bab ii fix

70
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Latar Belakang Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher terbanyak di temukan di Indonesia. Karsinoma nasofaring berkembang di nasofaring, suatu area di belakang hidung menuju dasar tengkorak. Karsinoma nasofaring ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring 13,14 . Karsinoma nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10 besar tumor ganas diseluruh tubuh, sedangkan dibagian penyakit telinga, hidung dan tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama keganasan kepala-leher dan urutan ke-empat setelah keganasan serviks, payudara dan kulit (Punagi,2007). Persentase insidensi karsinoma nasofaring (41,90%), disusul kemudian tumor ganas laring (11,94%), rongga hidung (11,51%), rongga mulut (10,52%), tonsil (7,74%), tiroid (5,80%), sinus maksilaris (4,95%), parotis (2,31%), telinga/mastoid (1,42%), esofagus (0,85%), hipofaring (0,75%) dan mandibula (0,75%) 1,11 . Karsinoma nasofaring ini dapat mengenai semua golongan usia, umumnya pada usia 30-60 tahun dan pria lebih sering daripada wanita dengan perbandingan 2-3:1. Karsinoma nasofaring berpotensi menyebar cepat ke jaringan sekitar dan bermetastasis jauh. Biasanya 23

Upload: patriaindra

Post on 20-Feb-2016

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II FIX

BAB IITINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Latar BelakangKarsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher

terbanyak di temukan di Indonesia. Karsinoma nasofaring berkembang di

nasofaring, suatu area di belakang hidung menuju dasar tengkorak. Karsinoma

nasofaring ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring13,14.

Karsinoma nasofaring di Indonesia menempati urutan ke-5 dari 10 besar

tumor ganas diseluruh tubuh, sedangkan dibagian penyakit telinga, hidung dan

tenggorok, tumor ganas nasofaring menempati urutan pertama keganasan kepala-

leher dan urutan ke-empat setelah keganasan serviks, payudara dan kulit

(Punagi,2007). Persentase insidensi karsinoma nasofaring (41,90%), disusul

kemudian tumor ganas laring (11,94%), rongga hidung (11,51%), rongga mulut

(10,52%), tonsil (7,74%), tiroid (5,80%), sinus maksilaris (4,95%), parotis

(2,31%), telinga/mastoid (1,42%), esofagus (0,85%), hipofaring (0,75%) dan

mandibula (0,75%)1,11.

Karsinoma nasofaring ini dapat mengenai semua golongan usia,

umumnya pada usia 30-60 tahun dan pria lebih sering daripada wanita dengan

perbandingan 2-3:1. Karsinoma nasofaring berpotensi menyebar cepat ke

jaringan sekitar dan bermetastasis jauh. Biasanya penderita datang berobat setelah

mencapai stadium lanjut, dengan gejala penyebaran berupa pembesaran kelenjar

getah bening di leher dan kelainan saraf cranial 4,12,29.

Latar belakang etnis dan paparan kepada (Epstein-Barr Virus) EBV bisa

mempengaruhi faktor risiko perkembangan karsinoma nasofaring. Faktor risiko

yang termasuk ke dalam halayak yang berisiko ini adalah: Orang Cina atau

keturunan Asia, Paparan EBV telah berkaitan dengan karsinoma tertentu,

termasuk karsinoma nasofaring dan beberapa lymphoma, dan terlalu banyak

minum alkohol 31.

Penegakan diagnosis pasti serta stadium tumor dapat ditegakkan melalui

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan nasofaring, biopsy nasofaring,

pemeriksaan patologi anatomi, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan

neurooftalmologi, pemeriksaan serologi18.

23

Page 2: BAB II FIX

24

Gejala dan tanda karsinoma nasofaring yang sering berupa benjolan di

leher (78%), obstruksi hidung (35,5%), epistaksis (27,5%) dan diplopia. Termasuk

adenopati leher, epistaksis, otitis media efusi, gangguan pendengaran unilateral

atau bilateral, hidung tersumbat, paralisis nervus kranial, retrosphenoidal

syndrome of Jacod (kesulitan ekspresi wajah, masalah gerakan mata dan rahang),

retroparotidian syndrome of Villaret (sulit mengunyah, gangguan gerakan lidah

dan leher), nyeri telinga yang menjalar.(Lee,2008) Seperempat pasien karsinoma

nasofaring mengalami gangguan nervus kranial, 28,8% mengenai nervus V, 26,9

% mengenai nervus VI dan 25% mengenai nervus X.33.

Bila scara klinis dicurigai menderita karsinoma nasofaring dan tumor tidak

terlihat pada pemeriksaan endoskopi, harus dilakukan pencitraan dengan

potongan lintang (CT-Scan atau MRI) (Wei, sham 2005). Pemriksaan CT-Scan

mempunyai keuntungan antar lain kemampuan untuk membedakan berbagai

densitas di daerah nasofaring, baik jaringan lunak maupun perubahan pada tulang.

Selain itu dapat menilai perluasan tumor ke jaringan sekitar, adanya destruksi

tulang dan penyebaran ke intracranial. Terapi yang diberikan umumnya berupa

radiasi (radioterapi) sebagai treatment of choice.19.

Page 3: BAB II FIX

25

2.2 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Nasofaring

Nasofaring merupakan lubang sempit yang terdapat pada belakang rongga

hidung. Bagian atap dan dinding belakang dibentuk oleh basis sphenoid, basis

occiput dan ruas pertama tulang belakang. Bagian depan berhubungan dengan

rongga hidung melalui koana. Orificium dari tuba eustachii berada pada dinding

samping dan pada bagian depan dan belakang terdapat ruangan berbentuk koma

yang disebut dengan torus tubarius. Bagian atas dan samping dari torus tubarius

merupakan reses dari nasofaring yang disebut dengan fossa rosenmuller.

Nasofaring berhubungan dengan orofaring pada bagian soft palatum11.

Gambar 2.2 Anatomi Nasofaring

Page 4: BAB II FIX

26

Bangunan-bangunan penting yang terdapat di nasofaring adalah: 2

1. Adenoid atau Tonsila Lushka

Bangunan ini hanya terdapat pada anak-anak usia kurang dari 13 tahun. Pada

orang dewasa struktur ini telah mengalami regresi.

2. Fosa Nasofaring atau Forniks Nasofaring

Struktur ini berupa lekukan kecil yang merupakan tempat predileksi fibroma

nasofaring atau angiofibroma nasofaring.

3. Torus Tubarius

Merupakan suatu tonjolan tempat muara dari saluran tuba Eustachii (ostium

tuba).

4. Fosa Rosen muller

Merupakan suatu lekuk kecil yang terletak di sebelah belakang torus tubarius.

Lekuk kecil ini diteruskan ke bawah belakang sebagai alur kecil yang disebut

sulkus salfingo-faring. Fossa Rosenmulleri merupakan tempat perubahan atau

pergantian epitel dari epitel kolumnar/kuboid menjadi epitel pipih. Tempat

pergantian ini dianggap merupakan predileksi terjadinya keganasan

nasofaring.

Mukosa atau selaput lendir nasofaring terdiri dari epitel yang bermacam-

macam, yaitu epitel kolumnar simpleks bersilia, epitel kolumnar berlapis, epitel

kolumnar berlapis bersilia, dan epitel kolumnar berlapis semu bersilia. Pada tahun

1954, Ackerman dan Del Regato berpendapat bahwa epitel semu berlapis pada

nasofaring ke arah mulut akan berubah mejadi epitel pipih berlapis. Demikian

juga epitel yang ke arah palatum molle, batasnya akan tajam dan jelas sekali.

Yang terpenting di sini adalah pendapat umum bahwa asal tumor ganas nasofaring

itu adalah tempat-tempat peralihan atau celah-celah epitel yang masuk ke

jaringan limfe di bawahnya.2

Walaupun fosa Rosenmuller atau dinding lateral nasofaring merupakan

lokasi keganasan tersering, tapi kenyataannya keganasan dapat juga terjadi di

tempat-tempat lain di nasofaring.2 Keganasan nasofaring dapat juga terjadi pada:

1. Dinding atas nasofaring atau basis kranii dan tempat di mana terdapat adenoid.

2. Di bagian depan nasofaring yaitu terdapat di pinggir atau di luar koana.

Page 5: BAB II FIX

27

3. Dinding lateral nasofaring mulai dari fosa Rosenmulleri sampai dinding faring

dan palatum molle.

Gambar 2.3 Anatomi Nasofaring Tampak Belakang

Dinding anterior nasofaring adalah daerah sempit jaringan lunak yang

merupakan batas koana posterior. Batas inferior nasofaring adalah palatum molle.

Batas dinding lateral merupakan fasia faringobasilar dan m. konstriktor faring

superior.2

Tuba Eustachius membelah dinding lateral ini, masuk dari telinga tengah

ke nasofaring melalui celah di fasia faringobasilar di daerah posterosuperior, tepat

di atas batas superior muskulus konstriktor faring superior, disebut fossa

russenmuller (resessus faringeal). Fossa russenmuller merupakan tepi dinding

posterosuperior nasofaring, yang merupakan tempat asal munculnya sebagian

besar karsinoma nasofaring dan yang paling sensitif terhadap penyebaran

keganasan pada nasofaring.2

Fossa russen muller mempunyai hubungan anatomi dengan sekitarnya,

sehingga berperan dalam kejadian dan prognosis karsinoma nasofaring. Tepat di

atas apeks dari fossa russenmuller terdapat foramen laserum, yang berisi arteri

karotis interna dengan sebuah lempeng tipis fibrokartilago. Lempeng ini

mencegah penyebaran gkarsinoma nasofarin ke sinus kavernosus melalui karotis

yang berjalan naik. Tepat di anterior fossa russenmuller, terdapat nervus

mandibula (V3) yang berjalan di dasar tengkorak melalui foramen ovale. Kira-

kira 1.5 cm posterior dari fossa russenmuller terdapat foramen jugulare, yang

Page 6: BAB II FIX

28

dilewati oleh saraf kranial IX-XI, dengan kanalis hipoglosus yang terletak paling

medial.2

Fossa russenmuller yang terletak di apeks dari ruang parafaring ini

merupakan tempat menyatunya beberapa fasia yang membagi ruang ini menjadi 3

kompartemen, yaitu :

1) Kompartemen prestiloid, berisi a. maksilaris, n. lingualis dan n. alveolaris

inferior

2) Kompartemen poststiloid, yang berisi sarung karotis, dan

3) Kompartemen retrofaring, yang berisi kelenjar Rouviere.

