bab i pengantar 1.1 latar belakang -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENGANTAR
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Hindu di Bali memiliki tradisi keagamaan yang
selalu ditandai dengan penyajian upakara dalam setiap upacara
(ritual).1 Sebagian besar waktu kehidupan masyarakat tercurah
untuk kegiatan ritual. Kegiatan bersembahyang pada hari-hari su-
ci, melaksanakan odalan, usaba2, mengadakan pacaruan3, dan la-
in-lain merupakan kegiatan terus menerus dari warga masyarakat
setempat/Hindu di Bali. Ritual yang berhubungan dengan manu-
sia seperti mapandes (potong gigi), pawiwahan (perkawinan), sam-
pai pada ngaben (ritual kematian) adalah kegiatan yang pasti dila-
kukan oleh setiap keluarga. Semua kegiatan itu dilatarbelakangi
dan dilandasi oleh keyakinan masyarakat Hindu Bali terhadap
1Istilah upacara dan upakara berbeda maknanya. Upacara sama makna-
nya dengan ritual yaitu kegiatan keagamaan yang melibatkan bentuk dan pro-ses acara sebuah yadña, sedangkan upakara adalah sesajen, bentuk persem-
bahan berupa penyajian buah, bunga, daun, api, air, dan lain-lain yang ditata
sedemikian rupa. Perikasa Ny. I Gst. Ag. Mas Putra, Upakara–Yadña (Denpasar:
Milik Pemerintah Provinsi Bali, Penggandaan Buku Penuntun Agama Hindu dan Modul / Silabus Tentang Pesraman, 2007), 6-7.
2Odalan dan usaba merupakan upacara déwa yadña. Odalan adalah
upacara hari jadi sebuah pura yang bertujuan menyucikan pura dan memper-sembahkan upakara, sedangkan usaba merupakan upacara selamatan desa
atau subak.
3Pecaruan adalah pelaksanan ritual bhũta yadña, yaitu persembahan
yadña menetralisasi energi negatif.
2
panca yadña yang merupakan lima persembahan suci yang dila-
kukan dengan tulus ikhlas.4
Panca yadña terdiri dari déwa yadña (persembahan suci
kepada Déwa/Tuhan), bhũta yadña (persembahan suci untuk me-
netralisasi energi negatif dari bhũta), rsi yadña (persembahan suci
untuk menghormati pendeta/guru suci, pemimpin upacara), pitra
yadña (persembahan suci kepada leluhur), dan manusa yadña
(persembahan suci untuk keselamatan manusia). Kegiatan terse-
but tidak lepas pula dari jalan bhakti marga dan karma marga5
sebagai pedoman kehidupan beragama umat Hindu di Bali.
Setiap ritual yadña melibatkan berbagai bentuk sarana
upakara seperti banten (sajen), mantera atau saa, benda-benda
sakral (pratima, genta, lalontek, tombak, pajeng, dan lain-lain) dan
seni pertunjukan (wayang, tari, drama, gamelan, dan kidung).6
Umumnya kegiatan ritual itu selalu diekspresikan melalui bentuk-
bentuk yang indah. Sesajen ditampilkan penuh dengan hiasan
janur. Suara-suara merdu dilantunkan melalui kidung, saa atau
mantera, dan gamelan. Gerak-gerak lemah gemulai ditampilkan
4Team Penyusun, Panca Yadnya: Déwa Yadnya, Bhũta Yadnya, Rsi Yad-
nya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya (Denpasar: Milik Pemerintah Provinsi
Bali, Penggandaan Buku Penuntun Agama Hindu dan Modul/Silabus Tentang
Pesraman, 2007), 47.
5Ny. I Gst. Ag. Mas Putra, 2007, 5.
6Anak Agung Ketut Suryahadi,” Seni Sesaji Ritual Pawiwahan di Kabu-
paten Karangasem Bali” (Disertasi untuk mencapai derajat Sarjana S-3 dalam
Ilmu Budaya pada Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007), 136.
3
melalui tari-tarian ritual. Seni benar-benar menjadi bagian integral
dari kegiatan ritual masyarakat Hindu di Bali.
Pertunjukan tari Bali pada umumnya dikaitkan dengan ri-
tual, namun tidak semua jenis tari Bali berfungsi ritual. Salah sa-
tu jenis tari Bali yang difungsikan sebagai sajian ritual adalah tari
rejang. Rejang adalah tarian berkelompok yang disajikan untuk
upacara déwa yadña yang dibawakan oleh wanita dengan menge-
nakan pakaian adat setempat.7 Di Kabupaten Karangasem rejang
tidak memakai pakaian adat setempat (yang biasa dipakai sem-
bahyang) tetapi busana khusus untuk tari rejang.
Rejang merupakan salah satu tari ritual yang cukup tua
usianya. Beberapa desa tua di Bali yang memiliki tradisi rejang
adalah Tenganan, Bungaya, Asak, Sukawana, dan Batur. Rejang
tersebut sampai saat ini masih ada dan disucikan oleh masyarakat
setempat.8
Ada beberapa rejang yang disebut dengan nama lain. Re-
jang di Gianyar disebut sutri, di Batuan disebut pasutri, sedang-
kan di Desa Bedulu disebut permas.9
7I Made Bandem, Ensiklopedi Tari bali (Denpasar: Akademi Seni Tari In-
donesia (ASTI) Denpasar Bali, 1983), 122.
8Anak Agung Gde Putra Agung, Beberapa Tari Upacara dalam Masyara-
kat Bali (Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Jakarta Direktorat Jenderal Kebu-
dayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1981/1982), 38.
9I Wayan Dibia and Rucina Ballinger, Balinese Dance, Drama and Music: A Guide to the Performing Arts of Bali (Singapore: Periplus Editions, 2004), 56-
57.
4
Jaman dahulu ada bermacam-macam rejang, ada Rejang
Renteng, Rejang Lilit, Rejang Bengkol, Rejang Oyod Padi, Rejang
Ngregong, Rejang Alus, Rejang Nyangnyingan, Rejang Luk Penyalin,
dan Rejang Glibag Ganjil.10 Nama-nama rejang itu sekarang jarang
ditemukan, namun demikian hingga saat ini di daerah kecamatan-
kecamatan di Kabupaten Karangasem masih banyak dijumpai ber-
bgai jenis rejang. Kecuali di Kecamatan Kubu dan Rendang, rejang
hidup subur di enam daerah kecamatan lainnya, yaitu di Keca-
matan Abang, Karangasem, Selat, Bebandem, Sidemen, dan Mang-
gis.
Masing-masing rejang memiliki bentuk dan gaya tersendiri,
misalnya rejang dari Bungaya tidak sama dengan rejang-rejang
yang lain, meskipun dengan rejang yang ada di desa tetangganya
yaitu Asak, ataupun Timbrah. Demikian pula dengan rejang di
Kecamatan Abang yang merupakan satu rumpun jenis rejang yang
memiliki gaya dan tradisi yang unik.
Di Desa Tenganan Kecamatan Manggis ada Rejang Déwa,
Rejang Palak, Rejang Makitut, dan Rejang Mongbongin yang ditam-
pilkan silih berganti selama lima hari berturut-turut, pada ritual
Aci Kasa. Para penari adalah wanita yang belum menikah, yang
disucikan melalui penyucian diri yang ketat.
10I Gusti Agung Gede Putra, Cudamani: Tari Wali (Denpasar: Percetakan
Bali, 1980), 10.
5
Gambar 1.1 Rejang Palak di Tenganan dalam acara Aci Kasa, Februari 2005. (Cyberlink dari video milik I Wayan Senen, 2010)
Gambar 1.2 Rejang dari Bungaya dalam acara Usaba Sumbu Désa Adat Bungaya, Juni 2010. (Foto: I Nengah
Mariasa, 2010)
6
Di Desa Bungaya Kecamatan Bebandem, ada rejang daha
yang sangat berbeda dengan desa tetangganya, Pertima. Bentuk
gerak dan busananya khas, sederhana namun agung dan berwiba-
wa. Rejang itu memegang peran penting pada setiap ritual Dangsil,
Sumbu, dan Kuningan.
Gambar 1.3 Rejang dari Timbrah dalam acara Usaba Sumbu Dusun Adat Timbrah, September 2010. (Foto: I Nengah Mariasa,
2010)
Désa Adat Pertima Kecamatan Karangasem yang terdiri dari
tiga désa pekraman (désa adat), yaitu: Perasi, Timbrah, dan Asak,
juga memiliki tradisi rejang serumpun yang berbeda dengan desa-
desa yang lain. Rejang daha11 ada di Asak, dipertunjukkan pada
11Rejang daha disebut rejang kuningan dalam tesis oleh Ni Nyoman Mul-
yati, ”Tari Rejang Kuningan di Désa Asak Karangasem Bali” (Tesis untuk men-
capai derajat Sarjana S-2 pada Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1999), 4.
7
ritual Usaba Kedasa, Sumbu, dan Kuningan, demikian pula Dusun
Perasi dan Timbrah memiliki tradisi rejang yang tidak jauh ber-
beda dengan Asak.
Karangasem sangat kaya akan budaya rejang, namun ka-
rena publikasi ilmiah oleh penulis-penulis Barat yang hanya
menampilkan beberapa contoh rejang, maka rejang yang dikenal
adalah rejang dari Tenganan, rejang dari Asak, dan rejang dari
Bungaya. Sebenarnya, selain itu, masih banyak ada rejang-rejang
lain yang hidup subur hingga sekarang. Desa-desa lain yang di-
maksud itu, misalnya Saren, Bebandem, Pasedahan, Selat, Mun-
can, Bugbug, Duda, Dukuh Penaban, Juwuk Manis, Gelumpang,
Sengkidu, Tebola, dan lain-lain. Selain itu, khususnya di Kecamat-
an Abang bermacam-macam bentuk rejang hidup subur pada
masing-masing désa adat, oleh karena itu, tidak mengherankan
jika Karangasem merupakan pusat rejang di Bali.
Di Desa Saren, Kecamatan Bebandem, tari Rejang Renteng
ditarikan pada hari Kuningan dengan beriring-iringan memegang
seutas tali.12 Di Desa Bebandem ada rejang yang masih lestari
pada masing-masing banjar dinas, dan pertunjukannya berlang-
sung pada odalan pura-pura banjar. Pada waktu Usaba Gumang
September 2010 para penari rejang dari beberapa kelompok banjar
dinas bergabung menjadi satu ngayah menari di depan pelinggih
12Anak Agung Gde Putra Agung, 1981/1982, 38.
8
Bale Agung Désa Adat Bugbug. Mereka mewakili penampilan re-
jang dari Desa Bebandem. Penari memakai busana yang keli-
hatannya telah diperbaharui, sehingga tampak lebih kekinian.
Gambar 1.4 Rejang dari Bebandem dalam acara Usaba Gumang /Usaba Gede di Desa Bugbug, September 2010. (Foto: I Nengah Mariasa, 2010)
Berbeda halnya dengan rejang dari Pasedahan Kecamatan Manggis
yang tampak lebih lugu. Désa Adat Pasedahan, tetangga dekat
Désa Adat Tenganan, memiliki tradisi rejang yang khas. Kelompok
penari rejang anak-anak berpakaian adat rejang, bergerak hanya
berjalan biasa mengelilingi seluruh bangunan-bangunan suci Pura
Puseh pada Usaba Sambah Désa Adat Pasedahan.
9
Gambar 1.5 Rejang Déwa di Pasedahan sebelum me-nari dalam acara Usaba Sambah Désa Adat Pasedahan.
Manggis, Oktober 2010, (Foto: I Nengah Mariasa, 2010)
Tari rejang yang seperti di Desa Pasedahan ada pula di Desa Selat.
Para penari berpakaian warna putih-kuning mengelilingi bangun-
an-bangunan suci Pura Puseh tiga kali pada ritual Usaba Kapat
Désa Adat Selat.
10
Gambar 1.6 Rejang Déwa di Desa Selat dalam acara Usaba Kapat, September 2010. (Foto: I Nengah Mariasa, 2010)
Di Desa Muncan Kecamatan Selat ada rejang yang ditari-
kan pada ritual Mapag Toya, yaitu ritual kesuburan melancarkan
pengairan sawah. Kegiatan ini dilaksanakan di Pura Ulun Swi oleh
anggota subak (organisasi pertanian). Para penari rejang mem-
bentuk satu barisan menari mengelingi bangunan-bangunan suci
pura. Desa Bugbug Kecamatan Karangasem juga memiliki tradisi
rejang. Rejang itu tidak dipertunjukkan pada sembarang ritual,
tidak ada pada ritual Purnama Kapat, Kuningan, atau Galungan.
Rejang hanya ditampilkan pada ritual-ritual besar seperti Usaba
Manggung atau Usaba Sumbu. Di Desa Ipah Kecamatan Sidemen
juga ada rejang yang dipentaskan khusus pada usaba tertentu.
11
Gambar 1.7 Rejang di Muncan pada upacara Mapag Toya di Pura Ulun Suwi Désa Adat Muncan Kecamatan Selat, Oktober 2010. (Foto: I Nengah Mariasa, 2010)
Kecamatan Abang memiliki berbagai bentuk rejang kuning-
an yang masuk dalam satu rumpun tradisi rejang budaya Abang.
Selain desa-desa resmi wilayah administratif Kecamatan Abang,
ada desa yang dulunya merupakan wilayah Abang, tetapi sekarang
masuk wilayah Kecamatan Karangasem. Desa itu adalah Dukuh
Penaban yang dulu termasuk wilayah Désa Adat Tiyingtali. Ada
pula desa perbatasan antara Abang dan Karangasem yang memi-
liki bentuk rejang serupa yaitu Gelumpang dan Juwuk Manis.
Désa-désa adat tersebut memiliki tradisi rejang kuningan yang
khas. Baik gerak, busana dan tradisi yang melatarbelakanginya
cenderung termasuk rejang budaya Abang.
12
Gambar 1.8 Busana rejang kuningan di Dukuh Penaban Keca-
matan Karangasem, pada Paing Kuningan 24 Mei 2010. (Foto: I Nengah Mariasa, 2010)
Pada awal acara Paing Kuningan dengan diiringi gamelan
gong kebyar para penari rejang di Dukuh Penaban berjalan biasa
mengelilingi bangunan suci Pura Puseh tiga kali. Berikutnya pena-
ri rejang kuningan menari dengan lembut berjalan ke depan me-
lingkar ke kiri (prasawya) membentuk pola lantai lingkaran di
halaman jaba tengah pura.
13
Gambar 1.9 Gerak rejang kuningan di Dukuh Penaban Keca-matan Karangasem, pada Paing Kuningan 24 Mei 2010, di Pura Puseh. (Foto: I Nengah Mariasa, 2010)
Dusun Gelumpang yang merupakan dusun tetangga Du-
kuh Penaban juga memiliki tradisi rejang kuningan. Rejang itu
memakai serobong bunga kepala berbentuk trapesium. Serobong
bunga adalah serobong yang berisi hiasan bunga-bunga. Bunga-
bunga tersusun rapi pada serobong sehingga tampak khas. Badan
memakai sabuk kuning dan kedua tangan memakai gelang perak.
Pinggang ke bawah memakai kamen dan awir panjang. Warna sa-
buk yang dipakai seragam, sedangkan awir-nya bermacam-ma-
cam.
14
Gambar 1.10 Rias dan busana rejang kuningan Dusun Gelum-pang Kecamatan Karangasem, pada Manis Kuningan 23 Mei 2010. (Foto: Sringatin, 2010)
Dusun Juwuk Manis memiliki rejang kuningan mirip de-
ngan rejang kuningan Dusun Gelumpang. Desain busana yang di-
kenakannya hampir sama. Rejang kuningan Dusun Juwuk Manis
memakai sabuk bermacam warna dan awir yang dominan berba-
han kain sifon. Rejang menari sangat khas. Dengan diiringi gamel-
an gambang para penari melakukan dua kalimat gerak yaitu gerak
berjalan mengibas-ngibaskan awir dan gerakan ngembat sambil
berjalan. Mereka menari berjalan ke depan melingkar ke kiri di
jaba tengah pura desa. Rejang menari dari siang hari sampai
matahari terbenam. Mereka menari berkali-kali dengan diselingi
15
istirahat-istirahat. Para penari ikut beristirahat ketika gambang
berhenti dibunyikan. Jika gambang mulai berbunyi penari mulai
menari kembali.
Gambar 1.11 Penari rejang kuningan Dusun Juwuk Manis se-dang menari mengibas-ngibaskan awir, pada Manis Kuningan 23
Mei 2010. (Foto: Sringatin, 2010)
Beragam jenis rejang ada di Kabupaten Karangasem. Ben-
tuk penampilan gerak, busana, iringan, dan fungsi rejang menarik
perhatian untuk diteliti. Sehubungan dengan itu tulisan ini meng-
kaji rejang kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem,
mengingat bahwa banyak pertimbangan yang dapat diajukan.
Pertama, objek penelitian ini adalah orisinal; kedua, rejang di
Kecamatan 20 Abang memiliki beragam bentuk rejang yang dapat
diklasifikasikan ke dalam satu bentuk identitas; ketiga, merupa-
16
kan salah satu jenis rejang di Kabupaten Karangasem yang memi-
liki bentuk gerak, busana, dan pola lantai yang lebih kompleks;
keempat, masing-masing memiliki bentuk elemen koreografi yang
unik dan keindahan tari ritual; kelima, rejang kuningan merupa-
kan tari yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan
ritual désa adat di Kecamatan Abang, sehingga memiliki fungsi
dan mengandung makna yang cukup dalam. Sampai saat ini be-
lum ada tulisan yang mengkaji lebih dalam tentang rejang kuning-
an di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. Sebagai objek
penelitian yang orisinal, rejang itu belum pernah diangkat menjadi
topik karya ilmiah setingkat disertasi. Rejang kuningan di Keca-
matan Abang sebenarnya memiliki eksistensi di Kabupaten Ka-
rangasem, seperti halnya keberadaan rejang-rejang lain yang ada
di Tenganan, Bungaya, atau Asak. Objek penelitian ini memiliki
potensi budaya tari yang mestinya segera didokumentasikan.
