bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfagama dan aturan yang berlaku....

29
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial, semenjak dilahirkan manusia tidak bisa lepas dengan orang lain. Sepanjang perjalanan hidupnya seorang manusia selalu hidup bersama dengan orang lain dalam suatu pergaulan hidup. hal tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Pada umumnya, bagi seorang pria dan wanita yang sudah dewasa akan memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan yang berlainan jenis kelaminnya. Hidup bersama antara pria dan wanita dalam suatu ikatan dengan memenuhi syarat-syarat tertentu disebut perkawinan. Hidup bersama dilakukan untuk membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan norma Agama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh ketenangan serta kebahagiaan dalam hidup, dengan jalan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara terhormat. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur masalah perkawinan dengan amat teliti dan terperinci. perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan pihak-pihak yang bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya peminangan sebelum perkawinan dan ijab-kabul dalam akad nikah yang dipersaksikan sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki. Hak antara suami istri juga diatur,

Upload: hanhi

Post on 18-Apr-2019

223 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah mahluk sosial, semenjak dilahirkan manusia tidak bisa

lepas dengan orang lain. Sepanjang perjalanan hidupnya seorang manusia selalu

hidup bersama dengan orang lain dalam suatu pergaulan hidup. hal tersebut adalah

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik yang bersifat jasmani maupun yang

bersifat rohani.

Pada umumnya, bagi seorang pria dan wanita yang sudah dewasa akan

memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan yang berlainan jenis kelaminnya.

Hidup bersama antara pria dan wanita dalam suatu ikatan dengan memenuhi

syarat-syarat tertentu disebut perkawinan. Hidup bersama dilakukan untuk

membentuk keluarga dalam ikatan perkawinan yang sah sesuai dengan norma

Agama dan aturan yang berlaku.

Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan

keturunan dan memperoleh ketenangan serta kebahagiaan dalam hidup, dengan

jalan perkawinan yang sah pergaulan laki-laki dan perempuan terjadi secara

terhormat. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengatur masalah perkawinan

dengan amat teliti dan terperinci. perkawinan dilaksanakan atas dasar kerelaan

pihak-pihak yang bersangkutan, yang dicerminkan dalam adanya peminangan

sebelum perkawinan dan ijab-kabul dalam akad nikah yang dipersaksikan

sekurang-kurangnya dua orang saksi laki-laki. Hak antara suami istri juga diatur,

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

demikian pula hak dan kewajiban antara orang tua dan anak-anaknya. Apabila

terjadi perselisihan antara suami istri diatur pula bagaimana cara mengatasinya.

Hukum perkawinan mempunyai kedudukan amat penting karena hukum

perkawinan mengatur tata cara kehidupan keluarga yang merupakan inti

kehidupan masyarakat. Hukum perkawinan merupakan bagian dari ajaran agama

Islam yang wajib ditaati dan dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang

terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rosul.1

Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974

tentang perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 tahun

1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974. kemudian bagi

orang yang beragama Islam berlaku juga Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam sebagai pelengkap dari Undang-Undang No.1

Tahun 1974.

Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 merumuskan pengertian

perkawinan sebagai berikut: Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan itu tidak cukup

dengan adanya ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, tetapi harus kedua-duanya

sehingga akan terjalin ikatan lahir dan batin yang merupakan pondasi yang kuat

dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal.

1 Ahmad Azhar Basyir, Hukum perkawinan Islam, Yogyakarta, UII Press, 1990, hlm 1.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

Ikatan lahir adalah ikatan yang dapat dilihat, mengungkapkan adanya

suatu hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup

bersama sebagai suami isteri. Dengan kata lain dapat disebut hubungan formil.

Sebaliknya ikatan bathin merupakan ikatan yang tidak dapat dilihat, tetapi ikatan

itu harus ada. Karena tanpa adanya ikatan bathin, ikatan lahir akan rapuh.2

Perkawinan adalah termasuk perbuatan hukum, sah tidaknya suatu

perbuatan hukum ditentukan oleh hukum dan norma agama yang ada dan berlaku

saat ini. Perkawinan yang akan dilaksanakan harus memenuhi rukun dan syarat

yang sudah ditentukan, Rukun perkawinan merupakan hakekat yang memang

mutlak harus ada dalam suatu perkawinan karena apabila satu saja rukun

perkawinan tidak dipenuhi maka perkawinan tidak dapat terlaksana. Begitu juga

dengan syarat perkawinan haruslah dipenuhi karena apabila syarat tersebut tidak

terpenuhi atau melanggar larangan perkawinan maka perkawinan tersebut dapat

dibatalkan.

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua

makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan, maupun tumbuh-tumbuhan. Ia adalah

suatu cara dipilih oleh Allah SWT, sebagai jalan bagi makhluk-Nya untuk

berkembang baik, dan melestarikan hidupnya.3 Namun demikian tidak semua

perkawinan berjalan dengan baik sesuai dengan tujuannya perkawinan yang

disebabkan oleh berbagai hal yang menyebabkan timbulnya perceraian.

Perceraian merupakan sesuatu yang diperbolehkan namun dibenci oleh

Allah SWT. Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 yang

2 K. Wantjik saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980 hal. 14.

3 Zulkarnaini Umar, Nikah Sirih (Sebuah Analisis Hukum), Jurnal Mahkamah, VOL. 6, NO.2 hlm

119

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

dimaksud dengan perceraian adalah “putusnya perkawinan”.4 jadi, perceraian

adalah putusnya ikatan lahir batin antara suami dan istri yang mengakibatkan

berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami dan istri tersebut.5

Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa

perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat

untuk melangsungkan perkawinan. Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa:

Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal

bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan

lain.

