3. bab ii fix

40
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anemia 2.1.1 Definisi Anemia Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah merah, konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut kriteria WHO anemia kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada wanita. Berdasarkan kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan dibawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan. Anemia merupakan tanda adanya penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penderita anemia (Schrier, 2011). Pendapat lain mengatakan, anemia didefinisikan sebagai kondisi rendahnya kadar hematocrit atau hemoglobin (Bhatta dkk, 2011). Menurut Depkes RI (2008), anemia merupakan kondisi kurang darah yang umumnya terjadi ketika jumlah eritrosit kurang dari normal atau 4

Upload: laode-m-hidayatullah

Post on 24-Dec-2015

26 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bab II skripsi dengan judul anemia pada lansia

TRANSCRIPT

Page 1: 3. BAB II fix

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anemia

2.1.1 Definisi Anemia

Anemia didefinisikan sebagai berkurangnya 1 atau lebih parameter sel darah

merah, konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. Menurut

kriteria WHO anemia kadar hemoglobin di bawah 13 g% pada wanita. Berdasarkan

kriteria WHO yang direvisi/ kriteria National Cancer Institute, anemia adalah kadar

hemoglobin di bawah 14 g% pada pria dan dibawah 12 g% pada wanita. Kriteria ini

digunakan untuk evaluasi anemia pada penderita dengan keganasan. Anemia

merupakan tanda adanya penyakit. Anemia selalu merupakan keadaan tidak normal

dan harus dicari penyebabnya. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium sederhana berguna dalam evaluasi penderita anemia (Schrier, 2011).

Pendapat lain mengatakan, anemia didefinisikan sebagai kondisi rendahnya

kadar hematocrit atau hemoglobin (Bhatta dkk, 2011). Menurut Depkes RI (2008),

anemia merupakan kondisi kurang darah yang umumnya terjadi ketika jumlah

eritrosit kurang dari normal atau akibat konsentrasi hemoglobin yang rendah dalam

darah. Menurut (Hoffbrand, Petit dan Moss, 2005), anemia didefinisikan sebagai

berkurangnya kadar hemoglobin darah.

2.1.2 Insiden Anemia

Diperkirakan sekitar 30% penduduk dunia mengalami anemia. Insiden lebih

tinggi pada Negara yang sedang berkembang, dikarenakan defisiensi nutrisi atau

kehilangan darah akibat infkesi parasite (EJ Parker, 2004). Menurut Mc Lean dkk

(2009), sekitar 1.62 miliar atau 24,8% penduduk dunia mengalami anemia.

4

Page 2: 3. BAB II fix

5

Menurut WHO, pada tahun 1993 sampai 2005 terdapat sekitar 2 miliar

penduduk dunia mengalami anemia dengan gejala yang meliputi kulit pucat, rasa

lelah, napas pendek, kuku mudah pecah, kurang selera makan, dan sakit kepala

sebelah depan. Sedangkan di Indonesia, prevalensi anemia pada tahun 2003 sampai

2010 masih di atas 40%, dengan prevalensi tertinggi berupa anemia defisiensi besi

pada ibu hamil, anak prasekolah, wanita tidak hamil dan lansia (Depkes, 2003).

2.1.3 Etiologi Anemia

Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: (Bakta, 2009)

1. Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang

2. Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan)

3. Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolysis)

2.1.4 Kriteria Anemia

Kriteria Anemia menurut WHO

Laki-laki dewasa : Hb < 13 gr/dL

Wanita dewasa tidak hamil : Hb < 12 gr/dL

Wanita hamil : Hb < 11gr/dL

2.1.5 Klasifikasi Anemia

Klasifikasi Anemia menurut etiopatogenesis: (Bakta, 2009)

A. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang

Page 3: 3. BAB II fix

6

1. Kekurangan bahan esensial pembentukan eritrosit

a. Anemia defisiensi besi

b. Anemia defisiensi asam folat

c. Anemia defisiensi vitamin B12

2. Gangguan penggunaan besi

a. Anemia akibat penyakit kronik

b. Anemia sideroblastik

3. Kerusakan sumsum tulang

a. Anemia aplastic

b. Anemia mieloplastik

c. Anemia pada keganasan hematologi

d. Anemia diseritropoietik

e. Anemia pada sindrom mielodisplastik

B. Anemia akibat perdarahan

1. Anemia pasca perdarahan akut

2. Anemia akibat perdarahan kronik

C. Anemia hemolitik

1. Anemia hemolitik intrakorpuskular

a. Gangguan membrane eritrosit (membranopati)

b. Gangguan enzim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD

c. Gangguan hemoglobin (hemoglobinopati)

- Thalasemia

- Hemoglobinopati structural : HbS, HbE, dll

2. Anemia heolitik ekstrakorpuskuler

a. Anemia hemolitik autoimun

b. Anemia hemolitik mikroangiopatik

c. Lain-lain

D. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan pathogenesis yang

kompleks

Page 4: 3. BAB II fix

7

Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi: (Bakta, 2009)

