bab i - putra banjaran | serba serbi · web viewmaksud pembuatan makalah ini penulis harapkan...

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam dan kebudayaan di Indonesia, atau lebih tepatnya, persentuhan antara Islam dengan kebudayaan Melayu dan Jawa. Dalam Festival Istiqlal (1993) diselenggarakan simposium dengan tema “Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok” yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama dengan tema di atas. Dalam buku itu, Islam dan Kebudayaan di Indonesia dirinci menjadi tiga sub-tema, yaitu ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia, serta Islam dan masa depan peradaban dunia. B. Pengertian Dengan penjelasan yang telah ditentukan diatas, bahwa Islam dan Kebudayaan di Indonesia, atau lebih tepatnya, persentuhan antara Islam dengan kebudayaan Melayu dan Jawa dirinci menjadi tiga sub-tema, yang terdiri dari ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia, serta Islam dan masa depan peradaban dunia. C. Ruang Lingkup Islam dan Kebudayaan di Luar Jawa (Melayu) memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh, Misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik al-‘Adil. Ini Islam dan Kebudayaan Indonesia 1

Upload: phamkien

Post on 11-May-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam dan kebudayaan di Indonesia, atau lebih tepatnya, persentuhan antara

Islam dengan kebudayaan Melayu dan Jawa. Dalam Festival Istiqlal (1993)

diselenggarakan simposium dengan tema “Islam dan Kebudayaan Indonesia:

Dulu, Kini, dan Esok” yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama dengan

tema di atas. Dalam buku itu, Islam dan Kebudayaan di Indonesia dirinci menjadi

tiga sub-tema, yaitu ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi

keislaman dalam kebudayaan Indonesia, serta Islam dan masa depan peradaban

dunia.

B. Pengertian

Dengan penjelasan yang telah ditentukan diatas, bahwa Islam dan

Kebudayaan di Indonesia, atau lebih tepatnya, persentuhan antara Islam dengan

kebudayaan Melayu dan Jawa dirinci menjadi tiga sub-tema, yang terdiri dari

ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi keislaman dalam

kebudayaan Indonesia, serta Islam dan masa depan peradaban dunia.

C. Ruang Lingkup

Islam dan Kebudayaan di Luar Jawa (Melayu) memiliki konsep yang lebih

dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh, Misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik

al-‘Adil. Ini berarti kebudayaan keraton di Jawa Lebih mengutamakan kekuasaan,

sedangkan kebudayaan keraton di luar Jawa lebih mengutamakan Keadilan.

Islam dan Kebudayaan Jawa, ketertiban masyarakat didasarkan atas

kemutlakan kekuasaa raja, sedangkan dalam Islam, ketertiban sosial akan terjamin

jika peraturan-peraturan syariah ditegakan.

D. Metode

Metode yang penulis gunakan yaitu dengan memanfaatkan Buku Pegangan

Dosen yang bersangkutan H. Yusuf Saefullah, Drs., M.Ag. yang Berjudul

“METODOLOGI STUDI ISLAM” Oleh : Drs. Atang ABD.Hakim, MA.dan Dr.

Jaih Mubarok.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 1

Page 2: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

E. Maksud dan Tujuan

Maksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca

dan memahami isi dari makalah ini.

Penulis juga mengharapakan supaya pembaca dapat menghayati dan

mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya dalam hal positifnya.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 2

Page 3: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

BAB IIPERSENTUHAN ISLAM DENGAN KEBUDAYAAN MELAYU DAN JAWA

Dalam Islam terdapat ajaran tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa

Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri

sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur dengan

penjelasan yang berbeda. Di pesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat la ilaha ilia

Allah sering ditafsirkan sebagai berikut: pertama, la maujud' ilia Allah (tidak ada yang

"wujud" kecuali Allah); kedua, la ma’bud ilia Allah (tidak ada yang disembah kecuali

Allah); ketiga, la maq-shud ilia Allah (tidak ada yang dimaksud kecuali Allah; dan ke-

empat, la mathliib ilia Allah (tidak ada yang diminta kecuali Allah).

Implikasi dari doktrin itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridhaan-

Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah

yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, konsep mengenai

kehidupan dalam Islam adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan

berpusat pada Tuhan. (Kuntowijoyo, 1991: 229)

Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak ayat Al-

Qur'an kita temukan bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada

pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan

manusia. Dalam surat Al-Ashr [103] ayat 2-3 dikatakan bahwa manusia benar-benar

dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Oleh karena itu,

antara iman (yang teosentris) dan amal saleh (yang antroposentris) tidak dapat

dipisahkan. Ini berarti bahwa iman (tauhid) harus diaktualisasikan menjadi aksi

kemanusiaan. Atas dasar itulah, Kuntowijoyo (1991: 229) berpendapat bahwa konsep

teosentrisme dalam Islam ternyata bersifat humanistik. Artinya, Islam mengajarkan

bahwa manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan tetapi tujuannnya untuk kepen-

tingan manusia itu sendiri. Humanisme-teosentris inilah, lanjut Kuntowijoyo, yang

merupakan nilai-inti dari seluruh ajaran Islam.