Di Kecamatan Abang terdapat berbagai bentuk rejang ku-
ningan yang memiliki ciri-ciri bentuk tersendiri dan hidup subur
pada masing-masing désa adat. Ada duapuluh désa adat di Keca-
matan Abang.13 Dari duapuluh désa adat yang ada, rejang hidup
subur pada sepuluh désa adat ’selingkung‟, yaitu di Tista, Tiying-
tali, Purwayu, Basang Alas, Kesimpar, Tanah Aji, Tuminggal, Ngis,
13I Made Sudiarsa. Data Kepariwisataan Kabupaten Karangasem Tahun
2009 (Karangasem: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Karangasem,
2009), 24-25.
17
Tauka, dan Ababi. Désa-désa adat tersebut merupakan satu ling-
kungan wilayah budaya rejang yang terletak berdekatan di pusat
wilayah Kecamatan Abang. Rejang yang ada di wilayah désa adat
itu adalah rejang kuningan yang selalu dipentaskan setiap 210
hari sekali (enam bulan lebih) pada hari Kuningan.
Masing-masing desa memiliki bentuk tari rejang kuningan
yang berbeda-beda. Busana yang dipakai berbeda-beda. Gamelan
pengiring tari yang digunakan juga beragam. Masing-masing re-
jang kuningan memiliki desain atas dan pola lantai14 yang menun-
jukkan ciri identitasnya.
Rejang kuningan di Kecamatan Abang adalah salah satu
bentuk rejang yang memiliki desain atas lebih kompleks diban-
dingkan dengan rejang-rejang yang lain. Jika dibagi berdasarkan
desain atas, rejang di Kabupaten Karangasem dapat dikelompok-
kan menjadi dua. Kelompok pertama, desain atas rejang dengan
pola gerak sangat sederhana terlihat pada rejang dari Tenganan,
dari Bungaya, dari Asak, dari Timbrah, dari Kecamatan Karang-
asem, dari Selat, dari Manggis, dan dari Sidemen. Kelompok
14Pola lantai adalah gambar lintasan penari yang dapat dibayangkan ada
pada lantai pentas, sedangkan desain atas merupakan pola gerak penari yang
dapat dibayangkan ke dalam gambar-gambar gerak yang ada di atas lantai pen-
tas. Pola lantai sering disebut juga desain lantai.
18
kedua, pola gerak lebih rumit terlihat pada rejang di Kecamatan
Abang dan Bebandem.15
Rejang kuningan di Kecamatan Abang memiliki beragam
bentuk yang menyebar pada masing-masing désa adat. Keraga-
man bentuk itu menghadirkan beberapa daya tarik. Salah satu di
antaranya adalah unsur kreativitas dalam sebuah koreografi. Kre-
ativitas itu tampak jelas baik dalam gerak, busana, maupun mu-
sik tarinya. Keberagaman ini tidak ditemukan pada rejang-rejang
yang lain, baik pada rejang dari Tenganan, rejang dari Bungaya,
maupun pada rejang dari Pertima.
Beberapa kreativitas ditemukan dalam gerak rejang, misal-
nya rejang kuningan dari Tiyingtali melakukan gerak unik yaitu
gerak melempar awir/oncer ke depan (Jawa: seblak ngarep), se-
dangkan rejang kuningan dari Tista menggunakan gerak tari Jawa
Tengahan seperti gerak kebyak-kebyok dan seblak sampur. Rejang
kuningan dari Purwayu melakukan gerak-gerak tari yang berbeda
dengan rejang-rejang yang lain. Selain seblak ngarep yang dige-
rakkan oleh seorang penari terdepan, semua penari besama-sama
menggerakkan kepalanya yang terkesan seperti kerbau mengge-
rak-gerakkan tanduknya.
15Hasil pemetaan rejang setelah mengadakan prapenelitian bentuk-ben-
tuk rejang di Kabupaten Karangasem, September 2009 Oktober 2010.
19
Rejang-rejang di Kecamatan Abang memiliki jenis busana
tari yang berbeda-beda. Beragam busana rejang yang tampaknya
berbeda-beda itu pada dasarnya memiliki desain busana yang
serupa. Kepala memakai serobong bunga sedangkan badan dan
tungkai diselimuti anteng, saput, awir dan kamen. Busana rejang
di Kecamatan Abang merupakan satu kesatuan gaya yang tampak
agung tetapi khas. Rejang-rejang lain di wilayah Kabupaten Ka-
rangasem memiliki busana yang cenderung seragam dan terkesan
„mewah‟, berbeda halnya dengan rejang di Kecamatan Abang yang
dalam satu koreografi terdapat satu desain busana yang terdiri
dari bermacam-macam warna sabuk, kamen dan awir. Sebagai
contoh pembanding misalnya busana rejang dari Bungaya. Jenis
rejang ini memakai busana yang terkesan agung yang seragam
dalam satu koreografi. Demikian pula dengan rejang dari Tengan-
an yang berbusana „mewah‟ seragam dalam satu koreografi. Hal ini
berbeda dengan rejang di Kecamatan Abang yang terkesan lebih
khas.
Selain jenis busana, pola lantai rejang di Kecamatan Abang
lebih bervariasi. Pada umumnya rejang-rejang di Kabupaten Ka-
rangasem memiliki satu bentuk pola lantai. Rejang di Kecamatan
Abang memiliki dua bentuk pola lantai. Rejang yang memiliki pola
lantai lingkaran dapat disaksikan pada rejang di Kecamatan
Abang, Karangasem, Bebandem, Selat, Manggis, Sidemen, dan
20
rejang dari Bungaya. Rejang yang memiliki pola lantai barisan
adalah rejang dari Tenganan, rejang dari Pertima dan juga rejang
kuningan dari Tista yang ada di Kecamatan Abang. Ciri-ciri terse-
but menarik perhatian untuk dikaji, agar elemen-elemen koreo-
grafi yang menjadi ciri bentuk tari rejang kuningan di Kecamatan
Abang dapat dijelaskan.
Apresiasi masyarakat terhadap kehadiran rejang sangatlah
besar. Selain sebagai bagian integral kegiatan, menghadirkan re-
jang merupakan kewajiban setiap kepala keluarga. Dua sampai
lima kepala keluarga (KK) pokok desa bertanggung jawab menge-
luarkan satu penari rejang. Jika di sebuah désa adat ada tujuh
puluh lima KK pokok desa, maka jumlah rejang yang ada berkisar
antara lima belas sampai tiga puluh delapan orang, oleh karena
itu tidak mengherankan jika jumlah penari rejang di satu desa
cukup banyak, tergantung jumlah KK pokok désa adat.
Pertunjukan rejang merupakan mata acara tunggal pada
ritual kuningan di Kecamatan Abang. Tidak ada acara lain selain
tari rejang pada ritual itu. Kehadiran rejang sebagai acara pokok
sangat dibutuhkan oleh masyarakat, mengapa demikian? Rejang
mempunyai fungsi yang sangat penting dalam ritual kuningan.
Pertunjukan rejang merupakan bagian struktural, bagian yang
paling pokok dari kegiatan ritual masyarakat, sehingga rejang
berfungsi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat.
21
Apa fungsi tari rejang dalam ritual kuningan di Kecamatan Abang,
merupakan masalah yang akan dipecahkan.
Rejang di Kecamatan Abang cukup unik, selain fungsi yang
dimilikinya rejang itu hanya dipentaskan pada hari-hari Kuningan
atau pada upacara besar misalnya Usaba Dangsil atau Ngenteg
Linggih. Rejang itu tidak ditampilkan pada saat odalan atau usa-
ba-usaba biasa seperti misalnya Usaba Kapat. Hari Kuningan sa-
ngat penting bagi masyarakat Abang. Masyarakat pelestari rejang
perlu memahami lebih dalam makna rejang dalam ritual kuningan.
Hari Kuningan yang merupakan rangkaian dari hari Galungan ada-
lah rangkaian peristiwa ritual yang sangat penting yang melatar-
belakangi mengapa rejang ditampilkan. Arti dari persinggungan
antara rejang dengan tempat dan waktu pementasannya itu belum
dipahami masyarakat secara mendalam.
Pertunjukan rejang itu memang banyak menunjukkan hal-
hal yang khusus. Selain hari pelaksanaannya khusus, tempat
pertunjukannya juga khusus. Rejang hanya ditampilkan di halam-
an sebuah pura yang telah ditentukan. Rejang dimainkan khusus
oleh penari wanita yang belum menikah, mengapa demikian. Itu
belum diketahui oleh masyarakat. Penari rejang mengelilingi ba-
ngunan-bangunan suci pura. Acara dan pertunjukan rejang meru-
pakan satu kesatuan ritual yang tak terpisahkan. Rejang memiliki
makna tersendiri. Mengapa bentuk-bentuk tersebut dilaksanakan
22
dengan aturan-aturan khusus? Semua bentuk sajian ritual itu
merupakan tanda yang memiliki makna yang sangat penting un-
tuk dikaji.
Kehadiran rejang dewasa ini sangat didukung oleh masya-
rakat sehingga keberadaannya menjadi lestari. Namun demikian di
masa depan sangat mungkin terjadi berbagai ancaman terhadap
keberadaan rejang, oleh karena itu nilai-nilai dari bentuk, fungsi,
dan makna rejang sangat penting untuk dipahami masyarakat.
Dewasa ini masyarakat pelestari rejang di Kecamatan Abang be-
lum sepenuhnya mengetahui dan memahami nilai-nilai yang ter-
kandung pada bentuk, fungsi, dan makna rejang yang disajikan
untuk ritual kuningan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, masalah pene-
litian yang diajukan dapat dirumuskan sebagai berikut.
1. Mengapa kehadiran rejang sangat dibutuhkan dalam ritual ku-
ningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem, Bali?
2. Bagaimanakah ciri-ciri bentuk pertunjukan rejang kuningan di
Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem, Bali?
3. Apakah fungsi tari rejang dalam ritual kuningan di Kecamatan
Abang Kabupaten Karangasem, Bali?
23
4. Apakah makna pertunjukan rejang dalam ritual kuningan di
Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem, Bali?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mengungkap alasan kehadiran rejang sangat dibutuhkan dalam
ritual kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem,
Bali.
2. Menganalisis dan menemukan ciri-ciri bentuk pertunjukan re-
jang kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem,
Bali.
3. Menganalisis dan menjelaskan fungsi rejang dalam ritual ku-
ningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem, Bali.
4. Menganalisis dan menjelaskan makna pertunjukan rejang da-
lam ritual kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karanga-
sem, Bali.
Penelitian ini sangat bermanfaat, berupaya ikut melestari-
kan budaya bangsa. Melestarikan warisan budaya lokal merupa-
kan bagian yang sangat penting dari kehidupan kita berbangsa.
Banyak hal yang bisa dimanfaatkan, antara lain kepentingan ide-
24
ologi, kepentingan edukasi, dan kepentingan ekonomi.16 Penulisan
hasil penelitian rejang kuningan ke dalam bentuk disertasi adalah
kegiatan yang sangat penting. Kegiatan ini merupakan salah satu
upaya pelestarian budaya lokal.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi
yang jelas mengenai bentuk, fungsi, dan makna rejang dalam ri-
tual Kuningan di Kecamatan Abang. Dengan adanya informasi ter-
sebut, masyarakat tari khususnya dan masyarakat Hindu Dharma
umumnya akan memiliki acuan yang jelas tentang tari rejang
kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem Bali.
1.4 Tinjauan Pustaka
Data-data tentang rejang yang diungkapkan melalui pusta-
ka sangat penting diketahui sebelum melakukan penelitian. Selain
mengetahui orisinalitas penelitian, data pustaka sangat berguna
untuk melengkapi data yang diperoleh di lapangan.
Pustaka-pustaka yang membahas rejang kuningan di Keca-
matan Abang Kabupaten Karangasem sampai saat ini belum ada.
Berikut ini disajikan pustaka-pustaka yang langsung mengungkap
masalah rejang dan yang berkaitan dengan penelitian ini.
16Timbul Haryono, “Peran Masyarakat Intelektual dalam Penyelamatan
dan Pelestarian Warisan Budaya Lokal,” Disampaikan pada Dies Natalis Uni-
versitas Gadjah Mada Yogyakarta ke-63, 2009, 12.
25
Dance and Drama in Bali yang ditulis oleh Beryl de Zoete
and Walter Spies (1973) banyak memberi informasi mengenai tari
rejang. Buku tersebut menguraikan jenis-jenis tari Bali yang ter-
bagi menjadi duabelas bab. Ada satu bab khusus tentang tari-
tarian upacara, membicarakan masalah rejang. Rejang yang dije-
laskan adalah rejang di Tenganan, Asak, dan Batuan. Data data
singkat mengenai gerak, busana, musik, dan tempat pementasan
yang ada dalam buku itu merupakan informasi yang berguna un-
tuk mendukung penelitian ini.17
Balinese Dance, Drama and Music yang ditulis oleh I Wayan
Dibia dan Rucina Ballinger (2004) juga memberi gambaran yang
jelas tentang tari rejang. Dalam buku itu dijelaskan bahwa ada
banyak tipe rejang yang berbeda. Ada rejang yang disebut sutri di
Gianyar, pasutri di Batuan, permas di Bedulu. Di Karangasem di-
jelaskan ada tiga daerah yang memiliki tradisi rejang yaitu Asak,
Bungaya, dan Tenganan. Di samping itu dijelaskan pula gambaran
data mengenai pakaian tari rejang. Penjelasan mengenai Rejang
Déwa kreasi dari Ni Luh Swasti Wijaya Bandem juga terdapat da-
lam buku ini.18
Kaja and Kelod: Balinese Dance in Transition yang ditulis
oleh I Made Bandem dan Fredrik Eugene deBoer (1981) juga
17Beryl de Zoete and Walter Spies, Dance and Drama in Bali (Kuala Lum-
pur: Oxford University Press, 1973), 46-49.
18Dibia and Rucina Ballinger, 2004, 56-57.
26
memberi gambaran secara umum dan sangat singkat tentang tari
rejang. Dalam buku itu rejang diklasifikasikan ke dalam tari-tarian
jeroan pura. Tari rejang bukan merupakan pertunjukan profesi-
onal. Data-data lain secara singkat diinformasikan adalah jumlah
penari, busana, waktu pertunjukan, dan keterangan singkat ten-
tang gerak rejang, namun tidak dicantumkan rejang apa yang
dibahas itu.19
Buku berjudul Perkembangan Seni Tari di Bali yang ditulis I
Wayan Dibia (1977/1978) juga memberi pengertian yang umum
dan singkat tentang tari rejang. Rejang memiliki gerak-gerak yang
sangat sederhana, dilakukan secara masal oleh penari perempu-
an.20
Beberapa Tari Upacara dalam Masyarakat Bali ditulis oleh
Anak Agung Gde Putra Agung (1981/1982). Buku ini memberi
informasi singkat tentang Rejang Renteng di Desa Saren, dan Re-
jang Daha di Desa Asak.21
The Art and Culture of Bali yang ditulis oleh Urs Ramseyer
(1977) memberi informasi terutama berkenaan dengan data ritual
dan musik di Tenganan Pageringsingan. Disamping itu, diungkap-
19I Made Bandem and Fredrik Eugene deBoer, Kaja and Kelod: Balinese
Dance in Transition (Kuala Lumpur: Oxsford University Press, 1981), 17-19.
20I Wayan Dibia, Perkembangan Seni Tari di Bali (Denpasar: Proyek Sasa-
na Budaya Bali, 1977/1978), 34.
21Anak Agung Gde Putra Agung, 1981/1982, 38-39.
27
kan pula keterangan gambar-gambar yang lengkap mengenai Re-
jang Mongbongin dan Rejang Déwa di Tenganan.22
Tesis berjudul ”Tari Rejang Kuningan di Desa Asak Karang-
asem Bali” (1999) ditulis oleh Ni Nyoman Mulyati. Tesis ini bertu-
juan untuk memecahkan masalah latar belakang tari rejang Ku-
ningan di desa Asak, fungsi dan makna tari, serta pengorganisasi-
an, hak dan kewajiban Seka Teruna dan Seka Daha sebagai pen-
dukung tari rejang.23 Tulisan ini dapat digunakan sebagai data
pembanding rejang-rejang yang ada di Kabupaten Karangasem.
Buku berjudul Overzicht Van Dans en Tooneel in Bali oleh Walter
Spies en R. Goris diterjemahkan oleh I Ketut Jingga (1985),
Ikhtisar Tari Dan Drama di Bali. Buku yang merupakan terjemahan
dari bahasa Belanda ini memuat hal-hal penting mengenai nama-
nama bentuk tari Bali masa lalu. Pembicaraan diawali dengan tari-
tarian sakral, kemudian tari-tarian pura, kecak, upacara atau
prosesi yang berbentuk pertunjukan rakyat, barong, calonarang,
basur, drama sekuler, topeng pajegan, jauk, gambuh, cupak, arja,
baris melampahan, wayang kulit, parwa, wayang wong, legong,
nandir, joged, dan diakhiri dengan permainan rakyat yaitu gebug,
22Urs Ramseyer, The Art and Cultur of Bali (Fribourg: Office du Livre S.A.;
reprinted Oxford University Press, 1977), 194-199, 202-208.
23Ni Nyoman Mulyati, ”Tari Rejang Kuningan di Desa Asak Karangasem
Bali,” Tesis untuk mencapai derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Pengka-
jian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta,
1999, 13-14.
