buku asmaradana merapi

253

Click here to load reader

Upload: totok-sondong-hartanto

Post on 06-Apr-2016

368 views

Category:

Documents


48 download

DESCRIPTION

Narasi ketangguhan orang orang Merapi

TRANSCRIPT

Page 1: Buku Asmaradana Merapi

Merapi adalah ancaman bencana permanen. Gunung ini mengkondisikan pemerintah, warga dan para pihak di sekitarnya untuk lebih tangguh. Bentuk-bentuk ketangguhan

dapat dilihat pada pranata sosial maupun pranata fisik yang mengarah pada kemampuan untuk beradaptasi dan bertransformasi.

Pasca erupsi tahun 2010, Gunung Merapi mengalami perubahan karakter ancaman yang memaksa para pihak beradaptasi dan bertransformasi bersamaan dengan upaya-

upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Kelenturan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan ancaman bahkan pada saat pemulihan pasca bencana merupakan nilai

lebih dari Merapi.

Buku ini mendokumentasi upaya-upaya warga, pemerintah dan para pihak yang melakukan hal-hal signifikan dalam beradaptasi dan bertransformasi pasca erupsi

Gunung Merapi tahun 2010. Kita akan menemukan inisiatif-inisiatif kecil di tingkat warga seperti sistem informasi desa dan audit sosial dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, serta pemulihan penghidupan berkelanjutan dalam konteks

pengurangan kerentanan terhadap risiko bencana.

Asmaradana Merapi merupakan simbolisasi hubungan serasi antara warga dan Gunung Merapi. Adaptasi dan transformasi agar bisa hidup berdampingan bersama

Merapi, merupakan kidung asmaradana itu sendiri.

N a r a s i K e t a n g g u h a n O r a n g - O r a n g M e r a p i

a s m a r a d a n am e r a p i

asmaradana m

erapi: Na

rasi K

eta

ng

gu

ha

n O

ran

g-O

ran

g M

era

pi

Page 2: Buku Asmaradana Merapi

N a r a s i K e t a n g g u h a n O r a n g - O r a n g M e r a p i

a s m a r a d a n am e r a p i

Page 3: Buku Asmaradana Merapi

© Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan UNDP Indonesia,Disaster Risk Reduction based Rehabilitation and Reconstruction (DR4),Merapi Recovery Response (MRR)

September 2014, cetakan pertama.

PERPUSTAKAAN NASIONALKatalog dalam Terbitan (KDT)1. Merapi 2. Ketangguhan 3. ResilienceI JUDUL

xiv+, 232 hlm; 21 cm x 29 cmISBN 978-602-7700-12-3

Buku ini merupakan hasil dari proyek kerjasama antara United Nations Development Programme (UNDP), dan Kedeputian Rehabilitasi dan Rehabilitasi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang diberi nama Proyek “Disaster Risk Reduction based Rehabilitation and Reconstruction (DR4). Proyek DR4 dirancang untuk mendukung Pemerintah Indonesia dalam menyusun proses perencanaan dan pelaksanaan pemulihan (rehabilitasi dan rekonstruksi) yang berbasis pada prinsip-prinsip Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dan sejalan dengan Pemerintah Indonesia yang mengadopsi HFA-DRR (Hyogo Framework for Action-Disaster Risk Reduction).

Page 4: Buku Asmaradana Merapi

a s m a r a d a n am e r a p i

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi

Page 5: Buku Asmaradana Merapi

asmaradana merapi:Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi

Tim Pengarah: Syamsul Maarif, B. Wisnu Widjaja, Kristanto Sinandang, Siswanto Budi Prasojo, Lu’lu Muhammad.Tim Supervisi: Rinto Andriono, Humam Zarodi, Neni Nuraeni, Arif Budi Nugroho, Mart Widarto, Kusen Alipah Hadi, Agatia Wenan Tyawati, Dian Lestariningsih, Ranggoaini Jahja.

Penanggung Jawab: Saleh AbdullahPenulis: Bonar Saragih, Lubabun Ni’am, Nurhady Sirimorok, Putri Yunifa, Saleh AbdullahEditor: Nurhady Sirimorok

Fotografer: Armin Hari, dan Dwi ObloKoleksi Foto: Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) INSISTEditor Foto: Armin HariFoto Sampul: Dwi Oblo

Perancang Sampul dan Desain Tata Letak: Armin Hari, Rumah Pakem

Asmaradana Merapii

Page 6: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi ii

Page 7: Buku Asmaradana Merapi

D A F T A R S I N G K A T A N | v i i

P E N G A N T A R | x iS a m b u t a n K e p a l a B a d a n N a s i o n a l P e n a n g g u l a n g a n B e n c a n a | x i i iS a m b u t a n D i r e k t u r U N D P I n d o n e s i a | x i v

B A G I A N S A T UH i d u p B e r s a m a M e r a p i | 21 . S a n g M e r a p i K e m b a l i M e l e t u s | 62 . M e n g a p a M e r e k a Ta k S e g e r a M e n g u n g s i ? | 1 43 . Ta k B o l e h M e n g a b a i k a n K e s u l i t a n | 3 0

B A G I A N D U AB a h a y a M e r a p i | 3 71 . S e m b u r a n y a n g M e n e w a s k a n M b a h M a r i d j a n | 4 22 . L e t u s a n P u n c a k D i n i H a r i | 4 63 . K r o n o l o g i L e t u s a n 1 0 0 Ta h u n a n | 5 84 . L a h a r H u j a n d a r i B u m i d a n L a n g i t | 6 4

B A G I A N T I G AM u l a i B e r g e r a k | 7 61 . K e p a n i k a n M a s a M e n g u n g s i d a n P e n a n g a n a n D a m p a k E r u p s i | 8 02 . M e r a p i R e c o v e r y R e s p o n s e ( M R R ) | 9 03 . P r o g r a m P e n g h i d u p a n y a n g B e r k e l a n j u t a n | 9 8

Asmaradana Merapiiii

Page 8: Buku Asmaradana Merapi

DAFTAR ISI4 . A n a l i s i s R a n t a i N i l a i | 1 0 25 . S i s t e m I n f o r m a s i D e s a ( S I D ) | 1 0 46 . P e r s a u d a r a a n D e s a ( S i s t e r V i l l a g e ) | 1 0 67 . A u d i t S o s i a l | 1 1 08 . S t u d i L o n g i t u d i n a l M e r a p i | 1 1 49 . I n t e g r a s i P e n g u r a n g a n R i s i k o B e n c a n a ( P R B ) d a l a m R e h a b i l i t a s i d a n R e k o n s t r u k s i | 1 1 81 0 . B a n t u a n N o n - M R R U N D P | 1 2 2

B A G I A N E M P A TN a r a s i - N a r a s i K e t a n g g u h a n | 1 3 21 . U s a h a - U s a h a M e r e d a m A n c a m a n | 1 3 62 . B e r a d a p t a s i d i L e r e n g G u n u n g A p i | 1 5 23 . U s a h a d a n Ta n t a n g a n M e n u j u Tr a n s f o r m a s i | 1 6 4

B A G I A N L I M AB e l a j a r d a r i P e n g a l a m a n | 1 8 21 . M e n a k a r K e t a n g g u h a n Wa r g a | 1 8 62 . M e r e d a m A n c a m a n | 1 8 83 . A d a p t a s i | 1 9 84 . Tr a n s f o r m a s i | 2 1 2

T I M K E R J A | 2 2 7

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi iv

Page 9: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapivii

Page 10: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi viii

Page 11: Buku Asmaradana Merapi

DAFTAR SINGKATANBappeda Badan Perencanaan dan Pembangunan DaerahBappenas Badan Perencanaan Pembangunan NasionalBDL Bantuan Dana LingkunganBDR Bantuan Dana RumahBNPB Badan Nasional Penanggulangan BencanaBPBD Badan Penanggulangan Bencana DaerahBPK Badan Pemeriksa KeuanganBPPTK Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi KegunungapianBPPTKG Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan GeologiBPS Badan Pusat StatistikCRI Combine Resource InstitutionDeru Disaster and Emergency UnitDIY Daerah Istimewa YogyakartaDPRD Dewan Perwakilan Rakyat DaerahDR4 Disaster Risk Reduction Based Rehabilitation and ReconstructionDRR Disaster Risk ReductionGOR Gedung Olah RagaFoklar Forum Komunitas Lintas RelawanHFA Hyogo Framework for ActionHimpsi Himpunan Mahasiswa Psikologi IndonesiaHIV/AIDS HumanImmunodeficiencyVirus/AcquiredImmuneDeficiencySyndromHT handy talkieHuntap Hunian tetapIDEA Institute for Development and Economic AnalysisIMS Infeksi Menular SeksualInprosula Institute for Promoting Sustainable Livelihood ApproachJadup Jatah hidupKappala Komunitas Pecinta Alam Pemerhati LingkunganKesbangpolinmas Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan MasyarakatKK Kepala KeluargaKPA Komisi Penanggulangan AIDSKRB Kawasan Rawan BencanaKWT Kelompok Wanita TaniLPTP Lembaga Pengembangan Teknologi PedesaanLSM Lembaga Swadaya Masyarakat

Asmaradana Merapivii

Page 12: Buku Asmaradana Merapi

Miavita Mitigate and Assess Risk from Volcanic Impact on Terrain and Human ActivitiesMHz MegahertzMRR Merapi Recovery ResponseOPRB Organisasi Pengurangan Risiko BencanaOrnop Organisasi nonpemerintahP4 Pedomanan Pengahayatan dan Pengamalan PancasilaPDNA Post-Disaster Needs AssessmentPHP Hypertext PreprocessorPLN Perusahaan Listrik NegaraPMI Palang Merah IndonesiaPNPM Program Nasional Pemberdayaan MasyarakatPosko Pos KomandoPRB Pengurangan Risiko BencanaPRBBK Pengurangan Risiko Bencana Berbasis KomunitasPSMB Pusat Studi Manajemen BencanaPuskesmas Pusat Kesehatan MasyarakatPVMBG Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana GeologiRaskin Beras MiskinRekompak Rehabilitasi dan Rekonstruksi Masyarakat dan Permukiman Berbasis KomunitasRenaksi Rencana AksiRT Rukun TetanggaSatgana Satuan Siaga Penanggulangan BencanaSID Sistem Informasi DesaSK Surat KeputusanSPSS Statistical Package for Social ScienceSRU Search and Rescue UnitTEA Tempat Evakuasi AkhirTES Tempat Evakuasi SementaraTNGM Taman Nasional Gunung MerapiTSBK Tim Siaga Bencana KelurahanUGM Universitas Gadjah MadaUMKM Usaha Mikro, Kecil, dan MenengahUMS Universitas Muhammadiyah SurakartaUNDP United Nations Development ProgrammeVEI Volcano Explosivity IndexWLPB Wajib Latih Penanggulangan BencanaYEU Yakkum Emergency UnitYKPU Yayasan Klaten Peduli UmatYP2SU Yayasan Pengembangan dan Peningkatan Sumber Daya Ummat

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi viii

Page 13: Buku Asmaradana Merapi
Page 14: Buku Asmaradana Merapi
Page 15: Buku Asmaradana Merapi
Page 16: Buku Asmaradana Merapi
Page 17: Buku Asmaradana Merapi

Para pembaca yang terhormat,

Gunung Merapi dan gunung-gunung berapi aktif lainnya adalah ancaman bencana permanen yang membuat pemerintah, warga, dan para pihak

yang berada di sekitarnya harus menjadi lebih tangguh. Bentuk-bentuk ketangguhan dapat dilihat pada bentuk-bentuk pranata sosial maupun pranata fisik yang mengarah pada kemampuan para pihak untuk beradaptasi dan bertransformasi.

Pasca erupsi pada 2010, Gunung Merapi mengalami perubahan karakter ancaman yang memaksa pemerintah, warga, dan para pihak beradaptasi dan bertransformasi bersamaan dengan upaya-upaya rehabilitasi dan rekonstruksi. Kelenturan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan ancaman, bahkan pada saat pemulihan bencana, merupakan nilai lebih dari Gunung Merapi.

Buku ini mendokumentasikan upaya-upaya warga, pemerintah, dan para pihak dalam melakukan hal-hal signifikan dalam beradaptasi dan bertransformasi pascabencana erupsi dan lahar hujan Gunung Merapi pada 2010 dan 2011. Kita akan menemukan inisiatif-inisiatif kecil di tingkat warga, seperti tabungan siaga bencana, sistem informasi desa, audit sosial dalam rehabilitasi dan rekonstruksi, serta pemulihan penghidupan berupa kandang komunal, batik, volcano tour, dan usaha industri rumahan dalam konteks pengurangan kerentanan terhadap risiko bencana.

Di sisi lain, dalam buku ini, kita juga akan menemukan upaya-upaya pemerintah dalam melakukan mitigasi bencana dan menyediakan lingkungan yang memberdayakan bagi tumbuhnya ketangguhan warga. Pembelajaran atas pengelolaan situasi darurat hingga penanganan rehabilitasi dan rekonstruksi akan memberi

pencerahan bagi praktik manajemen bencana di masa yang akan datang, termasuk bagaimana analisis risiko bekerja memandu kebijakan relokasi bagi permukiman-permukiman yang menjadi berisiko sangat tinggi karena perubahan karakter ancaman Gunung Merapi yang berupa erupsi dan lahar hujan.

Kerjasama, koordinasi, dan konsolidasi menjadi kata kunci yang akan kita temukan sebagai prinsip dasar rehabilitasi dan rekonstruksi yang berbasis pada pengurangan risiko bencana pasca erupsi gunung teraktif di dunia ini. Pembelajaran berharga dapat kita petik dari program kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan United Nations Development Programme (UNDP) melalui proyek Disaster Risk Reduction based Rehabilitation and Reconstruction (DR4)-Merapi Recovery Response (MRR). Proyek ini mengedepankan misi mendukung kepemimpinan pemerintah dalam melakukan koordinasi pemulihan pascabencana erupsi dan lahar hujan Gunung Merapi.

Semoga pembelajaran berharga ini dapat bermanfaat bagi praktik manajemen penanggulangan bencana di Indonesia pada masa yang akan datang. Terima kasih bagi para pihak yang telah terlibat dalam proses pengurangan risiko bencana, tanggap darurat, pemulihan awal, maupun rehabilitasi dan rekonstruksi di Gunung Merapi dan lokasi-lokasi bencana lain di Indonesia.

Jakarta, September 2014Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana,

Dr. Syamsul Maarif, M. Si.

Asmaradana Merapixiii

Page 18: Buku Asmaradana Merapi

Dengan bangga saya persembahkan 'Asmaradana Merapi: Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi’, yang berisi kumpulan cerita warga yang

selamat dari letusan Gunung Merapi di Jawa Tengah. Terletak di salah satu daerah yang paling padat penduduknya di dunia, Gunung Merapi merupakan sumber kehidupan sekaligus sumber petaka bagi warganya. Setelah letusan pada bulan Oktober 2010, yang berdampak pada 182.446 penduduk dalam radius 20 km dari kawah dan menyebabkan 59.854 orang mengungsi, penduduk membangun kembali kehidupan mereka dengan semangat 'membangun kembali dengan lebih baik'.

Membantu masyarakat yang dilanda bencana kembali pulih adalah salah satu mandat utama UNDP yang mencerminkan semangat slogan kami "Pemberdayaan Masyarakat, Ketahanan Bangsa". Bagi kami, membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana dan membantu masyarakat, keluarga dan komunitas pulih dari bencana adalah kunci untuk mendukung pembangunan. Misi kami adalah untuk membantu membangun kembali dengan lebih baik. Ini kami lakukan dengan meningkatkan kesiapsigaan masyarakat di masa depan – bukan hanya dari segi pengetahuan dan kesadaran bencana, tetapi juga dari segi ketahanan bencana yang berkaitan dengan infrastruktur - jalan, perumahan, dan sebagainya.

Dalam upaya untuk mengukur keberhasilan proses pemulihan di Merapi, UNDP telah bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mengembangkan Indeks Pemulihan Bencana pertama di dunia. Indeks pemulihan bencana meninjau berbagai indikator dan ukuran pemulihan, dan bertujuan untuk memberikan informasi penting untuk para pembuat kebijakan di Indonesia dan

di luar negeri tentang cara merancang proses pemulihan jangka panjang secara efektif dan efisien. Selain meningkatkan pemahaman kita tentang unsur utama proses pemulihan, indeks tersebut juga diharapkan dapat membantu masyarakat dan pemerintah membangun kembali dengan lebih baik dari segi sosial, ekonomi dan budaya. Dalam dekade terakhir, bencana di seluruh dunia telah mengakibatkan korban jiwa sebanyak hampir satu juta orang dan kerugian ekonomi melampaui satu triliun dollar AS. Kesiapsiagaan bencana sangat penting. Setiap dolar yang diinvestasikan ke dalam kesiapsiagaan bencana menghemat tujuh dolar dalam pengeluaran untuk pemulihan bencana. Kesiapsiagaan bencana menyelamatkan nyawa dan uang.

Indonesia dengan keahlian penanggulangan dan pengurangan risiko bencana yang diakui dunia internasional siap untuk memimpin di depan dengan alat-alat seperti Penilaian Kebutuhan Pascabencana, Penilaian Risiko Bencana dan Indeks Pemulihan Bencana. Kami berharap bahwa peningkatan investasi PRB tidak hanya meningkatkan ketahanan bencana penduduk di sekitar Gunung Merapi tetapi juga masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Jakarta, September 2014 Direktur UNDP Indonesia

Beate Trankmann

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi xiv

Page 19: Buku Asmaradana Merapi
Page 20: Buku Asmaradana Merapi
Page 21: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi1

Page 22: Buku Asmaradana Merapi

Hidup Bersama Merapi

BAGIAN SATU

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 2

Page 23: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi3

j

““

Ancaman kematian karena letusan Gunung Merapi, bagi

mereka adalah “normal”. Keyakinan itu menghalangi

upaya menjauhkan mereka dari ancaman. Begitulah kerumitan

yang dihadapi pemerintah dalam mengurus warga di seputar

Gunung Merapi. Pemerintah hanya bisa memberi peringatan

bila Gunung Merapi menunjukkan gejala peningkatan aktivitas.

