bab ii a. tinjauan tentang mahasiswa 1. mahasiswa secara...
TRANSCRIPT
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Tentang Mahasiswa
1. Pengertian Mahasiswa
Mahasiswa secara sederhana dapat didefinisikan sebagai kelompok
masyarakat yang dapat mengenyam pendidikan formal tingkat tinggi. Yahya
Ganda (1987 : 10) mengatakan bahwa “mahasiswa diartikan sebagai pelajar
yang menimba ilmu pengetahuan tinggi, dimana pada tingkat ini mereka
dianggap memiliki kematangan fisik dan perkembangan pemikiran yang luas,
sehingga dengan nilai lebih tersebut mereka dapat memiliki kesadaran untuk
menentukan sikap dirinya serta mampu bertanggungjawab terhadap sikap dan
tingkah lakunya dalam wacana ilmiah”.
A.M. Fatwa dalam Syaifullah Syam (2005 : 374) mengemukakan
bahwa mahasiswa merupakan kelompok generasi muda yang mempunyai
peran strategis dalam kancah pembangunan bangsa, karena mahasiswa
merupakan sumber kekuatan moral (moral force) bagi bangsa Indonesia.
Artinya, bahwa mahasiswa merupakan bagian integral dari masyarakat yang
dengan seleksi tertentu sehingga dapat mengenyam pendidikan formal tingkat
tinggi.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999 Tentang
Perguruan Tinggi disebutkan bahwa “mahasiswa merupakan peserta didik
yang terdaftar pada perguruan tinggi”. Sedangkan dalam Statuta Universitas
15
Pendidikan Indonesia dikatakan bahwa “mahasiswa adalah seseorang yang
telah memenuhi persyaratan masuk dan memenuhi kewajiban administrasi”.
Mahasiswa berhak untuk mengikuti kegiatan kurikuler dan ekstra kurikuler
serta memanfaatkan fasilitas pendidikan sesuai dengan ketentuan dan
perundang-undangan yang berlaku. Tujuan mahasiswa menurut Yahya Ganda
(1987 : 1) ialah untuk “mencapai dan meraih taraf keilmuan yang matang,
menguasai sesuatu ilmu, serta memiliki wawasan ilmiah yang luas, sehingga
mampu bersikap dan bertindak ilmiah dalam segala dalam segala hal yang
berkaitan dengan dengan keilmuannya untuk diabdikan kepada masyarakatnya
dan umat manusia”.
Andito (2005) mengatakan bahwa mahasiswa merupakan kelas sosial
di masyarakat yang mempunyai konotasi religiusitas, moralitas, intelektualitas
dan humanitas. Mahasiswa menghubungkan dimensi ketuhanan (maha) dan
kemahlukan (siswa). Kata “maha” identik dengan makna kemutlakan,
kebenaran absolut. Sedangkan kata “siswa” merupakan sosok pembelajar yang
senantiasa bergerak/dinamis (karena memang mahasiswa sebagai manusia
merupakan mahluk material yang akan terus bergerak).
Mahasiswa merupakan bagian integral dari masyarakat yang
merupakan perwujudan fase dari kehidupan manusia yang telah mencapai
kesadaran akan tugas sejarah dan kemanusiaannya. Secara historis bahwa
mahasiswa merupakan “sumber kepemimpinan” dan secara sosiologis bahwa
mahasiswa merupakan usia muda, idealis serta ilmiah. Soe Hok Gie (2005 :
130) menyatakan bahwa mahasiswa merupakan “the happy selected few”
16
yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan
diri dalam perjuangan bangsanya.
Karena kesempatan mendapatkan ilmu pengetahuan yang lebih
banyak ketimbang masyarakat lainnya, maka mahasiswa pula sering
diidentikan sebagai cendekiawan yang harus senantiasa memahami kehidupan
bangsa dan negaranya. Karenanya, Apudin (2005 : 8) menyatakan bahwa
mahasiswa merupakan kaum menengah yang tercerahkan, sebagai kaum
cendekiawan dan intelektual muda yang memiliki kecenderungan sebagai
seorang pemimpin yang mapan dan bila dalam suatu realitas sosial selalu
menjadi pembaharu. Karena dari catatan sejarah bangsa, mahasiswa banyak
mengukir tinta dalam perjalanan bangsa Indonesia. Mulai dari 1908, 1928,
1945, 1966 hingga momentum reformasi 1998.
2. Aktivis Mahasiswa
Aktivis mahasiswa merupakan mahasiswa yang melibatkan dirinya
kedalam kegiatan dan dinamika organisasi kemahasiswaan. Aktivis
mahasiswa pula sering dikonotasikan sebagai pembaharu, karena banyak
terlibat dalam penyikapan wacana kemasyarakatan. Biasanya mereka terlibat
dalam penanaman intelektual serta pergerakan mahasiswa. Dalam konteks
Indonesia, para aktivis dan pergerakan mahasiswa banyak mewarnai lembar
perjalanan bangsa.
Dalam kamus ilmiah popular (Burhani dan Hasbi Lawrens, tt : 18)
dikatakan bahwa aktivis ialah orang yang aktif (menjadi anggota) suatu
17
organisasi. Sehingga dalam konteks aktivis mahasiswa, penulis dapat
menyimpulkan bahwa aktivis mahasiswa ialah para mahasiswa yang
melibatkan dirinya dalam kegiatan berorganisasi melalui sebuah wadah yang
bernama organisasi mahasiswa.
Gerakan-gerakan tersebut mempunyai tujuan yang didasarkan pada
kehendak untuk merubah kondisi bangsa. Mulai ketika peiode 1966 (yang
menjadi isu sentral ialah kedaulatan rakyat dan perbaikan ekonomi hingga
kepada reformasi 1998 yang bertujuan untuk merubah tatanan kehidupan
kebangsaan.
Analisa gerakan aktivis mahasiswa tersebut dapat digambarkan
sebagai berikut :
Tabel 2.1. Analisa Gerakan Aktivis Mahasiswa 1966 - 1998
1966 1974 1978 1989 1998
Visi Kedaulatan rakyat
Kedaulatan rakyat
Kedaulatan rakyat
Kedaulatan rakyat
Kedaulatan rakyat
Sasaran strategis
Pimpinan nasional
Strategi pembangunan
Pimpinan nasional
Perubahan struktural
Pimpinan nasional dan perubahan struktural
Organisasi
Ekstrakulikuler (KAMI dan Organisasi Pemuda)
Dewan Mahasiswa
Dewan Mahasiswa
Komite Solidaritas Mahasiswa, Buruh dan Petani, Kelas Menengah
Jaringan Organisasi Mahasiswa Formal dan Informal
Aliansi strategis
Angkatan Darat
Intelektual dan Politisi Oposisi
Intelektual dan Politisi Oposisi
Buruh, Petani, Intelektual dan Kelas Menengah
Intelektual, Kaum Miskin Kota, Kelas Menengah Dan Profesional
18
Kondisi politik
Friksi tajam antara Soekarno, Angkatan Darat dan PKI
Friksi tajam antara Jenderal Soemitro dan Aspri Soeharto
Friksi politik relatif kecil
Friksi politik relatif kecil
Friksi tajam Soeharto vs 14 menteri, Jenderal Wiranto vs Letjen Prabowo S
Kondisi ekonomi
Inflasi sekitar 600 %
Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi
Pertumbuhan ekonomi cukup tinggi
Pertumbuhan ekonomi rata-rata 7 %
Depresiasi 708 % dan inflasi 82,4 %
Hasil Soekarno digulingkan, PKI dibubarkan
Soeharto tetap berkuasa, perbaikan pada kebijakan ekonomi
Soeharto tetap berkuasa, tidak ada perbaikan kebijakan signifikan
Soeharto tetap berkuasa, tidak ada perbaikan kebijakan signifikan
Soeharto dan Habibie digulingkan, demarkasi politik tidak berjalan dan revolusi mahasiswa belum selesai
Sumber : Komisariat GmnI FPIPS UPI
Gerakan mahasiswa merupakan gerakan politik yang menjungjung
tinggi moralitas. Gerakan mahasiswa bukanlah gerakan politik partisan untuk
ikut merengkuh kekuasaan. Gerakan mahasiswa merupakan pengkritik atau
oposan kekuasaan atau perilaku yang menindas. Aktivis mahasiswa (gerakan
mahasiswa) laksana seorang koboi yang datang dari horizon yang jauh, yang
memasuki kota untuk membaasmi bandit dan setelah itu pergi lagi ke horizon
yang jauh.
Dalam kehidupan sosial kemasyarakatan secara hierarkis-piramid,
mahasiswa memiliki posisi berada diantara kelas pemerintah dan kelas
masyarakat. Maka, dengan jelas tersebutkan bahwa tugas dan peran
mahasiswa ialah sebagai kelompok kritis dan pembaharu untuk bergerak
19
bersama-sama masyarakat untuk melakukan perlawanan terhadap segala
bentuk kebijakan pemerintah yang sewenang-wenang. Ungkapan tersebut
nampaknya bukan isapan jempol semata. Karena, seperti analisis A.M Fatwa
dalam Syaifullah Syam (2005 : 374) mengenai peran mahasiswa dalam
kehidupan sosial yang menyatakan bahwa :
1. Mahasiswa telah mengalami proses pendidikan dan sosialisasi politik, sehingga mengetahui dan memahami serta meresapi persoalan-persoalan di masyarakat.