28
kare, dan pencak. Rejang merupakan tari-tarian pura. Rejang yang
dijelaskan dengan singkat adalah rejang dari Batuan, Tenganan,
dan rejang dari Asak.24
Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap As-
pek-Aspek Agama Hindu I-XV (1989/1990) milik Pemda Tingkat I
Bali berisi tentang makna, pedoman, dan petunjuk pelaksanaan
tentang ajaran-ajaran agama Hindu. Dalam bagian buku itu terda-
pat salah satu bahasan tentang makna dan pelaksanaan hari Ga-
lungan dan Kuningan. Galungan dan Kuningan merupakan serang-
kaian upacara hari suci umat Hindu. Selama enam puluh hari
umat Hindu di Bali hendaknya mengadakan tapa brata yoga se-
madi. Hari Kuningan merupakan acara lanjutan dari rangkaian
kesatuan pelaksanaan hari Galungan yang diawali dari Tumpek
Wariga dan diakhiri pada Budha Kliwon Pahang.25 Pemahaman
tentang perayaan hari Kuningan yang ada dalam buku ini sangat
dibutuhkan untuk membahas makna dalam penelitian ini.
Bali Sekala & Niskala Essays on Religion, Ritual and Art,
Volume I oleh Fred B. Eiseman membahas masalah kehidupan re-
ligius masyarakat Bali dari sisi sêkala (tampak) dan niskala (tidak
24Walter Spies en R. Goris, Ikhtisar Tari dan Drama di Bali, Terj. I Ketut
Jingga, editor Ketut Rota (Denpasar: Akademi Seni Tari Indonesia Denpasar,
1985), 36-37.
25Parisadha Hindu Dharma Pusat, Himpunan Keputusan Seminar Kesa-
tuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV (Denpasar: Milik Pemda
Tingkat I Bali Proyek Penerbitan Buku-Buku Agama Tersebar di 8 (Delapan)
Kabupaten Dati II, 1989/1990), 7-10.
29
tampak). Dalam buku itu dijelaskan tentang konsep rwa bhineda,
air suci, sesaji, odalan, dan pura.26 Buku itu membantu pema-
haman tentang konsep rwa bhinada yang digunakan dalam pene-
litian ini.
Buku berjudul Panca Yadnya: Déwa Yadnya, Bhũta Yad-
nya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya, dan Manusa Yadnya milik Peme-
rintah Propinsi Bali (2007) sangat lengkap memberi informasi ten-
tang seluk beluk yadña.27 Diawali dengan penjelasan pentingnya
ber-yadña, tujuan melakukan yadña, mantra unsur terpenting,
kualitas yadña, dan rumusan panca yadña, selanjutnya buku ini
menjelaskan upacara dan upakara déwa yadña, upacara bhũta
yadña, upacara rsi yadña, upacara pitra yadña, dan kemudian
upacara manusa yadña. Buku ini sangat dibutuhkan dalam pene-
litian ini karena data-datanya berhubungan langsung dengan to-
pik déwa yadña.
Tulisan berjudul ”Membangun Budaya Rohani melalui Tatt-
wa” oleh I Gede Sura, dalam Ida Bagus Sedhawa (2007), Memba-
ngun Budaya Rohani Menuju Keluhuran Budi. Tattwa merupakan
filsafat Hindu yang tidak bisa dilepaskan dari kaitannya dengan
kehidupan yadña orang-orang Bali.Yadña berupa upacara-
26Fred B. Eiseman, Bali Sekala & Niskala Essays on Religion, Ritual and
Art, Volume I (Singapore: Periplus Editions, 1989), 2.
27Team Penyusun, Panca Yadnya: Déwa Yadnya, Bhũta Yadnya, Rsi Yadnya, Pitra Yadnya dan Manusa Yadnya (Denpasar: Milik Pemerintah Pro-
vinsi Bali, Penggandaan Buku Penuntun Agama Hindu dan Modul/Silabus Ten-
tang Pesraman, 2007), 47.
27Team Penyusun, 2007, 47.
30
upacara yang dilakukan di Bali merupakan ekspresi dari tatwa
yang dimiliki orang-orang Bali. Tulisan ini mengajak, mengingat-
kan kembali masyarakat, untuk memahami betapa pentingnya pe-
mahaman tattwa dalam kehidupan rohani umat Hindu. Pada da-
sarnya tidak ada kegiatan upacara di Bali yang tidak didasari oleh
tattwa.28 Semua pustaka tersebut di atas, tak ada yang membahas
topik seperti topik yang diajukan oleh peneliti, oleh karena itu
penelitian disertasi ini sangat penting untuk dilanjutkan.
1.5 Definisi Konsep
Judul dan rumusan masalah di atas perlu didefinisikan
kembali agar tidak terjadi pemaknaan ganda. Topik penelitian ini
membahas tentang bentuk, fungsi, dan makna rejang dalam ritual
kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. Topik itu
dijabarkan ke dalam beberapa kalimat dalam rumusan masalah.
Besar kemungkinan terjadi adanya perbedaan-perbedaan pemak-
naan atas istilah yang terkandung di dalamnya. Sebuah istilah
dalam studi budaya sering kali memiliki beberapa pengertian yang
berbeda karena sudut pandang dan pendekatan yang digunakan
28I Gede Sura, ”Membangun Budaya Rohani Melalui Tattwa” dalam Ida
Bagus Sedhawa, ed., Membangun Budaya Rohani Menuju Keluhuran Budi (Den-
pasar: Pemerintah Provinsi Bali Sekretariat Daerah Biro Bina Kesejahteraan dan
Pemberdayaan Perempuan, 2007), 111-112.
31
peneliti,29 oleh karena itu perlu perumusan definisi konsep. Ada
beberapa pengertian kata atau kalimat yang penting, perlu dije-
laskan dan disepakati, yaitu: kehadiran rejang dalam ritual ku-
ningan di Kecamatan Abang; ciri-ciri bentuk pertunjukan rejang
kuningan; fungsi tari rejang kuningan; dan makna pertunjukan
rejang kuningan.
1.5.1 Pengertian Kehadiran Rejang dalam Ritual Kuningan di
Kecamatan Abang
Hari suci Kuningan jatuh pada hari Saniscara Kliwon Ku-
ningan yaitu pada hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan. Ritual
Kuningan dilaksanakan selama dua atau tiga hari berturut-turut.
Ritual Kuningan adalah upacara keagamaan yang merupakan
rangkaian ritual Galungan yang dirayakan setiap 210 hari sekali.
Ritual Kuningan terdiri dari ritual persembahyangan (maturan dan
mebakti) dan ritual rejang. Ritual rejang adalah kegiatan upacara
pertunjukan rejang yang diadakan dalam ritual kuningan.
Rejang kuningan merupakan pertunjukan tari rejang yang
dilaksanakan dalam ritual kuningan di sebuah pura wilayah Keca-
matan Abang. Kecamatan Abang adalah salah satu dari delapan
kecamatan yang ada di Kabupaten Karangasem. Kehadiran rejang
29Pertti Alasuutari, Researching Culture: Qualitative Method and Cultural
Studies (London, Thousand Oaks, and New Delhi: Sage Publications, 1995), 35-
36.
32
dalam ritual kuningan adalah penyajian tari rejang kuningan di wi-
layah jeroan atau jaba tengah pura pada wuku Kuningan. Perta-
nyaan mengapa kehadiran rejang sangat dibutuhkan dalam ritual
kuningan dipahami sebagai faktor-faktor apa saja yang menyebab-
kan rejang selalu dipentaskan di jeroan atau jaba tengah pura.
1.5.2 Pengertian Ciri-Ciri Bentuk Pertunjukan Rejang Ku-
ningan
Bentuk pertunjukan rejang kuningan adalah bentuk kese-
luruhan penampilan rejang dalam ritual kuningan yang meliputi
pertama adalah bagian pokok yang disebut koreografi rejang dan
kedua adalah bagian pelengkap pertunjukan rejang. Bagian pokok
terdiri dari elemen-elemen koreografi rejang, sedangkan bagian
pelengkap pertunjukan adalah penampilan aktivitas pemedek khu-
sus (warga desa murwa / pemarep) dan aktivitas pemedek umum
(warga desa sasabu dan warga desa lain) sebagai penonton.
Koreografi merupakan istilah serapan dari bahasa Inggris
choreography, yang dasar katanya berasal dari bahasa Yunani
choreia yang artinya tarian bersama atau koor dan graphia berarti
penulisan. Secara harfiah, koreografi berarti penulisan dari sebuah
tarian kelompok. Dalam dunia tari déwasa ini koreografi memiliki
arti, yakni: pertama, koreografi adalah pengetahuan menyusun ta-
33
ri yang melibatkan proses kerja bagaimana membuat tari; kedua,
koreografi adalah tari sebagai sebuah hasil karya, hasil susunan
berbentuk tari. Seniman penyusun atau penata tari disebut kore-
ografer.30 Koreografi merupakan keseluruhan kegiatan karya
dari proses pembuatan tari sampai pada bentuk karya tari.
Dalam pembahasan ini koreografi dibatasi maknanya. Pe-
nelitian ini tidak mencari siapa pencipta tari rejang, dan bagaima-
na proses penciptaannya, tetapi berusaha mengkaji pertunjukan
rejang sebagai sebuah karya. Koreografi dimaknai sebagai sebuah
pementasan tari yang terkait dengan seluruh aspek penampilan
tari yaitu rejang yang telah mentradisi sebagai sebuah pertun-
jukan ritual kuningan di Kecamatan Abang. Rejang didudukkan
sebagai hasil karya seni yang dapat diuraikan ke dalam bentuk
elemen-elemen koreografi. Ciri-ciri bentuk pertunjukan rejang da-
pat dipahami sebagai tanda-tanda yang menjadi identitas pertun-
jukan rejang yang terdapat dalam elemen-elemen koreografi dan
pelengkap pertunjukan rejang.
30Sal Murgiyanto, Koreografi: Pengetahuan Dasar Komposisi Tari (Jakar-
ta: Proyek Pengadaan Buku Pendidikan Menengah Kejuruan Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1983), 3-4.
34
1.5.3 Pengertian Fungsi Tari Rejang Kuningan
Definisi fungsi telah disampaikan semula oleh Durkheim,
kurang lebih sebagai berikut, fungsi sesuatu kenyataan sosial ha-
rus dikaitkan dengan tujuan sosialnya.31 Malinowski seorang
tokoh fungsionalis mengemukakan sesuatu dikatakan berfungsi
apabila sesuatu itu dapat memenuhi suatu kebutuhan.32 Radcliffe-
Brown menyatakan fungsi adalah bagian pekerjaan-pekerjaan ke-
hidupan sosial secara keseluruhan, di mana fungsi membuatnya
memelihara kontinuitas struktural. R.K. Merton dalam esainya
Manifest and Latent Functions memberi kritik bahwa ada fungsi
yang tak terduga. Dapat saja fungsi yang dipandang berguna bagi
kebaikan, justru terjadi sebaliknya. Fungsi artinya bermanfaat da-
lam suatu keseluruhan yang lebih besar, memberikan sumbangan
sesuatu atau menghalangi sesuatu. Ini juga menyangkut tentang
fungsi terbuka dan fungsi laten, fungsi yang telah diketahui dan
yang belum diketahui. Fungsi memiliki tujuan tertentu, tetapi se-
cara laten mengabdi kepada tujuan yang lebih penting, yaitu
tujuan solidaritas kelompok.33
31J. van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hing-
ga Dekade 1970) Jilid 2, Terj. J. Piry (Jakarta: PT Gramedia, 1988), 51.
32Bronislaw Malinowski, A Scientific Theory of Culture and Other Essays
(New York: The University of North Carolina Press, 1944), 90.
33J. van Baal, 1988, 54.
35
Fungsi merupakan analisis dari persepektif konteks dan
kontribusinya kepada konteks tersebut. Fungsi tari adalah sesua-
tu di dalam keseluruhan aspek budaya dengan berbagai cara
memberikan sumbangan manfaat kepada masyarakat atau buda-
yanya.34 Jadi definisi yang dipakai dalam tulisan ini yaitu fungsi
tari rejang kuningan adalah sumbangan manfaat yang diberikan
oleh rejang kepada masyarakat dalam ritual kuningan di Keca-
matan Abang. Masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat A-
bang yang meliputi tiga aspek budaya yaitu: ide; aktivitas kelaku-
an berpola dari manusia dalam masyarakat; benda-benda hasil
karya manusia.
1.5.4 Pengertian Makna Pertunjukan Rejang Kuningan
Makna pertunjukan rejang kuningan adalah satu kesatuan
arti yang terjadi dari interpretasi terhadap tanda dari pertunjukan
rejang dalam ritual kuningan di Kecamatan Abang. Tanda adalah
segala sesuatu yang merepresentasi sesuatu selain dirinya. Makna
rejang bersifat konvensional, sehingga tanda yang hadir cenderung
pada tanda konvensional. Pemaknaan atas tanda konvensional
lebih ditekankan pada pemaknaan aspek-aspek simbolis. Simbol
merupakan tanda yang mewakili objeknya melalui kesepakatan
34Anya Peterson Royce, The Anthropology of Dance (Bloomington and Lon-
don: Indiana University Press, 1977), 64, 82.
36
atau persetujuan dalam konteks spesifik. Simbol menunjuk pada
tanda menyandikan sesuatu yang merupakan kesepakatan kon-
vensional.35 Makna rejang kuningan dicari dengan menafsirkan
tanda yang terdiri dari simbol-simbol pertunjukannya. Melalui
pemaknaan tanda itu akan diperoleh pula sistem nilai budaya
yang terkandung di dalamnya. Sistem nilai budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar
warga Masyarakat Abang, mengenai hal-hal yang dianggap sangat
bernilai dalam kehidupannya.36
Selain makna kontekstual rejang kuningan, melalui proses
penandaan akan ditemukan pula isi tari sebagai makna ko-teks-
tual rejang kuningan. Isi tari rejang kuningan adalah makna yang
terkandung pada bentuk tari rejang kuningan. Pesan, cerita, dan
pemunculan suasana dalam tari merupakan isi yang berkaitan
langsung dengan bentuk penyajiannya.
1.6 Landasan Teori
Untuk mengetahui jawaban atas masalah-masalah yang
telah dikemukakan di atas, dipergunakan pendekatan multidisi-
plin. Penelitian seni pertunjukan yang merupakan kajian budaya
35Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna: Buku Teks Dasar Mengenai
Semiotika dan Teori Komunikasi, Terj. Evi Setyarini dan Lusi Lian Piantari (Yog-
yakarta: Jalasutra, 2004), 38, 44.
36Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan (Jakarta:
PT Gramedia, 1984), 25.
37
tidak cukup hanya didekati dengan satu disiplin saja, oleh karena
kompleksnya fungsi seni pertunjukan tradisional dalam kehidup-
an masyarakat.37 Jika hanya menggunakan pendekatan yang me-
ngikuti satu garis penelitian saja, akan menghasilkan hal yang se-
derhana dan sepihak.38 Penelitian ini menggunakan pendekatan
multi-disiplin, yakni menggunakan pendekatan etnokoreologi se-
bagai disiplin pokok didukung dengan pendekatan Performance
Sudies dan disiplin lain seperti agama, antropologi, dan semiotika.
Etnokoreologi sebagai payung utama merupakan sebuah
disiplin baru yang telah digagas oleh R.M. Soedarsono sebagai di-
siplin antar bidang. Pertama kali istilah choreology telah dikemu-
kakan oleh Gertrude P. Kurath dalam artikel Panorama of Dance
Ethnology (1960), tetapi itu dimaknai sebagai dance ethnology yang
menekankan pada metode penelitian etnografi.39 Istilah choreology
pernah digunakan di Eropa Barat, namun kemudian menghilang
karena tidak ada yang melanjutkan. Claire Holt dalam bukunya
Art in Indonesia: Continuities and Change (1967) menawarkan kem-
bali istilah itu, tetapi ia sendiri tidak menggunakannya. Demikian
37R.M. Soedarsono, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa
(Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 2001), 3, 16.; Nyoman Ku-tha Ratna, Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 46.
38Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indone-
sia Suatu Alternatif (Jakarta: PT. Gramedia, 1982), 40.
39R.M. Soedarsono, ”Penegakan Etnokoreologi sebagai Sebuah Disiplin” dalam R.M. Pramutomo, ed., Etnokoreologi Nusantara: Batasan Kajian, Sistema-
tika dan Aplikasi Keilmuannya (Surakarta: ISI Press, 2007), 6-8.
38
pula Anya Peterson Royce menawarkan kembali pendekatan cho-
reology, tetapi ia sendiri masih menggunakan istilah The Anthro-
pology of Dance (1977) untuk judul bukunya.40 R.M. Soedarsono
kemudian menegakkan disiplin ilmu etnokoreologi dengan menga-
cu pada disiplin ilmu yang telah hadir lebih dulu yaitu etnomu-
sikologi. Sebagai uji-coba, atas promosinya kali pertama Tati Nara-
wati berhasil menyelesaikan disertasi di Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta pada 2002 dengan menggunakan pendekatan etnoko-
reologi.41 Penggunaan pendekatan etnokoreologi sebagai sebuah
disiplin antar bidang sudah semakin mantap dengan diadakannya
Simposium Etnokoreologi Nusantara 27 Desember 2007 di Institut
Seni Indonesia Surakarta.42
Pendekatan ini merupakan pendekatan tekstual-kontekstu-
al tentang tari-tarian etnis. Objek material etnokoreologi adalah
tari-tarian etnis.43 Objek formalnya adalah perspektif atau para-
digma dari etnokoreologi itu sendiri. Kajian tahap-tahap peneli-
tiannya menggunakan perspektif etnokoreologi, yaitu: tahap pe-
ngumpulan data menggunakan perspektif emik; tahap penulisan
etnografi menggunakan perspektif emik-etik dan holistik; dan
40R.M. Soedarsono, 2001, 15.
