bab i pendahuluan -...

35
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul: Diskursus Waria dalam pembentukan The Third Gender di Yogyakarta I.2. Alasan Pemilihan Judul I.2.1. Aktualitas Realita sosial yang berkembang pada masyarakat Indonesia sampai saat ini, khususnya di Yogyakarta masih menganggap waria sebagai masalah sosial dan penyimpangan. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan gender waria itu sendiri dari sudut pandang diskursus Heteronormativ 1 . Masyarakat yang hanya mengenal oposisi biner, yaitu laki-laki dan perempuan beserta konstruksi yang meliputinya, contohnya adalah laki-laki harus memakai celana panjang dan apabila berdandan atau memakai baju perempuan maka akan dianggap sebagai penyimpangan atau dikategorisasikan sebagai waria. Hal tersebut dianggap menjadi kodrat alamiah bagi laki-laki maupun 1 Ideologi yang mengharuskan laki-laki dan perempuan tunduk pada aturan heteroseksualitas yang intinya adalah keharusan fungsi pro-kreasi seksualitas. Dalam aturan ini, agar bisa bereproduksi, maka perempuan harus berpasangan dengan laki-laki dan sebaliknya.

Upload: dangtruc

Post on 05-Jul-2018

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Judul:

Diskursus Waria dalam pembentukan The Third Gender di Yogyakarta

I.2. Alasan Pemilihan Judul

I.2.1. Aktualitas

Realita sosial yang berkembang pada masyarakat Indonesia sampai saat ini,

khususnya di Yogyakarta masih menganggap waria sebagai masalah sosial dan

penyimpangan. Hal ini dikarenakan ketidakjelasan gender waria itu sendiri dari sudut

pandang diskursus Heteronormativ1. Masyarakat yang hanya mengenal oposisi biner,

yaitu laki-laki dan perempuan beserta konstruksi yang meliputinya, contohnya adalah

laki-laki harus memakai celana panjang dan apabila berdandan atau memakai baju

perempuan maka akan dianggap sebagai penyimpangan atau dikategorisasikan

sebagai waria. Hal tersebut dianggap menjadi kodrat alamiah bagi laki-laki maupun

1 Ideologi yang mengharuskan laki-laki dan perempuan tunduk pada aturan heteroseksualitas yang

intinya adalah keharusan fungsi pro-kreasi seksualitas. Dalam aturan ini, agar bisa bereproduksi, maka

perempuan harus berpasangan dengan laki-laki dan sebaliknya.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

2

perempuan itu sendiri, sehingga pengenalan manusia berdasarkan ciri yang ada pada

atau di dalam dirinya kurang berlaku dan cenderung tidak diterima oleh sebagian

besar masyarakat, bahkan disebut penyimpangan. Akibatnya, penegasan mengenai

subyektifitas tersebut kurang berlaku di Indonesia, karena masyarakat hanya terbiasa

mengenal oposisi binerisme, yaitu laki-laki dan perempuan, diluar hal tersebut

merupakan suatu kemustahilan.

Selain itu pula pada aktualitasnya, buku-buku maupun penelitian-penelitian

yang ada sampai saat ini jarang ada yang membedah dan memposisikan waria pada

hakikatnya, dan memahami waria dari posisi ontologisnya. Hal ini berujung pada

salah tafsirnya pemahaman akan waria itu sendiri. Kajian dan penelitian-penelitian

yang ada pada saat ini masih bergulat dan memposisikan waria sebagai masalah

sosial dan sebuah obyek bukan sebagai subyek atau manusia. Beberapa contoh

diantaranya adalah skripsi oleh Umi Latiefah (2013) “Pesantren Waria dan

Konstruksi Identitas (Studi tentang Waria dalam Membangun Identitasnya melalui

Pesantren Waria Al-Fattah Notoyudan, DIY)” yang lebih menyoroti tentang

bagaimana waria ingin menciptakan image positif tentang dirinya lewat pesantren.

Bagaimana pesantren digunakan sebagai alat penormalisasian mereka. Pesantren

dimaknai sebagai alat atau sarana untuk merekonstruksi identitas baru bagi waria.

Akan tetapi, yang saya maknai disini adalah waria masih dipandang abnormal

sehingga dibutuhkan upaya pengnormalisasian mereka agar sesuai dengan kerangka

Heteronormativ. Selain itu pula, ada “Konstruksi Identitas Seksual Waria dan Gay

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

3

“pure” Bottom” oleh Titi Fitrianita, tesis (2012) yang memfokuskan pada konstruksi

identitas seksual pada waria dan gay “pure” bottom (gay yang sejak kecil lebih

feminin dibandingkan anak laki-laki seusianya). Proses konstruksi sosial yang

dilakukan di dalam keluarga, dan yang kedua konstruksi yang dilakukan di dalam

komunitas dalam proses pembentukkan menjadi gay tersebut. Peneliti melihat bahwa

menjadi seorang waria masih merupakan konstruksi sosial bukan sebagai identitas

seks dan gender. Selain itu, ada juga tesis oleh Muslim Hidayat (2012) yang berjudul

“Waria Dihadapan Tuhan: Eksplorasi Kehidupan Religius Waria Dalam Memahami

Diri” yang berfokus pada pengalaman religius seorang waria yang menjadi santri di

pondok pesantren dan bagaimana waria menghadapi kebingungan peran ketika

menghadapi kehidupannya baik urusan keduniawian maupun akhirat. Peneliti juga

melihat bahwa penulis masih menempatkan waria sebagai halnya konstruksi yang

terbangun dalam diskursus Heteronormativ tentang siapa itu waria.

Buku yang mengkaji tentang waria lainnya adalah buku dari Koeswinarno

(2004) yang melihat bagaimana ruang sosial memberi pengaruh terhadap waria, serta

bagaimana waria-waria dalam kelompok merespons tekanan sosial yang dihadapinya.

Menurut peneliti, penulis pun masih menempatkan waria seperti halnya yang

terbangun dalam diskursus Heteronormativ.

Selama ini penelitian-penelitian, jurnal, maupun buku yang mengulas tentang

waria menurut penulis masih bergulat dalam ranah agama, budaya, dan menempatkan

waria dalam posisi sebagaimana konstruksi yang tercipta tentang waria itu sendiri.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

4

Walaupun ada beberapa penelitian dan buku yang tidak lagi memposisikan waria

sebagai masalah sosial akan tetapi masih belum mengupas lebih dalam tentang waria

itu sendiri, hanya melihat kulit luar waria dan melihat waria sebagaimana yang

terkonstruksi dalam tatanan sosial dan kehidupan bermasyarakat. Kebanyakan hanya

mengkontektualisasikan waria di dalam dimensi sosial, agama, budaya tanpa

sebelumnya mengupas dan melihat lebih dalam lagi sebenarnya “Siapa dan Apakah

waria itu?” sehingga disini, peneliti menganggap waria hanya dijadikan obyek bukan

subyek kemanusiaan seperti halnya laki-laki dan perempuan. Aktualitasnya, waria

seperti ditempatkan tidak ubahnya hanya sebagai pekerjaan, hinaan, maupun

patologis. Padahal, tanpa kita sadari waria telah mempunyai diskursus mereka

tersendiri seperti halnya laki-laki dan perempuan yang mempunyai diskursus mereka

sendiri sebagai batasan-batasan cara berperilaku, bersikap, maupun berpenampilan.

