bab i pendahuluan -...

32
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Dermaga merupakan salah satu fasilitas di pelabuhan yang memiliki fungsi sebagai tempat kapal merapat dan bertambat sehingga mempermudah kegiatan perpindahan barang dan penumpang. Dalam perencanaan pembangunan dermaga harus memperhitungkan faktor-faktor yang akan mempengaruhi kestabilan bangunan dermaga serta keamanan kapal-kapal yang berlabuh, faktor-faktor tersebut adalah angin, gelombang dan pasang surut (Triatmodjo b , 2003). Pasang surut menjadi faktor yang harus diperhitungkan karena kejadiannya yang bersifat periodik dan pasti mempengaruhi bangunan dermaga, baik pada saat persiapan, pembangunan maupun pemakaian. Produk pasang surut yaitu highest high water level (HHWL) merupakan komponen dasar dalam perhitungan design water level (DWL) untuk menentukan nilai elevasi dermaga. Nilai HHWL ditentukan berdasarkan pengamatan pasang surut selama minimal 15 hari, dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang surut yaitu pasang purnama hingga pasang perbani (Triatmodjo a , 2003). Di Indonesia sendiri pengamatan pasang surut untuk keperluan praktis seperti perencanaan bangunan pantai hanya dilakukan selama 15 piantan (seri pendek) atau 29 piantan (seri panjang) (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Pasal 8 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2009 tentang kepelabuhan menegaskan bahwa Menteri menetapkan rencana induk pelabuhan termasuk didalamnya hal pengoperasian pelabuhan secara aman untuk jangka waktu 20 tahun. Selanjutnya setelah periode tersebut akan dilakukan pengontrolan setiap 5 tahun sekali. Berdasarkan uraian di atas maka dalam perencanaan pembangunan dermaga di Indonesia, data pasut dengan lama pengamatan 15 hari atau 30 hari dianalisis harmonik dan dihitung nilai HHWL nya sehingga didapat nilai elevasi dermaga yang dinyatakan aman untuk jangka waktu panjang. Kontrol keamanan elevasi dermaga merupakan nilai

Upload: phungnhi

Post on 16-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Dermaga merupakan salah satu fasilitas di pelabuhan yang memiliki fungsi

sebagai tempat kapal merapat dan bertambat sehingga mempermudah kegiatan

perpindahan barang dan penumpang. Dalam perencanaan pembangunan dermaga harus

memperhitungkan faktor-faktor yang akan mempengaruhi kestabilan bangunan dermaga

serta keamanan kapal-kapal yang berlabuh, faktor-faktor tersebut adalah angin,

gelombang dan pasang surut (Triatmodjob, 2003). Pasang surut menjadi faktor yang

harus diperhitungkan karena kejadiannya yang bersifat periodik dan pasti mempengaruhi

bangunan dermaga, baik pada saat persiapan, pembangunan maupun pemakaian. Produk

pasang surut yaitu highest high water level (HHWL) merupakan komponen dasar dalam

perhitungan design water level (DWL) untuk menentukan nilai elevasi dermaga. Nilai

HHWL ditentukan berdasarkan pengamatan pasang surut selama minimal 15 hari,

dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang surut yaitu

pasang purnama hingga pasang perbani (Triatmodjoa, 2003). Di Indonesia sendiri

pengamatan pasang surut untuk keperluan praktis seperti perencanaan bangunan pantai

hanya dilakukan selama 15 piantan (seri pendek) atau 29 piantan (seri panjang)

(Poerbandono dan Djunarsjah, 2005).

Pasal 8 ayat 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 tahun 2009

tentang kepelabuhan menegaskan bahwa Menteri menetapkan rencana induk pelabuhan

termasuk didalamnya hal pengoperasian pelabuhan secara aman untuk jangka waktu 20

tahun. Selanjutnya setelah periode tersebut akan dilakukan pengontrolan setiap 5 tahun

sekali. Berdasarkan uraian di atas maka dalam perencanaan pembangunan dermaga di

Indonesia, data pasut dengan lama pengamatan 15 hari atau 30 hari dianalisis harmonik

dan dihitung nilai HHWL nya sehingga didapat nilai elevasi dermaga yang dinyatakan

aman untuk jangka waktu panjang. Kontrol keamanan elevasi dermaga merupakan nilai

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

2

HHWL dari data pasut hasil prediksi hingga jangka waktu panjang. Suatu dermaga

dinyatakan aman jika tidak tergenang air laut, dan menurut standar kriteria desain

pelabuhan Indonesia (1984) batas aman tinggi HHWL adalah maksimal 30 cm di bawah

lantai dermaga yang nilainya bereferensi terhadap MSL.

Tinggi air pada pengamatan pasut merupakan resultan dari berbagai gelombang

(konstanta pasut) yang dominan dibangkitkan akibat adanya gaya gravitasi bumi dengan

bulan dan matahari. Benda-benda langit tersebut masing-masing bergerak dengan

siklusnya yang membentuk pola harmonik sederhana dengan periode yang tetap (NN.,

2010 dalam Perbani, 2010). Jika periode suatu konstanta pasut tetap maka frekuensinya

juga tetap, sedangkan yang selalu berubah adalah nilai amplitudo dan fasenya. Sebagai

data diskret, data pasut akan membatasi konstanta pasut yang dapat dianalisis. Panjang

pengamatan pasut memegang peranan penting dalam analisis harmonik sehingga dapat

memisahkan konstanta-konstanta pasut satu sama lain dengan baik. Namun jika

ketersediaan data pengamatan pasut hanya dalam periode pendek, maka jumlah

konstanta pasut yang dapat dianalisis sedikit. Selanjutnya dalam perhitungan

prediksinya pun hanya akan melibatkan konstanta-konstanta pasut yang nilainya masih

terkontaminasi oleh energi konstanta pasut lain yang tidak terwakili (Perbani, 2010).

Data hasil prediksi tidak akan bisa merekonstruksi kejadian-kejadian yang

mempengaruhi tinggi pasut selama jangka waktu panjang, karena data masukannya

merupakan data tidak stabil yang hanya menggambarkan fenomena pembangkit pasut

pada periode pendek seperti fraksi setengah bulan atau satu bulan.

Penggunaan data pasut periode pendek untuk penentuan elevasi dermaga

sebelumnya pernah dilakukan. Elevasi dermaga dihitung berdasarkan nilai high water

spring (HWS) dari data pengamatan pasut selama satu tahun. Sedangkan sebagai kontrol

keamanannya adalah nilai perkiraan kenaikan muka air laut dan nilai HWS pada tiga

tahun ke depan yang didapat dari data pasut hasil prediksi (Rachmayanti, dkk, 2011).

Namun demikian, data pasut hasil prediksi tidak diuji keandalannya sehingga tidak

diketahui apakah nilai HHWL yang digunakan sebagai kontrol keamanan sudah benar.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

3

Sehubungan dengan itu maka perlu adanya penelitian mengenai pengaruh periode data

pasut terhadap hasil nilai elevasi dermaga dan nilai HHWL sebagai kontrol

keamanannya.

