bab i pendahuluaneprints.undip.ac.id/80968/2/12.bab_i.pdfterjadi di negara bhineka tunggal ika ini,...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara di Asia Tenggara dengan penuh
kemajemukan baik dalam suku, ras dan agama. Indonesia menganut sistem
pemerintahan demokrasi dari, oleh dan utuk rakyat. Negara berbentuk
Republik dengan kepala negara dipimpin Presiden yang dipilih oleh rakyat.
Maka demokrasi di Indonesia sebagai sistem yang berdaulat terhadap rakyat.
Semestinya dalam praktik demokrasi ini nihilisme terhadap daulat partai,
daulat elite, daulat negara, daulat militer dan daulat lainya. Selain itu
Demokrasi juga merupakan sentral perubahan ekonomi-politik yang
didalamnya mencangkup berbagai permasalahan baik masalah civil society,
civilia supremacy upon military. 1 Bukan tidak mungkin perselisihan sering
terjadi di negara Bhineka Tunggal Ika ini, oleh sebab perbedaan pilihan atau
perbedaan dalam pengaplikasian prinsip demokrasi tersebut.
Keberlangsungan asas demokrasi di negara Indonesia tentunya di dukung
adanya media massa yang merupakan salah satu wadah sebagai kontrol sosial.
Media massa juga berfungsi menjadi pusat penyebaran informasi bagi
masyarakat di negara maritim tersebut. Tentunya peran media massa sangat
penting untuk berada di Indonesia. Namun pada beberapa kesempatan akhir
ini media massa sempat mendapatkan kritik oleh Presiden Indonesia terkait
kinerja media massa. Pemberitaan ini sempat diliput oleh berbagai media
massa pada hari jumat 14 Agustus 2015 singkatnya presiden Joko Widodo
dalam pidatonya pada sidang tahunan di MPR-DPR salah satunya
menyebutkan tentang kinerja perangkat negara sekaligus mengkritik media
massa pada era sekarang. Presiden menyebutkan bahwa media massa
seringkali hanya mementingkan rating media bukan lagi sebagai pemandu
1 Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, (ed. 2002), Partisipasi Politik di Negara
Berkembang, Jakarta: Rineka Cipta.
2
publik untuk mengetahui nilai budaya kerja produktif dan atau
menginformasikan informasi penting bagi publik. Dalam hal ini Jokowi
bermaksud untuk mengingatkan media massa semestinya dapat menjalankan
fungsinya berdasarkan ketentuan UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 pada pasal
33. Dimana pada pasal tersebut menjelaskan tentang Pers yang harus
menjalankan tugas-tugas Pers dengan baik. Tidak hanya mengandalkan
kepentingan rating demi keuntungan materil semata. Faktnya selain hanya
demi kepentingan bisnis media, media massa sekarang ini sering tidak
professional dan merugikan publik. Apalagi jika media massa memiliki
keberpihakan kepada pihak tertentu. Hal ini tentunya akan mempengaruhi
kualitas media massa.
Contohnya pada pemberitaan terkait praktek demokrasi Indonesia pada
kasus “Aksi Bela Islam” tahun 2016 yang menuntut Gubernur DKI Basuki
Cahaya Purnama atau Ahok untuk dipenjara karena dianggap telah menista
agama. Kasus ini merupakan isu Politik Gubernur DKI yang diframing media
massa menjadi isu penistaan agama dan etnis. Hal ini diakibatkan oleh
maraknya kampanye media sosial seperti (#penjarakanAhok, #AksiBelaIslam,
#Aksi212) pemberitaan aksi massa tersebut terus diberitakan media
konvensional lainya secara berkelanjutan dan berulang-ulang. Sebab isu
politik saja tidak cukup untuk menarik jutaan orang ke Jakarta. Akhirnya
dilakukan propaganda oleh pihak tertentu melalui media massa dengan isu
etnis dan agama. Sehingga kasus ini naik menjadi isu nasional yang terus
berkembang dan menyasar ke isu-isu yang lain. Sehingga terjadi pergerakan
massa dari berbagai wilayah di Indonesia yang massif menuju Jakarta.
Beberapa pihak menegarai aksi damai ini merupakan puncak dari
konservasi Islam. Sehingga aksi damai tersebut seperti drama kolosal dari
Aksi Damai 411 yang berkelanjutan pada aksi 212. Mirisnya gerakan ini
sampai muncul komunitas alumni 212. Hal ini terjadi akibat peran media
massa yang mempropaganda informasi terhadap publik. Faktanya pada sebuah
studi etnografi melakukan penelitian untuk melihat bagaimana komunitas
offline-luring (luar jaringan) yang memiliki akses internet terbatas mendukung
3
gagasan “Media Islam” di Indonesia yang hasilnya media sosial dimanfaatkan
untuk mengkonstruksi strategi dakwah dan politik moralitas publik yang
mengutamakan kode-kode etik ke-salekhan dan ke-islaman di Indonesia.2
Berikutnya, koflik Tolikara sebuah kabupaten di Papua pada 2015, konflik
yang mengarah pada kekerasan antar umat beragama, CRSC (Center for
Religious and Cross-Cultural Studies) UGM melaporkan diawal peristiwa
yang terjadi bertepatan pada perayaan hari raya Idul Fitri tersebut, berita-berita
yang muncul di media massa masih perlu diverifikasi, sebagian lainya dalam
keterbatasan informasi justru melakukan provokasi lebih jauh terhadap konflik
antar agama tersebut. Dalam sebuah menelitian jurnalisme damai pada
pemberitaan konflik Tolikara ini memiliki hasil yang menunjukkan sebagian
besar berita yang dimuat Tempo.co cederung kurang menampilkan pelaku
konflik, bahkan untuk sumber atau orang-orang yang terlibat langsung dalam
konflik samasekali tidak ada (orientasi masyarakat). Opini pada orientasi
kebenaran juga tidak ditemukan. Tempo.co hanya menawarkan orientasi
solusi lebih banyak.3
Kemudian, konflik Ambon dalam sebuah penelitian tesis yang
menggunakan analisis framing menyebutkan bahwa konflik di Ambon ini
menjadi sebuah pembelajaran kepada masyarakat tentang bagaimana media
atau para jurnalis dan pemilik media kehilangan orientasinya ketika konflik
dengan nuansa agama itu meledak atau sengaja diledakkan. Contohnya pada
harian Suara Maluku, yang selama puluhan tahun menjadi harian yang
menyuarakan pluralitas, seketika menghilang ketika segregasi masyarakat
menajam. Kemudian RRI Ambon yang akhirnya dinilai lebih menyuarakan
kaum Kristen Maluku, mendorong Laskar Jihad Mendirikan stasiun radio
Suara Perjuangan Muslim Maluku. Akhirnya kelompok media massa Jawa
Pos membuat Ambon Ekspress untuk mewadahi jurnalis yang Muslim dan
2 Setyaningrum Pamugkas A dan Gita Oktaviani, (2017), AKsi Bela Islam dan
Ruang Publik Muslim Dari Representasi Daringi Ke komunitas luring.