I. Anemia hipokromik mikrositer

a. Anemia defisiensi besi

b. Thalasemia major

c. Anemia akibat penyakit kronik

d. Anemia sideroblastik

II. Anemia normokromik normositer

a. Anemia pasca perdarahan akut

b. Anemia aplastic

c. Anemia hemolitik didapat

d. Anemia akibat penyakit kronik

e. Anemia pada gagal ginjal kronik

f. Anemia pada sindrom mielodisplastik

g. Anemia pada keganasan hematologic

III. Anemia makrositer

a. Bentuk megaloblastik

1. Anemia defisiensi asam folat

2. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa

b. Bentuk non-megaloblastik

1. Anemia pada penyakit hati kronik

2. Anemia pada hipotiroidisme

3. Anemia pada sindrom mielodiplastik

2.1.6 Gejala Anemia

Page 5: 3. BAB II fix

8

Gejala umum anemia adalah gejala yang timbul pada setiap kasus anemia,

apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin turun dibawah harga tertentu. Gejala

umum anemia ini timbul karena (Bakta, 2009):

a. Anoksia organ

b.Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya angkut oksigen

Sementara menurut (Kaushansky et al, 2010):

• Affinitas oksigen yang berkurang

Untuk peningkatan pengangkutan oksigen ke jaringan yang efisien, dilakukan

dengan cara mengurangi affinitas hemoglobin untuk oksigen. Aksi ini

meningkatkan ekstraksi oksigen dengan jumlah hemoglobin yang sama.

• Peningkatan perfusi jaringan

Efek dari kapasitas pengangkutan oksigen yang berkurang pada jaringan dapat

dikompensasi dengan meningkatkan perfusi jaringan dengan mengubah aktivitas

vasomotor dan angiogenesis.

• Peningkatan cardiac output

Dilakukan dengan mengurangi fraksi oksigen yang harus diekstraksi selama

setiap sirkulasi, untuk menjaga tekanan oksigen yang lebih tinggi. Karena

viskositas darah pada anemia berkurang dan dilatasi vaskular selektif

mengurangi resistensi perifer, cardiac output yang tinggi bisa dijaga tanpa

peningkatan tekanan darah.

• Peningkatan fungsi paru

Anemia yang signifikan menyebabkan peningkatan frekuensi pernafasan yang

mengurangi gradien oksigen dari udara di lingkungan ke udara di alveolar, dan

meningkatkan jumlah oksigen yang tersedia lebih banyak daripada cardiac

output yang normal.

• Peningkatan produksi sel darah merah

Page 6: 3. BAB II fix

9

Produksi sel darah merah meningkat 2-3 kali lipat pada kondisi yang akut, 4-6

kali lipat pada kondisi yang kronis, dan kadang-kadang sebanyak 10 kali lipat

pada kasus tahap akhir. Peningkatan produksi ini dimediasi oleh peningkatan

produksi eritropoietin. Produksi eritropoietin dihubungkan dengan konsentrasi

hemoglobin. Konsentrasi eritropoietin dapat meningkat dari 10 mU/mL pada

konsentrasi hemoglobin yang normal sampai 10.000 mU/mL pada anemia yang

berat.

Perubahan kadar eritropoietin menyebabkan produksi dan penghancuran sel

darah merah seimbang.

Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia simtomatik) apabila kadar

hemoglobin telah turun dibawah 7 gr/dL. Berat ringannya gejala umum anemia

tergantung pada (Bakta, 2009):

a. Derajat penurunan hemoglobin

b. Kecepatan penurun hemoglobin

c. Usia

d. Adanya kelainan jantung atau paru sebelumnya

Sindroma anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging

(tinnitus), mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas dan dispepsia.

Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva,

mukosa mulut, telapak tangan dan jaringan di bawah kuku.

2.Gejala khas masing-masing anemia

Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:

- Anemia defisiensi besi : disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan

kuku sendok (koilonychias)

- Anemia megaloblastik : glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin

B12

- Anemia hemolitik : ikterus, splenomegali dan hepatomegali

Page 7: 3. BAB II fix

10

- Anemia aplastik : perdarahan dan tanda-tanda infeksi

3.Gejala penyakit dasar

Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia sangat

bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya gejala akibat infeksi

cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis dan warna kuning pada telapak

tangan. Pada kasus tertentu sering gejala penyakit dasar lebih dominan, seperti

misalnya pada anemia akibat penyakit kronik oleh karena atritis rheumatoid.

2.1.7 Diagnosis Anemia

Anemia hanyalah suatu sindrom, bukan suatu kesatuan penyakit (disease

entity), yang dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dasar (underlying disease). Hal

ini penting diperhatikan dalam diagnosis anemia. Tahap-tahap dalam diagnosis

anemia adalah (Bakta, 2009):

1. Menentukan adanya anemia

2. Menentukan jenis anemia

3. Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia

4.Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi

hasil pengobatan.

2.2 Anemia pada Lansia

2.2.1 Epidemiologi Anemia pada Lansia

Sebanyak 11,0% pria dan 10,2% wanita berusia diatas 65 tahun memenuhi

kriteria anemia menurut World Health Organization (WHO), yaitu konsentrasi

hemoglobin <12g/dl pada wanita dan <13g/dl pada pria. Akan tetapi, prevalensi

tersebut meningkat signifikan pada usia diatas 75 tahun. Anemia merupakan kondisi

yang umum dialami oleh populasi lansia berumur lebih dari 65 tahun, dengan angka

Page 8: 3. BAB II fix

11

kejadian mencapai 3 juta di Amerika Serikat (Guralnik dkk, 2005). Prevalensi

tertinggi didapatkan pada pasien lansia yang dirawat rumah sakit dan pasien berusia

sangat tua (>85 tahun) (Smieja dkk, 1996). Berbeda dengan orang muda, pada lansia

anemia lebih sering diderita oleh laki-laki daripada perempuan (Guralnik et al, 2005).

