bab i pendahuluan hipertensi atau tekanan darah tinggi · pdf fileberkaitan dengan usia ini...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu masalah kesehatan
yang cukup dominan dan perlu mendapatkan perhatian, sebab angka prevalensi yang
tinggi dan juga akibat jangka panjang yang ditimbulkan mempunyai konsekuensi
tertentu. Penyakit hipertensi seringkali tidak mempunyai tanda atau gejala, sering
juga disebut “silent killer” atau penyakit yang membunuh secara diam-diam.
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg yang disertai dengan kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg
(Mycek, 2001).Akibat tidak adanya gejala yang ditibulkan dari penyakit hipertensi,
sehingga masyarakat tidak menyadari kalau mereka menderita hipertensi sampai
terjadi gangguan pada jantung , otak dan ginjal.
Hipertensi merupakan faktor resiko untuk banyak kasus koroner. Namun
demikian, tekanan darah dapat diturunkan melalui terapi yang tepat, sehingga
menurunkan resiko strok, kejadian koroner, gagal jantung dan ginjal. Patogenesis
hipertensi melibatkan banyak faktor. Termasuk diantaranya peningkatan cardiac
output, peningkatan tahanan perifer, vasokonstriksi dan penurunan vasodilatasi.
Ginjal juga berperan pada regulasi tekanan darah melalui kontrol sodium dan
ekskresi air, dan sekresi renin, yang mempengaruhi tekanan vaskular dan ketidak
seimbangan elektrolit. Mekanisme neuronal seperfti sistem saraf simpatis dan sistem
endokrin juga terlibat pada regulasi tekanan darah. Oleh karena itu, sistem tersebut
merupakan target terapi obat untuk menurunkan tekanan darah (Lyrawati,2007).
Semua obat antihipertensi bekerja pada satu atau lebih dari empat lokasi
kontrol anatomis dan menghasilkan efeknya dengan menganggu mekanisme
pengaturan tekanan darah yang normal. Suatu klasifikasi yang berguna dari obat-
obat hipertensi ini membaginya dalam kategori berdasarkan tempat pengaturan
utama atau mekanisme pada tempat bekerjanya tersebut. Oleh karena mekanisme
2
kerjanya sama, obat-obat dalam setiap kategori cenderung untuk menghasilkan suatu
spektrum toksisitas yang mirip (Katzung, 2010).
Data rekam medik menyebutkan bahwa penyakit hipertensi termasuk dalam
10 bagian penyakit terbesar di RSUD dr. Murjani Sampit. Sebagai gambaran,
informasi yang didapatkan dimana jumlah penderita hipertensi pada bulan April-
Mei terdapat 122penderita meliputidari 78 penderita dirawat jalan dan 44 penderita
dirawat inap.
Berdasarkan urain diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
judul “Profil Peresepan Obat Hipertensi Golongan Antagonis Kalsium di RSUD dr.
Murjani Sampit”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, permasalahan dapat diidentifikasi sebagai
berikut :
1. Jenis obat hipertensi golongan Antagonis Kalsium apa yang digunakan untuk
mengatasi hipertensi di RSUD dr.Murjani Sampit
2. Obat hipertensi golongan Antagonis Kalsium jenis apa yang sering digunakan
untuk mengatasi hipertensi di RSUD dr. Murjani Sampit
C. Batasan Masalah
Agar didalam penelitian ini dapat terarah dan mendapatkan hasil yang
diinginkan maka peneliti hanya membatasi pada “Obat yang memiliki Kandungan
zat aktifsebagai Antihipertensi golongan Antagonis Kalsium yang digunakan oleh
pasien rawat jalan di RSUD dr.Murjani Sampit periode Juni - Desember 2012.
D. Rumusan Masalah
Jenis obat Antihipertensi golongan Antagonis Kalsium apa yang digunakan
oleh pasien untuk mengatasi penyakit Hipertensi di RSUD dr.Murjani Sampit.
E. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui profil atau gambaran peresepan obat Hipertensi golongan
Antagonis Kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit.
3
F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini diharapkan dapat diambil manfaat sebagai bahan
masukkan serta informasi mengenai hipertensi dan obat antihipertensi golongan
Antagonis Kalsium bagi masyarakat. Sebagai bahan pertimbangan dalam
penggunaan jenis obat hipertensi Antagonis Kalsium di RSUD dr.Murjani Sampit,
serta menambah wawasan/pengetahuan mengenai penyakit hipertensi dan obat
Hipertensi.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
A. Hipertensi
Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah diastolik lebih
dari 90 mmHg yang disertai dengan kenaikan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHg. Hipertensi disebabkan oleh peningkatan tonus otot vaskuler perifer,yang
menyebabkan peningkatan resistensi arteriola dan menurunnya kapasitas sistem
pembuluh vena (Mycek, 2001)
Klasifikasi hipertensi dibedakan berdasarkan tingginya tekanan darah derajat
kerusakan organ dan etiologinya. Untuk pembagian yang lebih rinci klasifikasi
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Klasifikasi Tekanan Darah (ISO Farmakoterafi 2008)
Klasifikasi Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Normal < 120 < 80
Prehipertensi 120 – 139 80 – 89
Hipertensi tingkat 1 140 – 159 90 – 99
Hipertensi tingkat 2 ≥160 > 100
Berdasarkan penyebab hipertensi dibagi menjadi dua golongan yaitu
hipertensi esensial dan hipertensi sekunder. Hipertensi esensial juga disebut
hipertensi primer atau idopatik, adalah hipertesi yang tidak jelas etiologinya. Lebih
dari 90 % kasus hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Kelainan hemodinamik
utama pada hipertensi esensial adalah peningkatan resistensi perifer. Penyebab
hipertensi esesnsial adalah multifaktor, terdiri dari faktor genetik dan lingkungan.
Faktor keturunan bersifat poligenik dan terlihat dari adanya riwayat penyakit
kardiovaskular dalam keluarga. Faktor predisposisi genetik ini dapat berupa
sensitivitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stres, peningkatan reaktivitas
vaskuler terhadap vasokonstriktor), dan resistensi insulin. Paling sedikit ada 3 faktor
5
lingkungan yang dapat menyebabkan hipertensi, yakni makan garam (natrium)
berlebihan, stres psikis, dan obesitas. Sedangkan hipertensi sekunder dapat
disebabkan oleh penyakit ginjal (hipertensi renal), penyakit endokrin (hipertensi
endokrin), obat dan lain-lain. Prevelensi hipertensi sekunder ini hanya sekitar 5-8%
dari seluruh penderita hipertensi(Ganiswarna, 2004).