Yogyakarta, Jurnal pemikiran Sosiologi Volume 4, No.2. 3 Juditha Christiany, (2016), Jurnalisme Damai Dalam berita Konflik Agama
Tolikara DI Tempo.co, Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik
Vol.20 No. 2, Desember. Hal. 93-110.
4
melayani komunitas Muslim Maluku. Maka lengkaplah segregasi masyarakat
di Ambon berdasarkan garis agama dan realitas tersebutlah yang dibangun
oleh media-media tersebut. Kelemahan jurnalis dalam pemahaman kekerasan
berbasis agama menjadikan media massa lemah akan sadarnya terhadap
pentingnya nilai Hak Asai Manusia.4
Salanjutnya pada kejadian enam tahun silam ditahun 2014 tepatnya,
dimana beberapa stasiun Televisi ramai menyiarkan hasil pemilu oleh Quick
Count, Metro TV, SCTV, Kompas TV, Trans TV yang menyiarkan hasil
hitung cepat dengan unggul capres Joko Widodo, sedangkan Pada TV One
dengan perolehan suara unggul capres Prabowo Subianto.5 Ironinya hal
tersebut menjadikan kubu Prabowo bereaksi cepat mendeklarasikan
kemenangan dan sujud syukur atas unggulnya perolehan surat suara yang
menghasilkan kemenanganya.6 Faktanya yang terjadi ialah hasil rekapitulasi
surat suara pemilu 2014 sah dimenangkan oleh Joko Widodo. Jokowi
menjabat sebagai presiden republik Indonesia pada periode tersebut. Tidak
selesai pada pemilu 2014 rupanya kejadian tersebut nyaris terulang di tahun
ini. Pemilu 2019 kembali berlawanan antara capres Joko Widodo dengan
capres Prabowo Subianto, disinilah rupanya muncul krisis kepercayaan publik
terhadap media massa. Sehingga perjalanan pemilu 2019 tidak lebih mulus
dari 2014, maraknya berita hoax di media massa dan berita terkait pemilu
2019 pemilu penuh kecurangan, Tersetruktur, Sistematis, Masif (TSM)7.
4 Hartadi Kristianto, (2012), Analisis Framing Studi Kasus Kompas dan Media
Indonesia Dalam Liputan Kerusuhan Di Temanggung 8 Februari 2011).
Tesis Fisip UI, Pascasarjana Ilmu Komunikasi. 5 Agustin, Irene, (2014,) Hasil Quick Count Pilpres 2014: Pengakuan 6 Lembaga
Survei & Siap Telanjangi 4 Lembaga di TV One,
https://nasional.kompas.com/read/2014/07/09/16384571/Merasa.Menang.d
alam.Quick.Count.Prabowo.Sujud.Syukur.di.Lantai, (diakses pada 15
Septermber 2019,Pukul 06:54 WIB) 6 Ihsanudin, (2014), Merasa Menang dalam "Quick Count", Prabowo Sujud Syukur
di Lantai, dalam Kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2014/07/09/16384571/Merasa.Menang.d
alam.Quick.Count.Prabowo.Sujud.Syukur.di.Lantai, (diakses pada: 15
September 2019, Pukul 06:55 WIB) 7 Tempo, (2019), Sesumbar Berang 22 Mei. (Jakarta: Tempo Media Group) edisi 20-
26 Mei, hal.34-35.
5
Lagi-lagi terjadi di tahun 2019 ini kubu Prabowo kembali terlebih dahulu
mendeklarasikan kemenangan hasil pemilu 2019 dan unggul atas perolehan
surat suara pemilu 2019, tidak lagi mempercayai Quick Count yang disiarkan
langsung oleh media massa nasional. Dalam jumpa persnya Prabowo mengaku
telah memiliki tim khusus untuk penghitungan surat suara cepat yang hasilnya
menghasilkan kubu Prabowo lebih ungul dari Jokowi menurutnya.8 Hal
tersebut menurut Prabowo dapat terjadi akibat media massa yang dinilai
seringkali membingungkan publik, masyarakat sulit mempercayai kembali
mana pemberitaan yang benar dan mana pemberitaan yang direkayasa atau
mengadudomba fakta. Mengapa hal tersebut dapat terjadi, hemat saya
mengatakan bahwa prinsip baku media massa yang kurang diperhatikan secara
khusus sehingga melebur atau bahkan dileburkan secara sengaja oleh para
penggerak media massa itu sendiri. Tentunya hal ini dipengaruhi oleh banyak
faktor, misalnya demi kepentingan masing-masing pihak, baik pemilik media
atau jurnalisnya atau faktor lain yang mepengaruhi seluruh elemen media
massa berperan serta dalam terciptanya fakta hal seperti karatkter media yang
pada akhirnya membingungkan publik tersebut.
Berangkat dari kasus-kasus diatas dimana peran media massa sangat
penting bagi keberlangsungan praktik sistem demokrasi di negara Indonesia.
Maka menarik untuk diteliti lebih lanjut pemberiataan terkait Aksi Massa 22
Mei 2019 dimana sebuah aksi massa yang terjadi di Jakarta akibat penolakan
hasil pemilu 2019 oleh sebagian kelompok yang merasi dirugikan. Hal
tersebut tentunya diberitakan oleh media massa sehingga mengakibatkan
adanya gerakan mendorong masyarakat dari seluruh penjuru Indonesia yang
dipengaruhi oleh pemberitaan media massa. Adapun massa yang dihalangi
menuju Jakarta oleh aparat kepolisian akhirnya mereka melakukan kerusuhan-
kerusuhan dan demonstrasi di wilayah masing-masing. Maka seolah-olah
8 Madani, Mohammad Amin, (2019), In pictuure: BPN Prabowo-Sandiaga Jumpa
Pers pemilu 2019. (Jakarta: Republika),
https://www.republika.co.id/berita/inpicture/nasional-
inpicture/19/05/14/prhy1r283-bpn-prabowosandiaga-jumpa-pers-pemilu-
2019, (diakses pada: 15 September 2019, Pukul 0&:28)
6
terjadi kerusuhan dan serangan aksi massa di berbagai wilayah negara
Indonesia.
Narasi pemberitaan yang terkadang dilakukan secara berlebihan tentunya
menjadi alasan kuat terjadinya konflik yang berlapis dan menyeluruh di
Indonesia. Pesta demokrasi yang semestinya pesta untuk semua rakyat
Indonesia namun bukan merupakan sebuah pesta untuk beberapa pemegang
kepentingan. Perhatikan pola potongan narasi-narasi pemberitaan terkait Aksi
Massa 22 Mei 2019. Pertama, harian Republika menarasikan hari penentuan
pemilu sebagai hari yang mencekam, mengerikan. Tentunya berakibat
memunculkan skeptis baru pada masyarakat Indonesia tentang hari tersebut.
“….Hari penenutuan pilpres yang harusnya membahagiakan kini menjadi
mencekam mengerikan.” 9
Republika berhasil menggiring opini publik terhadap hari tersebut yang
dinarasikan secara berlebihan melalui diksi yang digunakan media tersebut.
