bab i pendahuluan a. latar...

26
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gunung Merapi merupakan gunung api aktif yang terletak di titik silang antara sesar transversal yang memisahkan wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah, selain itu juga terletak disebuah sesar longitudinal Jawa. 1 Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral sub bagian Badan Geologi memperjelas keterangan yang dituliskan oleh Neuman van Padang mengenai letak Gunung Merapi (2986 dpl), bahwa gunung tersebut terletak diperbatasan empat kabupaten yaitu Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten Jawa Tengah. 2 Gunung Merapi mempunyai aktivitas vulkanik yang berbeda dibandingkan gunung-gunung di Jawa lainnya. Perekaman aktivitas Merapi mulai lebih intensif sejak tahun 1930an, yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda. 3 Menurut catatan pemerintah Kolonial Belanda, Gunung Merapi pada 1930an erupsi besar karena menyebabkan korban jiwa hingga 1369 dan rusaknya fasilitas publik di 1 Neumann van Padang “Merapi” dalam Kusumadinata, dkk., (ed). Data Dasar Gunung Api Indonesia: Catalogue of References On Indonesian Volcanoes With Eruption In Historical Time, (Bandung: Departemen Pertambangan Dan Energi Direktorat Jendral Pertambahangan Umum Direktorat Vulkanologi, 1979), hlm. 250. 2 Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral sub bagian Badan Geologi, Data Dasar Gunung Api Indonesia Edisi Dua, (Bandung: Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi, 2011), hlm. 342. 3 Op. Cit., hlm 253.

Upload: hanhu

Post on 02-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Gunung Merapi merupakan gunung api aktif yang terletak di titik silang

antara sesar transversal yang memisahkan wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah,

selain itu juga terletak disebuah sesar longitudinal Jawa.1 Kementerian Energi

Dan Sumber Daya Mineral sub bagian Badan Geologi memperjelas keterangan

yang dituliskan oleh Neuman van Padang mengenai letak Gunung Merapi (2986

dpl), bahwa gunung tersebut terletak diperbatasan empat kabupaten yaitu

Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten Jawa Tengah.2

Gunung Merapi mempunyai aktivitas vulkanik yang berbeda dibandingkan

gunung-gunung di Jawa lainnya. Perekaman aktivitas Merapi mulai lebih intensif

sejak tahun 1930an, yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda.3 Menurut

catatan pemerintah Kolonial Belanda, Gunung Merapi pada 1930an erupsi besar

karena menyebabkan korban jiwa hingga 1369 dan rusaknya fasilitas publik di

1 Neumann van Padang “Merapi” dalam Kusumadinata, dkk., (ed). Data

Dasar Gunung Api Indonesia: Catalogue of References On Indonesian Volcanoes With Eruption In Historical Time, (Bandung: Departemen Pertambangan Dan Energi Direktorat Jendral Pertambahangan Umum Direktorat Vulkanologi, 1979), hlm. 250.

2 Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral sub bagian Badan

Geologi, Data Dasar Gunung Api Indonesia Edisi Dua, (Bandung: Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi, 2011), hlm. 342.

3 Op. Cit., hlm 253.

2

daerah Magelang seperti tenggelamnya Kereta Api oleh material vulkanik.4

Korban jiwa yang banyak pada masa itu, kemungkinan dipengaruhi pula dengan

kurangnya upaya mitigasi yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial.

Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada 1930an ini menjadi perhatian besar

bagi Pemerintah Kolonial pada masa itu, Pemerintah Indonesia sekarang dan

utamanya bagi Balai Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kebencanaan

Geologi Yogyakarta.

Menurut catatan BPPTKG, tidak semua peristiwa erupsi Gunung Merapi

mengakibatkan kerugian yang besar meskipun tetap ada kerusakan yang

diakibatkan oleh material vulkanik. Kegiatan erupsi Gunung Merapi yang sehebat

erupsi tahun 1930an adalah kegiatan erupsi ditahun 1960an, kemiripan ini bukan

karena banyaknya korban jiwa, namun karena kekuatan erupsi itu sendiri, yaitu

banyaknya material vulkanik yang dikeluarkan pada saat erupsi maupun lahar

dingin. Pada erupsi 1960an banyak desa-desa di wilayah Kabupaten Magelang,

tanah-tanah pertanian dan fasilitas publik yang rusak .5

Periode erupsi Merapi selanjutnya yang dapat menandingi kekuatan erupsi

1960an adalah erupsi tahun 2010. Hal ini karena korban jiwa dan juga kerusakan

lingkungan yang ditimbulkan mencapai tingkat kemiripan dengan yang terjadi

4 Ibid. 5 Siti Alfiah Mukmin, “Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Sleman di

Sekitar Gunung Merapi Tahun 1930-1969”. Skripsi, (Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2003), tidak diterbitkan.

3

pada 1960an.6 Melihat Gunung Merapi yang kebanyakan membawa dampak yang

kurang menguntungkan dan sewaktu-waktu mengancam jiwa masyarakat yang

tinggal sekitarnya seharusnya wilayah tersebut didak digunakan sebagai tempat

tinggal maupun digunakan sebagai tempat mencari nafkah. Namun yang terjadi

adalah masyarakat masih banyak yang memilih tetap tinggal di lereng Gunung

Merapi. Hal ini dibuktikan dengan data statistik bahwa pada 1961 jumlah

penduduk ditiga wilayah yang berada di lereng selatan Merapi selalu meningkat.

