BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam dan kebudayaan di Indonesia, atau lebih tepatnya, persentuhan antara
Islam dengan kebudayaan Melayu dan Jawa. Dalam Festival Istiqlal (1993)
diselenggarakan simposium dengan tema “Islam dan Kebudayaan Indonesia:
Dulu, Kini, dan Esok” yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama dengan
tema di atas. Dalam buku itu, Islam dan Kebudayaan di Indonesia dirinci menjadi
tiga sub-tema, yaitu ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi
keislaman dalam kebudayaan Indonesia, serta Islam dan masa depan peradaban
dunia.
B. Pengertian
Dengan penjelasan yang telah ditentukan diatas, bahwa Islam dan
Kebudayaan di Indonesia, atau lebih tepatnya, persentuhan antara Islam dengan
kebudayaan Melayu dan Jawa dirinci menjadi tiga sub-tema, yang terdiri dari
ekspresi estetik Islam di Indonesia, tradisi dan inovasi keislaman dalam
kebudayaan Indonesia, serta Islam dan masa depan peradaban dunia.
C. Ruang Lingkup
Islam dan Kebudayaan di Luar Jawa (Melayu) memiliki konsep yang lebih
dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh, Misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik
al-‘Adil. Ini berarti kebudayaan keraton di Jawa Lebih mengutamakan kekuasaan,
sedangkan kebudayaan keraton di luar Jawa lebih mengutamakan Keadilan.
Islam dan Kebudayaan Jawa, ketertiban masyarakat didasarkan atas
kemutlakan kekuasaa raja, sedangkan dalam Islam, ketertiban sosial akan terjamin
jika peraturan-peraturan syariah ditegakan.
D. Metode
Metode yang penulis gunakan yaitu dengan memanfaatkan Buku Pegangan
Dosen yang bersangkutan H. Yusuf Saefullah, Drs., M.Ag. yang Berjudul
“METODOLOGI STUDI ISLAM” Oleh : Drs. Atang ABD.Hakim, MA.dan Dr.
Jaih Mubarok.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 1
E. Maksud dan Tujuan
Maksud pembuatan Makalah ini penulis harapkan pembaca bisa membaca
dan memahami isi dari makalah ini.
Penulis juga mengharapakan supaya pembaca dapat menghayati dan
mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya dalam hal positifnya.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 2
BAB IIPERSENTUHAN ISLAM DENGAN KEBUDAYAAN MELAYU DAN JAWA
Dalam Islam terdapat ajaran tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa
Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri
sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur dengan
penjelasan yang berbeda. Di pesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat la ilaha ilia
Allah sering ditafsirkan sebagai berikut: pertama, la maujud' ilia Allah (tidak ada yang
"wujud" kecuali Allah); kedua, la ma’bud ilia Allah (tidak ada yang disembah kecuali
Allah); ketiga, la maq-shud ilia Allah (tidak ada yang dimaksud kecuali Allah; dan ke-
empat, la mathliib ilia Allah (tidak ada yang diminta kecuali Allah).
Implikasi dari doktrin itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridhaan-
Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah
yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, konsep mengenai
kehidupan dalam Islam adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan
berpusat pada Tuhan. (Kuntowijoyo, 1991: 229)
Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak ayat Al-
Qur'an kita temukan bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada
pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan
manusia. Dalam surat Al-Ashr [103] ayat 2-3 dikatakan bahwa manusia benar-benar
dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Oleh karena itu,
antara iman (yang teosentris) dan amal saleh (yang antroposentris) tidak dapat
dipisahkan. Ini berarti bahwa iman (tauhid) harus diaktualisasikan menjadi aksi
kemanusiaan. Atas dasar itulah, Kuntowijoyo (1991: 229) berpendapat bahwa konsep
teosentrisme dalam Islam ternyata bersifat humanistik. Artinya, Islam mengajarkan
bahwa manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan tetapi tujuannnya untuk kepen-
tingan manusia itu sendiri. Humanisme-teosentris inilah, lanjut Kuntowijoyo, yang
merupakan nilai-inti dari seluruh ajaran Islam.
Demikianlah, sekilas tentang inti dari seluruh nilai ajaran Islam yang menjadi
tema sentral peradaban Islam. Dari tema sentral tersebut muncul sistem simbol, sistem
yang terbentuk karena proses dialektik antara nilai dan kebudayaan (Kuntowijoyo,
1991: 229). Pada bagian berikut kita akan berbicara tentang sistem budaya di Indonesia.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 3
Indonesia pernah mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara kebudayaan
keraton dan kebudayaan populer. Dua jenis kebudayaan ini sering dikategorikan sebagai
kebudayaan tradisi-onal. Pada bagian berikut kita akan melihat pengaruh Islam terha-
dap kedua bentuk kebudayaan tradisional itu.