Penelitian ini bertujuan mendokumentasikan diskursus waria itu sendiri dalam

pembentukan atau menghadirkan The Third Gender (Gender Ketiga) di Yogyakarta

dan memberikan referensi bagaimana melihat waria itu sendiri diluar diskursus

Heteronormativ sebagai gender ketiga, bukan hanya sekedar melihat waria sebagai

obyek konstruksi dan patologis.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

5

I.2.2. Orisinilitas

Sejauh ini penulis belum menemukan skripsi atau penelitian mengenai

diskursus waria dalam pembentukan The Third Gender di Yogyakarta, atau penelitian

skripsi maupun buku yang mengupas secara ontologis tentang waria tersebut.

Sebelumnya telah ada beberapa penelitian skripsi tentang waria, tetapi sebagian besar

lebih menyoroti tentang pekerjaan waria, waria sebagai bagian masalah sosial dan

juga politik identitas waria itu sendiri. Contohnya adalah, “Salon Sebagai Ruang

Negosiasi dan Arena Penegasan Identitas Kaum Waria” (Studi Tentang Politik

Identitas Transgender Pada Kaum Waria Pekerja Salon Di Yogyakarta) oleh Puji

Rahayu, Jurusan Sosiologi 2013. Skripsi ini lebih melihat kepada penegasan identitas

waria sebagai seorang pekerja salon, dimana salon diidentikkan dengan ranah para

waria dan sebagai sarana strategi eksistensi waria. Disini peneliti melihat bahwa

waria masih dikategorikan sebagai kaum marjinal dan sebagai kelompok bukan

sebagai identitas gender dalam masyarakat. Sedangkan pada penelitian yang penulis

angkat memposisikan waria sebagai bagian dari identitas gender, bukan dalam

komunitas di ruang publik lagi, dan memiliki ranah pekerjaan yang diidentikkan

dengan kebanyakan waria di Yogyakarta yaitu Prostitusi dan Pengamen, sedangkan

salon hanya bagian kecil saja. Namun, kelebihan dari skripsi oleh Puji Rahayu ini

adalah mengangkat bahasa prokem, yaitu bahasa khusus waria yang menurut penulis

merupakan salah satu bentuk diskursus dari waria itu sendiri.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

6

Kemudian ada skripsi yang berjudul “Pesantren Waria dan Konstruksi

Identitas” (Studi tentang Waria dalam Membangun Identitasnya melalui Pesantren

Waria Al-Fattah Notoyudan, DIY) oleh Umi latiefah, Jurusan Sosiologi 2013. Skripsi

ini lebih melihat kepada bagaimana waria membangun identitas mereka yang baru

melalui pesantren, agar dapat diterima masyarakat. Disini penulis masih melihat

waria sebagai obyek dimana harus melakukan proses pengnormalisasi terlebih dahulu

agar diterima oleh masyarakat dengan menciptakan image positif melalui pesantren.

Pesantren disini digunakan sebagai alat pengnormalisasian melalui agama. Kelebihan

dari skripsi ini adalah peneliti dapat melihat bahwa waria di Yogyakarta sebagian

besar masih mengalami krisis identitas yang disebabkan oleh diskursus

Heteronormativitas yang ada, sehingga mereka berupaya mengikuti sistem tersebut

agar dapat diterima oleh masyarakat, dengan cara kembali menjadi santri di pesantren

tersebut dan menjadi laki-laki. Sedangkan pada penelitian ini, peneliti mengangkat

bahwa tidak ada yang salah menjadi seorang waria. Mereka adalah gender ketiga, dan

tidak perlu adanya upaya pengnormalisasian agar sesuai dengan diskursus

Heteronormativ, hal tersebut akan semakin membuat waria di Yogyakarta menjadi

krisis identitas dan menyakini bahwa mereka adalah laknat bukan kodrat.

Skripsi yang menjadi acuan penulis dalam menulis bagian sejarah waria

dalam penelitian ini adalah skripsi yang berjudul “Pondok Pesantren Senin-Kamis

dan Marginalisasi Waria: Studi Mengenai Pemaknaan Masyarakat Terhadap Para

Waria Setelah Menjadi Santri Dalam Pondok Pesantren Senin-Kamis di Notoyudan,

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

7

kecamatan Gedong” Oleh Wuri Sayekti Handayani lulusan Ilmu Sosiatri Fisipol

UGM 2009. Pembedanya adalah disini penulis lebih menyoroti tentang waria sebagai

masalah sosial dalam masyarakat dan pondok pesantren menjadi wadah sebagai

pemecahan masalah tersebut. Kembali lagi bahwa pesantren dan agama menjadi

dinding terhadap penegasan identitas waria itu sendiri di Yogyakarta.

Handbook yang dijadikan acuan oleh penulis adalah penelitian tentang

analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

Poskolonial” (Dari Wacana Bangsa Hingga Wacana Agama) dan Makalah “Judith

Butler: Gender/Seks sebagai “Pertunjukan” dan Tawa Medusa”. Lulusan Sosial

Anthropology of Gender dari Universitas Hull, Inggris ini melakukan penelitian

tentang gender dan seksualitas sebagai identitas nasional di Indonesia dalam ranah

bangsa dan agama pada tahun 2001 sebagai Disertasinya dalam meraih gelar MA

dari Universitas Hull, Inggris. Disini Alimi tidak secara rinci menjabarkan bagaimana

diskursus waria itu sendiri dan bagaimana kemunculan The Third Gender di

Yogyakarta. Alimi hanya mengkontekstualisasikan waria dalam ranah nasional dan

Negara, dan bagaimana ranah seksualitas waria di tanah air.

Poin pembeda skripsi ini dibandingkan dengan penelitian lainnya adalah

skripsi ini mencoba melihat waria sebagai subyek dan identitas gender, yaitu gender

ketiga melalui diskursus-diskursus yang terbentuk dalam kaitannya dalam

pembentukan The Third Gender di Yogyakarta, serta melihat diskursus The Third

Gender sebagai diskursus tandingan terhadap diskursus Heteronormativ yang selama

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

8

ini dianggap alamiah. Contoh dua skripsi di atas adalah belum memahami waria

seutuhnya dan masih menempatkan waria sebagaimana selama ini yang diketahui

dalam diskursus Heteronormativ. Sehingga, disini peneliti mencoba mengisi dan

mendekonstruksi ulang pemaknaan terhadap waria tersebut sebelum dikaji lebih

dalam dalam ranah penelitian. Apabila pemaknaan awal mengenai posisi ontologis

waria telah berbeda, maka yang terjadi adalah penelitian-penelitian tentang waria

akan terus berbicara seputar abnormalitas dan normalitas, dan pada akhirnya posisi

waria akan dipaksa mengikuti kerangka Heteronormativ tersebut. Kemudian, disini

peneliti mencoba melacak sejauh mana pembentukkan The Third Gender di

Yogyakarta.

I.2.3. Relevansi dengan Jurusan PSdK

Studi gender berbasis jenis kelamin di Indonesia sudah berada di titik jenuh

dan terkesan basi jika dibandingkan di negara-negara maju, sehingga butuh adanya

kajian baru yang diharapkan menjadi titik segar bagi pemecahan masalah sosial

khususnya gender. Studi gender kebanyakan hanya melihat dari sudut pandang

Heteronormativ, dan pergulatannya hanya berputar seputar feminisme. Padahal

dinamika sosial masyarakat selalu berubah. Seks dan gender bukan lagi sesuatu hal

yang dianggap alamiah dan kaku, melainkan hanya sebuah konstruksi sosial. Gender

dan seks tidak melulu hanya laki-laki dan perempuan ataupun maskulin dan feminim,

tetapi sudah berkembang menjadi The Third Gender atau Gender Ketiga. Hal ini

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

9

dimaksudkan untuk membuka pola pikir masyarakat, agar sentimental terhadap

sesuatu diluar oposisi biner tersebut bukan lagi dipahami sebagi sebuah kemustahilan

dan masalah sosial.

Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) mencakup tiga

konsentrasi yaitu: sosial policy, community empowerment, dan corporate sosial

responsibility. Pembelajarannya juga mencakup mata kuliah tentang Gender.

Pembahasan tentang Gender sebagian besar masih bergulat dengan Feminisme dan

isu perempuan, yang acapkali dicap sebagai kaum rentan. Padahal, waria juga

termasuk identitas gender yang rentan di Indonesia, dan bukan merupakan masalah

sosial yang dicari obat dan metode penyembuhannya. Penelitian ini bertujuan untuk

membuka cakrawala kita untuk berfikir diluar diskursus Heteronormativ sehingga

tidak selalu menempatkan waria sebagai kaum marginal dan salah satu bentuk

masalah sosial. Diharapkan juga nantinya dapat memberikan sumbangsih terhadap

perumusan kebijakan sosial (sosial policy), dan metode-metode baru dalam

community empowerment terhadap waria itu sendri dalam memberikan pemberdayaan

dan penguatan kapasitas agar waria tidak termarginalkan dalam masyarakat dan dapat

diterima menjadi bagian yang seutuhnya dari masyarakat kita.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

10

I.3. Latar Belakang Masalah

Fenomena kehadiran waria di Indonesia bukan sesuatu hal yang baru,

melainkan telah lama ada, bahkan dalam kebudayaan di Indonesia itu sendiri2. Akan

tetapi, sampai pada saat ini, pembahasan tentang waria tidak ada habisnya. Umumnya

waria dikategorisasikan sebagai kaum marginal ataupun masalah sosial, bukan

sebagai gender yang lain diluar diskursus Heteronormativitas.

Sementara di negara-negara maju, waria atau yang lebih dikenal dengan The

Third Gender (gender ketiga) dalam istilah Gilbert Hert telah dianggap sebagai

sebuah pilihan yang harus dihormati. Akan tetapi, di Indonesia waria masih menjadi

polemik dan dimarginalkan. Waria masih merupakan aib dan hal yang tabu dalam

masyarakat.

Stigmatisasi terjadi karena waria tidak masuk dalam kategori yang terbentuk

oleh konstruksi sosial, yaitu kategori laki-laki dan perempuan3. Waria menjadi jenis

kelamin sosial yang hadir dalam proses dialektis antara kedua peran gender tersebut.

Secara sosiologis, waria termasuk dalam transgender yaitu yang menentang

konstruksi gender yang telah ada di dalam masyarakat yaitu laki-laki atau perempuan.

Sedangkan dilihat dari orientasi seksual, waria merupakan transeksual yaitu sistem

seksual yang tidak lagi dibentuk oleh unsur-unsur seksual akan tetapi juga unsur-

unsur lain seperti ekonomi, kapital, komoditi, dan politik. Ketidaksesuaian

2 Kebudayaan yang penulis maksudkan disini adalah fenomena Bissu dalam Suku Bugis, Sulawesi.3 Konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat selama ini adalah berdasarkan diskursus

Heteronormativ, yang hanya mengenal oposisi biner atau lawan jenis, yaitu laki-laki dan perempuan.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

11

penampilan fisik dan perilaku secara sosial membuat waria tidak luput dari berbagai

bentuk tekanan sosial. Pakar kesehatan dan pemerhati waria, Mamoto Gultom

menyatakan bahwa kaum yang paling marginal di Indonesia adalah waria

(Puspitosari, Pujileksono, 2005: 21).

Sebagai kelompok marginal, waria tidak memiliki cukup pilihan untuk dapat

mengaktualisasi diri dan memiliki ruang gerak yang terbatas sehingga waria semakin

dianggap abnormal karena tidak bisa bersosialisasi secara luas dan terkesan eksklusif.

Ditambah pula dengan berbagai penelitian, buku, maupun jurnal yang selama ini

lebih membahas tentang bagaimana pergulatan politik identitas maupun perjuangan

kaum waria sendiri agar dapat diterima oleh masyarakat, melalui upaya-upaya

pengnormalisasian agar sesuai dengan konstruksi Heteronormativitas masyarakat

khususnya dalam masyarakat Indonesia sendiri.

Penelitian-penelitian tentang waria sebagian besar masih melihat bahwa waria

masih merupakan komunitas subaltern4, pergulatan identitas waria itu sendiri,

maupun waria sebagai penyebab penyebaran penyakit HIV/AIDS. Hal ini semakin

menyudutkan waria dan tidak melihat bahwa waria merupakan seorang manusia sama

seperi halnya kita, sebelum ada labeling laki-laki dan perempuan. Permasalahan

disini adalah banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang diskursus waria itu

sendiri dan minimnya pengetahuan akan gender ketiga. Ketika ada hal yang diluar

diskursus Heteronormativ yang selama ini dikenal oleh masyarakat, masyarakat akan

4 Menurut Gayatri Spivak, subaltern berarti kelompok inferior yang tidak bisa memahami

keberadaannya dan tidak mampu menyuarakan aspirasinya.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

12

melihat hal tersebut sebagai bentuk kemustahilan yang berujung kepada marginalisasi

waria.

Beberapa penelitian-penelitian yang telah ada juga dapat dilihat bahwa

bagaimana para waria melalui institusi-institusi agama mencoba “menertibkan” diri

mereka sendiri agar dapat diterima oleh masyarakat, karena dari dalam diri mereka

sendiri pun telah terdoktrin bahwa mereka salah dan mereka merupakan masalah

sosial, atau yang lebih ekstrem adalah mereka mengganggap diri mereka sebagai

“dosa”. Banyak masyarakat yang menganggap waria sebagai penyakit dan gangguan

psikologis sehingga beragam upaya pun dilakukan, dari mulai pengobatan secara

medis hingga agama melalui institusi agama seperti pesantren. Hal ini tentunya

bertentangan dengan hak mereka sebagai seorang manusia yang bebas

mengaktualisasikan diri mereka sendiri. Pada dasarnya manusia itu berbeda dan

mempunyai subyektifitasnya masing-masing, jadi tidak bisa apabila dilakukan

penyeragaman hanya mengikuti oposisi biner, yaitu laki-laki dan perempuan.

Di Indonesia sendiri pemahaman akan konsep third gender masih lemah.

Waria bukan dikenal sebagai the third gender melainkan sebagai seorang laki-laki

yang feminim5. Hal tersebut dikarenakan benturan agama dan budaya di Indonesia

yang masih kuat dan belum bisa menerima kehadiran waria. Padahal, kebudayaan di

Indonesia pun telah mengenal adanya laki-laki yang berpakaian dan bertingkah laku

feminim. Contohnya adalah Bissu yang merupakan komunitas transgender yang

5 Jurnal Tom Boellstorff berjudul “Playing Back the Nation: Waria, Indonesian Transvestites”

(Cultural Anthropology , University of California, Irvine, 2004).

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

13

sudah ada di Sulawesi sejak ratusan tahun lalu sebelum Islam, yang dianggap “Bukan

laki-laki dan bukan perempuan” dan sebagian besar masyarakat Sulawesi

menganggap identitas bissu sebagai wajar-wajar saja dan merupakan ciptaan Tuhan

(Alimi, 2004: xxxi).

