babi pendahuluan a. latarbelakang yangsangatpenting...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada saat ini kejadian penyakit tidak menular menjadi masalah
yang sangat penting, hal ini nampak dari angka mortalitasnya yang
cukup besar yakni lebih dari 36 juta orang meninggal tiap tahun.
Penyakit tidak menular (PTM) menyebabkan 70% kematian di seluruh
dunia, mulai dari 37% di negara-negara berpenghasilan rendah
sampai 88% di negara-negara berpenghasilan tinggi. Namun, dari
segi jumlah kematian mutlak, sebanyak 78% penyebab kematian
akibat PTM terjadi di negara berpenghasilan rendah dan menengah
(WHO, 2015).
Penyakit kardiovaskular (seperti serangan jantung dan stroke),
kanker, penyakit pernafasan kronis (seperti penyakit paru obstruktif
kronik dan asma) serta diabetes mellitus adalah jenis penyakit yang
termasuk ke dalam PTM (WHO, 2017). PTM dapat dipengaruhi oleh
banyak faktor. Faktor yang mempengaruhi PTM terdiri dari faktor
yang dapat diubah dan yang tidak dapat diubah. Yang termasuk
faktor yang tidak dapat diubah berupa usia dan jenis kelamin. Serta
yang dapat diubah seperti hipertensi, peningkatan kadar gula darah,
dislipidemia, dan pekerjaan (Dinata, 2012). Sedangkan faktor
terbesar dari penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus tipe II
adalah sindrom metabolik (AHA, 2015).
Sindrom metabolik merupakan sekumpulan faktor risiko yang
saling berkaitan dan mengarah pada penyakit kardiovaskular dan
1
2
diabetes mellitus. Sekumpulan faktor risiko tersebut antara lain
obesitas abdominal/ sentral, kenaikan kadar gula darah, kenaikan
kadar trigliserida, dan penurunan kadar kolesterol HDL (Alberti et al,
2009). Prevalensi sindrom metabolik pada individu dewasa di kota
besar diketahui cukup tinggi, yakni 32% pada tahun 2007
(Tjokroprawiro, 2007). Presentase ini berbeda pada tahun 2012 yakni
sebesar 17,5%, dengan presentase wanita lebih tinggi daripada pria.
Presentase wanita yang terkena sindroma metabolik sebesar 21,3%
sedangkan pria hanya 12,9% (Bantas, 2013). Namun hasil ini
berbeda-beda pada tiap negara, ada juga negara yang pria-nya lebih
beresiko terkena sindroma metabolik. Contohnya adalah penelitian di
Korea Selatan yang menemukan prevalensi sindroma metabolik pada
pria 29,0% dan 16,8% pada wanita (Park, 2007).
Sindrom metabolik dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor
tersebut adalah umur, status gizi (masuk kriteria obesitas), dan
asupan (khususnya gorengan) (Sihombing, 2015). Sindrom metabolik
adalah istilah untuk suatu grup faktor risiko yang dapat meningkatkan
risiko penyakit jantung dan penyakit kesehatan lain seperti diabetes
dan stroke (WHO, 2017). Menurut Adult Treatment Panel III, terdapat
5 kriteria seseorang dapat dikategorikan sindrom metabolik, yakni
adanya obesitas abdominal, peningkatan kadar trigliserida darah,
penurunan kadar kolesterol HDL, peningkatan tekanan darah,
peningkatan glukosa darah puasa. Seseorang tergolong sindrom
metabolik apabila memiliki 3 dari 5 kriteria tersebut.
3
Kejadian sindrom metabolik dapat dipengaruhi oleh faktor status
gizi. Salah satu penelitian menunjukkan bahwa aspek indeks massa
tubuh/ IMT berhubungan positif dengan kejadian sindrom metabolik
(Sargowo, 2011; Sutadarma dkk, 2011). Risiko sindrom metabolik
meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan indeks massa
tubuh (Ervin, 2009). Status gizi tidak secara instan mempengaruhi,
namun sebagai manifestasi akibat adanya perbedaan asupan
(Sutadarma, 2011).
Asupan pada tiap individu perlu diperhatikan dalam rangka
pencegahan sindrom metabolik, contohnya pada individu pekerja.
Pekerja perlu mendapatkan asupan zat gizi yang cukup dan sesuai
dengan jenis atau beban kerja yang dilakukannya untuk
meningkatkan derajat kesehatan pekerja, mencegah morbiditas,
menurunkan angka absensi serta meningkatkan produktivitas kerja.
Masalah asupan yang dapat meningkatkan terjadinya sindrom
matabolik adalah konsumsi buah dan sayuran yang rendah serta
tingginya konsumsi minuman manis yang secara independen
dikaitkan dengan prevalensi sindrom metabolik di Indonesia pada
populasi etnis-etnis tertentu (Yoo, 2004).
Prevalensi sindrom metabolik di kalangan pekerja wanita yang
bekerja di rumah belum spesifik diteliti. Padahal jumlah pekerja
wanita semakin meningkat. Hal ini tentunya menjadi fokus penting
mengingat kondisi kesehatan pekerja mempengaruhi produktivitas
kerja (Meerding, 2005) yang akan berefek pada output perusahaan.
4
Salah satu kota besar yang memiliki berbagai macam tipe
perusahaan adalah Yogyakarta. Yogyakarta terkenal dengan
kebudayaannya, sehingga di kota ini banyak bermunculan industri
kerajinan yang melestarikan budaya tersebut. Jumlah industri
kerajinan di Yogyakarta mencapai 20.754 industri dengan total
tenaga kerja 83.121 orang dengan presentase paling banyak berada
di kabupaten Bantul yakni 23.842 (28,7%) tenaga kerja (BPS, 2015).
