bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uir.ac.id/474/1/bab1.pdfindonesia, tujuan negara...

35
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan hukum dan perundang-undangan telah menciptakan sistem hukum dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasan hukum bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Kesadaran hukum yang makin meningkat dan makin lajunya pembangunan menuntut terbentuknya sistem hukum nasional dan produk hukum yang mendukung dan bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu memperhatikan peningkatan kesadaran hukum, peningkatan pelaksanaan penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen, peningkatan aparat hukum yang berkualitas dan bertanggung jawab, serta penyediaan sarana dan prasarana pendukung yang memadai. 1 Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia, “tata perbuatan” mengandung arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan semata, seperti kadang- kadang dikatakan demikian. Hukum adalah seperangkat peraturan yang dipahami dalam satu kesatuan yang sistemik. Tidak mungkin untuk memahami hakikat hukum hanya dengan memperhatikan satu peraturan saja. Hubungan yang mempersatukan berbagai peraturan khusus dari suatu tata hukum perlu dimaknai agar hakikat dapat dipahami. Hanya atas dasar pemahaman yang jelas tentang 1 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 2000, hlm. 10.

Upload: trankhanh

Post on 22-Jun-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan hukum dan perundang-undangan telah menciptakan sistem

hukum dan produk hukum yang mengayomi dan memberikan landasan hukum

bagi kegiatan masyarakat dan pembangunan. Kesadaran hukum yang makin

meningkat dan makin lajunya pembangunan menuntut terbentuknya sistem hukum

nasional dan produk hukum yang mendukung dan bersumber pada Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945. Pembangunan hukum selanjutnya masih perlu

memperhatikan peningkatan kesadaran hukum, peningkatan pelaksanaan

penegakan hukum secara konsisten dan konsekuen, peningkatan aparat hukum

yang berkualitas dan bertanggung jawab, serta penyediaan sarana dan prasarana

pendukung yang memadai.1

Hukum adalah suatu tata perbuatan manusia, “tata perbuatan” mengandung

arti suatu sistem aturan. Hukum bukan satu peraturan semata, seperti kadang-

kadang dikatakan demikian. Hukum adalah seperangkat peraturan yang dipahami

dalam satu kesatuan yang sistemik. Tidak mungkin untuk memahami hakikat

hukum hanya dengan memperhatikan satu peraturan saja. Hubungan yang

mempersatukan berbagai peraturan khusus dari suatu tata hukum perlu dimaknai

agar hakikat dapat dipahami. Hanya atas dasar pemahaman yang jelas tentang

1 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung, 2000, hlm. 10.

2

hubungan-hubungan yang membentuk tata hukum tersebut bahwa hakikat hukum

dapat dipahami dengan sempurna.2

Negara adalah suatu organisasi yang memiliki tujuan. Pada konteks negara

Indonesia, tujuan negara tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945,

yang mengidentifikasikan bahwa Indonesia merupakan negara hukum yang

menganut konsep welfare state (negara kesejahteraan). Sebagai negara hukum

yang mewujudkan kesejahteraan umum, setiap kegiatan di samping harus di

orientasikan pada tujuan yang hendak di capai juga harus berdasarkan dengan

hukum yang berlaku sebagai aturan kegiatan kenegaraan, pemerintahan, dan

kemasyarakatan.3

Pasal 1 ayat (3) Bab I, Amandemen Ketiga Undang-Undang Dasar 1945,

menegaskan bahwa ‘Negara Indonesia adalah Negara Hukum’. Artinya bahwa

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum

(rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat), dan

pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), bukan absolutisme

(kekuasaan yang tidak terbatas). Uraian yang terdapat pada penjelasan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia, mengandung makna bahwa di dalam

Negara Republik Indonesia penyelenggaraan negara tidak boleh dilakukan

berdasarkan atas kekuasaan semata. Penyebutan negara Indonesia berdasar atas

hukum, mengandung pengertian di antaranya hukum harus dapat menampilkan

wibawanya, pertama sebagai sarana untuk mendatangkan ketertiban dan

2 Hans Kelsen, Teori Umum Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai

Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 3. 3 Juniarso & Ahmad Sodik, Hukum Administrasi Negara & Kebilakan Pelayanan Publik, Nuansa,

Bandung, 2009, hlm. 11

3

kesejahteraan dalam rangka membangun manusia Indonesia seutuhnya dengan

keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara kemajuan lahiriah dan kepuasan

batiniah, dan kedua sebagai sarana untuk membangun masyarakat Indonesia

seluruhnya yang berkeadilan.

Untuk mencapai tujuan tersebut dalam melaksanakan tugas pemerintahan

dan pembangunan senantiasa suatu negara memerlukan beberapa unsur

pendukung, salah satunya adalah tersedianya sumber penerimaan yang memadai

dan dapat diandalkan. Sumber-sumber penerimaan ini sangat penting untuk

menjalankan kegiatan dari masing-masing tingkat pemerintahan, karena tanpa

adanya penerimaan yang cukup maka program-program pemerintah tidak akan

berjalan secara maksimal. Semakin luas wilayah, semakin besar jumlah penduduk,

semakin kompleks kebutuhan masyarakat maka akan semakin besar dana yang

diperlukan untuk membiayai kegiatan pemerintahan dan pembangunan.

Tanah merupakan karunia Tuhan yang Maha Esa dipergunakan dan

dimanfaatkan menurut hak serta kewajiban yang berimbang, antara lain untuk

memenuhi baik bagi kebutuhan pribadi maupun kebutuhan masyarakat. Realisasi

pemenuhan kebutuhan akan tanah itu menurut hukum ditata dalam rangka

hubungan yang serasi dan seimbang antara hak dan kewajiban. Tujuannya agar

terjamin pergaulan hidup yang tertib, aman dan damai serta kehidupan yang

berkeadilan sosial. Eratnya hubungan antara manusia dengan tanah dilihat dari

hubungan antar pribadi, pribadi dengan masyarakat, perorangan dengan badan

4

hukum, tercermin dalam fungsi hak milik atas tanah ditentukan oleh tata susunan

masyarakatnya.4

Tanah merupakan kebutuhan dasar manusia. Sejak lahir sampai meninggal

dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat hidupnya. secara kosmologis,

