bab i pendahuluan pendahuluan a. alasan pemilihan...

30
1 BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN A. Alasan Pemilihan Judul 1. Aktualitas Isu tentang pengetahuan lokal menjadi salah satu topik menarik dalam kajian ilmu sosial, terutama dalam melihat bagaimana terwujudnya harmoni sosial yang terbangun di dalam masyarakat. Karena sesungguhnya pengetahuan lokal itu hadir dalam keseharian masyarakat lokal melalui proses dan dinamika panjang. Indonesia sebagai negara yang dipandang memiliki keberagaman budaya, tentu memiliki beragam pengetahuan lokal yang menghadirkan keunikannya masing- masing di setiap sudut wilayahnya, sehingga hal itu menjadi sebuah ketertarikan bagi para pemerhati dari berbagai disiplin ilmu untuk dijadikan sebagai area riset. Sebut saja Jawa, sebagai salah satu pulau di Indonesia yang kerap dijadikan sebagai area penelitian tidak hanya bagi peneliti lokal tetapi juga peneliti dari luar Indonesia. Sederet karya intelektual yang diangkat dari kebudayaan masyarakat Jawa nampaknya belum cukup untuk mendeskripsikan tentang Jawa dengan segala keberagaman di dalamnya. Adalah Clifford Geertz dengan karyanya Agama Jawa yang menggambarkan dengan cerdas kehidupan spiritual masyarakat Jawa yaitu Abangan, Santri, Priyayi. Kemudian buku dengan judul Etika Jawa karya Franz Magnis Suseno yang menjelaskan tentang analisis falsafi tentang kebijaksanaan hidup masyarakat Jawa. Selanjutnya Koentjaraningrat juga menulis buku Kebudayaan Jawa yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Jawa, mulai

Upload: dinhnguyet

Post on 16-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN

PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul

1. Aktualitas

Isu tentang pengetahuan lokal menjadi salah satu topik menarik dalam

kajian ilmu sosial, terutama dalam melihat bagaimana terwujudnya harmoni sosial

yang terbangun di dalam masyarakat. Karena sesungguhnya pengetahuan lokal itu

hadir dalam keseharian masyarakat lokal melalui proses dan dinamika panjang.

Indonesia sebagai negara yang dipandang memiliki keberagaman budaya, tentu

memiliki beragam pengetahuan lokal yang menghadirkan keunikannya masing-

masing di setiap sudut wilayahnya, sehingga hal itu menjadi sebuah ketertarikan

bagi para pemerhati dari berbagai disiplin ilmu untuk dijadikan sebagai area riset.

Sebut saja Jawa, sebagai salah satu pulau di Indonesia yang kerap dijadikan

sebagai area penelitian tidak hanya bagi peneliti lokal tetapi juga peneliti dari luar

Indonesia.

Sederet karya intelektual yang diangkat dari kebudayaan masyarakat Jawa

nampaknya belum cukup untuk mendeskripsikan tentang Jawa dengan segala

keberagaman di dalamnya. Adalah Clifford Geertz dengan karyanya Agama Jawa

yang menggambarkan dengan cerdas kehidupan spiritual masyarakat Jawa yaitu

Abangan, Santri, Priyayi. Kemudian buku dengan judul Etika Jawa karya Franz

Magnis Suseno yang menjelaskan tentang analisis falsafi tentang kebijaksanaan

hidup masyarakat Jawa. Selanjutnya Koentjaraningrat juga menulis buku

Kebudayaan Jawa yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Jawa, mulai

2

dari kehidupan petani Jawa, kehidupan perkotaan di Jawa serta kehidupan religi

orang Jawa. Karya-karya besar yang dihasilkan dari para peneliti tersebut tentu

menjadi sumbangan tertulis yang cukup penting untuk melihat sejarah masa lalu.

Dengan berbasis pada kearifan lokal, kajian tentang budaya merupakan hal yang

aktual untuk melihat dan menerjemahkan sisi-sisi kehidupan manusia.

Berbekal pada pengetahuan lokal masyarakat, di Desa Hargomulyo

Gunungkidul masih banyak ditemui tradisi-tradisi lokal yang didasarkan pada

tindakan kolektif. Salah satunya adalah tradisi rewangan yang hadir dengan

karakter kekolektifan masyarakat Jawa. Tradisi ini dapat ditemui di berbagai

wilayah Indonesia, tetapi dikenal dengan istilah yang berbeda-beda dan tentunya

juga mengangkat karakter lokal masing-masing daerah. Berangkat dari perspektif

ruang sosial, rewangan merupakan wujud nyata dari ruang sosial yang hadir di

dalam masyarakat pedesaan dengan karakter lokalitas yang kuat. Hingga akhirnya

peneliti menemukan sebuah gambaran nyata dari praktik-praktik sosial yang

berlangsung dinamis di Hargomulyo. Menariknya, justru dengan masih terus

dilestarikannya tradisi rewangan ini, maka di situlah masyarakat menemukan

ruang implementasinya.

2. Orisinalitas

Kajian mengenai tema-tema yang mengangkat tradisi masyarakat lokal,

khususnya tradisi rewangan di Hargomulyo, Gunungkidul belum pernah dibahas.

Akan tetapi, terdapat penelitian sejenis yang membahas tentang tradisi rewang

yang dilakukan oleh Hasbullah (2012) Dosen Fakultas Ushuludin Universitas

Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau. Penelitian tersebut membahas tentang

3

rewang sebagai bentuk kearifan lokal dalam membangun solidaritas dan integrasi

sosial masyarakat di Desa Bukit Batu Kabupaten Bengkalis. Batasan kajian

penelitian tersebut juga sama dengan penelitian ini, yaitu tradisi rewangan dalam

koridor acara perkawinan atau pesta perkawinan. Namun, perbedaan mendasar

yang melatarbelakangi penelitian ini adalah karakter lokal pada tradisi rewangan

yang lahir di masing-masing wilayah, yaitu antara Kabupaten Bengkalis dan

Gunungkidul.

Mengingat penelitian ini juga dikerangkai dengan perspektif ruang sosial,

tentunya kajian-kajian terkait ruang sosial telah dilakukan pada penelitian

sebelumnya, walaupun cenderung masih sedikit yang mengkaji. Penelitian

tersebut sebelumnya telah dilakukan oleh Galatia Puspa Sani Nugraha (2013)

mahasiswa S1 UGM Jurusan Sosiologi mengenai ruang dan representasi sosial

Malioboro. Pembahasan singkatnya mengenai representasi ruang ialah pada

proses produksi ruang di Malioboro sebagai sebuah lanskap kota yang

sesungguhnya itu merupakan ruang sosial.

Penelitian tersebut tentu menjadi bahan referensi penting dalam melakukan

penelitian ini. Orisinalitas fokus penelitian ini ialah pada keberadaan tradisi

rewangan yang berlangsung di Hargomulyo, Gunungkidul serta keterlibatan antar

aktor dari beragam kelas sosial masyarakat yang mampu mentransformasikan

pengetahuan lokal di atas ruang. Rewangan tersebut hadir di tengah-tengah

masyarakat dengan karakteristik lokalnya sebagai representasi dari ruang sosial

dan hal tersebut merupakan kebaruan dalam penelitian ini.