Penulis dalam penelitian ini membandingkan nilai HHWL dari masing-masing

data pasut berbeda periode pengamatan dengan nilai elevasi dermaga yang dihasilkan.

Data pasut dikelompokkan menjadi lima kelompok berdasarkan periode pergerakan

bumi, bulan, dan matahari, yaitu 15 hari, 30 hari, 1 tahun, 8,85 tahun, dan 18,6 tahun.

Nilai HHWL merupakan hasil penjumlahan nilai muka air laut rerata dan amplitudo

konstanta utama pasut yang didapat dari analisis harmonik dan prediksi pasut dengan

metode least square. Nilai konstanta pasut dari data pasut hasil prediksi dianalisis

tingkat presisinya terhadap nilai konstanta pasut dari data pengamatan asli menggunakan

uji statistik. Dari proses tersebut maka diketahui apakah data pasut periode pendek dapat

digunakan untuk penentuan nilai elevasi dermaga yang aman serta periode data pasut

yang optimal untuk melakukan prediksi jangka panjang.

Berkenaan dengan pelaksanaan penelitian tersebut, kelengkapan data pasut dengan

lama pengamatan minimal 18,6 tahun sangat dibutuhkan. Stasiun pasang surut Jepara

milik Badan Informasi Geospasial (BIG) yang terletak di 6˚35’30” LS, 110˚38’51” BT

merupakan salah satu stasiun pasut yang memiliki data pasut dengan lama pengamatan

selama 20 tahun terhitung dari tahun 1994. Selain karena ketersediaan data pasut dengan

lama pengamatan yang panjang, area perairan Jepara dipilih sebagai lokasi penelitian

karena sekitar 120 meter ke barat dari stasiun pasut Jepara terdapat dermaga Pantai

Kartini yang berfungsi khusus sebagai dermaga kapal ferry. Dermaga tersebut

merupakan dermaga skala regional yang penting peranannya dalam bidang transportasi

laut dan perekonomian di pulau Jawa.

I.2 Rumusan Masalah

Data pasut periode pendek merupakan data pasut yang tidak stabil, karena tidak

semua pengaruh fenomena pergerakan benda-benda langit terkandung di dalamnya.

Selain itu nilai amplitudo konstanta pasut hasil analisis harmoniknya masih tercampur

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

4

dengan nilai konstanta pasut lain yang tidak dapat dipisahkan. Sedangkan untuk

kepentingan praktis khususnya perencanaan bangunan dermaga, data pasut periode

pendek biasa digunakan untuk mengitung nilai HHWL dalam penentuan elevasi

dermaga sekaligus sebagai nilai kontrol keamanannya untuk jangka waktu panjang.

Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka dalam penelitian ini ditentukan

beberapa pertanyaan ilmiah sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaruh periode pengamatan pasut berdasarkan sistem

pergerakan bumi, bulan, dan matahari terhadap nilai MSL dan amplitudo

konstanta pasut serta data pasut hasil prediksinya ?

2. Bagaimana hubungan nilai HHWL dari data pasut periode 15 hari, 30 hari, 1

tahun, 8,85 tahun dan 18,6 tahun dan prediksinya selama 18,6 tahun terhadap

nilai elevasi dermaga yang dihasilkan ?

3. Berapa lama periode data pasut yang optimal untuk prediksi data pasut

selama 18,6 tahun?

I.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Menganalisis pengaruh lama pengamatan data pasut berdasarkan sistem

pergerakan bumi, bulan dan matahari terhadap nilai MSL dan amplitudo

konstanta pasut serta data pasut hasil prediksinya.

2. Menganalisis hubungan nilai HHWL dari masing-masing kelompok data

pasut berdasarkan pergerakan bumi, bulan, dan matahari dan data pasut

prediksinya selama 18,6 tahun terhadap nilai elevasi dermaga yang

dihasilkan.

3. Menentukan periode data pasut yang optimal untuk prediksi pasut selama

18,6 tahun ke depannya.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

5

I.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah dihasilkan evaluasi perbandingan

nilai elevasi muka air laut acuan dan nilai elevasi dermaga dari kelompok data prediksi

dengan kelompok data asli pengamatan 18,6 tahun. Diharapkan hasil penelitian ini dapat

dijadikan salah satu bahan pertimbangan pembuatan kebijakan khususnya dibidang

rekayasa mengenai perencanaan pembangunan bangunan pantai di daerah perairan

Jepara dan sekitarnya.

I.5 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Data pasang surut yang digunakan adalah data pasang surut di perairan

Jepara selama periode 19 tahun dari tahun 1994 sampai tahun 2012 yang

sudah divalidasi oleh BIG.

2. Pengolahan data pasang surut menggunakan metode least square dan tanpa

ada proses interpolasi pada data kosong.

3. DWL ditentukan berdasar HHWL dan nilai SLR (sea level rise) global

dengan tidak memperhitungkan nilai storm surge atau wind set-up.

4. Nilai batas keamanan elevasi dermaga sesuai dengan kriteria desain

pelabuhan Indonesia (1984) untuk dermaga yang melayani kapal kecil.

I.6 Tinjuan Pustaka

Penelitian dengan topik yang hampir serupa telah pernah dilakukan yaitu,

Rachmayanti, dkk (2011) melakukan penelitian mengenai penentuan HWS (High Water

Spring) dengan menggunakan komponen pasut untuk penentuan elevasi dermaga.

Penelitian tersebut menggunakan data pasut perairan Teluk Lamong dengan periode satu

tahun selama tahun 2007. Data pasut diolah dengan metode least square menggunakan

software WXTide 32 dan Qinsy 7.5, sehingga menghasilkan nilai amplitudo delapan

komponen pasut yaitu M2, S2, N2, K1, O1, MS4, dan M4 dengan M2 dan K1

merupakan komponen yang lebih mendominan dibandingkan dengan komponen yang

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

6

lain. Nilai amplitudonya sebesar 42,4 cm untuk komponen M2 dan 41,5 cm untuk

komponen K1. Pada penelitian tersebut elevasi muka air laut yang dipilih sebagai acuan

adalah HWS dengan nilai sebesar 2,884 meter. Prediksi elevasi air laut juga dilakukan

untuk periode tahun 2010, pada data prediksi tahun 2010 didapatkan nilai HWS sebesar

283,4 cm, dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa terjadi penurunan sebesar 5 cm

apabila dibandingkan dengan HWS tahun 2007. Elevasi dermaga ditentukan sesuai

Standar Kriteria Desain untuk Pelabuhan Indonesia (1984) dan mengacu pada peta

batimetri area rencana dermaga dengan kedalaman yang dikehendaki sebesar 20 meter.

Elevasi dermaga dihitung menggunakan nilai HWS tahun 2007 dengan tidak

memperhitungkan nilai storm surge dan kenaikan muka air laut (sea rise level) akibat

pemanasan global, sehingga elevasi dermaga yang dihasilkan adalah 4,884 meter.