Perkawinan dapat juga dibatalkan jika melanggar larangan perkawinan,

sebagaimana diatur dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974:

Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara

saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang

dengan saudara neneknya;

c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;

d. Berhubungan susuan, yaitu orangtua susuan, anak susuan, saudara susuan

dan bibi/paman susuan;

e. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari

istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;

4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

5 Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, Annlisa Yahana (Ed), Hukum Perceraian, Sinar

Grafika, Jakarta, 2010, hlm 18

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

Syarat-syarat perkawinan dan larangan perkawinan tersebut tidak boleh

dilanggar, karena jika ada syarat dan larangan perkawinan yang dilanggar maka

perkawinan tersebut dapat dibatalkan.

Menurut Hukum Islam dikenal istilah “Fasakh” yang artinya merusak atau

membatalkan. Fasakh dapat terjadi karena terdapat hal-hal yang membatalkan

akad nikah yang dilakukan dan dapat pula terjadi karena sesuatu hal yang baru

dialami sesudah akad nikah dilakukan dan perkawinan sudah berlangsung.

Berkaitan dengan judul skripsi penulis mengenai Pembatalan Perkawinan

Dengan Alasan Murtad Ditinjau dari Hukum Islam Pada Perkara Nomor

1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr (Studi Kasus). Bahwa dalam Perkara Nomor

1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr pihak Pemohon (suami) telah mengajukan permohonan

cerai talak pada tanggal 18 Nopember 2015 dan telah terdaftar di kepaniteraan

Pengadilan Agama Pekanbaru pada tanggal 23 Nopember 2015. Dalam pokok

perkaranya pihak Pemohon mengajukan permohonan cerai talak atas Termohon

karena berbagai kesalahan yang telah dilakukan oleh Termohon dan Pengadilan

Agama Pekanbaru menerima dan mengabulkan Permohonan Pemohon serta

memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak 1 Raj’i kepada

Termohon didepan sidang Pengadilan Agama Pekanbaru akan tetapi berdasarkan

keterangan tiga orang saksi bahwa pihak Pemohon sudah kembali kepada agama

semula (Kristen), Sementara ikrar talak hanya diberikan kepada orang yang

beragama Islam. Oleh karena itu Majelis Hakim berpendapat tidak memberi izin

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

kepada Pemohon Konvensi untuk menjatuhkan talak satu raj’i kepada Pemohon

Konvensi melainkan memfasakhkan (membatalkan) pernikahan Pemohon

Konvensi dengan Tergugat Konvensi.

Adapun kronologi perkara cerai talak dalam putusan nomor 1599

PDT.G/2015/PA.PBR yang menjadi pokok penelitian penulis adalah bahwasanya

antara pemohon dengan termohon pada saat melangsungkan pernikahan sama-

sama beragama Islam. Meskipun pada awalnya pemohon adalah beragama Kristen

yang memilih untuk pindah keyakinan kepada agama Islam (mualaf) pada saat

akan melangsungkan pernikahan. Pada awal pernikahan antara pemohon dan

termohon menjalani hidup rukun sebagaimana layaknya suami istri dan belum

dikaruniai anak, bahwa pada bulan agustus 2015 pernikahan antara pemohon dan

termohon terjadi perselisihan serta cekcok yang berkepanjangan yang pada

awalnya disebabkan masalah keuangan hingga membuat hubungan rumah tangga

antara pemohon dan termohon tidak lagi harmonis, kemudian permasalahan

berlanjut karena pemohon kembali keagama semula (Kristen) termohon tidak mau

masuk ke dalam agama Kristen bersama pemohon, lalu puncaknya pada bulan

September 2015 antara pemohon dan termohon berpisah ranjang dan tempat

kediaman sehingga pemohon dan termohon membuat dan menandatangani surat

kesepakatan atau perjanjian yang isinya adalah sepakat untuk bercerai.

Pada tanggal 18 novermber 2015 pemohon mengajukan gugatan

permohonan cerai talak yang didaftrakan di kepaniteraan pengadilan agama

pekanbaru. Bagaimana pembatalan perkawinan dengan alasan murtad ditinjau dari

hukum Islam dalam perkara Nomor 1599/PDT.G/2015/PA.PBR, apa

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

pertimbangan majelis hakim membatalkan perkawinan dengan alasan murtad

dalam perkara Nomor 1599/PDT.G/2015/PA.PBR. Inilah yang menjadi dasar atas

ketertarikan Penulis untuk melakukan penelitian lebih dalam lagi mengenai

Pembatalan Perkawinan Dengan Alasan Murtad Ditinjau dari Hukum Islam Pada

Perkara Nomor 1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr (Studi Kasus).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka secara garis besar

dapatlah diajukan berupa dua buah permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimana pembatalan perkawinan dengan alasan murtad ditinjau dari

Hukum Islam pada perkara nomor 1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr?

2. Apa dasar pertimbangan majelis hakim memutuskan perkara perkawinan

dengan alasan murtad pada perkara nomor 1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian tentu ada tujuan yang hendak dicapai, demikian

juga halnya dengan penelitian ini. Maka sesuai dengan perumusan masalah diatas

maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pembatalan perkawinan dengan alasan murtad

ditinjau dari Hukum Islam pada perkara nomor

1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr?

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan majelis hakim memutuskan

perkara perkawinan dengan alasan murtad pada perkara nomor

1599/Pdt.G/2015/Pa.Pbr?

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat penelitian ini antara lain adalah :

a. Sebagai bahan referensi untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum

Islam tentang alasan murtad sebagai penyebab fasakhnya perkawinan.

b. Sebagai bahan referensi Untuk mengetahui dasar pertimbangan majelis

hakim memfasakh perkawinan dengan alasan murtad.

c. Sebagai bahan referensi Untuk mengetahui apa saja penyebab yang

dapat membatalkan perkawinan atau memfasakhkan perkawinan.

