bab ii fix
TRANSCRIPT
BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1 Latar BelakangKarsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher
terbanyak di temukan di Indonesia. Karsinoma nasofaring berkembang di
nasofaring, suatu area di belakang hidung menuju dasar tengkorak. Karsinoma
nasofaring ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring13,14.
Karsinoma nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10 besar
tumor ganas diseluruh tubuh, sedangkan dibagian penyakit telinga, hidung dan
tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama keganasan kepala-
leher dan urutan ke-empat setelah keganasan serviks, payudara dan kulit
(Punagi,2007). Persentase insidensi karsinoma nasofaring (41,90%), disusul
kemudian tumor ganas laring (11,94%), rongga hidung (11,51%), rongga mulut
(10,52%), tonsil (7,74%), tiroid (5,80%), sinus maksilaris (4,95%), parotis
(2,31%), telinga/mastoid (1,42%), esofagus (0,85%), hipofaring (0,75%) dan
mandibula (0,75%)1,11.
Karsinoma nasofaring ini dapat mengenai semua golongan usia,
umumnya pada usia 30-60 tahun dan pria lebih sering daripada wanita dengan
perbandingan 2-3:1. Karsinoma nasofaring berpotensi menyebar cepat ke
jaringan sekitar dan bermetastasis jauh. Biasanya penderita datang berobat setelah
mencapai stadium lanjut, dengan gejala penyebaran berupa pembesaran kelenjar
getah bening di leher dan kelainan saraf cranial 4,12,29.
Latar belakang etnis dan paparan kepada (Epstein-Barr Virus) EBV bisa
mempengaruhi faktor risiko perkembangan karsinoma nasofaring. Faktor risiko
yang termasuk ke dalam halayak yang berisiko ini adalah: Orang Cina atau
keturunan Asia, Paparan EBV telah berkaitan dengan karsinoma tertentu,
termasuk karsinoma nasofaring dan beberapa lymphoma, dan terlalu banyak
minum alkohol 31.
Penegakan diagnosis pasti serta stadium tumor dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan nasofaring, biopsy nasofaring,
pemeriksaan patologi anatomi, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan
neurooftalmologi, pemeriksaan serologi18.
23
24
Gejala dan tanda karsinoma nasofaring yang sering berupa benjolan di
leher (78%), obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%) dan diplopia. Termasuk
adenopati leher, epistaksis, otitis media efusi, gangguan pendengaran unilateral
atau bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus kranial, retrosphenoidal
syndrome of Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan rahang),
retroparotidian syndrome of Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah
dan leher), nyeri telinga yang menjalar.(Lee,2008) Seperempat pasien karsinoma
nasofaring mengalami gangguan nervus kranial, 28,8% mengenai nervus V, 26,9
% mengenai nervus VI dan 25% mengenai nervus X.33.
Bila scara klinis dicurigai menderita karsinoma nasofaring dan tumor tidak
terlihat pada pemeriksaan endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan
potongan lintang (CT-Scan atau MRI) (Wei, sham 2005). Pemriksaan CT-Scan
mempunyai keuntungan antar lain kemampuan untuk membedakan berbagai
densitas di daerah nasofaring, baik jaringan lunak maupun perubahan pada tulang.
Selain itu dapat menilai perluasan tumor ke jaringan sekitar, adanya destruksi
tulang dan penyebaran ke intracranial. Terapi yang diberikan umumnya berupa
radiasi (radioterapi) sebagai treatment of choice.19.
25
2.2 Anatomi dan Fisiologi
Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring
Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga
hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid, basis
occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan
rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachii berada pada dinding
samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma
yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping dari torus tubarius
merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller.
Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum11.
Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring
26
Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 2
1. Adenoid atau Tonsila Lushka
Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada
orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.
2. Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring
Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma
nasofaring atau angiofibroma nasofaring.
3. Torus Tubarius
Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium
tuba).
4. Fosa Rosen muller
Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius.
Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut
sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau
pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat
pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya keganasan
nasofaring.
Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-
macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel
kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun
1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada
nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian
juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali.
Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring
itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke
jaringan limfe di bawahnya.2
Walaupun fosa Rosenmuller atau dinding lateral nasofaring merupakan
lokasi keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di
tempat-tempat lain di nasofaring.2 Keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:
1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.
2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.
27
3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring
dan palatum molle.
Gambar 2.3 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang
Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang
merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle.
Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring
superior.2
Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah
ke nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat
di atas batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa
russenmuller (resessus faringeal). Fossa russenmuller merupakan tepi dinding
posterosuperior nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya sebagian
besar karsinoma nasofaring dan yang paling sensitif terhadap penyebaran
keganasan pada nasofaring.2
Fossa russen muller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,
sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis karsinoma nasofaring. Tepat di
atas apeks dari fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri
karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini
mencegah penyebaran gkarsinoma nasofarin ke sinus kavernosus melalui karotis
yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus
mandibula (V3) yang berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-
kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang
28
dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling
medial.2
Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini
merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3
kompartemen, yaitu :
1) Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris
inferior
2) Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis, dan
3) Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere.
Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen
retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi
penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa russenmuller
yang demikian itu dan dengan sifat karsinoma nasofaring yang invasif,
menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran karsinoma nasofaring ke daerah
sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai
macam gambaran klinis.4
Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan
fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus
konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor superior dan
dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi oleh fasia
faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini. Ujung medial
dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang terletak
di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius
terdapat sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus,
berjalan ke bawah dan turun secara bertahap pada dinding faring bagian lateral.
Lapisan fibrosa terdiri dari dua lapisan yan berada di sebelah dalam dan di sebelah
luar muskulus konstriktor. Kedua lapisan ini bersambunng dengan fasia di leher.4
Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian superfisial muskulus
konstriktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang berada di
antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia
faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior
naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri.4 Lapisan mukosa ialah
29
daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus berlapis semu
bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan pada
Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian superfisial muskulus
konstriktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang berada di
antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia
faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior
naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri.4 Lapisan mukosa ialah
daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus berlapis semu
bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan pada
daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa berlapis.
Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan antara atap
nasofaring dan dinding lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh jaringan
limfoid, sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar serosa dan mukosa.
Gambar 2.4 Anatomi Lapisan Nasofaring
2.2.1 Perdarahan dan persarafan
30
Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah
arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan
cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari
arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di
bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah
superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.3
Gambar 2.5 Perdarahan nasofaring
Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas
otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris
saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf
ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal
dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim
tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion
sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).3
31
Gambar 2.6. Persarafan nasofaring
2.2.2 Sistem limfatik
Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok
pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada
ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan
fasia prevertebra. Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling
kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan
bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari
masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini
terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa
kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat denan saraf-saraf kranial terakhir
yaitu saraf IX,X,XI,XII. Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi sampai
dengan 75% penderita karsinoma nasofaring, yang mana setengahnya datang
dengan kelenjar limfe bilateral.3
2.3 Definisi Karsinoma Nasofaring
32
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel. Tumor
ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat
menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior,
dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar
limfe leher11.
2.4 Epidemiologi
Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid,
namun demikian di daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi,
yaitu mencapi 2500 kasus baru per tahun atau prevalensi 39,84 per 100.000
penduduk untuk Propinsi Guangdong 7,11.
Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma
nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan,
Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan
pula cukup banyak kasus di Yunani, negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair
dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga
penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin pada
musim dingin 1, 7, 11.
Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher
yang terbanyak ditemukan di Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah
keseluruhan tumor ganas daerah kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan
dokter di Indonesia dari tahun ke tahun, karsinoma nasofaring selalu menempati
urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di setiap daerah. Di
RSCM Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus per tahun. Di RS Hasan
Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus per tahun, Makassar 25 kasus per tahun,
Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per tahun, dan di Padang
sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang tidak jauh berbeda juga ditemukan
di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia. Hal ini
menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di seluruh Indonesia. 11
2.5 Etiologi dan Faktor Resiko
Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab karsinoma nasofaring
adalah Virus Epstein-Barr, karena pada hampir semua pasien dengan karsinoma
33
nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi, sedang pada
penderita karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak ditemukan titer
antibodi terhadap kapsid virus EB ini. Banyak penelitian mengenai perilaku virus
ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan merupakan satu-satunya faktor, karena
banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi munculnya tumor ganas ini seperti
letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan
hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi bakteri atau parasit. 1,2,11
Tumor ganas ini sering ditemukan pada laki-laki dan sebabnya belum
dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor
genetik, hormonal, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Dari beberapa
penelitian dijumpai perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1.
Namun ada penelitian yang menemukan perbandingan laki-laki dan perempuan
hanya 2 : 1. Pada penelitian yang dilakukan di Medan (2008), ditemukan
perbandingan penderita laki-laki dan perempuan 3 : 2. Hormon testosteron yang
dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan
surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi VEB dan
kanker.1,7,11
Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi kronik oleh bahan
kimia, asap, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan
kebiasaan makan makanan terlalu panas. Pengaruh genetik terhadap karsinoma
nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell mediated imunity
dari virus EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian
besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula
dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. 2,11
2.6 Patofisiologi
Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu,
pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak
34
sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel
akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen
dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel. 9,11
Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi
sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi
onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena
memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis.9,11
Gambar 2.7 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan 9
Tumor ganas mempunyai kemampuan menginvasi dan merusak sistem
barier yang ada. Tumor yang tumbuh di garis tengah nasofaring dapat menyebar
ke salah satu sisi atau sering bilateral. Jalan yang paling sering dilalui oleh
penyebaran tumor yaitu3 :
a. Lumen/ Ruang Nasofaring
35
Jalan ini sering terjadi pada tumor yang sangat besar dan akan masuk dalam
orofaring atau kavum nasi. Kadang-kadang dapat masuk ke sinus maksila atau
orbita, tetapi sangat jarang masuk ke tuba Eustachius.
b. Ruang Retrofaring
Walaupun sering melalui jalan anatomis (retroparotidian), kadang-kadang
tumor dapat langsung masuk ke ruang retrofaring dengan mengadakan kompresi
atau infiltrasi ke ruang retrostiloid atau merusak bagian lateral vertebra servikais
pertama (vertebra atlas).
c. Ruang Parafaring
1. Ruang kecil prestiloid, tumor yang tumbuh di dinding lateral atau di daerah
fossa Rosenmuller dapat menjalar ke ruang kecil ini yang terletak di atasnya
dan akan mengenai serabut motorik dan sensorik saraf trigeminus (V). Tumor
dapat menginvasi otot pterigoid dan menyebabkan trismus atau menginfiltrasi
otot levator sehingga menyebabkan asimetri palatum mole. Tumor juga dapat
mengenai palatum durum, kelenjar parotis fisura pterigomaksila dan ke fossa
infratemporal. Pada tumor yang sangat besar dapat menginvasi sinus maksila
dan frontalis.
2. Ruang kecil retrostiloid, ruang kecil ini berisi selubung karotis dan isinya,
kelenjar limfe servikal dalam atas, saraf-saraf kranial terakhir (saraf
IX,X,XI,XII) dan cabang saraf simpatis servikalis. Ruang ini disebut juga
ruang retroparotidian yang selain dapat terinvasi melalui jalan anatomis
(melalui aliran limfe/ retroparotidian) dapat juga akibat lanjutan invasi
langsung yang lebih dalam ruang parafaring. Dari ruang ini pula tumor dapat
menyebabkan erosi dasar tengkorak.
d. Intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial biasanya melalui foramen laserum dan ovale
atau melalui sinus kavernosus dan ganglion gaseri dan mengenai saraf kranial
otot bola mata, yaitu saraf III,IV,VI (penyebarab secara petrosfenoid) tetapi
dapat juga melalui erosi dasar kanalis karotis dan melalui arteri karotis interna
masuk ke dalam sinus kavernosus, juga dapat akibat tumor mendestruksi sinus
sfenoid.
e. Tumor menyebar langsung
36
ke sinus etmoid, selanjutnya mengenai sinus frontalis, maksila, dan rongga
orbita.
f. Metastasis jauh
Metastasis jauh dapat melalui aliran darah atau sistem limfatik dan mengenai
hati, tulang, dan paru.
2.7 Manifestasi Klinis
Keluhan penderita karsinoma nasopharing berhubungan dengan lokasi
tumor primer, derajat, dan arah penyebarannya12:
1.Gejala Dini
Menegakkan diagnosis karsinoma nasopharing secara dinimerupakan hal yang
paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini
berupa:12
Gejala Telinga
a. Oklusi tuba Eustachius/ kataralis
Umumnya keluhan berupa rasa penuh di telinga, telinga berdengung (tinnitus),
atau dengan gangguan pendengaran yang biasanya tuli konduktif dan bersifat
unilateral. Gejala ini disebabkan karna pertumbuhan atau infiltrasi tumor primer
pada otot tuba dan mengganggu mekanisme pembukaan ostia tuba. Tuba oklusi
dapat menjadi permanen, jika tumor menyebar dan menyumbat muara tuba.
b. Gangguan pendengaran
Sering bersifat tuli konduktif dan unilateral. Gejala ini disebabkan karena
otitis media serosa akibat gangguan fungsi tuba. Tuli saraf mungkin terjadi pada
penderita KNF sebagai efek radioterapi dan jarang akibat penyebaran langsung
tumor ke saraf VIII.
c. Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani
Penyebabnya adalah sumbatan muara tuba Eustachius oleh massa tumor.
d. Tinnitus
Sering dijumpai pada penderita karsinoma nasopharing, dapat mengganggu
dan sulit diobati. Gejala ini juga disebabkan gangguan fungsi tuba.
e. Otalgia
37
Gejala ini jarang ditemukan dan bila ada menunjukkan bahwa tumor telah
menginfiltrasi daerah parafaring dan mengerosi dasar tengkorak.
Gejala Hidung2,12
Harus dicurigaiadanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:
Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita
usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.
Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih
jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus
paranasal.
Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari
hidung (epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan
pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.
2. Gejala lanjut12
a. Limfadenopati servikal
Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan
penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasopharing. Dapat terjadi
unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan
tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar
limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran karsinoma nasopharing
ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe
jugulodigastrik), dibawah angulus mandibula, di dalam otot sternocleidomastoid,
konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel
tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot dibawahnya. Lebih
dari 40% dari seluruh kasus karsinoma nasopharing, keluhan adanya tumor di
leher ini yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang
berobat.
b. Gejala Neurologis
Sindroma petrosfenoidal , akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui
foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii media sehingga mengenai saraf
kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II
38
paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V.
Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan
kelumpuhan. Otot levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga
menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan IV menyebabkan keluhan
diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan
saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya
unilateral.
c. Gejala Metastase Jauh
Metastase jauh dari karsinoma nasopharing dapat secara limfogen atau
hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru,
ginjal, dan limfa. Metastase jauh dari karsinoma nasopharing terutama ditemukan
di tulang (48%), paru-paru (27%), hepar (11%) dan kelenjar getah bening
supraklavikula (10%). Metastase sejauh ini menunjukkan prognosis yang sangat
buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis
ditegakkan.
2.8 Kriteria Klinik
Diagnosis karsinoma nasopharing harus dimulai dengan mengetahui
riwayat penyakit secara lengkap. Perkembangan gejala dari permulaan sampai
yang terakhir sedapat mungkin diketahui dengan jelas. Penting untuk mengetahui
gejala dini karsinoma nasopharing dimana tumor masih terbatas di rongga
nasofaring terutama pada orang dengan resiko tinggi yakni laki-laki usia diatas 40
tahun3.
