bab ii fix
DESCRIPTION
dalamTRANSCRIPT
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Demam Tifoid
a. Definisi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik akut
yang disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella typhi. Tifoid
juga dikenal dengan nama lain Typhus Abdominalis, Typhoid fever,
Enteric fever (Herawati dan Ghani, 2009). Disebut sebagai typhus
abdominalis, karena pada umumnya kuman Salmonella ini menyerang
usus sehingga dapat menyebabkan usus menjadi luka, perdarahan
serta dapat pula terjadi kebocoran (Hendarta, 2011).
b. Etiologi
Penyebab infeksi demam tifoid adalah kuman Salmonella dan
dari genus Salmonella tersebut terdapat lebih dari 1700 serotipe.
Salmonella adalah kuman batang gram negatif dan kurang lebih 100
diantaranya adalah patogen terhadap manusia (Chrishantoro, 2006).
Penyebab utama dan yang paling banyak adalah Salmonella typhi atau
Salmonella enteric (Pang, et al., 1995). Sedangkan penyebab lainnya
adalah Salmonella paratyphi A, B dan C, kuman ini sangat patogen
terhadap manusia, kecuali S. paratyphi C yang juga bisa menjangkiti
hewan. Infeksi dengan penyebab kuman Salmonella paratyphi agak
9
10
jarang (± 10-15%), namun gejala klinisnya sulit dibedakan dari infeksi
yang disebabkan oleh Salmonella typhi (Beeching dan Gill, 2004).
Tabel 1. Komposisi antigen dan golongan serogroup Salmonella
Serotype O antigen H antigen Serogroup Phase 1:2
S. typhi 9, 12 (Vi) d : Group D1
S. paratyphi A 1, 2, 12 a : (1,5) Group A
S. paratyphi B 1, 4, (5), 12 b : 1, 2 Group B
S. paratyphi C 6, 7, (Vi) c : 1, 5 Group C1
Sumber: Torry Chrishantoro, 2006
Tabel 2. Faktor antigen O spesifik pada Salmonella typhi dan
paratyphi
Organism Specific O antigen factor
S. typhi 9
S. paratyphi A 2
S. paratyphi B 4
S. paratyphi C 6/7
Sumber: Torry Chrishantoro, 2006
Antigen O9 (LPS) Salmonella typhi merupakan antigen yang
sangat spesifik karena epitope immunodominannya sangat jarang
terdapat di deoxyhexose sugar sebagaimana yang ada di nature (alam).
Antigen ini ditemukan dalam serogrup D Salmonella dan tidak
ditemukan di mikroorganisme lainnya (WHO, 2003).
Salmonella typhi merupakan kuman berbentuk batang, tidak
berspora, fakultatif anaerob dan bersifat negative pada pengecatan
gram, berukuran 1-3,5 µm x 0,5-0,8 µm dengan besar koloni rata-rata
2-4 mm dan memiliki flagel yang peritrik. Identifikasi awal dari
11
Salmonella pada laboratorium mikrobiologi klinik berdasarkan
karakteristik pertumbuhannya. Kuman ini seperti Enterobacteriaceae
lainnya, memproduksi asam pada fermentasi glukosa, mereduksi nitrat
dan tidak memproduksi cytochrome oxidase (Pagues dan Miller, 2008).
Salmonella tumbuh cepat dalam media yang sederhana, tetapi hampir
tidak pernah memfermentasikan laktosa atau sukrosa, biasanya
Salmonella typhi ini memproduksi gas (H2S) pada fermentasi gula dan
dapat bertahan hidup dalam air membeku pada periode yang lama
(Brooks, et al., 2008).
Gambar 1. Salmonella (gram -)
Kuman Salmonella typhi mempunyai antigen O yang terdiri
dari lipopolisakarida (LPS) sebagai antigen somatiknya yang tahan
terhadap pemanasan 100ºC, alkohol dan asam dengan antibodi yang
terutama dibentuk oleh tubuh adalah IgM. Antigen H yang terdiri dari
protein, sebagai antigen flagel akan rusak pada pemanasan di atas
60ºC, alkohol dan asam dengan antibodi yang lebih utama dibentuk
adalah IgG. Antigen permukaan Vi adalah polimer dari polisakarida
yang bersifat asam dan terdapat pada bagian paling luar dari badan
12
kuman, dapat dirusak dengan pemanasan 60ºC selama 1 jam,
penambahan fenol dan asam (Karsinah, et al., 1994).
c. Epidemiologi
Demam tifoid masih menjadi masalah kesehatan global bagi
masyarakat dunia, terutama di negara yang sedang berkembang.