Dari sekian banyak jenis industri kerajinan yang ada, kami memilih
subjek yakni pengrajin batik karena kami melihat dari segi kebiasaan
kerja yang berperilaku sedenter dan terdapat paparan kerja baik fisik
maupun non fisik yang mempengaruhi gaya hidup mereka dan
diketahui bahwa paparan kerja mempengaruhi resiko penyakit
sindrom metabolik yang mengarah ke penyakit kardiovaskular
(Akintunde, 2016). Perilaku sedenter memiliki hubungan yang
signifikan dengan kejadian sindrom metabolik (Kim, 2013). Saat
melakukan survei awal penelitian, peneliti mendapatkan data bahwa
mayoritas pengrajin batik biasa membatik sambil duduk sejak pagi
hingga sore hari, hal ini sesuai dengan kriteria sedenter yakni duduk
>5 jam dalam satu hari (Scheers, 2013).
Mayoritas pengrajin batik di Bantul berpusat di Kampung Batik
Giriloyo. Kampung Batik Giriloyo terletak di sebelah selatan Kota
Yogyakarta tepatnya daerah Imogiri. Pada kampung ini terdapat lebih
dari lima ratus orang pengrajin batik yang tersebar dalam tiga belas
rumah produksi batik. Pengrajin batik pada desa ini memiliki rentang
usia yang beragam, yakni berusia 19 hingga 60 tahun lebih. Hal ini
5
lah yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian ini di
Kampung Batik Giriloyo.
Penelitian mengenai hubungan asupan zat gizi, status gizi, dan
sindrom metabolik masih belum banyak dilakukan. Berdasarkan hal
tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai
asupan zat gizi, status gizi, dan sindrom metabolik khususnya pada
wanita pengrajin batik. Penelitian ini akan membahas tentang
hubungan asupan dan status gizi terhadap kejadian sindrom
metabolik wanita pengrajin batik di wilayah Bantul, DI Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Pertanyaan penelitian ini adalah “Apakah asupan zat gizi dan status
gizi (IMT dan persen lemak tubuh) berhubungan terhadap sindrom
metabolik pada wanita pengrajin batik ?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengetahui prevalensi sindrom metabolik pada wanita
pengrajin batik di Kampung Batik Giriloyo dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya.
2. Tujuan khusus
a. Mengetahui gambaran asupan zat gizi (energi, protein,
lemak, karbohidrat) pada wanita pengrajin batik dilihat dari
makanan dan minuman yang dikonsumsi.
b. Mengetahui gambaran status gizi pada wanita pengrajin
batik dilihat dari IMT dan persen lemak tubuh.
6
c. Mengetahui hubungan asupan zat gizi (energi, protein,
lemak, karbohidrat) dengan status gizi (IMT dan persen
lemak tubuh)
d. Mengetahui hubungan antara status gizi (IMT dan persen
lemak tubuh) terhadap sindrom metabolik pada wanita
pengrajin batik.
e. Mengetahui hubungan antara asupan zat gizi (energi,
protein, lemak, karbohidrat) terhadap sindrom metabolik
pada wanita pengrajin batik.
D. Manfaat Penelitian
Dengan diadakannya penelitian ini, maka diharapkan akan memberikan
manfaat sebagai berikut :
1. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan bagi masyarakat
dalam menetukan asupan dalam rangka menuju status gizi baik
untuk mencegah sindrom metabolik.
2. Bagi Stakeholder
Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan dan Dinas
Ketenagakerjaan untuk lebih memberi perhatian seputar
kesehatan pada pekerja wanita, khususnya pengrajin batik.
3. Bagi Peneliti Lain
Sebagai referensi dan masukan bagi peneliti lain untuk melakukan
penelitian selanjutnya.
7
E. Keaslian Penelitian
1. Sargowo (2011) dengan judul “Pengaruh Komposisi Asupan Makan
terhadap Komponen Sindrom Metabolik pada Remaja”. Rancangan
penelitian cross sectional dengan jumlah sampel sebanyak 150
remaja dengan rincian 73 remaja yang mengalami sindrom metabolik
berdasarkan kriteria IDF dan 77 remaja sebagai kontrol, teknik
pengambilan sampel secara total sampling. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bermakna antara kelompok
sindrom metabolik dengan kelompok bukan sindrom metabolik dalam
hal indikator IMT, lingkar pinggang, tekanan darah baik sistole
maupun diastole, profil lemak, serta adiponektin akan tetapi tidak
berbeda bermakna pada indikator kadar gula darah puasa dan 2 jam
post prandrial, komposisi asupan karbohidrat dan total kalori. Dengan
demikian ada hubungan antara komposisi asupan dengan kejadian
sindrom metabolik.
Persamaan :
a. Rancangan penelitian (cross sectional)
b. Variabel bebas (asupan zat gizi)
c. Variabel terikat (sindrom metabolik)
Perbedaan :
a. Subjek penelitian (remaja SMP dan SMA dengan wanita pengrajin
batik)
b. Kriteria diagnosis sindrom metabolik (IDF dengan NCEP-ATP III)
c. Pengambilan sampel (total sampling dengan purposive sampling)
8
d. Instrumen penelitian (Asupan : recall 24 jam selama 2 hari dengan
rentang waktu 3 hari dengan SQ-FFQ)
2. Lee et al (2017) dengan judul “Correlation of metabolic syndrome
severity with cardiovascular health markers in adolescents”.
Rancangan penelitian cross sectional dengan jumlah sampel
sebanyak 4837 remaja yang berusia 12–20 tahun, teknik
pengambilan sampel secara total sampling sejak tahun 1999-2012.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara
tingkat keparahan sindrom metabolik dan keempat indikator risiko
CVD yang diteliti. LDL, ApoB, dan hsCRP menunjukkan
kecenderungan temporal yang baik. Konsumsi lemak jenuh
berkorelasi positif dengan LDL (p = 0,005) dan ApoB (p = 0,012) dan
berbanding terbalik dengan serum asam urat (p = 0,001). Jumlah
asupan kalori berbanding terbalik dengan LDL (p = 0,003) dan serum
asam urat (p = 0,003). Konsumsi lemak tak jenuh, karbohidrat, dan
protein tidak terkait dengan LDL, ApoB, hsCRP, atau serum asam
urat. Dengan demikian ada hubungan antara komposisi asupan
dengan faktor resiko penanda kejadian sindrom metabolik.