Kedua, oleh Jawa Pos pada narasi pemberitaanya yang berjudul
Rombongan Aksi 22 Mei Dihadang di Suramadu.
“…..Mengakui aksi demo yang dinamai people power.”10
Jawa pos membangun isu baru dengan istilah People Power. Dimana istilah
tersebut bagi sebagian orang ialah tabu terjadi di negara demokratis ini.
Seolah-olah dalam pemberitaan tersebut mendorong pengakuan-pengakuan
dari kelompok yang akan menuju Jakarta mengakui bahwa aksi demo tersebut
dinamai people power. Banyak argumentasi pro dan kontra tentang nama
sebuah aksi massa tersebut yang disinyalir akan mengakibatkan koflik besar
yang bertujuan pada pemecah belah bangsa. Selain itu ada narasi lain yang
diterbitkan Jawa Pos yaitu,
“….Sulit menghilangkan kesan mencekam jelang tanggal keramat 22
mei.”11
9 Republika, (2019) 2 Ramadhan Harus Tetap Sejuk, (Jakarta: PT Republika Media
Mandiri). edisi 21 Mei. 10 Jawa Pos, (2019) ombongan aksi 22 mei Dihadang di Suramadu, (Surabaya: PT.
Jawa Pos Koran), edisi 21 Mei. 11 Jawa Pos, (2019) Dewasa Menerima Hasil Pemilu, (Surabaya: PT. Jawa Pos
Koraan), edisi 21 Mei.
7
Pada bagian ini Jawa Pos menyuarakan hal yang sama dengan apa yang
sebelumnya disuarakan oleh Republika, kesan mencekam, mengerikan yang
disajikan oleh narasi media sebagai nilai moral yang Republika dan Jawa Pos
tawarkan atas penggambaran hari penentuan pemilu tersebut.
Jika Jawa Pos memunculkan isu Peole Power untuk gerakan aksi massa.
Maka harian Kompas memunculkan isu Terorisme yang berhasil dinarasikan
pada pemberitaan dengan judul Menutup Ruang Teror pada Momen Politik ini
singkatnya Kompas menarasikan bahwa JAD (Jaringan Ansharut Daulah)
tunggangi Aksi 22 Mei.
“…. Pihaknya Berharap TNI POLRI tidak bertindak represif pada
masyarakat yang akan menyampaikan pedapat terkait hasil pemilu”,
ketua Front KBJ (Purn).12
Tentunya hal ini mendorong publik bereaksi secara beragam menyikapi hari
penentuan pemilihan umum yang penuh dengan konflik. Kemudian oleh
Tempo memunculkan isu baru yaitu makar sebuah narasi yang membenarkan
akan berlangusngnya aksi massa 22 Mei sebagai berikut.
“…..Ketika dimintai konfirmasi mengenai video tersebut, Soenarko
rekaman diambil secara diam-diam oleh seseorang. “Massak orang
seperti saya mau makar?” ujarnya. Tapi kata dia unjuk rasa menyikapi
hasil pemilu tak dilarang undang-undang. Soenarko berniat hadir dalam
aksi 22 Mei apabila koleganya juga bergabung. “Kalau tak ada teman, ya,
saya enggak berangkat,”ucapnya.”13
Aksi Massa 22 Mei 2019 yang semula merupakan satu bentuk aktual dari
reaksi masyarakat pendukung pasangan capres cawapres Prabowo Subianto
dan Sandiaga Uno, atas ketidak puasan mereka terhadap hasil pemilu 2019
yang dianggap oleh mereka mengandung unsur kecurangan secara Terstruktur
Sistematis dan Masif (TSM) . Media massa membangun skeptis baru terhadap
publik dengan penggambaran informasi yang mengandung konflik dengan
diksi yang digunakan. Aksi massa 22 Mei 2019 dinarasikan sebagai hari yang
mencekam, mengerikan dan media massa terus memunculkan isu-isu baru
12 Kompas, (2019), Menutup Ruang Teror Pada Momen Politik, (Jakarta:
PT.Kompas Media Nusantara), edisi 21 Mei. 13 W Hilman Fathurrahman, (2019), Detik-Detik Yang Menentukan, Majalah Tempo
edisi 20-26mei 2019, Hal.29.
8
yang dikait-kaitkan sebagai alasan terjadinya aksi massa 22 Mei 2019. Dengan
adanya pemberitaan-pemberitaan tersebut maka media massa melakukan
provokasi terhadap publik, media massa sebagai media yang mendorong
adanya gerakan massa menuju Jakarta. Sehingga gerakan-gerakan massa yang
terhalau menuju Jakarta mereka melakukan aksi-aksi lain diberbagai wilaya di
Indonesia.
Kasus ini hanyalah satu contoh dari puluhan atau bahkan ribuan kasus
yang berkaitan dengan peran media massa di Indonesia. Perbedaan dari kasus-
kasus sebelumnya Aksi Massa 22 Mei 2019 ini diberitakan oleh media massa
secara tidak lazim. Media massa terus membangun isu-isu baru yang dibesar-
besarkan. Antar isu tersebut sehingga dikait-kaitkan satu sama lain agar
terkesan menjadi pemicu terjadinya aksi massa. Pemberitaan yang tidak fokus
terhadap akar masalah berita tentunya memunculkan konflik yang semakin
kompleks. Dalam hal ini media massa semestinya memberikan informasi yang
sewajarnya, tidak mengakibatkan konflik semakin meluas. Meskipun
kebebasan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara dalam Undang-
Undang Pers Nomor 40 tahun 1999. Namun media massa juga memiliki
kewajiban untuk yang bersikap damai dan seimbang. Sebab tujuan utama
media adalah sebagai kontrol sosial.
Berangkat dari sebuah buku yang berjudul Jurnalisme sadar konflik
menyatakan bahwa “Bad news is a good news”. Dimana sejak jaman perang
dunia, meliput konflik, peperangan, aksi demo adalah sebuah hal yang
dianggap prestisius bahkan menjadi sumber liputan utama media massa,
semakin parah perangnya semakin seksi dan menarik dimata awak media. 14
Sehingga menarik untuk dilakukan penelitian terkait pemberitaan Aksi Massa
22 Mei 2019. Pada dasarnya media ialah mengkonstruksi realitas. Namun
apakah media dalam mengkonstruksi realitas sesuai aturan media dan tidak
secara berlebihan sehingga dapat merusak value dasar jurnalisme atau justeru
14 Sirait, P.Hasudungan. (2007). Jurnalisme Sadar Konflik, Jakarta: Aliansi Jurnalis
Independen (AJI). hal. 209-210.
9
praktik-praktik jurnalisme masih banyak yang dilakukan secara berlebihan
sehingga keluar dari konteks dasar media dan berdampak pada kemunculan
konflik baru yang diakibatkan oleh pemberitaan media massa di era sekarang
ini.