2. Mahasiswa merupakan kelompok masyarakat terdidik yang penuh dengan jiwa idealisme dan berhati nurani. Ia dapat menilai keadaan empirik dengan berpatokan kepada nilai-nilai idealita, yang dalam banyak kasus seringkali tidak sesuai dengan apa yang ada di lapangan. Hal ini menyentuh nilai-nilai idealisme mahasiswa.
3. Mahasiswa mempunyai nyali dan keberanian luar biasa dalam melakukan perubahan-perubahan sosial menurut idealisme yang mereka miliki.
Aktivis mahasiswa identik dengan pergerakan dan lembaga
(organisasi) kemahasiswaan. Namun, ada yang menarik untuk dicermati dari
gerakan mahasiswa. Bahwa gerakan mahasiswa bukan gerakan politik untuk
merebut suatu kekuasaan. Tetapi gerakan mahasiswa ialah gerakan moral
untuk penekan suatu rezim yang berkuasa.
Hal itu dilontarkan oleh Arief Budiman dalam Enin Supriyanto
(1999 : xi) bahwa :
Mahasiswa bukan kelompok politik yang berusaha meraih kursi kekuasaan. Melainkan suatu kekuatan moral (moral force) untuk memainkan peran bagi pencapaian cita-cita negara. Tugas mahasiswa aadalah melakukan kritik terhadap keadaan sosial yang kacau. Bila penguasa melakukan penyelewengan, mahasiswa harus melancarkan kritik sosial dan turun dari universitas. Tugas ini mirip sebagai intelektual resi dalam konsepsi kekuasaan di lingkungan budaya feodal-kolonial Jawa.
20
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa gerakan mahasiswa tidak
bertujuan untuk mengambil atau menduduki jabatan politik tertentu. Tetapi
secara politik gerakan mahasiswa menjadi sebuah penekan bagi kebijakan-
kebijakan publik yang dibentuk dan dikeluarkan oleh pemerintah. Gerakan
mahasiswa tidak perlu dibedakan menjadi gerakan moral atau gerakan politik.
Tetapi secara jelas bahwa gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral untuk
menekan segala kebijakan pemerintah.
B. Tinjauan Tentang Negara-Bangsa
Konsep negara-bangsa mengandung dua makna yang saling
berkaitan. Pertama, negara sebagai kesatuan politis, dan yang kedua ialah
bangsa sebagai kesatuan yang sifatnya menonjolkan kehendak bersama serta
hidup dalam sebuah persekutuan yang majemuk dan memiliki wilayah yang
menjadi pijakan serta tempat untuk hidup bersama. Sistem negara-bangsa pada
umumnya dikaitkan dengan Piagam Westphalia 1648. Piagam Westphalia
merupakan perjanjian yang digunakan untuk mengakhiri perang yang terjadi
di Eropa. Hal tersebut menekankan bahwa setiap setiap suku bangsa berhak
memiliki negaranya sendiri serta menghilangkan batas-batas etnogeografis dan
menonjolkan batas-batas politik.
Sebuah negara-bangsa dibangun atas dasar kesamaan nasib dan
teleologi kebaikan bersama (common good). Konsepsi negara-bangsa
memiliki karakter/azas common sense, kepentingan nasional berada diataas
kepentingan golongan maupun individu. Negara-bangsa didasarkan atas
21
nasionalisme tanpa harus menghilangkan identitas dan jati dirinya sebagai
bangsa.
Nurcholish Madjid (2003 : 42) mengatakan bahwa Negara-bangsa
adalah negara untuk seluruh ummat yang didirikan berdasarkan kesepakatan
bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka
antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu. Tujuan negara-bangsa
adalah mewujudkan maslahat umum, yakni kebaikan yang meliputi seluruh
warga negara tanpa kecuali. Negara-bangsa berbeda dari negara kerajaan yang
terbentuk tidak berdasarkan kontrak sosial dan transaksi terbuka. Tetapi
karena kepeloporan seorang tokoh kuat yang dominan.
Negara-bangsa juga menggabungkan pemikiran tentang kesamaan
kehendak dan persatuan orang dan tempat dari suatu bangsa. Hal ini sejalan
juga dengan yang dikemukakan oleh Soekarno (Susilo Bambang Yudhoyono,
2004 : 11), bahwa Nationale Staat Indonesia berdiri di atas satu kesatuan bumi
Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Indonesia dapat dikatakan
sebagai sebuah negara-bangsa. Karena terdiri dari kemajemukan suku bangsa
yang dibingkai dalam kesatuan dan persatuan.
Hal ini dapat tercermin dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (Sekretariat Negara Republik Indonesia,
1998) bahwa : “Hakikat negara kesatuan Republik Indonesia adalah negara
kebangsaan modern. Negara kebangsaan modern adalah negara yang
pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan -atau nasionalisme-
22
yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama di
bawah satu negara yang sama walaupun warga masyarakat tersebut berbeda-
beda agama, ras, etnik atau golongannya”.
Terbentuknya negara-bangsa, tidak dapat dilepaskan dari
terbentuknya sikap dan jiwa nasionalisme sebuah bangsa. Nasionalisme
tersebut kemudian menjadi bingkai pemersatu dari kemajemukan yang ada.
Hal seperti itu dapat juga kita saksikan dalam hal terbentuknya negara-bangsa
Indonesia. Karena, munculnya nasionalisme didorong oleh faktor sejarah,
yang secara ideologis merupakan kristalisasi kesadaran berbangsa dan
bernegara. Pada awalnya, nasionalisme tumbuh dan berkembang ketika ada
peluang pembuka jalan bagi pembentukan sebuah negara dan bangsa.
Nasionalisme inilah yang sesungguhnya secara efektif mentransformasikan
komunitas tradisional menjadi sebuah komunitas modern berbentuk negara-
bangsa atau nation state.
C. Tinjauan Tentang Tantangan Disintegrasi Bangsa, Modernisasi dan
Globalisasi Negara-Bangsa Indonesia
1. Disintegrasi Bangsa
Negara-bangsa Indonesia merupakan sebuah entitas yang berdiri di
atas kemajemukan. Sebenarnya, kemajemukan tersebut menjadi salah satu
faktor yang kemudian menyebabkan terbentuknya negara-bangsa Indonesia.
Kemajemukan masyarakat Indonesia terlihat seperti yang dinyatakan oleh
Furnivall (Nasikun, 2006 : 35), bahwa “masyarakat Indonesia merupakan
masyarakat majemuk (plural society), yakni suatu masyarakat yang terdiri atas
23
dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu
sama lain di dalam satu kesatuan politik”.
Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk telah menimbulkan
persoalan intergrasi pada tingkatan nasional. Pluralitas masyarakat yang
bersifat multidimensional itu akan dan telah menimbulkan persoalan tentang
bagaimana masyarakat Indonesia terintegrasi secara horizontal. Maka, tak
jarang kemajemukan bangsa Indonesia dapat menyebabkan konflik horizontal
yang berujung pada ancaman disintegrasi bangsa.
Hal tersebut terekam secara historis bahwa dalam enam dasawarsa
perikehidupan kenegaraan di tanah air, terbukti bangsa Indonesia pernah
mengalami beberapa kali konflik yang erat kaitannya dengan unsur SARA
(Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) serta politik. Sekalipun masalah
SARA ini tidak sampai berujung pada terjadinya separatisme pada wilayah
Indonesia yang sudah bersatu sejak awal kemerdekaan. Namun harus diakui
bahwa beberapa kelompok kecil masyarakat lainnya telah menunjukkan
bahwa di Indonesia mempunyai potensi untuk itu.
Maraknya disintegrasi bangsa disebabkan oleh menipisnya rasa
nasionalisme. Sehingga berujung kepada ancaman pecahnya kesatuan dan
persatuan nasional. Etnisitas dan gerakan separatis seolah menjadi jamur di
musim hujan. Konflik yang mengatasnamakan ras dan suku dari hari ke hari
semakin menjadi. Gerakan separatispun semakin menunjukkan bahwa
persatuan dan kesatuan nasional memang sedang terancam. Selain itu konflik
yang bernuansa etnis atau antar golongan disebabkan karena lunturnya nilai-
24
nilai agama, adat dan sejarah. Kini hal tersebut telah dikalahkan oleh egoisme
SARA itu sendiri.
Gerakan separatisme yang mengancam disintegrasi bangsa
sebenarnya telah muncul sejak dahulu. Hal ini dapat dilihat dari maraknya
gerakan-gerakan separatis seperti DI/TII, RMS atau PRRI/PERMESTA.
Namun, meningkatnya tensi separatisme dirasakan pada masa pasca reformasi
berlangsung.
Hal tersebut seperti yang dinyatakan oleh Azyumardi Azra (2002 :
120-122) bahwa :
Kejatuhan Presiden Soeharto dari singgasananya pada Mei 1998 sebagai akibat lanjutan dari krisis moneter, ekonomi dan politik telah mengancam integrasi nasional negara-bangsa Indonesia…. Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa, agama, sistem sosial yang berbeda kelihatannya semakin rapuh.
Menurut F.M. Suseno (Richard M Daulay, 2003 : 31-40), ada
beberapa hal yang menyebabkan maraknya fanatisme sehingga pecahnya
integrasi nasional. Pertama ialah masalah sentralisme, yang kedua ialah
masalah primordialisme, dan yang ketiga adalah permasalahan ketidakadilan
sosial. Kesemuanya tersebut nampak dalam beberapa konflik yang
menyebabkan disintegrasi, seperti yang terjadi di Aceh, Papua, Riau, Ambon
dan Timor-Timor. Permasalahan disintegrasi bangsa merupakan tantangan
yang harus dihadapi demi bertahannya eksistensi negara-bangsa Indonesia
yang didasarkan atas konsesus bersama serta sikap dan jiwa nasionalisme.