4

3. Relevansi

Membicarakan beragam tradisi masyarakat lokal yang berada di

Gunungkidul tentu tidak bisa dipisahkan dari energi sosial yang melekat dalam

diri masyarakat. Begitu pula dengan keberlangsungan tradisi rewangan yang

masih dipertahankan oleh masyarakatnya. Sebagai area riset yang sangat luas

cakupannya, rewangan merupakan salah satu tradisi lokal masyarakat

Gunungkidul yang dapat dikerangkai dari beragam sudut pandang keilmuan.

Dalam kajian ilmu sosial, tentu kaitan relevansinya dengan Departemen

Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yang memfokuskan pada tiga konsentrasi,

yaitu kebijakan sosial (social policy), tanggungjawab sosial perusahaan (corporate

social responsibility), dan pemberdayaan masyarakat (community empowerment).

Melihat keberadaan tradisi rewangan di Gunungkidul, secara umum

penelitian ini dapat dikatakan lebih dekat pada kajian antropologi. Akan tetapi,

peneliti meyakini bahwa rewangan merupakan salah satu tradisi masyarakat lokal

yang dapat dikerangkai dari perspektif ilmu sosial. Masih bertahannya tradisi ini

menjadi bukti bahwa masyarakat lokal memiliki energi sosial yang kuat dalam

menjaga keberlangsungan tradisi ini. Relevansi penelitian ini merupakan bagian

dari kajian pemberdayaan masyarakat yang menjadi salah satu konsentrasi dalam

lingkup Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Menjadi sebuah

kekhasan bahwa energi sosial masyarakat lokal menjadi salah satu modal penting

dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Rewangan merupakan aktivitas sosial

yang lahir dari masyarakat tradisional karena adanya energi sosial berupa tindakan

kolektif sebagai wujud nyata dalam menjaga hubungan bermasyarakat. Hal

5

tersebut terbentuk karena adanya proses relasi sosial yang berlangsung terus-

menerus dan kontinu. Tindakan bersama yang dilakukan di dalam rewangan

merupakan sebuah upaya dalam memberdayakan masyarakat. Hal ini karena

keterlibatan aktor dari beragam elemen sosial di masyarakat pada saat rewangan

merupakan proses belajar bersama, terutama terkait tradisi tersebut. Selain itu,

secara lebih dalam penelitian ini mengupas tradisi rewangan sebagai representasi

dari ruang sosial yang berlangsung di Hargomulyo, Gunungkidul.

B. Latar Belakang

Ruang kehidupan menempatkan Indonesia sebagai sebuah negeri yang

berdiri di atas ribuan pulau. Negeri yang dikatakan gemah ripah loh jinawi, yaitu

negeri nan makmur dan tenteram dengan segala bentuk potensi kehidupan yang

terdapat di dalamnya. Bahkan tidak hanya itu, negeri dengan beribu pulau ini

memiliki keanekaragaman budaya yang menjadi salah satu ciri khas untuk melihat

begitu kentalnya berbagai macam tradisi yang hadir dan menjadi bagian hidup

dari sebuah entitas masyarakat. Dalam hal ini, tidak terlepas dari keterkaitan

masyarakat lokal, yang dalam konteksnya mereka memiliki simbol-simbol

tertentu yang dapat dikatakan kekal. Kekekalan tersebutlah yang bagi masyarakat

disebut sebagai bentuk dari tradisi, sekalipun pada nantinya mengalami proses

perubahan. Hal ini mengantarkan kita bahwa budaya memiliki kategori-kategori

sejarah yang jika dirunut akan menghasilkan serangkaian proses terbentuknya

sebuah tradisi.

6

Berangkat dari keseharian masyarakat tentunya kita dapat menyusuri

jejak-jejak sejarah tentang bagaimana sebuah tradisi terbentuk. Kehidupan

masyarakat yang tidak terlepas dari generasi-generasi sebelumnya menjadikan

nilai-nilai sosial ataupun nilai-nilai adat yang mereka anut membentuk sebuah

tradisi dan menjadi identitas bagi mereka. Dalam prosesnya, sangat mungkin

sebuah tradisi mengalami perkembangan dari masa ke masa. Namun, proses

perkembangan yang terjadi tidak meninggalkan unsur-unsur dasar atau unsur-

unsur inti dari tradisi itu sendiri. Dalam hal ini, yang dimaksud adalah nilai-nilai

yang menjadi dasar sebuah tradisi tersebut lahir. Singkat kata, tradisi merupakan

bentuk identitas suatu budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Artinya

adalah, bahwa untuk memahami bagaimana sebuah tradisi berlangsung dan terus

dipertahankan oleh masyarakat, maka kita harus melihat proses yang terjadi pada

sejarah masa lalu dan masa kini. Karena, fungsi dari tradisi adalah sebagai suatu

organisme spirituil, yang memberikan petunjuk dan tuntunan terus-menerus ke

arah pengetahuan (Hardjono, 1968:7).

Dalam sejarah kebudayaan Indonesia, khususnya kebudayaan Jawa banyak

sekali berbagai ragam budaya yang sampai saat ini masih bertahan. Bahkan

sejarah tentang kehidupan masyarakat Jawa masih dapat kita temukan melalui

cerita-cerita tradisional. Inilah yang menjadi menarik ketika mencoba memahami

tentang budaya, karena budaya penuh dengan variasi dan diferensiasi. Lahirnya

desa-desa kecil di Jawa tentunya memiliki karakter dan keunikan masing-masing,

yang dijadikan sebagai simbol kearifan lokal.

7

Desa yang sejatinya penuh dengan keharmonisan dan keberagaman

menjadi terlihat luntur dan termakan oleh berbagai macam menu pembangunan.

Hal tersebutlah yang akhir-akhir ini dirasakan sebagian masyarakat Indonesia,

masyarakat mengalami kegelisahan yang terjadi karena serangan arus modernisasi

yang dikhawatirkan bisa meminggirkan masyarakat desa. Hadirnya program-

program pemerintah yang dibangun untuk mewujudkan kesejahteraan, seolah

menjadi menu utama dalam pendekatan pembangunan. Tak tanggung-tanggung,

program yang dibangun tersebut melahirkan sebuah institusi-institusi baru dengan

dalih untuk kesejahteraan masyarakat. Desa lah yang dijadikan sasaran dalam

pendekatan pembangunan, karena desa selalu dianggap sebagai pusat kemiskinan.

Fenomena kemiskinan inilah yang pada akhirnya memunculkan berbagai

macam konsep kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dengan

demikian, lahirlah institusi-intitusi baru yang sesungguhnya justru melemahkan

sistem kelembagaan yang telah dibangun oleh masyarakat. Sebut saja program

nasional pemerintah yaitu PNPM, program yang didukung World Bank ini malah

melahirkan perangkat kelembagaan baru (new institution) yang dikhawatirkan

akan melemahkan tatanan sistem kelembagaan masyarakat lokal yang mereka

bangun sejak lama (Kurniawan, 2012). Karena sistem kelembagaan masyarakat

lokal lebih mengedepankan pada tindakan kolektif. Hal ini bukan karena

masyarakat lokal anti terhadap perubahan, tetapi karena perubahan baik tersebut

yang diperankan oleh Negara melalui kegiatan pembangunan, kurang menghargai

keharmonisan sosial yang ada di desa.