Kebudayaan istana atau kebudayaan keraton dikembangkan oleh abdi-dalem atau
pegawai istana, mulai dari pujangga sampai arsitek. Raja berkepentingan menciptakan
simbol-simbol budaya tertentu untuk melestarikan kekuasaannya. Biasanya bentuk-
bentuk kebudayaan yang diciptakan untuk kepentingan itu berupa mitos. Dalam sastra
kerajaan, mitos-mitos itu dihimpun dalam babad, hikayat, dan lontara. Hampir semua
mitos dalam sastra semacam ini berisi tentang kesaktian raja, kesucian, atau kualitas
suprainsani raja. Efek yang hendak dicapai dari penciptaan mitos-mitos tersebut adalah
agar rakyat loyal terhadap kekuasaan raja. Sebagai contoh, dalam babad Jawa
digambarkan bahwa raja adalah pemegang "wahyu" yang dengannya ia merasa sah
untuk mengklaim dirinya sebagai wakil Tuhan untuk memerintah rakyatnya. Sultan
Agung bergelar khalifatullah atau wakilTuhan di tanah Jawa (Kuntowijoyo, 1991: 230-
1). Di samping itu, para pegawai istana juga menciptakan sastra mistik dengan tujuan
untuk memberikan pengetahuan tentang kosmologi. Sastra-sastra mistik kerajaan
seolah-olah memberikan pesan agar manusia bisa memahami dunianya dalam konteks
kosmologi keraton. Dua produk budaya yang bersifat mitis dan mistis yang diciptakan
oleh keraton sama-sama ditujukan untuk mempertahankan status quo kerajaan. Dalam
rangka melegitimasikan kekuasaan mutlaknya, raja menciptakan semacam silsilah
genealogis bahwa dia adalah keturunan dewa. Pada saat yang sama, dia juga mengklaim
bahwa dirinya adalah keturunan para nabi. (Kuntowijoyo, 1991: 231)
Meskipun dalam keraton terdapat pengaruh hinduisme, tetapi Islam pun cukup
berpengaruh. Misalnya, klaim raja di Jawa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Di
satu sisi, ia menentukan silsilah yang menyatakan bahwa dirinya keturunan para dewa
(hinduisme), tetapi di sisi lain, ia juga mengaku sebagai keturunan para nabi (Islam).
(Kuntowijoyo, 1991: 231)
Konsep kekuasaan Jawa sungguh berbeda dengan konsep kekuasaan Islam. Dalam
kebudayaan Jawa dikenal konsep Raja Absolut, Islam justru mengutamakan konsep
Raja Adil, al-Malik al-'Adil. Akan tetapi, suatu hal yang perlu dicatat adalah budaya
keraton di luar Jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh,
misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik al-'Adil. Ini berarti kebudayaan keraton di
Jawa lebih mengutamakan kekuasaan, sedangkan kebudayaan keraton di luar Jawa lebih
Islam dan Kebudayaan Indonesia 4
mengutamakan keadilan. Perbedaan lain antara kebudayaan Jawa dan Islam adalah
dalam kebudayaan Jawa, ketertiban masyarakat didasarkan atas kemutlakan kekuasaan
raja, sedangkan dalam Islam, ketertiban sosial akan terjamin jika peraturan-peraturan
syariah ditegakkan. Dengan kata lain, kebudayaan keraton di Jawa mementingkan
kemutlakan kekuasaan raja untuk tertib sosial, sedangkan Islam mementingkan hukum
yang adil untuk tegaknya ketertiban sosial. Karena terjadi perbedaan yang begitu tajam,
yang sering terjadi adalah ketegangan antara Islam dengan kebudayaan keraton Jawa.
(Kuntowijoyo, 1991: 232)
Salah satu kasus menarik adalah konflik antara Syekh Siti Jenar dengan seorang
raja dari Demak. Siti Jenar yang menganut ajaran mistik Islam sering "meremehkan"
ketentuan-ketentuan syariah yang baku yang sudah diadopsi oleh kerajaan. Oleh karena
itu, raja Demak ketika itu berusaha menghilangkan pengaruh mistik, sufi, dan tarekat,
karena telah meremehkan kekuasaan keraton.
Raja Demak akhirnya menghukum Siti Jenar dengan membakarnya hidup-hidup
yang melambangkan dihapuskannya sufisme dan mistik Islam untuk digantikan dengan
syariah demi ketertiban kerajaan. Akan tetapi, kemudian ada pemberontakan Haji Rifai
(1859) yang dengan semangat wahabisme yang kuat melakukan penerapan syariah
secara "murni". Gerakan ini kemudian ditentang oleh Raja Demak karena dianggap
dapat mem-bahayakan kekuasaan.
Dari kasus di atas, kita dapat melihat hubungan antara Islam dan keraton: dalam
menghadapi sufisme, Syekh Siti Jenar, keraton bersikap memilih syariah karena
berfungsi untuk menjaga ketertiban sosial. Sedangkan ketika menghadapi gerakan
pemur-nian syariah yang dipelopori oleh Haji Rifai, Raja Demak menentangnya karena
dapat meruntuhkan legitimasi. Dengan demi-kian, keraton akan menerima Islam
sepanjang dapat ditundukkan dalam konsep kosmologinya sehingga kekuasaannya dapat
berlangsung, dan menentang ajaran Islam yang dipandang dapat mengganggu
kekuasaannya. Suatu penerimaan yang bersifat defensif dan berwajah ganda.
