bab i pendahuluan - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas...

24
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Adanya permohonan Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ir. DAWUD DJATMIKO, yang tersangkut perkara dugaan Korupsi dalam Jakarta Outer Ring Road, dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 003 /PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 berdampak pada dihapusnya penerapan unsur perbuatan melawan hukum materiil dalam Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya dipahami pengertian perbuatan melawan hukum. Dalam hukum dikenal ada dua macam perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) , yaitu perbuatan melawan hukum dalam pengertian formal dan perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Perbuatan melawan hukum saja yang diperhatikan dalam hukum pidana, perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk

Upload: others

Post on 07-Dec-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Adanya permohonan Pengujian Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang–Undang Nomor 31 Tahun

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD

1945 yang diajukan oleh Ir. DAWUD DJATMIKO, yang tersangkut

perkara dugaan Korupsi dalam Jakarta Outer Ring Road, dan telah

diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusannya Nomor 003

/PUU-IV/2006 Tanggal 25 Juli 2006 berdampak pada dihapusnya

penerapan unsur perbuatan melawan hukum materiil dalam Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi.

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya dipahami pengertian

perbuatan melawan hukum. Dalam hukum dikenal ada dua macam

perbuatan melawan hukum (wederrechtelijkheid) , yaitu perbuatan

melawan hukum dalam pengertian formal dan perbuatan melawan

hukum dalam arti materiil. Perbuatan melawan hukum saja yang

diperhatikan dalam hukum pidana, perbuatan-perbuatan inilah yang

dilarang dan diancam dengan pidana. Langemeyer mengatakan untuk

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak

dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal. Persoalannya adalah,

apakah ukuran keliru atau tidaknya suatu perbuatan?

Mengenai hal ini ada dua pendapat. Pertama apabila perbuatan

telah mencocoki larangan undang-undang, maka disitu ada kekeliruan.

Letak melawan hukumnya perbuatan sudah ternyata dari sifat

melanggar ketentuan undang-undang kecuali jika termasuk

perkecualian yang telah ditentukan oleh undang-undang pula. Bagi

mereka ini melawan hukum berarti melawan undang-undang, sebab

hukum adalah undang-undang. Pendirian demikian dinamakan

pendirian yang formal. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa belum

tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang

bersifat melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum

bukanlah undang-undang saja, disamping undang-undang (hukum yang

tertulis) ada pula hukum yang tidak tertulis, yaitu norma-norma atau

kenyataan-kenyataan yang berlaku dalam masyarakat. Pendirian yang

demikian dinamakan pendirian yang materiil.1

Menurut Van Hattum, mengenai wederrechtelijkheid itu terdapat

perbedaan pendapat tentang apa yang disebut orang dengan

perkataan formele wederrechtelijkheid dengan apa yang

disebut materieele wederrechtelijkheid atau tentang apa yang

1 Moeljatno , Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Ke-tujuh, Jakarta : PT. Rineka Cipta, ,

September 2002, hal. 130-131.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

disebut wederrechtelijkheid dalam arti formal dengan apa yang

disebut wederrechtelijkheid dalam arti material.2

Ajaran wederrechtelijkheid dalam arti formal mengemukakan

bahwa suatu perbuatan hanya dapat dipandang sebagai bersifat

wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua unsur

yang terdapat di dalam rumusan suatu delik menurut undang-undang.

Sedang menurut ajaran wederrechtelijkheid dalam arti material, apakah

suatu perbuatan itu dapat dipandang sebagai

bersifat wederrechtelijk atau tidak, masalahnya bukan saja harus

ditinjau sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang tertulis,

melainkan juga harus ditinjau menurut asas-asas hukum umum dari

hukum yang tidak tertulis.3

Secara singkat ajaran sifat melawan hukum yang formal

mengatakan bahwa apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua

unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana, perbuatan tersebut

adalah tindak pidana. Sedangkan ajaran yang materiil mengatakan

bahwa di samping memenuhi syarat-syarat formal, yaitu mencocoki

semua unsur yang tercantum dalam rumusan delik, perbuatan itu harus

benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak

patut atau tercela.4

Satochid Kertanegara, mengatakan bahawa wederrechtelijk

formil bersandar pada undang-undang, sedangkan wederrechtelijk

materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum

2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-

undang nomor 25 tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang. 3 Lamintang, P.A.F., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, Bandung, : PT.

