bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfagama dan aturan yang berlaku....
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial, semenjak dilahirkan manusia tidak bisa
lepas dengan orang lain. Sepanjang perjalanan hidupnya seorang manusia selalu
hidup bersama dengan orang lain dalam suatu pergaulan hidup. hal tersebut adalah
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang
bersifat rohani.
Pada umumnya, bagi seorang pria dan wanita yang sudah dewasa akan
memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan yang berlainan jenis kelaminnya.
Hidup bersama antara pria dan wanita dalam suatu ikatan dengan memenuhi
syarat-syarat tertentu disebut perkawinan. Hidup bersama dilakukan untuk
membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan norma
Agama dan aturan yang berlaku.
Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan
keturunan dan memperoleh ketenangan serta kebahagiaan dalam hidup, dengan
jalan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara
terhormat. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur masalah perkawinan
dengan amat teliti dan terperinci. perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan
pihak-pihak yang bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya peminangan
sebelum perkawinan dan ijab-kabul dalam akad nikah yang dipersaksikan
sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki. Hak antara suami istri juga diatur,
demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila
terjadi perselisihan antara suami istri diatur pula bagaimana cara mengatasinya.
Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting karena hukum
perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti
kehidupan masyarakat. Hukum perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama
Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rosul.1
Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974
tentang perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974. kemudian bagi
orang yang beragama Islam berlaku juga Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai pelengkap dari Undang-Undang No.1
Tahun 1974.
Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 merumuskan pengertian
perkawinan sebagai berikut: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak cukup
dengan adanya ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi harus kedua-duanya
sehingga akan terjalin ikatan lahir dan batin yang merupakan pondasi yang kuat
dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.
1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 1990, hlm 1.
Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya
suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup
bersama sebagai suami isteri. Dengan kata lain dapat disebut hubungan formil.
Sebaliknya ikatan bathin merupakan ikatan yang tidak dapat dilihat, tetapi ikatan
itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan rapuh.2
Perkawinan adalah termasuk perbuatan hukum, sah tidaknya suatu
perbuatan hukum ditentukan oleh hukum dan norma agama yang ada dan berlaku
saat ini. Perkawinan yang akan dilaksanakan harus memenuhi rukun dan syarat
yang sudah ditentukan, Rukun perkawinan merupakan hakekat yang memang
mutlak harus ada dalam suatu perkawinan karena apabila satu saja rukun
perkawinan tidak dipenuhi maka perkawinan tidak dapat terlaksana. Begitu juga
dengan syarat perkawinan haruslah dipenuhi karena apabila syarat tersebut tidak
terpenuhi atau melanggar larangan perkawinan maka perkawinan tersebut dapat
dibatalkan.
Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua
makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah
suatu cara dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk
berkembang baik, dan melestarikan hidupnya.3 Namun demikian tidak semua
perkawinan berjalan dengan baik sesuai dengan tujuannya perkawinan yang
disebabkan oleh berbagai hal yang menyebabkan timbulnya perceraian.
Perceraian merupakan sesuatu yang diperbolehkan namun dibenci oleh
Allah SWT. Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 yang
2 K. Wantjik saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980 hal. 14.
3 Zulkarnaini Umar, Nikah Sirih (Sebuah Analisis Hukum), Jurnal Mahkamah, VOL. 6, NO.2 hlm
119
dimaksud dengan perceraian adalah “putusnya perkawinan”.4 jadi, perceraian
adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan
berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.5
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa
perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa:
Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal
bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan
lain.
Perkawinan dapat juga dibatalkan jika melanggar larangan perkawinan,
sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:
Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan
dan bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari
istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
5 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annlisa Yahana (Ed), Hukum Perceraian, Sinar
Grafika, Jakarta, 2010, hlm 18
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Syarat-syarat perkawinan dan larangan perkawinan tersebut tidak boleh
dilanggar, karena jika ada syarat dan larangan perkawinan yang dilanggar maka
perkawinan tersebut dapat dibatalkan.
Menurut Hukum Islam dikenal istilah “Fasakh” yang artinya merusak atau
membatalkan. Fasakh dapat terjadi karena terdapat hal-hal yang membatalkan
akad nikah yang dilakukan dan dapat pula terjadi karena sesuatu hal yang baru
dialami sesudah akad nikah dilakukan dan perkawinan sudah berlangsung.
Berkaitan dengan judul skripsi penulis mengenai Pembatalan Perkawinan
Dengan Alasan Murtad Ditinjau dari Hukum Islam Pada Perkara Nomor
1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr (Studi Kasus). Bahwa dalam Perkara Nomor
1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr pihak Pemohon (suami) telah mengajukan permohonan
cerai talak pada tanggal 18 Nopember 2015 dan telah terdaftar di kepaniteraan
Pengadilan Agama Pekanbaru pada tanggal 23 Nopember 2015. Dalam pokok
perkaranya pihak Pemohon mengajukan permohonan cerai talak atas Termohon
karena berbagai kesalahan yang telah dilakukan oleh Termohon dan Pengadilan
Agama Pekanbaru menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon serta
memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak 1 Raj’i kepada
Termohon didepan sidang Pengadilan Agama Pekanbaru akan tetapi berdasarkan
keterangan tiga orang saksi bahwa pihak Pemohon sudah kembali kepada agama
semula (Kristen), Sementara ikrar talak hanya diberikan kepada orang yang
beragama Islam. Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat tidak memberi izin
kepada Pemohon Konvensi untuk menjatuhkan talak satu raj’i kepada Pemohon
Konvensi melainkan memfasakhkan (membatalkan) pernikahan Pemohon
Konvensi dengan Tergugat Konvensi.