D. Tinjauan Pustaka

1. Teori-Teori

Untuk melandasi tulisan ini pada teori ilmiah, maka penulis mengambil tiga

teori.

a. Teori Perkawinan

Kehidupan bekeluarga terjadi lewat perkawinan yang sah.6 Konsep

perkawinan memiliki arti dari berbagai sudut pandang, secara yuridis definisi

perkawinan di atur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1, perkawinan

adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan kesatuan

6 Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan, Al-Bayan, Bandung, 1994, hlm. 14

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

dua individu laki-laki dan perempuan menjadi satu kesatuan yang saling

mencintai, saling menginginkan kebersamaan, saling membutuhkan, saling

memberi dukungan, saling melayani, kesemuanya diwujudkan dalam kehidupan

yang dinikmati bersama. Perkawinan sebagai hubungan antara seorang laki-laki

dan perempuan untuk bersama-sama memenuhi hasrat melangsungkan hidupnya

dengan menurunkan keturunannya. Istilah perkawinan sendiri adalah kata

bentukan dari kata dasar kawain dengan diberi awalan per dan akhiran an,

sehingga menjadi kata berimbuhan Perkawinan. Fungsi awalan per kebanyakan

menunjukkan arti hal, urusan, sehingga perkawinan berarti urusan kawin,

perayaan kawin, dan sebagainya.7

Perkawinan tidak hanya dilihat dari dimensi prokreasi (menghasilkan

keturunan), tetapi sudah meluas kepada kebutuhan psikologis pasangan suami

istri. Perkawinan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan yang bukan

semata-mata guna memenuhi kebutuhan psikologis, tetapi juga kebutuhan

afeksional (kasih sayang), kebutuhan mencintai dan dicintai, kasih sayang, rasa

aman dan terlindungi, dihargai dan diperhatikan. Ikatan perkawinan merupakan

suatu kesepakatan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang ditujukan

untuk saling mencintai satu sama lain dan berjanji untuk tidak mencintai orang

lain lagi, saling berbagi perasaan, dan saling berbagai kebahagiaan. Perkawinan

merupakan sumber penyediaan keintiman, persahabatan, kasih sayang,

pemenuhan kebutuhan seksual dan kebersamaan antara sepasang suami istri.

7 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 2010, hlm. 87

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

Perkawinan merupakan perbuatan yang penting dalam kehidupan manusia,

karena merupakan bentuk pergaulan hidup manusia dalam lingkungan masyarakat

sosial yang terkecil, tetapi juga lebih dari itu bahwa perkawinan merupakan

perbuatan hukum dan perbuatan keagamaan. Negara mempunyai kepentingan pula

untuk turut mencampuri urusan masalah perkawinan dengan membentuk dan

melaksanakan perundang-undangan tentang perkawinan. Tujuannya untuk

memberi perlindungan terhadap rakyat sebagai salah satu unsur negara, melalui

hukum yang berlaku dan diberlakukan terhadap mereka.8

Berdasarkan uaian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan adalah

suatu ikatan yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai

sepasang suami istri untuk berjanji hidup bersama-sama dan saling mengisi dalam

pemenuhan kebutuhan biologis maupun psikologis serta selalu berusaha saling

menciptakan dan mempertahankan kebahagiaan dan keharmonisan perkawinan

sehingga tujuan dan harapan yang diinginkan dapat tercapai.

1) Tujuan perkawinan

Suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya mencapai kesejahteraan spiritual dan

material. Tujuan perkawinan adalah mengembangkan kepribadian untuk mencapai

kesejahteraan spiritual dan material. Tujuan perkawinan sesungguhnya sangat

8 Hamid Pongoliu. Perceraian Akibat Peralihan Agama: Studi Kasus Tentang Putusan Hakim

Pengadilan Agama Gorontalo. Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015, hlm 45.URL:

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=392528&val=6177&title=PERCERAIAN%2

0%20AKIBAT%20%20PERALIHAN%20%20AGAMA:%20%20STUDI%20KASUS%20TENT

ANG%20PUTUSAN%20HAKIM%20PENGADILAN%20AGAMA%20GORONTALO. Akses

tanggal 02 Februari 2018.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

mulia apabila dilandaskan kesadaran untuk saling memberi yang terbaik walaupun

pasangannya tidak menuntut hal tersebut.

Ada pendapat lain yang mengatakan perkawinan adalah untuk

menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan yang menjadi

pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam membina

keluarga, setiap orang menginginkan kehidupan yang bahagia bersama

pasangannya sampai akhir waktu. Tujuan bersama dalam perkawinan adalah

komposisi dari setiap tujuan personal pasangan yang mungkin dengan cara

kooperatif akan menyertakan kedua keinginan pasangan tersebut, apabila kedua

keinginan tersebut terkandung dalam satu tujuan bersama sebagai hasil akhir.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan

adalah untuk menciptakan hidup rumah tangga yang sejahtera bersama pasangan

yang menjadi pilihan dan untuk meneruskan keturunan pada umumnya dalam

membina keluarga yang bahagia bersama pasangannya sampai akhir waktu.9

2) Tahap-tahap kehidupan perkawinan

Tahap-tahap dalam perkawinan perlu diketahui agar mengerti tentang

konsep perjalanan hidup pasangan serta masa-masa krisis yang dialaminya.

