bab ii besar rev.doc

8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit Sistem penyelenggaraan makanan di rumah sakit memiliki dua peran yang saling berkaitan, yaitu peran sebagai manager pelayanan dan sebagai penyedia pelayanan Peran pertama berkaitan dengan sistem manajemen pelayanan makanan dengan berbagai kebutuhan unik yang terdapat pada berbagai fungsi manajerial planning, organising, leading,dan controlling . Sementara peran kedua terkait dengan pelayanan gizi yang menyediakan kebutuhan berbagai jenis konsumen. Peran tersebut memiliki kecenderungan terhadap tugas dasar ahli gizi di rumah sakit s skrining untuk pasien yang berisiko malnutrisi, assessment status gizidan pengembangan Nutrition Care Plan (Puckett, 2004. 2.2 Prinsi Makanan Rumah Sakit Pemenuhan kebutuhan gizi di !umah Sakit kerap dipandang sebelah mata atau hanya sebagai treatmenttambahan untuk pasien. "amun kemudian disetujui bah#a penyelenggaraan makanan di rumah sakit merupakan indikator kualitas pelayanan rumah sakit. $erdapat beberapa permasalahan yang khas yang terdapat pada penyelenggaraan makanan di rumah sakit, antara lain disebabkan kebutuhan pasien akan zat gizikhusus sesuai penyakitmasing%masing pasien.&erikut beberapa acuan makanan rumah sakit ('arney, 200 ) * +enu standar untuk pelayanan akut rumah sakit semestinya tinggi energi dan tinggi protein, setidaknya menyediakan 40 energi dari lemak. 2 +enu yang sehat harus selalu tersedia baik untuk pasien malnut maupun berisiko malnutrisi, menyediakan sekitar - energi dari lemak. - +enu yang menyediakan kebutuhan sekitar 0 dari lemak tersedia untuk pasien dengan nafsu makan sangat buruk, kebutuhan energi yang tinggi atau asupan makanan yang rendah. 4 +enu yang dimodifikasi khusus tersedia untuk pasien dengan kesul menelan, minimal menyediakan 40 energi dari lemak.

Upload: sharira-ramadhani

Post on 05-Nov-2015

7 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kepuasan pasien

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit

Sistem penyelenggaraan makanan di rumah sakit memiliki dua peran yang saling berkaitan, yaitu peran sebagai manager pelayanan dan sebagai penyedia pelayanan. Peran pertama berkaitan dengan sistem manajemen pelayanan makanan dengan berbagai kebutuhan unik yang terdapat pada berbagai fungsi manajerial seperti planning, organising, leading,dan controlling. Sementara peran kedua terkait dengan pelayanan gizi yang menyediakan kebutuhan berbagai jenis konsumen. Peran tersebut memiliki kecenderungan terhadap tugas dasar ahli gizi di rumah sakit seperti skrining untuk pasien yang berisiko malnutrisi, assessment status gizi dan pengembangan Nutrition Care Plan (Puckett, 2004).

2.2 Prinsip Makanan Rumah Sakit

Pemenuhan kebutuhan gizi di Rumah Sakit kerap dipandang sebelah mata atau hanya sebagai treatment tambahan untuk pasien. Namun kemudian disetujui bahwa penyelenggaraan makanan di rumah sakit merupakan indikator kualitas pelayanan rumah sakit. Terdapat beberapa permasalahan yang khas yang terdapat pada penyelenggaraan makanan di rumah sakit, antara lain disebabkan kebutuhan pasien akan zat gizi khusus sesuai penyakit masing-masing pasien. Berikut beberapa acuan makanan rumah sakit (Harney, 2009):

1) Menu standar untuk pelayanan akut rumah sakit semestinya tinggi energi dan tinggi protein, setidaknya menyediakan 40% energi dari lemak.

2) Menu yang sehat harus selalu tersedia baik untuk pasien malnutrisi maupun berisiko malnutrisi, menyediakan sekitar 35% energi dari lemak.

3) Menu yang menyediakan kebutuhan sekitar 50% dari lemak tersedia untuk pasien dengan nafsu makan sangat buruk, kebutuhan energi yang tinggi atau asupan makanan yang rendah.