Citra Aditya Bakti, 1997, hal. 351. 4 Sapardjaja Komariah Emong , Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiel Dalam Hukum Pidana

Indonesia, Cetakan Ke-1, Bandung : PT. Alumni, 2002, hal. 25.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

yang terdapat dalam lapangan hukum atau apa yang dinamakan

algemene beginsel.5

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menegaskan

bahwa pengertian “secara melawan hukum” adalah dalam pengertian

formil maupun materiil. Hal mana jelas dinyatakan dalam penjelasan

umum undang-undang tersebut, yang dikutip berbunyi sebagai berikut :

“Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan

keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan

rumit, maka tindak pidana yang diatur dalam undang-undang ini

dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara

„melawan hukum‟ dalam pengertian formil dan materiil.”

Penjelasan Pasal 2 ayat (1)-nya sendiri menyatakan bahwa :

“yang dimaksud dengan secara „melawan hukum‟ dalam pasal ini

mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam

arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam

peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut

dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-

norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut

dapat dipidana.”

5 Aries, Ferry Suranta, Peranan PPATK dalam Mencegah Terjadinya Money Laundering,

Depok : Gramata Publishing, , 2010, hal. 47.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

Dengan penjelasan umum dan penjelasan Pasal 2 ayat (1) yang

sedemikian itu, maka Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

2001 tersebut, menegaskan bahwa dalam tindak pidana korupsi,

pengertian perbuatan melawan hukum adalah dalam pengertiannya

yang formil mau pun yang materiil. Hal tersebut mengingat pula bahwa

tindak pidana korupsi sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar

biasa (extraordinary crime). Ini ditegaskan pula dalam konsideran

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut bahwa tindak pidana

korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan

keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap

hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak

pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang

pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Namun, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dengan

Putusan Nomor : 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2006 dalam

amarnya menyatakan bahwa penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tersebut, sepanjang yang

mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil,

adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, sehingga menjadi tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat. Dengan demikian, sejak dijatuhkannya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006

tersebut, maka pengertian perbuatan melawan hukum dalam tindak

pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tersebut, hanya perbuatan melawan hukum dalam

pengertian formil saja.

Dalam perkara tersebut Mahkamah Konstitusi menilai memang

terdapat persoalan konstitusionalitas dalam kalimat pertama Penjelasan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sehingga

Mahkamah Konstitusi perlu mempertimbangkan lebih lanjut hal-hal

yang pada pokokya Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 mengakui dan

melindungi hak konstitusional warga negara untuk memperoleh

jaminan dan perlindungan hukum yang pasti, dengan mana dalam

bidang hukum, pidana diterjemahkan sebagai asas legalitas yang

dimuat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP, bahwa asas tersebut merupakan

satu tuntutan akan kepastian hukum dimana orang hanya dapat dituntut

dan diadili atas dasar suatu peraturan perundang-undangan yang

tertulis (lex scripta) yang telah lebih dulu ada. Hal demikian menuntut

bahwa suatu tindak pidana memiliki unsur melawan hukum, yang

harus secara tertulis lebih dahulu telah berlaku, yang merumuskan

perbuatan apa atau akibat apa dari perbuatan manusia secara jelas dan

ketat yang dilarang sehingga karenanya dapat dituntut dan dipidana

sesuai dengan prinsip nullum crimen sine lege stricta. Konsep melawan

hukum yang secara formil tertulis (formele wederrechtelijk) yang

mewajibkan pembuat Undang-Undang untuk merumuskan secermat

dan serinci mungkin merupakan syarat untuk menjamin kepastian

hukum (lex certa) atau dikenal juga dengan istilah Bestimmheitsgebot.6

Bahwa berdasarkan uraian diatas, konsep melawan hukum

materil (materiele wederrechtelijk), yang merujuk pada hukum tidak

6 Vide Jan Remmelink, Hukum Pidana, 200: 358

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

tertulis dalam ukuran kepatutan, kehati-hatian dan kecermatan yang

hidup dalam masyarakat, sebagai satu norma keadilan, adalah

merupakan ukuran yang tidak pasti, dan berbeda beda dari satu

lingkungan masyarakat tertentu ke lingkungan masyarakat lainnya,

sehingga apa yang melawan hukum di satu tempat mungkin di tempat

lain diterima dan diakui sebagai sesuatu yang sah dan tidak melawan

hukum, menurut ukuran yang dikenal dalam kehidupan masyarakat

setempat, sebagaimana yang disampaikan Ahli Prof. Dr. Andi Hamzah,

SH dalam persidangan.

Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Tindak Pidana Korupsi kalimat pertama tersebut, merupakan hal yang

tidak sesuai dengan perlindungan dan jaminan kepastian hukum yang

adil yang dimuat dalam pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Dengan

demikian, Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Tindak Pidana

Korupsi sepanjang mengenai frasa“ yang dimaksud dengan “Secara

melawan hukum” dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan

hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun

perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan

namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai

dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam

masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana.” Harus

dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Disisi lain terjadi perdebatan apakah keputusan Mahkamah

Konstitusi dengan mencabut atau menghapuskan sifat melawan hukum

materiil dalam undang-undang tindak pidana korupsi sudah tepat. Ada

sebagian ahli hukum berpendapat bahwa dengan dihapuskannya sifat

melawan hukum materiil dalam undang-undang pemberantasan tindak

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

pidana korupsi akan mempersempit jangkauan para penegak hukum

dalam menjerat para pelaku korupsi atau koruptor. Tidak sedikit pula

yang beranggapan bahwa dengan dihapuskannya sifat melawan hukum

materril tersebut akan merugikan masyarakat, karena sifat melawawan

hukum materril tidakhanya dalam fungsinya yang positif namaun

dalam fungsinya yang negatif terkadang masih dipandang perlu

diterapkan dalam hukum di Indonesia.

Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus yang diperiksa di

Pengadilan Tindak Pidana Korupasi Semarang. Kasus ini terjadi pada

tahun 2014, dimana seorang laki-laki yang bernama H. Muhsinin, SE

selaku kepala desa Pompongan telah didakwa bersalah

menyalahgunakan wewenang dan jabatannya dalam pelaksanaan

Pendistribusian Raskin Desa Pompongan, Kecamatan Beringin,

Kabupaten Semarang. Oleh Jaksa Penuntut Umum, pendistribusian

Raskin sejak Tahun 2009 sampai dengan bulan Mei tahun 2014, tidak

sesuai dengan prosedur atau tidak sesuai dengan Pedoman Umum

Petunjuk dan Teknis pendistribusian Raskin.

Fakta yang terungkap di persidangan itu antara lain, H. Muhsinin

sebagai kepala desa, sebagi penanggung jawab tertinggi di

pemerintahan desa, telah mengakui dan merasa bersalah dan

bertanggung jawab atas pendistribusian raskin sejak tahun 2009 sampai

dengan bulan mei 2012, yang tidak sesuai dengan Pedoman Umum

Petunjuk dan Pelaksanaan teknis Pendistribusian Raskin. Namun

dibalik itu semua, H. Muhsinin memiliki latarbelakang dan mitivasi

tersendiri tidak seperti yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum.

Bermula dari keinginan masyarakat Desa Popongan sebagaimana

keterangan yang disampaikan di persidangan oleh Sri Musrifah selaku

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

Sekretaris Desa Popongan bahwa penerimaan Raskin seharusnya 1 KK

menerima 1 sak namun dalam prakteknya di Desa Popongan 1 sak

dibagi untuk 5 KK dengan tujuan pemerataan penerima Raskin di Desa

Popongan dari 209 KK menjadi 530 KK dan hasil penjualan Raskin

yang dijual sebagian dipergunakan untuk memberikan bantuan sarana

dan prasarana seperti pembangunan talud dan rabat beton, pembelian

mobil ambulan, pembangunan rumah bala pecah sebagaimana hasil

musyawarah desa tanggal 4 Juni 2009.

Pada akhirnya melalui putusan Nomor :

35/Pid.Sus/2013/PN.Tipikor.Smg tertanggal 12 Juni 2014, Pengadilan

Tindak Pidana Korupsi Semarang menjatuhkan vonis kepada

Terdakwa selama 1 (satu) tahun dan 4 (empat) bulan dan denda

sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan

jika denda tidak dibayar harus diganti dengan pidana kurungan selama

2 (dua) bulan. Selain itu terdapat pidana tambahan berupa membayar

uang pengganti kepada negara sebesar Rp. 25.050.000,- (dua pulih

lima juta lima puluh ribu rupiah).