Kriteria klinik untuk suatu dugaan karsinoma nasofaring berdasarkan digby score adalah sebagai berikut5
Kriteria Klinik Nilai
Masa terlihat pada nasofaring 25
39
Limfadenopati di leher 25
Gangguan pada hidung yang khas 15
Gangguan pada telinga yang khas 5
Karakteristik terhadap gangguan satu atau lebih dari paralisa syaraf
5
Sakit kepala unilateral/bilateral 5
Eksoptalmus 5
Tabel 2.1 Kriteria Digby Score
Jumlah keseluruhan akan dikurangi 10 jika usia penderita dibawah 15
tahun. Demikian juga jika usia penderita antara 15 tahun sampai 25 tahun dengan
’frog face” jumlah keseluruhan akan dikurangi 10. Jika jumlah keseluruhan
mencapai ≥ 50, maka diagnosa sementara karsinoma nasofaring dapat ditegakkan,
sementara menunggu hasil pemeriksaan penunjang lainnya.
2.9 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan
gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan
sistem TNM menurut UICC (2010).1,2,11
Stadium Karsinoma Nasofaring berdasarkan gambaran CT Scan
Untuk penentuan stadium dipakai TNM menurut UICC (2010)1,3
Tumor primer (T)
Tx = Tumor primer tidak dapat dinilaiT0 = Tidak terbukti adanya tumor primerTis = Karsinoma in situT1 = Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum
nasi tanpa perluasan ke parafaringT2 = Tumor dengan perluasan ke daerah parafaringT3 = Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus
paranasalT4 = Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf
kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal atau ruang masticator.
Kelenjar limfe regional (N)
NX = Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional tidak dapat dinilai
40
N0 = Tidak ada metastasis ke KGB regionalN1 = Metastase kelenjar getah bening leher unilateral, dengan diameter
terbesar 6 cm/kurang, di atas fossa supraclavicular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.
N2 = Metastase kelenjar getah bening bilateral, dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang di atas fossa supraclavikular
N3 = Metastase pada kelenjar getah bening di atas 6 cm dan/atau terletak pada fossa supraclavikula
N3a = Diameter terbesar lebih dari 6 cmN3b = Meluas ke fossa supraclavikua
Metastasis Jauh (M)
M0 = Tanpa metastasis jauhM1 = Terdapat metastasis jauh
Stadium T N M
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T1 N1 M0
T2 N0-1 M0
Stadium III T1-2 N2 M0
T3 N0-2 M0
Stadium IVa T4 N0-2 M0
Stadium IVb Semua T N3 M0
Stadium IVc Semua T Semua N M1
Tabel 2.2 Stadium Ca. Nasopharing
Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan
menjadi 3 tipe menurut WHO.1,2,7,11 Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan
dengan mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring adalah salah satu
variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih dari
70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.1,2,7,11
a. Tipe WHO 1
Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1
mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-
41
sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak
keratin baik di dalam dan di luar sel.
b. Tipe WHO 2
Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2
ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian
sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai
karsinoma sel transisional.
c. Tipe WHO 3
Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel
kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu
disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan
variasi spindel.
2.10 Diagnosis Klinis
a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 2
Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring,
seperti di bawah ini:
1) Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-
lebih jika tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus
mandibula.
2) Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika:
Disertai gejala hidung dan telinga
Disertai gejala mata dan saraf
3) Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkap
Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita
sudah mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan atau
metastase tumor induk.
b. Pemeriksaan Penunjang
1) CT scan kepala dan leher
Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang tersembunyi pun tidak terlalu
sulit ditemukan. 1,2,4,7,11
2) Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr
42
Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis
pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar
antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160. 11
3) Biopsi
Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring. Biopsi dapat
dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung
dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan
melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam
diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.2,7,11
Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan
melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan
diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum
molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring.
Biopsi dilakukan dengan melihat kaca tersebut atau dengan memakai
nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa tumor akan terlihat
jelas. Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%. Bila
dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dapat
dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis. 2,7,11
2.11 Diagnosa Radiologi pada Karsinoma nasofaring
Pemeriksaan radiologi pada kasus karsinoma nasofaring mempunyai
beberapa tujuan penting yaitu :
1. Untuk menentukan luas tumor primer.
2. Untuk melihat invasi ke organ sekitar
3. Untuk melihat ada atau tidak destruksi tulang serta metastasis jauh.
Beberapa pemeriksaan radiologi yang diperlukan untuk mendiagnosa
karsinoma nasofaring adalah :
1. Foto Thoraks PA
2. Foto tengkorak (AP, Lateral, dasar tengkorak dan waters).
43
Tumor nasofaring yang dapat dideteksi secara jelas dengan foto polos
adalah jika tumor cukup besar, eksofitik, dan penyebaran jaringan
sekitarnya telah meluas.
3. CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak
diragukan adanya destruksi dan jika klinis tidak ditemukan kelainan yang
menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan untuk radiasi
intrakaviter.
4. Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti foto
tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.
5. Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol-
benjol.
6. MRI
Pada MRI mempunya kelebihan dibandingkan CT Scan yaitu mempunyai
resolusi yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak,
memberikan berbagai potongan aksial dan koronal serta sagital tanpa
merubah posisi penderita, tidak membutuhkan zat kontras untuk
membedakan struktur vaskuler dari jaringan lunak atau kelenjar getah
bening.
2.12 Histopatologi
Telah disetujui oleh WHO hanya 3 bentuk karsinoma (epidermoid ) pada
nasofaring yaitu:(1)
- Karsinoma cell squamosa ( berkeratinisasi )
- Karsinoma tidak berkeratinisasi
- Karsinoma tidak berdiferensiasi
2.13 Metastase pada Karsinoma Nasofaring
Nasofaring merupakan daerah utama untuk karsinoma sel skuamosa,
karsinoma yang tidak berdiferensiasi, adenokarsinoma, dan limfoma primer.
Tumor-tumor ganas pada nasofaring dapat tenang sampai tumor tersebut
44
mengenai struktur sekitarnya. Terkenanya saraf kranial kelima dapat
menyebabkan nyeri lokal atau nyeri fasial. Jika tumor meluas ke atas dapat
menyebabkan diplopia karena terkena saraf keenam dan saraf kranial ketiga.
Perluasan ke depan menyebabkan obstruksi hidung. Perluasan ke lateral mengenai
tuba eustachius menyebabkan otitis media serosa unilateral dengan tuli telinga
hantaran (konduktif). Metastasis tumor ini ke retrofaring, jugular profunda, dan
kelenjar getah bening asesorius spinal. Pembesaran kelenjar getah bening yang
soliter terletak di posterior dan atas pada leher seringkali merupakan petunjuk. (3)
Penyebaran atau perluasan karsinoma nasofaring adalah melalui 3 cara, yaitu:(7)
a. Metastase ke jaringan sekitar, bisa ke-3 (tiga) arah :
Ke atas melalui :
- Langsung ke atas dan merusak basis kranii.
- Melalui foramen laseratum masuk ke fossa kranii media, dimana foramen
lesseratum terletak 1 cm kranial dari fossa Rosenmulleri. Antara foramen
laseratum dan mukosa tidak terdapat tulang maka tumor dengan mudah dapat
melalui foramen ini masuk ke dalam endokranii.
- Saraf kranial yang terkena pertama kali adalah N.VI baru kemudian N.V, N.III
dan N.IV sesuai denga topografi daerah sekitar foramen laserum. Tumor
kemudian dapat tumbuh ke depan dan menjadikan tekanan pada fasikulo-
optikus, jaringan tumor akan memasuki orbita lewat fisura orbitalis dan dapat
menyebabkan eksoptalmus.
