bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.uir.ac.id/698/1/bab1.pdf · 5 2. asas yuridis...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata
kehidupan negara dan bangsa yang adil dan sejahtera, aman, tentram, dan
tertib, serta menjamin kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat.
Untuk mencapai tujuan dimaksud, pembangunan nasional yang dilaksanakan
secara berkesinambungan dan berkelanjutan serta merata di seluruh tanah air
memerlukan biaya besar yang harus digali terutama dari sumber kemampuan
sendiri.
Pada hakekatnya, negara dapat dipandang sebagai kumpulan manusia
yang hidup untuk mencapai beberapa tujuan bersama. Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah Negara Hukum (rechtstaat) yang berdasarkan
Pancasila. Konsep Negara Indonesia memasuki alam kemerdekaan, yaitu
dengan berlakunya Undang-undang Dasar 1945. Begitu pula saat
diberlakukannya Undang-Undang Dasar 1949 (Konstitusi Republik Indonesia
Serikat), Undang-undang Dasar Sementara 1950 dan sampai diberlakukannya
kembali UUD 1945. Negara hukum tetap menjadi konsep dasar yang dianut
Indonesia.1
1 Wiratni Ahmadi, Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian Sengketa Pajak
(Menurut UU No. 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak), Cetakan Pertama, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2006, hlm 1.
2
Negara Indonesia merupakan Negara hukum, dimana indonesia
memiliki konstitusi tertulis dalam bentuk Undang-undang Republik Indonesia
1945.2Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang melaksanakan
kegiatan pembangunan. Salah satu kegiatan pembangunan yang dilaksanakan
adalah pembangunan nasional. Pembangunan tersebut bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia
secara adil, makmur dan merata. Hal tersebut tertuang dalam Anggaran
Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) dimana penerimaan pajak
merupakan penerimaan dalam negeri yang terbesar.3
Dari tahun ke tahun dapat dilihat bahwa penerimaan pajak terus
meningkat dan memberi andil yang besar dalam penerimaan negara.
Beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan
penerimaan pajak, antara lain dengan melakukan reformasi pajak (tax
reform). Tujuan utama dari reformasi pajak ialah untuk lebih menegakkan
kemandirian Negara dalam membiayai pembangunan nasional dengan lebih
mengarahkan segenap potensi dan kemampuan dari dalam negeri, khususnya
dengan cara meningkatan penerimaan negara melalui perpajakan dari
berbagai sumber di luar minyak bumi dan gas.
Sebagai Negara berkembang, pembangunan di Indonesia saat ini telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pembangunan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia untuk itu
2 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Dan Menegakkan Konstitusi, Cetakan Ketiga, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm 161. 3 Rochmat Soemitro, Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan, PT. Erosce, Jakarta,
1994, hlm 10.
3
pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang dan dilaksanakan
secara adil dan merata di seluruh Indonesia. Untuk dapat mewujudkan itu
semua, pemerintah memerlukan banyak biaya yang salah satu sumbernya
adalah dari sektor perpajakan.
Setelah terbentuknya negara-negara nasional dan tercapainya
pemisahan antara rumah tangga Negara dan rumah tangga pribadi raja pada
akhir abad pertengahan, pajak mendapat tempat paling mantap diantara
pendapatan di suatu negara. Sehubungan dengan itu, maka pembayaran pajak
yang tadinnya bersifat suka rela berubah menjadi pembayaran yang
ditetapkan secara sepihak oleh Negara dalam bentuk Undang-undang dan
dipaksakan.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
setelah diamandemen empat kali dalam Pasal 23 A, menyebutkan bahwa
pajak adalah merupakan pengutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.4
Berdasarkan ketentuan Pasal 23 A tersebut, terdapat 2 (dua) unsur
pokok yang terdapat dalam pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
yaitu pertama, harus diatur dengan Undang-Undang dan kedua, sifatnya
dapat dipaksakan. Pajak merupakan masalah keuangan negara, pemungutan
pajak merupakan peralihan kekayaan dari rakyat kepada negara yang hasilnya
akan dikembalikan kepada masyarakat. Oleh sebab itu, pemungutan pajak
harus mendapat persetujuan dari rakyat, khususnya menyangkut mengenai
4 Pasal 23 A, Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
4
jenis pajak apa saja yang akan dipungut serta berapa besarnya pemungutan
pajak. Proses persetujuan rakyat dimaksud tentunya hanya dapat dilakukan
dengan suatu undang-undang. Landasan yuridis untuk menjawab pertanyaan
tersebut adalah dengan mengacu pada Pasal 23 A tersebut di atas.
Sebaliknya apabila ada pungutan yang namanya pajak namun tidak
berdasarkan Undang-undang, maka pungutan tersebut bukanlah pajak tetapi
lebih tepat disebut perampokan (taxation without representation is robbery).
Keseluruhan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut
memberikan dasar hukum dalam pemungutan pajak sebagaimana
diamanatkan dalam Pasal 23 A UUD 1945, dengan kelengkapan sarana
perundang-undangan tersebut diharapkan pemerintah dapat menegakkan law
enforcement di bidang perpajakan.5
Berdasarkan unsur-unsur tersebut di atas, maka dalam pemungutan
pajak terdapat justifikasi (pembenaran atau dasar), sehingga fiskus (aparat
pajak) berwenang untuk memungut pajak. Untuk mendapatkan justifikasi
pemungutan pajak, maka dalam hukum pajak telah timbul beberapa teori
yang termasuk dalam asas pemungutan pajak menurut falsafah hukum, yaitu
pemungutan pajak harus dilakukan berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
1. Asas Keadilan
Menyatakan bahwa hukum pajak (hukum atau peraturan perundang-
undangan perpajakan) harus mengabdi dan berdasarkan pada asas
keadilan;
5Waluyo, Perpajakan Indonesia Pembahasan Sesuai dengan Ketentuan Perundang-undangan
Perpajakan dan Aturan Pelaksanaan Perpajakan Terbaru, Edisi 7, Salemba Empat, Jakarta,
2007, hlm 4-5.
5
2. Asas Yuridis
Menyatakan bahwa hukum pajak, peraturan perundang-undangan
perpajakan harus dapat memberikan jaminan hukum, baik untuk negara
maupun warga negaranya, bagi fiskus, dan juga bagi Wajib Pajak. Artinya
setiap pengenaan dan pemungutan pajak harus berdasarkan Undang-
undang;
3. Asas Ekonomis
Pajak yang dibayarkan oleh warga negara selaku Wajib Pajak yang
dipungut oleh fiskus, harus diusahakan oleh peraturan perpajakan, agar :
a. Tidak menghambat lancarnya proses produksi, distribusi, dan
perdagangan;
b. Tidak pernah menghalangi rakyat dalam usahanya menuju
kebahagiaan, keadilan, kenyamanan, kesejahteraan, dan jangan
merugikan kepentingan rakyat banyak;
4. Asas Finansial
Pajak sebagai penerimaan negara yang utama, yang digunakan untuk
membiayai pemerintah dalam menjalankan fungsinya dan untuk tujuan
menyejahterakan masyarakat. Oleh karenanya, biaya yang dikeluarkan
untuk pengumpulan pajak, harus jauh lebih kecil daripada jumlah pajak
yang diperoleh.6
6Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan:Konsep, Teori, dan Isu, Prenada Media Group,
Jakarta, 2006, hlm 49-54.