Terdapat tiga periode dalam perkawinan yaitu, tahun awal (early years). Masa ini

mencakup kurang lebih 10 tahun pertama perkawinan. Masa ini merupakan masa

perkenalan dan masa penyesuaian diri bagi kedua belah pihak, pasangan suami

istri berusaha untuk saling mengenal, menyelesaikan sekolah atau memulai karier,

merencanakan kehadiran anak pertama serta mengatur peran masing-masing

9 Ibid.,hlm. 90

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

dalam menjalani hubungan suami istri tahun-tahun pertama biasanya sangat sulit

untuk dilalui karena pasangan muda ini tidak dapat mengantisipasi ketegangan

atau tekanan yang mungkin timbul.10

Angka perceraian tertinggi terjadi antara tahun kedua sampai tahun

keempat pekawinan. Suami istri harus saling belajar satu sama lain untuk saling

mengenal, sebab pada masa ini biasanya terjadi suatu krisis yang disebabkan

karena masing-masing kurang memainkan peranan baru baik suami istri ataupun

sebagai orangtua; yang kedua Tahun pertengahan (midlle years). Periode ini

berlangsung antara tahun kesepuluh sampai dengan tahun ketigapuluh dari masa

perkawinan. Masa yang terjadi pada tahap ini adalah “child full phase” yang

kemudian diikuti oleh “us aging phase”. Pada “child full phase” orangtua

mengkonsentrasikan pada pengembangan dan pemeliharaan keluarga, selain itu

suami istri harus mampu menyelesaikan konflik-konflik sosial yang timbul dalam

perkawinan, sehingga tidak terjadi ketegangan dalam keluarga. Pada “us aging

phase” pasangan suami istri menemukan dan membangun kembali hubungan

antara kedua belah pihak. Pasangan suami istri kembali menyusun prioritas baru

dan menikmati hubungan intim yang telah diperbaharui, tanpa ada anak-anak

dalam rumah.11

Bagi suami istri yang tidak memiliki anak, maka fase ini dapat digunakan

untuk memusatkan perhatian pada karier ataupun aktivitas-aktivitas produktif

lainnya. Pasangan suami istri merupakan titik penting, yang berarti bahwa suami

istri serasa berada dalam sarang kosong karena anak-anaknya telah pergi atau

10

Ibid.,hlm. 92 11

Ibid.,hlm. 94

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

menikah; tahun ketiga, Tahun matang (mature years). Masa ini dimulai pada

tahun ketiga puluh dalam perkawinan. Pasangan suami istri berada dalam peran

yang baru, misalnya bertindak sebagai kakek atau nenek, menikmati hari tua

bersama-sama atau hidup sendiri lagi karena salah satu pasangan telah meninggal

lebih dulu. Masa ini merupakan masa pensiun atau pengunduran diri dari

kegiatan-kegiatan di dalam dunia kerja.12

Periode pernikahan menjadi tiga, yaitu, yang pertama Tahun-tahun awal

sebagai periode dewasa dini. Pada periode ini terdapat kesulitan penyesuaian

pernikahan yang dialami oleh pasangan suami istri di awal-awal pernikahan.

Penyesuaian diri ini biasanya sering timbul ketegangan emosi yang memicu

adanya pertikaian atau konflik dalam rumah tangga, yang muncul dari pihak

suami maupun istri. Tahun awal perkawinan adalah periode penyesuaian yang

banyak memerlukan adanya sikap kedewasaan dari kedua belah pihak, biasanya

pasangan mempunyai sikap ego yang tinggi, saling mempertahankan

keinginannya, merasa lebih pengalaman, merasa lebih pandai dan sebagainya;

tahu kedua, Tahun-tahun pertengahan sebagai periode usia madya. Periode

pernikahan ini anak-anak mulai meninggalkan rumah untuk studi di perguruan

tinggi, menikah atau mencari pekerjaan. Orangtua harus menghadapi masalah

penyesuaian kehidupan yang biasa disebut periode sarang kosong atau empty nest.

Pada saat periode ini terjadi, berarti bahwa pada saat itu kedua orangtua tersebut

harus melakukan perubahan peran dan keluarga tersebut perlu mencari kegiatan di

luar rumah; tahun ketiga, Tahun-tahun kematangan sebagai periode usia lanjut.

12

Ibid.,hlm. 95

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

Periode ini penyesuaian terhadap pembangunan hubungan yang baik pada

pasangan penting untuk dilakukan. Perubahannya peran dari pekerja ke pensiunan

kebanyakan pria menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tinggal di rumah

daripada yang dilakukan sebelum pensiun. Hubungan yang baik dengan pasangan

akan mendatangkan kebahagiaan, sebaliknya jika hubungan yang kaku dan dingin

maka percekcokan akan meningkat13

.

Berdasarkan pendapat ahli di atas dapat disimpulkan bahwa periode

pernikahan ada tiga bagian yaitu :

a. Usia pernikahan 10 tahun pertama merupakan tahun-tahun periode awal

pernikahan. Pada periode ini, masa krisis yang dialami suami istri adalah

penyesuaian dengan pasangan dalam hal penyesuaian masalah-masalah

yang muncul dalam pernikahan dan apabila tidak berhasil akan

menimbulkan konflik;

b. Usia pernikahan antara 10-30 tahun merupakan periode menengah

dalam suatu pernikahan. Pada periode ini, suami istri akan mengalami

child full phase yaitu fase untuk mengkonsentrasikan diri pada

pengembangan dan pemeliharaan keluarga serta memikirkan tujuan yang

baru untuk masa yang akan datang. Pada fase ini suami istri juga

mengalami use again phase yaitu fase suami istri mulai menyusun

kembali prioritas baru dan belajar menikmati hubungan intim yang telah

diperbaharui tanpa kehadiran anak atau empty nest;

13

Ibid.,hlm. 98

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

c. Usia pernikahan 30 tahun ke atas merupakan tahun-tahun kematangan

pada fase ini suami istri mempunyai peran baru yaitu sebagai kakek

nenek, pensiun dan banyak menghabiskan waktu di rumah.

b. Teori Perceraian

Didalam suatu perkawinan perlu adanya suatu ketentuan yang menjadi

dasar atau prinsip dari pelaksanaan suatu perkawinan. Berikut ini akan diuraikan

tentang prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan, yang diatur dalam

penjelasan umum dari UU Perkawinan Nasional (UU No. 1 Tahun 1974).

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yan bahagia dan kekal.

Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai

kesejahteraan spritual dan material.

2. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan sah

bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki

yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan

mengijinkan, seorang suami dapat beristri labih dari seorang.

4. Undang-Undang ini (UU No.1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah No.

9 Tahun 1975) menganut prinsip bahwa calon suami istri itu harus telah

masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya

dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berfikir pada

perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip

untuk mempersukar terjadinya perceraian.