Ke depan dan bawah, melalui :
- Kavum nasi ke sinus paranasalis, orbita, dan fossa kranii anterior.
- Orofaring
Tumor tumbuh ke depan, melalui koana masuk kavum nasi dan dapat
menyebabkan obstruksi. Dengan melalui osteum-osteum tumor dapat masuk
ke dalam sinus maksilaris, sinus sfeniodalis dan sinus ethmoidalis. Melalui
foramen olfaktoria pada lamina kribosa, tumor masuk fossa kranii frontalis.
Tumor dapat tumbuh ke bawah depan dan menyusup palatum mole dan
merusaknya sehingga uvula tidak lagi terletak di garis tengah. Tumor mengisi
45
orofaring dan nasofaring sehingga menyebabkan kesukaran berbicara,
bernafas dan menelan makanan (disfagi).
Ke samping
Tumor akan masuk ke dalam rongga parafaring. Di dalam rongga ini terdapat
N.IX, X, XI, XII dan ganglion servikalis kranial, sehingga tumor dapat menekan
dan merusak nervus-nervus tersebut.
Tumor dapat terus menerus tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen
jugularis dan kanalis nervus hipoglosus sampai ke dalam fosa kranii posteior,
sehingga N. IX, X, XI dapat rusak pada saat keluar dari foramen Jugularis dan
N.XII rusak saat melawati kanalis nervus hipoglosus.
Bila kemudian tumor tumbuh ke depan atas merusak fossa infra temporal,
melalui fisura orbita dan dapat menyebabkan proptosis bulbi.
Tumor meluas ke belakang merusak fasia koli profunda prevertebralis dan
menyusup prevertebralis.
b. Metastase melalui aliran limfatik
Seperti diketahui aliran limfe dari pleksus submukosa nasofaring menuju
kelenjar Rouveire, kemudian ada yang profunda dan superfisial. Yang profunda
menuju ke kelenjar servikalis profunda, sebagian masuk ke spatium parafaring,
dalam hal ini pasien mengeluh terdapat benjolan pada leher sebagai metastase
limfogenik pada daerah parafaring mengakibatkan pembesaran limfonodi daerah
tersebut dan dapat menekan N.IX, X, XI, XII. Karsinoma nasofaring mengalami
metastase limfogenik pada saat pertama kali diperiksa adalah 80-90% dan kira-
kira separuhnya terdapat metastase bilateral ke limfonodi leher.7
c. Metastase melalui aliran darah
Metastase tumor secara hematogenik inilah yang menyebabkan terjadinya
metastase jauh. Hal ini bila terjadi membuat prognosis buruk. 7
2.1.4 Penatalaksanaan
1. Tindakan Bedah
46
Tindakan pembedahan memegang peranan kecil pada terapi karsinoma
nasofaring. Tindakan ini terbatas pada biopsy dan diseksi leher radikal yang
dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran
(residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat
tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan
serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada
karsinoma nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa
grade I, II, adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll)4,10.
Diseksi leher radikal (RND) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten
atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di
nasofaring sudah terkontrol. Pada rencana operasi diperlukan keadaan umum
pasien yang baik dengan sistem scoring tertentu, kadar HB minimal 10, keadaan
fisik dan alat vital dan kadar elektrolit juga harus baik.
Siklus pengobatan diulangi setelah 1 bulan maksimal 5 kali. Fungsi ginjal
harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan agar
penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk mengatasi
efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin, antiemetic dll.
2. Radioterapi
Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi atau
radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat pertumbuhan
sel kanker. Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan terpenting dalam
pengobatan karsinoma nasofaring. Terapi ini menjadi pilihan utama karsinoma
nasofaring yang belum ada metastasis jauh. Karsinoma nasofaring merupakan
kanker yang dapat disembuhkan dengan radiasi terutama stadium dini (I,II),
berdasarkan faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan karsinoma nasofaring
merupakan type 2 dan 3 yangs angat radiosensitive. Alasan lainnya adalah faktor
anatomi nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital
menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas
tumor sangat sulit dikerjakan.7
Ada dua tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external menggunakan mesin
yang berada di luar tubuh untuk memberikan radiasi kepada kanker. Terapi radiasi
47
internal menggunakan zat radioaktif yang dimasukkan melalui jarum, radioaktive
seeds, wires atau kateter yang ditempatkan secara langsung kedalam atau di dekat
kanker. Cara pemberian terapi radiasi tergantung pada tipe dan satdium kanker
yang diobati. Sumber radiasi menggunakan radiasi γ Co-60, radiasi β energi
tinggi atau radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi
luar isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi
stereotaktik4.
Sebelum dilakukan radioterapi pasien harus memenuhi syarat berikut
diantaranya :
a. Keadaan umum baik
Efek radiasi dapat mengenai jaringan termasuk jaringan sumsum tulang.
Bila keadaan umum pasien lemah sebaiknya tidak diberikan karena setelah
radiasi hanya akan memperlemah keadaan umum pasien. Apabila ada
infeksi / kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu.
b. Laboratorium
Yang harus dinilai dari hasil laboratorium meliputi kadar Hb, Leukosit dan
trombosit.
c. Tumor masih terlokalisasi
Dosis yang diberikan 200 rad/ hari sampai mencapai 6000-6600 rad untuk
tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad.
Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi elektif sebesar
4000 rad. Radiasi juga diberikan pada keadaan kambuh atau pada
metastase tulang. Untuk metastase tulang yang belum menimbulkan
keadaan fraktur patologik.
Sebagai pengobatan pilihan pada karsinoma nasofaring penanganan
radioterapi pada karsinoma nasofaring dapat diberikan dengan cara:
1. Radiasi Eksterna / teleterapi
2. Brachiterapi
3. Kombinasi radiasi dengan kemoterapi
Karsinoma nasofaring biasanya memiliki lesi primer pada fossa
Rosenmuller dengan metastase ke kelenjar getah bening leher. Karena letaknya
yang sulit dideteksi, biasanya ddatang pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri
48
atau bersama kemoterapi biasanya merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan
atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.
1. Radiasi kuratif
Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali
penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radiasi kuratif
adalah tumor primer bersama kelenjar getah bening leher dan
supraklavikula. Jenis radiasi pada radiasi kuratif meliputi:
a. Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar
getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar supra-klavikular
dengan dosis 50 Gy.
b. Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada tumor
primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy) sehari 2x. apabila secara teknis
tidak bias diberikan radiasi intrakaviter oleh karena pasien tidak
mampu/menolak dilakukan tindakan brakhiterapi. Bila setelah dosis total
60 Gy, daerah sinus paranasalis tidak bersih, maka radiasi dilanjutkan
sampai dengan 70 Gy10
2. Radiasi paliatif
Radiasi paliatif diberikan bila stadium IV metastase jauh. Sasaran
dan bentuk radiasi individual, tergantung keluhan yang perlu mendapat
radiasi paliatif. Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk
metastase jauh, tergantung lokasi metastase. 45
3. Kemoterapi
Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat
menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat
anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi
pada umumnya berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi
sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel – sel yang resisten terhadap salah satu
obat mungkin sensitive terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat
dikurangi sehingga efek samping menurun. 15 Beberapa regimen kemoterapi yang
antara lain cisplatin, 5-Fluorouracil , methotrexate, paclitaxel dan docetaxel.
49
Tujuan kemoterapi untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganas.
Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk
mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh.
Pengobatan sitostatika pada kasrsinoma nasofaring merupakan pengobatan
adjuvant atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang berhasil. Sitostatika
diberikan saat :
- Stadium I/II bila sesudah radiasi internal masih ada residu lokal.
- Pada residif tumor primer.
- Pada stadium IV dengan residif/residua tau dengan metastasis jauh.