8

Lebih tajam lagi ketika perubahan tersebut didukung oleh pasar (capital)

yang pada akhirnya desa benar-benar terpinggirkan. Pasar yang memainkan peran

dengat cepat, mampu menggeser nilai-nilai kelokalan desa yang dijadikan sebagai

objek pembangunan, dan hal ini dimungkinkan sebagai bagian dari proyek

modernitas. Inilah yang seharusnya dihindari, sehingga desa tidak dijadikan

malpraktik untuk kepentingan kapitalis, dan unsur-unsur tradisional di dalam

masyarakat tidak terjajah oleh ganasnya ekspansi pasar yang terus menyerang,

baik lewat produk-produk baru atau bahkan pasar (capital) yang mendompleng

kepada Negara melalui kebijakannya (Kurniawan, 2012).

Stigma bahwa desa selalu dianggap sebagai pusat kemiskinan juga

dirasakan oleh sebagian masyarakat desa di Gunungkidul, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Wilayahnya secara umum dikenal sebagai daerah yang sering dilanda

bencana kekeringan, hal ini tentu juga berdampak pada kondisi ekonomi

masyarakat desa yang masuk dalam kategori miskin, ditambah dengan tingkat

pendidikan yang belum memadai. Kondisi ini dapat kita temui pada level

masyarakat dengan latar belakang masyarakat tradisional dan tentunya anggapan

tersebut menjadikan masyarakat terjebak dalam sebuah lingkaran sistem yang

mengikat mereka. Sekalipun anggapan terkait fenomena kemiskinan tertuju bagi

masyarakat desa, tetapi mereka masih kokoh berdiri dalam menopang

keberlangsungan hidup. Aspek lokalitas lah yang menjadikan masyarakat lokal

mampu membangun keseimbangan dan tetap bertahan dengan nilai-nilai

transendentalnya.

9

Berangkat dari realitas tersebut, di Gunungkidul Daerah Istimewa

Yogyakarta banyak ditemui institusi-institusi lokal yang hadir di tengah-tengah

masyarakat sebagai bentuk dari ruang-ruang sosial. Baik institusi lokal dalam

bentuk organisasi lokal yang sifatnya formal atau informal seperti koperasi,

karang taruna, dan sebagainya atau institusi lokal dalam bentuk pranata sosial

yang sama halnya dengan modal sosial seperti gotong royong, sambatan, tradisi

rasulan, tradisi tirakatan, tradisi slametan (syukuran) yang lebih mengedepankan

harmoni dalam bermasyarakat dan rasa tolong-menolong (Anwar, 2012). Dalam

kehidupan sosial tentunya tradisi tersebut dibawa ke dalam bagian hidup

masyarakat, sehingga masyarakat sadar apa yang sudah menjadi kesepakatan

bersama.

Artinya, jika melihat kondisi masa lalu banyak sekali tradisi yang hadir di

tengah-tengah masyarakat yang dimanfaatkan sebagai ruang untuk aktualisasi diri,

tetapi jika kita melihat kondisi kekinian ada salah satu hal yang terlupakan oleh

Negara, bahwa masyarakat lokal masih memiliki tradisi yang sangat kuat dalam

kehidupan sosialnya. Tradisi tersebutlah yang dijadikan masyarakat sebagai

wadah untuk saling berinteraksi di dalam lingkungan sosialnya. Di sinilah tradisi

berperang dalam melawan modernitas, bagaimana masyarakat lokal

mempertahankan tradisi mereka sehingga tidak tenggelam oleh ombak

modernisasi. Sudah seharusnya Negara ini belajar dari budaya lokal sebagai

bentuk refleksi diri. Barangkali kita perlu menyadari, bahwa desa lah yang

terlebih dahulu lahir dengan berbagai macam tradisinya sebelum Indonesia

merdeka sampai saat ini (Kurniawan, 2012).

10

Sisi lain yang melatarbelakangi dari penjelasan tersebut yaitu dimana

dalam kehidupan masyarakat Jawa, masih menjunjung tinggi semangat gotong

royong yang selalu dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari. Kegiatan kolektif ini

adalah salah satu ciri khas masyarakat lokal pedesaan yang lebih mengutamakan

kehidupan harmoni antar sesama. Budaya gotong royong yang jika kita

terjemahkan kembali adalah sebagai bentuk kerjasama sudah melekat kuat

menjadi sebuah tradisi kearifan sosial dalam bermasyarakat. Rasa saling

menghargai antar sesama menjadi pondasi penting bagi mereka dalam

mengamalkan nilai-nilai solidaritas. Disinilah masyarakat secara kolektif menjadi

aktor dalam menjaga keberlangsungan tradisi. Sekalipun masyarakat lokal

terjebak di dalam ruang yang disebut modenitas, mereka tetap bertahan karena

nilai-nilai tradisi yang sangat kuat. Tradisi inilah yang turun-temurun selalu

dihadirkan dengan nuansa berbeda mengikuti alur zaman yang memang membawa

mereka semakin modern, tetapi tanpa meninggalkan nilai-nilai budaya lama.

Adalah tradisi rewangan yang dikupas dalam penelitian ini. Tradisi

rewangan merupakan wujud kekerabatan antar masyarakat dalam meringankan

beban orang lain. Rewangan juga menjadi salah satu tradisi besar yang sudah

membudaya di dalam masyarakat Jawa. Sejarah membuktikan bahwa tradisi

rewangan ini menjadi sebuah ruh yang melekat kuat dalam diri masyarakat,

dimana masyarakat harus saling membantu dalam kehidupan sosial. Ketika yang

terjadi saat ini bahwa budaya Jawa seakan-akan tenggelam akan serangan ombak

modernisasi, justru bagi masyarakat Hargomulyo tradisi ini masih terus

dipertahankan. Terlepas dari stigma kemiskinan yang melekat, penelitian ini

11

menjadi sebuah ketertarikan tersendiri untuk mengeksplor lebih dalam bagaimana

sebenarnya kondisi sosial masyarakat yang ada di dalamnya.

Penelitian ini membahas bagaimana tradisi rewangan ini masih terus

dipertahankan oleh masyarakat Hargomulyo. Bangunan proses seperti apa yang

menjadi unsur pokok bagi masyarakat dalam menciptakan keharmonisan sosial.

Hal tersebut juga tidak terlepas dari proses kontekstualisasi nilai-nilai atau norma-

norma yang dianut oleh masyarakat secara turun-temurun dari generasi leluhur

mereka. Istilah kearifan lokal nampaknya menjadi sangat relevan ketika

masyarakat mampu menempatkan dan melewati lintas batas individu, serta

mampu menjaga keberlangsungan nilai-nilai suatu tradisi.

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana masyarakat mengkontekstualisasi nilai-nilai tradisi rewangan

dalam kehidupan sosialnya di Desa Hargomulyo, Gunungkidul?

