bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Televisi saat ini merupakan salah satu media yang paling banyak
dikonsumsi oleh masyarakat, terutama di Indonesia. Menurut data Badan Pusat
Statistik (BPS), sebesar 91.55% penduduk Indonesia mengonsumsi televisi
hampir setiap hari. Masyarakat terpapar konten media televisi dalam durasi dan
frekuensi yang besar. Sesuai dengan fungsi media, stasiun televisi menayangkan
berbagai macam program hiburan, pendidikan, informasi (berita), dan lain-lain.
Untuk menggerakkan seluruh program tersebut, stasiun televisi tentu
membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Dalam hal ini iklan berperan
menjadi sponsor atau penyandang dana terbesar atas berlangsungnya
penyiaran/program acara televisi.
Iklan merupakan komponen vital dalam organisasi reproduksi kapital.
Iklan bagaikan sihir karena mampu mentransformasikan komoditas kedalam
“penanda” yang glamour dan “penanda” tersebut menghadirkan suatu dunia yang
imajiner. Karena bersifat sihir, iklan mampu menyihir konsumen mengkonsumsi
suatu komoditas. Iklan merupakan perangkat ampuh untuk menciptakan need,
want, dan buy (Khasali, 1995:157). Di dalam iklan, tanda-tanda digunakan secara
aktif dan dinamis sehingga orang tidak lagi membeli produk untuk pemenuhan
kebutuhan (need), tetapi membeli makna-makna simbolik (symbolic meaning),
yang menempatkan konsumen di dalam struktur komunikasi yang dikonstruksikan
secara sosial oleh sistem produksi/ konsumsi (produsen, marketing, iklan)
(Piliang, 2006:287).
Iklan menjadi salah satu media paling efisien bagi perusahaan untuk
melakukan promosi produk. Biaya iklan yang besar ternyata bisa menjadi alat
promosi yang sangat murah karena masivitas media iklan serta persuasi iklan
yang cukup besar. Namun ternyata tidak semua produk dapat memasang iklan
dengan leluasa baik di media cetak maupun elektronik. Beberapa jenis produk
2
yang memiliki aturan ketat dalam beriklan antara lain produk rokok, obat-obatan,
minuman alkohol, produk khusus dewasa (kondom, dll) dan lain-lain.
Ketatnya regulasi mengenai rokok dan iklan rokok sepertinya tidak terlalu
mempengaruhi periklanan produk rokok. Menurut AC Nielsen Media Research
(dalam tempo.co), belanja iklan rokok di negeri kita menduduki peringkat (rating)
kedua sebesar Rp 100 triliun (2012), naik berlipat ganda dibanding 2007 sebesar
Rp 1,5 triliun. Iklan rokok di televisi saat ini terbilang cukup signifikan, yakni
mencapai 5 persen dari total belanja iklan, terutama free to air (FTA) TV. Dari 10
TV FTA di Indonesia pada 2014, belanja iklan mencapai Rp 15 triliun.
Salah satu batasan bagi perusahaan rokok mengenai iklan produk rokok
yang terbaru dirumuskan dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor
28 Tahun 2013. Perusahaan rokok tidak boleh menampilkan produk rokok
maupun kegiatan merokok, serta wajib memasang gambar dampak merokok
dalam iklannya. Dengan semakin ketatnya peraturan mengenai rokok, maka
perusahaan rokok harus bisa menyusun strategi yang lebih baik dan kreatif untuk
tetap menjaga brand dan produk image mereka di mata publik. Banyaknya
batasan yang harus dipatuhi perusahaan rokok dalam beriklan selanjutnya
membuat inovasi baru dalam dunia periklanan. Iklan-iklan tersebut tidak bisa
menggunakan daya tarik (appeals) hardsell, namun menggunakan pendekatan lain
seperti humor, mood & image serta gaya hidup. Seperti yang dilakukan produk A
Mild dan U Mild yang menggunakan daya tarik gaya hidup di dalam iklan sebagai
bagian dari pembentukan citra produknya.
A Mild dan U Mild merupakan merek rokok dari perusahaan yang sama,,
yakni PT. HM Sampoerna. Dari segi penjualan, tahun 2014 A Mild menguasai
41,4% dari jumlah volume penjualan domestik, meningkat dari 39,9% di tahun
2013. Sedangkan U Mild juga menjadi penyumbang kedua terbesar portfolio
SKM Sampoerna dengan peningkatan volume penjualan sebesar 25,2%.
Sampoerna A Mild sejak 2012-2014 masih menempati urutan pertama kategori
rokok mild dalam Top Brand Awards dengan 53,1% (Top Brand 2014).
Sedangkan U Mild masih berada di urutan ketiga dengan persentase 6,7% saja
3
pada tahun 2014. Kedua merek rokok kategori mild ini sama-sama menyasar
golongan muda sebagai pasar utama produk mereka. A Mild dan U Mild
menetapkan target kaum muda di rentang usia 25-35 tahun SES A & B, meskipun
dengan psikografis yang berbeda untuk masing-masing produk.
Dilihat dari target pasar yang mereka tetapkan, maka A Mild dan U Mild
sama-sama melakukan pendekatan dengan campaign yang memang dirancang
untuk kaum muda. Iklan A Mild dan U Mild yang sama-sama ditayangkan di
periode awal tahun 2015 memiliki beberapa kesamaan dalam hal daya tarik
periklanannya (ad appeals). A Mild dan U Mild mengonstruksi citra produknya
melalui iklan dengan merepresentasi gaya hidup urban.
Dalam iklannya, A Mild dan U Mild merepresentasikan gaya hidup urban
dalam konteks sosial yang sesuai dengan citra yang akan dikonstruksikan.
Wacana gaya hidup dalam iklan televisi secara eksplisit bisa dilihat dari beberapa
aspek visualnya, antara lain melalui latar/ setting tempat, suasana, gaya
berpakaian, dan lain-lain. Namun diluar hal-hal tersebut, ternyata masih banyak
tanda, simbol, dan mitos yang secara implisit terkonstruksi di dalam iklan.
Dengan besarnya frekuensi paparan iklan di masyarakat, bukan hanya produk
yang beriklan yang dijual, namun mitos gaya hidup juga dijadikan komoditas.
Wacana gaya hidup urban menjadi suatu hal yang menarik. Berlimpahnya
media dan tanda sebagai komoditas dipahami sebagai agen pembentuk yang
dominan di masyarakat. Konsumsi juga menjadi sebuah permainan rumit yang
mengelaborasikan budaya dimana materialitas dan kegunaan barang telah menjadi
hal sekunder dalam aspek komunikasi mereka. Karena dalam proses pemenuhan
kebutuhan gaya hidup melalui konsumsi terdapat tujuan „self-construction‟ yang
dilakukan bukan semata-mata untuk memiliki barang, namun juga pembelian
identitas (Odih, 2007:109). Masyarakat mengonstruksi gaya hidupnya untuk
mengekspresikan identitas mereka dan bersaing dengan yang lain dalam
memperluas budaya konsumsi. Gaya hidup urban sangat lekat dengan
konsumerisme, serta mengedepankan aktualisasi diri dalam segala aspek
kehidupannya.
4
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan suatu
rumusan masalah yaitu :
Bagaimana representasi gaya hidup urban dalam iklan rokok A
Mild versi Manimal dan iklan rokok U Mild versi Cowok Lebih Tau?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui bentuk representasi gaya hidup urban dalam iklan
rokok A Mild versi Manimal dan iklan rokok U Mild versi Cowok
Lebih Tau.
2. Untuk mengidentifikasi perbedaan karakter gaya hidup yang
direpresentasikan oleh iklan rokok A Mild dan U Mild.
D. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan dalam kajian
semiotika Komunikasi, khususnya semiotika di bidang periklanan. Selain itu,
penelitian ini juga dapat menjadi referensi bagi praktisi iklan untuk dapat
menghasilkan karya iklan yang kreatif namun tetap tepat sasaran dan strategis
dalam setiap unsur iklannya.
5
E. Kerangka Pemikiran
1. Iklan Rokok di Televisi
Iklan di awal kemunculannya hanya berupa leaflet atau selebaran yang
ditempel di tempat-tempat umum, yang selanjutnya berkembang di media cetak
khususnya surat kabar, dan hingga saat ini iklan muncul dalam berbagai bentuk
dan dapat ditempatkan di berbagai media. Menurut Arens (2009:7), iklan adalah
sruktur informasi dan susunan komunikasi non personal yang biasanya dibiayai
dan bersifat persuasif, tentang produk (barang, jasa dan gagasan) oleh sponsor
yang teridentifikasi melalui, berbagai macam media. Menurut KBBI (Kamus
Besar Bahasa Indonesia), iklan merupakan berita atau pesan untuk mendorong,
membujuk khalayak ramai agar tertarik pada barang dan jasa yang ditawarkan.
Dalam kaitannya dengan media, Marshall McLuhan (dalam Ponnui,
2007:36) menyatakan bahwa bagaimana suatu pesan disampaikan dan akan
diterima oleh komunikan tergantung dari medianya, dan bagaimana pengaruh
pesan atas kehidupan komunikasi akhirnya akan tergantung dari penggunaan
media. Oleh karena itu pemilihan media dalam periklanan sangatlah penting.
Setiap bentuk media digunakan untuk tujuan yang berbeda karena masing-masing
memiliki karakteristik tersendiri. Keputusan untuk memilih salah satu atau
beberapa bentuk media untuk beriklan harus mempertimbangkan faktor-faktor
lain seperti target market, product characteristic, advertising objectives, cost,
advertising by competitor, media selectivity, media coverage, media availability,
media restrictions, media flexibility, media life, media acceptance, quality of
workmanship, media support, dan media benefit (Bolen dalam Ponnui, 2007:37).
Di Indonesia, iklan mulai berkembang pada tahun 1615 seiring dengan
munculnya surat kabar Memorie de Nouvelles yang dibuat oleh Gubernur Jenderal
J. P. Coen. Sedangkan periklanan televisi baru dimulai pada pertengahan 1970-an
di TVRI. Perkembangan iklan televisi di Indonesia terjadi ketika RCTI mulai
mengudara pada tahun 1989. Unilever menjadi salah satu produsen pertama yang
beriklan di RCTI. Belanja iklan juga meningkat tajam dari Rp 593 miliar di tahun
6
1990, menjadi Rp 7,9 triliun di tahun 2000, dan di tahun 2006 sudah menjadi Rp
30 triliun (Winarno, 2008:437). Dari total tersebut, iklan televisi merajai porsi
iklan di Indonesia yang pada tahun 1990 hanya sebesar 7,9% atau Rp 51 miliar
menjadi Rp 20,4 triliun di tahun 2006 atau 63,4% dari total belanja iklan nasional
(Winarno, 2008:207).
Berdasarkan data Nielsen Indonesia, selama semester I/2015 belanja iklan
televisi mencapai Rp 41,03 triliun atau sekitar 71,7% dari total belanja iklan
selama enam bulan pertama yakni sebesar Rp57,1 triliun. Salah satu kategori
produk yang cukup sering melakukan belanja iklan di televisi adalah produk
rokok. Iklan rokok di televisi saat ini terbilang cukup signifikan, yakni mencapai 5
persen dari total belanja iklan, terutama free to air (FTA) TV. Dari 10 TV FTA di
Indonesia pada 2014, belanja iklan mencapai Rp 15 triliun.
Dunia mulai mengenal rokok (atau tembakau yang dikeringkan lalu
dibakar) sejak adanya perjalanan antar benua, yang salah satunya dilakukan
Colombus pada abad ke 15 di benua Amerika. Pabrik rokok sigaret pertama
berdiri sejak 1765 di Meksiko. Namun kebiasaan merokok baru marak di Eropa
sekitar tahun 1850, dan tahun 1865 di Amerika. Di Indonesia, riwayat kretek
bermula dari penemuan H Djamhari sekitar akhir abad XIX yang memadukan
cengkeh dengan daun tembakau. Selanjutnya pada tahun 1914 berdirilah sebuah
pabrik rokok „Tjap Bal Tiga‟ yang didirikan oleh Ki Nitisemito di Kudus, Jawa
Tengah. Iklan rokok, seperti pada umumnya iklan produk lain, pertama kali
muncul di media cetak (surat kabar).
Indonesia memiliki peraturan yang cukup ketat mengenai industri rokok,
baik dari segi produksi maupun promosinya yang dirumuskan melalui beberapa
peraturan sebagai berikut :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang
Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 109 Tahun 2012 tentang
Pengamanan bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Produk
Tembakau bagi Kesehatan.
7
Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 28 Tahun 2013.
Iklan menjadi salah satu cara paling efisien bagi perusahaan untuk
melakukan promosi produknya. Biaya iklan yang besar ternyata bisa menjadi alat
promosi yang sangat murah karena masivitas media iklan serta persuasi iklan
yang cukup besar. Namun ternyata tidak semua produk dapat memasang iklan
dengan leluasa baik di media cetak maupun elektronik. Strategi kreatif iklan
beberapa produk rokok kemudian mencoba mengonstruksikan nilai-nilai tertentu
kepada audience yang sejalan dengan karakter produk tersebut. Strategi tersebut
terlihat dari pemilihan ad appeals yang kemudian dieksekusi dalam iklan produk
rokok tersebut.
Supaya memiliki daya persuasi yang optimal dalam menarik perhatian dan
meyakinkan sasaran, terdapat kaidah-kaidah yang harus dipenuhi dalam sebuah
iklan. Kaidah-kaidah ini menyangkut pada strategi perumusan pesan dan strategi
visualisasi iklannya, atau dengan kata lain merumuskan isi pesan dan tampilan
atau visualisasinya, serta menentukan daya tarik iklan. Merumuskan pesan,
merancang visualisasi ikan serta menentukan daya tarik iklan yang akan
digunakan merupakan bagian dari aspek kreatif dalam membuat iklan.
Unsur-unsur iklan tersebut memang terkadang tidak digunakan
seluruhnya, atau terkadang suatu iklan menggunakan beberapa hal sekaligus
dalam satu unsur. Di media televisi, copy dapat dieksekusi dalam berbagai bentuk.
Misalnya copy disampaikan melalui narasi dengan voice over, atau bisa
ditampilkan secara teks visual dalam video iklan. Iklan tidak hanya menggunakan
bahasa sebagai alatnya, namun juga menggunakan alat komunikasi lainnya seperti
gambar, warna, suara, dan lain-lain. Untuk mengkaji iklan dalam perspektif
semiotika dapat dilakukan melalui sistem tanda pada iklan. Iklan menggunakan
sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik yang verbal maupun yang berupa
ikon (Sobur, 2004:116). Pada dasarnya, lambang yang digunakan dalam iklan
terdiri atas dua jenis, yakni verbal dan nonverbal. Lambang verbal terdiri dari
bahasa, dan lambang nonverbal terdiri dari bentuk dan warna.
8
Menurut Belch & Belch (2009:303), pada dasarnya iklan di media televisi
terdiri dari beberapa komponen, yaitu :
1. Video
Terdiri dari beberapa elemen visual, antara lain tokoh
(talent), setting (tempat dan waktu), pencahayaan, grafis, tone,
serta simbol-simbol lainnya.
2. Audio
Terdiri dari suara, musik dan sound effects.
