bab i pendahuluan yakni negara-negara asia...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Fenomena menarik di benua Afrika memasuki abad ke-21 diwarnai
dengan kehadiran the emerging actors, yakni negara-negara Asia Timur yang
semakin intens dan terlihat giat beraspirasi dalam rivalitas. China, Jepang, India,
dan Korea Selatan, merupakan negara-negara yang dikenal memiliki pengaruh
besar di Asia, kini semakin proaktif mendekati dan menjadi mitra utama
berpengaruh di Afrika. Hubungan perdagangan dinamis, investasi, dan inisiatif
baru untuk bantuan pembangunan menjadi instrumen strategis untuk memperkuat
kehadiran negara-negara tersebut di Afrika.
Di bawah kepemimpinan Hu Jintao, China menunjukkan pendekatan
terhadap Zimbabwe dengan mengambil langkah-langkah asertif untuk mendorong
hubungan ke level yang lebih tinggi. China proaktif menjadi mitra dagang,
investor, dan sebagai donor utama pembangunan di Zimbabwe. Diaspora China
semakin terekspos publik internasional dengan terealisasinya sejumlah
pembangunan infrastruktur, transportasi, pembangkit listrik, telekomunikasi,
perumahan dan mega proyek lainnya di Zimbabwe. Dari pendekatan kontemporer
China terhadap Zimbabwe ini, turut mengemuka adanya perkembangan
berkesinambungan kedua entitas melalui penguatan kerjasama dalam framework
Strategic Partnership dengan menginisiasi hubungan “win-win relationship”.
Zimbabwe sendiri merupakan negara yang mendapatkan sanksi negara-
negara Barat, karena pemerintahan Zimbabwe African National Union – Patriotic
Front (ZANU-PF) pimpinan Presiden Robert Mugabe dinilai telah melakukan
pelanggaran demokrasi dan hak asasi manusia. Inggris dan AS bahkan memimpin
dalam mendorong masyarakat internasional untuk mengisolasi Zimbabwe dengan
menjatuhkan sanksi. Pada tanggal 18 Februari 2002, Uni Eropa menjatuhkan
2
sanksi terhadap Zimbabwe dan kembali memberlakukan sanksi pada tahun 2013.
Rekomendasi diberlakukannya penundaan terhadap keikutsertaan Zimbabwe ke
dalam organisasi-organisasi internasional besar, seperti PBB, IMF, Bank Dunia
serta Persemakmuran turut mengemuka. Disahkannya Zimbabwe Democracy and
Economic Recovery Act (ZIDERA) oleh Kongres AS yang ditujukan untuk
mendorong reformasi ekonomi dan politik di Zimbabwe diindikasikan sebagai
sinyalemen intervensi AS menekan pemerintah Zimbabwe. Namun kontras
dengan negara Barat, China justru muncul sebagai aliansi internasional terdekat
Zimbabwe. Setelah selama periode Structural Adjustment Programs (SAP’s)
antara tahun 1991 dan 1996, peran China di Zimbabwe sangat terbatas. Kini di
bawah kepemimpinan Hu Jintao, China bahkan telah menfasilitasi sejumlah
skema unconditional aid sebagai bagian dari framework Strategic Partnership
menggantikan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Tentu saja
pendekatan China terhadap Zimbabwe sebagai “mitra pilihan” turut memunculkan
pandangan berbeda khususnya dari negara Barat.
Beberapa analisis mengasumsikan bahwa pendekatan China terhadap
Zimbabwe adalah murni hubungan ekonomi, didorong oleh insentif material,
terutama oleh kebutuhan untuk bahan baku. Konsekuensi pertumbuhan pesat
ekonomi China serta merta mendorong permintaan untuk bahan baku kritis, yang
banyak bersumber di Zimbabwe. Disamping itu China tengah bersaing untuk
potensi pasar yang besar di Zimbabwe. Relevansi asumsi-asumsi pada dimensi
material tersebut tidak dapat dikesampingkan, namun tidak dapat diabaikan juga
kekuatan dimensi ideasional turut mendorong perilaku negara. Dalam konteks ini,
pengaruh China di Zimbabwe telah menjadi fokus perhatian terutama mengenai
peran great power dalam menciptakan dan membuat upaya-upaya terobosan untuk
pembangunan. Berdasarkan latar belakang tersebut, posisi dan peran China di
Zimbabwe menjadi penting dan menarik yang layak untuk dibahas lebih lanjut.
3
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka penulis merumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1). Mengapa China mendekati Zimbabwe
dan (2). Bagaimana konstruksi politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe?