Wilayah tersebut adalah Kecamatan Turi dengan penduduk 24218 jiwa menjadi

32328 jiwa pada tahun 2010, Kecamatan Pakem dengan penduduk 24886 jiwa

menjadi 33986 ditahun 2010 dan Kecamatan Cangkringan dengan penduduk

21008 menjadi 27560 ditahun 2010.7 Ketiga pedesaan yang dalam waktu 40 tahun

ini mempunyai laju pertumbuhan penduduk sekitar 25% atau 0.625%

pertahunnya. Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Involusi Pertanian:

Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia, mengungkapkan bahwa daerah di lereng

gunung biasanya subur, maka banyak masyarakat yang senang tinggal di daerah

tersebut walaupun dengan sebuah konsekuensi yang cukup membahayakan yaitu

terlanda material gunung berapi ketika sedang erupsi. Oleh karena itu tidak heran

bahwa pertambahan penduduk di lereng Gunung Merapi cukup tinggi. Akan tetapi

6 Bambang Hudayana, dkk., “Komunitas Lereng Merapi Serta Respon

Terhadap Erupsi Merapi 2010”.Laporan Penelitian, Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), (Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2012), tidak diterbitkan.

7 Data ini dikutib dari Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 1983 dan

pada 2010, kemudian dikomparasikan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman.

4

jumlah penduduk yang tinggi ini tidak berada pada daerah yang memiliki

ketinggian lebih dari 1000 meter dpl. Hal ini karena karakteristik wilayah dataran

tinggi dan bergelombang sehingga penduduk kesulitan untuk membangun rumah.

Selain laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, dalam sektor

perekonomian kaitannya dengan kebijakan pemerintah Orde Baru pada masa itu

adalah ditetapkannya Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Iklim perekonomian

setelah tumbangnya kepemimpinan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinannya

adalah iklim perekonomian krisis. Pada masa Demokrasi Terpimpin banyak

rencana pembangunan yang tidak berjalan secara maksimal, hal inilah yang

menimbulkan iklim krisis. Oleh karena itu Pelita diambil oleh pemerintah Orde

Baru guna memulihkan krisis pada saat itu.8

Titik awal pemerintah Orde Baru dengan program yang dikenal dengan

Repelita I-IV berhasil menelurkan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di bidang

pertanian swasembada beras tahun 1984 dicapai oleh masyakat. Hal ini dimulai

sejak adanya Repelita I dengan kebijakan disektor pangan yaitu penyediaan beras

bagi kesejahteraan rakyat.9

Program-progam bantuan pemerintah untuk meningkatkan usaha pertanian

terus dikembangkan. Pelatihan-pelatihan para petani dan suntikan benih-benih

yang unggul dengan teknologi pertanian yang baru diusahakan secara intensif

menjadi suatu fenomena yang sering terlihat di desa-desa. Dengan adanya

8 R.Z Leirissa, dkk., Sejarah Perekonomian Indonesia. (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996), hlm 100-101.

9 Ibid.

5

program demikian ini hasil produksi pertanian meningkat, sehingga derajat petani

pun semakin baik.10 Kondisi yang demikian ini tentu mempengaruhi kehidupan

sosial ekonomi masyarakat pedesaan yang masih banyak masyarakatnya bermata

pencaharian sebagai petani seperti halnya masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem

dan Cangkringan.

Selanjutnya, terlepas dari fakta sosial dan ekonomi di Kecamatan Turi,

Pakem dan Cangkringan termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana III pada tahun

2010.11 Situasi yang demikian ini seharusnya memang tidak banyak penghuninya

namun di wilayah ini sebaliknya. Bertambahnya penduduk ini karena penduduk

lokal enggan untuk ditransmigrasikan maupun dipindahkan dari wilayah bencana

tersebut. Hal ini karena masyarakat mempunyai rasa sayang yang berlebihan

terhadap wilayah asalnya.

Kondisi wilayah yang demikian itu tentunya banyak kebijakan yang

diterapkan pemerintah untuk melindungi warga masyarakat dari ancaman erupsi.

Utamanya adalah pembagian zona-zona bahaya, kebijakan transmigrasi hingga

10 Departemen Pendidikan dam Kebudayaan RI, Pembanguan Lima Tahun

DI Propinsi Jawa Timur 1969-1988. (Jakarta: Departemen Pendidikan dam Kebudayaan RI, 1999).

11 Kawasan Rawan Bencana III pada tahun 2010 meliputi Desa Girikerto

294.55 Ha dan Wonokerto 279.49 Ha termasuk dalam wilayah Kecamatan Turi. Desa Hargobinangun 1.625.24 Ha dan Purwobinangun 438.47 Ha termasuk dalam wilayah Kecamatan Pakem. Desa Glagaharjo 291.87 Ha, Kepuhargo 225.33 ha, Umbulharjo 206.97 Ha termasuk dalam wilayah Kecamatan Cangkringan. Peta Kawasan Rawan Bencana ini setiap periode erupsi Gunung Merapi berubah namun perubahan Peta Kawasan Rawan Bencana tidak berbeda jauh dengan peta sebelumnya. Keterangan ini dapat dilihat dari Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi Di Kabupaten Sleman. Badan Penanggulangan Bencana Alam Kabupaten Sleman, 2010 . Lihat Lampiran 1.

6

relokasi. Selain sebagai mitigasi bencana bagi masyarakat, kebijakan yang

diterapkan pemerintah adalah untuk membantu masyarakat dalam bidang

perekonomian misalnya pembinaan desa-desa wisata dan juga penataan kawasan

wisata itu sendiri.

Hal ini dikarenakan dewasa ini minat masyarakat berwisata meningkat

sehingga wilayah yang mempunyai potensi pariwisata yang potensial utamanya

wisata alam perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Dengan adanya

fenomena wisata alam yang terkenal di wilayah Turi, Pakem dan Cangkringan

maka kontak antar budaya pun juga meningkat. Pedesaan yang banyak terdapat

tempat wisata ataupun fasilitas publik dapat membedakan tingkat dinamika sosial-

ekonomi masyarakatnya, dibandingkan dengan pedesaan yang tidak ada tempat

wisatanya. Tidak dipungkiri bahwa, masyarakat yang mendiami suatu wilayah

secara alami mereka akan beradaptasi dengan kondisi lingkungannya.

Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan

Cangkringan ini memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini karena setiap

wilayah mempunyai potensi alam maupun manusia yang berbeda-beda.

Kecamatan Turi secara umum merupakan bagian dari wilayah administratif

Kabupaten Sleman. Di wilayah ini, kehidupan ekonomi masyarakatnya

bergantung pada sektor pertanian dan sektor peternakan. Sejak perkenalan

tanaman Salak di Turi pada tahun 1985, sudah menjadi komoditi pertanian paling

menjanjikan diusahakan oleh petani. Dalam catatan dari Badan Pusat Statistik,

7

Kecamatan Turi selalu menempati posisi teratas dalam produksi buah salak.12

Sedangkan dalam sektor peternakan, masyarakat di Kecamatan Turi memelihara

sapi perah (sapi poang apabila masyarakat Turi menyebutkan) dan kambing etawa

(wedhus PE masyarakat biasa menyebutkannya) untuk diambil susunya dan

kotorannya untuk membantu menyuburkan tanah pertanian salaknya. Masyarakat

Turi membudidayakan salak sebagai salah satu penyambung hidupnya karena

tanah pertanian di kecamatan tersebut umumnya berjenis tanah regosol atau tanah

berpasir, sehingga untuk ditanami padi, hasilnya kurang maksimal. Penanaman

tumbuhan salak biasanya di wilayah tegalan atau sekitar rumah mereka.

Hubungan antara kehidupan ekonomi dan sosial selalu simbiosis. Orang

yang masuk golongan atas tentu mempunyai status sosial yang tinggi sedangkan

orang miskin memiliki status sosial yang rendah. Hal ini tercermin pula dalam

kehidupan masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Orang

dengan status sosial yang tinggi ditempati oleh petani pemilik lahan, pengusaha

jasa dan industri, Pegawai Negeri, ABRI dan Pensiunan Pegawai Negeri. Selain

itu desa seperti Kepala Desa beserta stafnya dan Camat beserta stafnya juga

merupakan orang terpandang. Lain halnya dengan pejabat dusun dibawah Kepala

Dukuh, biasanya mereka kurang dipandang sebagai golongan atas apabila seorang

Kepala Dukuh tersebut tidak memiliki tanah atau hewan ternak yang banyak.

Selanjutnya, di Kecamatan Pakem yang termasuk dalam wilayah Kabupaten

Sleman juga, penduduknya mayoritas memilih sektor pertanian, peternakan dan

usaha jasa sebagai penyambung hidupnya. Peternakan sapi perah dimulai dari

12 Lihat Kabupaten Sleman Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten

Sleman.

8

tahun 1981, dengan adanya bantuan sapi perah dari Universitas Gadjah Mada.13

Selanjutnya dalam bidang budidaya tanaman pertanian yang dipilih masyarakat

Pakem biasanya tanaman keras, tanaman palawija dan pohon buah. Dalam sektor

jasa mereka memanfaatkan potensi wilayahnya yang berada dalam sektor tempat

wisata, misalnya mereka mendirikan hotel, home stay dan pertokoan. Menurut

Kepala Dusun Kaliurang Timur, hotel-hotel milik masyarakat baru dimulai sejak

tahun 1980an sedangkan hotel yang mewah masuk mulai tahun 1991.

Berbeda dengan masyarakat Turi dan Pakem, masyarakat Cangkringan lebih

mengunggulkan sektor wisata dan tambang. Hal ini karena di Kecamatan

Cangkringan sering terlanda erupsi Gunung Merapi, sehingga barang tambang

seperti pasir dan batu sangat banyak terdapat di Kecamatan Cangkringan. Tak

heran jika di wilayah tersebut banyak usaha masyarakat yang menyediakan barang

tambang seperti pasir dan batu. Sesuatu yang unik dapat dilihat, menuju wilayah

Kecamatan Cangkringan bahwa ada suatu usaha penjualan pasir dan batu yang

diberi nama Berkah Merapi. Selain itu disektor pariwisata masyarakat di

Kecamatan Cangkringan juga memanfaatkan potensi dari Gunung Merapi itu

sendiri. Mereka setelah erupsi yang terjadi pada tahun 2010, semakin terlihat cara

mereka beradaptasi dalam sektor ekonomi. Setelah tempat tinggalnya hancur

karena awan panas dan banjir lahar dingin, mereka tinggal di Hunian Tetap yang

dibangunkan oleh pemerintah. Selanjutnya daerah mereka yang lama dan telah

ditinggalkan dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata dan ditanami tanaman

keras. Seperti yang terjadi di Jambu, Kecamatan Cangkringan. Masyarakat

13 Eko Teguh Paripurno, dkk., Merapi Bertutur. Yogyakarta: Oxfam, 1999.

9

memperkenalkan obyek wisata Batu Alien sebagai hasil dari erupsi Gunung

Merapi. Selain itu dalam hal paket wisata masyarakat juga menyediakan

kendaraan Jeep dan rute Volcano Tour.

Kondisi masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan yang

hidup dengan berbagai karakteristiknya juga selalu dalam wilayah Kawasan

Rawan Bencana (KRB) ini menjadikan menarik untuk diteliti. Bukan hanya dalam

sektor mitigasi bencana dan budaya saja namun juga dalam kehidupan sosial

ekonominya yang disusun secara kronologis dalam rentan waktu tertentu.

Selanjutnya, penelitian ini dibuat sebagai sejarah pedesaan, sesuatu yang baru

dihadirkan yaitu dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem

dan Cangkringan dalam konteks bencana erupsi Gunung Merapi. Pemikiran yang

melandasi penelitian ini adalah bahwa kondisi lingkungan hidup yang rentan

bahaya erupsi Gunung Merapi, akan menyebabkan perbedaan kehidupan

masyarakat secara sosial maupun ekonominya. Penelitian tentang dinamika

kehidupan sosial mengarah kepada perubahan sosial sedangkan kehidupan

ekonomi menitik beratkan kepada dinamika sistem kehidupan ekonomi

masyarakat terkait dengan hasil produksi pertanian, peternakan serta sektor

pariwisata dan perdagangan. Selain itu berkaitan dengan program-program

pemerintah yang dilaksanakan pada tahun 1960an-2010 akan menimbulkan

dampak berbeda pula bagi masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan

Cangkringan terutama dalam sektor mitigasi bencana, sosial dan perekonomian.