Untuk menghasilkan iklan yang baik dan tepat sasaran, maka setiap unsur
iklan harus saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dengan besarnya
penonton televisi di Indonesia, maka iklan televisi memiliki potensi yang sangat
besar untuk mendapatkan perhatian dari penonton. Dengan demikian, maka
produk yang diiklankan atau ide periklanan yang ingin disampaikan akan cepat
tertanam di benak masyarakat.
Pada dasarnya televisi memainkan fungsi secara tradisional yang
diperankan oleh mitos dan ritual (memasukkan individu dalam tatanan sosial,
mereayakan nilai dominasi, menawarkan model pemikiran, perilaku, acuan
gender, dan lain sebagainya) (Kellner, 2010:324). Iklan baik melalui media cetak
maupun elektronik memiliki peranan dalam pembentukan identitas dalam
masyarakat kontemporer.
Televisi menguasai pikiran-pikiran manusia dengan cara membangun
teater dalam pikiran manusia (theater of mind), sebagaimana gambaran realitas
dalam iklan televisi (Bungin, 2006:216). Gambaran realitas tersebut mampu
menciptakan cerita realitas lain yang terus menerus hidup di dalam pikiran.
Penciptaan realitas tersebut menggunakan satu model produksi yang oleh
Baudrillard (dalam Bungin, 2006:217) disebut dengan semiluasi, yaitu penciptaan
model-model nyata yang tanpa asal usul atau realitas awal (hiper-reality).
Richard Pollay (dalam Leiss, 2005:75) membagi fungsi komunikasi iklan
dalam 2 aspek, yakni fungsi informasi, dan fungsi transformasi. Melalui fungsi
9
informasi, konsumen diberitahu sesuatu tentang karakteristik produk. Sedangkan
melalui fungsi transformasional, pengiklan mencoba untuk mengubah sikap
konsumen terhadap merek, pola pengeluaran, gaya hidup, teknik untuk mencapai
kesuksesan pribadi dan sosial dan sebagainya. Meskipun demikian, iklan
sebenarnya tidak memanipulasi kebutuhan, melainkan menciptakan tanda yang
digunakan untuk persaingan status dan konsumsi kebudayaan.
Menurut Chaney (1995:19), dalam era globalisasi ini gempuran iklan
menawarkan gaya visual yang mempesona dan memabukkan. Iklan tersebut
selanjutnya dapat membentuk budaya citra (image culture) dan budaya cita rasa
(taste culture). Gaya visual melalui televisi dan teknologi-teknologi representasi
bergambar lainnya telah meningkatkan dan sangat memperluas dramatisasi
kehidupan sehari-hari dalam masyarakat (Chaney, 1995:174). Iklan
merepresentasikan gaya hidup dengan menanamkan secara halus (subtle) arti
pentingnya citra diri untuk tampil di publik. Dengan demikian, perlahan tapi pasti
juga akan mempengaruhi pilihan cita rasa yang kita buat.
Iklan produk rokok tidak semata-mata menjual produknya, namun
perusahaan rokok juga berusaha mengonstruksi nilai-nilai tertentu kepada
audience berkaitan dengan citra perusahaan dan produknya. Karena pada
dasarnya, berbagai perusahaan, politisi, individu-individu, semua terobsesi dengan
citra (Chaney, 1995:19). Citra produk diciptakan melalui pengemasan pesan baik
verbal maupun non verbal (visual). Realitas bahasa yang digunakan dalam iklan
TVC mampu memberi kesan yang kuat kepada khalayak. Iklan-iklan tersebut
mampu membawa penonton kepada kesan dunia lain melalui adegan-adegan
maupun kesan realistis yang dibangun.
Konteks sosial dalam iklan merupakan bagian dalam perencanaan iklan
yang menunjukkan di mana cerita-cerita itu dikonstruksi sedemikian rupa. Hal ini
mampu mempertegas citra produk meskipun tanpa menampilkan wujud produk
rokok yang diusung dalam iklan. Konstruksi citra dibangun dengan manggunakan
simbol-simbol strata kelas sosial, simbol-simbol budaya popoler yang ditonjolkan,
misalnya kemewahan, kebebasan, kualitas, citarasa, kemudahan, kenikmatan,
10
aktualisasi, dan simbol-simbol budaya populer dan kelas sosial lainnya (Khasali,
1995:157).
Terdapat beberapa kategorisasi penggunaan pencitraan dalam iklan televisi
(Bungin, 2006:219-221), yaitu :
1. Citra Perempuan
Citra perempuan ini tergambar sebagai citra pigura, citra pilar, citra
pinggan dan citra pergaulan. Sebagai citra pigura, terjadi penekanan
terhadap pentingnya perempuan untuk selalu tampil memikat dengan
mempertegas sifat kewanitaannya secara biologis. Citra pilar dalam
pencitraan perempuan digambarkan ketika perempuan menjadi tulang
punggung utama keluarga dan sedearajat dengan laki-laki, namun
tetap digambarkan memiliki tanggung jawab besar terhadap urusan
rumah tangga. Dalam citra pinggan, perempuan digambarkan bahwa
ia tidak bisa melepaskan diri dari dapur. Sedangkan dalam citra
pergaulan, perempuan digambarkan sebagai makhluk yang anggun
dan menawan serta dapat masuk dalam kelas-kelas tertentu yang lebih
tinggi di masyarakat.
2. Citra Maskulin
Citra maskulin biasanya digambarkan dengan kejantanan, otot,
ketangkasan, keperkasaan, keberanian menantang bahaya, keuletan,
keteguhan hati, dan lain-lain.
3. Citra Kemewahan dan Eksklusif
Masyarakat mendambakan hidup dalam kemewahan dan
eksklusifitas. Iklan televisi mereproduksi realitas ini ke dalam iklan
dengan maksud memberi simbol-simbol kemewahan dalam objek
iklan. Karena ketika penonton merefleksikan kemewahan ke dalam
pilihan-pilihan mereka, maka secara tidak sadar, citra-citra iklan telah
memindahkan simbol-simbol tersebut ke dalam pikiran mereka.
11
4. Citra Kelas Sosial
Banyak orang yang juga mendambakan hidup dalam kelas sosial
yang tinggi di masyarakat. Dalam pencitraan kelas sosial dalam iklan
televisi, kehidupan kelas atas menjadi acuan dan digambarkan sebagai
kehidupan yang bergengsi, modern, identik dengan kehidupan
diskotik, pesta pora dan penuh dengan hiruk pikuk musik.
5. Citra Kenikmatan
Kenikmatan adalah bagian terbesar dari dunia kemewahan dan
kelas sosial yang tinggi. Dalam iklan televisi, kenikmatan dapat
memindahkan seseorang dari kelas sosial tertentu ke kelas sosial yang
berada diatasnya.
6. Citra Manfaat
Umumnya orang mempertimbangkan faktor manfaat sebagai hal
utama dalam sikap memilih. Oleh karena itu, mafaat menjadi sebuah
„nilai‟ dalam keputusan seseorang. Citra manfaat juga dapat memberi
penilaian yang lebih positif terhadap suatu produk sehingga dapat
menciptakan kebutuhan seseorang terhadap objek iklan.
7. Citra Persahabatan
Citra persahabatan ditampilkan dalam sebuah iklan sebagai jalan
keluar terhadap banyaknya permasalahan rendah diri yang tejadi di
kalangan remaja, terutama yang bersumber dari diri remaja itu sendiri.
8. Citra Seksisme dan Seksualitas
Dalam realitas sosial sehari-hari, seksisme dan seksualitas menjadi
hal yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini menjadi bagian
kehidupan individu yang disembunyikan atau tabu untuk
diungkapkan, namun menjadi bagian dominan dalam kehidupan
„panggung belakang‟ individu. Kondisi ini menjadikan seksisme dan
seksualitas menarik tampil „sedikit-sedikit‟ ke ruang publik.
Sebuah iklan jarang muncul hanya dengan citra tunggal. Namun tidak
semata-mata pencitraan yang dilakukan melalui sebuah iklan akan selalu berhasil.
