bab ii fix
DESCRIPTION
pabrik high fructose syrup dari tepung tapiokaTRANSCRIPT
BAB II
SELEKSI DAN URAIAN PROSES
II.1 Tipe-tipe Proses
Untuk memperoleh proses pembuatan High Fructose Syrup (HFS) yang optimal
maka perlu dilakukan seleksi proses. Dengan demikian, diharapkan akan didapatkan proses
yang memenuhi syarat, baik dari segi teknis maupun ekonomis.
High Fructose Syrup (HFS) dapat dibuat dengan berbagai cara dari berbagai jenis
bahan baku, dengan kondisi operasi serta konversi yang berbeda. Pembuatan High
Fructose Syrup (HFS) dari bahan baku pati melalui dua tahap proses utama yaitu:
1. Proses perubahan starch menjadi glukosa melalui hidrolis, ada tiga macam yaitu:
Hidrolisis dengan asam
Hidrolisis dengan asam-enzim
Hidrolisis dengan enzim
2. Proses perubahan glukosa menjadi High Fructose Syrup (HFS).
Berdasarkan Ulmann’s (2007), diagram alir untuk produksi pemanis dari pati
adalah sebagai berikut :
Gambar II.1. Diagram alir untuk produksi pemanis dari pati
II-1
II.1.1 Hidrolisis dengan asam
Proses hidrolisis pati dengan menggunakan asam ditemukan pertama kali oleh
Kirchoff pada tahun 1811, tetapi produksi secara komersial terlaksana pada tahun 1850.
Gambar II.2. Flowsheet Hidrolisis Asam
Asam yang biasa digunakan untuk proses ini antara lain adalah asam sulfat, asam
klorida, dan asam fosfat. Dalam proses ini asam berfungsi sebagai katalis yang dapat
mempercepat terbentuknya produk. Reaksi yang terjadi pada hidrolisis pati dengan asam
adalah sebagai berikut :
(C6H10O5)n + n H2O n(C6H12O6)
Karbohidrat Air Glukosa
Pada proses konversi asam, slurry pati (biasanya mempunyai kandungan bahan
kering antara 30 – 40 % berat kering) diasamkan sampai pH 2 atau lebih rendah dengan
waktu, temperatur, dan tekanan tertentu. Temperatur yang lebih tinggi dan bertekanan akan
mengurangi waktu reaksi. Ketika konversi yang diinginkan sudah tercapai, temperatur dan
tekanan direduksi dan reaksi dihentikan dengan menambahkan neutralizing agent
(biasanya Sodium carbonate) untuk menaikkan pH menjadi 4 – 5,5. Komponen yang tidak
terlarut kemudian dihilangkan. Selanjutnya, Syrup dimurnikan dan dilakukan pemekatan
sesuai dengan konsentrasi yang diinginkan. Hidrolisis asam memutus rantai pati secara
acak yang memberikan komposisi Syrup glukosa dengan derajat hidrolisis tertentu. Syrup
glukosa dengan hidrolisis asam mempunyai DE (dextrose equivalent) dibawah ca.30 yang
II-2
cenderung berwarna gelap di bagian atas karena endapan polimer rantai linier terpanjang.
Selain itu terdapat kemungkinan untuk mencapai DE lebih besar dari ca.55, tetapi
dibutuhkan kondisi ekstrim sehingga dapat menaikkan degradasi glukosa terlalu banyak
yang sulit dihilangkan selama pemurnian, akibatnya produk berwarna kuning. Menurut
Lloyd dan Nelson (1984), Dextrose Equivalent (DE) adalah nilai yang menunjukkan total
gula pereduksi yang dihitung sebagai D-glukosa dalam berat kering. Besarnya DE
berbanding terbalik dengan derajat polimerisasi. Pati yang tidak terhidrolisis memiliki DE
nol, sedangkan DE dari D-glukosa anhidrous adalah 100. DE umumnya untuk menyatakan
tingkat kemanisan gula. Nilai DE yang paling umum pada hidrolisis dengan asam sekitar
40 – 45% karena keterbatasan konversi.
Keuntungan menggunakan hidrolisis asam antara lain adalah :
- Proses operasi singkat.
- Asam yang digunakan untuk hidrolisis mudah didapat dan tersedia di dalam negeri.
Kekurangan menggunakan hidrolisis asam antara lain adalah :
- Menghasilkan konversi yang cukup rendah (DE sekitar 40 – 45%)
- Diperlukan peralatan yang tahan korosi.
- Menghasilkan sakarida dengan spektra-spektra tertentu saja karena proses hidrolisis
secara acak.
- Dapat menyebabkan degradasi karbohidrat maupun kombinasi produk degradasi yang
mempengaruhi warna, rasa, dan masalah teknis lainnya.
II.1.2 Hidrolisis dengan asam-enzim
Hidrolisis dengan katalis gabungan ini diperkenalkan pertama kali oleh Langlois &
Dale pada tahun 1940. Dalam proses hidrolisis dengan katalis kombinasi ini, pada awalnya
dilakukan hidrolisis parsial dengan menggunakan enzim amilolitik
(Tjokroadikoesoemo,1986).
Hidrolisis dengan menggunakan asam (preliminary) dan enzim (secondary)
menyebabkan range nilai DE naik turun. Setelah hidrolisis dengan asam (preliminary),
temperatur diturunkan dan pH dinaikkan, disesuaikan dengan enzim yang akan digunakan,
biasanya pH antara 4 – 6 dan temperatur antara 600 – 700C. Jika ingin menghasilkan
kandungan glukosa yang tinggi, penting untuk mengendalikan tahapan hidrolisis asam
sehingga dihasilkan DE antara 10 – 20. DE yang lebih tinggi dapat menurunkan yield
glukosa selama hidrolisis dengan enzim (keberadaan asam menghambat konversi
enzimatik), sementara dengan DE lebih rendah dari 10 dapat menyebabkan starch
II-3
asam
asam
asam
enzim
enzim
retrogradation yang dapat menyebabkan permasalahan dalam proses penguraian. Jika
kandungan glukosa maksimum bukan merupakan tujuan, nilai DE yang lebih tinggi
biasanya dipilih dan Syrup dapat diuraikan dengan cepat setelah hidrolisis asam tanpa
menghilangkan komponen tidak terlarut selama konversi enzimatik. Jika komponen tidak
terlarut dihilangkan, hidrolisis asam tidak diperlukan karena hidrolisis asam dapat
dikonversi secara enzimatik secara kontinyu. Reaksi yang terjadi pada hidrolisis pati
dengan asam-enzim adalah sebagai berikut :
- Reaksi dengan asam (primary):
(C6H10O5)n + n H2O nC6H12O6
2(C6H10O5)n + n H2O nC12H22O11
3(C6H10O5)n + n H2O nC18H32O16
- Reaksi dengan enzim (secondary):
C12H22O11 + H2O C6H12O6
C18H32O16 + H2O C6H12O6
Gambar II.3. Flowsheet Hidrolisis Asam-Enzim
II-4
Keuntungan menggunakan hidrolisis asam-enzim antara lain adalah :
- Menghasilkan DE yang tinggi daripada hidrolisis dengan asam saja (sekitar 95%).