1.2 Perumusan Masalah
Permasalahan yang dapat diidentifikasi lebih lanjut pada penelitian ini
ialah untuk melihat konstruksi media terhadap isu dengan menggunakan
analisis framing pada narasi pemberitaan terkait Aksi Massa 22 Mei 2019
dalam harian Kompas, Jawa Pos, Republika, dan majalah Tempo.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini ialah untuk mengetahui framing media
massa terhadap pemberitaan terkait Aksi Massa 22 Mei 2019. Hal tersebut
juga dapat digunakan sebagai upaya peneliti dalam melihat sikap media massa
terhadap isu pemberitaan terkait Aksi Massa 22 Mei 2019 dalam harian
Kompas, Jawa Pos, Republika, dan majalah Tempo.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoristis
Penelitian terhadap narasi pemberitaan terkait Aksi Massa 22 Mei
2019 ini berusaha menggunakan analisis framing model Robert Entman.
Guna melihat konstruksi media terhadap isu di dalam pemberitaan terkait
Aksi Massa 22 Mei 2019.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi para
praktisi media massa pada era sekarang ini agar dalam proses framing isu
tidak dilakukan secara berlebihan sehingga tetap tegak menjalankan asas
media massa secara damai dan seimbang agar tidak merusak nilai dasar
media massa.
10
1.4.3 Kegunaan Sosial
Kegunaan sosial dari penelitian ini diharapkan dapat mengedukasi
publik tentang informasi terkait aksi massa yang disajikan oleh
pemberitaan media massa. Kedepan agar publik tidak mudah terprovokasi
dan tidak mudah digiring opini dari sudut pandang yang disajikan oleh
media massa.
1.5 Kerangka Pemikiran Teoristis
1.5.1 Paradigma Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan paradigma
yang digunakan ialah Konstruksionis. Jika dapat dikelompokan
berdasarkan Sifat, ciri dan jenis pandangan konstruksionis diantaranya,
Fakta pada sebuah realitas tergolong relative, kebenaran merupakan
konstruksi atas realitas dan sesuai konsteks tertentu. Kemudian Media
merupakan agen konstruksi pesan. Sedangkan berita yang disajikan oleh
media bukan merefleksi realitas melainkan hanyalah konstruksi dari
realitas karena berita tidak mungkin mencerminkan refleksi realitas dan
berita bersifat subjektif artinya opini tidak dapat dihilangkan karena ketika
meliput berita jurnalis harus melihat dengan perspektif dan pertimbangan
subjektif masing-masing. Kemudian jurnalis berperan sebagai partisipan
yang menjembatani keragaman subjektifis pelaku sosial. Nilai, etika atau
keberpihakan jurnalis tidak dipisahkan dari proses peliputan dan pelaporan
suatu peristiwa. Terakhir, khalayak memiliki penafsiran tersendiri yang
bisa jadi berbeda dari pembuat berita.15
Penjelasan diatas merupakan hasil baca dari pandangan
konstruksionis dimana pandangan konstruksionis menganggap bahwa
kebenaran atau realitas media tidak dapat digeneralisasi hal ini berbeda
dengan apa yang selama ini para positivisme lakukan. Sehingga dalam
kajian paradigma konstruksionis ini peneliti menempatkan posisinya setara
15 Eriyanto. (2011). Analisis Framing. (Yogyakarta: LkiS), Hal.15-30.
11
dan sebisa mugkin untuk masuk dengan subyeknya, berusaha
mengkonstruksi sesuatu yang menjadi pemahaman dari subyek yang akan
diteliti.
1.5.2 State Of The Art
Bebebarapa penelitan sebelumnya mengenai penelitian-penelitian
dengan analisis framing, penelitian jurnalisme damai, penelitian
demokrasi, dan penelitian terhadap media massa juga termasuk isu politik
sebagai berikut :
Pertama, penelitian dengan judul Textual Analysis Of Tempo News
Magazine Representation Of Terrorism, oleh Prayudi pada tahun 2010.
Penelitian yang menggunakan teori Konstruksi Media. Hasil temuan
penelitian menunjukkan bahwa liputan Tempo difokuskan pada proses
penyelidikan jaringan teroris. Kedua isu dibangun dalam perspektif politik
dan budaya yang kuat yang menjadi ciri dari Tempo sebagai media berita
yang kritis dan bebas dari tekanan. Aktualitas, pelaporan mendalam dan
akurasi mewakili kebijakan kuat juga mandiri dari editorial media
Tempo.16 Maka dari penelitian tersebut perlu menggunakan dijadikan
sebagai referensi, karena mengandung persamaan pada Subjek penelitian
yaitu media Tempo dan isu politik, selain pada teori dan analisisnya
memiliki kesamaan.
Kedua, penelitian dengan judul Analisis Wacana Kritis
Pemberitaan Harian Pikiran Rakyat Dan Harian Kompas Sebagai Public
Relations Politik Dalam Membentuk Branding Reputation Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (Sby), oleh Elvinaro Ardianto pada tahun 2012.
Penelitian ini menggunakan teori Reputasi. Penelitian ini menunjukan
produksi teks Pikiran Rakyat cenderung branding reputation negatif
16 Prayudi, E-Jurnal, (2010), Textual Analysis Of Tempo News Magazine
Representation Of Terrorism, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 8,
Nomor 1.
12
Presiden SBY. Sedangkan produksi teks Kompas cenderung branding
reputation positif Presiden SBY. Konsumsi teks Pikiran Rakyat adalah
pembaca mempersepsi sama (negatif) dengan produksi teks yang dibuat
oleh Pikiran Rakyat. Sedangkan konsumsi teks Kompas adalah pembaca
berseberangan (negatif) dengan produksi teks yang dibuat oleh Kompas
bahwa pemberitaan itu cenderung Branding Reputation positif Presiden
SBY.17 Pada penelitian ini dirasa perlu sebagai referensi oleh sebab
persamaan penelitian teks dan media cetak.
Ketiga, Penelitian dengan judul Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik
Dalam Berita Kampanye Pemilhan Umum Calon Kepala Daerah Jawa
Timur Periode 2014-2019 Di Tvri Jawa Timur, oleh William Wijaya
Thomas pada tahun 2015. Penelitian menggunakan Analisis isi ini
menghasilkan penelitian yang menunjukkan bahwa TVRI Jawa Timur
dalam menayangkan pemberitaan pada kampanye pemilu kepala daerah
Jawa Timur periode 2014-2019 adanya pelanggaran terhadap Kode Etik
Jurnalistik. Adapun pelanggaran yang dilakukan ialah terhadap pasal 1 dan
pasal 3. Satu, terdapat beberapa berita yang tidak melakukan verifikasi
maupun pengujian ulang atas data dari keterangan narasumber. Dua,
adanya pemberitaan yang tidak berimbang pada cover both sides maupun
durasi pemberitaan kampanye masing-masing calon. Tiga, ialah adanya
berita yang mencampuradukkan antara fakta dan opini yang
menghakimi.18 Isu pada penelitian tersebut dirasa perlu dijadikan referensi
pada penelitian ini.
