1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Gunung Merapi merupakan gunung api aktif yang terletak di titik silang
antara sesar transversal yang memisahkan wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah,
selain itu juga terletak disebuah sesar longitudinal Jawa.1 Kementerian Energi
Dan Sumber Daya Mineral sub bagian Badan Geologi memperjelas keterangan
yang dituliskan oleh Neuman van Padang mengenai letak Gunung Merapi (2986
dpl), bahwa gunung tersebut terletak diperbatasan empat kabupaten yaitu
Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali dan Klaten Jawa Tengah.2
Gunung Merapi mempunyai aktivitas vulkanik yang berbeda dibandingkan
gunung-gunung di Jawa lainnya. Perekaman aktivitas Merapi mulai lebih intensif
sejak tahun 1930an, yang dilakukan oleh pemerintah Kolonial Belanda.3 Menurut
catatan pemerintah Kolonial Belanda, Gunung Merapi pada 1930an erupsi besar
karena menyebabkan korban jiwa hingga 1369 dan rusaknya fasilitas publik di
1 Neumann van Padang “Merapi” dalam Kusumadinata, dkk., (ed). Data
Dasar Gunung Api Indonesia: Catalogue of References On Indonesian Volcanoes With Eruption In Historical Time, (Bandung: Departemen Pertambangan Dan Energi Direktorat Jendral Pertambahangan Umum Direktorat Vulkanologi, 1979), hlm. 250.
2 Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral sub bagian Badan
Geologi, Data Dasar Gunung Api Indonesia Edisi Dua, (Bandung: Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral, Badan Geologi, 2011), hlm. 342.
3 Op. Cit., hlm 253.
2
daerah Magelang seperti tenggelamnya Kereta Api oleh material vulkanik.4
Korban jiwa yang banyak pada masa itu, kemungkinan dipengaruhi pula dengan
kurangnya upaya mitigasi yang diterapkan oleh pemerintah Kolonial.
Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada 1930an ini menjadi perhatian besar
bagi Pemerintah Kolonial pada masa itu, Pemerintah Indonesia sekarang dan
utamanya bagi Balai Penyelidikan Pengembangan Teknologi Kebencanaan
Geologi Yogyakarta.
Menurut catatan BPPTKG, tidak semua peristiwa erupsi Gunung Merapi
mengakibatkan kerugian yang besar meskipun tetap ada kerusakan yang
diakibatkan oleh material vulkanik. Kegiatan erupsi Gunung Merapi yang sehebat
erupsi tahun 1930an adalah kegiatan erupsi ditahun 1960an, kemiripan ini bukan
karena banyaknya korban jiwa, namun karena kekuatan erupsi itu sendiri, yaitu
banyaknya material vulkanik yang dikeluarkan pada saat erupsi maupun lahar
dingin. Pada erupsi 1960an banyak desa-desa di wilayah Kabupaten Magelang,
tanah-tanah pertanian dan fasilitas publik yang rusak .5
Periode erupsi Merapi selanjutnya yang dapat menandingi kekuatan erupsi
1960an adalah erupsi tahun 2010. Hal ini karena korban jiwa dan juga kerusakan
lingkungan yang ditimbulkan mencapai tingkat kemiripan dengan yang terjadi
4 Ibid. 5 Siti Alfiah Mukmin, “Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Sleman di
Sekitar Gunung Merapi Tahun 1930-1969”. Skripsi, (Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2003), tidak diterbitkan.
3
pada 1960an.6 Melihat Gunung Merapi yang kebanyakan membawa dampak yang
kurang menguntungkan dan sewaktu-waktu mengancam jiwa masyarakat yang
tinggal sekitarnya seharusnya wilayah tersebut didak digunakan sebagai tempat
tinggal maupun digunakan sebagai tempat mencari nafkah. Namun yang terjadi
adalah masyarakat masih banyak yang memilih tetap tinggal di lereng Gunung
Merapi. Hal ini dibuktikan dengan data statistik bahwa pada 1961 jumlah
penduduk ditiga wilayah yang berada di lereng selatan Merapi selalu meningkat.
Wilayah tersebut adalah Kecamatan Turi dengan penduduk 24218 jiwa menjadi
32328 jiwa pada tahun 2010, Kecamatan Pakem dengan penduduk 24886 jiwa
menjadi 33986 ditahun 2010 dan Kecamatan Cangkringan dengan penduduk
21008 menjadi 27560 ditahun 2010.7 Ketiga pedesaan yang dalam waktu 40 tahun
ini mempunyai laju pertumbuhan penduduk sekitar 25% atau 0.625%
pertahunnya. Clifford Geertz dalam bukunya yang berjudul Involusi Pertanian:
Proses Perubahan Ekologi Di Indonesia, mengungkapkan bahwa daerah di lereng
gunung biasanya subur, maka banyak masyarakat yang senang tinggal di daerah
tersebut walaupun dengan sebuah konsekuensi yang cukup membahayakan yaitu
terlanda material gunung berapi ketika sedang erupsi. Oleh karena itu tidak heran
bahwa pertambahan penduduk di lereng Gunung Merapi cukup tinggi. Akan tetapi
6 Bambang Hudayana, dkk., “Komunitas Lereng Merapi Serta Respon
Terhadap Erupsi Merapi 2010”.Laporan Penelitian, Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA), (Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2012), tidak diterbitkan.
7 Data ini dikutib dari Survei yang dilakukan oleh BPS pada tahun 1983 dan
pada 2010, kemudian dikomparasikan. Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman Bekerjasama dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman.
4
jumlah penduduk yang tinggi ini tidak berada pada daerah yang memiliki
ketinggian lebih dari 1000 meter dpl. Hal ini karena karakteristik wilayah dataran
tinggi dan bergelombang sehingga penduduk kesulitan untuk membangun rumah.