4) Menu yang dimodifikasi khusus tersedia untuk pasien dengan kesulitan menelan, minimal menyediakan 40% energi dari lemak.

5) Standar menu harus mencapai kebutuhan minimum AKG seluruh zat gizi makro dan mikro pasien.

6) Seluruh menu memperhatikan faktor budaya dan agama pasien.

7) Apabila memungkinkan menu yang disediakan memperhatikan pemilihan makanan pasien.

8) Pasien harus menerima informasi dan deskripsi yang akurat tentang menu yang disediakan.

9) Menu yang ada harus dikonsultasikan kepada ahli gizi dan memiliki standar resep.

10) Hanya diet khusus yang evidence-based yang diresepkan untuk pasien.

11) Status gizi pasien harus dipertimbangkan untuk pemberian indikasi diet rendah lemak.

12) Kemampuan makan dan status gizi pasien harus dipertimbangkan dan diassess secara bertahap untuk makanan yang teksturnya dimodifikasi.

13) Pengobatan alternatif, suplemen dan penerimaan pasien harus dipertimbangkan.

14) Kandungan gizi dan porsi harus disurvey dan dievaluasi setiap tahunnya.

15) Pada tahap perencanaan, harus ada dokumentasi bahwa kandungan zat gizi dalam menu memenuhi kebutuhan zat gizi pasien.2.3 Indikator Mutu Pelayanan GiziPelayanan gizi di rumah sakit dapat dikatakan berkaualitas, bila hasil pelayanan mendekati hasil yang diharapkan dan dilakukan sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku. Indicator mutu pelayanan gizi mencerminkan mutu kerja instalasi gizi dalam ruang lingkup kegiatannya (pelayanan asuhan gizi, pelayanan makanan, dsb), sehingga manajemen dapat menilai apakah organisasi berjalan sesuai jalurnya atau tidak, dan sebagai alat untuk mendukung pengambilan keputusan dalam rangka perencanaan kegiatan untuk masa yang akan datang (Kemenkes RI, 2010)

Komponen indikator keberhasilan pelayanan makanan dapat dilihat dengan sisa makanan dan kepuasan pasien. Sisa makanan juga dikaitkan sebagai indikator keberhasilan penyelenggaraan makanan di rumah sakit, sesuai dengan peraturan Kepmenkes 129 tahun 2008 tentang standar minimal pelayanan rumah sakit, dalam pelayanan gizi standar minimal untuk sisa makanan yang tidak termakan oleh pasien adalah sebanyak 20%. Sedangkan tujuan penyelenggaran makanan di rumah sakit adalah menyediakan makanan yang sesuai dengan kebutuhan dan harapan pasien sehingga kepuasan pasien merupakan indicator keberhasilan pelayanan makanan yang harus diperhatikan (Kusumayanti dkk, 2013).2.3.1 Sisa Makanan PasienSisa makanan adalah bagian makanan yang masih dapat dimakan untuk tujuan dikonsumsi, namun kemudian dibuang atau diberikan kepada hewan peliharaan. Sisa makanan tidak termasuk bagian yang tidak dapat dimakan atau tidak diinginkan. Sisa makanan dapat diklasifikasikan sebagai food loss apabila dibuang atau hilang pada saat tahap awal proses perjalanan makanan dan diklasifikasikan sebagai food waste apabila dibuang atau hilang pada saat tahap akhir perjalanan makanan atau setelah ada ditangan konsumen (Bond, et.al., 2013).

