bab 9 diseksi arteri
TRANSCRIPT
Bab 9
Diseksi Arteri Intrakranial dan Ekstrakranial
PENDAHULUAN
Diseksi arteri servikal (cervical artery dissection/CAD) pertama kali dilaporkan dalam
penelitian autopsi oleh Pratt-Thomas pada 1947.1 CAD terjadi ketika robekan pada tunika
intima memungkinkan darah masuk di antara lapisan dinding pembuluh darah, sehingga
membentuk hematoma intramural. Tunika intima yang terpapar dan adanya kelepak (flap)
intima mengarah pada meningkatnya trombogenitas dan stroke yang dapat diakibatkan oleh
embolisasi atau stenosis yang membatasi aliran lewat lumen vaskuler yang sebenarnya.
Deteksi dan pengobatan dini penting karena rekurensi stroke paling tinggi selama bulan
pertama setelah peristiwa. Lewat beberapa tahun lalu, meningkatnya kesadaran dan kemajuan
dalam pencitraan diagnostik mengarah pada peningkatan deteksi CAD dengan atau tanpa
peristiwa iskemik terkait. CAD kini diakui sebagai penyebab paling umum dari stroke pada
kalangan muda, bertanggung jawab atas hingga 30% kasus.2,3 CAD umumnya didahului oleh
trauma leher langsung atau tidak langsung (CAD traumatik, dibahas dalam Bab 10). Pada bab
ini, kami akan berfokus pada CAD spontan (i.e. tidak terkait trauma) dan akan membahas
tampilan klinis, diagnosis dan pilihan penanganan yang tersedia.
EPIDEMIOLOGI
CAD spontan bertanggung jawab atas 2% dari seluruh stroke iskemik.4 Meskipun CAD
mengenai seluruh kelompok usia, terdapat predileksi pada individu yang lebih muda. Dalam
laporan terdahulu, CAD bertanggung jawab atas 25-50% dari seluruh stroke pada pasien
berusia kurang dari 45 tahun.2 Insidensi yang lebih tinggi karena cedera traumatis dan
manifestasi dini dalam gangguan autoimuun dan herediter mengarah pada prevalensi yang
lebih tinggi pada populasi muda. Dalam satu penelitian, rerata usia pasien pada saat diagnosis
adanya diseksi adalah 46 tahun,3 dengan insidensi puncak pada dekade kelima kehidupan,
dengan angka kejadian serupa yang diamati pada pria dan wanita. Pada penelitian berbasis
populasi, insidensi tahunan CAD spontan diperkirakan sebesar 3 per 100.000 orang. Insidensi
diseksi arteri karotis interna berkisar dari 2,6-2,9 per 100.000 orang dan insidensi diseksi
arteri vertebralis berkisar dari 0,97-1,12 per 100.000 orang.5 Penelitian juga menemukan
bahwa insidensi CAD meningkat secara bermakna dalam dekade terakhir, diduga karena
meningkatnya kemampuan deteksi daripada peningkatan kejadian aktual.6 Rekurensi angka
stroke setelah CAD diperkirakan sebesar <0,3% per tahu kecuali jika terdapat riwayat diseksi
arteri dalam keluarga.7 Diseksi rekuren tidaklah umum, dengan risiko yang dilaporkan terjadi
2% selama bulan pertama, diikuti risiko tahunan sebesar 1% kemudian.8 Sebaliknya, kasus
familial CAD memiliki angka rekurensi kumulatif sebesar 55% dalam 10 tahun.9 Kejadian
CAD di antara pasien dengan penyakit jaringan ikat dapat setinggi 20%.10 Namun demikian,
hanya sedikit pasien dengan CAD spontan yang saat ini didiagnosis dengan gangguan
jaringan ikat definitif.
PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
Mekanisme cedera arteri biasanya multifaktorial. Trauma leher merupakan latar yang paling
umum dimana CAD diamati. Trauma langsung pada arteri, gaya torsional atau regangan yang
menginduksi stres robekan pada tunika intima, atau cedera pada struktur tulang di sekitarnya
dapat menjadi faktor kausatif. Ketika tercipta robekan pada lapisan intima, itu
memungkinkan darah mengisi dan mendiseksi lapisan intramural (Gbr. 9.1(a)). Diseksi
subintimal menyebabkan pembentukan hematoma intramural, yang dapat berlanjut hingga
menyumbat lumen vaskuler (Gbr. 9.1 (b)) sehingga berdampak aliran darah ke otak. Pada
contoh lainnya, hematoma intramural dapat kembali memasuki aliran sirkulasi lewat robekan
kedua di sebelah distal, menciptakan “lumen vaskuler ganda” (Gbr. 9.1(c)).
Paparan aliran darah terhadap lapisan subintima memicu aktivasi dan agregrasi platelet serta
kaskade koagulasi yang memacu trombosis lokal dengan kemungkinan embolisme atau
sumbatan arteri. Diseksi juga dapat terjadi dalam bidang di antara tunika media dan
adventisia, menciptakan suatu aneurisme dengan tonjolan kantung yang tidak memiliki
dinding muskuler, disebut pseudoaneurisme. Penelitian histopatologi mendemonstrasikan
perbedaan struktural antara arteri intrakranial dan ekstrakranial. Lapisan adventisia yang
lebih tipis, keberadaan serat kolagen dalam selubung adventisia, serta tidak adanya lamina
elastis eksterna pada arteri intrakranial dapat menjadi predisposisi terbentuknya
pseudoaneurisme dan perdarahan subaraknoid pada sirkulasi intrakranial.11
Dalam beberapa laporan, CAD spontan dikaitkan dengan kejadian minor, seperti bersin,
batuk, muntah, gerakan fleksi/ekstensi/rotasi pada leher (seperti pada manipulasi siropraktik
atau intubasi trakea), berenang, atau yoga.1,12–14 Diperkirakan bahwa CAD terjadi pada 1 di
antara 20.000 manipulasi leher. Kerentanan yang lebih tinggi terhadap trauma pada beberapa
segmen arteri dapat dijelaskan oleh kedekatan mereka terhadap struktur tulang di sekitar.
CAD lebih umum terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial daripada intrakranial, mungkin
karena mobilitas yang lebih tinggi dan vulnerabilitas yang lebih besar dari arteri ekstrakranial
terhadap stres torsional. Arteri karotis interna bersifat mobil mulai dari asalnya di bifurkasio
dan pintu masuknya ke tengkorak. Daerah yang paling rentan adalah pada sambungan antara
segmen mobil (servikal) dan relatif terfiksir (petrosa) dimana kerentana terhadap stres torsi
meningkat. Pada arteri vertebralis, segmen setelah mereka keluar dari foramina transversal
vertebra antara tingkat setinggi C1 dan C2 dan sebelum masuk ke dasar tengkorak (segmen
V3) bersifat mobil dan cukup rentan terhadap cedera.