Kompartemen retrofaring ini berhubungan dengan kompartemen

retrofaring kontralateral, sehingga pada keganasan nasofaring mudah terjadi

penyebaran menuju kelenjar limfa leher kontralateral. Lokasi fossa russenmuller

yang demikian itu dan dengan sifat karsinoma nasofaring yang invasif,

menyebabkan mudahnya terjadi penyebaran karsinoma nasofaring ke daerah

sekitarnya yang melibatkan banyak struktur penting sehingga timbul berbagai

macam gambaran klinis.4

Dinding daerah nasofaring mengandung komponen lapisan otot, jaringan

fibrosa dan mukosa. Dinding lateral daerah nasofaring dibentuk oleh muskulus

konstriktor superior. Ruang antara tepi atas muskulus konstriktor superior dan

dasar tengkorak disebut sinus Morgagni. Daerah ini dilindungi oleh fasia

faringobasilar yang ditunjang oleh muskulus levator veli palatini. Ujung medial

dari tuba Eustachius membentuk sebuah penonjolan (torus tubarius) yang terletak

di bagian atas dinding lateral. Dari tepi posterior orifisium tuba Eustachius

terdapat sebuah lipatan mukosa yang dibentuk oleh muskulus salpingofaringeus,

berjalan ke bawah dan turun secara bertahap pada dinding faring bagian lateral.

Lapisan fibrosa terdiri dari dua lapisan yan berada di sebelah dalam dan di sebelah

luar muskulus konstriktor. Kedua lapisan ini bersambunng dengan fasia di leher.4

Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian superfisial muskulus

konstriktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang berada di

antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia

faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior

naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri.4 Lapisan mukosa ialah

Page 7: BAB II FIX

29

daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus berlapis semu

bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan pada

Lapisan luar atau fasia bukofaring menutupi bagian superfisial muskulus

konstriktor superior. Komponen dalam atau aponeurosis faringeal yang berada di

antara lapisan mukosa dan muskulus konstriktor adalah bagian dari fasia

faringobasilar. Kedua lapisan fasia pada tepi atas muskulus konstriktor superior

naik ke arah dasar tengkorak sebagai bagian tersendiri.4 Lapisan mukosa ialah

daerah nasofaring yang dilapisi oleh mukosa dengan epitel kubus berlapis semu

bersilia pada daerah dekat koana dan daerah di sekitar atap, sedangkan pada

daerah posterior dan inferior nasofaring terdiri dari epitel skuamosa berlapis.

Daerah dengan epitel transisional terdapat pada daerah pertemuan antara atap

nasofaring dan dinding lateral. Lamina propria seringkali diinfiltrasi oleh jaringan

limfoid, sedangkan lapisan submukosa mengandung kelenjar serosa dan mukosa.

Gambar 2.4 Anatomi Lapisan Nasofaring

2.2.1 Perdarahan dan persarafan

Page 8: BAB II FIX

30

Pembuluh darah arteri utama yang memperdarahi daerah nasofaring adalah

arteri faringeal asendens, arteri palatina asendens, arteri palatina desendens, dan

cabang faringeal arteri sfenopalatina. Semua pembuluh darah tersebut berasal dari

arteri karotis eksterna dan cabang-cabangnya. Pembuluh darah vena berada di

bawah membran mukosa yang berhubungan dengan pleksus pterigoid di daerah

superior dan fasia posterior atau vena jugularis interna di bawahnya.3

Gambar 2.5 Perdarahan nasofaring

Daerah nasofaring dipersarafi oleh pleksus faringeal yang terdapat di atas

otot konstriktor faringeus media. Pleksus faringeus terdiri dari serabut sensoris

saraf glossofaringeus (IX), serabut motoris saraf vagus (X) dan serabut saraf

ganglion servikalis simpatikus. Sebagian besar saraf sensoris nasofaring berasal

dari saraf glossofaringeus, hanya daerah superior nasofaring dan anterior orifisuim

tuba yang mendapat persarafan sensoris dari cabang faringeal ganglion

sfenopalatina yang berasal dari cabang maksila saraf trigeminus (V1).3

Page 9: BAB II FIX

31

Gambar 2.6. Persarafan nasofaring

2.2.2 Sistem limfatik

Nasofaring mempunyai pleksus submukosa limfatik yang luas. Kelompok

pertama adalah kelompok nodul pada daerah retrofaringeal yang terdapat pada

ruang retrofaring antara dinding posterior nasofaring, fasia faringobasilar dan

fasia prevertebra. Pada dinding lateral terutama di daerah tuba Eustachius paling

kaya akan pembuluh limfe. Aliran limfenya berjalan ke arah anterosuperior dan

bermuara di kelenjar retrofaringeal atau ke kelenjar yang paling proksimal dari

masing-masing sisi rantai kelenjar spinal dan jugularis interna, rantai kelenjar ini

terletak di bawah otot sternokleidomastoid pada tiap prosessus mastoid. Beberapa

kelenjar dari rantai jugular letaknya sangat dekat denan saraf-saraf kranial terakhir

yaitu saraf IX,X,XI,XII. Metastase ke kelenjar limfe ini dapat terjadi sampai

dengan 75% penderita karsinoma nasofaring, yang mana setengahnya datang

dengan kelenjar limfe bilateral.3

2.3 Definisi Karsinoma Nasofaring

Page 10: BAB II FIX

32

Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang berasal dari epitel. Tumor

ini bermula dari dinding lateral nasofaring (fossa Rosenmuller) dan dapat

menyebar kedalam atau keluar nasofaring menuju dinding lateral, posterosuperior,

dasar tengkorak, palatum, kavum nasi, dan orofaring serta metastasis ke kelenjar

limfe leher11.

2.4 Epidemiologi

Meskipun banyak ditemukan di negara dengan penduduk non-Mongoloid,

namun demikian di daerah Cina bagian selatan masih menduduki tempat tertinggi,

yaitu mencapi 2500 kasus baru per tahun atau prevalensi 39,84 per 100.000

penduduk untuk Propinsi Guangdong 7,11.

Ras Mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya karsinoma

nasofaring, sehingga sering terjadi pada penduduk Cina bagian selatan,

Hongkong, Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia. Ditemukan

pula cukup banyak kasus di Yunani, negara-negara Afrika Utara seperti Aljazair

dan Tunisia, pada orang Eskimo di Alaska dan Greenland yang diduga

penyebabnya karena memakan makanan yang diawetkan dengan nitrosamin pada

musim dingin 1, 7, 11.

Karsinoma nasofaring merupakan tumor ganas daerah kepala dan leher

yang terbanyak ditemukan di Indonesia, jumlahnya mencapai 60% dari jumlah

keseluruhan tumor ganas daerah kepala dan leher. Di semua pusat pendidikan

dokter di Indonesia dari tahun ke tahun, karsinoma nasofaring selalu menempati

urutan pertama di bidang THT. Frekuensinya hampir merata di setiap daerah. Di

RSCM Jakarta saja ditemukan lebih dari 100 kasus per tahun. Di RS Hasan

Sadikin Bandung rata-rata 60 kasus per tahun, Makassar 25 kasus per tahun,

Palembang 25 kasus per tahun, Denpasar 15 kasus per tahun, dan di Padang

sebanyak 11 kasus per tahun. Frekuensi yang tidak jauh berbeda juga ditemukan

di Medan, Semarang, Surabaya dan kota-kota lain di Indonesia. Hal ini

menunjukkan bahwa kejadian tumor ganas ini merata di seluruh Indonesia. 11

2.5 Etiologi dan Faktor Resiko

Beberapa literatur menyebutkan bahwa penyebab karsinoma nasofaring

adalah Virus Epstein-Barr, karena pada hampir semua pasien dengan karsinoma

Page 11: BAB II FIX

33

nasofaring didapatkan titer anti-virus EB yang cukup tinggi, sedang pada

penderita karsinoma lain di saluran pernapasan bagian atas tidak ditemukan titer

antibodi terhadap kapsid virus EB ini. Banyak penelitian mengenai perilaku virus

ini dikemukakan, tetapi virus ini bukan merupakan satu-satunya faktor, karena

banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi munculnya tumor ganas ini seperti

letak geografis, ras, jenis kelamin, genetik, pekerjaan, lingkungan, kebiasaan

hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, infeksi bakteri atau parasit. 1,2,11

Tumor ganas ini sering ditemukan pada laki-laki dan sebabnya belum

dapat diungkapkan dengan pasti, mungkin ada hubungannya dengan faktor

genetik, hormonal, kebiasaan hidup, pekerjaan dan lain-lain. Dari beberapa

penelitian dijumpai perbandingan penderita laki-laki dan perempuan adalah 4 : 1.

Namun ada penelitian yang menemukan perbandingan laki-laki dan perempuan

hanya 2 : 1. Pada penelitian yang dilakukan di Medan (2008), ditemukan

perbandingan penderita laki-laki dan perempuan 3 : 2. Hormon testosteron yang

dominan pada laki-laki dicurigai mengakibatkan penurunan respon imun dan

surviellance tumor sehingga laki-laki lebih rentan terhadap infeksi VEB dan

kanker.1,7,11

Faktor lingkungan yang berpengaruh adalah iritasi kronik oleh bahan

kimia, asap, kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu, dan

kebiasaan makan makanan terlalu panas. Pengaruh genetik terhadap karsinoma

nasofaring sedang dalam pembuktian dengan mempelajari cell mediated imunity

dari virus EB dan tumor associated antigens pada karsinoma nasofaring. Sebagian

besar pasien adalah golongan sosial ekonomi rendah dan hal ini menyangkut pula

dengan keadaan lingkungan dan kebiasaan hidup. 2,11

2.6 Patofisiologi

Keganasan pada umumnya dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu,

pertama pemendekan waktu siklus sel sehingga akan menghasilkan lebih banyak

Page 12: BAB II FIX

34

sel yang diproduksi dalam satuan waktu. Kedua, penurunan jumlah kematian sel

akibat gangguan pada proses apoptosis. Gangguan pada berbagai protoonkogen

dan gen penekan tumor (TSGs) yang menghambat penghentian proses siklus sel. 9,11

Pada keadaan fisiologis proses pertumbuhan, pembelahan, dan diferensiasi

sel diatur oleh gen yang disebut protoonkogen yang dapat berubah menjadi

onkogen bila mengalami mutasi. Onkogen dapat menyebabkan kanker karena

memicu pertumbuhan dan pembelahan sel secara patologis.9,11

Gambar 2.7 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan 9

Tumor ganas mempunyai kemampuan menginvasi dan merusak sistem

barier yang ada. Tumor yang tumbuh di garis tengah nasofaring dapat menyebar

ke salah satu sisi atau sering bilateral. Jalan yang paling sering dilalui oleh

penyebaran tumor yaitu3 :

a. Lumen/ Ruang Nasofaring

Page 13: BAB II FIX

35

Jalan ini sering terjadi pada tumor yang sangat besar dan akan masuk dalam

orofaring atau kavum nasi. Kadang-kadang dapat masuk ke sinus maksila atau

orbita, tetapi sangat jarang masuk ke tuba Eustachius.

b. Ruang Retrofaring

Walaupun sering melalui jalan anatomis (retroparotidian), kadang-kadang

tumor dapat langsung masuk ke ruang retrofaring dengan mengadakan kompresi

atau infiltrasi ke ruang retrostiloid atau merusak bagian lateral vertebra servikais

pertama (vertebra atlas).

c. Ruang Parafaring

1. Ruang kecil prestiloid, tumor yang tumbuh di dinding lateral atau di daerah

fossa Rosenmuller dapat menjalar ke ruang kecil ini yang terletak di atasnya

dan akan mengenai serabut motorik dan sensorik saraf trigeminus (V). Tumor

dapat menginvasi otot pterigoid dan menyebabkan trismus atau menginfiltrasi

otot levator sehingga menyebabkan asimetri palatum mole. Tumor juga dapat

mengenai palatum durum, kelenjar parotis fisura pterigomaksila dan ke fossa

infratemporal. Pada tumor yang sangat besar dapat menginvasi sinus maksila

dan frontalis.