2.2.2 Etiologi Anemia pada Lansia

Anemia pada lanjut usia dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor, antara

lain genetik, defisiensi vitamin, defisiensi besi, dan penyakit lain. Penyebab anemia

yang paling umum pada lanjut usia adalah penyakit kronik, termasuk inflamasi

kronik, keganasan, dan infeksi kronik. Sedangkan Menurut hasil studi NHANES III

(National Health and Nutrition Examination Study), terdapat 3 penyebab utama

anemia pada usia lanjut, yaitu (Sudoyo, 2006) :

1. Defisiensi nutrisi / kehilangan darah

2. Inflamasi / penyakit kronik

3. Anemia yang tidak dapat dijelaskan (unexplained)

Proses menua akan berjalan searah dengan menurunnya kapasitas fungsional,

baik pada tingkat seluler maupun tingkat organ. Menurunnya kapasitas untuk

berespon terhadap lingkungan internal yang berubah cenderung membuat orang usia

lanjut sulit untuk memelihara kestabilan status fisik. Lansia secara progresif akan

kehilangan daya tahan terhadap infeksi dan akan makin banyaknya distorsi metabolik

dan struktural yang disebut sebagai “penyakit degeneratif“. Dengan banyaknya

distorsi dan penurunan cadangan sistem fisiologis akan terjadi pula gangguan

terhadap system hematopoiesis (Sudoyo et al, 2009).

Menurut The Baltimore Longitudinal Study of Aging, proses menua dibedakan

atas 2 bagian yaitu proses menua normal (primary aging) dan proses menua patologis

(secondary aging). Proses menua normal merupakan suatu proses yang ringan

Page 9: 3. BAB II fix

12

(benign), ditandai dengan turunnya fungsi secara bertahap tetapi tidak ada penyakit

sama sekali sehingga kesehatan tetap terjaga baik. Sedangkan proses menua patologis

ditandai dengan kemunduran fungsi organ sejalan dengan umur tetapi bukan akibat

umur bertambah tua, melainkan akibat penyakit yang muncul pada umur tua

(Balducci, 2007).

Menurut Lodovico Balducci, khususnya pada kasus keganasan, anemia pada

pasien0 lanjut usia dapat menyebabkan turunnya mobilitas, mengurangi kemampuan

respon pasien lanjut usia untuk menerima pengobatan, dan bahkan dapat

menimbulkan delirium dam demensia (Smith, 2000).

Perbedaan derajat anemia yang timbul dari penyakit kronik tidak hanya

disebabkan oleh kronisitas penyakit itu sendiri. Hal-hal yang dapat menurunkan nilai

hemoglobin secara cepat antara lain adalah adanya perdarahan organ, gejala penyerta

yang timbul (melena, hematemesis) serta tindakan medis seperti post operasi, post

amputasi, dan lain-lain.

2.2.3 Patofisiologi Anemia pada Lansia

Kondisi fisik dan psikososial lansia yang mulai menurun menimbulkan

berbagai masalah kesehatan. Permasalahan yang biasanya muncul adalah penyakit

degeneratif dan masalah kesehatan yang berkaitan dengan gizi.

Kebutuhan zat gizi lansia lansia yang tergolong aktif tidak jauh berbeda,

bahkan cenderung sama dengan orang dewasa sehat. Lansia yang tergolong sehat

masih mampu untuk mengurus diri mereka sendiri, sedangkan sebagian lain sudah

sangat terbatas kemampuannya bahkan bergantung pada orang lain (Sudoyo, 2006).

Anemia pada lansia merupakan satu dari berbagai masalah kesehatan yang

berkaitan dengan gizi. Penyebab anemia paling umum pada usia lanjut adalah

penyakit kronis (35%) dan defisiensi besi (15%). Namun pada sejumlah besar kasus,

mekanisme yang mendasari terjadinya anemia masih belum dapat dijelaskan

(Balducci, 2007).

Page 10: 3. BAB II fix

13

Pada umumnya lansia sudah tidak memiliki gigi yang sempurna lagi. Oleh

karenanya, lansia memiliki keterbatasan untuk mengkonsumsi sumber zat besi

hewani (besi heme). Padahal ketersediaan biologik besi heme pada sumber hewani

lebih tinggi dari sumber nabati. Kurangnya konsumsi dari sumber pangan hewani

juga dipengaruhi oleh faktor ekonomi.

Sementara itu, lapisan lambung lansia yang menipis mengakibatkan sekresi

HCl dan pepsin berkurang. Sehingga berdampak terhadap menurunnya penyerapan

vitamin B12 dan zat besi.

Di lain sisi, anemia akibat penyakit kronik merupakan penyebab anemia

terbanyak bagi lansia. Anemia ini terjadi karena gangguan homeostasis besi yang

akan menimbulkan hipoferemia. Hipoferemia adalah bagian respon tubuh terhadap

infeksi, keganasan, dan inflamasi. Rendahnya kadar besi serum pada penyakit kronik

mengurangi zat-zat gizi esensial bagi se-sel ganas yang sedang melakukan invasi.