Melalui kasus diatas, tentunya rasa keadilan yang ada

dimasyarakat merasa terusik, hal ini dikemukakan oleh beberapa saksi

dalam persidangan yang notabenya masyarakat Desa Pompongan

sendiri. mengapa seorang laki-laki yang hanya melanggar peraturan

demi rasa kedilan dimasyarakat dan demi pembangunan desanya, harus

dijatuhi hukuman?

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

Dalam tesis ini Penilis akan membahas mengenai mengapa sifat

melawan hukum materiil pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 perlu

dihapuskan seperti yang tercantum dalam putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006.

B. Rumusan Masalah.

Bertitik tolak dari latar belakang sebagaimana telah dipaparkan

diatas, maka tampaklah bahwa paradigma yang ditawarkan oleh

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999, yang mengartikan perbuatan melawan hukum dalam tindak

pidana korupsi sebagai perbuatan melawan hukum dalam pengertian

materiil, telah dianulir oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusannya

tertanggal 25 Juli 2006 Nomor : 003/PUU-IV/2006, sehingga

perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi menjadi hanya

perbuatan melawan hukum dalam pengertian formal saja. Tesis ini

akan mengkaji masalah sebagai berikut :

Bagaimana pertimbangan hakim mengenai hapusnya sifat

melawan hukum materiil pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah

diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

seperti yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :

003/PUU-IV/2006 ?

C. Tujuan Penelitian.

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka

tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan tesis ini adalah :

Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim

mengenai hapusnya sifat melawan hukum materiil pada Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 telah dihapuskan seperti yang tercantum dalam

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006.

D. Manfaat Penelitian.

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian ini

dan tujuan yang ingin dicapai maka penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Manfaat Praktis.

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan

pemikiran atau bahan pertimbangan bagi penegak hukum

dalam menegakkan hukum pidana khususnya ranah

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi dengan memberikan

kajian yuridis mengenai dikeluarkannya putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor : 003/PUU-IV/2006 yang

berisi dihapuskannya sifat melawan hukum materiil

dalam undang-undang pemberantasan tindak pidana

korupsi.

2. Manfaat Teoritis

Memberikan sumbangan pemikiran berupa konsep,

metode atau teori dalam studi ilmu hukum, khususnya

yang menyangkut pemberantasan tindak pidana korupsi

dengan kajian yuridis menegenai dihapuskannya sifat

melawan hukum materiiil dalam undang-undang

pemberantasan tindak pidana korupsi sepeti yang

tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :

003/PUU-IV/2006.

E. Kerangka Pemikiran.

Dewasa ini kasus korupsi di Indonesia dipandang sebagai salah

satu masalah hukum yang serius, dapat kita lihat bersama diberbagai

pemberitaan betapa merajalelanya kasus korupsi yang terjadi akhir-

akhir ini. Mulai dari level jabatan birokrasi terendah semisal kepala

desa, camat, lurah, hingga pada level jabatan yang lebih tinggi seperti

anggota DPR, menteri, hingga hakim sekalipun tidak luput dari jeratan

kasus korupsi. Satjipto Rahardjo memandang korupsi yang terjadi di

Indonesia bukan saja telah membudaya, tetapi sudah menjadi kejahatan

yang terorganisir yang berdimensi internasional, karena itu

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

pemberantasannya tidak bisa lagi ditangani seperti kejahatan biasa,

tetapi harus dilakukan melalui upaya luar biasa.7

Korupsi sendiri berasal dari kata corruption atau corrupt yang

arti harafiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan,

ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari

kesucian.8 Dari pengertian korupsi tersebut banyak ahli yang mencoba

merumuskan pengertian istilah korupsi diantaranya Soedjono

Dirdjosisworo yang mengatakan bahwa korupsi merupakan perbuatan

bobrok yang banyak disangkutkan dengan ketidakjujuran seseorang

dalam bidang keuangan.9

Dalam pengertian lain, Korupsi menurut David H. Bayley

(didasarkan pada Webster’s Third New International Dictionary)

adalah perangsang (seorang pejabat pemerintah) berdasarkan iktikad

buruk misalnya suap) agar melakukan pelanggaran kewajibannya.10

Marella Buckley juga mendefinisikan korupsi sebagai penyelah gunaan

jabatan publik demi keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi

tidak sah.11

Pengertian tindak pidana korupsi pada Undang-undang No. 31

tahun 1999 terdapat dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9,10, 11, 12, 12 B, dan

