bab ii dasar kewenangan penuntut umum …repository.unair.ac.id/13742/9/9. bab 2.pdf · undang no....

40
19 BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) MENURUT KUHAP DAN UU NOMOR 16 TAHUN 2004 2.1. Tugas dan Wewenang Jaksa Sebagai Penuntut Umum di Indonesia Untuk mempelajari lebih dalam kewenangan Penuntut Umum dalam melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing), perlu dipelajari terlebih dahulu latar belakang atau sejarahnya.Pada era sebelum Kolonial Belanda menjajah Indonesia,negeri ini tidaklah mengalami kekosongan hukum dalam masyarakat.Hukum Adat telah eksis dalam tubuh negeri ini.Terdapat pula lembaga-lembaga tata hukum dan negara dalam masyarakat adat. Lembaga Jaksa atau Penuntut Umum adalah lembaga baru.Tidak terdapat pada masyarakat primitif.Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga itu. 37 Pada bab sebelumnya,telah penulis jelaskan istilah jaksa sendiri berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Adhyaksa artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini.Di belanda pun dahulu belum dikenal istilah officier van justitie.Istilah schout di sana yang khusus menuntut pidana.Begitu pula di Inggris,baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri sendiri yang disebut 37 Jur.Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h.47. ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF FADLI SATRIANTO

Upload: vuongxuyen

Post on 21-May-2018

220 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

19

19

BAB II

DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM DALAM MELAKUKAN

PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) MENURUT KUHAP

DAN UU NOMOR 16 TAHUN 2004

2.1. Tugas dan Wewenang Jaksa Sebagai Penuntut Umum di Indonesia

Untuk mempelajari lebih dalam kewenangan Penuntut Umum dalam

melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing), perlu dipelajari terlebih dahulu

latar belakang atau sejarahnya.Pada era sebelum Kolonial Belanda menjajah

Indonesia,negeri ini tidaklah mengalami kekosongan hukum dalam

masyarakat.Hukum Adat telah eksis dalam tubuh negeri ini.Terdapat pula

lembaga-lembaga tata hukum dan negara dalam masyarakat adat.

Lembaga Jaksa atau Penuntut Umum adalah lembaga baru.Tidak terdapat

pada masyarakat primitif.Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran

lembaga itu.37Pada bab sebelumnya,telah penulis jelaskan istilah jaksa sendiri

berasal dari bahasa Sanskerta yaitu Adhyaksa artinya sama dengan hakim pada

dunia modern sekarang ini.Di belanda pun dahulu belum dikenal istilah officier

van justitie.Istilah schout di sana yang khusus menuntut pidana.Begitu pula di

Inggris,baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri sendiri yang disebut

37 Jur.Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,Edisi Kedua, Sinar Grafika,

Jakarta, 2008, h.47.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 2: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

20

20

CPS.Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus menuntut jika ada

kepentingan raja di dalam perkara.38

Di Indonesia pada era sebelum reformasi,istilah Kejaksaan sebenarnya

sudah ada dan dikenal sejak lama di Indonesia. Kerajaan Majapahit mengenal

istilah dhyaksa, adhyaksa, dan dharmadhyaksa yang sudah mengacu pada posisi

dan jabatan tertentu di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta.

Seorang peneliti Belanda, W.F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa

adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu

Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M). Dhyaksa adalah hakim yang

diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para

dhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang

memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi.39

Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang

mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi

(oppenrrechter). Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda,

bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga

adalah seorang adhyaksa.40

Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan

jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang

38 Donald J. Newman,Introduction to Criminal Justice,h.190. 39 Kejaksaan Republik Indonesia, Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,

www.kejaksaan.go.id,2009, dikunjungi pada tanggal 8 Oktober 2014. 40Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 3: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

21

memerintahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier

van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan Negeri), Jurisdictie Geschillen

(Pengadilan Justisi ) dan Hooggerechtshof (Mahkamah Agung ) dibawah perintah

langsung dari Residen / Asisten Residen.41

Pada masa itu,terdapat salah satu peraturan yang mulai berlaku pada

tanggal 1 Mei 1848 yaitu Inlands Reglement atau disingkat IR.Nama lengkap IR

itu ialah Reglement op de uitoefening van de politie, de Burgerlijke Rechtspleging

en de Strafvordering onder de Inlanders en de Vreemde Oosterlingen op Java en

Madoera.IR dilahirkan dengan bentuk “ordonnatie” (undang-undang dari

Gubernur Jenderal) yang bersandarkan pada suatu Firman Raja Belanda tanggal

16 Mei 1846 (ordonnatie met Koninklijke machtiging),dan termuat dalam

Staatsblaad 1848 No.16. sedangkan sebutan Inlands Reglement secara resmi

ditetapkan dalam Firman Raja Belanda dari Staatsblaad 1901 No.15.42

Selanjutnya,dengan adanya Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan kembali

perubahan IR (Inlands Reglement) menjadi HIR (Herziene Inlands

Reglement).Yang terpenting dari perubahan IR menjadi HIR adalah dengan

perubahan tersebut terbentuklah lembaga openbaar ministerieatau penuntut

umum,yang dahulu ditempatkan di bawah pamongpraja.Dengan perubahan ini

maka Openbaar Ministerie(OM) atau Parket itu secara bulat dan tidak terpisah-

41Ibid. 42 Moch.Faisal Salam, Op.Cit, h.178.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 4: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

22

pisahkan (een en ondeelbaar) berada di bawah Officier van Justitie dan Procureur

Generaal.43

Pembentukan badan Penuntut Umum yang berdiri sendiri ini menurut

Subekti dalam bukunya,merupakan hadiah dari pemerintah Belanda untuk orang

Bumiputera berhubungan dengan keguncangan (Perang Dunia II yang baru pecah)

di negeri Belanda.44Peranan Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut

secara resmi difungsikan pertama kali oleh Undang-Undang pemerintah zaman

pendudukan tentara Jepang No. 1/1942, yang kemudian diganti oleh Osamu Seirei

No.3/1942, No.2/1944 dan No.49/1944. 45Eksistensi kejaksaan itu berada pada

semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (pengadilan agung),

Koootooo Hooin (pengadilan tinggi) dan Tihooo Hooin (pengadilan negeri).

“Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan

untuk :

1. Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran

2. Menuntut Perkara

3. Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.

4. Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.”46

Pada era pemerintahan Jepang Raad van Justitie dihapuskan sehingga tidak

ada lagi perbedaan antara orang bumi putra dengan orang Eropa.Semua warga

diadili oleh Pengadilan Negeri (Tihoo Hooin) sebagai kelanjutan

43 Jur.Andi Hamzah, Op.Cit., h.54. 44 R. Subekti, Hukum Acara Perdata, BinaCipta, Jakarta, 1982, h.4. 45 Kejaksaan Republik Indonesia,Sejarah Kejaksaan Republik Indonesia,Loc. cit. 46Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 5: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

23

Landraad.Ketentuan hukum acara pidananya diberlakukan ketentuan yang termuat

dalam HIR ( Herziene Inlands Reglement ),Landgerechtsreglement,dan

Rechtsreglement voor de Buitengewesten.47

Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan Pasal II aturan

peralihan, maka ketentuan yang sudah berlaku pada zaman Jepang yaitu ketentuan

yang sudah berlaku pada zaman Jepang yaitu ketentuan hukum acara pidana yang

diatur dalam HIR tetap berlaku.Di indonesia pada waktu itu terdapat dua macam

peradilan yaitu “Landrechter” untuk semua orang dan “Appelraad” sebagai

pengadilan dalam pemeriksaan tingkat kedua dari perkara-perkara pidana yang

diputus oleh Pengadilan Negeri.48

Kedudukan jaksa merupakan kedudukan yang berdiri sendiri,yang

mempunyai wewenang sebagai pengusut (Pasal 39 HIR) dan wewenang menuntut

diatur dalam pasal 46 HIR.Pada tanggal 1 Januari 1981 diundangkanlah Undang-

Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang mencabut

keseluruhan tentang Hukum Acara Pidana dalam HIR,maka Indonesia pada tahun

1981 memasuki era baru dalam bidang hukum acara pidananya.

Kejaksaan sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang

sebagai penuntut umum yang dilandasi oleh Undang-Undang No. 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaan.Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut

untuk lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum,perlindungan

47Ibid.h.180-181. 48 Moch.Faisal Salam, Op.Cit, h.181.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 6: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

24

kepentingan umum,penegakkan hak asasi manusia,serta pemberantasan korupsi,

kolusi, dan nepotisme.