Demikianlah, sekilas tentang inti dari seluruh nilai ajaran Islam yang menjadi

tema sentral peradaban Islam. Dari tema sentral tersebut muncul sistem simbol, sistem

yang terbentuk karena proses dialektik antara nilai dan kebudayaan (Kuntowijoyo,

1991: 229). Pada bagian berikut kita akan berbicara tentang sistem budaya di Indonesia.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 3

Page 4: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

Indonesia pernah mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara kebudayaan

keraton dan kebudayaan populer. Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan sebagai

kebudayaan tradisi-onal. Pada bagian berikut kita akan melihat pengaruh Islam terha-

dap kedua bentuk kebudayaan tradisional itu.

Kebudayaan istana atau kebudayaan keraton dikembangkan oleh abdi-dalem atau

pegawai istana, mulai dari pujangga sampai arsitek. Raja berkepentingan menciptakan

simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya bentuk-

bentuk kebudayaan yang diciptakan untuk kepentingan itu berupa mitos. Dalam sastra

kerajaan, mitos-mitos itu dihimpun dalam babad, hikayat, dan lontara. Hampir semua

mitos dalam sastra semacam ini berisi tentang kesaktian raja, kesucian, atau kualitas

suprainsani raja. Efek yang hendak dicapai dari penciptaan mitos-mitos tersebut adalah

agar rakyat loyal terhadap kekuasaan raja. Sebagai contoh, dalam babad Jawa

digambarkan bahwa raja adalah pemegang "wahyu" yang dengannya ia merasa sah

untuk mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan untuk memerintah rakyatnya. Sultan

Agung bergelar khalifatullah atau wakilTuhan di tanah Jawa (Kuntowijoyo, 1991: 230-

1). Di samping itu, para pegawai istana juga menciptakan sastra mistik dengan tujuan

untuk memberikan pengetahuan tentang kosmologi. Sastra-sastra mistik kerajaan

seolah-olah memberikan pesan agar manusia bisa memahami dunianya dalam konteks

kosmologi keraton. Dua produk budaya yang bersifat mitis dan mistis yang diciptakan

oleh keraton sama-sama ditujukan untuk mempertahankan status quo kerajaan. Dalam

rangka melegitimasikan kekuasaan mutlaknya, raja menciptakan semacam silsilah

genealogis bahwa dia adalah keturunan dewa. Pada saat yang sama, dia juga mengklaim

bahwa dirinya adalah keturunan para nabi. (Kuntowijoyo, 1991: 231)

Meskipun dalam keraton terdapat pengaruh hinduisme, tetapi Islam pun cukup

berpengaruh. Misalnya, klaim raja di Jawa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Di

satu sisi, ia menentukan silsilah yang menyatakan bahwa dirinya keturunan para dewa

(hinduisme), tetapi di sisi lain, ia juga mengaku sebagai keturunan para nabi (Islam).

(Kuntowijoyo, 1991: 231)

Konsep kekuasaan Jawa sungguh berbeda dengan konsep kekuasaan Islam. Dalam

kebudayaan Jawa dikenal konsep Raja Absolut, Islam justru mengutamakan konsep

Raja Adil, al-Malik al-'Adil. Akan tetapi, suatu hal yang perlu dicatat adalah budaya

keraton di luar Jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh,

misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik al-'Adil. Ini berarti kebudayaan keraton di

Jawa lebih mengutamakan kekuasaan, sedangkan kebudayaan keraton di luar Jawa lebih

Islam dan Kebudayaan Indonesia 4

Page 5: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

mengutamakan keadilan. Perbedaan lain antara kebudayaan Jawa dan Islam adalah

dalam kebudayaan Jawa, ketertiban masyarakat didasarkan atas kemutlakan kekuasaan

raja, sedangkan dalam Islam, ketertiban sosial akan terjamin jika peraturan-peraturan

syariah ditegakkan. Dengan kata lain, kebudayaan keraton di Jawa mementingkan

kemutlakan kekuasaan raja untuk tertib sosial, sedangkan Islam mementingkan hukum

yang adil untuk tegaknya ketertiban sosial. Karena terjadi perbedaan yang begitu tajam,

yang sering terjadi adalah ketegangan antara Islam dengan kebudayaan keraton Jawa.

(Kuntowijoyo, 1991: 232)

Salah satu kasus menarik adalah konflik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang

raja dari Demak. Siti Jenar yang menganut ajaran mistik Islam sering "meremehkan"

ketentuan-ketentuan syariah yang baku yang sudah diadopsi oleh kerajaan. Oleh karena

itu, raja Demak ketika itu berusaha menghilangkan pengaruh mistik, sufi, dan tarekat,

karena telah meremehkan kekuasaan keraton.

Raja Demak akhirnya menghukum Siti Jenar dengan membakarnya hidup-hidup

yang melambangkan dihapuskannya sufisme dan mistik Islam untuk digantikan dengan

syariah demi ketertiban kerajaan. Akan tetapi, kemudian ada pemberontakan Haji Rifai

(1859) yang dengan semangat wahabisme yang kuat melakukan penerapan syariah

secara "murni". Gerakan ini kemudian ditentang oleh Raja Demak karena dianggap

dapat mem-bahayakan kekuasaan.