B. Faktor Resiko Hipertensi
1. Jenis kelamin Hipertensi lebih banyak terjadi pada pria bila terjadi pada usia dewasa
muda. Tetapi lebih banyak menyerang wanita setelah umur 55 tahun, sekitar
60% penderita hipertensi adalah wanita. Hal ini sering dikaitkan dengan
perubahan hormone estrogen setelah menopause. Peran hormone estrogen
adalah meningkatkan kadar HDL (High Density Lipoprotein) yang merupakan
faktor pelindung dalam pencegahan terjadinya proses aterosklerosis. Efek
perlindungan hormone estrogen dianggap sebagai adanya imunitas wanita pada
usia premenopause. Pada premenopause, wanita mulai kehilangan sedikit demi
sedikit hormon estrogen yang selama ini melindungi pembuluh darah dari
kerusakan. Proses ini terus berlanjut dimana terjadi perubahan kuantitas hormon
estrogen sesuai dengan umur wanita secara alami. Umumnya, proses ini mulai
terjadi pada wanita umur 45-55 tahun.
2. Umur
Semakin tinggi umur seseorang semakin tinggi tekanan darahnya, jadi
orang yang lebih tua cenderung mempunyai tekanan darah yang tinggi dari
orang yang berusia lebih muda.. Hal ini disebabkan pada usia tersebut ginjal dan
hati mulai menurun, karena itu dosis obat yang diberikan harus benar-benar
tepat. Tetapi pada kebanyakankasus , hipertensi banyak terjadi pada usia lanjut.
Pada wanita, hipertensi sering terjadi pada usia diatas 50 tahun. Hal ini
disebabkan terjadinya perubahan hormon sesudah menopause. Kondisi yang
berkaitan dengan usia ini adalah produk samping dari keausan arteriosclerosis
dari arteri-arteri utama, terutama aorta, dan akibatdari berkurangnya kelenturan.
Dengan mengerasnya arteri-arteri ini dan menjadi semakin kaku, arteri dan aorta
6
itu kehilangan daya penyesuaian diri. Arteri kehilangan elastisitas atau
kelenturan serta tekanan darah meningkat seiring dengan bertambahnya
usia.Peningkatan kasus hipertensi akan berkembang pada umur limapuluhan dan
enampuluhan. Dengan bertambahnya umur, dapat meningkatkan resiko
hipertensi. Prevalensi di kalangan usia lanjut cukup tinggi yaitu sekitar 40%
dengan kematian sekitar 50% diatas umur 60 tahun.
3. Keturunan (Genetik)
Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan
keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan
dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara
potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi
mempunyai risiko dua kali lebih besaruntuk menderita hipertensi dari pada
orang yang tidak mempunya keluarga dengan riwayat hipertensi. Selain itu
didapatkan 70-80% kasus hipertensi esensial dengan riwayat hipertensi dalam
keluarga
C. Faktor Penyebab Hipertensi
1. Merokok
Fakta otentik menunjukan bahwa merokok dapat menyebabkantekanan
darah tinggi. Kebanyakan efek ini berkaitan dengan kandungannikotin. Asap
rokok memiliki kemampuan menarik sel darahmerah lebih kuat dari
kemampuan menarik oksigen, sehingga dapatmenurunkan kapasitas sel darah
merah pembawa oksigen ke jantungdan jaringan lainnya. Nikotin dapat
mengganggusistem saraf simpatis yang mengakibatkan meningkatnya
kebutuhanoksigen miokard. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin
jugameningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, dan
kebutuhanoksigen jantung, merangsang pelepasan adrenalin, serta
menyebabkangangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf,
otak,dan banyak bagian tubuh lainnya.
7
2. Status Gizi
Masalah kekurangan atau kelebihan gizi pada orang dewasa merupakan
masalah penting karena selain mempunyai resiko penyakitpenyakit tertentu
juga dapat mempengaruhi produktivitas kerja. Oleh karena itu, pemantauan
keadaan tersebut perlu dilakukan secara berkesinambungan. Salah satu cara
adalah dengan mempertahankan berat badan yang ideal atau normal. Indeks
Massa Tubuh (IMT) adalah salah satu cara untuk mengukur status gizi
seseorang. Seseorang dikatakan kegemukan atau obesitas jika memiliki nilai
IMT≥25.0. Obesitas merupakan faktor risiko munculnya berbagai penyakit
degeneratif, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner dan diabetes mellitus.
3. Konsumsi Na (Natrium)
Pengaruh asupan garam terhadap terjadinya hipertensi melalui
peningkatan volume plasma, curah jantung dan tekanan darah. Faktor lain yang
ikut berperan yaitu sistem renin angiotensin yang berperan penting dalam
pengaturan tekanan darah. Produksi rennin dipengaruhi oleh berbagai faktor
antara lain stimulasi saraf simpatis. Renin berperan dalam proses konversi
angiotensin I menjadi angiotensini II. Angiotensin II menyebabkan sekresi
aldosteron yang mengakibatkan menyimpan garam dalam air. Keadaan ini
yang berperan pada timbulnya hipertensi.
4. Stres
Hubungan antara stress dan hipertensi diduga melalui aktivitassaraf
simpatis peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secaraintermiten
(tidak menentu). Stres yang berkepanjangan dapatmengakibatkan tekanan
darah yang menetap tinggi. Walaupun hal inibelum terbukti tetapi angka
kejadian masyarakat di perkotaan lebihtinggi dari pada di pedesaan. Hal ini
dapat dihubungkan denganpengaruh stres yang dialami kelompok masyarakat
yang tinggal di kota. Stres akanmeningkatkan resistensi pembuluh darah perifer
dan curah jantungsehingga akan menstimulasi aktivitas saraf simpatis.
8
D. Terapi Hipertensi
a. Tujuan Terapi
Secara keseluruhan tujuan penanganan hipertensi adalah mengurangi
morbiditas dan kematian. Target nilai tekanan darahnya adalah kurang dari
140/90 untuk hipertensi tidak komplikasi dan kurang dari 130/80 untuk
penderita diabetes melitus serta ginjal kronik.Tekanan Darah Sistolik(TDS)
merupakan indikasi yang baik untuk resiko vaskular dari pada Tekanan Darah
Diastolik (TDD) dan seharusnya dijadikan tanda klinik primer dalam
mengontrol hipertensi
b. Pendekatan umum
Terapi hipertensi dibedakan menjadi dua yaitu terapi farmakologi dan terapi non
farmakologi.
1. Terapai non farmakologi
Penderita prehipertensi dan hipertensi sebaiknya dianjurkan untuk
memodifikasi gaya hidup, termasuk penurunan berat badan jika kelebihan berat
badan, melkukan diet makanan yang diambil DASH (Dietary Approaches to
Stop Hypertension), mengurangi asupan natrium hingga lebih kecil sama
dengan 2.4 g/hari (6 g/hari NaCl), melakukan aktivitas fisik seperti aerobik,
mengurangi konsumsi alkohol dan menghentikan kebiasaan merokok.
Penderita yang di diagnosa hipertensi tahap 1 atau 2 sebaiknya
ditempatkan pada terapi modifikasi gaya hidup dan terapi obt secara
kebersamaan.
2. Terapi farmakologi
Pemilihan obat tergantung pada derajat meningkatnya tekanan darah dan
keberadaan compelling indications. Kebanyakan penderita hipertensi tahap 1
sebaiknya terapi diawali dengan diuretik tiazid. Penderita hipertensi tahap 2
pada umumnya diberika terapu kombinasi,salah satu obatnya diuretik tiazid
kecuali terdapat kontra indikasi.