tanah adalah tempat manusia tinggal. Tempat dari mana mereka berasal, dan akan

kemana mereka pergi. Dalam hal ini tanah mempunyai dimensi ekonomi, sosial,

kultural dan politik.5

Kepemilikan tanah merupakan sebuah hak asasi manusia yang dilindungi

oleh hukum internasional dan hukum nasional. Dalam hukum internasional,

perlindungan hukum hak milik diatur dalam deklarasi umum Hak Asasi Manusia

Pasal 17 ayat 1, Pasal 17 ayat 2, Pasal 25 ayat 1, dan Pasal 30. Dalam Hukum

Nasional hak milik ini diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28

H ayat (4), dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi

Manusia. Terkait kepemilikan atas tanah, Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1960

tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga menyatakan dengan tegas

tentang hak individu kepemilikan hak atas tanah.6 Ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

memuat perlindungan hukum terhadap rakyat atas tanah, wewenang penggunaan

tanah oleh negara, dan meningkatkan taraf hidup rakyat dalam bidang sosial

4 Eddy Pranjoto WS, Antinomi Norma Hukum Pembatalan Pemberian Hak Atas Tanah Oleh

Peradilan tata Usaha Negara dan Badan Pertanahan Nasional, CV. Utomo, Bandung, 2008, hlm.

1 5 Benhard Limbong, Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2015,

hlm.1. 6 Ibid., hlm.2

5

ekonomi yang berkaitan dengan tanah, yang keseluruhanya semata-mata ditujukan

untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila.7

Pada awal berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria tanah hanya digunakan untuk kepentingan

pertanian, tempat tinggal, dan kepentingan lainnya yang terbatas, maka saat ini

tanah dipergunakan juga untuk kepentingan industri dan perdagangan. Selain itu,

tanah tidak lagi berdimensi sosial budaya, akan tetapi mempunyai dimensi

ekonomi, politik, pertanahan dan keamanan.8

Kebijakan pertanahan di Indonesia berdasarkan pada Pasal 2 ayat (1)

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok

Agraria yang berbunyi:

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang Dasar dan

hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa,

termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan

tertinggi dikuasai oleh negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

Wewenang Negara diantaranya menurut Pasal 2 ayat (2) adalah sebagai

berikut:

a. Mengatur dan menyelenggarakan perantukan, penggunaan, penyediaan dan

pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;

b. Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan

bumi, air dan ruang angkasa;

c. Mengatur hubungan hukum antara orang dengan perbuatan hukum yang

mengenai bumi, air dan ruang angkasa;

7 Muchsin, Imam Koeswahyono, Soimin, Hukum Agraria Indonesia, Refika Aditama, Bandung,

2010, hlm. 3 8 Ibid.,

6

Dengan demikian negara sebagai organisasi kekuasan "mengatur" sehingga

membuat peraturan, kemudian "menyelenggarakan" artinya melaksanakan

(execution) atas penggunaan/peruntukan (use), persediaan (reservation) dan

pemeliharaannya (maintenance) dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya. juga untuk menentukan dan mengatur (menetapkan

dan membuat peraturan-peraturan) hak apa saja yang dapat dikembangkan dari

Hak menguasai dari negara tersebut.9

Di dalam Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang

Agraria Pasal 20 ayat (1) menyatakan: hak milik adalah turun-menurun, terkuat

dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan, mengingat ketentuan

dalam Pasal 6.10

Bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. 11

Mengacu dari isi Pasal 20 ayat (1) dengan sendirinya kepemilikan tanah oleh

orang-perorangan atau individu mempunyai fungsi sosial. Tanah sebagai faktor

produksi yang utama dalam masyarakat Indonesia, haruslah diletakkan dibawah

kekuasaan Negara. Tanah tidak boleh menjadi alat kekuasaan untuk menindas dan

memeras hidup orang lain.12

Untuk itu di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga mengatur Fungsi Sosial

atas tanah. Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang

tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak

dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu

9 A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Mandar Maju, Bandung,

2008, hlm. 45 10

Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria 11

Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Agraria 12

Umar Said Sugiharto, Suratman, Noorhudha Muchsin, Hukum Pengadaan Tanah, Setara Press,

Malang, 2015, hlm. 12

7

menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan

keadaannya dan sifatnya daripada haknya, hingga bermanfaat baik bagi

kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula

bagi masyarakat dan Negara.

Tanah merupakan bagian permukaan bumi yang merupakan satuan bidang

yang memiliki batas tertentu. Diatas bidang tanah tersebut terdapat hak atas tanah

baik yang dimilik secara perorangan maupun oleh badan hukum. Pasal 16 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok

Agraria mengatur tentang hak atas tanah. Konsep hak-hak atas tanah yang

terdapat dalam hukum agraria nasional membagi hak-hak atas tanah dalam dua

bentuk:

1. Hak-hak atas tanah yang bersifat primer yaitu hak-hak atas tanah yang dapat

dimiliki atau dikuasai secara langsung oleh seorang atau badan hukum yang

mempunyai waktu lama dan dapat dipindahtangankan kepada orang lain

atau ahli warisnya seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak

Guna Bangunan (HGB), Hak Pakai (HP).

2. Hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder yaitu hak-hak atas tanah yang

bersifat sementara seperti hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang,

dan hak menyewa atas tanah pertanian.13

Dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang

semula berciri populis ke arah kebijakan yang cenderung prokapital yang terjadi

karena pilihan orientasi ke arah kebijakan ekonomi yang pada suatu saat lebih

13

http://www.kompasiana.com/melianawaty/hak-milik-atas-tanah-oleh-

melianawaty_5500006ea333117b6f50f8f1, diakses pada tanggal 1 Mei 2016.

8

cenderung menekankan pada pemerataan dan kemudian bergeser ke arah

pertumbuhan ekonomi, terutama sejak tahun 1970-an.14

Pada awal berlakunya

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

sudah mulai terasa adanya gejala ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah.

Perbandingan antara ketersediaan tanah sebagai sumber daya alam yang langka di

satu sisi, dan pertambahan jumlah penduduk dengan berbagai pemenuhan

kebutuhannya akan tanah di sisi lain, tidak mudah dicari titik temunya. Dengan

perkataan lain akses untuk memperoleh dan memanfaatkan tanah untuk

memenuhi kebutuhan dasar manusia itu belum dapat dinikmati oleh setiap orang

disebabkan antara lain karena perbedaan modal dan akses politik.