Faktor lainnya yang menjadi predisposisi CAD adalah defek inheren pada dinding arteri.
Brandt et al.15 menganalisis jarinan konektif dari biopsi kulit pada pasien dengan CAD
spontan, dan memperhatikan bahwa meskipun tidak adanya tanda-tanda klinis, terdapat
abnormalitas ultrastruktural pada morfologi jaringan ikat seperti fragmentasi serat elastis,
atau degenerasi media pada 50-60% pasien yang diteliti15 serupa dengan temuan yang diamati
pada penyakit jaringan konektif herediter. Penyakit seperti sindrom Marfan, sindrom Ehlers-
Danlos tipe IV, displasia fibromuskuler, nekrosis media sistik, defisiensi antitripsin alfa 1,
penyakit ginjal polikistik, osteogenesis imperfekta tipe I di antara yang lain dikaitkan dengan
kejadian CAD yang lebih besar. Selain itu, elevasi kadar homosistein dapat menjadi faktor
risiko CAD spontan dan stroke iskemik, tetapi mekanisme hubungannya masih belum
diketahui.16 Pencarian mutasi gen pada pasien CAD spontan masih berbuah sedikit. Dalam
suatu penelitian atas tujuh keluarga dengan CAD familial, mutasi mis-sense pada gen
COL3A1, yang mengodekan pro-kolagen tipe III dan menyebabkan sindrom Ehler-Danlos
tipe IV, terdeteksi pada dua anggota dari satu keluarga. Dua pasien dari keluarga lainnya
membawa polimorfisme pada COL5A1 dan satunya membawa suatu varian pada COL5A2.17
Tetapi, penelitian lain gagal menegakkan hubungan antara CAD dan mutasi gen. Penelitian
tersebut terbatas pada ukuran sampel yang kecil akibat rendahnya insidensi kelainan ini.
Tinjauan (review) sistematis yang lebih baru atas seluruh data mengenai determinan genetik
CAD yang dipublikasi menunjukkan tidak adanya bukti untuk penyakit monogenik yang
mendasar pada CAD sporadis. Hanya tiga penelitian yang menunjukkan hubungan positif
dengan genotip MTHFR 677TT.18
MANIFESTASI KLINIS
Ringkasan presentasi klinis yang dikaitkan dengan CAD disajikan dalam Tabel 9.1. Nyeri,
baik yang tersendiri atau dikaitkan dengan defisit neurologis fokal, merupakan gejala yang
paling umum. Nyeri leher ipsilateral atau kadang bilateral, seringkali menjalar ke wajah dan
kepala, merupakan pola yang paling umum. Nyeri leher kontralateral tesendiri jarang
terjadi.19,20 Diseksi arteri dapat menyebabkan stroke iskemik atau serangan iskemik transien
(transient ischemic attack/TIA) lewat mekanisme yang berbeda: embolisme akibat hematoma
intramural, trombosis pada lokasi robekan intima, atau sumbatan arteri akibat ekspansi
hematoma atau perkembangan trombosis. TIA hemisferik rekuren atau defisit vaskuler
monokuler transien dapat terjadi dan mengarah pada infaark serebral/retina dan defisit
permanen. Defisit neurologis repetitif yang terlokalisasi pada wilayah arteri yang sama, atau
eksaserbasi postural, menunjukkan adanya mekanisme hemodinamis hipoperfusi serebral
karena lumen karotis yang terkompromis berat atau tersumbat.
Diseksi karotis dapat salah didiagnosis sebagai migrain, terutama tanpa adanya temuan
neurologis fokal. Nyeri kepala seringkali unilateral, berdenyut (throbbing), tetapi dapat
melibatkan seluruh kepala, seringkali disertai oleh nyeri rahang dan tinitus berdenyut. Nyeri
kepala dan leher yang dikaitkan dengan sindrom Horner (biasanya parsial, terdiri atas ptosis
dan miosis) sangat indikatif akan adanya diseksi karotis ekstrakranial. Palsi nervus kranialis
bawah yang melibatkan nervus kranialis IX hingga XII serinkali digambarkan menyebabkan
disfagia, serak dan deviasi lidah, akibat iskemi saraf terkait dengan gangguan aliran darah
pada arteri faringeal asendens, atau karena kompresi mekanis atau peregangan nervus
kranialis pada foramen jugularis akibat arteri karotis interna yang terdiseksi.13,21 Tinitus
berdenyut diduga terjadi sekunder akibat efek massa pada arteri yang terdiseksi dalam
perjalannya di dekat telinga dalam.22
Diseksi vertebralis servikali menimbulkan nyeri leher ipsilaterl di sebelah posterior,
seringkali menjalar ke daerah oksipital dan/atau area bahu. Manifestasi neurologis termasuk
TIA sirkulasi posterior dan stroke iskemik. Gejala dapat termasuk pusing, diplopia, vertigo,
disartria, ataksia dan instabilitas gait. Keterlibatan batang otak biasanya terjadi pada wilayah
arteri medullaris dan arteri serebelar inferior posterior (posterior inferior cerebellar
artery/PICA).13 Hemianopsia homonim atau kuadrananopsia akibat infarksi wilayah arteri
serebri posterior harus dibedakan daari kehilangan penglihatan monokuler pada diseksi
karotis. Hilangnya kesadaran dapat terjadi pada kasus-kasus berat dimana diseksi vertebralis
meluas ke arah intrakranial dan menyumbat arteri basilaris.23
DIAGNOSIS
Pasien dapat saja asimtomatis, atau datang beberapa jam, hari atau bahkan minggu setelah
onset, tanpa melihat apakah trauma dapat diidentifikasi atau tidak. Meskipun digital
subtraction angiography (DSA) masih menjadi baku emas, tes pencitraan non-invasis seperti
computed tomography angiography (CTA), magnetic resonance imaging (MRI), magnetic
resonance angiography (MRA) dan sonografi Doppler sebagian besar menggantikan
perlunya angiografi kateter pada banyak kasus. Untuk mengkonfirmasi diagnosis diseksi
arteri, temuan terkait dapat mengungkapkan petunjuk etiologi yang mendasari.
DIGITAL SUBTRACTION ANGIOGRAPHY (DSA) (Gbr. 9.2)
DSA dipertimbangkan sebagai “baku emas” untuk diagnosis yang memungkinkan visualisasi
yang baik dari vaskulatur, terutama jika terdapat penundaan pengisian pada pembuluh darah
yang terkena dan dalam membedakan antara displasia dari diseksi pada arteri vertebralis.
Berlawanan dengan penyakit atherosklerotik, diseksi karotis biasanya tidak menyerang
bulbus karotikus, tetapi terjadi 1,5-2 cm ke arah distal dari asal bulbus karotikus. Lokasi
anatomis, keterlibatan multisegmen dan temuan seperti sumbatan bertahap (tapering), atau
kejadian konkomitan dari penyempitan dan dilatasi bersifat sugestif ke arah diagnosis diseksi.