Ada enam compelling indications yang spesifik dengan obat
antihipertensi serta memberikan keuntungan yang unik. Diuretik, β-blocker,
9
inhibitor Angiotensin-Converting Enzyme (ACE), Angiotensin II Receptor
Blocker (ARB), dan Calcium Channel Blocker (CCB) merupakan agen primer
berdasarkan pada data kerusakan organ target atau morbiditas dan kematian
kardiovaskular. α Blocker, α-agonis sentral, inhibitor adrenergik dan
vasodlator merupakan alternatif yang dapat digunakan penderita setelah
mendapatkan obat pilihan pertama.
Gambar 1. Algoritma Penanganan Hipertensi Secara Farmakologi
c. Compeling Indications
Ada enam compeling indications yang diidentifikasikan oleh JNC 7
menunjukka komorbiditas kondisi spesifik. Hal ini didukung oleh data klinik
menggunakan antihipertensi spesifik untuk menangani hipertensi dan
compelling indication. Rekomendasi terapi obat adalah kombinasi dengan
diuretik tiazide.
Tanpa
Compeling indication
Obat Pilhan
pertama
Diuretik tiazid
umumnya dapat
dipertimbangkan
inhibitor ACE, ARB, β
blocker, CCB/Kombinasi
Hipertensi tahap II
(TDS > 160 atau
Kombinasi 2 obat pada
umumnya. Biasanya
diuretik tiazida dengan
inhibitor ACE atau ARB
atau β blocker
Dengan
Compeling indication
Obat yang spesifik untuk
compeling indication obat anti
hipertensi (diuretik, inhibitor
ACE, ARB, β blocker
Hipertensi tahap I
(TDS 140-159 atau
TDD 90-99)
10
1. Gagal Jantung
Diuretik merupakan salah satu terapi tahap pertama karena diuretik
memperbaiki gejala edema dengan diuresis. Diuretik jerat Henle diperlukan
terutama untuk penderita gagal sistolik. Inhibitor ACE merupaka pilihan obat
yang utama berdasarkan pada penelitian dimana terjadi penurunan morbiditas
dan kematian. Pada penderita gagal jantung terjadi kadar renin dan
angiotensin II yang tinggi, maka terapi seharusnya diawali dengan dosis
rendah untuk menghindari hipotesis ortostatik.
Terapi β-bloker dapat digunakan untuk penyakit dengan komplikasi
gagal jantuk spesifik. Karena resiko gagal jantung yang mengalami ekserbasi,
maka pengobatan dimulai dengan dosis yang rendah kemudian ditambahkan
dosis tinggi sesuai dengan toeransi. ARB dapat juga digunakan sebagai terapi
alternatif untuk penderita yang tidak dapat mentoleransi inhibitor ACE dan
juga bagi penderita yang sudah mendapatkan tiga pengobatan standar.
Antagonis aldesteron dipertimbangkan pada gejala gagal jantung sistolik
tetapi jika ditambahkan dengan diuretik, inhibitor ACE atau ARB dan β-
blocker.
2. Infark Postmyocardial
β-blocker menurunkan stimulasi adrenergik jantung dan mengurangi
resiko infark miokardial aau kematian jantung yang mendadak. Inhibitor ACE
meningkatkan fungsi jantung dan mengurangi kejadian kardiovaskular setelah
infark miokardial. Eleprenon yang merupakan antagonis aldosteron yang
memberikan manfaat segera satelah infark miokardial pada penderita gagal
jantung sistolik. Hal ini sebaiknya di gunakan hanya untuk pasien tertentu.
3. Resiko Tinggi Penyakit Koroner
β-blocker merupakan terapi tahap pertama pada angina kronik yang
stabil dan baik untuk angina tidak stabil serta infark miokardial. CCB
(terutama nondihidropiridin veramil dan diltiazem) menurunkan tekan darah
dan mengurangi kebutuhan oksigen miokardial. CCB, dihidropiridin, dapat
11
menyebabkan stimulasi jantung dan sebaikanya digunakan sebagai terapi
tahap kedua atau ketiga
4. Diabetes Melitus
Tekanan darah yang di harapkan adalah kurang dari 130/80 mmHg.
Penderita diabetes dan hipertensi seharusnya mendapatkan pengobatan yang
mengandung inhibitor ACE atau ARB. Kedua kelompok ini meyebabkan
nefroproteksi dan mengurangi resikokardiovaskular. Tiazide
direkomendasikan jika dibutuhkan obat kedua.β-blocker mengurangi
resikokardiovaskular pad penderita diabetes yang pernah mengalami infark
miokardial atau resiko tinggi koroner. Meskipun obat ini dapat menutupi
gejala hipoglikemia (tremor, takikardia dan palpitasi tapi tidak berkeringan)
pada penderita dalam pengawasan ketat, dapat terjadi penundaan pemulihan
hipoglikemia dan meningkatnya tekanan darah melalui vasokonstriksi yang
disebabkan oleh stimulasi reseptor α selama vase pemulihan hipoglikemia.
Walaupun ada permasalahan seperti ini penghambatβ sangat bermanfaat pada
diabetes setelah inhibitor ACE, ARB dan diuretik. CCB merupakan
antihipertensi yang bermanfaat (add-on agents) untuk mengintrol tekanan
darah pada penderita hipertensi yang disertai diabetes.
5. Penyakit Ginjal Kronik
Inhibitor ACE dan ARB menurunkan tekanan darah dan juga
mengurangi tekanan intraglomerular yang lebih lanjut menurunkan fungsi
ginjal. Beberapa data menunjukkan bahwa kombinasi inhibitor ACE dan
ARB lebih efektif dari pada penggunaan tunggalnya. Karena pasien-pasien ini
membutuhkan terapi multi obat, diuretik dan kelas ke tiga (β-blocker atau
CCB) sering kali dibutuhkan.
6. Pencegahan Stroke Berulang
Ada suatu penelitian klinik yang menujukkan bahwa kombinasi inhibitor
ACE ddan diuretik thiazide mengurangi kejadian stroke berulang atau
serangan iskemia transient.
Gambar 2. Compeling Indication Dalam Penanganan Hipertensi
Compeling
indication
Gagal
jatung
Paska
infark
miokardial
Antagonis
Aldesteron
Inhibitor
ACE dan
ARB
diuretik
Resiko
tinggi
penyakit
koroner
Diabetes
militus
Gagal
ginjal
kronik
Inhibitor
ACE atau
ARB
Pecegahan
serangan
stroke
berulang
Diuretik
Β-bloker
dan
inhibitor
ACE
Β-bloker Inhibitor
ACE atau
ARB
Diuretik
dan
inhibitor
ACE
Β-bloker
CCB
ARB
Antagonis
Aldesteron
Β-bloker
Diuretik
dan
inhibitor
ACE
13
E. Obat-obat Anti Hipertensi
Dikenal 5 kelompok obat lini pertama (first line drug) yang lazim digunakan
untuk pengobatan awal hipertensi yaitu Diuretik, penyekat reseptor adrenergic (β-
bloker), penghambat angiotensin-converting enzym (ACE-inhibitor), penghambat
reseptor angiotensin (Angiotensin reseptor bloker, ARB) dan Antagonis kalsium.