Disintegrasi bangsa juga dapat ditinjau dari maraknya konflik
horizontal yang bersifat politis maupun ideologis. Pada tingkatan ideologis,
25
konflik tersebut terwujud dalam bentuk konflik antara sistem-nilai yang dianut
serta menjadi ideologi dari berbagai kesatuan sosial. Pada konflik yang
bersifat politis, konflik tersebut terjadi dalam bentuk pertentangan di dalam
pembagian status kekuasaan dan sumber-sumber ekonomi yang terbatas
adanya di dalam masyarakat. Konflik-konflik ini biasanya terjadi pada
kalangan elite yang akan berekses terhadap kalangan graas roots (kalangan
pada tingkatan terbawah).
Situasi konflik seperti itulah yang kemudian membuat para pihak
yang berselisih akan berusaha mengabadikan diri dengan cara memperkokoh
solidaritaas ke dalam diantara sesama anggotanya. Diantaranya ialah dengan
membentuk organisasi-organisasi kemasyarakatan, bersaing dalam bidang
pendidikan, sosial, ekonomi dan politik. Hal tersebut nampak dalam konflik
komunal bangsa Indonesia atau konflik antar elite partai politik. Sehingga hal
tersebut menjadi ancaman bagi eksistensi negara-bangsa Indonesia.
Strategi seperti apa yang dapat dilakukan untuk mencegah atau
mengatasi disintegrasi bangsa tersebut. Strategi tersebut diantaranya ialah
seperti yang dikemukakan oleh Richard M Daulay (2003 : 31-40) pertama,
dengan memperkuat kembali Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional yang
dapat memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Kedua, menciptakan
keadilan sosial dan pemerataan antara pusat dan daerah. Ketiga, membangun
budaya Indonesia yang akan menyatukan seluruh elemen bangsa. Keempat
ialah pelaksanaan otonomi daerah yang benar dan tepat. Sehingga antar daerah
26
akan terjalin kerjasama dan kemajuan tanpa harus menimbulkan kecemburuan
dan keinginan untuk memisahkan diri.
Artinya secara sederhana dapat dikatakan ada dua hal yang dapat
ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut. Pertama, secara politis
(struktural) dan yang kedua ialah secara sosial (kultural). Secara struktural
diharapkan pemerintah dapat membuat dan menerapkan kebijakan-kabijakan
yang dapat dikatakan merata dan tidak membuat kecemburuan antar suku
bangsa. Sedangkan secara kultural bahwa diharapkan masyarakat sebagai
sebuah kesatuan dapat secara aktif mengeratkan diri melalui budaya lokal
yang dapat menjadi penyangga bagi kesatuan nasional.
2. Modernisasi dan Globalisasi
Modernisasi dan globalisasi dapat menjadi tantangan bagi eksistensi
negara-bangsa Indonesia, karena dikhawatirkan bahwa modernisasi dan
globalisasi akan menipiskan dan bahkan menghilangkan identitas dan jati diri
bangsa Indonesia. Padahal identitas tersebutlah yang menyebabkan
terbentuknya sebuah entitas negara-bangsa. Proses menjadi modern dan
menyesuaikan dengan tatanan global menjadikan sebuah negara menjadi tanpa
batas (borderless). Sedangkan batas negara merupakan hal yang tak bisa
ditawar guna menunjukan kedaulatan negara yang bersangkutan.
Modernisasi dan globalisasi merupakan hal yang niscaya terjadi.
Pada hakekatnya modernisasi dan globalisasi merupakan upaya untuk
menyesuaikan dengan konstelasi dunia yang ada yang bersifat global. Namun
27
sayangnya modernisasi dan globalisasi selalu dimaknai sebagai westernisasi.
Sehingga identitas kebangsaan menjadi pudar berganti dengan identitas barat.
Padahal Koentjaraningrat (1990 : 138-142) dengan jelas membedakan
modernisasi dan westernisasi. Hal tersebut tampak dalam ucapannya yang
menyatakan bahwa :
“Modernisasi merupakan upaya untuk hidup sesuai dengan zaman dan konstelasi dunia sekarang…westernisasi merupakan usaha untuk meniru gaya hidup orang Barat (Eropa Barat atau Amerika)”.
Globalisasi sangat identik dengan penetrasi teknologi dan budaya
kedalam suatu bangsa. Untuk konteks Indonesia nampaknya hal tersebut
menjadi tantangan kebangsaan tersendiri. Proses tersebut menyebabkan sorang
Indonesia menjadi kehilangan identitas dan jati dirinya. Jati diri bangsa yang
selalu mengutamakan gotong royong dan kebersamaan, kini tergantikan oleh
sikap individualistis sebagai buah daripada kapitalisme. Tentu saja hal tersebut
sangat tidak sejajar dengan gagasan kebangsaan yang dikumandangkan para
pendiri bangsa. Ciri penghargaan terhadap komunitaas dan keberagaman
lenyap oleh kultur kapitalisme yang berorientasi pada diri sendiri.
Dalam kamus ilmiah populer (Burhani dan Hasbi Lawrens, tt : 170)
globalisasi didefinisikan sebagai perwujudan perubahan secara menyeluruh di
segala aspek kehidupan. globalisasi yang kita hadapi sekarang ini, merupakan
tahapan berikutnya, dari dua tahapan globalisasi sebelumnya. Globalisasi
pertama, yang berlangsung dari abad ke-15 sampai abad ke-18, sering
diistilahkan dengan jargon the globe is round. Pada era globalisasi pertama
28
itu, manusia berhasil membuktikan bahwa bumi itu bulat. Sebelumnya, para
rohaniawan di Eropa masih percaya, bumi datar seperti meja. Dan di ujung
lautan ada neraka. Faktor pendaya guna utama (key agent of changes) pada
globalisasi pertama itu adalah empat kekuatan, yaitu kekuatan otot (muscle
power), kekuatan angin (wind power), kekuatan daya kuda (horse power), dan
kekuatan mesin uap (steam power). Era globalisasi kedua, berlangsung dari
abad ke-19 sampai akhir abad ke-20. Faktor pendaya guna utama pada
globalisasi kedua itu adalah penemuan-penemuan di bidang teknologi
elektronika dan telekomunikasi. Pada masa itu, ditemukan telegram dan
telepon, yang kemudian berkembang dengan penemuan satelit, serat optik,
dan diakhiri dengan penemuan di bidang teknologi informatika dengan
penemuan personal computer dan internet atau world wide web. Globalisasi
kedua ini diistilahkan dengan jargon the globe is flat atau dunia mendatar,
dalam arti, kemajuan teknologi elektronika dan telekomunikasi telah
memungkinkan jangkauan yang semakin mudah ke berbagai tempat di penjuru
dunia. Pada globalisasi kedua itu, dominasi bangsa-bangsa Eropa mulai
berkurang dan perannya digantikan oleh dominasi korporasi-perusahaan
multinasional (multinational corporations) yang umumnya menguasai key
agent of change di bidang teknologi elektronika dan telekomunikasi.
Globalisasi ketiga di era kita sekarang ini, dicirikan dengan
kemajuan teknologi informasi yang telah menjadikan dunia semakin sempit
(the shrinking globe), karena begitu mudahnya orang berkomunikasi dari
berbagai belahan bumi mana pun. Pendaya guna utama di era globalisasi
29
ketiga itu, adalah teknologi informasi, khususnya yang diaplikasikan untuk
membuka berbagai akses global (global access). Jika globalisasi kedua,
ditandai dengan dominasi berbagai perusahaan multinasional, maka
globalisasi ketiga tidak lagi didominasi oleh perusahaan multinasional saja,
akan tetapi oleh siapa pun—bahkan oleh individu sekali pun— asal dapat
memanfaatkan akses global untuk meraih berbagai peluang yang tersedia di
era global.
Globalisasi menjadi paradoks bagi suatu bangsa. Hal tersebut
dikarenakan bahwa kemajuan teknologi informasi serta komunikasi
menyebabkan hubungan antara manusia menjadi cepat dan tanpa batas. Dunia
telah merupakan suatu desa kecil yang tanpa batas (borderless world).
Identitas bangsa menjadi luntur seiring dengan semakin pesatnya perubahan
dan tipisnya perbedaan antar bangsa. Padahal dalam era modern seperti ini
identitas bangsa merupakan suatu pelindung diri dari transformasi yang tak
terkontrol di era globalisasi dewasa ini.
Era globalisasi, tentu saja membuka peluang sekaligus tantangan.
Untuk memanfaatkan berbagai peluang di era globalisasi itu, kita harus
memahami tiga fitur yang sangat penting; pertama, open competition; kedua,
interdependency; dan ketiga competitiveness. Open competition adalah kondisi
persaingan terbuka yang semakin meluas dan menyangkut berbagai dimensi
kehidupan. Karena kompetisi itu semakin terbuka dan meluas, dengan
sendirinya tingkat kompleksitas dari kompetisi itu akan semakin meningkat
sehingga mendorong terjadinya fitur yang kedua, yaitu desakan untuk semakin
30
meningkatnya aspek saling ketergantungan atau interdependency antara satu
pihak dengan pihak lain. Dan untuk menghadapi kompetisi yang semakin
meluas, namun juga bersifat saling ketergantungan itu, maka setiap pihak
dituntut untuk memiliki fitur ketiga, yaitu daya saing atau competitiveness
yang tinggi.