2. Ruang kecil retrostiloid, ruang kecil ini berisi selubung karotis dan isinya,

kelenjar limfe servikal dalam atas, saraf-saraf kranial terakhir (saraf

IX,X,XI,XII) dan cabang saraf simpatis servikalis. Ruang ini disebut juga

ruang retroparotidian yang selain dapat terinvasi melalui jalan anatomis

(melalui aliran limfe/ retroparotidian) dapat juga akibat lanjutan invasi

langsung yang lebih dalam ruang parafaring. Dari ruang ini pula tumor dapat

menyebabkan erosi dasar tengkorak.

d. Intrakranial

Perluasan tumor ke intrakranial biasanya melalui foramen laserum dan ovale

atau melalui sinus kavernosus dan ganglion gaseri dan mengenai saraf kranial

otot bola mata, yaitu saraf III,IV,VI (penyebarab secara petrosfenoid) tetapi

dapat juga melalui erosi dasar kanalis karotis dan melalui arteri karotis interna

masuk ke dalam sinus kavernosus, juga dapat akibat tumor mendestruksi sinus

sfenoid.

e. Tumor menyebar langsung

Page 14: BAB II FIX

36

ke sinus etmoid, selanjutnya mengenai sinus frontalis, maksila, dan rongga

orbita.

f. Metastasis jauh

Metastasis jauh dapat melalui aliran darah atau sistem limfatik dan mengenai

hati, tulang, dan paru.

2.7 Manifestasi Klinis

Keluhan penderita karsinoma nasopharing berhubungan dengan lokasi

tumor primer, derajat, dan arah penyebarannya12:

1.Gejala Dini

Menegakkan diagnosis karsinoma nasopharing secara dinimerupakan hal yang

paling penting dalam menurunkan angka kematian akibat penyakit ini. Gejala dini

berupa:12

Gejala Telinga

a. Oklusi tuba Eustachius/ kataralis

Umumnya keluhan berupa rasa penuh di telinga, telinga berdengung (tinnitus),

atau dengan gangguan pendengaran yang biasanya tuli konduktif dan bersifat

unilateral. Gejala ini disebabkan karna pertumbuhan atau infiltrasi tumor primer

pada otot tuba dan mengganggu mekanisme pembukaan ostia tuba. Tuba oklusi

dapat menjadi permanen, jika tumor menyebar dan menyumbat muara tuba.

b. Gangguan pendengaran

Sering bersifat tuli konduktif dan unilateral. Gejala ini disebabkan karena

otitis media serosa akibat gangguan fungsi tuba. Tuli saraf mungkin terjadi pada

penderita KNF sebagai efek radioterapi dan jarang akibat penyebaran langsung

tumor ke saraf VIII.

c. Otitis media serosa sampai perforasi membran timpani

Penyebabnya adalah sumbatan muara tuba Eustachius oleh massa tumor.

d. Tinnitus

Sering dijumpai pada penderita karsinoma nasopharing, dapat mengganggu

dan sulit diobati. Gejala ini juga disebabkan gangguan fungsi tuba.

e. Otalgia

Page 15: BAB II FIX

37

Gejala ini jarang ditemukan dan bila ada menunjukkan bahwa tumor telah

menginfiltrasi daerah parafaring dan mengerosi dasar tengkorak.

Gejala Hidung2,12

Harus dicurigaiadanya karsinoma nasofaring, bila ada gejala-gejala:

Bila penderita mengalami pilek lama, lebih dari 1 bulan, terutama penderita

usia lebih dari 40 tahun, sedang pada pemeriksaan hidung terdapat kelainan.

Bila penderita pilek dan keluar sekret yang kental, berbau busuk, lebih-lebih

jika terdapat titik atau garis perdarahan tanpa kelainan di hidung atau sinus

paranasal.

Pada penderita yang berusia lebih dari 40 tahun, sering keluar darah dari

hidung (epistaksis) sedangkan pemeriksaan tekanan darah normal dan

pemeriksaan hidung tidak ada kelainan.

2. Gejala lanjut12

a. Limfadenopati servikal

Ditandai dengan pembesaran kelenjar limfe regional yang merupakan

penyebaran terdekat secara limfogen dari karsinoma nasopharing. Dapat terjadi

unilateral atau bilateral. Kelenjar limfe retrofaringeal (Rouviere) merupakan

tempat pertama penyebaran sel tumor ke kelenjar, tetapi pembesaran kelenjar

limfe ini tidak teraba dari luar. Ciri yang khas penyebaran karsinoma nasopharing

ke kelenjar limfe leher yaitu terletak di bawah prosesus mastoid (kelenjar limfe

jugulodigastrik), dibawah angulus mandibula, di dalam otot sternocleidomastoid,

konsistensi keras, tidak terasa sakit, tidak mudah digerakkan terutama bila sel

tumor telah menembus kelenjar dan mengenai jaringan otot dibawahnya. Lebih

dari 40% dari seluruh kasus karsinoma nasopharing, keluhan adanya tumor di

leher ini yang paling sering dijumpai dan yang mendorong penderita untuk datang

berobat.

b. Gejala Neurologis

Sindroma petrosfenoidal , akibat penjalaran tumor primer ke atas melalui

foramen laserum dan ovale sepanjang fosa kranii media sehingga mengenai saraf

kranial anterior berturut-turut yaitu saraf VI, saraf III, saraf IV, sedangkan saraf II

Page 16: BAB II FIX

38

paling akhir mengalami gangguan. Dapat pula menyebabkan parese saraf V.

Parese saraf II menyebabkan gangguan visus, parese saraf III menyebabkan

kelumpuhan. Otot levator palpebra dan otot tarsalis superior sehingga

menimbulkan ptosis, dan parese saraf III, IV, dan IV menyebabkan keluhan

diplopia karena saraf-saraf tersebut berperan dalam pergerakan bola mata, dan

saraf V (trigeminus) dengan keluhan rasa kebas di pipi dan wajah yang biasanya

unilateral.

c. Gejala Metastase Jauh

Metastase jauh dari karsinoma nasopharing dapat secara limfogen atau

hematogen, yang dapat mengenai spina vertebra torakolumbar, femur, hati, paru,

ginjal, dan limfa. Metastase jauh dari karsinoma nasopharing terutama ditemukan

di tulang (48%), paru-paru (27%), hepar (11%) dan kelenjar getah bening

supraklavikula (10%). Metastase sejauh ini menunjukkan prognosis yang sangat

buruk, biasanya 90% meninggal dalam waktu 1 tahun setelah diagnosis

ditegakkan.

2.8 Kriteria Klinik

Diagnosis karsinoma nasopharing harus dimulai dengan mengetahui

riwayat penyakit secara lengkap. Perkembangan gejala dari permulaan sampai

yang terakhir sedapat mungkin diketahui dengan jelas. Penting untuk mengetahui

gejala dini karsinoma nasopharing dimana tumor masih terbatas di rongga

nasofaring terutama pada orang dengan resiko tinggi yakni laki-laki usia diatas 40

tahun3.

Kriteria klinik untuk suatu dugaan karsinoma nasofaring berdasarkan digby score adalah sebagai berikut5

Kriteria Klinik Nilai

Masa terlihat pada nasofaring 25

Page 17: BAB II FIX

39

Limfadenopati di leher 25

Gangguan pada hidung yang khas 15

Gangguan pada telinga yang khas 5

Karakteristik terhadap gangguan satu atau lebih dari paralisa syaraf

5

Sakit kepala unilateral/bilateral 5

Eksoptalmus 5

Tabel 2.1 Kriteria Digby Score

Jumlah keseluruhan akan dikurangi 10 jika usia penderita dibawah 15

tahun. Demikian juga jika usia penderita antara 15 tahun sampai 25 tahun dengan

’frog face” jumlah keseluruhan akan dikurangi 10. Jika jumlah keseluruhan

mencapai ≥ 50, maka diagnosa sementara karsinoma nasofaring dapat ditegakkan,

sementara menunggu hasil pemeriksaan penunjang lainnya.

2.9 Klasifikasi Karsinoma Nasofaring

Karsinoma nasofaring dapat diklasifikasikan berdasarkan stadium klinis dan

gambaran histopatologisnya. Penentuan stadium karsinoma nasofaring digunakan

sistem TNM menurut UICC (2010).1,2,11

Stadium Karsinoma Nasofaring berdasarkan gambaran CT Scan

Untuk penentuan stadium dipakai TNM menurut UICC (2010)1,3

Tumor primer (T)

Tx = Tumor primer tidak dapat dinilaiT0 = Tidak terbukti adanya tumor primerTis = Karsinoma in situT1 = Tumor terbatas di nasofaring atau tumor meluas ke orofaring dan/kavum

nasi tanpa perluasan ke parafaringT2 = Tumor dengan perluasan ke daerah parafaringT3 = Tumor melibatkan struktur tulang dasar tengkorak dan/atau sinus

paranasalT4 = Tumor dengan perluasan intracranial dan/atau terdapat keterlibatan saraf

kranial, hipofaring, orbita atau dengan perluasan ke fossa infratemporal atau ruang masticator.

Kelenjar limfe regional (N)

NX = Pembesaran kelenjar getah bening (KGB) regional tidak dapat dinilai

Page 18: BAB II FIX

40

N0 = Tidak ada metastasis ke KGB regionalN1 = Metastase kelenjar getah bening leher unilateral, dengan diameter

terbesar 6 cm/kurang, di atas fossa supraclavicular, dan/atau unilateral atau bilateral kelenjar getah bening retrofaring dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang.

N2 = Metastase kelenjar getah bening bilateral, dengan diameter terbesar 6 cm atau kurang di atas fossa supraclavikular

N3 = Metastase pada kelenjar getah bening di atas 6 cm dan/atau terletak pada fossa supraclavikula

N3a = Diameter terbesar lebih dari 6 cmN3b = Meluas ke fossa supraclavikua

Metastasis Jauh (M)

M0 = Tanpa metastasis jauhM1 = Terdapat metastasis jauh

Stadium T N M

Stadium I T1 N0 M0

Stadium II T1 N1 M0

T2 N0-1 M0

Stadium III T1-2 N2 M0

T3 N0-2 M0

Stadium IVa T4 N0-2 M0

Stadium IVb Semua T N3 M0

Stadium IVc Semua T Semua N M1

Tabel 2.2 Stadium Ca. Nasopharing

Berdasarkan gambaran histopatologinya, karsinoma nasofaring dibedakan

menjadi 3 tipe menurut WHO.1,2,7,11 Pembagian ini berdasarkan pemeriksaan

dengan mikroskop elektron di mana karsinoma nasofaring adalah salah satu

variasi dari karsinoma epidermoid. Pembagian ini mendapat dukungan lebih dari

70% ahli patologi dan tetap dipakai hingga saat ini.1,2,7,11

a. Tipe WHO 1

Termasuk di sini adalah karsinoma sel skuamosa (KSS). Tipe WHO 1

mempunyai tipe pertumbuhan yang jelas pada permukaan mukosa nasofaring, sel-

Page 19: BAB II FIX

41

sel kanker berdiferensiasi baik sampai sedang dan menghasilkan cukup banyak

keratin baik di dalam dan di luar sel.

b. Tipe WHO 2

Termasuk di sini adalah karsinoma non keratinisasi (KNK). Tipe WHO 2

ini paling banyak variasinya, sebagian tumor berdiferensiasi sedang dan sebagian

sel berdiferensiasi baik, sehingga gambaran yang didapatkan menyerupai

karsinoma sel transisional.

c. Tipe WHO 3

Merupakan karsinoma tanpa diferensiasi (KTD). Di sini gambaran sel-sel

kanker paling heterogen. Tipe WHO 3 ini termasuk di dalamnya yang dahulu

disebut dengan limfoepitelioma, karsinoma anaplastik, clear cell carcinoma, dan

variasi spindel.