Determinasi berdasarkan jenis kelamin objektif yaitu laki–laki dan perempuan

membuat masyarakat memberikan konstruksi identitas pula pada kedua jenis kelamin

tersebut, contohnya laki–laki identik dengan maskulin, sedangkan perempuan identik

dengan feminim, sehingga tidak memberikan ruang kepada waria untuk menegaskan

jati diri mereka. Hal tersebut membuat mereka kehilangan jati diri. Padahal baik kita

sadari ataupun tidak waria memiliki diskursus mereka sendiri yang jelas berbeda

dengan laki-laki dan perempuan. Terbatasnya ruang gerak waria itu sendiri sehingga

menciptakan kesan eksklusifitas sebenarnya merupakan diskursus waria itu sendiri.

Baik kita sadari ataupun tidak, mereka memiliki ciri khas mereka sendiri yang

membangun diskursus tersebut. Seperti halnya laki-laki yang dikonstruksikan

maskulin, dan memakai celana panjang, perempuan dengan sifat feminism anggun

dan memakai rok dan berdandan.

Masyarakat membangun pikiran bahwa seks bagi waria identik dengan

prostitusi atau pelacuran (Puspitosari, Pujileksono, 2005: 4). Hal tersebut juga

didukung dengan masih banyaknya keluarga, masyarakat, negara, LSM yang

menganggap mereka sebagai “orang sakit” sehingga mereka harus dihindari, dibuang,

diobati dan bahkan “dinormalisasikan”. Bahkan upaya-upaya pengnormalisasian

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

14

mereka turut gencar dilakukan baik oleh keluarga maupun institusi-institusi agama.

Sehingga membuat mereka menerima bahwa mereka “berbeda”, bermasalah,

abnormal. Padahal mereka mempunyai pemikiran dan diskursus mereka sendiri yang

tentunya berbeda dengan yang selama ini dipahami oleh masyarakat.

Pemberian identitas gender dan seks seperti laki-laki dan perempuan,

maskulin dan feminim merupakan Heteronormativitas yang dianggap sebagai hal

yang alamiah dan mutlak di masyarakat. Sehingga waria, transgender, homoseksual

dianggap sesuatu yang abnormal. Padahal, abnormalitas maupun normalitas juga

merupakan konstruksi sosial di masyarakat. Dari prasarat sebuah komunikasi. Karena

dari sanalah akan bergulir bagaimana harus memanggil, harus bersikap dan

sebagainya. Seperti ketika dimana jenis kelamin tertentu harus berperan gender dan

seksualitas tertentu, contohnya laki – laki identik dengan maskulin dan perempuan

identik dengan feminim, sehingga waria dianggap sebagai abnormal. Hal-hal

tersebutlah yang selama ini kita pahami dalam diskursus Heteronormativitas. Tetapi,

bagaimanakah dalam diskursus waria? Hal tersebutlah yang mendorong saya ingin

melakukan penelitian ini. Karena selama ini, dimana Sosiologi mendefinisikan waria

yang berada di wilayah antara keduanya sebagai penyimpangan dan bergerak dalam

kerangka Heteronormativitas (Alimi, 2011).

Bagaimana kalau kita melihat dari perspektif lain, bahwasanya waria memang

berada di wilayah antara keduanya, tetapi bukan sebagai bentuk penyimpangan akan

tetapi memiliki diskursus mereka sendiri dalam menghadirkan the third gender atau

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

15

jenis kelamin ketiga sebagai upaya membongkar konstruksi Heteronormativitas di

masyarakat yang kaku, yang hanya mengenal oposisi binerisme.

Ketika diskursus Heteronormativ menempatkan mereka menjadi sebuah

kemustahilan dan sebagian besar masyarakat masih belum mengetahui the third

gender, sehingga me-labelling waria sebagai “abnormalitas”, berangkat dari hal-hal

tersebut saya ingin meneliti lebih jauh tentang diskursus waria itu sendiri yang baik

disadari atau tidak telah melekat dalam kehidupan sehari-hari mereka, yang bagi

masyarakat dianggap sebagai “eksklusifitas”, padahal itu adalah diskursus the third

gender waria di Jogja. Hal tersebut dapat dilihat dari pertunjukkan mereka pada

tatanan sosial dari mulai identitas, tubuh, pekerjaan, sikap, cara berperilaku, maupun

pembentukan komunitas yang juga dilakukan oleh laki-laki dan perempuan. Melalui

penelitian ini diharapkan kita dapat melihat lebih jauh dan dalam tentang waria dan

tidak lagi memandang mereka sebelah mata.

Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi tempat penelitian, karena sesuai

slogannya yaitu “Jogja Berhati Nyaman” menjadi tempat yang nyaman bagi para

waria. Banyak waria yang berdatangan dari luar daerah bahkan menjadi penduduk

asli Jogja. Selain itu, konteks sosial masyarakat Yogyakarta didukung tata kelola

pemerintahan yang tidak hanya struktural melainkan kultural membuat Daerah

Istimewa Yogyakarta lebih bersikap terbuka dan humanis dalam menyikapi

perbedaan yang ada. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya Pesantren Senin-Kamis

khusus waria, kemudian ada Kampung Waria di Kricak Kidul, dan ada Organisasi

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

16

khusus waria (IWAYO) (Ikatan Waria Yogyakarta) yang sebenarnya didirikan sejak

tahun 1980 dengan nama Waria DIY, namun pada tahun 1984 berubah menjadi

IWAYO. Waria yang menginginkan kenyamanan dan diterimanya kehadiran mereka

sebagai bagian dari masyarakat membuat Yogyakarta menjadi pilihan yang tepat,

bahkan banyak waria yang mengaku betah di Yogya dan memilih untuk tinggal dan

menjadi penduduk Yogya. Padahal, faktanya di kota mereka terdahulu, uang yang

yang dihasilkan dari pekerjaan mereka lebih besar daripada di Yogya. Akan tetapi,

mereka lebih betah di Yogya. Hal tersebut dikarenakan suasana akrab, nyaman, dan

kekeluargaan. Kerasnya persaingan antar waria dalam hal pekerjaan maupun

percintaan di kota-kota tempat mereka tinggal terdahulu juga menjadi pertimbangan

para waria untuk menetap di Yogya. Hal tersebut didasari oleh belum kuatnya

solidaritas akan identitas mereka dan terhanyut akan konstruksi di masyarakat yang

menempatkan waria sebagai obyek dan pekerjaan saja. Sedangkan di Jogja, persatuan

yang timbul dikarenakan persamaan identitas mereka dari mulai sebagai keluarga

menjadi sebuah identitas gender yang baru, yaitu gender ketiga. Hal ini turut

berimplikasi terhadap peningkatan jumlah waria yang ada di Daerah Istimewa

Yogyakarta, karena mereka ingin diterima di masyarakat sebagaimana kondisi

mereka yang sekarang dan bagian dari masyarakat.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

17

I.4. Rumusan Masalah

Sebelum kita melangkah lebih jauh melihat pembentukan The Third Gender

di Jogja, alangkah lebih baiknya kita mengerti posisi waria dalam masyarakat

Yogyakarta sendiri, serta melihat diskursus-diskursus yang menjadi ciri khas mereka

sendiri agar lebih dapat memahami waria itu sendiri sebagai sebuah identitas gender

dan manusia. Setelah itu baru kita melihat apa itu Third Gender di Yogyakarta, dan

bagaimana cara mereka menghadirkan dan membentuk The Third Gender itu sendiri.

Sesuai dengan latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Diskursus Waria dalam

Pembentukan The Third Gender di Yogyakarta?”

I.5. Tujuan Penelitian

I.5.1. Tujuan Operasional

Penelitian ini dilakukan untuk memenuhi syarat pencapaian gelar

Sarjana Strata 1 dalam Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan

Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi bagi

perkembangan Ilmu Sosial, khususnya di Universitas Gadjah Mada

sendiri. Dan juga dapat membuka wacana yang lebih luas baik

kepada masyarakat maupun akademisi lainnya tentang gender

ketiga.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

18

I.5.1. Tujuan Substansial

Untuk melihat lebih dalam diskursus waria sendiri di Yogyakarta,

dan untuk memahami waria sebagai identitas gender bukan sebagai

patologis.