A. Cisplatin
Cisplatin merupakan obat utama dan paling sering sering dipakai pada terapi
kanker kepala dan leher. Cisplatin biasanya diberikan dalam waktu 2-6 jam
dengan dosis 60-120 mg/m2. Efek toksik pada renal biasanya terjadi, termasuk
terjadinya azotemia moderat, kebocoran elektrolit khususnya magnesium dan
potassium. Efek toksik lainnya adalah mual dan muntah, neurotoksik perifer,
ototoksik, dan mielosupresi yang terjadi setelah diberikan beberapa kali
kemoterapi. Dosis pemberian berkisar 60-120 mg/m2 yang diberikan setiap 3-4
minggu dengan respon parsial lebih kurang 15-30 %.18 Karena efek toksik
cisplatin, khususnya efek nefrotoksik dan neurotoksik, telah dikembangkan analog
obat ini dengan tujuan mempertahankan efek antitumornya dan mengurangi efek
toksiknya. Contohnya adalah carboplatin yang mempunyai efek neorotoksik dan
nefrotoksik yang lebih kecil. Keuntungan lainnya adalah cara pemberian yang
lebih mudah. Karena efek mual dan muntahnya lebih kecil, carboplatin dapat
diberikan tanpa perawatan dan hidrasi yang ketat.18 Aktifitas antitumornya
sedikit lebih kecil dibandingkan cisplatin. Carboplatin saat ini banyak dipakai,
khususnya untuk tujuan palliatif, dimana efek samping yang minimal dan waktu
rawatan yang singkat diperlukan. Contoh obat turunan lainnya adalah oxaliplatin
yang saat ini dalam uji klinis untuk terapi kanker kepala dan leher.10
B. 5-Fluorouracil
50
Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat enzim thymidylate sinthase
dan konversi uridine menjadi thymidine. Sel akan kekurangan thymidine dan
tidak dapat mensintesa DNA. Banyak obat-obatan lain yang dapat berinteraksi
dengan 5- fluorouracil dan menimbulkan efek yang lebih baik. Efek sampingnya
antara lain mielosupresi, mucositis, diare, dermatitis, dan cardiac toksik.
Penggunaan intravena secara tunggal mempunyai efek yang terbatas.10
C. Methotrexate
Methotrexate adalah antimetabolit yang mempengaruhi metabolisme folate
intraseluler dengan cara berikatan dengan dengan enzim dyhidrofolate reduktase.
Ini akan menghambat konversi asam folat menjadi tetrahydrolate. Hasilnya adalah
pengurangan jumlah folat dalam sel dan penghambatan sintesis DNA. Obat ini
aktif hanya selama siklus sel fase S. Hal ini secara selektif akan menyebabkan
perubahan jaringan menjadi lebih cepat.18 Efek samping methotrexate dapat
diminimalisir dengan pemberian folat dalam bentuk leucovirin dalam waktu 36
jam setelah pemberian obat. Untuk pemberian tunggal methotrexate biasanya
diberikan dalam dosis mingguan 40-50 mg/m2. Reaksi toksik dapat berupa
myelosupresi, mucositis, mual, muntah, diare dan fibrosis hepar. Lesi pada renal
terjadi pada pemberian dosis tinggi. Methotrexate menghasilkan tingkat respon
parsial lebih kurang 10% dengan durasi respon 1-6 bulan.10
D. Paclitaxel dan Docetaxel
Paclitaxel dan Docetaxel merupakan obat yang paling efektif melawan kanker
kepala dan leher. Paclitaxel pada awalnya didapat dari kulit pohon yew Pacific,
tetapi saat ini sudah dibuat sintetis. Golongan taxane ini menstabilkan
polimerisasi tubulin dan menghambat pemisahan sel. Docetaxel mempunyai
aktivitas yang hampir sama dengan Paclitaxel. Kedua obat ini dianggap sebagai
lini pertama pengobatan kanker kepala dan leher tingkat lanjut.18 Secara lokal
dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif
menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Karsinoma sel skuamosa
biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini. 10
Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori : 10,13
51
1. Kemoterapi adjuvan.
2. Kemoterapi neoadjuvant
3. Kemoterapi concurrent
1. Kemoterapi adjuvant
Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi.
Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan
kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki
indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:
- Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.
- Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara
makroskopis.
- Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena tingginya resiko
kekambuhan dan metastasis jauh) 10
2. Kemoterapi neoadjuvan
Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian
sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan
pemberian kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif
sehingga setelah tumor mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. 11
Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker
kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan pada awal
perjalanan penyakit adalah untuk menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat
terdapat sel tumor yang resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke
daerah tumor lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi
hasil yang lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran lebih kecil. Teori ini
dapat disingkirkan karena akan terjadi . biaya perawatan yang meningkat. Dan
yang lebih penting, sel yang bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak
respon setelah dilakukan radioterapi sesudahnya. Alasan praktis penggunaan
kemoterapi adjuvan adalah usaha untuk meningkatkan kemungkinan preservasi
organ dan kesembuhan. Regimen kemoterapi yang diberikan
cisplatin 100 mg/m2 dengan kecepatan infus 15- 20 menit perhari yang diberikan
dalam 1 hari dan 5-FU 1000 mg/m2/hari secara intra vena, diulang setiap 21 hari.
Sebelum pemberian Cisplatin diawali dengan hidrasi berupa 1.000 mL saline
52
0,9% natrium. Manitol 40 g diberikan bersamaan dengan cisplatin infus. Setelah
pemberian cisplatin, dilakukan pemberian 2.000 mL 0,9% natrium garam
mengandung 40 mEq kalium klorida. Pasien diberikan antimuntah sebagai
profilaksis yang terdiri dari 5- hydroxytryptamine-3 reseptor antagonis ditambah
20 mg deksametason. Berdasarkan penelitian pemberian neoadjuvan kemoterapi
dalam 2-3 siklus yang diberikan setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon
terhadap kemoterapi.10.11
3. Kemoterapi concurrent
Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis
kemoterapi yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer.
Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat
meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium lanjut atau pada keadaan relaps.
Hasil penelitian menggunakan kombinasi cisplatin radioterapi pada kanker kepala
dan leher termasuk karsinoma nasofaring, menunjukkan hasil yang memuaskan.
Cisplatin dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan radiation sensitizer. Jadwal
optimal cisplatin masih belum dapat dipastikan, namun pemakaian seharihari
dengan dosis rendah, pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1
kali 3 minggu dengan dosis tinggi telah banyak digunakan. 14 Agen kemoterapi
telah digunakan pada pasien dengan rekarens lokal dan metastatik jauh. Agen
yang telah dipakai yaitu metothrexat, bleomycin, 5 FU, cisplatin dan carboplatin
merupakan agen yang paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif
yang lebih baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.10,11
4. Terapi paliatif
Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban
penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat
disembuhakn lagi.
Tujuan terapi paliatif adalah:
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya
Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita
Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya
53
Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita
atas kematian penderita.
Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.
Mulut rasa kering disebabkan oleh kelenjar saliva mayor maupun minor sewaktu
penyinaran. Tidak dapat banyak dilakukan selain menasihatkan penderita untuk
akan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba
memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya
saliva45.
Gambar 2.8 Alur Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring 10
54
Gambar 2.9 Alur Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring10
Gambar 2.10 Alur Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring10
Kesimpulan penatalaksanaan karsinoma nasofaring :
55
Stadium I : Radioterapi
Stadium II & III : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi
Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi
2.15 Prognosis
Gambaran dengan lymphadenomegali menyiratkan bahwa penyakit telah
meyebar luas keluar dari bagian primer. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
angka bertahan hidup 5 tahun setelah mendapatkan terapi radiasi adalah 85-95%
untuk karsinoma nasopharing stadium I dan 70-80% untuk karsinoma nasopharing
stadium II. Stadium III dan stadium IV yang cuma mendapat terapi radiasi, angka
bertahan hidup 5 tahun berkisar antara 24-80%. Kira-kira sepertiga penderita
meninggal dunia karena metastasis jauh yang dapat ditemukan di tulang, paru, dan
hati3.