Mengingat sebelum adanya Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan RI yang menggantikan Undang-Undang No.5 Tahun 1991 tentang

Kejaksaan RI yang sebelumnya adanya Undang-Undang No. 15 Tahun 1961

tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan RI,menurut Pasal 2 Undang-

Undang No. 15 Tahun 1961,tugas pokok kejaksaan sebagai berikut:

1) a.Mengadakan penuntutan dalam perkara-perkara pidana pada

pengadilan yang berwenang;

b. Menjalankan keputusan dan penetapan hakim Pidana.

2) Menadakan penyidikan lanjutan terhadap kejahatan dan pelanggaran

serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat penyidik menurut

ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan

lain-lain peraturan negara

3) Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara

4) Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh

suatu peraturan negara.

Wewenang Jaksa sebagaimana ditentukan dalam pasal 11 Undang-Undang

No.15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kejaksaan adalah sebagai

berikut:

1) Jaksa untuk menyelesaikan suatu perkara pidana berwenang :

a. Mengadakan penggeledahan badan dan penggeledahan tempat-

tempat yang dipandang perlu;

b. Mengambil tindakan-tindakan lain;

a dan b menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang Hukum

Acara Pidana dan/atau lain peraturan negara.

2) Dalam melakukan kewajiban tersebut dalam ayat 1 diperhatikan

norma-norma keagamaan,perikemanusiaan,kesopanan dan kesusilaan.

Penuntut Umum sebagai organ dan wakil penguasa yang memiliki fungsi

menuntut dan menetapkan ketentuan pidana yang dikenakan tersangka selanjutnya

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 7: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

25

disusun menjadi surat dakwaan yang akan dilimpahkan ke pengadilan.Didalam

KUHAP,wewenang jaksa tidak mendapat pengaturan yang jelas.Yang ada adalah

wewenang penuntut umum.Hal ini dikarenakan pengertian jaksa dan penuntut

umum memang berbeda,di mana pengertian jaksa menyangkut jabatan,sedangkan

pengertian penuntut umum menyangkut fungsi.

Menurut Pasal 13 KUHAP dinyatakan wewenang Penuntut Umum adalah

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.Selain itu diatur

dalam Pasal 1 Undang-Undang Pokok Kejaksaan (UU No. 15 Tahun 1961)

menyatakan,Kejaksaan R.I. selanjutnya disebut Kejaksaan,ialah alat negara

penegak hukum yang terutama bertugas sebagai penuntut umum.Menurut Pasal 14

KUHAP,penuntut umum mempunyai wewenang:

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik

atau pembantu penyidik;

b. Mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan

dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 Ayat (3) dan Ayat

(4),dengan memberi petunjuk dalam rangka menyempurnakan

penyidikan dari penyidik;

c. Memberikan perpanjangan penahanan,melakukan penahanan atau

penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah

perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;

d. Membuat surat dakwaan;

e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;

f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan

dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan,baik

kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang

yang telah ditentukan;

g. Melakukan penuntutan;

h. Menutup perkara demi kepentingan umum;

i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab

sebagai Penuntut Umum menurut Undang-Undang;

j. Melaksanakan penetapan hakim;

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 8: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

26

Didalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa,yang dimaksud

dengan “tindakan lain” ialah antara lain meneliti identitas tersangka,barang bukti

dengan memperhatikan secara tegas batas wewanang dan fungsi antara penyidik,

penuntut umum, dan pengadilan.

Di dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak

terdapat suatu ketentuan yang mengatur tentang tugas dan kewenangan dari

penuntut umum,hanya disebutkan dan diatur tentang tugas dan wewenang

kejaksaan dalam Bab III Bagian Kesatu Pasal 30 sampai 34 Undang-Undang

No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.49

Pasal 30 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,bahwa

tugas dan wewenang kejaksaan adalah:

1) Di bidang pidana,kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan;50

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap;51

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas

bersyarat;52

49 Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Edisi Pertama,

Kencana, Jakarta, 2014, h.96. 50 Ayat (1) Huruf a “Dalam melakukan penuntutan,jaksa dapat melakukan pra-

penuntutan.Pra-penuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan

setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik,petunjuk guna dilengkapi

oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke

tahap penuntutan.” 51 Ayat (1) Huruf b “Dalam melaksanakan putusan pengadilan dan penetapan hakim,

kejaksaan memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat dan peri kemanusiaan

berdasarkan Pancasila tanpa mengesampingkan ketegasan dalam bersikap dan bertindak.

Melaksanakan putusan pengadilan termasuk juga melaksanakan tugas dan wewenang

mengendalikan pelaksanaan hukuman mati dan putusan pengadilan terhadap barang rampasan

yang telah dan akan disita untuk selanjutnya dijual lelang.” 52 Ayat (1) Huruf c yang dimaksud dengan “keputusan lepas bersyarat” adalah keputusan

yang dikeluarkan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pemasyarakatan.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 9: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

27

d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu

berdasarkan undang-undang;53

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahansebelum dilimpahkan ke

pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan

dengan penyidik.54

2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksaan dengan kuasa

khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar pengadilan

untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

3) Dalam bidang ketertiban dan ketenteraman umum, kejaksaan turut

menyelenggarakan kegiatan:55

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan aliran kepercayaan yang dapat membahayakan

masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statistik kriminal.

Kewenangan penuntut umum dalam melakukan penuntutan diatur dalam

Bab XV tentang Penuntutan.Menurut Pasal 137 KUHAP menyatakan penuntut

umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa

melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan

perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.

53 Ayat (1) Huruf d “Kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan sebagaimana

diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi

Manusia dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.” 54 Ayat (1) Huruf e “Untuk melengkapi berkas perkara, pemeriksaan tambahan dilakukan

dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1) tidak dilakukan terhadap tersangka;

2) hanya terhadap perkara-perkara yang sulit pembuktiannya, dan/atau dapat meresahkan

masyarakat, dan/atau yang dapat membahayakan keselamatan Negara;

3) harus dapat diselesaikan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah dilaksanakan ketentuan

Pasal 110 dan 138 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana;

4) prinsip koordinasi dan kerjasama dengan penyidik.” 55 Penjelasan ayat (3).Tugas dan wewenang kejaksaan dalam ayat ini bersifat preventif

dan/atau edukatif sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan “turut menyelenggarakan“ adalah mencakup kegiatan-kegiatan bersifat

membantu, turut serta, dan bekerja sama.Dalam turut menyelenggarakan tersebut, kejaksaan

senantiasa memperhatikan koordinasi dengan instansi terkait.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 10: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

28

Menurut Pasal 138 KUHAP setelah penuntut umum menerima hasil

penyidikan dari penyidik,haruslah segera mempelajari dan meneliti dan dalam

waktu 7 hari wajib memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu

sudah lengkap atau belum.

2.2. Proses Penuntutan

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem hukum Civil Law

System.Dalam hal ini hukum acara pidana kita secara garis besar terdapat 5 (lima)

tahapan,yaitu:

1. Tahap penyidikan ( opsporing ) dilaksanakan oleh penyidik;

2. Tahap penuntutan ( vervolging ) dilaksanakan oleh penuntut umum;

3. Tahap mengadili ( rechtspraak ) dilaksanakan oleh hakim;

4. Tahap melaksanakan putusan hakim ( executie ) dilaksanakan oleh

jaksa;

5. Tahap pengawasan dan pengamatan putusan pengadilan dilaksanakan

oleh hakim pengadilan negeri.56

Tahapan-tahapan tersebut merupakan suatu proses yang kait mengkait

antara tahap yang satu dengan tahap selanjutnya yang dilaksanakan oleh subyek

pelaksana hukum acara pidana,yang akhirnya bermuara pada tahap pemeriksaan

terdakwa dalam persidangan pengadilan (tahap mengadili).57

Dalam penelitian ini yang menjadi pembahasan dalam tahap penuntutan

( vervolging ) yang dilaksanakan oleh penuntut umum.Permasalahan yang akan

dibahas terkait proses penuntutan yang mana dalam hal penuntut umum

56 Hasibuan, Idris Khalid,Tinjauan Hukum Tentang Pertimbangan Penuntut Umum

Dalam Membuat Surat Dakwaan Secara Terpisah Terhadap Tindak Pidana Yang Dilakukan Oleh

Beberapa Orang ( Surat Tuntutan NO.REG / PER:PDM – 190 /EP.1/Medan/2007,Skripsi,Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara,Medan,2011,h.1 Bab III. 57Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 11: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

29

melakukan pemisahan berkas perkara dalam delik yang dilakukan oleh beberapa

orang pelaku.Dalam sub bab ini akan proses penuntutan dibagi menjadi tahap pra-

penuntutan dan tahap penuntutan.