Berdasarkan hasil nilai HWS data prediksi pasut tahun 2010 serta nilai perkiraan

kenaikan muka air laut pada tahun 2050 yaitu sebesar 0,25-0,5 meter, maka nilai elevasi

dermaga yang dihasilkan masih berada di batas aman, karena lantai dermaga tidak

mengalami banjir saat terjadi pasang tinggi.

Selain itu terdapat beberapa penelitian lainnya mengenai analisis pasang surut laut

yang dijadikan sebagai rujukan sekaligus pembanding diantaranya adalah, Sinaga (2010)

dengan penelitiannya yang bertema analisis perbandingan antara data pasut dan prediksi

pasut untuk pendefinisian LAT. Penelitian tersebut menggunakan data pasut selama

tahun 1985-2003 dari empat stasiun pasut yaitu, stasiun pasut pulau Christmas, stasiun

pasut Perancis, stasiun pasut Galveston, dan stasiun pasut Guam. Koreksi data meliputi

koreksi spike dan koreksi data kosong. Koreksi data kosong dilakukan dengan

interpolasi menggunakan metode polynomial derajat enam dan sesuai toleransi BIG

yaitu, panjang data kosong yang diperbolehkan diinterpolasi tidak lebih dari 24 jam.

Proses prediksi pasut dilakukan dengan metode least square menggunakan data pasut

selama satu tahun pertama untuk memprediksi tinggi muka air laut selama 18,6 tahun

kedepannya. Nilai LAT ditentukan dengan cara mencari nilai terendah dari keseluruhan

data disetiap set data, hasilnya dapat dilihat pada tabel I.1.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

7

Tabel I.1 Nilai LAT data pengamatan dan data prediksi empat stasiun pasut

Stasiun Pasut Data Pengamatan Data Prediksi

Periode LAT (cm) Periode LAT (cm)

Pulau Christmas 1985-2003 -9 1986-2004 171

Prancis 1985-2003 204 1986-2004 356

Galveston 1985-2003 240 2001-2019 949

Guam 1985-2003 -204 2001-2019 217

Sumber: Sinaga, 2010

Hermawan (2012) melakukan penelitian tentang pengaruh pengamatan data dan

kualitas data tinggi muka air laut terhadap hasil prediksi amplitudo dan datum pasut.

Data yang diolah adalah data pasut dari stasiun pasut Bekapai, Delta Mahakam,

Kalimantan Timur periode 1 Januari 2010 hingga 31 Desember 2010. Data tersebut

dipecah menjadi sembilan kelompok data yaitu, data utuh satu tahun, data enam bulan,

data tiga bulan, tiga kelompok data satu bulan, dan tiga kelompok data 15 hari. Masing-

masing kelompok data digunakan untuk memprediksi tinggi muka air laut selama satu

tahun di tahun yang sama dengan metode least square, data prediksi dianalisis kembali

untuk mendapatkan nilai amplitudo beserta kesalahannya yang selanjutnya digunakan

dalam penentuan nilai MLWS, MHWS, HAT, dan LAT. Untuk mengetahui pengaruh

data dan kualitas data maka data pengamatan satu tahun diberi kesalahan berupa data

kosong dan data spike, lalu dilakukan prediksi dan diolah lagi untuk mendapatkan nilai

konstanta pasut, kesalahan amplitudo, dan nilai datumnya. Hasil penelitian tersebut

dapat dilihat ditabel I.2. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah nilai variansi dari

hasil prediksi pasut bergantung pada jumlah data yang digunakan, semakin panjang data

dan kualitasnya baik dalam hal ini kecilnya jumlah data kosong dan data spike maka

semakin kecil nilai varian yang dihasilkan.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

8

Tabel I.2 Nilai datum dan variansi dengan tiga pengaruh

Datum

dan

Variansi

(meter)

Pengaruh Panjang data

(Periode)

Pengaruh Data Kosong

(Prosentase)

Pengaruh Data Spike

(Prosentase)

1

Tahun

1

Bulan

15

Hari 7% 0,8% 0,03% 6% 3% 0,25%

Variansi 0,0085 0,047 0,06 0,0086 0,0086 0,0085 0,0086 0,0085 0,0085

MLWS 2,576 2,553 2,570 2,585 2,578 2,575 2,585 2,594 2,553

MHWS 2,285 2,307 2,291 2,296 2,267 2,267 2,296 2,281 2,275

HAT 3,839 3,725 3,770 3,843 3,839 3,839 3,840 3,840 3,840

LAT 1,349 1,387 1,332 1,357 1,348 1,350 1,348 1,349 1,348

Sumber: Hermawan, 2012

Rachmadi (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kualitas Data Pasut

untuk Pendifinisian Chart Datum” menganalisis kualitas data pasang surut di enam

stasiun pasut milik BIG yaitu stasiun pasut Batam, Cilacap, Lembar, Mahalayati,

Tarakan dan Sorong. Data pasut tersebut merupakan data pengamatan selama tahun

2000. Data pasut diolah menggunakan pendekatan grafik untuk pengecekan kesalahan

data spike dan offset, analisis metode kuadrat terkecil dan prediksi menggunakan

aplikasi T-Tide. Hasil penelitian tersebut adalah data dari tiga stasiun pasut yaitu stasiun

pasut Cilacap, Malahayati, dan Sorong tidak lolos proses kontrol kualitas data, ini

dikarenakan terdapat data kosong lebih dari 24 jam. Tiga stasiun pasut sisanya yang

datanya memenuhi kontrol kualitas data yaitu stasiun pasut Batam, Lembar dan Tarakan,

masing-masing dilakukan analisis konstanta pasut dan menghasilkan 70 komponen pasut

yang selanjutnya digunakan untuk prediksi. Hasil prediksinya dinyatakan memiliki

akurasi persebaran data yang baik, karena nilai RMS nya mendekati nol yaitu, 0,027

meter untuk stasiun pasut Batam, 0,031 untuk stasiun Lembar, dan 0,027 untuk stasiun

Tarakan.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengambil lokasi penelitian di perairan

Jepara, data yang digunakan adalah data pasut stasiun pasut Jepara milik BIG dengan

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

9

panjang periode data dari tahun 1994 – 2012. Data tersebut dibagi menjadi empat

kelompok data pengamatan dan prediksi yaitu kelompok data 30 hari, satu tahun, 8,85

tahun, dan 18,6 tahun. Kontrol kualitas data meliputi koreksi data kosong, koreksi offset,

dan koreksi data spike menggunakan uji statistik dengan tingkat kepercayaan 2σ. Metode

hitungan yang dipakai adalah metode least quare untuk mendapatkan nilai HHWL dari

masing-masing kelompok data yang selanjutnya digunakan untuk menghitung elevasi

dermaga. Hasil hitungan berupa nilai komponen pasut dan elevasi muka air laut acuan

dari masing-masing kelompok data dibandingkan dan ditarik kesimpulan tentang

pengaruh periode dan kualitas data pasut terhadap nilai elevasi dermaga yang dihasilkan.