C. Tinjauan Pustaka
Studi ini akan merujuk pada beberapa sumber referensi, yang bertujuan
untuk menguatkan hasil penelitian. Sumber referensi pertama adalah tulisan Ian
Taylor (2006) berjudul “Relations between China and Zimbabwe”, dalam buku
China and Africa: Compromise and Engagement. Penelitian Taylor menyoroti
keterlibatan China di kawasan spesifik Afrika (yaitu negara-negara di bagian
selatan Afrika). Dalam tulisannya tersebut, Taylor mengelaborasi sejauh mana
China telah berhasil menjembatani kesenjangan antara ambisinya mengembalikan
“tempatnya” dalam sistem internasional, dengan kemampuan negaranya yang
relatif terbatas untuk memproyeksikan kekuatannya, dan betapa pentingnya
retorika China mengenai anti-hegemonisme untuk mengamankan dan mendorong
posisi China di benua Afrika dan negara-negara berkembang. Demikian halnya
dalam konteks studi kasus hubungan China dan Zimbabwe, Taylor menunjukkan
bahwa China mempergunakan retorika anti-hegemoni di negara tersebut. Dengan
retorika anti-hegemoni, hubungan perdagangan dinamis, peningkatan hubungan
politik, dan identifikasi diri sebagai pemimpin negara-negara berkembang,
menunjukkan upaya China untuk meningkatkan status dan posisi negaranya secara
internasional (global) serta memaksimalkan pilihan dalam merespon dinamika
perubahan dalam sistem internasional.
Framing teoritik Taylor ini sangat berguna dalam mengenali pemahaman
persepsi-diri China dan interaksinya dengan negara-negara lain di dunia. Taylor
berargumen bahwa, meskipun sejarah, ideologi, kepemimpinan, dan bahkan
faktor-faktor geografis merupakan hal-hal yang mendorong kebijakan luar negeri
China di benua Afrika, namun yang paling penting dari faktor-faktor tersebut
adalah hubungan (interaksi) China dengan negara-negara lain yang pada akhirnya
4
memiliki pengaruh signifikan dalam mendikte arah hubungan dan interaksi China
dengan negara-negara Afrika.
Tesis berjudul China in Zimbabwe: Exploring the Political and Economic
Impacts of Chinese Engagement in the Zimbabwean Crises dari Trust Mvutungayi
(2010). Penelitian Mvutungayi mengelaborasi peningkatan keterlibatan China di
Zimbabwe pada lanskap ekonomi dan politik Zimbabwe dan menilai sejauh mana
peluang dan tantangan kerjasama erat keduanya bagi Zimbabwe. Interaksi China
dan Zimbabwe diteliti, meliputi investasi China di berbagai sektor ekonomi
Zimbabwe. Penelitian ini mendeskripsikan latar belakang “krisis” Zimbabwe,
menguraikan unsur-unsur dan penyebab yang menjelaskan situasi. Penelitian
tersebut menunjukkan bahwa sejak akhir tahun 1990-an, Zimbabwe menghadapi
permasalahan ekonomi dan politik sebagai resultansi dari kombinasi faktor-faktor
yang berbeda. Antara lain, pecahnya kontrak sosial, kebijakan pemerintah yang
buruk, land reform, dan peningkatan kekerasan kolektif (memberikan kontribusi
terhadap krisis Zimbabwe). Perpaduan faktor-faktor tersebut lanskap ekonomi dan
politik Zimbabwe semakin terpuruk. Memburuknya situasi Zimbabwe memicu
maraknya kritik, terutama dari organisasi internasional, negara Barat, dan AS. AS
dan Inggris bahkan memimpin untuk mengisolasi dan menjatuhkan sanksi kepada
Zimbabwe, mulai dari penarikan fasilitas kredit, bantuan, dan investasi. Sikap
yang ditunjukkan negara Barat bertolak belakang dengan pemerintah China yang
asertif menolak untuk menekan Zimbabwe secara politik maupun menuntut untuk
melakukan reformasi politik. Di tengah-tengah sorotan ekstensif tersebut, China
justru semakin memperkuat hubungan dengan Zimbabwe.
Referensi berikutnya merupakan artikel dari Joshua Eisenman (2005)
dengan judul “Zimbabwe: China’s African Ally”. Penilaian Eisenman mengenai
kebijakan luar negeri China terhadap Afrika kontras dengan pengamat-pengamat
internasional yang memiliki kecenderungan berfokus pada kalkulasi kepentingan
China terhadap sumber daya energi dan mineral untuk memenuhi pertumbuhan
ekonomi. Perkembangan hubungan China dan Zimbabwe di tengah-tengah isolasi
negara-negara Barat dan berbagai pernyataan ekstensif para pengamat politik
5
internasional terhadap Zimbabwe. dipandang sebagai kesinambungan karena
kedua entitas memiliki historical linkages (kedekatan hubungan ZANU-PF dan
PKC yang telah terjalin sejak lama). Sehingga dapat dipahamai bagaimana
Zimbabwe dalam despotik (penguasa dengan kekuasaan mutlak) rezim Presiden
Robert Mugabe justru dipandang China sebagai aliansi berharga China. Di bawah
kepemimpinan Hu Jintao, momentum interaksi signifikan diperkuat pada ranah
diplomatik, ekonomi, perdagangan, dan militer. Pemerintah Beijing bahkan
mengafirmasikannya sebagai “hubungan persaudaraan yang mendalam” dengan
mendeskripsikannya sebagai “an all weather friendship”.