Page 24: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 4

Page 25: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi5

Page 26: Buku Asmaradana Merapi

SEKITAR pukul lima sore, 26 Oktober 2010, Gunung Merapi kembali memulai letusan besar.

Mula-mula terjadi guguran lava di puncak gunung dan awan panas pun mengalir ke arah selatan, terutama menuju Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Ratusan rumah dan ternak bersama ratusan hektare lahan pertanian segera hangus oleh pelukan awan panas.1 Sebagian besar warga memutuskan untuk mengungsi beberapa saat setelah letusan besar itu. Ketika awan panas mencapai Kinahrejo, Mbah Maridjan, yang menolak evakuasi, tewas bersama lebih dari 30 tetangganya.

Sebelum letusan ini, awan panas menyerang lereng selatan dan barat daya pada November 1994 silam. Ketika itu awan panas bergerak mencapai 6,5 kilometer dari puncak letusan.2 Sebagian besar warga dalam radius itu berlarian menuruni lereng menghindari kejaran awan panas yang bergerak dengan kecepatan sekitar 200 kilometer per jam. Lebih dari 60 orang meninggal, baik di tempat kejadian

maupun setelahnya. Ribuan penduduk harus dievakuasi oleh pemerintah di barak-barak pengungsian.

Namun, Sang Merapi masih menunggu sebelum memuntahkan letusan lebih dahsyat, yang akhirnya terjadi pada Jumat dini hari, 5 November 2010. Warga berlarian menuruni lereng dalam kejaran awan panas. Warga yang tinggal dalam jarak sekitar 15 kilometer dari puncak gunung di Kecamatan Cangkringan, Sleman, mengaku bahwa sekitar tengah malam terdengar gemuruh hebat, disusul getaran-getaran kecil yang mengguncang wilayah sekitar.

Tak lebih dari lima menit setelah letusan dan gempa, sirine tanda bahaya bersahut-sahutan. Warga berhamburan keluar rumah, berlari dari kejaran awan panas dalam kegelapan malam. Saat itu listrik telah padam. Kepanikan mengepung. Awan panas mencapai jarak belasan kilometer sekitar 30 menit kemudian. Dalam kejadian itu, ribuan rumah dikabarkan hancur ditelan awan panas. Ribuan orang bergerak menuju berbagai tempat evakuasi, salah

Bapak dan anak mencari harta yang masih tersisa di antara reruntuhan rumah

mereka di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan

Cangkringan, Sleman setelah letusan Gunung Merapi pada 26

November 2010.

© DWI OBLO

Sang Merapi Kembali Meletus

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 6

Page 27: Buku Asmaradana Merapi

satunya Stadion Maguwoharjo, sekitar 23 kilometer dari puncak Gunung Merapi.3

Letusan hebat ini juga diiringi gelegar petir yang saling sambar di puncak gunung, hingga membuat sekitar 2.000 pengungsi di barak Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, berhamburan di tengah serbuan abu pekat dan jaringan telekomunikasi yang putus. Semuanya membuat evakuasi berlangsung sangat rumit. Bukan hanya di pengungsian, warga Dusun Brayut, Desa Pandowoharjo, Kecamatan Sleman, sekitar 20 kilometer dari pusat letusan, kalang-kabut berusaha berkumpul di balai dusun. Di Kota Yogyakarta, sekitar 40 kilometer dari puncak Gunung Merapi, lalu lintas dipadati kendaraan dengan jarak pandang yang pendek akibat debu.4

Sementara itu, di Kecamatan Ngaglik dan Turi, masing-masing selatan dan barat Kecamatan Cangkringan, Sleman, hujan batu menghunjam ke rumah-rumah warga, disertai hujan pasir, air, abu, dan kerikil. Sebelumnya, mereka juga mendengar suara gemuruh dan menyaksikan sambaran petir yang menjilat beberapa rumah yang segera terbakar. Mereka heran melihat fenomena hujan dan kebakaran datang bersamaan. Mereka menduga, guyuran

abu vulkanis demikian panas sehingga, meski turun hujan, rumah dan pepohonan di radius 10 kilometer terbakar hangus.

Untungnya warga sudah meninggalkan rumah menuju barak pengungsian. Pada Jumat dini hari, mereka telah mengosongkan rumah. Namun, barak pengungsian mereka yang berjarak 15 kilometer dari pusat letusan juga belum aman. Mereka mengungsi ke tempat yang lebih jauh hingga mencapai jarak 30 kilometer dari pusat letusan, antara lain ke kantor Pemerintah Kabupaten Sleman. Sementara hujan masih berlangsung, aliran listrik di Sleman bagian utara padam.5

Asmaradana Merapi7

Petugas BPPTKG sedang memeriksa seismograf letusan Gunung Merapi.

© DWI OBLO

Page 28: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 8

Page 29: Buku Asmaradana Merapi

BERUNTUNG Gunung Merapi memberi “peringatan” sebelum memuntahkan semburan dahsyat. Peringatan itu membuat warga dan pemerintah masih mempunyai waktu bersiap untuk menghadapi letusan 5 November 2010.

Pada 20 September 2010, sebulan sebelum Gunung Merapi memulai letusan, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) (sejak Februari 2013 menjadi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi, BPPTKG) Yogyakarta, sudah menaikkan status dari normal aktif menjadi waspada. Pada 21 Oktober 2010, status ditingkatkan menjadi siaga karena aktivitas gunung semakin meningkat, terutama ditandai dengan semakin seringnya terjadi gempa tremor. Pada titik ini, pengungsian sudah harus disiapkan. Selang empat hari, sekitar pukul enam pagi 25 Oktober 2010, BPPTK memaklumatkan peningkatan status menjadi awas. Seluruh penduduk dalam radius 10 kilometer dari pusat letusan harus mengungsi. Ini menyisakan sekitar sebelas jam untuk orang bersiap menghadapi letusan.

Menurut Kepala BPPTKG Subandriyo, letusan Gunung Merapi pada 2010 sudah diprediksi secara akurat oleh lembaganya. Setidaknya,

status awas sudah diputuskan sebelum terjadi letusan puncak. Rentetan peningkatan status Gunung Merapi kemudian memberi peluang kepada semua pihak untuk bersiap menghadapi letusan-letusan susulan, hingga puncak letusan pada 5 November 2010.6

Meski demikian, tidak semua warga mengungsi menyusul peringatan dari BPPTK. Letusan mulai terjadi pada akhir Oktober dan status Gunung Merapi sudah ditingkatkan menjadi awas. Di Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, misalnya, meskipun status Gunung Merapi meningkat menjadi awas, banyak warga yang masih enggan mengungsi. Kepala Dusun Gondang, Balerante, Jainu, mengatakan, warga setempat baru bersedia turun setelah letusan 26 Oktober 2010. Bahkan, saat diminta mengungsi sekalipun, kebanyakan warga masih menolak. Pengalaman erupsi 2006, yang masih segar dalam ingatan warga, tidak menjadikan urusan evakuasi menjadi mudah. Sikap warga Balerante dan Kinahrejo (Sleman) terhadap ancaman Gunung Merapi terlihat pada sebagian warga yang bermukim di Kawasan Rawan Bencana (KRB) III yang lainnya. Mereka baru bergegas turun ketika melihat begitu banyak korban meninggal, salah satunya tokoh panutan warga seperti Mbah Maridjan.7

Asmaradana Merapi9

Penduduk dan beberapa petugas SAR sedang menyusuri padang debu awan panas di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.

© DWI OBLO

Page 30: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 10

Page 31: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi11

Page 32: Buku Asmaradana Merapi

Dua hari sebelum letusan 5 November 2010, sekitar pukul sebelas malam, BPPTK dan petugas gabungan mengadakan rapat di Posko Pusat Merapi, Pakem, dan memutuskan bahwa warga yang masih tinggal di radius 20 kilometer dari puncak gunung harus dievakuasi.8 Ini berarti, BPPTK telah menetapkan perluasan zona bahaya yang sebelumnya hanya 10 kilometer. Sehari sebelum letusan puncak itu, petugas gabungan telah mengumumkan kepada warga untuk bersiap mengungsi keesokan harinya.

Letusan memang terjadi sedikit lebih awal dari yang diperingatkan, tetapi seharusnya warga sudah mengungsi. Apalagi, status awasbelum pernah diturunkan sejak seminggu sebelumnya. Rentang waktu 35 hari sejak status Gunung Merapi dinaikkan dari waspada menjadi awas sebenarnya lebih dari cukup bagi warga untuk menghindari bahaya letusan. Namun, sebagian besar penduduk yang tinggal dalam radius 5 kilometer dari puncak gunung baru melakukan evakuasi sesaat setelah erupsi pertama pada 26 Oktober 2010.

Korban pun tak terhindarkan. Pada 9 November 2010, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan, akibat letusan Gunung Merapi sejak 26 Oktober 2010, korban

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 12

Seorang ibu sedang memilih pakaian sumbangan bekas di Stadion

Maguwoharjo, Kabupaten Sleman.

© DWI OBLO

meninggal sudah mencapai 151 orang, total pengungsi 320.090 jiwa, 291 rumah rusak, dan satu tanggul di Dusun Ngepos, Desa Srumbung, Kecamatan Srumbung, Magelang, jebol akibat luapan lahar hujan.9 Di Balerante, menurut Jainu, awan panas pada 5 November 2010 meluluhlantakkan sekitar 150 rumah dan menewaskan 328 ekor sapi. Seorang warga meninggal karena menolak dievakuasi.10

Mengapa akurasi prediksi letusan Gunung Merapi gagal menyelamatkan lebih banyak korban? Mengapa warga menunggu hingga saat-saat terakhir sebelum mengungsi, sampai ancaman benar-benar mulai bergerak dari puncak Gunung Merapi?

Page 33: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi13

Page 34: Buku Asmaradana Merapi

GABUNGAN tiga soal sangat mungkin menjadi penyebab warga tidak segera mengungsi.

Pertama, sebagian sifat letusan, yaitu arah dan besaran (magnitude) letusan, relatif baru bagi sebagian warga. Sifat lainnya, onset (kecepatan ancaman untuk menciptakan dampak), yang juga berpengaruh, relatif sama setiap terjadi letusan. Kedua, soal keengganan warga untuk segera mengungsi begitu peningkatan status bahaya diumumkan. Ketiga, sebagian piranti manajemen kesiapsiagaan yang berhubungan dengan sistem zonasi masih belum dijalankan secara rinci. Uraian mengenai arah dan besaran letusan akan dituliskan pada Bagian Dua.

Secara sederhana, onset bisa dibagi dua, yakni cepat dan lambat. Onset cepat, yang utamanya berupa awan panas, bergerak dengan kisaran kecepatan 200 kilometer per jam, segera dapat mencapai banyak desa di lereng tertentu Gunung Merapi. Ini menyisakan sedikit peluang untuk menyelamatkan diri dan harta benda. Sementara itu, onset lambat, terutama berupa lahar hujan, baru datang

ketika hujan deras mengguyur lereng pasca letusan. Ini membuat warga yang mengetahuinya lebih bisa bersiap-siap ketika melihat hujan mengguyur hulu sungai di lereng atas dan segera meninggalkan daerah aliran sungai yang akan mendatangkan lahar hujan.

Meski begitu, di beberapa tempat, mereka tidak dapat memperkirakan volume lahar hujan yang datang. Di Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Magelang, misalnya. Di sana, lahar hujan menyapu nyaris seluruh rumah setelah hujan mengguyur lereng barat Gunung Merapi pada 9 Januari 2011.11 Kejadian serupa berlangsung di nyaris seluruh aliran sungai yang bermuara di Gunung Merapi, yang segera terserang laharhujan setelah hujan jatuh di lereng atas.

Sementara itu, faktor keengganan warga untuk mengungsi lebih banyak berhubungan dengan persepsi warga terhadap ancaman gunung api. Frank Lavigne dari Laboratoire de Géographie Physique, Prancis, dan timnya yang beranggotakan dari berbagai negara membagi tiga rangkaian faktor yang

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 14

Penampungan pengungsi di Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.

© DWI OBLO

Mengapa Mereka Tak Segera Mengungsi?

Page 35: Buku Asmaradana Merapi

memengaruhi persepsi warga lereng Gunung Merapi terhadap risiko. Pertama, faktor pengetahuan akan risiko. Kedua, kondisi sosial ekonomi. Ketiga, faktor budaya.12

Kondisi sosial ekonomi merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap persepsi warga tentang risiko. Kondisi sosial ekonomi mampu membuat mereka menunggu hingga saat-saat terakhir sebelum mengungsi, kembali setiap hari dari pengungsian untuk melihat kampung, atau dengan cepat meninggalkan tempat pengungsian untuk pulang ke rumah segera setelah kondisi memungkinkan. Bahkan, di banyak dusun di Sleman, tak sedikit warga yang menjadi korban karena kembali ke dusun untuk mengurus ternak yang ditinggal mengungsi.

PERSEPSI warga terhadap risiko Gunung Merapi bersumber dari beberapa soal. Menurut survei yang diselenggarakan Lavigne dan tim, warga di lereng Gunung Merapi kian merasa aman bila jarak tempat tinggal mereka semakin jauh dari pusat erupsi.13 Perasaan aman warga yang tinggal lebih dari 15 kilometer dari puncak Gunung Merapi bertambah tinggi karena jarak luncur bahaya awan panas yang digambarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG).

Jarak tersebut semula tidak dilihat sebagai kawasan terdampak letusan yang utama sampai terjadi letusan 2010. Kesiapsiagaan dan edukasi di desa-desa yang terletak antara radius 10 dan 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi juga kurang maksimal. Lebih dari 80 persen korban pada letusan November 2010 tinggal di desa-desa di luar radius 10 km. kilometer.14

Interval masa antara ancaman terakhir juga memengaruhi tingkat keawasan warga. Misalnya, awan panas belum pernah menyerang di sekitar aliran Kali Boyong di selatan Gunung Merapi sejak awal abad ke-20. Akibatnya, sebelum letusan November 1994, warga merasa bahwa awan panas tidak akan menyerang mereka.15 Namun, setelah delapan tahun, warga Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, di selatan Gunung Merapi, kebanyakan kembali merasa aman dari ancaman awan panas.

Beragam penghalang (alami atau buatan) yang bisa terlihat secara kasat mata juga dapat membuat warga kurang awas terhadap datangnya ancaman. Keyakinan ini bisa berasal dari pengalaman hidup bersama lanskap maupun keyakinan yang bersifat kultural. Misalnya, sebagian warga lereng Gunung Merapi di bagian Klaten percaya bahwa mereka akan selalu terlindungi oleh Bukit

Asmaradana Merapi15

Penduduk di Dusun Gungan, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, sedang mengevakuasi sapi.

© DWI OBLO

Page 36: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 16

Page 37: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi17

Page 38: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 18

Kendil. Bukit Kendil diyakini lebih tua dari Gunung Merapi sehingga muntahan awan panas maupun lahar dianggap tidak akan sampai menerjang Bukit Kendil.

Selain itu, menurut seorang warga Balerante, Darwono, desanya dipercaya sebagai halaman atau pekarangan bagi Keraton Merapi. Karena itu, kalau meletus, Gunung Merapi dianggap tidak akan memuntahkan material ke pekarangannya sendiri. Ia lalu bercerita tentang Mbah Walidi, tetua yang menolak saat dijemput oleh relawan untuk evakuasi karena kepercayaan semacam itu. Mbah Walidi merupakan satu-satunya korban meninggal di Balerante.16

Semua ini bermuara pada kurangnya pengetahuan warga tentang cara kerja aktual ancaman vulkanis. Setiap letusan gunung api selalu punya kemungkinan untuk menjangkau jarak lebih jauh dari letusan sebelumnya, bisa berubah arah, dan melewati atau merusak penghalang alami atau buatan yang diyakini warga dapat melindungi wilayah mereka. Bahkan, berbagai infrastruktur yang dibangun pemerintah semisal sabo dam dapat menimbulkan risiko lebih besar dengan menciptakan kepercayaan diri warga di sekitarnya. Padahal, bangunan beton seperti sabo dam bisa meningkatkan ancaman awan panas karena menaikkan dasar sungai.17

KONDISI sosial ekonomi menciptakan dilema bagi upaya pengurangan risiko di kawasan Gunung Merapi, salah satu gunung api paling aktif di dunia. Sekitar 1,3 juta orang hidup dalam radius 20 kilometer dari puncak gunung. Menurut Lavigne dan tim, keputusan warga untuk tinggal dan bekerja di lereng Gunung Merapi dan bersiap menghadapi risiko, sebagian besar disokong oleh kondisi penghidupan di dataran rendahyang kurang menjanjikan bagi mereka. Para petani dan peternak paling miskin di desa-desa lereng selatan lebih memilih berhadapan dengan risiko ketimbang meninggalkan penghidupan mereka (lihat kasus Dusun Turgo di bawah). Sementara, di lereng barat daya, para penambang pasir rela menghadapi seluruh potensi risiko karena pendapatan mereka tiga kali lebih baik ketimbang bekerja di sawah dataran rendah. Mereka tahu awan panas, misalnya, bisa dan telah menghancurkan puluhan truk dan membunuh puluhan penambang pasir.18

Lavigne dan tim menambahkan bahwa warga yang bermukin di tiga lereng gunung api di Jawa (Sumbing-Sindoro, Dieng, Merapi) memang melihat bahwa gunung api berkontribusi besar terhadap kesuburan tanah, dengan demikian baik bagi usaha pertanian dan ternak. Kondisi penghidupan semacam ini membuat banyak petani kecil di lereng atas tetap bertahan hingga saat-saat terakhir sebelum memutuskan untuk mengungsi. Mereka ingin memastikan tidak kehilangan satu-satunya sumber pemasukan. Di tempat pengungsian yang diamati, para pria setiap hari kembali ke

Penduduk mengevakuasi sapi menggunakan mobil pikap di jembatan yang melewati

Kali Opak, Desa Glagahharjo, Kabupaten Sleman.