Adapun kronologi perkara cerai talak dalam putusan nomor 1599
PDT.G/2015/PA.PBR yang menjadi pokok penelitian penulis adalah bahwasanya
antara pemohon dengan termohon pada saat melangsungkan pernikahan sama-
sama beragama Islam. Meskipun pada awalnya pemohon adalah beragama Kristen
yang memilih untuk pindah keyakinan kepada agama Islam (mualaf) pada saat
akan melangsungkan pernikahan. Pada awal pernikahan antara pemohon dan
termohon menjalani hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan belum
dikaruniai anak, bahwa pada bulan agustus 2015 pernikahan antara pemohon dan
termohon terjadi perselisihan serta cekcok yang berkepanjangan yang pada
awalnya disebabkan masalah keuangan hingga membuat hubungan rumah tangga
antara pemohon dan termohon tidak lagi harmonis, kemudian permasalahan
berlanjut karena pemohon kembali keagama semula (Kristen) termohon tidak mau
masuk ke dalam agama Kristen bersama pemohon, lalu puncaknya pada bulan
September 2015 antara pemohon dan termohon berpisah ranjang dan tempat
kediaman sehingga pemohon dan termohon membuat dan menandatangani surat
kesepakatan atau perjanjian yang isinya adalah sepakat untuk bercerai.
Pada tanggal 18 novermber 2015 pemohon mengajukan gugatan
permohonan cerai talak yang didaftrakan di kepaniteraan pengadilan agama
pekanbaru. Bagaimana pembatalan perkawinan dengan alasan murtad ditinjau dari
hukum Islam dalam perkara Nomor 1599/PDT.G/2015/PA.PBR, apa
pertimbangan majelis hakim membatalkan perkawinan dengan alasan murtad
dalam perkara Nomor 1599/PDT.G/2015/PA.PBR. Inilah yang menjadi dasar atas
ketertarikan Penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam lagi mengenai
Pembatalan Perkawinan Dengan Alasan Murtad Ditinjau dari Hukum Islam Pada
Perkara Nomor 1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr (Studi Kasus).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka secara garis besar
dapatlah diajukan berupa dua buah permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana pembatalan perkawinan dengan alasan murtad ditinjau dari
Hukum Islam pada perkara nomor 1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr?
2. Apa dasar pertimbangan majelis hakim memutuskan perkara perkawinan
dengan alasan murtad pada perkara nomor 1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam suatu penelitian tentu ada tujuan yang hendak dicapai, demikian
juga halnya dengan penelitian ini. Maka sesuai dengan perumusan masalah diatas
maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui pembatalan perkawinan dengan alasan murtad
ditinjau dari Hukum Islam pada perkara nomor
1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr?
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan majelis hakim memutuskan
perkara perkawinan dengan alasan murtad pada perkara nomor
1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr?
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat penelitian ini antara lain adalah :
a. Sebagai bahan referensi untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum
Islam tentang alasan murtad sebagai penyebab fasakhnya perkawinan.
b. Sebagai bahan referensi Untuk mengetahui dasar pertimbangan majelis
hakim memfasakh perkawinan dengan alasan murtad.
c. Sebagai bahan referensi Untuk mengetahui apa saja penyebab yang
dapat membatalkan perkawinan atau memfasakhkan perkawinan.
D. Tinjauan Pustaka
1. Teori-Teori
Untuk melandasi tulisan ini pada teori ilmiah, maka penulis mengambil tiga
teori.
a. Teori Perkawinan
Kehidupan bekeluarga terjadi lewat perkawinan yang sah.6 Konsep
perkawinan memiliki arti dari berbagai sudut pandang, secara yuridis definisi
perkawinan di atur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan kesatuan
6 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Al-Bayan, Bandung, 1994, hlm. 14
dua individu laki-laki dan perempuan menjadi satu kesatuan yang saling
mencintai, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling
memberi dukungan, saling melayani, kesemuanya diwujudkan dalam kehidupan
yang dinikmati bersama. Perkawinan sebagai hubungan antara seorang laki-laki
dan perempuan untuk bersama-sama memenuhi hasrat melangsungkan hidupnya
dengan menurunkan keturunannya. Istilah perkawinan sendiri adalah kata
bentukan dari kata dasar kawain dengan diberi awalan per dan akhiran an,
sehingga menjadi kata berimbuhan Perkawinan. Fungsi awalan per kebanyakan
menunjukkan arti hal, urusan, sehingga perkawinan berarti urusan kawin,
perayaan kawin, dan sebagainya.7
Perkawinan tidak hanya dilihat dari dimensi prokreasi (menghasilkan
keturunan), tetapi sudah meluas kepada kebutuhan psikologis pasangan suami
istri. Perkawinan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
semata-mata guna memenuhi kebutuhan psikologis, tetapi juga kebutuhan
afeksional (kasih sayang), kebutuhan mencintai dan dicintai, kasih sayang, rasa
aman dan terlindungi, dihargai dan diperhatikan. Ikatan perkawinan merupakan
suatu kesepakatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ditujukan
untuk saling mencintai satu sama lain dan berjanji untuk tidak mencintai orang
lain lagi, saling berbagi perasaan, dan saling berbagai kebahagiaan. Perkawinan
merupakan sumber penyediaan keintiman, persahabatan, kasih sayang,
pemenuhan kebutuhan seksual dan kebersamaan antara sepasang suami istri.