Kemudian artikel ilmiah Chris Alden & Cristina Alves (2008) berjudul
“History & Identity in the Construction of China's Africa Policy” menganalisa
sejarah dan identitas dalam konstruksi kebijakan luar negeri China terhadap
Afrika. Analisis ini kontras dengan beberapa peneliti Barat pada umumnya yang
kerap menghindari pembahasan pada konteks sejarah. Artikel ini khususnya
menggarisbawahi karakteristik kebijakan luar negeri China terhadap Afrika terkini
dengan memberikan perhatian utama pada konteks sejarah interaksi antara China
dan negara-negara Afrika yang dipandang sebagai kesinambungan dari kebijakan
China di Afrika sebelumnya. Lebih lanjut Alden dan Alves mengelaborasi
mengenai hubungan antara sejarah, identitas, dan kebijakan luar negeri. Tulisan
ini secara komprehensif menjelaskan detail kebijakan luar negeri China terhadap
Afrika sejak tahun 1955 hingga tahun 1996, dan menganalisis implikasi dari
pendekatan China dalam upayanya untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan luar
negeri baik secara regional maupun global. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
kebijakan luar negeri China terhadap negara-negara Afrika ditemukan pada
retorika solidaritas negara-negara Dunia Ketiga dan deklarasi-diri China sebagai
negara berkembang. Penggunaan sejarah oleh aktor pembuat kebijakan luar negeri
China memberikan gambaran adanya kesinambungan kebijakan luar negeri China
terhadap Afrika. Dalam konteks ini, evokasi solidaritas politik (yang digagas
melalui sejarah) digunakan untuk menunjukkan a shared sense of identiy sebagai
6
negara Dunia Ketiga dimana kepentingan dan pandangannya terhadap sistem
internasional tetap dan tidak berubah.
Referensi-referensi di atas, memberikan dasar yang kuat bagi penulis
untuk mengembangkan penelitian dengan studi kasus politik luar negeri Hu Jintao
terhadap Zimbabwe yang ditinjau dari perspektif konstruktivis. Dengan
menggunakan pendekatan yang lebih sosial untuk mengamati dinamika hubungan
antara China dan Zimbabwe menunjukkan fenomena hubungan internasional tidak
hanya dapat dipandang berdasarkan dimensi material semata, namun yang lebih
penting adalah dimensi sosial. Politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe,
menggarisbawahi pemahaman bahwa negara pun terikat secara historis dan
dipengaruhi oleh identitas dalam interaksi sosialnya, dan pada gilirannya akan
membentuk kepentingan (dalam konteks ini medefinisikan perilaku negara).
D. Kerangka Konseptual
Pada bagian ini, penulis membangun konsep-konsep utama yang akan
digunakan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pengaturan konsep-konsep
sebagai kerangka konseptual menjadi penting, karena hal tersebut mejadi dasar
dimana bagian analisis akan dikembangkan. Adapun kontribusi konsep untuk
mendapatkan asumsi mumpuni selama proses penelitian ini adalah dengan
menggunakan perspektif konstruktivis.
Perspektif konstruktivis penulis gunakan untuk menganalisis politik luar
negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe. Pilihan pada perspektif ini tidak terlepas
dari beberapa kontribusi pemikiran konstruktivisme yang penulis pandang dapat
membantu memberikan pemahaman politik luar negeri Hu Jintao, khususnya
terletak pada ide untuk melihat perilaku negara melalui pendekatan yang lebih
sosial atau intrepretivist. Oleh karena, untuk memahami interaksi negara kita tidak
bisa hanya mendeskripsikannya dalam cara menjelaskan fenomena fisik namun
juga membutuhkan berbagai jenis pemahaman interpretatif. Perilaku negara dalam
sistem internasional tidak dapat dikalkulasikan hanya berdasarkan kekuatan
material, tetapi merupakan hubungan “konstruksi sosial” yang mendefiniskan
7
interaksi para aktor. Pada kasus politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe
ini khususnya dibentuk oleh pemahaman intersubjektif dan identitas negara.