© DWI OBLO

Page 39: Buku Asmaradana Merapi

kampung untuk menengok tanaman dan ternak mereka. Mereka pun dengan cepat meninggalkan tempat pengungsian begitu kondisi memungkinkan.19 Jadi, warga lebih meletakkan perhatian mereka pada masa panjang interval antar letusan, yang berhubungan dengan keberlangsungan penghidupan, ketimbang masa singkat ketika letusan terjadi. Ini berkebalikan dengan titik perhatian pemerintah.20

Dari sebuah survei yang diadakan di wilayah terdampak Gunung Merapi di empat kabupaten pasca letusan 2010, ditemukan bahwa tingkat kesejahteraan warga di lereng yang terdampak cukup baik. Sebagian besar (92,78 persen) warga memiliki rumah sendiri, sisanya menyewa atau menempati rumah bukan milik sendiri. Sebagian besar rumah tangga sudah menggunakan listrik dengan meteran (74–82 persen) dan kebanyakan makan tiga kali sehari (76–88 persen). Mereka juga menemukan bahwa sebagian besar warga di daerah terdampak Gunung Merapi bekerja di sektor pertanian (termasuk perkebunan, kehutanan, dan perburuan), kemudian disusul sektor pertambangan dan penggalian, lalu perdagangan, rumah makan, dan penginapan.21 Warga menggantungkan penghidupan pada watak alam lereng Gunung Merapi: tanah dan sungai (untuk penggalian

pasir).Keengganan mengungsi

merupakan refleksi dari sebuah proses jangka panjang, yang dapat menunjukkan bagaimana warga melakukan adaptasi dan bahkan transformasi seusai setiap letusan. Di kasus Dusun Turgo, pasca letusan November 1994, mereka melakukan adaptasi dengan beralih ke ternak yang bisa dijalankan dengan sistem produksi yang tidak seintensif tanaman tegalan karena kurangnya tenaga kerja yang kembali ke desa pasca letusan. Mereka melakukan transformasi dengan melawan secara diam-diam larangan pemerintah untuk mengosongkan desa yang sudah “di-hapus” dari peta administratif.

Warga Dusun Turgo memproduksi pakan ternak, susu, dan daging untuk ekspor, yang lebih menguntungkan tetapi masih bergantung pada pemanfaatan lingkungan gunung yang unik. Mereka memang bergantung pada harga yang tak dapat mereka kendalikan, tetapi mereka tak tergantung pada asupan dari luar untuk melakukan produksi tersebut. Mereka menggunakan sumberdaya setempat untuk memproduksi susu, ternak, dan produk palawija: rumput pakan dari ladang dan kotoran sapi untuk memupuk ladang rumput dan palawija.22 Semua ini mengurangi tingkat kerentanan ekonomi mereka.

Asmaradana Merapi19

Daerah yang masuk dalam KRB III merupakan daerah terdampak langsung dari awan panas dan hujan debu setelah erupsi Gunung Merapi. Harta benda dan nyawa pun tidak luput dari terjangan awan panas tersebut.

© TRK INSIST/Edi Kusmaedi

Page 40: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 20

Page 41: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi21

Page 42: Buku Asmaradana Merapi

Menurut Michael R. Dove dari Yale University, Amerika Serikat, setidaknya hingga masa penelitian (1982–1985), Turgo menjadi salah satu pemasok susu terbesar di Yogyakarta dan pendapatan sebagian warga (terutama penjual rumput pakan dan kayu bakar) melampaui angka rata-rata nasional. Mereka membangun rumah tembok, dengan jendela kaca dan lantai, serta menyekolahkan anakke tingkat lebih tinggi. Banyak dari mereka kemudian bekerja di luar desa dan mengirimkan uang untuk diinvestasikan dalam usaha ternak. Sektor jasa seperti warung, transportasi, dan pemandu wisata pun tumbuh.23

Kini, salah seorang pemilik usaha geowisata, Bambang Sugeng, berhasil mengubah kontur tanah yang “babak belur” sebagai berkah. Dia dan rekan-rekannya menyewakan jip untuk membuka usaha adventure di lereng Gunung Merapi. Pelancong domestik dan internasional sangat berminat berkunjung ke sana karena ada beberapa “bonus” titik atraksi (lihat Bagian Empat). Mereka menjadikan dampak-dampak letusan gunung ini, berikut dinamika nasional dan internasional lain, sebagai peluang untuk memperbaiki penghidupan. Karena itu, mereka lebih baik mengambil risiko dengan tidak segera meninggalkan desa ketimbang mengungsi dari kejadian sesaat untuk

kehilangan penghidupan jangka panjang.

Di wilayah Kawasan Rawan Bencana (KRB) III, wilayah yang paling rawan, upaya pemerintah dan pihak lain membujuk warga untuk mengungsi masih sering menemui kegagalan. Bahkan, warga yang tinggal di daerah aliran sungai yang berhulu di Gunung Merapi, juga bersikap sama seperti warga KRB III. Alasannya hampir serupa, yakni kepemilikan aset, rumah, dan pekerjaan. Warga Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Magelang, yang berada persis di pinggir Kali Putih, tetap bertahan di area yang sama meski banjir lahar hujan telah menghanyutkan ratusan rumah dan harta benda pada 3 dan 9 Januari 2011. Sejak akhir November 2010, pemerintah telah mengumumkan ancaman bahaya lahar hujan di saat musim penghujan tiba. Tetapi, Kepala Dusun Gempol Sudiyanto mengatakan bahwa banjir lahar hujan yang terjadi berulang kali membuat warga terbiasa. “Menghadapi banjir lahar, warga yang tumpah darahnya di sini, sudah tidak kaget,” katanya.24

Sampai di sini, kontradiksi cara pandang antara warga dan pemerintah terlihat cukup jelas. Pemerintah cenderung memerhatikan warga kala ancaman datang (misalnya, dengan upaya permukiman ulang) dan cenderung melupakan mereka selama masa panjang di antara kejadian letusan. Sementara itu, warga lebih

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 22

Relawan dari SAR dan PMI menyisir beberapa desa di

sepanjang lereng Gunung Merapi untuk mencari korban yang

kemungkinan masih berdiam di rumah-rumah mereka.

© TRK INSIST/Sumino

Page 43: Buku Asmaradana Merapi

mementingkan penghidupan jangka panjang, dengan kerugian harta maupun jiwa, ketimbang memasuki kehidupan baru yang tak mereka kenali. Letusan maupun lahar hujan hanya kejadian sesaat, yang bagi mereka adalah kejadian wajar. Ketika mereka menganggap bahaya gunung api sebagai peristiwa biasa, faktor budaya dapat menjelaskannya.

FAKTOR budaya tumbuh sepanjang masa warga tinggal bersama ancaman Gunung Merapi. Warga di sekeliling lereng Gunung Merapi telah mengembangkan semacam konsep hidup bersama risiko, yang berarti menerima bahaya lingkungan sebagai bagian yang biasa dalam hidup dan mata pencaharian produktif. Pilihan untuk hidup bersama risiko berbeda dengan menghindari bahaya gunung api atau membentengi manusia dari bahaya gunung api. Hidup bersama risiko bukan berarti tak melakukan respons apa-apa terhadap ancaman gunung api.25

Dalam kasus masyarakat sekitar Gunung Merapi, praktik tersebut sayangnya ikut melahirkan kerentanan, sebagaimana tercermin dalam jumlah korban jiwa dan kerugian akibat letusan. Katherine Donovan dari University of Playmouth, Inggris, melakukan penelitian di Gunung Merapi pada 2007 dan 2009. Dia menyimpulkan bahwa masyarakat di sekitar lereng

Gunung Merapi itu sangat rentan. “Kerentanan mereka dipengaruhi oleh berbagai variabel, misalnya kepercayaan tradisional, yang berjalin dengan pengaruh politik, ekonomi, sosial, sehingga menciptakan skenario yang kompleks begitu terjadi peningkatan risiko,” tulisnya.26

Aktivitas vulkanis Gunung Merapi secara keseluruhan menyatu dengan kehidupan sehari-hari warga. Dalam pandangan masyarakat Jawa, Gunung Merapi adalah personifikasi dari “Mbah Merapi”, yang bertaut dengan dunia manusia. Ketimbang dianggap sebagai sumber bahaya, keberadaan Gunung Merapi melekat pada pemimpin kultural yang dihormati semua warga desa. Warga setempat percaya kepada penjaga spiritual Gunung Merapi yang ditunjuk oleh Keraton Yogyakarta, Mbah Maridjan. Keberadaan rumah Mbah Maridjan selaku juru kunci di Kinahrejo turut menjelaskan penolakan warga untuk evakuasi, sekalipun evakuasi telah diatur oleh otoritas yang bersangkutan.27

Kepercayaan terhadap alam gaib di diri sebagian kecil masyarakat juga masih kuat, hingga membentuk “culture of disaster” atau “budaya bencana”. Ini bisa dilihat pada kepercayaan warga Balerante terhadap Bukit Kendil dan sebagian warga di lereng selatan bahwa di

Setelah status Gunung Merapi diturunkan, warga bergegas pulang ke kampung mereka masing-masing untuk melihat kondisi perumahan dan bahu-membahu membersihkan atau memperbaiki rumah-rumah dan fasilitas umum lainnya yang mengalami kerusakan ringan.

© DWI OBLO

Asmaradana Merapi23

Page 44: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 24

Page 45: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi25

Page 46: Buku Asmaradana Merapi

dalam kawah Gunung Merapi ada alam lain yang dihuni para baureksa (roh pelindung), makhluk halus, yang menjalani kehidupan mirip dengan alam nyata mereka. Karena itu, di sana juga ada kegiatan pembersihan dan pembangunan rumah secara teratur. Buangan dari kegiatan itu keluar dalam bentuk abu panas dan lahar. Warga percaya bahwa ancaman letusan Gunung Merapi adalah perwujudan dari kehidupan normal di alam para baureksa. Karena itu, ancaman yang datang dari Gunung Merapi dianggap sebagai bagian dari kehidupan “normal” warga.28

Keyakinan yang menjadi “budaya bencana” itu diperkuat oleh peran tokoh karismatik seperti Mbah Walidi dan Mbah Maridjan. Warga baru bersedia dievakuasi setelah letusan pada 26 Oktober merenggut jiwa Mbah Maridjan. Setelah peristiwa tersebut, warga kian sadar akan bahaya Gunung Merapi. Itu pun, menurut sebuah penelitian, jumlah pengungsi setelah erupsi 26 Oktober 2010 yang tercatat secara resmi hanya 22.599 orang, jauh di bawah jumlah penduduk KRB III.29 Dalam survei yang dikerjakan Lavigne dan tim tercatat, semakin dekat dengan Mbah Maridjan, warga semakin percaya dengan keberadaan mahluk gaib di dalam kawah Gunung Merapi.30

HINGGA taraf tertentu, sistem zonasi waktu dan ruang yang ditetapkan badan pemerintah pun mungkin memberi andil terhadap keterlambatan sebagian warga untuk menghindar dari kejaran ancaman yang ber-onset cepat. Zonasi ruang atau wilayah berbahaya ditandai dengan romawi III, II, dan I (paling hingga kurang rawan). Zonasi waktu ditandai dengan frasa aktif normal, waspada, siaga, dan awas (paling jauh hingga paling dekat dari bahaya).

Semua itu kurang mempertimbangkan sistem pengetahuan warga yang hidup dan mengamati Gunung Merapi selama berabad-abad.31 Padahal, menurut Lavigne dan timnya, kepercayaan warga terhadap zonasi ruang dan waktu ini semakin meningkat sehingga semakin penting untuk diterapkan secara lebih akurat.32 Ketika terjadi letusan 26 Oktober 2010, hanya sedikit dari dua ribuan penduduk Kinahrejo, tempat Mbah Maridjan bermukim, yang tidak segera mengungsi setelah peringatan pemerintah diumumkan.

Namun, penting dicatat, menurut Kepala BPPTKG Subandriyo, penetapan zonasi bahaya Gunung Merapi tidak mungkin menampung pendapat masyarakat. Metodologi perumusan zonasi tersebut spesifik, dengan sistem peringatan dini yang dibuat berdasar metode ilmiah. Hasilnya pun bersifat rekomendatif kepada pelaku mitigasi

Selain Labuhan Merapi, beberapa kelompok masyarakat melakukan

ritual penyembelihan seekor kerbau di Tugu Yogyakarta

sebagai manifestasi kepercayaan atas Gunung Merapi.

© DWI OBLO

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 26

Page 47: Buku Asmaradana Merapi

bencana sehingga tak memiliki kekuatan hukum. Karena itu, peran utama dalam hal peringatan dini dan evakuasi berada di tangan pemerintah daerah, terutama terkait aturan yang mereka tetapkan dan ketegasan menjalankannya. Di sinilah letak persoalannya.

Sistem zonasi pun kadang tidak disertai dengan implementasi di lapangan dalam bentuk pembuatan batas-batas tanda kawasan rawan yang konkret. Alhasil, batas yang ada di dalam peta zonasi tidak begitu saja bisa diinterpretasikan ke tingkat lapangan. Hal ini bisa dilihat, misalnya, dari perbedaan pendapat antara dua kepala bidang Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Klaten, yakni Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan dan Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Kepala bidang yang disebut pertama menganggap Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten berada di KRB III, sementara kepala bidang yang disebut terakhir berpendapat Deles tidak termasuk KRB III.33

Wakil Bupati Sleman Yuni Satia Rahayu juga mengakui bahwa penetapan Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen di Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, sebagai KRB III sedikit membingungkan. Zonasi pada peta KRB tidak persis bisa diukur di

lapangan. Batas-batas dalam peta zonasi tidak dikonkretkan dalam batas-batas di lapangan. Akhirnya, orang bisa membuat pernyataan dan interpretasi sendiri-sendiri.

Dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman Tahun 2011–2031, zonasi KRB itu malah disebutkan terlalu umum. Zona KRB III, misalnya, disebutkan mencakup empat kecamatan: Ngemplak, Turi, Pakem, dan Cangkringan; seolah-olah seluruh areal keempat kecamatan tersebut termasuk KRB III. Akibatnya, kata Yuni, tak sedikit orang atau lembaga ragu-ragu memberikan bantuan karena ketidakjelasan zonasi itu. “Mereka takut salah kalau dikira memberi bantuan untuk orang yang tinggal di KRB,” terangnya.34

Beberapa warga Kinahrejo menghadiri pemakaman seorang kiai yang meninggal akibat terjangan awan panas pada 26 November 2010.

© DWI OBLO

Asmaradana Merapi27

Page 48: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 28

Page 49: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi29

Page 50: Buku Asmaradana Merapi

L ETUSAN sebuah gunung api adalah bagian dari peristiwa alamiah. Bagi para ahli gunung

api atau vulkanolog, gunung api aktif adalah gunung dengan segenap aktivitas vulkanisnya, mulai dari gempa tremor sampai letusan eksplosif. Belakangan berkembang pandangan untuk tak hanya melihat aktivitas vulkanis sebagai semata peristiwa alam. Tidak sedikit lingkungan gunung api yang ditinggali oleh komunitas dengan sistem kepercayaan dan cara hidup yang bergantung pada sumberdaya alam di sekitar lereng gunung api. Letusan gunung api, dengan begitu, turut menyibakkan keberadaan komunitas yang hidup bersama risiko gunung api.

Uraian di atas menunjukkan bagaimana faktor-faktor di luar teknologi kegunungapian sangat menentukan bagi upaya pengurangan risiko. Berderet kerumitan dalam pengelolaan risiko gunung api terlihat sejak sebelum hingga setelah rentetan letusan yang terjadi pada 2010. Di bagian-bagian

Tak Boleh Mengabaikan Kesulitan

selanjutnya, kami akan melihat tingkat kerumitan serupa dalam tahap setelah tanggap darurat. Para ahli gunung api dari berbagai negara, yang tergabung dalam Tim Mitigate and Assess Risk from Volcanic Impact on Terrain and Human Activities (Miavita), sudah mewanti-wanti sulitnya pengelolaan risiko gunung api. Menurut Tim Miavita, ada empat kesulitan pengelolaan risiko gunung api yang kerap, dan tak boleh lagi, diabaikan.

Pertama, lereng gunung api merupakan tempat manusia sering berkerumun. Di situlah tanah tersedia, subur, dan kadang lebih murah bahkan meski area tersebut sangat berbahaya karena tingginya ancaman gunung api. Kedua, ketersediaan sumberdaya, seperti anggaran dan/atau kapasitas saintifik, barangkali tidak mencukupi untuk memastikan penanggulangan risiko yang efisien, khususnya di dunia berkembang. Ketiga, masa antara dua letusan atau terjadinya ancaman yang panjang barangkali dianggap sebagai serangan berisiko rendah oleh otoritas lokal dan

Penduduk di Dusun Jurangjero, Desa Ngargosoko, Kecamatan

Srumbung, Magelang membawa bekal saat berangkat kerja.