(Kuntowijoyo, 1991: 232-3)
Tidak terlalu berbeda dengan kebudayaan keraton, dalam kebudayaan populer di
Jawa terdapat mitos. Umpamanya, cerita wali songo di pantai-pantai utara Jawa begitu
terkenal, sehingga orang mempercayai adanya sebuah batu bekas sujudnya. Karena
kuatnya mitos yang terbangun, hingga sekarang ini kita men-dengar adanya kiai-kiai
sakti yang bisa melakukan salat di Mekah setiap waktu, dan dalam waktu sekejap ia
kembali lagi ke pesan-trennya; begitu juga cerita tentang kiai yang dapat berkhotbah
Islam dan Kebudayaan Indonesia 5
dalam dua tempat pada waktu yang bersamaan (Kuntowijoyo, 1991: 234). Pengaruh
Islam dalam kebudayaan dapat dilihat pada ekspresi ritual seperti upacara
"pangiwahan"; agar manusia men-jadi mulia (wiiuoho), diadakanlah upacara kelahiran,
perkawinan, dan kematian. Selain itu, budaya Islami dapat dilihat dalam acara maulid,
seni musik qasidah dan gambus.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 6
BAB IIIINOVASI DAN PENGARUH ISLAM DALAM SASTRA, SENI, DAN ARSITEK
Selanjutnya, kita membicarakan Islam dan kebudayaan dalam perspektif ekspresi estetik
Islam di Indonesia, dan tradisi serta inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia.
Ekspresi estetik Islam di Indonesia, paling tidak, dapat dilihat dalam dua bidang:
sastra dan arsitek. Kecenderungan sastra sufistik (transendental) telah muncul di
Indonesia sekitar tahun 1970. Kemunculan sastra berkecenderungan sufistik ditandai
munculnya karya-karya yang ditulis pada tahun tujuh puluhan, di antaranya Godlob dan
Alam Makrifah kumpulan cerpen Danarto; Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo,
dan Arafah karya M. Fudoli Zaini. Disusul karya-karya berikutnya seperti Sanu
Infinitina Kembar (1985) karya Motinggo Busye (aim.) (Abdul Hadi WM dalam
Yustiono dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 74)
Di antara karya Kuntowijoyo yang berkecenderungan sufistik, selain Berkhotbah
di Atas Bukit, adalah Sepotong Kayu untuk Tuhan, Dilarang Mencintai Bunga-bunga,
dan Burung Kecil Bersamng di Atas Pohon. Dalam karyanya yang berjudul Sepotong
Kayu untuk Tuhan, Kuntowijoyo menceritakan kecintaan seseorang kepada Tuhan tanpa
pamrih. Alkisah seorang lelaki tua yang tinggal di sebuah dusun terpencil, ditinggalkan
istrinya yang sedang menjenguk cucunya. Istrinya yang cerewet itu selalu menyebutnya
suami pemalas. Ketika tinggal sendirian, semangatnya bangkit. la tahu tidak jauh dari
tempatnya sedang dibangun sebuah surau di pinggir sungai. Gagasan untuk membantu
membangun surau pun tumbuh. la diam-diam menebang kayu untuk membantu mem-
bangun surau itu. Berbeda dengan yang lain, ia ingin menyum-bangkannya secara
rahasia. Maka dihanyutkannya kayu-kayu itu ke sungai. la berharap kayu itu berhenti
tidak jauh dari surau yang sedang dibangun. Namun, setelah ia menganyutkan kayu,
tengah malam banjir datang. Kayu-kayu itu terbawa banjir; tidak berhenti di dekat surau
seperti yang diharapkannya. Meskipun demikian, dengan sentuhan iman, penyumbang
tua itu berkata, "Tidak ada yang hilang, sampai kepada-Mu-kah Tuhan?" (Abdul Hadi
WM dalam Yustiono dkk. (Dewan Redaksi, 1993: 79)
Dalam karyanya yang berjudul Dilarang Mencintai Bunga-bunga, Kuntowijoyo
menyampaikan pesan keseimbangan antara kehidupan jasmani dan rohani.
Dikisahkannya seorang ayah yang membuka usaha perbengkelan. la bercita-cita
anaknya pun men-jadi pekerja keras seperti dirinya. Namun, anaknya lebih suka
berhubungan dengan seorang kakek, tetangganya yang memiliki kebun bunga yang luas.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 7
Cita-cita kakek dan ayah tersebut sangat berbeda; cita-cita kakek adalah ketenteraman
dan kedamaian; sedangkan cita-cita sang ayah adalah kebahagiaan dan kesempurnaan
dengan kerja keras. Ketika mengetahui anaknya suka berdialog dengan seorang kakek
tetangganya itu, sang ayah segera membangun bengkel di depan rumahnya. Di bengkel
itu, ia mengajarkan cara kerja keras kepada anaknya. Akhirnya, si anak menyadari
bahwa dua dunia, dunia ayah dan dunia kakek sama pentingnya dan saling mengisi
dalam kehidupan seseorang. Tanpa kerja keras, tak mungkin dunia ini dapat dibangun.