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam kelurga dapat

dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri.14

14

Sution Usman Adji, Kawin Lari Dan Kawin Antar Agama , Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 105

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memuat asas-asas hukum

perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan umumnya, yaitu

sebagai berikut.

1. Tujuan perkawinan adalah memebentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

Untuk itu, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-

masing dapat mengembangkan kepribadiannya membentuk dan mencapai

kesejahteraan spiritual dan materil.

2. Dalam Undang-Undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah

sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa

penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang

dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga

dimuat dalam daftar pencatatan.

3. Undang-Undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila dikehendaki

oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan

mengizinkannya. seorang suami dapat beristri lebih dari seorang. Namun

demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri

meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan hanya

dapat dilakukan apabila memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan

diputuskan oleh Pengadilan.

4. Undang-Undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri itu harus

telah masak jiwa-raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar

supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir

pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu

harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di

bawah umur. Karena perkawinan itu mempunyai hubungan dengan

masalah kependudukan, maka untuk mengerem laju kelahiran yang lebih

tinggi, harus dicegah terjadinya perkawinan antara calon suami istri yang

dibawah umur, sebab batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita

untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika

dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi. Berhubung dengan itu,

maka Undang-Undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi

pria maupun wanita, ialah 19 Tahun bagi pria dan 16 Tahun bagi wanita

5. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang

bahagia dan kekal dan sejahtera, maka Undang-Undang ini menganut

prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan

perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan

sidang Pengadilan.

6. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga

dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami istri15

Perceraian harus disertai dengan lasan-alasan hukum sebagaimana dalam

pasal 39 k ada yaitu :

1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi,

dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan

2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut

tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di

luar kemampuannya

3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang

lebih berat setelah perkawinan berlangsung

4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang

membahayakan pihak lain

5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri

6. antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan

tidak ada harapan akan hidupm rukun lagi dalam rumah tangga16

Putusnya perkawinan diatur dalam, Pasal 38 sampai dengan pasal 41 UU

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 14 sampai dengan pasal 36 PP

Nomor 9 Tahun 1975, pasal 199 KUH Perdata, Pasal 113 sampai dengan pasal

128 Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

c. Teori Murtad

Secara etimologi kata murtad berasal dari bahasa Arab Radd atau Irtadda,

yang artinya berbalik atau keluar. Pemakian dalam bahasa Indonesia, murtad

dianggap semakna dengan riddhatau irtiddad. Pelakunya disebut murtad. Murtad

dari segi bahasa berasal dari fiil radda yaruddu juga bisa diartikan menolak,

berpaling atau mengembalikan. Arti kalimat-kalimat tersebut selaras dengan arti

beberapa ayat al-Quran misalnya murtad dalam makna kembali-dikembalikan,

terdapat dalam Surat Al-An’am ayat 28.

15

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 16

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

Artinya: Tetapi (sebenarnya) telah nyata bagi mereka kejahatan yang

mereka dahulu selalu menyembunyikan. Sekiranya mereka telah dilarang

mengerjakannya. Dan sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka.

Arti murtad kembali-dikembalikan juga terdapat dalam surat Ali Imron

ayat 149.

Artinya: Hai orang-orang beriman, jika kamu mentaati orang-orang yang

kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kapada

kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.

Begitu juga dalam Surat Al-Baqarah ayat 109.

Artinya: Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat

mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena

dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka

kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah

mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala

sesuatu.

Contoh murtad yang artinya paling-berpaling yang selaras dengan surat

Muhammad ayat 25.

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang kembali kebelakang (kepada

kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan

mereka budak (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka

Kemudian dalam surat Yusuf ayat 96

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

Artinya: Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka

diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya’kub, lalu kembalilah dia dapat

melihat. Berkata Ya’qub: “Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku

mengetahui dari Allah apa yang kumu tidak mengetahuinya”

Pada surat Yusuf ayat 96, Allah mengartikan kata riddah sebagai kembali,

sebagaimana firman Allah artinya: lalu kembalilah dia (ya’kub) dapat melihat.

Jadi kalimat riddah berasal dari kalimat isim al-irtidad. Karena itu dilihat dari

segi bahasa, arridah memiliki beberapa arti sebagaimana diterangkan diatas.

Berdasarkan uraian ini, arti murtad dalam ayat-ayat tersebut (kecuali surat Yusuf

ayat 96) memiliki arti menolak, yakni menolak kebenaran; berpaling maksudnya

adalah berpaling dari agama Allah, Islam; dan makna kembali maksudnya

kembali kepada kekufuran.

Sementara kata murtad dalam Kompilasi Hukum Islam disebut sebanyak

dua kali, yaitu pada Pasal 75 dan Pasal 116. Pasal 75 menyebut kata murtad untuk

menjelaskan dampak pembatalan perkawinan karena murtad, sedangkan Pasal 116

menyebut kata murtad sebagai salah satu alasan perceraian.17

2. Hasil Penelitian Terdahulu

Hasil penelitian diketahui proses terjadinya perkawinan poliandri yang

dilakukan oleh isteri dalam perkara Nomor 118/Pdt.G/2010/PA.PBR adalah tidak

dapat dibenarkan karena dokumen tidak dalam bentuk asli melainkan photokopi,

hal ini dibuktikan pada saat tergugat I telah berbohong kepada pihak KUA Sail

dengan menyatakan bahwa tergugat I berstatus janda dengan akta cerai hilang dan

17 Ahda Bina Alfianto. Status Perkawinan Ketika Suami Atau Isteri Murtad Dalam Kompilasi

Hukum Islam. Jurnal Humanity, Volume 9, Nomor 1, 2010, hlm 123. URL:

https://media.neliti.com/media/publications/11343-ID-status-perkawinan-ketika-suami-atau-isteri-

murtad-dalam-kompilasi-hukum-islam.pdf. Akses tanggal 02 Februari 2018.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