Dari kasus di atas, kita dapat melihat hubungan antara Islam dan keraton: dalam

menghadapi sufisme, Syekh Siti Jenar, keraton bersikap memilih syariah karena

berfungsi untuk menjaga ketertiban sosial. Sedangkan ketika menghadapi gerakan

pemur-nian syariah yang dipelopori oleh Haji Rifai, Raja Demak menentangnya karena

dapat meruntuhkan legitimasi. Dengan demi-kian, keraton akan menerima Islam

sepanjang dapat ditundukkan dalam konsep kosmologinya sehingga kekuasaannya dapat

berlangsung, dan menentang ajaran Islam yang dipandang dapat mengganggu

kekuasaannya. Suatu penerimaan yang bersifat defensif dan berwajah ganda.

(Kuntowijoyo, 1991: 232-3)

Tidak terlalu berbeda dengan kebudayaan keraton, dalam kebudayaan populer di

Jawa terdapat mitos. Umpamanya, cerita wali songo di pantai-pantai utara Jawa begitu

terkenal, sehingga orang mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya. Karena

kuatnya mitos yang terbangun, hingga sekarang ini kita men-dengar adanya kiai-kiai

sakti yang bisa melakukan salat di Mekah setiap waktu, dan dalam waktu sekejap ia

kembali lagi ke pesan-trennya; begitu juga cerita tentang kiai yang dapat berkhotbah

Islam dan Kebudayaan Indonesia 5

Page 6: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

dalam dua tempat pada waktu yang bersamaan (Kuntowijoyo, 1991: 234). Pengaruh

Islam dalam kebudayaan dapat dilihat pada ekspresi ritual seperti upacara

"pangiwahan"; agar manusia men-jadi mulia (wiiuoho), diadakanlah upacara kelahiran,

perkawinan, dan kematian. Selain itu, budaya Islami dapat dilihat dalam acara maulid,

seni musik qasidah dan gambus.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 6

Page 7: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

BAB IIIINOVASI DAN PENGARUH ISLAM DALAM SASTRA, SENI, DAN ARSITEK

Selanjutnya, kita membicarakan Islam dan kebudayaan dalam perspektif ekspresi estetik

Islam di Indonesia, dan tradisi serta inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia.

Ekspresi estetik Islam di Indonesia, paling tidak, dapat dilihat dalam dua bidang:

sastra dan arsitek. Kecenderungan sastra sufistik (transendental) telah muncul di

Indonesia sekitar tahun 1970. Kemunculan sastra berkecenderungan sufistik ditandai

munculnya karya-karya yang ditulis pada tahun tujuh puluhan, di antaranya Godlob dan

Alam Makrifah kumpulan cerpen Danarto; Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo,

dan Arafah karya M. Fudoli Zaini. Disusul karya-karya berikutnya seperti Sanu

Infinitina Kembar (1985) karya Motinggo Busye (aim.) (Abdul Hadi WM dalam

Yustiono dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 74)

Di antara karya Kuntowijoyo yang berkecenderungan sufistik, selain Berkhotbah

di Atas Bukit, adalah Sepotong Kayu untuk Tuhan, Dilarang Mencintai Bunga-bunga,

dan Burung Kecil Bersamng di Atas Pohon. Dalam karyanya yang berjudul Sepotong

Kayu untuk Tuhan, Kuntowijoyo menceritakan kecintaan seseorang kepada Tuhan tanpa

pamrih. Alkisah seorang lelaki tua yang tinggal di sebuah dusun terpencil, ditinggalkan

istrinya yang sedang menjenguk cucunya. Istrinya yang cerewet itu selalu menyebutnya

suami pemalas. Ketika tinggal sendirian, semangatnya bangkit. la tahu tidak jauh dari

tempatnya sedang dibangun sebuah surau di pinggir sungai. Gagasan untuk membantu

membangun surau pun tumbuh. la diam-diam menebang kayu untuk membantu mem-

bangun surau itu. Berbeda dengan yang lain, ia ingin menyum-bangkannya secara

rahasia. Maka dihanyutkannya kayu-kayu itu ke sungai. la berharap kayu itu berhenti

tidak jauh dari surau yang sedang dibangun. Namun, setelah ia menganyutkan kayu,

tengah malam banjir datang. Kayu-kayu itu terbawa banjir; tidak berhenti di dekat surau

seperti yang diharapkannya. Meskipun demikian, dengan sentuhan iman, penyumbang

tua itu berkata, "Tidak ada yang hilang, sampai kepada-Mu-kah Tuhan?" (Abdul Hadi

WM dalam Yustiono dkk. (Dewan Redaksi, 1993: 79)

Dalam karyanya yang berjudul Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Kuntowijoyo

menyampaikan pesan keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani.