2. Bagaimana proses yang dibangun dalam menjelaskan tradisi rewangan

sebagai ruang sosial?

D. Tujuan Penelitian

1. Memahami proses berlangsungnya tradisi rewangan yang masih

dipertahankan oleh masyarakat Hargomulyo.

2. Memahami keterlibatan masyarakat dalam menerjemahkan dan

mengkontekstualisasikan nilai-nilai tradisi rewangan di dalam kehidupan

bermasyarakat.

3. Menemukan ruang yang dimanfaatkan masyarakat lokal sebagai bentuk

ruang sosiokultural.

12

E. Manfaat Penelitian

1. Memberikan gambaran tentang tradisi rewangan yang ada di Desa

Hargomulyo.

2. Memberikan gambaran tentang bagaimana masyarakat lokal di Desa

Hargomulyo menerjemahkan dan mengkontekstualisasikan nilai-nilai

tradisi rewangan sebagai simbol ruang sosiokultural.

3. Memberikan sumber referensi terhadap penelitian selanjutnya tentang

bentuk ruang sosiokultural yang ada di masyarakat lokal.

F. Kerangka Konseptual

1. Konseptualisasi Subjek Manusia Jawa

Memecah tentang apa yang dimaksud dengan Jawa tentunya memiliki

banyak arti, terutama yang menjadi subjeknya adalah manusia. Berbicara tentang

kehidupan masyarakat Jawa merupakan hal yang kompleks. Bahkan kompleksitas

tersebut melahirkan koherensi sebagai simbol yang mewakili manusia Jawa itu

sendiri. Simbol tersebut salah satunya berupa perilaku sosial yang menjadi dasar

bagaimana manusia Jawa mengamalkan kaidah-kaidah dari sistem sosial yang

dianut dalam suatu wilayah. Hardjowirogo (1989) menjelaskan bahwa mayoritas

orang Jawa itu berbudaya satu. Kiblat budaya tersebut berasal dari nenek moyang

mereka yang berada di Jawa Tengah, yaitu Yogya dan Solo sebagai pusat

kebudayaan. Sekalipun mereka sudah tidak tinggal di Pulau Jawa, tetapi mereka

tetap berkiblat pada Yogya dan Solo.

Menurut Frans Magnis Suseno (1994), orang Jawa adalah orang yang

bahasa ibunya adalah Bahasa Jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa ialah

13

penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa.

Kemudian Frans Magnis Suseno membedakan orang Jawa menjadi dua golongan

sosial yaitu (1) Wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani

dan mereka yang berpendapatan rendah di kota; (2) Kaum priyayi, dimana

termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual, dan kelompok kecil tetapi

tetap mempunyai prestise yang cukup tinggi, yaitu kaum ningrat (ndara), kaum

yang tidak berbeda dengan kaum priyayi sebagai dasar lapisan-lapisan sosial-

ekonomis dan keagamaan.

Clifford Geertz menjelaskan dalam bukunya Agama Jawa, orang Jawa

dikategorikan dalam tiga golongan, yaitu Abangan, Santri dan Priyayi. Abangan

yaitu golongan yang menekankan pada aspek animistis dan sinkretisme Jawa yang

serba melingkupi dan secara luas terkait dengan elemen petani; Santri yaitu

golongan yang mewakili pada penekanan aspek Islam dari sinkretisme yang

dihubungkan dengan elemen pedagang juga kepada elemen tertentu di kalangan

tani; Priyayi yaitu menekankan pada aspek Hindu dan terkait dengan elemen

birokratik.

Ketiga golongan tersebut bukanlah jenis yang diada-adakan, tetapi

merupakan istilah dan penggolongan yang diterapkan sendiri oleh orang Jawa.

Tetapi, secara lebih gamblang dengan apa yang terjadi di Jawa saat ini pada

umumnya, ketiga golongan tersebut; Abangan yaitu sebagai golongan agama yang

kurang taat dalam arti mereka percaya terhadap makhluk halus dan sebagainya;

Santri yaitu golongan agama taat dalam arti mereka melakukan ritual keagamaan

dengan taat, serta aktif dalam kegiatan organisasi sosial; Priyayi yaitu merupakan

14

golongan konglomerat, kelas ekonominya menengah ke atas, seperti pejabat

pemerintahan, pegawai, dan pengusaha.

Kuntowijoyo juga menjelaskan terkait penggolongan masyarakat Jawa

yang didasarkan pada pendidikan humaiora yang terdapat di masyarakat Jawa. Ia

menegaskan, pembagian tersebut juga dipengaruhi oleh pikiran Clifford Geertz,

walaupun tidak sepenuhnya. Ia menemukan tiga loci dalam pendidikan humaniora

dalam masyarakat Jawa, yaitu istana, pesantren, dan perguruan. Ketiga tipe

tersebut merupakan hasil dari proses interaksi antar kelompok sosial yang

sesungguhnya membentuk budaya Jawa. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya

pendidikan lintas subkultur yang terdapat di dalamnya, sehingga ketiga tipe

tersebut membaur menjadi satu (Kuntowijoyo, 2006:47). Artinya adalah bahwa

Jawa tidak mudah digambarkan dengan satu label saja, tetapi Jawa merupakan

sebuah satu kesatuan yang saling berkaitan. Untuk memahami subjek manusia

Jawa, secara sederhana kerangka konsep ini mencoba menjelaskan bagaimana

perilaku sosial manusia Jawa sebagai bentuk identitas diri mereka. Dengan

demikian pendekatan dalam penelitian ini berfungsi untuk mengungkap praktik-

praktik perilaku sosial manusia Jawa.

1.1. Sikap Feodalistik Manusia Jawa

Feodalistik adalah suatu mental attitude, sikap mental terhadap

sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan

dalam usia atau kedudukan (Hardjowirogo, 1989:11). Seperti yang sudah

dijelaskan bahwa budaya Jawa sangatlah kompleks. Misalnya dalam

menghadapi seseorang yang berbeda usia, orang Jawa menggunakan kata-

15

kata yang berlainan apabila menghadapi orang yang lebih tua, lebih muda

atau seusia. Perbedaan ini juga terlihat dari tingkat kebangsawanan dan

adanya perbedaan kedudukan sebagai priyayi.

Hal yang paling terlihat sehari-hari adalah dari tata cara berbahasa.

Seorang Pak Lurah yang berbicara dengan salah satu petugas kelurahan,

akan menggunakan bahasa ngoko sedangkan petugas kelurahan akan

menggunkan bahasa kromo. Begitu pula yang terjadi ketika Pak Dukuh

berbicara dengan Pak RT. Namun, akhir-akhir ini banyak sekali ditemui

aparat pemerintahan, misalnya Pak Dukuh yang usianya lebih muda

dibandingkan dengan Pak RT, bahasa yang digunakan pun tetap bahasa

kromo, karena sebagai bentuk hormat terhadap orang yang usianya lebih

muda. Sampai sekarang, tata cara ini masih sepenuhnya berlaku dan

digunakan oleh masyarakat Jawa.