2.10 Diagnosis Klinis

a. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik 2

Ada sebuah patokan agar selalu ingat dan curiga akan adanya nasofaring,

seperti di bawah ini:

1) Setiap ada tumor di leher, ingatlah selalu adanya karsinoma nasofaring. Lebih-

lebih jika tumor terletak di bawah prosesus mastoid dan di belakang angulus

mandibula.

2) Dugaan karsinoma nasofaring akan lebih kuat jika:

Disertai gejala hidung dan telinga

Disertai gejala mata dan saraf

3) Dugaan karsinoma nasofaring hampir pasti bila ada gejala lengkap

Bila memakai pedoman yang berpatokan pada tumor leher ini maka kita

sudah mendapatkan stadium lanjut, sebab tumor leher merupakan perluasan atau

metastase tumor induk.

b. Pemeriksaan Penunjang

1) CT scan kepala dan leher

Dengan pemeriksaan ini tumor primer yang tersembunyi pun tidak terlalu

sulit ditemukan. 1,2,4,7,11

2) Pemeriksaan Serologi IgA untuk infeksi virus Epstein-Barr

Page 20: BAB II FIX

42

Pemeriksaan ini hanya digunakan untuk menentukan prognosis

pengobatan karenan spesifisitasnya yang rendah. Titer yang didapat berkisar

antara 80 hingga 1280 dan terbanyak pada titer 160. 11

3) Biopsi

Ini merupakan diagnosis pasti untuk karsinoma nasofaring. Biopsi dapat

dilakukan dengan 2 cara, melalui hidung atau mulut. Biopsi melalui hidung

dilakukan tanpa melihat jelas tumornya (blind biopsy). Cunam biopsi dimasukkan

melalui rongga hidung menelusuri konka media ke nasofaring, kemudian cunam

diarahkan ke lateral dan dilakukan biopsi.2,7,11

Biopsi melalui mulut dengan bantuan kateter nelaton yang dimasukkan

melalui hidung dan ujung kateter yang berada dalam mulut ditarik keluar dan

diklem bersama dengan ujung kateter yang berada di hidung sehingga palatum

molle tertarik ke atas. Kemudian dengan kaca laring dilihat daerah nasofaring.

Biopsi dilakukan dengan melihat kaca tersebut atau dengan memakai

nasofaringoskop yang dimasukkan melalui mulut dan massa tumor akan terlihat

jelas. Biopsi tumor dilakukan dengan anestesi topikal dengan xylocain 10%. Bila

dengan cara ini masih belum didapatkan hasil yang memuaskan maka dapat

dilakukan pengerokan dengan kuret daerah lateral nasofaring dalam narkosis. 2,7,11

2.11 Diagnosa Radiologi pada Karsinoma nasofaring

Pemeriksaan radiologi pada kasus karsinoma nasofaring mempunyai

beberapa tujuan penting yaitu :

1. Untuk menentukan luas tumor primer.

2. Untuk melihat invasi ke organ sekitar

3. Untuk melihat ada atau tidak destruksi tulang serta metastasis jauh.

Beberapa pemeriksaan radiologi yang diperlukan untuk mendiagnosa

karsinoma nasofaring adalah :

1. Foto Thoraks PA

2. Foto tengkorak (AP, Lateral, dasar tengkorak dan waters).

Page 21: BAB II FIX

43

Tumor nasofaring yang dapat dideteksi secara jelas dengan foto polos

adalah jika tumor cukup besar, eksofitik, dan penyebaran jaringan

sekitarnya telah meluas.

3. CT Scan koronal dan aksial dengan kontras, jika pada foto tengkorak

diragukan adanya destruksi dan jika klinis tidak ditemukan kelainan yang

menyokong akan tetapi pada penderita direncanakan untuk radiasi

intrakaviter.

4. Bone scintigraphy jika ada kecurigaan metastasis ke tulang, diikuti foto

tulang lokal pada daerah yang dicurigai scintigraphy.

5. Ultrasonografi, jika didapatkan hepar yang membesar dan berbenjol-

benjol.

6. MRI

Pada MRI mempunya kelebihan dibandingkan CT Scan yaitu mempunyai

resolusi yang lebih tinggi dalam membedakan berbagai jaringan lunak,

memberikan berbagai potongan aksial dan koronal serta sagital tanpa

merubah posisi penderita, tidak membutuhkan zat kontras untuk

membedakan struktur vaskuler dari jaringan lunak atau kelenjar getah

bening.

2.12 Histopatologi

Telah disetujui oleh WHO hanya 3 bentuk karsinoma (epidermoid ) pada

nasofaring yaitu:(1)

- Karsinoma cell squamosa ( berkeratinisasi )

- Karsinoma tidak berkeratinisasi

- Karsinoma tidak berdiferensiasi

2.13 Metastase pada Karsinoma Nasofaring

Nasofaring merupakan daerah utama untuk karsinoma sel skuamosa,

karsinoma yang tidak berdiferensiasi, adenokarsinoma, dan limfoma primer.

Tumor-tumor ganas pada nasofaring dapat tenang sampai tumor tersebut

Page 22: BAB II FIX

44

mengenai struktur sekitarnya. Terkenanya saraf kranial kelima dapat

menyebabkan nyeri lokal atau nyeri fasial. Jika tumor meluas ke atas dapat

menyebabkan diplopia karena terkena saraf keenam dan saraf kranial ketiga.

Perluasan ke depan menyebabkan obstruksi hidung. Perluasan ke lateral mengenai

tuba eustachius menyebabkan otitis media serosa unilateral dengan tuli telinga

hantaran (konduktif). Metastasis tumor ini ke retrofaring, jugular profunda, dan

kelenjar getah bening asesorius spinal. Pembesaran kelenjar getah bening yang

soliter terletak di posterior dan atas pada leher seringkali merupakan petunjuk. (3)

Penyebaran atau perluasan karsinoma nasofaring adalah melalui 3 cara, yaitu:(7)

a. Metastase ke jaringan sekitar, bisa ke-3 (tiga) arah :

Ke atas melalui :

- Langsung ke atas dan merusak basis kranii.

- Melalui foramen laseratum masuk ke fossa kranii media, dimana foramen

lesseratum terletak 1 cm kranial dari fossa Rosenmulleri. Antara foramen

laseratum dan mukosa tidak terdapat tulang maka tumor dengan mudah dapat

melalui foramen ini masuk ke dalam endokranii.

- Saraf kranial yang terkena pertama kali adalah N.VI baru kemudian N.V, N.III

dan N.IV sesuai denga topografi daerah sekitar foramen laserum. Tumor

kemudian dapat tumbuh ke depan dan menjadikan tekanan pada fasikulo-

optikus, jaringan tumor akan memasuki orbita lewat fisura orbitalis dan dapat

menyebabkan eksoptalmus.

Ke depan dan bawah, melalui :

- Kavum nasi ke sinus paranasalis, orbita, dan fossa kranii anterior.

- Orofaring

Tumor tumbuh ke depan, melalui koana masuk kavum nasi dan dapat

menyebabkan obstruksi. Dengan melalui osteum-osteum tumor dapat masuk

ke dalam sinus maksilaris, sinus sfeniodalis dan sinus ethmoidalis. Melalui

foramen olfaktoria pada lamina kribosa, tumor masuk fossa kranii frontalis.

Tumor dapat tumbuh ke bawah depan dan menyusup palatum mole dan

merusaknya sehingga uvula tidak lagi terletak di garis tengah. Tumor mengisi

Page 23: BAB II FIX

45

orofaring dan nasofaring sehingga menyebabkan kesukaran berbicara,

bernafas dan menelan makanan (disfagi).

Ke samping

Tumor akan masuk ke dalam rongga parafaring. Di dalam rongga ini terdapat

N.IX, X, XI, XII dan ganglion servikalis kranial, sehingga tumor dapat menekan

dan merusak nervus-nervus tersebut.

Tumor dapat terus menerus tumbuh ke belakang masuk ke dalam foramen

jugularis dan kanalis nervus hipoglosus sampai ke dalam fosa kranii posteior,

sehingga N. IX, X, XI dapat rusak pada saat keluar dari foramen Jugularis dan

N.XII rusak saat melawati kanalis nervus hipoglosus.

Bila kemudian tumor tumbuh ke depan atas merusak fossa infra temporal,

melalui fisura orbita dan dapat menyebabkan proptosis bulbi.

Tumor meluas ke belakang merusak fasia koli profunda prevertebralis dan

menyusup prevertebralis.

b. Metastase melalui aliran limfatik

Seperti diketahui aliran limfe dari pleksus submukosa nasofaring menuju

kelenjar Rouveire, kemudian ada yang profunda dan superfisial. Yang profunda

menuju ke kelenjar servikalis profunda, sebagian masuk ke spatium parafaring,

dalam hal ini pasien mengeluh terdapat benjolan pada leher sebagai metastase

limfogenik pada daerah parafaring mengakibatkan pembesaran limfonodi daerah

tersebut dan dapat menekan N.IX, X, XI, XII. Karsinoma nasofaring mengalami

metastase limfogenik pada saat pertama kali diperiksa adalah 80-90% dan kira-

kira separuhnya terdapat metastase bilateral ke limfonodi leher.7

c. Metastase melalui aliran darah

Metastase tumor secara hematogenik inilah yang menyebabkan terjadinya

metastase jauh. Hal ini bila terjadi membuat prognosis buruk. 7

2.1.4 Penatalaksanaan

1. Tindakan Bedah

Page 24: BAB II FIX

46

Tindakan pembedahan memegang peranan kecil pada terapi karsinoma

nasofaring. Tindakan ini terbatas pada biopsy dan diseksi leher radikal yang

dilakukan terhadap benjolan di leher yang tidak menghilang pada penyinaran

(residu) atau timbul kembali setelah penyinaran selesai, tetapi dengan syarat

tumor induknya sudah hilang yang dibuktikan dengan pemeriksaan radiologik dan

serologi, serta tidak adanya ditemukan metastsis jauh. Juga dilakukan pada

karsinoma nasofaring dengan diferensiasi agak tinggi seperti karsinoma skuamosa

grade I, II, adenokarsinoma, komplikasi radiasi (parasinusitis radiasi, dll)4,10.