Dunia sosial dan politik meliputi hubungan internasional bukan
merupakan entitas fisik atau objek material yang berada di luar kesadaran manusia
(human consciousness). Sistem internasional sendiri adalah sebagai
intersubjective awareness, atau common understanding diantara orang- orang,
dalam konteks ini dibangun oleh ide-ide, bukan kekuatan material. Hal tersebut
merupakan intervensi dan kreasi manusia, tidak bersifat fisik atau material, namun
merupakan bentuk intelektualitas dan memiliki dimensi ideasional yang meliputi
serangkaian ide-ide, pemikiran, sistem dari norma-norma, yang telah
dikonstruksikan orang-orang pada waktu dan tempat tertentu.
Tulisan ini bertitik tolak dari pemikiran Alexander Wendt yang
menjelaskan bahwa, “premis kunci dari teori sosial idealis adalah bahwa perilaku
negara terhadap objek-objek, termasuk aktor-aktor lainnya, berdasarkan meanings
yang dimiliki objek-objek tersebut terhadap mereka” (1999: 140). Untuk
memahami meanings dari perilaku negara, maka perlu ditempatkan dalam konteks
intersubjektif atau konteks sosial intersubjektif. Tiap-tiap perilaku negara, baik itu
melakukan perang, menjalin hubungan baik, memutuskan hubungan, dan bahkan
tidak melakukan hubungan dengan negara lain sekalipun didasarkan pada
meanings. Meanings tersebut dikonstruksi dari kombinasi ide-ide sejarah spesifik,
norma-norma, dan keyakinan yang spesifik dan kompleks. Senada dengan Wendt,
Barnett memiliki argumen yang menyatakan, “reality does not exist ‘out there’ to
be discovered but depends on construct and give meaning to reality” (2004: 259).
Pemahaman atau keyakinan intersubjektif (sebagai bagian dari elemen ideasional
konstruktivis) yang dimiliki decision maker memiliki efek konstitutif dan pada
gilirannya provide broad orientation for behavior and policy”. Dengan demikian
tindakan negara ditentukan oleh struktur sosial dan bukan oleh struktur material
Lebih lanjut Wendt menguraikan konsepsi mengenai struktur sosial yang
terdiri dari tiga elemen, yaitu: intersubjektivitas (shared knowledge), sumber daya
8
material (material resources), dan praktek-praktek (practices) atau wacana (1995:
73). Pertama, struktur sosial didefinisikan sebagai bagian dari intersubjektivitas
pemahaman bersama (shared understanding, ekspektasi, atau pengetahuan).
Faktor-faktor tersebut memiliki efek konstitutif terhadap aktor dalam situasi dan
“nature” dari hubungan (sosial) mereka, apakah kooperatif atau konfliktual.
Security dilemma contohnya, merupakan struktur sosial yang tersusun dari
pemahaman-pemahaman intersubjektif dimana negara-negara saling curiga dan
membuat asumsi-asumsi buruk mengenai intention satu sama sama lain, dan
sebagai resultansinya negara-negara mendefinisikan kepentingan dalam istilah
self-help. Security community merupakan struktur sosial yang berbeda, dibangun
oleh shared knowledge dimana negara-negara saling percaya satu sama lain untuk
menyelesaikan perselisihan tanpa jalan perang. Dependensi struktur sosial pada
ide-ide adalah dalam artian dimana konstruktivis memiliki pandangan idealis
terhadap struktur. Apa yang menjadikan ide-ide (dan pada gilirannya struktur)
“sosial,” adalah kualitas intersubjektif mereka. Dengan kata lain sociality (kontras
dengan “materiality,” dalam pengertian kapabilitas fisik), adalah perihal shared
knowledge.
Kedua, struktur sosial meliputi sumber daya material. Sumber daya
material yang dimaksud adalah agar sumber daya itu memberikan pengaruh bagi
tindakan negara, maka diperlukan pemaknaan. Berbeda dengan pandangan
desocialized neorealists mengenai kapabilitas tersebut, konstruktivis berpendapat
bahwa sumber daya material hanya memperoleh makna untuk tindakan manusia
melalui struktur pengetahuan bersama (shared knowledge) dimana mereka
melekat. Sebagai contoh, 500 senjata nuklir Inggris dipandang kurang mengancam
Amerika Serikat dibandingkan 5 senjata nuklir Korea Utara, karena Inggris adalah
teman dari Amerika Serikat dan Korea Utara bukan. Dimana persahabatan (amity)
atau permusuhan (enmity) adalah fungsi dari shared understanding. Kapabilitas
material tidak dapat menjelaskan apa-apa, tetapi dapat dipahami melalui struktur
shared knowledge, yang mana bervariasi dan yang tidak dapat direduksi pada
kapabilitas. Konstruktivisme dengan demikian masih kompatibel dengan
9
perubahan material power yang mempengaruhi hubungan sosial, selama efek
tersebut dapat ditunjukkan untuk mengandaikan hubungan sosial.