Keempat, Penelitian dengan judul Jurnalisme Damai Dalam Berita
Konflik Keagamaan Tolikara Di Tempo.Co. Oleh Christiany Judhita pada
17 Elvinaro Ardianto, (2012), Analisis Wacana Kritis Pemberitaan Harian Pikiran
Rakyat Dan Harian Kompas Sebagai Public Relations Politik Dalam
Membentuk Branding Reputation Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(Sby), Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol.2, No.1. 18 William Wijaya Thomas, (2015), Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik Dalam
Berita Kampanye Pemilhan Umum Calon Kepala Daerah Jawa Timur
Periode 2014-2019 Di Tvri Jawa Timur, Jurnal E-komunikasi, Vol 3,
N0.1.
13
tahun 2016. Penelitian dengan menggunakan analisis isi yang
menghasilkan penelitian ini menunjukkan bahwa orientasi perdamaian
sebagian besar ada pada berita yang dimuat oleh Tempo.co. Mayoritas
berita menonjolkan akar masalah, banyak menampilkan tokoh bijak diluar
lingkaran konflik. Tempo.co cenderung kurang menampilkan pelaku
konflik, serta gambaran kerugian koflik sebagai cermin untuk perdamaian.
Bahkan untuk sumber atau orang-orang yang terlibat langsung dalam
konflik sama sekali tidak ada (orientasi masyarakat). Opini pada orientasi
kebenaran tidak ditemukan, sedangkan orientasi penyelessaian solusi yang
di tawarkan lebih banyak.19 Penelitian jurnalisme damai sangat diperlukan
sebagai media reverensi pada penelitian kali ini selain ada persamaan
media Tempo.
Kelima, penelitian dengan judul Jurnalis Dan Jurnalisme Peka
Konflik Di Indonesia, oleh Sunarni pada tahun 2014. Sebuah penelitian
teks yang menggunakan pemahaman jurnalisme sadar konflik berdasarkan
KEJ (Kode Etik Jurnalistik), yang menghasilkan bahwa jurnalisme di
Indonesia masih cenderung memanipulasi fakta dan menjerumuskan
pembaca atau penoton. Contohnya apa yang terjadi dan dapat dilihat pada
berita-berita berikut: “Kubu PB XIII Dituding Libatkan Warga dalam
Konflik”, “Konflik Keraton, Wisata Baru Solo”, “Raja Pakubuono XIII
Disandera?”.20 Ranah isu dan media pada penelitian ini yang memiliki
kesamaan pada penelitian berikutnya dirasa perlu untuk menjadi bahan
tambahan baca.
Keenam, penelitian dengan judul Politik Keshalehan Personal
Dalam Pemilihan Presiden 2014 Dalam Media Sosial Twitter, oleh Nurul
19 Christiany Juditha, (2016), Jurnalisme Damai Dalam berita Konflik Agama
Tolikara DI Tempo.co, Jurnal Penelitian Komunikasi dan Opini Publik
Vol.20 No.2.
20 Sunarni, E-Jurnal, Jurnalis Dan Jurnalisme Peka Konflik Di Indonesia, Jurnal
Interaksi, Vol 3 No 2, Juli 2014.
14
Hasfi pada tahun 2017. Penelitian yang menggunakan Critical Discourse
Analysis Fairclough, Temuan utama studi ini memperlihatkan nilai-nilai
agama mayoritas digunakan untuk mengkonstruksi kepemimpinan politik
yang ideal, sementara nilai agama minoritas digunakan untuk
mengkonstruksi kepemimpinan politik yang tidak ideal. Sebagai nilai
agama mayoritas masyarakat Indonesia akan selalu menjadi tantangan
dalam proses demokrasi politik di Indonesia. Hal ini disebabkan karena
Islam merupakan agama terbesar di Indonesia sehingga logikanya menjadi
ideologi dominan yang menjadi acuan. Hal yang perlu diwaspadai yakni
manakala hegemoni Islam mulai mengarah pada penggunaan nilai-nilai
primordialisme agama yang justru mendegradasi dan mendestruksi proses
demokrasi di Indonesia yang pluralis ini.21 Kemiripan isu pada penelitian
tersebut yang perlu menjadi bahan reverensi pada penelitian berikut.
Ketujuh, Penelitian dengan judul Analisis Bingkai Pemberitaan
Aksi Bela Islam 2 Desember 2016 (Aksi 212) Di Media Massa Bbc
(Indonesia) & Republika. Oleh Abidatun Lintang Pradipta, Nadya Warih
Nur Hidayah, Afifah Nafiatun Annisa Haya, Carissa Ervania, Deny
Kristanto pada tahun 2018. Sebuah penelitian dengan Analisis Framing
model Robert N. Entman. Hasil analisis menunjukkan bahwa BBC
Indonesia yang merupakan rangkaian agensi berita internasional milik
BBC Inggris cenderung membingkai Aksi 212 sebagai aksi demonstrasi
yang mempunyai konotasi negative. Sedangkan Republika yang dikenal
sebagai berita untuk masyrakat Muslim menghasilkan pembingkaian berita
tentang Aksi 212 dalam nada yang lebih positif. Hasil analisi pada
penelitian ini juga memaknai bahwa pembingkaian ini memberikan
gambaran bagaimana signifikansi peristiwa tertentu mendorong agensi
berita untuk membentuk perspektif tertentu melalui bingkai.22 Pada
21 Nurul Hasfi, (2017), Politik Keshalehan Personal Dalam Pemilihan Presiden
2014 Dalam Media Sosial Twitter,Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4
No.2. 22 Abidatun Lintang Pradipta, Nadya Warih Nur Hidayah, Afifah Nafiatun Annisa
Haya, Carissa Ervania, Deny Kristanto, (2018), Analisis Bingkai
15
penelitian ini memiliki kemiripan isu, analisis framing yang sama
digunakan juga satu media yang sama sebagai objek penelitian sehingga
penting menjadi reverensi pada penelitian kali ini.
Kedelapan, penelitian dengan judul From Policy “Frames” To
“Framing”: Theorizing A More Dynamic, Political Approach. Oleh
Merlijn van Hulst1 and Dvora, Yanow pada tahun 2014. Penelitian dengan
frame analysis, hasil review buku pada jurnal tersebut, Donald Schön and
Martin Rein mereka mengembangkan ide analitik framing kebijakan, yang
lebih dinamis dari dua istilah, dengan cara-cara yang memperkuat apa
yang dilihat. Sebagai janjinya untuk pemahaman yang lebih berorientasi,
proses dan secara politik sensitif dari kegiatan yang digunakan untuk
mengkarakterisasi. Selanjutnya Mereka berpendapat bahwa pendekatan
semacam itu perlu melibatkan aspek-aspek berikut dari; The Work of
Framing: Framing as sense-making work, Framing as the work of
selecting, naming, and categorizing, Framing as the work of storytelling.
Serta Framing sebagai proses kebijakan meta-komunikatif.23 Pada
penelitian ini dirasa perlu sebagai reverensi oleh sebab analisi yang
digunakan memiliki kesamaan juga menemukan cara baru dalam sebuah
penelitian framing yang telah dibukukan.