7 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 87
Perkawinan merupakan perbuatan yang penting dalam kehidupan manusia,
karena merupakan bentuk pergaulan hidup manusia dalam lingkungan masyarakat
sosial yang terkecil, tetapi juga lebih dari itu bahwa perkawinan merupakan
perbuatan hukum dan perbuatan keagamaan. Negara mempunyai kepentingan pula
untuk turut mencampuri urusan masalah perkawinan dengan membentuk dan
melaksanakan perundang-undangan tentang perkawinan. Tujuannya untuk
memberi perlindungan terhadap rakyat sebagai salah satu unsur negara, melalui
hukum yang berlaku dan diberlakukan terhadap mereka.8
Berdasarkan uaian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah
suatu ikatan yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai
sepasang suami istri untuk berjanji hidup bersama-sama dan saling mengisi dalam
pemenuhan kebutuhan biologis maupun psikologis serta selalu berusaha saling
menciptakan dan mempertahankan kebahagiaan dan keharmonisan perkawinan
sehingga tujuan dan harapan yang diinginkan dapat tercapai.
1) Tujuan perkawinan
Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan spiritual dan
material. Tujuan perkawinan adalah mengembangkan kepribadian untuk mencapai
kesejahteraan spiritual dan material. Tujuan perkawinan sesungguhnya sangat
8 Hamid Pongoliu. Perceraian Akibat Peralihan Agama: Studi Kasus Tentang Putusan Hakim
Pengadilan Agama Gorontalo. Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015, hlm 45.URL:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=392528&val=6177&title=PERCERAIAN%2
0%20AKIBAT%20%20PERALIHAN%20%20AGAMA:%20%20STUDI%20KASUS%20TENT
ANG%20PUTUSAN%20HAKIM%20PENGADILAN%20AGAMA%20GORONTALO. Akses
tanggal 02 Februari 2018.
mulia apabila dilandaskan kesadaran untuk saling memberi yang terbaik walaupun
pasangannya tidak menuntut hal tersebut.
Ada pendapat lain yang mengatakan perkawinan adalah untuk
menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi
pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina
keluarga, setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia bersama
pasangannya sampai akhir waktu. Tujuan bersama dalam perkawinan adalah
komposisi dari setiap tujuan personal pasangan yang mungkin dengan cara
kooperatif akan menyertakan kedua keinginan pasangan tersebut, apabila kedua
keinginan tersebut terkandung dalam satu tujuan bersama sebagai hasil akhir.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan
adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan
yang menjadi pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam
membina keluarga yang bahagia bersama pasangannya sampai akhir waktu.9
2) Tahap-tahap kehidupan perkawinan
Tahap-tahap dalam perkawinan perlu diketahui agar mengerti tentang
konsep perjalanan hidup pasangan serta masa-masa krisis yang dialaminya.
Terdapat tiga periode dalam perkawinan yaitu, tahun awal (early years). Masa ini
mencakup kurang lebih 10 tahun pertama perkawinan. Masa ini merupakan masa
perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi kedua belah pihak, pasangan suami
istri berusaha untuk saling mengenal, menyelesaikan sekolah atau memulai karier,
merencanakan kehadiran anak pertama serta mengatur peran masing-masing
9 Ibid.,hlm. 90
dalam menjalani hubungan suami istri tahun-tahun pertama biasanya sangat sulit
untuk dilalui karena pasangan muda ini tidak dapat mengantisipasi ketegangan
atau tekanan yang mungkin timbul.10
Angka perceraian tertinggi terjadi antara tahun kedua sampai tahun
keempat pekawinan. Suami istri harus saling belajar satu sama lain untuk saling
mengenal, sebab pada masa ini biasanya terjadi suatu krisis yang disebabkan
karena masing-masing kurang memainkan peranan baru baik suami istri ataupun
sebagai orangtua; yang kedua Tahun pertengahan (midlle years). Periode ini
berlangsung antara tahun kesepuluh sampai dengan tahun ketigapuluh dari masa
perkawinan. Masa yang terjadi pada tahap ini adalah “child full phase” yang
kemudian diikuti oleh “us aging phase”. Pada “child full phase” orangtua
mengkonsentrasikan pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga, selain itu
suami istri harus mampu menyelesaikan konflik-konflik sosial yang timbul dalam
perkawinan, sehingga tidak terjadi ketegangan dalam keluarga. Pada “us aging
phase” pasangan suami istri menemukan dan membangun kembali hubungan
antara kedua belah pihak. Pasangan suami istri kembali menyusun prioritas baru
dan menikmati hubungan intim yang telah diperbaharui, tanpa ada anak-anak
dalam rumah.11
Bagi suami istri yang tidak memiliki anak, maka fase ini dapat digunakan
untuk memusatkan perhatian pada karier ataupun aktivitas-aktivitas produktif
lainnya. Pasangan suami istri merupakan titik penting, yang berarti bahwa suami
istri serasa berada dalam sarang kosong karena anak-anaknya telah pergi atau
10
Ibid.,hlm. 92 11
Ibid.,hlm. 94
menikah; tahun ketiga, Tahun matang (mature years). Masa ini dimulai pada
tahun ketiga puluh dalam perkawinan. Pasangan suami istri berada dalam peran
yang baru, misalnya bertindak sebagai kakek atau nenek, menikmati hari tua
bersama-sama atau hidup sendiri lagi karena salah satu pasangan telah meninggal
lebih dulu. Masa ini merupakan masa pensiun atau pengunduran diri dari
kegiatan-kegiatan di dalam dunia kerja.12
Periode pernikahan menjadi tiga, yaitu, yang pertama Tahun-tahun awal
sebagai periode dewasa dini. Pada periode ini terdapat kesulitan penyesuaian
pernikahan yang dialami oleh pasangan suami istri di awal-awal pernikahan.