41R.M. Soedarsono, 2007, 9.
42R.M. Pramutomo, ed., Etnokoreologi Nusantara: Batasan Kajian, Siste-
matika dan Aplikasi Keilmuannya (Surakarta: ISI Press, 2007), iii.
43Tarian etnis dapat berupa seluruh tarian yang ada di dunia atau ter-
batas pada jenis tarian etnis non-Barat tergantung kepada kesepakatan di an-
tara para ilmuwan.
39
tahap analisis atau penyusunan teori menggunakan perspektif
komparatif. Dengan adanya objek material dan objek formal itu,
etnokoreologi telah dapat berdiri sebagai sebuah cabang ilmu ba-
ru.44
Tulisan ini memaparkan kajian bentuk, fungsi dan makna
rejang kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem.
Mengkaji masalah itu digunakan teori etnokoreologi, performance
studies, fungsi seni, yadña, magi, dan teori semiotika. Teori etno-
koreologi digunakan untuk mengkaji bentuk pertunjukan rejang
kuningan. Fungsi tari rejang dikaji dengan gabungan dari bebera-
pa teori yang relevan, yaitu teori fungsi seni pertunjukan oleh R.M.
Soedarsono, teori yadña, teori magi oleh James George Frazer, te-
ori performance studies oleh Richard Schehner, dan teori fungsi
tari oleh Anthony V. Say. Teori fungsi seni pertunjukan oleh R.M.
Soedarsono, teori yadña dan teori magi digunakan untuk mengkaji
fungsi rejang kepada aktivitas masyarakat Abang pada ritual Ku-
ningan. Teori fungsi tari oleh Anthony V. Say digunakan untuk
mengkaji fungsi rejang kepada aspek ide masyarakat Abang pada
ritual kuningan. Mengenai makna rejang dikaji dengan teori yadña
dan teori semiotika Marco de Marinis.
44Heddy Shri Ahimsa-Putra, ”Etnosains untuk Etnokoreologi Nusantara
(Antropologi dan Khasanah Tari)” dalam R.M. Pramutomo, ed., Etnokoreologi Nu-
santara: Batasan Kajian, Sistematika dan Aplikasi Keilmuannya (Surakarta: ISI
Press, 2007), 104-105.
40
1.6.1 Teori Etnokoreologi
Rejang pada hari Kuningan di Kecamatan Abang adalah
sebuah bentuk koreografi tari tradisional yang diciptakan pada
masa lampau. Koreografer dan proses koreografi tari rejang tidak
dibahas dalam tulisan ini. Koreografi yang dikaji adalah rejang
yang didudukkan sebagai hasil karya seni tari.
Koreografi rejang kuningan di Kecamatan Abang dikaji de-
ngan pendekatan struktural. Dengan pendekatan struktur, orang
dapat mengamati tari mulai dari dinamika, desain dramatik, de-
sain atas, desain lantai, adegan, tata hubungan, frase motif, sam-
pai pada unsur gerak terkecil yang disebut motif. Ada lima potensi
area yang digunakan dalam analisis struktur. Potensi area perta-
ma adalah perubahan (change). Pencatatan gerak menggunakan
notasi-notasi tari atau dengan gambar bergerak memudahkan pe-
neliti mengumpulkan perbendaharaan gerak. Perubahan-perubah-
an yang terjadi pada masa yang akan datang dapat diketahui de-
ngan menganalisis struktur. Potensi area kedua adalah keberlan-
jutan. Kontinuitas sebuah tari dapat diketahui dengan mengana-
lisis struktur per periode. Potensi area ketiga adalah istilah-istilah
dalam kategori yang merupakan kategori asli dari tarian suatu
bangsa. Analisis ini memungkinkan mengenali perbendaharaan
gerak suatu tarian dengan korelasi istilah-istilah yang ada. Potensi
area keempat adalah etnokoreografi (ethnochoreography). Ini
41
merupakan konsep-konsep koreografi tari suatu bangsa, sekaligus
mengenal sistem tari tersebut. Elemen-elemen koreografi merupa-
kan bagian-bagian penting sebuah kajian. Potensi area kelima
adalah nilai-nilai dan norma-norma budaya yang dapat dikenali
pada suatu bangsa.45
Dalam tulisan ini rejang dikaji dengan menggunakan struk-
tur area ketiga, keempat, dan kelima. Area ketiga dan kelima ditu-
jukan untuk memahami makna pertunjukan rejang. Analisis etno-
koreografi (area keempat) ditekankan sebagai dasar untuk meng-
kaji bentuk pertunjukan rejang. Analisis dilakukan dengan mene-
lusuri bentuk dan struktur tari dari motif gerak, frase gerak, ka-
limat gerak menuju pada komposisi gerak, sampai kepada tata hu-
bungan gerak, busana, musik tari, tempat pertunjukan, dan lain-
lain.
Analisis etnokoreografi pada dasarnya adalah analisis kore-
ografi etnis suatu bangsa, yaitu analisis elemen-elemen koreografi
yang terdiri dari bentuk dan isi tari rejang. Bentuk tari rejang
terdiri dari bentuk (bagian bentuk), struktur, dan penampilan tari
rejang. Isi tari rejang adalah tema atau pesan yang disampaikan
kepada penonton. Penampilan tari rejang terdiri dari teknik dan
sarana yang digunakan. Teknik adalah penampilan garapan dan
45Anya Peterson Royce, 1977, 72-76; I Made Bandem, Etnologi Tari (Yog-
yakarta: Kanisius, 1996), 28.
42
penampilan pemain atau keterampilan pemain, sedangkan sarana
adalah kualitas dan kelengkapan alat-alat pementasan (busana,
gamelan, tempat, dan lain-lain). Dalam penelitian ini pembahasan
teknik ditekankan pada pembahasan penampilan garap gerak, bu-
sana, dan keterampilan menari.
Bentuk sebagaimana halnya morfologi berbeda dengan
struktur, tetapi merupakan satu kesatuan. Morfolologi tertuju pa-
da kajian tentang bentuk, sedangkan struktur tertuju pada intere-
lasi antar bentuk-bentuk itu. Analoginya seperti sistem organik
yang telah disampaikan oleh A.R. Radcliffe Brown, bahwa sebuah
organisme makhluk hidup adalah kumpulan sel dan ruang cairan
dalam relasi yang merupakaan struktur organik.46
Struktur tari rejang merupakan sistem relasi antar unsur-
unsur sebagai kesatuan organik yang menjadikan bentuk tari re-
jang. Struktur dan bagian bentuk yang ada dalam rejang secara
bersama-sama mewujud menjadi sebuah tarian. Struktur tari re-
jang adalah interelasi antara gerak, rias dan busana, musik tari,
dan tempat pertunjukan. Struktur pertunjukan rejang adalah
struktur kontekstual yang merupakan interelasi antara tari rejang
dengan hari Kuningan, pura, aktivitas warga desa murwa, dan de-
ngan pemedek umum sebagai penonton.
46Anya Peterson Royce, 1977, 65.
43
Bentuk dan struktur saling berhubungan tidak dapat dipi-
sahkan. Bentuk adalah sebuah hasil kesatuan yang menyeluruh
dari suatu hubungan berbagai faktor yang saling terkait.47 Bentuk
tari merupakan aspek audio-visual yang terdiri dari bagian-bagian
bentuk meliputi gerak, teknik gerak, rias, busana, musik tari, tem-
pat, waktu pertunjukan dan pencahayaan. Bentuk tari meliputi
unsur-unsur dari yang paling kecil yaitu motif gerak, sampai pada
kumpulan unsur-unsur yang lebih besar seperti frase gerak, dan
kalimat gerak. Untuk menyebut motif gerak digunakan huruf a’,
b’, c’, dan seterusnya, sedangkan frase gerak ditulis dengan huruf
a, b, c, dan seterusnya. Kalimat gerak dinyatakan dengan huruf A,
B, C, dan seterusnya.
Untuk menemukan elemen-elemen koreografi rejang digu-
nakan pengklasifikasian elemen-elemen dasar koreografi oleh La
Meri. Pengklasifikasian oleh La Meri itu sebenarnya digunakan un-
tuk membuat tari dan sangat berguna bagi koreografer. Pada ke-
sempatan ini pengklasifikasian itu bukan ditujukan untuk mem-
buat tari tetapi difungsikan untuk mengkaji tari, oleh karena itu
perlu disesuaikan.
Ada beberapa elemen yang harus disesuaikan, yaitu ten-
tang topik masing-masing elemen dan perlengkapan. Sebagai con-
47Suzanne K. Langer, Problematika Seni, Terj. Fx. Widaryanto (Bandung:
Akademi Seni Tari Indonesia Bandung, 1988), 15.
44
toh masalah tema yang dibahas La Meri adalah lima tes tema
untuk membuat tema karya tari, sedangkan tema dalam penelitian
ini adalah tema rejang kuningan yang dicari, yaitu: apa temanya;
koreografi rejang itu tentang apa? Istilah perlengkapan yang digu-
nakan La Meri tidak dimunculkan dalam penelitian ini, tetapi
memunculkan istilah rias busana, penyajian penari, tempat dan
suasana pertunjukan. Jadi pengklasifikasian elemen-elemen kore-
ografi rejang kuningan yang digunakan adalah berdasarkan gerak,
desain lantai, desain atas, desain musik, desain dramatik, dinami-
ka, tema, desain rias dan busana, tempat pertunjukan, suasana
pertunjukan dan teknik penyajian penari.
John Martin menyatakan bahwa substansi baku tari ada-
lah gerak,48 oleh karena itu, pada dasarnya menganalisis tari ada-
lah menganalisis gerak. Tari dibangun oleh bentuk dan struktur
gerak. Unsur bentuk yang paling sederhana dalam tari disebut
motif gerak. Motif gerak adalah desain gerak sederhana, namun di
dalamnya terdapat sesuatu yang memiliki kapabilitas untuk di-
kembangkan. Kumpulan motif adalah frase, dan frase membentuk
seksi. Motif gerak, frase, dan seksi, membentuk desain waktu yang
menjadi aspek ritme tari. Tenaga yang menjadi pangkal terus ber-
jalan dan berhenti, sehingga memberikan bentuk selama panjang
48Sudarsono, Tari-Tarian Indonesia I (Jakarta: Proyek Pengembangan Me-
dia Kebudayaan, Direktorat Jendral Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan,1977), 15.
45
waktu tari yang dibutuhkan.49 Pemahaman tentang motif, frase,
dan seksi dari gerak tari rejang digunakan untuk mengetahui ben-
tuk dan strukturnya.
Gerak adalah bentuk aktivitas yang melibatkan aksi, ru-
ang, waktu, dan tenaga. Aksi merupakan kerja proses perpindah-
an bentuk dari posisi awal menuju arah selanjutnya. Aksi, ruang,
waktu, dan tenaga secara bersama-sama menentukan karakter ge-
rak tari. Ruang gerak ada karena aktivitas dari sebuah aksi. Mela-
lui ruang, gerak tampak bervolume, memiliki desain, memiliki
wilayah gerak. Selain ruang, gerak membutuhkan waktu. Gerak
tidak lepas dari waktu yang diperlukan untuk aktivitas. Panjang
pendek waktu yang dibutuhkan gerak membentuk pola aksi yang
saling berkaitan dengan ruang dan tenaga gerak. Tenaga merupa-
kan kekuatan gerak. Gerak tampak berkualitas kerena gerak me-
miliki tenaga.50
Aksi gerak tari dibedakan menjadi empat yaitu gerak murni
gerak maknawi, gerak berpindah tempat, dan gerak penguat eks-
presi verbal. Membahas aksi gerak tari rejang adalah membahas
empat bagian gerak tari rejang kuningan. Gerak murni adalah
gerak tari yang hanya mementingkan artistik gerak, tanpa mak-
sud. Gerak maknawi disebut pula gesture atau gerak tari yang
49Jacqueline Smith, Komposisi Tari: Sebuah Petunjuk Praktis Bagi Guru,
Terj. Ben Suharto (Yogyakarta: Ikalasti Yogyakarta, 1985), 35, 60-61.
50Jacqueline Smith, 1985, 10-11.
46
memiliki arti.51 Arti yang disampaikan gerak maknawi adalah arti
gerak pada umumnya, misalnya gerak tari memukul, adalah stili-
sasi dari gerak orang yang sedang memukul. Gerak tari meminta-
meminta adalah stilisasi dari gerak pengemis yang menenga-
dahkan tangannya di jalan raya, dan lain-lain. Berbeda dengan ge-
rak maknawi, gerak murni tidak menyampaikan maksud seperti
itu, tetapi menyampaikan keindahan gerak itu sendiri dengan
watak dan suasana gerak. Gerak berpindah tempat adalah semua
gerak tari yang menyangkut perpindahan tempat misalnya gerak
berjalan, bergeser, berlari dan lain-lain. Gerak penguat ekspresi
verbal adalah gerak-gerak yang dilakukan untuk menegaskan
maksud ekpresi gerak, misalnya gerak membelalakan mata karena
kaget, gerak memukul-mukul kepala sendiri karena merasa bodoh
dan lain-lain.
Ruang gerak tari dapat dijabarkan ke dalam dua pemba-
hasan yaitu desain atas dan desain lantai. Desain atas adalah pola
gerak yang tampak terlintas di atas lantai. Desain ini menunjuk-
kan kesan gambar kerangka bentuk gerak yang masing-masing
memiliki sentuhan emosional. Desain lantai disebut juga pola lan-
tai, yaitu lintasan penari yang ada di lantai. Gerak berjalan atau
berpindah tempat dari para penari akan meninggalkan jejak-jejak
51Sudarsono, 1977, 35.
47
di lantai. Jejak-jejak inilah, jika digambar akan membentuk pola
tertentu yang disebut desain lantai.52
Menurut La Meri ada enambelas buah desain atas yang
menjadi pertimbangan sebuah komposisi tari, yaitu: datar, dalam,
vertikal, horisontal, kontras, murni, statis, lengkung, bersudut,
spiral, tinggi, medium, rendah, terlukis, garis lanjutan, dan garis
tertunda. Desain datar dapat dipahami bahwa badan penari terli-
hat dalam postur yang hampir tanpa perspektif. Desain dalam ber-
tentangan dengan desain datar. Desain dalam terlihat apabila ba-
dan penari dalam perspektif yang dalam, yaitu anggota-anggota
badan ditempatkan ke arah up stage (lantai panggung bagian bela-
kang), dan down stage (lantai panggung bagian depan). Desain ver-
tikal terlihat ketika badan penari terkesan sebuah garis ke atas ke
bawah. Berbeda dengan vertikal, desain horisantal terlihat jika ge-
rak badan penari terkesan melintang. Desain kontras adalah sebu-
ah postur yang terlihat garis-garis bersilang pada tekukan-tekuk-
an yang berlawanan dan mengandung satu kontinuitas. Desain
murni adalah lawannya, terlihat sebuah postur tanpa garis-garis
yang kontras. Desain statis dilakukan dengan pose statis tapi ber-
gerak. Desain lengkung adalah sebuah postur yang anggota badan
tampak lengkung. Desain bersudut tampak jika sebuah postur
52La Meri, Elemen-Elemen Dasar Komposisi Tari, Terj. Soedarsono (Yogya-
karta: Lagaligo, 1986), 19, 25.
48
anggota badan ditekuk menyudut. Desain spiral merupakan pos-
tur atau gerak anggota badan melengkung sekeliling garis badan
tengah. Tinggi adalah ruang dari dada penari ke atas. Medium
berada pada ruang antara bahu penari dan pinggang, sedangkan
rendah adalah ruang yang terletak dari pinggang penari ke bawah.
Desain terlukis adalah sebuah garis yang dilukis di udara oleh sa-
lah satu bagian badan atau prop, dan lukisan itu lebih jelas tam-
pak dibandingkan dengan anggota badan yang melukis. Desain ga-
ris lanjutan adalah garis yang terlukis di udara di luar jangkauan
badan penari. Desain garis tertunda terlihat jika ada garis terlukis
di udara oleh rambut panjang, rok penari, atau oleh perlengkapan
yang tidak punya nafas sendiri namun terkontrol dengan sadar.53
Waktu gerak adalah aspek waktu yang dimiliki oleh gerak
tari yaitu pola ritme dari sebuah gerakan. Pola ini disebut juga de-
ngan istilah desain musik. Desain ini lebih menekankan pada ba-
gaimana pola ritme, hitungan gerak tari yang diwadahi oleh mu-
sik.54 Musik tari adalah ekspresi dari pola ritme komposisi gerak
tari yang diwujudkan ke dalam bentuk musik.
Kajian bentuk musik tari rejang tidak dibahas mendalam,
namun demikian diuraikan hubungannya dengan gerak dan sua-
sana kehadirannya yang mendukung pertunjukan tari rejang.
53La Meri, 1986, 25-28.
54La Meri,1986, 44.
49
Pembahasan musik tari ditekankan pada hubungan antara musik
dengan pola ritme gerak itu sendiri.
Tenaga gerak merupakan kualitas gerak tari. Ini erat hu-
bungannya dengan teknik penari. Kualitas gerak tari adalah dina-
mika yang tergantung dari kualitas gerak penari dan kualitas
komposisi gerak itu sendiri. Tanjakan dan penurunan komposisi
tari dapat dilihat dengan memperhatikan bentuk desain dinamika
gerak sebuah karya.