Keberadaan ketiga fitur itu, paling nampak pada globalisasi di bidang
ekonomi. Kiprah pemasaran barang-barang produksi, serta gencarnya
publikasi dan globalisasi dalam fabrikasi dan standardisasi, telah mendorong
tumbuhnya berbagai organisasi ekonomi multinasional yang saling bergantung
satu dengan lainnya. Namun, di antara mereka juga terjadi suatu kompetisi di
bidang ekonomi internasional. Pembangunan ekonomi di era yang semakin
mengglobal itu, dicirikan dengan adanya peningkatan keterhubungan atau
connectivity yang saling mempengaruhi atau interdependent-economy.
Sebagai contoh, dinamika pasar saham atau stock markets di suatu negara,
dapat memberikan pengaruh pada dinamika ekonomi di negara lain. Oleh
karena itu membangun ekonomi suatu bangsa tidak cukup dengan hanya
bersandar pada kekuatan tunggal saja. Setiap negara saat ini, dituntut untuk
sanggup mengembangkan daya interaksi dan daya interkoneksinya dengan
negara-negara lain guna memanfaatkan peluang ekonomi di era globalisasi itu
dengan sebaik-baiknya.
Ketiga fitur globalisasi tadi, juga berperan pada globalisasi ideologi.
Persaingan atau kompetisi yang semakin terbuka dari berbagai paham ideologi
telah menyebabkan terjadinya desakan globalisasi dari beberapa ideologi
31
tertentu. Kita mengalami proses berlangsungnya demokratisasi, perlindungan
hak asasi manusia yang semakin baik, kebebasan pers yang terbuka, tata
pemerintahan yang baik atau good governance, serta proses ke arah
pembangunan masyarakat madani atau civil society.
Persaingan antar ideologi itu juga mengakibatkan beberapa trend
globalisasi ideologi yang patut kita waspadai, misalnya kemungkinan adanya
dominasi yang dipaksakan dari politik luar negeri negara tertentu pada negara
lain. Trend ini telah dan sedang dilakukan oleh beberapa negara yang
memiliki kapabilitas lebih besar dibandingkan dengan negara lainnya. Peran
daya saing juga nampak pada globalisasi ideologi, melalui kemajuan teknologi
informasi dan telekomunikasi. Informasi dengan sangat cepat, menyebar ke
seluruh penjuru dunia melalui media internet dan berbagai media informasi
canggih lainnya. Apalagi didukung dengan penemuan-penemuan baru di
bidang nano teknologi, yang memungkinkan adanya kreasi dari berbagai
perangkat informasi dan telekomunikasi dalam beragam ukuran yang sangat
kecil. Hasilnya adalah berbagai kejadian di seluruh dunia dapat disajikan
dalam waktu yang sangat cepat dan bahkan dalam waktu seketika atau real-
time.
Negara-negara maju yang lebih menguasai teknologi informasi dan
telekomunikasi itu akan dapat lebih cepat memformulasikan dan merumuskan
berbagai masalah yang terjadi di negara berkembang dibandingkan dengan
negara berkembang itu sendiri sehingga opini publik dunia dapat dibentuk dan
ditentukan oleh negara-negara maju dibandingkan oleh negara-negara
32
berkembang. Pada akhirnya, akan dapat digunakan oleh negara-negara maju
itu untuk mendistribusikan berbagai konsepsi ideologinya kepada negara-
negara berkembang.
Kenyataan bahwa globalisasi merupakan hal yang tak dapat
dihindarkan oleh bangsa manapun ialah memang benar adanya. Bahkan
sampai muncul sebuah analogi bahwa globalisasi merupakan aliran sungai
yang pasti akan bermuara pada satu titik tertentu dimana semua tidak dapat
menghindarinya. Bahkan globalisasi diyakini dapat menipiskan identitas
bangsa atau kultur nasional sebuah bangsa. Namun demikian, Siswono (1996 :
99) berpendapat bahwa nasionalisme merupakan sebuah perlawanan terhadap
globalisasi. Wawasan kebangsaan ini akan menjadi penyaring dampak negatif
dari arus globalisasi.
Dengan terjadinya globalisasi maka dunia ini menjadi sebuah “desa
global” (global village). Kecenderungan yang mencuat ialah bahwa manusia
semakin bergantung kepada nilai-nilai yang lebih primordial. Perkembangan
global merelatifkan batas-batas bangsa, menyebabkan primordialisme lebih
kuat daripada nasionalisme. Globalisasi membuat manusia lebih berperilaku
kosmopolitan dan melemahkan ikatan kebangsaan, khususnya bagi
masyarakat kota besar yang langsung tersentuh pengaruh global. Globalisasi
sangat berisiko tinggi bagi terkikisnya nasionalisme.
Strategi yang dapat dilakukan untuk mencegah hal tersebut ialah
sesuai dengan H.A.R. Tilaar (2007 : 25-28) ialah memperkuat kembali
peranan budaya, bahasa dan pendidikan sebagai penopang bagi berkembang
33
dan tumbuhnya nasionalisme. Pertama, melalui budaya dapat dilihat bahwa
penguatan kebudayaan nasional yang didasarkan atas budaya lokal akan
memperkokoh diri dalam hal menangkal ekses buruk modernisasi dan
globalisasi. Kedua, penggunaan bahasa nasional juga sangat penting dalam hal
menunjukan dan menumbuhkan identitas bangsa. Seperti ungkapan yang
menyatakan bahwa bahasa menunjukan bangsa. Ketiga ialah memperkokoh
dan memvitalkan kembali pendidikan nasional sebagai poros utama dalam
pembentukan identitas. Pendidikan nasional, walaupun berwawasan global
dan bercirikan nilai-nilai modern, juga harus didasarkan akan nilai-nilai atau
ciri nasional. Sehingga kepribadian (sebagai ciri identitas) akan tertanam,
sehingga kemudian ancaman modernisasi dan globalisasi dapat kita
minimalisir.
Menurut Dadan Wildan (2008), setidaknya ada beberapa jalan yang
dapat digunakan untuk mejaring arus globalisasi yang berkenaan dengan jiwa
dan sikap nasionalisme. Cara tersebut ialah Pertama, mewujudkan masyarakat
yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila. Kedua, mewujudkan bangsa yang berdaya
saing dengan mengedepankan pembangunan sumber daya manusia
berkualitas. Ketiga, mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum
dengan terus memantapkan kelembagaan demokrasi yang lebih kokoh.
Keempat, mewujudkan Indonesia aman, damai, dan bersatu dengan
membangun kekuatan TNI hingga melampaui kekuatan esensial minimum,
serta disegani di kawasan regional dan internasional. Kelima, mewujudkan
34
pemerataan pembangunan dan berkeadilan dengan terus meningkatkan
pembangunan daerah; mengurangi kesenjangan sosial secara menyeluruh,
keberpihakan kepada masyarakat, kelompok dan wilayah/daerah yang masih
lemah. Keenam, mewujudkan Indonesia asri dan lestari dengan terus
memperbaiki pengelolaan pelaksanaan pembangunan yang dapat menjaga
keseimbangan antara pemanfaatan, keberlanjutan, keberadaan, dan kegunaan
sumber daya alam dan lingkungan hidup. Ketujuh, mewujudkan Indonesia
menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan
kepentingan nasional. Kedelapan, mewujudkan Indonesia berperan penting
dalam pergaulan dunia internasional, dengan memantapkan diplomasi
Indonesia dalam rangka memperjuangkan kepentingan nasional; melanjutkan
komitmen Indonesia terhadap pembentukan identitas dan pemantapan
integrasi internasional dan regional; serta mendorong kerja sama internasional,
regional, dan bilateral antarmasyarakat, antarkelompok, serta antar lembaga di
berbagai bidang.
D. Tinjauan Tentang Nasionalisme
1. Pengertian Nasionalisme
Nasionalisme sering kali dikonotasikan dengan aspek-aspek
emosional, kolektif dan idola serta sarat emosi historis. Nasionalisme selalu
melibatkan dimensi atau rasa, seperti seperasaan, sepenanggungan,
seperantauan dan senasib. Faktor memori historis adalah faktor kecenderungan
35
yang dibangun untuk menumbuhkan perasaan bersatu dalam sebuah konsep
kebangsaan tertentu.
Pembicaraan seputar nasionalisme pasti tidak akan lepas dari
pembicaraan tentang bangsa. Nasionalisme secara sederhana dikatakan
sebagai sebuah paham kebangsaan. Maka oleh karenanya, perlu terlebih
dahulu dirumuskan tentang definisi bangsa itu sendiri.
Bangsa menurut Ernest Renan dalam Sri Sultan Hamengkubuwono
X (2007 : 85), adalah jiwa dan prinsip spiritual yang menjadi ikatan bersama,
baik dalam pengorbanan (sacrifice) maupun dalam kebersamaan (solidarity).
Sedangkan Benedict Anderson mengatakan bahwa bangsa didefinisikan
sebagai “sebuah komunitas politik terbayang”. Menurut Otto Bauer
(Soekarno, 2007 : 146) bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter,
watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena
persatuan pengalaman.
Sedangkan menurut Soekarno (2007 : 149) bangsa ialah
segerombolan manusia yang mempunyai kehendak untuk hidup bersama,
mempunyai persamaan watak, tetapi berdiam diatas satu wilayah geopolitik
yang nyata satu persatuan. Sartono Kartodirdjo dalam Adeng Muchtar Ghazali
(2004 : 3) mengatakan bahwa bangsa menunjuk kepada suatu komunitas
sebagai kesatuan kehidupan bersama yang mencakup pelbagai unsur yang
berbeda dalam aspek etnik, kelas atau golongan sosial, aliran kepercayaan,
kebudayaan linguistik, dan lain sebagainya. Kesemuanya terintergerasikan
36
dalam perkembangan historis sebagai kesatuan sistem politik berdasarkan
solidaritas yang dipotong oleh kemauan politik bersama.