2.2.1 Pra-penuntutan

Tahap pra-penuntutan terjadi pada saat penyidik melimpahkan berkas

perkara kepada penuntut umum.Dalam proses tersebut sangat terlihat hubungan

sangat erat antara penuntut umum dan penyidik dalam hal fungsi penegakkan

hukum di Indonesia.Berdasarkan Keputusan bersama Jaksa Agung Republik

Indonesia dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tanggal 6

Oktober 1981 tentang Peningkatan Usaha Pengamanan dan Kelancaran

Penyidangan Perkara-Perkara Pidana di dalam diktum angka i menyatakan bahwa

“meningkatkan kerja sama fungsional dan instansional yang sebaik-baiknya antara

Kejaksaan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk menyelesaikan

perkara-perkara dengan sempurna menurut hukum mulai dari penyidikan sampai

kepelaksanaan putusan Hakim.”

KUHAP telah meyebutkan tentang proses pra-penuntutan,namun tidak

memberikan batasan batasan tentang proses pra-penuntutan.Demikian pula dalam

Pasal 1 KUHAP yang memberikan definisi bagian hukum acara pidana, seperti

penyidikan, penuntutan, dan seterusnya,namun tidak memberikan pengertian

tentang pra-penuntutan.58

Dalam proses pra-penuntutan didefinisikan dalam pasal 14 KUHAP,yakni

58 Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit.,h.167.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 12: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

30

Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan yang

dilakukan penyidik menurut pendapat penuntut umum kurang

lengkap,penuntut umum segera mengembalikan berkas tersebut kepada

penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik wajib segera

melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut

umum (pasal 110 ayat (3) dan pra-penuntutan tidak dapat dilakukan

kembali apabila dalam waktu 14 hari penuntut umum tidak

mengembalikan hasil penyidikan atau apabila sebelum batas waktu

tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut

umum kepada penyidik (pasal 110 ayat (4)).

”Lengkap” artinya bukti-buktinya cukup dan berkasnya disusun menurut

KUHAP.59

Dengan adanya Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan Menteri

Kehakiman, menunjuk Pasal 14 KUHAP dengan dikaitkan Pasal 110 ayat (3) dan

(4) serta Pasal 138 KUHAP sebagai pra-penuntutan.Perbedaan Pasal 110

KUHAPa dan 138 KUHAP adalah dalam Pasal 110 KUHAP mengatur wewenang

penyidik dan dalam pasal 138 KUHAP mengatur wewenang penuntut umum.

Dalam tahap pra-penuntutan yang diatur dalam KUHAP ternyata terjadi

permasalahan dalam praktiknya.Tidak ada suatu ketentuan dalam Undang-undang

No.8 Tahun 1981 yang mengatur berapa kali berkas perkara bolak-balik antara

penyidik dan penuntut umum dalam hal perkara tersebut menurut pandangan

penuntut umum belum lengkap.60

Istilah pra-penuntutan sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 huruf b

KUHAP yaitu hanyalah tindakan penuntut umum untuk memberi petunjuk dalam

59 R.M. Surakhman dan Andi Hamzah,Jaksa di Berbagai Negara : peranan dan

kedudukannya, Sinar Grafika, Jakarta, 1995, h.35. 60 Moerad B.M, Pontang, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam

Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005, h.1995.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 13: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

31

rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik.Istilah pra-penuntutan di dalam

HIR adalah termasuk penyidikan lanjutan.61

Selain itu juga di jelaskan dalam penjelasan Pasal 30 ayat (1) huruf a

Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,sebagai berikut :

Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan.

Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan

penyidikan setelah menerima pemberitahuan dimulainya penyidikan dari

penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil

penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna

dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara

tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan.

2.2.2 Penuntutan (Vervolging)

Pengertian penuntutan sebagaiamana diatur dalam Pasal 1 angka 7

KUHP,bahwa : “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan

diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”

Wirjono Pradjodikoro memberikan definisi penuntutan, namun

perbedaanya bahwa KUHP tidak menyebutkan secara tegas

“terdakwa”,sedangkan Wirjono Pradjodikoro disebutkan secara tegas, lebih-lebih

lengkapnya, yaitu : “Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah

menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas perkaranya kepada hakim

61 Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Loc. cit.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 14: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

32

dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara

pidana itu terhadap terdakwa.”62

Singkatnya penuntutan adalah tindakan penuntut umum menyerahkan

berkas perkara terdakwa ke pengadilan negeri agar hakim memberikan putusan

terhadap terdakwa yang bersangkutan.63Kewenangan penuntut umum untuk

melakukan penuntutan terlihat dalam Pasal 137 KUHAP yaitu “Penuntut umum

berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan

suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke

pengadilan yang berwenang mengadili.” Daerah hukumnya dalam pasal diatas

Menurut E. Bonn – Sosrodanukusumo, (pendapatnya masih berdasarkan HIR),

seorang jaksa mempunyai daerah hukum masing-masing sesuai dengan daerah

hukum kejaksaan negeri di mana dia diangkat.64

Penuntut umum juga berwenang dalam menentukan suatu perkara hasil

penyidikan apakah sudah lengkap ataukah belum untuk dilimpahkan ke

pengadilan negeri untuk diadili.Hal itu terdapat dalam pasal 139 KUHAP yang

berisikan “Setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil

penyidikan yang lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas

perkara itu sudah memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke

pengadilan.”

62 Wirjono Prdjodikoro Prdjodikoro,R.Wirjono, Hukum Acara Pidana Di Indonesia,

Sumur Bandung, Bandung, 1983, h.34. 63 Hari Sasangka dan Tjuk Suharjanto, Penuntutan Dan Teknik Membuat Surat Dakwaan,

Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1988, h.25. 64 E. Bonn – Sosrodanukusumo,Tuntutan Pidana,Siliwangi,Jakarta,tanpa tahun,h.100.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 15: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

33

Jika menurut penuntut umum perkara tersebut sudah cukup bukti dan

lengkap,maka penuntut umum dapat melakukan penuntutan dengan membuat

surat dakwaan.Hal tersebut diatur dalam Pasal 140 ayat (1) KUHAP yang berisi

“Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat

dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan.”

Jika menurut pertimbangan penuntut umum perkara tersebut kurang cukup

bukti atau perkara tersebut bukan suatu delik pidana,maka penuntut umum

membuat suatu ketetapan.Hal ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir a KUHAP

yang berisi “Dalam hal penuntut umum memutuskan untuk menghentikan

penuntutan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata

bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum, penuntut

umum menuangkan hal tersebut dalam surat ketetapan.”Isi surat ketetapan

tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan,wajib dibebaskan.Hal

ini diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir b KUHAP yang berisikan “Isi surat

ketetapan tersebut diberitahukan kepada tersangka dan bila ia ditahan, wajib

segera dibebaskan.”

Ditentukan selanjutnya bahwa turunan ketetapan tersebut wajib

disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasehat hukum, pejabat

rumah tahanan negara,penyidik, dan hakim (Pasal 140 ayat (2) butir c

KUHAP).Biasanya disebut SP3 (Surat Perintah Penghentian

Penuntutan).Kewenangan penuntut umum dalam menutup perkara demi hukum

diatur dalam Pasal 140 ayat (2) butir a pedoman pelaksanaan KUHAP memberi

penjelasan bahwa “perkaranya ditutup demi hukum” diartikan sesuai dengan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 16: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

34

Buku I KUHP Bab VIII tentang hapusnya hak menuntut tersebut dalam Pasal 76,

77 dan 78 KUHP,65 ( non bis in idem, terdakwa meninggal, dan lewat waktu).