13., 14, 15, 16. Pasal-pasal ini juga meliputi jenis tindak pidana

7 R.E.Baringbing, , Catur Wangsa yang Bebas Kolusi Simpul Mewujudkan Supremasi

Hukum, Jakarta: Pusat Kajian Reformasi, 2001, Hal. 16. 8 Hamzah, Andi, Korupsi di Indonesia, Masalah dan Pemecahannya, Jakarta: Gramedia, ,

1991, Hal. 7. 9 Dirdjosisworo, Soedjono, Kumpulan Peraturan Tindak Pidana Khusus dan

Pembahasannya, Yogyakarta: Liberty, 1984, Hal. 16. 10

Lubis, Mochtar & James C. Scott, Bunga Rampai Korupsi, Jakarta: LP3ES, 1995, Hal. 86. 11

Otto Sano, Hans, Hak Asasi Manusia dan Good Governance, Membangun Suatu

Ketertiban, Alih Bahasa oleh Rini Adriati, Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, 2003,

Hal. 157.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

korupsi. Namun di sini Penulis hanya menjelaskan pengertian tindak

pidana korupsi menurut Pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 31 Tahun

1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana

Korupsi karena kebanyakan pelaku Tindak Pidana Korupsi hanya

dikenai dakwaan atau tuntutan pada Pasal 2 dan 3 saja. Adapun isi dari

Pasal 2 dan 3 yaitu :

Pasal 2 ayat (1)

Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan

memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi

yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian

negara dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau

pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20

(dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00

(dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00

(satu milyar rupiah).

Pasal 3

Setiap orang dengan maksud dan tujuan menguntungkan diri

sendiri atau orang lain atau korporasi, menyalahgunakan

kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena

jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara

atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara

seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling

sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling

banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

Menurut Kurniawan, korupsi terdiri dari 4 unsur, antara lain :12

1. Tindakan melawan hukum.

2. Menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi,

kelompok, dan golongan.

3. Merugiakn negara baik secara langsung maupin tidak langsung.

4. Dilakukan oleh pejabat publik/penyelenggara negara maupun

masyarakat.

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana korupsi bila dilihat dari segi

hukum adalah:

1. Perbuatan melawan hukum.

2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana.

3. Memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi.

4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian.

5. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan)

6. Penggelapan dalam jabatan.

7. Pemerasan dalam jabatan.

8. Ikut serta dalam pengadaan barang (bagi pegawai

negeri/penyelenggara negara)

9. Menerima gratifikasi.

12

Kurniawan,L. . Menyingkap Korupsi di daerah. Jakarta : Indonesia Corruption Watch,

2003. hal 15

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

Berdasarkan penjelasan di atas maka rumusan korupsi adalah

secara melawan hukum + mengambil hak orang lain + tujuan memiliki

atau mendapat keuntungan + adanya penyalahgunaan kewenangan/

kepercayaan + menimbulkan kerugian negara.

Dalama bahasa Belanda, melawan hukum adalah wederrechtelijk

(weder: bertentangan dengan, melawan; recht: hukum). Menurut

Pendapat para ahli di dalam buku Teguh Prasetyo mengenai pengertian

melawan hukum antara lain adalah dari: 13

a. Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum

pada umumnya.

b. Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak

subjektif orang lain.

c. Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum

dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan

dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak

tertulis.

d. Van Hammel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa

hak/ wewenang.

e. Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut

HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan.

(arrest 18-12-1911 W 9263).

13

Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah.. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan

Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal 31-32.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

f. Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut

antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat

berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam

bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak

sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan

hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau

hukum subjektif”.