Besarnya angka pasti pada kasus demam tifoid di dunia masih sangat
sulit untuk ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala
dengan spektrum klinis yang sangat luas (Soedarmo, et al., 2008).
Data dari World Health Organization (WHO) tahun 2003
memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh
dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun (WHO,
2003). Perkiraan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika
Selatan dan 900/100.000/tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).
Munculnya daerah endemik demam tifoid dipengaruhi oleh
berbagai faktor, antara lain laju pertumbuhan penduduk yang tinggi,
peningkatan urbanisasi, rendahnya kualitas pelayanan kesehatan,
kurangnya suplai air, buruknya sanitasi dan tingkat resistensi antibiotik
yang sensitif untuk bakteri Salmonella typhi, seperti kloramfenikol,
ampisilin, trimetoprim, dan ciprofloxcacin (Hendarta, 2011).
Insidensi kasus demam tifoid di Indonesia masih sangat tinggi,
diperkirakan 350-810 per 100.000 dengan angka kematian 0,6-5%
sebagai akibat keterlambatan mendapat pengobatan. Walaupun terus
menerus mengalami penurunan jumlah kasus, demam tifoid di
13
Indonesia masih terhitung tinggi serta fluktuatif, nampak dari data
tahun 2000 terdapat 275.639 kasus dengan angka insidensi 12,97 per
10.000 penduduk dan menurun terus sampai pada tahun 2002 hanya
tercatat 136.088 kasus dengan angka insidensi 6,4 per 10.000
penduduk, namun pada tahun 2003 mengalami peningkatan jumlah
kasus lagi mencapai 255.817 kasus dengan angka insidensi 12 per
10.000 penduduk dan pada akhirnya menurun lagi pada tahun 2004
mencapai 134.065 kasus yang tercatat dengan angka insidensi 6,19 per
10.000 penduduk. Data ini menunjukkan masih tingginya kejadian
demam tifoid di Indonesia dan masih pentingnya metode diagnostik
yang akurat untuk menegakkan diagnosis dan menetapkan medikasi
yang sesuai (DEPKES RI, 2005).
Demam tifoid banyak diderita oleh anak-anak atau dewasa
muda. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis)
dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus. Penularannya
sebagian besar melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh
kuman S.typhi yang berasal dari penderita atau pembawa kuman,
biasanya keluar bersama-sama dengan tinja atau melalui rute oral fekal
(Soedarmo, et al., 2008).
d. Patogenesis
Patogenesis terjadinya demam tifoid ini diawali dengan
masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia melalui
makanan yang terkontaminasi kuman (Widodo, 2009). Pada saat
14
melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak kuman yang
mati. Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan
dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa proton atau
antasida dalam jumlah besar akan meningkatkan dosis infeksi. Kuman
yang masih hidup akan mencapai usus halus dan kemudian akan
berkembang biak (Soedarmo, et al., 2008). Bila respon imunitas
humoral mukosa (IgA) usus kurang baik, maka kuman akan
menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh
sel-sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plague Peyeri ileum distal dan kemudian menuju ke kelenjar getah
bening mesenterika. Selanjutnya melalui ductus torasikus kuman yang
berada di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar
ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di
organ-organ ini kuman akan meninggalkan sel-sel fagosit dan
kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi untuk kedua kalinya
yang dapat mengakibatkan bakteremia disertai tanda-tanda dan gejala
penyakit sistemik (Widodo, 2009).
Bakteri Salmonella typhi ini memiliki beberapa tempat yang
disukai yaitu hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan plague
15
Payer dari ileum terminal (Soedarmo, et al., 2008). Di dalam hati,
kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak dan
bersamaan dengan cairan empedu diekskresikan secara intermittent ke
dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan
sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, karena makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella, terjadi pelepasan
mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi
inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala,
gangguan pencernaan, instabilitas vaskular, gangguan mental dan
koagulasi (Widodo. 2009).
Gambar 2. Patogenesis infeksi demam tifoid
16
Pada plague Peyeri, makrofag yang hiperaktif akan
menimbulkan reaksi hyperplasia jaringan dan nekrosis organ.