Penyesuaian diri ini biasanya sering timbul ketegangan emosi yang memicu
adanya pertikaian atau konflik dalam rumah tangga, yang muncul dari pihak
suami maupun istri. Tahun awal perkawinan adalah periode penyesuaian yang
banyak memerlukan adanya sikap kedewasaan dari kedua belah pihak, biasanya
pasangan mempunyai sikap ego yang tinggi, saling mempertahankan
keinginannya, merasa lebih pengalaman, merasa lebih pandai dan sebagainya;
tahu kedua, Tahun-tahun pertengahan sebagai periode usia madya. Periode
pernikahan ini anak-anak mulai meninggalkan rumah untuk studi di perguruan
tinggi, menikah atau mencari pekerjaan. Orangtua harus menghadapi masalah
penyesuaian kehidupan yang biasa disebut periode sarang kosong atau empty nest.
Pada saat periode ini terjadi, berarti bahwa pada saat itu kedua orangtua tersebut
harus melakukan perubahan peran dan keluarga tersebut perlu mencari kegiatan di
luar rumah; tahun ketiga, Tahun-tahun kematangan sebagai periode usia lanjut.
12
Ibid.,hlm. 95
Periode ini penyesuaian terhadap pembangunan hubungan yang baik pada
pasangan penting untuk dilakukan. Perubahannya peran dari pekerja ke pensiunan
kebanyakan pria menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tinggal di rumah
daripada yang dilakukan sebelum pensiun. Hubungan yang baik dengan pasangan
akan mendatangkan kebahagiaan, sebaliknya jika hubungan yang kaku dan dingin
maka percekcokan akan meningkat13
.
Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa periode
pernikahan ada tiga bagian yaitu :
a. Usia pernikahan 10 tahun pertama merupakan tahun-tahun periode awal
pernikahan. Pada periode ini, masa krisis yang dialami suami istri adalah
penyesuaian dengan pasangan dalam hal penyesuaian masalah-masalah
yang muncul dalam pernikahan dan apabila tidak berhasil akan
menimbulkan konflik;
b. Usia pernikahan antara 10-30 tahun merupakan periode menengah
dalam suatu pernikahan. Pada periode ini, suami istri akan mengalami
child full phase yaitu fase untuk mengkonsentrasikan diri pada
pengembangan dan pemeliharaan keluarga serta memikirkan tujuan yang
baru untuk masa yang akan datang. Pada fase ini suami istri juga
mengalami use again phase yaitu fase suami istri mulai menyusun
kembali prioritas baru dan belajar menikmati hubungan intim yang telah
diperbaharui tanpa kehadiran anak atau empty nest;
13
Ibid.,hlm. 98
c. Usia pernikahan 30 tahun ke atas merupakan tahun-tahun kematangan
pada fase ini suami istri mempunyai peran baru yaitu sebagai kakek
nenek, pensiun dan banyak menghabiskan waktu di rumah.
b. Teori Perceraian
Didalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang menjadi
dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan. Berikut ini akan diuraikan
tentang prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan, yang diatur dalam
penjelasan umum dari UU Perkawinan Nasional (UU No. 1 Tahun 1974).
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yan bahagia dan kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai
kesejahteraan spritual dan material.
2. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki
yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengijinkan, seorang suami dapat beristri labih dari seorang.
4. Undang-Undang ini (UU No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975) menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya
dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada
perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip
untuk mempersukar terjadinya perceraian.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam kelurga dapat
dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.14
14
Sution Usman Adji, Kawin Lari Dan Kawin Antar Agama , Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 105
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memuat asas-asas hukum
perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan umumnya, yaitu
sebagai berikut.
1. Tujuan perkawinan adalah memebentuk keluarga yang bahagia dan kekal.
Untuk itu, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membentuk dan mencapai
kesejahteraan spiritual dan materil.
2. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang
dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga
dimuat dalam daftar pencatatan.
3. Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan
mengizinkannya. seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun
demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri
meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya
dapat dilakukan apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan
diputuskan oleh Pengadilan.
4. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus
telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu
harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di
bawah umur. Karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan
masalah kependudukan, maka untuk mengerem laju kelahiran yang lebih
tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang
dibawah umur, sebab batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita
untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika
dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu,
maka Undang-Undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi
pria maupun wanita, ialah 19 Tahun bagi pria dan 16 Tahun bagi wanita
5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan
perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan.
6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga
dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri15
Perceraian harus disertai dengan lasan-alasan hukum sebagaimana dalam
pasal 39 k ada yaitu :
1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,
dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di
luar kemampuannya
3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung
4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain
5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri
6. antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidupm rukun lagi dalam rumah tangga16
Putusnya perkawinan diatur dalam, Pasal 38 sampai dengan pasal 41 UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP
Nomor 9 Tahun 1975, pasal 199 KUH Perdata, Pasal 113 sampai dengan pasal
128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
c. Teori Murtad
Secara etimologi kata murtad berasal dari bahasa Arab Radd atau Irtadda,
yang artinya berbalik atau keluar. Pemakian dalam bahasa Indonesia, murtad
dianggap semakna dengan riddhatau irtiddad. Pelakunya disebut murtad. Murtad
dari segi bahasa berasal dari fiil radda yaruddu juga bisa diartikan menolak,
berpaling atau mengembalikan. Arti kalimat-kalimat tersebut selaras dengan arti
beberapa ayat al-Quran misalnya murtad dalam makna kembali-dikembalikan,
terdapat dalam Surat Al-An’am ayat 28.
15
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 16
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Artinya: Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang
mereka dahulu selalu menyembunyikan. Sekiranya mereka telah dilarang
mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka.
Arti murtad kembali-dikembalikan juga terdapat dalam surat Ali Imron
ayat 149.
Artinya: Hai orang-orang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang
kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kapada
kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.
Begitu juga dalam Surat Al-Baqarah ayat 109.
Artinya: Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat
mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena
dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka
kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah
mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.
Contoh murtad yang artinya paling-berpaling yang selaras dengan surat
Muhammad ayat 25.
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kembali kebelakang (kepada
kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan
mereka budak (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka
Kemudian dalam surat Yusuf ayat 96
Artinya: Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka
diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya’kub, lalu kembalilah dia dapat
melihat. Berkata Ya’qub: “Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku
mengetahui dari Allah apa yang kumu tidak mengetahuinya”
Pada surat Yusuf ayat 96, Allah mengartikan kata riddah sebagai kembali,
sebagaimana firman Allah artinya: lalu kembalilah dia (ya’kub) dapat melihat.
Jadi kalimat riddah berasal dari kalimat isim al-irtidad. Karena itu dilihat dari
segi bahasa, arridah memiliki beberapa arti sebagaimana diterangkan diatas.
Berdasarkan uraian ini, arti murtad dalam ayat-ayat tersebut (kecuali surat Yusuf
ayat 96) memiliki arti menolak, yakni menolak kebenaran; berpaling maksudnya
adalah berpaling dari agama Allah, Islam; dan makna kembali maksudnya
kembali kepada kekufuran.
Sementara kata murtad dalam Kompilasi Hukum Islam disebut sebanyak
dua kali, yaitu pada Pasal 75 dan Pasal 116. Pasal 75 menyebut kata murtad untuk
menjelaskan dampak pembatalan perkawinan karena murtad, sedangkan Pasal 116
menyebut kata murtad sebagai salah satu alasan perceraian.17
2. Hasil Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian diketahui proses terjadinya perkawinan poliandri yang
dilakukan oleh isteri dalam perkara Nomor 118/Pdt.G/2010/PA.PBR adalah tidak
dapat dibenarkan karena dokumen tidak dalam bentuk asli melainkan photokopi,
hal ini dibuktikan pada saat tergugat I telah berbohong kepada pihak KUA Sail
dengan menyatakan bahwa tergugat I berstatus janda dengan akta cerai hilang dan
17 Ahda Bina Alfianto. Status Perkawinan Ketika Suami Atau Isteri Murtad Dalam Kompilasi
Hukum Islam. Jurnal Humanity, Volume 9, Nomor 1, 2010, hlm 123. URL:
https://media.neliti.com/media/publications/11343-ID-status-perkawinan-ketika-suami-atau-isteri-
murtad-dalam-kompilasi-hukum-islam.pdf. Akses tanggal 02 Februari 2018.
tidak pernah menggunakan akta cerai asli, melainkan menggunakan copy akta
cerai yang dileges di Pengadilan Agama Pekanbaru tanggal 30 April 2009 yang
dinyatakan oleh surat keterangan hilang dari Polisi. Pertimbangan hukum bagi
majelis hakim dalam putusan perkara Nomor 118/Pdt.G/2010/PA.PBR adalah
membatalkan perkawinan tergugat I Arneti Binti Azim dengan tergugat II
Sardiono Bin Ahmad yang dilangsungkan di KUA Kecamatan Sail Pekanbaru
Riau tanggal 14 Mei 2009 serta menyatakan akta nikah dan kutipan akta nikah
Nomor; 66/08/V/2009 tanggal 04 Mei 2009 tidak berkekuatan hukum. 18
Penelitian terdahulu diatas terdapat perbedaan dengan penelitian yang
peneliti laksanakan, letak perbedaan pada permasalahan yang mendasar dari
perkara Nomor 118/Pdt.G/2010/PA.PBR yakni tentang poliandri, sementara
peneliti meneliti mengenai masalah murtad.