Ketimpangan dalam kesempatan (akses) untuk memperoleh dan

memanfaatkan tanah itu merupakan dampak dari kebijakan makro ekonomi yang

menekankan pada pertumbuhan ekonomi dan kegiatan pembangunan

infrastruktur, pariwisata, industri, perumahan, dan lain-lain, kebijakan hukum

pertanahan yang semakin adaptif terhadap mekanisme pasar, dapat dipahami

dalam konteks ideologi neoliberalisme, yang mendorong pemerintah menerapkan

kebijakan yang memberikan peluang pada pasar bebas, untuk membuat keputusan

sosial dan kebijakan yang penting dengan demikian perannegara menjadi

berkurang dan akibatnya perlindungan bagi kelompok secara sosial-ekonomi

lemah menjadi terabaikan.15

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria berusaha meminimalkan ketimpangan dalam akses perolehan dan

14

Maria S.W. Sumardjono, Tanah Dalam perspektif Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Buku

Kompas, Jakarta, 2009, hlm, 4 15

Widhi Handoko, Kebijakan Hukum Pertanahan, Thafa Media, Yogyakarta, 2014, hlm. 92

9

pemanfaatan tanah itu dengan memuat ketentuan tentang pembatasan pemilikan

dan penguasaan tanah. Hal ini diatur dalam Pasal 7 yang menyatakan bahwa

untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah

yang melampaui batas tidak diperkenankan. Sedangkan pada Pasal 17

menjelaskan mengenai pembatasan maksimum kepemilikan tanah dengan sesuatu

hak yang terdapat pada Pasal 16 akan ditentukan dengan peraturan perundangan,

tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum maka akan diambil

oleh pemerintah dengan ganti kerugian kemudian dibagikan kepada rakyat yang

membutuhkan menurut ketentuan dalam peraturan pemerintah.

Sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan Pasal 17 Undang-Undang No 5 Tahun

1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria telah diundangkan undang-

Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan luas tanah pertanian.

Undang-undang ini memuat mengenai batas yang diperbolehkan untuk dikuasai

dalam suatu keluarga, tanah pertanian yang dapat dikuasai dengan klasifikasi

daerah kurang padat, cukup padat dan sangat padat. Undang-undang ini juga

mengklasifikasikan jenis tanah yaitu tanah sawah dan tanah kering yang masing-

masing luasnya ditentukan oleh daerah dan jenis tanahnya. Sanksi dapat diberikan

apabila seseorang memiliki tanah pertanian yang melampaui batas maksimal, hal

ini diatur dalam Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun

1960.

Disamping pembatasan pemilikan dan penguasaan tanah pertanian, dalam

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 disebutkan bahwa

maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan lainnya,

10

serta pelaksanaan selanjutnya dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang ini diatur dengan Peraturan Pemerintah. Amanat Pasal 12 Undang-

Undang Nomor 56 Prp tahun 1960 berkenaan dengan pembatasan maksimum luas

dan jumlah tanah untuk bangunan yang dapat diperoleh orang perorangan belum

berhasil dirumuskan hinga saat ini.

Dengan hadirnya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998

telah membatasi batas penguasahaan dan kepemilikan atas tanah perorangan,

namun atas hal tersebut masih dikesampingkan, dimana seperti yang terjadi di

Kota Pekanbaru masih banyak yang memiliki tanah lebih dari lima bidang yaitu

sebagai berikut:

No Inisial nama Jumlah Bidang

1 AS 7

2 I 6

3 MH 8

4 S 6

5 RI 6

Sumber: Kantor Badan Pertanahan Kota Pekanbaru, 2007

Dari latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang masalah “Implementasi Batas Penguasaan Dan Kepemilikan Atas

Tanah Perorangan Non Pertanian Dalam Perspektif Fungsi Sosial

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998

Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal”.

11

B. Masalah Pokok

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka masalah

pokok yang diteliti adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah Implementasi Batas Penguasaan Dan Kepemilikan Atas

Tanah Perorangan Non Pertanian Dalam Perspektif Fungsi Sosial

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998

Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal?

2. Bagaimanakah Pengawasan Yang Dilakukan Oleh Kantor Pertanahan Kota

Pekanbaru Terhadap Penguasahaan Dan Kepemilikan Hak Atas Tanah

Dalam Perspektif Fungsi Sosial?

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sehubungan dengan permasalahan tersebut di atas, maka penulis

menetapkan suatu tujuan penelitian yaitu:

a. Untuk Mengetahui Implementasi Batas Penguasaan Dan Kepemilikan Atas

Tanah Perorangan Non Pertanian Dalam Perspektif Fungsi Sosial

Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998

Tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.

b. Untuk Mengetahui Pengawasan Yang Dilakukan Oleh Kantor Pertanahan

Kota Pekanbaru Terhadap Penguasahaan Dan Kepemilikan Hak Atas Tanah

Dalam Perspektif Fungsi Sosial.

12

2. Kegunaan Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat membawa manfaat baik pada tataran teoritis

maupun pada hal praktis selain itu bisa melihat manfaatnya antara lain.

a. Manfaat Teoritis.

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa

sumbangan saran dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk

melahirkan berbagai konsep keilmuan yang ada pada gilirannya dapat

memberikan andil bagi perkembangan ilmu hokum khususnya hokum

agrarian.

2. Memberikan masukan kepada instansi terkait untuk melakukan evaluasi

mengenai hal-hal penguasahaan dan kepemilikan hak atas tanah dalam

perspektif fungsi sosial.

b. Manfaat Praktis.

Manfaat praktis penelitian ini diharapkan dapat mengungkapkan berbagai

permasalahan dan kendala yang timbul dalam penguasaan dan kepemilikan

hak atas tanah.

D. Kerangka Teori.

1. Teori Negara Kesejahteraan

Negara kesejahteraan adalah konsep pemerintahan ketika negara mengambil

peran penting dalam perlindungan dan pengutamaan kesejahteraan ekonomi dan

sosial warga negaranya. Konsep ini didasarkan pada prinsip kesetaraan

kesempatan, distribusi kekayaan yang setara, dan tanggung jawab masyarakat

13

kepada orang-orang yang tidak mampu memenuhi persyaratan minimal untuk

menjalani kehidupan yang layak. Istilah ini secara umum bisa mencakup berbagai

macam organisasi ekonomi dan sosial.