© DWI OBLO

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 30

Page 51: Buku Asmaradana Merapi

penduduk setempat. Keempat, baik keputusan untuk hidup di lingkungan gunung api yang berbahaya dan kurangnya ketersediaan sumberdaya berakar dari kendala struktural jangka panjang yang terhubung dengan faktor ekonomi politik, seperti distribusi sumberdaya, relasi patron-klien, beban utang, serta kebijakan perdagangan global.35

Di bagian selanjutnya kami akan melihat bagaimana kesulitan-kesulitan dalam pengelolaan risiko gunung api muncul pada tahap-tahap manajemen kebencanaan berikutnya. Di tengah kerumitan tersebut, beberapa upaya mulai menunjukkan hasil positif, baik yang relatif baru diperkenalkan maupun sudah lama dilakukan, di berbagai tahap pengelolaan risiko bencana. Kemajuan-kemajuan itu hanya menunggu untuk dicatatkan, agar dapat menjadi inspirasi di tengah rententan masalah. Potongan kisah kesiapsiagaan warga Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, bisa dijadikan pintu masuk.

Di Deles, warga mampu mengembangkan mekanisme sendiri untuk menghindari bahaya sebelum terjadi letusan. Ketika status Gunung Merapi dinaikkan ke level waspada, sebagian warga telah merancang berbagai persiapan. Koordinator warga Deles, Sukiman, mengatakan,

mereka sudah mengadakan pertemuan sebelumnya dan menentukan “pemuda ngapain, orang tua ngapain”.Saat status naik menjadi awas, semua sudah bergerak sesuai tugas. “Kami punya jadwal ronda. Kalau malam, mereka tidur bergiliran. Tim siaganya, yang muda-muda, tidak boleh boncengan motor (saat evakuasi). Satu motor, satu orang. Warga yang punya mobil, menyiapkan mobilnya. Semua harus patuh pada aba-aba. Kelompok rentan, orang tua, dan anak-anak didahulukan.”36 Tak ada korban jiwa warga Deles ketika terjadi letusan pada 2010 silam.

Kisah tersebut setidaknya menunjukkan bahwa sistem peringatan dini yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga pemerintah memegang peran penting sebagai rujukan warga untuk bertindak. Bahwa berbagai kerumitan di atas dapat dilewati. Bahwa gabungan antara inisiatif warga dan akurasi teknologi kegunungapian bisa terjadi, dan menyelamatkan banyak orang. []

Seorang ibu di Dusun Kaliadem, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, berangkat mencari rumput menggunakan gerobak dorong.

© DWI OBLO

Asmaradana Merapi31

Page 52: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 32

Page 53: Buku Asmaradana Merapi

1 Lihat rangkuman kronologi letusan Gunung Merapi pada 2010 dalam S. Jenkins, J.-C. Komorowski, P.J. Baxter, R. Spence, A. Picquout, F. Lavigne, Surono (2013) “The Merapi 2010 Eruption: An Interdisciplinary Impact Assessment Methodology for Studying Pyroclastic Density Current Dynamics”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 261, hal. 217. Lihat juga artikel Shane J. Cronin, Gert Lube, Devi S. Dayudi, Sri Sumarti, S. Subrandiyo, Surono (2013), “Insights into the October–November 2010 Gunung Merapi Eruption (Central Java, Indonesia) from the Stratigraphy, Volume and Characteristics of Its Pyroclastic Deposits”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 261, hal. 245.

2 B. Voight, K.D. Young, D. Hidayat, Subandrio, M.A. Purbawinata, A. Ratdomopurbo, Suharna, Panut, D.S. Sayudi, R. LaHusen, J. Marso, T.L. Murray, M. Dejean, M. Iguchi, K. Ishihara (2000), “Deformation and Seismic Precursors to Dome-Collapse and Fountain-Collapse Nuées Ardentes at Merapi Volcano, Java, Indonesia, 1994–1998”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 100, hal. 266.

3 Tribunnews.com, 5 November 2010, “Inilah Kronologi Letusan Dahsyat Merapi di Jumat Pagi”.

4 Tribunnews.com, 5 November 2010, “Ya Allah... Gelegar Merapi Bak Murka Bumi”.

5 Tribunnews.com, 5 November 2010, “Jumat Dinihari Terjadi Hujan Batu dan Api di Utara Sleman”.

6 Status awas diturunkan menjadi siaga pada 5 Desember 2010 atau nyaris sebulan setelah puncak letusan. Lihat Tribunnews.com, 3 Desember 2010, “Status Merapi Resmi Diturunkan Menjadi Siaga”.

7 Wawancara Jainu, 24 November 2013.

8 Tribunnews.com, 5 November 2010, “Inilah Kronologi Letusan Dahsyat Merapi di Jumat Pagi”.

9 Kompas.com, Selasa, 9 November 2010, “Erupsi Merapi 2010 Lebih Besar dari 1872”.

10 Wawancara Jainu, 24 November 2013.

11 Seorang petugas pengamatan Gunung Merapi di Pos Krinjing, Kecamatan Dukun, Magelang, sekitar 7 kilometer barat puncak Gunung Merapi, mengatakan bahwa hujan cukup deras sejak terjadi di lereng barat sekitar dua jam lebih (pukul 10.00–12.00 WIB) sebelum terjadi banjir. Ia menambahkan bahwa secara keseluruhan, sejak akhir Oktober 2010 hingga awal Januari 2011, Kali Putih, Apu, Trising, Pabelan, dan Senowo mengalami banjir lahar hujan susulan dampak sekunder letusan Gunung Merapi. “Banjir lahar hujan cukup besar terpantau dari pos ini, meskipun tidak sebesar banjir pada 1 Desember 2010,” katanya. Lihat Republika Online, 11 Januari 2011, “Banjir Lahar Hujan, Warga Muntilan Kembali Mengungsi”.12 Franck Lavigne, Benjamin De Coster, Nancy Juvin, François Flohic, Jean-Christophe Gaillard, Pauline Texier, Julie Morin, Junun Sartohadi (2008) “People’s Behaviour in the Face of Volcanic Hazards: Perspectives from Javanese Communities, Indonesia”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 172, hal. 285.13 Lavigne dan kawan-kawan (2008), hal. 280.

14 Tim Mitigate and Assess Risk from Vulcanic Impact on Terrain and Human Activities (Miavita) (2012) Handbook of Volcanic Risk Management: Prevention, Crisis Management, Resilience (Orleans: Miavita), hal. 137.

15 Warga di sepanjang aliran Kali Gendol di selatan

Asmaradana Merapi33

Page 54: Buku Asmaradana Merapi

Gunung Merapi merasakan hal serupa, sampai pada 2006 awan panas menyerang desa-desa mereka.16 Wawancara Darwono, 24 November 2013.17 Lavigne dan kawan-kawan (2008), hal. 282.

18 Lavigne dan kawan-kawan (2008), hal. 282.

19 Lavigne dan kawan-kawan (2008), hal. 281.

20 Michael R. Dove (2008) “Perception of Volcanic Eruption as Agent of Change on Merapi Volcano, Central Java”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 172, hal. 336.

21 Merapi: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010, Laporan Studi Longitudinal (Yogyakarta: BNPB dan UNDP). Angka di atas berdasarkan pemilahan tiga jenis wilayah yang digunakan dalam survei ini, yaitu Area Terdampak Letusan, Area Terdampak Langsung Letusan, dan Areal Terdampak

Lahar hujan. Survei dilakukan terhadap 1.290 rumah tangga sampel di 40 desa di Kabupaten Sleman, Magelang, Boyolali, dan Klaten.

22 Michael R. Dove dan Bambang Hudayana (2008)

“The View from the Volcano: An Appreciation of the Work of Piers Blaikie”, Geoforum 39, hal. 740. Artikel ini merupakan hasil penelitian lapangan pada 1982–1985

23 Dove (2008), hal. 335.

24 Layang PRB, November–Desember 2012, “Membangun Kembali Rumah yang Hanyut”.

25 Ilan Kelman dan Tamsin A. Mather (2008) “Living with Volcanoes: The Sustainable Livelihoods

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 34

Approach for Volcano-Related Opportunities”, Journal of Vulcanology and Geothermal Research 172, hal. 190.

26 Kate Donovan dan Aris Suharyanto (2011) “The Creatures will Protect Us”, Geoscientist 21, hal. 13.

27 Tim Miavita (2012), hal. 137.

28 Lebih lanjut, lihat Dove (2008) dan Dove dan Hudayana (2008).

29 Estuning Tyas Wulan Mei, Franck Lavigne, Adrien Picquout, Delphine Grancher (tanpa tahun) “Crisis Management during the 2010 Eruption of Merapi Volcano”, hal. 5.

30 Lavigne dan kawan-kawan (2008), hal. 281.

31 Dove (2008), hal. 334.

32 Lavigne dan kawan-kawan (2008), hal. 281.

33 Wawancara Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Joko Rukminto pada 16 Januari 2014 dan Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wachju Adi Pratomo pada 30 Desember 2013. Wachju mengatakan, Deles tidak termasuk KRB III karena berada di timur Gunung Merapi sehingga tidak terkena dampak langsung letusan. Letusan Gunung Merapi mengarah ke selatan Gunung Merapi.

34 Wawancara Yuni Satia Rahayu, 10 Februari 2014.

35 Tim Miavita (2012), hal. 16.

36 Wawancara Sukiman, 3 Januari 2014.

Page 55: Buku Asmaradana Merapi
Page 56: Buku Asmaradana Merapi
Page 57: Buku Asmaradana Merapi

BAGIAN DUA

Bahaya Merapi

Asmaradana Merapi37

Page 58: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 38

Page 59: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi39

Page 60: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 40

j

““

Salah satu gunung api teraktif di dunia ini, Gunung

Merapi, mempunyai daya perusak, pembunuh, dan penghancur.

Awan panas, dengan kecepatan dan tingkat kepanasannya yang

tinggi, siap membakar dan meluluhlantakkan apa pun yang ia lewati. Debu, pasir, dan kerikil merusak seluruh area pertanian dan rumah, tanpa kecuali. Lahar hujan menggerus bangunan dan

infrastruktur apa pun yang ia lewati.

Page 61: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi41

Page 62: Buku Asmaradana Merapi

BUTUH sekitar dua puluh menit perjalanan dari posko operasi di Dusun Pangukrejo, Desa

Umbulharjo, Sleman, untuk mencapai titik sasaran evakuasi. Langit gelap masih menggantung dan jalanan pun tertutup debu letusan. Lewat pukul 4 pagi itu, 27 Oktober 2010, lebih dari 30 orang tergabung dalam Search and Rescue Unit (SRU) menuju Kinahrejo. Debu vulkanis letusan Gunung Merapi sebelas jam sebelumnya berhamburan dihempas putaran roda kendaraan.

Begitu tim evakuasi tiba di persimpangan antara jalan beraspal dari pertigaan menuju jalur pendakian dan jalan dusun dari Kali Kuning menuju Kinahrejo, mereka berhenti. Semua kendaraan diparkir menghadap selatan. Kunci kendaraan dibiarkan tertancap. Sebelum bergerak, mereka sempatkan melakukan koordinasi. Sampai mereka bergerak, kabar keberadaan Mbah Maridjan, tokoh adat Kinahrejo dan juru kunci Gunung Merapi, belum diketahui siapa pun.

Tak berselang lama, seusai menyisir ke Masjid Al-Amin, tim SRU memasuki

rumah Mbah Maridjan. Seorang anggota melangkah menuju gandok, ruang penghubung dalam rumah tradisional Jawa. Saat itu sudah pukul 5 lewat sedikit. Dan, di gandok rumah itu, keberadaan Mbah Maridjan memperoleh kepastian. Sang juru kunci ternyata menjadi korban meninggal letusan Gunung Merapi. Posisi Mbah Maridjan ditemukan bersujud menghadap ke selatan. Dia mengenakan sarung dan pakaian batik.

Menurut tim evakuasi, jasad Mbah Maridjan masih mudah dikenali, bahkan nyaris tidak ada luka bakar di tubuhnya. Jenazah Mbah Maridjan lantas dibawa keluar rumah, diiringi gema tauhid dari sejumlah anggota tim evakuasi. Jenazah Mbah Maridjan, bersama jenazah lain, segera dibawa ke titik koordinasi.1

SEJAK letusan Gunung Merapi pada 2006, sudah ada perkiraan dari para ahli gunung api bahwa arah letusan mendatang menuju selatan. Setelah memakan dua korban meninggal pada 2006, letusan 26 Oktober 2010 mengawali janji Gunung Merapi berikutnya.

Semburan yang Menewaskan Mbah Maridjan

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 42

Keluarga dan kerabat Mbah Maridjan mengantarkan

Sang Juru Kunci Merapi ke peristirahatan terakhirnya sebagai

salah seorang korban erupsi Gunung Merapi.

© DWI OBLO

Page 63: Buku Asmaradana Merapi

Jumlah korban jiwa hanya salah satu pembuktian janji letusan oleh Gunung Merapi.

Di balik itu, sebenarnya seperti apakah letusan itu sehingga sampai membunuh manusia yang dilewati material letusan? Bagaimana dampak letusan itu pada kawasan yang dilewati oleh material letusan? Peneliti PVMBG, Igan Supriatman Sutawidjaja, memberi jawabnya lewat artikel “Directed Volcanic Blast as a Tragedy of October 26th, 2010 at Merapi Volcano, Central Java”.2

Sebagaimana judul artikel, Sutawidjaja menyebut bagian letusan yang sampai ke Kinahrejo dan menewaskan Mbah Maridjan itu sebagai “semburan vulkanis terarah” (directed volcanic blast) yang meluncur secara tiba-tiba.3 Dalam ilmu kegunungapian, semburan terarah bukan merupakan letusan yang mencirikan tipe letusan Gunung Merapi yang dikenal oleh para ahli gunung api setidaknya dalam 80 tahun ke belakang. Walau tipe letusan Gunung Merapi dalam sejarah tidak bisa diklasifikasikan ke dalam satu jenis letusan,4 letusan pada 2010 termasuk perulangan yang jarang dari karakteristik umum letusan Gunung Merapi. Biasanya, aktivitas Gunung Merapi diawali dengan pembentukan kubah lava lebih dahulu selama proses erupsi sehingga menghasilkan guguran awan panas.

Namun, mengulang kejadian 1872, letusan pada 2010 terjadi secara eksplosif, tanpa diawali pembentukan kubah lava. Pada 26 Oktober 2010, material dari proses yang bakal membentuk kubah lava itu tiba-

Asmaradana Merapi43

tiba runtuh diikuti dengan semburan vulkanis terarah. Semburan awan panas mengarah ke selatan gunung dan sampai di Kinahrejo pada pukul 17:02 WIB. Semburan itu menyusur hingga area yang berjarak lebih dari 5 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Kinahrejo hanya terpaut sekitar 4 kilometer dari puncak. Sebagai catatan, letusan 26 Oktober 2010 yang menjelma sebagai bencana itu berada di luar pengalaman penduduk Kinahrejo, yang mengalami sejumlah letusan Gunung Merapi berarah aliran ke Kali Boyong, yang terletak di sebelah barat Kali Kuning. Kinahrejo berada di antara Kali Kuning dan Kali Gendol.

Menurut Sutawidjaja, barang apa pun yang dilewati semburan vulkanis terarah yang berjarak 5 kilometer itu akan diterabas dan hancur. Topografi pada area lawatan tersebut tidak bisa memengaruhi gerakan dari material awan yang dibawa oleh semburan. Pada jarak 3 hingga 5 kilometer, pohon-pohon yang diterabasnya akan rubuh rata ke selatan. Genteng rumah pun jatuh ke sisi selatan. Pada jarak kurang dari 3 kilometer, pohon-pohon terbakar dan sisanya menghitam oleh gas panas. Panas material yang dibawa oleh mula-mula semburan itu kira-kira 100 hingga 300 derajat Celcius. Pohon-pohon pada area yang berjarak lebih dari 3 kilometer bisa tidak terbakar. Bila dampak semburan itu mematikan bagi manusia, lebih karena dehidrasi akut dan diselimuti debu halus panas.5 Itu mengapa tim evakuasi tidak menemukan luka bakar di jasad Mbah Maridjan.

Penguburan massal penduduk korban erupsi Gunung Merapi di Kecamatan Sayegan, Kabupaten Sleman.

© DWI OBLO

Page 64: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 44

Page 65: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi45

Page 66: Buku Asmaradana Merapi

KETIKA semburan awan panas menyerang Dusun Kinahrejo, Totok sedang berada di Desa

Kemiren, Kecamatan Srumbung, Magelang. Sore itu Totok menghadiri pertemuan koordinasi darurat Pasag Merapi, salah satu komunitas antar warga sekeliling lereng Gunung Merapi yang hirau pada isu kebencanaan dan lingkungan. Pertemuan belum usai ketika tiba-tiba saja hujan abu menyelimuti langit Kemiren. Suasana kacau. Peserta pertemuan segera membubarkan diri. Totok segera tancap gas mengendarai motor, menyusuri jalan pulang ke Dusun Srodokan, Desa Wukirsari, Cangkringan, Sleman.

Sesampai di Srodokan, Totok menyaksikan warga kampung berhamburan keluar rumah. Dia pun memutuskan untuk mengorganisasikan kondisi kampung bersama para pemuda karang taruna. Sebuah HT miliknya disediakan untuk umum. Di Srodokan, saat itu hanya Totok yang mempunyai HT. Melalui HT itu, posko pemantauan di gardu kampung menjadi satu-satunya andalan informasi aktivitas Gunung Merapi.