Persamaan :
a. Rancangan penelitian (cross sectional)
b. Variabel bebas (asupan zat gizi)
Perbedaan :
a. Variabel terikat (sindroma metabolik dan kriteria CVD dengan
hanya sindrom metabolik saja)
9
b. Subjek penelitian (remaja usia 12-20 tahun dengan wanita
pengrajin batik)
c. Pengambilan sampel (total sampling dengan purposive
sampling)
d. Instrumen penelitian (Asupan : recall 24 jam untuk menilai
kebiasaan dan FFQ untuk menghitung intake makanan tinggi
fruktosa dengan SQ-FFQ)
3. Yoo et al (2004) dengan penelitiannya yang berjudul “Comparison of
dietary intakes associated with metabolic syndrome risk factors in
young adults: the Bogalusa Heart Study”. Rancangan penelitian cross
sectional dengan jumlah sampel sebanyak 1181 individu dewasa
awal yang berusia 19–38 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rendahnya konsumsi buah dan sayuran serta tingginya konsumsi
minuman manis secara independen terkait dengan prevalensi
sindrom metabolik pada populasi dan etnis-etnis tertentu. Dengan
demikian ada hubungan antara jenis asupan dengan kejadian
sindrom metabolik.
Persamaan :
a. Variabel bebas (asupan zat gizi dan status gizi)
b. Variabel terikat (sindrom metabolik)
c. Kriteria diagnosis sindrom metabolik (NCEP)
d. Instrumen penelitian (Asupan : SQ-FFQ)
Perbedaan :
a. Rancangan penelitian (cohort dan cross sectional)
10
b. Subjek penelitian (dewasa awal yang berusia 19–38 tahun
dengan wanita pengrajin batik)
c. Pengambilan sampel (total sampling dan purposive sampling)
4. Sutadarma dkk (2011) dengan penelitiannya yang berjudul
“Hubungan stres kerja, status gizi dan sindrom metabolik”.
Rancangan penelitian cross sectional dengan jumlah sampel
sebanyak 32 laki-laki usia 25-55 tahun yang memenuhi kriteria
sebagai subyek penelitian secara purposive. Penelitian tersebut
memperoleh hasil yakni didapatkan hubungan negatif antara tingkat
stres dengan sindrom metabolik, hubungan negatif antara berat
badan dan kadar HDL, dan hubungan negatif antara tinggi badan dan
kadar HDL. Selain itu, didapatkan hubungan positif antara lingkar
perut dan kadar trigliserida, dan hubungan positif antara berat badan,
IMT dan lingkar perut dengan rasio trigliserida dan HDL. Walaupun
didapatkan hubungan status gizi dengan risiko sindrom metabolik
secara statistik signifikan, namun belum dapat dikatakan mendukung
secara klinis. Dengan demikian ada hubungan antara status gizi
dengan kejadian sindrom metabolik.
Persamaan :
a. Rancangan penelitian (cross sectional)
b. Variabel bebas (status gizi)
c. Variabel terikat (sindrom metabolik)
d. Kriteria diagnosis sindrom metabolik (NCEP)
e. Pengambilan sampel (purposive sampling)
11
Perbedaan :
a. Variabel bebas (stres kerja dengan asupan zat gizi dan status
gizi)
b. Subjek penelitian (32 orang laki-laki usia 25-55 tahun dengan
wanita pengrajin batik)
5. Solechah dkk (2014) dengan penelitiannya yang berjudul “Proporsi dan
Faktor Risiko Sindrom Metabolik pada Pekerja Wanita di Pabrik Garmen
di Kota Bogor”. Rancangan penelitian ini adalah cross sectional dengan
teknik random sampling. Responden dalam penelitian ini adalah 59
wanita berusia 25-49 tahun, tidak sedang hamil atau menyusui, dan tidak
menopause. Penelitian tersebut memperoleh hasil yakni proporsi sindrom
metabolik pada pekerja wanita terdapat 18,6 persen. Dalam penelitian ini
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kecukupan zat gizi
dengan sindrom metabolik. Sedangkan karakteristik pekerja yang
berhubungan signifikan dengan sindrom metabolik agaknya besar
keluarga.
Persamaan :
a. Rancangan penelitian (cross sectional)
b. Variabel bebas (asupan zat gizi)
c. Variabel terikat (sindrom metabolik)
Perbedaan :
a. Variabel bebas (aktifitas fisik dengan status gizi)
b. Pengambilan sampel (random sampling dan purposive
sampling)
12
c. Kriteria diagnosis sindrom metabolik (IDF dan AHA/NHLBI
dengan NCEP-ATP III)
d. Subjek penelitian (wanita pekerja pabrik dengan wanita
pengrajin batik)
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik adalah istilah untuk sekelompok faktor risiko
yang meningkatkan risiko penyakit jantung dan masalah kesehatan
lainnya, seperti diabetes dan stroke. Istilah "metabolik" mengacu
pada proses biokimia yang terlibat dalam fungsi normal tubuh (NHLBI,
2016). The National Cholesterol Education Program Third Adult
Treatment Panel (NCEP-ATP III) mendefinisikan sindrom metabolik
adalah seseorang yang memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut :
1). Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita
dan > 102 cm untuk pria)
2). Peningkatan kadar trigliserida darah (≥ 50 mg/dL, atau ≥ 1,69
mmol/ L)
3). Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03
mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L)
4). Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik ≥130
mmHg, tekanan darah diastolik ≥85 mmHg atau sedang memakai
obat anti hipertensi)
5). Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa ≥110
mg/dL, atau ≥ 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes)
(Adult Treatment Panel III, 2001).