Secara sederhana negara kesejahteraan (welfare state) adalah negara yang

menganut sistem ketatanegaraan yang menitik beratkan pada mementingkan

kesejahteraan warganegaranya. Tujuan dari negara kesejahteraan bukan untuk

menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil

kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan

dalam masyarakat.16

Negara kesejahteraan adalah suatu bentuk pemerintahan demokratis yang

menegaskan bahwa negara bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyat yang

minimal, bahwa pemerintah harus mengatur pembagian kekayaan negara agar

tidak ada rakyat yang kelaparan, tidak ada rakyat yang menemui ajalnya karena

tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Dapat dikatakan bahwa negara

kesejahteraan mengandung unsur sosialisme, mementingkan kesejahteraan di

bidang politik maupun di bidang ekonomi. Dapat juga dikatakan bahwa negara

kesejahteraan mengandung asas kebebasan (liberty), asas kesetaraan hak

(equality) maupun asas persahabatan (fraternity) atau kebersamaan (mutuality).

Asas persahabatan atau kebersarnaan dapat disamakan dengan asas kekeluargaan

atau gotong royong.

Pada hakikatnya, negara yang menganut paham kesejahteraan modern

(welfare state modern), juga merupakan negara hukum modern atau negara

16

http://hadiwahono.blogspot.com/2013/06/negara-kesejahteraan.html diakses pada tanggal 20

Mei 2016.

14

hukum dalam arti materil yang selanjutnya dikenal dengan negara kesejahteraan

modern. Konsep negara kesejahteraan ini lahir sebgai reaksi terhadap gagalnya

konsep negara hukum liberal dalam mewujudkan kesejahteraan warganya. Ajaran

negara hukum liberal berpandangan bahwa fungsi negara harus dibatasi secara

minimal, sehingga kebebasan penguasa untuk melakukan tindakan sewenang-

wenang.

Konsep negara kesejahteraan, selain mengharuskan setiap tindakan negara

berdasarkan hukum, juga negara diberikan tugas dan tanggung jawab untuk

mensejahterakan masyarakat. Ciri-ciri negara kejahteraan adalah sebagai berikut:

1. Dalam Negara Kesejahteraan yang diutamakan adalah terjaminnya hak-hak

asasi sosial ekonomi rakyat.

2. Pertimbangan-pertimbangan efisiensi dan manajemen lebih diutamakan

daripada pembagian kekuasaan yang berorientasi politis, sehingga peranan

eksekutif lebih besar daripada legislatif.

3. Hak milik tidak bersifat mutlak

4. Negara tidak hanya menjaga ketertiban dan keamanan atau sekedar

penjagaan malam, melainkan negara turut serta dalam usaha-usaha sosial

dan ekonomi.

5. Kaidah-kaidah hukum administrasi semakin banyak mengatur sosial,

ekonomi dan membebankan kewajiban tertentu kepada warga negara.

6. Peranan hukum publik condong mendesak hukum privat, sebagai

konsekuensi semakin luasnya peranan negara.

15

7. Lebih bersifat negara hukum materil yang mengutamakan keadilan yang

materil pula.

Konsep hukum negara kesejahteraan dalam perkembangannya dibedakan

antara negara kesejahteraan terdiferensiasi (diferensiated welfare state) biasanya

disebut sebagai negara kesejahteraan (welfare state) saja dan negara kesejahteraan

yang terintegritasi (integrated welfare state) dengan negara koorporatis

(coorporatist welfare state) sebagai pengembangan yang pertama. Konsep negara

kesejahteraan yang terdiferensiasi di dominasi oleh negara-negara yang menganut

sistem ekonomi pasar bebas dan sistem politik plural. Dalam konteks ini,

kelompok-kelompok kepentingan bersaing satu sama lain dalam berjuang

mempengaruhi keputusan politik. Usaha kesejahteraan sosial dipisahkan dari

ekonomi, dan usaha kesejahteraan sosial yang dilakukan negara tersebut menjadi

bidang yang otonom. Sebaliknya konsep negara kesejahteraan yang terintegrasi,

di dominasi oleh negara dengan sistem politik dan ekonomi yang disebut

koorporatisme. Dalam negara koorporasi, pemerintah bekerja sama dengan

komunitas bisnis dan serikat pekerja dalam mengatur ekonomi dan

mengintergrasikan kesejahteraan sosial ke dalam kebijakan ekonomi sosial yang

menyeluruh. Idealnya Indonesia masuk ke dalam katagori negara kesejahteraan

yang kooporasi, karena didasarkan pada tujuan negara yang terdapat pada Alinea

IV pembukaan UUD 1945 yang menekankan pada tanggung jawab negara

terhadap kesejahteraan rakyat.

16

b. Teori Negara Hukum

Teori Negara hukum sebenarnya secara historis muncul pada abad ke-19,

Namun sejak abad ke-17 gagasan, cita-cita atau pemikiran mengenai negara

hukum di dunia barat telah mendahului keberadaan negara hukum itu sendiri.

Gagasan tesebut mendapat dorongan yang kuat akibat renaissance dan reformasi

sebagai reaksi atas kekuasaan raja yang absolut (absolutisme). Pencetus teori

murni tentang hukum atau ajaran murni tentang hukum (The pure theory of law),

Hans Kelsen mengakui bahwa hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politis,

sosiologis, filosofis, dan sebagainya. Teori Kelsen merupakan normwissenschaff,

yang hanya mau melihat hukum sebagai kaidah yang dijadikan objek ilmu hukum.

Dalam kepustakaan, ditemukan lima konsep negara hukum yaitu:

1. Nomokrasi Islam (menurut Alquran dan Sunnah)

2. Rechtsstaat

3. The rule of law

4. Socialist legality

5. Negara Hukum Pancasila.17

Ciri sebuah negara hukum (rechsstaat) antara lain adalah adanya

perlindungan terhadap hak asasi manusia, adanya pemisahan atau pembagian

kekuasaan, pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

(wertmatigheid Van Bestuur), dan peradilan administrasi dalam perselisihan. The

rule of law, menurut A.V. Dicey memiliki beberapa arti yaitu:

17

Benhard Limbong, Op.Cit. hlm. 18

17

1. Supremacy of law (supremasi hukum yang meniadakan kesewenang-

wenangan, artinya seseorang hanya boleh dihukum juga melanggar hukum).