Hal lain juga terlihat dalam perilaku sehari-hari, misalnya seorang

anak ingin melalui ruang tamu untuk menuju pintu keluar, kebetulan ada

tamu yang sedang duduk bersama orang tuanya, anak tersebut tidak akan

berani berjalan biasa, ia secara otomatis akan berjalan membungkukkan

badan sebagai bentuk rasa hormat karena sedang ada tamu, dan memberi

senyuman ramah serta memberi isyarat dengan tangan kanannya, bahwa ia

ingin berlalu. Secara mental seorang anak tersebut sebagai orang Jawa

terwaris oleh tradisi, sehingga hal itu sebagai bentuk ajaran baik dari orang

tuanya.

16

Demikian pula dengan sikap manusia Jawa yaitu samadya yang

artinya secukupnya saja dalam menikmati sesuatu, karena sesuatu yang

berlebihan akan menyebabkan orang tersebut menjadi tinggi hati. Apalagi

melihat kehidupan masa kini, kondisi ekonomi yang dapat dibilang baik,

dapat membuat sesorang menjadi berlebihan dalam menikmati hidup.

Sekalipun terdapat anggapan bahwa ajaran Jawa terlihat sederhana, ada

pula yang beranggapan sangat kompleks, tetapi sesungguhnya hal tersebut

sangat berguna dalam kehidupan sehari-hari.

1.2. Sikap Unggah-Ungguh Manusia Jawa

Sikap unggah-ungguh manusia Jawa tidak terlepas dari apa yang

disebut dengan etika Jawa. Etika Jawa merupakan sebuah saluran yang

menjadi bagian hidup mereka dalam bentuk sifat dan perilaku orang Jawa

itu sendiri. Bahkah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sifat dan

perilaku orang jawa sulit untuk dipahami. Misalnya, saat orang Jawa

sedang bertamu dan disuguhi hidangan oleh tuan rumah, orang Jawa

tersebut merasa sungkan atau malu-malu. Hal inilah yang terkadang

menjadi sulit untuk dipahami, apakah ia tidak suka dengan hidangan

tersebut karena alasan tertentu, atau karna memang sudah kenyang, atau

karena persoalan lain. Salah satu ciri khas tersebut, sedikit menjelaskan

bahwa orang Jawa pandai menyembunyikan maksud hatinya.

Berkaitan dengan hal tersebut, tentunya tidak terlepas dari sikap

unggah-ungguh yang jika diartikan adalah tata sopan santun dalam

perilaku manusia sehari-hari. Sikap unggah-ungguh inilah bagi orang Jawa

17

menjadi salah satu dasar dalam menjaga kerukunan bermasyarakat. Di

samping itu, sikap unggah-ungguh dapat memberikan gambaran dari

setiap tindakan yang bersifat baik tanpa ada maksud untuk mendapat

pujian dari orang lain. Hal ini juga tidak terlepas dari penjelasan sikap

feodalistik manusia Jawa, bagaimana dalam berbahasa sehari-hari yang

baik. Bahasa adalah sebagai pintu pertama, maka setiap manusia Jawa

harus berbahasa yang baik dan benar sesuai dengan adat istiadat, sehingga

akan timbul bagaimana manusia Jawa berperilaku sesuai dengan sikap

unggah-ungguh.

Clifford Geertz juga menjelaskan dalam bukunya, istilah unggah-

ungguh disebut juga sebagai andap-asor yang berarti merendahkan diri

sendiri dengan sopan dan kelakuan yang benar, yang harus ditunjukkan

kepada setiap orang yang sederajat atau lebih tinggi. Penjelasan tersebut

merupakan sebuah bentuk etika tentang arti baik dan buruk dalam

melakukan tindakan sehari-hari. Tindakan tersebut berupa cara bertutur

kata atau berbahasa dengan baik dan pola tingkah laku dalam masyarakat.

Kesimpulan yang dapat diambil bahwa unggah-ungguh adalah sikap yang

ditunjukkan oleh orang Jawa dalam membawakan diri di masyarakat,

dengan memperhatikan ucapan dalam bentuk tata bahasa yang baik dan

tingkah laku untuk menghargai dan menghormati orang lain.

1.3. Sikap Rumangsan Manusia Jawa

Salah satu sikap yang juga menjadi karakteristik manusia Jawa

adalah sikap rumangsa atau sering juga disebut ngrumangsani artinya

18

perasa atau bisa merasakan apa yang orang lain rasakan dan sebaliknya.

Menurut Hardjowirogo (1989) sikap rumangsan artinya perasa bahwa

tindak-tanduknya selalu diperhatikan orang sehingga takut untuk berbuat

sesuatu yang melanggar tata susila dan kesopanan. Secara sederhana, hal

tersebut menjelaskan bahwa manusia Jawa memiliki perasaan yang peka.

Dalam hal ini peka terhadap apa yang sedang menjadi perbincangan orang

lain di sekelilingnya dan tidak lepas dari respon terhadap apa yang ia lihat

dan orang lain rasakan.

Kepekaan manusia Jawa terhadap apa yang ada di sekelilingnya,

terkadang juga menjadikan orang tersebut takut malu. Kondisi masyarakat

dewasa ini pada umumnya menggambarkan, bahwa setiap perbuatan baik

atau buruk selalu menjadi bahan pembicaraan di masyarakat. Apalagi bagi

masyarakat yang tinggal di pedesaan, misalnya ketika ada isu hangat yang

sedang berkembang, tidak usah menunggu lama maka isu tersebut sudah

tersebar ke seluruh desa, bahkan bisa sampai ke desa-desa lain. Akan

tetapi, secara spontan masyarakat pun bisa langsung menyikapi terhadap

apa yang sedang terjadi.

Sikap rumangsan yang dimiliki manusia Jawa secara lahiriah

menjadi salah satu nilai penting dalam kehidupan sosial. Hal ini juga

mendorong manusia Jawa untuk bisa menempatkan diri pada tempatnya.

Bukan hal yang mudah bagi manusia Jawa untuk melakukan kontrol diri

terhadap hal tersebut, perlu sebuah adaptasi dan keberanian sehingga

mereka bisa menguasai keadaan. Jika dilukiskan lebih jelas, maka sikap

19

rumangsan merupakan salah satu fondasi dalam kehidupan bermasyarakat,

yaitu bagaimana seseorang bisa menempatkan diri di lingkungan

masyarakat, terlepas tanpa adanya kepentingan.

2. Rewangan

Sejarah perkembangan tradisi masyarakat Jawa merupakan hal yang

sangat luas cakupannya. Banyak sekali tradisi yang secara turun-temurun

dipertahankan hingga saat ini. Hal ini membuktikan bahwa aliran semangat

kolektivitas masyarakat Jawa tetap kuat terjaga. Salah satu tradisi yang

menghadirkan aliran semangat kolektivitas di dalam masyarakat jawa adalah

tradisi rewangan. Tradisi rewangan yang lahir dari generasi terdahulu ini tentunya

mengalami perubahan, mengingat kondisi manusia yang selalu berkembang, tetapi

tradisi ini masih utuh dan dapat kita jumpai hampir di seluruh wilayah Indonesia,

meskipun dengan sebutan yang berbeda-beda.