14
Terdapat beberapa definisi dan kriteria sindroma metabolik lain,
diantaranya adalah kriteria World Health Organization (WHO), AACE,
dan kriteria International Diabetes Federation (IDF).
Tabel 2.1Kriteria Sindrom Metabolik
PengukuranKlinis
WHO(1998)
ATP III(2001)
AACE(2003)
IDF(2005)
Resistensiinsulin
IGT, IFG,DiabetesMellitus tipe 2ataumenurunkansensitivitasinsulinditambah 2kriteria lain
Tidak,tetapiharusmemenuhi3 kriteriadari 5
IGT atauIFGditambahkriterialain
Tidak ada
Berat badan Pria : rasiopinggangpanggul >0,9;wanita : rasiopinggangpanggul >0,85dan atau BMI>30kg/m2
Lingkarpinggang≥102cmpada priaatau≥88cmpadawanita
BMI≥25kg/m2
Peningkatanlingkarpinggang(padapopulasispesifik)ditambah 2kriteria lain
15
PengukuranKlinis
WHO(1998)
ATP III(2001)
AACE(2003)
IDF(2005)
Lipid Trigliserida≥150mg/dLdan ataukadar HDL<35mg/dLpada pria atau<39mg/dLpada wanita
Trigliserida≥150mg/dL; kadarHDL<40mg/dLpada priaatau<50mg/dLpadawanita
Trigliserida≥150mg/dL dankadarHDL<40mg/dLpada priaatau<50mg/dLpadawanita
Trigliserida≥150mg/dLataumemperoleh treatmenttrigliserida.Kadar HDL<40mg/dLpada priaatau<50mg/dLpadawanita,ataumemperoleh treatmentHDLkolesterol
Tekanandarah
≥140/90mmHg
≥130/85mmHg
≥130/85mmHg
≥130mmHgsistol atau≥85mmHgdiastol ataumemperoleh treatmenthipertensi
Glukosa IGT, IFG atauDiabetesMellitus tipe 2
>110mg/dL(termasukdiabetes)
IGT atauIFG (tapibukandiabetes)
≥100mg/dL(termasukdiabetes)
Lainnya Microalbuminuria : ekskresimelalui urin>20mg/menitatau albumin :rasio kreatinin>30mg/g
Kriterialainresistensiinsulin
16
1.1 Patofisiologi dan Patogenesis Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik disebabkan oleh faktor fisiologis, biokimia,
klinis, dan metabolik yang saling terkait yang secara langsung
meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, diabetes melitus tipe
2, dan semua penyebab kematian. Resistensi insulin, visceral
adiposity, dislipidemia aterogenik, disfungsi endotel, kerentanan
genetik, peningkatan tekanan darah, hiperkoagulasi, dan stres
kronis adalah beberapa faktor yang merupakan sindrom ini (Kaur,
2014). Peradangan kronis diketahui terkait dengan
obesitas visceral dan resistensi insulin yang ditandai dengan
produksi abnormal adipocytokines seperti tumor necrosis factor α,
interleukin-1 (IL-1), IL-6, leptin, dan adiponektin. Interaksi antara
komponen fenotipe klinis sindrom dengan fenotipe biologisnya
(resistensi insulin, dislipidemia, dan lain-lain) berkontribusi pada
terjadinya keadaan proinflammatory dan selanjutnya peradangan
vaskular kronis subklinis yang memodulasi dan menghasilkan
proses aterosklerotik (Kaur, 2014).
1.1.1 Obesitas abdominal
Terjadinya pembesaran jaringan adiposit pada area perut
akibat adipocytes hypertrophy and hyperplasia (Halberg,
2008). Obesitas menyebabkan pembesaran jaringan
adiposit secara progresif, sehingga suplai darah ke
jaringan adiposit berkurang dan menyebabkan hipoksia
(Cinti, 2005). Hipoksia telah diketahui menjadi penyebab
17
terjadinya nekrosis dan infiltrasi makrofag ke dalam
jaringan adiposa itu sehingga menyebabkan kelebihan
produksi metabolit aktif biologis yang dikenal sebagai
adipocytokines yang meliputi gliserol, free fatty acid (FFA),
mediator proinflamasi (tumor necrosis factor alpha (TNFα)
dan interleukin-6 (IL-6)), plasminogen activator inhibitor-1
(PAI-1), dan C-reaktif protein (CRP) (Lau, 2005). Hal ini
menyebabkan peradangan lokal pada jaringan adiposa
yang merambat secara keseluruhan menjadi peradangan
sistemik terkait dengan berkembangnya komorbiditas
terkait obesitas.
1.1.2 FFA (Free Fatty Acid)
Adiposit subkutan bagian atas tubuh menghasilkan
sebagian besar FFA yang beredar dalam tubuh
sedangkan lemak visceral diketahui berkorelasi positif
dengan tingkat FFA splanchnic yang dapat menyebabkan
akumulasi lemak pada hati yang umumnya ditemukan
pada obesitas perut (Miles, 2005). Efek peningkatan FFA
terhadap otot skelet dapat menginduksi resistensi insulin
dengan menghambat pengambilan glukosa melalui insulin
yang termediasi, sedangkan efeknya terhadap pankreas
dapat mengganggu fungsi sel β pancreas (Boden, 2001).
18
1.1.3 TNFα (Tumor Necrosis Factor α)
TNFα adalah mediator parakrin pada adiposit dan
bertindak secara lokal untuk mengurangi sensitivitas
insulin di jaringan adiposit (Lau, 2004). Bukti menunjukkan
bahwa TNFα menginduksi apoptosis adiposity (Xydakis,
2004) dan meningkatkan resistensi insulin melalui
penghambatan jalur sinyal substrat reseptor insulin 1 .
Plasma TNFα berhubungan positif dengan berat badan,
lingkar pinggang, dan trigliserida (TGs), namun berkorelasi
negatif dengan high density lipoprotein–cholesterol (HDL-
C) (Xydakis, 2004).