I.7 Landasan Teori

I.7.1 Pasang Surut Laut

Pasang surut merupakan pergerakan permukaan air laut secara periodik yang

memiliki hubungan fase dan amplitudo terhadap periode gaya geofisik (International

Oceanographic Comission, 1985). Tinggi muka air laut pada peristiwa pasang surut

merupakan resultan dari berbagai gelombang yang dominan dibangkitkan akibat adanya

pengaruh variasi gaya gravitasi benda langit khususnya bulan dan matahari terhadap

pergerakan reguler bumi dan bulan serta sistem bumi dan matahari. Faktor-faktor non-

astronomi seperti konfigurasi garis pantai, kedalaman lokal air laut, topografi dasar laut,

dan pengaruh hidrografi serta metereologi lainnya juga memiliki peran penting dalam

mengubah range dari pasut, interval waktu antara air tinggi dan air rendah, dan waktu

kedatangan gelombang (NOAA, 2007).

Peristiwa pasang surut laut sebenarnya telah dipelajari sejak lama. Pada tahun

1687, Sir Isaac Newton menggunakan teori equilibrium pasang surut untuk menjelaskan

respon dari laut di permukaan bumi terhadap pengaruh gaya gravitasi bulan dan

matahari (de Jong, et all, 2010). Teori equilibrium menolak bentuk, kedalaman dan

konfigurasi dari basin, pergeseran, massa tanah, inersia dari massa air, dan gaya koriolis.

Teori equilibrium mengasumsikan bumi dalam kondisi yang ideal dengan asumsi

sebagai berikut :

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

10

1. Bumi berbentuk bola.

2. Permukaan bumi seluruhnya diselimuti oleh air dengan densitas dan

kedalaman yang sama.

3. Bumi mengitari matahari dengan kecepatan konstan serta orbit berbentuk

lingkaran.

4. Bidang orbit bumi mengelilingi matahari berimpit dengan bidang equator

bumi.

Teori equilibrium atau teori pasut setimbang ini mampu memberikan gambaran

fenomena pasut secara kualitatif namun belum bisa untuk meramalkan pasut secara

kuantitatif. Maka untuk menjelaskan fenomena terjadinya pasang surut yang lebih real

dikembangkan teori gaya pembangkit pasut laut.

Sir Isaac Newton menyatakan bahwa matahari dan bulan membangkitkan medan

gaya di sekeliling bumi, dimana arah dan besarnya gaya berubah-ubah secara periodik

sesuai dengan posisi kedua benda langit (bulan dan matahari) terhadap bumi. Gaya-gaya

inilah yang membangkitkan pasut laut dan disebut gaya pembangkit pasut (GPP) (de

Jong, et all, 2010). Gaya pembangkit pasut terdiri dari dua gaya yaitu gaya gravitasi

bulan dan gaya sentrifugal sebagai gaya penyeimbang.

Hukum Newton tentang gravitasi universal menyatakan bahwa gaya gravitasi

antara dua benda berbanding lurus dengan massanya dan berbanding terbalik dengan

kuadrat jarak antar dua benda tersebut. Hukum newton tersebut secara matematik

dinyatakan melalui rumus I.1 (de Jong, et all, 2010) :

…………………………………………………………………... (I.1)

Keterangan rumus :

Fg : magnitude gaya gravitasi

G : konstanta gravitasi universal (6,6725985 . 10-11

m3kg

-1s

-2)

m1 dan m2 : besar massa benda 1 dan benda 2

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

11

R : jarak antara pusat massa kedua benda

Matahari 27 juta kali lebih besar dari bulan, tapi jarak matahari ke bumi 390 kali

lebih jauh dari jarak bulan ke bumi (NOAA, 2007). Berdasarkan rumus hukum newton

diatas dikombinasikan dengan hukum tentang dua benda langit yang bergerak bersama

terhadap pusat massa bersamanya maka dapat diketahui bahwa gaya pembangkit pasut

oleh matahari berkurang (59 juta kali) dibandingkan dengan gaya pembangkit pasut oleh

bulan, besarnya gaya pembangkit pasut yang dihasilkan oleh matahari adalah 46% dari

gaya pembangkit pasut oleh bulan, dengan kata lain magnitude gaya gravitasi bulan

lebih besar dibanding matahari sehingga dominan dalam membangkitkan pasut di bumi

dengan arah gayanya disetiap titik di permukaan bumi selalu menuju ke bulan.

Komponen gaya pembangkit pasut berikutnya adalah gaya sentrifugal, gaya ini

merupakan gaya penyeimbang. Gaya sentrifugal lebih besar dari gaya gravitasi dan

nilainya sama untuk setiap titik diseluruh permukaan bumi dengan arah gaya menjauhi

bulan. Besarnya gaya sentrifugal secara matematik dinyatakan dalam rumus I.2 (de

Jong, et all, 2010) :

…………………………………………………………………............ (I.2)

Keterangan :

Fs : magnitude gaya sentrifugal

G : konstanta gravitasi universal (6,6725985 . 10-11

m3kg

-1s

-2)

Mm : besar massa bulan

r : jarak dari titik dipermukaan bumi ke pusat massa bulan

Selanjutnya besarnya nilai gaya pembangkit pasut dihitung menggunakan rumus

I.3 dan I.4 :

…………………………………………………………….. (I.3)

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

12

…………………………………………………………….. (I.4)

Pada rumus I.4 operasi hitungan menjadi minus dikarenakan komponen gaya

pembangkit pasut merupakan dua vektor yang berlawanan arah, untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada gambar I.1, dimana titik P merupakan suatu titik di permukaan bumi

dengan r merupakan jarak dari titik P ke pusat bulan, RE merupakan jari-jari bumi, dan

dM merupakan jarak dari pusat bumi ke pusat bulan.

Gambar I.1.Geometri pembangkit pasut di titik P dalam sistem bumi – bulan

(Sumber : dimodifikasi dari de Jong, et all, 2010)

Gaya pembangkit pasut menghasilkan dua pasang laut di dua sisi bumi yang

berbeda. Pasang yang dibangkitkan oleh gaya gravitasi bulan terletak di sisi bumi yang

dekat dengan bulan, sedangkan di sisi bumi sebaliknya atau yang jauh dari bulan juga

mengalami pasang yang dibangkitkan oleh gaya sentrifugal seperti yang ditunjukkan

pada gambar I.2.

Fg Fs

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

13

Gambar I.2.Pasang dan surut dalam sistem bumi – bulan

(Sumber : de Jong, et all, 2010)

I.7.2 Gerakan Periodik Bulan, Bumi, dan Matahari

Posisi benda-benda langit yaitu bulan dan matahari terhadap bumi selalu berubah-

ubah secara periodik. Variasi posisi tersebut merupakan akibat dari gerakan periodik

nya. Pada penelitian ini gerakan – gerakan periodik benda langit yang dibahas adalah

sebagai berikut :

1. Revolusi bulan mengelilingi bumi. Periode bulan mengelilingi bumi sama

dengan periodenya untuk berotasi yaitu 29,5 hari (solar day) (Pugh, 1996).

Revolusi bulan pada orbitnya yang berbentuk ellips mengakibatkan variasi

posisi bulan terhadap bumi dan matahari yang disebut dengan fase bulan.