2.16 Komplikasi3,4,11
1. Petrosphenoid sindrom
Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai
sinus kavernosus menekan saraf N. III, IV, VI juga menekan N. II yang
memberikan kelainan :
- Neuralgia trigeminus (N. V) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu
nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran
listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari n. trigeminus.
- Ptosis palpebral (N.III)
- Ophthalmoplegia (N. III, IV, VI)
2. Retroparidean sindrom
Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudia dapat
menginfiltrasi ke daerah sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang
menuju kea rah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar
getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, X, XI, XII.
3. Metastasis tumor jauh
56
2.17 Differential Diagnosis berdasarkan gejala klinis
1. Polip Nasal
Polip nasal merupakan lesi abnormal yang berasal dari mukosa nasal
atau sinus paranasal. Polip merupakan hasil akhir dari berbagai proses
penyakit di kavum nasi. Polip hidung mengandung banyak cairan,
berwarna putih keabu-abuan. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat
sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan
mudah digerakkan.3,11
3. Limfoma Non-Hodgkin
Sering pada pemuda dan remaja, pembesaran kelenjar limfe leher,
dapat mengenai banyak lokasi, secara bersamaan dapat terjadi pembesaran
kelenjar limfe naksila, inguinal, mediastinum, dll. Konsistensi tumor agak
lunak dan mudah digerakkan. 2,11
4. TB Nasofaring
Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal atau
benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan
mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegaskan apakah terdapat
TB dan kanker bersama-sama, atau apakah terjadi reaksi tuberkuloid
akibat KNF. 2
5. TB Kelenjar Limfe Leher
Lebih banayak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat
melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat
nyeri tekan atau undulasi, pungsi aspirasi jarum menemukan materi mirip
keju. 2
6. Angiofibroma Nasofaring
Sering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari
wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan timor licin, warna
mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi di
permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai
penyakit ini, biopsi tidak dianjurkan karena mudah terjadi perdarahan
masif. 2.
57
2.18 Differential Diagnosis berdasarkan gambaran radiologi
1. Hiperplasia Adenoid
Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada
anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos
akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya
berbatas tegas dan simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak
tanda-tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma.
2. Angiofibroma juenilis
Biasanya pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai
karsinoma nasofaring. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya
tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap
nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada
penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang
hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan kea
rah depan dari dinding belakang sinus maksilaris yang dikenal sebagai
antral sign. Karena tumor ini kaya akan pembuluh darah maka arteriografi
carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambarannya sangat karakteristik.
Kadang-kadang sulit juga membedakan angiofibroma juvenils dengan
polip hidung pada foto polos.
3. Tumor sinus sphenoidalis
Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan
biasanya tumor sudah sampai stadium lanjut waktu pasien datang untuk
pemeriksaan pertama.
4. Neurofibroma
Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga
menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara CT Scan
pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu
membedakan kelompok tumor ini dengan karsinoma nasofaring.
58
5. Tumor kelenjar parotis
Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak
agak dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol kearah lumen
nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang
parafaring kearah medial yang tampak pada pemeriksaan CT Scan.
6. Chordoma
Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi
mengingat karsinoma nasofaring sering menimbulkan destruksi tulang,
maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto polos,
dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT Scan
dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian
atas karena chordoma umumnya tidak memperhatikan kelainan pada
kelenjar tersebut sedangkan karsinoma nasofaring sering bermetastasis ke
kelenjar getah bening.
7. Meningioma basis crania
Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang
menyerupai karsinoma nasofaring dengan tanda-tanda sklerotik pada
daerah basis crania. Gambaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu
sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi
sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan
arteriografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini. 46
2.19 Proteksi Radiasi
a. Pengertian Proteksi Radiasi 24,25
Proteksi radiasi atau keselamatan radiasi ini kadang-kadang dikenal
juga sebagai proteksi radiologi ini memiliki beberapa pengertian yaitu :
- Proteksi radiasi adalah perlindungan masyarakat dan lingkungan dari efek
berbahaya dari radiasi pengion , yang meliputi radiasi partikelenergi tinggi
dan radiasi elektromagnetik
- Proteksi radiasi adalah suatu system untuk mengendalikan bahaya radiasi
dengan menggunakan peralatan proteksi dan kerekayasaan yang canggih
serta mengikuti peraturan proteksi yang sudah dibakukan.
59
- Proteksi radiasi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan atau teknik yang
mempelajari masalah kesehatan manusia maupun lingkungan dan
berkaitan dengan pemberian perlindungan kepada seseorang atau
sekelompok orang ataupun kepada keturunannya terhadap kemungkinan
yang merugikan kesehatan akibat paparan radiasi.
- Proteksi Radiasi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
teknik kesehatan lingkungan yaitu tentang proteksi yang perlu diberikan
kepada seseorang atau sekelompok orang terhadap kemungkinan
diperolehnya akibat negatif dari radiasi pengion.
Menurut BAPETEN, proteksi radiasi adalah tindakan yang dilakukan
untuk mengurangi pengaruh radiasi yang merusak akibat paparan radiasi.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa proteksi radiasi adalah
ilmu yang mempelajari tentang teknik yang digunakan oleh manusia untuk
melindungi dirinya, orang disekitarnya maupun keturunannya dari paparan
radiasi.
Dari segi ilmiah dan teknik, ruang lingkup proteksi radiasi terutama
meliputi :
1. Pengukuran fisika berbagai jenis radiasi dan zat radioaktif
2. Menentukan hubungan antara tingkat kerusakan biologi dengan dosis
radiasi yang diterima organ/ jaringan
3. Penelaahan transportasi radionuklida di lingkungan, dan
4. Melakukan desain terhadap perlengkapan kerja, proses dan sebagainya
untuk mengupayakan keselamatan radiasi baik di tempat kerja maupun
lingkungan.
B. Macam-macam Proteksi Radiasi 24,25
Proteksi radiasi dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu :
1. Proteksi radiasi kerja merupakan perlindungan pekerja.
2. Proteksi radiasi medis merupakan perlindungan pasien dan radiografer, dan
3. Proteksi radiasi masyarakat merupakan perlindungan individu, anggota
masyarakat, dan penduduk secara keseluruhan.
60
Jenis-jenis eksposur, serta peraturan pemerintah dan batas paparan hukum
yang berbeda untuk masing-masing kelompok, sehingga masing-masing harus
dipertimbangkan secara terpisah.
C. Falsafah Proteksi Radiasi24
Falsafah proteksi radiasi disebut juga dengan tujuan proteksi radiasi.
Tujuan dari proteksi radiasi adalah sebagai berikut :
1. Mencegah terjadinya efek non stokastik yang membahayakan
2. Meminimalkan terjadinya efek stokastik hingga ke tingkat yang cukup
rendah yang masih dapat diterima oleh individu dan lingkungan di sekitarnya.
Pengalaman telah membuktikan bahwa dengan menggunakan system
pembatasan dosis terhadap penyinaran tubuh (baik radiasi eksterna maupun
internal) kemungkinan resiko bahaya radiasi dapat diabaikan petugas proteksi
radiasi dengan mengikuti peraturan proteksi radiasi dan menggunakan
peralatan proteksi yang canggih dapat menyelamatkan pekerja radiasi dan
masyarakat pada umumnya.