Narnun, tanpa kedamaian dan ketenangan, makna kehidupan yang hakiki tidak dapat
direnungkan dan ditemukan. Keduanya saling mengisi (Abdul Hadi WM dalam
Yustiono dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 80)
Dalam novel Khotbah di Atas Bukit, Kuntowijoyo menjelaskan renungan
metafisik ketasawufan yang menyentuh kesadaran seseorang. Ceritanya diperankan oleh
Barman dan Humam. Barman digambarkan sebagai seorang yang sangat hedonis. Dia
menikmati hidup yang serba kecukupan karena jabatannya sebagai diplomat. Anak-
anaknya memberikan kesempatan kepadanya untuk menikmati sisa hidupnya di sebuah
vila di lereng gunung yang indah.
Untuk membahagiakan ayah, anak-anaknya menyediakan seorang perempuan
cantik, masih muda, seorang geisha, yang penurut dan mampu melayani apa saja yang
diinginkan ayahnya. Ketika sedang menikmati kenikmatan duniawinya, Barman
bertemu dengan seorang laki-laki tua yang wajahnya sangat mirip dengannya, yaitu
Humam. Humam adalah seorang tokoh yang telah terbebas dari kenikmatan dunia dan
kaya dengan kehidupan spiritual. Humam ternyata seorang guru spiritual.
Melalui ajaran keruhaniannya yang memukau, Humam berhasil menyadarkan
Barman bahwa hedonisme material akan berakhir dengan munculnya nihilisme, jika
tidak dikendalikan. Barman akhirnya menjadi murid Humam. Di akhir cerita, Barman
meninggal karena jatuh dari kuda di tepi jurang (Abdul Hadi WM dalam Yustiono dkk.
(Dewan Redaksi), 1993: 82-3)
Ekspresi estetik Islam lainnya tergambarkan dalam arsitek mesjid-mesjid tua.
Citra mesjid tua adalah contoh dari interaksi agama dengan tradisi arsitek pra-Islam di
Indonesia dengan konstruksi kayu dan atap tumpang berbentuk limas. Umpamanya
Mesjid Demak, Mesjid Kudus, Mesjid Cirebon, dan Mesjid Banten sebagai cikal-bakal
mesjid di Jawa. Sedangkan di Aceh dan Medan, corak mesjid tua memperlihatkan
sistem atap kubah. Menurut para ahli, mesjid-mesjid tua di Aceh dan Medan merupakan
penerus dari gaya mesjid Indo-Parsi dengan ekspresi struktur bangunan yang berbeda
Islam dan Kebudayaan Indonesia 8
dengan corak mesjid atap tumpang (Wiyoso Yudoseputro dalam Yustiono dkk. (Dewan
Redaksi), 1993:112-3)
Menurut Nurcholish Madjid (dalam Budhy Munawar Rachman (ed.), 1994: 463-
4), arsitektur mesjid Indonesia banyak diilhami oleh gaya arsitektur kuil Hindu yang
atapnya bertingkat tiga. Seni arsitektur itu sering ditafsirkan sebagai lambang tiga
jenjang perkem-bangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar atau
permulaan (purwa), tingkat menengah (madya), dan tingkat akhir yang maju dan tinggi
(wusana). Gambaran itu dianggap sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan
ihsan. Selain itu, hal itu dianggap sejajar dengan syari'at, thariqat, dan marifai.
Seni kaligrafi menduduki tempat terhormat. Wayang pun dijadikan sarana oleh
para wali dan raja untuk menyebarkan Islam. Seni yang dikembangkan oleh para raja
dan wali adalah mengembang-kan rupa wayang sesuai dengan pandangan Islam,
sekaligus mem-berikan makna Islam dalam menggubah cerita (lakon) dari per-
tunjukkan wayang. Dilihat dari segi bentuknya, wayang berkembang setelah
dikembangkan oleh para wali dengan adanya wayang beber, wayang purwa, wayang
klitik, dan wayang golek (Wiyoso Yudoseputro dalam Yustiono dkk. (Dewan Redaksi),
1993:115)
Inovasi keislaman di Indonesia yang cukup menarik antara lain disampaikan oleh
Nurcholish Madjid yang menulis artikel dengan judul "Masalah Tradisi dan Inovasi
Keislaman dalam Bidang Pemikiran serta Tantangan dan Harapannya di Indonesia/'
Dalam artikel itu, Nurcholish Madjid menegaskan bahwa agama dan budaya hanya
dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Cara berpikir yang benar dalam
kaitannya dengan masalah tradisi dan inovasi, menghendaki kemampuan untuk
membedakan antara keduanya. Akan tetapi, kebanyakan orang sulit melakukan-nya.
Maka lahirlah kekacauan dalam menentukan hierarki nilai, yaitu penentuan mana yang
lebih tinggi dan mana yang lebih rendah, atau penentuan mana yang absolut dan mana
yang relatif.