Makanan yang terbuang atau food loss terjadi pada proses produksi, penyimpanan, dan transport dimana apabila terjadi kehilangan sebagian bahan makanan tidak akan terlalu banyak menimbulkan kerugian, namun sisa makanan atau makanan yang dibuang setelah berada di tangan konsumen dapat menimbulkan kerugian yang signifikan (Bond, et.al., 2013). 2.3.1.1 Faktor yang Mempengaruhi Sisa Makanan2.3.1.1.1 Penampilan MakananPenampilan makanan adalah kesan yang ditimbulkan oleh makanan yang disajikan. Penampilan makanan meliputi :1) Warna Makanan

Warna makanan adalah rupa hidangan yang disajikan yang dapat memberi kesan menarik terhadap makanan (Nida 2011). Meskipun konsumen mengetahui bahwa makanan tersebut adalah makanan yang bergizi, memiliki rasa dan aroma yang memikat, namun variasi warna tetap merupakan salah satu pertimbangan konsumen terhadap pilihan makanan (Nida 2011).2) Bentuk Makanan

Bentuk makanan dalam menu yang disajikan yang bervariasi juga dapat digunakan sebagai daya tarik tersendiri bagi konsumen (Nida 2011). Bentuk makanan yang serasi juga dapat dijadikan daya tarik untuk konsumen (Nida 2011).

3) Besar Porsi

Besar porsi adalah jumlah makanan yang disajikan, dimana masing-masing individu memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Porsi yang terlalu besar atau terlalu kecil dapat mempengaruhi nafsu makan konsumen (Nida 2011).4) Penyajian Makanan

Penyajian makanan adalah perlakuan terakhir dalam penyelenggaraan makanan sebelum dikonsumsi, penyajian makanan meliputi alat, cara penyususnan makanan dan hiasan hidangan (Nida 2011). Penyajian makanan juga merupakan faktor yang perlu mendapat perhatian untuk mempertahankan penampilan makanan yang disajikan (Nida 2011).

2.3.1.1.2 Persepsi terhadap Rasa dan Aroma

Nida (2011) menyatakan bahwa sensasi yang diterima oleh individu menimbulkan terciptanya cita rasa makanan (flavor). Cita rasa makanan adalah sensasi yang timbul dari berbagai stimulan seperti aroma, rasa, dan stimulan lain dari makanan (Hgnadttir, 2000). Cita rasa makanan terdiri dari dua komponen utama yaitu penampilan makanan (visual) dan rasa makanan (taste). Aspek penampilan meliputi warna makanan, bentuk makanan, besar porsi, dan penyajian makanan (Aula, 2011). Penampilan merupakan unsur penting sebagaimana disebutkan dalam penelitian oleh Sahin et al. (2007) bahwa penampilan makanan dan rasa makanan memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat konsumsi pasien. Namun pada penelitian Aula (2011) di Rumah Sakit Haji Jakarta, dinyatakan tidak ada hubungan antara penampilan makanan dengan sisa makanan. Auvrey dan Spance (2008) menyebutkan tentang dualisme dari sistem olfaktori (penciuman) di mana reseptor di hidung dapat distimulasi melalui dua jalur yakni via hidung dengan menghirup udara dan via mulut selama makan atau minum. Stimulasi via mulut dapat timbul karena senyawa volatil dari makanan masuk ke reseptor olfaktori melalui nasofaring. Dari keterkaitan tersebut, wajar bila pada seseorang yang sedang sakit atau mengalami gangguan penciuman dan pengecap, terjadi penurunan pada tingkat konsumsi makanan akibat dari terganggunya persepsi mereka terhadap aroma dan rasa makanan.

Faktor cita rasa makanan memiliki peran yang lebih besar daripada penampilan makanan sebagaimana dijelaskan oleh Aula (2011) dalam penelitiannya di Rumah Sakit Haji Jakarta. Penampilan makanan yang terdiri dari unsur bentuk, warna, besar porsi, dan penyajian makanan dinyatakan tidak memiliki hubungan dengan terjadinya sisa makanan. Hal tersebut dikarenakan pada umumnya bentuk warna makanan rumah sakit sudah dibuat cukup menarik dengan teknik pengolahan yang terstandarisasi dan bahan serta bumbu yang alami. Selain itu, besar porsi dan penyajian makanan yang diberikan oleh rumah sakit pada umumnya sudah disesuaikan dengan kondisi pasien sehingga kebanyakan pasien menganggap bahwa besar porsi dan penyajian makanan tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien dan tidak mempengaruhi pasien untuk menyisakan makanannya.