- Pemakaian enzim lebih sedikit.
Kekurangan menggunakan hidrolisis asam-enzim antara lain adalah :
- Penggunaan dua jenis katalis (asam dan enzim) yang berbeda menyebabkan pengaturan
kondisi operasi yang berbeda.
- Penyediaan bahan baku asam dan enzim dapat meningkatkan biaya produksi dan
peralatan produksi.
II.1.3 Hidrolisis dengan enzim
Penggunaan enzim dalam industri gula dari pati mulai dirintis sejak penemuan
enzim α-amilase dari Bacillus Subtilis oleh Fukumoto pada tahun 1940. Hidrolisis pati
dengan menggunakan enzim dilakukan dengan dua jenis enzim yaitu enzim α-amilase dan
gluokoamylase (amilglukosidase).
Gambar II.4. Flowsheet Hidrolisis Enzim
Enzim α-amilase digunakan pada proses likuifikasi, sedangkan enzim glukoamilase
digunakan pada proses sakarifikasi. Enzim α-amilase tahan pada suhu tinggi yang
dibutuhkan untuk proses gelatinasi pati secara sempurna. Enzim α-amilase yang tahan
terhadap suhu tinggi ditambahkan pada slurry pati disertai kalsium sebagai stabilizer
enzyme yang telah diatur pH nya (6 – 6,5). pH < 6,3 lebih dipilih untuk mencegah
II-5
glukoamylase
α-amilase
pembentukan maltosa yang tidak dapat dikonversi secara enzimatik menjadi glukosa,
dimana pembentukan maltosa akan mengurangi yield glukosa. Selain itu, telah
diperkenalkan kondisi operasi baru bahwa enzim α-amilase mampu melikuifikasi pati pada
pH 4,5 tanpa membutuhkan penambahan kalsium, hal tersebut mampu mengurangi biaya
bahan kimia dan pemurnian. Prosesnya adalah slurry dipanaskan, biasanya dengan injeksi
steam secara langsung pada 1030 – 1070C selama 5 – 10 menit untuk likuifikasi pati secara
sempurna, kemudian 1 – 2 jam pada 950C untuk meningkatkan nilai DE antara 10 – 15.
Temperatur dan pH diatur dan disesuaikan dengan enzim yang digunakan untuk secondary
conversion (proses sakarifikasi). Hidrolisis enzim-enzim dapat meningkatkan yield glukosa
dan menurunkan kebutuhan pemurnian. Kandungan glukosa maksimum selama proses
sakarifikasi juga ditentukan oleh kandungan solid pada slurry, dengan kandungan solid
30% wt biasanya glukosa yang dihasilkan adalah 96% db. Dengan menurunkan kandungan
solid 10 – 12 % wt akan meningkatkan glukosa yang didapat menjadi 98 – 99% wt db.
Reaksi yang terjadi pada hidrolisis pati dengan enzim - enzim adalah sebagai berikut :
(C6H10O5)n n(C6H10O5)x
n(C6H10O5)x x n C6H12O6
Kelebihan dari hidrolisis enzim-enzim adalah sebagai berikut :
- Menghasilkan konversi glukosa yang lebih besar yaitu 97%.
- Dapat mengurangi kerusakan produk yang timbul dari reverse reaction selama proses
konversi.
- Dapat mempertahankan rasa dan aroma bahan dasar.
- Tidak menyebabkan korosi pada peralatan.
- Biaya energi untuk konversi lebih rendah.
- Menghasilkan yield 20% lebih tinggi daripada yang dihasilkan dengan hidrolisis asam-
enzim.
- Mengurangi discoloration.
- Mengurangi biaya purifikasi Syrup.
Kekurangan hidrolisis enzim-enzim adalah sebagai berikut :
- Membutuhkan kondisi operasi yang berbeda untuk setiap enzim.
- Kebutuhan enzim banyak.
- Kebutuhan enzim dipenuhi dengan impor enzim yang dibutuhkan
.
II-6
II.2 Pemilihan Proses
Berdasarkan beberapa macam proses hidrolisis pati yang telah diuraikan diatas,
masing – masing proses hidrolisis mempunyai kelebihan dan kekurangan, berikut
merupakan perbandingan dari beberapa macam proses hidrolisis :
Tabel II.1. Perbandingan beberapa proses hidrolisis pati
No UraianMetode Hidrolisis
Asam Asam - Enzim Enzim
1.
2.
3.
Kondisi Operasi :
- Tekanan (kg/ cm2)
- Suhu (0C)
- pH
Proses :
- DE (%)
- Daya korosi
Aspek ekonomi :
- Kebutuhan asam
- Biaya peralatan
- Energi
- Investasi
3
140 - 160
2,3
30 – 55
Tinggi
Banyak
Mahal
Besar
Tinggi
1 – 3
60 – 140
1,8 – 2
63 – 80
Tinggi
Banyak
Mahal
Besar
Tinggi
1
60 – 105
4,5 – 6
95 – 98
Rendah
Sedikit
Murah
Kecil
Rendah
Sumber : Tjokroadikoesoemo (1986)
Setelah mencermati kelebihan dan kekurangan proses hidrolisis pati di atas, maka
dipilih proses hidrolisis dengan menggunakan enzim dengan pertimbangan – pertimbangan
sebagai berikut :
- Konversi glukosa tinggi, yaitu 97%.
- Nilai DE tinggi, yaitu antara 95 – 98%.
- Kondisi operasi pada suhu dan tekanan yang rendah sehingga membutuhkan energi
yang lebih sedikit.
- Tidak terjadi reaksi samping.
- Kemungkinan korosi kecil.
- Dapat mempertahankan rasa dan aroma bahan dasar.
II-7
II.3 Potensi dan Spesifikasi Bahan Baku
II.3.1. Tepung tapioka
Tepung singkong dibagi menjadi dua jenis, yaitu tepung murni dan tepung
modifikasi. Produksi tepung murni relatif sederhana, dapat dilakukan pada berbagai skala,
seperti di skala rumah tangga yang banyak dijumpai di beberapa desa di Vietnam bagian
utara, Kamboja, dan di Pulau Jawa Indonesia. Sedangkan skala besarnya bisa dijumpai di
Thailand, Vietnam bagian selatan dan di Provinsi Lampung. (Howeler, 2002)
Gambar II.5. Tepung tapioka
Di provinsi Lampung terdapat produsen tepung tapioka terbesar di Indonesia
dengan menguasai sekitar 20 persen pangsa pasar. Di daerah ini sangat berpotensi dalam
pengembangan industri tepung tapioka, saat ini sudah tersedia sehingga perlu diadakan
ekspansi kapasitas. Produksi singkong nasional mengalami peningkatan dari tahun ke
tahun. Dari grafik di bawah ini dapat dilihat produksi singkong pada tahun 2011 mencapai
24,08 juta ton.
Gambar II.6. Grafik perkembangan produksi singkong Indonesia, tahun 2007-2011
II-8
Berikut ini merupakan kandungan tepung tapioka yaitu :
Tabel II.2. Kandungan Tepung Tapioka
Komponen Komposisi
Karbohidrat (pati) 87.87%
Air 7.80%
Protein 1.60%
Lemak 0.51%
Abu 2.22%
Total 100.00%
(Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. 2003 )
II.3.2. Pati
Pati dapat dipisahkan menjadi dua fraksi utama berdasarkan kelarutan bila dibubur
(triturasi) dengan air panas, sekitar 20% pati adalah amilosa (larut) dan 80% ialah
amilopektin (tidak larut).