Kesembilan, penelitian dengan judul Framing News On Risk
Industries: Local Journalism And Conditioning Factors, oleh Enric
Castelló pada tahun 2010. Penelitian dengan analisis framing ini
menggambarkan hasil yang diperoleh dari studi tentang penanganan
jurnalistik berita yang terkait dengan kompleks industri petrokimia di
daerah Tarragona (Spanyol), salah satu kompleks yang paling penting di
Eropa. Hasilnya menunjukkan bahwa industri ini sebagian besar dibingkai
Pemberitaan Aksi Bela Islam 2 Desember 2016 (Aksi 212) Di Media
Massa Bbc (Indonesia) & Republika, Jurnal Informasi Kajian Ilmu
Komunikasi, Vol. 48, Nomor 1. 23 Merlijn van Hulst1 and Dvora,Yanow, (2014), From Policy “Frames” To
“Framing”: Theorizing A More Dynamic, Political Approach,American
Review of Public Administration 1 –21 © The Author(s).
16
dalam istilah ekonomi dan hampir tiga perempat dari artikel berita di
sektor itu dibingkai positif. Studi ini menyoroti fakta bahwa kedekatan
adalah faktor pengkondisi yang mempengaruhi bagaimana jurnalis
bekerja, dan menunjuk pada konteks sosial dan politik sebagai pengaruh
kuat pada bagaimana wacana mengenai risiko petrokimia berkembang.24
Jurnal ini penting dijadikan reverensi baca pada penelitian berikutnya,
isunya memiliki kemiripan sebuah pemberitaan terhadap kasus industry
yang mengarah pada politik media, dan analisis yang digunakan sama.
1.5.3 Novelty (Kebaharuan)
Seperti state of the art diatas banyak yang memiliki kesamaan baik
dari sudut pandang penelitian, subyek penelitian atau teori dan analisis
yang digunakan dalam penelitian-penelitia diatas. Namun demikian dalam
penelitian ini tetap menawarkan kebaruan yaitu mengetahui bagaimana
sikap media yang muncul dari upaya framing pemberitaan terkait Aksi
Massa 22 Mei 2019 yang telah dilakukan oleh keempat media massa
tersebut.
1.5.4 Teori Konstruksi Realitas Sosial
Dalam teori sosial banyak definisi yang menyatakan bahwa
manusia bukan saja menjadi kontrol sosial, melainkan manusia merupakan
agen sosial of changes dimana manusia juga memiliki dasar kreatif,
proaktif dan dengan kearifan internal manusia itu yang kemudian
menjadikan manusia aktor penting dalam realitas sosial. Artinya tindakan
manusia tidak sepenuhnya ditentukan oleh Norma, kebiasaan, nilai-nilai
yang semuanya tercakup dalam fakta sosial. Manusia dapat
mengembangkan diri secara kreatif melalui respon-respon stimulus pada
dunia kognisinya. Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktifis,
24 Robert M. Entman George, (2010), Framing News On Risk Industries: Local
Journalism And Conditioning Factors,Journalism 11(4) 463–480 © The
Author(s).
17
realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan individu. Namun
demikian kebenaran sebuah realitas ialah bersifat nisbi (relative) yang
berlaku sesuai kontek spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.25
Menurut Bungin, Istilah konstruksi sosial atau realitas menjadi
terkenal sejak diperkenalkan pertamakali oleh Peter L.Berger dan Thomas
Luckmann sekitar 1996 melalui buku mereka yang berjudul: The Social
Construction of Reality, A Treatise in the Sociological of Knowledge. Dua
ilmuan sosiologi tersebut menggambarkan bahwa proses sosial melalui
tindakan dan interaksinya. Dimana individu menciptakan secara berulang
atau terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara
subjektif. Menurutnya kembali bahwa konstruksi sosial atas realitas terjadi
secara simultan melalui tiga tahap, yakni eksternalisasi, objektivitas dan
internalisasi. Tiga proses ini terjadi diantara individu satu dengan yang
lainya dalam masyarakat.26
Substansi teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas
Berger dan Luckman ialah simultan yang terjadi tersebut berjalan secara
ilmiah melalui bahasa dalam kehidupan sehari-hari pada komunitas primer
dan semi-sekunder. Asas dasar teori dan pendekatan ini ialah masyarakat
transmisi-modern di Amerika serikat pada era 1960-an, dimana media
massa belum menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk dibicarakan.
Dengan demikian, teori konstruksi realitas sosial Peter L. Berger dan
Thomas Luckman tidak memasukkan media sebagai variabel dalam
konstruksi realitas sosial. Namun pada kenyatanya konstruksi realitas
berlangsung secara lamban, membutuhkan waktu yang lama dan bersifat
spasial dan berlangsung secara hierarkis-vertikal. Dimana hal ini hanya
berlangsung dikalangan pemimpin kepada bawahan, kyai pada santri, guru
kepada murid dan seturusnya.27
25 Hidayat, (2014), Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Prenada Media Group, hal 19. 26 Hidayat, (2014), Sosiologi Komunikasi, Jakarta: Prenada Media Group,
hal.193. 27 Hidayat, (2014), Sosiologi Komunikasi, Jakarta ; Prenada Media Group,
18
Pakar sosiologi menyatakan bahwa konstruksi realitas sosial
hampir tidak dapat dipisahkan dengan jajaran teori-teori komunikasi
massa, pada perkembanganya ilmu komunikasi massa menjadi bagian dari
ilmu komunikasi dengan pesatnya hingga saat ini, gagasan awal Aristotelis
tentang sebagaimana berurutanya komunikator, pesan dan penerima telah
di perpanjang oleh gagasan Harold Dwight Laswell menjadi; Who, Say
What, in with channel, to whom, with what effect.28 Implikasi besar
komunikasi model ini ialah jika komunikator menentukan gagasan atau
pesan kemudian disiarkan kepada khalayak (audiens) melalui saluran dan
keluar hasil yang diinginkan.
Bagi kalangan masyarakat khusus media massa merupakan
infrastruktur kekuasaan (power). Adapun masyarakat khusus yang
dimaksud ialah pemuka masyarakat, tokoh-tokoh lain dimana mereka
melihat bahwa perundang-undangan dan peraturan, merupakan refleksi
dari keterlibatan kalangan “dominan class”. Kemudian masyarakat lain
(subordinate class), menghadapkan media massa sebagai Kontrol sosial
dan perubahan. Dengan demikian jelas sekali bahwa media massa
berperan penting berdasarkan kepentingan masing-masing kalangan.
Pada proses panjang perjalanan teori –teori komunikasi massa
selanjutnya, sejumlah sosiolog mulai mengformulasikan sebuah model
teori yang disebut dengan teori konstruksi sosial yang terjadi dalam media
massa sebagaimana yang dikemukakan oleh Peter L. Berger dan Thomas
Luckman. Sehingga dalam penelitian kali ini yang merupakan penelitian
terhadap media massa merasa relevan dalam proses menelitinya
mengguakan teori konstruksi realitas sosial oleh Peter L. Berger dan
Thomas Luckman bagi media massa. Dimana nantinya untuk membaca isu
dan kasus yang tersaji pada objek penelitian dengan analisis framing
diharapkan dapat menunjukkan bagaimana teori konstruksi realitas sosial
dipraktikkan oleh media (Kompas, Jawa Pos, Republika dan Tempo).