Dengan demikian bahwasanya dapat dikatakan bahwa bangsa itu
memiliki sifat yang pluralistik. Tidak berdiri di atas paham kesukuan, ras
maupun agama. Bangsa lebih menonjolkan kehendak bersama serta hidup
dalam sebuah persekutuan yang majemuk dan memiliki wilayah yang menjadi
pijakan serta tempat untuk hidup bersama tersebut. Sedangkan etnis lebih
kepada idenitas kebudayaan yang dimiliki.
Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan
mempertahankan kedaulatan sebuah negara dengan mewujudkan satu konsep
identitas bersama untuk sekelompok manusia. Nasionalisme berangkat dari
situasi perjuangan merebut kemerdekaan dan sudah barang tentu dibutuhkan
suatu konsep sebagai dasar pembenaran rasional dari tuntutan terhadap
penentuan nasib sendiri yang dapat mengikat keikutsertaan semua orang atas
nama sebuah bangsa.
Nasionalisme adalah sebuah paham yang menyatakan bahwa rasa
kebangsaan dilihat sebagai perasaan utama dan cenderung dipakai untuk
prinsip hidup secara personal atau secara publik. Secara luas juga dapat
dikatakan bahwa nasionalisme menyatakan patriotisme yang merupakan
prinsip moral dan politik yang mengandung kecintaan pada tanah air,
kebanggaan emosional terhadap sejarah dan ketersediaan diri untuk membela
kepentingan-kepentingan bangsa. Walaupun nasionalisme merupakan wujud
37
dari cinta tanah air, nasionalisme juga dapat muncul sebagai reaksi atau
perlawanan terhadap penjajahan kolonial.
Nasionalisme merupakan suatu teori politik atau antropologi yang
menekankan bahwa umat manusia secara alami terbagi-bagi menjadi berbagai
bangsa, dan bahwa ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa
beserta para anggota bangsa itu. Untuk lebih mengetahui tentang
nasionalisme, maka sekiranya kita harus memperhatikan terlebih dahulu
mengenai rasa kebangsaan, paham kebangsaan, semangat kebangsaan dan
wawasan kebangsaan.
Rasa kebangsaaan adalah kesadaran berbangsa, kesadaran untuk
bersatu sebagai suatu bangsa yang lahir secara alamiah karena sejarah, aspirasi
perjuangan masa lampau, kebersamaan kepentingan, rasa senasib
sepenanggungan dalam menghayati masa lalu dan masa kini, serta kesamaan
pandangan, harapan dan tujuan merumuskan cita-cita bangsa untuk waktu
yang akan datang. Sedangkan paham kebangsaan adalah aktualisasi dari rasa
kebangsaan yang berupa gagasan, pikiran-pikiran yang rasional, dimana suatu
bangsa secara bersama-sama memiliki cita-cita kehidupan berbangsa dan
tujuan nasional yang jelas dan rasional.
Rasa kebangsaan dan paham kebangsaan akan melahirkan semangat
kebangsaan. Semangat kebangsaan adalah kerelaan berkorban demi
kepentingan bangsa, negara dan tanah airnya. Wawasan kebangsaan adalah
cara pandang yang dilingkupi oleh rasa kebangsaan, paham kebangsaan, dan
semangat kebangsaan untuk mencapai cita-cita nasionalnya dan
38
mengembangkan eksistensi kehidupannya atas dasar nilai-nilai luhur
bangsanya.
Kebangsaan (nationality) dan rasa kebangsaan (nationalism) saling
berkaitan satu sama lain. Rasa kebangsaan, biasanya juga disebut
nasionalisme, adalah dimensi sensoris, merupakan konsep antropologi yang
tidak semata-mata memandang nasionalisme sebagai prinsip politik. Dimensi
sensoris yang tak lain adalah kebudayaan ini memperjelas posisi antropologi
yang berangkat dari konsep suku bangsa, kesukubangsaan, bangsa, dan
kebangsaan, sebagaimana dibicarakan di atas. Inilah akar-akar rasa
kebangsaan (nasionalisme). Rasa kebangsaan atau yang kerap kali juga
disebut nasionalisme adalah topik baru dalam kajian antropologi.
Nasionalisme sebagai ideologi negara-bangsa modern sejak lama adalah
rubrik ilmu politik, sosiologi makro, dan sejarah.
Mohammad Hatta (2008 : 22) mengatakan bahwa kebangsaan ada
bermacam-macam, menurut rupa dan golongan yang memajukannya. Ada
kebangsaaan cap ningrat, cap intelek dan ada pula kebangsaaan cap rakyat.
Riwayat dunia ini cukup memberi bukti, bahwa ketiga golongan ini senantiasa
ada. Kesenua tipologi tersebut mempunyai ide tentang bagaimana kedaulatan
negara dapat tercapai serta bagaimana jiwa dan sikap nasionalisme itu dapat
tumbuh.
Sebagai ideologi modern di bidang sosial politik dan kenegaraan,
nasionalisme muncul sekitar tahun 1779 dan dominan di Eropa pada tahun
1830. Revolusi Perancis pada akhir abad ke-18 sangat besar pengaruhnya
39
berkembangnya gagasan nasionalisme tersebut. Semenjak itu beberapa
kerajaan feodal mengalami proses integrasi menjadi ‘negara kebangsaan’ atau
nation state yang wilayahnya menjadi lebih luas dan hidup dalam sistem
pemerintahan yang sama. Sejak itu di negara-negara Eropa dan Amerika
bermunculan pula gerakan-gerakan kebangsaan, dan segera menjalar ke Asia.
Hal ini disebabkan ampuhnya nasionalisme sebagai ideologi yang dapat
mempersatukan banyak orang di negeri-negeri jajahan dalam menentang
kolonialisme.
Konsep bangsa lahir sesudah revolusi Prancis. Ketika itu Parlemen
Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale yang
menandai transformasi institusi politik tersebut, dari sifat eksklusif yang hanya
diperuntukkan bagi kaum bangsawan ke sifat egaliter di mana semua kelas
meraih hak yang sama dengan kaum kelas elite dalam berpolitik. Dari sinilah
makna kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau
kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara.
Hans Kohn dalam H.A.R. Tilaar (2007 : 24) membedakan antara dua
konsep nasionalisme. Pertama, nasionalisme sebagai konsep politik atau suatu
yang secara sukarela (volunteer) seseorang menjadi anggotanya. Menurut
konsep ini, nasionalisme meupakan suatu bentuk kontraktual dari para
anggotanya. Kedua, konsep nasionalisme sebagai konsep yang organik atau
irasional. Konsep ini menyatakan bahwa individu mempunyai kesejarahan
hidup yaitu dia menjadi seseorang, satu bagian organis dengan lingkungannya,
suatu kesatuan yang mistis dengan lingkungannya itu, serta mempunyai
40
kemantapan hidup yang diperolehnya dari komunitasnya yaitu sejarah, agama,
bahasa, adat-istiadat.
Perbedaan yang simplisistik dari nasionalisme politis dan
nasionalisme organik biasanya dijadikan perbedaan antara nasionalisme barat
dan nasionalisme timur. Ernest Gelner (H.A.R Tilaar, 2007 : 25) menolak
pendapat nasionalitas atau nasionalisme sebagai sesuatu yang alamiah atau
primodial. Kewarganegaraan merupakan suatu keanggotaan moral (moral
membership) dari suatu masyarakat modern. Keanggotaan itu diperolehnya
melalui pendidikan nasional dan biasanya menggunakan bahasa yang dipilih
sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional.
Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham
negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warga
negara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya
berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebagian
atau semua elemen tersebut. Dalam www.wikipedia.com, dikatakan terdapat
beberapa bentuk nasionalisme diantaranya :
1. Nasionalisme Kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh Jean-Jacques Rousseau.
2. Nasionalisme Etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat").
3. Nasionalisme Romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semula jadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada
41
perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman.
4. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRT karena pemerintahan RRT berpaham komunisme.
5. Nasionalisme Kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolah-olah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme, serta nasionalisme Turki kontemporer, dan dalam bentuk yang lebih kecil, Franquisme sayap-kanan di Spanyol, serta sikap 'Jacobin' terhadap unitaris dan golongan pemusat negeri Perancis, seperti juga nasionalisme masyarakat Belgia, yang secara ganas menentang demi mewujudkan hak kesetaraan (equal rights) dan lebih otonomi untuk golongan Fleming, dan nasionalis Basque atau Korsika. Secara sistematis, bila mana nasionalisme kenegaraan itu kuat, akan wujud tarikan yang berkonflik kepada kesetiaan masyarakat, dan terhadap wilayah, seperti nasionalisme Turki dan penindasan kejamnya terhadap nasionalisme Kurdi, pembangkangan di antara pemerintahan pusat yang kuat di Spanyol dan Perancis dengan nasionalisme Basque, Catalan, dan Corsica.
6. Nasionalisme Agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu. Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya
42
merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan.
Nasionalisme menurut Stanley Benn dalam Adeng Muchtar Ghazali
(2004 : 3) memiliki elemen-elemen seperti dibawah ini, yaitu :
1. Semangat ketaatan kepada suatu bangsa (semacam patriotisme). 2. Dalam aplikasinya kepada politik, nasionalisme menunjuk kepada
kecondongan untuk mengutamakan kepentingan bangsa sendiri, khususnya jika kepentingan bangsa itu berlawanan dengan kepentingan bangsa lain.