Pada JNC VII, alfa adrenergic (α-bloker) tidak dimasukkan dalam kelompok
obat lini pertama. Sedangkan pada JNC V tahun 1992 sebelumnya termasuk lini
pertama. Selain itu dikenal juga tiga kelompok obat yang dianggap lini kedua, yaitu
penghambat saraf Adrenergik, Agonis α-2 sentral dan vasodilator
(Ganiswarna,2007).
a. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga
menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan
curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretik
juga menurunkan resistensi perifer sehingga menambah efek hipotesisnya. Pada
dasarnya terdapat tiga kelompok diuretik yaitu diuretik tiazid, diuretik kuat (loop
diuretics) dan diuretik hemat kalium.
1. Diuretik Tiazid
Tiazid adalah golongan yang dipilih untuk menangani hipertensi,
golongan lainnya efektif juga menurunkan tekanan darah. Penderita dengan
fungsi ginjal yag kurang baik Laju Filtrasi Glomerolus (LFG) diatas 30 ml
menit, tiazid merupakan agen diuretik yang efektif untuk menurunkan
tekanan darah. Dengan menurunnya fungsi ginjal, natrium dan cairan akan
terakumulasi maka diuretik jerat Henle perlu digunakan untuk mengatasi
efek dari peningkatan volume dan natrium tersebut. Hal ini akan
mempengaruhi tekanan darah arteri.(Sukandar, 2008)
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara lain
hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid, indapamid dan klortalidon.
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat bersama (symport) Na-Cl di
tubulus distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat. Efek
14
samping Tiazid dapat menyebabkan hipokalemia, hiponatremia,
hipomagnesemia dan hiperkalsemia.
2. Diuretik kuat (loop diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan
cara menghambat kontrasport Na+, K +, Cl – dan golongan menghambat
resorpsi air dan elektrolit. Termasuk dalam golongan diuretik kuat antara
lain furosemid, torasemid, bumetanid dan asam etakrinat. Efek samping
diuretik kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali diuretik menimbulkan
hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium dalam darah, sedangkan tiazid
menimbulkan hipokalsiuria dan meningkatkan kadar kalsium darah.
3. Diuretik hemat kalium
Amilorid, triamteren dan spinolakton merupakan diuretik lemah.
Penggunaan terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain untuk mencegah
hipokalemia. Diuretik hemat kalium dpat menimbulkan hiperkalemia bila
diberikan pada pasien dengan gagal ginjal, atau bila dikombinasikan dengan
penghambat ACE, ARB, β-bloker, AINS atau dengan suplemen kalium.
Efek sampingnya antara lain ginekomastia, mastodinia, gangguan menstruasi
dan penurunan libido pada pria(Ganiswarna, 2007).
b. Penghambat Sistem Adrenergik
1. β-Bloker (Antagonis β-adrenoseptor)
Berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β-
bloker dapat dikaitkan dengan hambatan reseptor β1, antara lain :
1) Penurunan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas miokard sehingga
menurunkan curah jantung.
2) Hambatan sekresi renin sel-sel jukstaglomeruler ginjal dengan akibat
penurunan produksi angiotensin II.
3) Efek sentral yang mempengaruhi saraf simpatis, perubahan aktivitas
neuron adrenergic perifer dan pningkatan biosintetis prostasiklin.
Efek samping β-bloker dari blokade β pada miokardium adalah
bradikardi ketidaknormalan koduksi atrioventrikular (AV), dan gagal ginjal
15
akut. Penghambat β2 pulmonar dapat menyebabkan eksaserbasi dari
bronkhospasmus pada penderita asma. Penghambat reseptor β2 otot polos
arteriol intermiten atau feomena Raynauld’s karena penurunan aliran darah
perifer (Sukandar, 2008)
2. Penghambat Adrenoseptor Alpa (α-bloker)
Prasozin, terasozin dan doxazosin merupakan penghambat reseptor α1
yang menginhibisi katekolamin pada sel otot polos vaskuler perifer yang
memberikan efek vosodilatasi. Kelompok ini tidak mengubah aktivitas
reeptor α2 sehingga tidak menimbulkan efek takikardia.
Clonidine, guanabenez, guanfacin dan methyldopa menurunkan tekanan
darah pada umumnya dengan cara menstimulasi reseptor α2 adrenergik di
otak, yang mengurangi aliran simpatetik dari pusat vasomotor dan
meningkatkan tonus vagal. Stimulasi reseptor α2 presinaptik secara perifer
total, aktivitas rennin plasma, dan refleks baroreseptor (Sukandar, 2008).
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 yang
digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif kurang efektif
sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2 diujung saraf
adrenergik akan meningkat penglepasan norefinefrin dan meningkat aktivitas
simpatis. Hambatan reseptor α1 menyebabkan vosodilitasi di arteriol dan
venula sehingga menurunkan resistensi perifer (Ganiswarna, 2007).
c. Vasodilator
Vasodilator adalah zat-zat yang berkhasiat vasodilatasi langsung terhadap
arteriole dan menurunkan tekanan darah tinggi (Tjay, 2008).
Hidralazin, minoksidil dan diazoksid masuk dalam golongan ini.. Efek
antihipertensi dari hidralazin dan minoksidil disebabkan oleh relaksasi langsung
otot polos arteriolar tetapi tidak menyebabkan vasodilasi ke pembuluh darah
vena. Kedua obat juga menyebabkan penurunan tekanan perfusi yang kuat yang
mengaktifkan refleks baroreseptor. Pengaktifan dari baroreseptor menyebabkan
meningkatnya aliran simpatetik, sehingga meningkatkan denyut jantung, curah
jantung, dan pelepasan rennin. Akibatnya terbentuk takifilaksis, efek hipotensi
16
akan hilang dengan pemakaian seterusnya. Efek ini dapat diatasi dengan
penggunaan penyekat beta bersamaan (Anonim, 2006). Diazoksid digunakan
unyuk mengendalikan tekanan darah dengan cepat pada preeklamsia yang
refrakter terhadap hidralazin. Diazoksid tidak boleh diberikan pada infusiensi
koroner atau serebral, karena penurunan tekanan darah yang cepat dapat
mencetuskan iskemia koroner atau serebral (Ganiswarna, 2004).
d. Penghambat Sistem Renin Angiotensin
1. ACE Inhibitor (Penghambat Angiotensin-Converting Enzym)
ACE-inhibitor menghambat perubahan angiotensin I menjadi
angiotensin II sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi
aldosteron. Selain itu, degradasi bradikinin juga dihambat sehingga kadar
bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam vasodilitas ACE-
inhibitor. Vasodilitas secara langsung akan menurunkantekanan darah,
sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan
natrium dan retensi kalium (Ganiswarna, 2007).