6
Definisi pajak menurut para Pakar (Mr. Dr. N.J. Feldmann, Prof. Dr.
M.J.H. Smeets, Dr. Soeparman Soemahamidjaja, Prof. Dr. Soeparman
Soemahamidjaja, Prof. Dr. Rochmat Soemitro, S.H.), pada umumnya para
pakar menegaskan bahwa terdapat unsur paksaan dalam pengertian pajak,
selain unsur-unsur yang lainnya, yaitu pembayaran pajak harus berdasarkan
Undang-undang, tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat
dirasakan oleh pembayar pajak, pemungutan pajak dilakukan oleh negara
baik oleh pemerintah pusat maupun daerah (tidak boleh dipungut oleh swasta)
dan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah
(rutin dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.7
Menurut teori yang dijelaskan Siahaan M.P., bahwa pajak bukan
hanya berfungsi untuk ke kas negara tetapi juga merupakan wujud partisipasi
masyarakat dalam pembangunan dengan memenuhi kewajiban kenegaraan
dalam upaya peningkatan kemandirian bangsa dalam pelaksanaan
pembangunan nasional.8 Adapun sumber penerimaan pajak itu adalah semua
penerimaan negara yang terdiri dari pajak dalam negeri dan pajak
perdagangan internasional yang sangat negara butuhkan sebagai sumber
utama bagi pengeluaran negara.
Oleh karena itu, sesuai dengan pendapat Siahaan M.P., bahwa salah
satu kunci keberhasilan penerimaan pajak adalah kepatuhan Wajib Pajak
dalam membayar pajak. Hanya saja apabila Wajib Pajak ternyata tidak
7 Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton, Hukum Pajak, Edisi 3, Salemba Empat, Jakarta, 2007,
hlm 6. 8 Siahaan M.P., Hukum Pajak Elementer, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010, hlm 21.
7
membayar pajak maka terhadapnya tentu perlu diberikan tindakan tegas untuk
dapat memaksa Wajib Pajak tersebut untuk melunasi utang pajaknya.9
Sebagai Negara berkembang, pembangunan di Indonesia saat ini telah
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Pembangunan ini dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia untuk itu
pemerintah melaksanakan pembangunan di segala bidang dan dilaksanakan
secara adil dan merata di seluruh Indonesia. Untuk dapat mewujudkan itu
semua, pemerintah memerlukan banyak biaya yang salah satu sumbernya
adalah dari sektor perpajakan, Pajak mempunyai peran yang sangat penting
dalam kehidupan bernegara, khususnya didalam pembangunan karna pajak
merupakan sumber penghasilan negara untuk membiayai semua
pengeluaran,termasuk pengeluaran pembangunan. Maka dari itu sebagai
masyarakat yang mendukung pembangunan untuk negeri ini harus
berpartisipasi dalam pemungutan pajak. Karena ketersedian berbagai sarana
dan prasarana publik yang dinikmati semua orang tidak mungkin ada tanpa
adanya biaya yang dikeluarkan dalam bentuk pajak.
Kasus pajak tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Hampir setiap
hari di media massa diberitakan adanya kasus pajak. Mulai dari masyarakat
yang menunggak pajak hingga adanya pegawai pajak yang melakukan
pelanggaran aturan pegawai pajak. Permasalahan tunggakan pajak dapat
dilihat dari beberapa kasus yang telah diberitakan, baik tunggakan pajak yang
dilakukan oleh wajib pajak individu maupun suatu perusahaan.
9 Ibid., hlm 109.
8
Seperti telah disebutkan, ditinjau dari segi hukum, pajak merupakan
sebuah perikatan. Perikatan pajak berbeda dengan perikatan perdata. Dalam
perikatan perdata, perikatan dapat timbul karena perjanjian dan dapat terjadi
pula karena Undang-Undang, sementara perikatan pajak adalah perikatan
yang timbul karenaUndang-Undang. Perikatan perdata dilingkupi oleh
suasana hukum privat yang mengatur hubungan-hubungan hukum dari
subyek-subyek yang sederajat, sementara perikatan pajak dilingkupi oleh
hukum publik dimana salah satu pihaknya adalah negara yang mempunyai
kewenangan untuk memaksa. Hal penting untuk diperhatikan dalam kaitan ini
antara lain mengenai saat timbulnya utang pajak itu sendiri.10
Berbicara utang pajak, utang pajak adalah utang yang timbul secara
khusus, karena negara (kreditur) terikat dan tidak dapat memilih secara bebas
siapa yang akan dijadikan debiturnya, seperti dalam hukum perdata. Hal ini
terjadi karena pajak lahir karena Undang-undang.11
Utang pajak menurut ajaran materil timbul dengan sedirinya
karenapada saat yang ditentukan oleh Undang-undang sekaligus dipenuhi
syarat subyek dan syarat objek. Dengan sendririnya berarti bahwa untuk
timbulnya utang pajak itu tidak diperlukan campur tangan atau perbuatan dari
pejabat pajak, asal syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-undang telah
dipenuhi. Sedangkan menurut ajaran formal, utang pajak timbul karena
Undang-undang pada saat dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh Direktur
Jendral Pajak. Dalam hal ini lahirnya utang pajak menurut ajaran formal
10
Y.Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, CV.Andi Offset, Yogyakarta 2006, hlm 62. 11
Rochmat Soemitro, Asas dan Dasar Perpajakan, PT. Erosco, Bandung, hlm 2.
9
terjadi karena undang-undang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni
dari aparatur pajak untuk mengeluarkan surat ketetapan pajak. Jadi selama
belum ada surat ketetapan pajak maka belum ada utang pajak dan tidak
dilakukan penagihan walaupun syarat subyek dan syarat obyek telah dipenuhi
bersamaan.
Dengan demikian berdasar ajaran formal lebih mudah bagi wajib
pajak untuk mengetahui kapan ia mempunyai utang pajak, karena selama
belum ada surat ketetapan pajak, maka belum ada utang pajak harus mereka
bayar.12
Sepertinya dalam hukum pajak, hambatan pemungutan pajak disebut
dengan istilah perlawanan pajak. Yang dimaksud dengan perlawanan
terhadap pajak adalah “hambatan-hambatan baik yang disebabkan oleh
kondisi negara dan rakyatnya maupun disebabkan oleh usaha-usaha wajib
pajak yang disadari ataupun tidak, yaang mempersulit pemasukan pajak
sebagai sumber penerimaan negara”.13
Walaupun pajak tidak bisa dipungut tanpa adanya persetujuan rakyat
melalui wakil-wakilnya, pemerintah selalu berusaha untuk memberikan
penjelasan, penerangan dan penyuluhan agar rakyat mempunyai kesadaran
akan kewajiban untuk membayar pajak. Namun demikian, oleh rakyat pajak
tetap dirasakan sebagai beban, sehingga sebagian rakyat tetap tidak pernah
sadar untuk memenuhi kewajiban pajaknya. Bahkan apabila ada sedikit
peluang untuk tidak membayar pajak atau memperkecil jumlahnya pajaknya,
mereka akan berusaha untuk menghindar dari kewajiban pajaknya.
12
Ibid., hlm 63. 13
Sumyar, Dasar-Dasar Hukum Pajak Dan Perpajakan,Yogyakarta, 2004, hlm 99.