Dikisahkannya seorang ayah yang membuka usaha perbengkelan. la bercita-cita

anaknya pun men-jadi pekerja keras seperti dirinya. Namun, anaknya lebih suka

berhubungan dengan seorang kakek, tetangganya yang memiliki kebun bunga yang luas.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 7

Page 8: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

Cita-cita kakek dan ayah tersebut sangat berbeda; cita-cita kakek adalah ketenteraman

dan kedamaian; sedangkan cita-cita sang ayah adalah kebahagiaan dan kesempurnaan

dengan kerja keras. Ketika mengetahui anaknya suka berdialog dengan seorang kakek

tetangganya itu, sang ayah segera membangun bengkel di depan rumahnya. Di bengkel

itu, ia mengajarkan cara kerja keras kepada anaknya. Akhirnya, si anak menyadari

bahwa dua dunia, dunia ayah dan dunia kakek sama pentingnya dan saling mengisi

dalam kehidupan seseorang. Tanpa kerja keras, tak mungkin dunia ini dapat dibangun.

Narnun, tanpa kedamaian dan ketenangan, makna kehidupan yang hakiki tidak dapat

direnungkan dan ditemukan. Keduanya saling mengisi (Abdul Hadi WM dalam

Yustiono dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 80)

Dalam novel Khotbah di Atas Bukit, Kuntowijoyo menjelaskan renungan

metafisik ketasawufan yang menyentuh kesadaran seseorang. Ceritanya diperankan oleh

Barman dan Humam. Barman digambarkan sebagai seorang yang sangat hedonis. Dia

menikmati hidup yang serba kecukupan karena jabatannya sebagai diplomat. Anak-

anaknya memberikan kesempatan kepadanya untuk menikmati sisa hidupnya di sebuah

vila di lereng gunung yang indah.

Untuk membahagiakan ayah, anak-anaknya menyediakan seorang perempuan

cantik, masih muda, seorang geisha, yang penurut dan mampu melayani apa saja yang

diinginkan ayahnya. Ketika sedang menikmati kenikmatan duniawinya, Barman

bertemu dengan seorang laki-laki tua yang wajahnya sangat mirip dengannya, yaitu

Humam. Humam adalah seorang tokoh yang telah terbebas dari kenikmatan dunia dan

kaya dengan kehidupan spiritual. Humam ternyata seorang guru spiritual.

Melalui ajaran keruhaniannya yang memukau, Humam berhasil menyadarkan

Barman bahwa hedonisme material akan berakhir dengan munculnya nihilisme, jika

tidak dikendalikan. Barman akhirnya menjadi murid Humam. Di akhir cerita, Barman

meninggal karena jatuh dari kuda di tepi jurang (Abdul Hadi WM dalam Yustiono dkk.

(Dewan Redaksi), 1993: 82-3)

Ekspresi estetik Islam lainnya tergambarkan dalam arsitek mesjid-mesjid tua.

Citra mesjid tua adalah contoh dari interaksi agama dengan tradisi arsitek pra-Islam di

Indonesia dengan konstruksi kayu dan atap tumpang berbentuk limas. Umpamanya

Mesjid Demak, Mesjid Kudus, Mesjid Cirebon, dan Mesjid Banten sebagai cikal-bakal

mesjid di Jawa. Sedangkan di Aceh dan Medan, corak mesjid tua memperlihatkan

sistem atap kubah. Menurut para ahli, mesjid-mesjid tua di Aceh dan Medan merupakan

penerus dari gaya mesjid Indo-Parsi dengan ekspresi struktur bangunan yang berbeda

Islam dan Kebudayaan Indonesia 8

Page 9: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

dengan corak mesjid atap tumpang (Wiyoso Yudoseputro dalam Yustiono dkk. (Dewan

Redaksi), 1993:112-3)

Menurut Nurcholish Madjid (dalam Budhy Munawar Rachman (ed.), 1994: 463-

4), arsitektur mesjid Indonesia banyak diilhami oleh gaya arsitektur kuil Hindu yang

atapnya bertingkat tiga. Seni arsitektur itu sering ditafsirkan sebagai lambang tiga

jenjang perkem-bangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau

permulaan (purwa), tingkat menengah (madya), dan tingkat akhir yang maju dan tinggi

(wusana). Gambaran itu dianggap sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan

ihsan. Selain itu, hal itu dianggap sejajar dengan syari'at, thariqat, dan marifai.

Seni kaligrafi menduduki tempat terhormat. Wayang pun dijadikan sarana oleh

para wali dan raja untuk menyebarkan Islam. Seni yang dikembangkan oleh para raja

dan wali adalah mengembang-kan rupa wayang sesuai dengan pandangan Islam,

sekaligus mem-berikan makna Islam dalam menggubah cerita (lakon) dari per-

tunjukkan wayang. Dilihat dari segi bentuknya, wayang berkembang setelah

dikembangkan oleh para wali dengan adanya wayang beber, wayang purwa, wayang

klitik, dan wayang golek (Wiyoso Yudoseputro dalam Yustiono dkk. (Dewan Redaksi),

1993:115)

Inovasi keislaman di Indonesia yang cukup menarik antara lain disampaikan oleh

Nurcholish Madjid yang menulis artikel dengan judul "Masalah Tradisi dan Inovasi

Keislaman dalam Bidang Pemikiran serta Tantangan dan Harapannya di Indonesia/'

Dalam artikel itu, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa agama dan budaya hanya

dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Cara berpikir yang benar dalam

kaitannya dengan masalah tradisi dan inovasi, menghendaki kemampuan untuk

membedakan antara keduanya. Akan tetapi, kebanyakan orang sulit melakukan-nya.