“Tanda kawat (string)” dapat diamati seiring lumen terkompresi oleh hematoma intramural
atau aliran distal dapat sepenuhnya absen. Dilatasi segmental terkait dengan pseudoaneurisme
dapat divisualisasikan lebih baik dengan DSA. Temuan yang lebih jarang termasuk kelepak
intima dan tanda lumen ganda. Defek pengisian lumen menunjukkan adanya trombus
intravaskuler jarang terlihat lewat citra angiografis.
COMPUTED TOMOGRAPHY ANGIOGRAPHY (CTA) (Gbr. 9.3)
CTA memiliki keunggulan karena bersifat non-invasif dengan sensitivitas yang baik untuk
mendeteksi disrupsi aliran. Dalam serial penelitian kecil yang membandingkan CTA, MRS,
US dan DSA dalam mendiagnosis >70% stenosis arteri karotis, sensitivitas CTA adalah
sebesar 81-93%, spesifisitas sebesar 91-100%, dan akurasi diagnostik adalah 90-98%. Tetapi,
CTA menunjukkan angka di bawah estimasi sebesar 7,5% ketika dibandingkan dengan
DSA.24-26 CTA juga dapat mengungkapkan lusensi linier dalam pembuluh darah, yang sesuai
dengan kelepak yang memnisahkan lumen sejati dengan lumen palsu. CTA juga
memungkinkan visualisasi stenosis dan dilatasi aneurisme. Itu juga memiliki peranan
komplementer dalam evaluasi CAD dan pada beberapa kasus dapat menyediakan informasi
tambahan yang tidak bisa diperoleh lewat MRI.27–29
Pada suatu penelitian retrospektif atas 18 pasien dengan diseksi arteri servikalis yang
menjalani baik CTA dan MRI, dua neuroradiolog menilai masing-masing pembuluh darah
menurut dasar apakah temuan citra (stroke, penyempitan lumen, ketidakteraturan vaskuler,
penebalan dinding/hematoma, pseudoaneurisme, kelepak intima) lebih baik divisualisasikan
dengan satu modalitas dibandingkan yang lain. Keselurhan, CT/CTA lebih disukai dalam
diagnosis, terutama pada diseksi arteri vertebralis, sedangkan kedua modalitas serupa untuk
diseksi ICA.30
MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI) DAN MAGNETIC RESONANCE
ANGIOGRAPHY (MRA) (Gbr. 9.4)
Sekuens aksial MRI T1W dengan saturasi lemak memungkinkan diperolehnya visualisasi
resolusi tinggi dari dinding arteri lewat supresi sinyal tinggi dari lemak perivaskuler. Lesi
eksentrik berentuk bulan sabit, seperti pita, menunjukkan hematoma intramural yang sangat
sugestif untuk diagnosis. Peningkatan pada diameter lumen eksternal memiliki spesifisitas
tinggi atas diseksi karotis.31-33 Karakteristik citra dari hematoma mural dapat membantu
mengidentifikasi waktu onset CAD. Pada fase akut, hematoma intramural dapat isointens
atau sedikit hiperintens pada citra T1 dan T2 weighted akibat tidak adanya methemoglobin;
pada periode subakut, hematoma menjadi hiperintens pada citra T1 weighted yang diikuti
oleh hiperintensitas T2. Hematoma kronis tetap hiperintens pada T1 selama kira-kira 2 bulan
dan pada bulan keenam hematoma menjadi isointens pada citra T1 dan T2 weighted dan bisa
saja tidak dapat dikenali. Juga dimungkinkan untuk mendeteksi kelepak intima yang
memisahkan lumen sejati dan lumen palsu.
Rekonstruksi tiga dimensi MRA bersama dengan teknik fase kontras memungkinkan
visualisasi langsung hematoma dan dilatasi aneurisme.32,33 Levy et al. membandingkan hasil
teknik MR dan RSA, melaporkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dari MRA dalam
mendeteksi diseksi arteri karotis (berturut-turut 95% dan 99%), tetapi berakurasi rendah
ketika mendeteksi diseksi arteri vertebralis (berturut-turut 20% dan 100%).31 Salah satu
penjelasan adalah bahwa arteri vertebralis berdiameter lebih kecil dengan variasi kaliber yang
luas sehingga lebih sukar untuk divisualisasikan dan dievaluasi. MRI inferior daripada MRA
dalam mendeteksi diseksi arteri karotis (sensitivitas 84%, specsfisitas 99%), tetapi superior
dalam mendeteksi diseksi arteri vertebralis (berturut-turut 60% dan 98%).
DOPPLER ULTRASOUND (Gbr. 9.5)
Ultrasonografi Doppler terbatas karena hanya satu segmen dari bagian ekstrakranial arteri
ICA atau vertebralis yang dapat divisualisasikan. Penelitian sebelumnya melaporkan
sensitivitasnya berkisar antara 80%–96% pada arteri karotis dan 70%–92% pada wilayah
vertebrobasiler untuk mendeteksi diseksi. Spesifisitasnya adalah 92%–94% pada arteri
karotis.21,34–37 Tanda yang paling spesifik seperti kelepak intima ekogenik atau lumen ganda
jarang terdeteksi. Hasilnya bahkan lebih rendah pada stenosis derajat rendah dan pada pasein
tanpa peristiwa iskemik.21
Kombinasi pemeriksaan Doppler ekstrakranial dan transkranial dapat memperbaiki deteksi
tanda tidak langsung adanya kompromis hemodinamis akibat CAD. Perubahan pada
kecepatan dapat dilihat sebagai bagian dari kompensasi hemodinamis pada kasus stenosis
berat atau penyumbatan. Penurunan kecepatan pada MCA ipsilateral pada diseksi karotis, dan
peningkatan kecepatan kontralateral pada sumbatan vertebral pernah dilaporkan.
RIWAYAT ALAMIAH DAN PREDIKTOR KELUARAN (OUTCOME)
Risiko stroke rekuren setelah diseksi arteri servikal adalah rendah. Kebanyakan pasien
ditangani dengan terapi antikoagulan atau antiplatelet, sehingga riwayat alamiahnya tanpa
medikasi tidak diketahui dengan baik. Sejumlah kecil pasien diobati secara endovaskuler atau
bedah. Seluruh pilihan intervensi memiliki risiko, yang harus diseimbangkan sesuai riwayat
alamiah terapi medis.
Dalam suatu penelitian atas 130 pasien diseksi arteri servikal yang telah dibuktikan secara
angiografi, 4 pasien meninggal (3%), dan 126 pasien diikuti selama 3906 orang/tahun
(person/years).38 Dari jumlah ini, hanya 17 pasien yang bergejala, termasuk 6 stroke dan 11
TIA. Pengobatan dengan antikoagulan atau aspirin digunakan sesuai pilihan dokter yang
menangani. Stroke iskemik rekuren terjadi pada enam pasien (4,8%) dalam 2 minggu
pertama. Sedangkan jumlah peristiwa adalah kecil, dan tidak ditemukan adanya perbedaan
antara pasien yang diobati dengan aspirin versus yang diobati dengan antikoagulan.