Perdarahan saluran cerna dapat terjadi akibat dari erosi pembuluh
darah di sekitar plague Peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan
hyperplasia akibat akumulasi dari makrofag hiperaktif di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang sampai ke
lapisan otot, serosa usus dan dapat menyebabkan perforasi. Selain itu,
endotoksin yang dihasilkan oleh kuman Salmonella dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler yang dapat menimbulkan komplikasi
seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular, pernafasan dan
gangguan organ lainnya (Widodo, 2009).
e. Manifestasi Klinis
Periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-
rata antara 10-14 hari. Gejala klinis yang muncul pada demam tifoid
sangat bervariasi mulai dari ringan yang tidak memerlukan perawatan
khusus sampai dengan berat sehingga harus di rawat. Variasi gejala ini
disebabkan oleh beberapa faktor seperti virulensi kuman, status nutrisi
dan imunologik pejamu (Soedarmo, et al., 2008).
Gejala tifoid dapat ditandai dengan demam mulai dari sore
hari dan menurun pada pagi hari, sakit kepala, permukaan lidah kotor
dan tebal, berwarna putih kekuningan dengan pinggiran lidah
berwarna merah disertai dengan gangguan pencernaan seperti diare
dan sulit buang air besar (Herawati dan Ghani, 2009). Selain itu, gejala
17
lain yang biasa timbul pada demam tifoid juga dapat berupa
munculnya bintik-bintik merah di kulit bagian perut atau dada,
malaise, bradikardi dan hepatosplenomegali (Thompson, et al., 2009).
Penampilan demam pada kasus demam tifoid mempunyai
istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul secara insidius, kemudian naik bertahap tiap
harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama,
setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Pada
saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai
gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau
penurunan kesadaran, mulai dari apati sampai koma (Soedarmo, et al.,
2008).
f. Diagnosis
Penegakkan diagnosis sedini mungkin akan sangat bermanfaat
agar pasien dapat diberikan terapi dengan segera dan tepat, serta
meminimalkan terjadinya komplikasi. Pengetahuan mengenai
gambaran klinis dari penyakit ini sangat penting untuk membantu
dalam mendeteksi secara dini. Walaupun pada kasus tertentu
dibutuhkan pemeriksaan tambahan untuk membantu menegakkan
diagnosis (Widodo, 2009).
18
Pemeriksaan laboratorium yang biasa dilakukan untuk
membantu dalam diagnosis demam tifoid yaitu :
1) Pemeriksaan darah perifer lengkap. Gambaran yang sering
ditemukan berupa leukopenia, namun dapat pula terjadi jumlah
leukosit normal atau leukositosis. Selain itu, dapat juga ditemukan
anemia ringan, trombositopenia dan peningkatan laju endap darah.
2) Pemeriksaan SGOT dan SGPT. Pada tifoid seringkali meningkat,
tetapi akan kembali menjadi normal setelah sembuh atau biasanya
tidak memerlukan penanganan khusus.
3) Uji Widal dan kultur organisme. Sampai saat ini, kultur masih
menjadi standar baku emas dalam penegakkan diagnosis demam
tifoid karena merupakan metode yang paling spesifik, namun
kekurangannya membutuhkan waktu yang lama untuk pembiakan.
Selain uji Widal, ada juga beberapa metode pemeriksaan serologi
lain yang dapat dilakukan dengan cepat dan mudah serta memiliki
sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dari widal yaitu uji TUBEX®,
typhidot dan dipstick (Widodo, 2009).
Klasifikasi kasus demam tifoid menurut WHO :
1) Confirmed case of typhoid fever yaitu pasien dengan demam (38ºC
atau lebih) yang berlangsung ≥ 3 hari dan dikonfirmasi oleh tes
laboratorium - kultur positif S. typhi (darah, sumsum tulang, urin).
2) Probable case of typhoid fever yaitu pasien dengan demam (38ºC
atau lebih) yang berlangsung ≥ 3 hari dan dikonfirmasi oleh tes
19
laboratorium – serodiagnosis positif atau deteksi antigen tetapi
tanpa isolasi S. typhi.
3) Chronic carrier yaitu ekskresi kuman S. typhi di urin atau feses
(atau diulang dengan kultur empedu atau usus duodenal tetap
positif) selama kurang lebih dari 1 tahun setelah terjangkit demam
tifoid akut. Beberapa pasien yang mengekskresikan S. typhi,
ternyata tidak mempunyai catatan penyakit demam tifoid
(Chrishantoro, 2006).