Salah satu contoh yang dikemukakan oleh Nurcholish Madjid adalah bedug dan
kentungan. Sebelum orang Indonesia mampu membuat menara yang tinggi sehingga
suara azan dapat terdengar cukup jauh, pemberitahuan dan panggilan untuk melakukan
salat dengan pemukulan bedug dan kentungan sebagai pinjaman dari budaya Hindu-
Budha adalah yang paling mungkin, karena radius jangkauan suara azan dalam
lingkungan daerah tropis yang subur dan penuh pepohonan jauh lebih pendek dan
sempit daripada lingkungan padang pasir yang tidak tumbuh tanaman.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 9
Ketika orang sudah mampu membuat menara tinggi apalagi setelah adanya
pengeras suara, bedug dan kentungan menjadi tidak relevan, harus dievaluasi dan
didesakralisasi (dicopot dari nilai kesuciannya; bahwa itu bukan agama melainkan
masalah budaya belaka). Gerakan reformasi Islam dimuali abad ini, ditandai dengan
gerakan Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad yang umumnya menganut pandangan
seperti itu. Tema besar mereka adalah "memurnikan" agama dan memerangi bid’ah dan
khumfat. Namun kenyataannya, persoalan tidak diterima begitu saja. Bagi kebanyakan
orang, bedug merupakan bagian integral dari mesjid. Bagi mereka, mesjid tanpa bedug
hampir tidak masuk akal. "Itulah ilustrasi sederhana tentang sulitnya masyarakat umum
menempatkan nilai-nilai hidup dalam suasan atas-bawah, tinggi-rendah, primer-
sekunder, universal-partikular yang tepat dan yang benar," kata Nurcholish Madjid.
Implikasi negatifnya, bagi mereka simbul menjadi lebih penting daripada fungsi atau
substansi, dan maknatelah digantikan oleh kerangka (Nurcholish Madjid dalam Yustion
dkk. (Dewan Redaksi), 1993:172-4)
Kenyataannya hingga sekarang, kita masih mendapatkan beberapa mesjid yang
menggunakan bedug dan kentungan, meskipun azan sudah menggunakan pengeras
suara. Hal yang membuat kita lebih tercengang adalah bahwa bedug ternyata dianggap
sebagai simbol identitas. Misalnya, seorang mahasiswa-santri yang sedang azan dan
mengucapkan "hayya ’ala al-falah," tiba-tiba seorang kakek memukul kentungan dan
bedug. Ketika ditanya oleh santri-mahasiswa tadi yang sudah selesai azan, kakek
menjawab: "Tabeuh bedug, bisi disebut Persis,") (Pukullah bedug. Kita khawatir
dianggap sebagai penganut Persis). Oleh karena itu, bedug tidak hanya dianggap
sebagai sarana untuk memberi-tahukan waktu salat, tetapi juga simbol pertahanan
identitas.
1) Peristiwa ini terjadi di Mesjid Miftahul Falah Cikalang Cileunyi Kulon Bandung
(1988-1990). Dua orang tua yang sering mengucapkan kata-kata demikian adalah
H. Ghofur dan H. Isma'il yang sekarang keduanya telah kembali ke hadirat Allah.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 10
BAB IVISLAM DAN ADAT MELAYU DI SULAWESI SELATAN DAN ACEH
Bagian ini akan membicarakan Islam dan kebudayaan Melayu di daerah Sulawesi
Selatan dan Aceh. Bagian pertama merujuk pada artikel yang berjudul "Norma Adat dan
Agama Islam Dulu, Kini, dan Esok di Sulawesi Selatan" karya Halide, sedangkan
bagian kedua merujuk pada artikel yarig berjudul "Pengembaraan Kebudayaan Aceh di
Luar Tanah Ranahnya" karya Tgk. H. Muslim Ibrahim.
Pengaruh Islam dalam budaya Sulawesi Selatan antara lain tergambarkan dalam
sulapa eppae (pepatah orang tua kepada anaknya yang hendak merantau. Bunyi sulapa
eppae adalah sebagai berikut.
Abu Bakkkareng tettong riolo
Ummareng tettong di atau
Bagenda Ah tettong ri abeo
Llsmang tettong ri munri
Kunfayakun
barakka la illaha illallah
Muhammadun rasulullah
Abu Bakar berdiri di depan Umar berdiri di sebelah kanan Baginda AH berdiri di
sebelah kiri Usman berdiri di belakang
Halide (Yustiono dkk., (Dewan Redaksi), 1993: 257-8) menjelaskan bahwa sulapa
eppae mengandung ajaran kepemimpinan Seorang pemimpin akan sukses apabila
memiliki watak dan sifat jujur, bijaksana, sabar, berani, adil, ilmuwan, dan hartawan
Sahabat yang termasuk al-khulafa al-rasyidun di atas merupakan gambaran dari sifat-
sifat itu. Abu Bakar al-Shiddiq adalah simbol kejujuran, kebijaksanaan, dan kesabaran;
Umar bin Khathab adalah simbol keberanian dan keadilan; Ali bin Abi Thalib adalah
simbol ilmuwan; dan Utsman bin Affan adalah simbol hartawan.