Dalam penelitian lainnya, 27 pasien dengan diseksi servikal ekstrakranial (22 spontan, 5
traumatis) diobati dengan terapi antikoagulan (n = 18) atau antiplatelet (n = 9), dan diikuti
dalam periode selama rata-rata 58 bulan. Dari 27 pasien, 23 (85%) tidak menderita disabilitas
atau sekuel minor (skor Rankin termodifikasi 0 hingga 1), dan empat pasien mengidap defisit
moderat (skor Rankin termodifikasi 2 hingga 3).39 Dua pasien mengidap stroke iskemik
rekuren, satu tidak berhubungan dengan diseksi rekuren, dan yang lain terjadi setelah
angioplasti balon dan penempatan stent sebagai pengobatan atas pseudoaneurisme arteri
vertebralis persisten. Rekanalisasi dan perbaikan diamter lumen terlihat pada mayoritas
pasien. Pada penelitian sebelumnya atas diseksi arteri yang terbukti secara angiografi, 68%
kasus menunjukkan rekanalisasi bertahap setelah rata-rata 51 hari.40
Terdapat keterbatasan data yang mengidentifikasi pasien berisiko tinggi mengidap
komplikasi iskemik primer atau rekuren setelah diseksi spontan. Baumgartner et al. meninjau
200 kasus diseksi karotis ekstrakranial dan menemukan bahwa pasien pengidap peristiwa
iskemik memiliki prevalensi stenosis derajat tinggi (>80%) dan penyumbatan karena CAD
yang lebih besar daripada mereka yang belum pernah mengalami peristiwa iskemik. Perlu
diperhatikan, pasien tanpa perisitiwa iskemik memiilki prevalensi yang lebih tinggi mengidap
sindrom Horner dan palsi nervus kranial bawah ipsilateral.36 Penelitian lainnya41 menganalisis
69 pasien yang ditangani secara medis pengidap diseksi serviko-kranial spontan selama
periode 7 tahun dan mengevaluasi efek faktor demografis (usia, jenis kelamin), risiko
vaskuler dan temuan angiografis (tampilan vaskuler, persentase stenosis, adanya
pseudoaneurisme dan temuan displasia fibro-muskuler) pada peristiwa neurologis subsekuen.
Total sebanyak 11 (16%) pasien mengalami deteriorasi neurologis di rumah sakit, 10 dengan
TIA dan stroke iskemik, dan satu meninggal. Empat pasien tambahan mengalami deteriorasi
neurologis antara waktu pulang dan follow-up pada tahun pertama; tiga dengan TIA dan
stroke iskemik serta satu meninggal. Keseluruhan, total sebanyak 15 (22%) pasien
mengalami deteriorasi dalam satu tahun. Wanita dan mereka dengan keterlibatan kedua arteri
vertebral berisiko tinggi mengalami deteriorasi neurologis.
CAD DAN PEMBENTUKAN ANEURISME
Riwayat alamiah dari diseksi arteri servikal diteliti di antara 71 pasien dengan diseksi arteri
servikal. Tiga puluh lima pasien (49%) memiiliki total 42 aneurisme.42 Suatu aneurisme
didefinisikan sebagai kantung ekstralumen (aneurisme sakuler) atau dilatasi segmental dari
lumen (aneurisme fusiformis). Tiga puluh aneurisme terletak pada arteri simtomatis (arteri
karotis interna 23, arteri vertebralis 7), dan 12 pada arteri asimtomatis (arteri karotis interna
10, arteri vertebralis 2). Pasien dengan aneurisme lebih sering menderita diseksi multipel dan
kelebihan arteri. Terdapat kecenderungan ke arah frekuensi migrain dan merokok yang lebih
tinggi di antara pasien dengan dilatasi aneurisme. Selama follow-up dengan lama rata-rata
tiga tahun, tidak ada yang mengidap iskemi serebral, kompresi lokal, atau ruptur. Empat
puluh enam persen aneurisme melibatkan ICA simtomatis tidak menunjukkan perubahan,
36% sepenuhnya hilang, dan 18% mengalami pengecilan. Penyembuhan lebih umum terlihat
pada aneurisme arteri vertebralis daripada ICA (83% vs. 36%). Penelitinya menyimpulkan
bahwa, meskipun aneurisme akibat CAD seringkali bertahan, terdapat risiko sekuel klinis
yang sangat rendah, yang harus dipertimbangkan sebelum menjalankan pengobatan.
PENGOBATAN
Selama bulan pertama setelah diseksi arteri, risiko stroke iskemik rekuren adalah paling
tinggi, dan kemudian menurun. Pilihan pengobatan meliputi pengobatan medis dan/atau
bedah atau intervensi endovaskuler.
PENANGANAN MEDIS
Saat ini, belum ada percobaab berkontrol acak (randomized controlled studie) yang
membandingkan penggunaan agen antiplatelet dengan antikoagulan. Keduanya digunakan
untuk mencegah komplikasi iskemik lebih jauh, apakah terdapat sumbatan arteri atau
stenosis, dan dengan atau tanpa peristiwa tromboembolik terkait.43 Beberapa klinisi memilih
untuk menggunakan antikoagulan jangka pendek sampai ditemukan rekanalisasi pada
pencitraan follow-up selanjutnya. Durasi yang direkomendasikan untuk antikoagulan dengan
warfarin (INR target antara 2.0 dan 3.0) berkisar mulai dari 6 minggu hingga 6 bulan. Belum
ada konsensus mengenai penggunaan heparin intravena untuk pengobatan segera. Tes
pencitraan vaskuler follow-up biasanya dilakukan setelah 3 bulan. Jika terdapat persistensi
ketidakteraturan lumen, atay stenosis, beberapa saran dalah melanjutkan terapi antikoagulan
hingga aliran yang baik lewat area yang terkena dapat divisualisaskan, dengan penggunaan
agen antiplatelet subsekuen jika ketidakteraturan tetap ada.
Jarangkali, progresi dan penundaan sumbatan setelah diseksi diobati dengan antikoagulan
pernah dilaporkan.44 Walaupun patofisiologinya masih belum diketahui, diduga bahwa
antikoagulan, pada kasus yang jarang, dapat memperberat perdarahan intramural dan
ekspansi bekuan intramural yang diikuti penyumbatan pada segmen stenotik. Selain itu, pada
pasien yang terbukti mengidap infark serebral luas, kemungkinan komplikasi perdarahan
termasuk perdarahan intraparenkim simtomatis lebih tinggi pada mereka yang menerima
terapi antikoagulan daripada antiplatelet.