Selain laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, dalam sektor
perekonomian kaitannya dengan kebijakan pemerintah Orde Baru pada masa itu
adalah ditetapkannya Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Iklim perekonomian
setelah tumbangnya kepemimpinan Soekarno dengan Demokrasi Terpimpinannya
adalah iklim perekonomian krisis. Pada masa Demokrasi Terpimpin banyak
rencana pembangunan yang tidak berjalan secara maksimal, hal inilah yang
menimbulkan iklim krisis. Oleh karena itu Pelita diambil oleh pemerintah Orde
Baru guna memulihkan krisis pada saat itu.8
Titik awal pemerintah Orde Baru dengan program yang dikenal dengan
Repelita I-IV berhasil menelurkan pertumbuhan ekonomi yang pesat. Di bidang
pertanian swasembada beras tahun 1984 dicapai oleh masyakat. Hal ini dimulai
sejak adanya Repelita I dengan kebijakan disektor pangan yaitu penyediaan beras
bagi kesejahteraan rakyat.9
Program-progam bantuan pemerintah untuk meningkatkan usaha pertanian
terus dikembangkan. Pelatihan-pelatihan para petani dan suntikan benih-benih
yang unggul dengan teknologi pertanian yang baru diusahakan secara intensif
menjadi suatu fenomena yang sering terlihat di desa-desa. Dengan adanya
8 R.Z Leirissa, dkk., Sejarah Perekonomian Indonesia. (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1996), hlm 100-101.
9 Ibid.
5
program demikian ini hasil produksi pertanian meningkat, sehingga derajat petani
pun semakin baik.10 Kondisi yang demikian ini tentu mempengaruhi kehidupan
sosial ekonomi masyarakat pedesaan yang masih banyak masyarakatnya bermata
pencaharian sebagai petani seperti halnya masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem
dan Cangkringan.
Selanjutnya, terlepas dari fakta sosial dan ekonomi di Kecamatan Turi,
Pakem dan Cangkringan termasuk dalam Kawasan Rawan Bencana III pada tahun
2010.11 Situasi yang demikian ini seharusnya memang tidak banyak penghuninya
namun di wilayah ini sebaliknya. Bertambahnya penduduk ini karena penduduk
lokal enggan untuk ditransmigrasikan maupun dipindahkan dari wilayah bencana
tersebut. Hal ini karena masyarakat mempunyai rasa sayang yang berlebihan
terhadap wilayah asalnya.
Kondisi wilayah yang demikian itu tentunya banyak kebijakan yang
diterapkan pemerintah untuk melindungi warga masyarakat dari ancaman erupsi.
Utamanya adalah pembagian zona-zona bahaya, kebijakan transmigrasi hingga
10 Departemen Pendidikan dam Kebudayaan RI, Pembanguan Lima Tahun
DI Propinsi Jawa Timur 1969-1988. (Jakarta: Departemen Pendidikan dam Kebudayaan RI, 1999).
11 Kawasan Rawan Bencana III pada tahun 2010 meliputi Desa Girikerto
294.55 Ha dan Wonokerto 279.49 Ha termasuk dalam wilayah Kecamatan Turi. Desa Hargobinangun 1.625.24 Ha dan Purwobinangun 438.47 Ha termasuk dalam wilayah Kecamatan Pakem. Desa Glagaharjo 291.87 Ha, Kepuhargo 225.33 ha, Umbulharjo 206.97 Ha termasuk dalam wilayah Kecamatan Cangkringan. Peta Kawasan Rawan Bencana ini setiap periode erupsi Gunung Merapi berubah namun perubahan Peta Kawasan Rawan Bencana tidak berbeda jauh dengan peta sebelumnya. Keterangan ini dapat dilihat dari Peta Kawasan Rawan Bencana Gunungapi Merapi Di Kabupaten Sleman. Badan Penanggulangan Bencana Alam Kabupaten Sleman, 2010 . Lihat Lampiran 1.
6
relokasi. Selain sebagai mitigasi bencana bagi masyarakat, kebijakan yang
diterapkan pemerintah adalah untuk membantu masyarakat dalam bidang
perekonomian misalnya pembinaan desa-desa wisata dan juga penataan kawasan
wisata itu sendiri.
Hal ini dikarenakan dewasa ini minat masyarakat berwisata meningkat
sehingga wilayah yang mempunyai potensi pariwisata yang potensial utamanya
wisata alam perlu mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Dengan adanya
fenomena wisata alam yang terkenal di wilayah Turi, Pakem dan Cangkringan
maka kontak antar budaya pun juga meningkat. Pedesaan yang banyak terdapat
tempat wisata ataupun fasilitas publik dapat membedakan tingkat dinamika sosial-
ekonomi masyarakatnya, dibandingkan dengan pedesaan yang tidak ada tempat
wisatanya. Tidak dipungkiri bahwa, masyarakat yang mendiami suatu wilayah
secara alami mereka akan beradaptasi dengan kondisi lingkungannya.
Kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan
Cangkringan ini memiliki karakteristik yang berbeda. Hal ini karena setiap
wilayah mempunyai potensi alam maupun manusia yang berbeda-beda.
Kecamatan Turi secara umum merupakan bagian dari wilayah administratif
Kabupaten Sleman. Di wilayah ini, kehidupan ekonomi masyarakatnya
bergantung pada sektor pertanian dan sektor peternakan. Sejak perkenalan
tanaman Salak di Turi pada tahun 1985, sudah menjadi komoditi pertanian paling
menjanjikan diusahakan oleh petani. Dalam catatan dari Badan Pusat Statistik,
7
Kecamatan Turi selalu menempati posisi teratas dalam produksi buah salak.12
Sedangkan dalam sektor peternakan, masyarakat di Kecamatan Turi memelihara
sapi perah (sapi poang apabila masyarakat Turi menyebutkan) dan kambing etawa
(wedhus PE masyarakat biasa menyebutkannya) untuk diambil susunya dan
kotorannya untuk membantu menyuburkan tanah pertanian salaknya. Masyarakat
Turi membudidayakan salak sebagai salah satu penyambung hidupnya karena
tanah pertanian di kecamatan tersebut umumnya berjenis tanah regosol atau tanah
berpasir, sehingga untuk ditanami padi, hasilnya kurang maksimal. Penanaman
tumbuhan salak biasanya di wilayah tegalan atau sekitar rumah mereka.