Fase pertama adalah fase bulan baru dan fase bulan mati. Waktu yang

dibutuhkan untuk mengalami fase bulan baru ke bulan baru selanjutnya atau

fase bulan mati ke bulan mati selanjutnya adalah 29,5 hari. Fase bulan baru

dan bulan mati merupakan posisi dimana bumi, bulan dan matahari terletak

pada satu garis seperti yang ditunjukkan pada gambar I.3. Fase bulan baru

mengakibatkan laut di permukaan bumi yang terdekat dan terjauh dari bulan

mengalami pasang tertinggi (spring tide), sekaligus surut tersurut di

permukaan bumi lainnya.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

14

Gambar I.3.Fase bulan baru dan fase bulan mati (full moon)

(Sumber: de Jong, et all, 2010)

Fase berikutnya adalah fase seperempat bulan (quarter). Sebagaimana

ditunjukkan pada gambar I.4, pada fase ini posisi bulan – bumi – matahari

membentuk sudut 90˚ sehingga menghasilkan pasang perbani (neap tide).

Gambar I.4.Fase seperempat bulan

(Sumber: de Jong, et all, 2010)

Fase terakhir adalah fase dimana posisi bulan terletak diantara posisi bulan

baru dan seperempat bulan, fase ini dapat dilihat pada gambar I.5.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

15

Gambar I.5.Fase bulan sabit

(Sumber: de Jong, et all, 2010)

2. Revolusi bumi mengelilingi matahari. Waktu yang dibutuhkan bumi untuk

melakukan satu kali revolusi adalah 365.2564 hari (solar days) atau satu

tahun (Vernicek dan Krakiwsky, 1982). Bumi berevolusi pada bidang

orbitnya yang berbentuk ellips yang disebut dengan bidang ekliptik. Bidang

ini membentuk sudut (inklinasi) terhadap bidang equator sebesar 23,5˚.

Bidang orbit bumi yang berbentuk ellips menyebabkan posisi bumi selama

berevolusi bisa berada pada titik terdekat dengan matahari (perihelion) dan

titik terjauh dari matahari (aphelion) sebagaimana ditunjukkan pada gambar

I.6. Saat bumi berada di perihelion range pasut di bumi tinggi, sedangkan

ketika bumi berada di aphelion maka range pasut rendah (NOAA, 2003)

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

16

Gambar I.6.Gerakan tahunan bumi berevolusi

(Sumber: Vernicek dan Krakiwsky,1982)

3. Gerakan presesi orbit bulan. Bidang orbit bulan mengalami pertubasi

sehingga titik perigee bulan tidak tetap pada posisi yang sama. Gerakan

presesi orbit bulan merupakan gerakan perputaran orbit bulan dimana titik

perigee bulan kembali ke titik perigee bulan yang semula dengan lama

periode 8,85 tahun (Pugh,1996). Ilustrasi gerakan presesi orbit bulan dapat

dilihat pada gambar I.7.

Gambar I.7.Gerakan presesi orbit bulan

4. Gerakan presesi nodal. Selain mengalami pertubasi, bidang orbit bulan

memiliki inklinasi terhadap bidang ekliptik bumi sebesar 5˚11’ (Mueller,

1969 dalam Vernicek dan Krakiwsky, 1982). Perpotongan antara bidang

orbit bulan dengan bidang ekliptik bumi diketahui sebagai titik nodal, dan

Perigee Bulan

Bumi

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

17

terjadi setiap 18,6 tahun sekali (Vernicek dan Krakiwsky, 1982), untuk lebih

jelasnya dapat dilihat pada gambar I.8.

Gambar I.8.Gerakan presesi nodal

(Sumber: Vernicek dan Krakiwsky,1982)

I.7.3 Konstanta Pasut laut

Konstanta pasut laut merupakan parameter bernilai yang menyebabkan terjadinya

peristiwa pasang surut laut. Konstanta pasut timbul akibat gaya tarik bulan dan matahari,

pengaruh geometri, dan bathimetri pantai. Persamaan I.5 menunjukkan hubungan antara

konstanta pasut terhadap tinggi muka air laut dalam model persamaan sinusoidal

(Rahmasari, 2012):

……………………………………………………….. (I.5)

Pada rumus I.5, yB adalah tinggi muka air laut saat t, AB adalah nilai amplitudo

konstanta pasut, ω adalah kecepatan sudut konstanta pasut, dan θ adalah beda fase dari

konstanta pasut. Konstanta-konstanta pasut masing-masing memiliki simbol, serta nilai

amplitudo dan fase yang nilainya berbeda-beda di setiap lokasi. Secara umum, konstanta

pasut utama yang timbul akibat gaya gravitasi bulan dan matahari dibagi menjadi tiga

yaitu :

1. Konstanta pasut diurnal, yaitu 1 kali pasang dan 1 kali surut dalam sehari.

2. Konstanta pasut semidiurnal, yaitu 2 kali pasang dan 2 kali surut dalam sehari.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

18

3. Konstanta pasut periode panjang.

Selain tiga konstanta pasut utama tersebut, terdapat konstanta pasut perairan

dangkal yang timbul akibat pengaruh geometri dan bathimetri pantai yang berinteraksi

konstanta-konstanta pasut utama. Tabel I.3 menunjukkan daftar konstanta-konstanta

pasut dengan nilai kecepatan sudut dan periodenya yang selalu tetap.

Tabel I.3 Konstanta-konstanta pasut

Konstanta pasut Kecepatan sudut

(derajat/jam)

Periode (jam)

Semidiurnal

Principal Lunar (M2) 28,9841 12,42

Principal Solar (S2) 30,0000 12,00

Larger Lunar Elliptic (N2) 28,4397 12,66

Luni Solar (K2) 30,0821 11,97

Diurnal

Luni Solar (K1) 15,0411 23,33

Principal Lunar (O1) 13,9430 25,82

Principal Solar (P1) 14,9589 24,07

Periode panjang

Diurnal Fortnightly (Mf) 1,0980 327,82

Lunar Monthly (Mm) 0,5444 661,30

Solar Semi Annual (Ssa) 0,0821 2191,43

Perairan dangkal

Shallow water semidiurnal (2SM2) 31,0161 11,61

MNS2 27,4240 13,13

Shallow water terdiurnal (MK3) 44,0250 8,18

Shallow water overtides of principal lunar

(M4) 57,9680 6,21

Shallow water quarter diurnal (MS4) 58,0840 6,20

Sumber: Ali, dkk 2004 dalam Rufaida, 2008

I.7.4 Periode Sinodik

Periode sinodik adalah panjang pengamatan yang diperlukan untuk memisahkan

dua buah konstanta pasut. Sebagai data diskret, maka data pasut akan membatasi

konstanta pasut yang dapat dianalisis, dimana pembatasannya bergantung pada nilai

frekuensi tertinggi, nilai frekuensi terendah, dan panjang data pengamatan. Panjang data

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

19

pengamatanlah yang memegang peranan penting dalam menentukan frekuensi terendah

dan resolusi untuk memisahkan konstanta-konstanta pasut satu sama lain.