Sehingga sebenarnya hipoferemia merupakan respon tubuh terhadap infeksi,

keganasan, dan inflamasi (Sudoyo et al, 2009).

Penuaan dan perkembangan komorbiditas terkait usia telah dikaitkan dengan

peningkatan kronis kadar sitokin proinflamasi seperti TNF, IL-6, IL-1ß, migrasi

makrofag faktor penghambat (MIF), dan protein fase akut. Peningkatan kronis kadar

sitokin proinflamasi seperti IL-6, TNFα, IL-1ß, dan MIF telah dikaitkan dengan

pengembangan sejumlah penyakit penyerta yang berkaitan dengan usia. MIF adalah

sitokin yang disekresikan oleh makrofag dan sel T, dan meningkatan sejumlah

gangguan inflamasi (Vanasse, 2010).

Patofisiologi unexplained anemia pada pasien usia lanjut yang kurang

dipahami. Meskipun myelodysplasia dan penyebab umum lain dari anemia berpotensi

menjelaskan sebagian dari unexplained anemia, kontribusi gabungan mereka relatif

rendah. Dampak dari kekurangan vitamin, di luar zat besi, vitamin B12, dan folat,

atau dampak potensial dari penyakit ginjal subklinis pada pengembangan unexplained

anemia masih kurang dipelajari. Terdapat pendapat bahwa kelebihan dari sitokin

Page 11: 3. BAB II fix

14

proinflamasi merupakan faktor penentu penting unexplained anemia pada pasien usia

lanjut, dan bahwa mereka menginduksi anemia dengan menekan pembentukan koloni

erythroid (MIF / TNF? / IL-1ß) di satu sisi dan penurunan pemanfaatan besi (IL

-6/hepcidin) di sisi lain (Vanasse, 2010).

Ferrucci et al melakukan pengumpulan data dari sampel yang representatif

dari orang lanjut usia terdaftar dalam studi InCHIANTI untuk meneliti hubungan

antara mediator proinflamasi dan subyek lansia dengan unexplained anemia. Dalam

studi ini, 42 dari 124 orang anemia memenuhi kriteria untuk unexplained anemia

(Vanasse, 2010).

2.2.4 Diagnosis Anemia pada Lansia

Anemia sering memiliki onset berbahaya pada orang tua. Meskipun

penurunan akut pada hemoglobin akan menyebabkan gejala deplesi volume, seperti

pusing dan jatuh, onset lambat anemia lebih baik ditoleransi, dengan gejala

berkembang sebagai mekanisme kompensasi yang gagal. Orang tua tidak dapat

meningkatkan denyut jantung dan cardiac output seperti halnya orang muda, dengan

dyspnea, kelelahan, dan kebingungan menjadi lebih umum sebagai gejala anemia

yang memburuk. Ada beberapa tanda-tanda pada pemeriksaan fisik yang spesifik

untuk anemia ringan atau sedang. Konjungtiva pucat biasanya dicatat ketika tingkat

hemoglobin turun di bawah 9 g per dL (90 g per L) . Pada orang dengan beberapa

penyakit kronis, dokter mungkin mengabaikan gejala anemia atau atribut terhadap

proses penyakit yang mendasarinya. Dengan demikian, adalah penting untuk

memiliki indeks kecurigaan yang tinggi ketika orang tua hadir bahkan dengan gejala

penurunan yang tidak kelihatan. Hitung darah lengkap atau pengukuran hematokrit

akan cepat mengkonfirmasi diagnosis anemia (Bross, 2010).

Page 12: 3. BAB II fix

15

Tiga algoritma berikut disajikan untuk membantu mengidentifikasi penyebab

yang mendasari atau etiologi untuk anemia. Algoritma didasarkan pada probabilitas,

dengan pengertian bahwa kebanyakan anemia adalah multifaktorial, dan itu sulit

untuk mengidentifikasi penyebab yang mendasari.

Gambar 1. Algorithm for the diagnosis of microcytic anemiaSumber: (Bross, 2010)

Page 13: 3. BAB II fix

16

Gambar 2. Algorithm for the diagnosis of normocytic anemiaSumber: (Bross, 2010)

Page 14: 3. BAB II fix

17

Gambar 3. Algorithm for the diagnosis of marcrocytic anemiaSumber: (Bross, 2010)

Page 15: 3. BAB II fix

18

2.2.5 Penatalaksana Anemia pada Lansia

Hampir semua orang tua dengan anemia gizi harus diobati, karena pengobatan

biasanya sederhana dan costeffective. Satu-satunya pengecualian mungkin pasien

yang sangat sakit di akhir hidup dan mereka yang menolak intervensi. Untuk anemia

defisiensi besi, dosis biasa adalah pengganti besi sulfat, 325 mg (65 mg besi

elemental) per hari, atau glukonat besi, 325 mg (38 mg besi elemental) per hari.

Terapi besi dosis rendah, dengan 15 mg besi elemental per hari sebagai glukonat besi

cair, efektif mengoreksi hemoglobin dan konsentrasi feritin dengan efek samping

gastrointestinal kurang dari besi yang lebih tinggi dosisnya. Bagi orang-orang yang

gagal untuk merespon terapi besi oral, pengobatan parenteral dengan dekstran besi

atau sukrosa besi biasanya dilakuakan. Terapi oral dosis tinggi (cyanocobalamin, 1

sampai 2 mg per hari) untuk mengobati kekurangan vitamin B12 efektif dan

ditoleransi dengan baik. Kekurangan folat harus diperlakukan dengan asam folat, 1

mg per hari (Bross, 2010).