Maka lahirlah kekacauan dalam menentukan hierarki nilai, yaitu penentuan mana yang

lebih tinggi dan mana yang lebih rendah, atau penentuan mana yang absolut dan mana

yang relatif.

Salah satu contoh yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid adalah bedug dan

kentungan. Sebelum orang Indonesia mampu membuat menara yang tinggi sehingga

suara azan dapat terdengar cukup jauh, pemberitahuan dan panggilan untuk melakukan

salat dengan pemukulan bedug dan kentungan sebagai pinjaman dari budaya Hindu-

Budha adalah yang paling mungkin, karena radius jangkauan suara azan dalam

lingkungan daerah tropis yang subur dan penuh pepohonan jauh lebih pendek dan

sempit daripada lingkungan padang pasir yang tidak tumbuh tanaman.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 9

Page 10: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

Ketika orang sudah mampu membuat menara tinggi apalagi setelah adanya

pengeras suara, bedug dan kentungan menjadi tidak relevan, harus dievaluasi dan

didesakralisasi (dicopot dari nilai kesuciannya; bahwa itu bukan agama melainkan

masalah budaya belaka). Gerakan reformasi Islam dimuali abad ini, ditandai dengan

gerakan Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad yang umumnya menganut pandangan

seperti itu. Tema besar mereka adalah "memurnikan" agama dan memerangi bid’ah dan

khumfat. Namun kenyataannya, persoalan tidak diterima begitu saja. Bagi kebanyakan

orang, bedug merupakan bagian integral dari mesjid. Bagi mereka, mesjid tanpa bedug

hampir tidak masuk akal. "Itulah ilustrasi sederhana tentang sulitnya masyarakat umum

menempatkan nilai-nilai hidup dalam suasan atas-bawah, tinggi-rendah, primer-

sekunder, universal-partikular yang tepat dan yang benar," kata Nurcholish Madjid.

Implikasi negatifnya, bagi mereka simbul menjadi lebih penting daripada fungsi atau

substansi, dan maknatelah digantikan oleh kerangka (Nurcholish Madjid dalam Yustion

dkk. (Dewan Redaksi), 1993:172-4)

Kenyataannya hingga sekarang, kita masih mendapatkan beberapa mesjid yang

menggunakan bedug dan kentungan, meskipun azan sudah menggunakan pengeras

suara. Hal yang membuat kita lebih tercengang adalah bahwa bedug ternyata dianggap

sebagai simbol identitas. Misalnya, seorang mahasiswa-santri yang sedang azan dan

mengucapkan "hayya ’ala al-falah," tiba-tiba seorang kakek memukul kentungan dan

bedug. Ketika ditanya oleh santri-mahasiswa tadi yang sudah selesai azan, kakek

menjawab: "Tabeuh bedug, bisi disebut Persis,") (Pukullah bedug. Kita khawatir

dianggap sebagai penganut Persis). Oleh karena itu, bedug tidak hanya dianggap

sebagai sarana untuk memberi-tahukan waktu salat, tetapi juga simbol pertahanan

identitas.

1) Peristiwa ini terjadi di Mesjid Miftahul Falah Cikalang Cileunyi Kulon Bandung

(1988-1990). Dua orang tua yang sering mengucapkan kata-kata demikian adalah

H. Ghofur dan H. Isma'il yang sekarang keduanya telah kembali ke hadirat Allah.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 10

Page 11: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

BAB IVISLAM DAN ADAT MELAYU DI SULAWESI SELATAN DAN ACEH

Bagian ini akan membicarakan Islam dan kebudayaan Melayu di daerah Sulawesi

Selatan dan Aceh. Bagian pertama merujuk pada artikel yang berjudul "Norma Adat dan

Agama Islam Dulu, Kini, dan Esok di Sulawesi Selatan" karya Halide, sedangkan

bagian kedua merujuk pada artikel yarig berjudul "Pengembaraan Kebudayaan Aceh di

Luar Tanah Ranahnya" karya Tgk. H. Muslim Ibrahim.

Pengaruh Islam dalam budaya Sulawesi Selatan antara lain tergambarkan dalam

sulapa eppae (pepatah orang tua kepada anaknya yang hendak merantau. Bunyi sulapa

eppae adalah sebagai berikut.