10
Melalui reformasi perpajakan yang dilakukan pemerintah di tahun
1983, sistem perpajakan telah bergeser dari sistem Official Assessment yaitu
sistem dimana penetapan pajak terutang dilakukan oleh fiskus (aparat pajak),
ke sistem Self Assessment dimana anggota masyarakat Wajib Pajak diberi
kepercayaan untuk dapat melaksanakan gotong royong nasional melalui
sistem menghitung, memperhitungkan, dan membayar sendiri pajak yang
terhutang.14
System pemungutan pajak yang dipakai di Negara kita adalah
berdasarkan pada Self Assesment Systemyaitu wajib pajak diberi kepercayaan
sepenuhnya melaksanakan kewajiban perpajakannya, sehingga dengan system
ini wajib pajak harus aktif untuk menghitung, menyetor dan melaporkan
kewajiban perpajakan kepada kantor pelayanan pajak (KPP), fiskus bertugas
memberikan pembinaan, pengawasan dan penerapan sanksi perpajakan.
Self Assesment System memungkinkan potensi adanya wajib pajak
tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya secara baik akibat kelalaian,
kesengajaan atau mungkin ketidaktahuan adanya peran yang aktif dari fiskus
untuk menjalankan fungsi dan pengawasannya.Agar Self Assesment Systemini
berjalan secara efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegak hukum (law
enforcement) merupakan hal yang paling utama. Dengan adanya kepercayaan
yang sangat besar dari pemerintah kepada wajib pajak untuk menghitung
sendiri pajak yang harus dibayar, maka sudah selayaknya kerpercayaan
tersebut diimbangi dengan upaya penegakan hukum dan pengawasan yang
14
Undang-undang No. 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,
Penjelasan Umum.
11
ketata atas kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya. Penegakan hukum (law enforcement) ini dapat dilakukan
dengan adanya pemeriksaan atau penyidikan pajak dan penagihan pajak.
Ada beberapa sytem pemungutan pajak lainnya yaitu Official
Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada petugas pajak atau aparatur perpajakan untuk menentukan
jumlah pajak terutang yang harus dibayar wajib pajak. Setelah era reformasi
perpajakan pada tahun 1984, sistem pemungutan ini sudah tidak lagi
dipergunakan. Ciri-ciri sistem pemungutan pajak ini, yaitu:
a. Penentu pajak terutang adalah petugas pajak atau aparatur perpajakan.
b. Hutang pajak baru akan timbul setelah petugas pajak atau aparatur
perpajakan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP).
c. Wajib pajak bersifat pasif, wajib pajak baru aktif ketika melakukan
penyetoran pajak terutang berdasarkan ketetapan SKP.
Adanya kepercayaan yang sangat besar yang telah diberikan
pemerintah kepada Wajib Pajak, maka agar Self Assessment System ini
berjalan secara efektif maka sudah selayaknya kepercayaan tersebut
diimbangi dengan upaya penegakan hukum dan pengawasan yang ketat atas
kepauhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya.Dimana kepatuhan Wajib Pajakdalam hal ini dinilai dengan
ketaatannya dalam memenuhi kewajiban perpajakannya dari segi formal dan
material. Misalnya kepatuhan dalam hal waktu, seorang Wajib Pajak
mungkin selalu membayar kewajibannya secara penuh, tetapi jika kewajiban
12
tersebut dibayar secara terlambat, maka hal demikian tidak dapat dianggap
sebagai patuh.
Witholding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberikan
wewenang kepada pihak lain atau pihak ketiga untuk membantu memotong
atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. Pihak ketiga
yang dimaksud disini adalah pihak lain selain pemerintah dan wajib pajak.
Surat teguran merupakan tindakan awal dari penagihan aktif yang
dilakukan oleh pejabat, dalam hal ini kepala kantor pelayanan pajak/kantor
pelayanan pajak bumi dan bangunan yang pelaksanaannya dilakukan 7 hari
sejak saat jatuh tempo pembayaran, sesuai dengan jadwal pelaksanaan
penaghian pajak, maka apabila wajib pajak/penanggung pajak tidak melunasi
setelah dilakukan imbauan, segera setelah 7 hari sejak saat jatuh tempo
pembayaran maka akan diterbitkan surat teguran sebagai langkah awal.
Tindakan penagihan aktif ini akan berlanjut apabila wajib pajak/penanggung
pajak tidak melunasi tagihan pajak dalam masa penerbitan surat teguran,
wajib pajak/penanggung pajak diberi waktu selama 20 hari untuk melakukan
pelunasan. Jika tidak dilunasi, maka pada hari ke-21 fiskus akan melakukan
tindakan penegihan aktif selanjutnya, berupa penerbitan surat paksa.15
Penagihan pajak dengan surat paksa diatur dalam Undang-Undang
No. 19 Tahun 2000. Bilamana utang pajak tidak dibayar, maka Kantor
Pelayanan Pajak menerbitkan surat teguran, dilanjutkan dengan penerbitan
surat teguran, dilanjutkan dengan penerbitan surat perintah melakukan
15
Bagus Pamungkas, Penagihan Pajak Di Indonesia,Cet. Pertama, PT . Bayumedia Publishing,
Malang,2006, hlm 62-63.
13
penyitaan, dan apabila masih belum dibayar, lalu dilakukan tindakan lelang
oleh kantor lelang negara atas permintaan kantor pelayanan pajak yang
bersangkutan, penyitaan dilakukan oleh Jurusita pajak. Tindakan penyitaan
dapat dilakukan seketika dan sekaligus tanpa menunggu urutan-urutan
penagihan pajak. Undang-Undang penagihan pajak yang demikian itu
diharapkan dapat memberi penekanan yang lebih pada keseimbangan antara
kepentingan masyarakat wajib pajak dan kepentingan negara. Keseimbangan
kepentingan dimaksud beripa pelaksanaan hak dan kewajiban oleh kedua
belah pihak yang tidak berat sebelah/tidak memihak, adil, serasi dan selaras
dalam wujud tata aturan yang jelas dan sederhana serta memberikan kepastian
hukum.
Sebagaimana halnya dengan setiap kewajiban, maka kewajiban-
kewajiban yang timbul dalam hukum pajak pun harus dipenuhi, yaitu oleh
yang berkeharusan membayar pajak itu. Tetapi sebaliknya pembuat Undang-
Undang pajak harus memperhatikan kemungkinan-kemungkinan dan gejala-
gejala, bahwa tidak senantiasa kewajiban-kewajiban itu akan dipenuhi oleh
yang bersangkutan dengan sukarela. Adapun yang terkadung dalam tindakan
untuk memaksa adalah untuk mengusahakan terpenuhinya suatu kewajiban
yang sementara itu telah adatanda-tanda dan gejala-gejalanya, bahwa
kewajiban itu nampaknya tidak akan terpenuhi oleh yang berkeharusan.16
Surat paksa merupakan surat keputusan yang mempunyai kekuatan
yang sama dengan grosse (asli) keputusan hakim dalam perkara perdata yang
16
R. Santoso Brotodiharjo, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Cet. Keduapuluh Tiga, PT. Refika
Aditama, Bandung, 2013, hlm 194.