tidak pernah menggunakan akta cerai asli, melainkan menggunakan copy akta

cerai yang dileges di Pengadilan Agama Pekanbaru tanggal 30 April 2009 yang

dinyatakan oleh surat keterangan hilang dari Polisi. Pertimbangan hukum bagi

majelis hakim dalam putusan perkara Nomor 118/Pdt.G/2010/PA.PBR adalah

membatalkan perkawinan tergugat I Arneti Binti Azim dengan tergugat II

Sardiono Bin Ahmad yang dilangsungkan di KUA Kecamatan Sail Pekanbaru

Riau tanggal 14 Mei 2009 serta menyatakan akta nikah dan kutipan akta nikah

Nomor; 66/08/V/2009 tanggal 04 Mei 2009 tidak berkekuatan hukum. 18

Penelitian terdahulu diatas terdapat perbedaan dengan penelitian yang

peneliti laksanakan, letak perbedaan pada permasalahan yang mendasar dari

perkara Nomor 118/Pdt.G/2010/PA.PBR yakni tentang poliandri, sementara

peneliti meneliti mengenai masalah murtad.

Hasil penelitian menunjukan bahwa penafsiran yang digunakan oleh

Hakim adalah penafsiran sistematis, menurut Hakim tidak terbukti adanya

indikasi mengenai salah sangka atau penipuan berdasarkan Pasal 27 ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 72 (2) Kompilasi Hukum Islam,

dan penafsiran gramatikal mengenai salah sangka dan penipuan mengenai status

Termohon. Bahwa status Termohon sebagai janda kemudian dituliskan sebagai

perawan tidak terbukti adanya penipuan atau salah sangka karena Pemohon yang

menyarankan status Termohon dituliskan sebagai perawan, sehingga tidak terjadi

obscure lible karena subyeknya sama tidak mengakibatkan terjadinya eror in

persona. Seharusnya Hakim dalam mempertimbangkan alasan-alasan pembatalan

18

Fauzna Asnsari, Pembatalan Perkawinan Yang Disebabkan Karena Istri Poliandri Dalam

Perkara Nomor 1186/PDT.G/2010/PA.PBR. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Islam Riau,

2015, hlm 79.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

tidak langsung pada pasal-pasal mengenai salah sangka atau penipuan mengenai

suami atau isteri saja, akan tetapi menafsirkan juga mengenai ketentuan syarat

sahnya perkawinan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan kedua calon

mempelai yang telah ditentukan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun

1974.19

Hasil penelitian terdahulu terdapat perbedaan dengan bahan penelitian

peneliti, letak perbedaan pada permasalahan yang mendasar yakni peneliti

terdahulu membahas mengenai penipuan status perkawinan sebelumnya untuk

melakukan perkawinan kedua, sementara peneliti meneliti mengenai masalah

murtad.

Pertimbangan Hukum perkara putusan cerai gugat dengan putusan Talaq

Ba’in Shugro dengan alasan murtad, majelis Hakim berpendapat bahwa meskipun

putusan tersebut tidak diputus dengan Fasakh, namun akibat Hukum yang

ditimbulkan sama yaitu tidak dimungkinkannya rujuk kembali. Selain itu, yang

menjadi pertimbangan sehingga tidak diputus Fasakh karena dalam gugatan lebih

mengarahkan pada persoalan lahirnya percekcokan dan perselisihan. Dasar

pertimbangan hakim dalam memutuskan gugatan cerai dari istri kepada suami

yang murtad pada Putusan Perkara Nomor: 74/pdt.G/2012/PA.Mks yaitu KHI

pasal 116 (f) dan KHI pasal 116 (b). namun yang terlupakan adalah KHI pasal

116 huruf (g) dimana tergugat juga tidak memberikan nafkah kepada Penggugat.

Alasan kuat lainnya yakni yang sesuai dengan KHI pasal 116 (h) karena salah satu

19

Hanny Nur Afiifah, Penafsiran Hukum Yang Digunakan Hakim Mengenai Syarat Sahnya

Perkawinan (Studi Terhadap Putusan Perkara Nomor: 0317/Pdt.G/2014/PA.Bjr), Skripsi,

Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, 2015.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

pihak telah murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah

tangga. Terdapat akibat hukum dari putusan talaq satu ba‟in sughra yaitu majelis

hakim Pengadilan Agama Dipersamakan dengan putusan Fasakh dan diperkuat

dengan ketentuan Pasal 155 KHI, dimana akibat hukum yang ditimbulkan

terhadap status perkawinan adalah tidak dimungkinkannya rujuk kembali dan

akibat hukum dari kedudukan anak dalam hal mewaris bahwa ayah yang telah

murtad tidak berhak menjadi wali terhadap anak-anaknya yang muslim dan tidak

ada hubungan waris mewaris antara anak dan ayah yang berbeda agama, kecuali

jika ayahnya kembali memeluk Agama Islam, meskipun tanpa akad nikah baru,

maka akan kembali tersambung hubungan waris mewaris.20

Sumber rujukan ketiga pada penelitian terdahulu diatas terdapat persamaan

dengan penelitian yang peneliti laksanakan, yakni penelitian sama-sama

mempermasalahkan perceraian akibat murtad. Namun terdapat perbedaan yang

perbedaan dalam pengajuan gugatan yang dilakukan atas dasar ketidakcocokan

yang berakibat pada pertengkaran dan percekcokan dalam rumah tangga.

Dalam perkawinan yang diajukan permohonan pembatalannya di

Pengadilan Agama Slawi, yang kemudian didaftar dalam perkara Nomor

59/Pdt.G/2005/PA.Slw. terdapat halangan dan bertentangan dengan prinsip

perkawinan yaitu unsur kesepakatan dan asas monogami, yang mengatur apabila

hendak menikah lagi, seorang suami harus memenuhi syarat yang terdapat dalam

peraturan perundang-undangan, karena dengan adanya penipuan tersebut maka

telah terjadi suatu perkawinan. Hal ini tidak akan terjadi apabila sejak awal para

20

Rati Widyaningsi Latif, Cerai Gugat Dengan Alasan Murtad (Study Kasus Putusan Nomor

74/Pdt.G/2012/PA.Mks), Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, 2013, hlm 74-75

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

pihak mengetahui kebenaran tentang status diri mereka masing-masing.