Penjaga HT digilir sejak malam itu, mengiringi aura kampung yang mencekam. Warga dihantui getaran yang berkali-kali.

Hingga Kamis malam, 4 November 2010, suasana terasa semakin mencekam tak keruan. Gemuruh terdengar makin keras dan hujan pasir makin tebal. Hingga petang hari itu, Totok masih di Srodokan. Malam harinya, setelah sempat menelepon salah satu staf BPPTK pada pukul 21:00 WIB, Totok mendapati informasi akan ada letusan hebat dan diperintahkan untuk segera mengevakuasi diri. Tanpa helm, cepat-cepat menarik setang gas motor, Totok mengikuti arus evakuasi. Tak tahu mesti ke mana dan tak sempat memerhatikan kanan-kiri jalan. “Iki opo yo kiamat tenan?” batinnya. ‘Apa ini benar-benar kiamat?’ Tahu-tahu, dia sudah sampai di titik pengungsian di Kecamatan Prambanan, Klaten.

Esok paginya, Totok menelepon orangtuanya, menanyakan lokasi pengungsian mereka. Dia segera menyusul ke lokasi pengungsian tersebut, Balai Desa Purwomartani, Kalasan, Sleman.

Letusan Puncak Dini Hari

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 46

Semenjak letusan yang terjadi pada dini hari 5 November

2010, Gunung Merapi tetap mengeluarkan awan panas dan

material. Letusan itu tetap terjadi dalam beberapa hari berikutnya.

© TRK INSIST/Saleh Abdullah

Page 67: Buku Asmaradana Merapi

Di situlah Totok mendapati kabar bahwa dusunnya habis terkena muntahan awan panas. Dari jarak sekitar 100 meter dari dusun, dia juga sempat menyaksikan porak-poranda dusun dan rumahnya—kondisi yang menghentak kesadarannya. Dia tak menyangka luapan awan panas seganas itu melumat dusunnya. Dia benar-benar tak menyangka.6

DUSUN Srodokan bagaimana pun lebih beruntung ketika letusan puncak Gunung Merapi terjadi pada Jumat dini hari, 5 November 2010. Tak ada korban jiwa dalam musibah nahas tersebut. Kawasan dusun lain yang berada di pinggir Kali Gendol, yakni Dusun Bronggang, Desa Argomulyo, Sleman, sekitar dua kilometer di bawah Dusun Srodokan, mengalami nasib sebaliknya. Meski sama-sama berada di pinggir Kali Gendol, warga Dusun Bronggang yang menjadi korban meninggal mencapai lebih dari 50 orang. Sebagian di antara mereka yang ditemukan meninggal, dilaporkan sudah siap dengan buntelan untuk mengungsi, beberapa berada di dekat motor atau mobil.

Bagaimana letusan pada 5 November 2010 sampai menyebabkan korban massal di Bronggang? Seperti apakah awan panas letusan itu meluncur dari puncak Gunung Merapi, menyusuri Kali Gendol, lantas

melumat kampung-kampung di sekitar sungai?

Dalam laporan penelitian Estuning Tyas Wulan Mei dari Universitas Gadjah Mada dan tim, diketahui terdapat latihan evakuasi di desa-desa yang termasuk KRB III.7 Latihan evakuasi itu dirangkai dengan pendidikan sederhana tentang bahaya Gunung Merapi, dilaksanakan jauh sebelum rentetan letusan Oktober–November 2010. Namun, prioritas latihan evakuasi itu mengacu pada ketentuan KRB sebelum bencana 2010. Bronggang tak termasuk KRB III sebelum terjadi erupsi 2010. Tak ayal, warga Bronggang tak mengetahui adanya pendidikan komunitas dan latihan evakuasi menyikapi bahaya dan aktivitas Gunung Merapi. Padahal, warga setempat sebenarnya beranggapan dusun mereka termasuk rawan bencana, terutama dari bahaya lahar hujan.8

Asmaradana Merapi47

Aliran lahar dan awan panas yang menghanguskan pepohonan di beberapa aliran sungai yang bermuara di Gunung Merapi.

© TRK INSIST/Sumino

Page 68: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 48

Page 69: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi49

Page 70: Buku Asmaradana Merapi

Kawasan Rawan Bencana IIIKawasan Rawan Bencana III adalah kawasan yang letaknya dekat dengan sumber bahaya sehingga sering terlanda awan panas, aliran lava, guguran batu, lontaran batu (pijar), dan hujan abu lebat. Karena tingkat kerawanan yang tinggi, kawasan ini tidak diperkenankan menjadi hunian tetap. Batas Kawasan Rawan Bencana III didasarkan pada sejarah kegiatan dalam waktu 100 tahun terakhir.

Letusan normal Gunung Merapi pada umumnya mempunyai indeks letusan skala VEI 1–3, dengan jangkauan awan panas maksimum 8 kilometer, sedangkan jangkauan awan panas pada letusan besar dengan skala VEI 4 bisa mencapai 15 kilometer atau lebih. (VEI atau Volcano Explosivity Index adalah kriteria besaran letusan secara kuantitatif berdasarkan jumlah material yang dikeluarkan dan ketinggian kolom letusan).

Kawasan Rawan Bencana II Kawasan Rawan Bencana II terdiri dari dua bagian bahaya. Pertama, bahaya aliran massa berupa awan panas,

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 50

Kawasan Rawan Bencana Gunung MerapiSetelah Letusan 2010

aliran lava, dan lahar. Kedua, bahaya lontaran berupa material jatuhan dan lontaran batu (pijar).

Masyarakat pada Kawasan Rawan Bencana II diharuskan mengungsi jika terjadi peningkatan kegiatan gunung api, sesuai dengan saran Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, sampai daerah ini dinyatakan aman kembali. Pernyataan bahwa harus mengungsi, tetap tinggal di tempat, dan keadaan sudah aman kembali, diputuskan oleh pemerintah daerah sesuai ketentuan yang berlaku. Batas Kawasan Rawan Bencana II ditentukan berdasarkan sejarah kegiatan lebih tua dari 100 tahun, dengan indeks erupsi VEI 3–4, baik untuk bahaya aliran massa maupun bahaya material awan panas. Di dalam peta, Kawasan Rawan Bencana II digambarkan berwarna merah muda.

Bila terjadi erupsi besar, awan panas yang melanda Kawasan Rawan Bencana II akan menempati beberapa lembah sungai di lereng utara, barat, barat daya, selatan, dan tenggara.

Setelah dinyatakan aman, para pengungsi erupsi Gunung Merapi kembali ke rumah mereka untuk melihat kondisi perumahan dan

lingkungan mereka di Dusun Srunen, Desa Gladaharjo,

Kecamatan Cangkringan, Sleman.

© DWI OBLO

Page 71: Buku Asmaradana Merapi

Berdasarkan sejarah kegiatan Gunung Merapi, batas Kawasan Rawan Bencana II untuk aliran awan panas mencakup sejauh 17 kilometer atau lebih. Perubahan morfologi punggungan akibat penambangan pasir dapat menimbulkan perluasan daerah ancaman pada masa mendatang. Apabila terjadi longsoran kubah lava skala besar, berkurangnya punggungan dapat memperluas sebaran awan panas sehingga mencapai permukiman penduduk.

Kawasan Rawan Bencana I Kawasan Rawan Bencana I adalah kawasan yang berpotensi terlanda lahar/banjir dan tidak menutup kemungkinan dapat terkena perluasan awan panas dan aliran lava. Lahar adalah aliran massa berupa campuran air dan material lepas berbagai ukuran yang berasal dari kegiatan gunung api.

Produk erupsi Gunung Merapi 2010 mencapai sekitar 130 juta meter kubik, 30-40 persen diantaranya masuk ke Kali Gendol berupa awan panas, sisanya masuk ke sungai-sungai lain yang berhulu di puncak Gunung Merapi, seperti Kali Apu, Kali Trising, Kali Senowo, Kali Lamat, Kali Putih, Kali Bebeng, Kali Krasak, Kali Bedog, Kali Kuning, Kali Opak, dan Kali Woro. Endapan awan panas pada sungai-sungai tersebut berpotensi menjadi lahar apabila

Asmaradana Merapi51

terjadi hujan dengan intensitas tinggi.Ancaman lahar ini berwujud meluapnya lahardari badan sungai yang melanda daerah permukiman, pertanian, dan infrasruktur.

Apabila terjadi lahar dalam skala besar, warga masyarakat yang terancam diarahkan agar mengikuti evakuasi untuk mencegah korban jiwa. Secara umum, cara penyelamatan diri dari bahaya banjir lahar adalah dengan menjauhi daerah aliran sungai dan menuju tempat-tempat evakuasi yang aman. Sosialisasi dan pelatihan penanggulangan bencana lahar perlu dilakukan.

Sumber: Ditulis ulang dan disunting seperlunya dari keterangan dalam Peta Kawasan Rawan Benca-na Gunung Merapi dan Area Terdampak Letusan 2010 yang diterbitkan oleh Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

Seorang ibu di Kecamatan Selo, Boyolali, berjalan pulang sehabis mencuci pakaian.

© DWI OBLO

Page 72: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 52

Page 73: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi53

Page 74: Buku Asmaradana Merapi

Ditambah dengan lemahnya pengelolaan evakuasi terutama pada malam 4 November 2010, tak terhindarkan lagi jatuhnya ratusan, korban. Bahkan hingga pukul 22:30 WIB atau satu jam sebelum letusan puncak, masih terdapat warga yang ada di area 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi.9 Padahal, sudah ada peringatan agar warga di dalam kawasan itu harus evakuasi. Sementara itu, ribuan warga yang lain tunggang-langgang menyelamatkan diri dan tak tahu mesti kemana—sebagaimana terjadi pada Totok.

Saking paniknya, masing-masing pengungsi tidak lagi hirau ketika di tengah jalan terdapat motor pengungsi lain yang tergelincir jatuh. Beberapa cerita menyebutkan justru pengungsi tak memilih rute yang menjauh dari alur sungai. Bronggang, pada akhirnya, jadi salah satu titik terparah dari letusan 5 November 2010. Letusan puncak itu secara keseluruhan telah memakan lebih dari 50 korban meninggal.

Namun, seperti apa material letusan yang mampu turun 13,5 kilometer dari puncak itu bisa mematikan puluhan manusia di Bronggang? Aliran tampung utama letusan Gunung Merapi adalah sungai, salah satunya Kali Gendol. Pertanyaannya, bagaimana material itu muntah ke rumah-rumah di Bronggang?

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 54

Dalam sebuah potret yang didokumentasikan Susanna Jenkins dari Inggris, dan timnya, tergambar aktivitas evakuasi terhadap korban di Bronggang.10 Gambar itu tampaknya diambil pada pukul 02:30 WIB atau sekitar dua jam setelah letusan puncak pada 5 November 2010. Pada gambar itu, tampak orang yang membopong korban tidak melintas di jalan raya yang dipenuhi abu vulkanis, tetapi di sebuah fondasi tepi jalan yang tak lebih banyak tumpukan abu. Tampak juga titik-titik api meski sudah lewat dua jam dari puncak terjadinya letusan.

Dari hasil survei lapangan Jenkis dan tim di Bronggang, dinyatakan bahwa relatif sedikit terjadi kerusakan bangunan, infrastruktur, dan vegetasi sekitar di dalam areal Bronggang.11 Kerusakan serius dari enam bangunan di sana lebih disebabkan oleh api. Sementara korban meninggal di Bronggang lebih disebabkan oleh awan panas tipis atau awan panas yang jenis materialnya lebih menyerupai debu—secara ilmiah disebut sebagai dilute pyroclastic density currents.

Bronggang memang termasuk daerah yang terpapar oleh hembusan awan panas (pyroclastic surge) dari aliran awan panas (pyroclastic low) utama di Kali Gendol.12 Aliran awan panas yang melepaskan hembusan debu tipis itulah yang menyebabkan kematian manusia. Selain morfologi

Abu vulkanis akibat erupsi Gunung Merapi yang merusak

perkampungan di Desa Srumbung, Kabupaten Magelang,.

© DWI OBLO

Page 75: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi55

Page 76: Buku Asmaradana Merapi

manusia. Selain morfologi sungai, struktur bangunan mitigasi lahar seperti sabo dam dan jembatan (yang melintasi Kali Gendol di dekat Bronggang) turut memengaruhi lepas dan muntahnya awan panas tipis dari Kali Gendol ke areal permukiman.13 Itulah bencana yang terjadi di Srodokan dan Bronggang.

Awan panas itu bisa bersuhu 200 hingga 300 derajat Celcius. Suhu tertinggi bisa bertahan 2 hingga 3 menit. Tipisnya awan panas itu bergerak mencari sekat-sekat dan lubang apa pun untuk memasuki rumah. Celah antara dinding dan genteng serta lubang-lubang di dinding, misalnya. Pergerakan awan panas tipis yang terlempar dari hasil tumbukan antara aliran utama dan sabo dam cukup untuk membungkus rumah-rumah warga. Bungkus awan panas itu, setelah menyusup ke dalam rumah dan jatuh ke lantai, ketebalannya 5–10 sentimeter.14 Butiran debu yang ada di dalam rumah-rumah di Bronggang bisa berukuran kurang dari 10 mikrometer; ukuran kecil yang lebih dari cukup untuk menghasilkan luka bakar serius di saluran pernapasan.15

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 56

Erupsi awal Gunung Merapi dilihat dari Desa Balerante,

Kecamatan Kemalang, Klaten. Pada erupsi selanjutnya, desa ini

terkena terjangan awan panas.

© DWI OBLO

Page 77: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi57

Page 78: Buku Asmaradana Merapi

LETUSAN yang menyasar Dusun Kinahrejo dan Dusun Bronggang masing-masing adalah pembuka

dan penutup dari rangkaian letusan utama Gunung Merapi pada 2010. Surono dari PVMBG dan tim menyebutkan, letusan utama Gunung Merapi pada 2010 terjadi sebanyak enam kali: 26 Oktober (sekitar 17:00 WIB), 30 Oktober (sekitar 24:10–02:00 WIB), 31 Oktober (sekitar 14:30 WIB dan sekitar 15:15 WIB), 1 November (sekitar 10:00 WIB), 3 November (sekitar 15:30 WIB), dan terakhir 5 November (24:05 WIB).16 Jadi, setelah diawali dengan semburan awan panas pada 26 Oktober, aktivitas Gunung Merapi sedikit mereda. Aktivitas erupsi meningkat lagi pada 29 Oktober, merangkak pasti menuju puncak letusan pada 5 November.17

Kepala BPPTKG, Subandriyo, mengatakan, kronologi letusan 2010 mirip dengan kejadian pada 1872. Saat itu, erupsi awal terjadi pada 15 April 1872, kemudian reda selama dua hari, lalu terjadi letusan utama pada 17–20 April 1872. Kawah yang terbentuk antara letusan 1872 dan 2010 hampir sama; berdiameter lima hingga enam

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 58

Kronologi Letusan 100 Tahunan

kali panjang lapangan sepakbola. Selain itu, cara Gunung Merapi meletus pada 2010 juga mirip dengan erupsi pada 1872, yakni erupsi eksplosif tanpa disertai pembentukan kubah lava dan menghasilkan semburan awan panas.18

Menurut peneliti senior Gunung Merapi dari The Pennsylvania State University, Amerika Serikat, Barry Voight, desa-desa yang berada di ketinggian 1.000 meter ke atas hancur karena letusan 1872. Momen ledakan pada 1872 digambarkan bak ledakan meriam, yang dampaknya ke barat terdeteksi hingga Karawang dan Priangan, ke timur hingga Madura dan Pulau Bawean.19 Tak keliru apabila letusan 2010 dianggap sebagai “kejadian 100 tahunan” Gunung Merapi.

Kejadian letusan Gunung Merapi pada 2010 mendapatkan perhatian internasional, yang disambut sikap terbuka oleh Pemerintah Indonesia untuk melakukan pengamatan demi penyelamatan jiwa manusia. Dari situ perlu diketahui bagaimana kronologi erupsi sesuai hasil pengamatan tersebut dan seperti apa dampak

Relawan dan masyarakat mencari beberapa korban yang belum

diketemukan akibat terjangan awan panas pada 26 November

2010 di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulharjo, Kecamatan

Cangkringan, Sleman.

© DWI OBLO

Page 79: Buku Asmaradana Merapi

erupsinya. Surono dan tim membagi setidaknya empat fase kronologi letusan Gunung Merapi pada 2010.20

Pertama, fase intrusi atau penerobosan magma ke dalam batuan atau di antara batuan lain (31 Oktober 2009–26 Oktober 2010). Kedua, fase eksplosif awal (26 Oktober–1 November 2010). Ketiga, fase magmatik atau pergerakan magma hingga menghasilkan serentetan letusan (1–7 November 2010). Keempat, fase penurunan aktivitas erupsi (8–23 November 2010). Setiap fase itu merekam detail aktivitas vulkanis. Di sini akan ditunjukkan letusan-letusan utamanya saja, yang berdampak pada evakuasi warga serta kerusakan desa-desa meluas dan jatuhnya korban meninggal.

Pada fase pertama, tepatnya pada 25 Oktober 2010 pukul 06:00 WIB, status Gunung Merapi tiba pada titik puncaknya, yakni level IV atau berstatus awas. Melihat peningkatan jumlah gempa dan deformasi yang mencapai tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya, PVMBG lantas memberi peringatan bahwa kemungkinan akan terjadi erupsi eksplosif besar. Sekitar sepuluh ribu orang dalam radius 10 kilometer dari puncak Gunung Merapi diarahkan untuk segera menggalakkan evakuasi.