Hubungan antara kehidupan ekonomi dan sosial selalu simbiosis. Orang
yang masuk golongan atas tentu mempunyai status sosial yang tinggi sedangkan
orang miskin memiliki status sosial yang rendah. Hal ini tercermin pula dalam
kehidupan masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Orang
dengan status sosial yang tinggi ditempati oleh petani pemilik lahan, pengusaha
jasa dan industri, Pegawai Negeri, ABRI dan Pensiunan Pegawai Negeri. Selain
itu desa seperti Kepala Desa beserta stafnya dan Camat beserta stafnya juga
merupakan orang terpandang. Lain halnya dengan pejabat dusun dibawah Kepala
Dukuh, biasanya mereka kurang dipandang sebagai golongan atas apabila seorang
Kepala Dukuh tersebut tidak memiliki tanah atau hewan ternak yang banyak.
Selanjutnya, di Kecamatan Pakem yang termasuk dalam wilayah Kabupaten
Sleman juga, penduduknya mayoritas memilih sektor pertanian, peternakan dan
usaha jasa sebagai penyambung hidupnya. Peternakan sapi perah dimulai dari
12 Lihat Kabupaten Sleman Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten
Sleman.
8
tahun 1981, dengan adanya bantuan sapi perah dari Universitas Gadjah Mada.13
Selanjutnya dalam bidang budidaya tanaman pertanian yang dipilih masyarakat
Pakem biasanya tanaman keras, tanaman palawija dan pohon buah. Dalam sektor
jasa mereka memanfaatkan potensi wilayahnya yang berada dalam sektor tempat
wisata, misalnya mereka mendirikan hotel, home stay dan pertokoan. Menurut
Kepala Dusun Kaliurang Timur, hotel-hotel milik masyarakat baru dimulai sejak
tahun 1980an sedangkan hotel yang mewah masuk mulai tahun 1991.
Berbeda dengan masyarakat Turi dan Pakem, masyarakat Cangkringan lebih
mengunggulkan sektor wisata dan tambang. Hal ini karena di Kecamatan
Cangkringan sering terlanda erupsi Gunung Merapi, sehingga barang tambang
seperti pasir dan batu sangat banyak terdapat di Kecamatan Cangkringan. Tak
heran jika di wilayah tersebut banyak usaha masyarakat yang menyediakan barang
tambang seperti pasir dan batu. Sesuatu yang unik dapat dilihat, menuju wilayah
Kecamatan Cangkringan bahwa ada suatu usaha penjualan pasir dan batu yang
diberi nama Berkah Merapi. Selain itu disektor pariwisata masyarakat di
Kecamatan Cangkringan juga memanfaatkan potensi dari Gunung Merapi itu
sendiri. Mereka setelah erupsi yang terjadi pada tahun 2010, semakin terlihat cara
mereka beradaptasi dalam sektor ekonomi. Setelah tempat tinggalnya hancur
karena awan panas dan banjir lahar dingin, mereka tinggal di Hunian Tetap yang
dibangunkan oleh pemerintah. Selanjutnya daerah mereka yang lama dan telah
ditinggalkan dijadikan sebagai tempat kunjungan wisata dan ditanami tanaman
keras. Seperti yang terjadi di Jambu, Kecamatan Cangkringan. Masyarakat
13 Eko Teguh Paripurno, dkk., Merapi Bertutur. Yogyakarta: Oxfam, 1999.
9
memperkenalkan obyek wisata Batu Alien sebagai hasil dari erupsi Gunung
Merapi. Selain itu dalam hal paket wisata masyarakat juga menyediakan
kendaraan Jeep dan rute Volcano Tour.
Kondisi masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan yang
hidup dengan berbagai karakteristiknya juga selalu dalam wilayah Kawasan
Rawan Bencana (KRB) ini menjadikan menarik untuk diteliti. Bukan hanya dalam
sektor mitigasi bencana dan budaya saja namun juga dalam kehidupan sosial
ekonominya yang disusun secara kronologis dalam rentan waktu tertentu.
Selanjutnya, penelitian ini dibuat sebagai sejarah pedesaan, sesuatu yang baru
dihadirkan yaitu dinamika sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem
dan Cangkringan dalam konteks bencana erupsi Gunung Merapi. Pemikiran yang
melandasi penelitian ini adalah bahwa kondisi lingkungan hidup yang rentan
bahaya erupsi Gunung Merapi, akan menyebabkan perbedaan kehidupan
masyarakat secara sosial maupun ekonominya. Penelitian tentang dinamika
kehidupan sosial mengarah kepada perubahan sosial sedangkan kehidupan
ekonomi menitik beratkan kepada dinamika sistem kehidupan ekonomi
masyarakat terkait dengan hasil produksi pertanian, peternakan serta sektor
pariwisata dan perdagangan. Selain itu berkaitan dengan program-program
pemerintah yang dilaksanakan pada tahun 1960an-2010 akan menimbulkan
dampak berbeda pula bagi masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan
Cangkringan terutama dalam sektor mitigasi bencana, sosial dan perekonomian.
10
B. Rumusan Masalah Dan Ruang Lingkup Penelitian
Permasalahan pokok yang akan ditekankan dalam tulisan ini adalah
dinamika kehidupan sosial ekonomi masyarakat pedesaan lereng selatan Merapi
dalam konteks bencana alam dan kebijakan pemerintah. Hal ini menjadi unik dan
menarik mengingat fenomena bencana alam selalu ada disekitar mereka namun
masyarakat tetap saja krasan tinggal di daerahnya.