Abu Bakkkareng tettong riolo

Ummareng tettong di atau

Bagenda Ah tettong ri abeo

Llsmang tettong ri munri

Kunfayakun

barakka la illaha illallah

Muhammadun rasulullah

Abu Bakar berdiri di depan Umar berdiri di sebelah kanan Baginda AH berdiri di

sebelah kiri Usman berdiri di belakang

Halide (Yustiono dkk., (Dewan Redaksi), 1993: 257-8) menjelaskan bahwa sulapa

eppae mengandung ajaran kepemimpinan Seorang pemimpin akan sukses apabila

memiliki watak dan sifat jujur, bijaksana, sabar, berani, adil, ilmuwan, dan hartawan

Sahabat yang termasuk al-khulafa al-rasyidun di atas merupakan gambaran dari sifat-

sifat itu. Abu Bakar al-Shiddiq adalah simbol kejujuran, kebijaksanaan, dan kesabaran;

Umar bin Khathab adalah simbol keberanian dan keadilan; Ali bin Abi Thalib adalah

simbol ilmuwan; dan Utsman bin Affan adalah simbol hartawan.

Salah satu yang menarik dari artikel yang ditulis oleh Halide adalah peranan kitab

Barzanji. Kitab gubahan Syekh Ja’far al-Barzanji ini dinilai berperan penting dalam

kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. la selalu dibaca dalam upacara perkawinan,

memasuki rumah baru, melahirkan anak, khitanan, khataman Al-Qur'an, dan terutama

peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.

Begitu besarnya cinta masyarakat kepada Nabi Muhammad Saw melalui maulidan dan

pembacaan kitab al-Barzanji, Halide memandang bahwa kecintaan mereka berlebihan.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 11

Page 12: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

Pendapat itu didasarkan pada ungkapan kelong (nyanyian) Maudu Lompoa di Takalar

yang antara lain berbunyi sebagai berikut.

manna tena kussambayang

assala maudu mama ' ;

antama tonja

ri suruga papinyamang

kaddeji kunipapile . .

assambayang na maudu

kualleangi

a'maudu rinabbiya

balukangi tedongnu

pappi taggalang tananu . .

naniya sallang

nupa 'maudukang ri nabbiya

Walaupun saya tidak sembahyang .

asalkan saya bermaulid

say a akan masuk juga

ke dalam surga yang nikmat

andaikata aku disuruh memilih

bersembahyang atau maulid

lebih kusukai bermaulid pada Nabi

juallah kerbaumu

gadaikan sawahmu

supaya ada nanti

dipakai bermaulid pada Nabi

(Halide dalam Yustiono dkk.,

(Dewan Redaksi), 1993: 262).

Tgk. H. Muslim Ibrahim menjelaskan sistem kesenian di Aceh. Menurutnya,

hubungan antara seni, moral, dan syariat dalam Islam sangat erat karena seni berawal

dari habl min Allah dan habl min al-nas. Oleh karena itu, kesenian Aceh telah terpadu

dengan Islam dan terwujud dalam berbagai cabang: sastra, seni tari, seni bangunan, dan

seni pahat.

Kesusastraan Aceh banyak berbentuk pepatah, pantun, syair, dan hikayat. Salah

satu sastra dalam bentuk pepatah adalah:

Islam dan Kebudayaan Indonesia 12

Page 13: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

Peng habeh, gaseh pih kureung pane lorn tailing ulon ka kina

Uang habis, kasih pun berkurang mana man dipakai lagi, aku sudah hina

(Tgk. H. Muslim Ibrahim dalam Yustiono dkk.,

(Dewan Redaksi), 1993: 276).

Seni tari dan bunyi-bunyian Aceh sungguh beragam. Di antara1 jenis seni tari

yang paling populer adalah Seudati, Laweut, SamanJ Didong, Guel, Pho, Meuseusakat,

Tarek Pukat, Puta Talou, danl Ratoh Deuk. Sedangkan tarian yang menggunakan alat

musik antaranya adalah Rapa-i Pase, Rapa-i Daboh, Rapa-i, Cuwek,| Rapa-i Pulot, Alee

Tunjang, Canang, Hareudap, Mama, Suerune Kalee, Salueng, Bangsi, dan Beula (Tgk.

H. Muslim Ibrahim dalar Yustiono dkk., (Dewan Redaksi), 1993: 277).

Itulah akulturasi Islam dengan kebudayaan Indonesia yang didominasi oleh

kebudayaan Melayu dan Jawa. Kebudayaar Melayu lebih mudah menerima Islam,

sedangkan budaya Jawa yang oleh Kuntowijoyo dibagi menjadi dua: budaya keraton da

budaya populer—cenderung berwajah ganda, terutama budaya keraton, dalam

menerima Islam. Budaya keraton Jawa yang mewarisi tradisi Hindu-Budha berintegrasi

dengan budaya Islar sehingga para abdi dalem membuat suatu silsilah yang membuk-l

tikan bahwa raja adalah keturunan para dewa di satu sisi, dan i sisi lain mereka juga

mengaku sebagai keturunan para nabi. Lebihl dari itu, raja di Jawa ada yang mengaku

sebagai wakil Tuhan unti menanamkan loyalitas rakyat kepadanya dan mempertahanka

status quo.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 13

Page 14: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

BAB VISI

Dalam Islam terdapat ajaran Tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran

bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri

sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literature dengan

penjelasan yang berbeda. Di pesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat la ilaha ilia

Allah sering ditafsirkan sebagai berikut: pertama, la maujud' ilia Allah (tidak ada yang

"wujud" kecuali Allah); kedua, la ma^bud ilia Allah (tidak ada yang disembah kecuali

Allah); ketiga, la maq-shud ilia Allah (tidak ada yang dimaksud kecuali Allah; dan ke-

empat, la mathliib ilia Allah (tidak ada yang diminta kecuali Allah).