Salah satu yang menarik dari artikel yang ditulis oleh Halide adalah peranan kitab
Barzanji. Kitab gubahan Syekh Ja’far al-Barzanji ini dinilai berperan penting dalam
kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan. la selalu dibaca dalam upacara perkawinan,
memasuki rumah baru, melahirkan anak, khitanan, khataman Al-Qur'an, dan terutama
peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw.
Begitu besarnya cinta masyarakat kepada Nabi Muhammad Saw melalui maulidan dan
pembacaan kitab al-Barzanji, Halide memandang bahwa kecintaan mereka berlebihan.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 11
Pendapat itu didasarkan pada ungkapan kelong (nyanyian) Maudu Lompoa di Takalar
yang antara lain berbunyi sebagai berikut.
manna tena kussambayang
assala maudu mama ' ;
antama tonja
ri suruga papinyamang
kaddeji kunipapile . .
assambayang na maudu
kualleangi
a'maudu rinabbiya
balukangi tedongnu
pappi taggalang tananu . .
naniya sallang
nupa 'maudukang ri nabbiya
Walaupun saya tidak sembahyang .
asalkan saya bermaulid
say a akan masuk juga
ke dalam surga yang nikmat
andaikata aku disuruh memilih
bersembahyang atau maulid
lebih kusukai bermaulid pada Nabi
juallah kerbaumu
gadaikan sawahmu
supaya ada nanti
dipakai bermaulid pada Nabi
(Halide dalam Yustiono dkk.,
(Dewan Redaksi), 1993: 262).
Tgk. H. Muslim Ibrahim menjelaskan sistem kesenian di Aceh. Menurutnya,
hubungan antara seni, moral, dan syariat dalam Islam sangat erat karena seni berawal
dari habl min Allah dan habl min al-nas. Oleh karena itu, kesenian Aceh telah terpadu
dengan Islam dan terwujud dalam berbagai cabang: sastra, seni tari, seni bangunan, dan
seni pahat.
Kesusastraan Aceh banyak berbentuk pepatah, pantun, syair, dan hikayat. Salah
satu sastra dalam bentuk pepatah adalah:
Islam dan Kebudayaan Indonesia 12
Peng habeh, gaseh pih kureung pane lorn tailing ulon ka kina
Uang habis, kasih pun berkurang mana man dipakai lagi, aku sudah hina
(Tgk. H. Muslim Ibrahim dalam Yustiono dkk.,
(Dewan Redaksi), 1993: 276).
Seni tari dan bunyi-bunyian Aceh sungguh beragam. Di antara1 jenis seni tari
yang paling populer adalah Seudati, Laweut, SamanJ Didong, Guel, Pho, Meuseusakat,
Tarek Pukat, Puta Talou, danl Ratoh Deuk. Sedangkan tarian yang menggunakan alat
musik antaranya adalah Rapa-i Pase, Rapa-i Daboh, Rapa-i, Cuwek,| Rapa-i Pulot, Alee
Tunjang, Canang, Hareudap, Mama, Suerune Kalee, Salueng, Bangsi, dan Beula (Tgk.
H. Muslim Ibrahim dalar Yustiono dkk., (Dewan Redaksi), 1993: 277).
Itulah akulturasi Islam dengan kebudayaan Indonesia yang didominasi oleh
kebudayaan Melayu dan Jawa. Kebudayaar Melayu lebih mudah menerima Islam,
sedangkan budaya Jawa yang oleh Kuntowijoyo dibagi menjadi dua: budaya keraton da
budaya populer—cenderung berwajah ganda, terutama budaya keraton, dalam
menerima Islam. Budaya keraton Jawa yang mewarisi tradisi Hindu-Budha berintegrasi
dengan budaya Islar sehingga para abdi dalem membuat suatu silsilah yang membuk-l
tikan bahwa raja adalah keturunan para dewa di satu sisi, dan i sisi lain mereka juga
mengaku sebagai keturunan para nabi. Lebihl dari itu, raja di Jawa ada yang mengaku
sebagai wakil Tuhan unti menanamkan loyalitas rakyat kepadanya dan mempertahanka
status quo.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 13
BAB VISI
Dalam Islam terdapat ajaran Tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran
bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri
sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literature dengan
penjelasan yang berbeda. Di pesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat la ilaha ilia
Allah sering ditafsirkan sebagai berikut: pertama, la maujud' ilia Allah (tidak ada yang
"wujud" kecuali Allah); kedua, la ma^bud ilia Allah (tidak ada yang disembah kecuali
Allah); ketiga, la maq-shud ilia Allah (tidak ada yang dimaksud kecuali Allah; dan ke-
empat, la mathliib ilia Allah (tidak ada yang diminta kecuali Allah).