10

B. Rumusan Masalah Dan Ruang Lingkup Penelitian

Permasalahan pokok yang akan ditekankan dalam tulisan ini adalah

dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan lereng selatan Merapi

dalam konteks bencana alam dan kebijakan pemerintah. Hal ini menjadi unik dan

menarik mengingat fenomena bencana alam selalu ada disekitar mereka namun

masyarakat tetap saja krasan tinggal di daerahnya.

Permasalahan pokok diatas kemudian memunculkan beberapa pertanyaan

yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mencari jawaban atas permasalahan

tersebut, yaitu:

1. Bagaimana aktivitas Gunung Merapi selama kurun waktu 1960an-

2010? Dan bagaimana dampak utamanya kerugian material dari aktivitas

Merapi yang diderita oleh masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan

Cangkringan?

2. Bagaimana dinamika kehidupan sosial ekonomi yang terjadi pada

masyarakat pedesaan lereng selatan Merapi selama kurun waktu 1960an-

2010?

Sebuah penelitian sejarah terikat oleh cakupan temporal dan spasial supaya

dapat menjadi tulisan sejarah yang terarah sehingga dalam proses pembuatan

tulisan ini tidak akan terjebak kepada hal-hal yang tidak ada kaitannya.14 Ruang

lingkup temporal yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah pada tahun 1960an-

14 Taufik Abdullah. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif,

(Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. xii.

11

2010. Pemilihan cakupan temporal dimulai 1960an karena pada tahun ini terjadi

dua kali erupsi Merapi yaitu pada 1961 dan 1969 yang dampaknya meliputi

pedesaan lereng barat dan barat daya namum aliran lahar dinginnya mencapai

pedesaan lereng selatan.15 Selain itu pada tahun 1960an, bangsa Indonesia melalui

suatu tahap pembangunan ekonomi yang disebut dengan Repelita (Rencana

Pembangunan Lima Tahun). Repelita pertama ini ditujukan kepada sektor

ekonomi pertanian, wilayah Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan merupakan

wilayah pedesaan yang mengunggulkan ekonomi pertaniannya. Oleh karena itu

dengan adanya Repelita ini, masyarakat petani ditiga kecamatan tersebut tentunya

mendapat dampak secara sosial maupun ekonominya. Kondisi yang demikian ini

diasumsikan dapat mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat di Kecamatan

Turi, Pakem dan Cangkringan.

Tahun 2010 sebagai batas akhir dari penelitian ini, karena erupsi yang

terjadi pada 2010 aliran laharnya cukup besar mengarah ke selatan sehingga

diindikasikan pula mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kecamatan Turi,

Pakem dan Cangkringan baik dari aspek sosial-ekonomi.16

Cakupan spasial tulisan ini adalah pedesaan lereng selatan Merapi, namun

tidak semua desa yang menjadi obyek penelitian ini, hanya tiga desa yang

15 Radomopurbo, dkk., “Karakteristik Letusan Gunungapi Merapi” dalam

Darmakusuma Darmanto. Pengelolaan Lingkungan Alur Sungai Lereng Selatan Gunungapi Merapi Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi. (Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2012), tidak diterbitkan.

16 Historical of Eruption Merapi Volcano. Koleksi Museum Gunung Merapi

Yogyakarta.

12

berbatasan langsung dengan Gunung Merapi yaitu Turi, Pakem dan

Cangkringan.17 Posisi Gunung Merapi menjadi batas wilayah dari Kecamatan

Turi, Pakem dan Cangkringan di sebelah utaranya. Daerah ini banyak menjadi

sorotan setelah bencana erupsi Merapi tahun 1994.18

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan kemudian memahami

fenomena perubahan sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat pedesaan

lereng selatan Merapi yang hidup dalam ancaman bencana erupsi selama 40an

tahun yaitu 1960an-2010. Selain itu juga untuk menafsirkan apa yang terjadi

dimasalalu melalui sumber yang tersedia, sehingga hal ini dapat untuk

menjelaskan sebab terjadinya fenomena sosial ekonomi yang terjadi di

masyarakat Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan.

Dalam jangka panjang penelitian yang menggunakan sudut pandang sejarah

ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan apa yang terjadi dimasa lalu guna

membantu penelitian dimasa depan. Selain itu juga penelitian ini berguna untuk

memberikan gambaran tentang prospek pembangunan pedesaan yang rawan akan

bencana erupsi Merapi.

17 Pedesaan lereng selatan Merapi yang berbatasan langsung dengan

Gunung Merapi menurut peta Kabupaten Sleman adalah Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Lihat Kabupaten Sleman Dalam Angka 2010. (Sleman: Badan Pusat Statistik, 2011).