3. Sikap yang melihat amat pentingnya penonjolan ciri khusus suatu bangsa. Karena itu, doktrin yang memandang perlunya kebudayaan bangsa dipertahankan.
4. Ada kriteria yang jelas untuk mengenali suatu bangsa beserta anggota para bangsa itu.
Menurut Nurcholish Madjid dalam Adeng Muchtar Ghazali (2004 :
3) mengatakan bahwa berdasarkan proses pembentukannya, dapat diketahui
prinsip-prinsip nasionalisme, yakni :
1. Kesatuan (unity), yang mentransformasikan hal-hal yang polimorfik menjadi monomorfik sebagai produk proses integrasi;
2. Kebebasan (liberty), khususnya bagi negeri-negeri jajahan yang memperjuangkan pembebasan dan kolonialisme;
3. Kesamaan (equality), sebagai bagian implisit dari masyarakat demokratis yang merupakan antitesa dari masyarakat kolonial yang diskriminatif dan otoriter;
4. Kepribadian (identity), yang lenyap karena negasi kaum kolonial; dan
5. Prestasi amat diperlukan untuk menjadi sumber inspirasi dan kebanggaan bagi warga negara nasion.
43
H.A.R. Tilaar (2007 : 24-26) berpendapat ada beberapa faktor
penting dalam menumbuhkan nasionalisme. Faktor-faktor tersebut diantaranya
adalah bahasa, budaya dan pendidikan. Mengenai peranan bahasa dalam
pertumbuhan nasionalisme dapat kita lihat misalnya di Inggris, Prancis,
Belanda, Belgia Jerman dan Indonesia. Peranan budaya didalam
menumbuhkan nasionalisme juga cukup signifikan. Kita dapat melihat Cina
dengan Konfusianisme-nya dan Amerika dengan budaya Protentantisme.
Faktor yang barangkali sangat penting dalam pertumbuhan nasionalisme
adalah pendidikan. Pendidikan yang tersentralisasi dalam pengertian tertentu
dapat menjadi suatu alat pemersatu yang sangat kuat.
2. Nasionalisme Indonesia
2.1. Sejarah Nasionalisme Indonesia
Istilah nasionalisme dalam kamus perpolitikan di Indonesia diduga
baru muncul setelah Samanhudi menyerahkan tampuk kepemimpinan Sarekat
Islam kepada H.O.S Tjokroaminoto pada pertengahan 1912. Kemudian
disusul Indische Partij yang mendengungkan nasionalisme menentang
penetrasi asing yang dipelopori Douwes Dekker dengan Perhimpunan
Indonesia. Kesemuanya merupakan partai-partai yang menjadi pelopor
nasionalisme dalam pengertian politik yang kemudian disusul oleh banyak
organisasi politik yang tumbuh pada masa pergerakan nasional.
Pada permulaan abad-20, muncul kebijakan pemerintah Belanda
yang dinamakan politik etis atau politik balas budi. Politik etis dilatar
44
belakangi oleh rasa simpati terhadap penderitaan bangsa Indonesia yang telah
memberikan keuntungan terhadap Belanda. Politik etis ini meliputi tiga bidang
kehidupan yaitu: pendidikan (edukasi), pengairan (irigasi), dan perpindahan
penduduk (transmigrasi), tetapi pada pelaksanaannya politik etis ini lebih
menguntungkan Belanda. Walaupun demikian politik etis ini merupakan dasar
dalam pergerakan nasional.
Bangsa Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas kebangsaan.
Seseorang yang termasuk bangsa Indonesia adalah seseorang yang memiliki
perilaku tertentu yang merupakan perilaku Indonesia, perasaan-perasaan
tertentu yang merupakan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Tumbuhnya
nation Indonesia bermula dari kebangkitan nasional dengan lahirnya Budi
Utomo pada tahun 1908. Terbentuknya nation Indonesia juga dapat kita lihat
dalam Sumpah Pemuda 1928, dimana anggota panitia tersebut terdiri dari
suku bangsa dan agama.
Nasionalisme adalah salah satu kekuatan yang menentukan dalam
sejarah modern suatu bangsa untuk memperjuangkan kemerdekaannya. Di
Indonesia timbulnya pemikiran nasionalisme merupakan bentuk reaksi
terhadap kolonialisme. Nasionalisme Indonesia tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh kekuatan kolonialisme barat. Nasionalisme Indonesia mengalami
perkembangan dan pertumbuhan seirama dengan dinamika pergerakan
kebangsaan Indonesia.
Pergerakan nasional Indonesia didukung oleh kebangkitan
nasionalisme negara-negara di Asia setelah Perang Dunia II. Di negara-negara
45
Asia, khususnya di Indonesia, tumbuhnya nasionalisme dalam pengertian
modern merupakan bentuk reaksi terhadap kolonialisme, yang bermula dari
cara eksploitasi yang menimbulkan pertentangan kepentingan yang permanen
antara penjajah dan yang dijajah. Nasionalisme Indonesia adalah gejala
historis yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh kekuasaan kolonialisme
bangsa barat. Nasionalisme Indonesia secara umum bertujuan ke dalam
memperhebat nation and character building sesuai dengan falsafah dan
pandangan hidup bangsa, sedangkan tujuan keluar menolak segala bentuk
kolonialisme.
Semangat nasionalisme Indonesia muncul sebagai satu ikatan
bersama melawan kolonialisme. Nasion dan nasionalisme dipakai sebagai
perasaan bersama oleh penindasan kolonialisme dan oleh karena itu, dipakai
sebagai senjata ampuh untuk membangun ikatan dan solidaritas kebersamaan
melawan kolonialisme. Tidak dapat disangkal bahwa nasionalisme Indonesia
adalah nasionalisme yang diciptakan (invented). Oleh para pendiri bangsa
Indonesia, melalui Budi Utomo dan kemudian Sumpah Pemuda, telah
menciptakan nasionalisme Indonesia yang lintas etnis, dengan simbol bendera
merah putih dan bahasa Indonesia.
Nasionalisme yang muncul ketika menjelang dan awal kemerdekaan
Indonesia dapat dikatakan disebabkan oleh tiga hal. Pertama, bangsa
Indonesia menghadapi musuh yang sama (common enemy) yakni penjajahan.
Adanya musuh bersama ini telah membentuk rasa solidaritas yang sangat
tinggi untuk menghadapi dan mengusir musuh itu sejauh-jauhnya. Kedua,
46
berhubungan dengan yang pertama, pada waktu itu bangsa ini memiliki tujuan
yang sama, yakni ingin mandiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka. Ketiga,
karena kedua hal di atas, waktu itu bangsa ini merasa senasib seperjuangan.
Semua merasa tertindas dan teraniaya oleh bangsa asing. Kehidupan menjadi
teras selalu diinjak-injak dan sama sekali tak dihargai. Di sinilah terjadi
sinergi dari segenap lapisan masyarakat dengan kemampuan masing-masing
berjuang mengubah nasib bersama.
Secara historis awalnya gerakan nasionalisme Indonesia berawal dari
pembentukan organisasi Budi Utomo yang kemudian diikuti dengan
berdirinya organisasi-organisasi lain seperti Sarekat Islam, Pemuda Jawa,
Pemuda Sumatera, Pemuda Sulawesi, Pemuda Ambon dan organisasi lain
yang bersifat kedaerahan. Organisasi-organisasi yang bersifat primordialisme
ini segera mentransformasikan diri menjaadi organisasi yang bersifat non-
primordialisme atau bersifat nasional. Tahun 1927 berdirilah Partai Nasional
Indonesia (PNI) yang diprakarsai Soekarno. Sebagai organisasi politik
berskala nasional pertama di Indonesia, partai ini secara tegas menggariskan
agenda utama partai ialah Indonesia merdeka. Dengan lahirnya PNI, maka
semangat nasionalisme Indonesia semakin berkobar-kobar seperti api yang
menyala-nyala. Boleh dikatakan, bahwa gelombang nasionalisme pada
awalnya merupakan hasil dari ekspansi barat, yang juga sebagai sebuah reaksi
terhadap dominasi barat.
Gelora nasionalisme yang berkobar-kobar itu kemudian dimuarakan
lewat Kongres Pemuda tanggal 26-28 Oktober 1928 di Yogyakarta. Kongres
47
ini menghasilkan sebuah ikrar bersama yang dikenal dengan Sumpah Pemuda
yang menyatakan satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa, yaitu Indonesia.
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 adalah Proklamasi Kebangsaan
Indonesia yang merupakan ikrar tentang eksistensi nasion dan nasionalisme
Indonesia yang telah tumbuh puluhan tahun dalam perjuangan melawan
kolonialisme Belanda. Perjuangan bangsa Indonesia tersebut pada tanggal 17
Agustus 1945 mencapai titik kulminasi dengan dikumandangkannya
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia oleh Soekarno-Hatta. Hal itu
membuktikan bahwa nasionalisme Indonesia sudah merupakan faktor penentu
perkembangan sejarah Indonesia – sejarah berdirinya negara Republik
Indonesia.