Hidrolisis lengkap amilosa hanya menghasilkam D-glukosa, hidrolisis parsial
menghasilkan maltosa sebagai satu – satunya disakarida. Disimpulkan bahwa amilosa
adalah polimer linear dari α-D-glukosa yang dihubungkan secara-1,4’. Beda antara amilosa
dan selulosa adalah ikatan glikosidanya, β dalam selulosa dan α dalam amilosa. Perbedaan
ini menyebabkan perbedaan sifat antara kedua polisakarida ini.
Gambar II.7. Amilosa
Terdapat 250 satuan glukosa atau lebih per molekul amilosa, banyaknya satuan
bergantung spesi hewan atau tumbuhan itu. Molekul amilosa .membentuk spiral di sekitar
molekul I2 yang menyebabkan timbulnya warna biru tua karena interaksi keduanya. Warna
ini merupakan dasar uji iod pati, dimana suatu larutan iod ditambahkan ke sampel yang
tidak diketahhui untuk menguji adanya kandungan pati di dalamnya.
Amilopektin, suatu polisakarida yang jauh lebih besar daripada amilosa,
mengandung 1000 satuan glukosa atau lebih per molekul. Seperti rantai dalam amilosa,
II-9
rantai utama amilopektin mengandung 1,4’-α-D-glukosa. Tidak seperti amilosa,
amilopektin bercabang sehingga terdapat satu glukosa ujung untuk kira – kira tiap 25
satuan glukosa. Ikatan pada titik percabangan ialah ikatan 1,6’-α-glikosida.
Gambar II.8. Amilopektin
Hidrolisis lengkap amilopektin hanya menghasilkan D-glukosa. Namun hidrolisis
parsial menghasilkan campuran disakarida maltosa dan isomaltosa, yang kedua ini berasal
dari percabangan-1,6’. Campuran oligosakarida yang diperolah dari hidrolisis parsial
amilopektin, yang biasa dirujuk sebagai dekstrin.
Amilopektin dekstrin maltosa + isomaltosa D-glukosa
(Fessenden)
II.3.3. Dekstrin
Dekstrin adalah karbohidrat yang dibentuk selama hidrolisis pati menjadi gula oleh
panas, asam dan atau enzim. Dekstrin dan pati memiliki rumus umum yang sama , –
[Cx(H2O)y)]n - (y = x – 1), yang mana unit glukosa bersatu dengan yang lainnya
membentuk rantai (polisakarida) tetapi dekstrin memiliki ukuran lebih kecil dan kurang
kompleks dibandingkan pati.
Sifat Fisik :
Rumus molekul : (C6H10O5)10
Berat molekul : 1621,41 g/mol
Penampakan : Bubuk berwarna putih atau kuning
pH : 5-6 (Perry, 1999)
II-10
H2O H2O H2O
II.3.4. Glukosa
Glukosa, suatu gula monosakarida, adalah salah satu karbohidrat terpenting yang
digunakan sebagai sumber tenaga bagi hewan dan tumbuhan. Glukosa merupakan salah
satu hasil utama fotosintesis dan awal bagi respirasi. Bentuk alami (D-glukosa) disebut
juga dekstrosa, terutama pada industri pangan.
Sifat Fisik :
Rumus molekul : C6H12O6
Berat molekul : 180,156 g/ mol
Specific gravity : 1,56 g/ cm3
Titik lebur : 140-150 oC
Titik didih : 146 oC
Sifat kimia :
Larut dalam air
Larut dalam etanol dan metanol
Berasa manis
Berfungsi sebagai sumber energi
Sifat – sifat Kimia dan Fisika Bahan Penunjang :
II.3.5. Asam klorida (HCl)
Sifat Fisik
Berat molekul : 36,470 g/ mol
Density : 1,126 g/cm3
Specific gravity : 1,1 – 1,9
Boiling point : 110oC (larutan 20,2%), 48oC (larutan 38%)
Melting point : -27,32oC (larutan 38%)
Sifat Kimia
Larut dalam air dan dietil eter
Sangat korosif
Cairan tidak berwarna hingga kuning pucat
II.3.6. Kalsium klorida (CaCl2)
Sifat Fisik
Berat molekul : 11,04 g/mol
II-11
Densitas : 2,15 g/ml
Titik didih : 1670oC
Titik lebur : 772oC
Sifat Kimia
Berbentuk putih solid
Bersifat higroskopis.
Larut dalam asam asetat, etanol, dan aseton.
II.3.7. Magnesium sulfat anhidrat (MgSO4.7H2O)
Sifat Fisik
Berat molekul : 120,38 g/mol
Densitas : 2,65 g/ml (4oC)
pH : netral pada larutan aqueous atau sedikit asam
Titik lebur : 1124 oC (2055 oF)
Sifat Kimia
Berbentuk solid, kristal transparan atau bubuk putih.
Mudah larut dalam air dingin.
Tidak berbau
II.3.8. Natrium hidroksida (NaOH)
Sifat Fisik
Berat molekul : 40 g/mol
Titik didih : 1388oC (2530oF)
Titik lebur : 318 oC (604 oF)
Spesific gravity : 2,13 g/cm3
Kelarutan dalam air : 1111 g/L, sekitar 54% (20 oC)
pH : 14 (dalam 5% larutan aqueous)
Sifat Kimia
Berbentuk putih solid
Bersifat hidroskopis
Larut dalam air dan gliserol
Tidak berbau
II.3.9. Karbon Aktif
II-12
Sifat Fisik
Melting point : 3500 oC
Specific gravity : 3,51
Berat molekul : 12,01 g/mol
Berat jenis : 0,2 – 0,6 g/cc
Sifat Kimia
Tidak mudah larut dalam air
Padatan berwarna hitam
II.3.10. Enzim
Enzim adalah kompleks protein yang terdiri atas rantai peptida dan mampu secara
efisien mengkatalis reaksi biokimia yang secara kolektif membentuk metabolisme
perantara. Kata enzim berasal dari istilah Yunani yang berarti harfiahnya ”di dalam sel”
disamping kata enzim dikenal pula kata fermen yang berarti ragi atau cairan dalam.
a. Enzim α-amilase
Amilase adalah jenis enzim yang mengkatalisis hidrolisis pati. Amilase
diklasifikasikan menjadi endoamilase dan eksoamilase. Enzim α-amilase (EC. 3.2.1.1) atau
α-1,4 glukan glukanohidrolase termasuk endoamilase (Gerhartz, 1990).
α-amilase mengkatalisis pemutusan atau hidrolisis ikatan α-D(1,4) glikosidik di
bagan dalam amilosa dan amilopektin secara acak. merupakan enzim amilase endospliting
yang memutuskan ikatan glikosidik pada bagian dalam rantai pati secara acak. Hidrolisis
ini menghasilkan larutan dengan viskositas dan berat molekul yang lebih rendah. Produk
hasil hidrolisis ini mempunyai konfigurasi α pada ujung glukosa pereduksi (Cheetham,
1985).