Pengobatan anemia penyakit kronis, anemia penyakit ginjal kronis, dan

anemia dijelaskan lebih sulit. Pengobatan awal dan lebih disukai adalah untuk

memperbaiki gangguan yang mendasarinya. Optimalnya pengelolaan penyakit kronis

akan meminimalkan peradangan dan mengurangi penekanan sumsum tulang. Dua

pilihan untuk mengobati anemia berat adalah transfusi darah dan agen erythropoiesis

stimulating, keduanya memiliki keterbatasan yang signifikan. Transfusi darah

memberikan bantuan langsung dari gejala umum, termasuk dyspnea, kelelahan, dan

pusing. Risiko transfusi meliputi volume overload, kelebihan zat besi, infeksi, dan

reaksi akut. Agen eritropoiesis-merangsang telah disetujui untuk pengobatan anemia

penyakit kronis dalam situasi terbatas, tetapi penggunaannya masih kontroversial

(Bross, 2010).

Page 16: 3. BAB II fix

19

Tabel 1. Guidelines for Use of Erythropoiesis Stimulating Agents in Patients with

Anemia

Sumber: (Bross, 2010)

Page 17: 3. BAB II fix

20

2.3 Anemia Penyakit Kronik pada Lansia

Anemia penyakit kronik merupakan penyebab lebih dari sepertiga kasus

anemia pada lansia. Anemia penyakit kronik adalah anemia yang terjadi setelah

proses infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan terjadi setelah penderita

mengalami penyakit tersebut selama 1-2 bulan (Eisenstaedt, Penninx & Woodman,

2006).

2.3.1 Defenisi anemia penyakit kronik

Anemia penyakit kronik adalah anemia yang timbul setelah terjadinya proses

infeksi atau inflamasi kronik. Biasanya anemia akan muncul setelah penderita

mengalami penyakit tersebut selama 1–2 bulan (Fitzsimons, 2001).

Tumor dulunya memang merupakan salah satu penyebab anemia penyakit

kronik, namun dari hasil studi yang terakhir tumor tidak lagi dimasukkan sebagai

penyebab anemia penyakit kronik (Linch DC, 1996).

2.3.2 Etiologi anemia penyakit kronik

Anemia penyakit kronik dapat disebabkan oleh beberapa penyakit/kondisi

seperti infeksi kronik misalnya infeksi paru, endokarditis bakterial; inflamasi kronik

misalnya artritis reumatoid, demam reumatik; lain–lain misalnya penyakit hati

alkaholik, gagal jantung kongestif dan idiopatik (Tabel 1) (Bunch, 2000) :

Page 18: 3. BAB II fix

21

Tabel 2. Etiologi anemia penyakit kronik

No Infeksi Kronik Inflamasi Kronik Lain-lain

1 Infeksi paru: abses, emfisema,

tuberculosis, bronkiektasis

Arthritis

rheumatoid

Penyakit hati

alkoholik

2 Endokarditis bacterial Demam reumatik Gagal jantung

kongestif

3 Infeksi saluran kemih kronik Lupus eritematosus

sistemik (LSE)

Tromboplebitis

4 Infeksi jamur kronik Trauma berat Penyakit jantung

iskemik

5 Human immunodeficiency virus

(HIV)

Abses steril

6 Meningitis Vaskulitis

7 Osteomielitis Luka Bakar

8 Infeksi system reproduksi wanita Osteoartritis (OA)

9 Penyakit inflamasi pelvik (PID:

pelvic inflammatory disease)

Penyakit vascular

kolagen (Collagen

vascular disease)

10 Polimialgia

11 Trauma panas

12 Ulkus decubitus

13 Penyakit Crohn

Sumber: (Bunch, 2000)

2.3.3 Patogenesis anemia penyakit kronik

Page 19: 3. BAB II fix

22

Mekanisme bagaimana terjadinya anemia pada penyakit kronik sampai

dengan sekarang masih banyak yang belum bisa dijelaskan walaupun telah dilakukan

banyak penelitian.Ada pendapat yang mengatakan bahwa sitokin–sitokin proses

inflamasi seperti tumor nekrosis faktor alfa (TNF α), interleukin 1 dan interferon

gama (ɣ) yang diproduksi oleh sumsum tulang penderita anemia penyakit kronik akan

menghambat terjadinya proses eritropoesis. 23, 37 Pada pasien artritis reumatoid

interleukin 6 juga meningkat tetapi sitokin ini bukan menghambat proses eritropoesis

melainkan meningkatkan volume plasma. Pada pasien anemia penyakit kronik

eritropoetin memang lebih rendah dari pasien anemia defisiensi besi, tetapi tetap lebih

tinggi dari orang – orang bukan penderita anemia. Dari sejumlah penelitian

disampaikan beberapa faktor yang kemungkinan memainkan peranan penting

terjadinya anemia pada penyakit kronik, antara lain (Ersley, 2001) :

1. Menurunnya umur hidup sel darah merah (eritrosit) sekitar 20–30% atau

menjadi sekitar 80 hari. Hal ini dibuktikan oleh Karl tahun 1969 pada percobaan

binatang yang menemukan pemendekan masa hidup eritrosit segera setelah timbul

panas. Juga pada pasien artritis reumatoid dijumpai hal yang sama.