Nasionalisme akan mudah untuk dimengerti dan diimplementasikan
jika ada musuh bersama. Jika musuh ini hilang, maka ikatan nasionalisme
akan mengendur dengan sendirinya. Preseden yang muncul di Indonesia
mempertegas pendapat ini. Jika kita melihat ke tahun 1940-an, ketika Belanda
masih berusaha menguasai Indonesia melalui Agresi Militer I dan II,
nasionalisme di kalangan masyarakat masih kuat, sehingga perjuangan
Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 membuahkan hasil
diakuinya kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Namun pasca-KMB
1949, Indonesia kehilangan musuh bersama dan golongan-golongan dalam
masyarakat lebih mengutamakan kepentingan kelompok yang ditandai dengan
jatuh bangunnya kabinet selama masa tersebut. Nasionalisme sempat muncul
48
meski sebentar, ketika Indonesia mengeluarkan sikap politik luar negeri
terhadap Malaysia dengan Dwikora.
Hal ini tidak berlangsung lama, karena kondisi internal dalam
Indonesia memang sedang rapuh. Setelah itu, nasionalisme dapat dimunculkan
kembali ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) dijadikan sebagai musuh
bersama karena dianggap sebagai biang keladi Gerakan 30 September. Lebih
dari 30 tahun kemudian, Indonesia memperoleh kembali sebuah musuh
bersama, yaitu Orde Baru, sehingga gerakan nasionalisme dapat menghasilkan
reformasi dan demokrasi yang selama 30 tahun dikebiri. Namun ketika musuh
bersama tersebut telah berhasil dilumpuhkan, kepentingan kelompok kembali
muncul mengesampingkan nasionalsime itu sendiri. Kejadian-kejadian historis
di Indonesia tersebut mempertegas bahwa nasionalisme dapat secara efektif
diimplementasikan apabila masyarakat dalam sebuah negara memiliki musuh
bersama.
2.2. Karakteristik Nasionalisme Indonesia
Nasionalisme Indonesia bangkit sebagai bentuk perlawanan atau
penentangan terhadap kolonialisme. Nasionalisme Indonesia dengan
sendirinya juga mengandung tiga aspek penting, yaitu :
1. Politik. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghilangkan
dominasi politik bangsa asing dan menggantikannya dengan
sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat.
49
2. Sosial ekonomi. Nasionalisme Indonesia muncul untuk
menghentikan eksploitasi ekonomi asing dan membangun
masyarakat baru yang bebas dari kemelaratan dan
kesengsaraan.
3. Budaya. Nasionalisme Indonesia bertujuan menghidupkan
kembali kepribadian bangsa yang harus diselaraskan dengan
perubahan zaman. Ia tidak menolak pengaruh kebudayaan luar,
tetapi dengan menyesuaikannya dengan pandangan hidup,
sistem nilai dan gambaran dunia (worldview, Weltanschauung)
bangsa Indonesia. Juga tidak dimaksudkan untuk mengingkari
kebhinnekaan yang telah sedia ada sebagai realitas sosial
budaya dan realitas anthropologis bangsa Indonesia.
Notonegoro mengemukakan bahwa nasionalisme dalam konteks
Pancasila bersifat “majemuk tunggal” (bhinneka tunggal ika). Unsur-unsur
yang membentuk nasionalisme Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Kesatuan Sejarah, yaitu kesatuan yang dibentuk dalam
perjalanan sejasrahnya yang panjang sejak zaman Sriwijaya,
Majapahit dan munculnya kerajaan-kerajaan Islam hingga
akhirnya muncul penjajahan VOC dan Belanda. Secara terbuka
nasionalisme mulai pertama dicetuskan dalam Sumpah Pemuda
28 Oktober 1928 dan mencapai puncaknya pada Proklamasi
Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
50
2. Kesatuan Nasib. Bangsa Indonesia terbentuk karena memiliki
persamaan nasib, yaitu penderitaan selama masa penjajahan
dan perjuangan merebut kemerdekaan secara terpisah dan
bersama-sama, sehingga berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa
dapat memproklmasikan kemerdekaan menjelang berakhirnya
masa pendudukan tentara Jepang.
3. Kesatuan Kebudayaan. Walaupun bangsa Indonesia memiliki
keragaman kebudayaan dan menganut agama yang berbeda,
namun keseluruhannya itu merupakan satu kebudayaan yang
serumpun dan mempunyai kaitan dengan agama-agama besar
yang dianut bangsa Indonesia, khususnya Hindu dan Islam.
4. Kesatuan Wilayah. Bangsa ini hidup dan mencari
penghidupan di wilayah yang sama yaitu tumpah darah
Indonesia.
5. Kesatuan Asas Kerohanian. Bangsa ini memiliki kesamaan
cia-cita, pandangan hidup dan falsafah kenegaraan yang
berakar dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri
di masa lalu maupun pada masa kini.
Substansi nasionalisme Indonesia memiliki dua unsur. Pertama,
kesadaran mengenai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang terdiri atas
berbagai suku, etnik, dan agama. Kedua, kesadaran bersama bangsa Indonesia
dalam menghapuskan segala bentuk pensubordinasian, penjajahan, dan
penindasan dari bumi Indonesia. Semangat dari dua substansi tersebutlah yang
51
kemudian tercermin dalam Sumpah Pemuda dan Proklamasi serta dalam
Pembukaan UUD 1945.
Nasionalisme Indonesia mengalami pertumbuhan dan perkembangan
pada masa lalu seirama dengan dinamika pertumbuhan dan perkembangan
pergerakan kebangsaan Indonesia. Nasionalisme yang dianut oleh bangsa
Indonesia melahirkan pendirian untuk menghormati kemerdekaan bangsa lain
sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 “bahwa sesungguhnya
kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Oleh karena itu dalam nasionalisme
terkandung sikap anti penjajahan. Semangat yang demikian dengan sendirinya
tidak menumbuhkan keinginan bangsa Indonesia untuk menjajah bangsa lain,
sebaliknya bangsa Indonesia ingin tetap bekerja sama dengan bangsa-bangsa
lain untuk mewujudkan perdamaian dunia menuju masyarakat maju, sejahtera,
dan adil bagi semua umat manusia di dunia.
Berbicara tentang nasionalisme Indonesia, perlu dicatat bahwa kita
tidak dapat menyepadankannya begitu saja dengan nasionalisme Barat.
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme berfondasi Pancasila.
Nasionalisme yang bersenyawa dengan keadilan sosial, yang oleh Soekarno
disebut Sosio-nasionalisme. Nasionalisme yang demikian ini menghendaki
penghargaan, penghormatan, toleransi kepada bangsa atau suku bangsa lain.
Maka nasionalisme Indonesia berbeda dengan nasionalisme Barat yang bisa
menjurus kepada sikap chauvinistik dan ethnonationalism -nasionalisme
sempit- yang membenci bangsa atau suku bangsa lain, menganggap bangsa
52
atau suku bangsa sendirilah yang paling bagus, paling unggul, sesuai dengan
individualisme Barat.
Nasionalisme Indonesia menurut Soekarno (2006 : 8) adalah
nasionalisme yang cintanya pada tanah air itu bersendi pada pengetahuan atas
susunan ekonomi-dunia dan riwayat, bukan semata-mata timbul dari
kesombongan bangsa belaka, bukan chauvinis. Nasionalisme Indonesia ialah
nasionalisme yang bercorak ketimuran, yang timbul dari rasa cinta akan
manusia dan kemanusiaan, yang memberikan tempat pada lain-lain sesuatu,
bagaikan lebarnya dan luasnya udara yang memberi tempat pada segenap
sesuatu yang perlu untuk hidupnya segala hal yang hidup.
Lebih lanjut mengenai nasionalisme Indonesia, Soekarno (2003 : 14)
juga menambahkan bahwa nasionalisme kita bukanlah nasionalisme yang
sempit (jingo nationalism), yang selalu menghitung untung rugi (gain dan
loss). Nasionalisme kita bukanlah nasionalisme biasa, tetapi sosio-
nasionalisme yang dalam pengertian, kita berhubungan erat dengan seluruh
perikemanusiaan dan kemanusiaan.
Nasionalisme bangsa Indonesia merupakan nasionalisme yang
berdasarkan Pancasila. Hal ini terwujud dalam butir-butir pancasila, sila ke
tiga yakni :
a. Menempatkan persatuan dan kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa sebagai kepentingan bersama diatas
kepentingan pribadi atau golongan.
53
b. Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan
bangsa apabila diperlukan
c. Mengembangkan rasa cinta tanah air dan bangsa.
d. Mengembangkan rasa kebangsaan dan bertanah air Indonesia.
e. Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
persamaan abadi dan keadilan sosial.
f. Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhineka
Tunggal Ika.
g. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
2.3. Penurunan Nilai dan Semangat Nasionalisme Indonesia
Memudarnya rasa kebanggaan bagi bangsa selama beberapa tahun
belakangan ini, sesungguhnya disulut oleh menguatnya sentimen kedaerahan
dan semangat primordialisme pasca krisis. Suatu sikap yang sedikit banyak
disebabkan oleh kekecewaan sebagian besar anggota dan kelompok
masyarakat bahwa kesepakatan bersama (contract social) yang mengandung
nilai-nilai seperti keadilan dan perikemanusiaan dan musyawarah kerap hanya
menjadi retorika kosong belaka.
Saat ini disinyalir bahwa nasionalisme Indonesia rapuh dalam
menghadapi gejala-gejala mutakhir berupa solidaritas parokial dan kekuatan
eksternal akibat pengaruh globalisasi, baik kekuasaan kolonial, penetrasi
transnasional corporation, multinasional corporation, maupun lembaga-
lembaga internasional lainnya. Selain itu, meurut Barbara Goodwin (Kokom
54
Komalasari, 2007 : 555) setidaknya ada empat faktor dibalik tidak adanya
pertalian dari tegaknya nasionalisme. Pertama, basis nasionalisme atau
identitas nasional. Kedua, fragmentasi atau konflik yang terjadi. Ketiga,
loyalitas yang berlapis. Keempat, sirkulasi antara identifikasi subjeksitas
individu dan masyarakat yang sifatnya voluntaris atas keberadaan suatu
nation.