Namun menurut pasal 140 ayat (2) butir d KUHAP bahwa “Apabila

kemudian ternyata ada alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan

terhadap tersangka”.Dalam hal ini bahwa ketetapan penuntut umum untuk

menyampingkan suatu perkara (yang tidak didasarkan kepada oportunitas) tidak

berlaku asas non-bis in idem.66

Selanjutnya Pasal 141 KUHAP penuntut umum dapat melakukan

penggabungan berkas perkara dengan satu surat dakwaan.Penggabungan berkas

perkara ( voeging ) dibatasi oleh syarat-syarat yang diatur dalam pasal

tersebut.Selain menggabungkan berkas perkara,penuntut umum juga dapat

memisahkan berkas perkara ( spitsing ) yang diatur dalam Pasal 142

KUHAP.Apabila hasil penyidikan oleh penyidik telah diterima oleh penuntut

umum,maka menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP menyebutkan “Penuntut umum

melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera

mengadii perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan.”

Syarat-syarat surat dakwaan diatur dalam Pasal 143 ayat (2)

KUHAP.Apabila tidak memenuhi syarat formil surat dakwaan yang diatur dalam

Pasal 143 ayat (2) butir a akan berakibat dapat dibatalkan.Apabila tidak

65 Pedoman Pelaksanaan KUHAP,dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman Republik

Indonesia, cetakan ke-2,h.88. 66 Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit.,h.171.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 17: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

35

memenuhi syarat materiel surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2)

butir b KUHAP akan berakibat batal demi hukum ( Pasal 143 ayat (3) KUHAP).

Selanjutnya menurut Pasal 143 ayat (4) KUHAP,bahwa Turunan surat

pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau

kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik,pada saat yang bersamaan

dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.”

2.3. Surat Dakwaan

Surat dakwaan menjadi sangat penting dan dianggap sebagai Mahkota dan

kunci dari arah persidangan dan putusan berlangsung.Di Sistem peradilan pidana

Indonesia,surat dakwaan akan menjadi dasar bagi pemeriksaan di persidangan dan

sebagai dasar pengambilan putusan hakim.Surat dakwaan juga akan memperjelas

aturan-aturan hukum mana yang dilanggar oleh terdakwa67.Surat dakwaan bisa

dikatakan sebagai filter penyaring aturan hukum yang tepat dikenakan

terdakwa.Dengan demikian,hakim tidak boleh memutuskan atau mengadili

perbuatan pidana yang tidak didakwakan68.

Dalam mengemukakan pengertian surat dakwaan,pada umumnya para ahli

hukum,mengkaitkannya dengan hasil penyidikan dan fungsi surat dakwaan dalam

pemeriksaan sidang pengadilan.Meskipun banyak definisi yang telah

dikemukakan,kita akui memang sulit untuk merumuskan suatu pengertian yang

mencakup semua aspek yang bertalian dengan surat dakwaan.Surat dakwaan itu

67 Albert Aries, Surat Dakwaan Sebagai Dasar Putusan Hakim, www.hukumonline.com,

3 Mei 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 21 September 2014. 68Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 18: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

36

sendiri mencakup beberapa aspek,antara lain aspek hukum pidana materiil dan

aspek hukum pidana formiil.69

Dakwaan menjadi sangat penting dikarenakan melalui dakwaan itu

pemeriksaan di persidangan dilakukan.Dakwaan menjadi salah satu filter

ketentuan hukum yang dikenakan oleh tersangka sebelum persidangan

dilakukan.Melalui surat dakwaan pula dalil dalil pembelaan Penasehat Hukum

bersumber.Surat dakwaan menjadi arah kemana persidangan akan dibawa dan

dikembangkan.

Menurut H.Hamrat Hamid, S.H. dalam bukunya Pembahasan KUHAP

Bidang Penuntutan Dan Eksekusi Dalam Bentuk Tanya Jawab menjelaskan fungsi

surat dakwaan dalam pemeriksaan suatu perkara adalah:

a. Bagi hakim:

- Merupakan dasar dan sekaligus menentukan ruang lingkup

pemeriksaan sidang;

- Merupakan dasar penilaian/pertimbangan dan musyawarah majelis

hakim dalam rangka mengambil keputusan tentang perbuatan dan

kesalahan terdakwa.

b. Bagi Penuntut Umum :

- Merupakan dasar pelimpahan perkara;

- Merupakan dasar pembuktian/pembahasan yuridis;

- Merupakan dasar tuntutan pidana;

- Merupakan dasar pengajuan upaya hukum.

c. Bagi terdakwa/penasihat hukumnya:

- Merupakan dasar pengajuan eksepsi;

- Merupakan dasar pembelaan diri,karena itu dakwaan harus cermat,

jelas dan lengkap agar dapat dimengerti oleh terdakwa.70

Hakim tidak dapat menjatuhkan pidana di luar batas-batas

dakwaan.Pemeriksaan didasarkan kepada dakwaan dan menurut

69 H. Hamrat Hamid dan Harun M.Husein, Pembahasan Permasalahan KUHAP Bidang

Penuntutan Dan EksekusiDalam Bentuk Tanya Jawab, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, h.19. 70Ibid.h.68.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 19: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

37

Nederburg,pemeriksaan tidak batal jika batas-batas itu dilampaui tetapi putusan

hakim hanya boleh mengenai peristiwa-peristiwa yang terletak dalam batas itu.71

Dengan demikian,terdakwa hanya bisa dipidana jika terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah sesuai yang didakwakan penuntut umum.Apabila

penuntut umum salah mendakwa terdakwa maka akan berakibat bebasnya jeratan

hukum terdakwa.Disinilah pentingnya surat dakwaan dan penyusunan surat

dakwaan oleh penuntut umum.Penuntut umum sebagai wakil negara untuk

mendakwa warga negara yang bersalah dan melanggar ketentuan pidana sebagai

hukum publik.

Menurut Pasal 143 ayat (1) KUHAP,”Penuntut umum melimpahkan

perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara

tersebut disertai dengan surat dakwaan”.Dalam hal ini terlihat surat dakwaan

sebagai syarat mutlak pelimpahan berkas perkara ke pengadilan agar diadili.

Terdapat pula syarat-syarat surat dakwaan dalam Pasal 143 ayat (2)

KUHAP berisikan :

Penuntut umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal dan

ditandatangani serta berisi:

a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,

kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;

b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang

didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu

dilakukan.

Syarat surat dakwaan yang diatur dalam Pasal 143 ayat (2) butir a KUHAP

merupakan syarat formil surat dakwaan,yang mencakup :

71 E. Bonn – Sosrodanukusumo,Tuntutan Pidana,Op. cit.,h.236.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 20: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

38

1. Diberi tanggal.

2. Memuat identitas terdakwa secara lengkap, meliputi:

a. Nama lengkap;

b. Tempat lahir,umur/tanggal lahir;

c. Jenis kelamin;

d. Kebangsaan;

e. Tempat tinggal;

f. Agama;dan

g. Pekerjaan

3. Ditandatangani oleh penuntut umum

Jadi hakim dapat membatalkan dakwaan penuntut umum,karena tidak

jelas dakwaan ditujukan kepada siapa.Tujuannya adalah untuk

mencegah terjadinya kekeliruan mengenai orang atau pelaku tindak

pidana yang sebenarnya (error of subyektum).72

Syarat meteriel menurut Pasal 143 ayat (2) butir b KUHAP,bahwa surat

dakwaan harus secara cermat, jelas,dan lengkap mengenai tindak pidana yang

didakwakan dengan berisikan waktu ( tempos delicti ) dan tempat ( locus delicti )

tindak pidana tersebut dilakukan.

Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) butir b

KUHAP ( Syarat materiel ) akan berakibatkan batal demi hukum (sesuai dengan

Pasal 143 ayat (3) KUHAP).Sedangkan surat dakwaan yang tidak memenuhi

ketentuan Pasal 143 ayat (2) butir a KUHAP ( Syarat formil ) akan berakibat

dapat dibatalkan.

Ada dua syarat cara merumuskan surat dakwaan yang harus

dipenuhi,yaitu:

a. Harus mengandung lukisan dari apa yang senyatanya terjadi;

72Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit., h.172.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 21: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

39

b. Dalam lukisan itu harus ternyatakan pula unsur-unsur yuridis dari tindak

pidana yang didakwakan;73

Pembuatan surat dakwaan harus jeli dan teliti,baik syarat formil maupun

materiilnya.Pembuat surat dakwaan harus terlebih dahulu menganalisis dengan

seksama perbuatan yang telah dilakukan,serta menentukan pasal mana yang akan

dikenakan.Pembuat surat dakwaan juga harus benar-benar berhati-hati sehingga

semua unsur delik mencocoki unsur-unsur pasal yang didakwakan.