Diseksi leher radikal (RND) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten

atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer di

nasofaring sudah terkontrol. Pada rencana operasi diperlukan keadaan umum

pasien yang baik dengan sistem scoring tertentu, kadar HB minimal 10, keadaan

fisik dan alat vital dan kadar elektrolit juga harus baik.

Siklus pengobatan diulangi setelah 1 bulan maksimal 5 kali. Fungsi ginjal

harus diawasi dengan ketat pada pemberian platamin dan dianjurkan agar

penderita minum 3 liter sehari. Obat-obat lainnya dapat diberikan untuk mengatasi

efek samping yang mungkin timbul seperti antihistamin, antiemetic dll.

2. Radioterapi

Radioterapi adalah pengobatan kanker yang menggunakan X-ray energi atau

radiasi tipe lain untuk memusnahkan sel kanker atau menghambat pertumbuhan

sel kanker. Sampai saat ini radioterapi masih memegang peranan terpenting dalam

pengobatan karsinoma nasofaring. Terapi ini menjadi pilihan utama karsinoma

nasofaring yang belum ada metastasis jauh. Karsinoma nasofaring merupakan

kanker yang dapat disembuhkan dengan radiasi terutama stadium dini (I,II),

berdasarkan faktor secara histopatologis bahwa kebanyakan karsinoma nasofaring

merupakan type 2 dan 3 yangs angat radiosensitive. Alasan lainnya adalah faktor

anatomi nasofaring yang terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital

menyebabkan tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas

tumor sangat sulit dikerjakan.7

Ada dua tipe terapi radiasi. Terapi radiasi external menggunakan mesin

yang berada di luar tubuh untuk memberikan radiasi kepada kanker. Terapi radiasi

Page 25: BAB II FIX

47

internal menggunakan zat radioaktif yang dimasukkan melalui jarum, radioaktive

seeds, wires atau kateter yang ditempatkan secara langsung kedalam atau di dekat

kanker. Cara pemberian terapi radiasi tergantung pada tipe dan satdium kanker

yang diobati. Sumber radiasi menggunakan radiasi γ Co-60, radiasi β energi

tinggi atau radiasi X energi tinggi dari akselerator linier, terutama dengan radiasi

luar isosentrum, dibantu brakiterapi intrakavital, bila perlu ditambah radioterapi

stereotaktik4.

Sebelum dilakukan radioterapi pasien harus memenuhi syarat berikut

diantaranya :

a. Keadaan umum baik

Efek radiasi dapat mengenai jaringan termasuk jaringan sumsum tulang.

Bila keadaan umum pasien lemah sebaiknya tidak diberikan karena setelah

radiasi hanya akan memperlemah keadaan umum pasien. Apabila ada

infeksi / kerusakan gigi harus diobati terlebih dahulu.

b. Laboratorium

Yang harus dinilai dari hasil laboratorium meliputi kadar Hb, Leukosit dan

trombosit.

c. Tumor masih terlokalisasi

Dosis yang diberikan 200 rad/ hari sampai mencapai 6000-6600 rad untuk

tumor primer, sedangkan kelenjar leher yang membesar diberi 6000 rad.

Jika tidak ada pembesaran kelenjar diberikan juga radiasi elektif sebesar

4000 rad. Radiasi juga diberikan pada keadaan kambuh atau pada

metastase tulang. Untuk metastase tulang yang belum menimbulkan

keadaan fraktur patologik.

Sebagai pengobatan pilihan pada karsinoma nasofaring penanganan

radioterapi pada karsinoma nasofaring dapat diberikan dengan cara:

1. Radiasi Eksterna / teleterapi

2. Brachiterapi

3. Kombinasi radiasi dengan kemoterapi

Karsinoma nasofaring biasanya memiliki lesi primer pada fossa

Rosenmuller dengan metastase ke kelenjar getah bening leher. Karena letaknya

yang sulit dideteksi, biasanya ddatang pada stadium lanjut. Radioterapi sendiri

Page 26: BAB II FIX

48

atau bersama kemoterapi biasanya merupakan pilihan utama. Radiasi dibedakan

atas radiasi kuratif dan radiasi paliatif.

1. Radiasi kuratif

Radiasi kuratif diberikan pada semua tingkatan penyakit kecuali

penderita dengan metastasis jauh. Sasaran radiasi pada radiasi kuratif

adalah tumor primer bersama kelenjar getah bening leher dan

supraklavikula. Jenis radiasi pada radiasi kuratif meliputi:

a. Radiasi eksterna yang mencakup tumor bed (nasofaring) beserta kelenjar

getah bening leher, dengan dosis 60-66 Gy dan kelenjar supra-klavikular

dengan dosis 50 Gy.

b. Radiasi intrakaviter (brakhiterapi) sebagai dosis radiasi booster pada tumor

primer diberikan dengan dosis (6x3 Gy) sehari 2x. apabila secara teknis

tidak bias diberikan radiasi intrakaviter oleh karena pasien tidak

mampu/menolak dilakukan tindakan brakhiterapi. Bila setelah dosis total

60 Gy, daerah sinus paranasalis tidak bersih, maka radiasi dilanjutkan

sampai dengan 70 Gy10

2. Radiasi paliatif

Radiasi paliatif diberikan bila stadium IV metastase jauh. Sasaran

dan bentuk radiasi individual, tergantung keluhan yang perlu mendapat

radiasi paliatif. Untuk tumor primer dosis radiasi 40-50 Gy. Untuk

metastase jauh, tergantung lokasi metastase. 45

3. Kemoterapi

Secara definisi kemoterapi adalah segolongan obat-obatan yang dapat

menghambat pertumbuhan kanker atau bahkan membunuh sel kanker. Obat-obat

anti kanker dapat digunakan sebagian terapi tunggal (active single agents), tetapi

pada umumnya berupa kombinasi karena dapat lebih meningkatkan potensi

sitotoksik terhadap sel kanker. Selain itu sel – sel yang resisten terhadap salah satu

obat mungkin sensitive terhadap obat lainnya. Dosis obat sitostatika dapat

dikurangi sehingga efek samping menurun. 15 Beberapa regimen kemoterapi yang

antara lain cisplatin, 5-Fluorouracil , methotrexate, paclitaxel dan docetaxel.

Page 27: BAB II FIX

49

Tujuan kemoterapi untuk menyembuhkan pasien dari penyakit tumor ganas.

Kemoterapi bisa digunakan untuk mengatasi tumor secara lokal dan juga untuk

mengatasi sel tumor apabila ada metastasis jauh.

Pengobatan sitostatika pada kasrsinoma nasofaring merupakan pengobatan

adjuvant atau bila pengobatan radioterapi ternyata kurang berhasil. Sitostatika

diberikan saat :

- Stadium I/II bila sesudah radiasi internal masih ada residu lokal.

- Pada residif tumor primer.

- Pada stadium IV dengan residif/residua tau dengan metastasis jauh.

A. Cisplatin

Cisplatin merupakan obat utama dan paling sering sering dipakai pada terapi

kanker kepala dan leher. Cisplatin biasanya diberikan dalam waktu 2-6 jam

dengan dosis 60-120 mg/m2. Efek toksik pada renal biasanya terjadi, termasuk

terjadinya azotemia moderat, kebocoran elektrolit khususnya magnesium dan

potassium. Efek toksik lainnya adalah mual dan muntah, neurotoksik perifer,

ototoksik, dan mielosupresi yang terjadi setelah diberikan beberapa kali

kemoterapi. Dosis pemberian berkisar 60-120 mg/m2 yang diberikan setiap 3-4

minggu dengan respon parsial lebih kurang 15-30 %.18 Karena efek toksik

cisplatin, khususnya efek nefrotoksik dan neurotoksik, telah dikembangkan analog

obat ini dengan tujuan mempertahankan efek antitumornya dan mengurangi efek

toksiknya. Contohnya adalah carboplatin yang mempunyai efek neorotoksik dan

nefrotoksik yang lebih kecil. Keuntungan lainnya adalah cara pemberian yang

lebih mudah. Karena efek mual dan muntahnya lebih kecil, carboplatin dapat

diberikan tanpa perawatan dan hidrasi yang ketat.18 Aktifitas antitumornya

sedikit lebih kecil dibandingkan cisplatin. Carboplatin saat ini banyak dipakai,

khususnya untuk tujuan palliatif, dimana efek samping yang minimal dan waktu

rawatan yang singkat diperlukan. Contoh obat turunan lainnya adalah oxaliplatin

yang saat ini dalam uji klinis untuk terapi kanker kepala dan leher.10

B. 5-Fluorouracil

Page 28: BAB II FIX

50

Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat enzim thymidylate sinthase

dan konversi uridine menjadi thymidine. Sel akan kekurangan thymidine dan

tidak dapat mensintesa DNA. Banyak obat-obatan lain yang dapat berinteraksi

dengan 5- fluorouracil dan menimbulkan efek yang lebih baik. Efek sampingnya

antara lain mielosupresi, mucositis, diare, dermatitis, dan cardiac toksik.

Penggunaan intravena secara tunggal mempunyai efek yang terbatas.10

C. Methotrexate

Methotrexate adalah antimetabolit yang mempengaruhi metabolisme folate

intraseluler dengan cara berikatan dengan dengan enzim dyhidrofolate reduktase.

Ini akan menghambat konversi asam folat menjadi tetrahydrolate. Hasilnya adalah

pengurangan jumlah folat dalam sel dan penghambatan sintesis DNA. Obat ini

aktif hanya selama siklus sel fase S. Hal ini secara selektif akan menyebabkan

perubahan jaringan menjadi lebih cepat.18 Efek samping methotrexate dapat

diminimalisir dengan pemberian folat dalam bentuk leucovirin dalam waktu 36

jam setelah pemberian obat. Untuk pemberian tunggal methotrexate biasanya

diberikan dalam dosis mingguan 40-50 mg/m2. Reaksi toksik dapat berupa

myelosupresi, mucositis, mual, muntah, diare dan fibrosis hepar. Lesi pada renal

terjadi pada pemberian dosis tinggi. Methotrexate menghasilkan tingkat respon

parsial lebih kurang 10% dengan durasi respon 1-6 bulan.10

D. Paclitaxel dan Docetaxel

Paclitaxel dan Docetaxel merupakan obat yang paling efektif melawan kanker

kepala dan leher. Paclitaxel pada awalnya didapat dari kulit pohon yew Pacific,

tetapi saat ini sudah dibuat sintetis. Golongan taxane ini menstabilkan

polimerisasi tubulin dan menghambat pemisahan sel. Docetaxel mempunyai

aktivitas yang hampir sama dengan Paclitaxel. Kedua obat ini dianggap sebagai

lini pertama pengobatan kanker kepala dan leher tingkat lanjut.18 Secara lokal

dimana vaskularisasi jaringan tumor yang masih baik, akan lebih sensitif

menerima kemoterapi sebagai antineoplastik agen. Karsinoma sel skuamosa

biasanya sangat sensitif terhadap kemoterapi ini. 10

Pemberian kemoterapi terbagi dalam 3 kategori : 10,13

Page 29: BAB II FIX

51

1. Kemoterapi adjuvan.

2. Kemoterapi neoadjuvant

3. Kemoterapi concurrent

1. Kemoterapi adjuvant

Pemberian kemoterapi diberikan setelah pasien dilakukan radioterapi.