Dewasa ini harus diakui bahwa kesadaran Nasionalisme sedang
mengidap banyak masalah berat, yang memerlukan pembenahan secara serius.
Kegagalan pembenahannya akan mempunyai dampak terhadap persatuan
bangsa dan kesatuan negara Indonesia. Dengan kilas balik ke sejarah lampau,
kita melihat jelas bahwa selama Indonesia dalam kekuasaan rezim Orba
berlaku tatanan pemerintahan kediktatoran-militer yang anti demokrasi, anti
nasional, anti HAM, anti hukum dan keadilan, yang menumpas ideal
nasionalisme Indonesia. Kekuasaan demikian, yang berlangsung selama 32
tahun dan menggunakan pendekatan kekerasan, telah mematikan inisiatif dan
kreativitas rakyat, memperbodoh rakyat.
Di sisi lain tindakan rezim Orba tersebut menumbuhkan kebencian
rakyat mendasar, terutama rakyat luar Jawa yang merasakan kekayaan
alamnya dijarah dan kebudayaannya dieliminir. Dari situasi yang demikian itu
rakyat daerah luar Jawa merasakan ketidakadilan yang sangat mendalam, yang
mengakibatkan tumbuhnya benih-benih gerakan disintegrasi dalam negara
Indonesia. Di samping itu konflik yang bernuansa SARA, seperti misalnya
antara suku Dayak dengan suku Madura (di Kalimantan), antara ummat
55
Kristen dengan ummat Islam (di Maluku dan Sulawesi), penganiayaan fisik
dan pengrusakan hartabenda etnik Tionghoa (di Jakarta) ditengarai sebagai
penyebab retaknya bangunan nasionalisme Indonesia.
Di era reformasi dan otonomi ini, nasionalisme Indonesia justru
terasa kabur. Akumulasi itu terjadi karena nasionalisme sudah kehilangan
makna dan ruhnya ketika ia sudah teramat sering dibajak oleh rezim untuk
kepentingan kekuasaan. Nasionalisme tak jarang dipakai sebagai komoditas
politik dan tameng untuk melanggengkan kekuasaan yang korup dan otoriter.
Konteks inilah yang mengantarkan nasionalisme menjadi meaningless, usang
dan tak bermakna.
3. Mahasiswa dan Nasionalisme
Mahasiswa merupakan kelompok strategis komponen bangsa, yang
sekaligus mempunyai peran sentral dalam mempelopori gerakan-gerakan
nasional yang dapat membangkitkan semangat nasionalisme. Dalam perspektif
sejarah, gerakan mahasiswa telah dibuktikan bahwa peran mereka begitu besar
dalam mengorganisisr perjuangan bangsa Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat
dari catatan awal pembentukan nasionalisme Indonesia (seperti Budi Utomo,
Syarikat Islam, Indische Partij, Perhimpunan Indonesia) yang merupakan
bukti sejarah tentang gerakan mahasiswa.
Merekalah yang memepolopori bangkitnya gerakan kebangsaan
Indonesia, dari mulai Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928,
hingga mencapai puncaknya ketika Proklamasi 1945. Hal ini juga dibuktikan
56
dengan adanya sebuah catatan A. Fanar Syukri (2003) yang menyatakan
bahwa :
“Peran nyata para pemuda dan mahasiswa dalam 5 gelombang nasionalisme di Indonesia, yang berulang hampir 29 tahun sekali, dapat kita lihat dari perjalanan sejarah nasional; sejak Sumpah Pemuda 1928, Kemerdekaan 1945, bangkitnya Orde Baru 1966 dan bangkitnya Orde Reformasi 1998”.
Gerakan mahasiswa tidak dapat dilepaskan dari agenda-agenda
nasional yang akan berdampak terhadap keberlangsungan negara-bangsa
Indonesia. Dalam hal ini nasionalisme juga menjadi sebuah agenda yang
menjadi landasan bagi pergerakan mahasiswa. Kita dapat melihat bahwa
dalam medio 1908 para mahasiswa STOVIA berkumpul untuk mendirikan
sebuah organisasi yang kelak akan menjadi tonggak pergerakan nasional
Indonesia. Kemudian di era 1920-an berdirilah partai-partai politik yang
dicetuskan oleh para mahasiswa (seperti PNI Soekarno) yang bernapaskan
semangat nasionalisme. Kemudian para pemuda (mahasiswa) melaksanakan
kongres yang kemudian menghasilkan sebuah sumpah yang menjadi dasar
perjuangan melawan kolonialisme yang dilakukan tanpa kekerasan. Sampai
kemudian mencapai momentum proklamasi kemerdekaan.
Pasca kemerdekaan gerakan mahasiswa dalam hal nasionalisme lebih
ditekankan pada kondisi ekonomi serta sosial-politik. Kita dapat melihat pada
periode 1960-an aksi dan gerakan mahasiswa didasarkan pada perbaikan
kondisi ekonomi dan politik yang didasarkan pada jiwa dan semangat
nasionalisme. Contoh nyata ialah tuntutan tentang penurunan harga-harga
serta pengembalian Irian Barat ke tangan NKRI. Periode 1970-an semangat
57
nasionalisme mahasiswa masih digelorakan melalui isu-isu ekonomi dan
politik. Seperti pada 15 Januari 1974 (peristiwa malari) dimana terjadi aksi
mahasiswa guna menolak penanaman modal asing. Momentum berikutnya
ialah pada tahun 1998 dimana terjadi reformasi yang salah satu tuntutannya
ialah pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang menipiskan sikap
nasionalisme. Era pasca reformasi agenda gerakan mahasiswa mengenai
nasionalisme diisi dengan tuntutan penolakan terhadap investasi asing,
nasionalisasi aset bangsa serta pemberantasan korupasi, kolusi dan nepotisme.
Gerakan mahasiswa dan nasionalisme dapat dilihat sebagai berikut :
Tabel 2.2. Deskripsi Gerakan Mahasiswa dan Nasionalisme
Periode Deskripsi 1908 Dibentuknya Budi Utomo oleh mahasiswa STOVIA, yang
kemudian diyakini dan dijadikan sebagai kebangkitan nasionalisme Indonesia.
1920-an Terselenggaranya Kongres Pemuda dan lahirnya Sumpah Pemuda yang dipelopori oleh para mahasiswa. Selain itu, berdiri pula partai politik yang berlandaskan nasionalisme (PNI) yang didirikan oleh mahasiswa (Soekarno). Momentum ini dijadikan sebagai tonggak bagi perjuangan nasional bangsa Indonesia.
1945 Para mahasiswa mendesak para tokoh pejuang untuk memproklamirkan kemerdekaan. Hasilnya ialah proklamasi kemerdekaan dibacakan tanpa menunggu pemberian Jepang.
1960 Nasionalisme mahasiswa didasarkan pada kondisi ekonomi serta politik (penurunan harga BBM dan pengembalian Irian Barat ke tangan NKRI). Salah satu peristiwa yang terkenal ialah tewasnya aktivis mahasiswa Arief Rahman Hakim.
1970-an Semangat nasionalisme mahasiswa ditunjukkan melalui penolakan terhadap penanaman investasi asing di Indonesia. Salah satu tragedi yang paling dikenang ialah peristiwa MALARI dimana saat itu mahasiswa menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang yang diduga akan menanamkan modalnya di Indonesia.
1998 Gelora reformasi didasarkan pada semangat anti KKN yang akan mengikis semangat nasionalisme bangsa. Momentum ini kemudian menjadi perubahan bagi berbagai sistem kehidupan
58
yang ada di Indonesia.
Pasca 1998-sekarang Semangat nasionalisme mahasiswa ditunjukkan dengan tuntutan pemberantasan korupsi serta melakukan nasionalisasi aset asing yang ada di Indonesia.
Dalam era kemerdekaan sekarang, peran mahasiswa dituntut untuk
lebih giat lagi dalam mengaktualisasikan nasionalismenya. Hanya saja,
nasionalisme sekarang berbeda dengan nasionalisme pada zaman sebelum
kemerdekaan. Menurut Mupid Hidayat (2008 : 91) mahasiswa dalam segi
historis, telah berhasil menggerakan kesadaran kolektif seluruh komponen
bangsa untuk terlibat dalam upaya perubahan. Hal ini tidak lepas dari peran
mahasiswa sebagai agent of change dan pressure group yang berpegang pada
idealisme dan cita-cita luhur untuk memajukan bangsa dan negara. Hakekat
daripada nasionalisme mahasiswa adalah menjadikan bangsa Indonesia
menjaadi bangsa yang kuat, sejahtera, adil dan makmur.
Nasionalisme mahasiswa tidak hanya sekedar cinta tanah air, bangga
sebagai bangsa Indonesia, rela berkorban, cinta produksi sendiri, dan slogan-
slogan verbalistik lainnya yang hanya merupakan simbol-simbol. Tetapi,
nasionalisme mahasiswa hendaknya mencakup segala aspek kehidupan
kebangsaan menuju tercapainya cita-cita nasional. Mahasiswa Indonesia harus
sungguh-sungguh dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas dirinya
agar mampu membangkitkan kembali nasionalisme Indonesia. Ketika kualitas
diri mahasiswa Indonesia meningkat dan kajian ilmiah semakin menguat,
mahasiswa Indonesia akan mampu menjadi poros bagi pergerakan
nasionalisme di Indonesia.