18 Peta Daerah rawan Bencana Gunungapi Merapi 2005, dalam Op.Cit.

13

D. Tinjauan Pustaka

Dewasa ini dan sepanjang penulis ketahui banyak peneliti yang memberikan

perhatian lebih kepada Gunung Merapi dan wilayah sekitarnya sebagai salah satu

fenomena alam yang mempunyai daya tarik tersendiri. Mereka yang melakukan

penelitian ini seperti mereka yang berkonsentrasi pada bidang keilmuan geografi

dan geologi, kehutanan, pertanian, MIPA, pariwisata, antropologi dan ekologi.19

Selain itu juga ada badan khusus yang secara terus menerus mengamati aktivitas

Gunung Merapi yaitu Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi

19 Karya-karya mengenai Gunung Merapi dalam bidang ilmu geografi dan

geologi salah satunya adalah tulisan Sutikno, “Natural Disaster In Relation To Sustainable Development In Indonesia”. Dalam Manusia dan Lingkungan No. 5. Th. II. April. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, 1995. Dalam bidang ilmu kehutanan contohnya tulisan Suryo Hadiwinoto, dkk., “Tingkat Ketahanan

dan Proses regenerasi Vegetasi Setelah Letusan Gunung Merapi”. Dalam Manusia dan Lingkungan No. 15. Th. V. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, 1998. Dalam bidang ilmu MIPA misalnya tulisan Yulianto, dkk., “Pembentukan Sentra Industri Pengolahan Susu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Di Daerah Petung Cangkringan Sleman Yogyakarta Sebagai Strategi Pengembangan Desa Wisata Dan Peningkatan Taraf Kehidupan Masyarakat”.

Dalam Saintifika Vol. III No. II. Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, Desember 2011. Dalam ilmu pariwisata misal tulisan Agus Hendratno, “Perjalanan Wisata Minat Khusus Geowisata Gunung Merapi: Studi di Lereng

Merapi Bagian Selatan Yogyakarta”. Dalam Nasional Pariwisata. Vol. II No. II Desember 2002. Dalam kajian ilmu antropologi tulisan Hanjono Adi Pranowo DS. Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi Di Lereng Gunung Merapi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).

14

Kebencanaan Geologi (BPPTK) dan kemudian mempublikasikan tulisan tersebut

dalam majalah MERAPI, yang terbit sebulan sekali.20

Dalam kajian ilmu sosial, Gunung Merapi dan daerah sekitarnya sering

dikaji oleh mereka yang berkonsentrasi dalam kajian antropologi baik mereka

yang dari dalam negeri ataupun luar negeri. DR. Bambang Hudayana, dkk dari

Jurusan Antropologi UGM mempunyai beberapa penelitian yaitu yang berjudul

Komunitas Lereng Merapi Serta Respon Terhadap Erupsi Merapi 2010.

Penelitian ini membahas tentang kekuatan komunitas dalam beradaptasi dengan

lingkungan yang rawan bencana Merapi setelah terjadinya erupsi tahun 2010

dengan pendekatan etnografi.21

Selain itu peneliti luar negeri juga ada yang mempunyai interest menulis

tentang Merapi dan wilayah sekitarnya yaitu Michael R Dove dengan judul tulisan

The Practical Reason of Weeds in Indonesia: Peasant vs. State Views of Imperata

and Chromolaena. Tulisan ini membahas kontestasi pendapat antara pemerintah

dan petani mengenai tanaman gulma jenis Imperata dan Chromolaena. Para

petani lereng Merapi menganggap Imperata sebagai makanan ternak dan bahan

pembuat atap sedangkan pemerintah menganggap Imperata sebagai tanaman

20 Subandriyo, dkk. Ancaman Bahaya Letusan Gunung Merapi Ke Arah

Selatan Pasca Erupsi 2006. Buletin Merapi, (Yogyakarta: BPPTK Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2009).

21 Bambang Hudayana, dkk., “Komunitas Lereng Merapi Serta Respon

Terhadap Erupsi Merapi 2010”.Laporan Penelitian, Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA) Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2012, tidak diterbitkan.

15

gulma yang mengurangi kesuburan tanah juga pemicu adanya kebakaran hutan,

sehingga perlu dibasmi.22

Demikian hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh orang dari disiplin ilmu

selain ilmu sejarah. Hasil-hasil penelitian ini hanya sedikit saja menggunakan

pendekatan sejarah. Ciri khas penelitian dalam bidang sejarah sangat

memperhatikan proses perubahan yang terjadi pada kurun waktu tertentu dengan

tidak lupa memperhatikan kronologis sebagai ciri utamanya.

Ada satu tulisan dalam bidang ilmu sejarah ikut memperhatikan mengenai

Gunung Merapi dan dinamika sosial ekonomi yang ada di sekitarnya. Penelitian

ini dilakukan oleh Siti Alfiah Mukmin dengan judul Kehidupan Sosial ekonomi

Penduduk Sleman Di Sekitar Gunung Merapi Tahun 1930-1969.23 Dalam tulisan

ini mengidentifikasi mengenai segala sesuatu yang dikaitkan dengan akibat dari

letusan Gunung Merapi dalam kurun waktu 39 tahun (1930-1969). Tulisan ini

juga mengungkapkan sistem pertanian yang dipilih masyarakat sekitar Gunung

Merapi untuk mengolah tanahnya. Hal ini dicontohkan bahwa masyarakat yang

tinggal di daerah dekat puncak menggunakan sistem pertanian tegalan, lereng

tengah dan bawah dengan sistem persawahan dengan memanfaatkan sungai opak

sebagai sumber irigasinya pada periode 1930-1969. Ekonomi pertanian-lah yang

ditonjolkan dalam tulisan ini. Tulisan Siti Alfiah Mukmin dari bidang Ilmu

22 Dove, Michael R. “The Practical Reason of Weeds in Indonesia: Peasant

vs. State Views of Imperata and Chromolaena”. Dalam Human Ecology. Vol 14. No. II 1986.

23 Siti Alfiah Mukmin, “Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Sleman di

Sekitar Gunung Merapi Tahun 1930-1969”. Skripsi, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2003 tidak diterbitkan.

16

Sejarah menjadi suatu tulisan yang dijadikan referensi, karena penelitian yang

akan dilakukan ini secara periode merupakan kelanjutan dari penelitian

sebelumnya yaitu 1960an-2010.