Tinjauan sistematik Cochrane sebelumnya menemukan bahwa aspirin mungkin efektif dan
lebih aman daripada antikoagulan, memberitahu diperlukannya penelitian lebih jauh karena
masih kurangnya bukti.45 Menon et al. melaporkan suatu meta-analisis atas pasien yang
menerima terapi antiplatelet atau antikoagulan untuk diseksi; tidak terdapat perbedaan
bermakna pada angka mortalitas (1,8% vs. 1,8%) atau angka stroke ipsilateral (berturut-turut
1,9% vs. 2%). Untuk gabungan endpoint TIA dan stroke, insidensinya adalah sebesar 7%
pada mereka yang diobati dengan agen antiplatelet dan 3,8% dengan antikoagulan, tetapi
perbedaan ini tidak bermakna secara statistik dan tidak disesuaikan untuk perbedaan dalam
karakteristik pasien.43 Dalam suatu penelitian prospektif atas 298 pasien dengan diseksi arteri
karotis servikal spontan, 202 pasien diobati dengan antikoagulan dan 96 dengan aspirin.
Follow-up prospektif dilakukan pada bulan ketiga lewat pemeriksaan neurologis (97%) atau
waawancara telepon. Peristiwa iskemik jarang terjadi (0,3% stroke, TIA 3,4%, iskemia retina
ischemia 1%), dan tidak terdapat perbedaan bermakna di antara mereka yang diobati dengan
antikoagulan maupun aspirin. Peristiwa perdarahan juga serupa di antara kedua kelompok
(antikoagulan 2%, aspirin 1%). Peristiwa iskemik rekuren lebih sering pada pasien dengan
peristiwa iskemik pada saat onset daripada pasien dengan gejala lokal atau mereka yang
asimtomatis.46
Panduan praktik terkini dari American Heart Association/American Stroke Association
Council on Stroke menyatakan bahwa: “bagi pasien stroke iskemik atau TIA dan diseksi
arteri ekstrakranial, penggunaan warfarain selama 3-6 bulan atau penggunaan agen
antiplatelet adalah beralasan (Class IIa, Level of Evidence B). Lebih dari 3-6 bulan, terapi
antiplatelet jangka panjang beralasan pada kebanyakan pasien stroke atau TIA. Terapi
antikoagulan lebih dari 3-6 bulan dapat dipertimbankan pada pasien dengan peristiwa
iskemik rekuren (Class IIb, Level of Evidence C).”47 Pada pasien dengan diseksi intrakranial,
pemberian antikoagulan dikotraindikasikan karena risiko pembentukan pseudoaneurisme dan
SAH yang lebih tinggi.11
TROMBOLISIS
Trombolisis intra-arteri dengan urokinase dan t-PA telah digunakan dan digambarkan pada
laporan retrospektif. Pada pasien yang datang dengan sumbatan akut terkait diseksi,
komponen trombotik lokal selalu ditemukan. Hasil dari trombolisis dapat bergantung pada
beban trombus atau keberadaan embolisasi distal. Meskipun terdapat perhatian teoretis
mengenai ekstensi hematoma intramural dengan progresi stenosis intraluminal, pembentukan
pseudoaneurisme, atau ruptur pembuluh darah, data terkini tidak mendukung adanya progresi
bermakna dari tanda atau gejala lokal, atau angka peristiwa buruk yang lebih tinggi di antara
pasien diseksi ICA yang diobati dengan trombolisis. Angka transformasi perdarahan
asimtomatis pada otak telah dilaporkan sebesar kira-kira 8%, sedangkan transformasi
perdarahan simtomatis hanya terlihat pada 2-3% pasien.43,48,49 Hanya terdapat sedikit laporan
mengenai pengguan trombolisis intra-arteri pada diseksi arteri vertebral dengan komplikasi
sumbatan basiler.23,50 Akibat kecilnya jumlah pasien yang diikutkan dalam penelitian, data
yang masih tidak cukup untuk menarik kesimpulan dan menyediakan rekomendasi.
Komplikasi inheren dari prosedur itu sendiri perlu diseimbangkan melawan manfaat potensial
pada dasar kasus per kasus.
PENANGANAN BEDAH
Pembedahan jarang digunakan sebagai penanganan CAD. Pilihan bedah yang tersedia
termasuk ligasi ICA dan reseksi aneurisme dengan rekonstruksi karotis dan interposisi
cangkok vena safena. Pada lesi ICA ekstrakranial distal dekat dasar tengkorak, pembedahan
bypass dari ICA servikal ke intrakranial telah dikerjakan.51 American Heart
Association/American Stroke Association Council on Stroke merekomendasikan penanganan
bedah bagi pasien yang gagal atau bukan kandidat terapi endovaskuler (Class IIb, Level of
Evidence C).47
PENDEKATAN ENDOVASKULER
Sekali pengobatan endovaskuler diputuskan, penilaian hati-hati atas karakteristik angiografis
dari diseksi dan pertimbangan klinis diperlukan.
Dalam bagian berikut kami menyajikan pertimbangan prosedural atas penanganan diseksi
CAD dan intrakranial.
SELEKSI PASIEN
Tidak terdapat kriteria yang diterima secara penuh dalam menyeleksi pasien diseksi yang
harus menjalani penanganan endovaskuler. Kebanyakan praktisi menyarankan agar gejala
iskemik rekuren meskipun telah menerima medikasi antiplatelet atau antikoagulan sebagai
indikasi penanganan endovaskuler. American Heart Association/American Stroke
Association Council on Stroke47 merekomendasikan pertimbangan terapi endovaskuler bagi
pasien yang mengalami peristiwa iskemik rekuren definit meskipun telah menerima terapi
antitrombotik adekuat (Class IIb, Level of Evidence C). Tetapi, peristiwa iskemik rekuren
bisa jadi merupakan stroke iskemik mayor dengan angka disabilitas dan kematian yang tinggi
walaupun telah mendapat penanganan medis. Sehingga, usaha terbaru telah difokuskan untuk
identifikasi dini pasien yang berisiko mengidap peristiwa iskemik rekuren dan atas intervensi
sebelum terjadi deteriorasi. Karakteristik angiografis seperti penyumbatan atau stenosis
derajat tinggi (80% atau lebih) tanpa adanya kolateral angiografis yang kuat mungkin dapat
digunakan dalam seleksi pasien sebelum terjadi deteriorasi. Patokan lain kegagalan kolateral
seperti gangguan cadangan vasodilatasi pada pemeriksaan perfusi dapat dipakai dalam
memilih pasien untuk intervensi dini. Rincian mengenai pengukuran dan interpretasi
cadangan vasodilatasi telah dijelaskan pada Bab 6. Adanya hipoperfusi signifikan atau
penumbra besar pada difusi dan perfusi MR merupakan kriterion lain yang diajukan dalam
memilih pasien untuk pengobatan endovaskuler.52
Penelitian terbaru menduga bahwa pasien dengan diseksi arteri vertebralis bilateral mungkin
lebih berisiko mengidap iskemia refrakter dan harus dipertimbangkan untuk menerima
penanganan endovaskuler dini.