1.1.4 IL-6 (Interleukin-6)
IL-6 memiliki peran penting dalam regulasi homeostasis
seluruh tubuh dan peradangan. IL-6 mampu menekan
aktivitas lipoprotein lipase. Reseptor IL-6 juga
diekspresikan di beberapa daerah otak, contohnya
hipotalamus yang fungsinya mengendalikan nafsu makan
dan asupan energi (Stenlof, 2003). IL-6 telah terbukti
berhubungan positif dengan BMI, insulin saat puasa, dan
perkembangan diabetes mellitus tipe 2 (Pradhan et al,
2001) namun berhubungan negatif dengan HDL-C (Zuliani,
2007).
19
1.1.5 Adiponectin
Penurunan berat badan terbukti meningkatkan level
adiponectin; pada hewan yang diinduksi obesitas dan
resisten insulin, levelnya menurun. Adiponectin mengatur
regulasi lipid dan metabolisme glukosa, meningkatkan
sensitivitas insulin, mengatur asupan makanan dan
melindungi terjadinya inflamasi kronik (Liu, 2009).
Penelitian menunjukkan bahwa hypoadiponectinemia
berhubungan dengan resistensi insulin dan kemungkinan
munculnya diabetes mellitus tipe 2, serta peningkatan
massa lemak (Femeron, 2004).
1.2 Kriteria (Faktor Risiko) Sindrom Metabolik
1.2.1 Lingkar pinggang
Waist Circumference/ lingkar pinggang adalah prediktor
sindrom metabolik yang lebih baik dibandingkan dengan
indeks obesitas lainnya seperti BMI, WHR, dan WHtR pada
pria dan wanita. Nilai cut-off WC yang optimal untuk
memprediksi sindrom metabolik masing-masing adalah 99,5cm
dan 91cm pada pria dan wanita. Jumlah WHR, WHTR, dan
BMI masing-masing adalah 0,90 dan 0,88; 0,58 dan 0,63;
28kg / m2 dan 28,4kg / m2 pada pria dan wanita Qatar (Bener
et al, 2013). Angka ini tentu berbeda pada tiap negara. Di
Indonesia, cut-off lingkar pinggang yang tepat untuk
20
memprediksi sindrom metabolik adalah 85 cm untuk pria dan
83,5 cm untuk wanita (Bantas, 2013). Berat badan, BMI, lemak
subkutan, dan lemak visceral memiliki hubungan dengan
resistensi insulin dan homeostasis glukosa plasma dan insulin,
individu yang overweight atau obesitas dengan kelebihan
lemak visceral lebih berpeluang mengalami resistensi insulin
(Bantas, 2013).
1.2.2 Glukosa darah
Hyperglycemia, resistensi insulin, dan atau metabolit
kolesterol spesifik memiliki fungsi untuk sintesis komponen
penting [angiotensinogen, renin, angiotensin-converting
enzyme (ACE)], penghancuran (ACE2), atau responsivitas
(angiotensin II type 1 receptors, Mas receptors) peptida
angiotensin pada beberapa tipe sel (misal pancreatic islet cells,
adipocytes, macrophages) yang menjadi penyebab sindrom
metabolik (Putnam, 2012).
1.2.3 Trigliserida dan HDL Kolesterol
Renin-angiotensin system (RAS) dan angiotensin II
merupakan komponen yang mengatur kadar lipid (TG, HDL-C,
LDL-C) dalam tubuh, sehingga ketidakseimbangan komponen
ini dapat menyebabkan terjadinya sindrom metabolik (Putnam,
2012).
21
1.2.4 Tekanan darah
Hipertrofi adiposit merupakan stimulus yang meningkatkan
beberapa adipokin yang memiliki pengaruh mengontrol
tekanan darah, termasuk diantaranya adalah RAS. Peran RAS
dalam pengaturan tekanan darah adalah sebagai penyebab
adanya hipertensi obesitas. Angiotensin II juga memiliki andil
dalam pengaturan tekanan darah, yakni vasokontriksi,
stimulasi sistem syaraf simpatis dan elaborasi aldosteron yang
mempengaruhi retensi air dan natrium (Putnam, 2012).
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Sindrom Metabolik
2.1. Status Gizi
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi
makanan dan penggunaan zat-zat gizi menjadi sumber energi
yang diperlukan untuk kinerja fisik (Gibson, 2000). Salah satu
penelitian menunjukkan bahwa aspek indeks massa tubuh/ IMT
berhubungan positif dengan kejadian sindrom metabolik
(Sargowo, 2011; Sutadarma dkk, 2011).
2.1.1. Penilaian Status Gizi
Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan cara
langsung dan tidak langsung, adapun cara langsung adalah
pemeriksaan biokimia, pemeriksaan klinis, pemeriksaan biofisik
22
dan antropometri. Pemeriksaan antropometri dapat dilakukan
dengan menghitung indeks massa tubuh/ IMT dan menganalisis
komposisi tubuh. Pemeriksaan tidak langsung dapat dilakukan
dengan cara survey konsumsi makanan, statistic vital dan faktor
ekologi (Supariasa, 2001).
2.1.2. Indeks Antropometri
Ada berbagai cara untuk menilai status gizi, salah satunya
dengan pengukuran tubuh manusia yang dikenal dengan istilah
“Antropometri”. Antropometri merupakan pengukuran dimensi
tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat usia dan tingkat
gizi yang dapat dilakukan terhadap berat badan, tinggi badan, dan
lingkaran-lingkaran bagian tubuh serta tebal lemak di bawah kulit
(Supariasa, 2002). Antropometri telah lama dikenal sebagai
indikator penilaian status gizi perorangan maupun kelompok.
Beberapa macam antropometri yang umum digunakan antara
lain : berat badan (BB), tinggi badan (TB) dan lingkar lengan atas
(LiLA) (Rismawan, 2008). BB dan TB dapat diformulasikan
menjadi rumus Indeks Massa Tubuh (IMT). IMT sering digunakan
untuk mengukur status gizi seseorang. (Hartono, 2006).