Untuk mengetahui proses pembentukan wacana The Third Gender

di Yogyakarta dengan model analisis wacana.

Untuk melihat wacana The Third Gender sebagai wacana

tandingan dari Heteronormativ.

I.6. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi

pemahaman gender baik di kalangan akademisi maupun masyarakat,

sehingga bersifat dinamis tidak monoton dan mengikuti perkembangan

Cultural Study berbasis gender di negara-negara maju.

Dapat memberikan kontribusi bagi perumusan kebijakan sosial (Sosial

Policy) dan metode-metode pemberdayaan masyarakat yang baru

apabila kita telah mengetahui diskursus waria dan menerimanya

sebagai bagian dari gender, bukan masalah sosial ataupun

penyimpangan.

Sebagai bahan masukan bagi masyarakat dan pihak-pihak yang

berkecimpung dalam dunia waria agar lebih memahami mereka.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

19

Agar membuka wacana waria sendiri agar lebih memahami diri

mereka secara inti personal, bukan sebagai bagian dari sistem yang

Heteronormativ seperti yang berkembang pada saat ini.

I.7. Kerangka Teori

Sebelum masuk ke dalam bagian konsep maupun teori, ada baiknya penulis

menjelaskan terlebih dahulu mengenai aliran berfikir yang dipakai guna memahami

realita yang ada, agar tidak menimbulkan kerancuan dan perbedaan pemaknaan antara

penulis dan pembaca. Penulis menggunakan paradigma Postrukturalisme sebagai

“payung besar” atas teori-teori yang digunakan, seperti Diskursus menurut Michel

Foucault maupun Teori Performativitas oleh Judith Butler. Jacques Derrida

memproklamirkan pendekatan ini pada 1966. Jika para strukturalis memandang

masyarakat terikat pada struktur bahasa, Derrida mereduksi bahasa menjadi “tulisan”

yang tidak membatasi subyeknya. Lebih lanjut, Derrida juga melihat bahwa bahasa

bersifat tidak stabil dan tidak tertata. Konteks yang berbeda akan memberi suatu kata

makna yang berbeda pula. Sebagai akibatnya, sistem bahasa tidak bisa memiliki

kekuasaan yang membatasi atas masyarakat sebagaimana menurut para strukturalis

(Ritzer, 2012: 1036-1037). Pemikir yang paling berpengaruh lainnya adalah Michel

Foucault. Foucault lebih memperhatikan hermeneutika guna mendapatkan

pemahaman yang lebih baik tentang fenomena sosial yang menjadi perhatiannya.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

20

Foucault tidak memiliki pemahaman tentang suatu kebenaran asli yang mendalam;

yang ada hanyalah semakin banyak lapisan untuk dipisahkan (Ritzer, 2012).

I.7.1. Waria sebagai sebuah Identitas Gender Ketiga

Istilah waria merupakan akronim dari perempuan-laki-laki. Menurut pakar

pendidikan Kartini Kartono, waria merupakan seseorang yang secara fisik

mempunyai jenis kelamin laki-laki, tetapi berperasaan dan bertingkah laku seperti

seorang perempuan (Handayani, 2009: 16). Sehingga dalam keseharian waria

cenderung tampil seperti halnya mengimitasi perempuan dalam hal bersolek,

bersikap, berpikir, dan berprilaku. Dalam bahasa psikologis disebut dengan istilah

transeksual, yaitu gejala seseorang yang merasa dirinya memiliki seksualitas yang

berlawanan dengan struktur fisiknya.

Apabila ditinjau dari aspek biologis, orientasi seks seorang waria dalam

penelitian yang pernah dilakukan oleh tim medis menyebutkan, faktor prenatal

banyak diyakini bahwa kromosom dan hormon merupakan indikasi yang cukup

penting dalam bentuk organ seksual seorang waria. Kromosom yang menentukan

jenis kelamin laki-laki adalah XY dan untuk jenis kelamin perempuan adalah XX.

Kemungkinan laki-laki yang unsur X nya lebih dominan bisa menjadi waria

(Puspitosari, Pujileksono, 2005: 70).

Banyak masyarakat yang menganggap waria sama dengan gay. Padahal antara

waria dan homoseks tidaklah sama. Perbedaan antara waria dengan gay yaitu bahwa

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

21

pada umumnya gay merasa tidak perlu ber-make-up dan berpakaian seperti

perempuan. Kemudian dalam melakukan hubungan seks, seorang gay bisa bertindak

sebagai “laki-laki” atau “perempuan” (Puspitosari, Pujileksono, 2005: 17).

Di Yogyakarta, definisi waria adalah seseorang yang mempunyai alat kelamin

laki-laki, tetapi berperilaku selayaknya perempuan dan berjiwa perempuan serta

memiliki ketertarikan dengan laki-laki. Waria membutuhkan ber-make-up atau

berdandan dan berpakaian selayaknya perempuan. Begitu pula dalam berhubungan

seks, waria tidak bisa berperan menjadi laki-laki karena waria merasa jiwa mereka

perempuan walaupun fisik mereka cenderung lebih ke laki-laki. perbedaan antara

waria dan gay adalah, waria hanya memposisikan diri mereka sebagai perempuan

atau yang disebut oleh kalangan waria sebagai bottom, sedangkan gay bisa berubah –

ubah perannya, baik sebagai perempuannya maupun laki lakinya (bottom-top).

Di dalam sudut pandang psikologi, dikenal beberapa gejala kewariaan.

Pertama, transeksualis, yaitu seseorang dengan jenis kelamin secara jasmani

sempurna, namun secara psikis cenderung menampilkan diri sebagai lawan jenis.

Kedua, transvetis, yaitu nafsu yang patologis untuk memakai pakaian dari lawan jenis

kelaminnya dan mendapat kepuasan seks dengan memakai pakaan dari jenis kelamin

lainnya. Sedangkan yang ketiga, hermafrodit, yaitu orang yang mempunyai dua jenis

kelamin atau tidak kedua-keduanya (Nadia, 2005: 3).

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

22

I.7.2. Konsep The Third Gender (Gender Ketiga)

Berangkat dari persoalan identitas waria yang belum mendapat tempat dalam

struktur sosial masyarakat. dimulai dari kemunculan identitas waria ditengah oposisi

biner laki-laki dan perempuan yang diakui mampu mendobrak diskursus gender

Heteronormativ. Di dalam hal ini waria tidak dapat dikategorisasikan baik sebagai

laki–laki atau perempuan. Sehingga dapat dikatakan mereka menciptakan gender

mereka sendiri yang dikenal dengan The Third Gender.

Menurut Gilbert herdt pada tahun 1990-an, perdebatan tentang peran seks dan

identitas individu menjadi perdebatan yang sentral di kalangan intelektual. Seks dan

gender menjadi pengetahuan baru dalam ilmu budaya dan menolak bahwasanya

seksualitas adalah sesuatu yang alami6. Herdt menganggap The Third Gender adalah

bukan laki-laki dan bukan perempuan. Herdt melakukan penelitian di Indonesia

dengan mengangkat Bissu di Sulawesi sebagai contohnya. Sedangkan menurut

McGee, the Third Gender adalah:

“The terms third gender and third sex describe individuals who arecategorized (by their will or by sosial consensus) as neither man norwoman, as well as the sosial category present in those societies whorecognize three or more genders” (McGee, R. Jon and Richard L.Warms : Anthropological Theory: An Introductory History. NewYork, McGraw Hill, 2011)7.