Hasil penelitian menunjukan bahwa penafsiran yang digunakan oleh
Hakim adalah penafsiran sistematis, menurut Hakim tidak terbukti adanya
indikasi mengenai salah sangka atau penipuan berdasarkan Pasal 27 ayat (2)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 72 (2) Kompilasi Hukum Islam,
dan penafsiran gramatikal mengenai salah sangka dan penipuan mengenai status
Termohon. Bahwa status Termohon sebagai janda kemudian dituliskan sebagai
perawan tidak terbukti adanya penipuan atau salah sangka karena Pemohon yang
menyarankan status Termohon dituliskan sebagai perawan, sehingga tidak terjadi
obscure lible karena subyeknya sama tidak mengakibatkan terjadinya eror in
persona. Seharusnya Hakim dalam mempertimbangkan alasan-alasan pembatalan
18
Fauzna Asnsari, Pembatalan Perkawinan Yang Disebabkan Karena Istri Poliandri Dalam
Perkara Nomor 1186/PDT.G/2010/PA.PBR. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau,
2015, hlm 79.
tidak langsung pada pasal-pasal mengenai salah sangka atau penipuan mengenai
suami atau isteri saja, akan tetapi menafsirkan juga mengenai ketentuan syarat
sahnya perkawinan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai yang telah ditentukan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun
1974.19
Hasil penelitian terdahulu terdapat perbedaan dengan bahan penelitian
peneliti, letak perbedaan pada permasalahan yang mendasar yakni peneliti
terdahulu membahas mengenai penipuan status perkawinan sebelumnya untuk
melakukan perkawinan kedua, sementara peneliti meneliti mengenai masalah
murtad.
Pertimbangan Hukum perkara putusan cerai gugat dengan putusan Talaq
Ba’in Shugro dengan alasan murtad, majelis Hakim berpendapat bahwa meskipun
putusan tersebut tidak diputus dengan Fasakh, namun akibat Hukum yang
ditimbulkan sama yaitu tidak dimungkinkannya rujuk kembali. Selain itu, yang
menjadi pertimbangan sehingga tidak diputus Fasakh karena dalam gugatan lebih
mengarahkan pada persoalan lahirnya percekcokan dan perselisihan. Dasar
pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan cerai dari istri kepada suami
yang murtad pada Putusan Perkara Nomor: 74/pdt.G/2012/PA.Mks yaitu KHI
pasal 116 (f) dan KHI pasal 116 (b). namun yang terlupakan adalah KHI pasal
116 huruf (g) dimana tergugat juga tidak memberikan nafkah kepada Penggugat.
Alasan kuat lainnya yakni yang sesuai dengan KHI pasal 116 (h) karena salah satu
19
Hanny Nur Afiifah, Penafsiran Hukum Yang Digunakan Hakim Mengenai Syarat Sahnya
Perkawinan (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr), Skripsi,
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2015.
pihak telah murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga. Terdapat akibat hukum dari putusan talaq satu ba‟in sughra yaitu majelis
hakim Pengadilan Agama Dipersamakan dengan putusan Fasakh dan diperkuat
dengan ketentuan Pasal 155 KHI, dimana akibat hukum yang ditimbulkan
terhadap status perkawinan adalah tidak dimungkinkannya rujuk kembali dan
akibat hukum dari kedudukan anak dalam hal mewaris bahwa ayah yang telah
murtad tidak berhak menjadi wali terhadap anak-anaknya yang muslim dan tidak
ada hubungan waris mewaris antara anak dan ayah yang berbeda agama, kecuali
jika ayahnya kembali memeluk Agama Islam, meskipun tanpa akad nikah baru,
maka akan kembali tersambung hubungan waris mewaris.20
Sumber rujukan ketiga pada penelitian terdahulu diatas terdapat persamaan
dengan penelitian yang peneliti laksanakan, yakni penelitian sama-sama
mempermasalahkan perceraian akibat murtad. Namun terdapat perbedaan yang
perbedaan dalam pengajuan gugatan yang dilakukan atas dasar ketidakcocokan
yang berakibat pada pertengkaran dan percekcokan dalam rumah tangga.
Dalam perkawinan yang diajukan permohonan pembatalannya di
Pengadilan Agama Slawi, yang kemudian didaftar dalam perkara Nomor
59/Pdt.G/2005/PA.Slw. terdapat halangan dan bertentangan dengan prinsip
perkawinan yaitu unsur kesepakatan dan asas monogami, yang mengatur apabila
hendak menikah lagi, seorang suami harus memenuhi syarat yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan, karena dengan adanya penipuan tersebut maka
telah terjadi suatu perkawinan. Hal ini tidak akan terjadi apabila sejak awal para
20
Rati Widyaningsi Latif, Cerai Gugat Dengan Alasan Murtad (Study Kasus Putusan Nomor
74/Pdt.G/2012/PA.Mks), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2013, hlm 74-75
pihak mengetahui kebenaran tentang status diri mereka masing-masing.