Teknik merupakan bagian dari penampilan tari. Selain tek-
nik yang menjadi elemen pokok koreografi juga tata rias dan tata
busana. La Meri menekankan bahwa busana merupakan bagian
yang sangat penting dari efek gerak yang terlihat penonton dan
untuk praktek gerak para penari. Dikatakan tari Spanyol tanpa
skirt (rok panjang) menjadi menggelikan, tari Jepang tanpa kimono
kehilangan banyak keindahan yang arsitektoris.55 Dalam tari Bali
tradisional, gerak, rias dan busana merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan. Kehadiran gerak selalu didukung
oleh kehadiran rias dan busana. Menyaksikan gerak tari Bali tidak
akan sempurna jika gerak tari itu dihadirkan tanpa dilengkapi bu-
sananya. Tari Barong tanpa busana barong, tak akan terasa eks-
presi yang diungkapkan. Jika gerak tari Bali dipentaskan tanpa
busana yang semestinya, maka geraknya akan segera kehilangan
55La Meri, 1986, 107.
50
energi. Dalam tari rejang, rias dan busana merupakan substansi
dasar tari, merupakan elemen dasar koreografi, oleh karena itu ri-
as dan busana rejang merupakan elemen pokok koreografi yang
dibahas.
Hal-hal lain yang dibahas adalah tempat, waktu dan sua-
sana pertunjukan. Tempat pertunjukan adalah tempat di mana
rejang dipentaskan, yaitu di halaman pura yang disebut jeroan dan
jabaan. Suasana pertunjukan adalah keadaan, situasi dan kondisi
pada saat rejang ditampilkan. Situasi dan kondisi itu merupakan
penampilan dari aktivitas pemedek khusus (warga desa murwa
/pemarep) dan aktivitas pemedek umum (warga desa sasabu dan
warga desa lain) sebagai penonton.
Mengkaji gerak tari rejang adalah mengkaji motif aksinya,
ruangnya, waktunya, dan tenaganya. Motif aksi gerak rejang ditin-
jau dari gerak murni, maknawi, gerak berpindah tempat, dan ge-
rak penguat ekspresi verbal. Ruang gerak rejang dikaji lewat desa-
in atas dan desain lantai. Waktu gerak rejang dikaji dari pola ritme
gerak yang juga menyangkut tempo gerak. Tenaga gerak rejang
dikaji dengan mempertimbangkan kualitas gerak penari dan kom-
posisi gerak yang ditujukan pada kajian dinamika dan desain dra-
matik. Elemen-elemen koreografi itu dikaji dan selanjutnya dite-
mukan ciri-ciri bentuk pertunjukan rejang kuningan di Kecamatan
Abang.
51
1.6.2 Teori Fungsi Seni Pertunjukan dan Agama
Fungsi rejang kepada masyarakat Abang adalah fungsi re-
jang kepada budayanya pada sistem pranata ritual kuningan di
Kecamatan Abang. Dalam pranata ritual ada hal-hal yang saling
berkaitan antara aspek dari wujud kebudayaan. Aspek budaya ter-
diri dari tiga wujud penting yaitu: 1) ide-ide, nilai-nilai, norma-
norma, peraturan, dan lain-lain; 2) aktivitas kelakuan berpola dari
manusia dalam masyarakat; 3) benda-benda dari hasil karya ma-
nusia.56
Masyarakat abang yang dimaksud adalah budaya masyara-
kat Abang yang terdiri dari tiga aspek kebudayaan, yaitu 1) “ide
masyarakat Abang” menyangkut ide-ide, nilai, norma, dan makna
rejang; 2) “aktivitas ritual rejang” yang merupakan aktivitas kela-
kuan berpola dari warga masyarakat Abang; 3) “bentuk sajian
ritual” yang merupakan bentuk hasil karya warga masyarakat A-
bang.
56Koentjaraningrat, 1984, 5.
52
Diagram 1.1 Masyarakat abang adalah bagian-bagian ma-syarakat yang terdiri dari ide masyarakat, aktivitas ritual, dan bentuk sajian ritual pada pranata ritual kuningan di Keca-
matan Abang.57 (Isi diagram dibuat oleh I Nengah Mariasa dan sumber diagram oleh Koentjaraningrat)
Fungsi rejang bagi masyarakat Abang adalah fungsi rejang
kepada tiga aspek kebudayaan pada sistem pranata ritual kningan
di Kecamatan Abang. Pertama, rejang bermanfaat pada wilayah ide
oleh karena bentuk tari rejang mengandung makna dan nilai.
Kedua, rejang bermanfaat pada wilayah aktivitas ritual kuningan
karena menyajikan rejang melibatkan kegiatan-kegiatan. Ketiga,
rejang bermanfaat pada wilayah bentuk sebagai materi ritual ku-
ningan yang dipertunjukkan.
57Bandingkan dengan Koentjaraningrat,1984, 15.
1 Ide
Masyarakat
Abang
Masyarakat
Abang
3 Bentuk
Sajian Ritual
2 Aktivitas
Ritual Rejang
53
Mengenai fungsi rejang pada wilayah “aktivitas ritual re-
jang” didekati dengan teori fungsi seni pertunjukan, teori yadña,
dan teori magi sebagai berikut. R.M. Soedarsono mengemukakan
secara garis besar fungsi seni pertunjukan ada dua yaitu fungsi
primer dan fungsi sekunder. Fungsi primer seni pertunjukan diba-
gi tiga yaitu: 1) seni untuk tujuan ritual; 2) seni untuk tujuan
presentasi estetis; dan 3) seni sebagai hiburan pribadi.58 Masing-
masing tujuan seni itu menunjukkan ciri khasnya masing-masing.
Seni ritual memiliki ciri yang sangat unik, misalnya, tari Bali ritual
tidak dapat ditonton di sembarang tempat. Tari ritual itu hanya
ditampilkan pada tempat, waktu, dan kondisi pementasan yang
khusus.59 Lebih jelas diuraikannya bahwa ciri-ciri pertunjukan
ritual adalah, 1) tempat pertunjukan terpilih, biasanya yang diang-
gap sakral, 2) waktu yang terpilih, 3) pemain yang terpilih, biasa-
nya pemain yang dianggap suci, 4) adanya sesaji yang kadang kala
banyak macamnya, 5) tujuan lebih dipentingkan daripada penam-
pilan estetikanya, dan 6) memakai busana yang khas.60 Rejang
pada hari Kuningan di Kecamatan Abang tampaknya memiliki ciri-
58R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan Endonesia di Era Globalisasi (Yog-
yakarta: Gadjah Mada University Press, 2002), 122-123.
59I Made Bandem, ”Tari-tarian Bali dalam Upacara Agama Hindu Dhar-ma” sebuah paper yang disajikan dalam rangka Penyuluhan Parisada Hindu
Dharma Denpasar, 29 Desember 1991, 8.
60R.M. Soedarsono, 2002, 126.
54
ciri tersebut, oleh karena itu diulas dengan mengkaji ciri-ciri per-
tunjukan ritual.
Selain hal tersebut di atas, kehadiran rejang juga memiliki
fungsi signifikan kepada motivasi dan proses “aktivitas ritual re-
jang.” Mengenai hal itu diulas dengan teori yadña. Teori fungsi ini
diangkat dari konsep yang telah dimiliki sebagai pegangan hidup
oleh masyarakat Bali. Konsep itu bersumber dari ajaran Hindu
tentang yadña. Yadña adalah persembahanan suci berupa barang
atau aktivitas demi kepentingan dharma yang dilandasi dengan ra-
sa tulus ikhlas tanpa pamrih untuk berbakti kepada Brahman.61
Hampir semua kerja atau aktivitas yang dipersembahkan kepada
Tuhan dengan ikhlas tanpa pamrih adalah yadña. Yadña meliputi
dravya, tapa, yoga, svadhyaya, dan jnana. Dravya yadña adalah
persembahan harta benda. Tapa yadña adalah persembahan de-
ngan pengendalian indria. Yoga yadña adalah persembahan yoga
(sad-astangga yoga) menuju Brahman. Svadhyaya yadña adalah
persembahan dengan belajar tanpa guru nyata, tetapi berguru ke-
pada Brahman. Jnana yadña adalah persembahan dengan meng-
geluti ilmu pengetahuan.62
61Bhagawan Bhrigu, Manawa Dharmacastra (Manu Dharmacastra) atau
Weda Smerti: Compendium Hukum Hindu, Terj. G. Pudja dan Tjokorda Rai Su-
dharta (Jakarta: Lembaga Penterjemah Kitab Suci Weda, 1973), 153-213; Team
Penyusun, 2007, 5-6; Ny. I Gst. Ag. Mas Putra, 2007, 4.
62Muni Vyasa, Bhagvadgita, Terj. Nyoman S. Pendit (Jakarta: B.P. Dhar-
ma Nusantara, 1986), 104.; Periksa Team Penyusun, 2007, 44.
55
Yadña merupakan persembahan suci yang ditujukan kepa-
da Brahman. Brahman yang dimaksud itu adalah Tuhan. Tuhan
diyakini sebagai tujuan hidup, tempat berlindung untuk memohon
Segala sesuatu yang digunakan untuk mengatasi kehidupan. Ka-
rena orang-orang berpengetahuan dan bijaksanalah maka Tuhan
yang dimaksud dapat disebut dengan bermacam-macam nama.63
Tuhan bisa disebut Siwa, Wisnu, Parama Siwa, Gusti Kang Akarya
Jagat, dan lain-lain sesuai dengan keyakinan seseorang. Seseo-
rang yang menggunakan konsep yadña dalam hidupnya akan
menjadi pengabdi kepada Tuhan atau kepada sesuatu yang diang-
gap sebagai manifestasi Tuhan. Mereka rela bekerja tanpa pamrih
(ngayah) atau rela berkorban harta benda karena ingin mengabdi
kepada-Nya.
Hampir semua kerja atau aktivitas yang dipersembahkan
kepada Tuhan atau manifestasinya dengan ikhlas tanpa pamrih
adalah yadña. Pamrih yang dimaksud di atas adalah imbalan be-
rupa materi atau bukan materi yang diberikan oleh orang atau
masyarakat atau oleh yang bukan orang yang diyakini identik de-
ngan Tuhan. Materi pemberian bisa berupa harta benda, uang dan
lain-lain, sedangkan yang bukan materi dapat berupa kesenangan
duniawi, berupa kekuasaan, awet muda, kesaktian, kekebalan,
dan lain-lain. Yadña bukan merupakan persembahan pamrih,
63I Gede Sura, 2007, 111-112.
56
tetapi persembahan ikhlas tanpa pamrih, oleh karena itu yadña
seringkali diartikan persembahan suci.
Persembahan yang termasuk yadña adalah yang dilakukan
tidak karena diri ingin kaya, tidak juga karena ingin dihargai, te-
tapi dilakukan semata-mata karena ingin mengabdi kepada Tu-
han. Yadña dilakukan atas dasar seseorang atau masyarakat me-
rasa berhutang kepada Tuhan (déwa rna), leluhur (pitra rna), dan
kepada guru atau pemimpin agama (rsi rna). Penghidupan bahkan
jiwa dan raga yang diperoleh adalah hutang karena pemberian Tu-
han. Manusia lahir, menjadi anak-anak, kemudian bisa hidup se-
makin dewasa adalah hutang karena jasa kepada leluhur, demi-
kian pula seseorang memperoleh pengetahuan menjadi berhutang
kepada guru.64
Selain hutang-hutang itu seseorang pada hakikatnya hidup
penuh dosa, karena tidak bisa menghindar dari kegiatan mem-
bunuh binatang atau tumbuhan untuk dimakan. Demikian juga
dengan tidak sengaja atau sengaja membunuh makhluk atau bi-
natang kecil seperti nyamuk, semut dan lain-lain. Untuk mengu-
rangi dosa-dosa dan atau menyucikannya, seseorang hendaknya
melakukan panca yadña, yaitu déwa yadña, pitra yadña, rsi yad-
ña, manusa yadña, dan bhũta yadña. Panca yadña merupakan
64Panitia Parisadha, Upadeca tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu (Ja-
karta: Parisadha Hindu Dharma Pusat, 1978), 52.; Team Penyusun, 2007, 10-
14.
57
perwujudan yoga, bhakti, tri rna, dan penyucian dosa. Déwa yad-
ña adalah persembahan suci yang ditujukan kepada Tuhan kare-
na manusia ingin berbakti kepada-Nya. Tuhan menciptakan alam
seisinya, yang mengadakan udara, air, dan kebutuhan hidup ma-
nusia lainnya sudah selayaknya dihormati dan diabdi oleh setiap
manusia. Di samping itu menusia ingin agar dapat mencapai ke-
satuan dengan Brahman. Pitra yadña adalah persembahan suci
yang ditujukan kepada roh leluhur. Semua umat manusia diha-
rapkan berbakti kepada orang tua dan kepada para leluhur mela-
lui pitra yadña. Rsi yadña adalah persembahan suci kepada para
rsi karena telah mengajarkan ilmu, memimpin ritual, membimbing
umat manusia menuju jalan dharma. Membaca dan memahami isi
kitab suci Weda juga merupakan rsi yadña. Manusa yadña adalah
persembahan suci kepada manusia oleh krena manusia tidak da-
pat hidup tanpa manusia yang lain. Manusia juga adalah makhluk
reinkarnasi dari roh yang tidak sempurna penting disucikan me-
lalui yadña. Bhuta yadña adalah persembahan suci untuk mene-
tralisasi energi negatif yang ada di dunia. Keadaan alam di seke-
liling kita tidak tentu, bisa kacau, dapat pula tidak seimbang. De-
ngan melaksanakan bhuta yadña maka bencana, kekacauan dapat
dihindari.65
65Team Penyusun, 2007, 44-47; Bhagawan Bhrigu, 1973, 153-214; Ny. I
Gst. Ag. Mas Putra, 2007, 8-12.
58
Panca yadña melandasi masyarakat Bali sehingga memiliki
konsep yadña kepada Tuhan. Berdasarkan teori itu, pada hakikat-
nya semua tujuan kegiatan budaya dapat dibedakan atas dasar
yadña dan bukan yadña. Kegiatan yang dilakukan dengan dasar
pamrih diri misalnya berdagang, menjual jasa, ingin harta, ingin
jabatan, ingin kekuasaan, ingin kesenangan dan lain-lain bukan
merupakan yadña. Mengetahui sebuah kegiatan adalah yadña da-
pat dilakukan dengan mengkaji struktur yadña. Kegiatan pertun-
jukan rejang kuningan di Kecamatan Abang tampaknya adalah
sebuah yadña.
Mengapa ritual rejang sangat penting dilaksanakan, hal itu
dikaji dengan teori religi sebagai berikut. James George Frazer me-
nyatakan bahwa hubungan utama yang dilakukan oleh ahli magi
simpatetik pada hakikatnya ada dua tipe: imitatif yaitu magi yang
menghubungkan benda-benda atas prinsip kesamaan; dan menu-
lar, yaitu magi kontak yang berhubungan atas dasar prinsip pele-
katan (attachment).66 Tipe imitatif merupakan teori meniru gejala
alam melalui sikap yang sesuai, sehingga tujuan tercapai. Tipe
menular merupakan teori kekuatan magi yang diekspresikan me-
lalui bentuk-bentuk simbol yang relevan, sehingga tujuan tercapai.
Magi dibangun atas asumsi bahwa setelah ritual atau tindakan
66Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Terj. Ali Noer Zaman (Yogya-
karta: Penerbit Qalam, 2001), 59-60.
59
dilakukan dengan benar maka pengaruh alaminya pasti terjadi se-
suai harapan. Penulis berasumsi bahwa rejang memiliki makna
magi dengan tipe menular. Harapan menyajikan rejang agar kea-
daan masyarakat selamat dari hal-hal yang tidak baik.
Mengenai fungsi rejang pada wilayah “bentuk sajian ritual”
dikaji dengan teori performance studies oleh Richard Schechner.
Performance studies merupakan teori untuk mengkaji aktivitas
manusia sebagai sebuah penampilan. Ada delapan aktivitas manu-
sia yang digolongkan sebagai penampilan, yaitu: 1) kehidupan
sehari-hari (memasak, pergaulan, mata pencaharian); 2) seni; 3)
olah raga dan pertunjukan populer lainnya; 4) bisnis; 5) teknologi;
6) seks; 7) ritual (sakral dan sekuler); 8) permainan. Menurut Ri-
chard Schechner semua aktivitas manusia berpotensi sebagai pe-
nampilan.67 Ritual rejang merupakan sebuah penampilan kegiatan
ritual keagamaan yang mempersembahkan tari rejang.
Mengenai fungsi rejang pada wilayah “ide” dikaji dengan
teori fungsi seni pertunjukan yang dikemukakan oleh Anthony V.
Shay. Rejang dapat ditinjau dari perannya sebagai alat atau media
baik sebagai media ekspresi maupun sebagai media komunikasi.
Anthony V. Shay dalam tesisnya yang berjudul The Function of
Dance in Human Society menjelaskan enam fungsi tari salah
67Richard Schechner, Performance Sudies: An Introduction (London:
Routledge, 2002), 25-26.
60
satunya tari berfungsi sebagai sarana ekspresi sekuler dan ritual
keagamaan. Lima fungsi tari yang lain adalah: 1) sebagai refleksi
organisasi, 2) sebagai aktivitas rekreasi atau hiburan, 3) sebagai
ungkapan serta pembebasan psikologis, 4) sebagai refleksi nilai-
nilai estetis atau murni sebagai aktivitas estetis, dan 5) sebagai
refleksi kegiatan ekonomi.68 Fungsi seni pertunjukan adalah seba-
gai media ekspresi terutama untuk berkomunikasi. Seni berkedu-
dukan sebagai media dapat menampung ide yang merupakan
wujud dari aspek pertama kebudayaan. Sebagai media, seni ber-
fungsi untuk mengekspresikan ide dan juga untuk mengomunika-
sikan ide itu kepada penikmat. Berdasarkan teori tersebut diha-
rapkan dapat menjawab fungsi rejang pada wilayah ide masya-
rakat Abang.