Selanjutnya ada suatu makalah yang dibuat oleh Balai Besar Pengkajian dan

Pengembangan Teknologi Pertanian di Bogor dengan judul Dampak Erupsi

Gunung Merapi Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Desa Umbulharjo

Kabupaten Sleman.24 Tulisan ini menceritakan dampak dari erupsi Gunung

Merapi yang terjadi pada 2010 dengan mencatat berbagai kerusakan yang

menimpa penduduk Umbulharjo. Menurut Kecamatan Cangkringan Dalam Angka

2005, desa Umbulharjo masuk dalam wilayah administrasi dari Kecamatan

Cangkringan.

Pada waktu erupsi Gunung Merapi empat tahun yang lalu, banyak rumah

penduduk yang tinggal di Desa Umbulharjo, fasilitas publik hancur tersapu awan

panas atau yang disebut dengan wedhus gembel. Fasilitas publik yang hancur

seperti puskesmas, sekolah dan gedung pertemuan. Dalam kehidupan sosial,

masyarakat menganut nilai kedermawanan, kebersamaan, keteladanan,

kepasrahan, perjuangan, ketaqwaan, kegotong royongan, kesetiaan, pengorbanan

dan kepemimpinan yang mereka junjung tinggi. Selain itu masyarakat juga sangat

mengakui adanya orang yang mereka hormati seperti sosok Mbah Marijan. Dalam

bidang ekonomi masyarakat enggan untuk direlokasi karena barang-barang

mereka masih tertinggal dilokasi awalnya yang mereka gunakan setiap hari

24 Wasito, dkk., “Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Kehidupan

Sosial Ekonomi Petani Desa Umbulharjo Kabupaten Sleman”, Balai Besar

Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor , 2012.

17

sebagai sarana penyambung hidup, seperti lahan pertanian baik sawah maupun

tegalan.

Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan dengan karya sebelumnya

adalah sudut pandang yang digunakan dalam penelitian ini ialah sudut pandang

sejarah yang memperhatikan sebuah dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang

terjadi tidak hanya di desa Umbulharjo namun di Kecamatan Turi, Pakem dan

Cangkringan. Cakupan penelitian yang lebih luas akan dihadirkan disini dengan

menitik beratkan pada karakteristik dari masing-masing kecamatan untuk

menjelaskan dinamika sosial ekonomi masyarakatnya.

Makalah selanjutnya yang menjadi tinjauan pustaka adalah karya dari Tri

Siwinugrahani yang berjudul Dampak Erupsi Merapi dan Kemiskinan Di

Kecamatan Cangkringan.25 Tulisan ini dalam aspek temporal mengambil periode

setelah erupsi Gunung Merapi yang terjadi tahun 2010. Dampak dari erupsi

Gunung Merapi terhadap kemiskinan ini dibuat sebagai kajian perbandingan,

maksudnya disini adalah perbandingan tingkat kemiskinan di Kecamatan

Cangkringan sebelum terjadinya erupsi 2010 dan setelahnya. Tulisan ini tidak

memperhatikan sebab terjadinya kemiskinan sebelum periode 2010, hanya data

kuantitaif saja yang digunakan, seharusnya apabila menuliskan mengenai

perbandingan tingkat kemiskinan harus dengan survei lapangan secara langsung,

bukan hanya dengan melihat data yang didapat dari dinas terkait mengenai tingkat

kemiskinan penduduk. Oleh karena itu tulisan ini berbeda dengan penelitian yang

25 Tri Siwi Nugrahani, “Dampak Erupsi Gunung Merapi dan Kemiskinan Di

Kecamatan Cangkringan”, Program Studi Akuntasi Universitas PGRI Yogyakarta, 2012.

18

akan dilakukan mengenai kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan

Turi, Pakem dan Cangkringan, meskipun pembahasan mengenai kemiskinan ada

dalam penjelasan mengenai kehidupan ekonomi masyarakatnya.

Literatur selanjutnya yang ditinjau dalam penelitian ini adalah karya dalam

bidang antropologi yaitu buku yang dahukunya dalah skripsi yang berjudul

Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi.26

Buku ini menuliskan mengenai hutan di lereng Gunung Merapi peranannya

kepada kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya. Dalam aspek spasialnya buku

ini mengambil hanya desa Kawastu, sebuah desa dilereng selatan. Hutan di sini

dimanfaatkan oleh masyarakat Kawastu sebagai tempat untuk mencari makanan

bagi hewan ternaknya. Antara sistem pertanian dan peternakan yang diusahakan

masyarakat mempunyai peranan penting dalam perubahan lingkungan disekitar

hutan Kawastu.

Dalam buku ini juga diungkapkan perbedaan presepsi antara masyarakat dan

pemerintah mengenai penggunaan hutan. Masyarakat memandang hutan sebagai

penyedia kayu, kebutuhan makanan ternak sedangkan pemerintah hutan berperan

sebagai penyedia air tanah, penahan erosi juga sebagai penghijauan kawasan

pengunungan. Hal ini menyebabkan kontestasi antara kepentingan pemerintah dan

masyarakat.

Berbeda dengan buku ini, penelitian ini mengaitkan proses perubahan

bencana letusan Gunung Merapi dengan perubahan sosial ekonomi yang

26 Handojo Adi Pranowo DS, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merap, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).

19

menunjukkan pula proses adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana selama

kurun waktu 40an tahun.

Selain meninjau karya-karya dari aspek ekologi, antropologi dan sejarah

tidak menutup kemungkinan, tulisan ini juga meninjau karya dari sudut pendang

kebijakan pemerintah yang diterapkan oleh pemerintah untuk masyarakat di

lereng Gunung Merapi. Laporan penelitian ini ditulis oleh Hari Poerwanto dengan

judul Relokasi: Stategi Penanganan Penduduk Korban Gunung Merapi 1994 dan

Implikasinya.27 Karya ini merupakan suatu metode penawaran yang ditawarkan

kepada pemerintah untuk menghindari korban erupsi Merapi. Salah satu

metodenya adalah relokasi, hal ini muncul ketika bencana Merapi pada 22

November 1994 yang merenggut puluhan nyawa orang. Sebelumnya pemerintah

telah menerapkan zona A yang mencerminkan wilayah rawan bencana sedangkan

zona B mencerminkan wilayah yang aman dari bencana.