Hidrolisis amilosa oleh α-amilase terjadi dalam dua tahap. Tahap pertama adalah
degradasi amilosa menjadi maltosa dan maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini
terjadi secara cepat yang ditandai dengan penurunan viskositas yang cepat pula. Degradasi
tahap kedua bersifat lebih lambat dan tidak acak dengan hasil akhir berupa glukosa dan
maltosa (Norman, 1980).
Menurut Gerhartz (1990), pH optimal, stabilitas terhadap panas, dan spesifikasi
enzim α-amilase bervariasi menurut tipe dan sumber enzim. Enzim α-amilase dapat
diperoleh dari beberapa jenis bakteri dan kapang. α-amilase bakterial lebih tahan terhadap
panas dibanding α-amilase kapang.
II-13
α-amilase bakterial terbagi menjadi amilase standar dan amilase tahan panas. α-
amilase standar dihasilkan oleh Bacillus subtilis atau Bacillus amyloliquefaciens. Enzim ini
memiliki aktivitas optimum pada suhu 75-85oC (Gerhartz, 1990). Menurut Berghmans dan
Aschengreen (1981), α-amilase dari Bacillus subtilis memerlukan 100-150 ppm ion
kalsium sebagai penstabil, aktivitas optimum dicapai pada pH sekitar 6,5 dan suhu 72 oC.
Sedangkan menurut Cheetham (1985), α-amilase dari Bacillus subtilis mengandung satu
ion kalsium yang terikat kuat pada setiap molekulnya. Di dalam Muchtadi, dkk. (1992),
disebutkan bahwa adanya kalsium yang berikatan dengan molekul-molekul enzim
membuat α-amilase relatif tahan terhadap suhu, pH, dan perlakuan dengan urea atau
enzim-enzim protease. Sedangkan menurut Gerhartz (1990), beberapa jenis α-amilase juga
diaktifkan oleh Sodium klorida.
Menurut Whitaker (1972) yang dikutip oleh Muchtadi, dkk.(1992), kalsium tidak
berperan langsung dalam pembentukan kompleks antara enzim dan substrat, tetapi
berperan dalam pembentukan konformasi yang optimum untuk aktivitas dan stabilitas
maksimum.
Hasil hidrolisis pati dan glikogen oleh α-amilase adalah oligosakarida
(maltodekstrin), maltosa, dan sejumlah kecil glukosa yang mempunyai konfigurasi gula α,
seperti substrat awal.
Enzim α-amilase dari Bacillus licheniformis :
Nama : Optitherm-L 420 [SOEG] atau Taka-Therm [SOE]
Fase : cair
Berat molekul : 28.000 dalton
Energi aktivasi : 5,1 x 105 J/mol
Kofaktor : Na+, Ca2+, Mg2+ aktif
Aktivitas : pada konsentrasi 30-40% slurry pati, temperatur reaksi hingga
110oC
Inhibitor : NO3-, F-, S2O3
2-, MoO4-
Inaktivasi : pH 3,5-4,0 dan inkubasi selama 5-30 menit pada 90oC
Lama operasi : 2-3 jam
pH operasi : 6,3 - 6,5
Dosis : 0,5 – 0,8 liter/ton pati (Uhlig, 1998)
b. Enzim Glukoamilase
Glukoamilase (EC.3.2.1.3), amiloglukosidase (AMG), τ-amilase atau α-1,4-D-
glukan glukohidrolase merupakan eksozim yang dapat menghasilkan β-D-glukosa dari
II-14
rantai terminal non pereduksi pada amilosa, amilopektin, dan glikogen dengan cara
menghidrolisis ikatan α-1,4 glikosidik secara berurutan (Fogarty, 1983).
Sumber enzim glukoamilase berasal dari mikroba-mikroba Aspergillus niger,
Aspergillus oryzae, Aspergillus awamori, Aspergillus saitoi, Rhizopus delemar,
Chepalosporium carticolalindau, Lipomyces kononenkoae, Mucor rouxianus, dan
Penicillium oxalium (Fogarty, 1983). Menurut Aunstrup (1979), glukoamilase yang telah
diproduksi secara komersial adalah yang berasal dari genus Aspergillus, Rhizopus, dan
Endomyces. Enzim dari Rhizopus sp. dan Endomyces sp. kurang stabil terhadap panas
dibandingkan dengan enzim dari Aspergillus sp.
Suhu optimum glukoamilase dari Aspergillus adalah 60oC, sedangkan yang berasal
dari Rhizopus dan Endomyces 55oC. Perbedaan ini penting karena selama proses sulit
untuk mencegah kontaminasi mikroba pada suhu di bawah 60oC sehingga enzim dari
Aspergillus sp. lebih disukai (Aunstrup, 1979).
Enzim glukoamilase bersifat eksoamilase, yaitu dapat memutus rantai pati menjadi
molekul-molekul glukosa pada bagian tak mereduksi dari molekul tersebut, baik ikatan
glikosida α-1,4 maupun α-1,6. Menurut Gerhartz (1990), glukoamilase juga sering
digunakan bersama dengan pullulanase karena pullulanase dapat menghidrolisis ikatan α-
1,6 glikosidik lebih cepat dan tingkat konversinya lebih tinggi bila substrat yang digunakan
lebih padat. Pullunase dihasilkan oleh Aerobacter aerogenes, tetapi pemanfaatannya secara
komersial masih terbatas karena kurang ekonomis.
Berikut ini adalah sifat fisik enzim glukoamilase dari Aspergillus niger:
Nama : Optidex-L 300 [SOEG] atau Diazyme-L [SOE]
Fase : cair
Dosis : 0,6 – 0,7 liter/ton pati
Densitas : 1,25 gr/ml
Suhu optimal : 60 oC
Lama operasi : 48 - 72 jam
pH optimum : 4,0 (Uhlig, 1998)
c. Enzim Glukoisomerase
Glukosa Isomerase (EC.5.3.1.18) atau D-glukosa ketol isomerase diisolasi dari
berbagai jenis mikroba seperti Pseudomonas hydrophila, Aerobacter oloacae, Aerobacter
aerogenes, Lactobacillus sp., Bacillus sp., Arthtobacter sp., Streptomyces sp., dan
Actinoplanes missouriensis. Spesies yang paling banyak dipelajari sehubungan dengan
kemampuannya menghasilkan glukosa isomerase adalah Streptomyces sp. (Bucke, 1990).
II-15
Glukosa isomerase merupakan enzim dari golongan aldosa-ketosa isomerase yang
mengkatalisis interkonversi isomer-isomer gula aldosa dan ketosa, diantaranya konversi
glukosa (gula aldosa) menjadi fruktosa (gula ketosa). Menurut MacAllister et al.(1975),
mekanisme reaksi konversi glukosa menjadi fruktosa yang dikatalisis glukosa isomerase
berkaitan dengan keikutsertaan ion logam pada sisi aktif enzim yang berikatan dengan
substrat. Ion logam ini membentuk suatu jembatan logam dengan mengikat satu atau dua
atom oksigen dari C-1 substrat yang mengakibatkan lepasnya proton pada C-2 oleh gugus
basa enzim. Hal ini menyebabkan hilangnya cincin oksigen dan terjadi pembentukan
senyawa antara enediol. Setelah terjadi pemindahan proton pada atom C-1, ketofuranase
yang terbentuk dilepaskan oleh enzim.