Citra memerlukan aspek-aspek lain agar dapat tertanam di pikiran masyarakat.
12
Iklan-iklan berisikan menipulasi fotografi, pencahayaan dan taktik-taktik rekayasa
lain yang memunculkan suatu pengalaman yang seolah-olah dialami sendiri atau
yang disebut dengan a vicorius experience (Suharko dalam Bungin, 2006:224).
James Lull 1998 (dalam Wibowo, 2003:112) menyatakan bahwa iklan
merupakan sebuah wilayah simbolik yang dapat digunakan dengan baik dalam
analisis ideologi. Penyaji iklan tidak sekedar menjual produknya, tapi sekaligus
menjual sistem pembentukan ide yang berlapis-lapis, terintegrasi dan terproyeksi
ke dalam citra produknya. Kajian sistem tanda dalam iklan juga mencakup objek
atau hal yang diiklankan. Dalam proses analisis iklan, penafsiran kelompok
sasaran dalam proses interpretan merupakan hal yang penting. Dalam analisis
iklan model Roland Barthes (Cobley & Jansz, 1999:47), iklan terdiri dari pesan-
pesan yang terdiri dari:
1. Pesan linguistik, yang terdiri dari semua kata dan kalimat dalam iklan
2. Pesan ikonik yang terkodekan, merupakan konotasi yang muncul
dalam foto iklan, yang hanya dapat berfungsi jika dikaitkan dengan
sistem tanda yang lebih luas di masyarakat
3. Pesan ikonik tak terkodekan, berupa denotasi dalam iklan.
Iklan seringkali dianggap sebagai penentu kecenderungan, tren, mode, dan
bahkan dianggap sebagai pembentuk kesadaran manusia modern. Unsur repetisi,
trik, dan manipulasi dalam periklanan tidak dapat diabaikan dalam perembesan
gaya hidup. Iklan telah menjadi semacam “saluran hasrat” (chanel of desire)
sekaligus “saluran wacana” (chanel of disclosure) mengenai konsumsi dan gaya
hidup (Chaney, 1996:19).
Salah satu cara yang digunakan untuk memahami teks iklan televisi adalah
dengan memahami teks sebagai mitos untuk menemukan ideologi yang
tersembunyi dalam teks. Ideologi dalam teks dapat ditemukan dengan meneliti
konotasi yang terdapat di dalamnya. Isi pesan sebuah iklan tidak semata-mata
membentuk makna ideologis, namun juga karena makna ideologis tersebut
dibungkus oleh kepentingan akumulasi modal. Hal tersebut menandakan bahwa
makna-makna ideologi yang diciptakan iklan dipakai oleh kapitalisme untuk
13
keberlangsungan hidupnya. Sebaliknya, perubahan dan perkembangan kapital
memungkinkan diproduksinya makna-makna ideologis yang baru (Sobur,
2004:120).
Aktivitas produksi, distribusi dan pemasaran periklanan merupakan
industri yang memiliki ketergantungan pada industri lainnya, speerti komunikasi
massa dan hiburan. Iklan merupakan citra yang terpecah-pecah sehingga perlu
upaya untuk menemukan cara dalam menggunakan kode-kode (ways of coding)
mode-mode representasi. Cara tersebut dapat menguak ideologi-ideologi yang
tidak jelas terlihat dalam iklan (Chaney, 1996:175). Leiss, et al (2005:210)
menyajikan suatu kerangka historis yang didalamnya terdapat perubahan dalam
strategi pemasaran dan jenis-jenis presentasi. Di dalam presentasi terdapat suatu
tipologi yang terdiri dari empat format yaitu format produksi informasi, produksi
citra, personalisasi dan gaya hidup. Dalam iklan, gaya hidup orang, produk dan
pengaturan konsumsi diharmonisasi dengan suatu kesan yang menyatu.
Menurut Baudrillard (dalam Lury, 1996:71), saat ini kita hidup dalam
masyarakat yang tidak lagi mendewakan logika produksi, namun logika
signifikasi. Masyarakat telah mengalami pergeseran dari fase perkembangan
kapitalisme ke fase kelaziman bentuk tanda. Dengan demikian, maka konsumsi
juga dipahami tidak dalam hubungannya dengan nilai-guna (kegunaan materi),
namun dalam kaitannya dengan nilai-tanda (signifikasi). Komoditas mendapatkan
makna melalui operasi kode simbolik atau logika tanda-tanda. Fenomena
munculnya berbagai merek dalam periklanan, dimana aura asosiasi dilekatkan
pada suatu produk telah diidentifikasi sebagai hal penting dari operasi kode ini.
Berbagai relasi dalam budaya konsumen tidak lagi ditopang oleh nilai guna suatu
komoditas. Yang dimunculkan selanjutnya adalah permainan simbol-simbol yang
pada akhirnya akan bermuara pada sebuah bujuk rayu untuk mengonsumsi suatu
komoditas.
14
2. Gaya Hidup Urban
Gaya hidup menurut Kotler (2002:192) adalah pola hidup seseorang di
dunia yang diekspresikan dalam aktivitas (activity), minat (interest), dan opininya
(opinion). Secara umum dapat diartikan sebagai suatu gaya hidup yang dikenali
dengan bagaimana orang menghabiskan waktunya (aktivitas), apa yang penting
orang pertimbangkan pada lingkungan (minat), dan apa yang orang pikirkan
tentang diri sendiri dan dunia di sekitar (opini). Rhenald Kasali (2000:225) juga
menyatakan bahwa gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditunjukkan dalam
aktivitas, minat dan opini khususnya yang berkaitan dengan citra diri
untuk merefleksikan status sosialnya. Gaya hidup mempengaruhi seseorang, dan
akhirnya menentukan perilaku-perilaku konsumsi seseorang.
Sejalan dengan pendapat Kotler, Asseal (2001:252) menyatakan bahwa
gaya hidup merupakan “a model of living that is identify by how people spend
their time (activities), what they consider important in their environment
(interest), and what they think of themself (opinion)”. Dalam ketiga pengertian
tersebut, dapat digaris bawahi bahwa di dalam gaya hidup terdapat 3 poin utama
yakni activity (A), interest (I) dan opinion (O). Masyarakat menggunakan AIO
sebagai gaya hidup untuk menafsirkan, menginterpretasikan, mengkonseptualkan
serta memprediksi peristiwa dengan nilai dan kepribadiannya masing-masing.
Pandangan sosiologi perkotaan (antropologi) menyatakan bahwa konsep
gaya hidup umumnya digunakan “to describe the way of living of groups of
people forming a cultural unity in one way or another”. Konsep gaya hidup dapat
lebih dirinci lagi dalam lima dimensi (Sobur, 2004:168) :
1. Morfologi. Sebagai aspek lingkungan dan geografi dari gaya hidup,
dimensi ini melihat sejauh mana individu menggunakan kota dan
fasilitasnya. Dari dimensi ini dapat dilihat apakah aktivitas seseorang
hanya terbatas pada suatu bagian kota tertentu saja, atau melibatkan
fasilitas kota yang ada.
2. Hubungan sosial. Dimensi ini menggali pola hubungan sosial individu.
Setiap orang memiliki beberapa lingkaran pergaulan. Dimensi ini melihat
15
berapa banyakkah lingkaran pergaulan individu? Apakah fungsi dari setiap
lingkaran pergaulan tersebut? Serta apakah individu tersebut merasa perlu
membuat lingkaran-lingkaran pergaulannya bersentuhan?
3. Domain. Melalui dimensi ini diperoleh informasi mengenai aktivitas yang
ditekankan dalam jaringan sosial, serta peran apa yang dinilai berharga
oleh individu.