Menurut Ansori Sabuan,S.H.,Sharifuddin Pettanasse,S.H., dan Ruben

Achmad,S.H. dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Pidana, dalam hal

teknis penyusunan surat dakwaan dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Dakwaan tunggal;

b. Dakwaan alternatif;

c. Dakwaan subsidair;

d. Dakwaan kumulatif;

e. Dakwaan campuran;74

2.3.1. Dakwaan tunggal

Dakawaan secara tunggal dapat digunakan apabila seseorang atau lebih

terdakwa melakukan satu macam tindak pidana.Terdakwa didakwakan satu

perbuatan saja,tanpa diikuti dengan dakwaan-dakwaan lain.

Bentuk dakwaan ini biasanya digunakan dalam perkara pidana yang

sederhana saja.Karena apabila digunakan dalam perkara pidana yang sifatnya

73 Ansori Sabuan,Sharifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Hukum Acara Pidana,

Cetakan ke-1, Angkasa, Bandung, 1990, h.123. 74 Ibid,h.127.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 22: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

40

tidak sederhana,maka akan menimbulkan resiko terdakwa bebas dari tuntutan JPU

yang berarti terdakwa dibebaskan.

2.3.2. Dakwaan Alternatif

Dakwaan secara alternatif,yaitu dakwaan yang saling mengecualikan

antara satu dengan yang lain.Hakim dapat mengadakan pilihan dakwaan mana

yang telah terbukti dan bebas untuk menyatakan bahwa dakwaan kedua telah

terbukti tanpa memutuskan terlebih dahulu tentang dakwaan pertama.75Ditandai

dengan kata “ATAU”... .Dengan menggunakan kata “ATAU” antara dakwaan

satu dengan yang lain memberikan arti bahwa dakwaan itu alternatif tidak secara

komulatif.Dakwaan secara alternatif bukan kejahatan Perbarengan.

Dakwaan semacam ini dibuat jika hasil pemeriksaan penuntut umum

masih ragu dalam menerapkan pasal dalam surat dakwaannya dikarenakan

perbuatan yang dilakukan hampir sama unsur-unsur antara pasal satu dengan pasal

yang lain.

Misalnya penuntut umum yang akan membuat surat dakwaan berdasarkan

berita acara Peyidikan ragu-ragu apakah suatu tindak pidana yang akan

didakwakan merupakan :

Tindak pidana penipuan atau penggelapan.

Pembantuan atau turut serta.

75 Van Bemmelen,yang dikutip oleh Jur.Andi Hamzah, Op.Cit., h.186.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 23: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

41

Konsekwensi dari surat dakwaan alternatif adalah jika salah satu tindak

pidana sudah terbukti maka tindak pidana lainnya harus dikesampingkan.76

2.3.3. Dakwaan Subsidair

Dakwaan subsidair penuntut umum tidak ragu-ragu tentang jenis tindak

pidananya,tetapi yang dipermasalahkan adalah kualifikasi dari tindak pidana yang

akan didakwakan apakah tindak pidana tersebut termasuk kualifikasi berat atau

kualifikasi ringan.77

Surat dakwaan disusun dalam bentuk bertingkat mulai dari

primer,subsidair, dan seterusnya dengan urutan pasal yang terberat ke pasal yang

teringan ancaman pidananya.

Dalam dakwaan subsidair yang didakwakan pertama adalah yang terberat

ancaman pidananya,kemudian apabila dakwaan primernya tidak terbukti,baru

membuktikan pada dakwaan subsidair,dan begitu seterusnya pada dakwaan

terakhir yang paling ringan ancaman pidananya.

2.3.4. Dakwaan kumulatif

Surat dakwaan kumulatif digunakan apabila ada beberapa tindak pidana

yang tidak ada hubungan antara tindak pidana satu dengan tindak pidana yang lain

dengan kata lain tindak pidananya berdiri sendiri-sendiri.Menurut Dr. Drs. Hendar

Soetarna, S.H. dalam bukunya surat dakwaan kumulatif atau kumulasi bertitik

76 Hari Sasangka dan Tjuk Suharjanto, Op. cit., h.109. 77Ibid.,h.111.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 24: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

42

tolak pada adanya perbarengan (concursus) baik perbarengan tindak pidananya

dan ataupun perbarengan pelakunya.78

Dakwaan kumulatif diatur dalam Pasal 141 KUHAP bahwa “Penuntut

umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu

suratdakwaan, apabila pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima

beberapa berkas perkara dalam hal:

a. Beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan

kepentinganpemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap

penggabungannya;

b. Beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;

c. Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang

lain, akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya,

yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan

pemeriksaan.

Dapat dirumuskan dakwaan kumulatif yaitu:

Beberapa tindak pidana dilakukan satu orang sama;

Beberapa tindak pidana yang bersangkut paut;

Beberapa tindak pidana yang tidak bersangkutan.79

Dalam dakwaan kumulatif hakim harus memutuskan terbukti atau tidaknya

setiap dakwaan satu demi satu,jika dakwaan yang satu terbukti harus dijatuhi

pidana dan kalau dakwaan yang lain tak terbukti harus dibebaskan.Demikian pula

kalau satu dari dakwaan tersebut dibatalkan,maka dakwaan mengenai perbuatan

lainnya masih berlaku.80

2.3.5. Dakwaan campuran/kombinasi/gabungan

78 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian Dalam Acara Pidana, Cetakan ke-1, Alumni,

Bandung, 2011, h.35. 79Andi Sofyan dan H. Abd. Asis, Op. cit., h.178. 80 Ansori Sabuan, Sharifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, Op. cit., h.129.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 25: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

43

Dalam dakwaan campuran atau kombinasi atau gabungan lebih didasarkan

kepada adanya berbagai bentuk dakwaan dalam satu surat dakwaan.Dalam surat

dakwaan kombinasi didakwakan lebih dari satu tindak pidana dan setiap dakwaan

berbeda bentuk dari yang lain.Surat dakwaan ini digunakan agar terdakwa tidak

lolos dari jeratan hukum.

Bentuk-bentuk surat dakwaan kombinasi adalah:

1. Kumulatif subsidair;

2. Kumulatif alternatif;

3. Subsidair kumulatif.81

2.4. Penyertaan (Deelneming)

Penyertaan diatur dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.Adapun Pasal 55 dan 56

KUHP berbunyi:

Pasal 55 KUHP :

(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:

1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut

melakukan perbuatan itu;

2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai

kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau

dengan memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja

membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

(2)Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh

dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan

sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya.

Pasal 56 KUHP :

81 Hari Sasangka, Lily Rosita, August Hadiwijono,

Penyidikan,Penahanan,Penuntutan,Dan Praperadilan, Cetakan Pertama, Dharma Surya Berlian,

Surabaya, 1996, h.117.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 26: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

44

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

1. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;

2. Barangsiapa dengan sengaja memberikan kesempatan, daya upaya,

atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal

menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan “orang yang turut

melakukan” (medepleger) dalam Pasal 55 KUHP. Menurut R. Soesilo, “turut

melakukan” dalam arti kata “bersama-sama melakukan”. Sedikit-dikitnya harus

ada dua orang, ialah orang yang melakukan (pleger) dan orang yang turut

melakukan (medepleger) peristiwa pidana. Di sini diminta bahwa kedua orang itu

semuanya melakukan perbuatan pelaksanaan, jadi melakukan anasir atau elemen

dari peristiwa tindak pidana itu. Tidak boleh misalnya hanya melakukan

perbuatan persiapan saja atau perbuatan yang sifatnya hanya menolong, sebab jika

demikian, maka orang yang menolong itu tidak masuk “medepleger” akan tetapi

dihukum sebagai “membantu melakukan” (medeplichtige) dalam Pasal 56

KUHP.