Memasuki fase kedua, peningkatan status awas tersebut terbukti. Sekitar 35 jam setelahnya,

Gunung Merapi meletus eksplosif, sejak pukul 17:02 WIB hingga sekitar pukul 19:00 WIB. Letusan menghasilkan gumpalan debu setinggi 12 kilometer, melepaskan emisi gas belerang dioksida yang lebih besar daripada erupsi 1992 hingga 2007. Dampak aliran piroklastiknya mencapai hingga jarak 8 kilometer melalui badan Kali Gendol dan Kali Kuning. Pada fase inilah, 35 orang yang tidak mau mengikuti evakuasi dari Dusun Kinahrejo menjadi korban meninggal.

Pada fase ketiga, tepatnya pada 3 November 2010 pukul 16:05 WIB, PVMBG memperluas zona evakuasi untuk wilayah barat dan selatan dari 10 menjadi 15 kilometer. Jumlah penduduk yang mengungsi pun melonjak lebih dari 100.000 jiwa. Pukul 17:30 WIB, aliran piroklastik telah meluncur hingga 12 kilometer dari puncak. Esoknya, zona evakuasi untuk sisi barat daya dan barat bertambah luas dari 15 menjadi 20 kilometer.

Pada malam antara 4 dan 5 November, terjadi letusan dengan tinggi kolom abu mencapai 17 kilometer, diikuti aliran piroklastik menyusuri Kali Gendol sejauh 16 kilometer. Letusan ini terjadi beberapa jam setelah zona evakuasi diperluas menjadi 20 kilometer. Desa-desa yang sudah kosong di lereng atas dan tepi aliran sungai (seperti Dusun Srodokan) pun hancur. Aliran

Asmaradana Merapi59

Sebuah bus yang terjebak lahar hujan Kali Putih serta menerjang Desa Jumoyo dan memutuskan jalan utama Yogyakarta - Magelang.

© DWI OBLO

Page 80: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 60

Page 81: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi61

Page 82: Buku Asmaradana Merapi

piroklastik juga menyebar ke kawasan atas lereng bagian barat laut, barat, dan selatan. Sebagian besar penduduk yang kini menghuni rumah bantuan pemerintah adalah mereka yang dulu tinggal di bagian yang bila diamati sekarang, sejauh mata memandang tinggal padang luas.

Fase keempat atau penurunan aktivitas erupsi dimulai sejak 14 November 2010. Zona berbahaya untuk wilayah selatan dan barat turun dari 20 menjadi 15 kilometer, wilayah utara dan timur turun menjadi 10 kilometer. Status mulai turun dari awas menjadi siaga pada 3 Desember 2010, menyusul menjadi waspada pada 30 Desember 2010.

Secara keseluruhan, tercatat 282 kali bahaya lahar di hampir semua sungai yang berhulu dari Gunung Merapi (27 Oktober 2010 hingga 25 Februari 2012). Kejadian lahar sebagian besar terjadi di wilayah barat, terutama ke Kali Putih (55 kali kejadian lahar). Selama proses erupsi, dilaporkan lima belas kali lahar hujan. Terjadinya puluhan aliran lahar telah menyebabkan perubahan geomorfik pada hilir sungai, terutama di Kali Putih, Kali Pabelan, Kali Gendol, dan Kali Opak. Erosi tepian sungai dan genangan lahar merusak 678 rumah (215 rusak total atau terbakar, 463 rusak sebagian), yang sebagian besar terjadi di sepanjang Kali Putih. Dua puluh lima sabo dam dan 12 jembatan tersapu lahar dan

sebagian jalan utama berkali-kali tergenang lahar. Jalan dari Yogyakarta ke Magelang dan Semarang sempat terputus lebih dari 20 kali.

Menurut BNPB, bencana dalam keempat fase itu menyebabkan 367 orang menjadi korban meninggal, 277 luka, dan 410.388 lainnya mengungsi. BNPB menakar, 2.300 rumah rusak. Sebagian rumah rusak yang terkena aliran piroklastik merupakan dampak terbakar dari awan panas, bukan merupakan kerusakan yang dikarenakan tekanan turbulensi aliran awan panas. Temperatur aliran piroklastik yang menyasar benda-benda dan manusia ditaksir mencapai 200 hingga 300 derajat Celcius.

Selain itu, untuk pertama kali, letusan Gunung Merapi mengganggu lalu lintas penerbangan di Yogyakarta. Selama krisis akibat letusan 2010, sekitar 2.000 penerbangan dibatalkan. Sebanyak 1.350 pembatalan terjadi selama masa penutupan bandara dalam kurun lima belas hari, 600 pembatalan terjadi karena tidak terpenuhinya jumlah tiket setelah dibuka lagi jadwal pemesanan.

Dua orang ibu mencoba menyeberang aliran lahar hujan

yang malamnya menerjang Desa Sirahan, Kecamatan Salam,

Magelang.

© DWI OBLO

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 62

Page 83: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi63

Page 84: Buku Asmaradana Merapi

SAAT dan seusai letusan yang memuntahkan awan panas dan menerbangkan debu vulkanis,

bahaya Gunung Merapi berikutnya hadir dalam wujud lahar hujan. Lahar hujan merupakan lahar sekunder dari letusan gunung api.

Menurut Nur Aisyah dan Dwi Indah Purnamawati dari Institut Sains & Teknologi Akprind Yogyakarta, lahar hujan (dikenal dengan istilah “lahar dingin”) awalnya merupakan material gunung api yang belum terkonsolidasi dan terkumpul di bagian puncak dan lereng. Material awan panas itu, dipicu hujan yang turun pada saat atau seusai peristiwa letusan, akan terseret dan bergerak ke bawah melalui lembah dan lereng sebagai aliran pekat dengan densitas tinggi. Karena densitas yang besar dan geraknya dikendalikan oleh tarikan gaya berat dan topografi, lahar hujan mampu mengangkut bongkah-bongkah berukuran besar hingga jarak yang jauh.21

Merekam dari berbagai sumber bacaan, Edouard de Bélizal dari University Paris 1 Panthéon Sorbonne and University Paris-Est Créteil,

Prancis, dan tim menyebutkan bahwa lahar hujan Gunung Merapi merupakan kejadian singkat, yang mudah terbentuk oleh satu atau dua jam hujan deras saja. Pada 1970-an, pengenalan sabo dam di badan sungai yang menjadi daerah aliran lahar hujan menjadikan arus lahar hujan relatif lambat. Pada 1980-an, relatif sedikit korban dan kerusakan yang disebabkan oleh lahar hujan. Jarak luncuran lahar hujan pun tak lebih dari 10 kilometer dari kawah Gunung Merapi. Dari 1987 hingga 2010, tercatat tidak ada korban meninggal dan “hanya” 187 truk terhanyut lahar hujan.22

Namun, letusan Gunung Merapi terbesar setelah satu abad yang terjadi 2010 menghasilkan aliran awan panas (pyroclastic density currents) dan jatuhan letusan (tephra) luar biasa besar, sekitar 0,03 hingga 0,06 kilometer kubik. Material yang tertumpuk di daerah aliran sungai itu bisa tergerus menuju hilir, menyeret hingga sejauh 3.000 meter batu sebesar gajah dewasa sebagai godam perusak apa pun.23

Lahar Hujan dari Bumi dan Langit

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 64

Penduduk sedang bergotong royong membersihkan jalan

akibat abu vulkanis di Muntilan, Kabupaten Magelang.

© DWI OBLO

Page 85: Buku Asmaradana Merapi

Hingga April 2011, menurut rilis BNPB, lahar hujan pasca letusan Gunung Merapi terbukti menyebabkan kerusakan dan kerugian yang tersebar di berbagai titik.24 Di DI Yogyakarta, 24 jembatan putus, 46 rusak berat, 51 bendungan irigasi tak berfungsi, dan 285 hektare lahan pertanian terendam. Di Jawa Tengah, dampaknya lebih besar lagi: 4 orang meninggal dan 168 orang luka. Di Magelang, 3.452 orang mengungsi, yang tersebar di 13 lokasi di 6 kecamatan: Muntilan, Salam, Mungkid, Ngluwar, Srumbung, dan Sawangan.

Kerusakan rumah mencapai 721 unit: 129 hanyut, 307 rusak berat, 129 rusak sedang, dan 156 rusak ringan. Selain itu, bencana lahar hujan menimbulkan kerusakan ruas jalan raya nasional Blabak-Muntilan-Salam di Magelang, 13 ruas jalan raya kabupaten (5 ruas di Klaten, 7 ruas di Magelang, 1 ruas di Boyolali), dan 7 ruas jalan desa (6 ruas di Klaten, 1 ruas di Magelang). Demikian pula dengan jembatan: 10 unit jembatan nasional (8 unit di DI Yogyakarta, 2 unit di Jawa Tengah), 1 unit jembatan provinsi di Magelang, dan 7 unit jembatan desa di Magelang.

BNPB juga memperkirakan, baru seperempat dari total 140 juta meter kubik material hasil letusan Gunung Merapi 2010 yang dialirkan melalui lahar hujan. Lahar hujan ini akan terus terjadi 3–4 tahun berikutnya.

Mencermati dampak kerugian dan kerusakan di atas, sehingga kelihatan proyeksi paparan dampak ke depan, tampak bahwa aliran ke barat Gunung Merapi terdampak lebih besar karena menyimpan 60 persen material, sementara 40 persen material berada di sisi selatan gunung. Di selatan, mengarah ke Kali Gendol dan hulu Kali Opak. Di barat, di antaranya mengarah ke alur Kali Krasak, Kali Putih, dan Kali Pabelan. Sungai-sungai yang dialiri lahar hujan di Magelang itu menghasilkan limpasan ke area-area yang ternyata merupakan alur purba sungai-sungai itu.24

Salah satu sungai yang mengaliri lagi alur purbanya adalah Kali Putih. Kali Putih merupakan sungai yang termasuk dalam sistem hidrologi Kali Progo. Kali Putih menyatu dengan Kali Blongkeng di kawasan Blongkeng, Muntilan, kemudian bergabung dengan Kali Progo. Setelah Kali Pabelan, Kali Putih dan Kali Blongkeng merupakan sungai dengan luasan daerah aliran terbesar dalam sistem hidrologi Kali Progo; berturut-turut 110, 68, dan 26 kilometer persegi.

Meskipun volume endapan piroklastik yang berpotensi menjadi lahar hujan pada Kali Putih bukanlah yang paling besar di antara sungai-sungai aliran lahar hujan lain, Kali Putih merupakan daerah aliran yang paling sering dilanda banjir lahar

Asmaradana Merapi65

Seorang relawan membantu seorang ibu menyeberangi Kali Putih, yang masih dialiri lahar hujan setelah malam sebelumnya meluluhlantakkan beberapa rumah di sepanjang aliran sungai tersebut, seperti Desa Jumoyo, Desa Seloboro, dan Desa Sirahan.

© DWI OBLO

Page 86: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 66

Page 87: Buku Asmaradana Merapi

dingin pasca erupsi Gunung Merapi. Pada 2011, banjir lahar hujan dari Kali Putih menyumbang kerusakan serius ke wilayah Desa Jumoyo dan Desa Sirahan di Kecamatan Salam, Magelang. Di Kali Putih, bumi (material dari dalam gunung api) dan langit (air) bertemu dalam pangkuan, yang berpotensi melahirkan petaka bagi manusia.

Aisyah dan Purnamawati menguraikan bagaimana Kali Putih meluapkan material lahar hujan pada 2011 sehingga melahap sebagian Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Magelang. Pengukuran mereka terhadap lereng dari hulu sabo dam Kali Putih menunjukkan bahwa lahar hujan telah mengubah morfologi sungai dan dibarengi dengan laju sedimentasi (penumpukan materiallahar) yang sangat cepat. Hal itu menyebabkan pendangkalan dasar sungai sehingga posisi dasar sungai di beberapa titik pun menjadi lebih tinggi daripada permukiman penduduk, seperti terjadi di Gempol.26

Hasil penelitian Suyitno Hadi Putro dari Universitas Negeri Yogyakarta menegaskan bahwa kapasitas tampung semua sungai yang berhulu di Gunung Merapi, meliputi Kali Krasak, Kali Batang, Kali Blongkeng, Kali Bebeng, Kali Woro, Kali Gendol, Kali Kuning, Kali Pabelan, Kali Senowo, Kali Trising, Kali Boyong, dan Kali Putih, adalah 56.802 x 103 meter kubik

sehingga tak mampu menampung materi hasil letusan 2010. Akibatnya, pada zona sedimentasi lahar hujan Kali Putih, yang merupakan tempat parkir lahar dikarenakan tingkat kemiringan yang rendah (kurang dari 3 derajat), terjadi limpasan material lahar.27

Limpasan lahar hujan Kali Putih yang menyasar permukiman warga Gempol terjadi dua kali, yakni pada 3 dan 6 Januari 2011. Mengingat luas luapan bahaya lahar dingin dari Kali Putih, Gempol mengalami kerusakan paling parah.28 Pihak dusun sendiri mencatat kerusakan itu: 43 rumah hanyut, 23 rumah rusak berat, 21 rumah rusak sedang, dan 3 rumah rusak ringan. Hanya 35 rumah yang tidak rusak. Sebelum itu, pada 16 Desember 2010, Pasar Desa Jumoyo telah dihempaskan oleh material aliran lahar, juga dari Kali Putih.

Menurut Kepala Dusun Gempol, Sudiyanto, kawasan Gempol memang masuk akal terkena limpasan lahar hujan. Menurutnya, Kali Putih dulu dangkal, sempit, dan berkelok. Akibatnya, dari Kali Putih, limpasan melewati jalan raya Yogyakarta-Semarang, kemudian masuk dari sisi utara dusun. Material lahar masuk hingga 200 meter jika dihitung dari tepi Kali Putih. Akibat banjir lahar tersebut, warga Gempol menjadi penyintas di berbagai lokasi pengungsian.29

Asmaradana Merapi67

Lahar hujan di Kali Boyong yang memutuskan jalan dari Kaliurang menuju Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman.

© DWI OBLO

Page 88: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 68

Page 89: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi69

Page 90: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 70

Page 91: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi71

1 Kisah evakuasi Mbah Maridjan ini disarikan dan ditulis ulang dari catatan Nawa Murtiyanto, Staf Subbagian Perencanaan dan Evaluasi BPBD Sleman, yang berjudul “Kisah Kecil di Kinah”. Kisah itu termuat dalam blog http://bagasaskara.wordpress. com/2011/10/27/kisah-kecil-di-kinah/Pemuatan kembali di buku ini dilakukan melalui persetujuan penulis.

2 Igan Supriatman Sutawidjaja (2013) “Directed Volcanic Blast as a Tragedy of October 26th, 2010 at Merapi Volcano, Central Java”, Indonesian Journal of Geology 8 (3).

3 Sutawidjaja (2013), hal. 137.

4 Subandriyo (2011) “Sejarah Erupsi Gunung Merapi dan Dampaknya terhadap Kawasan Borobudur”, dalam Menyelamatkan Candi Borobudurdari Erupsi Merapi (Magelang: Balai Konservasi Peninggalan Borobudur), hal. 88.

5 Kisah Totok ini dihimpun dari hasil wawancara pada 2 Desember 2012 dan 9 Januari 2014.

6 Sutawidjaja (2013), hal. 137.

7 Estuning Tyas Wulan Mei, Franck Lavigne,Adrien Picquout, Edouard de Bélizal, Daniel Brunstein, Delphine Grancher, Junun Sartohadi, Noer Cholik, Céline Vidal (2013) “Lessons Learned from the 2010 Evacuations at Merapi Volcano”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 261, hal. 356.

8 Mei dan kawan-kawan (2013), hal. 359.

9 Mei dan kawan-kawan (2013), hal. 359.

10 S. Jenkins, J.-C. Komorowski, P.J. Baxter, R. Spence, A. Picquout, F. Lavigne, Surono (2013) “The

Page 92: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 72

Merapi 2010 Eruption: An Interdisciplinary Impact Assessment Methodology for Studying Pyroclastic Density Current Dynamics”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 261, hal. 322.

11 Jenkins dan kawan-kawan (2013), hal. 325.

12 Petrasa Wacana (2011) “Rekonstruksi Akses dan Kontrol Lahan terhadap Aset Penghidupan Masyarakat Pasca Bencana Erupsi Gunungapi Merapi”, Makalah hasil penelitian tesis di Universitas Gadjah Mada yang disajikan dalam Konferensi Nasional Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) VII di Yogyakarta, 5–8 Desember 2011.13 Jenkins dan kawan-kawan (2013), hal. 325.14 Jenkins dan kawan-kawan (2013), hal. 326.

15 D.E. Damby, C.J. Horwell, P.J. Baxter, P. Delmelle, K. Donaldson, C. Dunster, B. Fubini, F.A. Murphy, C. Nattrass, S. Sweeney, T.D. Tetley, M. Tomatis (2013) “The Respiratory Health Hazard of Tephra from the 2010 Centennial Eruption of Merapi with Implications for Occupational Mining of Deposits”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 261, hal. 385.16 Surono, P. Jousset, J. Pallister, M. Boichu, M.F. Buongiorno, A. Budisantoso, F. Costa, S. Andreastuti, F. Prata, D. Schneider, L. Clarisse, H. Humaida, S. Sumarti, C. Bignami, J. Griswold, S. Carn, C. Oppenheimer, F. Lavigne (2012) “The 2010 Explosive Eruption of Java’s Merapi Volcano—A ‘100-Year’ Event”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 241–242, hal. 123.