4. Makna. Dimensi ini menggali bagaimana individu dapat memiliki tingkah
laku yang sama meskipun world-view yang mendasari tingkah laku
tersebut berbeda.
5. Style. Dimensi yang menampilkan aspek-aspek lahiriah dari gaya hidup ini
menggunakan simbol-simbol, dan memberikan nilai simbolik pada objek-
objek di sekitarnya.
Gaya hidup yang ditawarkan oleh media modern (cetak, elektronik,
internet) sebenarnya adalah ajakan bagi khalayaknya untuk memasuki apa yang
disebut budaya konsumer. Oleh Lury (dalam Hastuti & Sudarwati, 2007:75),
budaya konsumer diartikan sebagai „bentuk budaya materi‟, yakni budaya
pemanfaatan benda-benda, terutama pendukung penampilan. Budaya konsumer
dicirikan dengan peningkatan gaya hidup (lifestyle). Menurut Lury, proses
pembentukan gaya hidup merupakan hal terbaik yang mendefinisikan budaya
konsumer. Dalam budaya konsumer kontemporer, istilah itu bermakna
individualitas, pernyataan diri dan kesadaran diri (Hastuti & Sudarwati, 2007:75).
Dalam proses modernisasi, masyarakat telah mengembangkan bentuk-
bentuk individualitas tertentu yang telah difokuskan pada dan diekskresikan
melalui ruang-ruang tindakan sosial, seperti cita rasa, etiket dan fashion yang
secara konvensional ditarik menjadi wilayah praktik-praktik gaya hidup (Chaney,
1996:191). Individualitas, pernyataan diri dan kesadaran diri dapat diwujudkan
melalui fashion yang dikenakan seseorang. Fashion merupakan suatu level
representasi yang mengandung light signs atau tanda-tanda ringan. Pakaian
merupakan „bahasa diam‟ (silent language) yang berkomunikasi melalui
pemakaian simbol-simbol verbal. Goffman (dalam Sobur, 2004:171) menyebut
16
simbol-simbol sebagai „sign vehicles‟ atau „cues‟ yang menyeleksi status yang
akan diterapkan kepada seseorang dan menyatakan tentang cara-cara orang lain
memperlakukan mereka. Pakaian merupakan indikator yang tepat dalam
menyatakan kepribadian dan gaya hidup seseorang.
Dalam masyarakat konsumen, selain perilaku konsumsi, pola-pola waktu
luang masyarakat (the social patterns of leisure) juga harus diperhatikan. Di satu
sisi masyarakat konsumen menjunjung tinggi individualitas, namun di sisi lain
mereka juga memiliki solidaritas kelompok dengan membentuk komunitas-
komunitas tertentu. Gaya hidup dipandang sebagai cara penting untuk
menunjukkan aspek-aspek dari perubahan relasi-relasi individualitas dan
komunitas (Chaney, 1996:151). Pada akhirnya, setiap individu dan komunitas
memiliki ciri tersendiri untuk menunjukkan identitas mereka.
Gaya hidup muncul dari kawasan urban yang dapat dikatakan sebagai
sumber industrialisasi. Definisi „urban‟ sendiri secara harfiah berarti „kota‟. Dari
definisi urban yang ada, sebagian besar masih mendefinisikan urban dari segi
spasial & geografis saja tanpa mempertimbangkan faktor sosio-ekonomi
masyarakat. Padahal, transformasi spasial seharusnya dipahami dalam konteks
transformasi sosial yang lebih luas. Ruang tidak mencerminkan masyarakat,
namun mengekspresikan masyarakat. Hal tersebut merupakan dimensi yang
fundamental dalam masyarakat, terlepas dari keseluruhan proses susunan dan
perubahan sosial. Difusi (percampuran) sistem nilai, sikap dan perilaku disebut
dengan „budaya urban‟ (Susser, 2002:21).
Istilah urban selanjutnya diartikan sebagai sebuah bentuk khusus dari
pendudukan ruang oleh suatu populasi. Pusat perkotaan dihasilkan dari
konsentrasi dan nasib yang relatif tinggi sebagaimana korelasi yang diprediksi,
fungsi serta perbedaan sosial yang lebih besar (Susser, 2002:22). Gagasan kota
(sebagai lawan kata desa) merujuk pada dikotomi ideologi masyarakat tradisional/
masyarakat modern dan mengacu pada suatu heterogenitas sosial dan fungsional
tertentu, tanpa bisa mendefinisikannya dengan cara lain selain dengan jarak relatif
dari masyarakat modern (Susser, 2002:29).
17
Masyarakat urban dapat didefiniskan melalui budaya tertentu. Budaya
urban dalam istilah antropologi diartikan sebagai suatu sistem nilai, norma dan
hubungan sosial yang memiliki sejarah khusus dan logika organisasi dan
transformasi tersendiri (Susser, 2002:35). Susser (2002:43) juga mengungkapkan
dasar masyarakat urban yang terletak pada “the grouping of a collectivity of a
certain size and destiny, which implies a more or less rigorous division of
activities and function and makes necessary exchange between the sub-groups
endowed with a status that is proper to them : to be differentiated is so be linked”.
Perilaku urban juga ditandai dengan pendangkalan kontak dan pentingnya
hubungan sekunder (Susser 2002:54).
Hannerz (dalam Mirly, 2007:14) membagi empat tipologi gaya hidup
masyarakat perkotaan, yaitu :
1. Encapsulated
Gaya hidup yang terpusat pada lingkungan keluarga, sanak
saudara, atau pada lingkungan kultur yang sama dengan indvidu.
Lingkungan ini sangat mempengaruhi aktivitas, minat, dan pandangan atau
sikap individu. Tipe ini desebut dengan urban tribesman (tribe=suku),
karena tipe ini umumnya beranggotakan orang-orang dengan latar
belakang yang sama.
2. Segregation
Gaya hidup yang memiliki banyak jaringan hubungan sosial.
Namun, individu yang ada sengaja memisahkan hubungannya dengan
kelompok satu dengan kelompok yang lain. Aktivitas, minat, serta
pandangan individu tidak didominasi oleh salah satu jaringan hubungan
atau kelompok tertentu. Mereka termasuk orang yang memperhatikan
penampilan. Mereka juga menggunakan berbagai fasilitas yang ada di
seputar kotanya.
3. Integration
Tipe ini merupakan gaya hidup yang paling besar. Tipe gaya hidup
ini memiliki banyak jaringan sosial tanpa ada penekanan khusus pada
18
jaringan hubungan atau kelompok tertentu. Berbeda dengan tipe
sebelumnya, biasanya orang-orang pada masing-masing jaringan atau
kelompok saling mengenal satu sama lain. Mereka termasuk orang yang
memperhatikan penampilan dan juga menggunakan berbagai fasilitas yang
ada di seputar kotanya.
4. Isolation
Tipe gaya hidup ini tidak memiliki atau membina hubungan atau
interaksi sosial yang khusus. Tipe ini jarang menggunakan fasilitas yang
ada di seputar kotanya.
Perkembangan gaya hidup di wilayah urban dijadikan penanda bagi
identitas seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Ashadi Siregar dalam
tulisannya “Popularisasi Gaya Hidup : Sisi Remaja dalam Komunikasi Massa”,
bahwa sebuah gaya hidup mungkin saja dapat digunakan sebagai cara yang paling
mudah untuk mengenali perbedaan kehidupan kelompok-kelompok dalam
masyarakat. Melalui gaya hidupnya, suatu kelompok sosial dapat diidentifikasi
kehadirannya (Ibrahim, 1997:227). Siapa saja dapat mengambil alih gaya hidup,
dari strata manapun dia berasal, pada saat ia bermaksud untuk mencitrakan dirinya
ke dalam kelompok sosial yang dicitrakan.