14
tidak dapat diganggu gugat lagi dengan cara memintakan banding kepada
hakim yang lebih atas. Surat paksa harus menggunakan kepada “Atas Nama
Keadilan” karena perkataan-perkataan itulah surat paksa mendapat kekuatan
“eksekutorial” (kekuatan untuk dijalankan), dan kekuatan itu didapatkannya
karena keadilanlah yang semata-mata memerintahkan pelaksanaan itu. Surat
paksa memuat perintah kepada Wajib Pajak untuk melunasi pajaknya yang
sudah barang tentu baru akan dikeluarkan setelah dipandang cukup alasannya
oleh pihak Fiskus.17
Surat paksa diberitahukan oleh juru sita pajak dengan pernyataan dan
penyerahan salinan surat paksa kepada penanggung pajak, KPP Pratama
Tampan Pekanbaru tahun 2016mengeluarkan 1975 buah surat paksa dan pada
tahun 2017 mengeluarkan 2384 surat paksa yang mana terjadi peningkatan
baik itu surat paksa untuk perorangan maupun suatu perusahaan.
Seperti yang dapat dilihat pada ilustrasi Gambar 1.
Gambar 1. Efektivitas Penagihan Pajak
17
Ibid., hlm 196-197.
Efektivitas Penagihan Pajak
dengan Surat Teguran
Efektivitas Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa
Peningkatan Penerimaan Pajak
Realisasi
Penerimaan
Tunggakan
Pajak
Penagihan
Pajak dengan
Surat Paksa
Penagihan Pajak
dengan Surat
Teguran
Tunggakan
Pajak
15
Penagihan Pajak di KPP Pratama Tampan Pekanbaru dibagi ke dalam
dua kategori, yaitu penagihan pasif dan penag.ihan aktif. Penagihan pasif
ialah ketika fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak sampai dengan jatuh
tempo yaitu selama 30 hari. Penagihan aktif adalah kelanjutan dari penagihan
pasif, di mana pada penagihan aktif fiskus berperan langsung dalam proses
penagihan. Pada penagihan pajak secara aktif, langkah awal yang dilakukan
fiskus yaitu menerbitkan Surat Teguran. Penerbitan Surat Teguran dilakukan
di mana STP, SKPKB, SKPKBT belum juga dilunasi hingga melewati 7
(tujuh) hari dari batas waktu jatuh tempo. Jika dalam kurun waktu 21 (dua
puluh satu) hari setelah tanggal penerbitan surat teguran, penanggung pajak
tidak melunasi utang pajaknya maka akan diterbitkan surat paksa. Selanjutnya
Penanggung pajak harus melunasi utang pajaknya dalam waktu 2 x 24 jam
sejak tanggal penerbitan surat paksa. Jika tunggakan pajak yang tidak dilunasi
dalam waktu 2 x 24 jam, maka akan dilakukan tindakan penyitaan dengan
menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan (SPMP). Setelah proses
penyitaan atas barang milik penanggung pajak dan dalam tenggat waktu 14
hari Jurusita Pajak berwenang melakukan Lelang barang tersebut melalui
kantor lelang. Undang-undang penagihan pajak tersebut diharapkan dapat
memberikan penekanan pada aspek keadilan berupa keseimbangan
kepentingan antara wajib pajak dan negara. Alur tahapan penagihan pajak di
KPP Pratama Pekanbaru Senapelan dapat dilihat pada Gambar 2.
16
Gambar 2. Tahapan Penagihan Pajak
Fenomena yang ada pada saat ini tidak luput dari efektifitas yang ada
pada saat terjadinya tunggakan pajak baik dari petugas pajak maupun dari
wajib pajak itu sendiri yang tidak mau bekerja sama untuk membangun
negara kita ini, pada hakikat nya pajak itu bukan untuk negara semata karena
pajak dari rakyat dan untuk rakyat berdasarkan urain diatas penulis tertarik
untuk melakukan penelitian tentang penagihan pajak dengan surat paksa yang
diharapkan dapat memberi andil besar dalam proses penerimaan pajak, yang
merupakan salah satu kegiatan yang sangat di perlu di optimalkan. Untuk itu
penulis tertarik untuk mengangkat ke dalam penelitian yang berjudul
“Efektivitas Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa Dalam Meningkatkan
Penerimaan Pajak” (Studi Kasus Kantor PelayananPajak Pratama
Tampan Pekanbaru ).
Surat
Teguran
STP, SKPKB,
SKPKBT, dll
Surat
Paksa
Pelaksaan
Lelang
Pengumuman
Lelang
SPMP /
Penyitaan
17
B. Masalah Pokok
Adapun yang menjadi pokok masalah yang diangkat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah efektivitas penagihan pajak dengan surat paksa dalam
meningkatkan penerimaan pajak ( Studi Kasus Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Tampan Pekanbaru)?
2. Apakah kendaladalam penagihan pajak dengan surat paksa dalam
meningkatkan penerimaan pajak ( Studi Kasus Kantor Pelayanan Pajak
Pratama Tampan Pekanbaru) ?
3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini
adalah dimaksudkan sebagai berikut :
4. Untuk mengetahui efektivitas penerimaan pajak dalam meningkatkan
penerimaan pajak( Studi Kasus Kantor Pelayanan Pajak Pratama
Tampan Pekanbaru).
5. Untuk mengetahui apakah kendala dalam penagihan pajak dengan surat
paksa dalam meningkatkan penerimaan ( Studi Kasus Kantor Pelayanan
Pajak Pratama Tampan Pekanbaru).
Sedangkan kegunaan yang diharapkan dari penelitian dan kajian ini
adalah sebagai berikut :
1. Secara teoritis kajian ini berusaha menganalisis secara akademis, dan
hasil penelitian ini akan memberikan sumbangan saran dalam ilmu
hukum.
18
2. Secara praktis kajian dalam penelitian ini dapat digunakan untuk
memberikan kontribusi pemikiran dalam efektiftas penerimaan pajak
dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak
3. Sebagai bahan informasi bagi masyarakat terutama bagi masyarakat
yang mempunyai penunggakan pajak baik dalam bidang hukum.
C. Kerangka Teori
1. Konsep Negara Hukum
Dalam perkembangan teori hukum, dapat dikatakan bahwa teori
hukum mengalami perkembangan yang pesat. Salah satu teori yang
cukup terkenal adalah teori sociological jurisprudence dengan tokoh-
tokohnya antara lain Roscoe Pound, Eugen Ehrlich. Adapun prinsip
pokok dari teori hukum sociological jurisprudence adalah Hukum yang
baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam
masyarakat.18
Prinsip tersebut merupakan kompromi antara hukum tertulis
sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi adanya kepastian hukum
dan living law sebagai wujud penghargaan terhadap pentingnya peranan
masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum. Di
Indonesia, teori hukum tersebut dikembangkan Mochtar Kusumaatmaja
dengan penekanan hukum sebagai sarana pembangunan.19
Pemikiran
18
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Mandar Maju, Bandung, 2003,
hlm 122. 19
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni,
Bandung, 2002, hlm 19-23.
19
dalam teori Mochtar Kusumaatmadja mengakomodasi konsep Roscoe
Pound “law as a tool of social engineering”. Konsep tersebut kemudian
dimodifikasi menjadi hukum sebagai sarana pembangunan (1976),
kemudian dituangkan di dalam GBHN 1978. Konsep ini dapat
diberlakukan dalam negara yang sedang berkembang dan negara maju.
Untung negara yang sedang berkembang, yaitu dari suasana agraris
menuju suasana industri, yang menjadikan hukum (undang-undang)
mengubah alam pemikiran masyarakat tradisional ke pemikiran
modern. Untuk negara yang sudah maju, konsepnya kembali kepada
konsep asal dari Roscoe Pound tersebut di atas yang sesuai dengan
iklim budaya hukum di negara-negara maju, khususnya di Amerika
Serikat yang orientasinya berdasarkan yurisprudensi (Common Law
System). Dalam GBHN 1993 juga dikemukakan bahwa hukum adalah
sarana rekayasa masyarakat.
Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan
ekonomi menunjukkan bahwa pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
tidak akan berhasil tanpa pembaharuan hukum, sehingga dikatakan
bahwa memperkuat institusi-institusi hukum merupakan suatu
“precondition for economic change”.20
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka diperlukan
pembaharuan hukum khususnya hukum yang terkait penciptaan iklim
yang kondusif untuk meningkatkan penerimaan negara guna menunjang
20
Erman Radja gukguk, Hukum Ekonomi Indonesia: Menjaga Persatuan Bangsa,
MemulihkanEkonomi, dan Memperluas Kesejahteraan Sosial, Jurnal Hukum Bisnis, Volume
22, 2003, hlm 22.
20
pembangunan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Indonesia. Hukum yang terkait dengan penciptaan iklim peningkatan
penerimaan negara antara lain adalah hukum di bidang perpajakan.
Pengertian hukum pajak adalah keseluruhan peraturan yang
mengatur hubungan hukum antara pemerintah sebagai pemungut pajak
dengan rakyat sebagai Wajib Pajak. Hukum pajak selalu mengalami
perkembangan dan tidak terlepas dari kepentingan negara dan
kepentingan warga negara.21
Menurut Lauddin Marsuni, ada beberapa fungsi hukum yang
relevan dengan kebijakan perpajakan yang ada di Indonesia, sebagai
berikut :
1. Hukum sebagai a tool of social control
Hukum dipandang sebagai pengendali sosial yang menetapkan
tingkah laku mana yang merupakan penyimpangan, dan sanksi
hukum yang dapat diterapkan terhadap tingkah laku menyimpang
tersebut.
Dalam hal kebijakan perpajakan, hukum sebagai social control
dalam rangka untuk :
- Menentukan dan menilai tindakan pemerintahan dalam rangka
menentukan objek pajak, atau memungut pajak dari warga
masyarakat;
21
Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Op.Cit., hlm 94.
21
- Menentukan dan menilai tindakan aparat pajak dalam rangka
melaksanakan kebijakan atau peraturan perundang-undangan di
bidang perpajakan;
- Menentukan dan menilai tindakan Wajib Pajak dalam
melaksanakan kewajibannya di bidang perpajakan;
- Menentukan sanksi hukum yang bisa dijatuhkan kepada para
Fiskus atau Wajib Pajak jika melakukan perbuatan yang
menyimpang di bidang perpajakan.
2. Hukum sebagai a tool of social engineering
Hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat dalam arti bahwa
hukum mungkin dapat digunakan sebagai alat perubahan oleh agent
of change atau agent of development.
Hukum adalah alat untuk digunakan pemerintah sebagai
pengejawantahan kebijakan perpajakan dalam rangka pembangunan
nasional, sebagai upaya untuk mengubah masyarakat tertinggal
menjadi masyarakat maju, dari masyarakat agraris sampai
masyarakat industri.
3. Hukum sebagai alat politik
Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum merupakan suatu produk
yang dihasilkan oleh lembaga legislatif bersama Presiden. Proses
pembentukan hukum adalah proses politik. Penerapan fungsi hukum
sebagai alat politik melahirkan konsep politik hukum, yaitu
kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
22
menetapkan peraturan perundang-undangan yang dikehendaki
dengan maksud untuk dapat digunakan mengekspresikan apa yang
terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-
citakan.22
Secara formal yuridis, pajak tidak mungkin dipungut jika tidak
didasarkan atas Undang-undang. Sejalan dengan hal tersebut,
pemerintah telah berkali-kali melakukan pembaharuan berbagai
peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. Termasuk di
dalamnya adalah peraturan perundang-undangan mengenai penagihan
pajak. Selain itu, pemerintah juga melakukan reformasi mengenai
sistem perpajakan.
Pelaksanaan penagihan pajak dilakukan berdasarkan pada
Undang-undang Ketentutan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Undang-
undang Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-Undang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan, dan Undang-undang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. Tindakan penagihan pajak dilakukan dengan melalui
beberapa tahapan, dan sebagai tindakan terakhir dari upaya penagihan
pajak adalah dengan cara melakukan penyanderaan. Seluruh tindakan
tersebut adalah dalam rangka mengoptimalkan penerimaan pajak bagi
negara.
22
Lauddin Marsuni, Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indonesia, UII Press, Yogyakarta,
2006, hlm 48-49.
23
Adapun dasar pertimbangan rasio pembuat Undang-undang
(pajak) menunjuk orang-orang luar yang turut bertanggung jawab atas
suatu utang pajak, yaitu sebagai berikut :
1. Supaya dapat menambah jaminan kepada Fiskus bahwa piutang
pajak dapat dilunasi pada waktunya, sedangkan bagi orang yang
ditunjuk tidak ada keberatan apapun, sebab jika kemudian ternyata
perlu, yang membayarnya toh akan dapat menerima kembali
uangnya dengan mudah (misalnya dalam Aturan Bea Materai : para
penandatangan suatu akta kemudian akan saling dapat menagihnya,
yang satu dari yang lainnya);
2. Orang yang berutang pertama sukat didapatkan oleh Fiskus, tetapi
orang yang ditunjuk dapat dengan mudah menemuinya (misalnya
bea warisan : mengenai tanggung jawab pelaksana warisan,
executeur testamentair, jika segenap ahli waris berada di luar
negeri);
3. Orang-orang yang ditunjuk terpaksa mau, sebab karena
kesalahannyalah orang yang berpiutang pertama tidak melunasi
utang pajaknya (misalnya seperti telah kita ketahui dari uraian
terdahulu : Aturan Bea Materai dalam pasal 43 ayat 3 menunjuk
orang-orang bertaggung jawab terhadap denda yang dikenakan atas
menyimpan kuitansi yang diperoleh dari pihak lain, yang tidak
dipenuhi Bea Materainya).23
23
R. Santoso Brotodihardjo, Op.Cit., hlm 114.
24
Sesuai Pasal 8 ayat (2) UU PPSP, Surat Terguran/Surat
Peringatan atau Surat lain yang sejenis ditertibkan apabila penanggung
pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo
pembayaran. Sementara itu, Pasal 1 ayat (10) UU PPSP menyebutkan
bahwa Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis
adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan kepada wajib pajak untuk melunasi utang pajaknya.
Menurut KUP Surat Paksa merupakan kegiatan pelaksanaan
penagihan pajak yang dilakukan setelah penerbitan Surat Teguran/Surat
Peringatan atau sejenisnya. Menurut Pasal 1 angka 12 UU Penagihan
Pajak, Surat Teguran, Surat Paksa adalah Surat Perintah membayar
utang pajak dan biaya penagihan pajak. Menurut Pasal 8 ayat (1) UU
PPSP Surat Paksa diterbitkan apabila :
1. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan
tanggal jatuh tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan
surat teguran atau surat peringatan atau surat lain yang sejenis;
2. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan pajak
seketika dan sekaligus, dan
3. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tercantum dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan
pembayaran pajak.
Tata cara pemberitahuan Surat Paksa dalam Pasal 10 ayat (1)
UU PPSP, yaitu pemberitahuan Surat Paksa dilakukan oleh juru sita
25
dengan pernyataan dan penyerahan Surat Paksa kepada penanggung
pajak yang dituangkan dalam berita acara.
Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Negara
Indonesia negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang
menegakkan supermasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggung
jawabkan.24
Hal ini tercermin dalam Penjelasan UUD 1945 dimana
ditegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas
hukum (rechtsstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).
Sedangkan dalam Konstitusi RIS Bagian I mengenai Bentuk Negara
dan Kedaulatan, Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa “Republik
Indonesia Serikat yang merdeka dan berdaulat ialah suatu negara
hukum yang demokrasi dan berbentuk federasi.”25
Negara Hukum ialah negara yang berdiri diatas hukum yang
menjamin keadilan kepada warganya. Keadilan merupakan syarat bagi
terciptanya kebahagian hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar
dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa sosial kepada setiap manusia
agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian pula peraturan
24
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Permasyarakatan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretaris JendralMPR RI,Jakarta, 2010, hlm
46. 25
Wiratni Ahmadi, Op.Cit., hlm 1.
26
hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup warga negaranya.26
Menurut Aritoteles yang memerintahkan dalam negara bukanlah
manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adilsedangkan penguasa
sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan
yang akan menentukan baik tidaknya suatu perturan undang-undang
dan membuat undang-undang adalah sebagian dari kecakapan
menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu yang penting adalah
mendidik manusia menjadi warga negara yang baik, karena
darisikapnya yang adil akan terjadi kebahagian hidup warga negaranya.
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham
negara hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yaitu:
a. Supermasi hukum (supremacy of law);
b. Kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law);
c. Penegakan hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum
(due process of law).
Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang
sama (equal protection) atau persamaan dihadapan hukum (equality
before the law). Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada
alasan yang khusus,misalnya anak-anak yang dibawah umur 17 tahun
mempunyai hak yang berbeda dengan anak-anak yang di atas 17 tahun.
Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi perbedaan perlakuan
26
Mohd. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Hukum Tata Negara Indonesia, Sinar Bakti, Jakarta
1988, hlm 153.
27
tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena
perbedaan warna kulit, gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu
dalam agama,atau perbedaan status seperti antara tuan tanah dan petani
miskin. Meskipun demikian, perbedaan perlakuan tanpa alasan yang
logis seperti ini sampai saat ini masih banyak terjadi di berbagai negara,
termasuk di negara yang hukumnya sudah maju sekalipun.27
Sebagai negara hukum maka segala aktivitas pemerintah dan
rakyat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus sesuai atau
tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Hukum menjadi
landasan pokok dalam melakukan segala aktivitas kehidupan
bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa dalam rangka menuju cita-
citamasyarakat yang adil dan makmur secara merata. Pengertian hukum
dalam masyarakat yang sedang membangun, tidak hanya merupakan
perangkat kaidah asas-asas yang mengatur hubungan manusia dalam
masyarakat tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan
proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu
dalam kenyataan.28
Bagir Manan mengemukakan bahwa syarat dalam negara hukum
minimal harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Semua tindakan harus berdasarkan atas hukum;
b. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak lainnya;
27
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat), PT. Refika Aditama, Bandung, 2009,
hlm 207. 28
Wiratni Ahmadi, Op.Cit., hlm 3.
28
c. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa
terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas);
d. Ada pembagian kekuasaan.29
Dari beberapa batasan negara hukum yang telah diuraikan di
atas terlihat adanya penyelenggaraan kepentingan umum, berbentuk
pembangunan nasional, sebagai tujuan dari negara kesejahteraan.
Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, negara membutuhkan dana
sebagai biaya penyelanggaraan aktivitas negara dan dana yang
dibutuhkan oleh negara antara lain diperoleh dari pajak.30
Menurut H.D Stout wewenang adalah pengertian yang berasal
dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai
seluruh aturan-aturanyang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan
wewenang-wewenangpemerintahan oleh subjek hukum publik didalam
hubungan hukum publik.31
Menurut Bagir Manan wewenang dalam bahasa hukum tidak
sama dengan kekuasaan. Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk
berbuat dan tidakberbuat.Wewenang sekaligus berarti hak dan
kewajiban.32
Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu
hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan dan
29
Ibid., hlm 4. 30
Ibid. 31
Kamal Hidjaz, Efektivitas Penyelenggaraan Kewenangan Dalam Sistem Pemerintahan Daerah
di Indonesia, Pustaka Refleksi, Makassar, 2010, hlm 35. 32
Nurmayani, Hukum Administrasi Daerah, Universitas Lampung, Bandar Lampung, 2009, hlm
26.
29
wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan
kewenangan, dan kekuasaan sering diperlakukan dengan istilah
kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering
disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk
hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak yang memerintah dan pihak
lain yang diperintah.33
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat terjadi kekuasaan
yang tidak ada kaitan dengan hukum. Kekuasaan yang tidak berkaitan
dengan hukum oleh Max Walber disebut sebagai wewenang rasional
atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sitem hukum ini
dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta dipatuhi
oleh mayarakat dan bahkan diperkuat oleh Negara.34
2. Teori Kewenangan
Kewenangan adalah merupakan hak menggunakan wewenang
yang dimiliki seorang pejabat atau institusi menurut ketentuan yang
berlaku, dengan demikiankewenangan juga menyangkut kompetensi
tindakan hukum yang dapatdilakukan menurut kaedah-kaedah formal,
jadi kewenangan merupakan kekuasaanformal yang dimiliki oleh
pejabat atau institusi.Kewenangan memiliki kedudukanyang penting
dalam kajian hukum tata negara dan hkum administrasi negara.Begitu
pentingnya kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan
33
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm 35-
36. 34
A. Gunawan Setiardja, Dialetika Hukum Dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Kanisius,Yogyakarta, 1990, hlm 52.
30
J.G.Steenbeek menyebut sebagai konsep inti dalam hukum tata negara
dan hukumadministrasi negara.35
Salah satu teori yang menjelaskan tentang terjadinya suatu
negara meyakini bahwa suatu negara lahir dari sebuah perjanjian
masyarakat yang JJ. Rousseau mengistilahkannya dengan du contract
social. Dari sinilah kemudian suatu tatanan masyarakat terbentuk, yang
dalam skala yang lebih besar masyarakat itu kemudian disebut dengan
negara.36
Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada
(kosntitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenagan yang
sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan keputusan
didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink menjelaskan
bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi pejabat atau organ
(institusi) pemerintahan dengan cara atribusi, delegasi dan mandat.
Kewenagan organ (institusi) pemerintah adalah suatu kewenangan yang
dikuatkan oleh hukum positif guna mengatur dan
mempertahankannya.Tampa kewenanagan tidak dapat dikeluarkan
suatu keputusan yuridis yang benar.37
Indroharto, mengemukakan bahwa wewenang diperoleh secara
atribusi,delegasi,dan mandat, yang masing-masing dijelaskan sebagai
35
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2013, hlm 99. 36
Yuswanto, Hukum Pajak Daerah: Posisi Undang-Undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
dalam Penyelenggaan Pemerintahan daerah, (Bandar Lampung: Katalog Dalam Terbitan
(KDT), 2010), hlm. 1. 37
F.A.M Stroink Dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi Dan Aplikasinya
Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hlm
219.