Lanjutan dari penerapan zona-zona tersebut adalah penerapan action

program yaitu program transmigrasi, namun hal ini masih dinilai kurang berhasil.

Masyarakat merasa enggan untuk meninggalkan lokasi tempat mereka tinggal

sebelumnya. Berbeda dengan tulisan ini, penelitian yang akan dilakukan ini akan

membahas upaya pemerintah dalam mencegah korban erupsi Merapi dari periode

1960an hingga 2010. Dalam waktu empat puluhan tahun tersebut, akan dinilai

kekurangan ataupun kelebihan dari program pemerintah sehingga dapat dijadikan

27 Hari Poerwanto, “Relokasi: Stategi Penanganan Penduduk Korban

Gunung Merapi 1994 dan Implikasinya”. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian, Universitas Gadjah Mada, 1996. Tidak diterbitkan.

20

sebagai gambaran untuk penanganan korban Merapi selanjutnya selama Merapi

masih aktif.

Selanjutnya karya yang ditinjau dalam penelitian ini berkaitan dengan

tingkat keserasian penduduk dengan lingkungan fisiknya. Penelitian ini berjudul

Keserasian Penduduk Dengan Lingkungan Fisik dan Potensi Sumber Daya Alam

Gunung Merapi: Studi Interaksi Penduduk dengan Lingkungan Pada Daerah

Rawan Bencana.28 Penelitian ini menunjukkan derajat keserasian antara penduduk

dan dan lingkungan fisiknya dengan ditunjukkan oleh angaka-angka.

Kesimpulannya masyarakat yang paling serasi dengan lingkungan fisiknya adalah

masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani. Berbeda dengan penelitian

yang akan dilakukan, penelitian ini akan menunjukkan sebuah dinamika

kehidupan sosial ekonomi yang terjadi akibat erupsi Merapi serta proses adaptasi

masyarakat hidup di daerah bencana yang berkaitan dengan usaha tani.

Selanjutnya, buku yang berjudul Manusia Jawa dan Gunung Merapi:

Presepsi Sistem Kepercayaannya29 ini adalah karya yang ditinjau dari segi

kepercayaan masyarakat akan Gunung Merapi. Dalam buku ini diungkapkan

bahwa Gunung Merapi dipercaya sebagai kraton makhluk halus, tempat tinggal

para leluhur, dhanyang dan lelembut. Masyarakat juga menganggap sebagai surga

28 Rr. Wiwik Puji Mulyani, dkk., “Keserasian Penduduk Dengan

Lingkungan Fisik dan Potensi Sumber Daya Alam Gunung Merapi: Studi Interaksi Penduduk dengan Lingkungan Pada Daerah Rawan Bencana”. Laporan Penelitian, Fakultas GeografiLembaga Penelitian, Universitas Gadjah Mada, 2004. Tidak diterbitkan.

29 Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Presepsi

dan Sistem Kepercayaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991).

21

pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama hidup banyak berbuat

kebaikan. Segala sesuatu ini sangat erat kaitannya denga alam sekitar.

Kepercayaan ini diwujudkan dengan adanya upacara-upacara.

Ada kemiripan dengan tulisan ini, hanya saja penelitian yang akan

dilakukan ini adalah menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap Gunung

Merapi namun pada saat Gunung Merapi akan meletus. Hal yang membedakan

dengan tulisan ini adalah aspek spasialnya, tulisan ini hanya meneliti tiga desa

yaitu Wukirsari, Kawastu dan Korijaya sedangkan penelitian ini akan membahas

seluruh desa yang berada di lereng selatan Merapi.

Berkaitan dengan kepercayaan masyarakat mengenai Gunung Merapi ada

salah satu laporan penelitian yang berjudul Mitologi dan Tradisi Masyarakat

Pedesaan Di Lereng Merapi.30 Penduduk lereng Merapi kebanyakan menganggap

Merapi sebagai sesuatu yang adikodrati. Di Merapi mereka meyakini ada sebuah

keraton makhluk halus. Oleh karena itu mereka harus menjadi saudara dengan

para makhluk halus dengan cara saling menghargai tidak saling mengganggu. Hal

ini mereka wujudkan dengan sering pada hari-hari tertentu yang dikeramatkan

untuk memberikan sesaji pada para makhluk halus.

Berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang akan dilakukan ini

menyangkutkan periode bencana yang terjadi sebagai wujud kurang seimbangnya

tata kehidupan alam dan kehidupan manusia selama empat puluhan tahun. Hal-hal

30 Kodiran, “Mitologi dan Tradisi Masyarakat Pedesaan Di Lereng Merapi”.

Laporan Penelitian, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, 1989. Tidak diterbitkan.

22

yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah kepercayaan yang

diyakini oleh masyarakat tersebut dikaitkan dengan perubahan lingkungan yang

terjadi.

Dari beberapa karya yang telah ditulis oleh orang lain tersebut, tidak ada

yang menuliskan mengenai perubahan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh

bencana erupsi Merapi yang kemudian dikaitkan pula dengan adaptasi

masyarakatnya. Selain itu, karya-karya sebelumnya tidak menggunakan sudut

pandang sejarah dalam pemaparannya. Pada dasarnya tulisan sejarah sangat

memperhatikan sebuah proses perubahan terjadinya sebuah fenomena tertentu.