28 Ende, Andi Alimuddin, (2014), Televisi & Masyarakat Pluralistik, Jakarta:
Prenada media group, hal.1.
19
1.6 Asumsi Penelitian
Asumsi dasar dalam penelitian kualitatif ini dengan menggunakan
paradigma konstruksionis melalui proses analisis framing menawarkan cara
pandang baru terhadap sikap media. Melalui keempat media tersebut nantinya
akan melihat framing media massa yang dilakukan terhadap narasi isu pada
harian Komas, Jawa Pos, Republika dan majalah Tempo. Perbandingan
pemberitaan antara satu media dengan media yang lain sangat perlu untuk
dilakukan guna melihat media mana yang layak dikonsumsi publik dalam
menyikapi isu terkait aksi massa tersebut. Peran media dalam fungsinya
sebagai kontrol sosial untuk mempengaruhi persatuan dan kesatuan bangsa
tersebut dapat terjadi apabila media massa dalam mengkonstruksi realitas
dilakukan secara seimbang. Maka dalam penelitian ini memiliki harapan
adanya media yang bersikap netral dan seimbang dalam proses konstruksi isu
yang tidak mengarah kepada sikap media massa yang berpihak kepada
kekuasan manapun.
1.7 Operasinalisasi Konsep
Penelitian ini menggunakan tipe penelitian diskriptif kualiatif dengan
pendekatan metode analisis framing model Robert Entman dimana untuk
mengetahui sebuah realitas pada analisis ini secara garis besarnya
digambarkan dalam bingkai media yang meliputi peritiwa, kelompok, dan
kepentingan. Dimana media mengkonstruksi realitas sosial dengan ideologi
masing-masing media itu sendiri. Asumsi dasarnya sebagai berikut, fakta atau
peristiwa dalam berita ialah hasil konstruksi, sehingga kebenaran tidak
sertamerta dapat dinilai secara normative. Media adalah agen konstruksi berita
bukan refleksi dari realitas, berita bersifat subjektif, Jurnalis bukan pelapor
atau robot, sehingga dia mampu mengkonstruksi realitas sesuai
kepentinganya, atau kepentingan medianya. Sehingga Khalayak dapat
20
memiliki penafsiran sendiri antara satu individu dengan yang lain dan
penafsiran tersebut berbeda-beda terhadap suatu berita.29
Dari beberapa konsep dan prinsip yang tercantum dalam kerangka
pemikiran teoristis maka apabila digambarkan dalam bentuk bagan
operasionalisasi konsep penelitian tersebut menjadi demikian:
Tabel 1.7.1
Kerangka Operasinonalisasi Konsep
1.8 Metoda Penelitian
1.8.1 Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat diskriptif kualitatif dengan menggunakan
analisis framing Robert N Entman yang diharapkan bisa membedah sikap
jurnalisme pada harian Kompas, Jawa Pos, Republika dan majalah Tempo,
dengan meneliti teks media dalam pemberitaan aksi massa 22 Mei. Pada
dasarnya analisis framing digunakan untuk mengetahui sebuah sudut
pandang tertentu. Salah satunya adalam membaca pemberitaan pada suatu
isu yang telah diambil oleh jurnalis untuk diberitakan. Ada beberapa
29 Eriyanto. (2011). Analisis Framing. (Yogyakarta: LkiS), hal.25-35
Untuk
mengetahui:
-Framing
Pemberitaan
Media terhadap isu
-Konstruksi Media
terhadap isu
-Sikap Media pada
pemberitaan
-
Narasi
Pemberitaan Aksi
22 Mei pada:
-Kompas
-Jawa Pos
-Republika
-Tempo
Teori, Konstruksi
Realitas Sosial
Analisi, Framing
Model Robert N
Entman
21
model analisis framing diantaranya oleh Goffman (1974) yang kemudian
dikembangkan oleh, Gamson dan Mogdiliani (1989), Scheufele (1999),
dan Entman (1993). Scheufele melihat framing dari proses pembentukan
framing. Sedangkan Gamson dan Mogdiliani melihat framing dari unsur
pembingkaian dan penalaran verbal dan non-verbal dalam berita televisi.
Sedangkan model Entman melihat framing dengan menganalisis bagian-
bagian yang mempunyai unsur-unsur yang mengarah pada kecenderungan,
penonjolan pemberitaan dan infromasi tertentu pada suatu bahasan.
Sehingga hal ini dapat membantu penelitian untuk menganalisis sesuai
bagian dan unsur yang akan diteliti.30
Harapannya agar informasi-informasi tersebut dapat lebih
bermakna dan lebih mudah untuk diambil valuenya oleh khalayak. Sebab
Entman mengatakan untuk penonjolan pemberitaan tentunya melewati
proses yang bernama repetition atau pengulangan atau dengan
mengasosiasikan informasi tersebut dengan symbol yang familier secara
kurtural.31 Sehingga mengapa pada penelitian ini menggunakan analisis
framing model Robert N Entman oleh sebab model analisis tersebut dirasa
relevan untuk dilakukan. Indikator framing model Robert N Entman untuk
menganalisis berita ada empat sebagaimana berikut:
Pertama, Define Problems ialah merupakan langkah
mengidentifikasi sudut pandang yang ditampakkan oleh media terhadap
posisi media dalam pemberitaan isu tertentu. Pada tahap ini peneliti akan
melakukan identifikasi dan melihat bagaimana posisi media, posisi yang
dimaksud dapat bersifat pro dan kontra terhadap isu, atau bahkan netral
artinya media dalam memberitakan suatu isu dapat menentukan posisinya
dimana untuk dapat di identifikasi oleh peneliti.
30 Gamson, W.A & A. Mogdiliani (1989), Media discourse and public pedapaton
on nuclear power: a constructionist approach, American Journal of
Sosiology, Vol.95, hal.1-37. 31 Entman, Robert M. (1993), Framingt Toward Clarification of a fractured
Paradigm, political communication. Vol.43 No.4. hal.3
22
Kedua, Diagnose Cause adalah tahapan untuk melihat bagaimana
jurnalis dalam mendiagnosa penyebab masalah atau akor utama dalam
dalam paragraf terhadap penjelasan inti berita. Pada bagian ini penelitian
akan mengkaji pada naras-narasi inti yang sudah disajikan oleh jurnalis
dalam pemberitaan aksi massa 22 Mei tersebut.
Ketiga, Make Moral Judgement merupakan proses menyusun
penilaian moral dari peristiwa yang diberitakan. Setelah masalah
teridentifikasi dan penyebabnya diketahui, maka selanjutnya yang akan
dilakukan peneliti adalah membuat penilaian moral. Maksud dari membuat
nilai moral ialah penambahan substansi yang dapat memperkuat ide-ide
yang telah diutarakan dalam narasi pemberitaan tersebut.