Ketiga, struktur sosial ada, bukan di pikiran para aktor maupun dalam
kapabilitas material, tetapi dalam praktek-praktek. Struktur sosial hanya ada
dalam proses. Dengan kata lain praktek atau wacana dimaknai sebagai proses
definisi atau redefinisi struktur sosial itu, yang berarti perilaku aktor akan
berimplikasi pada penguatan atau pelemahan struktur sosial.
Perang Dingin adalah struktur pengetahuan bersama (shared knowledge)
yang mengendalikan hubungan great powers selama empat puluh tahun, tetapi
ketika mereka berhenti bertindak atas dasar tersebut, maka berakhir pula Perang
Dingin.
Lebih lanjut tulisan ini akan mengadopsi varian konstruktivis Alexander
Wendt, dengan fokus utama identitas. Dengan asumsi, memahami identitas negara
adalah penting terutama untuk memahami interaksinya dengan negara lain. Wendt
memberikan penjelasan yang memberikan ruang bagi eksistensi dan peran agen
dalam pembentukan identitas negara. Hal tersebut diaplikasikan Wendt di dalam
melihat proses transformasi identitas dan kepentingan yang terjadi melalui, “the
intentional efforts to transform egoistic identities into collective identities” yakni
menggarisbawahi pada keinginan dan usaha kuat negara untuk merubah struktur
identitasnya (Wendt 1995: 133). Varian Wendt ini dikenal juga sebagai
konstruktivis sistemik, yang memandang penting struktur internasional sebagai
determinan dalam pembentukan identitas negara. Meskipun Wendt memberikan
ruang penjelasan bagi peran domestik (agen) di dalam proses perubahan identitas
suatu negara, namun proporsinya sangat kecil. Wendt tetap menekankan pada
peran struktur sebagai faktor yang paling signifikan di dalam pembentukan
identitas negara.
Kontras dengan konstruktivis sistemik Wendt, Peter Katzenstein
mengembangkan argumen konstruktivis dimana struktur domestik juga berperan
signifikan (memberikan kontribusi yang sama besarnya terhadap proses
10
perubahan identitas) dalam pembentukan identitas negara. Dengan
pengutamaannya terhadap peran negara (domestik) atas terbentuknya identitas dan
perilaku negara itu sendiri. Katzenstein memandang teori konstruktivis sistemik
tidak memadai, oleh karena tidak cukup memberi perhatian pada bagaimana
pembentukan internal negara dapat mempengaruhi perilaku negara dalam sistem
internasional. Penekanan dalam analisisnya adalah pada struktur normatif
domestik dan bagaimana hal itu mempengaruhi identitas negara, kepentingan, dan
pada gilirannya kebijakan negara (Jackson dan Sorensen 2007: 174).
Senada Katzenstein, Ted Hopf fokus pada pembentukan identitas domestik
(domestic formation of identity) untuk memahami bagaimana kepentingan
nasional didefinisikan dan eksekusinya terhadap arahan kebijakan luar negeri.
Hopf memberikan penjelasan “an account of how state’s own domestic identities
constitute a social cognitive structure that makes threats and opportunities,
enemies and allies, intelligible, thinkable, and possible” (ibid). Lebih lanjut
argumen Hopf, bahwa meskipun pemahaman world politics membutuhkan
penjelasan teorisasi secara domestik dan sistemik, tidak akan ada teori sistemik
world politics dikarenakan world politics tidak memiliki sistem pre-dominant;
harus ada subkultur, yang masing-masing dapat dipahami dengan menguji
bagaimana negara membangun dirinya (efek konstitutif) di dalam masyarakatnya.
Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan seputar siapa teman maupun lawan berawal
dari domestik. Mengetahui persis bagaimana identitas negara mempengaruhi
konstruksi kepentingannya vis a vis negara lain, membutuhkan konteks sosial
yang mana identitas negara ini dikonstruksikan. Hal ini berarti elaborasi tidak
hanya pada bagaimana identitas negara diproduksi dalam interaksinya dengan
negara-negara lain, namun juga bagaimana identitas tersebut diproduksi melalui
interaksi dengan masyarakatnya sendiri dan identitas-identitas dan wacana yang
membangun masyarakat tersebut (Jackson dan Sorensen 2007: 174-175).
Identitas negara ini direpresentasikan melalui decision-makers. Identitas
kunci dari decision-makers dapat diketahu melalui sumber-sumber tekstual.
Meskipun konstruktivis memiliki perdebatan mengenai signifikansi antara
11
lingkungan domestik dan internasional, yang lebih penting adalah masing-masing
varian menekankan pada kultur dan identitas yang direpresentasikan dalam
norma-norma sosial, aturan, dan pemahaman-pemahaman. Yang terpenting dari
analisis konstruktivis adalah dunia sosial dan politik merupakan shared beliefs
dibandingkan entitas fisik.