6 Disarikan dari http://www.amazon.com/Third-Sex-Gender-Dimorphism-Culture/dp/0942299825.

Diakses pada tanggal 7 Juli 2014, pukul 21:00 wib.7 Disarikan dari Wikipedia: http://en.wikipedia.org/wiki/Third_gender . Diakses pada tanggal 7 Juli

2014, pukul 21:45 wib.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

23

“Norma-norma mengenai gender ketiga dan seks ketiga menjelaskantentang individu-individu yang dikategorikan (baik secara keinginanmaupun konsesus) sebagai bukan laki-laki dan perempuan,sebagaimana yang hadir dalam kategori sosial adanya tiga atau genderlainnya”

Istilah gender ketiga dan Jenis Kelamin ketiga menggambarkan di Yogyakarta

sendiri menggambarkan individu yang dikategorikan (atas kehendak mereka atau

dengan konstruksi sosial) sebagai tidak laki-laki maupun perempuan, Mereka

berpakaian selayaknya perempuan, memiliki jiwa dan tingkah laku perempuan, tetapi

berjenis kelamin laki-laki. The Third Gender menekankan keinginan dalam

masyarakat akan pleasure8. Waria di Yogyakarta sendiri menganggap seks hanya

sebagai pemenuhan kebutuhan hasrat dan kesenangan diri, selain tuntutan pekerjaan

bagi mereka yang bekerja di dunia malam.

I.7.3. Diskursus Waria sebagai Sebuah Identitas Gender

Kata diskursus telah menjadi satu istilah umum yang digunakan dalam

berbagai disiplin ilmu seperti sosiologi, linguistic, filsafat, psikologi sosial atau kajian

lain. Di Indonesia misalnya, kata discourse dipadankan dengan kata wacana yang

dalam penggunaannya sering disinonimisasikan dengan isu, gagasan atau semacam

harapan.

8 Pleasure sendiri disini penulis merujuk pada pengertian oleh Foucault , yaitu pleasure adalah

kesenangan di luar reproduksi tubuh. Yang dimaksudkan disini adalah seks sebagai hasrat dan

kesenangan diri bukan sebagai sarana pro-kreasi (menghasilkan keturunan).

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

24

What is discourse? Dalam terminology Foucauldian, kunci untuk memahami

diskursus dalam bentuknya yang paling simple yakni; diskursus merupakan cara

menghasilkan pengetahuan beserta praktik sosial yang mengikutinya, bentuk

subyektifitas yang terbentuk darinya, relasi kekuasaan yang ada di balik pengetahuan

dan praktik sosial tersebut, serta saling keterkaitan diantara semua aspek ini

(Foucault, 2002: 9). Dalam The Archaelogy of Knowledge, Foucault menawarkan

rumus efektif untuk memahami diskursus:

“One of the most productive ways of thinking about discourse is not as agroup of signs or a stretch of text, but as ‘practice that systematically form theobjects of which they speak” (Foucault, 1972: 49).

(Cara paling produktif memahami diskursus bukanlah denganmendudukkannya sebagai sekelompok tanda atau satu rentangan teks, akantetapi sebagai praktik yang secara sistematis menyusun obyek pembicaraan)

Diskursus adalah suatu yang mengakibatkan timbulnya sesuatu yang lain (pernyataan,

konsep, atau efek-efek lain), ia bukan sesuatu yang eksis pada dan dalam dirinya

sendiri. Praktik-praktik diskursif/kewacanaan—tempat dihasilkan (diciptakan) dan

dikonsumsinya (diterima dan diinterpresentasikannya) teks—dipandang sebagai

bentuk praktik sosial terpenting yang memberikan kontribusi bagi penyusunan dunia

sosial yang mencakup bangunan-bangunan dan identitas-identitas sosial. Struktur

diskursif dapat terdeteksi karena kesistematisan satu gagasan, opini, konsep atau cara

berfikir dan tindakan dalam kegiatan sehari-hari yang tanpa disadari telah membentuk

suatu diskursus. Wacana bersifat mengisolasi, mendefinisikan, dan memproduksi

obyek pengetahuan.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

25

Diskursus yang diciptakan oleh waria di Yogyakarta terdeteksi oleh konsep-

konsep dan cara berfikir yang telah membentuk menjadi tindakan sehari-hari yang

baik disadari atau tidak telah membentuk suatu identitas gender yang disebut sebagai

diskursus waria itu sendiri dalam kaitannya dalam pembentukan The Third Gender.

Diskursus waria sendiri disini dipahami sebagai identitas gender beserta konstitutif -

konstitutif yang meliputinya. Diskursus waria di Yogyakarta sendiri merupakan

individu yang mempunyai jenis kelamin laki – laki namun memiliki karakteristik

perempuan. Sedangkan konstitutif yang mengikutinya adalah berpenampilan

selayaknya perempuan dan juga mengimitasi hal-hal yang secara konstruktif

dipahami sebagai karakteristik dari perempuan. Selain itu juga, kehidupan sehari-hari

maupun ranah pekerjaan mereka sendiri yang diidentikan dengan para waria tersebut

merupakan salah satu identifikasi bagi diskursus waria di Yogyakarta sendiri, dan

pada akhirnya bermuara pada hadirnya The Third Gender di Yogyakarta.

Kebenaran (Truth), Kuasa (Power), dan Pengetahuan (Knowledge)

Ketika mendiskusikan diskursus sebagai sesuatu yang memiliki efek, penting

untuk memperhatikan faktor-faktor berikut; kebenaran (truth), kuasa (power) dan

pengetahuan (knowledge), elemen-elemen itulah yang memungkinkan sebuah

diskursus memiliki efek. Kebenaran bagi Foucault bukanlah unsur instrinsik dari

sebuah ucapan, bukan pula kualitas ideal-abstrak yang sesungguhanya manusia

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

26

inginkan; dia melihat kebenaran sebagai salah satu hal yang duniawi dan dari sudut

pandang negatif:

“Truth is of the world; it is produced there by virtue of multipleconstraints….Each society has its regime of truth; its ‘general politics’ oftruth; that is the types of discourse it harbours and causes to function astruth: the mechanisms and instanncers which enable one to distinguish truefrom false statements, the way in which each is sanctioned; the techniquesand procedures which are valorized for obtaining truth; the status of thosewho are charged with saying whats counts as true” (Mills, 1999: 18)

(Kebenaran adalah perkara dunia; ia diproduksi melalui serangkaianhambatan….Tiap masyarakat mempunyai rezim kebenaran; mempunyai“politik umum” tentang kebenaran; beragam tipe diskursus menyediakantempat kebenaran: sebuah mekanisme dan alat bukti yang memungkinkanseseorang membedakan statement benar dan salah, cara dimana tiap-tiapsesuatu diperbolehkan; teknik dan prosedur dipersembahkan untukmendapatkan kebenaran; memberi status atas orang yang berhak mengatakanapa yang benar).

Foucault kemudian membuat hubungan antara kebenaran dan kekuasan

dengan menyatakan bahwa “kebenaran” disematkan dalam dan dihasilkan oleh sistem

kekuasaan. Karena kebenaran itu tidak bisa dicapai, akan sia-sia bila menanyakan

apakah sesuatu itu benar atau salah. Kebenaran adalah nilai yang diproduksi sendiri

oleh masyarakat, bukan sesuatu yang alamiah. Semua itu terbentuk dalam suatu

wacana. Dalam diskursus waria sendiri, mereka menganggap bahwa menjadi waria

adalah kodrat dan disanalah tercipta efek kebenaran tersebut. Bahwasanya, ada

perempuan dan laki-laki dan ketika mereka masuk diantara proses dialektis keduanya

mereka dikategorikan sebagai The Third Gender (gender ketiga) karena mereka

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

27

sebagai subyek dan bukan obyek. Perbedaan mereka hanyalah pada orientasi seksual

yang dianggap tidak sesuai pada diskursus Heteronormativ.