1.6.3 Teori Agama Tentang Yadña dan Semiotika Marco de
Marinis
Rejang merupakan karya seni yang disajikan pada ritual
kuningan. Rejang memiliki makna dan fungsi di masyarakat. Mun-
culnya makna dan fungsi dalam karya seni ritual, merupakan se-
buah proses. Makna lebih dahulu hadir daripada fungsinya, seper-
ti yang telah dikutip Timbul Haryono, bahwa Cyril S. Smith
68R.M. Soedarsono, 2002, 121-123.
61
menyatakan dalam sejarah teknologi material-material untuk tu-
juan artistik, magis, religius, makna jauh lebih dulu ditemukan
sebelum adanya unsur-unsur fungsional.69
Max Weber mengungkapkan bahwa manusia adalah seekor
binatang yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang
dirakitnya sendiri. Geertz sependapat dengan itu, dan menyatakan
kebudayaan sebagai jaringan-jaringan makna yang analisisnya bu-
kan merupakan ilmu eksperimental untuk mencari kebenaran hu-
kum, melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk
mencari makna. Konsep kebudayaan pada hakikatnya merupakan
sebuah konsep semiotik.70 Sehubungan dengan itu untuk meng-
kaji makna simbolis rejang digunakan teori semiotika, yang mem-
bahas tentang tanda.
Mengetahui makna dari sebuah bentuk X, orang harus me-
nentukan terlebih dahulu, itu adalah sebuah tanda. Tanda memi-
liki struktur. Bentuk X adalah tanda jika: pertama, ia dapat
dibedakan dari bentuk lain (paradigmatic); dan kedua, ia dikon-
struksi dengan cara yang dapat diprediksi (syntagmatic). Proses
yang terjadi di pikiran kita pada saat menggunakan atau menafsir
tanda disebut penandaan. Jika rejang kuningan disebut “X” dan
69Timbul Haryono, Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Persepektif
Arkeologi Seni (Solo: ISI Press Solo, 2008), 72.
70Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Terj. F. Budi Hardiman (Yogyakar-
ta: Kanisius, 1992), 5.
62
maknanya disebut “Y” maka tanda X mewakili Y, artinya X=Y yang
merupakan proses penandaan. Tanda adalah Segala sesuatu (X)
yang merepresentasi sesuatu selain dirinya (Y). Sistem tanda (ver-
bal, visual, gestural, dan lain-lain) yang mempunyai sifat tertentu,
dan karenanya dapat digunakan berulang kali untuk mengodifi-
kasi dan mendekodifikasi teks dan pesan disebut kode.71 Rejang
kuningan di Kecamatan Abang adalah tanda non verbal yang dapat
dibedakan dari rejang-rejang lain di Kabupaten Karangasem (para-
digmatic). Rejang dikonstruksi oleh berbagai unsur menjadi satu
bentuk tari yang khas yang dapat disebut tari rejang kuningan
(syntagmatic).
Untuk mengkaji makna pertunjukan rejang kuningan seca-
ra umum digunakan teori tentang struktur yadña. Seperti yang
telah diuraikan terdahulu bahwa yadña adalah aktivitas memper-
sembahkan (memberi) berupa barang atau jasa yang dilandasi de-
ngan rasa tulus ikhlas tanpa pamrih, karena ingin mengabdi kepa-
da Tuhan (Déwa). Dalam teori ini Tuhan dipandang sebagai pe-
nentu kehidupan, sebagai pelindung, sebagai pusat Segala-gala-
nya sehingga manusia berbakti kepada-Nya. Tuhan mampu mem-
beri keselamatan, kesejahteraan, dan mampu menghindarkan ma-
nusia dari kejahatan dan bahaya. Yadña memiliki komponen-kom-
ponen yang saling berelasi yang disebut struktur yadña, yaitu
71Marcel Danesi, 2004, 7-31.
63
“pelaku yadña”, “bentuk yadña” dan “tujuan yadña”. Pelaku yad-
ña adalah orang yang melaksanakan yadña, sebagai sumber kegi-
atan. Mereka yang mengadakan aktivitas yadña, mengawali dan
mengakhirinya. Bentuk yadña adalah semua bentuk kegiatan
yang dapat digunakan untuk memprediksi apakah sebuah kegiat-
an itu adalah yadña atau tidak. Tujuan yadña adalah motivasi
yang dimiliki pelaku yadña untuk melaksanakan kegiatan. Tujuan
atau motivasi yadña tidak mudah untuk diketahui. Untuk menge-
tahuinya dapat dikaji melalui bentuk aktivitas dan sasaran yadña.
Sasaran yadña adalah sesuatu yang akan diberi persembahan. Ji-
ka yadña dipersembahkan untuk Déwa maka Déwa itulah sasar-
an yadña.
Bentuk yadña terdiri dari dua bagiaan yaitu: pertama,
bentuk aktivitas yadña dan kedua adalah bentuk hasil aktivitas
yadña. Bentuk hasil aktivitas yadña adalah bentuk-bentuk hasil
kerja atau hasil karya sebuah kegiatan. Sebuah kegiatan menya-
jikan tari maka bentuk hasil aktivitasnya adalah tarian yang dima-
inkan oleh penari. Sudah barang tentu penari sudah berhias dan
berbusana dilengkapi dengan tempat dan musik tarinya. Berbeda
dengan itu, bentuk aktivitas yadña adalah bentuk proses kerja
yadña dari awal sampai kepada akhir kegiatan. Motif kerja sebuah
yadña dapat diketahui dari bentuk akhir aktivitasnya, tetapi tidak
selamanya demikian. Seseorang melakukan kegiatan menari dapat
64
diketahui itu yadña apabila penari tidak menerima upah di akhir
kegiatannya. Berbeda halnya dengan orang tua yang menerima
bantuan dua ekor sapi milik saudagar kaya. Bentuk akhir akti-
vitas itu belum dapat digunakan untuk mengetahui motivasi yad-
ña-nya. Ketika anak perempuan orang tua itu menginjak dewasa
baru diketahui motivasinya. Orang kaya itu ingin meminang anak
perempuan orang tua di atas, maka kegiatan itu bukan yadña.
Tiga komponen itu merupakan struktur penting yang dapat
digunakan untuk mengetahui fungsi dan makna kegiatan. Sebuah
kerja atau karya seni pertunjukan berfungsi yadña apabila pela-
ku, bentuk, dan tujuannya adalah yadña, namun demikian pen-
ting ditegaskan bahwa sekurang-kurangnya dua hal harus dipe-
nuhi yaitu bentuk dan motivasi atau tujuannya adalah yadña, un-
tuk mengabdi kepada sesuatu yang lebih penting. Pelaku kegiatan
dapat dikatakan sebagai sebuah yadña apabila bentuk dan tunju-
annya adalah yadña.
Sebuah kegiatan yadña dapat dikenali maknanya dengan
membaca struktur umum kegiatan tersebut. Makna sebuah yadña
dapat ditentukan apabila data yang disajikan alamiah. Jika salah
satu komponen struktur itu abstrak maka harus dicari unsur-
unsur ilmiahnya. Komponen yang berpotensi untuk abstrak ada-
lah tujuan yadña. Struktur yadña ritual rejang dikaji terlebih
65
dahulu selanjutnya makna yang lebih dalam dikaji dengan teori
semiotika Marco de Marinis.
Marco de Marinis mengajukan teori tentang semiotika seni
pertunjukan. Pada proses penandaan, ia menganalisis peristiwa
pertunjukan sebagai suatu teks dengan pendekatan multi disiplin.
Analisis teks pertunjukan berbeda sekali dengan analisis teks
bahasa, karena sifat dan bentuknya yang multi lapis. Pertunjukan
merupakan satu entitas multi lapis. Semiotika pertunjukan dipa-
hami sebagai sebuah prinsip metodologi dan sebagai sebuah ben-
tuk dari konsep integrasi. Sebuah pertunjukan terjadi dari ga-
bungan berbagai aspek seperti pemain, busana, tempat pentas,
penonton, dan lain-lain, yang saling terkait menjadi satu.72
Analisis tekstual dibagi dua yaitu ko-tekstual dan konteks-
tual. Analisis ko-tekstual dikaitkan dengan hubungan internal teks
pertunjukan. Analisis kontekstual berurusan dengan aspek ekster-
nal teks pertunjukan, yang dapat dipecah lagi menjadi konteks
pertunjukan dan konteks budaya.73
Konteks pertunjukan ditunjukkan dengan adanya situasi
produksi dan resepsi dari teks pertunjukan. Pertunjukan berkon-
teks dengan elemen-elemen yang mendukung pertunjukan. Kon-
teks budaya merupakan keseluruhan teks budaya sinkronis yang
72Marco de Marinis, The Semiotics of Performance, Transleted by Aine
O‟Healy (Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press, 1993), 7-9.
73Marco de Marinis, 1993, 3-4.
66
menyangkut theatrical dan extra-theatrical. Theatrical adalah hal-
hal yang mengenai teks pertunjukan atau teks bagian yang berhu-
bungan dengan mime, koreografi, skenografi, dramaturgi, dan lain-
lain, sedangkan extra-theatrical di luar itu seperti kesusasteraan,
gambar, arsitektur, retorika, filsafat, atau berhubungan dengan
perencanaan kota.74
Teks pertunjukan dapat diklasifikasikan menjadi dua bagi-
an besar yaitu konvensi seni pertunjukan dan kode pertunjukan.
Konvensi seni pertunjukan adalah teknik, yang dapat dinyatakan
sebagai regulator pertunjukan yang berfungsi sebagai keseim-
bangan dalam koordinasi, seperti halnya arsitektur dalam bangun-
an atau desain panggung dalam pertunjukan. Itu menyangkut
semua kebiasaan atau tradisi yang berlaku sebagai norma, atur-
an-aturan, pandangan umum, konstruksi dan lain-lain. Konvensi
itu membantu teks pertunjukan mudah dibaca dan oleh karena
itu komunikasi seni pertunjukan akan terjadi dengan tepat. Kode
pertunjukan merupakan kode dari sebuah isi yang meliputi ideo-
logi, aksiologi, epistemologi, dan juga termasuk linguistik, per-
spektif, naratif dan lain-lain. Semua kode semiotik merupakan de-
finisi budaya dalam pengertian umum. Kode dimaknai secara kon-
tekstual, baik secara konteks pertunjukan maupun konteks buda-
ya. Kode pertunjukan dibagi menjadi tiga tipe yaitu kode general
74Marco de Marinis, 1993, 80-81.
67
(lapisan umum), kode particular (lapisan khusus), dan kode dis-
tinctive (lapisan khas).75
Mengacu pada definisi konvensi tipe umum, lapisan umum
merupakan kode-kode yang meliputi kehadiran panggung tetapi
bukan permainan dekor/panggungnya, aktivitas aktor tetapi bu-
kan karakter berpentas, waktu-ruang dari pernyataan teks pertun-
jukan tetapi bukan ruang-waktu dari ucapan teks pertunjukan,
dan sebagainya termasuk penonton. Kode ini merupakan repre-
sentasi pertunjukan yang menyangkut keseluruhan selain lapisan
khusus dan lapisan khas. Lapisan khusus adalah kode yang ber-
hubungan dengan penyajian, yaitu kode yang terdapat pada pema-
in, gerak, cerita, permainan dekor, dan lain-lain. Lapisan khas (ko-
de distinctive) adalah kode baru yang dikreasi untuk kepentingan
pertunjukan itu sendiri. Kode ini merupakan kode khas yang khu-
sus ditujukan untuk seni pertunjukan yang berfungsi hanya un-
tuk pertunjukan, oleh karena itu dalam tulisan ini kode distinctive
diabaikan. Untuk itu makna rejang dikaji dengan dua lapis yaitu
dari lapisan khusus dan lapisan umum.
Rejang pada hari Kuningan di Kecamatan Abang me-
rupakan sebuah tanda yang perlu dimaknai. Tanda itu dibagi ke
dalam dua lapisan yaitu lapisan khusus dan lapisan umum.
Lapisan khusus pertunjukan rejang dibedakan menjadi lapis yang
75Marco de Marinis, 1993, 104-116.
68
berhubungan dengan pemain disebut lapis pemain dan yang ber-
hubungan dengan gaya/jenis disebut lapis genre. Lapis pemain
adalah lapis yang meliputi pemain yaitu penari, koreografer, dan
pelaku-pelaku utama yang lain. Lapis genre adalah lapis yang me-
nyangkut koreografi rejang, meliputi lapis genre bentuk tari dan
lapis genre isi tari rejang. Lapis genre ini diarahkan semata-mata
untuk mengiterpretasi makna dari kode-kode yang ada, bukan di-
arahkan kepada pencarian identitas rejang.
Beberapa contoh yang penting dikaji mengenai lapis-lapis
di atas adalah jenis kelamin penari, gerak, desain lantai, busana,
kata “rejang” dan lain-lain. Penari perempuan merupakan lapis
pemain. Mengapa penari rejang itu perempuan? Perempuan seba-
gai penari rejang memiliki makna tersendiri.
Gerak tari rejang merupakan lapis genre yang penting dika-
ji. Makna gerak ditentukan dengan membedakan lapis ke dalam
dua bagian yaitu gerak maknawi dan gerak murni. Masing-masing
gerak memiliki potensi untuk diketahui maknanya.
Desain lantai melingkar yang dibentuk oleh barisan rejang
adalah desain religius yang merupakan lapis genre. Desain meling-
kar ini dilakukan dengan barisan rejang mengelilingi bangunan-
bangunan suci. Desain lantai melingkar itu memiliki makna ter-
sendiri yang penting dikaji.
69
Penampilan gerak dan busana rejang merupakan lapis gen-
re yang mengandung makna. Makna pokok rejang akan didukung
oleh kehadiran makna dari gerak dan busananya. Busana rejang
yang digunakan sangat berbeda dengan busana orang-orang ber-
sembahyang pada saat pertunjukannya. Busana rejang kelihatan
sangat tertata, terutama pada hiasan kepala. Tampaknya hiasan
kepala mendapat perlakuan lebih dibandingkan dengan perlakuan
terhadap hiasan atau busana yang lain.
Selain itu kata rejang yang merupakan istilah untuk nama
tari perlu diulas. Kata rejang yang sering diucapkan itu merupa-
kan lapis genre memiliki makna tersendiri yang perlu dikaji, demi-
kian pula bentuk-bentuk yang lain.
Lapis genre yang lain adalah isi tari rejang. Menganalisis isi
tari rejang dilakukan dengan mengkaji tipe / jenis tari. Tari dapat
dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu murni, studi, abstrak, liris,
komik, dramatik, dan dramatari. Tari murni adalah tipe tari yang
memandang stilisasi gerak sebagai pokok persoalan karya. Karak-
ter gerak tetap menjadi pertimbangan, tetapi susana atau kete-
gangan bukan dibentuk oleh konflik drama. Tegang dan kendur
suasana karena pengolahan ritme gerak itu sendiri. Tipe tari studi
adalah tipe tari yang terbatas pada jangkauan materi gerak atau
jenis gerak tertentu. Ia memiliki bentuk gerak yang kompleks, dan
bahkan cendrung kreatif. Tipe murni dan studi sama-sama memu-
70
satkan perhatian pada keindahan gerak, namun tari murni memi-
liki gerak yang lebih sederhana tetapi materinya tidak terbatas pa-
da jenis gerak tertentu. Mirip dengan tari murni, tipe tari abstrak
sama-sama memusatkan perhatian kepada pengolahan keindahan
gerak, tetapi tari murni lebih jelas bentuk dan temanya. Tari ab-
strak memiliki bentuk yang tidak mudah dimengerti apa temanya.
Walaupun gerak berkarakter itu mudah disimak, tetapi memahami
apa yang disampaikan membutuhkan analisis yang lebih dalam.
Stilisasi gerak menjadi pokok persoalan karya. Namun demikian,
tari abstrak tetap merupakan abstraksi dari sesuatu yang nyata.
Tipe tari murni dan abstrak yang memiliki kualitas gerak lembut
disebut tari liris. Sebuah tari yang mempersoalkan komedi disebut
tari komik. Makna tari komik lebih mudah disimak, karena gerak-
gerak yang diolah sangat komunikatif dengan penonton. Tari yang
lebih mengutamakan karakter, emosi dan kejadian dalam hubung-
annya dengan manusia disebut tari dramatik atau dramatari.
Makna lebih jelas tampak karena mengungkapkan karakter, kon-
flik drama, atau suasana dalam realita. Tari dramatik memusat-
kan perhatian pada sebuah kejadian atau suasana yang tidak
menggelar cerita, sedangkan dramatari mementingkan cerita dan
penokohan.76 Tari dengan tema penderitaan para Pandawa di
hutan dalam cerita Mahabarata “Pandawa Kalah Judi” adalah dra-
76Jacqueline Smith, 1985, 24-29.
71
matik, tetapi cerita perjalanan hukuman Pandawa di hutan men-
jadi dramatari. Klasifikasi jenis atau tipe tari tersebut di atas
digunakan untuk mengkaji isi tari rejang kuningan.
Lapisan umum pertunjukan rejang antara lain adalah mak-
na mengenai pura, aktivitas warga pemedek (pejabat desa, warga
desa murwa dan warga biasa/lain), aktivitas penari (di luar kegiat-
an menari), dan hari Kuningan. Pura memiliki wilayah jeroan dan
jabaan yang perlu dimaknai sebagai wilayah yang mengandung
tingkat kesucian yang berbeda. Pura memiliki fungsi yang ber-
beda-beda dengan makna simbol berbeda antara pura satu dengan
yang lainnya. Aktivitas warga desa murwa sebagai warga yang
wajib mengeluarkan rejang dan aktivitas pejabat desa memiliki
makna yang penting dikaji. Warga pemedek lain (orang-orang yang
bersembahyang) yang juga sebagai penonton penting dimaknai,
demikian pula aktivitas penari di luar kegiatannya menari. Hari
Kuningan sebagai jadwal pementasan rejang memiliki makna ter-
sendiri. Saniscara Kliwon Kuningan yang menjadi hari kegiatan ri-
tual kuningan adalah kode general pertunjukan rejang yang pen-
ting dijelaskan untuk mengungkap makna rejang.