Untuk mengonstruksi gaya hidup yang ingin dicitrakan, terdapat beberapa
dimensi sebagai instrumen pendukung gaya hidup. Joseph Plummer (dalam
Khasali, 2000:227) menggolongkan dimensi gaya hidup dalam 4 kategori, yaitu :
Tabel 1.1 Dimensi Gaya Hidup
Aktivitas Minat-minat
terhadap
Pandangan-
pandangan
Demografi
Pekerjaan
Hobi
Kegiatan-kegiatan
sosial
Liburan
Keluarga
Rumah
Pekerjaan
Komunitas
Rekreasi
Terhadap diri
sendiri
Isu-isu sosial
Politik
Bisnis
Usia
Pendidikan
Penghasilan
Pekerjaan
Tempat tinggal
19
Hiburan
Keanggotaan Klub
Komunitas
Belanja
Olah raga
Fashion
Makanan
Media
Prestasi
Ekonomi
Pendidikan
Produk-produk
Masa depan
Kebudayaan
Geografi
Besarnya kota
Tahap dalam
family life cycle
Melalui dimensi-dimensi gaya hidup diatas, Surindo Utama (dalam
Khasali 2000:239) menemukan 8 segmen untuk perilaku gaya hidup masyarakat
perkotaan Indonesia, yaitu :
1. The Affluent (15%) adalah pekerja keras, memiliki rasa percaya diri yang
kuat, menyukai inovasi, proaktif dan berani mengambil resiko. Senang
mencari perhatian dan menyukai kehidupan yang dinamis. Kelompok ini
cenderung terbuka terhadap hal-hal baru dan memiliki kemampuan
mempengaruhi orang lain.
2. The Achiever (14%) sama-sama memiliki ketrampilan memimpin seperti
the affluent, hanya saja ia cenderung tidak suka diperhatikan orang lain.
Mereka mengonsumsi barang-barang secara fungsional (bukan seorang
yang trendi). Pengambilan keputusannya didasarkan oleh hal-hal yang
sifatnya rasional. Meski begitu, mereka tidak terlalu mudah menerima
gagasan-gagasan baru.
3. The Anxious (6%). Segmen ini mempunyai sikap sebagai follower, tetapi
ambisius. Mereka memiliki rasa percaya diri yang kuat dalam
pengambilan keputusan dan senang menunjukkan prestasinya, namun
tidak memiliki banyak keberanian. Biasanya mereka memerlukan saran
dan dorongan dari orang lain. Mereka mudah dibujuk dengan hal-hal yang
sifatnya rasional.
4. The Loners (10%). Segmen ini terdiri dari mereka yang senang menyendiri
dan kurang berani untuk tampil. Mereka cenderung individualistik dan
kurang tertarik untuk berafiliasi dengan teman, tetangga atau orang-orang
di sekitarnya.
20
5. The Socialite (11%) merupakan segmen yang senang bergaul,
bersosialisasi dengan orang lain. Tetapi mereka juga pengambil resiko
yang berani bertindak meski dasar rasionalnya kurang begitu kuat. Segmen
ini cenderung ingin menguasai orang lain dan senang menonjol. Mereka
juga reaktif terhadap perubahan-perubahan dan cenderung bersifat
impulsif.
6. The Pusher (6%). Ini adalah segmen yang terdiri dari orang-orang yang
tidak ingin diperhatikan tetapi ingin mendominasi sesuatu tanpa arah yang
jelas. Mereka tidak memiliki objektif yang jelas untuk meraih sesuatu
tetapi senang mengontrol orang lain. Segmen ini tidak begitu mudah
menerima hal-hal baru.
7. The Attention Seeker (17%). Orang-orang ini cenderung ingin menarik
perhatian. Mereka senang membel barang-barang baru untuk menarik
perhatian orang lain, impulsif dan seringkali irasional. Mereka cenderung
mudah dibujuk secara emosional dan cenderung followers.
8. Pleasure Seekers (20%). Segmen yang ingin mencapai sesuatu tanpa kerja
terlalu keras. Mereka cenderung individualistik, kurang senang
bersosialisasi, tetapi tekun mengikuti tren. Mereka tidak memiliki prinsip
yang cukup kuat sehingga mudah digoyahkan. Meski begitu segmen ini
tidak menghendaki terjadinya perubahan-perubahan.
Tidak hanya di kawasan urban, namun masyarakat di kawasan sub-urban
dan rural kini juga mulai mengonstruksi gaya hidup sesuai apa yang ia ingin orang
lain lihat dari dirinya. Hal tersebut dapat dilihat dari cara berpakaian, munculnya
cafe-cafe ataupun tempat nongrong bergaya urban, serta perubahan pola perilaku
masyarakat. Dengan konsumsi media yang semakin meningkat, bisa saja
masyarakat konsumer juga terbentuk di daerah-daerah yang tadinya jauh dari
kehidupan urban.
Berlimpahnya media dan tanda sebagai komoditas dipahami sebagai agen
pembentuk yang dominan di masyarakat, serta konsumsi yang menjadi sebuah
permainan rumit yang mengelaborasikan budaya dimana materialitas dan
21
kegunaan barang telah menjadi hal sekunder dalam aspek komunikasi mereka.
Masyarakat mengonstruksi gaya hidupnya untuk mengekspresikan identitas
mereka dan bersaing dengan yang lainnya dalam memperluas budaya konsumsi.
Transformasi ini dilakukan untuk mendapatkan kebebasan individu dari
modernitas, menciptakan ruang untuk kebenaran baru, kebebasan baru,
keberagaman serta perluasan hasrat/ keinginan (Leiss, 2009:295).
3. Representasi
Stuart Hall (2003:1), menyatakan bahwa representasi berada dalam circuit
of culture. Terdapat 5 proses yang terus menerus berlangsung dalam interaksi
sosial, yaitu proses representasi, identitas, produksi, konsumsi dan regulasi.
Representasi mengonstruksi identitas, demikian juga identitas dapat membentuk
representasi dan proses-proses lainnya. Kelima proses ini saling mempengaruhi
dan tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya. Dalam teori circuit of
culture ini, representasi menjadi salah satu dari bagian siklus yang terus berputar.
Gambar 1.1 Circuit of Culture by Stuart Hall
Terdapat 3 arti dari kata representasi, to depict, to be a picture of, atau to
act or speak for (in the place of, in the name of) somebody (Chiara Giaccardi
dalam Noviani, 2002:41). Dalam kata representasi terkandung makna to represent
22
atau menghadirkan kembali sesuatu dan to stand in atau untuk mewakili sesuatu
(Hall, 2003:15). Sejalan dengan pengertian sebelumnya, Hall (2003:17), juga
menyatakan bahwa representasi merupakan produksi makna dari konsep-konsep
di dalam pikiran melalui bahasa. Bahasa merupakan salah satu medium
penghubung manusia dengan realita di sekelilingnya.
Representasi merupakan sebuah sistem yang memiliki proses yang dibagi
menjadi 2, yaitu representasi mental (mental representation) dan bahasa
(language/ sign) (Hall, 2003:17). Representasi mental merupakan konsep yang
ada dalam pikiran kita. Dalam proses representasi mental ini, kita akan
menghubungkan kenyataan dengan konsep yang telah ada di pikiran kita. Oleh
karena itu, pemaknaan terhadap suatu peristiwa antar individu mungkin saja
berbeda-beda dan menjadi sangat subjektif karena konsep yang tertanam di setiap
individu juga berbeda-beda.
Proses kedua dalam sistem representasi adalah bahasa. Seluruh konsep
dalam representasi mental harus diwujudkan melalui bahasa agar kita dapat
menghubungkan konsep-konsep dan ide ke dalam suatu tulisan, suara, atau
gambar visual. Bahasa itu sendiri terdiri dari tanda dan simbol sehingga juga
beroperasi sebagai sistem representasi. Dalam proses ini, konstruksi makna akan
sangat berkaitan dengan konteks. Dengan demikian representasi tidak bisa
terlepas dari relitas sosial atau konteks yang melingkupi objek dan subjeknya.