PENILAIAN MORFOLOGIS LESI
Kebanyakan diseksi ICA berawal dari region servikal tinggi dan berlanjut hingga segmen
petrosa. Klinisi harus mampu meninjau karakteristik demografis dan klinis dari pasien dan
melengkapinya dengan data angiografis. Suatu lesi yang meluas hingga lebih dari 20 mm
setelah awalnya di ICA atau melibatkan segmen distal multipel dari asalnya tidak mungkin
bersifat atherosklerotik. Arteri vertebral memiliki segmen multipel yang rentan terhadap
diseksi. Itu berjalan ke dalam foramen vertebra baik dari C5 atau C6 hingga C2 (segmen V2).
Sambungan (antarmuka mobil-terfiksir) dengan segmen proksimal (V1) dan distal (V3)
rentan terhadap diseksi. Sambungan antara arteri ekstra- dan intrakranial juga rentan terhadap
diseksi. Arteri vertebralis mungkn dapat terkena pada banyak segmen; sehingga diperlukan
pemeriksaan seluruh segmen. Keterlibatan pembuluh darah ekstrakranial lain juga dapat
menyediakan informasi diagnostik. Sehingga, diperlukan visualisasi hati-hati dari pembuluh
darah ekstrakranial lain (tinjauan teliti atas citra angiografis atau tes non-invasif lain
dilakukan sebagai bagian dari evaluasi diagnostik) sebelum menjalankan prosedur
endovaskuler apapun. Selain itu, pemeriksaan arteri renalis dapat membantu mendiagnosis
displasia fibromuskuler.
Sebaiknya dilakukan upaya untuk menentukan apakah diseksi bersifat akut atau kronis
berdasarkan atas presentasi klinis dan/atau karakteristik citra; misalnya, temuan MR berupa
trombus di dalam dinding (diamati pada diseksi akut), atau temuan angiografis seperti
pseudoaneurisme (diamati pada diseksi kronis). Pada diseksi akut, angioplasti harus dihindari
jika mungkin dan self-expanding stent saja dapat menghasilkan eksplansi lumen vaskuler
yang cukup. Pada diseksi kronis, intervensi mungkin membutuhkan angioplasti konkomitan
dengan self-expanding stent untuk hasil yang adekuat.
KARAKTERISTIK ANGIOGRAFIS TERKAIT DARI DISEKSI
Citra angiografis mula-mula harus ditinjau dengan hati-hati untuk mengidentifikasi “segmen
terdiseksi” yang dibuktikan lewat ketidakteraturan, penyumbatan, dilatasi ektatik, atau
stenosis. Luasnya segmen yang terdiseksi harus ditegaskan pada ujung proksimal dan distal
di dalam “segmen normal” pembuluh darah. Harus diperhatikan bahwa “segmen yang
terkena” dapat meluas melebihi segmen yang tampak memiliki abnormalitas angiografis
dalam satu proyeksi. Sehingga, identifikasi “segmen yang terkena” memerlukan tinjauan citra
yang didapat dari proyeksi multipel. Jangkauan distal dari “segmen yang terkena” mungkin
sukar untuk divisualisasikan karena opasifikasi kontras yang buruk di tengah adanya aliran
yang membatasi lesi dan memerlukan injeksi mikrokateter di sebelah distal dari “segmen
yang terkena” yang awalnya divisualisasikan. Diameter dari arteri pada segmen normal di
dekatnya harus diukur untuk menyesuaikan ukuran stent. Visualisasi pembuluh darah distal
untuk pengukuran hanya dimungkinkan dari injeksi mikrokateter setelah melintangi lesi.
Alternatifnya, penggunaan angiogram CT dapat menyediakan pengukuran yang lebih akurat.
Pada peristiwa hampir tersumbat atau penyumbatan atas segmen yang terdiseksi
divisualisasikan, perlu diupayakan untuk menilai segmen di sebelah distal segmen yang
terkena untuk perkiraan akurat luasnya diseksi dan patensi pembuluh darah. Visualisasi
tersebut dapat terjadi lewat pengisian retrograd dari pembuluh darah kolateral (dari arteri
vertebralis kontralateral ke dalam arteri vertebralis ipsilateral distal) atau lewat rekonstitusi
distal dari arteri anastomotik (pengisian segmen kavernosa dari arteri karotis interna lewat
pengisian retrograde arteri oftalmika). Penyumbatan arteri distal akibat embolisasi dari
segmen yang terdiseksi bukanlah hal biasa dan dapat melenyapkan manfaat dari
revaskularisasi proksimal. Penyumbatan tersebut dapat diidentifikasi selama pengisian
kontras arteri serebri media ipsilateral dari sirkulasi anterior kontralateral atau cabang arteri
basilaris dari arteri vertebralis kontralateral. Pola keseluruhan daru asupan darah untuk
distribusi arteri dengan “segmen yang terdiseksi” harus dipahami. Keberadaan asupan
kolateral dari pembuluh darah lain harus diidentifikasi lewat injeksi kontras selektif dari
arteri-arteri terkait.
MELINTANGI LESI
Suatu selubung biasanya ditempatkan pada arteri femoralis komunis. Sebuah kateter pandu
kemudian diposisikan pada arteri karotis interna atau arteri vertebralis ipsilateral di sebelah
proksimal dari lesi (lihat Gbr. 9.6 dan 9.7). Ukuran kateter pandu harus tepat untuk
mengakomodasi sistem stent. Lesi kemudian dilintangi dengan microwire (berbentuk
konfigurasi J) dan lebih disukai dengan mikrokateter besar (2,3 F) dipandu oleh smart mask
fluoroscopic dengan perhatian teliti agar tidak memasuki lumen yang terdiseksi, yang
berisiko menyebabkan pembongkaran trombus dan embolisasi. Mikrokateter kemudian
ditempatkan di sebelah distal dari segmen yang cedera dan kontras diinjeksikan untuk
memvisualisasikan pembuluh darah distal. Penting untuk mengkonfirmasi bahwa
mikrokateter telah berada di dalam lumen sejati dari arteri untuk memverifikasi patensi
segmen distal. Microwire harus ditempatkan sedistal mungkin dengan bantuan mikrokateter
untuk memastikan adanya dukungan adekuat untuk stent yang akan dipasang. Jika microwire
tidak dapat melintangi lesi, pemberian trombolitik atau vasodilator proksimal dapat
membantu resolusi trombosis atau spasme yang menyebabkan visualisasi lumen residual.
Pembedaan antara lumen “sejati” dan “palsu” bisa sangat sulit dan istilah lumen “yang
tersedia” mungkin lebih akurat dalam menjelaskan keberadaan kanal arteri yang
menghubungkan segmen arteri proksimal dan distal yang intak.