ACE-inhibitor harus dimulai dengan dosis rendah terutama pada
pasien dengan deplesi natrium dan volume, eksaserbasi gagal jantung, lansia,
dan yang juga mendapat vasodilator dan diuretik karena hipotensi akut dapat
terjadi. Penting untuk memulai dengan ½ dosis normal untuk pasien-pasien
diatas dan dosis dinaikkanpelan-pelan. Kebanyakan ACE-inhibitor dapat
diberikan 1 kali/hari kecuali kaptopril, waktu paruhnya pendek , biasanya
dua sampai tiga kali/hari. Kaptopril, enalapril, dan lisinopril diekskresi lewat
urin, jadi penyesuaian dosis diperlukan pada pasien dengan penyakit ginjal
kronis yang parah. Penyerapan kaptopril berkurang 30 – 40 % bila diberikan
bersama makanan (Anonim, 2006).
2. Penghambat Reseptor angiotensin II (Angiotensin-receptor bloker,ARB)
ARB sangat efektif menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
dengan kadar renin yang tinggi seperti renovaskular dan hipertensi genetik,
tapi kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah
(Ganiswarna, 2007).
17
Angitensinogen II dihasilkan dengan melibatkan dua jalur enzim:
RAAS (Renin Angiotensin Aldosterone System) yang melibatkan ACE-
inhibitor, dan jalan alternatif yang menggunakan enzim lain seperti chymase.
ACE-inhibitor hanya menghambat efek angiotensinogen yang dihasilkan
melalui RAAS, dimana ARB menghambat angiotensinogen II dari semua
jalan. Oleh karena perbedaam ini, ACE-inhibitor hanya menghambat
sebagian dari efek angiotensinogen II. ARB menghambat secara langsung
reseptor angiotensinogen II tipe 1 (AT1) yang memediasi efek
angiotensinogen II yang sudah diketahui pada manusia vasokonstriksi,
pelepasan aldosteron, aktivasi simpatetik, pelepasan hormon antidiuretik dan
konstriksi arteriol efferen dari glomerulus. ARB tidak memblok reseptor
angiotensinogen tipe 2 (AT2). Jadi efek yang menguntungkan dari stimulasi
AT2 (seperti vasodilatasi, perbaikan jaringan, dan penghambatan
pertumbuhan sel) tetap utuh dengan penggunaan ARB. ARB mempunyai
efek samping paling rendah dibandingkan dengan obat antihipertensi
lainnya. Karena tidak mempengaruhi bradikinin, ARB tidak menyebabkan
batuk kering seperti ACE-inhibitor. Sama halnya dengan ACE-inhibitor,
ARB dapat menyebabkan insufisiensi ginjal, hiperkalemi, dan hipotensi
ortostatik. Hal-hal yang harus diperhatikan lainnya sama dengan pada
penggunaan ACE-inhibitor. Kejadian batuk sangat jarang, demikian juga
angiedema; tetapi cross-reactivity telah dilaporkan. ARB tidak boleh
digunakan pada perempuan hamil (Anonim, 2006).
e. Antagonis Kalsium
Cara kerja obat antagonis kalsium menghambat infuks kalsium pada sel
otot polos pembuluh darah dan miokard. Di pembuluh darah, antagonis kalsium
terutama menimbulkan arteriol, sedangkan vena kurang dipengaruhi. Antagonis
kalsium tidak mempunyai efek samping metabolik, baik terhadap lipid, gula
darah, maupun asam urat (Ganiswarna, 2007).
CCB (Calcium Channel Blocker) menyebabkan relaksasi jantung dan otot
polos dengan menghambat saluran kalsium yang sensitif terhadap tegangan
18
(voltage sensitive), sehingga mengurangi masuknya kalsium ekstraseluler ke
dalam sel. Relaksasi otot polos vaskular menyebabkan vasodilatasi dan
berhubungan dengan reduksi tekanan darah. Antagonis kanal kalsium
dihidropiridin dapat menyebabkan aktifasi refleks simpatetik dan semua
golongan ini (kecuali amlodipin) memberikan efek inotropik negatif.
CCB (Calcium Channel Blocker) bekerja dengan menghambat influx
kalsium sepanjang membran sel. Ada dua tipe voltage gated calcium channel:
high voltage channel (tipe L) dan lowvoltage channel (tipe T). CCB yang ada
hanya menghambat channel tipe L, yangmenyebabkan vasodilatasi koroner dan
perifer. Ada dua subkelas CCB,dihidropiridin dan nondihidropiridine. Keduanya
sangat berbeda satu sama lain.Efektifitas antihipertensinya hampir sama, tetapi
ada perbedaan pada efekfarmakodinamik yang lain. Efek samping dari
dihidropiridin adalah pusing, flushing, sakit kepala, gingival hyperplasia, edema
perifer, mood changes, dan gangguan gastrointestinal. Efek samping pusing,
flushing, sakit kepala, dan edema perifer lebih jarang terjadi pada
nondihidropiridin verapamil dan diltiazem karena vasodilatasinya tidak sekuat
dihidropiridin (Anonim, 2006)
Nondihidropiridin (verapamil dan diltiazem)menurunkan denyut jantung
dan memperlambatkonduksi nodal atriventrikular. Verapamil menghasilkan efek
negatif inotropik dan kronotropik yang bertanggungjawab terhadap
kecenderungannya untuk memperparah atau menyebabkan gagaljantung pada
pasien resiko tinggi. Diltiazem juga mempunyai efek ini tetapi tidaksebesar
verapamil. Diltiazem dan verapamil dapat menyebabkan anorexia, nausea, edema
perifer, danhipotensi. Verapamil menyebabkan konstipasi pada 7% pasien. Efek
samping ini terjadi juga dengan diltiazem tetapi lebih sedikit. Verapamil dan
juga diltiazem (lebih sedikit) dapat menyebabkan interaksi obat karena
kemampuannya menghambat sistem isoenzim sitokrom P450 3A4 isoenzim.
Akibatnya dapat meningkatkan serum konsentrasi obat-obat lain yang di
metabolisme oleh sistem isoenzim ini seperti siklosporin, digoksin, lovastatin,
simvastatin, takrolimus, dan teofilin. Verapamil dan diltiazem harus
19
diberikansecara hati-hati dengan penyekat beta untuk mengobati hipertensi
karena meningkatkan resiko heart block dengan kombinasi ini. Bila CCB perlu
di kombinasi dengan penyekat beta, dihidropirine harus dipilih karena tidak akan
meningkatkan resiko heart block. (Anonim,2006).
Golongan dihidropiridin (nifedipin, nikardipin, felodipin dan amlodipin)
bersifat vaskuloselektif dan generasi yang baru mempunyai selektivitas yang
tinggi. Sifat vaskuloselektif dari golongan dihidropiridin ini menguntungkan
pada penggunaannya sebagai antihipertensi karena tidak ada efek langsung pada
nodus Arterio Ventrikular (AV) dan Siniatrial (SA), menurunkan resistensi
perifer tanpa depresi fungsi jantung yang berarti dan relatif aman dalam
kombinasi dengan β-blocker (Ganiswarna, 2004).