Terdapat 3 macam pendekatan untuk menjelaskan bagaimana representasi
dari suatu pemaknaan melalui bahasa bekerja (Hall, 2003:24-25), yaitu :
1. Pendekatan reflektif (reflective approach)
Pendekatan reflektif melihat bahasa berfungsi seperti cermin, yakni
hanya sebagai refleksi atas pemaknaan yang telah ada di dunia. Makna
terkandung dalam objek dan tidak terpisahkan dari dunia nyata. Dalam
pendekatan reflektif muncul istilah „mimesis‟, yaitu bahwa bahasa
merefleksikan atau menirukan kenyataan.
2. Pendekatan intensional (intensional approach)
23
Pendekatan intensional memandang pemaknaan sebagai bagian
dari penulis (author). Pemaknaan terdapat pada intensi penulis. Oleh
karena itu, kata-kata bermakna sesuai dengan kehendak penulis.
3. Pendekatan konstruksionis/ konstruktivis (constructionist /constructivist
approach)
Pendekatan konstruktivis menyatakan bahwa pemaknaan
terkonstruksi dalam bahasa dan melalui bahasa. Pemaknaan tidak sekedar
diperoleh dari intensi penulis melainkan melalui sistem representasi.
“Meaning does not inhere in thing. It is constructed, produced. It is the
result of a signifying practice-a practice that producess meaning,that
make things mean”. Dalam pendekatan ini, makna tidak terkandung begitu
saja dalam sebuah tanda, melainkan terbangun ketika pemaknaan tersebut
dilakukan oleh orang yang juga telah memiliki serangkaian konsep sesuai
dengan budaya yang melingkupinya.
Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam sistem representasi ini adalah
kelompok yang dapat memproduksi dan bertukar makna dengan baik terdiri dari
sekumpulan individu yang memiliki latar belakang pengetahuan/ kebudayaan
yang sama. Sehingga pemaknaan terhadap suatu objek juga akan sama. Seperti
yang dikemukakan oleh Verstergaard dan Schroder (dalam Bungin, 2006:225),
dalam bahasa komunikasi ada pesan verbal dan pesan visual. Pesan verbal
berhubungan dengan situasi saat berkomunikasi dan situasi ini ditentukan oleh
konteks sosial kedua pihak (addresser dan addressee) yang melakukan
komunikasi. Sedangkan dalam pesan visual, hubungan kedua belah pihak
sepenuhnya tidak ditentukan situasi, namun bagaimana addressee menafsirkan
teks dan gambar.
Anggota dari suatu kebudayaan yang sama harus berbagi konsep-konsep,
gambaran, dan ide yang memungkinkan mereka untuk berpikir dan merasakan
dunia dengan cara yang sama. Mereka harus berbagi dan berbicara dengan kode
kebudayaan yang sama. Dalam pengertian ini, proses pemikiran dan pendapat
merupakan sistem representasi itu sendiri (Hall, 2003:17).
24
F. Metodologi
1. Metode Penelitian
Peneliti memilih metode semiotika untuk menganalisis representasi gaya
hidup urban di dalam iklan karena studi ini dapat mengkaji tentang peran tanda
sebagai bagian dari kehidupan sosial. Studi sistematis suatu tanda-tanda dikenal
sebagai semiologi, yang berarti “kata-kata mengenai tanda-tanda”. Kata semi
berasal dari kata bahasa Latin semion yang berarti tanda. Dalam A Theory of
Semiotics oleh Umberto Eco (dalam Berger, 2000:4), semiotika berkaitan dengan
segala hal yang dapat dimaknai suatu tanda-tanda. Sebuah tanda adalah segala
sesuatu yang dapat dilekati (dimaknai) sebagai penggantian yang signifikan untuk
sesuatu yang lainnya.
Tanda-tanda adalah sesuatu yang berdiri pada sesuatu yang lain atau
menambahkan dimensi yang berbeda pada sesuatu, dengan memakai segala
apapun yang dapat dipakai untuk mengartikan suatu hal lainnya. Pierce (dalam
Berger, 2005:1) menyebut tanda sebagai suatu pegangan seseorang akibat
keterkaitan dengan tanggapan atau kapasitasnya. Ada satu tujuan komunikasi
yang harus diingat yaitu tanda bermakna sesuatu.
Mengkaji iklan dalam perspektif semiotika dapat dilakukan melalui sistem
tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang,
baik yang verbal maupun yang berupa ikon. Iklan juga menggunakan tiruan
indeks, terutama dalam iklan radio, televisi dan film (Sobur, 2004:116). Kajian
sistem tanda dalam iklan juga mencakup objek, yang merupakan hal yang
diiklankan. Bermacam-macam tanda yang digunakan menarik untuk dikaji, yakni
bagaimana mereka menimbulkan arti, bagaimana mereka berhubungan, apa yang
mereka pancarkan tentang masyarakat kita dan kebudayaannya dan masalah-
masalah yang mereka tunjukkan bagi ahli pembaca tanda-tanda (semiologis) atau
interpretasi tanda-tanda yang lain. Karena terdapat kemungkinan untuk
menggunakan tanda-tanda sebagai cerminan sebuah citra (Berger, 2000:8).
25
Secara lebih spesifik, penelitian ini akan menggunakan teknik analisis
semiotik dari Roland Barthes. Metode ini relevan karena sesuai dengan tujuan
penelitian yang ingin dicapai oleh peneliti. Dengan metode ini peneliti meyakini
dapat melihat tanda-tanda baik yang implisit maupun eksplisit dalam iklan
tersebut secara menyeluruh. Seperti yang dikemukakan oleh Barthes, bahwa
makna konotasi merupakan makna yang juga penting dalam sebuah pesan. Maka
dalam hal ini iklan dapat dilihat makna pesannya secara menyeluruh sehingga
dapat mengidentifikasi maksud yang sebenarnya dibalik iklan rokok A Mild dan
U Mild tersebut.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan secara cermat terhadap
iklan A Mild versi Manimal dan U Mild versi Cowok Lebih Tau. Iklan A Mild
versi Manimal berdurasi 60 detik, sedangkan iklan U Mild versi Cowok Lebih
Tau berdurasi 45 detik. Selain melakukan pengamatan terhadap video iklan,
peneliti juga melakukan studi pustaka untuk menambah informasi dan
pemahaman mengenai konstruksi gaya hidup dan periklanan. Informasi tersebut
bersumber dari buku, penelitian terdahulu, jurnal, web serta artikel yang sudah
ada baik dalam bentuk fisik maupun online.
3. Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk menganalisis video
iklan A Mild versi Manimal dan U Mild versi Cowok Lebih Tau adalah analisis
semiotik dari Roland Barthes. Analisis semiotik Roland Barthes dipilih karena
dalam konsepnya, ia menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk
menjelaskan gejala budaya seperti sistem busana, menu makanan, arsitektur,
lukisan, film, iklan serta karya sastra. Barthes memandang semua hal tersebut
sebagai suatu sistem bahasa yang berhubungan dengan sistem relasi dan oposisi.
Ada dua konsep, konotasi yang menjadi kunci penting dalam menganalisis budaya
26
dan konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konsep konotasi di dalam
kehidupan sehari-hari.
Dalam penelitian ini, peneliti akan melakukan 2 tahap analisis. Signifikasi
tahap pertama merupakan hubungan antara signifier (ekspresi) dan signified
(konten) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Hal itulah yang disebut
sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda (sign) (Wibowo, 2011:117).
Selanjutnya pada tahap kedua, peneliti akan menemukan konotasi. Hal ini
menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau
emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Pada signifikasi tahap
kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth) yang
merupakan produk kelas sosial yang sudah memiliki suatu dominasi. “The
connotative meaning that signs carry wherever they go; myth makes what is
cultural seem natural” (Griffin, 2012:333).