Dalam praktek sehari-hari di Indonesia, klinisi pada umumnya
(±20-50%) menegakkan diagnosis demam tifoid menggunakan standar
kriteria klinis didukung pemeriksaan laboratorium yaitu pengujian
gall culture dan Widal-Slide dalam satu paket pemeriksaan
(Chrishantoro, 2006).
2. Gambaran leukosit pada demam tifoid
Keusch (1999) mengemukakan bahwa endotoksin lipopolisakarida
pada S. typhi dapat menyebabkan leukopenia, sehingga pada hasil
laboratorium dari 25% pasien demam tifoid dapat ditemukan leukopenia
dan neutropenia, tetapi untuk leukopenia berat (<2000 sel per mikroliter)
jarang terjadi. Holland dan Gallin (2008) juga berpendapat bahwa infeksi
yang terjadi pada demam tifoid dapat menyebabkan penurunan produksi
neutrofil sehingga pada hasil laboratorium dapat ditemukan neutropenia.
Leukopenia merupakan penurunan jumlah sel darah putih di darah
perifer yang dapat terjadi karena berkurangnya jumlah salah satu jenis
20
leukosit yang umumnya disebabkan oleh penurunan neutrofil
(neutropenia). Hal ini dapat disebabkan oleh granulopoesis yang tidak
adekuat atau karena destruksi neutrofil yang berlebihan dan dipercepat.
Limpa yang membesar juga dapat menyebabkan percepatan pembersihan
sel darah putih (Kumar, et al., 2007).
Jumlah leukosit pada demam tifoid dapat pula normal yang
diakibatkan oleh patogenesis dari demam tifoid itu sendiri. Salmonella
melakukan penetrasi ke lapisan mukosa usus, setelah itu S.typhi akan
difagositosis oleh sel fagosit, bakteri ini justru akan bertahan di dalam sel
fagosit yang dapat memberikan perlindungan bagi bakteri untuk menyebar
ke seluruh tubuh dan terlindung dari antibodi serta agen-agen
antimikrobial sehingga tidak terjadi respon tubuh untuk meningkatkan
jumlah leukosit (Gershon, 2003).
Leukositosis umum terjadi pada anak-anak selama 10 hari pertama
sakit dan pada kasus dengan komplikasi perforasi usus atau terjadi infeksi
sekunder (Pagues dan Miller, 2008). Pada pemeriksaan hitung jenis
leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia (Widodo, 2009).
3. Uji TUBEX TF
TUBEX TF adalah suatu assay (pemeriksaan) diagnostik in vitro
semikuantitatif 10 menit untuk mendeteksi demam tifoid akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi, melalui deteksi spesifik adanya serum
antibodi IgM terhadap antigen S. typhi O9 lipopolisakarida dengan cara
mengukur kemampuan serum antibodi IgM tersebut dalam menghambat
21
(inhibisi) reaksi antara antigen berlabel partikel lateks magnetik (reagen
warna coklat) dan monoklonal antibodi berlabel lateks warna (reagen
warna biru), selanjutnya ikatan inhibisi tersebut diseparasikan oleh suatu
daya magnetik. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah setara dengan
konsentrasi antibodi IgM S. typhi dalam sampel. Hasil dibaca secara visual
dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna
(Chrishantoro, 2006). Hasil positif pada uji TUBEX TF ini menunjukkan
terdapat infeksi Salmonella serogrup D dan akan memberikan hasil negatif
pada infeksi Salmonella paratyphi (Widodo, 2009).
Gambar 3. Magnetic Color Scale Gambar 4. Botol Reagen (A & B) dan
dengan tabung berbentuk V Botol Kontrol (negatif & positif)
Secara imunologi, antigen O9 bersifat imunodominan sehingga
dapat merangsang respon imun secara independent terhadap timus dan
merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T, oleh karena itu respon
terhadap antigen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti O9
dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan
hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji TUBEX TF ini hanya dapat
mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat
22
digunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi di waktu lampau
(Widodo, 2009).
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam
komponen, meliputi :
1) Tabung berbentuk V, yang berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas.
2) Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi
dengan antigen S. typhi O9.
3) Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang
diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9
(Widodo, 2009).
Gambar 5. Prosedur pemeriksaan TUBEX TF
Untuk melakukan prosedur pemeriksaan ini, langkah pertama yang
dilakukan yaitu pipetkan 45 µl reagen coklat (A) ke semua tabung,
kemudian tambahkan 45 µl TUBEX TF kontrol (negatif & positif) dan
serum pasien ke dalam tabung. Inkubasi selama 2 menit dan kemudian
pipetkan 90 µl reagen biru (B) ke semua tabung, lalu di homogenisasi
23
selama 2 menit. Selanjutnya letakkan tabung V di atas skala magnetik
untuk reaksi separasi selama 5 menit (Chrishantoro, 2009).
Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran
yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasarkan warna
inilah ditentukan skor, yang interpretasinya dapat dilihat pada tabel berikut
(Chrishantoro, 2006).
Table 3. Interpretasi hasil TUBEX TF
Skor Interpretasi Keterangan
<2 Negative Tidak menunjukkan infeksi demam tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.Ulangi pengujian, apabila masih meragukan, lakukan sampling ulang beberapa hari kemudian.
4-5 Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid aktif>6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid aktif
Sumber: Djoko Widodo, 2009.
Konsep dari pemeriksaan TUBEX TF ini yaitu jika serum tidak
mengandung antibodi terhadap O9, reagen B akan bereaksi dengan reagen
A ketika diletakkan pada daerah yang mengandung medan magnet
(magnet rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik
pada magnet rak dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh
reagen B, sehingga terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya
merupakan gambaran serum lisis. Sebaliknya, jika serum mengandung
antibodi terhadap O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A
24
menyebabkan reagen B tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan
warna biru pada larutan (Widodo, 2009).
4. Imunoglobulin
Imunoglobulin adalah sekelompok protein heterogen yang
dihasilkan oleh sel plasma dan limfosit B yang akan bereaksi terhadap
antigen. Imunoglobulin dibagi menjadi lima subkelas yaitu imunoglobulin
G (IgG), IgA, IgM, IgD dan IgE. Semua imunoglobulin tersusun dari
struktur dasar sama yang terdiri atas dua rantai yaitu berat dan ringan.
Rantai berat dapat berupa gamma (γ) di IgG, alfa (α) di IgA, mu (µ) di
IgM, delta (δ) di IgD dan epsilon (ε) di IgE serta rantai ringannya berupa
kappa (κ) atau lambda (λ), kelima imunoglobulin ini lazim ditemukan
(Hoffbrand, 2005).
Imunoglobulin G memiliki berat molekul sekitar 150.000 dalton
dengan koefisien sedimentasi 7 S dan kadarnya dalam serum 75% dari
semua immunoglobulin (Akib, et al., 2008). IgG dapat ditemukan dalam
berbagai cairan seperti darah, CSS dan urin. Selain itu, IgG juga dapat
menembus plasenta masuk ke janin dan berperan pada imunitas bayi
sampai umur 6-9 bulan (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).
Imunoglobulin A memiliki berat molekul 165.000 dalton,
ditemukan dalam serum dengan jumlah yang sedikit. Kadarnya terbanyak
ditemukan dalam cairan sekresi saluran nafas, cerna, kemih, air mata,
keringat, ludah dan dalam air susu ibu yang lebih berupa IgA sekretori
(sIgA) (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009). IgA sekretori merupakan
25
pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan cara menghambat
perkembangan antigen lokal dan telah dibuktikan dapat menghambat virus
menembus mukosa (Akib, 2008).
Imunoglobulin D merupakan Ig yang mempunyai kadar terendah di
dalam tubuh dibanding Ig lainnya (Sutedjo, 2009). IgD mempunyai berat
molekul 180.000 dalton, untuk fungsi utama dari IgD belum banyak
diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel limfosit B
bersama dengan IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini (Akib,
2008).
Imunoglobulin E merupakan Ig yang bertanggung jawab terhadap
reaksi hipersensitivitas, diantaranya reaksi atopik dan anafilaktik (Sutedjo,
2009). IgE mudah diikat sel mast, basofil dan eosinofil yang memiliki
reseptor untuk fraksi Fc dari IgE. Kadar IgE yang tinggi dapat ditemukan
keadaan alergi, infeksi cacing, skistosomiasis, penyakit hidatid dan diduga
berperan pada imunitas parasit (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).
Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah
imunoglobulin dengan koefisien sedimentasi 19 S dan berat molekul
850.000-1.000.000 dalton. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya
berupa karbohidrat (Akib, et al., 2008). Nama M berasal dari makro-
globulin dan IgM mempunyai rumus bangun pentameter yang merupakan
imunoglobulin terbesar. IgM merupakan Ig paling efisien dalam aktivasi
komplemen (jalur klasik). Molekul-molekul IgM diikat oleh rantai J
(joining chain) seperti pada IgA, kebanyakan sel B mengekspresikan IgM
26
pada permukaannya sebagai reseptor antigen (Baratawidjaja dan
Rengganis, 2009).
Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali muncul pada
respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada golongan
darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup
untuk memulai reaksi kaskade komplemen (Akib, et al., 2008). IgM ini
sering dijadikan indikator terjadinya infeksi akut dan akan terus dibentuk
selama antigen masih ada, sedangkan pada keadaan normal, IgM tidak ada
dalam sirkulasi darah (Sutedjo, 2009).
Imunoglobulin M juga merupakan imunoglobulin yang
predominan diproduksi oleh janin. Kadar IgM yang tinggi dalam darah
umbilikus merupakan indikasi adanya infeksi intrauterin. Bayi yang baru
dilahirkan hanya mengandung IgM 10% dari kadar IgM dewasa, karena
IgM ibu tidak bisa menembus plasenta. Janin yang berumur 12 minggu
sudah mulai membentuk IgM bila sel B-nya dirangsang oleh infeksi
intrauterin, seperti sifilis congenital, rubella, toksoplasmosis dan virus
sitomegalo. Kadar IgM anak akan mencapai kadar IgM dewasa pada usia
satu tahun (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).
Kebanyakan antibodi alamiah seperti isoaglutinin, golongan darah
AB, antibodi heterofil adalah IgM. IgM dapat mencegah gerakan
mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis dan merupakan
aglutinator poten antigen. Bila seorang anak diimunisasi terhadap produk
bakteri seperti toksoid, akan diperlukan beberapa hari sebelum antibodi
27
ditemukan dalam darah. Dalam 2-3 hari setelah suntikan toksoid kedua
kali, kadar antibodi dalam darah meningkat tajam dan mencapai kadar
maksimum yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan respon primer.
Respon sekunder ditandai oleh respon yang muncul lebih cepat serta lebih
banyak produksi antibodi. Hal tersebut dikarenakan adanya ekspansi sel
memori akibat pemberian toksoid pertama (Baratawidjaja dan Rengganis,
2009).
5. Leukosit
Leukosit atau sel darah putih merupakan unit sistem pertahanan
tubuh yang mobile. Leukosit sebagian dibentuk dalam sumsum tulang
(granulosit dan monosit serta sedikit limfosit) dan sebagian lagi di jaringan
limfe (limfosit dan sel plasma) khususnya di kelenjar limfe, limpa, timus,
tonsil dan berbagai jaringan limfoid di dalam tubuh seperti sumsum tulang
dan plague Peyer di bawah epitel dinding usus. Setelah dibentuk,
kemudian sel-sel ini diangkut dalam darah menuju ke berbagai bagian
tubuh yang membutuhkannya. Manfaat sel darah putih yang sesungguhnya
yaitu sebagian besar akan diangkut secara khusus ke daerah yang
terinfeksi dan mengalami peradangan serius, dengan demikian
menyediakan pertahanan yang cepat dan kuat terhadap agen-agen
infeksius (Guyton, 2008).
Leukosit dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu fagosit
dan imunosit. Kelompok fagosit terdiri atas sel-sel granulosit (neutrofil
polimorfonuklear, eosinofil, basofil) dan monosit. Sedangkan untuk
28
kelompok imunosit terdiri atas limfosit, sel prekursornya dan sel plasma
(Hoffbrand, 2005).
Nilai rujukan untuk angka leukosit pada dewasa laki-laki 3,8-10,6 x
109/L sedangkan untuk dewasa perempuan 3,6-11,0 x 109/L dan nilai
rujukan untuk bayi/anak-anak umur 12 jam 13.000-38.000/µL, 1 hari
9.400-34.000/µL, 1 minggu 5.000-21.000/µL, 2 minggu 5.000-20.000/µL,
4 minggu 5.000-19.500/µL, 2 bulan 5.500-18.000/µL, 4-12 bulan 6.000-
17.500/µL, 2 tahun 6.000-17.000/µL, 4 tahun 5.500-15.500/µL, 6 tahun
5.000-14.500/µL, 8-12 tahun 4.500-13.500/µL, 14-16 tahun 4.500-
13.000/µL dan 18 tahun 4.500-12.500/µL (Suryaatmaja, 2004).