Permasalahan pokok diatas kemudian memunculkan beberapa pertanyaan
yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk mencari jawaban atas permasalahan
tersebut, yaitu:
1. Bagaimana aktivitas Gunung Merapi selama kurun waktu 1960an-
2010? Dan bagaimana dampak utamanya kerugian material dari aktivitas
Merapi yang diderita oleh masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan
Cangkringan?
2. Bagaimana dinamika kehidupan sosial ekonomi yang terjadi pada
masyarakat pedesaan lereng selatan Merapi selama kurun waktu 1960an-
2010?
Sebuah penelitian sejarah terikat oleh cakupan temporal dan spasial supaya
dapat menjadi tulisan sejarah yang terarah sehingga dalam proses pembuatan
tulisan ini tidak akan terjebak kepada hal-hal yang tidak ada kaitannya.14 Ruang
lingkup temporal yang menjadi fokus dalam tulisan ini adalah pada tahun 1960an-
14 Taufik Abdullah. Ilmu Sejarah dan Historiografi: Arah dan Perspektif,
(Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. xii.
11
2010. Pemilihan cakupan temporal dimulai 1960an karena pada tahun ini terjadi
dua kali erupsi Merapi yaitu pada 1961 dan 1969 yang dampaknya meliputi
pedesaan lereng barat dan barat daya namum aliran lahar dinginnya mencapai
pedesaan lereng selatan.15 Selain itu pada tahun 1960an, bangsa Indonesia melalui
suatu tahap pembangunan ekonomi yang disebut dengan Repelita (Rencana
Pembangunan Lima Tahun). Repelita pertama ini ditujukan kepada sektor
ekonomi pertanian, wilayah Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan merupakan
wilayah pedesaan yang mengunggulkan ekonomi pertaniannya. Oleh karena itu
dengan adanya Repelita ini, masyarakat petani ditiga kecamatan tersebut tentunya
mendapat dampak secara sosial maupun ekonominya. Kondisi yang demikian ini
diasumsikan dapat mempengaruhi aspek kehidupan masyarakat di Kecamatan
Turi, Pakem dan Cangkringan.
Tahun 2010 sebagai batas akhir dari penelitian ini, karena erupsi yang
terjadi pada 2010 aliran laharnya cukup besar mengarah ke selatan sehingga
diindikasikan pula mempengaruhi kehidupan masyarakat di Kecamatan Turi,
Pakem dan Cangkringan baik dari aspek sosial-ekonomi.16
Cakupan spasial tulisan ini adalah pedesaan lereng selatan Merapi, namun
tidak semua desa yang menjadi obyek penelitian ini, hanya tiga desa yang
15 Radomopurbo, dkk., “Karakteristik Letusan Gunungapi Merapi” dalam
Darmakusuma Darmanto. Pengelolaan Lingkungan Alur Sungai Lereng Selatan Gunungapi Merapi Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Disertasi. (Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada, 2012), tidak diterbitkan.
16 Historical of Eruption Merapi Volcano. Koleksi Museum Gunung Merapi
Yogyakarta.
12
berbatasan langsung dengan Gunung Merapi yaitu Turi, Pakem dan
Cangkringan.17 Posisi Gunung Merapi menjadi batas wilayah dari Kecamatan
Turi, Pakem dan Cangkringan di sebelah utaranya. Daerah ini banyak menjadi
sorotan setelah bencana erupsi Merapi tahun 1994.18
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dan kemudian memahami
fenomena perubahan sosial ekonomi yang terjadi pada masyarakat pedesaan
lereng selatan Merapi yang hidup dalam ancaman bencana erupsi selama 40an
tahun yaitu 1960an-2010. Selain itu juga untuk menafsirkan apa yang terjadi
dimasalalu melalui sumber yang tersedia, sehingga hal ini dapat untuk
menjelaskan sebab terjadinya fenomena sosial ekonomi yang terjadi di
masyarakat Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan.
Dalam jangka panjang penelitian yang menggunakan sudut pandang sejarah
ini dapat digunakan untuk mendeskripsikan apa yang terjadi dimasa lalu guna
membantu penelitian dimasa depan. Selain itu juga penelitian ini berguna untuk
memberikan gambaran tentang prospek pembangunan pedesaan yang rawan akan
bencana erupsi Merapi.
17 Pedesaan lereng selatan Merapi yang berbatasan langsung dengan
Gunung Merapi menurut peta Kabupaten Sleman adalah Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Lihat Kabupaten Sleman Dalam Angka 2010. (Sleman: Badan Pusat Statistik, 2011).
18 Peta Daerah rawan Bencana Gunungapi Merapi 2005, dalam Op.Cit.
13
D. Tinjauan Pustaka
Dewasa ini dan sepanjang penulis ketahui banyak peneliti yang memberikan
perhatian lebih kepada Gunung Merapi dan wilayah sekitarnya sebagai salah satu
fenomena alam yang mempunyai daya tarik tersendiri. Mereka yang melakukan
penelitian ini seperti mereka yang berkonsentrasi pada bidang keilmuan geografi
dan geologi, kehutanan, pertanian, MIPA, pariwisata, antropologi dan ekologi.19
Selain itu juga ada badan khusus yang secara terus menerus mengamati aktivitas
Gunung Merapi yaitu Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi
19 Karya-karya mengenai Gunung Merapi dalam bidang ilmu geografi dan
geologi salah satunya adalah tulisan Sutikno, “Natural Disaster In Relation To Sustainable Development In Indonesia”. Dalam Manusia dan Lingkungan No. 5. Th. II. April. Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, 1995. Dalam bidang ilmu kehutanan contohnya tulisan Suryo Hadiwinoto, dkk., “Tingkat Ketahanan
dan Proses regenerasi Vegetasi Setelah Letusan Gunung Merapi”. Dalam Manusia dan Lingkungan No. 15. Th. V. Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada, 1998. Dalam bidang ilmu MIPA misalnya tulisan Yulianto, dkk., “Pembentukan Sentra Industri Pengolahan Susu Berbasis Pemberdayaan Masyarakat Di Daerah Petung Cangkringan Sleman Yogyakarta Sebagai Strategi Pengembangan Desa Wisata Dan Peningkatan Taraf Kehidupan Masyarakat”.