1.7 Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang meng-
kaji rejang secara lebih mendalam. Jenis penelitian ini dipilih ka-
72
rena menggunakan analisis kualitatif dan data-data yang disajikan
adalah data-data kualitatif, berupa deskripsi dari kata-kata dan
dokumen. Ada lima jenis metode kualitatif yaitu: 1) kualitatif rasi-
onalistik, 2) fenomenologi interpretatif, 3) kualitatif kritis dengan
pandangan dunia tertentu, 4) kualitatif pragmatis metaetik, dan 5)
kualitatif postmodernisme.77 Penelitian ini ditekankan kepada me-
tode kualitatif rasionalistik dan fenomenologi interpretatif. Data-
data yang ada dikaji secara rasional dan juga dengan menghu-
bungkan bagian-bagian ke dalam suatu keseluruhan, dengan me-
nekankan hubungan-hubungan bermakna yang terdapat dalam
situasi dan kondisi ritual yang diteliti. Data-data yang digunakan
adalah data-data kualitatif yang bersifat deskriptif analitis.
Objek material dan objek formal penelitian telah ditentu-
kan. Objek materialnya adalah pertunjukan tari rejang kuningan di
Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. Penelitian ditujukan
kepada rejang yang memiliki eksistensi dan menjadi identitas ta-
rian sakral désa-désa adat di Kecamatan Abang Kabupaten Ka-
rangasem. Rejang hidup subur pada sebagian besar wilayah désa-
désa adat. Rejang tersebut hanya dipertunjukkan pada hari Ku-
ningan.
77H. Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake
Sarasin, 2002), 23-27.
73
Objek formal penelitian ini adalah perspektif atau paradig-
ma etnokoreologi. Sebagai sebuah paradigma, etnokoreologi memi-
liki asumsi-asumsi dasar, model, konsep-konsep, metode peneli-
tian, metode analisis, dan hasil analisis.78 Salah satu asumsinya
adalah manusia ingin berekspresi melalui seni (tari) yang memiliki
fungsi dan tujuan-tujuan tertentu. Asumsi yang lain adalah tari
tradisional cenderung bersifat kontekstual. Rejang sebagai karya
tari tradisional merupakan ekspresi budaya masyarakat yang me-
latarbelakanginya yang memiliki identitas etnis. Apa yang terkan-
dung dalam ekspresi merupakan makna, sedangkan bentuk eks-
presi adalah seni yang memiliki keindahan. Makna ada dalam ben-
tuk, maka tari sebagai bentuk seni menjadi sebuah model yang
digunakan sebagai objek kajian.
Berdasarkan asumsi dan model tersebut di atas maka kon-
sep-konsep etnokoreologi yang penting dalam penelitian ini adalah
“ekspresi”, “kontekstual”, “identitas etnis”, “bentuk seni”, “kein-
dahan”, “fungsi”, “emik-etik” dan lain-lain. Etnokoreologi memiliki
metode penelitian yang khas yang dapat digunakan untuk meng-
kaji rejang. Jenis-jenis kesenian memiliki ciri yang berbeda-beda
karena dihasilkan dari material yang berlainan. Ciri dan sifat
tertentu itu akan menuntut metode-metode tertentu pula dalam
78Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2007, 105.
74
penelitian dan analisisnya.79 Mengkaji rejang yang merupakan
bentuk seni dengan identitas etnis membutuhkan metode pene-
litian khusus. Seorang peneliti etnokoreologi hendaknya memiliki
kemampuan dalam bidang teknik tari sesuai dengan tari yang
diteliti, agar dapat memperoleh data yang akurat mengenai batas-
batas gerak yang dipertunjukkan.80 Tari merupakan seni temporal,
terbatas pada waktu sajian, oleh karena itu teknik perekaman tari
sangat penting dilakukan. Demikian pula analisis dokumen meru-
pakan bagian yang sangat penting dalam melakukan metode ana-
lisis etnokoreologi. Paradigma penelitian yang digunakan untuk
metode pengumpulan data adalah paradigma emik yaitu sudut
pandang dari masyarakat yang diteliti, sedangkan tahap penulisan
etnografi menggunakan perspektif emik-etik dan holistik. Tahap
analisis data atau perumusan teori menggunakan perspektif kom-
paratif.81
Penelitian ini menggunakan pendekatan multi-disiplin, me-
ngingat seni pertunjukan memiliki bentuk yang multi lapis.82 Et-
nokoreologi digunakan sebagai pendekatan pokok yang didukung
79Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2007, 101.
80Edi Sedyawati, ”Etno-Koreologi Nusantara: Perspektif, Paradigma, dan Metodologi” dalam R.M. Pramutomo, ed., Etnokoreologi Nusantara: Batasan Kaji-
an, Sistematika dan Aplikasi Keilmuannya (Surakarta: ISI Press, 2007), 74.
81Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2007, 104.
82R.M. Soedarsono, 2001, 16.
75
oleh beberapa teori dari disiplin lain seperti agama, semiotika, an-
tropologi, dan estetika.
Penelitian ini mengkaji eksistensi rejang, namun demikian
kajian yang menyangkut aspek waktu diabaikan. Penelitian ini
merupakan penelitian sinkronik. Penelitian dengan pendekatan
sinkronik tidak memperhatikan rentang waktu dan a-historis sifat-
nya, karena seni pertunjukan yang menjadi objek studinya dile-
takkan dalam ruang.83 Pementasan rejang dipahami sebagai sebu-
ah pertunjukan yang sama, yang dipentaskan rutin setiap hari Ku-
ningan. Salah satu bentuk rejang yang disajikan berulang-ulang
itu dijadikan sebagai objek kajian dengan mengabaikan kajian pe-
rubahan atau perkembangannya. Masing-masing rejang désa adat
di Kecamatan Abang disajikan manjadi satu identitas dan dipa-
hami sebagai sebuah pertunjukan yang ditempatkan di dalam
ruang.
1.7.1 Lokasi Penelitian
Kecamatan Abang terletak di ujung timur wilayah Kabupa-
ten Karangasem. Kecamatan Abang yang merupakan satu keca-
matan dari delapan kecamatan yang ada di Kabupaten Karang-
83Ninuk Kleden. ”Diakronik dalam Penelitian Seni Pertunjukan” dalam
Waridi dan Bambang Murtiyoso, ed. Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pendekatan Emik Nusantara (Surakarta: The Ford Foundation dan Program
Pendidikan Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta,
2000), 33-40.
76
asem memiliki luas wilayah 134,05 km²,84 dengan batas-batas wi-
layah sebelah utara Laut Bali dan Kecamatan Kubu, sebelah timur
Selat Lombok, sebelah selatan Kecamatan Karangasem, sebelah
barat Kecamatan Bebandem dan Gunung Agung.85
Wilayah Kecamatan Abang terbagi menjadi empat belas dé-
sa dinas, yaitu: Abang, Ababi, Tista, Culik, Datah, Tiyingtali, Bu-
nutan, Purwakerti, Kertamandala, Labasari, Nawakerti, Pidpid, Ke-
simpar, dan Tribuana. Wilayah desa administratif itu dibagi men-
jadi dua puluh wilayah budaya desa yang disebut desa pekraman
(désa adat). Désa-désa adat yang dimaksud adalah Tista, Tiying-
tali, Purwayu, Basang Alas, Kesimpar, Tanah Aji, Tuminggal, Ngis,
Tauka, Ababi, Sega, Gulinten, Culik, Datah, Kedampal, Gamong-
an, Linggawana, Bebayu, Tukad Besi, dan Paselatan.86 Rejang hi-
dup subur dan terpusat hanya pada sepuluh wilayah désa adat
dari duapuluh désa adat yang ada, yaitu di Tista, Tiyingtali, Pur-
wayu, Basang Alas, Kesimpar, Tanah Aji, Tuminggal, Ngis, Tauka,
dan Ababi, oleh karena itu penelitian ini dilaksanakan pada sepu-
luh lokasi tersebut.
Rejang tidak ditemukan di wilayah Désa Adat Sega, Tukad
Besi, Linggawana, Gulinten dan Gamongan yang berada pada per-
84I Made Sudiarsa, 2009, 1.
85Kabupaten Dati II Karangasem (Peta), Surabaya: PT. Karya Pembina
Sivajaya, tt.
86I Made Sudiarsa, 2009, 14-17, 24-25.
77
bukitan timur dekat Lempuyang. Demikian pula rejang tidak ada
di Datah dan Kedampal yang merupakan wilayah perbukitan barat
menuju puncak Gunung Agung.Wilayah Kecamatan Abang meli-
puti daerah perbukitan dan juga daerah pantai. Di wilayah daerah
pantai seperti pada wilayah Désa Adat Bebayu dan Paselatan tidak
ada tradisi rejang, sedangkan Désa Adat Culik memiliki tradisi
rejang yang tidak dipertunjukkan pada hari Kuningan, tetapi pada
acara ritual usaba dan odalan.
Lokasi penelitian dilaksanakan pada sepuluh désa adat
yang mementaskan rejang kuningan yaitu di Tista, Tiyingtali, Pur-
wayu, Basang Alas, Kesimpar, Tanah Aji, Tuminggal, Ngis, Tauka,
dan Ababi. Masing-masing désa adat itu umumnya memiliki satu
tradisi rejang, tetapi Tiyingtali, Ababi, dan Kesimpar memiliki lebih
dari satu tradisi rejang. Pada desa Tiyingtali tradisi rejang ada di
Kertawarah dan di Tiyingtali Kelod, rejang desa Ababi ada di Du-
sun Abian Jero, Sadimara, dan Bias sedangkan tradisi rejang Désa
Adat Kesimpar ada di desa Kesimpar, Abang dan Pidpid. Selan-
jutnya masing-masing rejang dipilih satu sebagai contoh untuk
mewakili désa adat. Rejang Désa Adat Tiyingtali yang digunakan
adalah rejang kuningan dari Tiyingtali sedangkan rejang Désa Adat
Ababi dipilih rejang kuningan dari Abian Jero. Khusus rejang Désa
Adat Kesimpar yang dipilih adalah rejang yang ditampilkan di pura
78
Puseh Bale Agung pada Hari Kuningan bukan yang ditampilkan di
pura-pura pemaksan atau banjar.
Sepuluh désa adat itu berada di daerah tengah kecamatan
yang saling berdekatan satu daerah dengan daerah yang lain. Wi-
layah Désa Adat Tista, dan Ngis dekat dengan wilayah Désa Adat
Kesimpar yang terletak di Desa Abang yang menjadi pusat kota
kecamatan. Wilayah Désa Adat Ababi, Tiyingtali, Tauka, dan Ba-
sang Alas saling berdekatan dan juga tidak jauh dari Kesimpar.
Wilayah Dusun adat Tanah Aji, Tuminggal, dan Purwayu tampak-
nya agak terpencil, tetapi tradisi rejang-nya tetap hidup subur.
Désa-désa adat tersebut memelihara rejang dengan mementaskan
secara rutin pada hari Kuningan di sebuah pura desa, sehingga
keberadaan rejang di Kecamatan Abang hidup subur.
Lokasi penelitian ini terpusat pada wilayah-wilayah pura di
mana rejang ditampilkan. Lokasi penelitian dapat dijangkau de-
ngan transportasi sepeda motor. Arah lokasi penelitian melewati
jalan propinsi dari arah Kabupaten Karangasem menuju Singa-
raja. Pertama-pertama perjalanan dimulai dari pusat kota Karang-
asem menuju tempat permandian wisata Tirtagangga. Dekat dari
lokasi wisata Tirtagangga telah dapat ditemukan Desa Ababi. Se-
lanjutnya kurang lebih tiga sampai empat kilometer menelusuri
jalan desa akan ditemukan Dusun Bias, Abian Jero, dan Desa Ti-
yingtali. Menelusuri jalan propinsi kurang lebih dua sampai lima
79
kilometer akan ditemukan Desa Kesimpar, kemudian Ngis, dan
Tista, begitu selanjutnya tempat-tempat yang lain mudah ditemu-
kan.
1.7.2 Metode Pengumpulan Data
Sumber data utama dalam penelitian ini diperoleh dari
sumber data penelitian lapangan dan dari sumber data tertulis
atau dokumen. Sumber data lapangan diperoleh dari narasumber
utama dan dari aktivitas pertunjukan rejang di lapangan. Sumber
tertulis diperoleh dari sumber pustaka berupa buku, foto, dan re-
kaman tari yang tertuang dalam video.
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam peneliti-
an ini adalah metode pengamatan (observasi), metode wawancara,
dan metode penggunaan bahan dokumen.87 Penggunaan metode
tersebut dilandasi dengan pemahaman emik, yaitu sudut pandang
dari masyarakat atau orang yang diteliti. Hal ini dilakukan agar
data diperoleh apa adanya, tidak terdapat pernyataan yang tidak
sesuai bahkan berlawanan dengan pihak yang diteliti (etnosen-
tris).88
87Periksa S. Budhisantoso, ”Metode-metode Penelitian Ilmu Kemasyara-
katan dan Kemanusiaan,” dalam Pemikiran Biografi dan Kesejarahan: Suatu Kumpulan Prasaran pada Berbagai Lokakarya Jilid I (Jakarta: Departemen Pen-
didikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Proyek Inven-
tarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1983), 296.
88Heddy Shri Ahimsa-Putra, 2007, 105.
80
Peneliti melakukan observasi dengan ikut melibatkan diri
dalam kegiatan upacara. Peneliti ikut berpartisipasi sebagai peme-
dek umum, memakai pakaian sembahyang, mengikuti tata cara
warga bersembahyang. Keberadaan peneliti sebagai warga yang
berasal dari Karangasem juga lebih menguntungkan dalam menja-
ring data.
Ada beberapa kendala yang perlu diperhatikan dalam kegi-
atan observasi, yaitu mengenai jadwal kegiatan pertunjukan yang
serentak tampil pada masing-masing desa. Jadwal pertunjukan
hanya ada pada saat upacara hari suci Kuningan, yang datang
setiap satu siklus pawukon89. Kegiatan observasi tidak dapat dila-
kukan sewaktu-waktu. Jarak antara tempat pertunjukan satu de-
ngan yang lainnya berjauhan. Jadwal pertunjukan terjadi bersa-
maan. Untuk mengatasi hal itu peneliti menggunakan tenaga lain
sebagai instrumen. Selain peneliti, digunakan satu orang lagi se-
bagai penjaring data observasi yang dilakukan ketika jadwal per-
tujukan terjadi bersamaan.
Kelengkapan data diperoleh melalui observasi yang dituju-
kan pada keadaan tempat kegiatan, pelaku kegiatan, dan tindakan
atau perbuatan pelaku kegiatan.90 Menjaring data tindakan kegiat-
89Satu siklus pawukon sama dengan 210 hari. Jumlah wuku ada 30,
satu wuku sama dengan tujuh hari.
90James P. Spradley, Participant Observation (New York: Holt, Renehart
and Winston, 1980),39-46.
81
an yang berupa pertunjukan rejang membutuhkan pengamatan
yang sangat teliti. Gerak-gerak dan busana tari yang disajikan ti-
dak cukup diamati secara detail di lapangan, mengingat banyak
hal yang harus diamati ketika kegiatan berlangsung. Pertunjukan
rejang merupakan pertunjukan sesaat, yang ada pada saat diper-
tunjukkan saja. Setelah pertunjukan selesai, semua kegiatan le-
nyap, seakan-akan tidak pernah terjadi pertunjukan sebelumnya.
Untuk mengamati aspek koreografi seperti gerak, busana dan lain-
lain dengan cermat membutuhkan alat perekam berupa handycam
dan kamera foto, oleh karena itu pendokumentasian data observa-
si dilakukan dengan tertata. Gerak yang direkam selalu utuh, se-
hingga tidak ada satu pun gerak yang tidak terekam. Busana tari
direkam baik dari perbagian bentuk maupun sampai pada bentuk
yang utuh.
Kegiatan observasi dijadwalkan mulai September 2009-
Agustus 2012. Jadwal observasi dilakukan setiap satu siklus pa-
wukon, mengikuti jadwal pertunjukan rejang yang ada setiap hari
Kuningan.
Selain observasi data dikumpulkan melalui wawancara.
Wawancara dilaksanakan dengan mengacu pada tiga hal yaitu:
seleksi informan yang berkompeten dalam bidangnya; pendekatan
terhadap informan; dan mewujudkan suasana kondusif dalam
82
wawancara.91 Wawancara yang dilakukan adalah wawancara tidak
terstruktur yang hanya dipandu oleh pedoman wawancara. Pedo-
man wawancara ini berupa pokok-pokok pertanyaan yang menjadi
fokus wawancara. Selanjutnya pokok-pokok pertanyaan ini dikem-
bangkan ketika wawancara berlangsung. Wawancara tidak ter-
struktur dilaksanakan agar pembicaraan lebih bebas dan leluasa
tanpa terikat pada susunan pertanyaan yang tertulis.92
Wawancara mendalam dilakukan terhadap informan kunci
(keyinforman). Sebagai informan kunci dalam penelitian ini adalah
para penari rejang senior atau periasnya, kelihan gong, kelihan dé-
sa adat, pemangku, warga desa murwa, danilmuwan/tokoh-tokoh
masyarakat yang memahami upacara dan rejang. Kegiatan wawan-
cara ini dilakukan juga dengan merekam semua pembicaraan
yang terjadi. Pendokumentasian wawancara ini dilakukan agar da-
pat menganalisis data secara berulang-ulang.
Selain observasi dan wawancara, data diperoleh pula dari
metode penggunaan dokumen. Metode ini dilakukan untuk mene-
liti data yang bersumber dari data-data tertulis atau terekam baik
dalam media cetak ataupun elektronik yang merupakan data do-
kumen penting. Data dokumentasi ini adalah data dokumen yang
91Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gra-
media, 1977), 163.