Tujuannya untuk mengatasi kemungkinan metastasis jauh dan meningkatkan

kontrol lokal. Terapi adjuvan tidak dapat diberikan begitu saja tetapi memiliki

indikasi yaitu bila setelah mendapat terapi utamanya yang maksimal ternyata:

- Kanker masih ada, dimana biopsi masih positif.

- Kemungkinan besar kanker masih ada, meskipun tidak ada bukti secara

makroskopis.

- Pada tumor dengan derajat keganasan tinggi. (oleh karena tingginya resiko

kekambuhan dan metastasis jauh) 10

2. Kemoterapi neoadjuvan

Pemberian kemoterapi adjuvant yang dimaksud adalah pemberian

sitostatika lebih awal yang dilanjutkan pemberian radiasi. Maksud dan tujuan

pemberian kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan tumor yang sensitif

sehingga setelah tumor mengecil akan lebih mudah ditangani dengan radiasi. 11

Kemoterapi neoadjuvan telah banyak dipakai dalam penatalaksanaan kanker

kepala dan leher. Alasan utama penggunaan kemoterapi neoadjuvan pada awal

perjalanan penyakit adalah untuk menurunkan beban sel tumor sistemik pada saat

terdapat sel tumor yang resisten. Vaskularisasi intak sehingga perjalanan ke

daerah tumor lebih baik. Terapi bedah dan radioterapi sepertinya akan memberi

hasil yang lebih baik jika diberikan pada tumor berukuran lebih kecil. Teori ini

dapat disingkirkan karena akan terjadi . biaya perawatan yang meningkat. Dan

yang lebih penting, sel yang bertahan setelah kemoterapi akan menjadi lebih tidak

respon setelah dilakukan radioterapi sesudahnya. Alasan praktis penggunaan

kemoterapi adjuvan adalah usaha untuk meningkatkan kemungkinan preservasi

organ dan kesembuhan. Regimen kemoterapi yang diberikan

cisplatin 100 mg/m2 dengan kecepatan infus 15- 20 menit perhari yang diberikan

dalam 1 hari dan 5-FU 1000 mg/m2/hari secara intra vena, diulang setiap 21 hari.

Sebelum pemberian Cisplatin diawali dengan hidrasi berupa 1.000 mL saline

Page 30: BAB II FIX

52

0,9% natrium. Manitol 40 g diberikan bersamaan dengan cisplatin infus. Setelah

pemberian cisplatin, dilakukan pemberian 2.000 mL 0,9% natrium garam

mengandung 40 mEq kalium klorida. Pasien diberikan antimuntah sebagai

profilaksis yang terdiri dari 5- hydroxytryptamine-3 reseptor antagonis ditambah

20 mg deksametason. Berdasarkan penelitian pemberian neoadjuvan kemoterapi

dalam 2-3 siklus yang diberikan setiap 3 minggu dengan syarat bila adanya respon

terhadap kemoterapi.10.11

3. Kemoterapi concurrent

Kemoterapi diberikan bersamaan dengan radiasi. Umumnya dosis

kemoterapi yang diberikan lebih rendah. Biasanya sebagai radiosensitizer.

Kemoterapi sebagai terapi tambahan pada karsinoma nasofaring ternyata dapat

meningkatkan hasil terapi terutama pada stadium lanjut atau pada keadaan relaps.

Hasil penelitian menggunakan kombinasi cisplatin radioterapi pada kanker kepala

dan leher termasuk karsinoma nasofaring, menunjukkan hasil yang memuaskan.

Cisplatin dapat bertindak sebagai agen sitotoksik dan radiation sensitizer. Jadwal

optimal cisplatin masih belum dapat dipastikan, namun pemakaian seharihari

dengan dosis rendah, pemakaian 1 kali seminggu dengan dosis menengah, atau 1

kali 3 minggu dengan dosis tinggi telah banyak digunakan. 14 Agen kemoterapi

telah digunakan pada pasien dengan rekarens lokal dan metastatik jauh. Agen

yang telah dipakai yaitu metothrexat, bleomycin, 5 FU, cisplatin dan carboplatin

merupakan agen yang paling efektif dengan respon berkisar 15-31%. Agen aktif

yang lebih baru meliputi paklitaxel dan gemcitibine.10,11

4. Terapi paliatif

Terapi paliatif adalah terapi atau tindakan aktif untuk meringankan beban

penderita kanker dan memperbaiki kualitas hidupnya, terutama yang tidak dapat

disembuhakn lagi.

Tujuan terapi paliatif adalah:

Meningkatkan kualitas hidup penderita

Menghilangkan nyeri dan keluhan berat lainnya

Menjaga keseimbangan fisik, psikologik, dan sosial penderita

Membantu penderita agar dapat aktif sampai akhir hayatnya

Page 31: BAB II FIX

53

Membantu keluarga mengatasi kesulitan penderita dan ikut berduka cita

atas kematian penderita.

Perhatian pertama harus diberikan pada pasien dengan pengobatan radiasi.

Mulut rasa kering disebabkan oleh kelenjar saliva mayor maupun minor sewaktu

penyinaran. Tidak dapat banyak dilakukan selain menasihatkan penderita untuk

akan dengan banyak kuah, membawa minuman kemana pun pergi dan mencoba

memakan dan mengunyah bahan yang rasa asam sehingga merangsang keluarnya

saliva45.

Gambar 2.8 Alur Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring 10

Page 32: BAB II FIX

54

Gambar 2.9 Alur Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring10

Gambar 2.10 Alur Penatalaksanaan Karsinoma Nasofaring10

Kesimpulan penatalaksanaan karsinoma nasofaring :

Page 33: BAB II FIX

55

Stadium I : Radioterapi

Stadium II & III : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N < 6 cm : Kemoradiasi

Stadium IV dengan N > 6 cm : kemoterapi dosis penuh dilanjutkan kemoradiasi

2.15 Prognosis

Gambaran dengan lymphadenomegali menyiratkan bahwa penyakit telah

meyebar luas keluar dari bagian primer. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

angka bertahan hidup 5 tahun setelah mendapatkan terapi radiasi adalah 85-95%

untuk karsinoma nasopharing stadium I dan 70-80% untuk karsinoma nasopharing

stadium II. Stadium III dan stadium IV yang cuma mendapat terapi radiasi, angka

bertahan hidup 5 tahun berkisar antara 24-80%. Kira-kira sepertiga penderita

meninggal dunia karena metastasis jauh yang dapat ditemukan di tulang, paru, dan

hati3.

2.16 Komplikasi3,4,11

1. Petrosphenoid sindrom

Tumor tumbuh ke atas ke dasar tengkorak lewat foramen laserum sampai

sinus kavernosus menekan saraf N. III, IV, VI juga menekan N. II yang

memberikan kelainan :

- Neuralgia trigeminus (N. V) : Trigeminal neuralgia merupakan suatu

nyeri pada wajah sesisi yang ditandai dengan rasa seperti terkena aliran

listrik yang terbatas pada daerah distribusi dari n. trigeminus.

- Ptosis palpebral (N.III)

- Ophthalmoplegia (N. III, IV, VI)

2. Retroparidean sindrom

Tumor tumbuh ke depan kearah rongga hidung kemudia dapat

menginfiltrasi ke daerah sekitarnya. Tumor ke samping dan belakang

menuju kea rah daerah parapharing dan retropharing dimana ada kelenjar

getah bening. Tumor ini menekan saraf N. IX, X, XI, XII.

3. Metastasis tumor jauh

Page 34: BAB II FIX

56

2.17 Differential Diagnosis berdasarkan gejala klinis

1. Polip Nasal

Polip nasal merupakan lesi abnormal yang berasal dari mukosa nasal

atau sinus paranasal. Polip merupakan hasil akhir dari berbagai proses

penyakit di kavum nasi. Polip hidung mengandung banyak cairan,

berwarna putih keabu-abuan. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat

sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan

mudah digerakkan.3,11

3. Limfoma Non-Hodgkin

Sering pada pemuda dan remaja, pembesaran kelenjar limfe leher,

dapat mengenai banyak lokasi, secara bersamaan dapat terjadi pembesaran

kelenjar limfe naksila, inguinal, mediastinum, dll. Konsistensi tumor agak

lunak dan mudah digerakkan. 2,11

4. TB Nasofaring

Umumnya pada orang muda, dapat timbul erosi, ulserasi dangkal atau

benjolan granulomatoid, eksudat permukaan banyak dan kotor, bahkan

mengenai seluruh nasofaring. Khususnya perlu ditegaskan apakah terdapat

TB dan kanker bersama-sama, atau apakah terjadi reaksi tuberkuloid

akibat KNF. 2

5. TB Kelenjar Limfe Leher

Lebih banayak pada pemuda dan remaja. Konsistensi agak keras, dapat

melekat dengan jaringan sekitarnya membentuk massa, kadang terdapat

nyeri tekan atau undulasi, pungsi aspirasi jarum menemukan materi mirip

keju. 2

6. Angiofibroma Nasofaring

Sering ditemukan pada orang muda, pria jauh lebih banyak dari

wanita. Dengan nasofaringoskop tampak permukaan timor licin, warna

mukosa menyerupai jaringan normal, kadang tampak vasodilatasi di

permukaannya, konsistensi kenyal padat. Bila secara klinis dicurigai

penyakit ini, biopsi tidak dianjurkan karena mudah terjadi perdarahan

masif. 2.

Page 35: BAB II FIX

57

2.18 Differential Diagnosis berdasarkan gambaran radiologi

1. Hiperplasia Adenoid

Biasanya terdapat pada anak-anak, jarang pada orang dewasa, pada

anak-anak hyperplasia ini terjadi karena infeksi berulang. Pada foto polos

akan terlihat suatu massa jaringan lunak pada atap nasofaring umumnya

berbatas tegas dan simetris serta struktur-struktur sekitarnya tak tampak

tanda-tanda infiltrasi seperti tampak pada karsinoma.

2. Angiofibroma juenilis

Biasanya pada usia relative muda dengan gejala-gejala menyerupai

karsinoma nasofaring. Tumor ini kaya akan pembuluh darah dan biasanya

tidak infiltrative. Pada foto polos akan didapat suatu massa pada atap

nasofaring yang berbatas tegas. Proses dapat meluas seperti pada

penyebaran karsinoma, walaupun jarang menimbulkan destruksi tulang

hanya erosi saja karena penekanan tumor. Biasanya ada pelengkungan kea

rah depan dari dinding belakang sinus maksilaris yang dikenal sebagai

antral sign. Karena tumor ini kaya akan pembuluh darah maka arteriografi

carotis eksterna sangat diperlukan sebab gambarannya sangat karakteristik.

Kadang-kadang sulit juga membedakan angiofibroma juvenils dengan

polip hidung pada foto polos.