Dalam Saintifika Vol. III No. II. Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada, Desember 2011. Dalam ilmu pariwisata misal tulisan Agus Hendratno, “Perjalanan Wisata Minat Khusus Geowisata Gunung Merapi: Studi di Lereng
Merapi Bagian Selatan Yogyakarta”. Dalam Nasional Pariwisata. Vol. II No. II Desember 2002. Dalam kajian ilmu antropologi tulisan Hanjono Adi Pranowo DS. Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi Di Lereng Gunung Merapi. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).
14
Kebencanaan Geologi (BPPTK) dan kemudian mempublikasikan tulisan tersebut
dalam majalah MERAPI, yang terbit sebulan sekali.20
Dalam kajian ilmu sosial, Gunung Merapi dan daerah sekitarnya sering
dikaji oleh mereka yang berkonsentrasi dalam kajian antropologi baik mereka
yang dari dalam negeri ataupun luar negeri. DR. Bambang Hudayana, dkk dari
Jurusan Antropologi UGM mempunyai beberapa penelitian yaitu yang berjudul
Komunitas Lereng Merapi Serta Respon Terhadap Erupsi Merapi 2010.
Penelitian ini membahas tentang kekuatan komunitas dalam beradaptasi dengan
lingkungan yang rawan bencana Merapi setelah terjadinya erupsi tahun 2010
dengan pendekatan etnografi.21
Selain itu peneliti luar negeri juga ada yang mempunyai interest menulis
tentang Merapi dan wilayah sekitarnya yaitu Michael R Dove dengan judul tulisan
The Practical Reason of Weeds in Indonesia: Peasant vs. State Views of Imperata
and Chromolaena. Tulisan ini membahas kontestasi pendapat antara pemerintah
dan petani mengenai tanaman gulma jenis Imperata dan Chromolaena. Para
petani lereng Merapi menganggap Imperata sebagai makanan ternak dan bahan
pembuat atap sedangkan pemerintah menganggap Imperata sebagai tanaman
20 Subandriyo, dkk. Ancaman Bahaya Letusan Gunung Merapi Ke Arah
Selatan Pasca Erupsi 2006. Buletin Merapi, (Yogyakarta: BPPTK Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2009).
21 Bambang Hudayana, dkk., “Komunitas Lereng Merapi Serta Respon
Terhadap Erupsi Merapi 2010”.Laporan Penelitian, Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (LAURA) Jurusan Antropologi Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2012, tidak diterbitkan.
15
gulma yang mengurangi kesuburan tanah juga pemicu adanya kebakaran hutan,
sehingga perlu dibasmi.22
Demikian hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh orang dari disiplin ilmu
selain ilmu sejarah. Hasil-hasil penelitian ini hanya sedikit saja menggunakan
pendekatan sejarah. Ciri khas penelitian dalam bidang sejarah sangat
memperhatikan proses perubahan yang terjadi pada kurun waktu tertentu dengan
tidak lupa memperhatikan kronologis sebagai ciri utamanya.
Ada satu tulisan dalam bidang ilmu sejarah ikut memperhatikan mengenai
Gunung Merapi dan dinamika sosial ekonomi yang ada di sekitarnya. Penelitian
ini dilakukan oleh Siti Alfiah Mukmin dengan judul Kehidupan Sosial ekonomi
Penduduk Sleman Di Sekitar Gunung Merapi Tahun 1930-1969.23 Dalam tulisan
ini mengidentifikasi mengenai segala sesuatu yang dikaitkan dengan akibat dari
letusan Gunung Merapi dalam kurun waktu 39 tahun (1930-1969). Tulisan ini
juga mengungkapkan sistem pertanian yang dipilih masyarakat sekitar Gunung
Merapi untuk mengolah tanahnya. Hal ini dicontohkan bahwa masyarakat yang
tinggal di daerah dekat puncak menggunakan sistem pertanian tegalan, lereng
tengah dan bawah dengan sistem persawahan dengan memanfaatkan sungai opak
sebagai sumber irigasinya pada periode 1930-1969. Ekonomi pertanian-lah yang
ditonjolkan dalam tulisan ini. Tulisan Siti Alfiah Mukmin dari bidang Ilmu
22 Dove, Michael R. “The Practical Reason of Weeds in Indonesia: Peasant
vs. State Views of Imperata and Chromolaena”. Dalam Human Ecology. Vol 14. No. II 1986.
23 Siti Alfiah Mukmin, “Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Sleman di
Sekitar Gunung Merapi Tahun 1930-1969”. Skripsi, Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2003 tidak diterbitkan.
16
Sejarah menjadi suatu tulisan yang dijadikan referensi, karena penelitian yang
akan dilakukan ini secara periode merupakan kelanjutan dari penelitian
sebelumnya yaitu 1960an-2010.
Selanjutnya ada suatu makalah yang dibuat oleh Balai Besar Pengkajian dan
Pengembangan Teknologi Pertanian di Bogor dengan judul Dampak Erupsi
Gunung Merapi Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi Petani Desa Umbulharjo
Kabupaten Sleman.24 Tulisan ini menceritakan dampak dari erupsi Gunung
Merapi yang terjadi pada 2010 dengan mencatat berbagai kerusakan yang
menimpa penduduk Umbulharjo. Menurut Kecamatan Cangkringan Dalam Angka
2005, desa Umbulharjo masuk dalam wilayah administrasi dari Kecamatan
Cangkringan.