Sedangkan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan
tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata
atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap
berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga pihak
ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan. Atas adanya perjanjian yang telah
dilakukan, maka perjanjian yang ada harus tetap dilaksanakan sesuai dengan
kesepakatan yang telah ditandatangani. Perlindungan hukum ini diberikan dengan
mendasarkan pada Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam.21
Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti laksanakan
terletak pada permasalahan perkara yang diajukan, yakni peneliti di atas
membahas masalah penipuan dalam perkawinan sementara peneliti membahas
masalah murtad.
Hasil penelitian menyatakan bahwa Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum
Islam menyatakan bahwa peralihan agama/murtad yang menyebabkan ketidak
rukunan dalam rumah tangga. Putusan Hakim Pengadilan Agama Pekanbaru
Nomor 354/Pdt.G/2013/PA.PBR telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan
dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengenai putusan perkara serta
akibatnya jo Pasal dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Pasal 39 ayat
(2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa untuk melakukan perceraian harus
ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai
suami istri. Hakim menjadikan penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No.1
21
Yusnidar Rachman, Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Di Pengadilan Agama
Slawi, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2006, hlm 75-76
Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai
salah satu alasan perceraian yaitu: ”antara suami istri terus menerus terjadi
peselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga”.22
Penelitian ini menyimpulkan bahwa apabila terdapat salah satu pihak yang
Murtad, dapat berdampak pada perkawinan dan status hak waris anak. Oleh
karena itu, perkawinan para pihak yang telah putus tidak mungkin bisa rujuk
kembali kecuali dengan melakukan akad nikah yang baru. Mengenai status hak
waris anak, anak tidak dapat mewarisi harta dari orangtuanya yang telah Murtad
karena dalam Hukum Islam Murtad menjadi penggugur dalam hal mewaris.23
Hukum kompilasi Islam belum mengakomodasi isu tentang Murtad yang
ditunjukkan oleh seorang suami atau istri secara proporsional. Pasal 70 dari
Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan perlakuan pengingkaran sebagai
penyebab pembatalan pernikahan. Tapi pada pasal 75 menyebutkan secara implist
bahwa hal tersebut adalah alasan murtad. Sementara pada pasal 116 tidak
menyebutkan bahwa murtad sebagai alasan untuk bercerai, jika ada
ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Keputusan hukum sangat ambigu.
Pertama, ada dua pasal yang memberikan dua keputusan yang berbeda pada isu
yang sama. Kedua, kompilasi hukum islam tidak menyebut Murtad sebagai salah
22
Mirna Citra Ranitabika. Kajian Yuridis Alasan Perceraian Akibat Murtad Menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Berdasarkan Putusan Pengadilan
Agama Pekanbaru Nomor : 354/Pdt.G/2013/PA.PBR. Jurnal Hukum Universitas Brawijaya, 2016,
hlm 6. URL: http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/2067. Akses
tanggal 02 Februari 2018. 23
Diana Aristanti, Dyah Ochtorina Susanti, Pratiwi Pusphitho Andini. Cerai Gugat Akibat Murtad
(Studi Putusan Pengadilan Agama Palu No: 0249/Pdt.G/2016/PA.Pal). e-Journal Lentera Hukum,
Volume 4, Issue 1 2017, hlm 21. URL:
https://jurnal.unej.ac.id/index.php/eJLH/article/download/4492/3483/. Akses tanggal 02 Februari
2018.
satu dari penyebab pembatalan pernikahan pada pasal 70 tapi pada pasal 75
menyebutkan Murtad penyebab pembatalan pernikahan. Untuk membenarkan
keambiguan ini, Kompilasi Hukum Islam harus memberikan keputusan yang
jelas. Ketika kompilasi hukum islam telah menyebutkan Murtad menyebabkan
pembatalan penikahan, kemudian isu ini tidak perlu disebut lagi sebagai salah satu
alasan perceraian. Ketika pada pasal 75 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
Murtad adalah salah satu alasan pembatalan pernikahan, itu harus dijelaskan pada
pasal 70 yang menyebabkan bahwa Murtad adalah penyebabnya.24
Perceraian akibat cekcok atas dasar peralihan agama yang diselesaikan di
Pengadilan Agama Gorontalo dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 hanya
ada dua kasus yang telah diajukan dan terselesaikan di Pengadilan Agama
Gorontalo. Persoalan peralihan agama atau pindah agama adalah persoalan yang
rumit dan sangat berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga suami istri yang
akan menyebabkan terjadinya cekcok berkepanjangan dan tidak dapat
diselesaikan sampai berakibat perceraian. Peralihan agama adalah pindah agama,
dan dalam istilah hukum Islam adalah murtad. Perbuatan ini termasuk dalam
katogori kafir yang memicu masalah besar yang tidak dapat didamaikan, yang
pada akhirnya sampai pada persidangan dan majelis hakim memutuskan perkara
tersebut dikabulkan. Perbuatan pindah agama dapat dijadikan alasan untuk
melakukan perceraian diarena masalah pindah agama merupakan masalah yang
tersangkut dengan perbuatan kekafiran yang memicu masalah besar yang sulit
24
Ahda Bina Alfianto. Status Perkawinan Ketika Suami Atau Isteri Murtad Dalam Kompilasi
Hukum Islam. Jurnal Humanity, Volume 9, Nomor 1, 2010, hlm 123. URL:
https://media.neliti.com/media/publications/11343-ID-status-perkawinan-ketika-suami-atau-isteri-
murtad-dalam-kompilasi-hukum-islam.pdf. Akses tanggal 02 Februari 2018.