Kontras halnya dengan teori-teori dalam studi hubungan internasional
seperi realisme dan liberalisme dalam menjelaskan dan memprediksi perilaku
rasionalis negara, konstruktivisme meliputi cara pandang ontologism lebih luas
yang meneliti bagaimana identitas dan kepentingan terbentuk, dan bagaimana
berinteraksi dalam konstruksi realitas. Dengan demikian, konstruktivisme
mengadopsi pendekatan yang mendalami sejumlah aspek paradigmatik yang
kerap terabaikan dalam teori-teori berbasis kekuasaan dan kepentingan. Kritik
konstruktivis pada khususnya ditujukan pada kepentingan dan identitas yang
bersifat eksogen dari agen dan interaksi-interaksi yang telah ada sebelumnya (pre-
exist interactions).
Neorealis dengan teori balance of power menyatakan hubungan antar
negara sebagai “simple behavioural responses to the (systemic) forces of physics
that act on material objects from the outside” (Adler 1997: 321). Satu-satunya
yang mendasari kepentingan negara ditentukan oleh struktur dari sistem.
Demikian juga, neoliberal mempertimbangkan ide-ide domestik sebagai
keyakinan dues ex machine yang dimiliki oleh individu, yang menyesuaikan
preferensi-preferensi mereka, dan memilih strategi rasional mereka sesuai dengan
kendala-kendala struktural dan lingkungan. Tidak satu pun, baik realisme maupun
liberalisme menjawab pertanyaan dari transformasi atau pembentukan identitas
dan kepentingan.
Dari beberapa uraian varian di atas, konstruktivisme merupakan “middle
ground” yang bertujuan untuk menghasilkan “teori sintesis hubungan
internasional” (Adler 1997: 323) dan dapat membantu memberikan pemahaman
yang lebih baik untuk teori-teori yang berbasis power dan kepentingan.
12
Konstruktivisme tidak benar-benar bersaing dengan teori-teori rasionalis, dimana
konstruktivisme“challenges their ontological and epistemological foundations”
(Adler 1997: 323). Dengan mempertanyakan asumsi-asumsi rasionalistik dan
positivistik, dan memposisikan sebagai “paradigm of paradigms” (Adler 2002:
96), yang tidak sesuai dengan metodologi realis dan liberal.
Untuk lebih memperjelas konstruktivis dalam world politics, Christian
Reus-Smit (2005) menunjukkan esensi pendekatan konstruktivis yang secara
ontologis dibangun atas tiga preposisi utama menyangkut kehidupan sosial.
Pertama, struktur dapat dikatakan membentuk perilaku aktor sosial dan politik,
baik perorangan atau negara. Argumen konstruktivis disini adalah bahwa struktur
normatif atau ideasional sama pentingnya dengan struktur material. Sistem ide-ide
bersama (shared ideas), keyakinan-keyakinan (beliefs), dan nilai-nilai (values)
juga memiliki karakteristik struktural, yang memberikan pengaruh yang kuat pada
tindakan sosial dan politik.
Ada dua alasan mengapa struktur ini begitu ditekankan, argumentasi yang
pertama dari Alexander Wendt adalah bahwa “material resources only acquire
meaning for human action through the structure of shared knowledge in which
they are embedded” (Reus-Smit 2005: 196). Misalnya, Kanada dan Kuba
keduanya memiliki letak wilayah yang berdekatan dengan AS, namun demikian
balance of military power tidak bisa menjelaskan fakta bahwa Kanada adalah
sekutu dekat AS dan Kuba merupakan musuh AS. Gagasan tentang identitas,
logika tentang ideologi, dan struktur mapan amity dan enmity menjadi material
balance of power antara Kanada dan AS, dan Kuba dan AS memiliki arti radikal
yang berbeda. Dan argumentasi yang kedua adalah, konstruktivis juga
menekankan pentingnya struktur normatif dan ideasional karena ini adalah
pemikiran yang sebenarnya membentuk identitas sosial aktor-aktor politik.
Struktur ideasional dan normatif membentuk identitas (dan, pada gilirannya, juga
kepentingan) aktor-aktor politik melalui tiga mekanisme, yaitu: imajinasi,
komunikasi dan pembatasan.
13
Imajinasi mengacu pada bagaimana aktor-aktor politik melihat peluang-
peluang ataupun hambatan-hambatan mereka untuk bertindak, baik dalam artian
praktis maupun etis. Komunikasi menggambarkan upaya-upaya aktor-aktor politik
untuk memberikan justifikasi dari tindakan-tindakan mereka dengan mengacu
pada norma-norma atau cara-cara yang sah yang berlaku dalam masyarakat. Atau
dengan kata lain komunikasi merupakan upaya aktor melakukan legitimasi
terhadap tindakan yang diambil dengan cara melembagakan norma-norma yang
diyakini sebagai legitimate conduct. Kelembagaan norma tersebut tidak semata-
mata karena adanya tekanan atau relasi kekuasaan seperti yang dituduhkan oleh
realis. Namun rasionalisasi ide-ide atau norma-norma tersebut bersumber dari
kekuatan moral yang secara normatif telah tumbuh dan melekat dengan
lingkungan sosialnya. Para aktor membuat argumen-argumen moral yang
mendorong diterimanya perspektif normatif dalam interaksi politik internasional.