92Sanafiah Faisal, Penelitian Kualitatif: Dasar-dasar dan Aplikasi (Ma-
lang: Asah Asih Asuh, 1990), 62.
83
sudah ada yang tidak dimiliki oleh peneliti. Semua data doku-
mentasi ini adalah data-data pendukung yang menyangkut rejang
di luar rejang pada hari Kuningan di Kecamatan Abang. Doku-
mentasi ini misalnya rekaman rejang dari Tenganan, foto rejang
Bebandem, foto rejang dari Asak, rekaman rejang Banjar Bias, da-
ta tulis rejang-rejang di Bali dan nama-nama rejang kuno, dan la-
in-lain.
1.7.3 Langkah-Langkah dan Analisis Data Penelitian
Langkah awal proses penelitian adalah menentukan objek
material dan objek formal penelitian. Wilayah kajian etnokoreologi
adalah tari-tarian etnis. Mengacu pada hal itu dan mempertim-
bangkan kompetensi peneliti, maka tari Bali ditentukan sebagai
objek material penelitian. Jenis-jenis tari Bali cukup banyak dan
sebagian besar sudah diteliti, maka dilakukan studi pustaka un-
tuk memilih satu di antara jenis tari Bali sebagai objek material
yang orisinal. Studi pustaka dilakukan untuk mengkaji hasil-hasil
penelitian dan buku-buku yang terkait dengan objek penelitian
agar tidak terjadi penjiplakan ataupun pengulangan. Selain itu
dapat memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti,
menegaskan landasan teori dan konsep-konsep yang digunakan.93
93Koentjaraningrat, 1977, 29-36.
84
Dengan melakukan studi pustaka ditentukan rejang di Kabupaten
Karangasem sebagai objek penelitian. Selanjutnya dilakukan wa-
wancara dan observasi awal terhadap rejang-rejang yang ada di
wilayah kabupaten tersebut. Ternyata, di Kabupaten Karangasem
terdapat bermacam-macam jenis rejang. Dengan berbagai pertim-
bangan, rejang kuningan di Kecamatan Abang ditentukan sebagai
objek material penelitian. Selanjutnya menentukan topik peneliti-
an yang dijabarkan menjadi rumusan masalah. Sebelum dan atau
setelah menentukan rumusan masalah dilakukan kajian menda-
lam terhadap landasan teori yang digunakan untuk membuat
asumsi terhadap masalah-masalah yang diajukan.
Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data melalui ob-
servasi, wawancara, dan studi dokumen. Ketiga jenis metode pe-
ngumpulan data itu digunakan untuk saling melengkapi. Data dan
fakta yang telah terkumpul kemudian dianalisis. Analisis peneliti-
an ini dilakukan dalam suatu proses, yang berarti data hasil ob-
servasi, wawancara dan dokumentasi dianalisis secara terus me-
nerus sejak pengumpulan data berlangsung. Selanjutnya, dari da-
ta dan informasi empiris tersebut dibuat kategorisasi berdasarkan
konsep-konsep dan teori untuk melihat, mengklasifikasikan, dan
menghubungkan antara satu data atau fakta dengan data atau
fakta lainnya.
85
Diagram 1.2 Langkah-langkah pengklasifikasian menuju penulis-
an laporan penelitian. (Diagram dibuat oleh I Nengah Mariasa, 2012)
Rejang di Kecamatan Sidemen
Rejang di Kecamatan
Kubu
Rejang di Keca-matan
Rendang
Rejang di Keca-matan Selat
Rejang di Keca-matan
Manggis
Rejang di Kecamatan Karangasem
Rejang di Keca-matan Abang
Rejang di Kecamatan Bebandem
Analisis Data Awal dan Menentukan Fokus Penelitian.
Rejang Tuming-
gal
Rejang Tiyingtali
Rejang Ngis
Rejang
Purwayu
RejangKesim-
par
RejangTanah
Aji
RejangBasang
Alas
Bentuk Pertunjukan Rejang Kuningan
Analisis Data Penelitian
RejangTauka
Rejang Ababi
Rejang Tista
Pengumpulan Data Rejang Kuningan di Kecamatan
Abang Kabupaten
Karangasem, Bali
penelitian
Penulisan Laporan Penelitian
Makna Pertunjukan Rejang Kuningan
Fungsi Tari Rejang Kuningan
Menentukan Objek Material
Penelitian
Pengumpulan Data Awal Penelitian
86
Menganalisis koreografi yang meliputi bentuk gerak, busa-
na, desain lantai, musik, dan relasi antar bentuk itu membutuh-
kan kegiatan pengamatan dan analisis yang berulan-ulang, oleh
karena itu kegiatan analisis dokumen menjadi sangat penting.
Analisis dokumen memberi kesempatan pengamatan yang leluasa
karena data telah terekam dalam dokumen.
Data-data diklasifikasikan dan kemudian dibahas sesuai
dengan pertanyaan-pertanyan dalam rumusan masalah yaitu: ta-
hap pertama, mengklasifikasikan dan menemukan ciri-ciri bentuk
pertunjukan rejang; tahap kedua, menemukan fungsi rejang; ta-
hap ketiga, mencari makna rejang. Tahap-tahap tersebut tidak
berdiri sendiri-sendiri secara terpisah, tetapi saling berhubungan
karena beberapa teori yang digunakan saling bersinergi.
Untuk memudahkan kerja analisis dalam sebuah karya se-
ni dibuat kerangka kerja yang terjadi akibat akumulasi dari teori
dan konsep-konsep yang digunakan.94 Teori struktur yadña dijadi-
kan landasan berpikir untuk membuat kerangka kerja. Sebuah
bentuk kegiatan yadña dapat dikenali dengan membahas struktur
yadña. Kegiatan yadña memiliki tiga bagian yang menjadi kerang-
ka struktur yadña, yaitu pelaku yadña, bentuk yadña dan tujuan
yadña. Pelaku yadña adalah Masyarakat Abang. Bentuk yadña
94M.H. Abrams, “Orientation of Critical Theories” dalam Vassilis Lam-
bropoulos and David Neal Miller, Ed.,Twentieth-Century Literary Theory (Albany:
State University of New York Press, 1987), 6.
87
terdiri dari dua bagian yaitu bentuk aktivitas yadña dan bentuk
hasil aktivitas yadña. Kerangka tersebut disajikan sebagai berikut.
Diagram 1.3 Kerangka analisis struktur yadña. (Diagram dibuat oleh I Nengah Mariasa, 2012)
Berdasarkan kerangka tersebut di atas dibuat tahap-tahap
analisis sebagai berikut: 1) kerangka analisis bentuk pertunjukan
rejang kuningan; 2) kerangka analisis fungsi tari rejang kuningan;
3) kerangka analisis makna pertunjukan rejang kuningan.
Tahap pertama adalah analisis bentuk pertunjukan rejang
kuningan. Sebagai dasar langkah tahap analisis sebelum menga-
nalisis fungsi dan makna rejang, tahap pertama disajikan analisis
bentuk pertunjukan rejang dengan diagram sebagai berikut.
P e l a k u Y a d ñ a
(Warga Desa Murwa)
M a s y a r a k a t A b a n g
Tujuan Yadña
Bentuk Yadña
Bentuk Aktivitas Yadña
Bentuk Hasil Aktivitas Yadña
88
Diagram 1.4 Hubungan dan bagian-bagian bentuk pertunjukan
rejang kuningan yang menjadi tahap penentuan ciri-ciri bentuk pertunjukan rejang kuningan. (Diagram dibuat oleh I Nengah Mari-
asa, 2012)
Pada langkah analisis tahap pertama ini, lebih dahulu ben-
tuk pertunjukan rejang diuraikan dan diklasifikasikan. Sepuluh
Tema
KOREOGRAFI REJANG KUNINGAN
Bentuk Tari
BENTUK PERTUNJUKAN REJANG
KUNINGAN
PELENGKAP PERTUNJUKAN REJANG KUNINGAN
Isi Tari Aktivitas Pemedek sebagai Penonton
Busana, Iringan, Tempat, Waktu
Gerak Maknawi
Gerak Murni
Teknik
Gerak
Penampilan
Gerak Berpindah Tempat
Gerak Penguat Ekspresi Verbal
Desain Atas
Bentuk-Struktur Gerak
Tipe Tari Rejang
Ciri-ciri Bentuk Pertunjukan Rejang Kuningan
Desain Lantai
Dinamika
89
bentuk pertunjukan rejang itu pada dasarnya memiliki struktur
bentuk yang hampir sama, oleh karena itu penampilan data re-
jang-rejang itu dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan
ciri bentuk geraknya. Kelompok pertama adalah rejang kuningan
dari Tiyingtali dan rejang-rejang sejenis; kelompok kedua rejang
kuningan dari Purwayu dan Tanah Aji; dan kelompok ketiga rejang
kuningan dari Tista dan Kesimpar. Dalam pembahasan masing-
masing kelompok itu disajikan satu contoh data koreografi rejang
secara detail, yaitu kelompok pertama diwakili oleh rejang kuning-
an dari Tiyingtali, kedua oleh rejang kuningan dari Purwayu, dan
ketiga rejang kuningan dari Tista.
Menganalisis bentuk pertunjukan rejang adalah menganali-
sis koreografi dan pelengkap pertunjukan rejang. Pada pengkajian
bagian-bagian koreografi dan bentuk pelengkap pertunjukan akan
ditemukan bentuk-bentuk simbolis dan bentuk artistik. Bentuk
simbolis dan bentuk artistik yang memiliki fungsi berdasar nilai
yang ada adalah ciri-ciri bentuk yang akan dicari. Ciri-ciri bentuk
itu akan ditemukan melalui analisis tema, bentuk gerak, teknik
gerak, penampilan busana, iringan, tempat, waktu pentas, tipe tari
dan struktur yang menghubungkannya.
Tahap kedua adalah analisis fungsi rejang kuningan. Ke-
rangka analisis fungsi rejang kuningan disajikan dalam diagram
sebagai berikut.
90
Diagram 1.5 Rejang berfungsi bagi tiga aspek kebudayaan pada sistem pranata ritual kuningan di Kecamatan Abang. (Diagram
dibuat oleh I Nengah Mariasa, 2012)
Pada tahap ini fungsi rejang diarahkan kepada tiga aspek
budaya dari masyarakat Abang. Masyarakat itu dipahami sebagai
pelaku budaya, oleh karena itu sasaran fungsi ditujukan pada tiga
wujud budaya. Dengan menglasifikasikan sasaran fungsi kemu-
dian menganalisis fungsi rejang bagi tiga wujud budaya, maka
fungsi-fungsi rejang akan dapat ditemukan. Kehadiran rejang da-
pat berfungsi pada wilayah ide, aktivitas ritual, dan pada wilayah
bentuk. Rejang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam
wilayah masing-masing tiga aspek tersebut. Ia memiliki keduduk-
Pada Wilayah
I D E
Pada Wilayah
AKTIVITAS
FUNGSI TARI REJANG
KUNINGAN
Pada Wilayah
BENTUK
91
an penting baik dalam wilayah ide, aktivitas, maupun dalam wila-
yah bentuk.
Tahap ketiga adalah analisis makna pertunjukan rejang
kuningan. Pada langkah analisis tahap ketiga ini makna pertun-
jukan rejang dicari dengan menganalisis bentuk pertunjukan re-
jang. Bentuk pertunjukan rejang dapat dipahami sebagai sebuah
teks pertunjukan yang dapat dibaca seperti halnya teks bahasa.
Menganalisis bentuk pertunjukan dilakukan dengan menganalisis
struktur umum bentuk pertunjukan rejang. Selanjutnya dari
struktur umum itu dibuat kategori-kategori ke dalam lapisan khu-
sus dan lapisan umum pertunjukan. Lapis-lapis yang telah diten-
tukan dikaji secara mendalam, diinterpretasi eksplisit dan selan-
jutnya ditentukan maknanya.
Makna-makna yang ada direlasikan dengan makna-makna
yang lain dengan analisis ko-tekstual dan kontekstual, selanjutnya
disatukan ke dalam struktur umum makna bentuk pertunjukan
rejang. Dengan menyatukan makna-makna yang ditemukan ke da-
lam struktur tersebut akan diperoleh makna bentuk pertunjukan
rejang. Tahap ketiga itu dapat disajikan dengan diagram sebagai
berikut.
92
Diagram 1.6 Kerangka analisis makna bentuk pertunjukan re-
jang kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten Karangasem. (Dia-
gram dibuat oleh I Nengah Mariasa, 2012)
1.8 Sistematika Penulisan
Hasil penelitian ini disusun menjadi sebuah disertasi. Pe-
nulisannya disusun sebagai berikut. Bagian awal berisi ”Prakata”;
Lapisan Khusus Koreografi Rejang
Kuningan
BENTUK PERTUNJUKAN REJANG KUNINGAN
Lapisan Umum Pelaku Ritual
Rejang
Makna Pura
Makna
Kuningan
Makna Aktivitas
warga Lapis
Pemain Lapis
Genre
Makna Pertunjukan Rejang
Kuningan
Makna
Pemain
Makna Bentuk
& Isi Tari
Analisis Ko-Tekstual
Makna Koreografi Rejang
Kuningan
Analisis Kontekstual
Lapisan Umum
Acara Ritual Rejang
93
”Daftar Isi”; ”Daftar Tanda Baca”; ”Daftar Gambar”; ”Daftar Dia-
gram”; ”Daftar Tabel”; ”Daftar Lampiran”; ”Intisari”; dan ”Abstract.”
Bagian isi berisi ”Bab I Pengantar”; ”Bab II Bentuk Pertun-
jukan Rejang Kuningan”; ”Bab III Fungsi Tari Rejang Kuningan”;
”Bab IV Makna Pertunjukan Rejang Kuningan”; dan ”Bab V Ke-
simpulan”.
”Bab I Pengantar” memuat latar belakang; rumusan masa-
lah; tujuan dan manfaat penelitian; tinjauan pustaka; definisi kon-
sep; landasan teori; metode penelitian; dan sistematika penulisan.
Semua sub bab di atas telah jelas, namun ada hal yang perlu
dijelaskan mengenai definisi konsep dan metodologi penelitian. Pa-
da tulisan terdahulu setelah penyajian rumusan masalah, tujuan
dan manfaat, disajikan definisi konsep yang membahas definisi-
definisi yang berkaitan dengan judul dan rumusan masalah yang
digunakan. Hal itu dilakukan agar tidak terjadi perbedaan penaf-
siran terhadap makna sebuah istilah. Mengenai metodologi peneli-
tian digunakan beberapa sub bab agar dapat memudahkan untuk
menyimak bagian-bagian isi.
”Bab II Bentuk Pertunjukan Rejang Kuningan” berisi penje-
lasan umum bentuk pertunjukan rejang kuningan meliputi tempat
dan waktu pementasan, acara kegiatan, pelaku-pelaku kegiatan,
gerak, busana dan gamelan tari. Penjelasan tersebut diklasifikasi-
kan menjadi tiga penampilan yaitu pertama pertunjukan rejang
94
kuningan dari Tiyingtali dan rejang-rejang sejenis; kedua rejang
kuningan dari Purwayu dan Tanah Aji; ketiga rejang kuningan dari
Tista dan Kesimpar. Bab ini memuat penjelasan dan penampilan
data yang dilengkapi dengan menghadirkan foto-foto pertunjukan
rejang. Kajian bentuk dan teknik gerak tiga contoh rejang yaitu
rejang kuningan dari Tiyingtali, Purwayu, dan Tista akan diungkap
detail dengan menghadirkan tabel gerak-pola lantai-gambar gerak,
Notasi Laban, dan Notasi Kepatihan. Selanjutnya elemen-elemen
koreografi dan pelengkap pertunjukan dibahas berurutan menuju
penemuan ciri-ciri bentuk pertunjukan rejang kuningan.
”Bab III Fungsi Tari Rejang Kuningan” berisi data dan pem-
bahasan mengenai fungsi rejang bagi wujud kebudayaan pada
sistem pranata ritual kuningan di Kecamatan Abang Kabupaten
Karangasem. Bab ini dibagi menjadi empat sub bab. Sub bab
pertama adalah kedudukan warga desa murwa pada pranata ritual
kuningan di Kecamatan Abang. Sub bab kedua adalah fungsi
rejang sebagai persembahan suci. Sub bab ketiga adalah fungsi
rejang sebagai sebuah bentuk penampilan dan sub bab keempat
adalah fungsi rejang sebagai media komunikasi.
”Bab IV Makna Pertunjukan Rejang Kuningan” dibagi men-
jadi dua sub bab yaitu, lapisan khusus pertunjukan dan lapisan
umum pertunjukan rejang. Dalam lapisan khusus pertunjukan
rejang dibahas tentang lapis pemain dan lapis genre. Lapis pemain
95
yang dibahas adalah lapis yang berhubungan dengan penari re-
jang, misalnya membahas makna penari perempuan, membahas
makna penari tidak cuntaka dan lain-lain. Lapis genre adalah selu-
ruh lapis yang ada pada elemen-elemen koreografi rejang, antara
lain adalah lapis gerak, desain lantai, busana, dan lain-lain. Dalam
lapisan umum dibahas masalah makna di luar masalah penyajian
yang meliputi makna mengenai pura sebagai tempat pertunjukan
rejang, wewaran, wuku dan aktivitas warga sehubungan dengan
pertunjukan rejang.
Akhir dari bagian isi adalah kesimpulan. ”Bab V Kesimpul-
an” berisi tentang jawaban-jawaban atas masalah yang telah diru-
muskan. Bagian akhir terdiri dari “Kepustakaan”; “Daftar Nara-
sumber”; ”Glosarium”; dan ”Daftar Lampiran”.