Secara umum tradisi rewangan biasanya dilaksanakan pada saat menjelang

pesta pernikahan atau khitanan, antara tiga atau empat hari sebelum pelaksanaan

acara inti. Istilah lain yang dikenal masyarakat umum dalam penyelenggaraan

pesta pernikahan atau khitanan biasa disebut dengan hajatan. Bagi masyarakat

pedesaan khususnya orang Jawa, biasanya juga menyebut nama tuan rumah yang

akan memiliki hajat, misal; “Pak Dadap duwe hajat” atau “Pak Dadap meh

mantu”. Dalam istilah lain orang Jawa juga sering bertanya “Kapan kamu masang

tarub” yang artinya adalah kapan anakmu menikah atau kapan anakmu khitan.

Tarub ini merupakan bangunan sementara yang digunakan jika seseorang akan

20

mempunyai hajat (Koentjaraningrat, 1994:130). Akan tetapi, saat ini bangunan

tarub atau ada yang menyebutnya tenda sering digunakan dalam berbagai acara.

Selanjutnya, istilah rewangan juga biasa dipakai dalam berbagai tradisi

masyarakat Jawa, seperti pada acara slametan, selapanan, mitoni, atau bahkan

pada peringatan hari besar seperti rasulan. Namun, dalam hal ini belum ada

literatur yang secara rinci menjelaskan tentang tradisi tersebut. Sehingga untuk

mengantarkan ke dalam sebuah pemahaman sederhana tentang apa yang disebut

dengan rewang atau rewangan, maka dalam konteks penelitian ini perlu

memahami terlebih dahulu tentang hajatan itu sendiri. Berangkat dari penjelasan

Geertz yaitu orang Jawa menyebut upacara pernikahan dan khitanan dengan

istilah duwe gawe, yang secara harfiah berarti “mempunyai kerja” (Geertz,

2014:76).

Geertz juga menambahkan, bahwa orang Jawa menganggap kegiatan

tersebut sebagai bentuk nilai rukun atau kerukunan, lebih tepatnya duwe gawe

merupakan “kerjasama yang mentradisi”. Menjadi mentradisi karena di dalam

duwe gawe terdapat kegiatan khusus yang hanya dilaksanakan pada waktu duwe

gawe itu saja. Kemudian melalui acara duwe gawe inilah masyarakat dapat

meningkatkan kerukunan antar warga, hal ini karena adanya interaksi sosial dan

perputaran kerja yang terjalin di dalamnya. Waktu yang dibutuhkan untuk

melaksanakan acara duwe gawe berbeda-beda, tergantung pada kebutuhan tuan

rumah atau pemilik hajat. Akan tetapi secara umum bagi masyarakat Jawa, ketika

akan menyelenggarakan duwe gawe biasanya sudah dipersiapkan selama satu

bulan sebelum hari inti. Mulai dari persiapan daftar tamu yang akan diundang,

21

daftar untuk kebutuhan perlengkapan, kemudian siapa saja yang akan membantu

di dalam persiapan acara, sampai pada hari pelaksanaan hajat berlangsung.

Lebih dalam lagi ketika Franz Magnis Suseno menjelaskan dalam bukunya

Etika Jawa, bahwa akar religius sentral orang Jawa, khususnya kejawean adalah

tradisi slametan atau masyarakat biasa menyebut dengan tradisi syukuran yaitu

sebuah perjamuan makan sederhana yang dilakukan oleh tuan rumah sebagai

wujud syukur terhadap alam semesta. Para tetangga diundang sebagai wujud

keselarasan antara sesama dan hal ini biasanya dilakukan secara bergantian. Nilai-

nilai yang dirasakan oleh orang Jawa secara mendalam adalah nilai kebersamaan,

nilai ketetanggaan dan nilai kerukunan.

Dalam pemahaman secara umum, rewangan muncul pada saat seseorang

akan melaksanakan hajat atau dalam penelitian ini disebut dengan istilah duwe

gawe. Makna sederhanya adalah bahwa rewangan merupakan bagian dari apa

yang disebut oleh banyak orang dengan gotong royong. Konsep ini pun di negara-

negara berkembang telah hadir sejak lama, mereka menyebutnya dengan mutual

aid, bahkan di beberapa negara, konsep mutual aid ini sudah terlembagakan. Hal

ini dinyatakan oleh Hosaka dan Midgley,

“Mutual aid is another institutionalized non-formal social protection mechanism.

In the rural areas of developing countries, mutual aid may take the form of

communal grain storage or helping neighbours with harvesting, participating in

communal forestry or sharing livestock for breeding purpose. … In addition to

promoting income protection, mutual aid makes an important contribution to

maintaining cultural norms of reciprocity which have wider implications for

social integration and solidarity.” (Hosaka dan Midgley, 2011:2).

22

Hosaka dan Midgley meyakini bahwa gotong royong merupakan

mekanisme perlindungan sosial yang hadir di negara-negara berkembang dalam

bentuk institusi non formal. Jadi gotong royong merupakan bentuk kegiatan yang

dicirikan dengan adanya kelompok atau asosiasi untuk berkontribusi kepada

mereka yang membutuhkan. Dalam konteks masyarakat tradisional sendiri,

gotong royong lahir dari praktik spasial masyarakat. Sebagai contoh, pada periode

Edo antara tahun 1603-1867 yang menjadi landasan bagi negara Jepang menuju

awal zaman modern (Suherman, 2004:202). Pemerintah mendorong masyarakat

pedesaan untuk merawat anggota masyarakat miskin dalam bentuk iuran beras

yang dikumpulkan dan disimpan di sebuah tempat yang disebut Gohgura. Pada

saat krisis pangan atau krisis yang lain, beras tersebut didistribusikan pada

masyarakat miskin. Namun, beras tersebut tidak didistribusikan secara gratis, akan

tetapi dipinjamkan kepada masyarakat dengan bunga yang rendah. Manfaat bagi

mereka yang telah memberikan iuran beras di Gohgura, sudah diatur melalui

kesepakatan di masing-masing desa, yang tentunya juga dikelola oleh desa dan

didistribusikan kepada mereka yang membutuhkan (Hosaka dan Midgley,

2011:4).

Selanjutnya, di Inggris pada awalnya juga terdapat pertemuan masyarakat

yang terdiri dari tetangga, teman, serta kerabat, mereka berkumpul di sebuah

tempat atau di pub-pub lokal mengumpulkan sumbangan yang kemudian dibagi

secara berkala. Hingga akhirnya perkumpulan tersebut sudah menjadi asosiasi

yaitu rotating savings and credit associations (ROSCAs), (Kidd, 1999 dalam

Hosaka dan Midgley, 2011:4). Tujuannya adalah memberikan perlindungan

23

kepada orang-orang miskin. Kegiatannya dilakukan secara kolektif dan teroganisir

secara baik. Di tengah-tengah modernisasi dan perkembangan industri, saat ini

asosiasi tersebut tetap berkembang di negara-negara berkembang yang dikenal

dengan istilah mutual aid associations. Kegiatan tersebut diharapkan mampu

memberikan dukungan kepada masyarakat miskin di negara-negara berkembang

yang hidup dalam ketidakstabilan ekonomi.