Periode sinodik dapat ditentukan menggunakan persamaan I.6 :

……………………………………………………………………………………………………………………. (I.6)

Dimana:

T : periode sinodik (jam)

ω1 dan ω2 : kecepatan sudut dari konstanta 1 dan konstanta 2 (derajat/jam)

Sebagai contoh konstanta M2 dan S2 memiliki beda frekuensi 0,0177308 rad/jam,

maka periode sinodiknya adalah 354,4 jam atau setara dengan 15 hari, dengan kata lain

dibutuhkan data dengan panjang data minimal 15 hari untuk memisahkan konstanta M2

dan S2. Selain konstanta pasut utama, biasanya nilai periode sinodiknya akan lebih lama

bahkan bisa hingga fraksi tahunan. Semakin kecil perbedaan frekuensi dua buah

konstanta, maka semakin panjang data yang diperlukan untuk memisahkan dua

komponen tersebut (Ali, dkk, 2004 dalam Banna, 2014).

I.7.5 Analisis Harmonik Pasut Metode Least square

Analisis harmonik pasut digunakan untuk menentukan amplitudo dan beda fase

konstanta-konstanta pasut terhadap keadaan pasut setimbang. Pada penelitian ini,

metode yang digunakan untuk analisis harmonik pasut adalah metode least square.

Metode least square adalah metode pendekatan yang dapat digunakan untuk regresi atau

pembentukan persamaan dari titik-titik data diskritnya, dan untuk analisis kesalahan

pengukuran. Konsep metode ini didasarkan pada pemaksaan suatu kondisi matematis,

yaitu jumlah kuadrat kesalahan dikalikan bobotnya adalah minimum, seperti yang

ditunjukkan pada persamaan I.7 :

Σv2 = min …………………………………………………………………………... (I.7)

Dengan v adalah residu pengamatan.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

20

Analisis harmonik pasut metode least square menggunakan persamaan dasar

fungsi tinggi muka air laut terhadap waktu, sebagaimana yang didefinisikan pada

persamaan I.8 (Soeprapto, 1993 dalam Banna, 2014):

…………………………………….. (I.8)

Keterangan :

x(t) : tinggi muka air saat t

v(tn) : residu

xo : tinggi muka air rerata

t : waktu

k : jumlah konstanta

Ai : amplitudo konstanta ke-i

ωi : kecepatan sudut konstanta ke-i

gi : beda fase konstanta ke-i

Persamaan I.8 kemudian diuraikan dengan sifat trigonometri sehingga menjadi

persamaan I.9:

…………... (I.9)

Jika dimisalkan:

, dan …………………………………………….. (I.10)

Lalu disubstitusikan ke dalam persamaan I.9, hasilnya menjadi persamaan I.11 yang

linear:

………………………. (I.11)

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

21

Keterangan :

Ar dan Br : konstanta pasut ke-i

tn : waktu pengamatan (tn = -n, n+1, n; tn = 0 adalah waktu tengah-tengah

pengamatan)

Tinggi muka air laut hasil hitungan (x(t)) dengan persamaan I.8 akan mendekati

tinggi muka air pengamatan (x(tn)) jika :

…………………………………………. (I.12)

Persamaan I.12 kemudian diturunkan terhadap Ari, Bri dan xo, sehingga:

, , dengan i = 1, 2, …., k ……………………………….. (I.13)

Berdasarkan hubungan persamaan di atas maka dapat ditentukan nilai xo, Ar dan

Br melalui tahapan dengan prinsip metode least square berikut :

1. Menentukan persamaan observasi yaitu persamaan tinggi muka air laut,

L = AX

2. Menetukan persamaan koreksi, V = (AX) – L

3. Menghitung nilai parameter, X = (ATPA)

-1 A

TPL

Sehingga persamaan observasinya dapat ditulis :

………….. (I.14)

Berikut merupakan desain matrik dalam analisis harmonik pasut metode least

square (Rachmadi, 2011):

1. Matrik A merupakan matrik koefisen yang mana merupakan hasil limearisasi

persamaan observasi.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

22

ttttt

ttttt

ttttt

A

nnnn

kn

k1k21

1k111k1211

1k111k1211

sin sin cos sin cos 1

sin sin cos sin cos 1

sin sin cos sin cos 1

2. Matrik L merupakan matrik data pengamatan tinggi muka air laut.

3. Matrik X merupakan matrik parameter konstanta harmonik pasut

Nilai amplitudo konstanta pasut ditentukan dari persamaan I.10 sebelumnya:

,

…………………………………………………………………. (I.15)

Kemudian nilai beda fase juga ditentukan dari persamaan I.10 :

,

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

23

……………………………………………………………………….. (I.16)

I.7.6 Prediksi Pasut Metode Least square

Prediksi pasut bertujuan untuk meramalkan tinggi muka air laut di suatu lokasi

pada rentang waktu tertentu di masa mendatang. Dalam prediksi pasut diperlukan data

amplitudo dan beda fase dari konstanta-konstanta pembangkit pasut. Pada penelitian ini

prediksi pasut dilakukan menggunakan metode least square dengan persamaan I.17:

……………………………………… (I.17)

Keterangan :

x(t) : tinggi muka air laut hasil prediksi

xo : tinggi muka air laut rata-rata

N : jumlah konstanta pasut

A : amplitudo konstanta pasut

f : faktor nodal (koreksi amplitudo)

ω : kecepatan sudut konstanta pasut

t : waktu

v : argument astronomi

g : beda fase

Dari persamaan I.17 dapat diketahui bahwa tinggi muka air laut hasil prediksi

sangat bergantung pada jumlah konstanta pasut yang digunakan dalam formula hitungan,

yang mana jumlah konstanta pasut bergantung pada panjang data pengamatannya.

Semakin panjang data pengamatan, maka semakin banyak konstanta pasut yang dapat

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

24

dihasilkan, semakin banyak pula konstanta pasut yang akan dilibatkan dalam formula

prediksi.

I.7.7 Data Pasut Laut Stasiun Pasut BIG Jepara

Data pasut merupakan data diskret, yaitu data deret waktu yang diamati dengan

interval tertentu (Perbani, 2010). Data tersebut didapat dari hasil pengamatan

menggunakan alat perekam pasut. Alat ini bisa berupa alat manual yaitu tide gauge,

maupun alat digital atau otomatis yang memanfaatkan sensor tertentu.

BIG atau Badan Informasi Geospasial memiliki 113 stasiun pasang surut yang

tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu stasiun pasut milik BIG yang terdapat di pulau

Jawa adalah stasiun pasut Jepara. Stasiun pasut Jepara menggunakan alat perekam pasut

digital berupa floating gauge digital dengan merek OTT Thalimedes. Cara kerja floating

gauge pada dasarnya menggunakan sebuah tabung (tube) untuk memfilter air laut yang

masuk ke dalam tabung, kemudian di dalam tabung tersebut terdapat sebuah pelampung

sensitif yang dihubungkan dengan kawat baja yang melingkar pada sebuah katrol yang

akan mengkonversi gerakan naik turunnya pelampung akibat pasut menjadi gerakan

horizontal yang akan menggerakkan pen untuk mencatat tinggi muka air laut dalam

skala tertentu pada gulungan paper chart. Pada floating gauge digital, paper chart

digantikan dengan encoder digital yang merekam tinggi muka air laut dalam bentuk

angka digital.