2. Equality before the law (kedudukan yang sama di depan hukum bagi rakyat

biasa maupun bukan jika melanggar hukum).

3. The Constitution based of individual right (terbentuknya hak-hak manusia

oleh undang-undang dan keputusan-keputusan pengadilan).18

Keputusan dalam pertemuan para ahli hukum di bangkok tahun 1965 yang

diselenggarakan oleh International Commission of Jurists memperluas makna

atau syarat rule of law sebagai berikut:

1. Adanya perlindungan Konstitusional.

2. Adanya kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

3. Pemilihan umum yang bebas.

4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.

5. Kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi dan beroperasi

6. Pendidikan warga negara (civil education).19

Indonesia Negara yang berlandaskan pada hukum atau disebut Negara

hukum20

. Negara Hukum dimana hakekatnya hukum dituntut lebih tinggi dari

kekuasaan, Negara harus melaksanakan roda pemerintahan berdasarkan aturan

yang dibuat. Negara hukum atau the rule of law yang hendak diperjuangkan di

negeri ini ialah suatu Negara hukum dalam artian materil (the rule of just law)

bertujuan untuk menyelengarakan kesejahteraan umum jasmaniah dan rohaniah,

18

Ibid. hlm. 19 19

Ibid. 20

Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Negara Indonesia Adalah Negara

Hukum”.

18

berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang benar dan adil, sehingga hak-hak dasar

warga Negara betul-betul dihormati (to respect), dilindungi (to protect) dan

terpenuhi (to fulfil).21

Secara sederhana pengertian negara hukum adalah negara yang

penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Konsep

Negara Hukum menurut Aristoteles adalah negara yang berdiri diatas hukum yang

menjamin keadilan kepada warga negaranya. Ada beberapa tipe negara hukum,

yaitu: negara polisi, negara hukum liberal, negara hukum formal, dan negara

hukum material. Tiap tipe negara memiliki kelemahan dan kekurangan yang

berbeda-beda. Negara hukum polisi memiliki kekurangan dengan bentuk

pemerintahan yang monarki absolute sehingga raja dan rakyat memiliki

kekuasaan yang tidak seimbang. Negara polisi sudah tidak ada pada zaman

sekarang. Negara hukum liberal memiliki kekurangan yaitu adanya asas ekonomi

persaingan bebas yang lebih menguntungkan pihak yang kuat. Hal ini dikarenakan

negara bersifat pasif, semua diserahkan kepada swasta sehingga yang kaya makin

kaya dan yang miskin makin miskin. Negara hukum formal memiliki kekurangan

yaitu pemerintahan menjadi kaku karena semua harus berdasarkan undang-

undang. Reaksi dari bentuk negara hukum formal ini membentuk negara hukum

materiil yang merupakan kelanjutan dari negara hukum itu sendiri. Ada satu

kelebihannya, yaitu penguasa diperbolehkan bertindak menyimpang dari undang-

undang dalam hal mendesak demi kepentingan warga negara (asas opportunitas)

21

Hariono, dkk, Membangun Negara Hukum Yang Bermartabat, Setara Press, Malang, 2013, hlm.

5

19

sehingga pemerintahan menjadi luwes dan fleksibel. Kekuranannya yaitu resiko

dari pemerintahan yang luwes dan fleksibel.

Sedangkan kiblat negara hukum sendiri ada dua, yaitu: rechstaats dan rule

of law. Reechstaat (eropa continental) memiliki 4 konsep menurut Stahl. Pertama,

pengakuan dan perlindungan HAM. Kedua, negara berdasar trias politika. Ketiga,

pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Keempat, peradilan

administrasi negara dalam perselisihan. Sedangkan rule of the law (Anglo Saxon)

menurut A.V.Dicey memiliki tiga konsep, yaitu: supremacy of the law, equality

before the law, dan human rights. Perbedaan keduanya adalah adanya peradilan

administrasi dalam rechtstaats sedangkan di rule of law tidak ada. Adanya

equality before the law dalam rule of law sedangkan di rechstaats tidak ada.22

Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie menegaskan bahwa negara hukum yang

bertopang pada sistem demokrasi pada pokoknya mengidealkan suatu mekanisme

bahwa negara hukum itu haruslah demokratis, dan negara demokrasi itu haruslah

didasarkan atas hukum. Menurutnya, dalam perspektif yang bersifat horizontal

gagasan demokrasi yang berdasarkan atas hukum (constitutional democracy)

mengandung 4 (empat) prinsip pokok, yaitu:

1) Adanya jaminan persamaan dan kesetaraan dalam kehidupan bersama;

2) Pengakuan dan penghormatan terhadap perbedaan atau pluralitas;

3) Adanya aturan yang mengikat dan dijadikan sumber rujukan bersama; dan

4) Adanya mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan mekanisme aturan

yang ditaati bersama dalam konteks kehidupan bernegara, dimana terkait

22

http://wiwitna.blogspot.com/2013/03/konsep-negara-hukum-dan-ham.html, diakses pada tanggal

25 Mei 2016.

20

pula dimensi-dimensi kekuasaan yang bersifat vertikal antar institusi

negara dengan warga negara. 23

Teori keadilan dikembangkan oleh Plato, Hans Kelsen, H.L.a Hart, Jhon

Stuart Mill dan jhon Rawls. Plato mengemukakan tentang esensi keadilan yang

dikaitkan deangan kemanfaatan. la mengemukakan bahwa keadilan mempunyai

hubungan yang baik dan adil ditentukan oleh pernyataan bahwa yang belakangan

menjadi bermanfaat dan berguna hanya apabila sebelumnya dimanfaatkan ; yang

menyatakan bahwa gagasan tentang keadilan menghasilkan satu-satunya nilai dari

gagasan kebaikan. Konsep keadilan yang dikemukakan plato erat kaitannya

dengan kemanfaatan. Sesuatu yang bermanfaat apabila sesuai dengan kebaikan.