2. Tidak adanya reaksi sumsum tulang terhadap adanya anemia pada penyakit

kronik. Reaksi ini merupakan penyebab utama terjadinya anemia pada penyakit

kronik. Kejadian ini telah dibuktikan pada binatang percobaan yang menderita infeksi

kronik, dimana proses eritropoesisnya dapat ditingkatkan dengan merangsang

binatang tersebut dengan pemberian eritropoetin.

3. Sering ditemukannya sideroblast berkurang dalam sumsum tulang disertai

deposit besi bertambah dalam retikuloendotelial sistem, yang mana ini menunjukkan

terjadinya gangguan pembebasan besi dari sel retikuloendotelial yang mengakibatkan

berkurangnya penyedian untuk eritroblast.

Page 20: 3. BAB II fix

23

4. Terjadinya metabolisme besi yang abnormal. Gambaran ini terlihat dari

adanya hipoferemia yang disebabkan oleh iron binding protein lactoferin yang berasal

dari makrofag dan mediator leukosit endogen yang berasal dari leukosit dan

makrofag. Hipoferemia dapat menyebabkan kegagalan sumsum tulang berespons

terhadap pemendekan masa hidup eritrosit dan juga menyebabkan berkurangnya

produksi eritropoetin yang aktif secara biologis.

5. Adanya hambatan terhadap proliferasi sel progenitor eritroid yang

dilakukan oleh suatu faktor dalam serum atau suatu hasil dari makrofag sumsum

tulang.

6. Kegagalan produksi transferin.

2.3.4 Gambaran klinis anemia penyakit kronik

Anemia pada penyakit kronik biasanya ringan sampai dengan sedang dan

munculnya setelah 1–2 bulan menderita sakit. Biasanya anemianya tidak bertambah

progresif atau stabil dan mengenai berat ringannya anemia pada seorang penderita

tergantung kepada berat dan lamanya menderita penyakit tersebut. Gambaran klinis

dari anemianya sering tertutupi oleh gejala klinis dari penyakit yang mendasari

(asimptomatik) (Mansjoer, 2001). Tetapi pada pasien–pasien dengan gangguan paru

yang berat, demam, atau fisik dalam keadaan lemah akan menimbulkan berkurangnya

kapasitas daya angkut oksigen dalam jumlah sedang, yang mana ini nantinya akan

mencetuskan gejala. Pada pasien–pasien lansia, oleh karena adanya penyakit vaskular

degeneratif kemungkinan akan ditemukan gejala–gejala kelelahan, lemah, klaudikasio

intermiten, muka pucat dan pada jantung keluhannya dapat berupa palpitasi dan

angina pektoris serta dapat terjadi gangguan serebral (Hughes et al, 1994).

Page 21: 3. BAB II fix

24

2.3.5 Diagnosa anemia penyakit kronik

Diagnosis anemia penyakit kronik dapat ditegakkan melalui beberapa

pemeriksaan, antara lain (Fitzsimons, 2001) :

1. Tanda dan gejala klinis anemia yang mungkin dapat dijumpai, misalnya muka

pucat, konjungtiva pucat, cepat lelah, lemah, dan lain–lain.

2. Pemeriksaan laboratorium, antara lain:

a.      Anemianya ringan sampai dengan sedang, dimana hemoglobinnya

sekitar  7–11 gr/dL.

b.      Gambaran morfologi darah tepi: biasanya normositik-normokromik atau

mikrositik ringan. Gambaran mikrositik ringan dapat dijumpai pada sepertiga

pasien anemia penyakit kronik.

c.       Volume korpuskuler rata–rata (MCV: Mean Corpuscular Volume):

normal atau menurun sedikit (= 80 fl).

d.      Besi serum (Serum Iron): menurun (< 60 mug / dL).

e.       Mampu ikat besi (MIB = TIBC: Total Iron Binding Capacity): menurun

(< 250 mug / dL).

f.       Jenuh transferin (Saturasi transferin): menurun (< 20%).

g.      Feritin serum: normal atau meninggi (> 100 ng/mL).

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan sumsum tulang dan

konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas (FEP: Free Erytrocyte Protophorphyrin),

namun pemeriksaannya jarang dilakukan. Menginterpretasi hasil pemeriksaan

Page 22: 3. BAB II fix

25

sumsum tulang kemungkinannya sulit, oleh karena bentuk dan struktur sel–sel

sumsum tulang dipengaruhi oleh penyakit dasarnya. Sedangkan konsentrasi

protoporfirin eritrosit bebas memang cenderung meninggi pada pasien anemia

penyakit kronik tetapi peninggiannya berjalan lambat dan tidak setinggi pada pasien

anemia defisiensi besi. Peninggiannya juga sejalan dengan bertambah beratnya

anemia. Oleh karena itu pemeriksaan konsentrasi protoporfirin eritrosit bebas lebih

sering dilakukan pada pasien – pasien anemia defisiensi besi (Mansjoer, 2001).