Reaksi isomerisasi oleh enzim glukosa isomerase dapat distimulasi dengan adanya
ion-ion bivalen seperti Mn2+, Mg2+, dan Co2+, tetapi dihambat oleh Cu2+, Hg2+, Zn2+, dan
Ca2+ (MacAllister, 1980).
Produktivitas glukosa isomerase dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu ; (1) suhu
yang mempengaruhi aktivitas, stabilitas, dan pembentukan warna (2) pH, juga
mempengaruhi aktivitas, stabilitas, dan pembentukan warna (3) waktu kontak, sebaiknya
diatur seminimal mungkin untuk mencegah pembentukan hasil samping (4) aktivator
berupa ion-ion logam (5) inhibitor yang berhubungan dengan kemurnian larutan glukosa
(6) konsentrasi larutan pada saat pemasukan diusahakan semaksimal mungkin agar
produktivitas enzim optimum (Tjokroadikoesoemo, 1986).
Glukosa isomerase bersifat spesifik bagi glukosa dan tidak dapat mengisomerisasi
molekul-molekul yang lebih besar seperti maltosa (Bucke, 1979).
Kesetimbangan reaksi konversi glukosa menjadi fruktosa tercapai pada konsentrasi
fruktosa sekitar 55% (Bucke, 1979). Menurut Lloyd dan Nelson (1984), kesetimbangan ini
hanya dipengaruhi oleh suhu. Semakin tinggi suhu, semakin tinggi tingkat kesetimbangan.
Menurut Bucke (1979), semakin mendekati kesetimbangan, reaksi berjalan makin lambat.
Dalam proses komersial, isomerisasi dihentikan ketika konsentrasi fruktosa mencapai 42%.
Bila melewati batas tersebut, proses yang berjalan sudah tidak ekonomis lagi.
Glukosa isomerase yang digunakan umumnya berbentuk imobil. Keuntungannya
adalah lebih mudah dipisahkan dari Syrup hasil isomerase dan dapat digunakan kembali
dalam proses batch maupun kontinyu, mudah dikontrol, tidak ada enzim yang tersisa dalam
produk akhir, meningkatkan stabilitas enzim terhadap panas, dan tidak memerlukan
pemurnian enzim (Van Tilburg, 1985).
II-16
Enzim terimobilisasi didefinisikan sebagai enzim yang secara spesifik ditempatkan
dalam suatu ruang tertentu dengan tetap memiliki aktivitas katalitiknya dan dapat
digunakan secara berulang atau secara terus-menerus
Imobilisasi enzim adalah usaha untuk memisahkan antara enzim dengan produk
selama reaksi dengan menggunakan sistem dua fase, satu fase mengandung enzim dan fase
lainnya mengandung produk, sehingga tidak terjadi saling kontaminasi antara enzim dan
produk (Wibisono, 2010).
Enzim glukoisomerase :
Nama : Sweetzyme (Bacillus coagulans),
Bentuk : granular
Suhu optimal : 60 – 65 oC
Lama operasi : 15 menit
pH optimal : 8,0 – 8,5
Dosis : 1 g/kg glukosa
Densitas : 0,33 kg/L
Aktivator : ion Mg2+ ( MgSO4.7H2O )
Inhibitor : ion Ca2+
Stabilisator : Co2+, SO3- (Uhlig, 1998)
II.4 Target Produk
High Frustoce Syrup (HFS) berbeda dengan pure fructose. Pure
fructose mengandung 100% fruktosa, sedangkan HFS mengandung
fruktosa dan glukosa dengan perbandingan tertentu. Menurut
Tjokroadikoesoemo (1986), komposisi umum dari HFS-42 adalah 53%
glukosa, 42% fruktosa, dan 5% polisakarida lain. Produk yang dihasilkan dari
unit produksi ini HFS-42 adalah dengan spesifikasi sebagai berikut :
- Sifat Fisika :
Rumus Molekul : C6H12O6
Berat Molekul : 180,16 g/mol
Melting Point : 103 OC (217,4 OF)
Spesific Grafity : 1,669 g/cm3 (Perry)
- Sifat Kimia :
pH : 4,5
II-17
Viskositas : 150 cps ( pada 27oC )
Densitas : 1,36128 – 1,36742
Larut dalam air
Berbentuk cairan kental jernih
Tabel II.3. Syarat mutu sirup fruktosa (HFS)
No. Kriteria uji SatuanPersyaratan
HFS-42
1 Keadaan:
1.1 Bau - Tidak berbau
1.2 Rasa Manis
1.3 Warna RBU Maks. 35
2
Kekeruhan (nilai
absorbansi pada 720 mm
dari larutan 54 Brix)
Maks.
0,02Maks. 0,02
3 Jumlah padatan, % b/b - 70,5 – 71,5
4 Abu sulfat, % b/b - Maks. 0,05
5 Fruktosa, % (adabk) - Min. 42
6 Dekstrosa, % (adabk) - 50 – 53
7Belerang dioksida (SO2),
mg/kg- Maks. 20
8 pH (tanpa pengenceran) - 3,5 – 4,5
9 Cemaran logam :
9.1 Timbal (Pb), mg/kg - Maks. 0,5
9.2 Tembaga (Cu), mg/kg - Maks. 2,0
10 Arsen (As), mg/kg - Maks. 1,0
11 Cemaran mikroba :
11.1 Angka lempeng total Koloni/g Maks. 5,0 x 102
11.2 Coliform APM/g Maks. 20
11.3 E. coli APM/g < 3
11.4 Kapang Koloni/g Maks. 50
11.5 Khamir Koloni.g Maks. 50
( SNI 01-2985-1992)
II-18
II.5 Kapasitas
Pada pendirian pabrik, analisis pasar untuk penentuan kapasitas pabrik sangat
penting. Apabila kapasitas telah ditentukan maka dapat ditentukan pula volume reaktor,
perhitungan neraca massa, neraca panas, dan lain-lain. Untuk menetukan kapasitas pabrik
diperlukan data-data produksi dan pemakaian bahan, yang bisa diperoleh dari data Biro
Pusat Statistik (BPS).