Prosedur yang biasa dipakai untuk mencegah dan mengendalikan bahaya
radiasi adalah :
a. Meniadakan bahaya radiasi
b. Mengisolasi bahaya radiasi dari manusia
c. Mengisolasi manusia dari bahaya radiasi
Untuk menerapkan tiga prosedur proteksi radiasi di atas dilaksanakan oleh
petugas proteksi radiasi. Prosedur utama cukup jelas dengan mentaati dan
melaksanakan peraturan proteksi radiasi; kedua dengan merancang tempat kerja
dan menggunakan peralatan proteksi radiasi yang baik dan penahan radiasi yang
memadai sehingga kondisi kerja dan lingkungannya aman dan selamat; dan ketiga
memerlukan pemonitoran dan pengawasan secara terus menerus baik pekerja
radiasi maupun lingkungannya dengan menggunakan alat pemonitoran
perorangan, pemonitoran lingkungan dan surveimeter.
Para penguasa instalasi nuklir sesuai dengan segala keturunan yang berlaku
wajib menyusun program proteksi radiasi sejak proses perencanaan, tahap
pembangunan instalasi, dan pada tahap operasi. Program proteksi radiasi ini
61
dimaksudkan untuk menekan serendah mungkin kemungkinan terjadinya
kecelakaan radiasi. Dalam penyusunan program ini diperlukan adanya prinsip
penerapan prinsip keselamatan radiasi dalam pengoperasian suatu ignstalasi nuklir
sesuai dengan rekomendasikan oleh Komisi Internasional untuk Perlindungan
Radiologi (ICRP).24,25
Dalam pemanfaatan teknologi nuklir, faktor keselamatan manusia harus
mendapatkan prioritas utama. Program proteksi radiasi bertujuan melindungi para
pekerja radiasi serta masyarakat umum dari bahaya radiasi yang ditimbulkan
akibat penggunaan zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya. Ada tiga hal penting
yang perlu mendapatkan perhatian untuk mencegah terjadinya kecelakaan radiasi
sehubungan dengan pengoperasian instalasi nuklir, yaitu :24,25
1. Adanya peraturan perundangan dan standar keselamatan dalam bidang
keselamatan nuklir;
2. Pembangunan instalasi nuklir dilengkapi dengam sarana peralatan
keselamatan kerja dan sarana pendukung lainnya yang sempurna sesuai
dengan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya, dengan
memperhatikan laporan analisis keselamatan berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh instansi
yang berwenang;
3. Tersedianya personil dengan bekal pengetahuan memadai dan memahami
sepenuhnya tentang keselamatan kerja terhadap radiasi.
D. Acuan Dasar Proteksi Radiasi24,25
Untuk mencapai tujuan program proteksi radiasi , baik untuk pekerja
radiasi maupun anggota masyarakat, diperlukan adanya acuan dasar sehingga
setiap kegiatan proteksi harus selalu sesuai dengan acuan dasar tadi. Sesuai
dengan rekomendasi ICRP, dalam setiap kegiatan proteksi dikenal adanya
standar dalam nilai batas dan tingkat acuan. Nilai batas terdiri atas nilai batas
dasar, nilai batas turunan dan nilai batas ditetapkan. Sedang tingkat acuan
terdiri atas tingkat pencatatan, tingkat penyelidikan dan tingkat intervensi.
Nilai batas dasar untuk tujuan proteksi radiasi tidak dapat diukur secara
langsung. Sedang dalam pelaksanaan program proteksi, rancangan program
62
pemantauan radiasi memerlukan metode interpretasi untuk secara langsung
dapat menunjukan bahwa hasil pemantauan itu sesuai dengannilai batas dosis.
Untuk mencapai efisiensi dalam proteksi radiasi, dipandang perlu untuk
memperkenalkan nilai batas turunan yang menunjukan hubungan langsung
antara nilai batas dasar dan hasil pengukuran.
Nilai batas turunan adalah besaran terukur yang dapat dihubungkan
dengan nilai batas dasar dengan menggunakan suatu model. Dengan demikian
hasil pengukuran yang sesuai dengan nilai batas turunan secara otomatis akan
sesuai dengan nilai batas dasar. Sedang nilai batas ditetapkan adalah besaran
terukur yang ditetapkan oleh pemerintah maupun peraturan lokal pada suatu
instalasi. Nilai batas ditetapkan umumnya lebih rendah dari nilai batas
turunan, namun ada kemungkinan nilai keduanya adalah sama.
Tingkat acuan bukan merupakan nilai batas, tetapi dapat digunakan untuk
menentukan suatu tindakan dalam suatu nilai besaran melampaui atau
diramalkan dapat melampaui tingkat acuan. Oleh sebab itu, dalam
melaksanakan program pemantauan radiasi perlu menggunakan tingkat acuan.
Pelaksanaan program proteksi radiasi memerlukan perencanaan yang hati-hati
dalam menentukan tingkat acuan dan tindakan nyata yang perlu diambil jika
nilai suatu besaran mencapai nilai acuan. Tingkat acuan ini secara operasional
akan sangat membantu penguasa instalasi atom dalam upaya mencapai tujuan
proteksi radiasi. Ada tiga tingkat acuan, yaitu :
1. Tingkat Pencatatan, yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka suatu
hasil pengukuran harus dicatat. Nilai dari tingkat pencatatan harus kurang
dari 1/10 dari nilai batas dosis ekuivalen tahunan. Hasil pengukuran yang
berada di bawah nilai tingkat pencatatan tidak perlu proses lebih lanjut.
2. Tingkat Penyelidikan,yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka
penyebab atau implikasi suatu hasil pengukuran harus diselidiki. Tingkat
penyelidikan harus kurang dari 3/10 dari nilai batas dosis ekuivalen
tahunan.
3. Tingkat Intervensi,yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka beberapa
tindakan penanggulangan harus diambil. Tingkat intervensi harus
63
ditentukan sehingga tindakan penanggulangan tidak mempengaruhi
kondisi operasi normal.
E. Asas-asas Proteksi Radiasi24,25
Asas-asas dalam proteksi radiasi atau disebut juga prinsip-prinsip proteksi
radiasi ini terdiri atas beberapa macam yaitu asas legislasi yang sering disebut
asas justifikasi yang artinya pembenaran, asas optimalisasi dan asas limitasi.
Penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. Asas legislasi atau justifikasi yang artinya pembenaran
Penerapan asas justifikasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut agar
sebelum tenaga nuklir dimanfaatkan, terlebih dahulu harus dilakukan
analisis resiko manfaat. Apabila pemanfaatan tenaga nuklir menghasilkan
manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan resiko akibat kerugian
radiasi yang mungkin ditimbulkannya, maka kegiatan tersebut boleh
dilaksanakan. Sebaliknya, apabila manfaatnya lebih kecil dari resiko yang
ditimbulkan, maka kegiatan tersebut tidak boleh dilaksanakan.
2. Asas Optimalisasi
Penerapan asas ini dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut agar
paparan radiasi yang berasal dari suatu kegiatan harus ditekan serendah
mungkin dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. Asas ini
dikenal dengan sebutan ALARA (As Low As Reasonably Achievable).
Dalam kaitannya dengan penyusunan program proteksi radiasi, asas
optimalisasi mengandung pengertian bahwa setiap komponen dalam
program telah dipertimbangkan secara saksama, termasuk besarnya biaya
yang dapat dijangkau. Suatu program proteksi dikatakan memenuhi asas
optimalisasi apabila semua komponen dalam program tersebut disusun dan
direncanakan sebaik mungkin dengan memperhitungkan biaya yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ekonomi.
Tujuan dari asas optimalisasi dalam proteksi radiasi adalah untuk
mendapatkan hasil optimum yang meliputi kombinasi penerimaan dosis
yang rendah, baik individu maupun kolektif, minimnya resiko dari
pemaparan yang tidak dikehendaki, dan biaya yang murah. Asas
64
optimalisasi sangat ditekankan oleh ICRP. Setiap kegiatan yang
memerlukan tindakan proteksi, terlebih dahulu harus dilakukan analisis
optimalisasi proteksi. Penekanan ini dimaksudkan untuk meluruskan
kesalahpahaman tentang sistem pembatasan dosis yang sebelumnya
dikenal dengan konsep ALARA (As Low As Reasonably Achievable).