Sedangkan mengenai Pasal 56 KUHP, R. Soesilo menjelaskan bahwa

orang “membantu melakukan” jika ia sengaja memberikan bantuan tersebut, pada

waktu atau sebelum (jadi tidak sesudahnya) kejahatan itu dilakukan. Bila

bantuan itu diberikan sesudah kejahatan itu dilakukan, maka orang tersebut

melakukan perbuatan “sekongkol” atau “tadah” melanggar Pasal 480 KUHP,

atau peristiwa pidana yang tersebut dalam Pasal 221 KUHP.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 27: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

45

Dalam penjelasan Pasal 56 KUHP ini dikatakan bahwa elemen “sengaja”

harus ada, sehingga orang yang secara kebetulan dengan tidak mengetahui telah

memberikan kesempatan, daya upaya, atau keterangan untuk melakukan kejahatan

itu tidak dihukum. “Niat” untuk melakukan kejahatan itu harus timbul dari

orang yang diberi bantuan, kesempatan, daya upaya atau keterangan itu. Jika

niatnya itu timbul dari orang yang memberi bantuan sendiri, maka orang itu

bersalah berbuat “membujuk melakukan” (uitlokking).

Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H., dalam bukunya yang berjudul

Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 123), mengutip pendapat

Hazewinkel-Suringa, Hoge Raad Belanda yang mengemukakan dua syarat

bagi adanya turut melakukan tindak pidana, yaitu: Kesatu, kerja sama yang

disadari antara para turut pelaku, yang merupakan suatu kehendak bersama di

antara mereka; Kedua, mereka harus bersama-sama melaksanakan kehendak itu.82

Lebih lanjut, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H.83, sebagaimana kami

sarikan, menjelaskan mengenai perbedaan antara “turut melakukan” dan

“membantu melakukan”. Menurutnya, berdasarkan teori subjektivitas, ada 2 (dua)

ukuran yang dipergunakan: Ukuran kesatu adalah mengenai wujud kesengajaan

yang ada pada di pelaku, sedangkan ukuran kedua adalah mengenai kepentingan

dan tujuan dari pelaku.

82 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Eresco, Bandung, 1989,

h.123. 83 Ibid, hal. 126-127

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 28: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

46

Ukuran kesengajaan dapat berupa; (1) soal kehendak si pelaku untuk

benar-benar turut melakukan tindak pidana, atau hanya untuk memberikan

bantuan, atau (2) soal kehendak si pelaku untuk benar-benar mencapai akibat yang

merupakan unsur dari tindak pidana, atau hanya turut berbuat atau membantu

apabila pelaku utama menghendakinya.Sedangkan, ukuran mengenai kepentingan

atau tujuan yang sama yaitu apabila si pelaku ada kepentingan sendiri atau tujuan

sendiri, atau hanya membantu untuk memenuhi kepentingan atau untuk mencapai

tujuan dari pelaku utama.84

2.5. Pemisahan dan Penggabungan Berkas Perkara Oleh Pununtut Umum

Didalam proses penyusunan dan pembuatan surat dakwaan terjadi 2 (dua)

kemungkinan yang dilakukan penuntut umum yaitu penggabungan berkas perkara

(Voeging) atau pemisahan berkas perakara (Splitsing).Penggabungan atau

pemisahan berkas perkara tersebut haruslah didasarkan pada pertimbangan

kepentingan pemeriksaan perkara itu sendiri di dalam sidang pengadilan.85

Pemisahan berkas perkara biasa dinamakan “pemecahan atau pemisahan

perkara (Splitsing)” satu perkara menjadi beberapa penuntutan yang diuraikan

dalam pasal 142 KUHAP.Bunyi Pasal 142 KUHAP adalah “Dalam hal penuntut

umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana yang

dilakukan oleh beberapa orang tersangka yang tidak termasuk dalam ketentuan

84 Letezia Tobing, Perbedaan Turut Melakukan Dengan Membantu Melakukan Tindak

Pidana, www.hukumonline.com , 28 Juni 2013, h.1, dikunjungi pada tanggal 21 September 2014.

85 Hari Sasangka, Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit., h.118.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 29: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

47

Pasal 141, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap masing-masing

terdakwa secara terpisah.”

Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan oleh penuntut umum

dengan cara membuat berkas perkara baru.Dalam hal ini para tersangka dapat

menjadi saksi dalam pemeriksaan tersangka lain dalam suatu tindak pidana,

sehingga perlu dilakukan pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun

tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum. Dalam

praktiknya seringkali suatu berkas hanya perlu digandakan dan sebagaian

tersangka dijadikan saksi terhadap tersangka lainnya. Tersangka tersebut harus

diperiksa lagi bukan sebagai tersangka tapi sebagai saksi bagi tersangka lainnya.

Dalam memecahkan berkas perkara (Splitsing) merupakan kebijaksanaan

penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada kepentingan

pemeriksaan semata-mata. Pemecahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan

sehubungan dengan kurangnya saksi yang menguatkan dakwaan penuntut umum,

sedangkan saksi lain sulit diketemukan sehingga satu-satunya jalan adalah

mengajukan sesama tersangka sebagai saksi terhadap tersangka lainnya.86 Untuk

itu haruslah diadakan penambahan pemeriksaan terhadap tersangka yang

dijadikan saksi. Pemeriksaan seperti ini dibenarkan oleh Mahkamah Agung dalam

putusannya No. 66K/Kr/1967 tanggal 25-10-1967 dalam perkara: MASBURO

DALIMUNTE,2.ABD.SANI,3.TOHIR MANURUNG.87

86Ibid.,h.120-121. 87Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 30: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

48

Menurut komentar Pasal142 KUHAP yang ditulis M.Karjadi(Komisaris

Besar Polisi pnw) dan R.Soesilo(Ajun Komisaris Besar Polisi pnw,Bekas Dosen

AKABRI Bag. Kepolisian Sukabumi) menyatakan Pasal ini memuat tentang apa

yang biasa disebut “pemecahan” perkara pidana yaitu yang menentukan bahwa

apabila penuntut umum menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa

tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang tersangka maka penuntut

umum dapat “memecah” perkara tersebut, yaitu terhadap masing-masing terdakwa

dilakukan penuntutan yang terpisah.88Menurut catatan Pasal 142 KUHAP yang

ditulis Martiman Prodjohamidjojo, S.H. menyatakan penggabungan atau

pemisahan perkara, harus didasarkan kepada kepentingan pemeriksaan semata-

mata.

Kelemahan dari pemeriksaan pemecahan berkas perkara (Splitsing) adalah

sering mengakibatkan terjadinya keterangan palsu yang diatur dalam pasal 242

KUHP dikarenakan terdakwa yang menjadi saksi dalam pemeriksaan terdakwa

lainnya dalam suatu tindak pidana yang sama tidak ingin kejahatannya terbongkar

yang mengakibatkan terbuktinya dakwaan penuntut umum pada dirinya. Saksi

yang diajukan seperti tersebut diatas sering disebut sebagai saksi kunci atau saksi

mahkota atau kroongetuige.

Saksi kunci atau saksi mahkota atau kroongetuige tidak didefinisikan

secara jelas dalam KUHAP.Dalam alasan pemohon kasasi (kejaksaan) Putusan

88 M.Karjadi dan R.Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Dengan

Penjelasan Resmi Dan Komentar (Serta Peraturan Pemerintah R.I. No.27 Tahun 1983 Tentang

Pelaksanaannya) , Bogor, Politeia, 1994, h.125.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 31: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

49

Mahkamah AgungNo. 2437 K/Pid.Sus/2011saksi mahkota didefinisikan sebagai

berikut:

Walaupun tidak diberikan suatu definisi otentik dalam KUHAP

mengenai Saksi mahkota (kroongetuide), namun berdasarkan perspektif

empirik maka Saksi mahkota didefinisikan sebagai Saksi yang berasal

atau diambil dari salah seorang tersangka atau Terdakwa lainnya

yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana, dan dalam hal

mana kepada Saksi tersebut diberikan mahkota. Adapun mahkota yang

diberikan kepada Saksi yang berstatus Terdakwa tersebut adalah dalam

bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikannya

suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke

Pengadilan atau dimaafkan atas kesalahan yang pernah dilakukan.

Menurut Prof. DR. Loebby Loqman, S.H., M.H., dijelaskan bahwa

yang dimaksud dengan Saksi mahkota adalah kesaksian sesama

Terdakwa, yang biasanya terjadi dalam peristiwa penyertaan.

Saksi kunci atau saksi mahkota atau kroongetuigetidak diatur secara tegas

dalam perundang-undangan Indonesia.Sehingga terjadi pertentangan di dunia

praktiknya.Menurutmantan Hakim Agung RI, Adi Andojo Soetjipto yang dalam

bukunya “Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir: Sebuah

Memoar” (hal. 167) menyatakan bahwa cara pembuktian dengan menggunakan

saksi mahkota (kroongetuige) tidaklah dibenarkan dan dilarang menurut Ilmu

Pengetahuan Hukum.