Pabrik High Fructose Syrup (HFS) direncanakan akan mulai beroperasi pada tahun
2016 dengan mengacu pada pemenuhan kebutuhan impor. Dengan analogi dari persamaan
untuk menghitung bunga, maka perkiraan volume produksi, ekspor dan impor HFS (dalam
ton) pada tahun 2016 dapat dihitung. Berikut persamaan yang digunakan:
F = F0(1+i)n ……………………(1)
Dimana :
F = Perkiraan kebutuhan HFS pada tahun 2016
Fo = Kebutuhan HFS pada tahun terakhir
i = Perkembangan rata-rata
n = Selisih waktu (Peter&Timmerhauss, 2003)
Berikut ini adalah data impor, ekspor, ekonomi dan produksi HFS untuk tahun
2007 – 2011 :
Tabel II.4. Produksi HFS Indonesia tahun 2007-2011
TAHUN BERAT (ton) PERTUMBUHAN
2007 56,367 0
2008 72,577 0,288
2009 275,777 2,799
2010 2055,700 6,454
2011 8678,656 3,222
Perkembangan rata – rata 2,553
Perkembangan (%) 0,02553
Tabel II.5. Perkembangan ekspor HFS Indonesia tahun 2007-2011
TAHUN BERAT (ton) PERTUMBUHAN
2007 1,392 0
2008 161,084 114,911
2009 213,551 0,324
2010 113,711 0,468
II-19
2011 131,755 0,159
Perkembangan rata – rata 28,731
Perkembangan (%) 0,287
Tabel II.6. Perkembangan Impor HFS Indonesia tahun 2007-2011
TAHUN BERAT (ton) PERTUMBUHAN
2007 23,359 0
2008 81,616 2,494
2009 501,625 5,146
2010 8507,400 15,959
2011 13936,001 0,638
Perkembangan rata – rata 6,059
Perkembangan (%) 0,06059
Tabel II.7. Perkembangan Konsumsi HFS Indonesia tahun 2007-2011
TAHUN BERAT (ton) PERTUMBUHAN
2007 27,830 0
2008 123,885 3,451
2009 5698,056 44,995
2010 20218,984 2,548
2011 41848,234 1,069
Perkembangan rata - rata 10,413
Perkembangan (%) 0,10413
(Sumber : Kementerian Perindustrian 2012)
Hasil perhitungan proyeksi produksi, ekspor, impor, dam konsumsi HFS Indonesia
tahun 2016 dengan menggunakan persamaan di atas adalah sebagai berikut :
Tabel II.8. Proyeksi produksi, konsumsi, ekspor dan impor HFS tahun 2016
PROYEKSI BERAT (ton)
Produksi 9844,354
Konsumsi 68671,360
Ekspor 465,789
II-20
Impor 18701,898
Dari keterangan di atas dapat diperoleh kebutuhan HFS yang belum terpenuhi pada
tahun 2016 sebesar :
Kebutuhan HFS (2016) = [F(konsumsi) + F(ekspor)] – [F(produksi + (F(impor)] (2016)
= [68671,360 + 465,789] – [9844,354 + 18701,898]
= 40590,901 ton
Pabrik yang akan berdiri direncanakan akan mendominasi 60% dari total kebutuhan
HFS Indonesia yang belum terpenuhi maka kapasitas produksi menjadi
Kapasitas Pabrik = (60%) x 40590,901 ton = 24354,541 ton
Dibulatkan menjadi 25.000 ton, dimana pabrik akan beroperasi selama 24 jam sehari, 330
hari per tahun.
II.6 Basis Perhitungan
Untuk menentukan perhitungan neraca massa maka dibutuhkan basis perhitungan.
Basis perhitungan pada pabrik HFS ini adalah sebagai berikut :
Basis perhitungan : 1 hari operasi
Waktu operasi : 330 hari/tahun
Suhu referensi : 250C = 298 K
Satuan operasi : kg/hari dan kJ
II-21
Impor tahun 2016
Ekspor tahun 2016
Produksi pada tahun 2016
Konsumsi pada tahun 2016INDONESIA
II.7 Basis Desain Data
II.7.1. Penentuan Lokasi Pabrik
Ada beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan dalam menentukan lokasi pabrik
agar pabrik yang kita rancang dapat mendatangkan keuntungan yang besar, antara lain :
penyediaan bahan baku, pemasaran produk, fasilitas transportasi, dan tenaga kerja.
Alasan pemilihan lokasi untuk lokasi pendirian pabrik HFS yang sesuai dengan
studi kelayakan antara lain :
a. dekat dengan bahan baku.
b. ketersediaan sumber air,
c. dekat dengan konsumen
d. dekat dengan pelabuhan.
Pemilihan lokasi suatu pabrik merupakan salah satu hal yang harus diperhatikan.
Oleh karena itu, pabrik HFS ini direncanakan dibangun di Provinsi Lampung. Berikut
adalah peta pulau Sumatera yang menunjukkan Provinsi Lampung terletak paling selatan
dari pulau Sumatera.
Gambar II.9. Lokasi Pendirian Pabrik HFS
Pemilihan lokasi pabrik HFS ini sendiri melalui pertimbangan-pertimbangan
sebagai berikut :
1. Ketersediaan bahan baku
Di provinsi Lampung terdapat perusahaan agribisnis yaitu Sungai Budi Group.
Perusahaan ini mendirikan anak usaha yang bernama PT Budi Acid Jaya, Tbk (BUDI)
dan difokuskan sebagai perusahaan penghasil produk berbasis tepung tapioka. BUDI
II-22
sendiri adalah produsen tepung tapioka terbesar di Indonesia dengan menguasai sekitar
20 persen pangsa pasar.
2. Sarana transportasi
Sarana dan prasarana transportasi sangat diperlukan untuk proses proses
penyaluran bahan baku dan pendistribusian produk. Dengan adanya fasilitas jalan raya
dan pelabuhan Bakauheni di Lampung, maka pemilihan lokasi untuk pabrik HFS ini
sudah tepat.
3. Tenaga kerja
Tersedianya tenaga kerja yang terampil juga diperlukan untuk menjalankan
mesin-mesin produksi. Tenaga kerja dapat direkrut dari daerah Lampung dan
sekitarnya di pulau Sumatera atau juga dapat dari pulau Jawa.
4. Penyediaan utilitas
Sarana-sarana pendukung seperti tersedianya air, listrik, dan sarana lainnya juga
harus diperhatikan agar proses produksi dapat berjalan dengan baik. Di Lampung
terdapat banyak sungai dan yang terbesar adalah sungai Way Sekampung yang bisa
digunakan sebagai sumber air dan untuk penyediaan listrik dapat dilakukan dengan
sistem turbin dengan steam boiler atau dengan mensuplai dari PLN setempat.
II.7.2. Kondisi Alam Lokasi Pabrik
Pabrik ini direncanakan dibangun di Lampung, dengan kondisi alam sebagai berikut :
Kelembaban : 59-63 %
Suhu : 23 - 320C
Curah Hujan : Ringan
Gempa : -
Angin : 21 km/jam
Arah Angin : Selatan
(http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Meteorologi/Prakiraan_Cuaca_Propinsi.bmkg?prop=16)
II.8 Uraian Proses
Proses pembuatan High Fructose Syrup (HFS) dari tepung tapioka terdiri dari
beberapa tahapan proses, diantaranya adalah :
1. Tahap pembentukan Syrup glukosa
2. Tahap isomerasi Syrup glukosa menjadi Syrup fruktosa
3. Tahap penyelesaian
II-23
Berikut ini adalah uraian proses secara rinci menurut tiap tahapan prosesnya :
III.7.1 Tahap Pembentukan Syrup Glukosa
Tahap pembentukan Syrup glukosa terdiri atas persiapan bahan baku, tahap
pencampuran, likuifikasi, sakarifikasi, filtrasi, pemurnian dan pemekatan.