Pada waktu erupsi Gunung Merapi empat tahun yang lalu, banyak rumah
penduduk yang tinggal di Desa Umbulharjo, fasilitas publik hancur tersapu awan
panas atau yang disebut dengan wedhus gembel. Fasilitas publik yang hancur
seperti puskesmas, sekolah dan gedung pertemuan. Dalam kehidupan sosial,
masyarakat menganut nilai kedermawanan, kebersamaan, keteladanan,
kepasrahan, perjuangan, ketaqwaan, kegotong royongan, kesetiaan, pengorbanan
dan kepemimpinan yang mereka junjung tinggi. Selain itu masyarakat juga sangat
mengakui adanya orang yang mereka hormati seperti sosok Mbah Marijan. Dalam
bidang ekonomi masyarakat enggan untuk direlokasi karena barang-barang
mereka masih tertinggal dilokasi awalnya yang mereka gunakan setiap hari
24 Wasito, dkk., “Dampak Erupsi Gunung Merapi Terhadap Kehidupan
Sosial Ekonomi Petani Desa Umbulharjo Kabupaten Sleman”, Balai Besar
Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Bogor , 2012.
17
sebagai sarana penyambung hidup, seperti lahan pertanian baik sawah maupun
tegalan.
Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan dengan karya sebelumnya
adalah sudut pandang yang digunakan dalam penelitian ini ialah sudut pandang
sejarah yang memperhatikan sebuah dinamika sosial-ekonomi masyarakat yang
terjadi tidak hanya di desa Umbulharjo namun di Kecamatan Turi, Pakem dan
Cangkringan. Cakupan penelitian yang lebih luas akan dihadirkan disini dengan
menitik beratkan pada karakteristik dari masing-masing kecamatan untuk
menjelaskan dinamika sosial ekonomi masyarakatnya.
Makalah selanjutnya yang menjadi tinjauan pustaka adalah karya dari Tri
Siwinugrahani yang berjudul Dampak Erupsi Merapi dan Kemiskinan Di
Kecamatan Cangkringan.25 Tulisan ini dalam aspek temporal mengambil periode
setelah erupsi Gunung Merapi yang terjadi tahun 2010. Dampak dari erupsi
Gunung Merapi terhadap kemiskinan ini dibuat sebagai kajian perbandingan,
maksudnya disini adalah perbandingan tingkat kemiskinan di Kecamatan
Cangkringan sebelum terjadinya erupsi 2010 dan setelahnya. Tulisan ini tidak
memperhatikan sebab terjadinya kemiskinan sebelum periode 2010, hanya data
kuantitaif saja yang digunakan, seharusnya apabila menuliskan mengenai
perbandingan tingkat kemiskinan harus dengan survei lapangan secara langsung,
bukan hanya dengan melihat data yang didapat dari dinas terkait mengenai tingkat
kemiskinan penduduk. Oleh karena itu tulisan ini berbeda dengan penelitian yang
25 Tri Siwi Nugrahani, “Dampak Erupsi Gunung Merapi dan Kemiskinan Di
Kecamatan Cangkringan”, Program Studi Akuntasi Universitas PGRI Yogyakarta, 2012.
18
akan dilakukan mengenai kehidupan sosial ekonomi masyarakat di Kecamatan
Turi, Pakem dan Cangkringan, meskipun pembahasan mengenai kemiskinan ada
dalam penjelasan mengenai kehidupan ekonomi masyarakatnya.
Literatur selanjutnya yang ditinjau dalam penelitian ini adalah karya dalam
bidang antropologi yaitu buku yang dahukunya dalah skripsi yang berjudul
Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merapi.26
Buku ini menuliskan mengenai hutan di lereng Gunung Merapi peranannya
kepada kelangsungan hidup masyarakat sekitarnya. Dalam aspek spasialnya buku
ini mengambil hanya desa Kawastu, sebuah desa dilereng selatan. Hutan di sini
dimanfaatkan oleh masyarakat Kawastu sebagai tempat untuk mencari makanan
bagi hewan ternaknya. Antara sistem pertanian dan peternakan yang diusahakan
masyarakat mempunyai peranan penting dalam perubahan lingkungan disekitar
hutan Kawastu.
Dalam buku ini juga diungkapkan perbedaan presepsi antara masyarakat dan
pemerintah mengenai penggunaan hutan. Masyarakat memandang hutan sebagai
penyedia kayu, kebutuhan makanan ternak sedangkan pemerintah hutan berperan
sebagai penyedia air tanah, penahan erosi juga sebagai penghijauan kawasan
pengunungan. Hal ini menyebabkan kontestasi antara kepentingan pemerintah dan
masyarakat.
Berbeda dengan buku ini, penelitian ini mengaitkan proses perubahan
bencana letusan Gunung Merapi dengan perubahan sosial ekonomi yang
26 Handojo Adi Pranowo DS, Manusia dan Hutan: Proses Perubahan Ekologi di Lereng Gunung Merap, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).
19
menunjukkan pula proses adaptasi masyarakat dalam menghadapi bencana selama
kurun waktu 40an tahun.
Selain meninjau karya-karya dari aspek ekologi, antropologi dan sejarah
tidak menutup kemungkinan, tulisan ini juga meninjau karya dari sudut pendang
kebijakan pemerintah yang diterapkan oleh pemerintah untuk masyarakat di
lereng Gunung Merapi. Laporan penelitian ini ditulis oleh Hari Poerwanto dengan
judul Relokasi: Stategi Penanganan Penduduk Korban Gunung Merapi 1994 dan
Implikasinya.27 Karya ini merupakan suatu metode penawaran yang ditawarkan
kepada pemerintah untuk menghindari korban erupsi Merapi. Salah satu
metodenya adalah relokasi, hal ini muncul ketika bencana Merapi pada 22
November 1994 yang merenggut puluhan nyawa orang. Sebelumnya pemerintah
telah menerapkan zona A yang mencerminkan wilayah rawan bencana sedangkan
zona B mencerminkan wilayah yang aman dari bencana.