Golongan dihidropiridin merupakan vasodilator yang poten bila disertai
dengan mula kerja yang cepat misalnya pada pemberian nipedipin maka akan
terjadi penurunan tekanan darahyang besar dan cepat. Hipotensi berlebihan
dapat mengakibatkan iskemia miokard atau serebral, refleks simpatis yang kuat
berupa fakikardia, palpitasi yang dapat mencetuskan serangan angina pada
penderita jantung koroner dan efek samping akibat vasodilatasi akut,yakni sakit
kepala, pusing dan muka merah. Hipotensi yang berlebihan lebih sering terjadi
pada penderita usia lanjut, penderita deplesi cairan dan yang sedang mendapat
antihipertensi lain (Ganiswarna, 2004).
Nipedipin adalah zat pertama dari dihidropiridin dengan gugus fenil.
Khasiat utamanya adalah vasodilatasi, maka terutama digunakan pada hipertensi
esensial (ringan/sedang), juga pada angina variant berdasarkan efeknya terhadap
jantung yang relatif ringan, maka tak berkhasiat inotrop negatif. Pada angina
stabil hanya digunakan bila beta blockers dikontra indikasi atau kurang efektif.
Khususnya dianjurkan tablet long-acting oros (sistem osmotis yang melepaskan
obat secara teratur untuk waktu lama). Efek samping yang sering terjadi adalah
udema pergelangan kaki. Dosis awal yang terlampau tinggi dapat memprovokasi
serangan angina akibat hipotensi kuat dan mendadak, sporadis malah ischemia
dan infark akibat refleks-tachycardia, terutama pada lansia. Dosis pada penderita
20
hipertensi 3 dd 10-20 mg atau 2 dd 20-40 mg retard d.c , angina oral 3-4 dd 10
mg tablet (ditelan utuh), berangsur-angsur dinaikkan sampai maksimal 6 dd 20
mg atau 1 dd 30-120 mg tablet retard pagi hari d.c. pada raynaud 2 dd 10-20 mg
tablet retard d.c (Tjay, 2008).
Nikardipin adalah derivat 3-nitrofenil bersifat lipofil dengan BA 30%, PP
ca 98% dan t1/21-12 jam, diekskresikan sebagai metabolit inaktif lewat kemih
(60%) dan tinja (35%). Dosis hipertensi 2 dd 40 mg tablet retard, maksimal 2 dd
60 mg. Angina variant/stabil 3 dd 20 mg, bila perlu dinaikkan sampai 2 dd 30-40
mg (Tjay, 2008).
Felodipin (plendil) adalah derivat diklor dengan kerja panjang (t1/2 25 jam),
BA 15%, PP 99%. Felodipin dirombak dalam hati menjadi metabolit inaktif
yang diekskresikan melalui kemih (70%) dan tinja (30%). Digunakan pada
hipertensi Angina variant/stabil dengan dosis 1 dd 5 - 20 mg (Tjay, 2008).
Amlodipin adalah dihidropyridine calcium chanel antagonist yang
menghambat masuknya kalsium ekstraseluler menuju otot polos pembuluh darah
melalui blokade dari kalsium tipe L yang menyebabkan relaksasi dari otot
pembuluh darah yang menyebabkan penurunan tekanan darah (Sargowo,2009).
Amlodipin derivat klor long-acting ini memiliki BA 60%, PP diatas 95 % dan
t1/235-50 jam. Dosis hipertensi angina variant/stabil 1 dd 5 mg dan maksimal 10
mg (Tjay, 2008 ). Kadar puncak yang cepat dicapai oleh kebanyakan antagonis
kalsium menyebabkan tekanan darah turun dengan cepat, dan ini dapat
mencetuskan iskemia miokard atau serebral. Absorbsi yang lambat dari
amlodipin menyebabkan tekanan darah turun dengan perlahan dan waktu paruh
amlodipin yang panjang memastikan dapat bekerja 24 jam penuh, kadarnya pada
24 jam masih 2/3 dari kadar puncaknya (Ganiswarna, 2004).
F. Gambaran Umum RSUD dr. Murjani Sampit
a. Sejarah Rumah Sakit Umum Daerah dr. Murjani Sampit
Rumah Sakit Umum Daerah dr. Murjani pada awal pembangunannya
bernama Rumah Sakit Umum Sampit berdiri sejak tahun 1931 berlokasi di Jalan
Ade Irma Suryani Nasution (saat ini lokasi tersebut menjadi Gedung Olah Raga
21
Habaring Hurung Sampit). Rumah Sakit Umum (RSU) Sampitdipimpin oleh
seorang dokter berkebangsaan Belanda yang bekerja sebagai dokter pada PT.
Inhutani III Sampit, bernama dr. Engelen Berneh.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor : 1192/MENKES/SK/XII/2008, tanggal 24 Desember 2008 maka Rumah
Sakit Umum Daerahdr. Murjani Sampit milik Pemerintah Kabupaten
Kotawaringin Timur Provinsi Kalimantan Tengah ditetapkan sebagai Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) dengan Klasifikasi tipe B non pendidikan dengan
202 tempat tidur.
b. Visi, Misi, Filosofi dan Motto RSUD dr. Murjani Sampit
1. Visi
Menjadi Institusi Layanan Kesehatan Yang Pertama dan Utama di
Kalimantan Tengah.
2. Misi
Mewujudkan Kepuasan Semua Pihak Terkait dalam Karya Pelayanan.
3. Filosofi
Keselamatan, kesembuhan, dan kepuasan pasien adalah “KEBANGGAAN
KAMI“
4. Motto
Tekad kami Pelayanan Terbaik.
c. Tipedan Letak RSUD dr. Murjani Sampit
RSUD dr. Murjani Kabupaten Kotawaringin Timur adalah Rumah Sakit
Umum tipe B milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur yang
terletak di jalan H.M. Arsyad no 065 Sampit dan menempati area seluas ± 4 ha.
RSUD dr. Murjani Sampit memiliki Instalasi Gawat Darurat (IGD), ruang
pesalinan, poliklinik, Instalasi Rawat Inap, Instalasi Perawatan Intensif (ICU),
kamar operasi, pameliharaan sarana rumah sakit (IPS-RS), ruang penunjang lain
(bank darah dan Askes Center), Instalasi Farmasi, InstalasiPenunjang medik
seperti radiologi, farmasi, laboratorium patologi klinik, gizi, fisiotherapi dan
treadmill.
22
d. Instalasi Farmasi RSUD dr.Murjani Sampit
Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu unit atau bagian
disuatu rumah sakit dibawah pimpinan seorang apoteker dan dibantu oleh
beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan kompeten secara profesional, tempat dan fasilitas
penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan
kefarmasian, yang terdiri atas pelayanan paripurna, mencakup perencanaan,
pengadaan, produksi, penyimpanan perbekalan kesehatan atau sediaan farmasi,
dispensing obat berdasarkan resep bagi penderita rawat inap dan rawat jalan,
pengendalian mutu, dan pengendalian distribusi dan penggunaan seluruh
perbekalan kesehatan di rumah sakit (Siregar, 2003).