Persiapan Bahan Baku
Bahan baku yang digunakan untuk pebuatan High Fructose Syrup (HFS) adalah
tepung tapioka yang disimpan pada tangki penampung (F-111), kemudian diangkut dengan
menggunakan bucket elevator (J-112) menuju tangki pengencer (M-110).
Tahap Pencampuran
Pencampuran larutan pati dengan air pada tangki pengencer hingga 30 – 35 % berat
pati. Selanjutnya larutan pati encer tersebut dialirkan ke tangki pencampur I (M-122). Di
tangki pencampur I ini terjadi penambahan enzim α-amylase dan cofactor Ca2+ (CaCl2).
Penambahan enzim α-amylase yaitu antara 0,5 – 0,8 liter per metric ton pati. Penambahan
cofactor Ca2+ (CaCl2) yang berfungsi untuk meningkatkan toleransi range suhu enzim α-
amylase. Kadar maksimum Ca2+ akan optimum pada 400 ppm Ca2+ untuk Optiamyl
[SOEG] atau Tenase [SOE], dan kadar maksimum 100 ppm Ca2+ untuk Optitherm [SOEG]
atau Taka-Therm [SOE]. Pada proses ini dipilih enzim untuk likuifikasi yaitu Optitherm-L
420 yang berasal dari Bacillus licheniformis diproduksi oleh Solvay Enzymes GmbH & Co
(SO). Jika kondisi operasi tidak optimal, maka akan menimbulkan kesadahan pada air
proses.
Bubur pati yang terlebih dahulu mendapat perlakuan pendahuluan di dalam tangki
pencampur (mixing tank) dipompa melalui jet cooker menuju ke holding tank dan
selanjutnya diteruskan ke tangki reaktor likuifikasi. Ke dalam jet cooker juga diinjeksikan
uap baru (life steam) sehingga suspensi pati yang mengalir melewatinya teraduk-aduk oleh
aliran turbulen dan dengan cepat dipanaskan sampai 105-107oC (Uhlig, 1998).
Proses gelatinasi dengan menggunakan jet cooker (E-126) (steam injection system)
pada suhu 1050C yang bertujuan untuk memecah dan melarutkan pati dengan pemanasan
secara kontinu selama 5 – 10 menit. Untuk proses gelatinasi dengan waktu yang lebih
singkat (beberapa detik) adalah dengan menggunakan suhu steam yang lebih tinggi yaitu
1200 – 1300C. Tetapi penggunaan suhu yang lebih tinggi tidak dipilih karena jika
menggunakan kondisi operasi tersebut penambahan enzim dilakukan dua kali, yaitu pada
proses pencampuran dan pada saat didinginkan atau pada tangki likuifikasi. Pendinginan
II-24
dengan menggunakan cooler (E-127) hingga suhu 950C kemudian dialirkan ke tangki
likuifikasi (R-120) untuk mengalami proses hidrolisis.
Likuifikasi
Merupakan tahapan I dari proses hidrolisis pati yang memutus rantai panjang
polisakarida pada tepung tapioka menjadi rantai yang lebih pendek yaitu dekstrin
(oligosakarida) dengan bantuan enzim α-amylase. Dekstrin terdiri atas campuran
oligosakarida yaitu monosakarida, disakarida, dan trisakarida. Proses ini terjadi di reaktor
likuifikasi dengan kondisi operasi pada pH 6 – 6,5 dan suhu operasi pada 900 – 950C
selama 2 – 3 jam. Konversi selesai ditentukan dengan pengukuran DE biasanya 15 – 16.
Setelah itu didinginkan pada cooler (E-132) hingga suhu 600C sebelum masuk ke reaktor
sakarifikasi (R-130).
Sakarifikasi
Merupakan tahap II proses hidrolisis pati yang mengubah dekstrin menjadi glukosa
dengan bantuan enzim glukoamilase. Tahapan proses sakarifikasi adalah sebagai berikut :
- Menambahkan larutan HCl untuk menurunkan pH antara 4 – 4,5 (kondisi optimum
glukoamilase) dan menambahkan enzim glukoamilase pada tangki pencampur II (M-133).
Berdasarkan Optidex-L 300 atau Diazyme L penambahan enzim glukoamylase 0,6 – 0,7 liter
per metric ton berat kering pati.
- Membiarkan selama 48 – 72 jam agar terjadi proses sakarifikasi dalam reaktor sakarifikasi (R-
130). Nilai DE optimal dari proses sakarifikasi adalah 97 – 98. Produk dari hidrolisis tahap II
ini adalah 96% glukosa, 2 – 3% disakarida (maltosa dan isomaltosa) dan 1 - 2% gula yang
lebih tinggi (Uhlig, 1998).
Proses sakarifikasi dilakukan di dalam suatu tangki reaktor atau tangki tunggal
(sistem terputus) atau dalam sejumlah tangki yang disusun secara seri (sistem kontinyu).
Reaktor-reaktor tersebut dilengkapi dengan alat pengaduk, sistem pendingin atau pemanas,
dan isolator yang digunakan untuk membungkus dan melindungi tangki dari kehilangan
panas, sehingga suhu di dalam reaktor dapat dijaga tetap sekitar 60-61oC.
(Tjokroadikoesoemo,1986).
Suhu operasi untuk proses sakarifikasi adalah 600C karena pati mengandung
kompleks amilase lipid yang larut pada 1000C, jika hidrolisis tahap I tidak sempurna, maka
jika digunakan suhu tinggi untuk sakarifikasi akan menyebabkan amilase larut dan
berikatan lagi. Jika suhu terlalu rendah, akan menyebabkan turbiditas yang disebabkan
oleh partikel-partikel meningkat dan mengganggu proses filtrasi. Dari proses sakarifikasi
dihasilkan Syrup glukosa yang kemudian dilakukan penapisan pada Rotary Vacuum Filter
II-25
(H-140) untuk memisahkan filtrat yang berupa Syrup glukosa dengan partikel-partikel
kasar yang menggumpal selama proses sebagai lumpur tapisan (cake). Selanjutnya filtrat
masuk ke kation exchanger I (D-152A) dan anion exchanger I (D-152B) untuk
penghilangan zat-zat mineral. Kemudian dilakukan pemekatan di evaporator I (V-150)
yang menghasilkan Syrup glukosa dengan kadar 50%.
Gambar II.10 Diagram alir pembentukan sirup glukosa
III.7.2 Tahap Isomerisasi Syrup Glukosa Menjadi Syrup Fruktosa
Proses ini bertujuan untuk mengubah Syrup glukosa menjadi Syrup fruktosa
dengan menggunakan enzim glukoisomerase (glukoisomerasi enzimatik) pada reaktor
isomerasi (R-210) dengan kondisi operasi pada suhu 550 – 65 0C dan pH 7,5. Berdasarkan
Uhlig (1998), enzim glukoisomerase mampu mengubah 50% D- glukosa menjadi D-
fruktosa, reaksinya adalah sebagai berikut :
II-26
HCl
Air Proses
Tepung tapioka
Tangki Pencampur I
Jet Cooker
Likuifikasi
Sakarifikasi
CaCl2
Enzim α-amylase
T = 1050C
T = 950C t = 2 -3 jampH = 6 – 6,5
T = 600Ct = 48 - 72 jampH = 4,2
Enzym glukoamylase
Evaporasi ISteam Condensate
Steam
Tangki Pengencer
Sirup Glukosa
Tangki Pencampur II
Rotary Vacuum Filter
Ion exchanger I
Air proses Waste cake
Sebelum masuk ke reaktor isomerasi (R-210), Syrup glukosa dari evaporator I (V-
150) dialirkan ke tangki pencampur III (M-212) dengan melakukan penambahan
MgSO4.7H2O yang merupakan aktivator enzim glukoisomerase. Penambahan aktivator
tersebut dapat berpengaruh pada aktivitas substrat menjadi dua kali lipat dibandingkan jika
tidak ada penambahan aktivator. Konsentrasi MgSO4.7H2O yang ditambahkan adalah 0,1
g/L. Pengaturan pH pada proses ini mempengaruhi produktivitas enzim dan waktu reaksi,
pH optimum untuk proses ini adalah 7,5 dan diatur dengan penambahan larutan NaOH.