Efek kuasa dari The Third Gender sendiri adalah secara tidak langsung

mendisiplinkan individu untuk memgikuti konstitutif-konstitutifnya, dalam hal ini

adalah waria. Baik secara disadari ataupun tidak, ketika individu masuk dalam

diskursus tersebut secara otomatis mendisiplinkan tubuh mereka. Dari mulai

perubahan nama, kata sapaan, gerakan tubuh dan cara berjalan, suara, berdandan dan

berpakaian. Hal tersebut adalah konsep disiplin, dengan demikian karena waria

terdefinisikan sebagai subyek yang tergenderan (gendered), maka kerangka diskursif

tersebut selanjutnya membatasi (demarcate) wilayah diskusi mana yang dapat kita

masuki, serta di dalamnya subyek yang tergenderkan dapat menegosiasikan artinya.

Kerangka diskursif waria tersebut itulah yang menentukan nama, cara berpakaian,

tingkah laku, perubahan tubuh hubungan seksualitas dalam bingkai relasi kuasa.

Bagi Foucault, praktik dan proses diskursus merupakan syarat utama

terbentuknya sistem pengetahuan (bodies of knowledge)9. Foucault melakukan

pergeseran makna atas konsep diskursus yang semula melulu tentang linguistik, kini

mengarahkannya menjadi lebih dekat pada konsep disiplin (the concept of discipline)

seperti yang telah dijelaskan oleh peneliti di atas.

Foucault menyatakan bahwa pengetahuan adalah politik. Ilmu-ilmu manusia

adalah perwujudan kehendak untuk berkuasa, klaim ilmiah dan kebenaran tidak lain

9 McHoul, Alec dan Wendy Grace. 1993. A Foucault Primer: Discourse, Power and The Subject.Melbourne: Melbourne University Press. Hal. 26.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

28

merupakan strategi kuasa. Objektivitas dan netralitas adalah cara lain untuk

memaksakan kehendak akan kekuasaan. Sasaran dari kuasa adalah tubuh dan

kepatuhan. Instrumennya adalah metode pendisiplinan, baik dari disiplin ilmu,

maupun disiplin sebagai kontrol sosial berupa aturan, sistem norma dan regulasi.

Efek dari metode disiplin membuat subjek selalu merasa diawasi, meski pengawasan

tidak dilakukan secara terus-menerus. Subjek dengan otomatis menjadi pengawas

bagi dirinya sendiri. Metode pendisiplinan seperti ini terwujud dalam berbagai

bentuk. Seperti contohnya perubahan nama, perubahan bentuk tubuh dan juga

hubungan seksualitas. Lebih jauh Foucault membahas bahwa semua pengetahuan

yang kita punyai merupakan hasil atau efek dari pertarungan kuasa. Pengetahuan

yang sebagian besar masyarakat Yogyakarta ketahui saat ini adalah diskursus

Heteronormativ dimana waria menjadi kaum yang marjinal dan dikategorikan sebagai

masalah sosial. Hal tersebut juga dilanggengkan dengan institusi pendidikan sehingga

terciptalah efek kebenaran. Disini bukan berarti diskursus Heteronormativ adalah

sebuah kebenaran dan diskursus The Third Gender merupakan hal yang salah,

maupun sebaliknya, karena kebenaran itu tidak bisa dicapai dan akan sia-sia bila

menanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah. Kebenaran adalah nilai yang

diproduksi sendiri oleh masyarakat, bukan sesuatu yang alamiah. Akan tetapi yang

terlihat adalah efek “kebenaran” yang disematkan dalam dan dihasilkan oleh sistem

kekuasaan, sehingga tercipta jugalah efek pengetahuan tersebut.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

29

I.7.4. Performativitas Waria

Identitas seksual tidak hanya didefinisikan sebagai jenis kelamin biologis

tetapi juga gender. Judith Butler memulai penjelasan dengan konsep koherensi

internal dan eksternal diri sebagai penentu identitas yang bersifat normatif. Adanya

keterkaitan antara identitas, seks, dan substansi metafisik (Butler, 1999). Sejauh ini

identitas merupakan media yang digunakan untuk menstabilisasi seks, gender dan

seksualitas yang bersumber dari budaya. Budaya dipandang sebagai jenis kelamin dan

ekspresi atau efek manifestasi seksual. Budaya berperan dalam membangun dan

mengatur bentuk makna seksualitas. Hal ini menyebabkan yang menyebabkan

kegagalan identitas gender menyesuaikan diri dengan norma–norma budaya dianggap

sebagai sebuah ketidaknormalan (Alimi, 2004). Jadi budaya yang dimaksudkan disini

adalah ketika jenis kelaminnya laki-laki dan memiliki penis maka seks dan gendernya

dikatakan normal apabila berhubungan dengan perempuan, begitupula sebaliknya.

Waria dianggap ketidaknormalan, karena jenis kelaminnya laki-laki akan tetapi

memiliki ketertarikan seksualitas dengan laki-laki pula. Hal ini yang dianggap

kegagalan dalam menyesuaikan dengan norma – norma budaya.

Gagasan sentral dalam pemikiran Judith Butler adalah performativitas gender dan

seks. Gender, bahkan seks, bagi Judith Butler merupakan “pertunjukan”, bukan

esensi, atau ekspansi dari seks yang ada pada tubuh. Bagi Butler, gender adalah drag,

yaitu pertunjukan waria untuk menguji dan membuktikan mereka telah menghasilkan

femininitas yang sebenarnya.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

30

Bagi Butler, tidak ada tubuh atau seks diskursif. Tidak ada gender pra-

diskursif. Tidak ada seksualitas diskursif. Semua terbentuk dalam relasi kuasa dan

pengetahuan. Secara khusus, teorinya adalah teori performativitas. Apabila feminisme

memahami bahwa gender adalah manifestasi dan akibat dari seks. Seks merupakan

“esensi” atau “interior core” yang harus dikeluarkan, diaktulisasikan menjadi gender.

Seks juga merupakan sebab dari desire terhadap gender. Inilah yang dimaksud “stable

point of reference” (Alimi, 2011: 4). Maka Butler menganggap tidak ada kaitan

antara keduanya, hal tersebut merupakan kontruksi sosial.

Di dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis terhadap waria di

Yogyakarta, tidak terbukti bahwa gender merupakan aktualisasi dari seks. Waria di

Yogyakarta memiliki alat kelamin laki-laki dan dikategorisasikan sebagai laki-laki,

secara konstruksi hasrat mereka seharusnya adalah kepada perempuan, akan tetapi

senyatanya hasrat mereka kepada laki-laki karena mereka sendiri berjiwa perempuan.

Kata kunci untuk memahami pemikiran Butler ada 3, yaitu (1) Performativitas (2)

Materialisasi, dan (3) Sitasionalitas.

Performativitas

Kata kunci pemikiran Butler berikutnya adalah “performativity”. Artinya apa

yang kita katakan atau lakukan bersifat konstitutif. Bagi Butler, Gender terbentuk

melalui imitasi. Imitasi adalah peniruan, dengan segala atribut dan karakternya. Tidak

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

31

ada gender asli atau primer yang ditiru oleh drag, tetapi gender itu sendiri merupakan

imitasi.

There is no original or primary gender a drag imitates, but gender is a kind of

imitation for which there is no original (Alimi, 2011: 5).