2.3.6 Penatalaksanaan anemia penyakit kronik

Tidak ada terapi spesifik yang dapat kita berikan untuk anemia penyakit

kronik, kecuali pemberian terapi untuk penyakit yang mendasarinya. Biasanya

apabila penyakit yang mendasarinya telah diberikan pengobatan dengan baik, maka

anemianya juga akan membaik. Pemberian obat–obat hematinik seperti besi, asam

folat, atau vitamin B12 pada pasien anemia penyakit kronik, tidak ada manfaatnya.

Belakangan ini telah dicoba untuk memberikan beberapa pengobatan yang mungkin

dapat membantu pasien anemia penyakit kronik, antara lain (Fitzsimons, 2001) :

1. Rekombinan eritropoetin (Epo), dapat diberikan pada pasien–pasien anemia

penyakit kronik yang penyakit dasarnya artritis reumatoid, Acquired Immuno

Deficiency Syndrome (AIDS), dan inflamatory bowel disease. Dosisnya dapat

dimulai dari 50–100 Unit/Kg, 3x seminggu, pemberiannya secara intra venous (IV)

atau subcutan (SC). Bila dalam 2–3 minggu konsentrasi hemoglobin meningkat

dan/atau feritin serum menurun, maka kita boleh menduga bahwa eritroit respons.

Bila dengan dosis rendah responsnya belum adekuat, maka dosisnya dapat

ditingkatkan sampai 150 Unit/Kg, 3x seminggu. Bila juga tidak ada respons, maka

pemberian eritropoetin dihentikan dan dicari kemungkinan penyebab yang lain,

Page 23: 3. BAB II fix

26

seperti anemia defisiensi besi (Ersley, 2001). Namun ada pula yang menganjurkan

dosis eritropoetin dapat diberikan hingga 10.000–20.000 Unit, 3x seminggu.

2. Transfusi darah berupa packed red cell (PRC) dapat diberikan, bila

anemianya telah memberikan keluhan atau gejala. Tetapi ini jarang diberikan oleh

karena anemianya jarang sampai berat.

3. Prednisolon dosis rendah yang diberikan dalam jangka panjang. Diberikan

pada pasien anemia penyakit kronik dengan penyakit dasarnya artritis temporal,

reumatik dan polimialgia. Hemoglobin akan segera kembali normal demikian juga

dengan gejala–gejala polimialgia akan segera hilang dengan cepat. Tetapi bila dalam

beberapa hari tidak ada perbaikan, maka pemberian kortikosteroid tersebut segera

dihentikan.

4. Kobalt klorida, juga bermanfaat untuk memperbaiki anemia pada penyakit

kronik dengan cara kerjanya yaitu menstimulasi pelepasan eritropoetin, tetapi oleh

karena efek toksiknya obat ini tidak dianjurkan untuk diberikan.

2.4 Lansia

2.4.1 Pengertian Lansia

Lansia merupakan tahap akhir dari proses penuaan. Menurut pasal 1 ayat (2),

(3), (4) UU No. 13 Tahun 1998 tentang kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut usia

adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun (Maryam dkk, 2008).

Berdasarkan definisi secara umum, seseorang dikatakan lanjut usia apabila usianya 65

tahun keatas. Lansia bukan suatu penyakit, namun merupakan tahap lanjut dari suatu

proses kehidupan yang ditandai dengan penurunan kemampuan tubuh untuk

beradaptasi terhadap stress lingkungan. Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh

Page 24: 3. BAB II fix

27

kegagalan seseorang mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stress

fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya kemampuan untuk hidup

serta peningkatan kepekaan secara individual (Effendi, 2009 dalam Marliyani Lubis,

2011)

2.4.2 Klasifikasi Lansia

Menurut World Health Organization (WHO) (Nugroho, 2000) lansia dibagi

menjadi empat kelompok, yaitu:

Kelompok Usia Pertengahan (middle age) : 45-49 tahun

Kelompok Lanjut Usia (elderly) : 60-74 tahum

Kelompok Lanjut Usia Tua (Old Age) : 75-90 tahun

Usia sangat tua (very old) : diatas 90 tahun

Pada saat ini, ilmuan social yang mengkhususkan diri mempelajari penuaan

merujuk kepada kelompok lansia : “lansia-muda” (young old), “lansia-tua” (old-old),

dan lansia tertua (oldest old). Secara kronologis, young old ditujukan kepada

kelompok usia 65 sampai 74 tahun, yang biasanya aktif, vital dan bugar. Old-old

berusia antara 75 sampai 84 tahun, dan oldest old berusia 85 tahun ke atas (Papalia,

Olds & Feldman, 2005)

2.4.3 Karakteristik Lansia

Beberapa karakteristik lansia yang perlu diketahui untuk mengetahui

keberadaan masalah kesehatan lansia adalah (Bustan, 2000):

1. Jenis kelamin

Page 25: 3. BAB II fix

28

Jumlah lansia lebih didominasi oleh kaum perempuan. Selain itu, terdapat

perbedaan kebutuhan dan masalah kesehatan yang dihadapi antara lansia laki-laki

dan perempuan. Misalnya, lansia laki-laki banyak menderita hipertropi prostat,

sementara lansia wanita menderita osteoporosis.

2. Status perkawinan

Status masih berpasangan lengkap atau sudah hidup sendiri (duda/janda) sangat

mempengaruhi kondisi kesehatan fisik maupun psikologis lansia.