Peningkatan jumlah leukosit (leukositosis) menunjukkan adanya
proses infeksi atau radang akut, anemia hemolitik, leukemia, infark
miokard, penyakit parasit, stress karena pembedahan maupun gangguan
emosi dan obat-obatan (aspirin, ampicillin, kanamisin, tetrasiklin,
vankomisin, streptomisin, alopurinol, heparin, digitalis). Sedangkan
penurunan jumlah leukosit (leukopenia) dapat terjadi pada penderita
infeksi tertentu, terutama virus, malaria, alkoholik, SLE dan obat-obatan
(penicillin, kloramfenikol, asetaminofen, sulfonamid, propiltiourasil,
barbiturat, agen kemoterapi kanker, diazepam (Valium), diuretik
(furosemide), klordiazepoksid (Libirium), agen hipoglikemi oral,
indometasin (Indocin), metildopa (Aldomet), rifampin, fenotiazin) (Kee,
1997).
29
Hitung jenis leukosit adalah perhitungan jenis leukosit yang ada
dalam darah berdasarkan proporsi (%) tiap jenis leukosit dari seluruh
jumlah leukosit. Hasil pemeriksaan ini dapat menggambarkan kejadian dan
proses penyakit dalam tubuh, terutama penyakit infeksi (Sutedjo, 2009).
Tabel 4. Nilai normal hitung jenis leukosit dalam % dan millimeter kubik
No. Jenis leukosit Dewasa (%)
Dewasa (mm3)
Anak/bayi/BBL
1. Neutrofil (total)
50-70 2500-7000 BBL = 61%Umur 1 th = 2%
a. Segmen 50-65 2500-6500 Sama dewasab. Pita 0-5 0-500 Sama dewasa2. Eosinofil 1-3 100-300 Sama dewasa3. Basofil 0,4-1,0 40-100 Sama dewasa4. Monosit 4-6 200-600 4-9%5. Limfosit 25-35 1700-3500 BBL = 34%
1 th = 60%6 th = 42%12 th = 38%
Sumber: Joice LeeFever Kee, 1997.
Neutrofil merupakan 60-70% dari jumlah seluruh leukosit,
mempunyai inti padat khas yang terdiri dari 2-5 lobus (polimorfonuklear)
dan sitoplasma yang pucat dengan garis batas tidak beraturan mengandung
banyak granula merah muda sampai biru (azurofilik) atau kelabu sampai
biru (Hoffbrand, 2005). Neutrofil sangat berperan dalam menyerang dan
menghancurkan bakteri saat terjadi infeksi dan paling cepat bereaksi
terhadap radang maupun perlukaan (Guyton, 2008). Segmen adalah
neutrofil matang dan pita adalah neutrofil tak matang yang akan
memperbanyak diri dengan cepat selama infeksi akut (Sutedjo, 2009).
30
Eosinofil mirip dengan neutrofil, kecuali granula sitoplasmanya
terlihat lebih kasar, lebih berwarna merah tua dan intinya jarang lebih dari
3 lobus, sel ini berperan khusus dalam respon alergi, pertahanan terhadap
parasit dan pembuangan fibrin yang terbentuk selama inflamasi
(Hoffbrand, 2005). Jumlah eosinofil 1-4% dari seluruh jumlah leukosit
(Sutedjo, 2009).
Basofil jarang ditemukan dalam darah tepi normal, sel ini
mempunyai banyak granula sitoplasma yang gelap, menutupi inti, serta
mengandung heparin dan histamin (Hoffbrand, 2005). Jumlah normal
basofil dalam darah adalah 0-1% dari keseluruhan jumlah leukosit
(Sutedjo, 2009). Di dalam jaringan, basofil berubah menjadi sel mast yang
juga berperan dalam respon alergi. Basofil mempunyai tempat perlekatan
imunoglobulin E dan degranulasinya disertai dengan pelepasan histamin
(Hoffbrand, 2005).
Masa hidup granulosit sesudah dilepaskan dari sumsum tulang
normalnya 4 sampai 8 jam dalam sirkulasi darah dan mencapai 4 sampai 5
hari berikutnya dalam jaringan yang membutuhkan. Pada keadaan infeksi
jaringan yang berat, masa hidup keseluruhan sering kali berkurang sampai
hanya beberapa jam, karena granulosit bekerja lebih cepat pada daerah
yang terinfeksi, melakukan fungsinya dan kemudian masuk dalam proses
ketika sel-sel itu sendiri dimusnahkan (Guyton, 2008).