Sedangkan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan

tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata

atau perikatan yang diperbuat suami isteri sebelum pembatalan perkawinan tetap

berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami isteri tersebut, sehingga pihak

ketiga yang beritikad baik tidak dirugikan. Atas adanya perjanjian yang telah

dilakukan, maka perjanjian yang ada harus tetap dilaksanakan sesuai dengan

kesepakatan yang telah ditandatangani. Perlindungan hukum ini diberikan dengan

mendasarkan pada Pasal 75 Kompilasi Hukum Islam.21

Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian yang peneliti laksanakan

terletak pada permasalahan perkara yang diajukan, yakni peneliti di atas

membahas masalah penipuan dalam perkawinan sementara peneliti membahas

masalah murtad.

Hasil penelitian menyatakan bahwa Pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum

Islam menyatakan bahwa peralihan agama/murtad yang menyebabkan ketidak

rukunan dalam rumah tangga. Putusan Hakim Pengadilan Agama Pekanbaru

Nomor 354/Pdt.G/2013/PA.PBR telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan

dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengenai putusan perkara serta

akibatnya jo Pasal dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975. Pasal 39 ayat

(2) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 bahwa untuk melakukan perceraian harus

ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai

suami istri. Hakim menjadikan penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang No.1

21

Yusnidar Rachman, Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya Di Pengadilan Agama

Slawi, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, 2006, hlm 75-76

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 sebagai

salah satu alasan perceraian yaitu: ”antara suami istri terus menerus terjadi

peselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam

rumah tangga”.22

Penelitian ini menyimpulkan bahwa apabila terdapat salah satu pihak yang

Murtad, dapat berdampak pada perkawinan dan status hak waris anak. Oleh

karena itu, perkawinan para pihak yang telah putus tidak mungkin bisa rujuk

kembali kecuali dengan melakukan akad nikah yang baru. Mengenai status hak

waris anak, anak tidak dapat mewarisi harta dari orangtuanya yang telah Murtad

karena dalam Hukum Islam Murtad menjadi penggugur dalam hal mewaris.23

Hukum kompilasi Islam belum mengakomodasi isu tentang Murtad yang

ditunjukkan oleh seorang suami atau istri secara proporsional. Pasal 70 dari

Kompilasi Hukum Islam tidak menyebutkan perlakuan pengingkaran sebagai

penyebab pembatalan pernikahan. Tapi pada pasal 75 menyebutkan secara implist

bahwa hal tersebut adalah alasan murtad. Sementara pada pasal 116 tidak

menyebutkan bahwa murtad sebagai alasan untuk bercerai, jika ada

ketidakharmonisan dalam rumah tangga. Keputusan hukum sangat ambigu.

Pertama, ada dua pasal yang memberikan dua keputusan yang berbeda pada isu

yang sama. Kedua, kompilasi hukum islam tidak menyebut Murtad sebagai salah

22

Mirna Citra Ranitabika. Kajian Yuridis Alasan Perceraian Akibat Murtad Menurut Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam Berdasarkan Putusan Pengadilan

Agama Pekanbaru Nomor : 354/Pdt.G/2013/PA.PBR. Jurnal Hukum Universitas Brawijaya, 2016,

hlm 6. URL: http://hukum.studentjournal.ub.ac.id/index.php/hukum/article/view/2067. Akses

tanggal 02 Februari 2018. 23

Diana Aristanti, Dyah Ochtorina Susanti, Pratiwi Pusphitho Andini. Cerai Gugat Akibat Murtad

(Studi Putusan Pengadilan Agama Palu No: 0249/Pdt.G/2016/PA.Pal). e-Journal Lentera Hukum,

Volume 4, Issue 1 2017, hlm 21. URL:

https://jurnal.unej.ac.id/index.php/eJLH/article/download/4492/3483/. Akses tanggal 02 Februari

2018.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

satu dari penyebab pembatalan pernikahan pada pasal 70 tapi pada pasal 75

menyebutkan Murtad penyebab pembatalan pernikahan. Untuk membenarkan

keambiguan ini, Kompilasi Hukum Islam harus memberikan keputusan yang

jelas. Ketika kompilasi hukum islam telah menyebutkan Murtad menyebabkan

pembatalan penikahan, kemudian isu ini tidak perlu disebut lagi sebagai salah satu

alasan perceraian. Ketika pada pasal 75 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan

Murtad adalah salah satu alasan pembatalan pernikahan, itu harus dijelaskan pada

pasal 70 yang menyebabkan bahwa Murtad adalah penyebabnya.24

Perceraian akibat cekcok atas dasar peralihan agama yang diselesaikan di

Pengadilan Agama Gorontalo dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2013 hanya

ada dua kasus yang telah diajukan dan terselesaikan di Pengadilan Agama

Gorontalo. Persoalan peralihan agama atau pindah agama adalah persoalan yang

rumit dan sangat berpengaruh pada keharmonisan rumah tangga suami istri yang

akan menyebabkan terjadinya cekcok berkepanjangan dan tidak dapat

diselesaikan sampai berakibat perceraian. Peralihan agama adalah pindah agama,

dan dalam istilah hukum Islam adalah murtad. Perbuatan ini termasuk dalam

katogori kafir yang memicu masalah besar yang tidak dapat didamaikan, yang

pada akhirnya sampai pada persidangan dan majelis hakim memutuskan perkara

tersebut dikabulkan. Perbuatan pindah agama dapat dijadikan alasan untuk

melakukan perceraian diarena masalah pindah agama merupakan masalah yang

tersangkut dengan perbuatan kekafiran yang memicu masalah besar yang sulit

24

Ahda Bina Alfianto. Status Perkawinan Ketika Suami Atau Isteri Murtad Dalam Kompilasi