Dalam bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes banyak menunjukkan
bagaimana aspek denotatif tanda-tanda dalam budaya pop menyingkapkan
konotasi yang pada dasarnya adalah mitos-mitos (myth) yang dibangkitkan
kembali oleh sistem tanda yang lebih luas yang membentuk masyarakat (Cobley
& Janz dalam Sobur, 2005:68). Dalam kajian ini, gaya hidup merupakan suatu
mitos yang akan dikaji lebih lanjut dan dapat dirumuskan dengan sistem tanda
Roland Barthes :
Gambar 1.2 Peta Tanda Roland Barthes
1. signifier 2. signified
3. denotative sign
2. CONNOTATIVE
SIGNIFIED
1. CONNOTATIVE
SIGNIFIER
3. CONNOTATIVE SIGN
MYTH
Language
(code)
27
Roland Barthes merupakan seorang pengikut Saussure. Dari jalur
Saussurean, membaca dan menstrukturkan teks dapat dilakukan dalam dua
langkah, yakni sintagmatik dan paradigmatik.
1. Analisis Sintagmatik, yaitu dengan mencoba mencari keberadaan struktur
tampak pada sebuah teks. Analisis ini mencari hubungan antara bagian-
bagian dalam teks (Piliang, 1999:2004). Kunci untuk memahami tanda
adalah hubungan struktural antara tanda yang terdiri dari 2 tipe hubungan,
yakni struktural paradigmatik yang terkait dengan pilihan dan sintagmatik
yang terkait dengan kombinasi (dari tanda-tanda yang terpilih) (Fiske,
2012:96).
2. Analisis Paradigmatik, berfokus pada bagaimana oposisi yang tersembunyi
dalam teks menghasilkan makna (Berger, 2000:46). Paradigmatik
(paradigms) merupakan sebuah istilah teknis untuk menggambarkan
bahwa sebuah tanda itu bermakna dalam hubungannya dengan tanda
lainnya (Danesi dalam Utami, 2014:23). Makna dari unit yang dipilih
sangat ditentukan oleh makna dari unit-unit yang tidak dipilih. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa dimana ada pilihan disitu terdapat
makna, dan makna dari yang dipilih ditentukan oleh makna yang tidak
terpilih (Fiske, 2012:95).
Karena aspek konotasi menjadi salah satu bagian terpenting dalam analisis
penelitian, Barthes juga memberikan penjelasan mengenai prosedur-prosedur
konotasi dalam sinematografi. Prosedur-prosedur konotasi tersebut antara lain :
1. Objek, misalnya dengan penataan properti yang ada dalam suatu adegan,
yang dapat menimbulkan makna tertentu sehingga muncul pemahaman
yang dapat dipahami secara konotasi
2. Trick Effect, misalnya dengan memadukan dua gambar secara artifisial
3. Pose, misal dengan mengatur arah pandangan mata atau cara duduk
seorang aktor atau aktris
28
4. Estetisme, misal dengan diperhatikannya nilai estetis dalam adegan yang
berdampak pada pemahaman akan teks secara keseluruhan
5. Fotogenia, dengan mengatur exposure dan lighting
6. Sintaksis, dnegan merangkai beberapa foto dengan sebuah sekuen
sehingga penanda dan petanda konotasinya tidak ditemukan pada fragmen-
fragmen, melainkan pada keseluruhan rangkaian tersebut.
Image yang dibangun melalui konotasi-konotasi tersebut memiliki banyak
pesan. Karena iklan yang akan diteliti merupakan iklan yang bersifat audiovisual,
maka banyak aspek sinematografis yang juga harus diperhatikan dalam penelitian
ini. Untuk menganalisisi iklan dapat menggunakan tanda-tanda dan sistem tanda
pada iklan tersebut. Sehingga penganalisa dan tahapannya tidak luput dari
beberapa hal menurut Berger (dalam Tinarbuko, 2008:117-118) berikut :
1. Mencari makna keseluruhan dari iklan
2. Mencermati hubungan yang muncul antara elemen gambar dan elemen
tertulis
3. Mengamati tanda-tanda dan lambang-lambang serta peran yang dimainkan
oleh tanda-tanda dan simbol yang terdapat dalam iklan tersebut
4. Memahami ekspresi-ekspresi, pose, yang ditampilkan oleh model iklan
atau figure iklan
5. Pemahaman background dan foreground pada iklan
6. Pemahaman bahasa yang digunakan dalam iklan tersebut.
Analisis yang akan dilakukan adalah dengan membagi iklan dalam suatu
struktur video iklan yaitu scene dan shot. Selanjutnya hasil analisis iklan tersebut
diberi pemakanaan terkait dengan objek yang dianalisis dengan konteks sosial dan
budaya dimana objek tersebut berada. Unit-unit yang akan dilakukan analisis
dalam iklan A Mild versi Manimal dan U Mild versi Cowok Lebih Tau terdiri dari
naskah iklan yang bersifat verbal (daya tarik/ appeals, format naskah, struktur
naskah dan gaya naskah), serta ilustrasi iklan yang bersifat visual dengan
kategori-kategori yang telah dicantumkan dalam tabel sebelumnya. Untuk
29
mempermudah peneliti, maka unit analisis tersebut disederhanakan dalam tabel
berikut :
Tabel 1.2 Unit Analisis
No. Unit Terteliti Unsur Sub Unsur
1. Bahasa Verbal Copy (Naskah) Gaya bahasa, format naskah,
struktur naskah dan gaya
naskah.
2. Bahasa Non-
verbal / visual
Warna Jenis warna (tone)
Subjek / Objek Iklan Aktivitas, minat, pandangan-
pandangan,identitas
(wardrobe dan perlengkapan)
Ekspresi subjek dan
objek iklan
Facial Expression
Setting Tempat, waktu dan suasana
Action Posture, gesture, the eye,
touch, personal space,
interaksi
Teknik pengambilan
gambar
Camera shot dan camera
movement
3. Audio Jenis Musik Irama musik dan sound effect
Di dalam studi semiotika, setiap shot dapat dianalisis sebagai penanda
yang memiliki makna tersendiri. Selain itu, terdapat berbagai teknik pengambilan
gambar yang digunakan untuk membedah suatu shot video iklan yang dirumuskan
dalam tabel berikut :
Tabel 1.3 Teknik Pengambilan Gambar
Penanda Petanda
Ukuran Pengambilan Gambar
Big Close Up
Close Up
Medium Shot
Emosi, peristiwa penting, drama
Keintiman
Hubungan personal dengan subjek
30
Medium Long Shot
Long Shot
Konteks, jarak publik
Hubungan sosial
Sudut Pengambilan Gambar (camera angle)
High Angle
Eye Level Angle
Low Angle
Dominasi, kekuatan, kewenangan
Kesetaraan
Kelemahan, tidak punya kekuatan
Fokus
Selective focus
Soft focus
Deep focus
Menarik perhatian penonton
Romantika, nostalgia
Semua elemen adalah penting
Pencahayaan
High key
Low key
High contrass
Low contrass
Kebahagiaan
Kesedihan
Teatrikal, dramatis
Realitas, dokumenter
Kode Sinematik
Zoom in
Zoom out
Pan (kiri atau kanan)
Tilt (atas atau bawah)
Fade in
Fade out
Dissolve
Wove
Iris out
Slow motion
Follow
Observasi
Konteks
Mengikuti, mengamati
Mengikuti, mengamati
Mulai/ awal
Selesai/ akhir
Jarak waktu, hubungan antar adegan
Kesimpulan yang menghentak
Film tua
Kesan waktu, perhatian
Evaluasi, apresiasi keindahan
Sumber : Selby & Cowdery, 1995 (dalam Utami, 2014:37)