23
Tabel 2.2Kategori IMT menurut Depkes (2011)
Kategori IMT
Kurus Kekurangan berat badan tingkat berat < 17,0
Kekurangan berat badan tingkatringan
17,0 – 18,4
Normal 18,5 – 25,0
Gemuk Kelebihan berat badan tingkat ringan 25,1 – 27,0
Kelebihan berat badan tingkat berat > 27,0
Selain menggunakan IMT, status gizi juga dapat dinilai
melalui pengukuran antropometri dengan mengetahui komposisi
tubuh yakni persen lemak tubuh. Pengukuran persen lemak tubuh
dikelompokkan menjadi lima kategori berdasarkan cut off point
menurut Gibson (2005) dalam Handayani (2013), yaitu underfat/
lemak kurang (<13%), healthy/ normal (13—23%), low risk obese/
risiko obese rendah (24—27%), overfat/ lemak lebih (28—32%),
dan obese (≥33%). Hubungan status gizi dengan persen lemak
tubuh menunjukkan bahwa semakin tinggi IMT/U
mengindikasikan persen lemak tubuh yang tinggi (Handayani,
2013). Persen lemak tubuh memiliki hubungan yang positif
dengan kadar gula darah, trigliserida dan tekanan darah (Dao,
2010). Sehingga semakin tinggi persen lemak tubuh akan
semakin tinggi pula kadar gula darahnya, kadar trigliseridanya
dan tekanan darahnya. Jika hal ini terjadi, maka cenderung
beresiko mengalami sindrom metabolik.
24
2.1.3. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Gizi
2.1.3.1. Asupan Zat Gizi
Asupan zat gizi adalah semua jenis makanan dan
minuman yang dikonsumsi individu dalam sehari
(Supariasa, 2001). Menurut Moehji (2003), manusia yang
sehat dan mendapatkan makanan yang cukup dari segi
kualitas maupun kuantitasnya akan memiliki kesanggupan
maksimal dalam menjalani hidupnya. Asupan makanan
akan menjadi sumber energi bagi tubuh. Energi tersebut
dibutuhkan oleh manusia untuk melakukan berbagai
pekerjaan fisik dan menjalani proses-proses internal tubuh
seperti sirkulasi darah, denyut jantung, pernafasan,
pencernaan, dan proses fisiologis lainnya (Suhardjo, 1989).
Telah diketahui juga bahwa asupan zat gizi sangat
mempengaruhi status gizi seseorang, semakin baik
kualitas dan kuantitas asupannya maka semakin baik
status gizinya (Purwaningrum, 2012).
Zat gizi/ nutrien dibedakan menjadi makronutrien
dan mikronutrien. Makronutrien diperlukan dalam jumlah
yang besar oleh tubuh sedangkan mikronutrien hanya
diperlukan dalam jumlah yang sedikit. Selanjutnya adalah
air yang menjadi komponen esensial dalam diet karena
asupan cairan yang cukup merupakan hal yang vital bagi
kelangsungan hidup. Makronutrien dalam diet mencakup
25
karbohidrat, lemak dan protein. Sedangkan mikronutrien
mencakup vitamin dan mineral (Barasi, 2007).
Asupan zat gizi yang memiliki kaitan terhadap
sindrom metabolik salah satunya adalah lemak jenuh/
saturated fat, karena berkorelasi positif dengan kadar LDL/
Low Density Lipoprotein (Lee et al, 2017; Zahtamal, 2014).
Asupan serat dan gorengan juga terbukti memiliki
pengaruh dengan kejadian sindrom metabolik (Zahtamal,
2014; Sihombing, 2015). Sedangkan yang tidak
berhubungan positif dengan sindrom metabolik adalah
asupan minuman berupa kopi dan asupan makanan tinggi
fruktosa (Song, 2016; Lee et al, 2017).
A. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Asupan Zat
Gizi
Asupan zat gizi dapat dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya adalah menurut UNICEF
Conceptual Framework for Malnutrition (1990),
dengan tambahan dari Leung et al (2012),
Purwaningrum (2012), Marks (2006) dan Maseda
(2017).
i. Penyakit
Menurut UNICEF, status kesehatan
seseorang, dalam hal ini kaitannya dengan
penyakit, memiliki hubungan signifikan
26
dengan asupan zat gizi individu. Apabila
penyakit bersifat parah, maka bisa menjadi
penyebab berkurangnya asupan zat gizi
individu tersebut.
ii. Ketersediaan Pangan
Ketersediaan pangan dalam suatu
komunitas atau rumah tangga juga
berpengaruh terhadap asupan zat gizi
(UNICEF, 1990). Hal ini dikarenakan,
apabila suatu komunitas atau rumah
tangga memiliki ketersediaan pangan yang
tidak mencukupi, akan berpengaruh
terhadap asupan zat gizi mereka.
iii. Tingkat Pendidikan Formal
Asupan zat gizi seseorang juga dapat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan formal
individu (UNICEF, 1990). Suatu penelitian
menemukan bahwa tingkat asupan zat gizi
yang bagus, nampak pada individu yang
memiliki tingkat pendidikan formal minimal
SMA/ Sekolah Menengah Atas
(Purwaningrum, 2012).
iv. Pengetahuan Terkait Gizi
UNICEF juga menetapkan bahwa
pengetahuan individu terkait gizi sangat
27
berpengaruh terhadap asupan zat gizinya.
Apabila individu memiliki pengetahuan
terkait gizi yang baik, maka berpeluang
memiliki tingkat asupan zat gizi yang baik
pula.
v. Tingkat Pendapatan
Faktor tingkat pendapatan diketahui
memiliki kaitan dengan asupan zat gizi
individu (Leung et al, 2012). Pada individu
yang memiliki status gizi baik, ditemukan
bahwa mayoritas dari mereka memiliki
tingkat pendapatan yang baik, yakni diatas
UMR/ Upah Minimum Regional
(Purwaningrum, 2012).
vi. Jenis Kelamin
Faktor lainnya yang dapat mempengaruhi
asupan zat gizi individu adalah jenis
kelamin. Asupan zat gizi pada laki-laki
ditemukan lebih banyak daripada
perempuan (Purwaningrum, 2012; Marks,
2006).