James Midgley juga mengungkapkan, dalam kajian ilmu sosial mutual aid

associations memiliki karakter informalitas, spontanitas dan fleksibel. Artinya

bahwa mereka yang tergabung di dalamnya juga berasal dari latar belakang yang

beragam. Dalam konteks Indonesia, mutual aid associations ditransformasikan

dalam bentuk yang dikenal dengan arisan, di Afrika Selatan disebut dengan

stokvels, di Afrika Barat disebut dengan tontines, dan di Meksiko disebut dengan

istilah cestas (Midgley, 2011: 16-17). Bagi masyarakat lokal pedesaan di

Indonesia, hasil dari arisan tersebut biasanya digunakan untuk kebutuhan sehari-

hari, untuk biaya sekolah anak, untuk membeli kebutuhan pertanian atau juga

disisihkan untuk ditabung kembali.

Berangkat dari hal tersebutlah tradisi rewangan terus berlangsung hingga

saat ini di Desa Hargomulyo Gunungkidul. Konsep sederhananya, rewangan

adalah kegiatan kolektif seorang rewang di dalam acara duwe gawe. Rewang

adalah pelakunya, yaitu pelaku di dalam kegiatan rewangan tersebut. Kegiatan

rewangan dilaksanakan selama prosesi duwe gawe berlangsung, bahkan setelah

seluruh rangkain acara selesai, para warga yang diundang untuk rewangan masih

melakukan kegiatan yaitu untuk membantu pemilik hajat merampungkan

24

pekerjaan yang belum selesai pasca duwe gawe. Hal yang harus dipahami adalah

bahwa rewangan merupakan representasi dari gotong royong yang telah lahir

sejak lama. Rewangan sebagai bentuk kegiatan saling membantu di dalam

masyarakat, tentunya membutuhkan ruang untuk dapat mengorganisir kegiatan

tersebut. Di samping itu, kegiatan saling membantu dalam rewangan juga

merupakan bentuk untuk menjaga hubungan kekerabatan (kinship) baik antar

keluarga maupun masyarakat. Konsep ini tentunya akan mengantarkan lebih jauh

untuk memahami rewangan sebagai ruang sosial.

3. Ruang Sosial

Apakah ruang itu? Bagaimana memaknai ruang? serta bagaimana ruang

diproduksi? Rangkaian pertanyaan tersebut tentunya nampak janggal ketika kita

memahami ruang hanya dari pemahaman yang baku saja. Ruang tidak hanya

dipahami sebagai sebuah bangunan arsitektur seperti stadion, alun-alun, ruang

terbuka hijau, plaza atau bahkan ruang maya dalam media sosial. Bagi kaum

perempuan misalnya, ruang hadir dalam rutinitas agenda arisan yang dilakukan

setiap minggu, bulan bahkan tahunan. Namun, dalam kajian ilmu pengetahuan,

pemahaman tentang ruang tentu memiliki kompleksitas dan keberagaman makna

diatasnya untuk menjelaskan berbagai fenomena sosial.

Penjelasan Henri Lefebvre tentang konsep ruang sosial mengantarkan

penelitian sosial ini pada proses produksi ruang sosial yang berlangsung di

lingkup masyarakat lokal. Dalam magnum opus-nya La Production de L’espace

(1974) yang dialih bahasa dengan judul The Production of Space (1991), Lefebvre

menjelaskan bahwa ruang pada hakikatnya adalah ruang sosial “(Social) space is

25

a (social) product”. Secara lugas, Lefebvre mengggunakan konsep production of

space untuk memaknai ruang yang secara fundamental terikat pada realitas sosial.

Kehidupan manusia dalam bermasyarakat juga tidak terlepas dari ruang, yaitu

ruang yang diproduksi melalui proses interaksi sosial di dalamnya. Sederhananya,

wujud ruang yang diproduksi oleh manusia dalam kehidupannya adalah keluarga.

Berangkat dari contoh ruang kecil tersebut, pada akhirnya manusia membangun

relasi sosial dan menciptakan ruang. Namun, aspek kuncinya adalah Lefebvre

melihat bahwa ruang sosial adalah produk sosial.

Sebagai produk sosial, ruang tidak hadir secara universal. Ruang hanya

dapat dipahami dalam konteks masyarakat tertentu dan dalam waktu tertentu

(Martanto, 2012:4). Hal ini menjadi kompleks, karena ruang sosial memiliki

struktur logika yang berlapis untuk menjelaskan dirinya sendiri. Henri Lefebvre

mengungkapkan,

“(Social) space is a (social) product. …. the space thus produced also serves as a

tool of thought and of action; that in addition to being a means of production it ia

also a means of control, and hence of domination, of power, yet that, a such, it

escapes in part from those who would make use of it.” (Lefebvre, 1991 : 26-27).

Secara tegas, Lefebvre menyatakan bahwa di dalam ruang, selain terdapat

proses means of production juga terdapat means of control. Hal ini tidak terlepas

bahwa ruang yang dihasilkan berfungsi sebagai alat pemikiran dan tindakan,

sehingga ruang memiliki dominasi dan kekuatan dalam produksi ruang. Ia juga

meyakini bahwa ruang menjadi lokomotif untuk menciptakan kontrol. Jika Marx

berbicara terkait akumulasi kapital dan relasi produksi, maka hal tersebut tidak

akan berlangsung tanpa adanya ruang. Dalam hal ini, bahwa relasi produksi

26

dijadikan sebagai ruang untuk menjalankan akumulasi kapital. Misalnya adalah

pabrik pembuatan tahu dan tempe, mereka mambangun relasi produksi dengan

petani kedelai untuk menghasilkan produk berupa tahu dan tempe. Relasi produksi

itulah yang pada akhirnya menciptakan sebuah ruang.

Pemaknaan terhadap ruang tentunya tidak terlepas dari ruang hidup

manusia yang selalu berkembang sejalan dengan sistem sosial dan pengetahuan.

Dalam konteks masyarakat, sistem sosial tidak akan lahir tanpa adanya ruang

yang mampu untuk mengakomodir itu. Sebaliknya, kehadiran ruang juga

memiliki hubungan antar sistem sosial yang diciptakan oleh relasi sosial. Artinya

bahwa aktivitas hidup manusia, berlangsung dari ruang-ruang yang diciptakan

oleh manusia itu sendiri berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuan.

Selanjutnya untuk dapat memahami ruang secara utuh dan komprehensif,

Lefebvre melihat ruang tidak dalam struktur yang dikotomis, melainkan ruang

dikonsepsikan secara trikotomis. Konsep ini disebut dengan Conceptual Triad

atau Triad Konseptual yang terdiri dari spatial practice, representations of space,

representational spaces (Lefebvre, 1991: 38-39).

Praktik spasial dapat diartikan sebagai suatu tindakan bersama atau

aktivitas multidimensi dan relasi sosial yang menghasilkan ruang. Lefebvre

sendiri tidak membedakan antara praktik spasial dan praktik sosial, karena praktik

spasial adalah praktik sosial. Praktik spasial yang digagas oleh masyarakat akan

menghasilkan ruang bagi masyarakat itu. Misalnya, gotong royong adalah salah

satu bentuk praktik spasial yang terjadi karena adanya interaksi dan aktivitas

bersama di dalam masyarakat. Dengan demikian, untuk memahami ruang di

27

dalam masyarakat kita dapat melihatnya melalui ruang milik masyarakat (gotong

royong) yang hadir dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari.