Sehingga tumbuh pemahaman bahwa norma atau nilai-nilai tersebut merupakan
bagian dari dirinya. Tidak jarang struktur ideasional dan normatif tidak
mempengaruhi perilaku aktor, baik sebagai kerangka imajinasi maupun sebagai
justifikasi. Tetapi, dalam kasus-kasus inipun, struktur ideasional dan normatif bisa
sangat besar pengaruhnya dalam membatasi perilaku atau tindakan-tindakan aktor.
Kedua, konstruktivis berpendapat bahwa memahami bagaimana struktur
non-material menentukan identitas aktor adalah penting, karena identitas
menginformasikan kepentingan dan pada gilirannya menginformasikan tindakan.
Kepentingan (sebagai dasar bagi tindakan atau perilaku politik) bukan
menggambarkan rangkaian preferensi yang baku, yang telah dimiliki oleh aktor-
aktor politik, melainkan sebagai produk dari identitas aktor-aktor tersebut.
Berbeda dengan para teoritisi neorealis, neoliberal ataupun marxist, yang
hanya memberi perhatian pada aspek-aspek strategis (strategic domain) dalam arti
bagaimana aktor-aktor politik bertindak mencapai kepentingan mereka.
Sebaliknya konstruktivis berpendapat, bahwa memahami bagaimana aktor
mengembangkan kepentingan mereka adalah penting untuk menjelaskan berbagai
fenomena politik internasional. Dengan kata lain teoritisi konstruktivis lebih
14
menekankan pada sumber-sumber munculnya kepentingan, yakni bagaimana
aktor-aktor politik mengembangkan kepentingan-kepentingan mereka. Dan untuk
menjelaskan pembentukan kepentingan, konstruktivis fokus pada identitas sosial
individu atau negara. Dalam artian ini, terkait dengan proposisi ontologis yang
pertama Alexander Wendt yang secara jelas menegaskan bahwa “Identities are
the basis of interests” (Reus-Smit 2005: 197).
Ketiga, konstruktivis berpendapat bahwa agen dan struktur saling
menentukan satu sama lain (mutually constituted). Struktur normatif dan
ideasional membentuk identitas dan kepentingan aktor, akan tetapi struktur-
struktur tersebut tidak akan ada jika bukan karena praktek-praktek pengetahuan
(knowledgeable practices) dari para aktor. Dengan kata lain, konstruktivis pada
dasarnya adalah strukturasionis yakni menekankan peran struktur non-material
terhadap identitas dan kepentingan serta pada saat yang bersamaan menekankan
peran praktek-praktek dalam membentuk struktur-struktur tersebut. Artinya,
meskipun sangat menentukan identitas (dan oleh karenanya juga kepentingan)
aktor-aktor politik, struktur ideasional atau normatif tidak akan muncul tanpa
adanya tindakan-tindakan (practices) para aktor politik.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa institusionalisasi norma-norma dan ide-ide
menentukan makna, identitas aktor individu, pola-pola ekonomi, politik, dan
budaya. Dan lebih lanjut Alexander Wendt menjelaskan bahwa “is through
reciprocal interaction that we create and instantiate the relatively enduring social
structures in terms of which we define our identities and interests” (Reus-Smit
2005: 198).
Dalam kasus politik luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe, penulis
menguraikan intersubjektivitas negara dan transformasi identitas China sebagai
bagian dari dimensi ideasional dalam konstruksi politik luar negeri Hu Jintao.
Dengan perspektif konstruktivis, penulis ingin membuktikan bahwa perilaku
negara juga kuat ditentukan oleh pemahaman intersubjektif negara, interaksi
pemahaman negara terhadap identitas, pendefinisian kepentingan, dan pada
15
gilirannya kepentingan yang melandasi pembentukan politik luar negeri Hu Jintao
terhadap Zimbabwe.