Setelah proses isomerase selesai (telah terbentuk HFS-42) pada reaktor isomerasi
(R-210), produk didrain ke tangki pencampur IV (M-312) dan ditambahkan HCl untuk
menurunkan pH menjadi 4,5. Penurunan pH dimaksudkan agar tidak terjadi reaksi balik
fruktosa menjadi glukosa.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat dibuat diagram aliran proses pengubahan
Syrup glukosa menjadi Syrup fruktosa menggunakan enzim glukoisomerase adalah sebagai
berikut :
II-27
MgSO4 Tangki Pencampur III
Glukoisomerisasi enzimatik
NaOH pH = 7,5
T = 600C t = 3,2 jam
Sirup Glukosa
Enzim glukoisomerase
Gambar II.11. Diagram alir pengubahan sirup glukosa menjadi sirup fruktosa
III.7.3 Tahap Penyelesaian
Tahap finishing terdiri dari proses filtrasi, pemurnian, dan pemekatan. Filtrasi
bertujuan untuk memisahkan padatan tak larut (seperti protein dan lipid) dari Syrup
fruktosa dengan menggunakan filter press (H-310). Unit pemurnian terdiri dari kolom
karbonasi (M-315) untuk penghilangan warna dan ion exchanger yang terdiri atas kation
exchanger II (D-322A) dan anion exchanger II (D-322B) yang bertujuan untuk
menghilangkan zat-zat mineral dalam Syrup atau zat warna yang mungkin lolos dari kolom
karbonasi (M-315). Selanjutnya proses pemekatan dilakukan di evaporator II (V-320)
untuk mendapatkan produk HFS-42 yang bebas dari impuritas.
Untuk menghilangkan warna yang terbentuk selama proses pengolahan Syrup
glukosa, Syrup maltosa, HFS, atau turunan-turunan pati lainnya dapat digunakan arang
tulang, karbon aktif, atau penukar ion. Zat-zat warna tersebut dapat timbul karena
perpecahan gula ataupun bukan gula yang terjadi selama proses berlangsung karena
pengaruh pH, suhu, dan waktu. Karbon aktif yang digunakan adalah yang bereaksi netral.
Banyaknya karbon aktif yang diperlukan adalah 0,1% bahan kering gula di dalam larutan.
Karbon aktif yang digunakan dapat berbentuk tepung halus yang dibubuhkan ke dalam
filtrat dan diaduk pada suhu tertentu, atau berbentuk granuler yang dimasukkan dalam
suatu kolom karbon aktif. Jika yang digunakan adalah karbon aktif yang berbentuk tepung
halus, maka filtrat bersama-sama dengan karbon aktif yang dibubuhkan diaduk rata di
dalamnya dan dapat langsung dikirim ke alat penapisan kedua. Sebaliknya jika digunakan
karbon aktif berbentuk granuler, maka filtrat dipompa menembus butiran-butirankarbon
aktif tersebut yang terlebih dulu telah diisikan ke dalam kolom karbon aktif
(Tjokroadikoesoemo, 1986).
Untuk pelunakan larutan atau Syrup digunakan resin penukar ion. Bahan penukar
ion ini memiliki ukuran butiran-butiran yang agak kasar (granular). Umumnya resin
penukar ion tahan terhadap pengaruh suhu tinggi, tahan terhadap korosi atau pengrusakan
II-28
HClpH = 4,5
HFS-42
Tangki Pencampur IV
oleh asam, basa, ataupun bahan-bahan organik lainnya, serta tahan terhadap tekanan
osmosa.
Reaksi dari resin penukar kation :
2R2SO3- Na + Ca2+ (R2SO3)2Ca + 2Na
Reaksi regenerasi resin penukar kation :
(R2SO3)2Ca + 2NaCl 2 R2SO3- Na + CaCl
Reaksi dari resin penukar anion :
RNR3OH + HCl RNR3Cl + H2O
Reaksi regenerasi resin penukar anion :
RNR3Cl + NaOH RNR3OH + NaCl + H2O
(RNR3OH + NaCl tidak bereaksi)
(Tjokroadikoesoemo, 1986)
Syrup murni hasil perlakuan karbon dan penukaran ion tersebut kemudian
dipekatkan di dalam alat penguap vakum (vacuum evaporator). Untuk keperkuaan
penguapan Syrup glukosa, Syrup maltosa, atau Syrup dekstrosa yang akan diolah lebih
lanjut sebagai HFS dan lain-lain, digunakan sistem penguapan bertingkat yang dilengkapi
pula dengan pemanas pendahuluan, separator sentrifugal di dalamnya, dan kondensor.
Sedangkan untuk pengolahan Syrup dekstrosa atau Syrup maltosa tinggi menjadi kristal
dekstrosa atau kristal maltosa, cukup digunakan alat penguap vakum tunggal (single effect
evaporator) (Tjokroadikoesoemo, 1986).
II-29
Kolom Karbonasi
Filter Press
Ion Exchanger II
HFS-42
Karbon aktif
Gambar II.12. Diagram alir tahap penyelesaian sirup fruktosa
Maka berdasarkan uraian di atas dapat dibuat diagram aliran proses pembuatan
HFS dari tepung tapioka adalah sebagai berikut :
II-30
Evaporation IISteam Condensate
HFS-42
CaCl2
Enzim α-amylase
30 – 40% wb T = 1050Ct = 5 – 10 menit
T = 950Ct = 2 -3 jampH = 6 – 6,5
Steam
Mixing Tank Jet Cooker LikuifikasiTepung tapioka30 – 35 %berat pati
HCl
Mixing Tank II
Enzim glucoamylase
Steam
Condensate
Evaporation I Ion exchanger I
NaOH
Enzim glukoisomerase
pH = 7,5
Mixing Tank III
HCl
pH = 4,5
Mixing Tank IV
T = 600Ct = 3,2 jam
Glukoisomerisasi enzimatik
HFS 42
Steam
Condensate
Evaporation II Ion Exchanger II
Karbon aktif
Filter Press
Gambar II.13 Diagram alir pembuatan HFS-42 dari tepung tapioka
II-31
Air Proses
Waste cake
RVF
Kolom Karbonasi
MgSO4.7H2O
T = 600Ct = 48 - 72 jampH = 4,2
Sakarifikasi