PENEMPATAN STENT
Mikrokateter disingkirkan, microwire dibiarkan dalam posisi, dan stent dipasang di atas
microwire. Ketepatan penempatan stent yan harus dikonfirmasi menggunakan injeksi kontras
dan petunjuk tulang yang diidentifikasi pada pemeriksaan angiografi sebelumnya. Stent
diletakkan baik dengan inflasi balon (balloon mounted) atau penarikan selubung luar (self-
expanding). Self-expanding stent lebih disukai untuk menghindari cedera lebih jauh pada
segmen yang terdiseksi karena gaya radialnya lebih sedikit. Perbaikan yang menonjol pada
diameter lumen dapat diamati setelah pemasangan self-expanding stent tanpa angioplasti.
Stent yang memurnikan obat (drug-eluting) dihindari agar endotelisasi terjadi tanpa gangguan
oleh obat anti-mitotik. Jarangkali, angioplasti submaksimal (2,0-3,0 mm) diperlukan untuk
menciptakan ruangan lumen agar pemasangan stent dapat dilakukan. Diameter segmen target
yang terbesar yang memerlukan oposisi dari stent diukur. Diameter nominal stent harus
melebihi diameter pembuluh darah. Panjang stent harus dipilih untuk: (1) menutupi lesi
secukupnya; (2) mempertimbangkan posisi ujung distal untuk menghindari pemasangan
terangulasi atau tidak dioposisi akibat uliran atau dilatasi post-stenotik; dan (3)
memperkirakan konsekuensi pemasangan ke dalam arteri karotis interna distal
(ketidakcocokkan ukuran). Aspek distal dari stent biasanya ditempatkan pada segmen petrosa
dari arteri karotis interna. Self-expanding stent tersebut kini tersedia untuk penggunaan
intrakranial. Aspek proksimal dari stent mungkin membutuhkan penempatan parsial pada
arteri karotis interna. Karena stent yang diperlukan dalam arteri karotis memerlukan selubung
pemandu berukuran 6 F bukan kateter pandu berukuran 6 F, untuk antisipasi dini pemasangan
proksimal, penempatan selubung pandu dapat dipertimbangkan. Diameter pembuluh darah
dari arteri karotis interna bisa lebih kecil daripada diameter arteri karotis komunis atau
interna proksimal. Tetapi, stent dengan diameter yang berbeda dipasang berurutan secara
tumpang tindih, untuk membereskan ketidakcocokkan ukuran.
PENEMPATA STENT MULTIPEL
Penempatan stent multipel bisa diperlukan untuk menutupi seluruh panjang segmen yang
sakit secara adekuat dan/atau membereskan ketidakcocokkan ukuran bagian distal dan
proksimal. Segmen paling distal dari diseksi harus ditutupi terlebih dahulu. Pemasangan stent
serial dari distal ke proksimal dikerjakan untuk menghindari resistensi lewatnya alat
pemasang stent lewat stent yang diletakkan di sisi proksimal. Lebih jauh lagi, manipulasi
mekanis dari stent yang diletakkan proksimal dapat mengarah pada perpindahan tempat atau
pelepasan stent. Setelah stent dipasang, pemeriksaan citra angiografis ditinjau untuk menilai
apakah diperlukan penempatan stent tambahan atau coil di sisi luar stent untuk memastikan
resolusi lesi adekuat. Stent harus saling tumpang tindih untuk menghindari adanya segmen
arteri yang tidak tertutupi. Segmen yang tidak tertutup lebih rentan mengalami restenosis atau
diseksi lebih jauh. Terkadang, mungkin terdapat resistensi terhadap pemasangan stent kedua
lewat bagian proksimal dari stent pertama. Resistensi biasanya disebabkan oleh adanya
angulasi tajam yang ditemui oleh ujung distal yang tidak lentur dari alat pemasang stent
ketika itu masuk ke dalam pembuluh darah yang relatif lurus dengan komplians terbatas
akibat bagian proksimal dari stent pertama. Merubah sudut masuk dengan memasukkan
microwire lebih jauh ke arah distal atau memasukkan kateter/selubung pandu lebih jauh
mungkin dapat membantu. Manipulasi eksternal pada leher juga dapat mengubah angulasi.
Jika resistensi terjadi karena diameter yang kecil dari stent pertama, dapat diperlukan
angioplasti sebelum percobaan ulang pemasangan stent kedua.
PENGGUNAAN AJUVAN TROMBOLITIK, ANTIPLATELET DAN
ANTIKOAGULAN
Fenomena tromboembolik yang diakibatkan diseksi arteri karena trombogenisistas yang
diinduksi oleh stasis dan paparan subintima sering terjadi. Trombolisis intra-arteri mungkin
diperlukan secara konkomitan pada pemasangan stent untuk menangani trombosis di dalam,
atau embolisasi distal dari segmen yang terdiseksi. Trombolisis dapat dimulai setelah
mikrokateter melintangi lesi awal dan penyumbatan distal telah divisualisasikan.
Pasien mendapat aspirin (325 mg harian) dan clopidogrel (75 mg harian) sebelum, dan
heparin intravena selama prosedur dikerjakan, untuk mengurangi risiko tromboembolisme
yang berhubungan dengan prosedur. Clopidogrel dapat diberikan dalam bentuk bolus 300-
600 mg jika dosis harian belum dimulai 3 hari sebelum prosedur, untuk mencapai efek
antiplatelet optimal. Waktu koagulasi teraktivasi digunakan untuk mengawasi tingkat
antikoagulasi selama prosedur. Tingkat antikoagulasi bersifat kontroversial, tetapi dosis yang
lebih rendah (30-50 U/kg) lebih disukai jika terdapat lesi iskemik baru. Agen antiplatelet
intravena (inhibitor glycoprotein IIB/IIIA platelet) termasuk abciximab dan eptifibatide,
jarang digunakan sebagai pengobatan tambahan bersama dengan heparin intravena selama
prosedur. Saat ini, penggunaan inhibitor glikoprotein IIB/IIIA dibatasi hanya pada pasien
dengan trombus intravaskuler atau dengan defisit neurologis baru selama prosedur
(pertolongan penyelamat). Harus diperhatikan bahwa jika inhibitor glikoprotein IIB/IIIA
hendak digunakan, dosis heparin harus dikurangi untuk mempertahankan waktu koagulasi
teraktivasi di bawah 200 detik.
PSEUDOANEURISME DAN DISEKSI INTRAKRANIAL
Strategi penanganan diseksi intrakranial yang disertai defisit iskemik sangat mirip dengan
strategi yang ditekankan di atas untuk lesi arteri karotis ekstrakranial dan vertebral (lihat Gbr.
9.6 dan 9.7). Pilihan stent berbeda dan disesuaikan agar cocok dengan ukuran, fleksibilitas
dan kemudahan pemasangan. Self-expanding stent lebih disukai untuk menghindari cedera
pada arteri yang terkena. Pengobatan pseudoaneurisme dibahas baik pada bab cedera
vaskuler traumatis dan aneurisme intrakranial.