17 Subandriyo (2011), hal. 94.

18 Subandriyo (2011), hal. 94.

19 B. Voight., E.K. Constantine, S. Siswowidjoyo, R. Torley (2000) “Historical Eruptions of Merapi Volcano, Central Java, Indonesia, 1768–1998”, Journal of Volcanology and Geothermal Research 100, hal. 83.

20 Penjelasan mengenai empat fase letusan Gunung Merapi dalam delapan paragraf berikutnya meringkas dan menerjemahkan beberapa bagian dalam artikel Surono dan kawan-kawan (2012), hal. 124–129.

21 Nur Aisyah dan Dwi Indah Purnamawati (2012) “Tinjauan Dampak Banjir Lahar Kali Putih, Kabupaten Magelang Pasca Erupsi Merapi 2010”, Jurnal Teknologi Technoscientia 5 (1), hal. 21.

22 E. de Bélizal, F. Lavigne, D.S. Hadmoko, J.-P. Degeai, G.A. Dipayana, B.W. Mutaqin, M.A. Marfai,M. Coquet, B. Le Mauff, A.-K. Robin, C. Vidal, N. Cholik, N. Aisyah (2013) “Rain-Triggered Lahars Following the 2010 Eruption of Merapi Volcano,Indonesia: A Major Risk”, Journal of Volcanology andGeothermal Research 261, hal. 330.

23 de Bélizal dan kawan-kawan (2013), hal. 331.

24 BNPB (2011) “Ancaman Lahar Dingin Merapi Terus Berlangsung”, pers rilis pada 29 April 2011 pukul 21.00 WIB.

25 Helmy Murwanto, Darwin A. Siregar, dan Ananta Purwoarminta (2013) “Jejak Erupsi Gunung Merapi di Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah”, Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi 4 (2), hal. 141–146.

26 Aisyah dan Purnamawati (2012), hal. 27.

27 Suyitno Hadi Putro (2011) “Dampak Bencana Aliran Lahar Dingin Gunung Merapi Pasca Erupsi di

Kali Putih”, hal. 108.

28 Fahrul Hidayat dan Iwan Rudiarto (2013) “Pemodelan Resiko Banjir Lahar Hujan pada Alur Kali Putih Kabupaten Magelang”, Jurnal Teknik PWK 2 (4), hal. 900.

29 Setelah meninggalkan lokasi pengungsian, warga Gempol menempati hunian sementara yang disediakan pemerintah di Lapangan Desa Jumoyo sejak Mei 2011. Di situlah warga bertahan dengan berbagai bantuan, hingga akhirnya mereka mendengar rencana relokasi. Setelah rentetan peristiwa erupsi dan lahar hujan, setiap bentang 300 meter dari bibir sungai yang berhulu di puncak Gunung Merapi dianggap sebagai kawasan larang huni bagi warga, termasuk kawasan Gempol.

Page 93: Buku Asmaradana Merapi
Page 94: Buku Asmaradana Merapi
Page 95: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi75

Page 96: Buku Asmaradana Merapi

Mulai Bergerak

BAGIAN TIGA

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 76

Page 97: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi77

j

““

Solidaritas, yang sering tak mengenal sekat, menjadi

modal terbukanya dapur umum sebelum posko pengungsian

menyediakannya. Para relawan membantu membersihkan

reruntuhan, juga menampung para pengungsi. Para penyintas

pun dapat segera bangkit di tengah kepanikan. Ini membuka peluang

bagi rentetan upaya pemulihan pascabencana.

Page 98: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 78

Page 99: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi79

Page 100: Buku Asmaradana Merapi

BILA proses evakuasi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah, kerja pengungsian setali

tiga uang. Watak dan besaran letusan Gunung Merapi 2010, yang relatif baru bagi sebagian warga lereng Gunung Merapi, membuat mobilisasi pengungsi berlangsung berulang kali. Bagi kebanyakan warga penyintas, perpindahan pengungsian tidak hanya terjadi sekali. Mereka berpindah-pindah lokasi pengungsian karena mengikuti radius zona bahaya yang ditetapkan pemerintah.

Awalnya, zona bahaya ditetapkan 5 kilometer, kemudian diperluas menjadi 10 kilometer, dan selanjutnya meluas lagi 15–20 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Perluasan zona bahaya mengikuti ancaman letusan Gunung Merapi dari waktu ke waktu. Arus pengungsi kemudian membeludak saat terjadi letusan puncak pada Jumat, 5 November 2010. Jumlah pengungsi menembus angka 396.407 orang.

Pengungsi menyebar ke berbagai wilayah, menjauh dari titik letusan Gunung Merapi. Di DI Yogyakarta

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 80

Kepanikan Masa Mengungsidan Penanganan Dampak Erupsi

(DIY), pengungsi menyebar ke wilayah Kota Yogyakarta, Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo. Di Jawa Tengah, ratusan ribu warga mengungsi ke Solo, Sukoharjo, Klaten, Salatiga, Magelang, hingga Wonosobo. Bahkan, mendengar rumor bahwa erupsi akan menutup kawasan dalam radius 60 kilometer, ribuan warga sontak meninggalkan DI Yogyakarta dengan berbagai cara.

Di DI Yogyakarta, pemerintah menyiapkan sejumlah posko utama seperti Stadion Maguwoharjo, Gedung Olah Raga (GOR) Pangukan, Youth Center, serta Jogja Expo Center. Di luar posko resmi pemerintah, banyak pengungsi yang menghuni balai desa, kantor kecamatan, gedung sekolah, dan fasilitas umum lain. Ledakan pengungsi ini memaksa nyaris seluruh institusi pendidikan serentak meliburkan aktivitas dan menyediakan fasilitas mereka untuk dijadikan posko pengungsian. Tak kurang tujuh belas perguruan tinggi di DI Yogyakarta, negeri maupun swasta, menjadi posko pengungsian mandiri, di luar posko utama yang diurus pemerintah.

Penduduk di Dusun Tunggularum, Desa Wonokerto,

Kecamatan Turi, Sleman, diangkut truk untuk mengungsi

saat status Gunung Merapi diubah statusnya menjadi awas.

© DWI OBLO

Page 101: Buku Asmaradana Merapi

Total terdapat 687 titik pengungsian di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Namun, ketika warga mengungsi dari satu tempat ke tempat lain yang lebih aman, berbagai persoalan muncul, diantaranya perbedaan cara pandang antara pemerintah dan pengungsi mengenai skala prioritas, yang dampaknya langsung dirasakan para penyintas.

“Baru sekarang, setelah tiga tahun berlalu, saya tidak lagi menitikkan airmata menceritakan pengalaman kami. Bayangkan, kami bersama warga sudah membawa 300-an sapi, dengan biaya sendiri, malah dibilang, ‘Nek kowe luweh abot sapimu, yo wis’ (Kalau kamu lebih peduli sapimu, ya sudah). Pemerintah tidak bertanggung jawab. Logistik banyak tersedia di kantor kecamatan, tetapi dikunci. Kami gak bisa masuk,” demikian Sukiman, warga penyintas asal Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, mengenang masa-masa erupsi Gunung Merapi 2010.1

Situasi saat itu memang di luar dugaan banyak kalangan. Di Klaten, misalnya, pemerintah kabupaten awalnya hanya menyiapkan lokasi pengungsian untuk tiga desa, yaitu Balerante, Sidorejo, dan Tegalmulyo. Tiga desa di Kecamatan Kemalang itulah yang berbatasan langsung dengan Gunung Merapi. Pengungsi dari ketiga desa tersebut ditempatkan

di Desa Bawukan, sekitar 9 kilometer dari Balerante. Namun, pasca erupsi 5 November 2010, pengungsi mengalir dari beberapa kecamatan.

Terpencarnya para perangkat desa, yang menyebabkan kelumpuhan sistem layanan publik, membuat penanganan pengungsi menjadi kian kacau. Parti, warga penyintas asal Dusun Nitiksari, Desa Balerante, misalnya. Setelah dipindahkan dari pengungsian di Desa Bawukan, Parti dan keluarga serta rombongan sekitar 200 orang berkali-kali mengalami penolakan di tempat pengungsian lain. “Sedih. Sudah tahu orang susah kok dilempar ke mana-mana,” kata ibu dua anak ini.2 Apalagi, menurutnya, banyak pengungsi yang membawa serta anak yang masih balita, serta orang lanjut usia dan difabel (warga yang mengalami kelumpuhan setelah jatuh, harus dibopong untuk berpindah tempat) harus ikut berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Pada letusan pertama 26 Oktober 2010, pemerintah daerah terlihat cukup tanggap dalam menangani pengungsi. Tetapi, pada letusan puncak 5 November 2010, dimana zona bahaya diperluas 20 kilometer dari puncak Gunung Merapi, pemerintah daerah mulai kewalahan menghadapi ledakan jumlah pengungsi dan ketidakpastian

Asmaradana Merapi81

Sorang ibu sedang meninabobokan bayinya di pengungsian Stadion Maguwoharjo, Kabupaten Sleman.

© DWI OBLO

Page 102: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 82

Page 103: Buku Asmaradana Merapi

kapan letusan Gunung Merapi berhenti. Pemerintah daerah tidak lagi bisa mengandalkan rencana kontinjensi karena tidak dirancang untuk menghadapi letusan besar seperti terjadi pada hari itu.3

“Pemerintah Kabupaten Klaten sebelumnya hanya memprediksi sebanyak 5.727 pengungsi yang berlokasi di radius 10 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Namun, seiring perluasan daerah rawan bencana hingga radius 20 kilometer, jumlah pengungsi menjadi lima belas kali lipat. Persebaran pengungsi di enam belas kecamatan membuat Pemerintah Kabupaten Klaten kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan,” kenang Joko Rukminto, Koordinator Posko Induk Pengungsian Klaten (kini Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Klaten).4

Joko Rukminto menambahkan, belum terbentuknya BPBD Klaten saat itu ikut memengaruhi kesiapan pemerintah daerah dalam menangani bencana. Penanganan bencana yang dilakukan melalui Satuan Pelaksana Kesbangpolinmas (Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat) Klaten belum benar-benar tertata. “Sing mudeng, nyambut gawe. Sing ora mudeng ya mung nonton,” kata Joko. ‘Yang mengerti (tugas) ya bekerja. Yang tidak mengerti ya hanya diam menonton.’5

Situasi panik ini dimanfaatkan partai politik, organisasi massa, dan perusahaan-perusahaan tak jelas untuk menebar parade spanduk, baliho, dan papan reklame memamerkan bantuan untuk para pengungsi di setiap sudut jalan dan posko pengungsi. Gubernur DI Yogyakarta sampai merasa perlu mengingatkan partai politik, organisasi massa, dan perusahaan-perusahaan itu untuk menurunkan spanduk dan baliho. “Saya mohon maaf, agar tidak ada bendera-bendera mana pun dan kami mensyukuri semua bantuan,” kata Sri Sultan Hamengkubuwana X.6

Sementara itu, warga DI Yogyakarta yang prihatin terhadap nasib pengungsi, dengan inisiatif sendiri mendirikan dapur umum; menyiapkan nasi bungkus bagi ratusan ribu pengungsi. Aktivitas ini disampaikan melalui layanan pesan singkat seluler dengan sebutan “Gerakan Nasi Bungkus Yogya”.7 Tak terhitung berapa jumlah dapur umum yang dibangun warga DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, salah satunya dibentuk warga Dusun Kadisoka, yang terletak kurang dari 1 kilometer dari Stadion Maguwoharjo.8

“Bantuan makanan dan minuman itu sangat berarti bagi para pengungsi karena kami sejak malam tadi belum makan. Padahal, saat itu dapur umum belum berdiri,” kata Wawan, warga Desa Wukirsari, Kec. Cangkringan,

Asmaradana Merapi83

Beberapa kelompok sukarelawan yang potong rambut secara gratis di pengungsian Stadion Maguwoharjo, Kabupaten Sleman.

© DWI OBLO

Page 104: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 84

Page 105: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi85

Page 106: Buku Asmaradana Merapi

Sleman, yang mengungsi di StadionMaguwoharjo. Ketika pemerintahmaupun warga belum mendirikan dapurumum di tempat pengungsian, wargakampung dan perumahan sudah menyediakannya. Mereka inilah yang mengirimkan nasi bungkus ke tempat-tempat pengungsian.

Sebagian pengungsi berada di posko pengungsian selama kurang lebih dua bulan (26 Oktober hingga 23 Desember 2010), sesuai masa tanggap darurat yang ditetapkan pemerintah. Selama itu, praktis seluruh kegiatan perekonomian para pengungsi terhenti. Sebagian kehilangan mata pencaharian akibat terhentinya proses produksi maupun potensi pendapatan.

Sebuah survei menyebutkan, penurunan sektor ekonomi produktif sesaat setelah bencana dibanding sebelumnya mencapai 71 persen di area terdampak letusan langsung,33,7 persen di area terdampak letusan, dan 12 persen di area terdampak lahar hujan.9 Di wilayah Sleman, diperkirakan 900 usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari 2.500 UMKM berhenti total. Setidaknya 1.548 ekor ternak mati, sekitar 1.272 ton ikan gagal panen, dan 2.271 rumah rusak.10 Proporsi kerusakan sawah dan lahan produktif milik warga sangat parah (80–100 persen) di semua kategori wilayah terdampak bencana. Ini mengindikasikan bahwa

hilangnya sumber pendapatan dari usaha pertanian merupakan sumber gangguan ekonomi utama di semua wilayah terdampak bencana.

PEMERINTAH menetapkan langkah-langkah penanganan dampak bencana Gunung Merapi dalam tiga tahap. Pertama, tahap tanggap darurat: sejak terjadi letusan hingga Desember 2010. Kedua, tahap pemulihan awal: sejak awal Januari hingga akhir April 2011. Ketiga, tahap rehabilitasi dan rekonstruksi: mulai Mei 2011. Bersama ketetapan ini, berbagai lembaga swasta, perguruan tinggi, dan organisasi non-pemerintah (ornop) ikut berpartisipasi dalam upaya pemulihan warga korban bencana Gunung Merapi.11

Pada masa pemulihan awal, saat para pengungsi mulai kembali ke desa asal masing-masing, Kementerian Sosial melalui pemerintah kabupaten memberikan bantuan uang kontan yang disebut “jatah hidup” (jadup) sebesar Rp 5.000 per jiwa per hari. Jadup diberikan selama tiga puluh hari, terhitung mulai 11 Januari 2011. Meski pembagian jadup banyak melenceng dari rencana dan janji pemerintah, bagi sebagian warga, bantuan ini cukup berarti untuk menutup sebagian kebutuhan hidup.

Di samping jadup, selama masa pemulihan awal, pemerintah memberi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 86

Warga sedang melaksanakn salat Jumat di pengungsian di

Desa Glagahharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.

© DWI OBLO

Page 107: Buku Asmaradana Merapi

upah kepada warga yang bekerja untuk membersihkan dan memperbaiki fasilitas umum di kawasan terdampak letusan Gunung Merapi. Pemberian upah (cash for work) berlangsung sejak Desember 2011. Upah harian ini mencapai Rp 30.000 per hari. Setiap pekerja diberi kesempatan bekerja selama dua puluh hari dalam satu bulan.

Menyusul masa pemulihan awal adalah tahap rehabilitasi dan rekonstruksi. Banyak lembaga berpartisipasi dalam proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Salah satu lembaga internasional yang intensif memberikan dukungan bagi korban penyintas Gunung Merapi adalah United Nations Development Programme (UNDP) lewat proyek Disaster Risk Reduction based Rehabilitation and Reconstruction (DR4), subproyek Merapi Recovery Response (MRR). Proyek yang mendapat dukungan UNDP dan BNPB ini bekerjasama dengan BPBD Kab. Sleman, BPBD Kab. Magelang, BPPTKG, beberapa organisasi non pemerintah, dan Universitas Gadjah Mada (UGM).

Dukungan pemulihan yang dilakukan oleh DR4-MRR merupakan salah satu upaya kecil dari upaya-upaya besar yang dilakukan oleh pemerintah melalui BNPB dalam rehabilitasi dan rekonstruksi pasca erupsi Merapi.

Asmaradana Merapi87

Petugas sedang memeriksa bantuan dari para dermawan yang dikumpulkan di gudang penyimpanan di pengungsian Stadion Maguwoharjo, Kabupaten Sleman.

© DWI OBLO

Page 108: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 88

Page 109: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi89

Page 110: Buku Asmaradana Merapi

MENJEMBATANI kesenjangan dalam pelaksanaan Rencana Aksi (Renaksi) Rehabilitasi

dan Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Gunung Merapi 2011–2013 dengan kebutuhan mendesak para penyintas merupakan itikad utama dari DR4-MRR. Koordinator Tim DR4-MRR, Rinto Andriono mengatakan, setidaknya ada empat kesenjangan yang dimaksud: kesenjangan waktu, kesenjangan koordinasi, kesenjangan kebijakan, dan kesenjangan kapasitas.12

Pertama, kesenjangan waktu. Setelah letusan Gunung Merapi 2010 berlalu, masa pemulihan awal ditetapkan permulaan Januari 2011. Sementara itu, dokumen Renaksi baru dirumuskan Juli 2011. Dana untuk implementasi Renaksi baru bisa digunakan pada September 2012. Ada jeda waktu lebih dari satu tahun antara berakhirnya masa tanggap darurat dan pemakaian dana Renaksi. Imbasnya, kegiatan Renaksi untuk sektor penghidupan (livelihood), misalnya, mulai dilaksanakan September 2012, sementara dana program yang sama baru turun pada 2013.