E. Metode Penelitian Dan Sumber

Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terbagi dalam lima tahap,

yaitu (1) pemilihan topik, (2) pencarian dan pengumpulan sumber baik dokumen

maupun sumber lisan, dalam hal pencarian dan pengumpulan sumber yang

relevan dengan tema ini (3) verifikasi atau kritik sumber yang meliputi kritik

intern dan kritik ekstern untuk menguji keabsahan dan keakuratan sumber, (4)

interpretasi: penafsiran dan penyusunan fakta yang masih berserakan secara

kronologis, dan yang terakhir (5) penulisan sejarah secara deskriptif naratif.31

Pemilihan topik ini dilakukan guna mendapatkan topik yang sesuai dengan

minat penulis dan workable. Memilih topik ini karena kedekatan penulis dengan

obyek penelitian. Pencarian sumber dan pengumpulan sumber baik dokumen

31 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang

Budaya, 1995), hlm. 90.

23

tertulis maupun lisan didapatkan ketika melakukan proses penelitian. Sumber

lisan didapat dengan wawancara kepada perwakilan staf pemerintahan yang

mengetahui tentang peristiwa erupsi Gunung Merapi dan kehidupan

masyarakatnya di tiap desa yang ada di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan

dan perwakilan warga yang menjadi korban erupsi Gunung Merapi. Semua

sumber lisan ini tentunya mempertimbangkan usia dan kemampuan memberi

informasi.

Selain itu, sumber yang digunakan meliputi data mengenai aktivitas Gunung

Merapi selama kurun waktu empat puluhan tahun yaitu dari 1960an-2010, data

tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh erupsi Merapi, selain itu data

dan peta mengenai daerah-daerah yang dilanda erupsi Merapi selama terjadinya

bencana Merapi dicari di Badan Arsip Daerah Yogyakarta dan Badan Arsip

Kabupaten Sleman, BPPTKG (Balai Penyeledikan dan Pengembangan Teknologi

Kegunungapian) Yogyakarta, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)

Kabupaten Sleman, Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman serta Museum Gunung

Merapi. Selain itu penelitian ini juga melibatkan arsip tekstual dan non-tekstual

yang dimiliki Staf Pemerintah Kecamatan, desa dan juga warga masyarakat di

wilayah Kecamatan Pakem, Cangkringan juga Turi.

Penelitian ini banyak memanfaatkan data statistik yang dicari dan

ditemukan di BPS Kabupaten Sleman. Sumber lisan didapat di lokasi penelitian

yaitu orang-orang yang tinggal di dusun lereng selatan Merapi dengan menemui

warga yang ketika peristiwa itu terjadi sudah lahir dan berusia cukup untuk

diwawancarai.

24

Sumber yang berupa litaratur-literatur pendukung dicari dan ditemukan di

perpustakaan FIB, perpustakaan Jurusan Sejarah UGM, Perpustakaan Pusat

UGM, Pusat Studi Kependudukan, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan,

Perpustakaan Fakultas Geografi UGM, Pusat Studi Bencana Alam UGM,

Perpustakaan Hatta Corner, Jogja Library untuk mencari berita-berita letusan

Gunung Merapi tahun 1960-2010, Perpustakaan Daerah Yogyakarta dan juga

penelusuran sumber didapat ketika informan atau literatur mengatakan tempat

sumber itu berasal.

Verifikasi sumber yang didapat juga dilakukan untuk mendapatkan sumber-

sumber yang benar-benar kredible, dimulai dari pengecekan kertas yang

digunakan untuk menulis sumber, bentuk tulisan dan juga bahasa yang digunakan.

Hal ini mempengaruhi hasil penelitian karena penelitian sejarah sangat tergantung

pada sumber yang ditemukan. Tahap selanjutnya adalah interpretasi dari sumber

yang ditemukan kemudian menuliskan hasil penelitian dengan deskriptive naratif.

F. Sistematikan Penulisan

Agar susunan tulisan ini dapat mencapai sasaran yang diinginkan, maka

disusun secara sistematis dan kronologis sebagai berikut. Tulisan ini dimulai dari

pengantar yang terdiri dari latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup

penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode dan sumber, serta

sistematika penulisan. Pada bagian pengantar ini berisi tentang deskripsi yang

memberi gambaran tentang fokus penelitian.

25

Pada bagian setelah pengantar ini dijelaskan mengenai aktivitas vulkanik

gunung merapi, kondisi ekologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat

pedesaan lereng selatan gunung merapi sebelum 1960. Kehidupan masyarakat

sekitar Gunung Merapi pada periode sebelum 1960an ini telah diteliti oleh Siti

Alfiah Mukmin, oleh karena itu pada bagian ini melengkapi pembahasan yang

belum ada dari tulisan Siti Alfiah Mukmin. Pada bab ketiga dijelaskan mengenai

aktivitas vulkanik gunung merapi pada 1960an-2010 dan dampaknya terhadap

kehidupan masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Pembahasan

terhadap dampak dari erupsi Gunung Merapi lebih ditekankan pada kerugian

material yang diderita oleh masyarakat. Hal ini bertujuan untuk nantinya dibab

selanjutnya membantu memperjelas dinamika sosial ekonomi masyarakat yang

hidup di lingkungan bencana.

Selain dampak erupsi, hal yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial

ekonomi masyarakat adalah kebijakan pemerintah, maka pada bab keempat

subbab pertama dijelaskan mengenai kebijakan pemerintah disektor sosial dan

ekonomi kemudian pada sub bab kedua dan ketiga dibahas mengenai dinamika

kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Turi, Pakem dan Cangkringan.

Pada bab selanjutnya dijelaskan mengenai dinamika kehidupan sosial

ekonomi di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan selama kurun waktu 1960-

2010. Pada bab ini banyak digunakan data statistik untuk membantu menjelaskan

perubahan sosial ekonomi secara kuantitatif.

Pada bagian terakhir adalah kesimpulan, yang menguraikan mengenai

temuan dari penelitian ini. Dalam kesimpulan ini dimunculkan perubahan sosial-

26

ekonomi, respon masyarakat terhadap aktifitas vulkanik Gunung Merapi serta

respon masyarakat terhadap kebijakan pemerintah yang diterapkan kepada

masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan.