonomi bisa di dapat. Keuntungan ekonomi itu tentulah berdampak positif terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di sini.

Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Pura Tirta Empul sebagai

produk kebanggaan masyarakat mempunyai peranan penting dalam rangka

peningkatan kesejahteraan masyarakat. Keberadaan tempat suci tersebut dewasa

ini telah dirasakan manfaatnya, terutama manfaat ekonomi sehingga masyarakat

berkewajiban memelihara dan melestarikannya.

Pemerintah Kabupaten Gianyar mendorong pembangunan kepariwisata-

an yang ditujukan untuk memperbesar penerimaan devisa, memperluas

kesempatan usaha dan lapangan kerja, serta mendorong pembangunan desa untuk

meningkatkan kemakmuran rakyat. Pembangunan pariwisata juga diarahkan

untuk mendorong pengembangan, pengenalan, dan pemasaran produk lokal.

Sejalan dengan pembangunan bidang ekonomi, pembangunan kebudayaan

diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan makna dalam segenap dimensi

kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan ditujukan untuk meningkatkan harkat dan

martabat manusia, jatidiri, dan kepribadian, mempertebal rasa harga diri, serta

memperkokoh jiwa persatuan sebagai pencerminan pembangunan yang

berbudaya. Dalam mengembangkan kebudayaan, perlu ditumbuhkan kemampuan

untuk mengembangkan nilai budaya daerah yang luhur dan beradab, serta

menyerap nilai budaya asing yang positif untuk memperkaya kebudayaan daerah

(Erawan, 1993 : 283).

Sejak tahun 1990-an telah terjadi perubahan penting dalam cara

memandang dan mendefinisikan kebudayaan, serta perubahan fungsi kebudayaan

230

Page 231: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dalam masyarakat kontemporer, terutama dalam statusnya sebagai komoditi.

Telah terjadi peralihan sejak tiga dasawarsa terakhir ini dari masyarakat industri

menuju masyarakat posindustri, dan dari kebudayaan modern menuju posmodern.

Peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat posindustri telah

mempengaruhi bagaimana makna-makna dimuati dalam objek-objek kebudayaan

dikomunikasikan melalui media massa. Objek-objek pada masyarakat masa lalu

dikaitkan dengan upacara-upacara, ritual, magis, mitos, atau pada masyarakat

industri dikaitkan dengan upaya-upaya kemajuan dan transformasi, kini pada

masyarakat konsumer didefinisikan kembali dengan kode-kode yang baru, dengan

bahasa estetik yang baru, dan dengan makna-makna yang baru (Piliang,

2003 : 62).

Masyarakat Desa Manukaya memiliki motivasi yang tinggi untuk

meningkatkan kesejahteraannya. Motivasi mengandung pengertian dorongan yang

selalu menginginkan yang lebih baik/banyak. Keinginan tersebut akan terus-

menerus dan baru berhenti jika akhir hayatnya tiba. Motivasi muncul karena

meningkatnya kebutuhan hidup. Terdapat beberapa faktor yang melandasi

terjadinya pergeseran kehidupan masyarakat dari cara hidup sederhana ke cara

hidup modern. Pergeseran cara hidup ditandai dengan perberdayaan berbagai

sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat Desa Manukaya termasuk Pura Tirta

Empul. Masyarakat telah merasakan dampak pariwisata dan terjadi interaksi yang

intensif antara masyarakat dan para pengunjung yang memiliki latar belakang

budaya yang berbeda. Nuansa kehidupan masyarakat lokal dengan budaya

masyarakat telah tumbuh.

231

Page 232: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Lubis (2004 : 3), modernitas adalah suatu bentuk pengalaman, suatu

peristiwa perubahan sejarah, sementara modernisme adalah peningkatan

kesadaran tentang aspirasi kemajuan. Modernitas identik dengan perubahan

kebudayaan yang sedang berkembang dan terkait dengan proses modernisasi. Pura

Tirta Empul dalam konteks modernisasi berperan penting untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat Desa Manukaya, baik kesejahteraan jasmani maupun

rohani.

Pura Tirta Empul merupakan produk budaya yang memiliki peran

penting dalam kehidupan masyarakat Manukaya. Tampilnya Pura Tirta Empul

dalam bentuk baru, bagi orang Manukaya merupakan suatu proses untuk

memelihara dan menunjukkan identitas kolektifnya serta menguatkan ikatan-

ikatan sosial dan budaya.

Identitas dibangun secara berkesinambungan, terus-menerus mengikuti

perubahan zaman. Dalam batasan tertentu, membicarakan identitas, erat

hubungannya dengan faktor ekonomi dan politik budaya serta praktik-praktik

sebagai penanda identitas budaya. Ada kekuatan politik dan ekonomi yang turut

memodifikasi Pura Tirta Empul sebagai konstruksi budaya. Keterlibatan

pemerintah dan masyarakat lokal serta kekuatan ekonomi politik lainnya,

menjadikan Pura Tirta Empul seperti dalam bentuknya yang sekarang.

Dampak pariwisata terhadap perekonomian masyarakat Desa Manukaya

sangat positif, baik dilihat dari peranannya terhadap penciptaan pendapatan bagi

masyarakat, penciptaan kesempatan kerja, sebagai sumber penghasil devisa, untuk

mendorong ekspor, khususnya barang-barang hasil industri kerajiinan, serta

232

Page 233: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

merubah struktur ekonomi masyarakat ke arah yang lebih seimbang. Banyak

konsepsi-konsepsi budaya masyarakat desa yang mampu untuk mendukung

pengembangan pariwisata budaya, dan ternyata pariwisata lebih berinteraksi

secara dinamis dengan kebudayaan lokal, baik secara horizontal maupun vertikal.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pariwisata dengan kebudayaan

mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat. Perkembangan pariwisata

pada dasarnya disebabkan oleh unik dan tingginya kebudayaan masyarakat daerah

tujuan wisata. Di lain pihak, dengan majunya pariwisata maka kebudayaan dapat

dilestarikan dan bahkan ditingkatkan.

Perkembangan kepariwisataan, khususnya pariwisata budaya Pura Tirta

Empul di Desa Manukaya, telah mengakibatkan meningkatnya perekonomian

masyarakat, yang berarti keadaan sosial ekonominya mengalami peningkatan. Hal

ini telah menyebabkan meningkatkan kemandirian perekonomian pedesaan, yang

pada akhirnya sudah barang tentu dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat

setempat. Berdasarkan uraian di atas, ternyata motivasi untuk meningkatkan

kesejahteraan merupakan bagian faktor internal yang menyebabkan terjadinya

komodifikasi Pura Tirta Empul.

6.2 Faktor Eksternal

Faktor eksternal dalam uraian subbab ini adalah faktor yang cenderung

kepada standarisasi budaya datang dari luar, yang mempengaruhi dan mendorong

terjadinya komodifikasi Pura Tirta Empul. Dalam hal ini faktor eksternal yang

mendorong terjadinya komodifikasi adalah pariwisata, kapitalisme dan industri

budaya, peranan media massa, dan hegemoni pemerintah. Perkembangan

233

Page 234: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pariwisata yang berawal pada tahun 1980-an membuka peluang secara sangat luas

dan beragam terkait dengan kemajuan ekonomi, iptek, politik, sosial, dan budaya.

Pariwisata membuka peluang ekonomi dan kesempatan kerja yang

berskala regional. Era informasi dan komunikasi membuka peluang dialog iptek,

serta peluang membangun relasi-relasi multietnis, multinasion secara global.

Budaya global dan budaya kapitalisme memainkan peranan penting dalam

menentukan eksistensi Pura Tirta Empul. Ada dua wajah berbeda yang

diperkenalkan globalisasi kebudayaan dalam sistem kapitalisme. Di satu sisi,

globalisasi mengarahkan semua kebudayaan pada pola kebudayaan yang seragam,

namun di sisi yang lain, globalisasi kebudayaan telah memunculkan resistensi dari

budaya-budaya lokal yang merasa resistensinya terancam oleh arus penyeragaman

tersebut. Kecenderungan ini membuat produk budaya lokal (baca Pura Tirta

Empul) menjadi ladang kontestasi bagi identitas-identitas kebudayaan untuk

mengekspresikan jati diri.

6.2.1 Pariwisata

Pariwisata mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap

komodifikasi, karena pariwisata meliputi berbagai kegiatan yang berhubungan

dengan wisata, pengusaha, daya tarik wisata, serta usaha lainnya yang terkait.

Pembangunan pariwisata pada hakikatnya merupakan upaya untuk

mengembangkan dan memanfaatkan daya tarik wisata yang berbentuk keindahan

alam, keragaman flora dan fauna, kemajemukan tradisi dan budaya, serta

peninggalan sejarah dan purbakala atau pusaka budaya. Pemaduan daya tarik

wisata dengan pengembangan usaha jasa dan sarana pariwisata, akan berfungsi

234

Page 235: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

meningkatkan daya tarik wisatawan maupun pengembangan obyek wisata baru

dan daya tariknya.

Pariwista atau etnoschapes adalah salah satu dimensi gerakan yang

dikemukakan oleh Appadurai dari lima dimensi gerakan globalisasi, yaitu

pergerakan manusia, baik untuk menetap maupun sebagai turis, dari satu tempat

ke tempat lain, dari suatu daerah ke daerah lain, atau dari suatu negara ke negara

lain. Kehadiran manusia sebagai individu atau berkelompok ke suatu tempat yang

dilakukan untuk sementara waktu, tidak untuk tujuan menetap dan mencari

pekerjaan, namun semata-mata sebagai konsumen untuk menikmati dan

memenuhi kebutuhannya, diartikan sebagai pariwisata (Ismayanti, 2010 : 3).

Pariwisata mempunyai sifat berlingkup global, berpengaruh luas

terhadap ekonomi dan sosial budaya. Dengan demikian, perencanaan dan

pembangunan pariwisata perlu dilakukan secara terpadu antara berbagai

komponen yang menentukan dan menunjang keberhasilannya, seperti daya tarik

wisata, akomodasi, transportasi, telekomunikasi, industri cenderamata, maupun

peranan swasta dan masyarakat. Semua itu perlu didukung oleh sumberdaya

manusia yang merupakan pelaku utama dalam pembangunan kepariwisataan.

Pura Tirta Empul dewasa ini, selain berfungsi sebagai tempat suci umat

Hindu, juga dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya melalui kebijakan

kepariwisataan. Pariwisata budaya menurut Sedyawati (2007 : 213) dapat dipilah

ke dalam tiga jenis menurut sasarannya, yaitu (1) kebudayaan yang hidup, (2)

warisan budaya masa lalu yang bersifat benda, dan (3) bentang alam budaya.

235

Page 236: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Tujuan wisata berupa kebudayaan yang hidup pada dasarnya diarahkan

kepada terjadinya suatu penghayatan pengalaman bagi para wisatawan, yang

seringkali merupakan sesuatu yang baru dan dirasakan unik. Daya tarik wisata

budaya jenis ini dapat berupa sajian kesenian, upacara keagamaan dengan

berbagai jenis persembahan, tata cara bersembahyang, dan lain-lain. Kebijakan

dalam hal ini adalah agar pada diri wisatawan tumbuh kesan yang dalam, serta

penghargaan yang baik terhadap kebudayaan yang dikunjunginya itu. Oleh karena

itu maka pemahaman nilai-nilai di balik semua ekspresi budaya yang ditampilkan

itu perlu dimiliki oleh para pemandu wisata, serta tertuang dalam bahan-bahan

informasi yang disediakan.

Jenis tujuan wisata budaya yang lain adalah warisan budaya masa lalu,

khususnya yang bersifat tangible. Inilah selanjutnya yang dapat dipilah ke dalam

struktur-struktur binaan yang “tak bergerak” (benteng, istana, candi, pura, dan

lain-lain), dan aneka benda “bergerak” yang dapat dipindah-pindahkan. Yang

disebutkan terakhir inilah yang dapat dijadikan koleksi dalam suatu museum,

meskipun mungkin pula bahwa bangunan museumnya sendiri adalah juga sebuah

warisan budaya.

Sementara itu, kunjungan untuk menikmati suatu bentang alam budaya

adalah bagian dari wisata budaya yang mempunyai komponen penyerapan

kekhasan alam yang kuat. Objeknya adalah bentang alam, namun makna dari

bentang alam tersebut adalah makna budaya. Sebagai contoh dapat disebutkan

teras-teras persawahan yang indah dan mengesankan di suatu daerah

pegunungan. Sawah itu sendiri adalah suatu hasil budaya, termasuk teknologi

236

Page 237: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

pembuatan teras serta pengairannya, dan juga tahap-tahap pengerjaannya. Dalam

hal ini wisatawan akan memperoleh kesan yang mendalam, lebih-lebih dapat

dijelaskan mengenai teknologi beserta adat istiadat yang berkaitan dengan

pengerjaan sawah tersebut.

Pusaka budaya Pura Tirta Empul sesungguhnya telah memiliki ketiga

kriteria wisata budaya tersebut, sehingga menarik untuk dikunjungi. Wisatawan

secara umum bertujuan berlibur, memanfaatkan waktu untuk mendapatkan

kesenangan. Dalam upaya memenuhi kepuasan wisatawan untuk menikmati

produk pariwisata budaya, sangat diperlukan tenaga profesional yang dapat

memberikan informasi yang akurat dan menarik kepada wisatawan. Para pemandu

wisata harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang budaya Bali, baik

mengenai budaya fisik maupun nonfisik.

Di samping pariwisata dengan tujuan umum, terdapat apa yang

dinamakan “pariwisata minat khusus”. Pariwisata jenis ini objeknya bisa alam dan

bisa pula budaya. Dalam wisata minat khusus ini terdapat varian antara yang

“pasif” dan yang “aktif” (Sedyawati, 2008 : 67). Untuk yang pasif, wisatawan

hanya menerima sajian, dalam arti menikmati suatu lingkungan alam yang

mengagumkan atau menyaksikan produk-produk budaya yang khas dan mungkin

langka seperti upacara keagamaan. Untuk yang aktif, wisatawan melakukan suatu

kegiatan yang terkait dengan objeknya, seperti misalnya “ikut melukat berpakaian

adat Bali” di kolam kompleks Pura Tirta Empul untuk mendapatkan suatu

pengalaman budaya. Ternyata banyak wisatawan mancanegara yang melakukan

237

Page 238: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kegiatan melukat atau melihat aktivitas-aktivitas keagamaan di halaman dalam

Pura Tirta Empul (lihat Gambar 6.3) di bawah ini.

Pariwisata sebagai sebuah upaya yang sengaja, bertujuan untuk

mendapatkan suatu pengalaman khusus di tempat lain, di luar kawasan hunian

para wisatawan, untuk kemudian kembali pulang, adalah suatu konsep yang

pertama kali muncul di kalangan orang-orang Barat. Hal ini dapat dilihat sebagai

suatu kelanjutan yang lebih “lunak” dari semangat eksplorasi, yang pada

gilirannya beberapa abad yang lalu telah membuahkan kolonisasi dan

imperialisme oleh bangsa-bangsa Barat. Kini pariwisata telah menjadi kegiatan

umum yang dikenal dan dijalankan di hampir semua negara yang ada di dunia ini.

Jenis kegiatan ini pun telah berkembang dalam suatu jaringan kerjasama lintas

bangsa dengan dilandasi azas saling menguntungkan.

Gambar 6.3 Wisatawan asing dengan sangat leluasa melakukan apa saja di halaman dalam pura.(Dok. Setiawan, 2010)

238

Page 239: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali, termasuk Pura Tirta

Empul tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global. Dikatakan

demikian, karena sejak dua dekade terakhir ini di Eropa mulai digalahkan

kembali pariwisata budaya (cultural tourism) (Ardika, 2004 : 23). Komponen

budaya dianggap sebagai produk dikemas sedemikian rupa untuk dikonsumsi oleh

para wisatawan. Daya tarik wisata budaya Pura Tirta Empul yang mendapat

banyak kunjungan wisatawan tidak jarang dikemas dalam bentuk tampilan untuk

turis dengan maksud agar menjadi lebih menarik. Berbagai komponen produk

wisata seperti taman, bangunan suci, kolam pemandian ditata sedemikian rupa,

dimodifikasi, diperbaharui, demi menambah daya tarik untuk menarik kunjungan

wisatawan. Dalam konteks ini, komodifikasi budaya tidak dapat dihindari. Dalam

hal inilah seringkali terdapat kesenjangan selera antara kalangan budaya dan

kalangan industri pariwisata. Kompromi-kompromi sering kali harus diambil.

Namun yang memerlukan kehati-hatian lebih besar adalah dalam mengemas

sajian-sajian yang bermakna relegi bagi masyarakat pemiliknya.

Dalam tiga dasa warsa terakhir terdapat perubahan yang sangat jelas

terhadap masyarakat Bali. Masyarakat mengalami lompatan yang sangat

signifikan di bidang ekonomi akibat perkembangan pariwisata. Dalam kaitannya

dengan lompatan itu, Sutawan (2002 : 216) mengungkapkan :

“Dalam kurun waktu antara tahun 1970-2000 telah terjadi perubahan struktur yang sangat mendasar dalam perekonomian Daerah Bali. Secara relatif peranan sektor pertanian (sektor primer) telah menurun cukup drastis terhadap PDRB Bali. Sebaliknya, sektor industri (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) kontribusinya terhadap PDRB meningkat pesat. Dilihat dari sumbangannya terhadap PDRB, maka struktur perekonmian Bali didominasi oleh sektor jasa karena peranan industri pariwisata. Keadaan ini

239

Page 240: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mencerminkan bahwa masyarakat Bali telah berada di ambang pintu masyarakat industri dan sekaligus jasa. Dengan kata lain, masyarakat Bali telah berada dalam keadaan transisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri jasa”.

Pariwisata sebagai salah satu jenis industri baru mampu menghasilkan

pertumbuhan ekonomi yang lebih baik, dapat menyediakan lapangan pekerjaan,

meningkatkan penghasilan dan standar hidup, serta dapat mendorong timbulnya

bidang-bidang kegiatan baru atau menstimulasi sektor-sektor produktivitas

lainnya. Kondisi itu dapat dilihat di sekitar area Pura Tirta Empul, secara otomatis

bermunculan usaha-usaha baru yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Hal

itu dapat dilihat antara lain pada maraknya perkembangan berbagai macam

kerajinan tangan, baik secara kuantitas, kualitas, variasi, dan gayanya.

Adapun kesenian-kesenian yang terdorong berkembang pesat seirama

dengan pesatnya perkembangan kepariwisataan antara lain seni lukis, seni patung,

seni ukir, dan lain sebagainya. Jika sebelumnya seni lukis, seni pahat, seni ukir,

hanya dibuat di pura dan puri, dewasa ini penduduk biasa pun mampu

memperindah rumah tinggalnya dengan seni-seni tersebut. Fakta yang terjadi

dalam pengembangan pariwisata memang identik dengan pengembangan budaya.

Oleh karena itu, dengan sifat budaya yang dinamis terhadap pengaruh luar yang

berboncengan dengan pariwisata, maka tidak bisa dihindari budaya telah

mengalami perubahan atau pergeseran. Kendatipun sesungguhnya kebudayaan di

mana pun di dunia ini sulit menghindari perubahan, lebih-lebih di era globalisasi

dewasa ini.

Perubahan hampir terjadi dalam segala hal. Hanya melalui perubahan

sesuatu itu menjadi kelihatan maju atau mundur, termasuk kebudayaan. Begitu

240

Page 241: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

juga halnya dengan produk budaya Pura Tirta Empul tidak bisa terhindar dari

perubahan atau pergeseran. Tidak ada kebudayaan yang terhindar dari perubahan

dalam kurun waktu tertentu (Bagus, 1989 : 27). Perubahan tidak dapat dibendung

dengan kekuatan apa pun. Hal yang harus dilakukan adalah tidak lain menerima

perubahan itu, selanjutnya dikelola secara sistematis dan cermat sehingga pada

akhirnya perubahan itu justru dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan

melibatkan masyarakat, sehingga membawa berbagai dampak terhadap

masyarakat setempat. Terlebih lagi, kalau yang dikembangkan adalah pariwisata

budaya. Pariwisata budaya pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk industri

budaya, karena dalam sistem pariwisata budaya ada proses produksi, distribusi,

presentasi, dan konsumsi. Pariwisata budaya merupakan salah satu bentuk

“pemanfaatan” berbagai aspek kebudayaan secara massal.

Sebagai sebuah kegiatan ekonomi, aspek pariwisata tidak terelakkan lagi

sebagai bagian dari suatu proses komodifikasi yang mulanya bersifat kontemporer

lalu menjadi semakin permanen. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam industri

pariwisata memunculkan etos kapitalisme yang secara terselubung terdapat

hegemoni yang halus, tak terasa, dan karenanya mendapat persetujuan.

Pura Tirta Empul sebagai tempat suci umat Hindu di Desa Manukaya

memperlihatkan segala dan fenomena yang terkomodifikasi ke arah wujud yang

baru, sebagai alat politik, ekonomi, aset pariwisata, hiburan yang semuanya telah

ke luar dari sifat ketradisian. Selera pasar turut menentukan arah komodifikasi

dalam berbagai wujudnya dengan tujuan menjadikan Pura Tirta Empul sebagai

241

Page 242: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

alat komoditas untuk dijual, di mana obyek, kualitas, dan tanda diubah untuk

dijadikan komoditas yang tujuan utamanya adalah selera pasar.

Pura Tirta Empul pada awalnya bukan produk budaya yang diciptakan

untuk tujuan komersial. Namun pada masa kini Pura Tirta Empul mengalami

komodifikasi karena diciptakan untuk dijadikan barang dan jasa dalam rangka

memenuhi selera pasar. Kepentingan kapitalis menjadikan Pura Tirta Empul

sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Di masa lampau peran Pura Tirta Empul

sangat besar dalam berbagai aktivitas kehidupan keagamaan. Fenomena budaya

Pura Tirta Empul dewasa ini mengalami perubahan dan degradasi pemaknaannya

bagi masyarakat pendukungnya. Perubahan Pura Tirta Empul sebagai akibat

pengaruh pariwisata global memang sudah dan sedang berlangsung seperti adanya

perubahan dari sakral ke profan dari ritual ke teatrikal, dan dari ekspresi

seremonial ke limitasi waktu temporal. Akibatnya, memudarnya nilai-nilai sakral

sebagai dampak modernisasi dan globalisasi.

Kegiatan pariwisata ada karena para wisatawan. Mereka datang dengan

waktu yang tidak terlalu lama, dan dengan biaya yang serendah-rendahnya. Hal

seperti itu oleh industri pariwisata diterjemahkan dengan ekonomi juga, yakni

produk Pura Tirta Empul dijadikan paket wisata yang tidak terlalu lama dan

dengan biaya yang dapat dijangkau wisatawan. Industri pariwisata menjadikan

Pura Tirta Empul sebagai produk komoditas belaka dan komoditinya sebenarnya

adalah ”kreativitas individu atau kelompok”. Padahal jika ditarik latar sejarahnya,

hakikat Pura Tirta Empul adalah produk budaya komunal yang di dalamnya

kebersamaan, kerjasama, dan persatuan menjadi landasan hidup manusia

242

Page 243: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Manukaya. Oleh karena pasar industri pariwisata, justru yang berkembang adalah

kreativitas individual untuk kebutuhan memenuhi industri wisata. Fungsi Pura

Tirta Empul pun bergeser dari fungsi ritual melebar konteksnya menjadi nonritual

yang komersial dan terkomodifikasi.

Komodifikasi Pura Tirta Empul adalah komersialisasi dan mengarah

pada produk budaya massa (lihat Gambar 6.4). Dalam praktik kehidupan manusia

sehari-hari di zaman kontemporer ini, indoktrinasi perekayasaan industri budaya

menjadi tuntutan manusia. Oleh Berthes (2006 : viii) berbagai produk budaya

populer sesungguhnya tidak lebih dari sekedar mitos, metorika, ideologi, yang

menjelma dalam masyarakat komunikasi. Budaya populer adalah budaya massa

yang dihasilkan oleh industri budaya yang mengamankan stabilitas maupun

kesinambungan kapitalisme. Pura Tirta Empul telah mengalami proses perubahan

yang relatif sangat panjang dan terbuai mengikuti arus globalisasi dengan bentuk

dan wujud yang beraneka rupa (komodifikasi) ke konsumsi massa (pasar), yang

nilainya menjadi diskursus bagi masyarakat Manukaya.

Komodifikasi kebudayaan yang disebabkan oleh industri pariwisata telah

terjadi dan sedang berlangsung di Manukaya. Komodifikasi kebudayaan adalah

proses mengemas dan menjual objek-objek kebudayaan termasuk Pura Tirta

Empul. Proses ini termasuk dalam menetapkan sebuah nilai moneter, segala

sesuatu diukur dengan nilai uang terhadap berbagai aspek kehidupan manusia,

yang sebelumnya memiliki nilai yang berbeda, terlepas dari konsep pasar,

khususnya pasar pariwisata.

243

Page 244: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 6.4 Suasana Kunjungan Wisatawan asing di Pura Tirta Empul sebagai wujud komersialisasi tempat suci.(Dok. Setiawan, 2010)

Gambar di atas adalah realitas sehari-hari di Pura Tirta Empul. Mereka

dengan menyewa kain dan selendang dapat dengan bebas memasuki tempat suci

dan berkeliling sepuasnya. Praktik-praktik pemaknaan tradisi ini pun menjadi

kontestasi makna yang beragam untuk pelestarian dengan dikotomi filosofi

kesakralan atau mengejar nilai dolar dan kepopuleran. Semua itu terpusat pada

akhlak representasi manusia yang memandang Pura Tirta Empul sebagai

representasi diri yang telah diobok-obok oleh kapitalisme yang mengikuti selera

pasar.

Dalam konteks sosial kekinian Pura Tirta Empul memiliki stereotip baru,

baik dalam pandangan manusia di Desa Manukaya sendiri maupun masyarakat

lain yang peduli dengan kelenyapan suatu tradisi. Identitas suatu masyarakat

244

Page 245: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dipresentasikan melalui banyak cara, salah satu diantaranya adalah melalui

representasi pusaka budaya Pura Tirta Empul untuk memperkenalkan dan

mempertahankan identitasnya.

Pura Tirta Empul sebagai salah satu produk budaya dibangun dalam

proses akumulasi sejarah dan budaya dengan pijakan berbagai representasi

masyarakat Desa Manukaya sebagai pemilik budaya. Pura Tirta Empul sebagai

representasi masyarakat telah dikomodifikasi sesuai dengan konstruksi yang

dibangun sendiri untuk kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya sebagai

ideologi baru. Dengan semangat kapitalisme, Pura Tirta Empul telah menjadi

komoditas produk yang diupayakan untuk mengikuti selera pasar.

6.2.2 Kapitalisme dan Industri Budaya

Uraian pada bagian ini difokuskan pada pembahasan mengenai

kapitalisme dan industri budaya sebagai faktor pendorong eksternal komodifikasi

Pura Tirta Empul. Kapitalisme adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun

berdasarkan suatu keyakinan dan memberikan kepercayaan penuh pada

mekanisme pasar dalam menentukan arah pertumbuhan (Piliang : 2004 : 364).

Salah satu bentuk utama dari mekanisme pasar adalah bahwa agar pertumbuhan

tetap berlangsung, maka di satu pihak, industri harus tetap berproduksi, di lain

pihak, orang harus tetap terus mengkonsumsi. Dengan kata lain, agar tetap hidup

kapitalisme harus memproduksi konsumsi itu sendiri.

Kapitalisme dibangun di atas dasar prinsip persaingan dalam usaha

menguasai pasar, kehendak mendominasi pihak lain untuk mendapat keunggulan

kapital sebesar-besarnya. Kehendak untuk mendominasi kapital tanpa batas, telah

245

Page 246: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mendorong diterapkannya berbagai strategi dalam menarik konsumen untuk

mengkonsumsi dengan pola tertentu, yang dikaitkan dengan gaya hidup.

Kapitalisme dalam bentuknya dewasa ini telah membuka peluang bagi

berkembangnya berbagai logika baru kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Di

antara logika-logika tersebut adalah logika tanda, logika citra, dan logika gaya

hidup (Piliang, 2004 : 366).

Kapitalisme telah menjadi kekuatan yang paling penting dewasa ini,

yang tidak hanya mampu menata dunia menjadi satu tatanan global, tetapi juga

mengubah tatanan masyarakat menjadi sistem yang bertumpu pada perbedaan-

perbedaan yang mengarah pada pembentukan status dan kelas dengan orientasi

tertentu. Setiap praktik sosial kemudian menjadi bagian dari politik identitas

dalam rangka memposisikan sosial individu dalam prinsip-prinsip baru yang

mengarah pada kelimpahruahan materi. Kapitalisme kemudian menggiring

masyarakat ke arah krisis spiritual dan krisisi moral, dan sebaliknya berperan

besar dalam menanamkan ideologi materialisme.

Di dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi

dijadikan komoditi untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan.

Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai guna (use

value), tapi untuk mencari nilai tukar (exchange value). Proses komodifikasi,

yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang memiliki nilai tukar,

merupakan bentuk nyata kapitalisme (Piliang, 1999 : 34). Komodifikasi tidak saja

menunjuk pada barang-barang kebutuhan konsumen, tetapi telah merambah pada

bidang kebudayaan. Apa yang dilakukan masyarakat kapitalisme pada

246

Page 247: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kebudayaan adalah menjadikannya ”patuh” pada hukum komoditi kapitalisme.

Masyarakat seperti itu akan menghasilkan industri budaya, suatu bentuk

kebudayaan yang ditujukan untuk massa dan produksinya berdasarkan pada

mekanisme kekuasaan produsen dalam menentukan bentuk gaya, dan maknanya.

Industri budaya digerakkan oleh penguasa ekonomi atau kapitalisme,

sebagai suatu sistem yang memproduksi komoditas-komoditas, dan secara natural

menciptakan komoditas adalah inti dari ideologi kapitalisme.

”Pura Tirta Empul pada awalnya diproduksi untuk kepentingan keagamaan oleh masyarakat yang mempunyai kepedulian terhadap pura tersebut. Dalam perkembangannya, terutama sejak tahun 1980-an sampai sekarang akibat dampak pariwisata, Pura Tirta Empul selain sebagai tempat suci, juga dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata (Nyoman Negara, wawancara 28 April 2010).

Penjelasan di atas memberi informasi bahwa selain sebagai tempat suci

yang sudah ada sejak lama, Pura Tirta Empul belakangan diproduksi secara

profesional dan dijadikan objek pengumpulan modal dan mendatangkan

keuntungan melalui penampilan yang indah dan menarik. Pura Tirta Empul ditata

dan dikemas sedemikian rupa sehingga mampu menjadi daya tarik, sekaligus

menjadi modal ekonomi potensial bagi masyarakat Desa Manukaya.

Di lain pihak, pola-pola kehidupan sosial dan kultural sehari-hari

masyarakat Manukaya memperlihatkan berbagai pengaruh yang amat kuat dari

apa yang disebut sebagai pola-pola kehidupan masyarakat global (global society)

dan budaya global (global culture) lewat berbagai teknologi (teknologi informasi,

telekomunikasi, televisi, internet), berbagai agen (kapitalis, produser), dan

berbagai produk (barang, tontonan, hiburan) budaya global yang terus menerus

menerpa dan mempengaruhi masyarakat. Sebagian masyarakat telah menerima

247

Page 248: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

berbagai perubahan cara hidup, gaya hidup, bahkan pandangan hidup. Keadaan

seperti itu ternyata telah mengancam eksistensi berbagai bentuk warisan adat,

kebiasaan, nilai-nilai, identitas, dan simbol-simbol yang berasal dari budaya lokal.

Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa Pura Tirta Empul sudah

menjadi budaya populer. Dalam masyarakat kontemporer, modus praktik-praktik

budaya kepada pengalihan nilai-nilai orientasi budaya dari yang sakral-religius

kepada sifat profan, materialis, sedang berlangsung sebagai bentuk perkembangan

ekonomi industri kapitalisme lanjut. Perkembangan masyarakat seperti itu

menurut Piliang (2004 : 251), tidak dapat dipisahkan dari perkembangan

masyarakat konsumer, yaitu suatu kehidupan masyarakat yang menunjuk pada

suatu kondisi sosial yang di dalamnya konsumsi menjadi titik sentral kehidupan.

Salah satu ciri masyarakat postmodern adalah erat kaitannya dengan

masyarakat konsumer dan tidak bisa dipisahkan dengan praktik-pratik budaya

kapitalisme. Praktik-praktik budaya kapitalisme dengan industri budayanya

memerlukan eksploitasi sumber, seperti sumberdaya manusia, sumberdaya alam,

termasuk sumber-sumber budaya yang dalam konteks penelitian ini adalah Pura

Tirta Empul. Eksploitasi yang dilakukan secara terus-menerus terhadap

sumberdaya dengan tujuan mencari keuntungan modal akan mengakibatkan

menurun atau dangkalnya nilai budaya dari produk budaya tersebut.

Sebagai suatu produk budaya masyarakat, Pura Tirta Empul diciptakan

dalam suatu proses pengalaman berbudaya yang sangat panjang, baik secara

individual maupun secara berkelompok. Produk budaya Pura Tirta Empul setelah

tahun 1990-an diproduksi untuk tujuan komersial sebagaimana yang terjadi dalam

248

Page 249: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

proses produksi industri budaya kapitalisme, yakni untuk mencari keuntungan

sebanyak-banyaknya bagi kelangsungan suatu produk.

Produk budaya apa pun yang dihasilkan oleh industri budaya telah diciptakan sedemikian rupa untuk memenuhi selera dan kecenderungan massa. Salah satu strateginya adalah menjadikan suatu produk memiliki daya pesona, sehingga mampu mendominasi azas pertukaran nilai tukar suatu produk dengan konsep fetisisme komoditas (Strinati, 2007 : 68-69).

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa tidak bisa dihindari pusaka

budaya Pura Tirta Empul telah dijadikan sebagai salah satu produk fetisisme

komoditas yang memiliki daya pesona konsumsi massa yang disejajarkan dengan

produk-produk budaya lainnya, misalnya makanan tradisional, arsitektur,

kesenian, dan lain-lain. Industri budaya sebagai agen utama produksi kapitalisme

bersama-sama dengan agen-agen distribusinya, cenderung membuat Pura Tirta

Empul sebagai bagian dari komoditas dengan berbagai bentuk komodifikasi.

Adapun bentuk-bentuk komodifikasi yang dihasilkan dari proses

distribusi melalui industri budaya disesuaikan dengan nilai pasaran, artinya sifat

dan berbagai bentuk produk budaya ditentukan oleh motif keuntungan. Apabila

suatu produk budaya memiliki nilai pasar maka komodifikasi bentuk akan

mengalami proses standarisasi, artinya produk budaya tersebut mendapatkan

bentuknya yang sama pada semua komoditas (Strinati, 2007 : 70). Jaringan modal

kuasa melalui agen distribusi menjadikan Pura Tirta Empul distandarisasi dan

masyarakat pemilik dan pendukung budaya tidak menyadari bahwa mereka dalam

naungan dominasi kuasa kapitalisme.

Fenomena standarisasi dalam Pura Tirta Empul bukanlah hal yang baru.

Hal itu dikondisikan oleh modal kuasa dan modal finansial, kapitalisme dengan

249

Page 250: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

modal ekonominya, atau pemerintah dengan hegemoninya. Jaringan modal kuasa

melalui agen distribusi menjadikan Pura Tirta Empul distandarisasi dan

masyarakat pemilik atau pendukung budaya tidak menyadari bahwa mereka

dalam bayangan dominasi kuasa kapitalisme.

6.2.3 Peran Media Massa

Media massa mempunyai peran penting dalam proses komodifikasi Pura

Tirta Empul. Melalui media massa Pura Tirta Empul dikomodifikasi sehingga

menjadi budaya populer. Media, dalam hal ini media massa, di satu sisi

merupakan salah satu hasil budaya dan di sisi lain juga merupakan alat atau sarana

proses pembudayaan bagi masyarakat luas. Dengan perkataan lain, media sebagai

wahana bagi berbagai macam pesan, termasuk pesan nilai-nilai budaya

(Sedyawati, 2008 : 126).

Adapun sebagai wahana penyampaian pesan, media massa mempunyai

kekuatan tersendiri karena daya pengaruhnya yang besar terhadap khalayak ramai.

Media massa adalah sarana pembudayaan (proses penanaman nilai-nilai budaya)

yang efektif, ia sama kuat, atau bahkan lebih kuat daripada pendidikan formal

sebagai sarana pembudayaan.

Di dalam perkembangan media mutakhir, setidak-tidaknya ada dua

kepentingan utama di balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economie interest)

dan kepentingan kekuasaan (power interest). Kuatnya kepentingan ekonomi dan

kekuasaan politik menjadikan media tidak netral, jujur, adil, dan objektif.

Akibatnya, informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan

objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Di satu pihak, ketika

250

Page 251: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

ranah publik dikuasai oleh politik informasi (politics of information) yang

menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi

perpanjangan tangan penguasa dengan menguasai ruang publik tersebut. Di pihak

lain, ketika media dikuasai oleh ekonomi politik informasi (political-economy of

information), informasi menjadi alat kepentingan mencari keuntungan yang

sebesar-besarnya dengan cara mengeksploitasi publik sebagai satu prinsip dasar

dari kapitalisme (Piliang, 2009 : 134).

Era globalisasi menempatkan media sebagai salah satu faktor

komodifikasi yang penting dalam dimensi perubahan sosial budaya. Melalui

media, banyak imaji, opini tentang dunia dapat diciptakannnya. Media dapat

diartikan sebagai suatu institusi yang kompleks, multidimensional yang

melahirkan banyak relasi, dan segala sesuatu yang dapat dijadikan agen publikasi,

baik secara visual maupun secara tertulis.

Gambar 6.5 Pura Tirta Empul dalam Harian Bali Post (Sumber Bali Post 21 Juli 2008)

251

Page 252: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 6.5 menunjukkan bangunan produk budaya Pura Tirta Empul

menjadi ajang promosi melalui media massa. Media berperan penting dalam

mengantarkan produk budaya dalam sistem ekonomi kapitalisme. Media dengan

multimedianya sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari manusia. Dalam

perkembangannya dewasa ini, media tidak hanya diartikan secara sempit, tetapi

telah berkembang maju sebagai ruang publik, yang setiap saat dikonsumsi dan

menggiring manusia menciptakan berbagai imajinasi dan opini.

Sebagai bagian dari kehidupan manusia, media sangat mempengaruhi

pola pikir manusia. Media massa sebagai bagian dari ruang publik yang di

dalamnya bahasa dan simbol-simbol diproduksi dan disebarluaskan bukanlah

sebuah hegemoni. Media massa membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya

perang bahasa atau perang simbol untuk memperebutkan penerimaan publik atas

gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dalam upaya memperebutkan

penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai

peranan penting. Bahwa makna (meaning) dan nilai (value) dominan yang

dihasilkan lewat media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial

(Ritzer dan Goodman, 2007 : 599).

Dalam proses komodifikasi Pura Tirta Empul, media menempatkan

dirinya sebagai agen pemegang kekuasaan distribusi. Tawaran-tawaran media

menjadikan suatu produk budaya sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.

Tanpa disadari, media telah menggiring manusia menjadi konsumen yang

diselaraskan dengan ideologi melalui suatu budaya hiburan. Media memediasi

252

Page 253: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

budaya menjadi budaya instan demi kepentingan bisnis atau kepentingan

komersial.

Sementara itu, politik media sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari

beberapa konsep dasar ideologi yang berkaitan dengan media, terutama konsep

hegemoni. Hegemoni, dalam pengertian tradisionalnya diartikan sebagai sistem

kekuasaan atau dominasi politik. Istilah tersebut dalam tradisi Marxisme diperluas

ke arah pengertian hubungan kekuasaan di antara kelas-kelas sosial, khususnya

kelas berkuasa.

Gambar 6.6 Pemasaran Pura Tirta Empul melalui Brosur(Sumber Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2009)

Gambar 6.6 menunjukkan bagaimana ideologi media meng-

komodifikasikan Pura Tirta Empul, dan hal tersebut semata-mata memberi kesan

hanya untuk kepentingan komersial. Media massa modern dewasa ini merupakan

253

Page 254: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

suatu makanan sehari-hari bagi siapa saja, tidak terbatas pada kaum elite, kaya,

atau kaum penguasa. Karena perangkatnya yang multi-lambang, maka yang dapat

disampaikannya pun bukan hanya signal-signal, tetapi dapat menyampaikan

pesan dalam berbagai gradasi seperti pemberitahuan, pendalaman pengetahuan,

anjuran, bujukan, peringatan, kritik, ancaman, dan lain-lain. Kalangan pengisi

utama dari media massa adalah kelompok manusia yang sesungguhnya sangat

berkuasa dalam pembentukan pendapat umum, sikap-sikap dalam kehidupan, dan

nilai-nilai budaya. Oleh keluasan jangkauannya inilah maka dapat ditekankan

bahwa media massa mempunyai peran yang sangat besar dalam proses

pembentukan kebudayaan suatu bangsa.

Antonio Gramsci, seorang pemikir Italia, mengembangkan pengertian

hegemoni secara lebih luas, sehingga tidak hanya digunakan untuk menjelaskan

relasi antarkelas, akan tetapi relasi-relasi sosial yang lebih luas, termasuk relasi

komunikasi dan media lewat penerimaan publik (public consent). Pembentukan

opini publik merupakan hal yang sangat sentral dalam prinsip hegemoni.

Dalam upaya memperebutkan penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai peranan yang sangat penting di dalam prinsip hegemoni. Makna dan nilai-nilai dominan yang dihasilkannya (lewat berbagai media), sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial itu sendiri. Meskipun demikian, di dalam prinsip hegemoni, bahasa, makna, dan nilai-nilai dominan tidak pernah berada dalam kondisi stabil. Ia selalu dipertanyakan, digugat, ditantang, dan dilawan lewat berbagai bentuk perjuangan politik pertandaan (politics of signification) (Piliang, 2009 : 136).

Berdasarkan pemahaman konsep hegemoni tersebut di atas, maka media

massa membentuk sebuah ruang untuk memperebutkan hegemoni dalam sebuah

proses persaingan yang demokratis. Artinya, media mempunyai tugas untuk

254

Page 255: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

selalu menyerap berbagai kepentingan dan ideologi lain yang ada dalam

masyarakat, agar ia mendapatkan penerimaan publik yang lebih luas. Pemaksaan

dan rekayasa di dalam media seringkali berlangsung secara halus dan tidak

tampak, sehingga tidak disadari sebagai suatu pemaksaan atau rekayasa. Artinya,

semuanya berlangsung tanpa disadari oleh orang yang menerimanya.

Melalui promosi iklan, media massa mampu menjadi industri yang tidak

hanya memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi, tetapi juga

menghidupkan logika industri budaya kapitalisme. Melalui iklan, media massa

memoles produk budaya Pura Tirta Empul menjadi produk hiburan massa yang

sesuai dengan keinginan citra rasa masyarakat. Inilah cara media mendorong dan

menciptakan pasar untuk mencari keuntungan. Media massa berperan besar

menjadikan produk budaya Pura Tirta Empul yang sebelumnya bukan barang

komoditi menjadi komoditas yang mendatangkan keuntungan ekonomi. Berikut

diberikan contoh bagaimana Pura Tirta Empul di Desa Manukaya dimediakan

seperti (Gambar 6.7 dan 6.8) di bawah ini.

Gambar 6.7 Promosi Pura Tirta Empul Lewat Brosur(Sumber : Dinas Pariwisata Kabupaten Gianyar, 2010)

255

Page 256: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 6.8 Promosi Pura Tirta Empul Lewat Tayangan TV One dalam acara ”Riwayatmoe Doeloe” 30 Mei 2010, dan 6 Juni 2010.

6.2.4 Hegemoni Pemerintah

Hegemoni pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten

Gianyar dalam upaya pengembangan pariwisata mendorong komodifikasi Pura

Tirta Empul. Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam upaya pengembangan

pariwisata berhasil dibungkus oleh hegemoni melalui diskursus yang segera

mendapat persetujuan masyarakat setempat. Janji pemberdayaan ditebarkan dalam

diskursus tersebut, seperti membuka lapangan kerja, kesempatan berusaha, yang

akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat.

Satu hal pada era reformasi yang menyebabkan sebuah kabupaten

mengalami objektivikasi pembangunan yang berlebihan adalah upaya kabupaten

itu sendiri untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang berlindung

256

Page 257: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dibalik gerakan otonomi daerah. Era reformasi sebagai dekonstruksi terhadap

Orde Baru yang sentralistik, ternyata tidak selalu menyediakan dampak positif.

Semua itu berawal dari terbitnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah (saat ini menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004),

dengan otonomi daerah yang berlangsung di setiap kabupaten/kota Indonesia.

Pada masa reformasi seperti dewasa ini terdapat kecenderungan justru pemerintah

kabupaten yang menjual aset-aset yang dimilikinya. Akibatnya, budaya dan

pusaka budaya juga dilihat bagai aset, yaitu bagaimana caranya agar budaya dan

tinggalan budaya yang ada dapat mendatangkan uang untuk meningkatkan PAD.

Proses modernisasi melalui pembangunan yang kapitalistis dapat

menyebabkan komodifikasi. Menurut Marx dan Simmel (Turner, 1992 : 115-118),

akibat dari ekonomi uang yang berdasarkan atas spirit menciptakan keuntungan

sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya komodifikasi di berbagai sektor

kehidupan. Pura Tirta Empul dikomodifikasi oleh pemiliknya dan Pemerintah

Kabupaten Gianyar untuk dijadikan komoditas. Agar terjadi monetisasi, yakni

proses untuk mendatangkan uang, apa pun aset kabupaten “dijual”, termasuk

bangunan bersejarah Pura Tirta Empul, yang tidak lain merupakan bukti sejarah,

identitas, dan kebanggaan masyarakat Desa Manukaya. Pembangunan dijadikan

kesempatan oleh Pemerintah Kabupaten Gianyar untuk memperoleh uang

sebanyak-banyaknya. Pembangunan direduksi menjadi sekadar pembangunan

ekonomi dengan cara memanfaatkan produk budaya dalam pengembangan

pariwisata.

257

Page 258: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dengan mengikuti gagasan Gramsci dalam hubungan yang hegemonik,

kelompok berkuasa dalam hal ini Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar melalui

Dinas Pariwisata Daerah Kabupaten Gianyar mendapat persetujuan kelompok

subordinat dalam hal ini masyarakat Desa Adat Manukaya atas subordinasinya.

Kelompok berkuasa yakni Pemda Gianyar tidak ditentang oleh kelompok yang

dikuasai yakni masyarakat Desa Adat Manukaya, karena ideologi, kultur, nilai-

nilai, dan politiknya sudah diinternalisasikan sebagai kepunyaan sendiri oleh

kelompok subordinat. Begitu konsensus didapat, maka ideologi, kultur, nilai-nilai,

norma-norma, dan politik akan terlihat semakin wajar dan terlegitimasi sehingga

penggunaan dominasi oleh Pemda Gianyar terhadap masyarakat Desa Adat

Manukaya menjadi tidak penting lagi.

”Hegemoni satu kelompok atas kelompok lainnya dalam pengertian Gramsci bukanlah sesuatu yang dipaksakan. Hegemoni harus diraih melalui upaya-upaya politis, kultural dan intelektual guna menciptakan pandangan yang sama bagi seluruh masyarakat. Ini berarti kelompok penguasa harus menguniversalkan pandangan dan kepentingannya serta harus memastikan bahwa pandangan dan kepentingan itu tidak hanya bisa tetapi juga harus menjadi pandangan dan kepentingan kelompok subordinat (Sugiono, 1999 : 41-42)”.

Upaya-upaya pemerintah mendapat dukungan dari masyarakat untuk

pengembangan pariwisata merupakan salah satu faktor penting dalam

komodifikasi Pura Tirta Empul. Secara teoretis, komodifikasi yang telah

merambah pariwisata sedemikian intens di antaranya dijelaskan oleh Watson

(1994 : 263) dan Darmadi (2006 : 18). Dalam konteks penelitian ini, Pura Tirta

Empul sebagai bangunan bersejarah dan bernilai arkeologis yang menjadi produk

utama pariwisata budaya mengalami objektivasi dan menjadi daya tarik wisata

258

Page 259: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

sebagai dagangan yang dijual untuk kepentingan mendapatkan uang dari

pemenuhan kepuasan wisatawan.

Dalam komodifikasi pengembangan pariwisata, semua pihak yang

terlihat, termasuk usaha kecil dan menengah, serta masyarakat banyak potensial

memperoleh pendapatan yang layak. Hal ini karena pembangunan pariwisata yang

diharapkan pada dasarnya berbasis masyarakat (community based). Pendapatan

yang diperoleh dari kantong wisatawan, dalam banyak hal, dapat digunakan untuk

membantu upaya pelestarian pusaka budaya. Komodifikasi Pura Tirta Empul yang

terkait dengan pengembangan pariwisata budaya di Desa Manukaya bersifat

saling memberi dan menunjukkan suatu model simbiosis mutualisme yang baik

dengan upaya pelestarian produk budaya yang menjadi modal pariwisata.

Sementara itu, Istana Presiden yang letaknya berdampingan dengan Pura

Tirta Empul (Gambar 6.9 di bawah ini) juga mempunyai peranan yang cukup

penting dalam proses pekembangan situs budaya Pura Tirta Empul. Tidak jarang

tamu-tamu terhormat yang berkunjung ke Istana Presiden di Tampaksiring

meluangkan waktunya untuk berjalan-jalan dan melihat-lihat Pura Tirta Empul

yang memiliki keindahan dan sumber mata air suci yang dialirkan melalui

pancuran yang berjejer di kolam halaman luar pura. Semaraknya upacara-upacara

keagamaan dan aktivitas-aktivitas ritual lainnya telah menjadikan Pura Tirta

Empul tidak pernah sepi dari kunjungan para wisatawan, baik lokal maupun asing.

Keberadaan Istana Presiden di Tampaksiring juga memberi pengaruh cukup besar

dalam mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul.

259

Page 260: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 6.9 Istana Presiden di Tampaksiring yang berdampingan dengan Pura Tirta Empul.(Dok. Setiawan, 2010)

Istana Presiden di Tampaksiring di atas mempunyai andil yang cukup

besar bagi perkembangan Pura Tirta Empul sebagai tempat suci, situs cagar

budaya, maupun objek wisata budaya. Keindahan alam dan bangunan Istana

Presiden juga membawa dampak positif terhadap popularitas Pura Tirta Empul,

baik dalam skala nasional maupun skala internasional. Popularitas ini pada

akhirnya mengantarkan Pura Tirta Empul sebagai sebuah tempat atau objek yang

menarik untuk dikunjungi karena memiliki keindahan alam, nilai religius, nilai

sejarah, dan nilai budaya.

260

Page 261: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

BAB VII

DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI PURA TIRTA EMPUL

DALAM KONTEKS PARIWISATA GLOBAL

Dalam bab ini pembahasan difokuskan mengenai dampak dan makna

komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Pembahasan

pertama berkenaan dengan dampak komodifikasi Pura Tirta Empul, kemudian

dilanjutkan dengan pembahasan makna komodifikasi Pura Tirta Empul pada

subbab berikutnya. Perlu dikemukakan bahwa dampak dalam konteks penelitian

ini mengandung pengertian pengaruh kuat yang mendatangkan akibat, baik positif

maupun negatif. Dampak positif berpengaruh terhadap kehidupan sosial ekonomi

masyarakat, sedangkan dampak negatif berpengaruh terhadap kehidupan sosial

budaya masyarakat Desa Manukaya. Adapun subbab makna, mencakup makna

komodifikasi dalam hubungan Pura Tirta Empul yang telah menjadi komoditas.

Makna dalam penelitian ini diartikan sebagai objek, maksud, arti, yang diberikan

oleh penulis, pembaca, terhadap suatu bentuk kebahasaan baik berupa kata,

kalimat, maupun wacana (Tim Penyusun Kamus, 1988 : 548).

Di dalam sistem pemaknaan kapitalisme, benda-benda diproduksi

sebagai tanda, yang tidak hanya mengcu pada realitas di luar dirinya, tetapi

sebagai artefak yang terbentuk lewat manipulasi medium. Dunia realitas dikemas

lewat mekanisme komodifikasi tanda-tanda. Elemen-elemen tanda yang

merupakan bagian dari dunia realitas dikombinasikan dengan elemen-elemen

tanda yang bukan realitas secara eklektik sehingga menghasilkan realitas baru

261

259

Page 262: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dengan pemaknaan yang baru pula. Menemukan maksud dalam konteks ini

adalah bagaimana makna budaya yang ditunjukkan masyarakat bersangkutan

dalam merasa dan berpikir tentang budayanya, serta bertindak berdasarkan nilai-

nilai yang sesuai (Geertz, 1992 : vii).

7.1 Dampak Komodifikasi Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata

Global

7.1.1 Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Masyarakat

Dewasa ini, globalisasi secara perlahan-lahan membuat dunia menjadi

satu dengan yang lain, batas-batas politik, budaya, ekonomi, menjadi semakin

kabur serta tampak kesalingberhubungan. Zaman terus berubah, dunia terus

bergerak, dan teknologi komunikasi menjadi serba canggih, sehingga tidak

menutup kemungkinan terjadi mobilitas sosial. Pergerakan orang (pariwisata)

demikian cepat membawa kapitalisme telah masuk ke dunia bisnis kebudayaan.

Komodifikasi budaya terjadi karena pasar cenderung memperlakukan budaya

sebagai barang dagangan ketimbang memperlakukan budaya sebagai sebuah

medan nilai.

Selera ideologi pasar telah merajalela ke sendi-sendi budaya tradisi

dengan arus global kontemporernya menghanyutkan nilai-nilai estetik fondasi

kehidupan masyarakat Desa Manukaya yang dipresentasikan melalui pusaka

budaya Pura Tirta Empul. Komodifikasi Pura Tirta Empul menggugat akar

budaya manusia yang diterminasinya kepada filosofi, jatidiri, dan pandangan

hidup masyarakat dewasa ini dan masa yang akan datang, selalu dibayangi oleh

kekuatan globalisasi. Oleh karena itu, ideologi selalu melatarbelakangi penilaian

262

Page 263: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

tentang kebenaran sebagai kondisi sosial, seperti Pura Tirta Empul sebagai tempat

suci ikut bergeser dan didekonstruksi. Dekonstruksi ideologi membongkar dan

membangun kembali ideologi baru yang sesuai dengan pergerakan zaman.

Dekonstruksi di sini dimaksudkan membongkar kemapanan sedemikian rupa,

sehingga menciptakan suatu permainan tanda yang tanpa akhir dan tanpa makna

akhir. Konsep dekonstruksi sangat lekat dengan pandangan hipersemiotika yang

dikembangkan oleh Derrida dalam upaya merekonstruksi makna. Dekonstruksi

merupakan satu pendekatan kunci postmodernisme terhadap pengetahuan, karena

mengarahkan perhatian pada berbagai perubahan yang terjadi dalam budaya

kontemporer (Featherstone, 2005 : 14).

Idelogi yang mendasari komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks

pariwisata global merujuk dan mengarah pada ideologi pasar. Hal ini terjadi

karena ada kesempatan dan peluang, sehingga masyarakat pemilik kebudayaan

Pura Tirta Empul termotivasi melahirkan kreativitas dalam menyambut “pasar”

peradaban masyarakat global, seperti industri pariwisata yang berciri kekuatan

kapitalisme dibidang ekonomi. Pura Tirta Empul yang semula merupakan tempat

suci, kemudian merambah, dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata. Kedua sisi itu

tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan saling melengkapi dan

memperkokoh eksistensi masing-masing. Sekat yang menjadikan Pura Tirta

Empul sebagai tempat suci dan daya tarik wisata dibangun oleh kebiasaan atau

pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk

memperoleh keuntungan ekonomi.

263

Page 264: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global

disambut sebagai industri yang membawa aliran devisa, lapangan pekerjaan, dan

cara hidup modern. Menurut Ismayanti (2010 : 186), industri pariwisata

memberikan keunikan tersendiri dibandingkan dengan sektor ekonomi lain karena

(1) pariwisata adalah industri ekspor fana (invisible export industry), yaitu segala

transaksi yang terjadi berupa pengalaman yang dapat diceritakan kepada orang

lain, (2) setiap wisatawan mengunjungi destinasi, selalu membutuhkan barang dan

jasa, seperti transportasi dan air bersih, dan (3) pariwisata sebagai produk yang

terpisah-pisah, tetapi terintegrasi dan langsung mempengaruhi sektor ekonomi

lain.

7.1.1.1 Peningkatan Struktur Ekonomi

Pariwisata dapat dipandang sebagai fenomena perjumpaan kebudyaaan

antara kebudayaan tuan rumah, kebudayaan wisatawan, dan kebudayaan

pendatang pencari kerja. Konskuensi logis bagi suatu daerah yang secara sengaja

membuka diri untuk dikunjungi wisatawan adalah masuknya berbagai pengaruh

kebudayaan asing ke dalam lingkungan kebudayaan tuan rumah. Pengaruh

kebudayaan asing akan terasa semakin meningkat ketika perkembangan

pariwisata mengarah pada pariwisata massa (Pujaastawa, dkk., 2005 : 31).

Dampak pariwisata global dewasa ini adalah masyarakat mengalami

globalisasi sehingga orang menjadi bagian dari kampung global (global village).

Hal itu menimbulkan implikasi bahwa masyarakat tidak bisa menghindarkan diri

dari sasaran yang diinginkan oleh negara-negara pendukung globalisasi, seperti

Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara Eropa, yakni menjadikan

264

Page 265: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kebergantungan kepada sistem ekonomi kapitalisme. Mereka tidak henti-hentinya

memasukkan berbagai bentuk kebudayaan global ke dalam masyarakat melalui

pasar. Kebudayaan global sarat dengan muatan ideologi, tidak saja kapitalisme,

tetapi juga ideologi pasar, hedonisme, materialisme, konsumerisme, dan

individualisme (Fakih, 2002 : 17 ; Piliang, 2006 : 113). Kesemuanya itu

mempengaruhi pandangan orang, termasuk di dalamnya bagaimana mereka

memaknai sesuatu untuk kepentingan kehidupannya. Dalam konteks ini Pura Tirta

Empul yang sejak semula dibuat untuk kepentingan keagamaan, mengalami pula

perubahan makna yang terus berlanjut pada aspek-aspek lain yang terkait

dengannya.

Konsep pariwisata budaya kiranya harus dipandang sebagai mekanisme

pertahanan jatidiri bagi komunitas lokal. Hal itu dipandang penting mengingat

pariwisata tidak selalu membawa anugrah tetapi terkadang juga musibah. Oleh

karena itu, pengembangan pariwisata hendaknya dilakukan melalui pendekatan

terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan (multi disiplien). Pendekatan

terpadu ini pada dasarnya bersifat knowledge based dan mengintegrasikan

beberapa bidang pengetahuan sebagai landasannya (Spillane, 1994 : 3).

Kesadaran akan pentingnya pendekatan pembangunan pariwisata

berdimensi kerakyatan terasa semakin meningkat, mengingat dalam kenyataannya

selama ini manfaat pariwisata lebih banyak berpihak pada para pemilik modal

yang umumnya berasal dari luar masyarakat setempat. Pembangunan pariwisata

berdimensi kerakyatan mengacu kepada pembangunan pariwisata yang berasal

dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pendekatan ini pada dasarnya

265

Page 266: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

merupakan model pemberdayaan masyarakat yang memberikan lebih banyak

peluang kepada masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara efektif dalam

kegiatan-kegiatan pembangunan. Hal itu berarti memberi wewenang kepada

masyarakat lokal untuk memobilisasi kemampuan mereka sendiri dalam

mengelola sumberdaya yang dimiliki. Kedudukan mereka adalah sebagai pemeran

utama dalam membuat keputusan dan melakukan kontrol terhadap kebijakan-

kebijakan yang mempengaruhi kehidupannya.

Pembangunan pariwisata berwawasan budaya dipandang sangat penting

dan relevan mengingat pariwisata dipandang sebagai fenomena modern yang telah

lama disadari mengandung sejumlah konskuensi terhadap kebudayaan masyarakat

lokal atau tuan rumah. Menurut Smith (1989 : 16-17), perkembangan pariwisata

pada tingkat tertentu di samping membawa manfaat positif bagi perekonomian,

juga sering menimbulkan ancaman bagi keberadaan tuan rumah. Menyadari hal

tersebut, maka pengembangan pariwisata di daerah Bali, kiranya sangat perlu

mengedepankan potensi kebudayaan setempat sebagai daya tarik sekaligus

sebagai upaya untuk mempertahankan kelestariannya.

Terkait dengan komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata

budaya, pengelolaannya paling tidak melibatkan dua lembaga, yaitu Desa Adat

Manukaya sebagai penyungsung pura dan Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar.

Dewasa ini, dalam pelaksanaan di lapangan, desa adat mengelola wilayah dalam

pura dengan menyewakan selendang dan kain bagi para pengunjung yang ingin

masuk ke dalam pura serta menyewakan tempat untuk menaruh pakaian ganti

berbentuk kotak dari kayu bagi pengunjung yang melukakatan prosesi melukat di

266

Page 267: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

kolam suci Pura Tirta Empul. Dinas pariwisata Kabupatn Gianyar sebagai

perpanjangan tangan Pemerintah Kabupaten Gianyar menangani tiket masuk

wisatawan, parkir, pertamanan, dan kebersihan. Penanganan oleh kedua lembaga

ini diharapkan dapat mendukung konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan

(sustainable tourism development).

Manfaat positif pariwisata bagi masyarakat Desa Manukaya pada

umumnya, antara lain adalah meningkatkan lapangan usaha, meningkatnya

lapangan kerja, meningkatnya pendapatan masyarakat, dan mendorong

pertumbuhan sektor perdagangan. Masyarakat Desa Manukaya dan sekitarnya

sangat merasakan manfaat positif pariwisata tersebut. Hal ini memberi inspirasi

kepada sebagian penduduk untuk membuka kios yang menjual makanan,

minuman dan cenderamata di sekitar areal Pura Tirta Empul (lihat Gambar 7.1 di

bawah ini.

Gambar 7.1 Berbagai jenis pakaian jadi untuk souvenir dijual di kios-kios areal Pura Tirta Empul(Dok. Setiawan, 2010)

267

Page 268: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar di atas menunjukkan bahwa betapa masyarakat memanfaatkan

kunjungan wisatawan ke Pura Tirta Empul dengan membuka kios-kios untuk

menjual berbagai makanan, minuman, dan barang-barang cenderamata. Para

pedagang umumnya adalah penduduk sekitar yang mencoba mengais rejeki untuk

meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

Penduduk menurut jenis pekerjaannya, secara asumtif dapat dikatakan

telah terjadi pergeseran orientasi pekerjaan yaitu bergesernya sektor agraris ke

sektor industri/jasa pariwisata. Sejalan dengan pemikiran Sifullah (1994 : 27-28)

menyatakan bahwa segala yang terjadi di Desa Manukaya dapat disebut sebagai

mobilitas lapangan kerja. Ada dua hal pokok yang menjadi dasar mobilitas

lapangan kerja itu, pertama, semakin melemahnya sektor agraris memberi daya

serap bagi pertumbuhan penduduk desa dan semakin kompleksnya variasi

lapangan kerja yang muncul di luar sektor itu. Hal yang kedua, terkait erat dengan

perkembangan kepariwisataan di daerah Tampaksiring dan sekaligus menjadi

faktor dominan dalam orientasi ekonomi penduduk. Perkembangan pariwisata

telah memacu kreativitas masyarakat untuk menciptakan produk-produk baru

tentang berbagai barang cenderamata untuk kepuasan konsumen (lihat Gambar

7.2).

Terlepas dari surplus produksi, kedua sektor ekonomi di atas terkait

dengan penilaian sosial yang tumbuh dan berkembang dalam karakter masyarakat

Desa Manukaya. Adapun perbedaan penilaian mengenai jenis-jenis profesi antara

dua sektor, mengakibatkan cenderung muncul sikap-sikap yang lebih

mengutamakan gengsi suatu jenis profesi daripada prinsip ekonomi lainnya.

268

Page 269: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Sementara di kalangan tertentu memandang bahwa profesi sebagai petani

menunjukkan identitas sosial yang rendah. Sedangkan di luar sektor itu (terutama

sektor pariwisata) kendatipun terkadang ke luar dari prinsip-prinsip moral, mereka

masih tetap memandang bahwa profesi ini lebih memberi pretise sosial.

Gambar 7.2 Berbagai jenis barang kerajinan dari kayu, lukisan dan barang kerajinan lainnya dipajang di kios-kios sebagai barang cenderamata(Dok. Setiawan, 2010)

Gambar di atas menunjukkan betapa tinggi kreativitas masyarakat dalam

menciptakan karya seni, terutama karya seni dari bahan kayu dan tulang.

Keseluruhan bentuk ekonomi baru ini memberi arah dan karakter tertentu bagi

kehidupan masyarakat Desa Manukaya. Pergeseran orientasi pekerjaan semacam

ini tampaknya juga dapat disejajarkan dengan apa yang pernah diungkapkan oleh

Arsana (1991 : 35), sebagai proses pemecah katup-katup pengaman prinsip

ekonomi subsistensi. Mereka tidak lagi berproduksi untuk memenuhi konsumsi

269

Page 270: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

terbatas yang biasa ditandai dengan penuh rasa loyalitas, tetapi terlibat dalam

prinsip-prinsip ekonomi yang penuh persaingan.

7.1.1.2 Meningkatnya Pendapatan Masyarakat

Walaupun telah terjadi pergeseran mata pencaharian penduduk dari

pekerjaan pokok sebagai petani, ke sektor industri, Desa Manukaya masih tetap

mencerminkan subkultur agraris sebagai ciri-ciri yang menonjol. Desa adat yang

merupakan kesatuan wilayah dan para warganya secara bersama-sama

mengaktifkan upacara-upacara keagamaan yang ditata menurut konsep tri hita

karana. Penyatuan wilayah dengan tata dasar konsep tri hita karana terkait

dengan tiga perwujudan tata ruang desa, yakni ruang peribadatan desa

(parhyangan), warga (pawongan), dan ruang-ruang lain sebagai tempat para

warganya untuk melangsungkan berbagai kegiatan dan aktivitasnya (palemahan).

Harapan untuk hidup lebih baik, merupakan orientasi masyarakat

Manukaya ke masa depan. Harapan tersebut selain didukung oleh potensi-potensi

internal, juga didukung oleh faktor-faktor eksternal. Potensi internal bersumber

dari masyarakat itu sendiri karena adanya sesuatu yang dianggap sudah tidak lagi

memuaskan atau keinginan untuk lebih baik daripada keadaan sebelumnya.

Sementara faktor-faktor eksternal di antaranya adalah program-program

pemerintah dalam bentuk penyuluhan, promosi dan tentu saja budaya pariwisata.

Rendahnya pendapatan petani dari hasil pertanian, pada akhirnya menimbulkan

ketidakpuasan terhadap kondisi tersebut. Upaya untuk mengatasinya adalah

menggantungkan variasi-variasi usaha yang ada di luar sektor pertanian,

khususnya sektor pariwisata.

270

Page 271: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Putu Sarini seorang pedagang souvenir yang diwawancarai tanggal 2 Mei

2010 mengatakan :

Kami para pedagang bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang melinggih di Pura Tirta Empul, karena kemurahan hati-Nya, kami dapat berjualan di sini, yaitu menjual barang-barang kerajinan sebagai souvenir, kepada para pengunjung. Walaupun penghasilan setiap hari tidak menentu namun setidak-tidaknya dapat membantu penghasilan suami untuk menunjang kehidupan keluarga. Tentang penghasilan yang diperoleh sangat tergantung dengan kondisi kunjungan wisatawan. Pada bulan-bulan tertentu seperti Desember – Januari, Juli– Agustus, hasil penjualan bisa mencapai antara Rp. 400.000 – Rp. 700.000 tetapi pada bulan-bulan yang lain biasanya berkisar antara Rp. 200.000 – Rp. 400.000. Namun demikian, hal itu tetap kami syukuri.

Pernyataan di atas menunjukkan bahwa keberadaan para pedagang yang

menempati kios-kios tersebut setidak-tidaknya dapat menambah pendapatan untuk

kesejahteraan keluarganya. Lapisan masyarakat Manukaya yang merupakan

lapisan dengan sistem terbuka, memberi kemungkinan adanya gerak sosial

vertikal yang luas, atau memberi kesempatan kepada para individu untuk maju

atas dasar kemampuan sendiri. Hal itu dapat dilihat dari kecenderungan sebagian

masyarakat Manukaya untuk meninggalkan pekerjaan sebagai petani, karena

menganggap pekerjaan tersebut mempunyai tingkatan lebih rendah dari pekerjaan

lainnya, khususnya pekerjaan di sektor pariwisata.

Wacana mengenai pembangunan pariwisata berwawasan kerakyatan

merupakan reaksi keras terhadap kebijakan pembangunan konglomerat yang

selama ini lebih berpihak pada pemilik modal. Pembangunan berwawasan

kerakyatan lebih mengedepan-kan peningkatan ekonomi rakyat dan

pemberdayaan masyarakat. Masyarakat sebagai pemilik atas sumberdaya setempat

justru sering mengalami marginalisasi sehingga kualitas kehidupannya justru

271

Page 272: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menurun dibandingkan sebelum adanya pembangunan. Atas dasar itu berbagai

ahli menekankan pentingnya pembangunan dari bawah (Pujaastawa, dkk., 2005 :

30). Pembangunan dengan paradigma ini menuntut adanya partisipasi masyarakat

lokal dalam berbagai tahap pembangunan, sehingga pengelolaan pembangunan

benar-benar dilakukan oleh masyarakat atau community management (Korten,

1988 : 31-33).

Belakangan ini kesadaran akan pentingnya pendekatan pembangunan

pariwisata berdimensi kerakyatan terasa semakin meningkat, lebih-lebih daya

tarik wisata yang ditawarkan dalam bentuk sumberdaya budaya. Pembangunan

pariwisata berdimensi kerakyatan pada dasarnya merupakan model pemberdayaan

masyarakat lokal untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pembangunan

demi kesejahteraannya. Hal itu berarti memberi wewenang atau kekuasaan kepada

masyarakat lokal untuk memobilisasi kemampuannya sendiri dalam mengelola

sumberdaya budaya yang dimiliki untuk meningkatkan pendapatannya.

Dalam konteks ini, pariwisata memberikan peluang kepada masyarakat

Desa Manukaya untuk memperoleh berbagai manfaat dengan cara menawarkan

barang atau jasa yang lazim disebut produk wisata. Produk wisata tersebut terdiri

atas (1) daya tarik daerah tujuan wisata, termasuk pula citra yang dibayangkan

oleh para wisatawan, (2) fasilitas di daerah tujuan wisata yang mencakup

akomodasi usaha pengelolaan makanan, usaha cenderamata, rekreasi, dan (3)

kemudahan-kemudahan mencapai daerah tujuan wisata. Produk wisata itu

dihasilkan oleh berbagai perusahaan, masyarakat, dan alam. Jasa angkutan,

penginapan, dan penyelenggaraan wisata merupakan jasa yang disediakan oleh

272

Page 273: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

berbagai perusahaan, jasa seperti keramahtamahan penduduk, keamanan, dan

kenyamanan merupakan jasa yang disediakan oleh masyarakat, dan keindahan

pemandangan alam disediakan oleh alam. Dalam kaitan ini tentu tidak bisa pula

diabaikan beraneka rupa produk wisata yang berbentuk benda seperti makanan,

minuman, cenderamata, dan lain-lain yang sangat dibutuhkan oleh para

wisatawan. Keseluruhan barang dan jasa atau beberapa di antaranya merupakan

hal yang bisa ditawarkan oleh masyarakat setempat kepada para wisatawan untuk

meningkatkan pendapatannya.

Tidak berlebihan apabila pariwisata dimasukkan ke dalam bidang

ekonomi yang pembangunannya mengikuti kaidah-kaidah ekonomi. Dalam

program pembangunan ekonomi yang demikian, keberhasilan industri pariwisata

selalu diukur dari target (angka) kedatangan wisatawan. Dengan perkataan lain,

program pengembangan pariwisata ingin mencapai target kedatangan wisatawan

karena kedatangan mereka dapat menambah kekayaan devisa dan kemakmuran

masyarakat setempat.

Implementasi dari program itu, tentu saja memerlukan berbagai upaya

yang mengikuti kaidah-kaidah ekonomi. Implementasi kaedah-kaedah ekonomi

yang baik membutuhkan manajemen profesional (SDM berkualitas, terampil,

profesional), di samping modal dan orientasi keuntungan berlipat. Tuntutan

demikian dianggap wajar karena pariwisata harus dikelola secara modern

(Atmaja, 2010, 193). Akan tetapi, modernisasi berjalan seiring dengan

kapitalisasi. Karena kapitalisasi dan modernisasi bergerak seiring ibarat sepasang

roda yang memiliki dua sisi, yakni sisi satu yang berorientasi keuntungan dan sisi

273

Page 274: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

lain adalah idealisme dengan keinginan mensejahterakan masyarakat di daerah

tujuan wisata dengan dolar.

Dengan demikian, setiap kegiatan wisata menghasilkan pendapatan,

khususnya bagi masyarakat Desa Manukaya. Pendapatan itu dihasilkan dari

transaksi antara wisatawan dengan mereka dalam bentuk pembelanjaan yang

dilakukan oleh wisatawan. Pengeluaran wisatawan terdistribusi tidak hanya ke

pihak-pihak yang terlibat langsung dalam industri pariwisata seperti hotel,

restoran, biro perjalanan wisata, pemandu wisata, namun juga terserap ke sektor-

sektor yang lain seperti pertanian, industri kerajinan, angkutan, komunikasi, dan

sektor lain yang terkait. Peningkatan pendapatan masyarakat Desa Manukaya dari

industri pariwisata membuat struktur ekonomi masyarakat menjadi lebih baik.

Masyarakat bisa memperbaiki kehidupan dari bekerja di industri pariwisata.

Akhirnya, pariwisata membuka peluang untuk berwirausaha dengan menjajakan

berbagai kebutuhan wisatawan, baik produk barang maupun produk jasa.

7.1.1.3 Menciptakan Lapangan Kerja Baru

Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global dewasa

ini diharapkan lebih berpihak bagi kesejahteraan masyarakat Manukaya serta

mampu memberikan manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara

merata dan berkelanjutan. Sebagai komoditas, pariwisata mencakup mata rantai

kegiatan yang sangat panjang dan mampu menggerakkan sektor-sektor ekonomi

lainnya dengan jangkauan yang sangat luas. Sejumlah tenaga kerja terserap ke

dalam sektor pariwisata dan sektor-sektor lainnya yang terkait. Semua itu akan

274

Page 275: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

memperluas kesempatan usaha dan lapangan kerja khususnya bagi masyarakat

Desa Manukaya serta sekaligus menyebarkan pemerataan.

Terkait dengan hal itu, Kepala Desa Manukaya yang diwawancarai

tanggal 30 Maret 2010 mengatakan sebagai berikut.

Pura Tirta Empul sebagai salah satu daya tarik wisata di samping beberapa daya tarik wisata yang lain, seperti Pura Pegulingan, Pura Mangening dan Pura Sakenan sangat membantu perekonomian masyarakat Manukaya. Dampak pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian masyarakat terdistribusi terutama sektor industri dan kerajinan. Peranan pariwisata juga dapat dilihat dari konstribusinya terhadap penyerapan tenaga kerja, walaupun tidak ada angka pasti dalam catatan statistik. Menurut Kepala Desa Manukaya, penyerapan tenaga kerja melalui sektor pariwisata hanya mencapai 10-15% dari jumlah penduduk saat ini.

Komodifikasi Pura Tirta Empul juga diarahkan untuk mendorong

pengembangan, pengenalan, dan pemasaran produk budaya masyarakat setempat.

Keuntungan yang paling jelas akibat adanya pengembangan pariwisata dari segi

ekonomi adalah mendatangkan devisa, terciptanya kesempatan kerja, serta adanya

kemungkinan bagi masyarakat Manukaya penerima wisatawan untuk

meningkatkan tingkat pendapatan dan standar hidup. Dengan demikian, dampak

pariwisata terhadap perekonomian masyarakat sangat positif, baik dilihat dari

peranannya terhadap penciptaan pendapatan bagi masyarakat dalam menciptakan

kesempatan kerja, efek penggandaan yang ditimbulkan, sebagai sumber penghasil

devisa, untuk mendorong ekspor khususnya barang-barang hasil industri

kerajinan, dan merubah struktur ekonomi masyarakat ke arah yang lebih

seimbang (Erawan, 1993 : 293).

Pariwisata juga dapat memunculkan perubahan pada struktur pekerjaan

dan struktur sosial ekonomi masyarakat Manukaya. Kecenderungan ini tentu

275

Page 276: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dapat dianggap sebagai fenomena yang bersifat positif, karena peluang ekonomi

dan sosial yang tercipta dapat mengurangi “ketimpangan sosial” (Dean, 1999 :

64). Akan tetapi, peluang sosial ekonomi saja tidaklah cukup untuk menyatakan

bahwa masyarakat lokal (baca Manukaya) telah mencapai tarap kesejahteraan

lahir dan batin. Peluang ekonomi dan sosial pastilah juga menimbulkan

perubahan-perubahan karakter masyarakat Desa Manukaya, seperti misalnya

memasak yang sebelumnya menggunakan kayu bakar, kini menggunakan kompor

gas. Demikian juga sebelumnya masyarakat berbelanja untuk keperluan sehari-

hari di pasar tradisional, sekarang mereka berbelanja di pasar swalayan.

Sebagaimana halnya teknologi, prasarana transportasi, juga membawa

serta berbagai masalah dalam kehadirannya di kawasan komunal. Tataguna ruang

yang dilandasi oleh norma-norma agama dan adat-istiadat, tergeser oleh tuntutan

ruang gerak kendaraan bermotor. Masuknya lintasan-lintasan umum ke pelosok-

pelosok desa, juga berpengaruh terhadap sikap ”malu” sebagai warga desa untuk

melakukan aktivitas-aktivitas petani seperti halnya mencangkul, memelihara itik,

atau kegiatan-kegiatan di sawah lainnya.

Dengan bersandar pada tradisi dan konsepsi-konsepsi yang terlanjur

dianggap “lokal genius”, seperti tri hita karana, yang juga dianggap (belum tentu

sepenuhnya dilaksanakan) menjadi pedoman berperilaku sehingga masyarakat

Desa Manukaya semakin tampak romantis dan emosional. Bahkan, aktivitas

bisnis atau perdagangan dapat merusak sistem nilai yang memang semakin

berkurang kapasitasnya. Reduksi atas sebagian nilai luhur semacam itu juga telah

menimbulkan “kejutan budaya”, paling tidak dalam menerima pengaruh budaya

276

Page 277: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

global yang terbawa oleh pergaulan antarbangsa melalui kegiatan pariwisata dan

menciptakan lapangan kerja baru.

Bagaimana pun upaya menjadikan peluang ekonomi sebagai acuan dalam

pembangunan fasilitas wisata patut dibenarkan. Karena itu, konsep pembangunan

semacam itu tidak hanya dilakukan pemerintah, namun juga sebagian penduduk

lokal, terutama yang bertempat tinggal di pinggir-pinggir jalan utama. Mereka

secara bersama-sama membangun fasilitas wisata yang dapat diprediksi akan

menimbulkan dampak positif dengan mengesampingkan dahulu dampak

negatifnya. Sudah dapat diprediksi bahwa dampak positifnya antara lain

meningkatkan kesempatan kerja masyarakat lokal.

Pariwisata adalah kegiatan dinamis yang melibatkan banyak orang serta

menghidupkan berbagai bidang usaha. Pariwisata juga dapat dianggap sebagai

kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan

oleh masyarakat, pengusaha, dan pemerintah, sebagai usaha jasa wisata. Usaha

jasa wisata meliputi penyediaan jasa pelayanan dan jasa penyelenggaraan wisata,

antara lain terdiri atas usaha jasa perjalanan wisata, pengatur dan pramuwisata,

informasi pariwisata, dan impresariat pariwisaa.

Usaha jasa perjalanan wisata merupakan usaha biro perjalanan wisata dan

usaha agen perjalanan wisata. Usaha biro perjalanan wisata meliputi usaha

penyediaan jasa pelayanan dan penyelenggaraan pariwisata. Usaha agen

perjalanan wisata meliputi usaha jasa pemesanan sarana, seperti pemesanan tiket

dan pemesanan akomodasi serta pengurusan dokumen perjalanan.

277

Page 278: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Jasa biro perjalanan wisata merupakan kegiatan usaha yang bersifat

komersial yang mengatur, menyediakan, dan menyelenggarakan pelayanan bagi

seseorang atau kelompok orang untuk melakukan perjalanan dengan tujuan utama

berwisata. Bisnis utamanya membuat atau menyusun paket wisata, menjual

kepada wisatawan, dan memberi pelayanan kepada wisatawan yang membeli

paket wisata. Paket wisata itu berupa beberapa komponen pariwisata, seperti

transport, hotel, makan-minum, objek wisata, pertunjukkan, yang dirangkai

menjadi satu paket perjalanan dan dijual dalam satu kesatuan harga.

Usaha jasa pariwisata merupakan usaha yang menyediakan tenaga

pemandu wisata untuk memenuhi kebutuhan wisatawan. Pramuwisata adalah

seseorang yang bertugas memberikan bimbingan, penerangan, dan petunjuk

tentang objek wisata. Usaha jasa pramuwisata merupakan kegiatan usaha bersifat

komersial yang mengatur, mengkoordinasikan, dan menyediakan tenaga

pramuwisata untuk memberikan layanan bagi seseorang atau kelompok orang

yang melakukan perjalanan wisata.

Jasa informasi wisata merupakan jasa penyediaan informasi, penyebaran

dan pemanfaatan informasi kepariwisataan, seperti objek, kalender wisata, adat

istiadat, penukaran mata uang, akomodasi dan promosi. Kegiatan usaha jasa

informasi pariwisata meliputi usaha penyediaan informasi, penyebaran, dan

pemanfaatan informasi kepariwisataan. Informasi kepariwisataan disusun secara

lengkap sehingga mampu memberikan daya tarik untuk berwisata dan mampu

memberikan kejelasan mengenai daya tarik wisata. Termasuk ke dalam kegiatan

penyediaan jasa informasi pariwisata berupa kegiatan promosi dan pemasaran

278

Page 279: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

yang dapat dilakukan oleh badan usaha bidang pariwisata, perseorangan, atau

kelompok sosial di dalam masyarakat.

Terakhir, adalah usaha jasa impresariat atau usaha penyelenggaraan

kegiatan hiburan dan rekreasi. Usaha ini merupakan kegiatan pengurusan

penyelenggaraan hiburan, mulai dari mendatangkan, mengirim, dan

mengembalikan, dan menentukan tempat, waktu, serta jenis hiburan. Hiburan

merupakan bentuk penyajian atau pertunjukkan seni untuk memberi rasa senang

kepada pengunjung dengan mendapatkan imbalan jasa, dengan tetap

memperhatikan nilai-nilai agama, budaya, dan kesusilaan (Ismayanti, 2010 : 113-

120).

Berdasarkan paparan di atas maka tidak terbantahkan bahwa

komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global melibatkan

banyak orang. Pariwisata merupakan industri yang menawarkan beragam jenis

pekerjaan kreatif, sehingga mampu menampung jumlah tenaga kerja yang cukup

banyak.

7.1.2 Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Budaya Masyarakat

Desa Manukaya, sesungguhnya telah lama menjadi perhatian khusus para

pakar arkeologi dan Sejarah Kebudayaan Indonesia. Prasasti Manukaya pada abad

X mencatat intensifnya prosesi ritual keagamaan yang memberi warna tersendiri

bagi kehidupan sosial budaya masyarakat setempat. Latar belakang sejarah

masyarakat Desa Manukaya terbentuk dari perpaduan yang serasi antara agama

Hindu, adat-istiadat, seni, pandangan hidup, dan lembaga-lembaga sosial budaya

279

Page 280: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

yang ada. Meskipun demikian, dalam perkembangannya, perubahan dan

kelangsungan selalu terjadi dalam perjalanan sejarah.

Seiring dengan perkembangan waktu dan perubahan sosial budaya, maka

adat, tradisi, dan budaya masyarakat juga mengalami perubahan. Perubahan dan

pergeseran tata nilai sosial dalam suatu kebudayaan tentulah membawa dampak

sosial budaya bagi kehidupan masyarakat Desa Manukaya.

Pura Tirta Empul di Desa Manukaya pada awalnya bukan produk budaya

yang sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun, dalam perkembangan

masa kini Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi yang mengarah

komersialisasi karena ditata untuk memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut

Sifullah (1994 : 12) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas

yang telah diubah menjadi hubungan komersial. Kepentingan kapitalisme

menjadikan Pura Tirta Empul sebagai alat komoditas yang bernilai jual. Dalam

hal ini, pasar turut menentukan arah komodifikasi Pura Tirta Empul dalam

penampilannya, yakni objek, kualitas bahan, ornamen atau ragam hias, pewarnaan

akhir, dan penataan yang semua dikemas untuk dijadikan komoditas dengan

tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar.

Berdasarkan asumsi dasar mengenai keterkaitan antara komoditas Pura

Tirta Empul dengan kehidupan sosial budaya masyarakat, maka Pura Tirta Empul

sebagai produk budaya manusia merupakan hasil kebudayaan dari suatu sistem

yang terdiri atas unsur-unsur kebudayaan yang saling terkait, khususnya antara

unsur seni, religi, dan komersial. Unsur-unsur seni, relegi, dan komersial tidak

berdiri sendiri, tetapi saling berhubungan, saling terkait, atau bahkan ada saling

280

Page 281: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bergantung antara satu dengan yang lainnya. Keadaan saling terkait tersebut

berorientasi pada kehidupan atau kelangsungan hidup suatu sistem dalam satu

kesatuan secara menyeluruh.

Pengaruh arus budaya global yang berkembang dewasa ini berimplikasi

pada praktik-praktik budaya kapitalisme yang mengacu pada komodifikasi

bentuk-bentuk budaya, semakin memperjelas arah pergeseran terhadap kondisi

sosial budaya masyarakat. Salah satu dampak komodifikasi Pura Tirta Empul

dalam konteks pariwisata global adalah teralihnya orientasi nilai-nilai magis

religius ke nilai profan. Pergeseran dari sakralitas ke profanitas tidak dengan

sendirinya terjadi, tetapi melalui proses pertentangan-pertentangan, sejalan

dengan perubahan sosial budaya masyarakat. Kemudian, jika dikaitkan dengan

perkembangan zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta

terbukanya akses pengaruh luar dalam bentuk pariwisata terhadap pandangan

hidup manusia, maka perlahan-lahan mulai terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi.

Di era globalisasi Pura Tirta Empul mengalami komodifikasi untuk

dijadikan barang dagangan dalam bentuk tampilan. Sebagai sebuah kegiatan

ekonomi, pariwisata berpeluang besar dalam proses komodifikasi sebuah produk

budaya. Industri pariwisata telah memunculkan etos kapitalisme secara

terselubung (Picard, 2006 : 189).

Pariwisata merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan

melibatkan masyarakat, sehingga memberikan pengaruh terhadap masyarakat

setempat. Bahkan pariwisata mempunyai energi pendobrak yang kuat dan mampu

281

Page 282: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

membuat masyarakat setempat mengalami perubahan, baik ke arah perbaikan

maupun ke arah penurunan (degradasi) dalam berbagai aspek.

Dampak sosial budaya menurut Cooper (1993 : 26) muncul karena

industri pariwisata melibatkan tiga hal, yaitu wisatawan, masyarakat setempat,

dan hubungan wisatawan dan masyarakat. Dampak sosial budaya muncul apabila

terjadi interaksi antara wisatawan dan masyarakat ketika (1) wisatawan

membutuhkan produk dan membelinya dari masyarakat disertai tuntutan-tuntutan

sesuai dengan keinginannya, (2) pariwisata membawa hubungan yang informal

dan tradisional menjadi konsumsi ekonomi. Pengusaha pariwisata mengubah

sikap spontanitas masyarakat menjadi transaksi komersial, dan (3) wisatawan dan

masyarakat bertatap muka dan bertukar informasi atau ide, menyebabkan

munculnya ide-ide baru.

Terkait dengan penelitian ini, dampak komodifikasi Pura Tirta Empul

dalam konteks pariwisata global terhadap sosial budaya masyarakat setempat

tidak dapat secara cepat terlihat, karena perubahan yang terjadi dalam masyarakat

tidak terjadi seketika, tetapi melalui proses. Hasil pengamatan di lapangan

menunjukkan bahwa dampak komodifikasi Pura Tirta Empul terhadap kehidupan

sosial budaya masyarakat Manukaya cenderung bersifat negatif yang dapat

mendatangkan kerugian, seperti terjadinya komersialisasi tempat suci, kaburnya

identitas dan nilai sejarah, dan tercemarnya tempat suci serta munculnya gejala

hiperspiritualitas.

282

Page 283: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

7.1.2.1 Komersialisasi Tempat Suci

Pura adalah tempat suci, tempat peribadatan bagi umat Hindu. Demikian

pula Pura Tirta Empul, adalah tempat suci bukan saja bagi umat Hindu Desa

Manukaya, tetapi juga umat Hindu dari daerah lain di Bali. Dalam pandangan

hidup masyarakat Manukaya sebagai suatu perwujudan nilai budaya Bali yang

dijiwai oleh agama Hindu, terkandung suatu konsep dasar mengenai kehidupan

yang dicita-citakan serta pemikiran-pemikiran mengenai wujud kehidupan yang

dinilai baik. Pandangan hidup yang demikian merupakan suatu kristalisasi dari

nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat dan diyakini kebenarannya. Oleh karena

itu, masyarakat Desa Manukaya membangkitkan tekad warganya untuk

mewujudkannya.

Demikian pula dalam sistem nilai budaya masyarakat Manukaya terdapat

suatu pandangan menilai fungsi suatu kehidupan yang didasarkan atas azas

kebersamaan, azas kekeluargaan, dan zas berbakti. Ketiga azas itu berpangkal

pada pandangan hidup masyarakat yang menganggap bahwa manusia tidak hidup

sendiri, melainkan dikelilingi oleh komunitasnya, masyarakat, dan alam

sekitarnya. Alam pikiran seperti itu disebut sistem makrokosmos, yaitu manusia

merasakan dirinya sebagai unsur kecil dari alam semesta ini.

Tatakrama kemasyarakatan di Desa Manukaya yang lazimnya disebut

sistem sosial, memotivasi warga masyarakat untuk berorientasi kepada pentingnya

nilai suka-duka di dalam kehidupan masarakat. Nilai suka-duka memancar dalam

semangat gotong-royong yang tampak jelas dalam aktivitas-aktivitas sosial. Di

samping itu, nilai suka-duka juga merupakan refleksi daripada solidartas sosial

283

Page 284: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

yang muncul dari azas kebersamaan dan kekeluargaan. Gotong-royong sebagai

realisasi pernyataan rasa solidaritas persekutuan hidup bersama dalam kelompok

sosial, juga merupakan suatu proses yang menjurus kepada kegiatan sosialisasi.

Secara konseptual, sosialisasi berarti suatu proses belajar tentang norma-norma

dalam masyarakat dan belajar tentang nilai-nilai kepribadian. Nilai-nilai

kehidupan luhur warisan budaya yang telah melembaga dalam adat-istiadat yang

diwariskan turun-temurun, merupakan landasan fundamental dalam menciptakan

suasana kehidupan yang tentram dalam menuju kesejahteraan.

Sementara itu, azas kebersamaan juga mendorong manusia untuk

berorientasi kepada sesama dan berbakti kepada yang Maha Kuasa. Sesuai dengan

keyakinan agama yang dianut oleh masyarakat Manukaya, bahwa rasa bakti

diwujudkan dalam bentuk yadnya, yaitu persembahan suci yang ditujukan kepada

Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para Dewa, dan para leluhur. Pandangan hidup

seperti itu menjadi pedoman masyarakat Manukaya yang terhimpun dalam sebuah

lembaga adat yang disebut desa adat. Lembaga ini merupakan kesatuan

masyarakat hukum adat yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama

pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun-temurun.

Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan sosial budaya, maka

tradisi dan budaya yang berlaku dalam masyarakat juga bergeser dan berubah.

Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam alam postmodern, sebagai wilayah kajian

budaya dalam penelitian ini berubah tampilan ke arah yang lebih menonjolkan

keindahan melalui ragam hias dan ornamen sebagai unsur baru yang disesuaikan

dengan tingkat keterampilan yang dimiliki oleh masyarakat pendukung produk

284

Page 285: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

budaya tersebut. Produk budaya Pura Tirta Empul kemudian dimanfaatkan untuk

memenuhi keperluan hidup masyarakatnya agar mencapai kehidupan yang lebih

baik. Dengan demikian, produk budaya yang berbentuk Pura Tirta Empul, selain

difungsikan untuk kepentingan keagamaan, juga dimanfaatkan untuk kebutuhan

ekonomi masyarakat pendukungnya.

Masyarakat Desa Manukaya amat menyadari akan perubahan yang

memang harus terjadi. Perubahan adalah suatu proses, bahkan perubahan itu

diterima sebagai konskuensi perkembangan zaman yang harus terjadi di mana pun

juga. Perkembangan pariwisata yang membawa budaya global dewasa ini semakin

memperjelas arah perubahan dan pergeseran kondisi sosial budaya masyarakat.

Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik budaya

kapitalisme. Akibatnya, penginternalisasian berbagai gagasan yang tercakup

dalam neoliberalisme tidak terhindarkan bagi masyarakat Desa Manukaya.

Bersamaan dengan itu, maka ide-ide yang tercakup dalam neoliberalisme tersebar

pada masyarakat (Atmadja, 2008 : 244). Karena itu, tindakan komersialisasi Pura

Tirta Empul tidak terlepas dari pengaruh liberalisme.

Komersialisasi pura lewat penyewaan kotak-kotak/locker tempat

menaruh pakaian terkait dengan banyaknya pengunjung yang melakukan prosesi

melukat di Pura Tirta Empul, terutama pada hari Minggu, Kajeng Kliwon,

Purnama, Tilem, dan hari-hari tertentu lainnya. Dengan membayar uang Rp.

4.000, pengunjung dapat memanfaatkan locker tersebut beserta kunci yang

diberikan untuk membuka dan menutup.

285

Page 286: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 7.3 Komersialisasi pura lewat penyewaan kotak untuk menaruh pakaian(Dok. Setiawan, 2010)

Logika komodifikasi memunculkan pemaknaan baru terhadap pura

sebagai tempat suci. Logika komodifikasi memaknai pura sebagai suatu

komoditas atau barang dagangan. Logika komodifikasi terjebak pada rasionalitas

instrumental. Hal itu menimbulkan implikasi terhadap pemaknaan Pura Tirta

Empul sebagai tempat suci, yakni bukan sebagai zona yang sakral melainkan

sebagai instrumen untuk mendapatkan uang. Kesucian Pura Tirta Empul telah

kehilangan mitosnya sebagai fenomena budaya yang dilandasi oleh nilai-nilai

agama. Masyarakat Manukaya telah mengalami perubahan, sehingga zona suci

telah mengalami pembongkaran semiologis dan didekonstruksi untuk memperoleh

makna lain yang baru, yakni makna ekonomi.

286

Page 287: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 7.4 Komersialisasi pura lewat penyewaan selendang dan kain bagi wisatawan untuk memasuki pura(Dok. Setiawan, 2010)

Gambar di atas menunjukkan bahwa para wisatawan yang ingin masuk

pura diharapkan memakai kain dan selendang dengan cara menyewa sebesar

Rp.5.000. Kain dan selendang tersebut dikembalikan lagi ketika para wisatawan

sudah selesai mengunjungi Pura Tirta Empu.

Gambar 7.3 dan 7.4 memperlihatkan bagaimana Pura Tirta Empul

dikomersialisasikan untuk mendatangkan uang. Dalam kaitan ini, Bendesa Adat

Manukaya, I Made Mawi Arnata (wawancara, 25 April 2010) mengatakan :

”Dalam lembaga dengan pemanfaatan Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata, sesungguhnya hati nurani saya kurang senang, karena pura adalah tempat suci, bukan objek wisata. Tetapi karena bakti kepada pemerintah dan sifat toleransi, serta dapat mendatangkan kesejahteraan masyarakat maka hal tersebut dapat diterima dengan catatan kesucian pura betul-betul dipertahankan. Kami mendukung usaha pemerintah dalam rangka pengembangan pariwisata untuk meningkatkan taraf hidup masyaskarat”.

287

Page 288: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pernyataan di atas jelas mengisyaratkan bahwa untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat maka potensi dan sumber daya yang dimiliki, termasuk

sumber budaya Pura Tirta Empul dimanfaatkan sebagai komoditi untuk

dipasarkan, karena mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi dan bisa

mengangkat taraf hidup masyarakat di Desa Manukaya.

Dalam sistem ekonomi kapitalis, pasar adalah tempat membeli dan

menjual komoditas. Pura Tirta Empul merupakan komoditas bagi pengelolanya,

dalam hal ini masyarakat Desa Adat Manukaya. Di dalamnya mencakup modal

kultural, yakni spesifik, memiliki keindahan, keunikan sebagai sebuah pusaka

budaya. Penguasa ekonomi telah mampu memainkan perannya untuk memenuhi

hasrat manusia dalam berbudaya. Produk budaya Pura Tirta Empul menjadi

komoditi bersama-sama dengan promosi komoditi lainnya, yang dibungkus

dengan tujuan melestarikan dan memperkenalkan Pura Tirta Empul di dalam dan

di luar negeri. Pemerintah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata Daerah

memprakarsai program-program duta wisata, duta budaya, dalam rangka

kerjasama antar daerah dengan paket kemasan Pura Tirta Empul sesuai dengan

tujuan yang ingin dicapai. Mereka merintis kerjasama dengan para sponsor

sehingga kebebasan berekspresi dan memodifikasi, memproduksi Pura Tirta

Empul dalam wujud yang sesuai dengan selera konsumen.

Penekanan pada nilai tukar mengharuskan Pura Tirta Empul meningkat-

kan penampilannya agar selera konsumen terpenuhi secara optimal. Untuk itu,

pengelola berupaya terus mengembangkan kreaktivitas dan memodifikasi produk

288

Page 289: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

budaya untuk menarik konsumen. Strategi ini mengakibatkan Pura Tirta Empul

bergeser menjadi barang komoditi.

7.1.2.2 Kaburnya Identitas dan Nilai Sejarah

Pusaka budaya dewasa ini telah mendapatkan perhatian yang luas di

kalangan mayarakat. Tumbuhnya kesadaran tentang arti penting pusaka budaya

yang merupakan bukti sejarah masa lalu, dan di sisi lain, adanya peluang ekonomi

yang diberikan, melahirkan berbagai upaya pengembangan dan pemanfaatan

untuk kepentingan peningkatan kehidupan masyarakat.

Di era globalisasi dewasa ini, salah satu kecenderungan masyarakat luas

adalah tumbuhnya kesadaran untuk memahami warisan budaya masa lalu yang

berwujud pusaka budaya. Upaya untuk memahami pusaka budaya tidak hanya

dilakukan dalam wilayah negara sendiri, tetapi juga secara lintas negara.

Wisatawan dapat mengkonsumsi pusaka budaya sebagai daya tarik karena

estetika, emosi, dan nilai sejarah yang dimiliki oleh suatu objek (Ardika,

2007 : 47).

Menurut Bourdieu (dalam Harker, 2005 : 56-57), kekayaan budaya

seperti itu oleh masyarakat pemilik kebudayaan dapat dijadikan modal budaya.

Modal budaya adalah kemampuan untuk membaca dan memahami kode-kode

budaya, tetapi kemampuan itu tidak didistribusikan secara merata di antara kelas-

kelas sosial. Sebuah produk budaya mempunyai makna hanya bagi mereka yang

memiliki modal dan bagi yang dapat membaca kode-kode budaya tersebut. Dalam

menggali makna selera untuk reproduksi sosial, Bourdieu melihat hubungan

289

Page 290: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

timbal balik antara modal budaya dan modal ekonomi. Orang secara aktif

menanamkan modal budaya untuk mendapatkan modal ekonomi.

Masyarakat Manukaya telah berupaya mencoba mentransformasikan

modal budaya berupa Pura Tirta Empul menjadi modal ekonomi (dalam konsep

Bourdieu). Dalam teorinya, pusaka budaya berupa Pura Tirta Empul di Desa

Manukaya yang dimanfaatkan sebagai modal pengembangan pariwisata

merupakan suatu proses komodifikasi, yaitu dalam posisinya sebagai bagian dari

sistem pembangunan setempat. Pura Tirta Empul mengalami proses komodifikasi

karena dijadikan komoditas untuk dijual kepada wisatawan. Richards (1996 : 262)

mengidentifikasi hal seperti itu sebagai komodifikasi budaya, yaitu bergesernya

batas-batas budaya dan ekonomi sebagaimana telah terjadi dalam praktik-praktik

kepariwisataan, khususnya pariwisata budaya.

Hal penting dari keberadaan Pura Tirta Empul adalah identitas itu

sendiri, tercermin dari elemen-elemen fisik bangunan yang ada. Identitas adalah

penanda benda, baik secara individual maupun secara kolektif, terlebih benda

tersebut dianggap bernilai dan bersejarah yang membedakan dengan identitas

lainnya. Pura Tirta Empul sebagai hasil kebudayaan yang memiliki estetika dari

suatu masyarakat, memiliki identitas yang membuatnya tidak sama dengan yang

lain. Komodifikasi Pura Tirta Empul menyebabkan kaburnya sebuah identitas

budaya.

Selain mengaburkan identitas, komodifikasi Pura Tirta Empul

berdampak pula pada hilangnya nilai sejarah. Dalam kasus Pura Tirta Empul,

bukannya sejarah itu tidak ada, tetapi sejarah itu dihilangkan melalui komodifikasi

290

Page 291: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

bangunan-bangunan yang ada. Pusaka budaya di mana pun, termasuk Pura Tirta

Empul, mampu menceritakan sejarahnya sendiri. Sejarah sangat terkait dengan

identitas dan kebanggaan masyarakat. Tidak mengherankan, Pura Tirta Empul

saat ini berada dalam ancaman kehilangan sejarah dan identitas akibat

komodifikasi terus berlangsung demi memperoleh keuntungan ekonomi.

Dalam kaitan ini IGN Cakradana (yang diwawancarai 26 April 2010)

mengatakan.

”Pura Tirta Empul sesungguhnya merefleksikan semangat orisinal dan sumber identitas. Jangan sampai kita menjadi masyarakat yang tidak memiliki identitas/jatidiri. Jadi, jika komodifikasi terus terjadi, tidak ada lagi nilai sejarah yang dikandung dalam Pura Tirta Empul, pura kebanggaan masyarakat Desa Manukaya. Bangunan-bangunan yang berdiri adalah gudang penyimpanan bagi memori sosial budaya yang membingkai kehidupan masyarakat dari generasi ke generasi. Bangunan-bangunan yang ada merupakan sumber inspirasi untuk menginterpretasikan peristiwa sejarah dan pengalaman masa lalu”.

Pernyataan di atas jelas sangat menyayangkan terjadinya komodifikasi

Pura Tirta Empul yang mengakibatkan kaburnya sebuah identitas, bahkan

hilangnya nilai sejarah yang sangat diperlukan oleh generasi yang akan datang. Ia

sendiri mengaku menyukai sejarah yang bisa dilihat dari arsitektur bangunan.

Jadi, jika bangunan bersejarah yang ada dikomodifikasi, maka tak ada yang

istimewa dari sebuah produk budaya Pura Tirta Empul. Pura Tirta Empul hanya

tinggal tidak lebih dari suatu komoditas yang bisa menghasilkan uang dari para

wisatawan. Masyarakat Desa Manukaya, cepat atau lambat segera akan

kehilangan identitas dan nilai sejarah dari sebuah produk budaya yang bernama

Pura Tirta Empul.

291

Page 292: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

7.1.2.3 Pencemaran Kesucian Pura dan Munculnya Hiperspiritualitas

Pura bukanlah objek kunjungan wisatawan, melainkan suatu tempat suci

untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasinya dan roh suci leluhur.

Meskipun demikian karena pura memancarkan suasana estetik dan artistik dalam

lingkup kesucian, maka pura sebagai tempat suci banyak mendapat kunjungan

para wisatawan. Demikian pula Pura Tirta Empul.

Pura Tirta Empul sangat disucikan oleh masyarakat Desa Adat

Manukaya. Mereka selalu berusaha menjaga kesuciannya serta memanfaatkannya

sebagai tempat persembahannya untuk mendapatkan keselamatan dan

kebahagiaan dalam kehidupan ini. Tuhan menurunkan agama ke dunia ini untuk

menuntun manusia mengembangkan moral yang luhur dan mental yang tangguh.

Moral yang luhur dapat menjalin kehidupan bersama yang harmonis, saling

mengasihi, tolong-menolong, dan menghilangkan kebencian satu sama lain.

Tuntunan itu untuk meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaan agar hidup ini

memperoleh kebahagiaan lahir dan batin.

Pura Tirta Empul, seperti diketahui, banyak mendapat kunjungan dari

para wisatawan mancanegara. Tidak jarang para wisatawan itu bahkan masuk ke

dalam pura sampai ke halaman dalam, halaman tersuci dari sebuah pura. Mereka

ingin mengetahui lebih mendalam tentang keberadaan tempat suci umat Hindu,

seperti bentuk bangunan suci, cara bersembahyang, proses upacara keagamaan,

sesaji persembahan kepada Tuhan, dan lain sebagainya. Oleh karena itu, sulit

menjaga kesucian pura, sehingga memerlukan suatu proses penyucian kembali

secara berulang-ulang.

292

Page 293: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pemangku Pura Tirta Empul Dewa Gde Wenten (wawancara, 10 Mei

2010) mengatakan :

”Sesajen untuk upacara pembersihan pura dihaturkan setiap tiga bulan sekali untuk membersihkan areal pura dari keletehan/kecemaran akibat kunjungan wisatawan yang kita tidak tahu kualitasnya. Bagaimana pun pariwisata telah banyak memberi materi finansial kepada desa adat, dan semua itu harus disyukuri. Para pengunjung kami harapkan selalu berpakaian sopan, paling tidak menggunakan selendang jika masuk pura. Kita sudah memasang pengumuman untuk pelarangan bagi kondisi-kondisi tertentu, karena kita tidak tahu bagaimana sebenarnya orang itu ”ketika berkunjung ke tempat suci”.

Selanjutnya I Gde Udara mengungkapkan seperti di bawah ini :

”Saya tahu dengan jelas batas antara yang sakral dan yang profan, antara apa yang dapat dijual dan apa yang harus dilindungi”. Saya tahu bagaimana memanfaatkan potensi pariwisata untuk memberi keuntungan ekonomi kepada masyarakat dan meminimalkan kerugian (polusi sosial dan budaya) (wawancara, 29 Maret 2010).

Pernyataan-pernyataan di atas menunjukkan bahwa masyarakat

sesungguhnya sadar akan dampak negatif pariwisata terhadap kesucian sebuah

daya tarik wisata berupa pura. Mereka berusaha meminimalkan dampak-dampak

tersebut melalui proses upacara untuk pembersihan kembali.

Para wisatawan lebih memandang pura sebagai objek rekreasi semata-

mata tanpa menghindarkan nilai kesucian pura. Ada perasaan kurang khusyuk di

kalangan umat Hindu yang sedang melakukan persembahyangan atau upacara

agama jika dikerumuni oleh para wisatawan, seperti penuturan Putu Sulastri

(wawancara 2 April 2010) dari Dusun Tatag sebagai berikut.

“Ketika sedang bersembahyang dengan khusyuk tiba-tiba datang rombongan wisatawan mancanegara yang ingin melihat-lihat dan mengambil foto di halaman dalam Pura Tirta Empul, mereka dengan bebasnya berkeliaran ke sana-ke mari tanpa begitu mempedulikan orang yang sedang bersembahyang. Bahkan mereka juga dengan seenaknya

293

Page 294: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mengambil foto bangunan suci di depan orang yang lagi sembahyang, dan itu tentu sangat mengganggu konsentrasi umat”

Hal yang hampir sama juga dikemukakan oleh I Made Puja (wawancara

22 April 2010) dari Desa Manukaya Anyar.

”Saya lebih sering bersembahyang di Pura Tirta Empul pada malam hari, karena sangat tenang tidak ada gangguan para wisatawan. Pada pagi dan siang hari Pura Tirta Empul banyak dikunjungi para wisatawan yang dirasa sangat mengganggu ketenangan dalam bersembahyang”.

Kedua pernyataan di atas memperjelas bahwa kedatangan para

wisatawan pada saat melakukan persembahyangan sangat mengganggu

konsentrasi umat. Konsep pariwisata budaya yang dicanangkan oleh Pemerintah

Daerah Provinsi Bali tampaknya masih perlu dipertegas, terutama mengenai

sejauh mana para wisatawan diperbolehkan memasuki sebuah tempat suci.

Perjalanan pariwisata budaya memang senantiasa diuji dan berbagai

permasalahan yang menyentuh adat dan agama tidak terpecahkan, sehingga

menggelisahkan umat atau membuat umat seperti kehilangan bahasa untuk

memahami hubungan antara fenomena pariwisata dengan kebudayaannya.

Masalah wisatawan boleh atau tidak masuk ke pura, mesti berselendang atau

tidak, selama ini juga tidak mendapat penanganan dan perwujudan yang standar

dan seragam. Pemerintah sudah mengeluarkan larangan untuk wisatawan

memasuki Pura Besakih karena dianggap oleh masyarakat aktivitas wisatawan itu

mencemarkan kesucian tempat suci, tetapi di banyak pura lain, termasuk Pura

Tirta Empul wisatawan boleh leluasa masuk ke pura. Di depan pura ada

pengumuman dalam bahasa Indonesia dan Inggris (Gambar 7.5) yang antara lain

menyebutkan hanya turis yang “datang bulan” yang tidak boleh masuk dan ada

294

Page 295: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

petugas yang siap menyambut wisatawan dengan selendang. Wisatawan pun

diarahkan untuk memasukkan uang di kotak donasi yang telah disiapkan.

Gambar 7.5 Pengumuman Larangan untuk Memasuki Tempat Suci Lewat Papan Pengumuman(Dok. Setiawan, 2010)

Papan pengumuman di atas sesungguhnya bertujuan untuk menjaga

kesucian Pura Tirta Empul dari perilaku-perilaku yang tidak pantas ketika

memasuki sebuah tempat suci. Kunjungan para wisatawan juga dirasa cukup

mengganggu konsentrasi umat ketika bersembahyang (Gambar 7.6). Bagaimana

tidak, sedang khusyuknya bersembahyang, tiba-tiba datang serombongan

wisatawan dengan berbagai tujuan dan kepentingannya masing-masing.

Sementara itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan

oleh kecenderungan pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup

konsumerisme, dan permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah

295

Page 296: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menyeret berbagai realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya.

Ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut

(komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di

dalam sifat-sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari

makna dan nilai-nilai hakikatnya (Piliang, 2009 : 336).

Gambar 7.6 Kunjungan wisatawan di halaman dalam/jeroan pura sangat mengganggu konsentrasi umat yang sedang bersembahyang(Dok. Setiawan, 2010)

Kedatangan wisatawan di halaman dalam Pura Tirta Empul cukup

mengganggu konsentrasi umat di dalam persembahyangan. Walaupun demikian,

umat tetap melakukan kegiatan keagamaan sebagai wujud bakti bakti kepada

Tuhan dan para leluhur. Mereka datang ke pura dengan mengaturkan sesajen,

bersembahyang, dan nunas tirta.

296

Page 297: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Aktivitas ritual keagamaan adalah aktivitas keagamaan yang dilakukan

oleh setiap pemeluk agama termasuk masyarakat Desa Manukaya pada waktu

yang ditentukan, sebagaimana bentuk-bentuk ibadah lainnya mengikuti contoh

yang ada sebelumnya. Artinya ritual keagamaan adalah kegiatan “reproduksi”

prinsip dan sifat yang telah ada, meskipun aspek budaya materi yang berkaitan

dengan pelaksanaannya bisa beranekaragam, sesuai dengan keragaman tempat,

kebiasaan, dan budaya yang berbeda.

Ketika berbagai aspek kegiatan ritual keagamaan secara hakiki tidak lagi

berkaitan dengan model yang dicontohkan, maka yang berkembang adalah apa

yang disebut sebagai hiper-ritual, yaitu realitas ritual keagamaan yang telah

melampaui hakikat ritual itu sendiri. Yang berkembang adalah berbagai bentuk

realitas ritual artifisial dengan berbagai budaya materi dan gaya hidup yang

menyertainya, justru bertentangan dengan hakikat ritual itu sendiri sebagai ruang

penyucian jiwa. Kegiatan ritual keagamaan sebaliknya berkembang menjadi ruang

pemanjaan jiwa, lewat berbagai bentuk tanda, citra, gaya hidup, dan pesona objek

yang ditawarkan di dalamnya.

Hiperealitas adalah realitas ritual yang bersifat artifisial, yang tidak lagi berkaitan dengan realitas ritual sejati, referensi, sifat dasar, atau prinsip alamiahnya, sesuai dengan ajaran kitab suci. Ia adalah realitas yang telah terdistorsi dari realitas awal yang menjadi modal atau rujukan. Hiperitualitas menciptakan sebuah kondisi yang di dalamnya tanda ritual (ritual signs) atau citra ritual (ritual image) dianggap sebagai realitas ritual seperti ajaran kitab suci. Di dalamnya, kesemuan dianggap sebagai kenyataan, kepalsuan dianggap sebagai kebenaran. Antara bentuk kebenaran dan kepalsuan ritual, antara citra dan realitas ritual tumpang tindih, sehingga tidak dapat lagi dibedakan (Piliang, 2009 : 338).

Perkembangan budaya komoditi, budaya pencitraan, dan gaya hidup

dalam masyarakat konsumer telah mengiring kegiatan ritual keagamaan di Pura

297

Page 298: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Tirta Empul ke dalam komodifikasi ritual keagamaan. Dengan kata lain, kegiatan

ritual keagamaan digiring ke dalam perangkat budaya massa, yang di dalamnya

berbagai bentuk artifisialitas dan citra dikembangkan sebagai cara dalam

menciptakan imajinasi kolektif dan manipulasi pikiran massa, yang di dalamnya

berlangsung komodifikasi kesucian (Storey, 2003 : 19).

Dua atau tiga tahun belakangan ini terjadi lonjakan yang sangat tajam kedatangan umat untuk melukat di kolam suci Pura Tirta Empul, terutama hari-hari tertentu. Kolam suci dipenuhi umat dari pagi hingga malam, mereka secara tertib melakukan prosesi melukat melalui air pancuran yang jumlahnya dua puluh dua buah dari barat ke timur. Bapak bisa lihat tumpukan canang pada masing-masing pancuran dan tempat-tempat lain di sekitarnya (wawancara dengan pecalang Made Suja, 3 Mei 2010).

Pernyataan di atas menarik untuk dikaji bahwa umat menghaturkan

canang pada masing-masing pancuran, karena fungsi air pada masing-masing

pancuran berbeda-beda, ada yang disebut tirta penglukatan, tirta pelebur mala,

tirta pelebur ipian ala, tirta sudamala, dan lain-lain. Penyebutan fungsi masing-

masing tirta pancuran juga menarik mengingat sumber mata airnya adalah satu

yaitu yang terletak di halaman tengah Pura Tirta Empul.

Gambar 7.7 Suasana prosesi melukat, canang-canang dipersembahkan pada masing-masing pancuran.(Dok. Setiawan, 2010)

298

Page 299: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar di atas menunjukkan betapa besar kepercayaan masyarakat

terhadap khasiat tirta (air suci) di Pura Tirta Empul yang mengalirkan air dari

sumbernya di halaman tengah pura melalui pancuran-pancuran yang ada di

halaman luar. Kehidupan spiritual tampak masih sangat kuat dalam masyarakat

Bali.

Dalam konteks ini, kehidupan spiritual yang terjadi bukan merupakan

realitas, walaupun secara riil memang ada. Fenomena seperti itu oleh Baudrillard

(1997 : 36-37) disebut dengan simulakra yang menyatakan bahwa semua sistem,

semua hal yang ada, merupakan kehampaan. Tidak ada apapun, kecuali kepura-

puraan atau simulasi. Seseorang tidak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri,

tetapi hanya pura-pura menjadi dirinya sendiri. Ketradisionalan mereka hanya

sekedar tampilan fisik sebagai suatu bentuk kepura-puraan. Secara sepintas dapat

dilihat bahwa masyarakat masih kuat melakukan tradisi spiritualnya. Namun

sesungguhnya ternyata merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh orang-orang

modern yang berpura-pura tradisional.

Sebagai simulakra, tradisionalisasi yang dilakukan masyarakat dapat

dilihat sebagai sebuah peristiwa kebudayaan, yaitu gejala yang hanya dapat

dimengerti bila kita melihat konteksnya. Geertz (1992 : 17) menyatakan bahwa

kebudayaan adalah sebuah konteks, sesuatu yang di dalamnya semua hal dapat

dijelaskan secara mendalam. Sebuah peristiwa tidak dapat hadir dalam ruang

kosong, melainkan selalu hadir di tengah-tengah berbagai hal yang

melingkupinya.

299

Page 300: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Simulakra sebagai sebuah konsep merupakan satu bentuk kepura-puraan,

bahwa segala sesuatu yang terjadi bukanlah hal yang sesungguhnya dan tidak ada

yang orisinal. Simulakra yang dilakukan oleh masyarakat adalah sandiwara

tradisionalisasi yang tidak hanya ditujukan untuk wisatawan, tetapi juga untuk

dirinya sendiri.

Secara prinsipil, kegiatan ritual keagamaan seharusnya membawa

perubahan yang signifikan pada pola perilaku sosial dan keagamaan, sebagai

akibat logis meningkatnya kualitas spiritual. Kegiatan ritual keagamaan menjadi

sebuah ruang tempat penempaan kualitas spiritual, dengan cara mengekang

berbagai aspek materialitas. Akan tetapi, ketika aktivitas ritual itu terperangkap di

dalam jagad komoditi, maka aktivitas ritual akan terpenjara di dalam jagad

materialitas yang dikondisikan untuk merayakan citra, tanda, penampakan

permukaan, ketimbang makna hakiki, nilai spiritual, dan hikmah-hikmah di balik

kegiatan ritual itu sendiri. Yang terjadi adalah pendangkalan ritual itu sendiri,

yang semakin tercabut dari makna hakikinya.

Hiperitualitas meredusir ritual menjadi fenomena permukaan (surface),

penampakan (appearance), dan tanda-tanda (signs), serta menjauhkan setiap

orang pada makna dan nilai-nilai spiritual. Ritual direduksi menjadi simbol-

simbol yang digunakan sebagai sebuah ungkapan, identitas, dan kepuasan, sebagai

sebuah proses semiotisasi ritual dengan makna-makna yang sesungguhnya tidak

bersifat hakiki. Kegiatan ritual ini tidak berkaitan dengan konteks ibadah, akan

tetapi diciptakan dan dikonstruksi sedemikian rupa, seakan-akan prosesi itu

menjadi bagian dari wacana ibadah. Hiperitualitas menjadikan ibadah ritual

300

Page 301: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menjadi bagian dari gaya hidup (life-style) yang mengelompokkan masyarakat

Manukaya menjadi kelompok-kelompok gaya hidup, yang menampakkan ciri,

tanda, simbol, dan identitas lewat pakaian, hiasan yang dikenakan. Ada kelas-

kelas sosial dalam prosesi ritual yang memasukkan logika komoditi kapitalisme

dan konsumerisme di dalamnya. Nilai guna pakaian dan perhiasan telah bergeser

ke arah nilai tanda (sign value) yang menjauhkan setiap orang Manukaya dari

hakikat ritual yang sesungguhnya. Kegiatan ritual keagamaan telah menjelma

menjadi bagian dari budaya konsumerisme.

7.2 Makna Komodifikasi Pura Tirta Empul Dalam Konteks Pariwisata

Global

Makna dalam konteks penelitian ini diartikan sebagai, arti, maksud, yang

ditunjukkan masyarakat dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya,

serta bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Makna dihasilkan melalui

proses interaksi antara objek dengan subjek. Makna merupakan arti dari suatu

objek. Untuk memahami makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks

pariwisata global, teori semiotika menjadi sangat penting, karena semiotika

merupakan ilmu yang mengkaji tentang makna sebagai bagian dari kehidupan

social. Penggunaan teori semiotika dalam berbagai cabang keilmuan

dimungkinkan, karena ada kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai

diskursus sosial, politik, ekonomi, budaya, seni, dan lain-lain sebagai fenomena

bahasa.

Barthes (Piliang, 2003 : 261) mengembangkan sistem pemaknaan ke

dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi

301

Page 302: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

(connotation). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan

tanda dengan rujukannya yang menghasilkan makna langsung dan pasti.

Sedangkan konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan antara

penanda dan petanda yang menghasilkan makna tidak pasti, artinya terbuka

terhadap berbagai kemungkinan.

Berkenaan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan sistem pemaknaan

konotasi, yaitu memberikan makna terhadap tanda-tanda yang ada dalam konteks

komodifikasi Pura Tirta Empul berdasarkan penafsir dengan cara mengaitkan

dengan sikap, keyakinan, dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat

sekitarnya. Komodifikasi Pura Tirta Empul sebagai sebuah tanda dalam ruang

budaya dapat diberi beragam makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru

mengenai tanda-tanda budaya yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang

diciptakan terhadap berbagai tanda terkandung berbagai makna. Makna

komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global berkaitan erat

dengan proses terjadinya komodifikasi budaya, yaitu produksi, distribusi, dan

konsumsi.

Proses berlangsungnya industrialisasi terhadap produk budaya Pura Tirta

Empul telah menjadikan Pura Tirta Empul sebagai barang komoditi. Untuk

kepentingan industri pariwisata, Pura Tirta Empul dikonstruksi kapitalisme

sebagai suatu bentuk representasi budaya masyarakat Manukaya dengan tujuan

komersial. Pembangunan kebudayaan dalam rangka untuk kepentingan pariwisata

sebagai bagian dari upaya pelestarian menyebabkan Pura Tirta Empul menjadi

produk budaya tontonan. Sadar atau tidak sadar masyarakat sesungguhnya telah

302

Page 303: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

ikut ambil bagian dalam proses komodifikasi Pura Tirta Empul. Hegemoni

Pemerintah Kabupaten Gianyar dalam mengkomodifikasikan Pura Tirta Empul

diterima oleh masyarakat Desa Manukaya tanp protes apa pun. Makna

komodifikasi Pura Tirta Empul terkait dengan penelitian ini dapat ditelusuri dari

makna relegius, pelestarian budaya, kesejahteraan, dan identitas budaya.

7.2.1 Makna Religius

Komodifikasi Pura Tirta Empul mengandung makna religius bagi

masyarakat Desa Manukaya. Makna religius sebagai dasar pengembangan

pariwisata dapat memperkuat jatidiri dan keyakinan krama desa adat terhadap hal-

hal yang bersifat religius magis serta mempertebal rasa religiusitas. Di Desa Adat

Manukaya bisa disaksikan aktivitas krama desa adat yang bersifat sakral berjalan

bersamaan dengan aktivitas pariwisata yang profan sehingga terjadi fenomena

pospiritualitas, yakni berbaurnya hal-hal duniawi dengan yang illahi.

Pariwisata memaksa masyarakat dan budaya lokal berinteraksi dengan

budaya global. Namun demikian, pada saat yang bersamaan terjadi pula proses

yang arahnya berlawanan, yaitu suatu proses ke dalam mencari identitas ke masa

lalu yang bisa disebut sebagai proses tradisionalisasi. Proses ini antara lain

ditandai dengan meningkatnya kegairahan beragama serta memunculkan

fenomena meningkatnya tingkat religiusitas masyarakat, seperti intensitas

pelaksanaan ritual, keyakinan akan adanya alam gaib, keyakinan akan adanya

benda (objek) sakral dan profan, serta perilaku keseharian yang mencerminkan

dogma agama (Pitana, 2005 : 147-148). Makna religiusitas Pura Tirta Empul juga

ditunjukkan oleh sebuah patung tokoh Bima yang membawa tirta kamandalu

303

Page 304: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

yang ditempatkan di depan Pura Tirta Empul (Gambar 7.8). Tirta kamandalu

merupakan air suci yang dapat memberikan kehidupan seperti halnya air suci di

Pura Tirta Empul yang mempunyai multifungsi terkait dengan prosesi retual

keagamaan.

Gambar 7.8 Patung Bima memegang Tirta Kamandalu di Kompleks Pertamanan Pura Tirta Empul)(Dok. Setiawan, 2010)

Intensitas pelaksanaan ritual dalam kehidupan masyarakat Desa

Manukaya di Pura Tirta Empul dewasa ini tidak mengalami penurunan, bahkan

meningkat, baik dilihat dari aspek frekuensi maupun kemegahannya. Berbagai

jenis upacara besar yang dahulu jarang dilakukan akibat keterbatasan ekonomi,

justru sekarang ini dapat dilakukan dengan kegairahan masyarakat, bahkan

kegiatan ritual justru berjalan lebih semarak dan megah. Pada saat ada upacara

besar di Pura Tirta Empul, sebagai besar masyarakat mengalihkan perhatian

sepenuhnya dari bisnis ke upacara.

304

Page 305: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Sehubungan dengan hal itu, Dewa Gde Wenten, pemangku Pura Tirta

Empul (diwawancarai 1 April 2010) mengatakan:

“Kegairahan beragama masyarakat belakangan ini terlihat sangat meningkat. Hampir setiap hari ada saja umat “ngaturang bakti” ke sini (Pura Tirta Empul), lebih-lebih pada hari-hari bulan Purnama, tilem atau kajeng kliwon umat membludak datang melukat atau bersembahyang. Seiring dengan keyakinan ini, berbagai simbol dan objek diyakini mempunyai kekuatan niskala. Berbagai perilaku umat terhadap obyek sakral dapat diamati dalam setiap prosesi ritual, baik dalam skala besar maupun kecil”.

Pernyataan di atas memperlihatkan betapa kegiatan ritual berlangsung

secara semarak di Pura Tirta Empul, bersamaan dengan maraknya kunjungan

wisatawan baik domestik maupun asing. Dari indikator yang telah disebutkan di

atas, secara meyakinkan dapat dikatakan bahwa religiusitas masyarakat Manukaya

tidaklah memudar akibat kemajuan ekonomi dan transformasi yang terjadi dewasa

ini. Di samping pengalaman religius yang datang dengan sendirinya, banyak pula

masyarakat dewasa ini mencari pengalaman religius, sebagaimana dipraktikkan

dalam berbagai aliran pendalaman agama. Selain munculnya kegairahan

pendalaman tatwa, muncul pula kegairahan mencari pengalaman batin (spiritual

experience), seperti dapat dilihat dari munculnya kelompok-kelompok spiritual,

kelompok tirta yatra, dan sejenisnya. Di samping kegairahan beragama,

tradisionalisasi ini juga bisa dilihat dari semakin menguatnya ikatan-ikatan

kewargaan. Pengamatan pada warga yang menyungsung Pura Tirta Empul di Desa

Manukaya secara meyakinkan menunjukkan bahwa religiusitas yang tinggi telah

bermuara kepada kebanggaan akan warga, serta termanifestasikan melalui

kegairahan di dalam melakukan upacara di Pura Tirta Empul.

305

Page 306: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Di era globalisasi melalui pintu pariwisata yang menyebabkan

perubahan, memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat dan

kebudayaan Desa Manukaya. Makna religius dimaksudkan sebagai makna yang

berhubungan dengan niskala (gaib). Dalam perubahan tersebut ada tindakan

demistifikasi di dalamnya, yaitu semacam proses degradasi kesucian, terutama

dalam hal arsitektur tradisional Bali yang masih ada di zaman pariwisata seperti

sekarang. Akibatnya adalah hal-hal yang sebelumnya dianggap suci dan tidak bi

sa di utak-atik dengan alasan apa pun, kemudian dianggap biasa-biasa saja dan

dapat digunakan sekehendak hati.

Globalisasi telah menghadirkan perbedaan-perbedaan yang meruntuhkan

totalitas, kesatuan nilai dari kepercayaan. Nilai-nilai kebudayaan luar yang

beragam menjadi basis dalam pembentukan sub-sub kebudayaan yang berdiri

sendiri dengan kebebasan-kebebasan ekspresi. Globalisasi yang ditandai oleh

perbedaan-perbedaan dalam kehidupan telah mendorong pembentukan definisi

baru tentang berbagai hal dan memunculkan praktik kehidupan yang beragam.

Berbagai dimensi kehidupan mengalami redefinisi dan diferensiasi terjadi secara

meluas.

Cara-cara orang mempraktikkan agama juga mengalami perubahan,

bukan karena agama mengalami proses kontekstualisasi, tetapi karena budaya

yang mengkontekstualisasi agama itu dengan tata nilai yang berbeda. Agama

dalam hal ini bukan merupakan sumber nilai dalam pembentukan gaya hidup,

tetapi lebih sebagai instrumen bagi gaya hidup itu sendiri. Wisata religius mulai

menjadi produk alternatif dalam industri pariwisata. Kecenderungan ini

306

Page 307: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menunjukkan proses komodifikasi kehidupan sehari-hari yang dikatakan oleh

Baudrillard melibatkan manipulasi tanda, sehingga yang dikonsumsi bukanlah

objek, tetapi sistem obyek (Featherstone, 1992 : 270).

Sejalan dengan proses komodifikasi, agama kemudian menjadi faktor

dalam pembentukan identitas diri yang sekali lagi menjadi alat dalam menegaskan

pluralitas agama dan penganutnya. Tampak di sini bahwa agama tidak lagi

menjadi suatu sistem ideologi yang memberikan basis pengetahuan dalam proses

evaluasi dan praktik kehidupan seseorang, karena agama lebih merupakan

”pelengkap” kehidupan. Pasar telah membuat kehidupan beragama begitu mudah,

dengan fasilitas-fasilias yang mampu menghadirkan sesuatu yang jauh menjadi

begitu dekat. Konteks ini telah mengikis sifat-sifat sakral dan praktik keagamaan

menjadi praktik sehari-hari dengan nilai yang jauh lebih profan.

Demistifikasi arsitektural dalam Pura Tirta Empul masa kini merupakan

dampak dari gerakan industralisasi pariwisata dalam kehidupan, yang pada

dasarnya bersifat tradisi. Era globalisasi melalui pintu pariwisata membuat ruang

arsitektur yang ada ikut mengalami posmodernisasi. Hal itu terkait dengan apa

yang dalam proses budaya disebut komodifikasi, khususnya dalam hal bagaimana

produk-produk seni dan budaya dikonsumsi secara baru dan berbeda oleh

pemakainya.

Terkait dengan religiusitas, pergerakan dan pergeseran juga terjadi pada

penggunaan ukiran-ukiran di rumah-rumah penduduk Desa Manukaya. Pada masa

lalu tidak sembarang orang boleh menggunakan ukiran tertentu, karena ukiran

memiliki perlambang dan kekuatan magis. Ukiran Boma misalnya, pada saat ini

307

Page 308: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

sah saja digunakan oleh kelompok masyarakat mana pun. Keangkeran

penggunaannya pada masa lalu telah digeser oleh modernisasi pariwisata,

sehingga secara dialektis, pertemuan keduanya melahirkan estetika kontemporer,

yaitu bentuk-bentuk budaya yang muncul, seperti ukiran Boma hanya mengikuti

kesenangan pemakainya. Hal yang pasti, sebagai akibat dari komersialisasi, terjadi

apa yang dalam bidang kajian budaya disebut sebagai proses komodifikasi.

Dengan kata lain, komodifikasi budaya telah terjadi akibat kepentingan pariwisata

untuk alasan mencari keuntungan sebesar-besarnya.

Perkembangan pariwisata yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan

masyarakat, ternyata tidak serta merta mengubah jatidiri masyarakat Desa

Manukaya yang memegang teguh kebudayaan Bali dan agama Hindu yang

diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Ini berarti, sesuai teori

kritis Agger (2007 : 64) masyarakat telah mampu merespons secara kritis,

bermanfaat, dan bermakna, perubahan yang terjadi di sekitarnya. Namun

demikian dari kajian yang dilakukan tampak terjadi penurunan makna religius

pada pusaka budaya Pura Tirta Empul. Keadaan itu tentu disebabkan oleh

perkembangan pariwisata yang terjadi belakangan ini melalui praktik-praktik

bisnis sehari-hari yang dihadapi oleh masyarakat Desa Manukaya.

7.2.2 Makna Pelestarian Budaya

Komodifikasi Pura Tirta Empul juga mengandung makna pelestarian

budaya. Pada dasarnya, setiap kebudayaan sebagai milik suatu masyarakat, dalam

intensitas dan kecepatan yang berbeda-beda senantiasa mengalami perkembangan.

Itu berarti bahwa dari waktu ke waktu dapat terjadi perubahan seiring dengan

308

Page 309: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

perubahan lingkungan dalam arti luas. Lingkungan dalam arti luas meliputi

lingkungan alamiah maupun lingkungan sosial. Sejarah suatu kebudayaan dapat

dibagi ke dalam beberapa tahap, yaitu (1) pembentukan, umumnya dibentuk pada

zaman prasejarah, (2) pemantapan, melalui pembangunan tradisi disertai

ketentuan pola tindakan sebagai sarana intensifikasi, (3) perluasan jelajah, seiring

dengan dinamika kependudukan atau dinamika politik, dan (4) pembentukan citra

budaya baru, sebagai akibat dari proses akulturasi atau asimilasi (Sedyawati,

2008 : 290).

Kesadaran budaya bagi seluruh masyarakat Manukaya kiranya perlu

senantiasa ditumbuhkembangkan, agar berkembang kepekaan untuk menghargai

budayanya. Informasi budaya yang menanamkan pemahaman multikultural, tetapi

sekaligus juga memupuk nasionalisme yang sehat, kiranya perlu diberi perhatian

serius oleh semua pihak, termasuk oleh media massa. Dewasa ini terlalu banyak

pertimbangan komersial dimenangkan terhadap pertimbangan moral dan jatidiri.

Pura Tirta Empul merupakan pusaka budaya yang strategis untuk

pemertahanan budaya dan sekaligus juga sebagai jatidiri masyarakat Desa

Manukaya. Adapun upacara adat dan hukum adat dalam konteks masyarakat yang

berubah dewasa ini, kiranya memerlukan reinterpretasi dalam kehidupan masa

kini. Tradisi-tradisi masyarakat dapat dilestarikan eksistensinya, tetapi agar tetap

relevan bagi kehidupan tidak ada salahnya diberi modifikasi di mana perlu.

Jadikan tradisi sesuatu yang indah, dan bukan yang memaksa atau mengekang.

Deklarasi Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai “the

309

Page 310: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

right to culture” pada dasarnya harus diartikan untuk mengambil bagian dalam

kehidupan berbudaya, dan mendapat kebahagiaan dari kebudayaan.

Pelestarian Pura Tirta Empul dilaksanakan melalui sejumlah program

pembangunan kebudayaan, adalah bagian dari pembangunan budaya yang sangat

luas dan kompleks. Hal itu sudah jelas, karena tujuan pembangunan ialah untuk

membangun manusia/masyarakat seutuhnya, baik yang bersifat material maupun

spiritual secara selaras dan seimbang. Pembangunan kebudayaan yang dilakukan

oleh pemerintah dapat dianggap sebagai pelaksanaan amanat Undang-undang

Dasar Republik Indonesia 1945 khususnya pasal 32 beserta penjelasannya. Dalam

pembangunan itu, tentu saja termasuk pembangunan produk budaya Pura Tirta

Empul sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. Dengan demikian, maka

jelaslah betapa pentingnya usaha-usaha pelestarian pusaka budaya, yang tidak

semata-mata bertujuan melestarian atau menyelamatkan bangunan kuno, tetapi

yang lebih penting adalah melestarikan nilai-nilai luhur yang dimilikinya.

Dalam kaitannya dengan pariwisata budaya yang dikembangkan di

daerah Bali, pelestarian Pura Tirta Empul harus menghadapi berbagai masalah.

Seperti diketahui, kecuali menjadi daerah tujuan wisata, Bali juga menjadi pusat

pengembangan kepariwisataan Indonesia bagian tengah, sehingga perkembangan

pariwisata sangat pesat. Dengan demikian, maka interaksi masyarakat lokal

dengan wisatawan mancanegara yang mempunyai latar belakang sosial budaya

berbeda menjadi sangat intensif.

Pelestarian nilai-nilai budaya sesungguhnya adalah suatu seleksi dan

sekaligus pemeliharaan nilai-nilai yang secara fungsional benar-benar dirasakan

310

Page 311: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, diyakini manfaat dan kegunaannya.

Dalam pelestarian inilah akan tercermin seberapa jauh tingkat kesadaran,

keyakinan, dan penghayatan terhadap nilai-nilai tadi. Dalam hal ini terjadi pula

memperkaya unsur-unsur yang telah lama dimilikinya dengan unsur-unsur baru

yang bermanfaat, tanpa mengalahkan unsur-unsur yang telah berakar dalam

masyarakat (Sutaba, 1991 : 28). Sebaliknya mungkin ada unsur-unsur lama yang

ditinggalkan, karena sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat.

Demikianlah akan berlangsung proses perubahan dan penerusan nilai-nilai dari

satu generasi ke generasi berikutnya.

Dalam usaha pelestarian nilai-nilai yang terdapat pada pusaka budaya,

baik lewat proses pewarisan atau proses lainnya, sebenarnya mengandung makna

yang mendalam. Pewarisan nilai-nilai budaya sesungguhnya juga bermakna

pelestarian yang di dalamnya terdapat makna yang sangat dalam dan penting bagi

masyarakat dan bangsa, yaitu pelestarian untuk memperkuat ketahanan budaya.

Ketahanan budaya sangat diperlukan sebagai landasan bagi pembangunan

manusia seutuhnya, di atas kepribadian sendiri yang berakar pada sejarah leluhur.

Dalam kaitannya dengan perkembangan dunia internasional atau pariwisata

dewasa ini, maka ketahanan budaya menjadi senjata penangkal untuk menghadapi

pengaruh luar yang tidak selamanya menguntungkan.

7.2.3 Makna Identitas Budaya

Masyarakat Bali (baca Hindu) terikat oleh adanya kesatuan budaya dan

diperkuat pula oleh pemakaian bahasa yang sama. Kebudayaan Bali yang dijiwai

oleh agama Hindu merupakan bagian dari kebudayaan nasional dan sekaligus

311

Page 312: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

sebagai identitas orang Bali. Dalam perspektif historis, kebudayaan Bali secara

garis besar berkembang dalam tiga tradisi pokok, yaitu tradisi kecil, tradisi besar,

dan tradisi modern (Geriya, 2008 : 2-3).

Tradisi kecil adalah kebudayaan lokal yang merupakan elemen-elemen

kebudayaan Austronesia, sedangkan tradisi besar merupakan akulturasi antara

kebudayaan Bali lokal dengan agama dan kebudayaan Hindu, merupakan refleksi

dari budaya ekspresif dengan ciri pokok dominan berupa nilai religius, estetika,

dan solidaritas. Tradisi modern yang datang kemudian memperlihatkan

karakteristik dominannya ciri-ciri kekuasaan, ekonomi, ilmu pengetahuan dan

teknologi, individualisme, dan materialisme. Sifat-sifat tradisi modern ini lebih

menunjukkan karakteristik budaya progresif (Geriya, 2008 : 142).

Dalam kaitannya dengan arus kebudayaan global, terutama dengan

perkembangan pariwisata, telah berkembang dialog nilai-nilai lama dengan nilai-

nilai baru dalam kebudayaan Bali. Dalam rentang waktu lebih dari tiga dekade

(1980-2010), proses pembangunan Bali diwarnai dengan terjadinya konflik dan

kompromi antara sektor pariwisata dan kehidupan sosial budaya. Hal itu bisa

dilihat dari dominannya wacana atau perdebatan sosial di media massa, antara

kalangan profesional (intelektual, seniman, pengusaha pariwisata) dan pemerintah

yang terfokus pada dampak positif dan negatif pariwisata.

Kenyataan menunjukkan bahwa semaraknya perkembangan kebudayaan

Bali adalah karena pariwisata. Sebaliknya, pariwisata senantiasa memikat, karena

daya tarik kebudayaan. Kebudayaan yang ekspresif mampu berkembang ke arah

watak kebudayaan progresif, yakni yang memberikan pendukungnya peluang

312

Page 313: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

untuk meraih manfaat ekonomi. Manfaat ekonomi itu terasa lewat komodifikasi

produk budaya, termasuk produk budaya Pura Tirta Empul.

Dalam penelitian ini, terkait dengan makna identitas budaya dapat

dikatakan bahwa identitas merupakan ciri khas, yaitu tanda dari kepribadian yang

tidak dimiliki oleh orang lain. Identitas digambarkan sebagai gejala yang

ditimbulkan oleh adanya interaksi antara manusia dan lingkungannya (Sadali,

2000 : 12). Sementara identitas budaya adalah ciri khas suatu kebudayaan yang

membedakan kebudayaan tersebut dengan kebudayaan yang lain. Identitas

terbentuk dari unsur-unsur kebudayaan, seperti lambang, sistem nilai, norma, adat

dan kesenian (Koentjaraningrat, 1987 : 43). Sehubungan dengan komodifikasi

Pura Tirta Empul sebagai makna identitas budaya, mengandung pengertian

produk budaya tersebut memiliki ciri khas yang merepresentasikan idenitas

budaya masyarakat Desa Manukaya. Dengan kata lain, identitas budaya di

ekspresikan dalam kajian ini terakumulasi lewat penggambaran melalui produk

budaya Pura Tirta Empul. Dalam kehadirannya, Pura Tirta Empul

mereprestasikan sesuatu lewat tanda dan simbol. Tanda dan simbol itu adalah teks

(Barker, 2005 : 11). Produk budaya Pura Tirta Empul, sebagaimana halnya sebuah

teks, menyimpan berbagai kemungkinan pembacaan yang beragam dari pembaca

teks. Teks-teks tersebut adalah segala sesuatu yang menghasilkan makna melalui

praktik pemaknaan.

Pura Tirta Empul dewasa ini telah menjadi teks dengan menerima dan

menyesuaikan diri dari segala perbedaan dan mengakui satu identitas budaya

masyarakat Desa Manukaya. Ikon budaya sebagai bentuk identitas merupakan

313

Page 314: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

efek dari sifat ikon budaya yang mengikat masyarakat pendukungnya melalui

relasi pandangan dan latar belakang budaya yang sama. Berdasarkan paparan di

atas dapat dikatakan bahwa makna idenditas budaya tampak semakin melemah

akibat terjadinya komodifikasi budaya.

7.2.4 Makna Kesejahteraan

Komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global

mengandung makna kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya. Komodifikasi

Pura Tirta Empul hadir dalam bentuk tampilan baru yang diarahkan untuk

kepentingan ekonomi. Komodifikasi Pura Tirta Empul dilakukan untuk

kepentingan pariwisata, karena pariwisata dianggap dapat memberi nilai ekonomi

bagi masyarakat Manukaya. Undang-undang No. 22 tahun 1999 juga memberi

peluang yang lebih luas bagi daerah atau desa dalam pengelolaan berbagai potensi

sumberdaya, termasuk sumberdaya budaya Pura Tirta Empul. Penekanan otonomi

di tingkat daerah dapat merangsang pengembangan pariwisata untuk peningkatan

pendapatan masyarakat. Dengan demikian, daerah atau desa-desa akan berusaha

menggali dan mengembangkan potensi sumberdaya alam dan sosial budaya

sebagai daya tarik wisata, karena pariwisata mempunyai potensi yang cukup besar

dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Berbagai potensi pariwisata digali

dan dimanfaatkan untuk mendukung bermacam-macam kegiatan ekonomi,

menciptakan lapangan kerja baru, memperoleh pendapatan, dan motif-motif

ekonomi lainnya.

Di masa lalu penduduk Manukaya bersandar pada mata pencaharian

pertanian sebagai pekerjaan utama. Belakangan muncul lapangan kerja tambahan

314

Page 315: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

seperti menciptakan hasil karya seni yang terkait dengan dunia pariwisata. Dalam

perkembangannya muncul lapangan kerja baru sejalan dengan perkembangan

pariwisata yang semakin intensif. Aktivitas pariwisata melahirkan lapangan kerja

lain, seperti perdagangan, jasa, bahkan perdagangan barang seni. Benda-benda itu

tidak lagi dibuat untuk kepentingan pribadi, tetapi dirancang untuk kepentingan

komoditi yang ikut meramaikan semaraknya pariwisata. Benda-benda seni, seperti

patung, kerajinan tangan, ukiran, dibuat dengan tujuan komersial.

Pergeseran nilai terjadi terhadap kreativitas budaya. Akibat

pengembangan pariwisata, kegiatan dan hasil seni yang semula bersifat tradisional

murni, mulai bergeser ke arah penyesuaian pasar. Bahkan kegiatan dan hasil karya

seni yang semula mengacu kepada kepentingan agama dan adat, kini mulai

dimasuki oleh kepentingan komersial. Pariwisata dapat meningkatkan

perekonomian masyarakat Manukaya. Peningkatan pendapatan melalui sektor

ekonomi, kemudian mendorong dilakukannya perbaikan-perbaikan terhadap

sejumlah pura lainnya yang ada di wilayah Desa Ada Manukaya (wawancara

dengan Bendesa Adat, 20 April 2010). Namun perbaikan itu, tentu saja tidak

terlepas dari tuntutan kebutuhan akibat meningkatnya jumlah penduduk di Desa

Manukaya.

Perkembangan pariwisata menghasilkan manfaat pada kehidupan

masyarakat. Kehidupan ekonomi meningkat, rumah-rumah penduduk tampak

lebih bagus dari sebelumnya. Demikian juga nuansa seni, tanpa mengabaikan

kepentingan-kepentingan tradisi dan agama. Hubungan penduduk, pariwisata,

315

Page 316: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

ekonomi, tradisi, dan agama adalah satu keterkaitan adanya pertumbuhan

pembangunan yang merupakan prinsip dari fungsi sosial kemasyarakatan.

Proses industrialisasi pariwisata juga menyebabkan pergeseran-

pergeseran dalam tatanan sosial masyarakat setempat, terutama solidaritas baru

dalam cara individu berhubungan dengan individu lainnya akibat modernisasi

pariwisata. Namun dalam hubungan sosial di lingkup parhyangan terjadi

solidaritas yang bersifat positif. Mereka mensyukuri dan berterima kasih karena

berkat kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan segala anugrahnya,

pariwisata dapat mensejahterakan kehidupan mereka. Mereka pun secara tulus

membayar hutang (rna) dengan cara memperbaiki fisik pura-pura yang ada,

termasuk Pura Tirta Empul dan menggelar upacara-upacara yang dibutuhkan.

Pura yang semakin bagus (luas, indah, estetik) di era globalisasi modern dengan

hadirnya bisnis pariwisata, pada gilirannya membuat komunikasi semua warga

masyarakat Manukaya semakin meningkat.

Seorang pedagang Putu Sarini yang diwawancarai 6 April 2010

mengatakan :

”Sebagai pedagang cenderamata di areal kompleks Pura Tirta Empul saya merasa bersyukur bisa memperoleh rejeki, meskipun tidak terlalu banyak. Rejeki yang saya dapatkan dari berjualan paling tidak dapat membantu kebutuhan sehari-hari atau membantu uang sekolah untuk anak-anak. Rejeki itu sudah barang tentu amat membantu ekonomi keluarga saya”.

Selanjutnya Desak Ketut Widiasih mengungkapkan hal yang sama di

bawah ini :

Saya bersyukur atas perkembangan pariwisata karena pariwisata sangat membantu kehidupan saya sekeluarga. Sebelum berjualan di sini saya bekerja sebagai buruh dan petani sambilan yang pekerjaannya sangat melelahkan dan hasilnya sangat sedikit. Penghasilan berjualan barang-

316

Page 317: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

barang kerajinan di sini tidak melelahkan, walaupun hasilnya tidak terlalu banyak tapi sangat berarti bagi kelangsungan keluarga. Saya tetap bersyukur dan senantiasa memohon berkah dan berbakti kehadapan yang melinggih di Pura Tirta Empul (wawancara, 26 Mei 2010).

Ungkapan kedua pedagang tersebut di atas sebagai rasa bersyukur atas

rejeki yang mereka dapatkan dari berjualan cenderamata di areal sekitar Pura Tirta

Empul. Apa yang mereka peroleh dirasakan sangat membantu ekonomi

keluarganya. Pariwisata telah terbukti menjadi salah satu alternatif dalam

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kepariwisataan telah memberikan

dampak positif terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Manukaya,

walaupun harus diakui bahwa tidak semua masyarakat secara merata terkena

imbas sektor pariwisata, karena pariwisata merupakan fenomena bisnis dan

ekonomi. Makna kesejahteraan di sini mengacu pada dampak pariwisata terhadap

masyarakat setempat, dalam hal ini baik masyarakat yang hidup atau tinggal di

sekitar Pura Tirta Empul, maupun masyarakat lain dalam dimensi yang lebih luas.

Menurut penuturan Made Yatna dan Ketut Ludra (wawancara, 17 April

dan 6 Mei 2010) :

”Saya mengucapkan terima kasih dan bersyukur kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kehadiran wisatawan di tempat ini membuat saya mendapatkan dampak ekonomi dan kesejahteraan. Kegiatan pariwisata di Pura Tirta Empul sungguh bermakna bagi saya, dan bersyukur pula karena warga tidak pernah mengeluarkan uang untuk perbaikan dan upacara di Pura Tirta Empul. Perbaikan bangunan-bangunan yang ada di kompleks Pura Tirta Empul dan segala kegiatan upacara termasuk piodalan, dananya bersumber dari hasil retribusi. Sekarang ini boleh dikatakan keadaan pembangunan di pura cukup baik, sehingga dana yang diperoleh juga untuk perbaikan tempat suci/pura lain di lingkungan Desa Adat Manukaya.

Pernyataan di atas memperjelas bahwa Pura Tirta Empul sebagai daya

tarik wisata dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Dalam Undang-undang

317

Page 318: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 (terlampir) tentang kepariwisataan,

pasal 3 disebutkan bahwa penyelenggaraan kepariwisataan bertujuan untuk

meningkatkan pendapatan nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat. Berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, Pura Tirta Empul

tampaknya telah dapat memberi kesejahteraan kepada warga masyarakat Desa

Adat Manukaya pada umumnya. Hal itu dapat dilihat dari hasil pengelolaan

pariwisata yang diterima oleh desa adat tersebut. Berberdasarkan informasi yang

diperoleh dari Bendesa Adat Manukaya, dana-dana tersebut selain dimanfaatkan

untuk biaya pembangunan, rehabilitasi, dan upacara di Pura Tirta Empul, juga

dimanfaatkan untuk perbaikan pembangunan pura-pura lain di wilayah Desa Adat

Manukaya.

Untuk meningkatkan kesejahteraan warga, krama desa juga mendirikan

koperasi yang menjual berbagai barang kerajinan hasil karya masyarakat (Gambar

7.9). Keberadaan koperasi ini diharapkan dapat membantu kesulitan-kesulitan

ekonomi yang dihadapi oleh warga desa dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan

Pura Tirta Empul sebagai daya tarik wisata juga telah memberi kesejahteraan

kepada krama desa adat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara

langsung, daya tarik wisata Pura Tirta Empul telah memberikan peningkatan

kesejahteraan kepada para pedagang, yaitu dengan memberi kesempatan, yang

berarti pula memberi kemudahan untuk memperoleh penghasilan yang dapat

digunakan untuk menunjang ekonomi keluarga, seperti biaya sekolah anak, biaya

upacara adat dan agama, dan biaya kehidupan sehari-hari.

318

Page 319: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Gambar 7.9 Koperasi Perajin di Kompleks Pura Tirta Empul Untuk Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat.(Dok. Setiawan, 2010)

Gambar 7.10 Kios-kios yang menjual berbagai barang kerajinan yang dapat menambah pendapatan masyarakat.(Dok. Setiawan, 2010)

319

Page 320: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Secara tidak langsung, keberadaan Pura Tirta Empul telah memberi keringanan

dan jaminan kepada masyarakat berupa bantuan dana untuk biaya pembangunan

dan upacara di pura. Dengan demikian komodifikasi Pura Tirta Empul

mengandung makna kesejahteraan terhadap masyarakat Desa Manukaya.

Temuan Baru Penelitian

Penelitian komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata

global menghasilkan beberapa temuan yang merupakan pemahaman baru. Adapun

temuan baru penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pertama, Pura Tirta Empul, selain sebagai tempat suci juga sebagai situs

cagar budaya dan daya tarik wisata budaya. Oleh karena itu, pengelolaannya

dilakukan oleh masyarakat lokal, pemerintah daerah, dan bahkan pemerintah

pusat. Proses komodifikasi Pura Tirta Empul, yaitu mulai proses produksi,

distribusi, dan konsumsi dilakukan oleh masyarakat pemilik kebudayaan,

pemerintah, dan pemilik modal (kapitalisme). Mereka menjadikan Pura Tirta

Empul sebagai barang komoditas. Proses komodifikasi berjalan secara terencana,

karena didorong oleh sikap krama desa adat dan adanya hegemoni pemerintah

daerah menerima pariwisata dengan sikap terbuka dan kreatif.

Kedua, produk budaya Pura Tirta Empul ternyata dalam konteks

kekinian terjadi perkembangan pemaknaan sebagai sebuah ciri kajian budaya,

yaitu munculnya praktik pemakmaan terhadap suatu produk budaya.

Perkembangan makna itu dapat dilihat pada munculnya ikon Pura Tirta Empul

dalam media massa sebagai industri budaya. Dengan munculnya Pura Tirta Empul

sebagai industri budaya, berkembanglah pemaknaan Pura Tirta Empul ke makna

320

Page 321: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

ekonomi, yaitu pengguna ikon Pura Tirta Empul sesungguhnya telah

menggunakan modal budaya untuk mengumpulkan modal ekonomi. Dengan

demikian, pengumpulan modal ekonomi akan mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Ketiga, berkembangnya industri pariwisata global juga menyebabkan

bergesernya nilai-nilai religius ke nilai-nilai profan. Dalam pengamatan di

lapangan, sesungguhnya telah terjadi hiperealitas dalam aspek spiritualitas atau

hiperspiritualitas. Namun demikian, fungsi pura masih tetap sama, yaitu sebagai

sthana Ida Sang Hyang Widhi Wasa, para dewa, dan roh suci leluhur beserta

segala manifestasinya yang bersifat niskala. Dalam perkembangannya fungsi

sekala mengikutinya. Globalisasi yang intens masuk ke dalam ranah kehidupan

masyarakat telah mengubah pandangan sebagian orang tentang hal-hal yang

religius magis. Bahkan hal itu membuat semakin menifisnya keyakinan

masyarakat terhadap nilai-nilai religius.

Refleksi

Keindahan alam dan potensi budaya yang dimiliki, Bali akhirnya

memutuskan dan menetapkan konsep pariwisata budaya (cultural tourism)

sebagai ideologi pengembangan pariwisata. Tahapan kesadaran untuk menetapkan

budaya sebagai daya tarik, akhirnya sampai pada wujud legitimasi penetapan

Perda No. 3/1991 (terlampir) tentang pariwisata budaya. Perda No. 3/1991 Bab I,

Pasal 1 mendefinisikan pariwisata budaya sebagai berikut.

”Pariwisata budaya adalah jenis kepariwisataan yang dalam perkembangan dan pengembangannya menggunakan kebudayaan Daerah Bali yang dijiwai oleh agama Hindu yang merupakan bagian dari kebudayaan nasional sebagai

321

Page 322: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

potensi dasar yang paling dominan, yang di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal-balik antara pariwisata dengan kebudayaan, sehingga keduanya meningkat secara serasi, selaras, dan seimbang”.

Rumusan di atas tampak jelas bahwa pengembangan pariwisata di Bali

menggunakan budaya sebagai modal utama. Rumusan itu bersifat dialogis, karena

secara eksplisit menegaskan hubungan timbal-balik antara pariwisata dan

kebudayaan. Target yang ingin dicapai dalam pembangunan pariwisata budaya

adalah terwujudnya kemajuan yang serasi, selaras, dan seimbang antara sektor

pariwisata dan budaya.

Dewasa ini pariwisata sudah menjadi bagian integral dari kehidupan

masyarakat Bali pada umumnya dan masyarakat Desa Manukaya pada khususnya.

Internasionalisasi lewat pariwisata, khususnya pariwisata budaya yang

dikembangkan di Bali, membawa masyarakat Manukaya terjepit di antara dua

kutub kekuatan. Di satu pihak mereka wajib memelihara tradisi dan adat

budayanya yang merupakan komoditas yang dapat dijual, di sisi lain,

internasionalisasi melalui jaringan pariwisata berarti membenturkan kebudayaan

lokal dengan dunia modern.

Dengan kehadiran pariwisata, masyarakat Manukaya secara dinamis dan

kreatif telah mendialogkan antara proses internasionalisasi dengan tradisionalisasi

untuk melakukan metamorfosis. Jika dilihat dalam kurun waktu yang panjang,

masyarakat dan kebudayaan sudah berubah, namun esensi Bali masih tetap kuat.

Perubahan sosial budaya yang terjadi melalui proses dialog antara kekuatan

internasionalisasi dan tradisionalisasi menyebabkan masyarakat Desa Manukaya

seakan-akan melakukan ”konversi”. Namun konversi tersebut dilakukan tetap

322

Page 323: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

dalam agama Hindu dengan nuansa Bali. Meskipun terjadi kontak yang intensif

dengan pariwisata, identitas kebalian ternyata masih tetap kuat. Masyarakat Desa

Manukaya sadar bahwa mereka harus beradaptasi dengan dunia yang sedang

berubah, sementara pada saat yang sama mereka juga sadar untuk menjaga

kontinyuitas budaya dan identitasnya. Dengan cara ini masyarakat Manukaya

secara terus-menerus mengukir kembali identitasnya, sementara benang merah

masa lalunya tidak diputus.

Pengembangan pariwisata, khususnya pariwisata budaya, dapat

menyebabkan komodifikasi budaya. Pariwisata budaya yang dikembangkan

Pemerintah Daerah Provinsi Bali sangat berpotensi terjadinya komodifikasi

sebuah produk budaya, termasuk Pura Tirta Empul. Dalam kehidupan di era

globalisasi dewasa ini serta maraknya semangat desentrasilisasi dan otonomi

daerah, komodifikasi sulit dihindarkan. Ketika lahan semakin dibutuhkan untuk

pengembangan pembangunan ekonomi sebagai pendapatan, pusaka budaya yang

seharusnya dilestarikan justru dikomodifikasi untuk mendatangkan keuntungan

ekonomi.

Upaya pengembangan pariwisata berbasis pusaka budaya harus

melibatkan empat pilar, yakni masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan pusaka

budaya. Masyarakat merupakan pilar sosial, pemerintah merupakan pilar politik,

pengusaha merupakan pilar ekonomi, dan pusaka budaya merupakan pilar budaya.

Pusaka budaya merupakan aset pariwisata yang dapat dimasukkan ke dalam

industri pariwisata.

323

Page 324: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dalam pandangan Nuryanti (1996 : 250), para wisatawan tua menjadi

pasar potensial pariwisata budaya, karena mereka umumnya ingin mencari dan

mengkonstruksi pemahaman sendiri mengenai objek-objek yang dilihat. Abad ke-

20 ditandai dengan kesadaran baru untuk mencari cara-cara baru dalam

berkomunikasi dengan masa lalu. Hal itu merefleksikan adanya kecenderungan di

antara wisatawan global mencari sesuatu yang baru melalui pencarian nilai-nilai

sosial tradisional. Semua itu dapat ditemui melalui pariwisata budaya. Pariwisata

budaya dan pusaka budaya sendiri baru dikenal sejak dua dasawarsa terakhir

sebagai pasar pariwisata spesifik (Richards, 1996 : 265).

Pariwisata budaya mencakup semua jenis pariwisata yang menyangkut

kebudayaan, baik dalam pengertian ideofact, sociofact, dan artefact, sehingga

pariwisata pusaka budaya atau bangunan bersejarah merupakan bagian daripada

pariwisata budaya. Masuknya serangkaian perkembangan budaya yang disebut

paradigma budaya baru dalam pariwisata dan munculnya kondisi-kondisi

sosiologis masyarakat masa kini, merupakan sesuatu yang diistilahkan sebagai pos

modernisme.

Pura Tirta Empul sebagai pusaka budaya serta menyimpan sejumlah

tinggalan arkeologi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata. Tinggalan

arkeologi mempunyai peran penting dalam upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat di sekitarnya, karena produk budaya tersebut memiliki potensi untuk

dijual kepada para wisatawan. Nilai ekonomi yang diperoleh akan sangat berguna

bagi pengembangan berbagai macam pembangunan untuk kemakmuran

masyarakat. Melalui pusaka budaya Pura Tirta Empul, masyarakat Desa

324

Page 325: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Manukaya bisa memperoleh pendapatan yang cukup besar bagi kesejahteraan

hidup masyarakatnya. Namun demikian, keuntungan ekonomi yang diperoleh

hendaknya dikembalikan untuk pelestariannya dan pengembangan kehidupan

sehingga dapat diwariskan kepada generasi yang akan datang sebagai identitas

dan kebanggaan budaya.

Berbagai program penyelamatan pusaka budaya, pengembangan budaya,

akan lebih lancar jika kesadaran masyarakat akan program pembangunan

pariwisata tersebut sudah jelas. Untuk itulah, sosialisasi ideologi pariwisata

budaya harus dilaksanakan secara berlanjut, dengan memanfaatkan lembaga-

lembaga modern dan tradisional yang ada, termasuk melalui media massa.

Sasarannya adalah pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pemerintah

mempunyai kekuatan dan kewenangan untuk mengatur dan mengkoordinasikan

komponen-komponen yang ada, pengusaha mempunyai kekuatan di bidang

finansial, dan masyarakat sebagai penerima informasi dan pemilik kebudayaan

juga mempunyai kekuatan dalam upaya pelestarian produk budaya. ICOMOS

(International Council of Monument and Site) pada sidangnya bulan Oktober

1999 (Ardika, 2007 : xi-xii) telah mengadopsi International Cultural Tourism

Charter dalam kaitannya dengan pemanfaatan pusaka budaya sebagai daya tarik

wisata. Pemanfaatan pusaka budaya untuk kepentingan pariwisata harus

melibatkan dan menguntungkan masyarakat lokal.

325

Page 326: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

BAB VIII

SIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Dalam bab-bab sebelumnya telah dibahas tentang komodifikasi Pura

Tirta Empul dalam konteks pariwisata global. Berdasarkan pembahasan dengan

menggunakan teori komodifikasi, hegemoni, dekonstruksi, dan teori semiotika

maka mengenai proses komodifikasi Pura Tirta Empul, faktor-faktor yang

mendorong komodifikasi, serta dampak dan makna komodifikasi dapat

dikemukakan simpulan-simpulan sebagai berikut.

Pura Tirta Empul sebagai tempat suci merupakan suatu yang ideal di

masa lampau. Namun dalam perkembangannya, perubahan zaman menghasilkan

perubahan budaya telah mengakibatkan apa yang menjadi patokan atau awig-

awig tidak selalu berjalan mulus. Semua bergulir dan berubah. Pura Tirta Empul

yang sebelumnya bukan merupakan komoditi, kini menjadi komoditi melalui

proses komodifikasi. Komodifikasi Pura Tirta Empul di Desa Manukaya telah

mengalami proses sejarah yang panjang, diawali dengan adanya gejala

komodifikasi yang cenderung mengarah pada pergeseran nilai-nilai yang

dilakukan oleh masyarakat, pemerintah, dan pengusaha dalam memproduksi dan

mendistribusikan dalam upaya memenuhi permintaan pasar. Gejala-gejala

komodifikasi Pura Tirta Empul seperti dialektika sakral dan profan atau

memudarnya aspek ritual sehingga komodifikasi Pura Tirta Empul hadir dalam

bentuk tampilan yang indah, namun perlahan-lahan dan pasti kesakralan

326

324

Page 327: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

diabaikan. Bentuk-bentuk komodifikasi Pura Tirta Empul terjadi sejak proses

produksi, distribusi, dan konsumsi, sebagai satu kesatuan. Produksi dan distribusi

bentuk komodifikasi Pura Tirta Empul dilakukan atas inisiatif masyarakat sendiri

dan secara kelembagaan dengan Pemerintah Kabupaten Gianyar dan Balai

Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali, NTB, NTT.

Meningkatnya pendapatan masyarakat dari bisnis pariwisata yang

berkembang, estetika tradisi pun mengalami reinterpretasi. Pariwisata berintikan

peristiwa bisnis, yaitu kegiatan jual-beli produk, termasuk produk budaya Pura

Tirta Empul. Dalam konteks kehadiran industri pariwisata, tidak dipungkiri bahwa

masyarakat Manukaya berhasil menanggapi secara positif melalui proses

adaptasi. Industri pariwisata berhasil membawa perubahan masyarakat ke arah

rasionalitas, khususnya rasionalitas ekonomi. Dari sisi lain dapat dikatakan bahwa

masyarakat Desa Manukaya telah mengalami modernisasi. Produk budaya dalam

sistem kepariwisataan telah dimanfaatkan sebagai modal budaya oleh masyarakat

setempat yang dapat ditransformasikan menjadi modal ekonomi.

Faktor-faktor yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul

mencakup faktor internal dan eksternal. Faktor internal adalah faktor-faktor yang

muncul dari konstruksi budaya lokal, seperti munculnya pola pikir baru

masyarakat pendukung kebudayaan, kreativitas dan inovasi untuk memperindah

pura di tengah-tengah pusaran arus budaya global. Adapun faktor eksternal adalah

faktor yang cenderung kepada penguasaan, stadarisasi, yang dapat melengserkan

budaya lokal. Faktor eksternal adalah bagaimana arus budaya global, budaya

kapitalisme memainkan peran dalam menentukan eksistensi Pura Tirta Empul,

327

Page 328: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

seperti perkembangan pariwisata, industri budaya, peran media massa, dan

hegemoni Pemerintah Daerah Kabupaten Gianyar melalui Dinas Pariwisata.

Dampak dan makna komodifikasi Pura Tirta Empul adalah implikasi

yang kuat berkaitan dengan bergesernya nilai magis-religius. Komodifikasi Pura

Tirta Empul berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya. Dampak

terhadap kehidupan sosial ekonomi adalah meningkatnya taraf kesejahteraan

kehidupan masyarakat Desa Manukaya. Hasil modernisasi melalui pariwisata juga

dimanfaatkan untuk menghidupkan kembali kehidupan tradisinya. Mereka tidak

melupakan tradisi yang dimiliki, begitu mereka menapaki keberhasilan dalam

kehidupan modernitas. Uang yang diperoleh dari penyedaiaan fasilitas wisata

kepada wisatawan dikembalikan kepada adat dan tradisi, seperti pelaksanaan

upacara-upacara keagamaan serta sarana dan prasarana yang mendukungnya. Dari

sisi ini tampak bahwa masyarakat Desa Adat Manukaya Let begitu arif memaknai

keberhasilan yang diperolehnya. Wujudnya adalah pelaksanaan upacara agama

secara lebih teratur dan berkualitas, di samping memperbaiki pura sesuai dengan

kemampuan ekonomi masyarakat itu sendiri. Sedangkan dampak terhadap sosial

budaya cenderung kurang menguntungkan karena telah terjadi komersialisasi

tempat suci. Komersialisasi tempat suci dapat mengakibatkan bergesernya atau

menurunnya nilai-nilai religius dalam tempat suci tersebut.

Makna komodifikasi Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global,

selain makna komodifikasi itu sendiri, lahir pula makna-makna lainnya seperti

makna religius yang berkaitan dengan keagamaan, makna pelestarian budaya

terkait dengan keberlangsungan produk budaya. Makna identitas budaya yang

328

Page 329: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

menghadirkan makna-makna lain seperti makna kebanggaan, makna ideologi,

makna sosial, makna solidaritas, makna kebersamaan, dan makna komunikasi

budaya. Makna identitas budaya secara internal diekspresikan ke dalam banyak

hal melalui elemen-elemen bangunan seperti ragam hias dan ornamen-ornamen

yang menghias bangunan sehingga menghadirkan makna-makna baru. Dan yang

terakhir adalah makna kesejahteraan yang terkait dengan peningkatan pendapatan

masyarakat melalui berbagai usaha dengan memanfaatkan Pura Tirta Empul

sebagai daya tarik wisata.

Masyarakat Manukaya pun memaknai secara baru segala seluk-beluk

pemaknaan konsep-konsep kebalian. Hal itu dianggap penting karena jika mereka

justru kaku pada penerapannya, mereka akan tergilas dan tidak bisa berjalan

dengan kebutuhan pariwisata, yang berarti bahwa peluang ekonomi akan hilang

begitu saja. Apa yang dilakukan sekarang, keuntungan didapat karena di satu sisi

masyarakat dapat menjalankan kehidupan adat dan budayanya secara

berkesinambungan, sementara di sisi lain, mereka dapat menjawab peluang-

peluang pariwisata secara menguntungkan.

8.2 Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi untuk

penelitian lebih lanjut dan mendalam bagi berbagai disiplin ilmu sesuai dengan

karakteristik kajian budaya yang multidisipliner. Modal budaya berupa pusaka

budaya dapat dikembangkan menjadi modal ekonomi yaitu sebagai aset agar

dapat memberikan kontribusi yang signifikasn dalam pembangunan untuk

329

Page 330: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

mensejahterakan masyarakat, dengan tetap menjaga nilai-nilai budaya dan

kearifan lokal sebagai cirikhasnya.

Ditinjau dari segi nilai-nilai budaya, dapat dikatakan bahwa nilai-nilai

budaya lama dan baru bukanlah merupakan dua hal yang bersifat terpisah. Cukup

banyak nilai budaya yang masih dianut dewasa ini pada hakikatnya merupakan

produk masa lampau. Dalam upaya memanfaatkan nilai-nilai budaya lama dalam

menghadapi masa kini dan masa yang akan datang diperlukan kearifan

menyeleksi agar didapat nilai-nilai yang betuk-betul bermanfaat bagi kehidupan.

Kepada para peneliti yang tertarik dengan permasalahan pusaka budaya

dalam kaitannya dengan pariwisata atau penelitian sejenis dengan topik dan

permasalahan yang berbeda, maka hasil penelitian ini terbuka untuk dikritik, dan

terbuka untuk penelitian lanjutan, untuk dikaji secara mendalam agar mendapat

pemahaman yang lebih kritis berbagai dimensi komodifikasi Pura Tirta Empul

dalam konteks pariwisata global.

Penelitian ini dapat dijadikan kontribusi sebagai bahan pertimbangan

kepada para pemimpin masyarakat di berbagai strata kehidupan, para penentu

kebijakan di tingkat desa, kabupaten, pimpinan organisasi kelembagaan sosial

budaya dengan memecahkan berbagai permasalahan untuk kesejahteraan bersama.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan dan kemajuan

disiplin ilmu kajian budaya, di samping sebagai sumber rujukan dalam dinamika

kreativitas kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Manukaya.

330

Page 331: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, 2007. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Acharya, Prasanna Kumar. 1933. Architecture of Manasara. London : Oxford University Press.

Adorno, Theodor. 1991. The Culture Industry : Selected Essay on Mass Culture Routledge : London.

Agger, Ben. 2007. Teori Sosial Kritis, Praktik Penerapan dan Implikasinya. Yogyakarta : Penerbit Kreasi Wacana.

Agus Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Alam, Bahtiar. 1988. “Globalisasi dan Perubahan Budaya Perspektif Teori Kebudayaan” dalam Antropologi Indonesia. Vol. 21 No. 54, h. 1-11.

Althusser, L. 2004. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural Studies (Terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra.

Anderson, Ben. 1991. Imagined Communities. London : Verso.

Appadurai, Arjun. 1993. “Disjuncture and Difference in the Global Economy”. Dalam Featherstone (ed) Global Culture, Nationalism, Globalization and modernity. London : SAGE Publication Ltd. Hal. 295-310.

_______. 1996. Modernity at Large : Cultural Dimensions of Globalization. London : Routledge.

Ardana, I Gst. Gde. Dkk. 1983. Inventarisasi Aspek-aspek Nilai Budaya Bali. Denpasar. Pemda Provinsi Bali.

Ardika, I Wayan. 1995. “Nilai dan Makna Tinggalan Arkeologi Sebagai Sumberdaya Budaya”. Makalah disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Arkeologi IAAI Komda Bali.

_______. 2004. “Pariwisata Bali : Membangun Pariwisata Budaya dan Mengendalikan Budaya Pariwisata” dalam Bali Menuju Jagadhita. Aneka Persepktif. Denpasar : Pustaka Bali Post.

331

329

Page 332: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

________. 2006 “Pengelolaan Warisan Budaya Sebagai Objek dan Daya Tarik Pariwisata”. Dalam Bali Bangkit Kembali. Denpasar : Universitas Udayana.

_______. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Denpasar : Pustaka Larasan.

_______. 2008. “Pariwisata dan Komodifikasi Kebudayaan Bali”. Dalam Pusaka Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas. Denpasar : Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Unud.

Arsana, I.G.A. dkk. 1991. Kesadaran Budaya Tentang Tata Ruang Pada Masyarakat Bali. Jakarta : Departemen P & K.

Astawa, I Made, t.th. Tirta Empul Untuk Kesehatan Fisik dan Mental. Denpasar : Dharma Duta.

Astika, I Ketut Sudhana. 1986. Peranan Banjar Pada Masyarakat Bali : Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

_______. 1994. ”Seka Dalam Kehidupan Masyarakat Bali”. Dalam Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Penerbit Bali Post.

Astra, I Gede. Semadi. 1997. Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno Abad XII-XIII : Sebuah Kajian Epigrafis (Diss. belum diterbitkan). Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

_______. 2004. “Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Memperkokoh Jatidiri Bangsa di Era Global” Dalam Politik Kebudayaan dan Indentitas Etnik. Denpasar. Fakultas Sastra Universitas Udayana dan Bali Mangsi Press.

Atmaja, Nengah Bawa. 2008. “Ideologi Tri Hita Karana – Noeliberalisme = Vilanisasi Radius Suci Pura (Perspektif Kajian Budaya”) Dalam Dinamika Sosial Masyarakat Bali. Denpasar : Fakultas Sastra Unud.

Atmaja, Jiwa. 2010. ”Dampak Pariwisata Terhadap Kebudayaan Bali”. Dalam Pariwisata Berkelanjutan Dalam Pusaran Krisis Global. Denpasar : Udayana University Press.

Atmosudiro, Sumijati, dkk. 2001. Jawa Tengah : Sebuah Potret Warisan Budaya. Yogyakarta.

Bagus, I Gusti Ngurah. 1971. “Kebudayaan Bali” Dalam Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Hal 279-299. Jakarta : Penerbit Jambatan.

_______. 1975. Bali Dalam Sentuhan Pariwisata. Denpasar.

332

Page 333: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

_______. 1999. “Keresahan dan Gejolak Sepuluh Tahun di Bali : Beberapa Catatan Tentang Perubahan Sosial di Era Globalisasi”. Dalam Panggung Sejarah Persembahan Kepada Prof. D. Lombard. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Barker, Chris. 2005. Cultural Studies Teori dan Praktik (terjemahan : Tim Kunci Cultural Studies Centre). Yogyakarta : Bentang (PT. Bentang Pustaka).

Barthes, Roland. 2006. Mitologi (penerjemah Nurhadi, A. Sihabul Millah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Baudrillard, Jean P. 1981. For Critique fot The Political Economy of the Sign. United States : Telos Press.

_______. 1997. Simulacra and Simulation. Michigan : The University of Michigan.

_______. 2009. Masyarakat Konsumsi (penerjemah : Wahyunto). Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Bourdieu, Pierre. 1991. Language and Symbolic Power. Cambridge : Polity.

Budhisantoso. 1980. “Pariwisata dan Pengaruhnya Terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa” Dalam Analisis Kebudayaan, Tahun I, No. 1. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hal. 11-19.

Bungin, Burhan. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Cleere, Henry F. 1990. “International The Rationale of Archaeological Heritage Management”. Dalam Archaeological Heritage Management in the Modern World. London : Unwin – Hyman.

Coover, C. et.al. 1993. Tourism Principles and Pratice. London : Pitman Publishing.

Couteau, J. 1986. Milicu et Peinture, Lecas de Bali. (Thesis) Untuk Memperoleh Gelar Doktor di EHEES. Paris.

Covarrubias, Miquel. 1972. Island of Bali. Oxford : University Press.

Darmadi, IGN. Eka. 2006 “Pariwisata Antara Kewirausahaan dan Kewirabudayaan”. Jurnal Kajian Budaya. Vol. 3. No. 5. Januari. Hal. 67-87.

333

Page 334: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Dean, Y. Gee. 1999. International Tourism : A Global Perspektive. USA : University of Hawai at Manoa.

Drajat, Hari Untoro. 1991. Exploitative Management of The Archaeological Heritage Management in Indonesia. A Thesis of Subsmitted for the Degree of Master Art in Archaeological Heritage Management. University of York. England.

Dwipayana, A.A. GN. Ari. 2005. Globalism : Pergulatan Politik Representasi Atas Bali. Denpasar : Uluangkep Press.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, dan Teknik Penelitian Kebudayaani. Yogyakarta : Pustaka Widyatama.

Erawan, I Nyoman. 1993. ”Pariwisata Dalam Kaitannya dengan Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : Upada Sastra.

Fairclough N. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge : Polity Press.

Fakih, M. 2002. Jalan Lain Manifesto Intelektual Organik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra dan Strukturalisme Genetik Sampai Postrukturalisme. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Featherstone, Mike, 1991. Consumer Cultural and Post Modernism. London. Sage Publication.

_______. 2008. Posmodernisme dan Budaya Konsumen (terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Foucoult, Michel. 1980. Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writings. 1972-1977. New York : Partheon.

Froment, GJ. 1981. Feril a Bali “Repertoire des Voyages, 351 : 75-84.

Garna, Yudistira, K. 1992. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung : Program Pascasarjana Universitas Pajajaran.

Geertz, C. 1977. Penjaja dan Raja Perubahan Sosial dan Modernisasi Ekonomi

di Dua Kota Indonesia (Penerjemah R. Soepomo). Jakarta : PT. Gramedia.

Gelgel, I Putu. 2006. Industri Pariwisata Indonesia dalam Globalisasi Perdagangan Jasa. Bandung : PT. Refika Aditama.

334

Page 335: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Geriya, I Wayan. 1993 “ Model Interaksi Kebudayaan dan Industri Pariwisata Pada Masyarakat Bali”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : PT. Upada Sastra.

_______. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI. Surabaya: Penerbit Paramita.

Giddens, Anthony. 1991. Modernity and Self Identity. Cambridge : Polity Press.

Gollsmit, Marshall. 1998. “Global Commnities of Choice”. dalam Community of The Future. San Fransisco : Jassy-Bass Publishers.

Goris, R. 1954. Prasasti Bali I. Bandung : NV Masa Baru.

Gramsci, Antonio. 1971. Selections from Prison Note Books. New York : International Publisher.

Griaddhi, I Ketut Writa. Dkk. 1991. “Subak Dalam Perspektif Hukum”. Dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Denpasar : Upada Sastra.

Hanna, W.A. 1972. “Bali in The Seventies Cultural Tourism” American Universities Field Staff Report, Southeast Asia Series. 20/2 : 1-7.

Harker, Richards (eds). 2005. (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, Pengantar Paling Komprejensif Kepada Pemikiran Pierre Bourdieu (terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra.

Hebermas, J. 2007. Teori Tindakan Komunikatif, Kritik Atas Rasio Fungsionalis (Nurhadi Penerjemah). Yogyakarta : Kreasi Wacana.

Hidayat, R. 2004. Ilmu yang Seksis Feminisme dan Perlawanan Terhadap Teori Sosial Maskulin. Yogyakarta : Jendela.

Ibrahim, Idi Subandy. 1997. “Kebudayaan Pop Dalam Masyarakat Komoditas Indonesia”. Dalam Ecstasi Gaya Hidup. Bandung : Mizan.

Ismayanti. 2010. Pengantar Pariwisata. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Jaman, I Ketut. 1999. Kemitraan Lembaga Adat dengan Pemerintah dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan : Studi Kasus di Desa Manukaya Tampaksiring (Tesis). Denpasar : Program Studi S2 Kajian Budaya.

335

Page 336: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Jary, David, dkk. 1991. Collins Dictionary of Sociology. Glasgow : Harfer Collins Publisher.

Kaeppler, AL. 1997. ”Polynesian Dance as Airport Art”. Dalam Asean and Pacific Dance. St. Al. Card. Hal. 71-84.

Kasiyan. 2009. Manipulasi dan Dehumanisasi Perempuan Dalam Iklan. Yogyakarta : Penerbit Ombak.

Kempers, AJ. Bernet. 1960. Bali Purbakala : Petunjuk Tentang Peninggalan Purbakala di Bali. Djakarta : PT. Penerbit dan Balai Buku Ichtiar.

Korten, David. C. 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyakatan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Kusuma, I Nyoman Weda. 2005. Kekawin Usana Bali Karya Danghyang Nirartha. Denpasar : Pustaka Larasan.

Lee, Martin. 2006. Budaya Konsumen (terjemahan). Yogyakarta : Bentang.

Lipe. W.D. 1984. “Value and Meaning in Cultural Resource”, Dalam Approaches to The Archaeological Heritage. Hal. 1-11. Cambridge : University Press.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistimologi Modern, dari Posmodermisme, Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta : Pustaka Indonesia Satu.

Lury, Celia. 1998. Budaya Konsumen. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Macdonell, Diane. 2005. Teori-teori Diskursus, Kematian Strukturalisme dan Kelahiran Poststrukturalisme, dari Althusser Hingga Foucault (Terjemahan). Jakarta : Teraju – Mizan.

Marcuse, H. 2004. Cerita dan Peradaban (Terjemahan). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Mariyah, Emiliana. 2006. “Kekinian Kajian Budaya di Bali” Dalam Jurnal Kajian Budaya. Hal. 1-18. vol. 3 No.6. Juli. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.

Meleong, Lexy J. 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Miles, Matthew B. dan Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi). Jakarta : UI Press

336

Page 337: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Millau, C. 1974 “Pitie four Bali” Le Nouveau Guide 68 : 66-72.

Mundardjito. 1993. Tantangan Arkeologi Indonesia Dalam Pembangunan Nasional. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap. Fakultas Sastra UI. Jakarta.

Norris, Christopher. 2008. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derrida. Yogyakarta : Ar Ruzz.

Nuryanti, Wiendu. 1996. “Heritage and Posmodernism Tourism”. Dalam Heritage and Tourism, Special Issue, Annals of Tourism Research Social Sciences, Jurnal, Vol. 23 Number 2. hal. 249-260.

O’neil. WF. 2001. Ideologi-ideologi Pendidikan (Penerjemah Omi Intan Naomi). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia.

Piliang, Yasraf Amir. 1999. Hiper Realitas Kebudayaan. Yogyakarta : LKIS. _______. 2003. Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.

Yogyakarta : Jalasutra.

______. 2006a. Dunia yang Dilipat Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Bandung : Percetakan Jalasutra.

______. 2006b. ”Cultural Studies dan Posmodernisme” : Isyu, Teori, dan Metode” hal. 19-34. vol. 3 No.6. Juli. Denpasar : Program S2 dan S3 Kajian Budaya Universitas Udayana.

Pitana, I Gede. 1994. Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali. Denpasar : Bali Post.

_______. 1999. ”Kepariwisataan Bali Dalam Konteks Kompetisi Global dan Otonomi Daerah”. Denpasar.

_______. 2006, “Industri Budaya dalam Pariwisata Bali : Reproduksi, Presentasi, Konsumsi dan Konservasi Kebudayaan”. Dalam Bali Bangkit Kembali. Kerjasama Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia dan Universitas Udayana.

_______. 2008. ”Kepariwisataan Bali dalam Jejaring Nasional dan Global”. Dalam Kebudayaan dan Modal Budaya Bali Dalam Teropong Lokal, Nasional, Global. Denpasar : Widya Dharma.

337

Page 338: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Pitana, I Gde, Gayatri, Putu. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta. Penerbit Andi.

Pujaastawa, I.B.G. dkk. 2005. Pariwisata Terpadu Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah. Denpasar : Penerbit Universitas Udayana.

Putra, IB. Wyasa. 1998. Bali dalam Perspektif Global. Denpasar : PT. Upada Sastra.

Putra, I Nyoman Darma. 2002. “Pariwisata Budaya antara Polusi dan Solusi : Pengalaman Bali”. Dalam Masalah Budaya dan Pariwisata dalam Pembangunan. Denpasar : Progam Studi Magister (Kajian Budaya Universitas Udayana.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

_______, 2006. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Richard, G. 1996. “Production and Consumption of European Cultural Tourism”. Dalam Annal of Tourism Research. Vol. 23. No. 2. hal. 261-283.

_______. 1997. Cultural Toursm in Europe : The Social Context of Cultural Tourm. London : CAB International.

_______. 1999. Cultural Tourism in Europe. London : Cab International.

Ritzer, George. 2004. Teori Sosial Postmodern (Terjemahan). Yogyakarta. Kreasi Wacana.

Ritzer, Geog, and Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta Kencana Prenata Media Group.

Ryan, Chris and Michelle Aicken. 2005. Indigenous Tourism : The Commodification and Management of Culture. Advances in Tourism Research Series.

Sardar, Ziauddin dan Borin Van Loon. 1997. Cultural Studies for Beginners. Cambridge : Icon Book Ltd.

Sedyawati, Edi, 2002. “Pembagian Peranan dalam Pengelolaan Sumberdaya Budaya” dalam Manfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh Integrasi Bangsa. Denpasar : PT. Upada Sastra

338

Page 339: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

________, 2007. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

_______. 2008. Keindonesiaan Dalam Budaya. Jakarta : Penerbit Wedatama Widia Sastra.

Seojono, RP. 1977. Sistem-sistem Penguburan Pada Akhir Masa Prasejarah di Bali (Disertasi) Belum Diterbitkan. Jakarta : Universitas Indonesia.

Sifullah. 1994. ”Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan”, dalam Majalah Prima, No. x, Edisi Juli, hal. 32-41.

Sim, Stuart. 2002. Derrida dan Akhir Sejarah. Yogyakarta : Penerbit Jendela.

Simon, Roger. 2004. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sindhunata. 1983. Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern. Jakarta : Gramedia.

Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 1995. Metode Penelitian Survay. Jakarta : LP3ES.

Smith, V.L. 1989. Host and Guests the Anthropology of Tourism. Philadelphia : The University of Pensylvania Press.

Sodali, Ahmad. 2000. ”Azas-azas Identitas Seni Rupa Nasional” dalam Refleksi Seni Rupa Indonesia, Dulu, Kini, dan Esok. Jakarta : Balai Pustaka.

Soedarsono, RM. 1993. “Industri Pariwisata : Sebuah Tantangan dan Harapan Bagi Negara Berkembang”. Dalam Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : Upada Sastra.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : CV. Rajawali.

Soekmono, R. 1993. “Peninggalan-peninggalan Purbakala Zaman Majapahit” Dalam 700 Tahun Majapahit. Surabaya : Dinas Pariwisata Provinsi Jawa Timur.

Spillane, James. 1994. Pariwisata Indonesia Siasat Ekonomi dan Rekayasa Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.

Spradley, James, P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta : Penerbit Tiara Wacana

Steger, M.B. Globalisme Bangkitnya Ideologi Pasar (Penerjemah Heru Prasetia). Yogyakarta : Lofadi Pustaka.

339

Page 340: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop, Memetakan Lanskop Konseptual “Cultural Studies” (Terjemahan). Yogyakarta : Penerbit Qalam.

______. 2007. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Pengantar Paling Komprehensif Teori dan Metode (Terjemahan). Yogyakarta : Jalasutra.

Strinati, Dominic. 2007. Popular Cultural : Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (Terjemahan). Yogyakarta. Penerbit Jejak.

Stutterheim, WF. 1929. Oudheden van Bali I, Het Oude Rijk van Pejeng. Singaradja : Kirtya Lieffrinck van der Tuuk.

Sugiono, M. 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Sutaarga, Moh. Amir. 1992. ”Museum dan Pelayanannya Kepada Masyarakat” dalam Analisis Kebudayaan. No. X Tahun II. Hal. 40-49. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sutaba, I Made. 1991. Pelestarian Peninggalan Purbakala di Daerah Bali Dalam Pembangunan Berwawasan Budaya. Denpasar : Universitas Warmadewa.

______. 2000. “Manfaat Arkeologi dalam Pemberdayaan Masyarakat Pada Milenium Ketiga”. Dalam Forum Arkeologi No. II, hal. 27-33. Denpasar.

______. 2007. Sejarah Gianyar dari Zaman Prasejarah Sampai Masa Baru – Modern. Pemerintah Kabupaten Gianyar, Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah.

Sutawan, I Nyoman. 2002. “Prospek Kajian Subak dalam Pergeseran Masyarakat Agraris ke Masyarakat Industri”. Dalam Masalah Budaya dan Pariwisata Dalam pembangunan. Denpasar : Program Studi S2 Kajian Budaya UNUD.

Sutrisno, Mudji & Hendar Putranto, ed. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Sztompka, Piotr. 2007. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta : Prenada Media Group.

Tim Penyusun Kamus, 1988, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

340

Page 341: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

Tjandrasasmita, Uka. 1980. “Fungsi Peninggalan Sejarah dan Purbakala Dalam Pembangunan Nasional”. Dalam Analisis Kebudayaan No. 4 Tahun IX. Jakarta Dep. P & K hal. 95-102.

Triono, Lambang. 1996. “Globalisasi Modernitas dan Krisis Negara Bangsa : Tantangan Integrasi Nasional Dalam Konteks Global”. Analisys CSIS Tahun XXV No. 2.

Usman, Sunyoto. 1998. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Wallace, W.L. 1973. The Logic of Science in Sociology. Chicago : Aldine.

Wiana, I Ketut. 2000. Makna Agama Dalam Kehidupan. Denpasar : Penerbit PT. Bali Post.

Wignyosubroto, Sutandyo. 2003. “Globalisasi, Budaya dan Hukum”. Dalam Suara Udayana. Mei 2003 No. 10/15-V.

Wirakusuma, I Nengah. 2005. Perkembangan Kreativitas Fotografer dan Seni Fotografi. Mudra Jurnal Seni Budaya. Vol. 13. No. 3 September, hal. 25-32.

Yadav. Jai Singh. 1998. ”Seni dan Filosofi Bangunan Candi di Indonesia-India”. Dalam Candi Sebagai Warisan Seni dan Budaya Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Cempaka Kencana.

Zoest, Aart Van. 1992. ”Interpretasi dan Semiotika”. Dalam Serba-serbi Semiotika. Jakarta : PT. Gramedia.

341

Page 342: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

342

Page 343: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : I Made Mawi Arnata

Umur : 57 tahun

Pendidikan : Diploma III

Pekerjaan : Bendesa Adat Manukaya

Alamat : Dusun Manukaya Let

2. Nama : Dewa Putu Kencana

Umur : 46 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Kepala Desa Manukaya

Alamat : Dusun Manik Tawang

3. Nama : Dewa Gde Mangku Wenten

Umur : 63 tahun

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Pemangku Pura Tirta Empul

Alamat : Dusun Bantas

4. Nama : Dewa Gde Mangku Moyo

Umur : 57 tahun

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Pemangku Pura Tirta Empul

Alamat : Dusun Manukaya Let

343Lampiran 1

340

Page 344: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

5. Nama : Nyoman Negara

Umur : 37 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Sekretaris Desa Manukaya

Alamat : Br. Bantas

6. Nama : I Gde Udara

Umur : 31 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Kelian Dinas Br. Bantas

Alamat : Br. Bantas

7. Nama : I Wayan Gerinda

Umur : 34 tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Kelian Dinas Br. Manukaya Let

Alamat : Br. Manukaya Let

8. Nama : I Made Yatna

Umur : 38 tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Kelian Dusun Tatag

Alamat : Dusun Tatag

9. Nama : Putu Sulastri

Umur : 31 tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Dusuh Tatag

344

Page 345: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

10. Nama : Putu Sarini

Umur : 41 tahun

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Tampaksiring

11. Nama : Desak Ketut Widiasih

Umur : 36 tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Pedagang

Alamat : Dusun Manukaya Let

12. Nama : Sang Putu Alit

Umur : 38 tahun

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Perajin Patung

Alamat : Dusun Manukaya Let

13. Nama : I Made Suja

Umur : 35 tahun

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Perajin tulang

Alamat : Dusun Manukaya Anyar

14. Nama : Drs. I Nyoman Sumartika

Umur : 55 tahun

Pendidikan : Sarjana

Pekerjaan : Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali

Alamat : Bedulu, Gianyar

345

Page 346: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

15. Nama : Drs. I Wayan Parsa Susila

Umur : 52 tahun

Pendidikan : Sarjana

Pekerjaan : Guru SMK 2 Sukawati Gianyar

Alamat : Br. Kelandis, Denpasar

16. Nama : I Wayan Suarsana

Umur : 42 tahun

Pendidikan : Diploma III

Pekerjaan : Praktisi Pariwisata

Alamat : Jl. Kecubung 12 Denpasar

17. Nama : Dewa Ketut Margi

Umur : 44 tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Perajin tulang

Alamat : Dusun Manukaya Anyar

18. Nama : Wayan Padit

Umur : 41 tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Perajin ukiran kayu

Alamat : Dusun Tatag

19. Nama : I Ketut Ludra

Umur : 39 tahun

Pendidikan : SLTA

Pekerjaan : Kelian Dinas Dusun Malet

Alamat : Dusun Malet

346

Page 347: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

20. Nama : Ngakan Nyoman Wisnu Wardana

Umur : 45 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Staf Kepala Desa

Alamat : Manukaya Anyar

21. Nama : Ngakan Putu Sujana

Umur : 60 tahun

Pendidikan : PGAH

Pekerjaan : Tokoh Masyarakat

Alamat : Manukaya Let

22. Nama : IGN. Cakradana

Umur : 61 tahun

Pendidikan : SLTP

Pekerjaan : Mantan Bendesa Adat

Alamat : Manukaya Let

347

Page 348: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

PEDOMAN WAWANCARA

Pedoman wawancara ini merupakan bahan pertanyaan untuk wawancara

dengan para informan yang terkait dengan penelitian “Komodifikasi Pura Tirta

Empul Dalam Konteks Pariwisata Global”. Sebagai pedoman dalam bentuk bahan

pertanyaan, seluruh pertanyaan yang ditulis tidak disampaikan secara kaku,

melainkan disesuaikan dengan situasi dan kondisi pada saat melakukan

wawancara. Seluruh jawaban dicatat dalam buku catatan yang telah disiapkan

sebelumnya.

Wawancara dilakukan terhadap empat jenis informan, yaitu kelompok

masyarakat, pemerintah, praktisi pariwisata dan industri pariwisata.

A. Pertanyaan Untuk Umum

1. Apa yang Anda ketahui tentang Pura Tirta Empul?

2. Bagaimana latar belakang sejarah Pura Tirta Empul?

3. Bagaimana status Pura Tirta Empul?

4. Siapa saja yang menyungsung Pura Tirta Empul?

5. Kapan upacara/piodalan diadakan dan siapa yang melaksanakan?

6. Siapa yang dipuja di Pura Tirta Empul?

7. Apa fungsi Pura Tirta Empul?

8. Pura Tirta Empul di samping sebagai tempat suci juga sebagai sebagai daya

tarik wisata. Bagaimana partisipasi masyarakat tentang adanya wisatawan

berkunjung ke sana?

9. Bagaimana Desa Adat menjaga kebersihan dan kesucian Pura Tirta Empul?

10. Peninggalan purbakala apa saja yang ada di Pura Tirta Empul?

11. Ada kendala yang dihadapi dalam pengembangan pariwisata Pura Tirta

Empul?

348Lampiran 2

345

Page 349: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

B. Pertanyaan Mengenai Proses Komodifikasi Pura Tirta Empul

1. Bagaimana perkembangan Pura Tirta Empul sejak dulu sampai sekarang ?

2. Sebagai daya tarik wisata, apa yang sesungguhnya menarik dari Pura Tirta

Empul?

3. Sejak kapan Pura Tirta Empul dikunjungi wisatawan?

4. Berapa jumlah wisatawan rata-rata berkunjung ke pura ini setiap hati/bulan?

5. Bagaimana upaya perbaikan dan pengembangan Pura Tirta Empul?

6. Siapa saja pihak yang terlibat dalam perbaikan dan pengembangan tersebut?

7. Apa saja yang dilakukan pemerintah dalam upaya pelestarian Pura Tirta

Empul?

8. Bagaimana kerjasama antara desa adat dengan aparat pemerintah dalam

pengelolaan Pura Tirta Empul?

9. Apakah ada pihak lain (swasta, LSM) yang ikut melakukan kegiatan

pelestarian Pura Tirta Empul dalam konteks pariwisata global?

C. Pertanyaan Mengenai Faktor-faktor Pendorong Komodifikasi Pura

Tirta Empul

1. Faktor apa yang mendorong komodifikasi Pura Tirta Empul?

2. Upaya apa yang dilakukan agar Pura Tirta Empul tetap menarik para

wisatawan?

3. Apa yang paling menarik Anda di Pura Tirta Empul?

4. Bagaimana pendapat anda dengan perkembangan Pura Tirta Empul seperti

sekarang ini ?

5. Apa kelebihan daya tarik Pura Tirta Empul dibandingkan dengan obyek

yang lainnya?

6. Apakah faktor politik kebudayaan lokal dan kebudayaan global

mempengaruhi perkembangan dan perubahan Pura Tirta Empul ?

7. Dengan tetap berkomitmen pada pengembangan pariwisata, apa harapan

Anda kepada pemerintah?

349

Page 350: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

D. Pertanyaan Mengenai Dampak dan Makna Komodifikasi Pura Tirta

Empul

1. Seberapa besar nilai atau makna Pura Tirta Empul bagi Anda dan

kebudayaan masyarakat Desa Manukaya?

2. Makna apa yang melatarbelakangi masyarakat Manukaya melakukan

komodifikasi Pura Tirta Empul?

3. Sejauh mana dampak ekonomi dan sosial budaya Pura Tirta Empul memiliki

arti bagi Anda?

4. Adakah kecenderungan semakin lemah dan hilangnya sakralitas Pura Tirta

Empul?

5. Apa dampak pariwisata bagi pemerintah dan masyarakat di sekitar Pura

Tirta Empul?

6. Dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata, apakah yang harus

dilakukan terkait dengan situs Pura Tirta Empul?

7. Ketika sedang bersembahyang, apa Anda merasa terganggu dengan

kedatangan para wisatawan?

8. Bagaimana pemaknaan Pura Tirta Empul yang berkembang saat ini ?

9. Apa sajakah makna Pura Tirta Empul yang Bapak ketahui sekarang ?

10. Apakah Pura Tirta Empul dapat menjanjikan kesejahteraan bagi

masyarakat?

350

Page 351: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

LAMPIRAN 1

DAFTAR INFORMAN

351

Page 352: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

LAMPIRAN 2

PANDUAN WAWANCARA PENELITIAN

352

Page 353: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

LAMPIRAN 3

UNDANG-UNDANG NO. 10/2009

TENTANG KEPARIWISTAAAN

353

Page 354: komodifikasi pusaka budaya Pura Tirta

LAMPIRAN 4

PERATURAN DAERAH NO. 3/1991

TENTANG PARIWISATA BUDAYA

354