3. Living arrangement

Keadaan pasangan, tanggungan keluarga, missal harus masih menanggung anak

atau keluarga, tempat tinggal, rumah sendiri, tinggal bersama anak, atau tinggal

sendiri. Dewasa ini kebanyakan lansia masih hidup sebagai bagian keluarganya,

baik lansia sebagai kepala keluarga atau bagian dari keluarga anaknya. Namun,

akan cenderung bahwa lansia akan ditinggalkan oleh keturunannya dalam rumah

yang berbeda.

4. Kondisi kesehatan

a. Kondisi umum: kemampuan umum untuk tidak tergantung kepada orang lain

dalam kegiatan sehari-hari, seperti mandi, buang air kecil dan besar.

b. Frekuensi sakit: frekuensi sakit yang tinggi menyebabkan menjadi tidak

produktif lagi bahkan mulai tergantung kepada orang lain, bahkan ada yang

karena penyakit kroniknya sudah memerlukan perawatan khusus.

5. Keadaan ekonomi

a. Sumber pendapatan resmi

b. Sumber pendapatan keluarga

c. Kemampuan pendapatan

2.4.4 Status Kesehatan pada Lanjut Usia

Kesehatan dan status fungsional seorang lansia ditentukan oleh resultante dari

factor-faktor fisik, psikologik dan sosio-eekonomi. Faktor-faktor tersebut tidak selalu

sam besar perannya sehingga selalu harus diperbaiki bersamaan dengan perawatan

Page 26: 3. BAB II fix

29

pasien secara menyeluruh. Di Negara-negara sedang berkembang factor sosio-

ekonomi / finansial hamper selalu merupakan kendala yang penting. Untuk

mengetahui tentang status kesehatan para lansia ini, kita harus mengetahui beberapa

hal penting tentang penyakit lansia, antara lain (Darmojo, 2011) :

1. Perjalanan penyakit pada orang lanjut usia

Pada umumnya perjalanan penyakit lansia adalah kronik (menahun), diselingi

dengan eksaserbasi akut. Selain dari pada itu penyakitnya bersifat progresif dan

sering menyebabkan kecacatan (invalide) yang lama sebelim akhirnya penderita

meninggal dunia. Penyakit yang progresif ini berbeda dengan penyakit pada usia

remaja / dewasa yaitu tidak memberikan proteksi atau imunitas tetapi justru

menjadikan orang lansia rentan terhadap penyakit lain karena daya tahan tubuh

yang makin menurun.

2. Sifat penyakit pada orang lanjut usia

Sifat penyakit pada lansia perlu sekali untuk dikenali supaya kita tidak salah

ataupun terlambat menegakkan diagnosis, sehingga terapi dan tindakan lain yang

mengikutinya dengan segera dapat dilaksanakan. Penyakit pada lansia umumnya

lebih bersifat endogen daripada eksogen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena

menurunnya fungsi berbagai alat tubuh karena proses menjadi tua. Selain itu

produksi zat-zat untuk daya tahan tubuh akan mengalami kemunduran.

Dampaknya adalah factor penyebab eksogen (infeksi) akan lebih mudah

menyerang tubuh. Seringkali juga terjadi penyakit pada lansia tersembunyi

(occult), sehingga perlu dicarai secara aktif. Keluhan –keluhan pasien lansia

sering tidak khas, atipik dan asimptomatik. Oleh karena sifat-sifat atipik,

asimptomatik atau tidak khas tadi, akan mengakibatkan variasi individual

munculnya gejala dan tanda penyakit meskipun penyakitnya sama.

3. Diagnosis penyakit pada orang lanjut usia

Pada orang-orang lanjut usia penyakitnya seringkali bersifat ganda (multiple)

dan kumulatif, terlepas satu sama lain ataupun saling mempengaruhi timbulnya.

Page 27: 3. BAB II fix

30

Untuk menegakkan diagnosis pasien lansia kita perlu melakukan observasi

penderita lebih lama, sambil mengamati dengan cermat tanda-tanda dan gejala-

gejala penyakitnya. Selain itu allo-anamnese dari pihak keluarga sangat

membantu kita.

2.4.5 Kelainan Hematologi pada Usia Lanjut

Berbagai kelainan hematologi dapat terjadi pada usia lanjut, namun dalam

beberapa hal ada perbedaan dengan usia muda, misalnya dalam hal penyebab,

pengelolaan, maupun prognosis. Pada lansia terdapat penurunan fungsi organ

gastrointestinal dan sumsum tulang. Selain itu, lansia mengalami penurunan aktifitas

fisik, peningkatan frekuensi terjadinya proses inflamasi dan perubahan pola diet.

Factor-faktor tersebut membuat lansia lebih rentan untuk mengalami anemia

(Olivares, 2000).

Penyakit keganasan hematologi yang sering diderita golongan usia lanjut

adalah leukemia limfositik kronik, myeloma multiple dan sindroma mielodisplasia.

Sembilan puluh persen penderita leukemia limfositik kronik berumur lebih dari 50

tahun (Williams, 2004).

Page 28: 3. BAB II fix

31

2.5 Kerangka Teori

Proses Menua

Penyakit Kronis

Hambatan eritropoiesis dan disregulasi

homeostasis besi

Penurunan atau kelainan pembentukan sel darah

merah (SDM)

Jumlah SDM dan kadar hemoglobin berkurang hingga dibawah normal

Anemia