“Tidak ada yang asli atau gender yang utama dari yang diimitasi oleh drag,tetapi gender sendiri adalah imitasi dari sesuatu yang tidak asli.”

Seperti halnya yang telah disebutkan penulis di atas, bahwa laki-laki akan melakukan

sesuai dengan konstitutifnya sesuai dengan konstrusi yang berlaku di masyarakat,

begitupula dengan perempuan. Maka pada waria di Yogyakarta pun seperti itu.

Mereka terbentu dari pengimitasian perempuan. Tindakan dan tingkah laku mereka

pun meniru perempuan. Gender bagi Butler bukan seseorang, tapi adalah sesuatu

yang diilakukan orang. Gender lebih merupakan doing dari pada being (an act… a

“doing” rather than a “being”. Artinya, tidak ada esensi gender dibalik ekspresi

gender; performativitas itulah yang membentuk apa yang dianggap sebagai esensi.

“There is no gender identity behind the expressions of gender; that identity isperformatively constituted by the very “expressions” that are said to be itsresults.”

“Gender is a kind of imitation for which there is no original; in fact, it is akind of imitation that produces the very notion of the original as an effect andconsequence of the imitation itself. “Imitation and Gender Insubordination”in Inside/Out (1991) edited by Diana Fuss10

10 Judith Butler, Imitation and Gender Insubordination” in Inside/Out (edited by Diana Fuss, 1991)

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

32

Oleh karena itu, gender dan seks bukanlah suatu hal yang kodrati atau alamiah,

melainkan adalah atribut, yang terbentuk melalui performance atau performativitas.

Pemapanan gender/seks itu tujuannya adalah untuk mengalamiahkan

heteroseksualitas, dan seksualitas untuk reproduksi.

Materialisasi Seks

Materialisasi bukan dalam pengertian materialis yang berarti mata duitan,

akan tetapi materialisasi disini adalah pembentukan menjadi material, menjadi

daging, menjadi darah, yang tidur, makan dan istirahat. Bagi Butler tubuh—saraf,

darah, kontur dan gerakannya-- termaterialkan oleh performativitas oleh pertunjukan.

Rumus yang dipakai Butler adalah rumus post-strukturalis: “There is no nature, only

the effects of nature: denaturalization or naturalization. Derrida, Donner le temps”.

(Alimi, 2011: 10).

Butler menggunakan konsep “materialisasi” untuk membedakan konsepnya

dengan “konstruksi” sebagaimana dikembangkan Foucault. Konstruksi sosial gender

dan seksualitas Foucault masih belum bisa menjawab materialitas seks, gender dan

seksualitas. Seks menurut Butler “is an ideal construct that is forcibly materialized

through time.”

Performativity cannot be understood outside of a process of iterability, aregularized and constrained repetition of norms. And this repetition is notperformed by a subject; this repetition is what enables a subject andconstitutes the temporal condition for the subject. This iterability implies that‘performance’ is not a singular ‘act’ or event, but a ritualized production, aritual reiterated under and through constraint, under and through the force of

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

33

prohibition and taboo, with the threat of ostracism and even death controllingand compelling the shape of the production, but not, I will insist, determiningit fully in advance (Butler, 1993: 21).

Kendati demikian teori performativitas sering salah dipahami sebagai enactment

gender dan seks sebagai “daily choice” (Butler, 1993: 20). Gender bukan sebagai

daily choice, atau yang dapat berubah-ubah. Pentingnya materialisasi gender dan seks

adalah sebagai sarana pembentukan gender itu sendiri. Pada waria di Yogyakarta,

dari mulai perubahan nama, tingkah laku, suara, perubahan bentuk tubuh, dalam

dalam hubungan seksualitas dilakukan setiap hari, sehingga terbentuk materialisasi

seks dan gender tersebut, sehingga melekat dalam diri mereka sebagai proses dari

pengimitasian mereka terhadap perempuan. Sehingga masyarakat pun terkadang tidak

bisa membedakan mana yang perempuan asli ataupun waria karena pertunjukan

mereka sebagai seorang perempuan tersebut.

Sitasionalitas

Performativitas terletak diluar intensionalitas. Butler menjelaskan dengan

konsep sitasionalitas. Bagi Butler gender dan seks bukanlah sebuah kondisi,

melainkan adalah pertunjukan terus menerus yang bukan hanya membentuk keaslian

jenis kelamin melainkan juga mematerialisasikan jenis kelamin. Seks bukanlah

sebuah fakta simple dan kondisi statis tubuh, melainkan proses dimana norma-norma

pengatur mematerialkan seks dan mencapai materialisasi ini melalui pengulangan

norma itu secara terus menerus dan dipaksakan. Pengulangan-penguulangan ini

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

34

menunjukkan bahwa materialisasi itu tidak pernah tercapai, tubuh juga tidak pernah

berhasil sesuai dengan apa yang diharapkan (Butler 532-3 dalam Alimi, 2011: 12).

Performativitas tidak dipahami sebagai tindakan singular dan sengaja,

melainkan sebagai tindakan terus menerus dan sitasional, melalui mana diskursus

menghasilkan efek yang dinamainya.” “Norma-norma pengatur tentang seks

berfungsi secara performatif untuk membentuk materialitas tubuh, materialialitas

seks, dan mematerialkan perbedaan seksual dalam rangka untuk mengkonsolidasi

ideology imperarif heteroseksual.” Oleh karena itu, apa yang mendefinisikan

kemapanan tubuh, kontur dan gerakannya secara penuh bersifat material, tetapi

materialitas dilihat sebagai efek kuasa, sebagai efek kuasa yang paling produktif.

Materialisasi tubuh tidak bisa dilepaskan dari materialisasi norma-norma pengatur

(regulatory norms). Butler mereformulasikan materialisasi sebagai berikut:

“(1)the recasting of the matter of bodies as the effect of a dynamic of power,such that the matter of bodies will be indissociable from the regulatory normsthat govern their materialization and the signification of those materialeffects; (20 the understanding of performativity not as the act by which asubject brings into being what she/he names, but rather, as that reiterativepower of discourse to produce the phenomena that it regulates and contrains;(4) a rethinking of the process by which a bodily norm is assumed, approlaki-lakited, taken as not, strictly speaking, undergone by a subject, but rather thatthe subject, the speaking “I” is formed by virtue of having gone through sucha process of assuming a sex; and (50 a linking of this process of “assuming”a sex with the question of identitification, and with the discursive means bywhich the heterosexual imperatives enables certain sexed identifications andforcloses and/or disavows other identifications” (Butler, 1993: 21).

Gender tidak bisa diperlakukan seperti pakaian, besok mau memakai yang ini,

besoknya itu, pemilihan berada dalam intensionalitas. Untuk menjelaskan hal ini,

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/76659/potongan/S1-2014... · analisis wacana oleh Moh. Yasir Alimi dengan judul “Dekonstruksi Seksualitas

35

Butler menekankan pentingnya repetisi dalam performativitas. Repetisi ini yang

fungsinya sebagai alat peng-materialisasi gender tersebut. Waria di Jogja pun

melakukan pengimitasian atas apa yang secara konstitutif dilakukan oleh perempuan

pada umumnya. Hal tersebut berlangsung setiap harinya, bukan hanya dilakukan

sesuai kehendak mereka saja. Hal tersebut bertujuan untuk mematerialisasikan gender

dan seks mereka. Prosesnya berlangsung setelah mereka coming out sebagai seorang

waria. Hal tersebut berlangsung lama dan terus berulang-ulang agar dapat sesuai

dengan gambaran perempuan yang mereka inginkan.