Pelayanan kefarmasian di Instalasi Farnasi di RSUD dr. Murjani Sampit
memiliki beberapa depo yaitu Depo Rawat Jalan yang melayani pasien
poliklinik yang terdiri dari poli klinik umum, penyakit dalam, kebidanan, anak,
THT, mata, gigi, kulit dan kelamin, saraf, bedah, jiwa, diabet, poli edelweis dan
rehabilitas medik. Depo Rawat Inap melayani pasien yang dirawat dimana
pengambilan obatnya memakai kartu obat, kartu obat di bagi menjadi tiga
macam yaitu kartu obat warna putih khusus untuk pasien dengan pembayaran
tunai, kartu obat warna kuning khusus untuk pasien Askes dan kartu obat warna
merah muda khusus untuk pasien keluarga tidak mampu (dengan jaminan dari
pemerintah). Depo Instalasi Gawat Darurat (IGD) merupakan bagian Instalasi
Farmasi yang memberikan pelayanan khusus untuk pasien IGD, Obat dan Alat
Bahan Habis Pakai (ABHP) yang tersedia adalah obat yang bersifat emergency,
dan Depo OKA/Ruang Operasi merupakan bagian Instalasi Farmasi yang
memberikan pelayan khusus untuk pasien di Ruang Operasi, obat yang tersedia
untuk tindakan operasi antara lain obat-obatan anastesi.
BAB III
METODELOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Waktu : Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 7 Juni – 17 Juni 2013.
Tempat : Penelitian ini dilakukan di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD dr.
Murjani Sampit
B. Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif, yaitu
suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat
gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara obyektif (Notoatmodjo, 2005)
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menghitung kuantitas/jumlah
penggunaan obat hipertensi golongan Antagonis Kalsium di Instalasi Farmasi Rawat
Jalan RSUD dr. Murjani Sampit.
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi penelitian atau universe adalah keseluruhan obyek penelitian
atau obyek yang diteliti (Notoatmodjo, 2005).
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh obat Antihipertensi golongan
Antagonis Kalsium yang digunakan di Instalasi Farmasi rawat jalan RSUD dr.
Murjani Sampit.
2. Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan obyek
yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2005).
Teknik pengambilan sampel bukan secara acak atau randomadalah
pengambilan sampel yang tidak didasarkan atas kemungkinan yang dapat
diperhitungkan, tetapi semata-mata hanya berdasarkan kepada segi-segi
kepraktisan belaka. Teknik sampling yang di maksud adalahpurposive sampling.
“Purposive Sampling adalah pengambilan sampel yang didasarkan pada suatu
24
pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau
sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya” (Notoadmodjo, 2005).
Berdasarkan pengertian tersebut, peneliti menetapkan obat Antihipertensi
golongan Antagonis Kalsium sebagai sampel dengan pertimbangan pribadi
peneliti bahwa ciri atau sifat populasi diketahui di Instalasi Farmasi Rawat Jalan
RSUD dr.Murjani Sampit dijadikan sampel sesuai dengan kepentingan peneliti
sendiri.
Sampel pada penelitian ini adalah obat Hipertensi golongan Antagonis
Kalsium yang diresepkan oleh dokter di Instalasi Farmasi Rawat Jalan RSUD dr.
Murjani Sampit periode Juni 2012 – Desember 2012.
D. Variabel Penelitian
Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang memiliki oleh
anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok
yang lain (Notoatmodjo, 2005).
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis obat Hipertensi
golongan Antagonis Kalsium yang dikeluarkan oleh instalasi Farmasi Rawat jalan di
RSUD dr. Murjani Sampit melalui resep dokter.
E. Teknik Pengumpulan Data
Peneliti mengumpulkan data berupa dokumentasi, yaitu dengan menghitung
pengeluaran obat Antihipertensi golongan Antagonis Kalsium di Instalasi Farmasi
rawat jalan di RSUD dr. Murjani Sampit yang tercantum dalam resep dokter.
F. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data penelitian ini agar diperoleh hasil untuk melihat
penggunaan obat hipertensi golongan Antagonis Kalsium di Instalasi Farmasi rawat
jalan RSUD dr. Murjani Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur periode Juni -
Desember 2012 digunakan rumus persentase sebagai berikut.
25
Keterangan :
P : Persentase
F : Frekuensi
n : Jumlah
100% : Bilangan tetap
� =�
��100%
26
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Jumlah resep untuk penggunaan obat antihipertensi golongan antagonis
kalsium periode juni-desember 2012 di Instalasi Farmasi rawat jalan RSUD dr.
Murjani Sampit dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Jumlah resep obat hipertensi golongan antagonis kalsium di RSUD dr Murjani Sampit periode juni-desember 2012
N0 Bulan dan tahun Jumlah Resep
1 Juni 2012 44
2 Juli 2012 34
3 Agustus 2012 36
4 September 2012 44
5 Oktober 2012 38
6 November 2012 43
7 Desember 2012 51
Jumlah 290
Berdasarkan
antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit dapat d
pada grafik sebagai berikut
Gambar 3. Jumlah resep obat hipertensi goldr. Murjani Sampit
0
10
20
30
40
50
60
jum
lah
re
sep
tabel 2 diatas maka jumlah resep hipertensi golongan
antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit dapat dilihat dengan jelas
sebagai berikut.
Jumlah resep obat hipertensi golongan antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit
44
3436
44
38
43
51
27
hipertensi golongan
ilihat dengan jelas
ongan antagonis kalsium di RSUD
51
28
Hasil penelitian mengenai profil penggunaan obat hipertensi golongan
antagonis kalsium yang diresepkan oleh dokter di Instalasi Farmasi rawat
jalan RSUD dr. Murjani Sampit periode Juni-Desember 2012 di peroleh data
seperti pada tabel 3.
Tabel 3. Jumlah obat hipertensi golongan antagonis kalsium di RSUD dr.Murjani Sampit periode juni-desember 2012
N0 Bulan dan tahun Jumlah obat
1 Juni 2012 680
2 Juli 2012 530
3 Agustus 2012 630
4 September 2012 665
5 Oktober 2012 620
6 November 2012 655
7 Desember 2012 942
Berdasarkan tabel 3
antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit dapat dilihat dengan jelas
pada diagram sebagai berikut.
Gambar 4. Jumlah penggunaan obat Hipertensi golongan antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000ju
mla
h o
ba
t
Berdasarkan tabel 3 diatas maka jumlah obat hipertensi golongan
antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit dapat dilihat dengan jelas
pada diagram sebagai berikut..