FOLLOW-UP
Aspirin (325 mg harian) dan clopidogrel (75 mg harian) diresepkan saat pasien pulang dan
berlanjut hingga periode 1-3 bulan. Kemudian, aspirin dilanjutkan sampat batas waktu
indefinit. Rincian mengenai penanganan peri-prosedural disajikan dalam Bab 4. Follow-up
klinis biasanya dijadwalkan pada bulan ke-1, ke-6 dan tahun pertama, lalu dilanjutkan dengan
interval 1 tahun. Penjaringan rutin seluruh pasien yang telah menjalani pemasangan stent
untuk diseksi tidak direkomendasikan karena prevalensi restenosis dan stroke lanjutna yang
rendah. Pemeriksaan non-invasif dapat membantu pada pasien yang mengidap penyumbatan
lengkap akibat diseksi karena kemungkinan rekanalisasi parsial spontan aau rekonstitusi
distal via pembuluh kolateral. Penggunaan angiogram konvensional pada bulan ke-6 untuk
mendeteksi adanya pembentukan ektasia atau pseudoaneurisme pada lokasi pemasangan stent
atau diseksi. Ultrasound Doppler karotis sebagai pemeriksaan saat follow-up mungkin tidak
cukup karena itu menyediakan visualisasi terbatas dari segmen servikal tinggi. Serupa, CTA
dan MRA mungkin dibatasi oleh artefak stent.
PENGALAMAN PENGGUNAAN STENT PADA DISEKSI
Terdapat beberapa laporan serial kasus mengenai penggunaan stent pada diseksi, kebanyakan
dikerjakan pada latar terapi antikoagulan yang gagal atau dimana itu merupakan
kontraindikasi, terdapat stenosis signifikan dan perfusi MRI memperlihatkan
ketidakcocokkan yang bermakna.52-57 Secara umum, dalam serial ini, perbaikan bermakna
dalam rekanalisasi lumen dicapai hingga kurang dari 25% diameter residu, dan keluaran
yang baik tercapai pada sebagian besar pasien.
Pada satu serial atas sembilan pasien dengan diseksi intrakranial atau servikal yang refrakter
terhadap penanganan medis, self-expanding Neuroform stent dipasang (Boston Scientific,
Fremont, CA), pada tiga pasien yang menjalani stent-assisted coil embolization.58 Tidak
terdapat komplikasi terkait prosedur, tetapi dua pasien meninggal karena sekuel awal
trombosis arteri vertebro-basiler. Pada follow-up, stenosis pada stent yang tertunda terlihat
pada dua pasien, dan seluruh pasien yang bertahan memperlihatkan perbaikan klinis atau
pemulihan gejala.
Serial lain dari sepuluh pasien dengan diseksi arteri karotis traumatis dan hipoperfusi
hemisferik yang bermakna secara hemodinamika, atau jika antikoagulan merupakan suatu
indikasi, atau dimana penanganan medis gagal, pemasangan stent dilakukan.59 Rerata stenosis
berkurang dari 69% menjadi 8%. Dalam rerata follow-up selama 16 bulan, pasien tetap bebas
dari peristiwa iskemik dan tidak ada yang mengidap stenosis pada stent yang diperiksa
menggunakan ultrasound. Peneliti yang sama melaporkan pasien dengan diseksi arteri
vertebralis ekstrakranial bilateral, infark embolus multopel terjadi mendahului antikoagulasi
dan arteri vertebralis kanan dengan trombus intraluminal. Arteri vertebralis kiri dominan
direkonstruksi dengan multiple tandem balloon-mounted stent, dan arteri vertebralis
kontralateral disumbat dengan coil.56 Tambahan alat perlindungan emboli juga telah
dilaporkan pada diseksi arteri vertebralis simtomatis yang ditangani dengan angioplasti
stent.55
Penelitian lain60 melaporkan efek klinis dan angiografis segera maupun jangka panjang dari
pasien berisiko tinggi yang datang dengan gejala iskemi, dan menjalani pemasangan stent
untuk diseksi serviko-kranial spontan.
Total sejumlah 14 pasien ditangani dengan pemasangan stent untuk diseksi yang terletak pada
lokasi berikut: arteri karotis interna intrakranial (n = 2), arteri serebri media proksimal (n =
1), arteri karotis interna ekstrakranial (n = 6), arteri vertebralis intrakranial (n = 4). Follow-up
klinis berkisar antara 26-900 hari (rerata periode 355 hari). Terdapat satu TIA (7%) dan satu
stroke iskemik minor (7%), tidak ada kematian yang diamati selama follow-up. Angka bebas
stroke adalah 93% pada 1 bulan setelah prosedur. Dua dari 14 pasien mendapat
penatalaksanaan untuk pseudoaneurisme. Untuk 12 pasien yang ditangani karena stenosis
berat post-prosedur, terdapat resolusi lengkap stenosis pada seluruhnya kecuali dua pasien.
Follow-up angiografis tersedia pada sembilan pasien, berkisar antara 26-612 hari (rerata
periode 245 hari). Tidak terdapat perubahan dalam diameter lumen pre-stent atau dengan
stent pada pemeriksaan angiografi follow-up.
KESIMPULAN
Diseksi arteri servikal merupakan penyebab umum peristiwa iskemik serebral pada dewasa
muda dengan stroke iskemik, seiring meningkatnya jumlah yang terdeteksi dengan
penggunaan pencitraan non-invasif saat ini. Trauma dan kelainan jaringan ikat merupakan
predisposisi umum yang mendasari perkembangan diseksi arteri karotis atau vertebra.
Manifestasi klinis diseksi arteri servikal memperlihatkan spektrum yang luas, dari
asimtomatis hingga nyeri terisolasi dan stroke hemisferik besar. Walaupun belum terdapat
percobaan berkontrol acak, terapi medis dengan pengobatan antikoagulan dan antiplatelet
merupakan terapi lini pertama, dimana mayoritas pasien tidak memperlihatkan gejala iskemik
rekuren dan penyembuhan arteri pada saat follow-up. Terapi endovaskuler dengan
pemasangan stent telah dilaporkan pada beberapa serial kasus kecil, dan umumnya
dipertimbangkan pada pasien yang gagal ditangani dengan terapi medis.
Tabel 9.1. Manifestasi klinis diseksi arteri
AsimtomatisNyeri
Nyeri kepala, nyeri leher, nyeri rahangSirkulasi karotis
Hemiparesis, kehilangan hemisensoris, afasia, sindrom Horner, tinitus berdenyutSistem Vertebro-basiler
Disartria, disfagia, vertigo, diplopia, dismetria, hemidnopsia, gangguan kesadaran,
sindrom Wallenberg, tetraparesis, komaOftalmologi
Infark retina, amaurosis fugaxNeuropati kranial
IX, X, XII