Implikasi dari doktrin itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridhaan-
Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorien-tasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah
yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, konsep mengenai
kehidupan dalam Islam adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan
berpusat pada Tuhan. (Kuntowijoyo, 1991: 229)
Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak ay at Al-
Qur'an kita temukan bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada
pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan
manusia. Dalam surat Al-'Ashr [103] ayat 2-3 dikatakan bahwa manusia benar-benar
dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Oleh karena itu,
antara iman (yang teosentris) dan amal saleh (yang antroposentris) tidak dapat
dipisahkan. Ini berarti bahwa iman (tauhid) harus diaktualisasikan menjadi aksi
kemanusiaan. Atas dasar itulah, Kuntowijoyo (1991: 229) berpen-dapat bahwa konsep
teosentrisme dalam Islam ternyata bersifat humanistik. Artinya, Islam mengajarkan
bahwa manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan tetapi tujuannnya untuk kepen-
tingan manusia itu sendiri. Humanisme-teosentris inilah, lanjut Kuntowijoyo, yang
merupakan nilai-inti dari seluruh ajaran Islam.
Konsep kekuasaan Jawa sungguh berbeda dengan konsep kekuasaan Islam. Dalam
kebudayaan Jawa dikenal konsep Raja Absolut, Islam justru mengutamakan konsep
Raja Adil, al-Malik al-'Adil. Akan tetapi, suatu hal yang perlu dicatat adalah budaya
keraton di luar Jawa memiliki konsep yang lebih dekat dengan gagasan Islam. Di Aceh,
misalnya, raja memiliki sebutan al-Malik al-'Adil. Ini berarti kebudayaan keraton di
Jawa lebih mengutamakan kekuasaan, sedangkan kebudayaan keraton di luar Jawa lebih
Islam dan Kebudayaan Indonesia 14
mengutamakan keadilan. Perbedaan lain antara kebudayaan Jawa dan Islam adalah
dalam kebudayaan Jawa, ketertiban masyarakat didasarkan atas kemutlakan kekuasaan
raja, sedangkan dalam Islam, ketertiban sosial akan terjamin jika peraturan-peraturan
syariah ditegakkan. Dengan kata lain, kebudayaan keraton di Jawa mementingkan
kemutlakan kekuasaan raja untuk tertib sosial, sedangkan Islam mementingkan hukum
yang adil untuk tegaknya ketertiban sosial. Karena terjadi perbedaan yang begitu tajam,
yang sering terjadi adalah ketegangan antara Islam dengan kebudayaan keraton Jawa.
(Kuntowijoyo, 1991: 232)
Selanjutnya, kita membicarakan Islam dan kebudayaan dalam perspektif ekspresi estetik
Islam di Indonesia, dan tradisi serta inovasi keislaman dalam kebudayaan Indonesia.
Ekspresi estetik Islam di Indonesia, paling tidak, dapat dilihat dalam dua bidang:
sastra dan arsitek. Kecenderungan sastra sufistik (transendental) telah muncul di
Indonesia sekitar tahun 1970. Kemunculan sastra berkecenderungan sufistik ditandai
munculnya karya-karya yang ditulis pada tahun tujuh puluhan, di antaranya Godlob dan
Alam Makrifah kumpulan cerpen Danarto; Khotbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo,
dan Arafah karya M. Fudoli Zaini. Disusul karya-karya berikutnya seperti Sanu
Infinitina Kembar (1985) karya Motinggo Busye (aim.) (Abdul Hadi WM dalam
Yustiono dkk. (Dewan Redaksi), 1993: 74)
Islam dan kebudayaan Melayu di daerah Sulawesi Selatan dan Aceh. Bagian
pertama merujuk pada artikel yang berjudul "Norma Adat dan Agama Islam Dulu, Kini,
dan Esok di Sulawesi Selatan" karya Halide, sedangkan bagian kedua merujuk pada
artikel yarig berjudul "Pengembaraan Kebudayaan Aceh di Luar Tanah Ranahnya"
karya Tgk. H. Muslim Ibrahim. Halide (Yustiono dkk., (Dewan Redaksi), 1993: 257-8)
menjelaskan bahwa sulapa eppae mengandung ajaran kepemimpinan Seorang
pemimpin akan sukses apabila memiliki watak dan sifat jujur, bijaksana, sabar, berani,
adil, ilmuwan, dan hartawan Sahabat yang termasuk al-khulafa al-rasyidun di atas
merupakan gambaran dari sifat-sifat itu.
Itulah akulturasi Islam dengan kebudayaan Indonesia yang didominasi oleh
kebudayaan Melayu dan Jawa. Kebudayaar Melayu lebih mudah menerima Islam,
sedangkan budaya Jawa yang oleh Kuntowijoyo dibagi menjadi dua: budaya keraton da
budaya populer—cenderung berwajah ganda, terutama budaya keraton, dalam
menerima Islam. Budaya keraton Jawa yang mewarisi tradisi Hindu-Budha berintegrasi
dengan budaya Islar sehingga para abdi dalem membuat suatu silsilah yang
membuktikan bahwa raja adalah keturunan para dewa di satu sisi, dan di sisi lain
Islam dan Kebudayaan Indonesia 15
mereka juga mengaku sebagai keturunan para nabi. Lebih dari itu, raja di Jawa ada yang
mengaku sebagai wakil Tuhan unti menanamkan loyalitas rakyat kepadanya dan
mempertahanka status quo.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 16
BAB VIKESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dalam Islam terdapat ajaran tauhid, suatu konsep sentral yang berisi ajaran bahwa
Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan manusia harus mengabdikan diri
sepenuhnya kepada-Nya. Konsep ini dijelaskan dalam beberapa literatur dengan
penjelasan yang berbeda. Di pesantren-pesantren tradisional salafi, kalimat la ilaha ilia
Allah sering ditafsirkan sebagai berikut:
1. la maujud' ilia Allah (tidak ada yang "wujud" kecuali Allah);
2. la ma’bud ilia Allah (tidak ada yang disembah kecuali Allah); ketiga, la maq-shud
ilia Allah (tidak ada yang dimaksud kecuali Allah; dan ke-empat, la mathliib ilia
Allah (tidak ada yang diminta kecuali Allah).