3. Tumor sinus sphenoidalis

Tumor ganas primer sinus sphenoidalis adalah sangat jarang dan

biasanya tumor sudah sampai stadium lanjut waktu pasien datang untuk

pemeriksaan pertama.

4. Neurofibroma

Kelompok tumor ini sering timbul pada ruang faring lateral sehingga

menyerupai keganasan dinding lateral nasofaring. Secara CT Scan

pendesakan ruang para faring kearah medial dapat membantu

membedakan kelompok tumor ini dengan karsinoma nasofaring.

Page 36: BAB II FIX

58

5. Tumor kelenjar parotis

Tumor kelenjar parotis terutama yang berasal dari lobus yang terletak

agak dalam mengenai ruang parafaring dan menonjol kearah lumen

nasofaring. Pada sebagian besar kasus terlihat pendesakan ruang

parafaring kearah medial yang tampak pada pemeriksaan CT Scan.

6. Chordoma

Walaupun tanda utama chordoma adalah destruksi tulang, tetapi

mengingat karsinoma nasofaring sering menimbulkan destruksi tulang,

maka sering timbul kesulitan untuk membedakannya. Dengan foto polos,

dapat dilihat kalsifikasi atau destruksi terutama di daerah clivus. CT Scan

dapat membantu melihat apakah ada pembesaran kelenjar cervical bagian

atas karena chordoma umumnya tidak memperhatikan kelainan pada

kelenjar tersebut sedangkan karsinoma nasofaring sering bermetastasis ke

kelenjar getah bening.

7. Meningioma basis crania

Walaupun tumor ini agak jarang tetapi gambarannya kadang-kadang

menyerupai karsinoma nasofaring dengan tanda-tanda sklerotik pada

daerah basis crania. Gambaran CT meningioma cukup karakteristik yaitu

sedikit hiperdense sebelum penyuntikan zat kontras dan akan menjadi

sangat hiperdense setelah pemberian zat kontras intravena. Pemeriksaan

arteriografi juga sangat membantu diagnosis tumor ini. 46

2.19 Proteksi Radiasi

a. Pengertian Proteksi Radiasi 24,25

Proteksi radiasi atau keselamatan radiasi ini kadang-kadang dikenal

juga sebagai proteksi radiologi ini memiliki beberapa pengertian yaitu :

- Proteksi radiasi adalah perlindungan masyarakat dan lingkungan dari efek

berbahaya dari radiasi pengion , yang meliputi radiasi partikelenergi tinggi

dan radiasi elektromagnetik

-  Proteksi radiasi adalah suatu system untuk mengendalikan bahaya radiasi

dengan menggunakan peralatan proteksi dan kerekayasaan yang canggih

serta mengikuti peraturan proteksi yang sudah dibakukan.

Page 37: BAB II FIX

59

- Proteksi radiasi adalah suatu cabang ilmu pengetahuan atau teknik yang

mempelajari masalah kesehatan manusia maupun lingkungan dan

berkaitan dengan pemberian perlindungan kepada seseorang atau

sekelompok orang ataupun kepada keturunannya terhadap kemungkinan

yang merugikan kesehatan akibat paparan radiasi.

-  Proteksi Radiasi adalah suatu ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan

teknik kesehatan lingkungan yaitu tentang proteksi yang perlu diberikan

kepada seseorang atau sekelompok orang terhadap kemungkinan

diperolehnya akibat negatif dari radiasi pengion.

Menurut BAPETEN, proteksi radiasi adalah tindakan yang dilakukan

untuk mengurangi pengaruh radiasi yang merusak akibat paparan radiasi.

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa proteksi radiasi adalah

ilmu yang mempelajari tentang teknik yang digunakan oleh manusia untuk

melindungi dirinya, orang disekitarnya maupun keturunannya dari paparan

radiasi.

Dari segi ilmiah dan teknik, ruang lingkup proteksi radiasi terutama

meliputi :

1.   Pengukuran fisika berbagai jenis radiasi dan zat radioaktif

2.   Menentukan hubungan antara tingkat kerusakan biologi dengan dosis

radiasi yang  diterima organ/ jaringan

3.   Penelaahan transportasi radionuklida di lingkungan, dan

4.  Melakukan desain terhadap perlengkapan kerja, proses dan sebagainya

untuk mengupayakan keselamatan radiasi baik di tempat kerja maupun

lingkungan.

B. Macam-macam Proteksi Radiasi 24,25

     Proteksi radiasi dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu :

1.  Proteksi radiasi kerja merupakan perlindungan pekerja.

2.  Proteksi radiasi medis merupakan perlindungan pasien dan radiografer, dan

3. Proteksi radiasi masyarakat merupakan perlindungan individu, anggota

masyarakat, dan penduduk secara keseluruhan.

Page 38: BAB II FIX

60

Jenis-jenis eksposur, serta peraturan pemerintah dan batas paparan hukum

yang berbeda untuk masing-masing kelompok, sehingga masing-masing harus

dipertimbangkan secara terpisah.

C. Falsafah Proteksi Radiasi24

   Falsafah proteksi radiasi disebut juga dengan tujuan proteksi radiasi. 

    Tujuan dari proteksi radiasi adalah sebagai berikut :

1.  Mencegah terjadinya efek non stokastik yang membahayakan

2. Meminimalkan terjadinya efek stokastik hingga ke tingkat yang cukup

rendah yang masih dapat diterima oleh individu dan lingkungan di sekitarnya.

Pengalaman telah membuktikan bahwa dengan menggunakan system

pembatasan dosis terhadap penyinaran tubuh (baik radiasi eksterna maupun

internal) kemungkinan resiko bahaya radiasi dapat diabaikan petugas proteksi

radiasi dengan mengikuti peraturan proteksi radiasi dan menggunakan

peralatan proteksi yang canggih dapat menyelamatkan pekerja radiasi dan

masyarakat pada umumnya.

Prosedur yang biasa dipakai untuk mencegah dan mengendalikan bahaya

radiasi adalah :

a.    Meniadakan bahaya radiasi

b.    Mengisolasi bahaya radiasi dari manusia

c.    Mengisolasi manusia dari bahaya radiasi

Untuk menerapkan tiga prosedur proteksi radiasi di atas dilaksanakan oleh

petugas proteksi radiasi. Prosedur utama cukup jelas dengan mentaati dan

melaksanakan peraturan proteksi radiasi; kedua dengan merancang tempat kerja

dan menggunakan peralatan proteksi radiasi yang baik dan penahan radiasi yang

memadai sehingga kondisi kerja dan lingkungannya aman dan selamat; dan ketiga

memerlukan pemonitoran dan pengawasan secara terus menerus baik pekerja

radiasi maupun lingkungannya dengan menggunakan alat pemonitoran

perorangan, pemonitoran lingkungan dan surveimeter.

Para penguasa instalasi nuklir sesuai dengan segala keturunan yang berlaku

wajib menyusun program proteksi radiasi sejak proses perencanaan, tahap

pembangunan instalasi, dan pada tahap operasi. Program proteksi radiasi ini

Page 39: BAB II FIX

61

dimaksudkan untuk menekan serendah mungkin kemungkinan terjadinya

kecelakaan radiasi. Dalam penyusunan program ini diperlukan adanya prinsip

penerapan prinsip keselamatan radiasi dalam pengoperasian suatu ignstalasi nuklir

sesuai dengan rekomendasikan oleh Komisi Internasional untuk Perlindungan

Radiologi (ICRP).24,25

Dalam pemanfaatan teknologi nuklir, faktor keselamatan manusia harus

mendapatkan prioritas utama. Program proteksi radiasi bertujuan melindungi para

pekerja radiasi serta masyarakat umum dari bahaya radiasi yang ditimbulkan

akibat penggunaan zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya. Ada tiga hal penting

yang perlu mendapatkan perhatian untuk mencegah terjadinya kecelakaan radiasi

sehubungan dengan pengoperasian instalasi nuklir, yaitu :24,25

1.   Adanya peraturan perundangan dan standar keselamatan dalam bidang

keselamatan nuklir;

2.  Pembangunan instalasi nuklir dilengkapi dengam sarana peralatan

keselamatan kerja dan sarana pendukung lainnya yang sempurna sesuai

dengan perencanaan yang telah ditetapkan sebelumnya, dengan

memperhatikan laporan analisis keselamatan berdasarkan peraturan

perundangan yang berlaku dan ketentuan lain yang ditetapkan oleh instansi

yang berwenang;

3. Tersedianya personil dengan bekal pengetahuan memadai dan memahami

sepenuhnya tentang keselamatan kerja terhadap radiasi.

D. Acuan Dasar Proteksi Radiasi24,25

     Untuk mencapai tujuan program proteksi radiasi , baik untuk pekerja

radiasi maupun anggota masyarakat, diperlukan adanya acuan dasar sehingga

setiap kegiatan proteksi harus selalu sesuai dengan acuan dasar tadi. Sesuai

dengan rekomendasi ICRP, dalam setiap kegiatan proteksi dikenal adanya

standar dalam nilai batas dan tingkat acuan. Nilai batas terdiri atas nilai batas

dasar, nilai batas turunan dan nilai batas ditetapkan. Sedang tingkat acuan

terdiri atas tingkat pencatatan, tingkat penyelidikan dan tingkat intervensi.

Nilai batas dasar untuk tujuan proteksi radiasi tidak dapat diukur secara

langsung. Sedang dalam pelaksanaan program proteksi, rancangan program

Page 40: BAB II FIX

62

pemantauan radiasi memerlukan metode interpretasi untuk secara langsung

dapat menunjukan bahwa hasil pemantauan itu sesuai dengannilai batas dosis.

Untuk mencapai efisiensi dalam proteksi radiasi, dipandang perlu untuk

memperkenalkan nilai batas turunan yang menunjukan hubungan langsung

antara nilai batas dasar dan hasil pengukuran.

Nilai batas turunan adalah besaran terukur yang dapat dihubungkan

dengan nilai batas dasar dengan menggunakan suatu model. Dengan demikian

hasil pengukuran yang sesuai dengan nilai batas turunan secara otomatis akan

sesuai dengan nilai batas dasar. Sedang nilai batas ditetapkan adalah besaran

terukur yang ditetapkan oleh pemerintah maupun peraturan lokal pada suatu

instalasi. Nilai batas ditetapkan umumnya lebih rendah dari nilai batas

turunan, namun ada kemungkinan nilai keduanya adalah sama.

Tingkat acuan bukan merupakan nilai batas, tetapi dapat digunakan untuk

menentukan suatu tindakan dalam suatu nilai besaran melampaui atau

diramalkan dapat melampaui tingkat acuan. Oleh sebab itu, dalam

melaksanakan program pemantauan radiasi perlu menggunakan tingkat acuan.

Pelaksanaan program proteksi radiasi memerlukan perencanaan yang hati-hati

dalam menentukan tingkat acuan dan tindakan nyata yang perlu diambil jika

nilai suatu besaran mencapai nilai acuan. Tingkat acuan ini secara operasional

akan sangat membantu penguasa instalasi atom dalam upaya mencapai tujuan

proteksi radiasi. Ada tiga tingkat acuan, yaitu :

1.  Tingkat Pencatatan, yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka suatu

hasil pengukuran harus dicatat. Nilai dari tingkat pencatatan harus kurang

dari 1/10 dari nilai batas dosis ekuivalen tahunan. Hasil pengukuran yang

berada di bawah nilai tingkat pencatatan tidak perlu proses lebih lanjut.