E. Argumen Utama
Kekuatan sejarah mempengaruhi intersubjektif positif dan membentuk
struktur mapan “amity” China terhadap Zimbabwe, sehingga dapat dipahami
bagaimana China memandang Zimbabwe sebagai “teman”. Sedangkan
transformasi identitas China sebagai negara “peaceful rise” mendefinisikan
pembentukan kepentingan pada China kerjasama. Penguatan kerjasama yang
dimanifestasikan dalam Strategic Partnership adalajh sebagai konsekuensi logis
dari intersubjektivitas negara dan identitas sosial “peaceful rise” China. Politik
luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe tidak hanya ditentukan oleh dimensi
material, melainkan kuat ditentukan oleh dimensi ideasional, dimana pemerintah
China ingin menunjukkan representasi identitas “peaceful rise” yang tidak lepas
dari nilai-nilai “friendship, peace, cooperation, and development.”
F. Metodologi Penelitian
Mohtar Mas’oed menyatakan bahwa metodologi merupakan prosedur yang
dipakai dalam mendeskripsikan, menjelaskan, dan meramalkan fenomena. Lebih
lanjut dijelaskan metodologi dalam ilmu hubungan internasional adalah tentang
prosedur bagaimana pengetahuan tentang fenomena hubungan internasional itu
diperoleh (1994: 3).
1. Metode Penelitian
Penulisan thesis ini akan menggunakan metode historis, deskriptif, dan
metode kualitatif.
a. Metode Historis meliputi pengumpulan dan penafsiran gejala, peristiwa atau
gagasan yang timbul di masa lampau untuk menemukan generalisasi yang
berguna dalam usaha memahami fakta-fakta sejarah sebagai suatu sebab dari
suatu keadaan atau kejadian di masa sekarang dan berbagai akibatnya. Melalui
komponen ruang, waktu, dan pokok permasalahan data yang dikumpulkan,
16
disusun dan dianalisis untuk mendapatkan gambaran dan tatanan fakta yang
seakurat mungkin.
b. Metode Deskriptif merupakan metode untuk menggambarkan kenyataan dan
situasi berdasarkan data yang satu dengan data yang lain berdasarkan pada
teori dan konsep-konsep yang digunakan. Penerapan metode ini tidak terbatas
pada pengumpulan data dan penyusunan data, namum juga melalui interpretasi
tentang data tersebut.
2. Teknik Penelitian dan Pengumpulan Data
Penelitian ini akan dikembangkan melalui studi kepustakaan (library
research). Metode ini mengasumsikan bahwa setiap kumpulan informasi tertulis
dapat digunakan sebagai indikator sikap, nilai, dan maksud politik dengan cara
menelaah secara sistematis menurut kriteria penafsiran kata dan pesan tertentu.
Dengan demikian, data-data yang digunakan adalah data-data sekunder
pendukung untuk kepentingan analisa yang bersumber dari dokumentasi dan
publikasi.
Bentuk data-data tersebut dapat ditemui dari berbagai literatur, baik buku-
buku, jurnal-jurnal, dokumen-dokumen, penerbitan khusus surat kabar, berbagai
database dan internet yang dianggap relevan dengan permasalahan yang diteliti.
Dengan pertimbangan bahan-bahan ini terutama mencerminkan ide-ide dan
kebijakan dari PKC, dan dengan demikian dapat menjadi referensi yang sangat
baik untuk membantu melakukan analisis politik luar negeri China terhadap
Zimbabwe pada era Hu Jintao.
G. Jangkauan Penelitian
Fokus penelitian mengambil rentang waktu periode kepemimpinan Hu
Jintao (2003 – 2013). Dengan pertimbangan bahwa di bawah kepemimpinan Hu
Jintao, China telah benar-benar menciptakan momentum interaksi dengan
Zimbabwe. Namun demikian, data-data yang dianggap relevan sebelum periode
Hu Jintao akan tetap dijadikan sebagai referensi untuk bahan analisis lebih lanjut.
17
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan Tesis ini adalah sebagai berikut: Bab Pertama,
merupakan bab Pendahuluan. Bab Kedua, mengelaborasi interaksi China dengan
Zimbabwe secara historis, meliputi: China dan Gerakan Pembebasan Nasionalis
Zimbabwe sebagai bagian dari agenda revolusioner dan stance anti-hegemoni
China, interaksi China dan Zimbabwe Paska Tiananmen yang merupakan
dukungan Zimbabwe pada prinsip non-interferensi & kedaulatan yang diusung
China, dan sub-bab terakhir menganalisis identifikasi kesejarahan dalam politik
luar negeri Hu Jintao terhadap Zimbabwe.
Bab Ketiga, menganalisis transformasi identitas China sebagai “peaceful
rise”, peran agen dalam transformasi identitas China, dan implementasi “peaceful
rise” terhadap Zimbabwe. Bab Keempat, menguraikan Strategic Partnership
China dan Zimbabwe secara teoritis, dan analisa makna politik luar negeri Hu
Jintao terhadap Zimbabwe dalam Strategic Partnership. Bagian terakhir tesis ini
adalah Bab Kelima yang berisikan kesimpulan dari temuan-temuan penelitian
beserta rekomendasi.