Adapun untuk menentukan apakah suatu perbuatan dikatakan

perbuatan melawan hukum atau tidak, diperlukan unsur-unsur sebagai

berikut :14

1. Perbuatan tersebut melawan hukum.

2. Harus ada kesalahan pada pelaku.

3. Harus ada kerugian.

Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yang penting dalam

hukum pidana di samping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari ajaran

sifat melawan hukum yang formal dan materiil, pengertiannya adalah

:15

a. Ajaran Sifat Melawan Hukum Formal

Sifat melawan hukum formal terjadi karena memenuhi rumusan

delik undang undang. Sifat melawan hukum formal merupakan

syarat untuk dapat dipidananya perbuatan. Ajaran sifat melawan

hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah memenuhi

semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak pidana,

perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-alasan

14

Theodorus M. Tuanakotta.. Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak

Pidana Korupsi. Jakarta: Salemba Empat, 2009, hal 73. 15

Prasetyo, Teguh,.op.,cit., hal 34-35.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga disebutkan

secara tegas dalam undang-undang.

b. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materiil

Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan

melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-

undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas

hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat

dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-

aturan yang tidak tertulis.

Ajaran sifat melawan hukum materiil adalah memenuhi semua

unsur rumusan delik, perbuatan itu juga harus benar-benar dirasakan

oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela.

karena itu ajaran ini mengakui alasan-alasan pembenar di luar undang-

undang, dengan kata lain, alasan pembenar dapat berada pada hukum

yang tidak tertulis.

Bambang Poernomo berpendapat bahwa, sifat melawan

hukumnya suatu perbuatan terdapat dua ukuran, yaitu sifat melawan

hukum yang formal atau formele wederrechttelijkheidsbegrip dan sifat

melawan hukum yang materiil atau materieele

wederrechttelijkheidsbegrip. Melawan hukum formil apabila

perbuatannya dilihat semata-mata sebagai perbuatan yang bertentangan

dengan undang-undang, sesuai dengan rumus delik dan

pengecualiaannya, seperti daya paksa, pembelaan terpaksa, itu pun

karena ditentukan secara tertulis dalam undang-undang.16

16

Bambang Poernomo , Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1994, hal.

115

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

Sebaliknya, melawan hukum materiil, melihat perbuatan

melawan hukum itu tidak selalu bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, dan suatu perbuatan yang bertentangan dengan

undang-undang dapat dikecualikan sebagai perbuatan yang tidak

melawan hukum. Dengan demikian, dalam pandangan sifat melawan

hukum materiil, melawan hukum dapat diartikan baik melawan

peraturan perundang-undangan, maupun hukum di luar peraturan

perundang-undangan.17

Dalam perkembangannya, timbul pandangan “materieele

wederrechttelijkheid” secara negatif yang diartikan orang berbuat tidak

melawan hukum apabila orang dengan daya upaya betul-betul untuk

tujuan yang berguna atau het juistemiddel tot het juiste doel bezigde,

yang diajukan oleh A. Grafzu Dohna dalam karangannya tentang “ Die

Rechtswidrigheit als algemeingultiges Markmal im Tatbestande

starfbarer handlungen”.18

Mengenai pengertian sifat melawan hukum materiil, seperti telah

disinggung pada bagian awal, dibedakan dalam fungsinya yang negatif

dan dalam fungsinya yang positif. Ajaran sifat melawan hukum

materiil dalam fungsinya yang negatif berarti mengakui kemungkinan

adanya hal-hal yang ada di luar undang-undang menghapus sifat

melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-

undang, jadi hal tersebut sebagai alasan penghapusan sifat melawan

hukum. Pengertian sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya

yang positif menganggap sesuatu perbuatan tetap sebagai suatu delik,

meskipun tidak nyata diancam dengan pidana dalam undang-undang,

17

Ibid. Hal 116.. 18

Ibid. Hal 116.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

apabila bertentangan dengan hukum atau ukuran-ukuran lain yang

terjadi di luar undang-undang. Dengan demikian berarti diakui hukum

yang tidak tertulis sebagai sumber hukum yang positif.19

F. Metodologi Penelitian.

Tesis ini ingin mengkaji Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor : 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 tersebut diatas

dari perspektif teori Tujuan Hukum yaitu Keadilan, Kepastian,

dan Kemanfaatan yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch,

sehingga metode pendekatan yang relevan dipergunakan dalam

penulisan tesis ini adalah pendekatan perundang-

undangan (satutory approach), pendekatan kasus(case

approach), pendekatan analitis (analitical approach), pendekatan

konsep (conceptual approach) dan pendekatan filsafat

(philosophical approach.

a. Pendekatan Perundang-undangan (statutory approach).

Pendekatan perundang-undangan (statutory approach),

yang oleh Peter Mahmud Marzuki disebut pendekatan

undang-undang (satute approach)20

dilakukan dengan

menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

Bagi penelitian untuk kegiatan akademis, peneliti perlu

19

Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan Hukum Dalam Tindak Pidana Korupsi,

Jakarta Lawyer Club, Jakarta, 2010,hal 61. 20

Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta : Prenada Media

Group, 2010, hal. 93.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

mencari ratio legisdan dasar ontologis lahirnya undang-

undang tersebut.

Dengan mempelajari ratio legis dan dasar ontologis suatu

undang-undang, peneliti sebenarnya mampu menangkap

kandungan filosofi yang ada di belakang undang-undang

itu. Memahami kandungan filosofi yang ada di belakang

undang-undang itu, peneliti tersebut akan dapat

menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan filosofis

antara undang-undang dengan isu yang dihadapi.21

Pendekatan ini digunakan in casuterhadap Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Dasar

1945.

b. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara

melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan

dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.22

Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus

adalah ratio decidendi atau reasoning yaitu pertimbangan

21

Ibid., hal. 93-94. 22

Ibid., hal. 94

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan.23

Pendekatan ini digunakan in casu terhadap Putusan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006.

c. Pendekatan Analitis (analiytical approach)

Analisis terhadap bahan hukum adalah menngetahui makna

yang dikandung oleh istilah-istilah yang digunakan dalam

peraturan perundang-undangan secara konseptual,

sekaligus mengetahuai penerapannya dalam praktik-praktik

dan keputusan-keputusan hukum.

Pendekatan analitis ini diperlukan terutama dikarenakan

penulisan makalah ini terutama menggunakan data-data

sekunder yang berwujud bahan-bahan hukum, yaitu

undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi

sebagaimana dimaksud diatas, sehingga timbul kebutuhan

untuk menganalisis undang-undang dan putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut.

d. Pendekatan Konsep (conceptual approach)

Salah satu fungsi dari pendekatan konsep adalah

memunculkan, objek-objek yang menarik perhatian dari

sudut pandang praktis dan sudut pengetahuan dalam

pikiran dan atribut-atribut tertentu. Berkat fungsi tersebut,

konsep-konsep berhasil menggabungkan kata-kata dengan

23

Ibid.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

objek tertentu. Penggabungan itu memungkinkan

ditentukannya arti kata-kata secara tepat dan

menggunakannya dalam proses pemikiran. 24

Pendekatan konsep ini tentusaja sangat membantu penulis

dalam menanalisis kata per kata baik dalam perundang-

undangan, putusan mahkamah kosntitusi, maupun kalimat

kalimat yang ada dalam suatu teori yang di kemukakan

oleh para ahli hukum.

e. Pendekatan Filsafat (philosophical approach)

Filsafat mempunyai sifat yang menyeluruh, mendasar dan

spekulatif. Tugas dari filsafat bukan menjawab pertanyaan

yang ditujukan tetapi mempersoalkan jawaban yang

diberikan. Ciri khas filsafat ditambah dengan beberapa

pendekatan yang tepat dalam memebentuk fundamental

research, yaitu suatu penelitian untuk memperoleh

pemahaman yang lebih mendalam terhadap implikasi sosial

dan efek penerapan suatu aturan perundang-undangan

terhadap masyarakat atau kelompok masyarakat yang

melibatklan penelitian terhadap sejarah, filsafat, ilmu

bahasa, ekonomi, serta implikasi sosial dan politik terhadap

pemeberlakuan suatu aturan hukum.

Dalam menulis tesis ini penulis banyak emnggunakan

pendekatan filsafat untuk menganalisa perundangn-

undangan dan putusan mahkamah konstitusi tersebut. Agar

24

Ibrahim, Johni, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet III, Malang:

Bayumedia Publishing, 2007, hal. 306.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - repository.uksw.edu...materiil bukan pada undang-undang, namun pada asas-asas umum 2 Lihat konsideran undang-undang nomor 25 tahun 2003 tentang perubahan atas undang-undang

dapat memperdalam pemahaman penulis dan

menyimpulkan pemahaman tersebut.