31
berikut : Wewenang yangdiperoleh secara atribusi, yaitu pemberian
wewenang pemerintahan yang baruoleh suatu ketentuan dalam
peraturan perundang-undangan. Jadi, disini dilahirkan/diciptakan suatu
wewenang pemerintah yang baru. Pada delegasi terjadilah pelimpahan
suatu wewenang yang telah ada oleh Badanatau Jabatan TUN yang
telah memperoleh suatu wewenang pemerintahan secaraatributif kepada
Badan atau Jabatan TUN lainnya. Jadi, suatu delegasi selaludidahului
oleh adanya sesuatu atribusi wewenang. Pada mandat, disitu tidak
terjadi suatu pemberian wewenang baru maupun pelimpahan wewenang
dariBadan atau Jabatan TUN yang satu kepada yang lain.38
Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa setiap tindakan
pemerintahan disyaratkanharus bertumpu atas kewenangan yang sah.
Kewenangan itu diperoleh melaluitiga sumber, yaitu atribusi, delegasi,
dan mandat. Kewenangan atribusi lazimnyadigariskan melalui
pembagian kekuasaan negara oleh undang-undang dasar,sedangkan
kewenangan delegasi dan mandat adalah kewenangan yang berasal
daripelimpahan.Kemudian Philipus M Hadjon pada dasarnya membuat
perbedaanantara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai
prosedurpelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada
organ pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-
undangan, dengantanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke
delegataris. Pemberi delegasi tidakdapat menggunakan wewenang itu
38
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Pustaka
Harapan, Jakarta, 1993, hlm 68.
32
lagi, kecuali setelah ada pencabutan denganberpegang dengan asas
”contrarius actus”. Artinya, setiap perubahan, pencabutan suatu
peraturan pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan olehpejabat
yang menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan
peraturanyang setaraf atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat,
prosedur pelimpahandalam rangka hubungan atasan bawahan yang
bersifat rutin. Adapun tanggungjawab dan tanggung gugat tetap pada
pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat menggunakan
sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.39
Bagir Manan, menyatakan dalam Hukum Tata Negara,
kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Wewenang mengandungarti hak dan kewajiban. Hak berisi kebebasan
untuk melakukan atautidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut
pihak lain untuk melakukantindakan tertentu. Kewajiban memuat
keharusan untuk melakukan atau tidakmelakukan tindakan tertentu
Dalam hukum administrasi negara wewenangpemerintahan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan diperolehmelalui cara-
cara yaitu atribusi, delegasi dan mandat.40
Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah
ada oleh badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh
wewenang pemerintahansecara atributif kepada badan atau jabatan tata
usaha negara lainnya. Jadi suatudelegasi selalu didahului oleh adanya
39
Ridwan HR, Op.Cit., hlm 108-109. 40
Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah,
Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2000, hlm 1-2.
33
suatu atribusi wewenang.41
Misal, dalamPeraturan Presiden No. 47
Tahun 2009 Tentang Pembentukan dan OrganisasiKementerian Negara
Pasal 93 (1) Pejabat struktural eselon I diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atas usul Menteri yang bersangkutan (2) Pejabatstruktural
eselon II ke bawah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
yangbersangkutan. (3) Pejabat struktural eselon III ke bawah dapat
diangkat dandiberhentikan oleh Pejabat yang diberi pelimpahan
wewenang oleh Menteri yang bersangkutan.42
3. Teori Penagihan Pajak
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar penanggung
pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur
atau memperingatkan, melaksanakan pelaksanaan penagihan seketika
dan sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,
melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang
yang telah disita.43
Penagihan adalah serangkaian tindakan dari aparatur Direktorat
Jenderal Pajak berhubung Wajib Pajak tidak melunasi baik sebagian atu
seluruh kewajiban perpajakan yang terutang menurut Undang-Undang
Perpajkan yang berlaku.”44
Penagihan adalah Perbuatan yang dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak karena Wajib Pajak tidak mematuhi
41
Ridwan HR, Op.Cit., hlm 104-105. 42
Ibid. 43
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir denagan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000, Pasal 1 angka 9. 44
H. Moeljo Hadi, Dasar-dasar Penagihan Pajak, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2001),hal.2.
34
ketentuan Undang-Undang Perpajakan khususnya mengenai
pembayaran pajak.”45
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat
diketahui bahwa pada dasarnya proses penagihan pajak melibatkan
beberpa unsur-unsur yang mempunyai arti yang cukup penting,
diantaranya yaitu:
1. Utang pajak, yaitu “Pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi
administrasi berupa bunga , denda atau kenaikan yang tercantum
dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”46
2. Serangkaian tindakan dilakukan sesuai jadwal waktu yang benar,
yaitu penerbitan Surat Teguran, pemberitahuan Surat Paksa,
pelaksanaan penyitaan berdasarkan Surat Perintah Melaksanakan
Penyitaan (SPMP), sampai dengan pelaksanaan lelang.
3. Aparat Direktorat Jendral Pajak, yaitu Jurusita Pajak yang telah
memenuhi syarat untuk melakukan penagihan pajak.
4. Penanggung pajak yang mempunyai kewajiban melunasi utang
pajak.
5. Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, yaitu UU KUP 1984 dan
UU PPSP serta peraturan pelaksanaan yang mengaturnya. Terdapat
dua jenis kegiatan penagihan pajak yang dikenal secara umum, yaitu
penagihan pajak pasif dan penagihan pajak aktif. Penagihan pajak
45
Soemitro Rochmat, Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung: Eresco.1991 46
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan pajak dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000,
Pasal 1 angka 8.
35
pasif adalah keseluruhan kegiatan penagihan di luar penagihan pajak
aktif dimana seksi penagihan tidak melakukan tindakan yang nyata
terhadap Wajib Pajak atau Penanggung Pajak agar melunasi utang
pajak.
Kegiatan ini meliputi saat antara penerbitan Surat Tagihan Pajak
(STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan
Pembetulan (SK Pembetulan), Surat Keputusan Keberatan (SK
Keberatan), dan Putusan Banding oleh seksi terkait hingga penerbitan
Surat Teguran oleh seksi penagihan. Sedangkan yang dimaksud dengan
penagihan pajak aktif adalah keseluruhan kegiatan penagihan yang
merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif dimulai dari
pemberitahuan Surat Paksa hingga menjual barang yang telah disita dan
dalam hal ini seksi penagihan melakukan tindakan yang nyata atas
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.47
Sehingga berdasarkan pengertian tersebut, kinerja seksi
penagihan hanya diukur dari keseluruhan penagihan pajak aktif yang
dilakukan, sedangkan pencairan tunggakan pajak sebelum penagihan
aktif dinilai sebagai kinerja pemeriksa terkait dengan adanya kesadaran
yang tinggi dari Wajib Pajak atau Penanggung Pajak untuk melunasi
utang pajaknya. Ujung tombak dalam pelaksanaan penagihan pajak
aktif pada KPP dalam hal ini secara khusus adalah Jurusita Pajak.
47
Direktorat Jenderal Pajak. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-19/PJ/1995
tentangPedoman Tata Usaha Piutang dan Penagihan Pajak.
36
Jurusita Pajak sendiri adalah“Pelaksana tindakan penagihan pajak yang
meliputi penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa,
penyitaan dan penyanderaan.48
Jurusita Pajak diangkat dan
diberhentikan oleh Menteri Keuangan untuk penagihan pajak pusat, dan
oleh Gubernur atau Bupati/Walikota untuk penagihan pajak daerah.49
Syarat-syarat untuk menjadi Jurusita Pajak adalah sebagia
berikut:
1. Berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum atau
sederajat.
2. Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda/Golongan II/a.
3. Berbadan sehat.
4. Lulus pendidikan dan latihan Jurusita Pajak.
5. Jujur bertanggung jawab dan penuh pengabdian.
Dalam melaksanakan tugas, seorang Jurusita Pajak harus
dilengkapi dengan Kartu Tanda Pengenal Jurusita Pajak yang harus
diperlihatkan kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak. Hal ini
dimaksudkan agar Jurusita Pajak mempunyai bukti diri yang kuat dan
bisa menjelaskan bahwa yang bersangkutan adalah benar-benar Jurusita
Pajak yang sah dan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan
tindakan penagihan pajak.
48
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan
Surat Paksa sebagaimana telah diubah terakhir denagan Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2000, Pasal 1 angka 9. 49
Departemen Keuangan. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia nomor:
562/KMK.04/2000 tentang syarat-syarat Pengangkatan dan Pemberhentian Juru sita Pajak,
Pasal 1.
37
Dasar penagihan pajak berdasarkan Pasal 18 ayat (1) Undang-
undang No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan, Penagihan Pajak akan dilakukan bila terdapat utang
pajak yang ditagih dengan:
1. Surat Tagihan Pajak (STP) adalah surat untuk melakukan tagihan
pajak dan sanksi administrasi berupa bunga atau denda;
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalahsurat
ketetapan pajak yang menentukan besar jumlah pokok pajak, jumlah
kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya
sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar;
3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah
surat ketetapan pajak yang menentukan tamabahan atas jumlah
pajak yang telah ditetapkan;
4. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang
membetulkan kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan kekeliruan
penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan;
5. Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan
terhadap Surat Ketetapan Pajak atau terhadap pemotongan atau
pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak;
6. Ptusan Banding adalah putusan Badan Peradilan Pajak atas Banding
terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh wajib pajak;
38
7. Putusan Peninjauan Kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas
Permohonan Kembali yang diajukan oleh wajib pajak atau oleh
Direktorat Jendral Pajak Terhadap Putusan banding atau putusan
gugatan dari badan peradilan pajak.
D. Konsep Operasional
Untuk menyatukan pandangan dan kesatuan pendapat dalam
penelitian ini dan untuk menghindarkan adanya interprestasi yang
berbeda dengan konsep yang digunakan, maka diperlukan persamaan
konsep dalamindicator-indicator variabel yang mempengaruhi adalah
sebagai berikut:
Efektivitas adalah kondisi atau keadaan, dimana dalam memilih
tujuan yang hendak dicapai dan sarana atau peralatan yang digunakan,
disertai tujuan yang diinginkan dapat dengan hasil memuaskan.
Pengertian efektivitas secara umum menunjukan sampai seberapa jauh
tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan.50
Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar Penanggung
Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur
atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,
memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan
50
Rahardjo, Adimasmitu, Pengelolaan Pendapatan Dan Anggaran Daerah, Graha Ilmu.
Yogyakarta, 2011, hlm 170.
39
penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah
disita.51
Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis
adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegus atau
memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.52
Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak.53
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Optimalisasi adalah
berasal dari kata dasar optimal yang berarti terbaik, tertinggi, paling
menguntungkan, menjadikan paling baik, menjadikan paling tinggi,
pengoptimalan proses, cara, perbuatan mengoptimalkan (menjadikan
paling baik, paling tinggi, dan sebagainya) sehingga optimalisasi adalah
suatu tindakan, proses, atau metodologi untuk membuat sesuatu
(sebagai sebuah desain, sistem, atau keputusan) menjadi
lebih/sepenuhnya sempurna, fungsional, atau lebih efektif.54
Penerimaan pajak adalah penghasilan yang diperoleh oleh
pemerintah yang bersumber dari pajak rakyat, yang dipergunakan untuk
pengeluaran pemerintah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
51
Undang-undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa, Undang-undang No. 19 Tahun
1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 19 Tahun 200, Pasal 1. 52
Ibid. 53
Ibid. 54
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1994, hlm 800.
40
E. Metode Penelitian
Suatu metode yang digunakan dalam penelitian sanagtlah
menentukan keberhasilan dalam suatu penelitian yang akan dilakukan
yaitu sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Untuk menjawab permasalahan dan mencapai tujuan dari penelitian
ini, peneliti mengadakan model pendekatan yuridis
empiris/sosiologis.Dilihat dari jenisnya, penelitian ini adalah
termasuk dalam golongan observasi research dengan cara melakukan
survey, lansung kelapangan dari responden melalui wawancara
untuk dijadikan data atau informasi sebagai bahan dalam penulisan
pada penelitian.55
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kota Pekanbaru. Pekanbaru merupakan
salah satu penerimaan pajak yang sangat besar. Adapun lokasi
penelitian dilakukan pada di KPP Pratama Tampan Pekanbaru.
3. Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atau objek
atau subjek yang mempunyai kualitas dan karektaristik tertentu yang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini
55
Kountur Ronny,Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsidan Tesis, Jakarta: Penerbit
PPM,2004.
41
adalah 3orang fiskus, 1 orang Kepala KPP Pratama Tampan
Pekanbaru .
Jumlah populasi yang disebutkan di atas dalam penelitian ini
akan diambil sampel secara sensus yang artinya kesemua responden
dijadikan sampel dalam penelitian ini.Sampel adalah sebagian objek
yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dianggap mewakili
seluruh populasi. Tiap sampel dari penelitian ini diambil dengan cara
metode random sampling.
4. Jenis dan Sumber Data
Pada penelitian ini jenis data yang dikumpulkan dapat di
kelompokan atas Data Primer dan Sekunder. Data Primer yaitu data
yang diperoleh langsung dari responden dengan menggunakan
wawancaradan kuesioner sehubungan dengan penelitian ini yang
mencakup efektivitas penagihan pajak dengan surat paksa serta
akibat hukum dalam penagihan pajak dengan surat paksa dalam
upaya optimalisasi penerimaan pajak. Data Sekunder yaitu data yang
dapat menjelaskan dan menganalisa data primer tersebut yaitu
berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
5. Alat Pengumpulan Data
Adapun alat pengumpulan data dalam penelitian ini melalui
wawancara. Wawancara yaitu suatu dialog yang dilakukan untuk
memperoleh data dan informasi wawancara. Dalam hal ini penulis
mengadakan tatap muka dan tanya jawab langsung dengan
42
responden atau nara sumber serta informan untuk mendapatkan
informasi guna melengkapi data-data yang diperlukan. Dalam
penelitian ini, penulis akan mempertanyakan dengan melakukan
wawancara langsung terhadap para penagih pajak di KPP Pratama
Tampan Pekanbaru.
6. Analisis Data
Setelah data yang dikumpulkan melalui teknik pengumpulan
data yang digunakan dalam penelitian ini, selanjutnya dikelompokan
dan diolah menurut jenisnya, setelah itu dianalisa secara deskriptif
yaitu suatu penelaahan yang berusaha memberikan penjelasan serta
gambaran terperinci berdasarkan kenyataan di lapangan dan juga
perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu
yang utuh.
7. Metode Penarikan Kesimpulan
Adapun selanjutnya penulis melakukan penarikan kesimpulan
dengan metode deduktif yang artinya suatu proses berpikir yang
berupa penarikan kesimpulan yang umum atau dasar pengetahuan
tentang hal-hal yang khusus.