untuk diselesaikan dengan cara damai. Peralihan agama membawa akibat pada
sulitnya menetapkan status agama anak, pemeliharaan, pendidikan, pembiayaan,
dan tentang harta warisan, harta bersama antara suami istri.25
Adanya persamaan dari ketiga penelitian terdahulu dengan penelitian yang
peneliti laksanakan yakni terdapat pada masalah perceraian akibat murtad, namun
terdapat perbedaan dalam pengajuan pokok perkara yang terjadi dan dengan
perkara yang berbeda.
E. Konsep Operasional
Pengertian pembatalan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
adalah pengurungan, proses, perbuatan, cara membatalkan, pernyataan batal.26
Pengertian perkawinan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti hal
yang berkenaan dengan kawin, pernikahan, persetubuhan hewan.27
Jadi
pembatalan perkawinan berarti proses batalnya pernikahan atau perkawinan.
Pengertian murtad menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah
berarti berputar kebelakang, berbalik arah, keluar dari islam, membuang iman.28
Perbuatan yang demikian jelas merupakan tindakan yang merusak iman, karena
itu iman kepada Allah dan rukun-rukun iman yang lain harus dijaga dan di
pelihara dengan baik dan terus menerus. Sebab godaan setan selalu melingkari
orang-orang yang beriman. Apabila seorang lengah, maka setan akan
25
Hamid Pongoliu. Perceraian Akibat Peralihan Agama: Studi Kasus Tentang Putusan Hakim
Pengadilan Agama Gorontalo. Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015, hlm 45.URL:
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=392528&val=6177&title=PERCERAIAN%2
0%20AKIBAT%20%20PERALIHAN%20%20AGAMA:%20%20STUDI%20KASUS%20TENT
ANG%20PUTUSAN%20HAKIM%20PENGADILAN%20AGAMA%20GORONTALO. Akses
tanggal 02 Februari 2018. 26
Tim Prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru, Gitamedia press, hlm 109 27
Tim Prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru, Gitamedia press, hlm 402 28
Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, Reality publisher, Surabaya, 2008, hlm 461
merongrongnya, sehingga iman yang sudah ada dan tertanam didalam hati, secara
perlahan-lahan terkikis abis yang pada akhirnya menjadi kafir dan keluar dari
islam. Apabila sudsh sampai ketingkat ini, maka berarti ia telah lari dan
menghindari petunjuk-petunjuk allah dan menuju kepada jalan kesesatan kan
kekafiran.29
Allah SWT berfirman pada surat Muhammad ayat 25:
Artinya “sesungguhnya orang-orang yang kembali kebelakang (kepada
kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan
mereka budak (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.30
Sedangkan Putusan Nomor 1599/PDT.G/2015/PA.Pbr adalah Putusan
Pengadilan Agama Pekanbaru atas perkara permohonan cerai talak antara
Pemohon, yang berusia 30 Tahun, beragama Islam, pendidikan terakhir sarjana,
pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal di kota Pekanbaru Melawan
Termohon, umur 33 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SLTA, pekerjaan ibu
rumah tangga, tempat tinggal di kota Pekanbaru (Termohon Konvensi/Penggugat
Rekovensi).
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Dilihat dari jenisnya, maka penelitian ini dapat digolongkan kepada
penelitian normatif (legal research) yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan
29
www. wikipedia.co.id diakses pada tanggal 13 April 2017 pukul 14.00 wib 30
Al-quran surat Muhammad ayat 25
data sekunder, sedangkan dilihat dari sifatnya maka penelitian ini digolongkan
kepada penelitian yang bersifat analisi yang berarti menganalisa suatu pokok
masalah dan kemudian menyimpulkannya
2. Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder. Dimana data sekunder ini
terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum premier merupakan bahan utama yang dijadikan
pembahasan dalam penelitian ini, yaitu berkas putusan Nomor
1599/PDT.G/2015/PA.Pbr, UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang mempunyai fungsi untuk
menambah atau memperkuat dan memberi penjelasan terhadap bahan
hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah
buku-buku serta pendapat-pendapat para ahli dalam berbagai literatur
yang berhubungan dengan penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier merupakan bahan yang berfungsi memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus
besar bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedi, dan artikel-artikel
yang berhubungan dengan penelitian ini.
d. Analisis Data
Proses analisis dalam penulisan penelitian ini penulis akan menggunakan
metode deskriptif-analitis, yaitu mendeskripsikan masalah yang di
temukan dari data yang berkaitan dengan bahan penelitian yang
selanjutnya akan di analisis. Adapun pedoman penulis dalam menyusun
penelitian ini adalah dengan menggunakan buku panduan penulisan skripsi
Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.
e. Metode Penarikan Kesimpulan
Metode penarikan kesimpulan yang digunakan dalam penulisan penelitian
ini adalah metode penelitian deduktif yaitu metode penarikan kesimpulan
dari hal yang umum ke khusus.