Hasil alat perekam data pasut di stasiun pasut Jepara adalah data tinggi muka air

per menit dengan satuan centimeter. Selanjutnya data tersebut dilakukan validasi berupa

pembuangan data spike serta koreksi offset menggunakan software MGPS-DB

(Khasanah, 2014). Data yang sudah divalidasi akan memiliki interval waktu per jam dan

berbentuk matriks berdimensi 24 x 30, 24 merupakan jumlah jam dan 30 merupakan

jumlah hari yang bergantung pada bulan seperti yang ditunjukkan pada gambar I.9. Data

disimpan dengan format data umum atau “.DAT” serta format penamaan berupa “kode

stasiun pasut_bulan_tahun”, sebagai contoh nama data: “S0180101”.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

25

Keterangan:

S018 : stasiun pasut Jepara

01 : bulan Januari

01 : tahun 2001

Gambar I.9.Data pasut stasiun pasut Jepara pada Januari 2001

I.7.8 Kontrol Kualitas Data Pasut

Setiap data hasil pengukuran pasti megandung kesalahan, termasuk data hasil

pengukuran pasut. Kontrol kualitas data pasut bertujuan untuk memverifikasi data

sehingga dapat terdeteksi kesalahan yang berupa offset, outliers atau spikes, serta

perubahan time series dari data pasut (SHOM, 2012 dalam Banna, 2014). Kesalahan

offset merupakan perbedaan tunggang pasut dalam satu paket data yang diakibatkan oleh

perbedaan nilai referensi tinggi. Kesalahan outliers atau spikes adalah kesalahan yang

berupa data melonjak sehingga keluar dari range data pasutnya. Perubahan time series

dari data pasut diakibatkan oleh adanya beberapa data kosong yang terletak di tengah-

tengah rentang data pengamatan.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

26

Kontrol kualitas data dilakukan sebelum analisis harmonik metode least square.

Terdapat dua kontrol kualitas data pasut yang dilakukan pada penelitian ini:

1. Kontrol kualitas data secara visual. Kontrol kualitas ini dilakukan dengan

mengintepretasi secara visual ada tidaknya kesalahan spike, kesalahan offset,

dan data kosong serta letak dari kesalahan tersebut pada kurva data

pengamatan. Khusus untuk kesalahan data kosong dideteksi dengan melihat

perubahan time series pada data secara langsung.

2. Uji statistik. Uji statistik dapat mendeteksi kesalahan pada data berdasarkan

nilai simpangan bakunya. Nilai simpangan baku yang besar terhadap nilai

rata-rata data pengamatan, biasanya mengindikasikan terdapat kesalahan

pada data. Pada penelitian ini uji statistik dilakukan dua kali, yaitu saat

sebelum perataan dan setelah perataan. Kedua uji statistik tersebut berturut-

turut meliputi :

a. Uji global dengan simpangan baku 2σ. Simpangan baku atau standar

deviasi dihitung untuk melihat seberapa presisi atau kedekatan data

pengamatan dengan rata-rata data. Selain mendeteksi letak kesalahan,

uji ini juga dapat langsung menghilangkan kesalahan yang berupa

kesalahan spike dengan cara menolak data yang berada diluar batas

berdasarkan tingkat kepercayaan tertentu yang diterapkan pada

simpangan bakunya menggunakan kaidah distribusi normal.

Simpangan baku secara matematis dihitung menggunakan rumus I.18

(Sugiyono, 2007 dalam Banna 2014):

………………………………………………. (I.18)

Keterangan:

σ : simpangan baku atau standar deviasi

Xi : data pengamatan

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

27

: rata-rata dari data pengamatan

n : jumlah data pengamatan

b. Uji Signifikansi parameter dua metode dengan uji t (student). Uji t

(student) dapat digunakan untuk menguji dua buah nilai parameter dari

perataan dua metode untuk obyek yang sama. Prosesnya diawali

dengan penyusunan dua hipotesis, yaitu hipotesis awal (Ho) dan

hipotesis pembanding (Ha). Hipotesis awal akan diterima apabila

dipenuhi besaran kriteria pada persamaan (I.19) (Wolf, P. R. dan

Ghilani, C. D., 1997) :

…………………………………… (I.19)

Keterangan:

xIi : parameter ke-i metode I

xIIi : parameter ke-i metode II

σxIi : simpangan baku parameter ke-i metode I

σxIIi : simpangan baku parameter ke-i metode II

t α,f : sebaran fungsi t dari tabel t (student) dengan taraf uji (α) dan f

derajat kebebasan.

c. RMS (root mean square)

Pada penelitian ini nilai RMS digunakan untuk melihat kecocokan

model prediksi yang baik dengan data pengamatan yang asli. Semakin

kecil nilai RMS maka model prediksi dinyatakan baik dan dapat

mendekati data pengamatan yang asli. Dalam hal ini nilai RMS

dihitung menggunkan rumus I.20 (Rahmasari, 2012):

……………………………………… (I.20)

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

28

Keterangan:

RMS : nilai RMS (meter)

μ : nilai rata-rata dari selisih antara data pengamatan dengan

data pasut hasil prediksi

yi : selisih antara data pengamatan dengan data pasut hasil

prediksi

n : jumlah data pasut

I.7.9 Aplikasi T-Tide

Aplikasi T-Tide merupakan aplikasi yang berisi program untuk mengolah data

pasut yang pertama kali dibuat oleh Mike G.G. Foreman dalam bahasa Fortran,

kemudian S. Lentz dan B. Beardsley mengkonversi kode tersebut ke dalam bahasa

Matlab, dan R. Pawlowicz kemudian melengkapinya dengan menambahkan perhitungan

yang kompleks. Fenomena pasut dalam aplikasi T-Tide dihitung dengan menggunakan

persamaan yang mengasumsikan pasut yang terjadi sebagai pasut setimbang, dan proses

analisis harmoniknya menggunakan metode least square.

Paket program T-Tide terdiri beberapa program berikut program yang digunakan

(Anggun, 2012 dalam Akbar, 2013) :

1. Program analisis harmonik dan pendukungnya

a. t_tide.m, untuk menghitung analisis pasut dari rangkaian waktu yang

nyata dan kompleks.

b. t_predic.m, untuk menghitung prediksi pasut menggunakan hasil dari

program t_tide

c. t_vuf.m, untuk menghitung koreksi nodal dan argumentasi astronomi.

d. t_getconsts.m, mengekstrak berbagai macam data konstanta harmonik

(konstituen) berdasar file data dari paket program fortran.

e. t_synth.m, untuk menentukan konstanta harmonic (konstituen) yang

digunakan dalam prediksi pasut.