Implikasi dari doktrin itu adalah tujuan kehidupan manusia hanyalah keridhaan-
Nya. Doktrin bahwa hidup harus diorientasikan untuk pengabdian kepada Allah inilah
yang merupakan kunci seluruh ajaran Islam. Dengan demikian, konsep mengenai
kehidupan dalam Islam adalah konsep teosentris, yaitu bahwa seluruh kehidupan
berpusat pada Tuhan.
Doktrin tauhid mempunyai arus balik kepada manusia. Dalam banyak ayat Al-
Qur'an kita temukan bahwa iman, yaitu keyakinan religius yang berakar pada
pandangan teosentris, selalu dikaitkan dengan amal, yaitu perbuatan atau tindakan
manusia. Dalam surat Al-Ashr [103] ayat 2-3 dikatakan bahwa manusia benar-benar
dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Oleh karena itu,
antara iman (yang teosentris) dan amal saleh (yang antroposentris) tidak dapat
dipisahkan.
antara iman (yang teosentris) dan amal saleh (yang antroposentris) tidak dapat
dipisahkan. Ini berarti bahwa iman (tauhid) harus diaktualisasikan menjadi aksi
kemanusiaan. Atas dasar itulah, Kuntowijoyo (1991: 229) berpendapat bahwa konsep
teosentrisme dalam Islam ternyata bersifat humanistik. Artinya, Islam mengajarkan
bahwa manusia harus memusatkan diri kepada Tuhan tetapi tujuannnya untuk kepen-
tingan manusia itu sendiri. Humanisme-teosentris inilah, lanjut Kuntowijoyo, yang
merupakan nilai-inti dari seluruh ajaran Islam.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 17
B. Saran
1. Hendaknya Mata Kuliah Islamologi benar-benar diikuti oleh semua
Mahasiswa kecuali Non-Muslim(tidak diwajibkan).
2. Islamologi adalah Mata Kuliah yang didalamnya mempelajari tentang Islam.
Untuk itu, hendaknya Dosen dalam menyampaikannya harus berpegang
kepada AL-Qur’an dan Al-Hadits.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 18
BAB VIIPENUTUP
Indonesia pernah mengalami dualisme kebudayaan, yaitu antara kebudayaan
keraton dan kebudayaan popular. Atau dikatagorikan sebagai kebudayaan tradisional.
Dalam kebudayaan keraton dikembangkan oleh abdi-dalem mulai dari pujangga sampai
arsitek.
Dalam babad Jawa digambarkan bahwa raja adalah pemegang “wahyu” yang dengannya
ia merasa sah untuk mengkelaim dirinya sebagai wakil Tuhan untuk memerintah
rakyatnya.
Meskipun dalam keraton terdapat pengaruh hinduisme, tetapi Islam pun cukup
berpengaruh. Misalnya, klaim Raja di Jawa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Di
satu sisi, ia menentukan sislsilah yang menyatakan bahwa dirinya keturunan para dewa
(hinduisme). Tetapi di sisi lain, ia juga mengaku sebagai keturunan para Nabi (Islam).
Kebudayaan di Jawa sangat dikenal dengan konsep Raja Absolut, Islam justru
mengutamakan konsep Raja Adil, al-Malik al’adil. Akan tetapi, suatu hal yang perlu
dicatat adalah budaya keraton di luar Jawa yang memiliki konsep yang lebih dekat
dengan gagasan Islam.
Maka dari kedua kebudayaan tersebut bisa kita lihat sendiri. Bahwa, kebudayaan
keraton di Jawa lebih mengutamakan kekuasaan, sedangkan kebudayaan keraton di luar
Jawa lebih mengutamakan keadilan.
Oleh karenanya setiap masyarakat harus mampu mencerna serta bisa menyaring
kebudayaan yang masuk dari luar. Apalagi masyarakat Indonesia adalah masyarakat
yang didominasi beragama Islam. Tentunya kita harus memakai tradisi budaya Islam
bahkan kita harus melestarikannya.
Apabila tradisi Islam diterapkan dalam kehidupan sehari-hari maka kita akan
terbiasa seolah-olah sebagai kewajiban hidup setiap hari.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 19
BAB VIIIDAFTAR PUSTAKA
~ Yustion dkk. ( dewan redaksi ). 1993. Islam dan Kebudayaan Indonesia : Gulu, kini, dan Esok. Jakarta : Yayasan Festipal Istiqlal.
Islam dan Kebudayaan Indonesia 20