Tentangan mengenai penggunaan saksi mahkota ini juga ditemui dalam

Yurisprudensi Mahkamah Agung No.1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 jo

No.1592 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995 yang menyatakan bahwa pemeriksaan

terhadap saksi mahkota sebaiknya tidak dilakukan karena hal itu bertentangan

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 32: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

50

dengan hukum acara pidana yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip hak asasi

manusia.89

Sebaliknya,selain pemisahan berkas perkara,PU berwenang melakuan

penggabungan berkas perkara.Penggabungan berkas perkara (Voeging) adalah

penggabungan berkas perkara dalam melakukan penuntutan,Penggabungan berkas

perkara (Voeging) diatur dalam Pasal 141 KUHAP,yaitu

Penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan

membuatnya dalam satu suratdakwaan, apabila pada waktu yang sama

atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal:

a. beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh seorang yang sama dan

kepentinganpemeriksaan tidak menjadikan halangan terhadap

penggabungannya;

b. beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain;

c. beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang

lain, akantetapi yang satu dengan yang lain itu ada hubungannya, yang

dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan

pemeriksaan.

Dalam penjelasan Pasal 141 huruf b KUHAP yang dimaksud dengan

“tindak pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang

lain,apabila tindak pidana tersebut dilakukan:

1. Oleh lebih dari seorang yang bekerja sama dan dilakukan pada saat

yang bersamaan;

2. Oleh lebih dari seorang pada saat dan tempat yang berbeda,akan tetapi

merupakan pelaksanaan dari permufakatan jahat yang dibuat oleh

mereka sebelumnya;

3. Oleh seorang atau lebih dengan maksud mendapatkan alat yang akan

digunakan untuk melakukan tindak pidana lain atau menghindarkan

diri dari pemidanaan,karena tindak pidana lain.

Dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 141 huruf b KUHAP yaitu tindak

pidana yang dianggap mempunyai sangkut paut satu dengan yang lain mengacu

89 Ilman Hadi, “Definisi Saksi Mahkota”, www.hukumonline.com , 25 mei 2012 ,

dikunjungi pada tanggal 13 oktober 2014.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 33: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

51

dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.Dalam Pasal 55 KUHP terdapat pembuat (dader)

seperti mereka yang melakukan (plegen), menyuruh lakukan (doen plegen), dan

turut serta melakukan (made dader), serta menjanjikan atau memberikan sesuatu

(uit locking).Selain itu menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, ancaman atau

penyesatan atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan dan sengaja

menganjurkan perbuatan.Dalam Pasal 56 meliputi membantu melakukan atau

pembantuan (medeplichtige), sengaja memberi bantuan pada waktu perbuatan

dilakukan,sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan

kejahatan.

Mengacu dalam Pasal 141 KUHAP terdapat unsur perbarengan atau

concursus (samenloop).Perbarengan atau concursus (samenloop) dibedakan

menjadi 3 (tiga) macam.Dalam bukunya, Hari Sasangka,Lily Rosita,S.H.,August

Hadiwijono,S.H. menjelaskan 3 (tiga) macam perbarengan atau concursus

(samenloop) yaitu :

1. Endaadse samenloop/concursus idealis/perbarengan peraturan.

Yaitu dalam hal seseorang melakukan satu perbuatan, tetapi dengan

melakukan perbuatan tersebut, orang tersebut telah melanggar

beberapa peraturan pidana.Hal ini diatur dalam Pasal 63 KUHP.

2. Meerdaadse samenloop/concursus realis/perbarengan perbuatan

Yaitu dalam hal seseorang melakukan beberapa perbuatan-perbuatan

yang merupakan perbuatan sendiri-sendiri.

Didalam KUHP concursus realis dibedakan dalam:

a. Meerdaadse samenloop van misdrijven (perbarengan

perbuatan atas kejahatan) yang diatur dalam Pasal 65 dan

66 KUHP.

b. Meerdaadse samenloop van overtredingen (perbarengan

perbuatan atas pelanggaran)yang diatur dalam Pasal 70

KUHP.

3. Voorgezette handeling atau perbuatan berlanjut

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 34: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

52

Yaitu dalam hal seseorang melakukan beberapa perbuatan dan

beberapa perbuatan itu merupakan perbuatan pidana yang masing-

masing berdiri sendiri-sendiri,akan tetapi perbuatan-pebuatan tersebut

ada hubungannya sedemikian rupa eratnya yang satu dengan yang

lain,sehingga beberapa perbuatan tersebut harus dianggap sebagai satu

berbuatan berlanjut.Hal ini diatur dalam Pasal 64 KUHP.90

Menurut komentar Pasal 141 KUHAP yang di tulis M.Karjadi (Komisaris

Besar Polisi pnw) dan R.Soesilo (Ajun Komisaris Besar Polisi pnw,Bekas Dosen

AKABRI Bag. Kepolisian Sukabumi) menyatakan penuntut umum menurut bunyi

pasal ini dapat mengadakan penggabungan beberapa berkas perkara menjadi satu

surat dakwaan apabila dalam waktu yang sama atau hampir bersamaan ia

menerima beberapa berkas perkara tentang beberapa tindak pidana yang sama

atau yang bersangkut paut satu dengan yang lain, atau yang tidak,bersangkut-paut

satu dengan yang lain akan tetapi yang satu dengan yang lain itu ada

hubungannya,sedangkan penggabungan itu perlu untuk kelancaran pemeriksaan.91

Menurut Memorie van Toelichating (MvT) voorgezette handeling menurut

J.M. van Bummelen (Hermien Hadijati Koeswadji dan Woerjaningsih

1977:18) harus memenuhi 3 (tiga) syarat yaitu:

1. Beberapa perbutan yang dilakukan seseorang itu harus timbul dari

satu kehendak yang terlarang;

2. Diantara perbuatan-perbuatan yang dilakukan itu tidak boleh

melampaui jangka waktu yang lama;

3. Beberapa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang itu harus sama

jenisnya.

Menurut Prof. Simon (Hermien Hadijati Koeswadji dan

Woerjaningsih 1977:18) menentang penjelasan MvT ini,karena menurut Simons

90 Hari Sasangka, Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit, h.118-119. 91 M.Karjadi dan R.Soesilo, Loc. cit.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 35: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

53

syarat yang ketiga adalah tidak tepat,menurut dia tidak perlu merupakan perbuatan

yang sejenis,sebab menurut simons,mungkin ada seseorang melakukan beberapa

perbuatan dan juga perbuatan-perbuatan itu timbul dari satu kehendak yang

terlarang dan masing-masing merupakan delik dan juga dilakukannya tidak dalam

waktu yang lama,namun perbuatan itu tidak sejenis.

Menurut Hari Sasangka,Lily Rosita,S.H.,August Hadiwijono,S.H. dalam

bukunya pun menjelaskan syarat-syarat umum untuk dilakukan penggabungan

penuntutan adalah :

1. Ada dua atau lebih tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam

undang-undang dilakukan;

2. Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut dilakukan oleh satu

orang,atau lebih dalam hal penyertaan;

3. Bahwa dua atau lebih tindak pidana tersebut belum ada yang diadili

dan penuntut umum berkeinginan untuk diadili sekaligus.92

Penggabungan berkas perkara (voeging) dilakukan sesuai dengan asas

cepat,sederhana dan biaya ringan yang mana merujuk pada Pasal 4 ayat (2)

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

Didalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik

Indonesia tidak tersirat secara tegas wewenang Penuntut Umum (PU) dalam

melakukan pemisahan berkas perkara (splitsing) maupun penggabungan berkas

perkara (voeging).Wewenang Penuntut Umum (PU) secara garis besar terlihat

dalam Pasal 1 huruf 2 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 yang mana “penuntut

umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk

melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.”

92 Hari Sasangka,Lily Rosita dan August Hadiwijono, Op. cit, h.120.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 36: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

54

Terlihat secara lebih rinci dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang No. 16

Tahun 2004 yang berisikan Tugas Dan Wewenang Kejaksaan di bidang

pidana.Yang berisikan:

Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. melakukan penuntutan;

b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah

memperoleh kekuatan hukum tetap;

c. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas

bersyarat;

d. melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan

undang-undang;

e. melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke

pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan

penyidik.