Gotong royong merupakan ruang milik masyarakat, akan menjadi lebih

menarik lagi ketika gotong royong tersebut secara khusus menghasilkan ruang

kembali, misalnya adalah gotong royong membangun tempat tinggal. Selain

dengan gotong royong, tentu manusia memiliki konsep yang jelas tentang bentuk

tempat tinggal yang ideal. Bagaimana relasi sosial dan relasi pengetahuan bekerja

untuk menciptakan ruang yang ideal bagi kehidupan manusia. Artinya, praktik

spasial tidak hanya sekedar menjadi objek materil dalam tataran ruang fisik, akan

tetapi mengarah pada manifestasi relasi antar ruang yang membentuknya.

Konsep yang kedua, yaitu representasi ruang. Konsep ini lebih

menekankan pada apa yang dihasilkan oleh ruang. Tujuannya adalah untuk

mengarahkan tindakan manusia, walaupun sebenarnya ruang juga merupakan

hasil konstruksi dari berbagai pengalaman manusia. Representasi ruang ini

dikonsepsikan dalam bentuk verbalisasi dari ruang, sehingga representasi ruang

berfungsi sebagai media kontrol dari berbagai relasi yang menghubungkan antar

ruang. Sederhananya, representasi ini memberikan jalan atau petunjuk bagi

manusia untuk dapat mengkerangkai ruang pada konteksnya dari berbagai sudut.

Artinya, konsep kedua ini memberikan peluang bagi manusia untuk memaknai

ruang tidak hanya dari konteks fisik saja, akan tetapi ruang dapat dimaknai dalam

konteks tertentu. Martanto (2012:4-5) memberikan contoh representasi ruang,

seperti peta, informasi dalam gambar, dan maket tata ruang.

28

Dalam konteks Jogja misalnya, selain sebagai kota pelajar, Jogja juga

merupakan destinasi pariwisata yang menjadi pilihan bagi wisatawan domestik

maupun internasional. Hadirnya peta-peta permanen yang dibangun di beberapa

sudut kota berfungsi sebagai petunjuk bagi pengguna ruang untuk mengakses

ruang lain. Peta tersebut sebagai representasi dari ruang-ruang yang terdapat di

Yogyakarta. Hal tersebut merupakan pemaknaan terhadap ruang, bahwa manusia

menciptakan ruang dengan sistem representasi berdasarkan pengalaman manusia.

Selanjutnya, konsep yang ketiga adalah ruang representasional. Konsep

ini merupakan kebalikan dari representasi ruang. Hubungan antar ruang

termanifestasi dalam bentuk simbol, yang pada akhirnya menjadi ruang

representasional. Secara sederhana ruang representasional merupakan ruang yang

memiliki kebermanfaatan bagi pengguna ruang. Kontrol terhadap ruang bekerja

melalui sistem simbolik, sehingga praktik spasial dalam kehidupan manusia

mampu menyokong terciptanya relasi antar ruang yang konkret. Contoh

sederhananya adalah icon pack kursi roda yang dipasang di berbagai fasilitas

publik, seperti di gedung perpustakaan, taman kota, stadion, bahkan di area parkir.

Hal tersebut bukan untuk membedakan kondisi fisik manusia, melainkan sebagai

upaya kontrol terhadap penyandang disabilitas yang berlangsung di ruang publik.

4. Rewangan sebagai Ruang Sosial Masyarakat Jawa

Tradisi rewangan memiliki keterkaitan dengan ruang sosial, terutama pada

konteks bagaimana tradisi tersebut lahir dan berkembang dalam kehidupan

masyarakat hingga saat ini. Sekalipun aspek kompleksitasnya sudah tidak seperti

dulu, namun tradisi ini masih terus dipertahankan oleh masyarakat Desa

29

Hargomulyo. Rewangan sebagai ruang sosial tidak terlepas dari integrasi triad

konseptual dari Henri Lefebvre yang saling berhubungan. Lebih lengkap lagi,

selain melalui tiga konsep dasar dari produksi sosial, Lefebvre juga memperkuat

karakter dari produksi sosial itu sendiri dengan apa yang disebut sebagai

perceived space, artinya bahwa ruang dapat diakses oleh setiap manusia yang

saling berhubungan, sehingga praktik spasial selalu terjadi di dalamnya secara

terus-menerus. Hal ini dapat kita lihat dari tradisi rewangan, sekalipun tradisi ini

bersifat musiman, namun tradisi ini masih terus berlangsung dan dipertahankan

oleh masyarakat hingga saat ini. Artinya, persepsi terkait perceived space muncul

dalam keseharian masyarakat sebagai spasialitas lokal.

Praktik spasial yang terjadi dalam tradisi rewangan terus mengalir secara

kolektif menyentuh berbagai elemen dalam masyarakat. Proses ini disebut sebagai

conceived space, karena skema pembagian kerja ditentukan oleh kesepakatan

bersama dari hasil diskusi wacana. Ruang tersebut, yang dikonstruksi oleh

manusia tidak terlepas dari aspek sosio historis yang membentuknya, inilah yang

disebut sebagai lived space. Manusia Jawa sebagai makhluk yang penuh dengan

ragam harmoni sosial mampu menyatukan dinamika tanpa mengesampingkan

sejarah masa lalu sebagai landasan berfikir untuk mewujudkan ruang yang ideal

bagi masyarakat. Artinya, bahwa representasi ruang dapat terwujud melalui proses

dinamika panjang dari sebuah gagasan manusia yang justru secara tidak langsung

itu hadir di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

30

Gambar 1.1 Conceptual Triad

Henri Lefebvre (1991 : 33-39)

Secara sederhana, peneliti menganalogikan bagaimana triad konseptual

dibangun layaknya sebuah jaringan wifi di dalam suatu ruangan. Jaringan tersebut

terdiri dari sistem-sistem jaringan yang tersusun menjadi sebuah diagram bar yang

merepresentasikan kekuatan jaringan wifi tersebut. Artinya, ruang sosial

sesungguhnya terwujud ketika kekuatan relasi antar jaringan mampu menjangkau

seluruh lapisan ruang, dalam hal ini adalah seluruh elemen masyarakat di

dalamnya yang memiliki srtuktur trikotomis tersebut.

Gagasan Henri Lefebvre (1991) mengenai ruang sosial dalam penelitian

ini digunakan untuk melihat praktik sosial yang terjadi di dalam tradisi rewangan.

Bagaimana struktur rewangan yang dibangun oleh masyarakat sejak lama, dapat

dimaknai sebagai sebuah proses konstruktif yang membuat tradisi ini menjadi

paradigma bersama masyarakat, karena rewangan merupakan aktivitas budaya

yang hadir dan berkembang sebagai ruang kolektivitas yang mengangkat berbagai

nilai-nilai sosial pada entitas lokal.