Lanjutan dari penerapan zona-zona tersebut adalah penerapan action
program yaitu program transmigrasi, namun hal ini masih dinilai kurang berhasil.
Masyarakat merasa enggan untuk meninggalkan lokasi tempat mereka tinggal
sebelumnya. Berbeda dengan tulisan ini, penelitian yang akan dilakukan ini akan
membahas upaya pemerintah dalam mencegah korban erupsi Merapi dari periode
1960an hingga 2010. Dalam waktu empat puluhan tahun tersebut, akan dinilai
kekurangan ataupun kelebihan dari program pemerintah sehingga dapat dijadikan
27 Hari Poerwanto, “Relokasi: Stategi Penanganan Penduduk Korban
Gunung Merapi 1994 dan Implikasinya”. Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian, Universitas Gadjah Mada, 1996. Tidak diterbitkan.
20
sebagai gambaran untuk penanganan korban Merapi selanjutnya selama Merapi
masih aktif.
Selanjutnya karya yang ditinjau dalam penelitian ini berkaitan dengan
tingkat keserasian penduduk dengan lingkungan fisiknya. Penelitian ini berjudul
Keserasian Penduduk Dengan Lingkungan Fisik dan Potensi Sumber Daya Alam
Gunung Merapi: Studi Interaksi Penduduk dengan Lingkungan Pada Daerah
Rawan Bencana.28 Penelitian ini menunjukkan derajat keserasian antara penduduk
dan dan lingkungan fisiknya dengan ditunjukkan oleh angaka-angka.
Kesimpulannya masyarakat yang paling serasi dengan lingkungan fisiknya adalah
masyarakat yang bermatapencaharian sebagai petani. Berbeda dengan penelitian
yang akan dilakukan, penelitian ini akan menunjukkan sebuah dinamika
kehidupan sosial ekonomi yang terjadi akibat erupsi Merapi serta proses adaptasi
masyarakat hidup di daerah bencana yang berkaitan dengan usaha tani.
Selanjutnya, buku yang berjudul Manusia Jawa dan Gunung Merapi:
Presepsi Sistem Kepercayaannya29 ini adalah karya yang ditinjau dari segi
kepercayaan masyarakat akan Gunung Merapi. Dalam buku ini diungkapkan
bahwa Gunung Merapi dipercaya sebagai kraton makhluk halus, tempat tinggal
para leluhur, dhanyang dan lelembut. Masyarakat juga menganggap sebagai surga
28 Rr. Wiwik Puji Mulyani, dkk., “Keserasian Penduduk Dengan
Lingkungan Fisik dan Potensi Sumber Daya Alam Gunung Merapi: Studi Interaksi Penduduk dengan Lingkungan Pada Daerah Rawan Bencana”. Laporan Penelitian, Fakultas GeografiLembaga Penelitian, Universitas Gadjah Mada, 2004. Tidak diterbitkan.
29 Lucas Sasongko Triyoga, Manusia Jawa dan Gunung Merapi: Presepsi
dan Sistem Kepercayaannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991).
21
pangratunan atau tempat penantian bagi roh yang selama hidup banyak berbuat
kebaikan. Segala sesuatu ini sangat erat kaitannya denga alam sekitar.
Kepercayaan ini diwujudkan dengan adanya upacara-upacara.
Ada kemiripan dengan tulisan ini, hanya saja penelitian yang akan
dilakukan ini adalah menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap Gunung
Merapi namun pada saat Gunung Merapi akan meletus. Hal yang membedakan
dengan tulisan ini adalah aspek spasialnya, tulisan ini hanya meneliti tiga desa
yaitu Wukirsari, Kawastu dan Korijaya sedangkan penelitian ini akan membahas
seluruh desa yang berada di lereng selatan Merapi.
Berkaitan dengan kepercayaan masyarakat mengenai Gunung Merapi ada
salah satu laporan penelitian yang berjudul Mitologi dan Tradisi Masyarakat
Pedesaan Di Lereng Merapi.30 Penduduk lereng Merapi kebanyakan menganggap
Merapi sebagai sesuatu yang adikodrati. Di Merapi mereka meyakini ada sebuah
keraton makhluk halus. Oleh karena itu mereka harus menjadi saudara dengan
para makhluk halus dengan cara saling menghargai tidak saling mengganggu. Hal
ini mereka wujudkan dengan sering pada hari-hari tertentu yang dikeramatkan
untuk memberikan sesaji pada para makhluk halus.
Berbeda dengan penelitian ini, penelitian yang akan dilakukan ini
menyangkutkan periode bencana yang terjadi sebagai wujud kurang seimbangnya
tata kehidupan alam dan kehidupan manusia selama empat puluhan tahun. Hal-hal
30 Kodiran, “Mitologi dan Tradisi Masyarakat Pedesaan Di Lereng Merapi”.
Laporan Penelitian, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada, 1989. Tidak diterbitkan.
22
yang membedakan dengan penelitian sebelumnya adalah kepercayaan yang
diyakini oleh masyarakat tersebut dikaitkan dengan perubahan lingkungan yang
terjadi.
Dari beberapa karya yang telah ditulis oleh orang lain tersebut, tidak ada
yang menuliskan mengenai perubahan sosial ekonomi yang diakibatkan oleh
bencana erupsi Merapi yang kemudian dikaitkan pula dengan adaptasi
masyarakatnya. Selain itu, karya-karya sebelumnya tidak menggunakan sudut
pandang sejarah dalam pemaparannya. Pada dasarnya tulisan sejarah sangat
memperhatikan sebuah proses perubahan terjadinya sebuah fenomena tertentu.
E. Metode Penelitian Dan Sumber
Penelitian ini menggunakan metode sejarah yang terbagi dalam lima tahap,
yaitu (1) pemilihan topik, (2) pencarian dan pengumpulan sumber baik dokumen
maupun sumber lisan, dalam hal pencarian dan pengumpulan sumber yang
relevan dengan tema ini (3) verifikasi atau kritik sumber yang meliputi kritik
intern dan kritik ekstern untuk menguji keabsahan dan keakuratan sumber, (4)
interpretasi: penafsiran dan penyusunan fakta yang masih berserakan secara
kronologis, dan yang terakhir (5) penulisan sejarah secara deskriptif naratif.31
Pemilihan topik ini dilakukan guna mendapatkan topik yang sesuai dengan
minat penulis dan workable. Memilih topik ini karena kedekatan penulis dengan
obyek penelitian. Pencarian sumber dan pengumpulan sumber baik dokumen
31 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Bentang
Budaya, 1995), hlm. 90.
23
tertulis maupun lisan didapatkan ketika melakukan proses penelitian. Sumber
lisan didapat dengan wawancara kepada perwakilan staf pemerintahan yang
mengetahui tentang peristiwa erupsi Gunung Merapi dan kehidupan
masyarakatnya di tiap desa yang ada di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan
dan perwakilan warga yang menjadi korban erupsi Gunung Merapi. Semua
sumber lisan ini tentunya mempertimbangkan usia dan kemampuan memberi
informasi.
Selain itu, sumber yang digunakan meliputi data mengenai aktivitas Gunung
Merapi selama kurun waktu empat puluhan tahun yaitu dari 1960an-2010, data
tentang kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh erupsi Merapi, selain itu data
dan peta mengenai daerah-daerah yang dilanda erupsi Merapi selama terjadinya
bencana Merapi dicari di Badan Arsip Daerah Yogyakarta dan Badan Arsip
Kabupaten Sleman, BPPTKG (Balai Penyeledikan dan Pengembangan Teknologi
Kegunungapian) Yogyakarta, BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
Kabupaten Sleman, Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman serta Museum Gunung
Merapi. Selain itu penelitian ini juga melibatkan arsip tekstual dan non-tekstual
yang dimiliki Staf Pemerintah Kecamatan, desa dan juga warga masyarakat di
wilayah Kecamatan Pakem, Cangkringan juga Turi.
Penelitian ini banyak memanfaatkan data statistik yang dicari dan
ditemukan di BPS Kabupaten Sleman. Sumber lisan didapat di lokasi penelitian
yaitu orang-orang yang tinggal di dusun lereng selatan Merapi dengan menemui
warga yang ketika peristiwa itu terjadi sudah lahir dan berusia cukup untuk
diwawancarai.
24
Sumber yang berupa litaratur-literatur pendukung dicari dan ditemukan di
perpustakaan FIB, perpustakaan Jurusan Sejarah UGM, Perpustakaan Pusat
UGM, Pusat Studi Kependudukan, Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan,
Perpustakaan Fakultas Geografi UGM, Pusat Studi Bencana Alam UGM,
Perpustakaan Hatta Corner, Jogja Library untuk mencari berita-berita letusan
Gunung Merapi tahun 1960-2010, Perpustakaan Daerah Yogyakarta dan juga
penelusuran sumber didapat ketika informan atau literatur mengatakan tempat
sumber itu berasal.
Verifikasi sumber yang didapat juga dilakukan untuk mendapatkan sumber-
sumber yang benar-benar kredible, dimulai dari pengecekan kertas yang
digunakan untuk menulis sumber, bentuk tulisan dan juga bahasa yang digunakan.
Hal ini mempengaruhi hasil penelitian karena penelitian sejarah sangat tergantung
pada sumber yang ditemukan. Tahap selanjutnya adalah interpretasi dari sumber
yang ditemukan kemudian menuliskan hasil penelitian dengan deskriptive naratif.
F. Sistematikan Penulisan
Agar susunan tulisan ini dapat mencapai sasaran yang diinginkan, maka
disusun secara sistematis dan kronologis sebagai berikut. Tulisan ini dimulai dari
pengantar yang terdiri dari latar belakang, permasalahan dan ruang lingkup
penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode dan sumber, serta
sistematika penulisan. Pada bagian pengantar ini berisi tentang deskripsi yang
memberi gambaran tentang fokus penelitian.
25
Pada bagian setelah pengantar ini dijelaskan mengenai aktivitas vulkanik
gunung merapi, kondisi ekologi dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat
pedesaan lereng selatan gunung merapi sebelum 1960. Kehidupan masyarakat
sekitar Gunung Merapi pada periode sebelum 1960an ini telah diteliti oleh Siti
Alfiah Mukmin, oleh karena itu pada bagian ini melengkapi pembahasan yang
belum ada dari tulisan Siti Alfiah Mukmin. Pada bab ketiga dijelaskan mengenai
aktivitas vulkanik gunung merapi pada 1960an-2010 dan dampaknya terhadap
kehidupan masyarakat di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan. Pembahasan
terhadap dampak dari erupsi Gunung Merapi lebih ditekankan pada kerugian
material yang diderita oleh masyarakat. Hal ini bertujuan untuk nantinya dibab
selanjutnya membantu memperjelas dinamika sosial ekonomi masyarakat yang
hidup di lingkungan bencana.
Selain dampak erupsi, hal yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial
ekonomi masyarakat adalah kebijakan pemerintah, maka pada bab keempat
subbab pertama dijelaskan mengenai kebijakan pemerintah disektor sosial dan
ekonomi kemudian pada sub bab kedua dan ketiga dibahas mengenai dinamika
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Turi, Pakem dan Cangkringan.
Pada bab selanjutnya dijelaskan mengenai dinamika kehidupan sosial
ekonomi di Kecamatan Turi, Pakem dan Cangkringan selama kurun waktu 1960-
2010. Pada bab ini banyak digunakan data statistik untuk membantu menjelaskan
perubahan sosial ekonomi secara kuantitatif.
Pada bagian terakhir adalah kesimpulan, yang menguraikan mengenai
temuan dari penelitian ini. Dalam kesimpulan ini dimunculkan perubahan sosial-