Implikasi dari doktrin itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridhaan-

Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorien-tasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah

yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, konsep mengenai

kehidupan dalam Islam adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan

berpusat pada Tuhan. (Kuntowijoyo, 1991: 229)

Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak ay at Al-

Qur'an kita temukan bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada

pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan

manusia. Dalam surat Al-'Ashr [103] ayat 2-3 dikatakan bahwa manusia benar-benar

dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Oleh karena itu,

antara iman (yang teosentris) dan amal saleh (yang antroposentris) tidak dapat

dipisahkan. Ini berarti bahwa iman (tauhid) harus diaktualisasikan menjadi aksi

kemanusiaan. Atas dasar itulah, Kuntowijoyo (1991: 229) berpen-dapat bahwa konsep

teosentrisme dalam Islam ternyata bersifat humanistik. Artinya, Islam mengajarkan

bahwa manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan tetapi tujuannnya untuk kepen-

tingan manusia itu sendiri. Humanisme-teosentris inilah, lanjut Kuntowijoyo, yang

merupakan nilai-inti dari seluruh ajaran Islam.

Konsep kekuasaan Jawa sungguh berbeda dengan konsep kekuasaan Islam. Dalam

kebudayaan Jawa dikenal konsep Raja Absolut, Islam justru mengutamakan konsep

Raja Adil, al-Malik al-'Adil. Akan tetapi, suatu hal yang perlu dicatat adalah budaya

keraton di luar Jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh,

misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik al-'Adil. Ini berarti kebudayaan keraton di

Jawa lebih mengutamakan kekuasaan, sedangkan kebudayaan keraton di luar Jawa lebih

Islam dan Kebudayaan Indonesia 14

Page 15: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

mengutamakan keadilan. Perbedaan lain antara kebudayaan Jawa dan Islam adalah

dalam kebudayaan Jawa, ketertiban masyarakat didasarkan atas kemutlakan kekuasaan

raja, sedangkan dalam Islam, ketertiban sosial akan terjamin jika peraturan-peraturan

syariah ditegakkan. Dengan kata lain, kebudayaan keraton di Jawa mementingkan

kemutlakan kekuasaan raja untuk tertib sosial, sedangkan Islam mementingkan hukum

yang adil untuk tegaknya ketertiban sosial. Karena terjadi perbedaan yang begitu tajam,

yang sering terjadi adalah ketegangan antara Islam dengan kebudayaan keraton Jawa.

(Kuntowijoyo, 1991: 232)

Selanjutnya, kita membicarakan Islam dan kebudayaan dalam perspektif ekspresi estetik

Islam di Indonesia, dan tradisi serta inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia.

Ekspresi estetik Islam di Indonesia, paling tidak, dapat dilihat dalam dua bidang:

sastra dan arsitek. Kecenderungan sastra sufistik (transendental) telah muncul di

Indonesia sekitar tahun 1970. Kemunculan sastra berkecenderungan sufistik ditandai

munculnya karya-karya yang ditulis pada tahun tujuh puluhan, di antaranya Godlob dan

Alam Makrifah kumpulan cerpen Danarto; Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo,

dan Arafah karya M. Fudoli Zaini. Disusul karya-karya berikutnya seperti Sanu

Infinitina Kembar (1985) karya Motinggo Busye (aim.) (Abdul Hadi WM dalam

Yustiono dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 74)

Islam dan kebudayaan Melayu di daerah Sulawesi Selatan dan Aceh. Bagian

pertama merujuk pada artikel yang berjudul "Norma Adat dan Agama Islam Dulu, Kini,

dan Esok di Sulawesi Selatan" karya Halide, sedangkan bagian kedua merujuk pada

artikel yarig berjudul "Pengembaraan Kebudayaan Aceh di Luar Tanah Ranahnya"

karya Tgk. H. Muslim Ibrahim. Halide (Yustiono dkk., (Dewan Redaksi), 1993: 257-8)

menjelaskan bahwa sulapa eppae mengandung ajaran kepemimpinan Seorang

pemimpin akan sukses apabila memiliki watak dan sifat jujur, bijaksana, sabar, berani,

adil, ilmuwan, dan hartawan Sahabat yang termasuk al-khulafa al-rasyidun di atas

merupakan gambaran dari sifat-sifat itu.