Jumlah penggunaan obat Hipertensi golongan antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit
680
530
630665
620655
0
100
200
300
400
500
600
700
800
900
1000
29
diatas maka jumlah obat hipertensi golongan
antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit dapat dilihat dengan jelas
Jumlah penggunaan obat Hipertensi golongan antagonis kalsium
655
942
30
Tabel 4. penggunaan obat hipertensi golongan antagonis kalsium periode juni – desember 2012 di RSUD dr. Murjani Sampit
No
Nama Obat
Jumlah Obat / Bulan
Frekuensi
(f)
Persen
(%) Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
1 Amlodipin 5mg 205 115 245 260 190 125 240 1380 29,22
2 Amlodipin 10
mg
240 190 240 180 215 270 345 1680 35,57
3 Nipedipin 10 mg 195 190 115 195 175 200 320 1390 29,43
4 Nipedipin 30 mg 40 35 30 30 40 60 37 272 5,76
Jumlah (n) 680 530 630 665 620 655 942 4722 100
Berdasarkan data dari tabel 4
hipertensi golongan antagonis kalsium periode
diagram berikut.
Gambar 5. Penggunaan obat Hipertensi golongan Murjani Sampit Periode Juni
B. Pembahasan
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
mengetahui profil atau gambaran peresepan
kalsium dengan mengamati bera
desember 2012 di Instalasi Farmasi rawat jalan RSUD dr. Murjani Sampit.
Teknik pegambilan sampel pada penelitian ini dengan mengumpulkan semu
resep rawat jalan yang sudah dilayani, kemudian dipisah resep dengan obat
hipertensi golongan antagonis kalsium selama periode juni
sampel.
Ketersediaan obat hipertensi golongan antagonis kalsium yang ada di
Instalasi Farmasi RSUD dr.Murjani Sampit yaitu Amlodipin 5 mg, Amlodipin 10
mg, Nipedipin 10 mg dan Nipedipin
Jumlah resep obat hipertensi golongan antagonis kalsium periode juni
desember 2012 sebanyak 290 resep, dimana jumlah resep dan
29.43%
Berdasarkan data dari tabel 4 dapat dilihat hasil persentase penggunaan
hipertensi golongan antagonis kalsium periode bulan juni – desember 2012 pada
Penggunaan obat Hipertensi golongan antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit Periode Juni-Desember 2012
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
profil atau gambaran peresepan obat hipertensi golongan antagonis
kalsium dengan mengamati berapa jumlah obat yang diresepkan pada periode juni
desember 2012 di Instalasi Farmasi rawat jalan RSUD dr. Murjani Sampit.
Teknik pegambilan sampel pada penelitian ini dengan mengumpulkan semu
resep rawat jalan yang sudah dilayani, kemudian dipisah resep dengan obat
hipertensi golongan antagonis kalsium selama periode juni – desember 2012 sebagai
Ketersediaan obat hipertensi golongan antagonis kalsium yang ada di
D dr.Murjani Sampit yaitu Amlodipin 5 mg, Amlodipin 10
Nipedipin 10 mg dan Nipedipin 30 mg.
resep obat hipertensi golongan antagonis kalsium periode juni
desember 2012 sebanyak 290 resep, dimana jumlah resep dan penggunaan obat
29.22%
35.57%
29.43%
5.76%
Amlodipin 5 mg
Amlodipin 10 mg
Nipedipin 10 mg
Nipedipin 30 mg
dapat dilihat hasil persentase penggunaan obat
desember 2012 pada
antagonis kalsium di RSUD dr.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif yang bertujuan untuk
obat hipertensi golongan antagonis
pada periode juni-
desember 2012 di Instalasi Farmasi rawat jalan RSUD dr. Murjani Sampit.
Teknik pegambilan sampel pada penelitian ini dengan mengumpulkan semua
resep rawat jalan yang sudah dilayani, kemudian dipisah resep dengan obat
desember 2012 sebagai
Ketersediaan obat hipertensi golongan antagonis kalsium yang ada di
D dr.Murjani Sampit yaitu Amlodipin 5 mg, Amlodipin 10
resep obat hipertensi golongan antagonis kalsium periode juni –
penggunaan obat
Amlodipin 5 mg
Amlodipin 10
Nipedipin 10 mg
Nipedipin 30 mg
32
hipertensi golongan antagonis kalsium terbanyak di periode ini terdapat pada bulan
desember dengan jumlah 51 resep dan jumlah obat sebanyak 942 sedangkan
penggunan terendah pada bulan juli dengan jumlah 34 resep dan 530 jumlah obat.
Berdasarkan data pada tabel 4dan gambar 5 dari hasil yang diperoleh pada
periode juni – desember 2012 bahwa penggunaan obat hipertensi golongan
antagonis kalsium seperti amlodipin 5 mg dengan total penggunaan pada periode
tersebut 1380 dan hasil persentase 29,22%, amlodipin 10 mg sebanyak 1680 atau
35,57%, nipedipin 10 mg 1390 atau 29,43% dan nipedipin 30 mg 272 atau 5,76%.
Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa penggunaan terbanyak pada periode juni –
desember 2012 adalah obat amlodipin 10 mg dan yang sedikit digunakan adalah
nipedipin 30 mg.
33
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang profil penggunaan obat hipertensi
golongan antagonis kalsium di RSUD dr. Murjani Sampit dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1. Jenis obat Antihipertensi golongan Antagonis Kalsium yang digunakan di
RSUD dr. Murjani Sampit adalah amlodipin 5 mg, amlodipin 10 mg, nipedipin
10 mg, nipedipin 30 mg.
2. Obat hipertensi golongan antagonis kalsium yang digunakan periode juni –
desember 2012 adalah amlodipin 5 mg sebnyak 1380 atau 29,22% , amlodipin
10 mg 1680 atau 35,57%, nipedipin 10 mg 1390 atau 29,43% dan nipedipin 30
mg 272 atau 5,76%. Jadi yang banyak digunakan adalah amlodipin 10 mg
dengan jumlah 1680 atau 35,57 %.
3. Penggunaan obat hipertensi golongan antagonis kalsium terbanyak periode juni
– desember 2012 adalah bulan desember dengan jumlah 942 obat.
B. Saran
Disarankan pada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti profil penggunaan
obat hipertensi golongan antagonis kalsium beserta terapi penggobatannya pada
pasien rawat inap di RSUD dr. Murjani Sampit.
34
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2006. Buku Saku Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Hipertensi.Jakarta: Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Defartement Kesehatan.
Ganiswarna, S.G.2004.Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: GayaBaru. Ganiswarna, S.G.2007.Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Badan Penerbit FKUI. Katzung, B.G. 2010. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi 10. Jakarta:EGC Lyrawati, Diana. 2008. Farmakologi
Terafi.Iyrawati.files.wordpress.com/2008/11/hypertensionhosppharm.pdf [11 Mei 2013]
Mycek, M.J, dkk. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi 2. Jakarta: Widya
Medika. Notoatmodjo, S. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Siregar. C.J.P.2003. Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta: EGC Sukandar, E.Y., Andrajati, A., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., Kusnandar.
2008. ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT.ISFI Penerbitan. Sargowo. D. 2009. Kombinasi Dosis Tetap Amlodipin-Atorvastatin Untuk Prevensi
Penyakit Kadiovaskuler dan Pengobatan Hipertensi Dislipedemia. Malang. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya.
Tjay,T.H. dan K.Rahardja.2007.Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-efek
Saampingnya Edisi Ke Enam.Jakarta: Elek Media Komputindo