Baik asas optimalisasi maupun ALARA keduanya sangat menekankan
pada pertimbangan faktor-faktor ekonomi dan sosial, dan tidak semata-
mata menekankan pada rendahnya penerimaan dosis oleh pekerja maupun
masyarakat.
3. Asas Limitasi
Penerapan asas ini dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut agar dosis
radiasi yang diterima oleh seseorang dalam menjalankan suatu kegiatan
tidak boleh melebihi nilai batas yang telah ditetapkan oleh instansi yang
berwenang. Yang dimaksud Nilai Batas Dosis (NBD) ini adalah dosis
radiasi yang diterima dari penyinaran eksterna dan interna selama 1 (satu)
tahun dan tidak tergantung pada laju dosis. Penetapan NBD ini tidak
memperhitungkan penerimaan dosis untuk tujuan medik dan yang berasal
dari radiasi alam. NBD yang berlaku saat ini adalah 50 mSv (5000 mrem)
pertahun untuk pekerja radiasi dan 5 mSv (500 mrem) per tahun untuk
anggota masyarakat. Sehubungan dengan rekomendasi IAEA agar NBD
untuk pekerja radiasi diturunkan menjadi 20 mSv (2000 mrem) per tahun
untuk jangka waktu 5 tahun (dengan catatan per tahun tidak boleh
melebihi 50 mSv) dan untuk anggota masyarakat diturunkan menjadi 1
mSv (100 mrem) per tahun, maka tentunya kita harus berhati-hati dalam
mengadopsinya. Dengan menggunakan program proteksi radiasi yang
disusun secara baik, maka semua kegiatan yang mengandung resiko
paparan radiasi cukup tinggi dapat ditangani sedemikian rupa sehingga
nilai batas dosis yang ditetapkan tidak akan terlampaui.
f. Macam-macam proteksi radiasi
Proteksi radiasi dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu:
1. Proteksi radiasi medis merupakan perlindungan pasien dan
radiographer
65
2. Proteksi radiasi kerja merupakan perlindungan kerja.
3. Proteksi radiasi masyarakat merupakan perlindungan individu,
anggota masyarakat dan penduduk secara keseluruhan.
g. Satuan-Satuan Radiasi
Rontgen
Rontgen adalah satuan pemaparan radiasi yg memberikan muatan 2,58.10-4
Coulomb per kg udara.
Rad
Rad adalah satuan dosis serap.
1 rad : radiasi yang diperlukan untuk melepaskan tenega 100 erg dalam 1
gram bahan yang disinar (1 rad = 100 erg/gram)
Rad tidak tergantung komponen bahan yang disinar dan tenaga radiasi,
tetapi jumlah rad per R pemaparan berbeda dengan tenaga berkas sinar dan
komposisi bahan serap.
Gray (Gy)
1 Gray= 100 rad
1Cgy= 1 rad
Rem(Rad Equivalent Man)
Rem adalah satuan dosis ekuivalen.
Rem = rad x factor kualitas
Rem merupakan ukuran efek biologis akibat radiasi.
Karena faktor kualitas untuk sinar x dan g = 1, maka Roentgen = 1 Rad =
1 Rem Karena tenaga yang dilepaskan ke dalam jaringan lunak oleh 1
Rontgen pemaparan hanya 5% lebih besar dari 1 Rad.
Sievert (Sv)
1 Sievert (Sv) = 100 rem
RBE (relatives biological effectivemen)
Perbandingan dosis sinar x 250 K dengan dosis radiasi lain yang efek
biologis sama dengan dosis sinar x 250 K dengan efek biologik tertentu /
dosis radiasi lain dengan efek biologik yang sama.
66
Faktor kualitas berbagai jenis radiasi
Jenis radiasi Faktor kualitas
Sinar xSinar gammaPartikel beta
ProtonNeutron lambat
Neutron cepatPartikel alfa
111531020
h. Nilai batas yang diizinkan
Untuk perorangan, dosis yang terakumulasi selama jangka waktu panjang atau
hasil penyinaran tunggal yang mengandung kemungkinan kerusakan sitomatik
atau genetik yang dapat diabaikan dan besar dosis ditentukan pada setiap efek
yang sering terjadi terbatas pada akibat yang ringan, sehingga tidak akan
dianggap tidak dapat diterima oleh seseorang yang tersinari dan oleh instansi
yang berwenang dalam bidang medis.
i. Pengendalian tingkatan pemaparan radiasi
Cara Pengendalian tingkatan pemaparan radiasi :
1. Jarak : Intensitas radiasi dipengaruhi oleh hukum kuadrat terbalik sehingga
cara ini efektif.
2. Waktu : Pemaparan dapat diatur dengan :
- Membatasi waktu generator dihidupkan.
- Pembatasan waktu berkas diarahkan ke ruang tertentu.
- Pembatasan waktu ruang yang dipakai.
3. Perisai : Digunakan bila ternyata jarak dan waktu tidak mencukupi, maka
dibuat dari timbal atau beton.
Jenis perisai :
Perisai primer: Memberi proteksi terhadap radiasi primer (berkas
sinar gamna)
Contoh: Tempat tabung sinar x dan kaca timbal
pada Tabir fluoroskopi
67
Perisai sekunder: Memberi proteksi terhadap radiasi sekunder
(sinar bocor dan hambur)
Contoh: Tabir sarat timbal pada tabir fluroskopi,pakaian proteksi, kursi
fluoroskopi dan perisai yang dapat dipindah-pindah.
j. Proteksi radiasi
a. Pada pasien:
1. Pemeriksaan sinar x hanya atas permintaan seseorang dokter.
2. Pemakaian filtrasi maksimum pada sinar primer.
3. Pemakaian voltage yang lebih tinggi (bila mungkin) sehingga daya
tembusnya lebih kuat
4. Jarak focus pasien jangan terlalu pendek.
Hukum kuadrat terbalik: Intensitas sinar x berbanding terbalik dengan
jarak pangkat dua.
Jarak focus kulit pada:
- sinar tembus tidak boleh kurang dari 45 cm.
- radiografi tidak boleh kurang dari 90 cm
5. Daerah yang disinari harus sekecil mungkin, misalnya dengan
menggunakan konus (untuk radiografi) atau diafragma (untuk sinar
tembus).
6. Waktu penyinaran sesingkat mungkin.
Contoh : pemeriksaan sinar tembus tidak boleh melebihi 5 menit pada
salah satu bagian tubuh.
8. Alat-alat kelamin dilindungi.
9. Pasien hamil, terutama trisemester pertama tidak boleh diperiksa
radiologik.
10. Peningkatan sistem pertahanan seluler radiasi dengan antioksidan:
Cystein,vitamin E dan vitamin C.
68
b. Pada dokter pemeriksa dan petugas radiologi:
1. Hindari penyinaran bagian-bagian tubuh tidak terlindungi
2. Pemakaian sarung tangan, apron atau gaun pelindung yanqg berlapis Pb
dengan tebal maksimum 0,5 mm Pb.Hindari melakukan sinar tembus,
usahakan melakukan radiografi.
3. Hindari pemeriksaan sinar tembus tulang-tulang kepala (head fluoroscopy)
4. Akomodasi mata sebelum melakukan pemekrisaan sinar tembus paling
sedikit
selama 20 menit.
5. Gunakan alat-alat pengukur sinar Rontgen.
6. Pemeriksaan pesawat sebelum dipakai.
Contoh: Perlindungan terhadap bahaya elektris.Adanya kebocoran pada
tabung pesawat.Voltage yang aman dan lamanya.
7. Pemeriksaan rutin terhadap kemungkinan bocor / rusaknya perlengkapan-
perlengkapan pelindung berlapis Pb.