Jhon Stuart Mill menyajikan tentang teori keadilan. la mengemukakan

bahwa tidak ada teori keadilan yang bisa dipisahkan dari tuntutan kemanfaatan.

Keadilan adalah istilah yang diberikan kepada aturan-aturan yang melindungi

klaim-klaim yang dianggap esensial bagi kesejahteraan masyarakat, klaim-klaim

untuk memegang janji diperlakukan dengan setara, dan sebagainya.

Hans kelsen menyajikan esensi keadilan adalah sebuah kualitas yang

mungkin, tetapi bukan harus dari sebuah tatanan sosial yang menuntun terciptanya

hubungan timbal balik diantara sesama manusia. Baru setelah itu ia merupakan

sebuah bentuk kebaikan manusia, karena memang manusia itu adil bilamana

perilakunya sesuai dengan norma-norma tatanan sosial yang seharusnya memang

adil. Maksud tatanan sosial yang adil adalah bahwa peraturan itu menuntun

perilaku manusia dalam menciptakan kondisi yang memuaskan bagi semua

23

Muntoha, Demokrasi Dan Negara Hukum, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia Yogyakarta No. 3 Vol. 16 Juli 2009, hlm. 387-388

21

manusia dengan kata lain bahwa supaya semua orang bisa merasa bahagia dalam

peraturan tersebut.

John Rawls menyajikan tentang konsep keadilan sosial merupakan prinsip

kebijaksanaan rasional yang diterapkan pada konsep kesejahteraan agregratif

(hasil pengumpulan kelompok). Subjek utama keadilan sosial adalah struktur

masyarakat, atau lebih tepatnya cara-cara lembaga-lembaga sosial utama

mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian

keurungan dari keija sarna sosial. Program penegakan keadialn yang berdimensi

kerakyatan harus memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu memberi hak dan

kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan

yang sama bagi setiap orang dan mampu mengatur kembali kesenjangan sosial

ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberikan keuntungan yang bersifat

timbal balik bagi setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok

beruntung.24

c. Hak Penguasaan Tanah

Pengertian tanah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:

1. Permukaan bumi atau bumi yang diatas sekali

2. Keadaan bumi di suatu tempat, permukaan bumi yang diberi batas.

3. Permukaan bumi yang terbatas yang ditempati suatu bangsa yang diperintah

suatu negara atau menjadi daerah negara.25

24

Salim HS, Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori hukum pada Penelitian Desertasi dan

Tesis Buku Kedua, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2014, hml. 31 25

Departemen Pendidikan dan Kebudayan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, 1991, hml 1001

22

Dalam Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria mendefenisikan tanah

sebagai berikut" Atas dasar hak menguasai dari negara sebagai yang dimaksud

dalam Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang

disebut tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik

sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.

Dengan demikian jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah

permukaan bumi (Ayat 1) sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian

tertentu permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang

dan lebar.26

Pengertian penguasaan dan menguasai atas tanah dapat dipakai dalam arti

fisik juga dalam arti yuridis. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi

oleh hukum dan umumnya memberikan kewenangan kepada pemegang hak untuk

menguasai secara fisik tanah yang di haki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis

yang biarpun memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang di haki

secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisiknya dilakukan oleh pihak lain.27

Hak Penguasaan atas tanah dalam UUPA diatur dan sekaligus ditetapkan

tata jenjang atau hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah

nasional yaitu :

1. Hak Bangsa Indonesia yang disebut dalam Pasal 1, sebagai hak menguasai

atas bangsa yang tertinggi, beraspek perdata dan public.

2. Hak Menguasai dari Negara yang disebut dalam Pasal 2, semata-mata

beraspek public.

26

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Universitas Trisakti, Jakarta, 2013, hlm. 18 27

Ibid, hlm. 24

23

3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat yang disebut dalam Pasal 3 Beraspek

perdata dan Publik.

4. Hak-hak perorangan/individual semuanya beraspek perdata, terdiri atas :

a. Hak-hak atas tanah sebagai hak individual yang semuanya secara

langsung ataupun tidak langsung bersumber pada hak bangsa, yang

disebut dalam Pasal 16 dan 53

b. Wakaf, yaitu hak milik yang sudah diwakafkan dalam Pasal 25, 33, 39,

dan 51

c. Hak jaminan atas tanah yang disebut hak tanggungan dalam Pasal 25,

33, 39, dan 51.

Hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi yang

terbatas, berdasar dari UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 telah memberikan landasan

bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai

oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kekuasaan Negara yang ada didalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pokok

Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 adalah untuk mengatur pengelolaan fungsi

bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan yang terkandung didalamnya. Pada

Pasal 4 ayat (1) UUPA menentukan adanya macam-macam hak atas tanah yang

dapat diberikan pada orang baik sendiri atau bersama atau badan hukum, atas

dasar Pasal 2 jo Pasal 4 ayat (1) UUPA Negara mengatur adanya bermacam-

24

macam hak-hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (l).28

Pasal 16 ayat (1) UUPA

menyebutkan bahwa hak-hak atas tanah adalah :

a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan

d. Hak Pakai

e. Hak Sewa

f. Hak Membuka Tanah

g. Hak Menguasai Hasil Hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan

ditetapkan dengan Undang-Undang serta hak-hak yang sifatnya sementara

sebagaimana yang disebut dalam Pasal 53 UUPA.

Dalam konsep Undang-Undang Pokok Agraria, tanah di seluruh wilayah

Indonesia bukanlah milik Negara Republik Indonesia, melainkan adalah hak milik

seluruh Bangsa Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (2) UUPA

bahwa seluruh bumi, air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia

Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan

merupakan kekayaan nasional.

Atas dasar hak menguasai dari Negara itu, ditentukan adanya macam-

macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan

kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama

dengan orang-orang lain serta badan hukum (Pasal 4 ayat (1) UUPA). Selanjutnya

dalam Pasal 4 ayat 2 UUPA menyebutkan bahwa hak atas tanah memberikan

wewenang kepada yang berhak untuk menggunakan atau mengambil manfaat dari

tanah yang dihakinya.