2. File dokumentasi

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

29

a. t_readme.m, merupakan file yang berisi penjelasan mengenai paket

program t_tide

b. t_error.m, penjelasan mengenai interval kepercayaan dan bagaimana

hal tersebut dapat dikembangkan

3. File demonstrasi

a. t_demo.m, contoh demo penggunaan program t_tide dengan

mengunakan data ketinggian di stasiun pasut Tuktoyuktuk.

4. Data file pendukung

T_equilib.dat file yang berfungsi untuk menghitung amplitudo setimbang

dari konstanta harmonik utama sesuai lintang yang dimasukkan.

5. Data program lainnya :

a. Tide3.dat, berisi file data konstanta harmonik standar dari paket

analisis Institute of Ocean Sciences (IOS), file ini dibaca sekali dan

hasilnya tersimpan dalam struktur data dalam t_constituents.mat.

b. t_equilib.dat file yang berisi faktor amplitudo A dan B.

c. t_constituents.mat, berisi struktur data konstanta harmonik.

d. t_example.mat, contoh data set ketinggian muka laut di stasiun pasut

Tuktoyuktuk.

I.7.10 Elevasi Muka Air Laut Penting

Data pasut menghasilkan nilai elevasi muka air laut yang penting untuk diketahui,

beberapa diantaranya dijadikan sebagai referensi tinggi dalam pengukuran atau datum

pasut, berikut penjelasan singkat mengenai jenis elevasi muka air laut penting yang

digunakan dalam penelitian ini (Triatmodjob, 2003):

1. MSL (mean sea level) atau muka air rerata adalah muka air rerata antara muka

air tinggi rerata dengan muka air rendah rerata. Elevasi ini digunakan sebagai

referensi mutlak untuk elevasi di daratan.

2. HHWL (highest high water level) atau muka air tinggi tertinggi adalah air

tertinggi pada saat pasang surut purnama atau bulan mati. Nilai HHWL

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

30

dihitung menggunakan persamaan I.21 (Ongkosono dan Suyarso, 1989 dalam

Nugraha, dkk, 2013):

(I.21)

Dengan:

So : tinggi muka air laut rerata

A(M2), A(S2), … : nilai amplitudo konstanta M2, nilai amplitudo konstanta

S2, …

I.7.11 Dermaga

Dermaga menurut Bambang Triatmodjob (2003) didefinisikan sebagai “Suatu

bangunan pelabuhan yang digunakan untuk merapat dan menambatkan kapal yang

melakukan bongkar muat barang dan menaik-turunkan penumpang”.

I.7.11.1 Design Water Level (DWL)

Design Water Level (DWL) atau elevasi muka air laut rencana sebenarnya

merupakan hasil penjumlahan beberapa parameter yaitu pasang surut, tsunami, wave

setup, wind setup, dan kenaikan muka air laut global. Dalam pembuatan DWL, semua

parameter diatas dilibatkan dan dianggap terjadi dalam waktu yang bersamaan, namun

kemungkinan kejadian tersebut adalah sangat kecil. Sementara itu pasang surut

mempunyai periode 12 jam atau 24 jam, yang berarti dalam sehari bisa terjadi satu kali

atau dua kali pasang surut. Kemungkinan terjadinya kejadian air pasang surut ini sangat

besar, dengan demikian pasang surut merupakan faktor terpenting dalam menentukan

DWL.

DWL ditentukan berdasar pemilihan salah satu elevasi muka air laut dari data

pasang surut sebagai acuan dalam perencanaan. Dari beberapa definisi elevasi muka air

laut sebelumnya. HHWL biasa digunakan untuk menentukan elevasi puncak pemecah

gelombang, dermaga, panjang rantai pelampung penampbat dan sebagainya. Pemilihan

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

31

penggunaan HHWL sebagai referensi dalam hitungan bergantung pada ketersediaan data

pasang surut dalam pekerjaan. Dalam penelitian ini digunakan persamaan I.22 untuk

menentukan nilai DWL dengan tidak memperhitungkan storm surge atau wind-setup

karena keterbatasan data gelombang (Nugraha, dkk, 2013) :

…………………………………………………………… (I.22)

Keterangan:

DWL : nilai elevasi muka air laut rencana (meter)

HHWL : elevasi muka air laut acuan (meter)

SLR (sea level rise) : kenaikan muka air laut akibat pemanasan global (mm/tahun)

I.7.11.2 Elevasi Puncak Dermaga

Bangunan dermaga harus mampu mengamankan gelombang air laut untuk

kelancaran maneuver kapal dan operasi pelabuhan. Elevasi puncak dermaga dihitung

berdasar DWL yang ditentukan dengan nilai HHWL untuk mengantisipasi air pasang

tinggi (Rachmayanti dan Yuwono, 2011). Elevasi dermaga bereferensi terhadap nilai

MSL setempat, sebagaimana ditunjukkan gambar I.10.

Gambar I.10.Sketsa nilai elevasi dermaga

Nilai elevasi dermaga dihitung menggunakan rumus I.23 :

………………………………………. (I.23)

Chart Datum

MSL

LLWL

HHWL Nilai elevasi dermaga

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77560/potongan/S1-2014...dimana data pasang surut 15 hari dianggap telah mencakup satu siklus pasang

32

keterangan:

DWL : nilai elevasi muka air laut rencana (meter)

Clearence : tinggi jagaan menurut Standar Kriteria Desain Pelabuhan Indonesia (1984)

(meter)

I.8 Hipotesis

Elevasi dermaga yang dihitung berdasarkan HHWL akan menghasilkan nilai yang

berbeda untuk setiap kelompok periode data, karena nilai amplitudo untuk konstanta

pasut yang sama pada kelompok periode data pasut yang berbeda akan berbeda pula, hal

ini disebabkan nilai amplitudo relatif terhadap panjang periode pengamatan yang

berpengaruh pada jumlah konstanta yang dapat dipisahkan (Perbani, 2010). Kelompok

data pasut periode pendek yaitu 15 hari, 30 hari, dan satu tahun merupakan kelompok

data pasut yang tidak stabil, karena belum mencakup semua fenomena astronomis

pembangkit pasut. Sedangkan kelompok data pasut periode panjang yaitu 8,85 tahun

relatif lebih stabil, karena telah mencakup gerakan revolusi bulan, revolusi bumi, presesi

orbital dan separuh gerakan presesi nodal. Berdasarkan asumsi tersebut, maka hipotesis

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Kelompok data pasut periode terpanjang yaitu 18,6 tahun menghasilkan

jumlah konstanta signifikan terbanyak, serta nilai MSL yang paling stabil.

2. Nilai HHWL dari data pasut periode pendek (15 hari, 30 hari, dan 1 tahun)

dan data hasil prediksinya tidak mampu mewakili nilai HHWL pada periode

panjang, sehingga nilai elevasi dermaga yang dihasilkan oleh data pasut

periode pendek tidak aman hingga jangka waktu panjang.

3. Periode optimal untuk memprediksi data pasut 18,6 tahun adalah periode

8,85 tahun.