Selain itu menurut Pasal 32 Undang-Undang No.16 Tahun 2004

menyebutkan “Di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-

Undang ini, kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan

undang-undang.”Sehingga kewenangan Penuntut Umum (PU) dapat merujuk pada

kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang lain.Dalam hal ini Undang-

Undang No. 16 Tahun 2004 bersifat terbuka yang mana dapat melihat ketentuan-

ketentuan dari undang-undang lain apabila Undang-Undang No. 16 Tahun 2004

sendiri tidak mengatur.Sehingga KUHAP lah yang lebih mengatur secara jelas

kewenangan Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas perkara

(splitsing) maupun penggabungan berkas perkara (voeging).

2.6. Fungsi Pemisahan Berkas Pekara (Splitsing) yang Dilakukan Oleh

Penuntut Umum Beserta Akibatnya

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 37: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

55

Pemisahan berkas perkara ( Splitsing ) yang diberikan kewenangan kepada

Penuntut Umum (PU) berdasarkan Pasal 142 KUHAP dilakukan dalam hal kasus-

kasus pidana yang tidak memiliki alat bukti yang cukup dalam proses

pembuktian.Terdapat beberapa pelaku yang melakukan satu perbuatan tindak

pidana maupun beberapa tindak pidana yang saling berhubungan.

Pemisahan berkas perkara (Splitsing) dilakukan oleh penuntut umum

dengan cara membuat berkas perkara baru. Dalam hal ini para tersangka dapat

menjadi saksi dalam pemeriksaan tersangka lain dalam suatu tindak pidana,

sehingga perlu dilakukan pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun

tersangka. Hal ini dilakukan untuk menguatkan dakwaan penuntut umum. Dalam

praktiknya seringkali suatu berkas hanya perlu digandakan dan sebagaian

tersangka dijadikan saksi terhadap tersangka lainnya. Tersangka tersebut harus

diperiksa lagi bukan sebagai tersangka tapi sebagai saksi bagi tersangka lainnya.

Dalam memecahkan berkas perkara (Splitsing) merupakan kebijaksanaan

penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada kepentingan

pemeriksaan semata-mata.Sehingga fungsi dari pemisahan berkas perkara

(Splitsing) adalah memunculkan saksi sebagai terdakwa kepada terdakwa lainnya

dalam satu tindak pidana atau beberapa tindak pidana yang saling berhubungan

dengan tujuan dapat membuka bukti-bukti di muka persidangan.Dalam hal ini,alat

bukti pun kurang sehingga dengan pemisahan berkas perkara (Splitsing) dapat

memunculkan alat bukti baru dikarenakan hanya saksi sebagai terdakwa lah yang

mengetahui tindak pidana tersebut.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 38: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

56

Akibat dari pemisahan berkas perkara (Splitsing) adalah dilakukan kembali

pemeriksaan baru baik terhadap saksi maupun tersangka. Hal ini dilakukan untuk

menguatkan dakwaan penuntut umum.Pemeriksaan dimulai kembali dari proses

pemeriksaan saksi-saksi pada proses penyelidikan hingga putusan akhir.Hal

tersebut dikarenakan para saksi dalam berkas satu tidak dapat disamakan dengan

berkas yang lain.Sehingga dalam pemisahan berkas perkara (Splitsing) dapat

memunculkan beberapa berkas perkara dan beberapa proses persidangan.

2.7. Masalah-Masalah Penerapan Pemisahan Berkas Perkara (Splitsing)

Penerapan Pemisahan berkas perkara (Splitsing) akan menimbulkan

beberapa permasalahan salah satunya adalah permasalahan penerapan hukum

yang dilakukan oleh para penegak hukum.Hakim seringkali bebeda pandangan

dalam hal melihat peran dari masing-masing terdakwa.Pandangan hakim

seringkali berbeda dalam menerapkan hukum dan memutus beberapa perkara

pidana yang di Splitsing.

Selain itu pun seolah-olah peran dari para pelaku pun menjadi

kabur.Unsur-unsur deelnemingnya bahkan akan menjadi tidak jelas apabila salah

memandang peran para pelaku.Padahal jika mengacu pada ketentuan Pasal 142

KUHAP, pemisahan perkara itu harus terdiri dari beberapa tindak pidana yang

berbeda. Namun dilakukan oleh beberapa orang dalam waktu yang sama.

Apalagi, biasanya ada terdakwa baru dalam kasus yang sama diajukan ke

pengadilan setelah ada putusan dengan terdakwa lain. Otomatis terdakwa baru itu

pasti dihukum. Sebab dalam putusan itu, terdakwa lama sudah dinyatakan

melakukan tindak pidana bersama-sama dengan terdakwa baru.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 39: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

57

Menurut ahli hukum acara pidana, Chairul Huda splitsing di Pengadilan

Tipikor tidak tepat. Bahkan bisa menutup siapa pelaku utamanya, tegasnya. Sebab

pemisahan perkara menyebabkan unsur penyertaan tidak terbukti. Pasalnya,

penentuan siapa pelaku (pleger) dan medepleger (turut serta) tidak jelas. Padahal,

unsur penyertaan itu harus dibuktikan karena itu merupakan unsur delik. Jika

tidak dibuktikan, berarti unsur dakwaan tidak terbukti.93

Hal senada juga disampaikan oleh Rudy Satrio, ahli hukum pidana

Universitas Indonesia. Ia menjelaskan splitsing dapat menyulitkan jaksa dalam

membuktikan hubungan pelaku satu dengan pelaku lainnya. Pasalnya, dalam

tindak pidana yang dilakukan oleh beberapa orang otomatis diperlukan

pembuktian antara pelaku. Kalau perkaranya di-split bagaimana bisa mengetahui

hubungan antar pelaku, terangnya. Akibat penentuan kualitas deelneming

(penyertaan) yang tidak jelas mengakibatkan perbedaan penerapan hukum.

Padahal tidak mungkin terbukti unsur penyertaan jika tindak pidana yang

dilakukan berbeda.94

Chairul menerangkan semua atau salah satu unsur yang ada dalam

dakwaan harus dilaksanakan secara bersama-sama. Kalau dia didakwa sendiri

bagaimana membuktikan bersama-samanya, tandasnya. Terdakwa tunggal itu

tidak mungkin terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama orang lain.

Inkonsitensi penerapan pasal menunjukan adanya dua delik yang berbeda. Padahal

93 Mon Ali, Splitsing Memungkinkan Pelanggaran Azas Hukum, www.hukumonline.com,

19 November 2007, h.1, dikunjungi pada tanggal 13 Januari 2015. 94 Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO

Page 40: BAB II DASAR KEWENANGAN PENUNTUT UMUM …repository.unair.ac.id/13742/9/9. Bab 2.pdf · Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana ... menuntut dan menetapkan ketentuan pidana

58

didakwa melakukan deelneming. Menunjukan ketidaktepatan dalam menerapkan

pasal, terangnya.95

Dalam sub bab ini telah dijabarkan pemisahan dan penggabungan berkas

perkara oleh Penuntut Umum(PU).Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa

Penuntut Umum (PU) berwenang dalam melakukan pemisahan dan penggabungan

berkas perkara yang diatur dalam Pasal 141 dan 142 KUHAP.Dalam praktiknya

Penuntut Umum dapat melakukan pemisahan dan penggabungan berkas perkara

demi kelancaran pemeriksaan dalam persidangan.

Dalam melakukan pemisahan berkas perkara (Splitsing) merupakan

kebijaksanaan penuntutan yang dilakukan penuntut umum berdasarkan kepada

kepentingan pemeriksaan semata-mata.Didalam Undang-Undang No.16 Tahun

2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak tersirat secara tegas wewenang

Penuntut Umum (PU) dalam melakukan pemisahan berkas perkara

(Splitsing).Namun sesuai dengan Pasal 32 Undang-Undang No. 16 Tahun 2004

yang mana di samping tugas dan wewenang tersebut dalam Undang-Undang

No. 16 Tahun 2004 kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain

berdasarkan undang-undang.

95 Ibid.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga

Skripsi PEMISAHAN BERKAS PERKARA (SPLITSING) DALAM PERKARA PIDANA DITINJAU DARI HUKUM POSITIF

FADLI SATRIANTO