28

Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Alumni,

Bandung, 1993, hlm. 5

25

Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan

atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang

dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib, atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan

isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembedaan

diantara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.29

Subjek hak menguasai dari negara adalah Negara Republik Indonesia

sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia. Hak menguasai dari

negara meliputi semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia naik tanah-tanah

yang tidak atau belum maupun sudah dihaki dengan hak-hak perorangan. Menurut

UUPA, tanah-tanah di Indonesia sejah tahun 1960 dibedakan atas tanah negara

dan tanah hak. Tanah negara maksudnya adalah tanah-tanah yang diatasnya belum

diletakkan dengan sesuatu hak perseorangan hingga negara memiliki kekuasaan

yang bersifat langsung atas tanah-tanah tersebut. Sebaliknya tanah hak adalah

tanah-tanah yang telah dikuasai dengan sesuatu hak perorangan seperti hak milik,

hak guna bangunan, dan sebagainya. Hingga kekuasaan negara atas tanah yang

bersangkutan menjadi tidak langsung dan dibatasi oleh hak luas atau sempitnya

hak perorangan yang berlaku atas tanah tersebut. Jadi, terdapat dua pengertian

mengenai tanah negara ini, yaitu tanah negara dalam arti luas dan tanah negara

dalam arti sempit.

29

Ibid., hlm. 38.

26

d. Kepemilikan Tanah dan Fungsi Sosial

Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi, yang

disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksud disini bukan mengatur tanah

dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu

tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian dari bumi

disebutkan dalam Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu atas dasar

hak menguasa dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan

adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat

diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-

sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Dengan demikian,

jelaslah bahwa tanah dalam pengertian yuridis adalah permukaan bumi,

sedangkan hak atas tanah adalah hak atas sebagian tertentu permukaan bumi, yang

berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Sedangkan ruang

dalam pengertian yuridis, yang berbatas, berdimensi tiga, yaitu panjang, lebar dan

tinggi.30

Dalam usianya yang semakin bertambah, undang-undang pokok Agraria

telah memberikan dukungan dalam pembangunan, khususnya yang berhubungan

dengan tanah. Namun UUPA juga menunjukkan kelemahan dalam kelengkapan

isi dan rumusnya. Kelemahan UUPA tersebut, pada masa orde baru telah

dimamfaatkan dengan memberikan tafsiran yang menyimpang dari asas dan

tujuan ketentuan yang bersangkutan.31

30

Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak Atas Tanah, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 10. 31

Bernhard Limbong, Hukum Agraria Nasional, Margaretha Pustaka, Jakarta, 2012, hlm. 1

27

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (UUPA), didalam penjelasan umum angka I yang menyatakan

bahwa: demikianlah maka pada pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria

adalah:32

a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agrarian nasional, yang

akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan

keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka menuju

masyarakat yang adil dan makmur.

b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan

dalam hukum pertanahan.

c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-

hak tanah bagi rakyat seluruhnya.

Hak milik merupakan hak yang terkuat dan terpenuhi, dimana diatas tanah

tersebut mereka dibolehkan untuk mengusahakan segala tanaman dan mendirikan

bangunan sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan yang berlaku, yang

mana hanya warga Negara Indonesialah yang boleh mempunyai hak milik.33

Hak

milik atas tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 16 ayat 1 tersebut

apabila dilihat dari proses terjadinya maka dapat dibagi daiam beberapa

kemungkinan yaitu, karena:34

1. Konversi dari tanah-tanah ex : Eigendom

2. Konversi tanah-tanah ex : hukum adat

3. Hak milik berdasarkan ketentuan Landreform

32

Ramli Zein, Hak pengelolaan dalam Sistem UUPA, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, hlm. 5. 33

Soedaryo Soimin, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 2 34

A.P Parlindungan, Op.,Cit, hlm. 74-75.

28

4. Hak milik berdasarkan suatu surat keputusan dari Menteri daiam Negeri cq.

Dirjen Agraria dan dari Kantor Agraria Provinsi vide peraturan Menteri

daiam Negeri No.6/1972 dan SK. 59/DDA/1970

5. Hak milik yang menurut pasal 4 Peraturan Menteri dalam Negeri No. 1

tahun 1977 yaitu hak yang berasal dari hak pengelolaan

6. Dalam hal sesuatu hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat tidak

mempunyai bukti hak atau bukti-bukti haknya kurang sempurna, maka

dapat ditempuh prosedur pengakuan/penegasan hak vide Menteri dalam

Negeri No. 2 tahun 1972.

Hak milik atas tanah juga merupakan hak asasi dari seseorang sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 28 H amandemen ke II tahun 2000 UUD 1945 bahwa

setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak

boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hal ini merupakan

sebagai pengakuan dari hak milik atas tanah sebagai hak asasi manusia dengan

harapan:

1. Hak milik adalah hak absolut yang dapat dipertahankan terhadap siapapun

juga.

2. Hak milik adalah hak atas kebendaan atas tanah tertinggi dan merupakan

hak sentral dari hukum benda

3. Sebagai hak absolut hak milik mempunyai fungsi sosial.

4. Sebagai hak milik atas tanah mengandung aspek fungsi sosial sebagaimana

29

yang diatur dalam pasal 6 UUPA.35

Memperhatikan bahwa hak milik atas tanah merupakan hak yang dapat

dipertahankan terhadap siapapun juga, maka setiap pemegang hak milik atas tanah

tersebut diwajibkan untuk mendaftarkan tanahnya kepada instansi yang

berwenang, dengan tujuan untuk mendapatkan alas hak dan legalitas serta

kepastian hukum sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 19 ayat 1 UUPA

kepastian hukum yang dijamin itu meliputi kepastian mengenai:

1. Letak, batas dan luas tanah

2. Status tanah dan orang yang berhak atas tanah

3. Pemberian surat berupa sertifikat.

Begitu juga halnya dengan hak milik secara tegas telah disebutkan dalam

Pasal 23 UUPA bahwa:

1. Hak milik demikan pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya

dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan yang dimaksud

dalam Pasal 19.

2. Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat

mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak

tersebut.36

35

Asian Noor, Konsep Hak Milik Atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia Ditinjau Dari Ajaran Hak

Azasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2006, hlm. 5 36

Pasal 23 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960

30

E. Konsep Operasional

Untuk memberi arah dan memudahkan memahami maksud dari judul atau

ruang lingkup dalam penelitian ini, maka dipandang perlu untuk memberi batasan

dari istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

Implementasi adalah suatu tindakan atau pelaksanaan dari sebuah rencana

yang sudah disusun secara matang dan terperinci.37

Dalam penelitian ini

implementasi tersebut adalah implementasi batas penguasaan dan kepemilikan

atas tanah perorangan dalam perspektif fungsi sosial.

Batas adalah ketentuan yang tidak boleh dilampaui.

Penguasahaan dan kepemilikan tanah adalah hubungan hukum antara

orang-perorang, kelompok orang, atau badan hukum dengan tanah sebagaimana

dimaksud dalam UUPA. 38

Fungsi sosial tanah adalah fungsi tanah bermanfaat bagi kesejahteraan dan

kebahagiaan yang mempunyai maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan

Negara.

Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru adalah kantor yang melaksanaan tugas

pemerintahan di bidang pertanahan di Kota Pekanbaru.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metodologi yang dianggap

paling sesuai dengan keadaan objek penelitian ini, sebagai berikut :

37

Kamus Hukum, Citra Kumbara, Bandung, 2008, 221 38

http://djitshhum.blogspot.com. Arti penguasaan dan kepemilikan tanah, diakses pada tanggal 28

Juli 2017

31

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dilihat dari jenisnya maka penelitian ini dapat digolongkan kepada

penelitian observasional research yaitu dengan cara survey, artinya peneliti

langsung mengadakan penelitian pada lokasi tempat penelitian. Sedangkan dilihat

dari sifat penelitian ini bersifat deskriptif yaitu menggambarkan dan menulis fakta

yang diteliti dilapangan tentang implementasi batas penguasaan dan kepemilikan

atas tanah perorangan non pertanian dalam perspektif fungsi sosial berdasarkan

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998 Tentang Pemberian

Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.

2. Objek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah tentang batas penguasaan dan kepemilikan

atas tanah perorangan dalam perspektif fungsi sosial pada Kantor Pertanahan Kota

Pekanbaru.

3. Lokasi penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru, alasan

untuk meneliti ini dikarenakan ingin mengetahui batas penguasaan dan

kepemilikan atas tanah perorangan non pertanian dalam perspektif fungsi sosial

pada Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru.

32

4. Populasi dan Sampel

Populasi adalah sekumpulan objek yang hendak diteliti berdasarkan lokasi

penelitian yang telah ditentukan sebelumnya.39

sampel adalah sebagian dari

populasi yang dapat mewakili keseluruhan objek penelitian untuk mempermudah

peneliti dalam menemukan dalam penelitian. Untuk tercapainya maksud dan

tujuan penelitian ini, maka yang menjadi populasi dan sampel dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1. Kepala Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru Sebanyak 1 Orang

2. Kasubsi Penetapan Hak Atas Tanah Sebanyak 1 Orang

3. Pemilik Atas Tanah Sebanyak 18 Orang.

Tabel I.1

Populasi dan Sampel

No Jenis Populasi Subjek

Persentase Populasi Sampel

1. Kepala Kantor Pertanahan Kota

Pekanbaru -

1 100%

2. Kasubsi Penetapan Hak Atas

Tanah -

1 100%

3. Pemilik Atas Tanah 18 18 100%

Jumlah 18 orang 20 orang 100%

Sumber : Data Lapangan, 2016

Sehubungan dengan jumlah populasi tersebut, dalam penelitian ini data

yang diambil mempergunakan teknik sensus dikarenakan sampelnya sedikit.

5. Data dan Sumber Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini pada dasarnya dapat dibedakan

atas dua jenis data yaitu :

39

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 44.

33

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh langsung dari responden mengenai:

a. Implementasi Batas Penguasaan Dan Kepemilikan Atas Tanah

Perorangan Non Pertanian Dalam Perspektif Fungsi Sosial Berdasarkan

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998 Tentang

Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal.

b. Pengawasan Yang Dilakukan Oleh Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru

Terhadap Penguasahaan Dan Kepemilikan Hak Atas Tanah Dalam

Perspektif Fungsi Sosial.

2. Data Sekunder, ialah data yang didapat dari bahan-bahan bacaan maupun

literatur panduan, berupa:

a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria

c. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nomor 6 Tahun 1998 Tentang

Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Tinggal

d. Sumber-sumber pendukung lain baik dalam bentuk tulisan atau laporan

yang telah disusun dalam daftar maupun yang telah dibukukan yang ada

kaitanya dengan penelitian ini.

6. Alat Pengumpulan Data.

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka alat

pengumpul data yang dipergunakan adalah

a. Wawancara dengan mengadakan tanya jawab secara langsung yang

peneliti lakukan dengan Kepala Kantor Pertanahan Kota Pekanbaru dan

34

Kasubsi Penetapan Hak Atas Tanah, guna mendapatkan informasi dan

penjelasan berkenaan dengan permasalahan yang diteliti berdasarkan

pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

b. Kuesioner adalah berupa pengumpulan data melalui daftar pertanyaan

yang diajukan secara tertulis pada responden untuk mendapatkan jawaban

atau tanggapan dan informasi yang diperlukan oleh peneliti, hal ini

dilakukan dengan penyebaran angket

7. Analisis Data

Data yang diperoleh dari kuisioner dan wawancara kemudian penulis

kumpulkan dan dklarifikasikan menurut bentuk dan sifatnya. Setelah terkumpul

kemudian diolah secara persentase. Setelah diolah kemudian disajikan dalam

bentuk tabel dan uraian kalimat. Selanjutnya dianalisis dan dihubungkan dengan

teori dan pendapat para ahli serta peraturan perundang-undang berlaku.

8. Penarikan Kesimpulan.

Metode penarikan kesimpulan akhir secara induktif yaitu dari keadaan

yang khusus kepada hal yang umum. Yang termasuk dalam kesimpulan yang

khusus adalah peraturan perundang-undangan serta peraturan daerah yang

disesuaikan pada lokasi tempat peneliti melakukan dalam penelitian baik berupa

subjek dan objek penelitian sedangkan dalam kesimpulan secara umum adalah

analisis yang dapat dihubungkan dengan teori dan pendapat para ahli yang

terutang kedalam tinjauan kepustakaan.

35