28
vii. Usia
Asupan zat gizi seseorang juga dapat
dipengaruhi oleh usia. Individu berusia
lanjut ditemukan mengalami penurunan
asupan (asupan yang lebih sedikit)
dibanding non-usia lanjut (Maseda, 2017).
B. Penilaian Asupan Zat Gizi
Metode-metode pengukuran konsumsi makanan
antara lain :
A. Metode frekuensi makanan (food frequency).
Metode frekuensi makanan adalah untuk
memperoleh data tentang frekuensi konsumsi
sejumlah bahan makanan atau makanan jadi
selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan,
dan tahun. Cara ini paling sering digunakan dalam
penelitian epidemiologi gizi. Data asupan zat gizi
sehari-hari dapat diperoleh salah satunya dengan
Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire
(SQFFQ). SQFFQ adalah metode untuk
memperoleh data tentang frekuensi konsumsi
sejumlah bahan makanan atau makanan jadi
selama periode tertentu seperti hari, minggu, bulan
atau tahun (Muzzammil, 2015).
B. Metode ingatan pangan 24 jam (24-hours food
recall).
29
Prinsip dari metode ini adalah mencatat jenis
dan jumlah bahan makanan yang dikonsumsi pada
periode 24 jam yang lalu. Dalam metode ini,
responden diminta untuk menceritakan semua yang
dimakan dan diminum selama 24 jam yang lalu.
Data konsumsi yang dicatat mulai bangun pagi
dihari kemarin sampai istirahat tidur malam harinya.
Data yang diperoleh dari recall 24 jam bersifat
kualitatif. Sehingga perlu ditanyakan secara teliti
dengan menggunakan alat ukuran rumah tangga.
C. Metode pendaftaran makanan (food list).
Metode ini dilakukan dengan menanyakan dan
mencatat seluruh bahan makanan dan
memperhitungkan bahan makanan yang terbuang
atau rusak. Pengumpulan data dilakukan dengan
wawancara.
D. Metode Penimbangan (food weighing).
Petugas menimbang dan mencatat seluruh
makanan yang dikonsumsi selama satu hari.
Jumlah makanan yang dikonsumsi sehari kemudian
dianalisis dengan menggunakan DKBM atau DKGJ
( Daftar Konsumsi Gizi Jajanan). Setelah itu,
hasilnya dibandingkan dengan Angka Kecukupan
Gizi (AKG) yang dianjurkan. Kelebihan dari metode
ini adalah bahwa data yang diperoleh lebih akurat.
30
2.1.3.2. Status Pernikahan
Status pernikahan diketahui memiliki hubungan dengan
status gizi individu. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Maseda et al (2017) ditemukan banyak individu yang
memiliki status gizi baik pada individu yang status
pernikahannya adalah menikah dibandingkan yang cerai
atau tidak menikah. Pria memiliki resiko lebih tinggi
mengalami gizi buruk pada kondisi tidak menikah (single)
atau bercerai.
2.1.3.3. Keadaan Fungsional
Status gizi dapat dipengaruhi oleh keadaan fungsional
seseorang. Menurut penelitian Maseda et al (2017),
individu dengan malnutrisi ada hubungannya dengan skala
instrumental activities of daily living (IADL) yang rendah
(p=0,05).
2.1.3.4. Kualitas Hidup
Kualitas hidup seseorang memiliki hubungan signifikan
dengan status gizi (p<0,0001). Hal ini dibuktikan dengan
adanya hubungan antara skor WHOQOL-BREF (The World
Health Organizations's Quality of Life measure-brief
Version) yang rendah dengan status gizi buruk/ malnutrisi.
2.1.3.5. Kesehatan Fisik
Individu dengan kesehatan fisik yang buruk/ malnutrisi
diketahui memiliki kesehatan fisik yang buruk pula. Dengan
31
demikian nampak ada hubungan yang erat antara status
gizi dan kesehatan fisik individu (p<0,0001).
2.1.3.6. Perasaan Kesepian
Perasaan kesepian diketahui memiliki hubungan yang
signifikan dengan keadaan status gizi seseorang (p=0,028).
Individu yang sering mengalami perasaan kesepian akan
beresiko memiliki status gizi kurang/ malnutrisi.
2.2. Asupan Zat Gizi
Asupan zat gizi memiliki hubungan erat terhadap sindrom
metabolik, salah satunya adalah asupan lemak jenuh/ saturated
fat, karena berkorelasi positif dengan kadar LDL/ Low Density
Lipoprotein (Lee et al, 2017; Zahtamal, 2014). Asupan serat dan
gorengan juga terbukti memiliki pengaruh dengan kejadian
sindrom metabolik (Zahtamal, 2014; Sihombing, 2015).
Sedangkan yang tidak berhubungan positif dengan sindrom
metabolik adalah asupan minuman berupa kopi dan asupan
makanan tinggi fruktosa (Song, 2016; Lee et al, 2017).
2.3. Besar Keluarga
Besar keluarga juga diketahui memiliki pengaruh terhadap
kejadian sindrom metabolik (Solechah et al, 2014). Pada
penelitian yang dilakukan oleh Solechah (2014) diketahui bahwa
OR untuk variabel ini adalah sebesar 6,286 yang dapat diartikan
bahwa pekerja yang memiliki keluarga besar berisiko 6,286 kali
lebih tinggi untuk menderita sindrom metabolik daripada pekerja
dengan keluarga kecil. Hal ini mungkin dikarenakan pengaruh
32
besar keluarga terhadap pengeluaran untuk pangan. Semakin
besar keluarga maka semakin besar pula pengeluaran untuk
pangan sehingga kualitas konsumsi mungkin kurang diperhatikan
2.4. Aktifitas Fisik Rendah
Kejadian sindrom metabolik berkorelasi positif dengan rendahnya
aktifitas fisik. Individu dengan aktifitas fisik rendah menurut Kaur
(2014) lebih beresiko terkena sindrom metabolik dibandingkan
dengan individu yang memiliki aktifitas fisik cukup atau lebih.