2.  Tingkat Penyelidikan,yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka

penyebab atau implikasi suatu hasil pengukuran harus diselidiki. Tingkat

penyelidikan harus kurang dari 3/10 dari nilai batas dosis ekuivalen

tahunan.

3.  Tingkat Intervensi,yaitu suatu tingkat yang jika dilampaui maka beberapa

tindakan penanggulangan harus diambil. Tingkat intervensi harus

Page 41: BAB II FIX

63

ditentukan sehingga tindakan penanggulangan tidak mempengaruhi

kondisi operasi normal.

E. Asas-asas Proteksi Radiasi24,25

Asas-asas dalam proteksi radiasi atau disebut juga prinsip-prinsip proteksi

radiasi ini terdiri atas beberapa macam yaitu asas legislasi yang sering disebut

asas justifikasi yang artinya pembenaran, asas optimalisasi dan asas limitasi.

Penjelasannya adalah sebagai berikut :

1.    Asas legislasi atau justifikasi yang artinya pembenaran

Penerapan asas justifikasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut agar

sebelum tenaga nuklir dimanfaatkan, terlebih dahulu harus dilakukan

analisis resiko manfaat. Apabila pemanfaatan tenaga nuklir menghasilkan

manfaat yang lebih besar dibandingkan dengan resiko akibat kerugian

radiasi yang mungkin ditimbulkannya, maka kegiatan tersebut boleh

dilaksanakan. Sebaliknya, apabila manfaatnya lebih kecil dari resiko yang

ditimbulkan, maka kegiatan tersebut tidak boleh dilaksanakan.

2.    Asas Optimalisasi

Penerapan asas ini dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut agar

paparan radiasi yang berasal dari suatu kegiatan harus ditekan serendah

mungkin dengan mempertimbangkan faktor ekonomi dan sosial. Asas ini

dikenal dengan sebutan ALARA (As Low As Reasonably Achievable).

Dalam kaitannya dengan penyusunan program proteksi radiasi, asas

optimalisasi mengandung pengertian bahwa setiap komponen dalam

program telah dipertimbangkan secara saksama, termasuk besarnya biaya

yang dapat dijangkau. Suatu program proteksi dikatakan memenuhi asas

optimalisasi apabila semua komponen dalam program tersebut disusun dan

direncanakan sebaik mungkin dengan memperhitungkan biaya yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ekonomi.

Tujuan dari asas optimalisasi dalam proteksi radiasi adalah untuk

mendapatkan hasil optimum yang meliputi kombinasi penerimaan dosis

yang rendah, baik individu maupun kolektif, minimnya resiko dari

pemaparan yang tidak dikehendaki, dan biaya yang  murah. Asas

Page 42: BAB II FIX

64

optimalisasi sangat ditekankan oleh ICRP. Setiap kegiatan yang

memerlukan tindakan proteksi, terlebih dahulu harus dilakukan analisis

optimalisasi proteksi. Penekanan ini dimaksudkan untuk meluruskan

kesalahpahaman tentang sistem pembatasan dosis yang sebelumnya

dikenal dengan konsep ALARA (As Low As Reasonably Achievable).

Baik asas optimalisasi maupun ALARA keduanya sangat menekankan

pada pertimbangan faktor-faktor ekonomi dan sosial, dan tidak semata-

mata menekankan pada rendahnya penerimaan dosis oleh pekerja maupun

masyarakat.

3.    Asas Limitasi

Penerapan asas ini dalam pemanfaatan tenaga nuklir menuntut agar dosis

radiasi yang diterima oleh seseorang dalam menjalankan suatu kegiatan

tidak boleh melebihi nilai batas yang telah ditetapkan oleh instansi yang

berwenang. Yang dimaksud Nilai Batas Dosis (NBD) ini adalah dosis

radiasi yang diterima dari penyinaran eksterna dan interna selama 1 (satu)

tahun dan tidak tergantung pada laju dosis. Penetapan NBD ini tidak

memperhitungkan penerimaan dosis untuk tujuan medik dan yang berasal

dari radiasi alam. NBD yang berlaku saat ini adalah 50 mSv (5000 mrem)

pertahun untuk pekerja radiasi dan 5 mSv (500 mrem) per tahun untuk

anggota masyarakat. Sehubungan dengan rekomendasi IAEA agar NBD

untuk pekerja radiasi diturunkan menjadi 20 mSv (2000 mrem) per tahun

untuk jangka waktu 5 tahun (dengan catatan per tahun tidak boleh

melebihi 50 mSv) dan untuk anggota masyarakat diturunkan menjadi 1

mSv (100 mrem) per tahun, maka tentunya kita harus berhati-hati dalam

mengadopsinya. Dengan menggunakan program proteksi radiasi yang

disusun secara baik, maka semua kegiatan yang mengandung resiko

paparan radiasi cukup tinggi dapat ditangani sedemikian rupa sehingga

nilai batas dosis yang ditetapkan tidak akan terlampaui.

f. Macam-macam proteksi radiasi

Proteksi radiasi dapat dibagi menjadi beberapa macam yaitu:

1. Proteksi radiasi medis merupakan perlindungan pasien dan

radiographer

Page 43: BAB II FIX

65

2. Proteksi radiasi kerja merupakan perlindungan kerja.

3. Proteksi radiasi masyarakat merupakan perlindungan individu,

anggota masyarakat dan penduduk secara keseluruhan.

g. Satuan-Satuan Radiasi

Rontgen

Rontgen adalah satuan pemaparan radiasi yg memberikan muatan 2,58.10-4

Coulomb per kg udara.

Rad

Rad adalah satuan dosis serap.

1 rad : radiasi yang diperlukan untuk melepaskan tenega 100 erg dalam 1

gram bahan yang disinar (1 rad = 100 erg/gram)

Rad tidak tergantung komponen bahan yang disinar dan tenaga radiasi,

tetapi jumlah rad per R pemaparan berbeda dengan tenaga berkas sinar dan

komposisi bahan serap.

Gray (Gy)

1 Gray= 100 rad

1Cgy= 1 rad

Rem(Rad Equivalent Man)

Rem adalah satuan dosis ekuivalen.

Rem = rad x factor kualitas

Rem merupakan ukuran efek biologis akibat radiasi.

Karena faktor kualitas untuk sinar x dan g = 1, maka Roentgen = 1 Rad =

1 Rem Karena tenaga yang dilepaskan ke dalam jaringan lunak oleh 1

Rontgen pemaparan hanya 5% lebih besar dari 1 Rad.

Sievert (Sv)

1 Sievert (Sv) = 100 rem

RBE (relatives biological effectivemen)

Perbandingan dosis sinar x 250 K dengan dosis radiasi lain yang efek

biologis sama dengan dosis sinar x 250 K dengan efek biologik tertentu /

dosis radiasi lain dengan efek biologik yang sama.

Page 44: BAB II FIX

66

Faktor kualitas berbagai jenis radiasi

Jenis radiasi Faktor kualitas

Sinar xSinar gammaPartikel beta

ProtonNeutron lambat

Neutron cepatPartikel alfa

111531020

h. Nilai batas yang diizinkan

Untuk perorangan, dosis yang terakumulasi selama jangka waktu panjang atau

hasil penyinaran tunggal yang mengandung kemungkinan kerusakan sitomatik

atau genetik yang dapat diabaikan dan besar dosis ditentukan pada setiap efek

yang sering terjadi terbatas pada akibat yang ringan, sehingga tidak akan

dianggap tidak dapat diterima oleh seseorang yang tersinari dan oleh instansi

yang berwenang dalam bidang medis.

i. Pengendalian tingkatan pemaparan radiasi

Cara Pengendalian tingkatan pemaparan radiasi :

1. Jarak : Intensitas radiasi dipengaruhi oleh hukum kuadrat terbalik sehingga

cara ini efektif.

2. Waktu : Pemaparan dapat diatur dengan :

- Membatasi waktu generator dihidupkan.

- Pembatasan waktu berkas diarahkan ke ruang tertentu.

- Pembatasan waktu ruang yang dipakai.

3. Perisai : Digunakan bila ternyata jarak dan waktu tidak mencukupi, maka

dibuat dari timbal atau beton.

Jenis perisai :

Perisai primer: Memberi proteksi terhadap radiasi primer (berkas

sinar gamna)

Contoh: Tempat tabung sinar x dan kaca timbal

pada Tabir fluoroskopi

Page 45: BAB II FIX

67

Perisai sekunder: Memberi proteksi terhadap radiasi sekunder

(sinar bocor dan hambur)

Contoh: Tabir sarat timbal pada tabir fluroskopi,pakaian proteksi, kursi

fluoroskopi dan perisai yang dapat dipindah-pindah.

j. Proteksi radiasi

a. Pada pasien:

1. Pemeriksaan sinar x hanya atas permintaan seseorang dokter.

2. Pemakaian filtrasi maksimum pada sinar primer.

3. Pemakaian voltage yang lebih tinggi (bila mungkin) sehingga daya

tembusnya lebih kuat

4. Jarak focus pasien jangan terlalu pendek.

Hukum kuadrat terbalik: Intensitas sinar x berbanding terbalik dengan

jarak pangkat dua.

Jarak focus kulit pada:

- sinar tembus tidak boleh kurang dari 45 cm.

- radiografi tidak boleh kurang dari 90 cm

5. Daerah yang disinari harus sekecil mungkin, misalnya dengan

menggunakan konus (untuk radiografi) atau diafragma (untuk sinar

tembus).

6. Waktu penyinaran sesingkat mungkin.

Contoh : pemeriksaan sinar tembus tidak boleh melebihi 5 menit pada

salah satu bagian tubuh.

8. Alat-alat kelamin dilindungi.

9. Pasien hamil, terutama trisemester pertama tidak boleh diperiksa

radiologik.

10. Peningkatan sistem pertahanan seluler radiasi dengan antioksidan:

Cystein,vitamin E dan vitamin C.

Page 46: BAB II FIX

68

b. Pada dokter pemeriksa dan petugas radiologi:

1. Hindari penyinaran bagian-bagian tubuh tidak terlindungi

2. Pemakaian sarung tangan, apron atau gaun pelindung yanqg berlapis Pb

dengan tebal maksimum 0,5 mm Pb.Hindari melakukan sinar tembus,

usahakan melakukan radiografi.

3. Hindari pemeriksaan sinar tembus tulang-tulang kepala (head fluoroscopy)

4. Akomodasi mata sebelum melakukan pemekrisaan sinar tembus paling

sedikit

selama 20 menit.

5. Gunakan alat-alat pengukur sinar Rontgen.

6. Pemeriksaan pesawat sebelum dipakai.

Contoh: Perlindungan terhadap bahaya elektris.Adanya kebocoran pada

tabung pesawat.Voltage yang aman dan lamanya.

7. Pemeriksaan rutin terhadap kemungkinan bocor / rusaknya perlengkapan-

perlengkapan pelindung berlapis Pb.