Hukum Islam. Jurnal Humanity, Volume 9, Nomor 1, 2010, hlm 123. URL:

https://media.neliti.com/media/publications/11343-ID-status-perkawinan-ketika-suami-atau-isteri-

murtad-dalam-kompilasi-hukum-islam.pdf. Akses tanggal 02 Februari 2018.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

untuk diselesaikan dengan cara damai. Peralihan agama membawa akibat pada

sulitnya menetapkan status agama anak, pemeliharaan, pendidikan, pembiayaan,

dan tentang harta warisan, harta bersama antara suami istri.25

Adanya persamaan dari ketiga penelitian terdahulu dengan penelitian yang

peneliti laksanakan yakni terdapat pada masalah perceraian akibat murtad, namun

terdapat perbedaan dalam pengajuan pokok perkara yang terjadi dan dengan

perkara yang berbeda.

E. Konsep Operasional

Pengertian pembatalan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)

adalah pengurungan, proses, perbuatan, cara membatalkan, pernyataan batal.26

Pengertian perkawinan menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) berarti hal

yang berkenaan dengan kawin, pernikahan, persetubuhan hewan.27

Jadi

pembatalan perkawinan berarti proses batalnya pernikahan atau perkawinan.

Pengertian murtad menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah

berarti berputar kebelakang, berbalik arah, keluar dari islam, membuang iman.28

Perbuatan yang demikian jelas merupakan tindakan yang merusak iman, karena

itu iman kepada Allah dan rukun-rukun iman yang lain harus dijaga dan di

pelihara dengan baik dan terus menerus. Sebab godaan setan selalu melingkari

orang-orang yang beriman. Apabila seorang lengah, maka setan akan

25

Hamid Pongoliu. Perceraian Akibat Peralihan Agama: Studi Kasus Tentang Putusan Hakim

Pengadilan Agama Gorontalo. Jurnal Al-Mizan Volume 11 Nomor 1 Juni 2015, hlm 45.URL:

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=392528&val=6177&title=PERCERAIAN%2

0%20AKIBAT%20%20PERALIHAN%20%20AGAMA:%20%20STUDI%20KASUS%20TENT

ANG%20PUTUSAN%20HAKIM%20PENGADILAN%20AGAMA%20GORONTALO. Akses

tanggal 02 Februari 2018. 26

Tim Prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru, Gitamedia press, hlm 109 27

Tim Prima pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru, Gitamedia press, hlm 402 28

Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia, Reality publisher, Surabaya, 2008, hlm 461

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

merongrongnya, sehingga iman yang sudah ada dan tertanam didalam hati, secara

perlahan-lahan terkikis abis yang pada akhirnya menjadi kafir dan keluar dari

islam. Apabila sudsh sampai ketingkat ini, maka berarti ia telah lari dan

menghindari petunjuk-petunjuk allah dan menuju kepada jalan kesesatan kan

kekafiran.29

Allah SWT berfirman pada surat Muhammad ayat 25:

Artinya “sesungguhnya orang-orang yang kembali kebelakang (kepada

kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, setan telah menjadikan

mereka budak (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.30

Sedangkan Putusan Nomor 1599/PDT.G/2015/PA.Pbr adalah Putusan

Pengadilan Agama Pekanbaru atas perkara permohonan cerai talak antara

Pemohon, yang berusia 30 Tahun, beragama Islam, pendidikan terakhir sarjana,

pekerjaan karyawan swasta, tempat tinggal di kota Pekanbaru Melawan

Termohon, umur 33 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir SLTA, pekerjaan ibu

rumah tangga, tempat tinggal di kota Pekanbaru (Termohon Konvensi/Penggugat

Rekovensi).

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Dilihat dari jenisnya, maka penelitian ini dapat digolongkan kepada

penelitian normatif (legal research) yaitu penelitian yang dilakukan berdasarkan

29

www. wikipedia.co.id diakses pada tanggal 13 April 2017 pukul 14.00 wib 30

Al-quran surat Muhammad ayat 25

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

data sekunder, sedangkan dilihat dari sifatnya maka penelitian ini digolongkan

kepada penelitian yang bersifat analisi yang berarti menganalisa suatu pokok

masalah dan kemudian menyimpulkannya

2. Data dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder. Dimana data sekunder ini

terdiri dari:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum premier merupakan bahan utama yang dijadikan

pembahasan dalam penelitian ini, yaitu berkas putusan Nomor

1599/PDT.G/2015/PA.Pbr, UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan bahan yang mempunyai fungsi untuk

menambah atau memperkuat dan memberi penjelasan terhadap bahan

hukum primer. Adapun bahan hukum sekunder dalam penelitian ini adalah

buku-buku serta pendapat-pendapat para ahli dalam berbagai literatur

yang berhubungan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier merupakan bahan yang berfungsi memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus

besar bahasa Indonesia, kamus hukum, ensiklopedi, dan artikel-artikel

yang berhubungan dengan penelitian ini.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangrepository.uir.ac.id/380/1/bab1.pdfAgama dan aturan yang berlaku. Perkawinan merupakan tuntutan naluriah manusia untuk meneruskan keturunan dan memperoleh

d. Analisis Data

Proses analisis dalam penulisan penelitian ini penulis akan menggunakan

metode deskriptif-analitis, yaitu mendeskripsikan masalah yang di

temukan dari data yang berkaitan dengan bahan penelitian yang

selanjutnya akan di analisis. Adapun pedoman penulis dalam menyusun

penelitian ini adalah dengan menggunakan buku panduan penulisan skripsi

Fakultas Hukum Universitas Islam Riau.

e. Metode Penarikan Kesimpulan

Metode penarikan kesimpulan yang digunakan dalam penulisan penelitian

ini adalah metode penelitian deduktif yaitu metode penarikan kesimpulan

dari hal yang umum ke khusus.