2.5. Status Merokok
Merokok merupakan faktor yang berasal dari luar tubuh yang
berhubungan dengan kejadian sindrom metabolik. Merokok
mampu meningkatkan resiko keseimbangan energi bernilai
positif/positive energy balance yang berefek pada hiperplasia
dan hipertofi pada jaringan adiposit. Hal ini akan mempengaruhi
metabolisme asam lemak bebas/ free fatty acid/ FFA, apabila
dibiarkan berlarut-larut akan memulai metabolisme inflamasi lain
yang akan berakibat pada sindrom metabolik (Kaur, 2014)
2.6. Stress
Sindrom metabolik dapat dipengaruhi oleh tingkat stress
seseorang. Stress tinggi akan berakibat pada terganggunya
metabolisme anti-inflamasi. Hambatan ini mengakibatkan sitokin
inflamasi penyebab sindrom metabolik meningkat sehingga
mempengaruhi keadaan fisiologis tubuh secara umum (Kaur,
2014).
2.7. Genetik
33
Faktor genetik ternyata juga berpengaruh terhadap kejadian
sindrom metabolik. Berdasarkan banyak penelitian diperoleh
bukti bahwa resistensi insulin yang berakibat pada diabetes
mellitus tipe 2 dapat diturunkan dari orangtua kepada anaknya
melalui gen tertentu. Keadaan dislipidemia juga demikian.
Sedangkan riwayat BBLR/ berat badan lahir rendah diketahui
memiliki resiko lebih tinggi mengalami sindrom metabolik pada
usia dewasa dibanding yang tidak BBLR (Kaur, 2014).
3. Pengrajin Batik
Batik berasal dari bahasa jawa “m batik”, yaitu mbat yang
merupakan kependekan dari ngembat atau melontarkan dan tik yang
merupakan kependekan dari titik sehingga batik diartikan sebagai
melemparkan titik berkali-kali dalam selembar kain (Tim Sanggar
Batik Barcode, 2010). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
batik memiliki arti kain bergambar yang pembuatannya secara
khusus dengan menuliskan atau menerakan malam pada kain itu,
kemudian pengolahannya diproses dengan cara tertentu. Sehingga
tentunya peran pengrajin batik sangat penting pada tiap proses
tersebut.
Industri batik memiliki motif batik utama dan pelengkap dengan
memberi isen-isen sebagai pengisi bidang. Disamping itu pewarnaan
menggunakan zat pewarna alam dari tumbuh-tumbuhan sekitar
lingkungan berupa daun, bunga, akar, dan batang. Sedangkan zat
pewarna sintetis yang dipakai yaitu naphtol, indigosol, dan rapide.
Dalam proses pewarnaan batik pengerjaannya dilakukan dengan
34
sangat hati-hati dan teliti yang bertujuan untuk menghasilkan warna
kain batik sempurna (Hadaf, 2016).
Pada penelitian yang diadakan di Sidoarjo, diketahui mayoritas
pengrajin batik berusia >35 tahun dan jenis kelamin terbanyak
adalah perempuan. Mereka juga diketahui mengalami banyak
keluhan karena stasiun kerja yang tidak nyaman dan belum
memenuhi standar sehingga diperlukan perbaikan desain ulang pada
stasiun kerja (Pamungkas, 2013).
Terkait dengan aspek pangan, keluarga anggota dari salah satu
kelompok di daerah Dusun Giriloyo (Imogiri, Bantul, Yogyakarta) yaitu
kelompok Sekar Arum telah dapat memenuhinya, dengan
mengkonsumsi makanan tiga kali sehari, diselangi oleh santapan
sore dan minum teh atau kopi yang telah menjadi kebiasaan warga
setempat. Hal ini karena kelompok batik tulis pada kelompok tersebut
telah berhasil mewujudkan ketahanan ekonomi keluarga (Nursaid,
2016).
B. Kerangka Teori
35
Berdasarkan uraian teori dalam tinjauan pustaka diatas, kerangka teori
sebagai berikut :
Gambar 1. Kerangka Teori Penelitian
Sumber : UNICEF (1990); Leung et al (2012); Purwaningrum (2012);
Marks (2006); Maseda (2017); Sargowo (2011); Sutadarma (2011); Lee et
al (2017); Zahtamal (2014); Sihombing (2015); Solechah (2014); Kaur
(2014); Dao (2010)
Asupan Zat Gizi
StatusGizi (IMT
danPersenLemakTubuh
Sindrom Metabolik
Penyakit KetersediaanPangan
TingkatPendidikanFormal
Pengetahuanterkait Gizi
TingkatPendapatan
JenisKelamin
Usia
StatusPernikahan
KualitasHidup
PerasaanKesendirian
KeadaanFungsional
KesehatanFisik
BesarKeluarga
AktifitasFisik
Rendah
StatusMerokok
Stress Genetik
36
C. Kerangka Konsep
Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian
D. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat hubungan antara asupan zat gizi (energi,
protein, lemak dan karbohidrat) dan status gizi (IMT
dan persen lemak tubuh) dengan sindrom metabolik
pada wanita pengrajin batik.
2. Terdapat hubungan antara status gizi (IMT dan persen
lemak tubuh) dengan sindrom metabolik pada wanita
pengrajin batik.
3. Terdapat hubungan antara asupan zat gizi (energi,
protein, lemak dan karbohidrat) dengan sindrom
metabolik pada wanita pengrajin batik.
Asupan Zat Gizi
StatusGizi (IMT
danPersenLemakTubuh
Sindrom Metabolik