Keempat, Treatment rekomendation tahap ini adalah untuk
meneliti bagaimana media memberikan saran perbaikan terhadap masalah
yang diberitakan. Masalah yang diberitakan dalam isu tertentu apakah
diberi saran atau alternatif penyelesaian didalam redaksi oleh jurnalis atau
jurnalis dalam media bersangkutan. Penyelesaian yang diberikan akan
tergantung kepada sudut pandang masalah yang diambil oleh sebab hal
tersebut akan mempengaruhi apa dan siapa yang menyebabkan masalah
tersebut. Sehingga nantinya dalam penelitian ini pada tahap analisis
intrepetasi data tidak menutup kemungkinan apabila sebuah media tidak
memenuhi keseluruhan indikator analisis ini.
1.8.2 Objek Penelitian
Narasi yang terdapat dalam teks-teks Pemberitaan Aksi Massa 22
Mei 2019 pada harian Kompas, Jawa Pos, Republika, dan majalah Tempo.
1.8.3 Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini ialah harian Kompas, Jawa Pos, Republika,
dengan edisi 21 Mei sampai dengan 24 Mei 2019, dan untuk majalah
Tempo edisi 20-26 Mei. Mengingat media massa yang digunakan ialah
media massa cetak dimana pemberitaan biasanya muncul pada hari H+
23
setelah kejadian, namun penelitian ini dirasa perlu mengambil pemberitaan
sebelum dan setelah pelaksanaan aksi massa tersebut, sebab pada kasus ini
menurut pemberitaan media merupakan agenda demonstrasi yang
keberadaanya sudah terencakankan atau terjadwal sesuai aturan dan ijin
berdemonstrasi.
1.8.4 Jenis Data
Jenis data yang digunakan pada penelitian ini berupa teks atau
kalimat-kalimat pada narasi pemberitaan Aksi 22 Mei pada harian
Kompas, Jawa Pos, Republika dan Majalah Tempo.
1.8.5 Sumber Data
Data penelitian diperoleh dari sumber data primer yaitu dari
dokumentasi hasil pengumpulan narasi pemberitaan atas Aksi 22 Mei pada
harian Kompas, Jawa Pos, Republika dan majalah Tempo. Selain hal
tersebut apabila ada penambahan data-data lain yang bukan bersumber dari
keempat media tersebut pada penelitian ini maka peneliti nyatakan sebagai
tambahan data atau data sekunder.
1.8.6 Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini proses penumpulan data melalui beberapa tahap,
yang pertama observasi (pegamatan) dengan cara mengumpulkan 4
media cetak yang akan digunakan untuk penelitian yaitu diantaranya ;
Kompas, Jawa pos, Republika dan Tempo. Tahap selanjutnya menentukan
edisi yang akan masuk dalam kategori penelitian dimana pada penelitian
ini mulai pra dan pasca aksi massa 22 Mei sebab isu ini sudah cukup
menonjol dan ramai disuarakan oleh media massa dari sebelum
pelaksanaan asi massa, dan sempat kontroversial. Adapun edisinya ialah
dengan Edisi tanggal 21 Mei 2019 sampai tanggal 24 Mei 2019 untuk
Kompas, Jawa Pos dan Republika, sedangkan untuk Tempo mengambil
24
edisi 20 Mei sampai 26 Mei 2019 mengingat Tempo merupakan media
cetak majalah yang edisinya disajikan mingguan bukan harian seperti ke
tiga surat kabar sebelumnya. Proses selanjutnya ialah dengan memilah
pemberitaan yang mencakup narasi dan redaksi tentang Aksi 22 Mei 2019.
Sehingga menghasilkan Jumlah berita yang berkaitan dengan aksi massa
22 Mei ini terhitung dari pra dan pasca 22 Mei pada empat media cetak
tersebut ialah 60 pemberitaan dengan rincian data sebagai berikut:
Tabel 1.8.1
Jumlah Pemberitaan Aksi Massa 22 Mei 2019
Media Cetak Jumlah Pemberitaan Aksi Massa 22 Mei 2019
Edisi 21 Mei 22 Mei 23 Mei 24 Mei
Kompas 4 6 6
Jawa Pos 5 3 7
Republika 5 7 5 6
Majalah Tempo
(edisi 20-26 Mei)
6
Jumlah 60
1.8.7 Analisis dan Interpretasi Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis framing.
Dimana redaksi berita diuraikan menurut kode-kode analisis sesuai
indikator dalam model framing oleh Robert N Entman. Indikator tersebut
meliputi Define Problem, Diagnose Cause, Make Moral Judgment,
Treatment recommendation. Dari hasil pengumpulan data sehingga
ditemukan jumlah narasi pemberitaan yang mengenai isu-isu didalam aksi
25
massa 22 Mei ada 60 pemberitaan, akan tetapi penelitian ini hanya
mengambil sampel reduksi berdasarkan data dibawah ini:
Tabel 1.8.2
Sample Reduksi Penelitian
Media Massa
Edisi Harian
21 Mei 22 Mei 23 Mei 24 Mei
Kompas - 1 3 2
Jawa Pos - 2 1 3
Republika 1 1 2 2
Tempo
(Edisi 20-26 Mei)
6
Jumlah 24
Dengan demikian kesemua berita yang sudah dipilih tersebut untuk
dapat dibaca dengan teori konstruksi media, kemudian dibaca
menggunakan analisis framing model Robert N Entman. Sebagaimana
penjabarannya dalam bagan berikut:
Tabel 1.8.3
Model Framing Robert N Entman
Difine problems
(Definisi masalah)
Bagaimana melihat isu atau peristiwa
apakah sebagai masalah? atau sebagai
hal lain apa?
Diagnose Causes
(Perkiraan masalah atau
sumber masalah)
Peristiwa yang terjadi disebabkan oleh
apa? siapa yang dianggap menjadi
aktor dari penyebab masalah pada
26
peristiwa?
Make Moral Judgment
(Membuat Keputusan Moral)
Nilai moral apa yang yang dapat
ditawarkan dalam menjelaskan masalah
yang terjadi pada peristiwa tersebut?
Nilai moral apa yang dapat
melegitimasi dan mendialektikakan
suatu tindaka?
Treatment recommendation
(Penekanan pada penyelesaian)
Penyelesaian apa yang ditawarkan
untuk mengatasi masalah?
1.9 Batasan Penelitian
Penelitian ini hanya menggunakan analisis framing, sedangkan hal-hal
yang diteliti hanya pada narasi-narasi teks yang ada pada pemberitaan terkait
aksi massa 22 Mei 2019 di media cetak yang telah terpilih sebagai subyek
penelitian diantaranya; Harian Kompas, Jawa Pos, Republika dan Majalah
Tempo. Sehingga penelitian ini tidak melakukan penelitian terhadap jurnalis,
proses produksi pemberitaan, tidak melibatkan masyarakat atau pembaca
berita (konsumen khalayak) secara langsung.
1.10 Keterbatasan penelitian
Beberapa yang menjadi keterbatasan dan kelemahan dari penelitian ini
ialah tingkat updating media cetak dalam pemberitaanya tidak lebih cepat
dibanding media online. Majalah Tempo yang merupakan media cetak
edisi mingguan sehingga untuk meneliti pemberitaan pada Aksi Massa 22
Mei 2019 memerlukan beberapa hari sebelum dan beberapa hari sesudah
tanggal kejadian yang akan diteliti.