Persepsi pasien terhadap rasa dan aroma makanan dapat terganggu karena adanya gangguan pada penciuman (olfactory disfunction). Gangguan tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti trauma, penyakit, atau obat. Trauma yang dapat menyebabkan gangguan penciuman adalah edema mukosa, trauma kepala (seperti pada pasca bedah nasal), adanya benda asing (foreign body), kelainan katub hidung (nasal septal deformity), dan laringektomi (Sobol et al. 2002; Shen, 2003).2.3.1.1.3 Pengetahuan DietPengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Rusimah, 2011)

Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi tentang kebutuhan pangan dan nilai pangan umum dijumpai setiap negara di dunia. Penyebab lain dari kurang gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat konsumsi gizi (Wulansari, 2011).2.3.1.1.4 Perilaku Pramusaji

Kurangnya rasa kepemilikan dengan lingkungan berbasis tim selama waktu makan pada petugas layanan makanan dan kurangnya kualitas makanan dapat menyebabkan rendahnya daya terima makanan pasien. Penundaan waktu pelayanan makanan pasien dapat mendorong pasien melihat makanan rumah sakit secara tidak postif. Petugas ruangan yang terbaik harus ditempatkan secara efektif untuk mengatasi masalah ini sehingga menghasilkan layanan makanan yang lebih baik (NHS, 2005).

Selain itu keramahan dan sopan santun pramusaji makanan dalam memberikan pelayanan mempengaruhi daya terima makanan pasien. Ramah merupakan perilaku yang ditunjukkan petugas dalam memberikan pelayanan kepada pasien maupun keluarga, kebersihan secara fisik, kerapian berpakaian, cara memberikan makanan, dan kecepatan pelayanan tanpa membedakan status sosial, asal, suku, dan agama. Keramahan pramusaji makanan termasuk pelayanan yang diawali dengan 5 S yaitu Senyum, Salam, Sapa, Sentuh, Sopan/satun (Nurcaya, 2008).

2.3.1.2 Kepuasan Pasien

Penyelenggaraan makanan di rumah sakit seringkali menjadi sorotan banyak pihak, khususnya yang berkaitan dengan kepuasan pasien. Hal ini disebabkan karena selain efek psikologis orang sakit, juga karena makanan sebagai output penyelenggaraan makanan seringkali tidak memberikan kepuasan kepada pasien (Semedi dkk., 2013). Kata kepuasan (satisfaction) berasal dari bahasa latin satis artinya cukup baik, memadai dan facio artinya melakukan atau membuat (Tjiptono dan Chandra, 2011). Kepuasaan adalah tingkat keadaan yang dirasakan seseorang yang merupakan hasil dari membandingkan penampilan produk dengan harapan seseorang (Semedi dkk., 2013).

Sedangkan menurut Anjaryani kepuasan adalah reaksi emosional terhadap kualitas pelayanan yang dirasakan. Kualitas pelayanan yang dirasakan merupakan pendapat menyeluruh atau sikap yang berhubungan dengan keutamaan pelayanan. Dengan kata lain, kepuasan pelanggan adalah kualitas pelayanan yang dipandang dari kepentingan konsumen atau pasien (Anjaryani, 2009). Berdasar tingkatannya kepuasan dibagi menjadi tiga yaitu (Wijono, 1999) :

1. Tingkat pertama, bila penampilan produk kurang dari harapan sehingga pasien tidak puas.2. Tingkatan kedua, bila penampilan sebanding dengan harapan sehingga pasien puas.3. Tingkatan ketiga, bila penampilan melebihi harapan sehingga pasien amat puas. Faktor Kepuasan Pasien

2.1.1.1 .1 Faktor Kepuasan Pasien

Porsi makanan adalah banyaknya makanan yang disajikan kepada pasien sesuai dengan jenis makanannya (Lumbantoruan, 2012). Porsi makanan disajikan sesuai kebutuhan setiap individu berbeda sesuai dengan kebiasaan makan. Pentingnya porsi makanan tidak hanya berkaitan dengan penerimaan dan perhitungan pemakaian bahan makanan tetapi juga berkaitan erat dengan penampilan makanan waktu disajikan. Porsi yang terlalu besar atau kecil akan mempengaruhi penampilan makanan (Kurniah, 2010).