Monosit biasanya berukuran lebih besar dari leukosit darah tepi
lainnya dan mempunyai inti sentral berbentuk lonjong atau berlekuk
31
dengan kromatin yang menggumpal. Sitoplasmanya yang banyak berwarna
biru, banyak mengandung vakuola halus dan tidak bergranula (Hoffbrand,
2005). Jumlah normal monosit dalam darah 2-8% dari jumlah seluruh
leukosit (Sutedjo, 2009). Di dalam jaringan monosit berubah menjadi
makrofag yang berperan dalam fagositosis bakteri, virus, jaringan nekrotik
atau partikel asing lainnya dalam jaringan. Monosit mempunyai masa edar
yang singkat yaitu 10 sampai 20 jam dalam darah, sebelum mengembara
melalui membrane kapiler ke dalam jaringan. Begitu masuk ke dalam
jaringan, sel-sel ini membengkak sampai ukurannya besar sekali dan
menjadi makrofag jaringan. Dalam bentuk ini, sel-sel tersebut dapat hidup
berbulan-bulan kecuali bila sel-sel itu dimusnahkan saat melakukan fungsi
fagositik (Guyton, 2008). Makrofag sangat berlimpah jumlahnya pada
dinding kapiler dari paru-paru, spleen (limpa), liver dan sumsum tulang
(Holland dan Gallin, 2008).
Sistem retikuloendotelial (RES) biasa digunakan untuk
menggambarkan sel yang berasal dari monosit yang tersebar diseluruh
tubuh dalam banyak organ dan jaringan. Sistem ini meliputi sel Kuffer
dalam hati, makrofag alveolar dalam paru, sel mesangeal dalam ginjal, sel
mikroglial dalam otak dan makrofag dalam sumsum tulang, limpa,
kelenjar getah bening, kulit dan permukaan serosal (Mehta dan Hoffbrand,
2006).
Limfosit merupakan komponen penting pada respon imun dan
berasal dari sel stem hemopoietik. Sel stem limfoid umum mengalami
32
diferensiasi dan proliferasi untuk menjadi sel B yang memperantarai
imunitas humoral atau imunitas yang diperantarai antibodi dan sel T
(diproses dalam timus) yang memperantarai imunitas selular. Limfosit
matur adalah sel mononuklear kecil dengan inti besar dan sitoplasma yang
sedikit berwarna biru. Sebagian besar limfosit darah perifer (70%) adalah
sel T yang mungkin memiliki lebih banyak sitoplasma dibandingkan sel B
dan dapat pula mengandung granul (Mehta dan Hoffbrand, 2006).
Mehta dan Hoffbrand (2006) juga mengemukakan bahwa maturasi
limfosit terjadi terutama dalam sumsum tulang untuk sel B dan dalam
timus untuk sel T, tetapi juga melibatkan kelenjar getah bening, hati, limpa
dan sebagian reticuloendothelial system (RES) lainnya. Antigen yang
diekspresikan pada permukaan suatu sel bereaksi dengan reagen antibodi
monoklonal. Limfosit memiliki masa hidup terlama diantara semua
leukosit dan beberapa (misalnya sel B ‘memori’) dapat hidup selama
beberapa tahun.
Limfosit memasuki sistem sirkulasi secara terus menerus, bersama
dengan aliran limfe dari nodus limfe dan jaringan limfoid lainnya. Setelah
beberapa jam, limfosit keluar dari darah menuju ke jaringan dengan cara
diapedesis dan selanjutnya memasuki limfe kemudian kembali ke darah
lagi dan demikian seterusnya. Sehingga terjadi sirkulasi limfosit yang terus
menerus di seluruh tubuh. Limfosit memiliki masa hidup berminggu-
minggu atau berbulan-bulan, masa hidup ini bergantung pada kebutuhan
tubuh akan sel-sel tersebut (Guyton, 2008).
33
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit, terutama penyakit
infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam
resistensi terhadap penyakit disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi
oleh sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut
respon imun. Pertahanan imun terdiri atas system imun
alamiah/nonspesifik (natural/innate/native) yang terdiri dari sawar
mekanis, fagosit, sel natural killer (NK), sistem komplemen dan sistem
imun didapat/spesifik (adaptif/acquired) yang merupakan sistem limfosit
(Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).
B. Kerangka Konsep
Gambar 6. Skema kerangka konsep penelitian
C. Hipotesis
Terdapat korelasi negatif antara peningkatan derajat kepositifan
TUBEX TF terhadap penurunan angka leukosit pada pasien demam tifoid.
Demam Tifoid
Pemeriksaan
TUBEX TF Angka Leukosit