Itulah akulturasi Islam dengan kebudayaan Indonesia yang didominasi oleh

kebudayaan Melayu dan Jawa. Kebudayaar Melayu lebih mudah menerima Islam,

sedangkan budaya Jawa yang oleh Kuntowijoyo dibagi menjadi dua: budaya keraton da

budaya populer—cenderung berwajah ganda, terutama budaya keraton, dalam

menerima Islam. Budaya keraton Jawa yang mewarisi tradisi Hindu-Budha berintegrasi

dengan budaya Islar sehingga para abdi dalem membuat suatu silsilah yang

membuktikan bahwa raja adalah keturunan para dewa di satu sisi, dan di sisi lain

Islam dan Kebudayaan Indonesia 15

Page 16: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

mereka juga mengaku sebagai keturunan para nabi. Lebih dari itu, raja di Jawa ada yang

mengaku sebagai wakil Tuhan unti menanamkan loyalitas rakyat kepadanya dan

mempertahanka status quo.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 16

Page 17: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dalam Islam terdapat ajaran tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa

Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri

sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur dengan

penjelasan yang berbeda. Di pesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat la ilaha ilia

Allah sering ditafsirkan sebagai berikut:

1. la maujud' ilia Allah (tidak ada yang "wujud" kecuali Allah);

2. la ma’bud ilia Allah (tidak ada yang disembah kecuali Allah); ketiga, la maq-shud

ilia Allah (tidak ada yang dimaksud kecuali Allah; dan ke-empat, la mathliib ilia

Allah (tidak ada yang diminta kecuali Allah).

Implikasi dari doktrin itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridhaan-

Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah

yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, konsep mengenai

kehidupan dalam Islam adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan

berpusat pada Tuhan.

Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak ayat Al-

Qur'an kita temukan bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada

pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan

manusia. Dalam surat Al-Ashr [103] ayat 2-3 dikatakan bahwa manusia benar-benar

dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Oleh karena itu,

antara iman (yang teosentris) dan amal saleh (yang antroposentris) tidak dapat

dipisahkan.

antara iman (yang teosentris) dan amal saleh (yang antroposentris) tidak dapat

dipisahkan. Ini berarti bahwa iman (tauhid) harus diaktualisasikan menjadi aksi

kemanusiaan. Atas dasar itulah, Kuntowijoyo (1991: 229) berpendapat bahwa konsep

teosentrisme dalam Islam ternyata bersifat humanistik. Artinya, Islam mengajarkan

bahwa manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan tetapi tujuannnya untuk kepen-

tingan manusia itu sendiri. Humanisme-teosentris inilah, lanjut Kuntowijoyo, yang

merupakan nilai-inti dari seluruh ajaran Islam.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 17

Page 18: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

B. Saran

1. Hendaknya Mata Kuliah Islamologi benar-benar diikuti oleh semua

Mahasiswa kecuali Non-Muslim(tidak diwajibkan).

2. Islamologi adalah Mata Kuliah yang didalamnya mempelajari tentang Islam.

Untuk itu, hendaknya Dosen dalam menyampaikannya harus berpegang

kepada AL-Qur’an dan Al-Hadits.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 18

Page 19: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

BAB VIIPENUTUP

Indonesia pernah mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara kebudayaan

keraton dan kebudayaan popular. Atau dikatagorikan sebagai kebudayaan tradisional.

Dalam kebudayaan keraton dikembangkan oleh abdi-dalem mulai dari pujangga sampai

arsitek.

Dalam babad Jawa digambarkan bahwa raja adalah pemegang “wahyu” yang dengannya

ia merasa sah untuk mengkelaim dirinya sebagai wakil Tuhan untuk memerintah

rakyatnya.

Meskipun dalam keraton terdapat pengaruh hinduisme, tetapi Islam pun cukup

berpengaruh. Misalnya, klaim Raja di Jawa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Di

satu sisi, ia menentukan sislsilah yang menyatakan bahwa dirinya keturunan para dewa

(hinduisme). Tetapi di sisi lain, ia juga mengaku sebagai keturunan para Nabi (Islam).

Kebudayaan di Jawa sangat dikenal dengan konsep Raja Absolut, Islam justru

mengutamakan konsep Raja Adil, al-Malik al’adil. Akan tetapi, suatu hal yang perlu

dicatat adalah budaya keraton di luar Jawa yang memiliki konsep yang lebih dekat

dengan gagasan Islam.

Maka dari kedua kebudayaan tersebut bisa kita lihat sendiri. Bahwa, kebudayaan

keraton di Jawa lebih mengutamakan kekuasaan, sedangkan kebudayaan keraton di luar

Jawa lebih mengutamakan keadilan.

Oleh karenanya setiap masyarakat harus mampu mencerna serta bisa menyaring

kebudayaan yang masuk dari luar. Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat

yang didominasi beragama Islam. Tentunya kita harus memakai tradisi budaya Islam

bahkan kita harus melestarikannya.

Apabila tradisi Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maka kita akan

terbiasa seolah-olah sebagai kewajiban hidup setiap hari.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 19

Page 20: BAB I - Putra Banjaran | Serba Serbi · Web viewMaksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca dan memahami isi dari makalah ini. Penulis juga mengharapakan supaya

BAB VIIIDAFTAR PUSTAKA

~ Yustion dkk. ( dewan redaksi ). 1993. Islam dan Kebudayaan Indonesia : Gulu, kini, dan Esok. Jakarta : Yayasan Festipal Istiqlal.

Islam dan Kebudayaan Indonesia 20