Kedua, kesenjangan kebijakan. Renaksi dibuat hanya untuk merespons dampak kejadian letusan. Padahal, kejadian lahar hujan juga mengancam kehidupan warga. DR4-MRR sebenarnya telah melakukan pengkajian kebutuhan pascabencana (Post Disaster Needs Assessment, PDNA) terhadap bencana lahar hujan. Walaupun, pada akhirnya tidak ada dokumen rencana aksi lahar hujan yang diterbitkan.

Beberapa hal dalam penyusunan Renaksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Erupsi Gunung Merapi 2011-2013 dapat menjadi pembelajaran bagi penyusunan rencana aksi di masa yang akan datang. Misalnya, rencana aksi harus merujuk pada peraturan tentang pembagian urusan antara pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah provinsi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Pengalaman Rencana Aksi Pascabencana Gunung Merapi, yang kurang memperhatikan

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 90

Merapi Recovery Response (MRR)

Rinto Andriono, Koordinator Tim DR4-MRR, menjelaskan tentang

celah yang ingin dijembatani oleh UNDP melalui subproyek MRR.

© ARMIN HARI

Page 111: Buku Asmaradana Merapi

memerhatikan ketentuan dalam peraturan tersebut, berakibat pada kendala-kendala dalam implementasi program pemulihan. Pada tahun anggaran 2012 saat rencana aksi akan mulai berjalan, DR4-MRR memfasilitasi pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi untuk melakukan konsolidasi dan penyesuaian atas rencana aksi yang sudah dibuat.

Ketiga, kesenjangan koordinasi. Seyogianya pemerintah merupakan penanggung jawab utama dari seluruh upaya pengurangan risiko bencana, baik upaya yang dilaksanakan organisasi non pemerintah, swasta, maupun warga. Tetapi, peran ini belum sepenuhnya dijalankan dan kelihatannya pemerintah tidak yakin dapat mengembannya. Bantuan bibit, misalnya, sudah disebarkan ketika infrastruktur irigasi belum pulih. Salah satu kondisi yang menyebabkan terjadinya kesenjangan koordinasi adalah keterlambatan pembentukan BPBD provinsi dan kabupaten (BPBD terbentuk setelah terjadi erupsi Gunung Merapi 2010).

Keempat, kesenjangan kapasitas, dalam hal ini kapasitas pemerintah menyelenggarakan upaya pengurangan risiko bencana. Kendati undang-undang penanggulangan bencana sudah ada sejak 2007, hingga terjadi erupsi Gunung Merapi 2010, pembentukan BPBD yang merupakan amanat undang-undang tersebut

belum juga direalisasikan. Padahal, pemerintah sebenarnya tahu bahwa letusan Gunung Merapi pasti berulang.

Ketidaksiapan kelembagaan ini terjadi di Sleman dan Klaten. Hal itu berdampak pada banyak jenis kurangnya kapasitas kesiapsiagaan. Salah satunya, data kependudukan warga seputar Gunung Merapi, yang belum diperbaharui pada saat erupsi Gunung Merapi 2010. Padahal, dalam proses penanganan bencana, data-data mutakhir kependudukan mutlak diperlukan. Menurut Dani Alfah, peneliti SurveyMeter, yang mengawal pelaksanaan studi longitudinal pasca erupsi Gunung Merapi 2010, hasil studi mereka akan diupayakan menjadi rujukan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan-kebijakan terkait Gunung Merapi.13

Untuk memperkuat kinerja pemerintah, khususnya terkait data dan informasi tingkat desa, DR4-MRR mengembangkan beberapa program, diantaranya Sistem Informasi Desa (SID) dan paseduluran desa atau persaudaraan desa (sister village). Kedua kegiatan ditujukan untuk merespons dua kesenjangan: kesenjangan koordinasi dan kesenjangan kebijakan.14 Begitu juga dengan audit sosial, yang akan membantu koordinasi dengan cara memberi umpan balik terhadap penerapan program, baik program

Asmaradana Merapi91

Untuk mengisi gap di bidang kapasitas, DR4-MRR bersama SurveyMeter melakukan Studi Longitudinal di beberapa kawasan Gunung Merapi. Pada tahun 2014 ini sudah memasuki kegiatan survei tahapan ke dua.

© ARMIN HARI

Page 112: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 92

Page 113: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi93

Page 114: Buku Asmaradana Merapi

yang dilakukan pemerintah maupun swasta. Sementara itu, penerapan studi longitudinal dan analisis rantai nilai (value chain analysis) digunakan untuk membantu perencanaan dan perumusan kebijakan oleh pemerintah.

SID yang bagus akan menyediakan informasi-informasi demografi, sosial, dan informasi lain yang sangat berguna bagi desa yang menjadi partner persaudaraan desa. Data tersebut akan berguna untuk mengantisipasi persiapan-persiapan pengungsian bila diperlukan. Sementara itu, audit sosial juga akan membutuhkan data SID untuk memudahkan pelaksanaan proyek pembangunan. Data SID akan sangat membantu pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan presisi kuat para penerima manfaat, dan akhirnya memudahkan proses audit sosial karena, setidaknya, bantuan tidak salah sasaran.

Melalui subproyek MRR, DR4 mendefinisikan perannya sebagai katalisator. Artinya, mendukung pemerintah pada proses rehabilitasi dan rekonstruksi dengan mengisi kesenjangan, mempercepat pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi serta mendukung pemerintah dalam koordinasi. Selainitu, proyek ini juga memberi contoh. Jika warga dan pemerintah

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 94

Setelah menempati hunian tetap, ibu-ibu yang sebelumnya

tergabung dalam kelompok-kelompok arisan dan pengajian

di desa sebelumnya, masih menjalankan kegiatan-kegiatan

sosial mereka. Dengan cara ini, solidaritas dan semangat

kegotongroyongan di antara warga tetap terbangun dan terpelihara.

© ARMIN HARI

menganggap contoh kegiatan ini baik,mereka dapat melakukan replikasiuntuk mempercepat proses rehabilitasidan rekonstruksi. Misalnya, setelah dikerjakan dalam kerangka DR4-MRR,SID akan ditindaklajuti dan didanai BNPB. Begitu juga sistem persaudaraandesa yang didukung SID, akandireplikasi di seluruh kabupatendi Provinsi Jawa Tengah setelahditerapkan di Kabupaten Magelang. Studi longitudinal pun kini dilanjutkanke tahap kedua.15

Page 115: Buku Asmaradana Merapi

Cakupan Bidang dan Hasil yang Diharapkan DR4-MRR

Cakupan bidang DR4-MRR:• Pengembangan penghidupan

berkelanjutan (sustainable livelihood) dengan pendekatan analisis rantai nilai (value chain analysis);

• Pengembangan Sistem InformasiDesa (SID);

• Pemantauan dan evaluasi melaluiaudit sosial (social audit);

• Kebijakan dan koordinasi (integrasikomponen pengurangan risiko becana terhadap pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi);

• Studi Longitudinal.

Hasil yang diharapkan:• Pulihnya kehidupan warga yang

didukung peningkatanpendapatan melalui pendekatanrantai nilai (value chain analysis);

• Meningkatnya kemampuanpemerintah daerah dalammengelola, mengoordinasikan,dan mengarusutamakan programpengurangan risiko bencanadengan berbagai pemangkukepentingan;

• Menguatnya ketangguhan(resilence) warga dan jaringanantarwarga serta semuapemangku kepentingan yangrelevan.

Sumber: Project Proposal Recovery Response to Merapi Volcanic Eruption Disaster in Central Java and DI Yogyakarta (UNDP, 2010).

Asmaradana Merapi95

Sebagian pengungsi perempuan di Stadion Maguwoharjo, Kabupaten Sleman.

© DWI OBLO

Page 116: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 96

Page 117: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi97

Page 118: Buku Asmaradana Merapi

MENGERJAKAN program penghidupan berkelanjutan, DR4-MRR berkerjasama

dengan Paluma, Institute for Promoting Sustainable Livelihood Approach (Inprosula), Yayasan Pengembangan dan Peningkatan Sumber Daya Ummat (YP2SU), dan Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP). Paluma melaksanakan program di Desa Jumoyo, Magelang. Inprosula di Desa Sirahan, Magelang. YP2SU di kawasan Huntap Pagerjurang, Sleman. LPTP di Desa Glagaharjo, Sleman dan Desa Balerante, Klaten.

Jumoyo dan Sirahan, sebagaimana diuraikan sebelumnya, termasuk kawasan terdampak lahar hujan. Sementara itu, Kepuharjo dan Glagaharjo tergolong kawasan paling parah terdampak erupsi. Setelah erupsi Gunung Merapi, sebagian penduduk Kepuharjo dan Glagaharjo pindah ke huntap, baik huntap yang dibangun pemerintah maupun huntap mandiri yang tersebar di beberapa desa di Cangkringan. YP2SU melaksanakan program di kawasan huntap, sementara LPTP tetap di desa

Beberapa bulan setelah erupsi, warung-warung penjaja makanan

ringan dan minuman hangat dibangun kembali oleh warga di

sekitar lereng Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 98

Program Penghidupan yang Berkelanjutan

asal warga.

Dalam melaksanakan program, ornop mitra DR4-MRR menggunakan pendekatan yang sama, mulai dari mengenali potensi sumberdaya alam dan kapasitas masyarakat serta produk yang sebelumnya telah dihasilkan masyarakat, kemudian mengembangkan produk tersebut dengan bentuk pengelolaan, teknologi, dan kemasan baru. Ornop pendamping lantas memfasilitasi pembentukan kelompok atau koperasi sebagai media bagi warga untuk mengakses pasar. Di samping itu, bantuan dari DR4-MRR dan ornop mitranya kepada warga berbentuk modal awal, alat, dan akses informasi dan pengetahuan. Sektor usaha yang didukung adalah peternakan, perikanan, pertanian tanaman pangan, dan produk pangan dan minuman olahan (keripik, slondok, jahe cepat saji, dan wedang uwuh).16

YP2SU membuka pos penyaluran bantuan darurat (posko bantuan) di dua puluh dua titik di kawasan terdampak letusan Gunung Merapi di Sleman. Ketika status darurat berakhir,

Page 119: Buku Asmaradana Merapi

YP2SU melanjutkan dengan pendampingan di beberapa lokasi pengungsian, salah satunya Huntap Pagerjurang. Kegiatan pendampingan dilakukan dengan membentuk kelompok usaha bekerjasama dengan Dinas Sosial. YP2SU juga mendorong anggota kelompok untuk memproduksi makanan dan minuman olahan, seperti wedang uwuh dalam kemasan. Produksi wedang uwuh dipasarkan melalui Koperasi Sami, yang belakangan membentuk tim promosi desa. Tim promosi desa membuka gerai di Huntap Pagerjurang.

Di Glagaharjo, menurut Kepala Desa Suroto, sejak warga berhasil melakukan pembersihan lahan,17 mereka langsung mengolah lahan dengan menanam tanaman pangan, seperti padi, ganyong (umbi-umbian), dan sayuran. Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Melati Merapi Bangkit mengatakan, sejak 2006, di Dusun Kalitengah Lor sebenarnya telah terbentuk dua kelompok produsen makanan olahan yang rutin memproduksi tempe kedelai, keripik pisang, jahe instan, donat, bolu kukus, dan karamel. Letusan Gunung Merapi 2010 menghancurkan kegiatan usaha ini. Ketika LPTP tiba ke Glagaharjo, kelompok ini didorong untuk bangkit lewat berbagai pelatihan, terutama teknologi pengolahan tepung ganyong dan pemanfaatan ampas tepung ganyong menjadi pakan ternak.

Tak lama setelah itu, beberapa warga yang masih memiliki tabungan mulai membeli sapi. LPTP merespons dengan memberikan pelatihan budidaya hijauan pakan ternak, pembuatan silase (pengawetan pakan), teknik dekomposer (memelihara bakteri pengurai untuk pupuk organik), dan pembuatan pupuk organik. Limbah ternak dan pupuk organik digunakan untuk mengembangkan pertanian pangan, khususnya sayur-mayur seperti gambas, cabe, kangkung, buncis, kacang panjang, dan terong.

Setiap dusun di Glagaharjo juga mengaktifkan kembali lumbung pangan bersama. Dengan yakin, Suroto mengatakan, “Saat ini kehidupan warga di tiga dusun teratas jauh lebih baik daripada kondisi sebelum erupsi.”18 Fasilitator lapangan LPTP Titik Ristiyawati mengakui, “Meskipun kehilangan rumah dan harta benda akibat letusan Gunung Merapi, warga tidak patah semangat untuk bangkit dan menata hidup kembali. Warga mengandalkan kekuatan sendiri, ditambah dukungan berbagai pihak.”19

Program-program ini kemudian ditindaklanjuti oleh FAO (Food and Agriculture Organization) dan IOM (International Organization forMigration) melalui Program Pemulihan Penghidupan Pascabencana Erupsi Gunung Merapi di bawah skema IDF (Indonesia Disaster Fund).

Asmaradana Merapi99

Seorang ibu di Dusun Sambungrejo, Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, sedang membenahi rumahnya yang hancur.

© DWI OBLO

Page 120: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 100

Page 121: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi101

Page 122: Buku Asmaradana Merapi

DR4-MRR bekerjasama dengan Fakutas Pertanian UGM untuk melakukan penelitian rantai

nilai salak di Sleman dan Magelang.20 Penelitian ini bertujuan memberikan gambaran menyeluruh kondisi pertanian salak, prospek, dan solusi bagi peningkatan usaha kebun salak petani di kedua kabupaten.

Salah satu temuan penting dari penelitian ini menyebutkan bahwa petani sulit memenuhi persyaratan yang ditentukan agar mereka dapat mengakses pasar yang lebih luas, khususnya pasar ekspor yang harga jualnya jauh lebih baik dibandingkan harga lokal.21 Persyaratan yang dimaksud adalah jenis produk salak dengan klasifikasi grade A (empat belas buah salak per kilogram), sertifikasi produk salak yang dihasilkan dengan metode pertanian organik, dan kemampuan asosiasi petani salak untuk melakukan ekspor.

Ketiga faktor itu menentukan peningkatan nilai salak bagi petani produsen. Penelitian ini memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah, petani, dan

eksportir yang mengarah pada perbaikan usaha salak di Sleman dan Magelang. DR4-MRR menyerahkan hasil penelitian ini kepada sejumlah pihak berwenang, khususnya pemerintah kedua kabupaten, dengan harapan hasil rekomendasi penelitian digunakan sebagai rujukan untuk merumuskan kebijakan yang mengarah pada perbaikan kehidupan petani salak.22

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 102

Analisis Rantai Nilai

Seorang ibu petani dan anaknya sedang membersihkan abu

vulkanis yang menempel pada batang dan daun pohon salak.

© DWI OBLO

Page 123: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi103

Page 124: Buku Asmaradana Merapi

PADA 2009, Combine Resource Institution (CRI) merancang program Sistem Informasi Desa

(SID). Dalam arti sempit, SID merupakan aplikasi komputer yang membantu pemerintah desa dalam proses pengumpulan dan penataan data. SID juga bisa berarti sistem (mekanisme, prosedur, hingga pemanfaatan) yang bertujuan untuk mengelola sumberdaya desa.23 SID dipasangkan ke komputer kemudian diisi dengan data kependudukan, keuangan, dan aset penduduk desa. Himpunan data yang tertata akan lebih mudah dicari dan diolah ketika dibutuhkan, baik data individual, keluarga, maupun variasi data lain. Jadi, SID bisa dianggap sebagai jantung penyedia informasi untuk kegiatan pelayanan masyarakat sehari-hari.

Pada 2009, CRI mulai mengembangkan prototipe SID dan dipraktikkan di beberapa desa, termasuk Balerante. Artinya, Balerante sudah mengenal SID sebelum program DR4-MRR.

Pengembangan SID dilakukan melalui pembentukan tim desa yang melibatkan pemerintah desa. Tim desa melibatkan perangkat desa, kelompok warga seperti karang taruna, maupun perwakilan dusun. Menurut Elanto Wijoyono, Koordinator Program untuk Pengembangan SID dari CRI, pemerintah desa dan komunitas desa merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam menggerakkan SID.24

Seorang relawan sedang memperlihatkan rekaman

kegiatan tentang Pengurangan Risiko Bencana yang disimpan

dan dipadukan dengan SID. Dengan dilengkapinya sistem

komputer di beberapa desa, relawan dan aparat desa

bisa menggunakannya untuk menyimpan beberapa dokumen

kebencanaan mereka.

© ARMIN HARI

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 104

Sistem Informasi Desa (SID)

Page 125: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi105

Page 126: Buku Asmaradana Merapi

S ALAH satu model persaudaraan desa yang sudah ditetapkan secara formal melalui upaya

koordinasi BPBD Magelang terjadi antara Desa Ngargomulyo, Kecamatan Dukun, dan Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan. CRI dengan sokongan dari DR4-MRR bersama pemerintah kedua desa mempersiapkan SID agar mengakomodasi rencana kontinjensi kedua desa. Dengan menggunakan SID, CRI mempersiapkan data kependudukan serta aset kedua desa sehingga bisa dipergunakan untuk urusan kebencanaan.

Implikasi lain dari konsep Desa Bersaudara adalah penentuan lokasi kantor desa darurat. “Jadi, misalnya warga Ngargomulyo tercerai-berai ketika terjadi bencana, lokasi kantor desa darurat sudah ditentukan. Dimana pun warga berada, dia tahu kemana mengakses kantor desa,” kata Elanto Wijoyono.25 Joyo mencontohkan kasus “hilangnya” Kepala Desa Balerante saat erupsi 2010 lalu. Dia mengungsi ke suatu tempat yang tidak diketahui warga Balerante. Kantor

desa darurat kemudian berdiri di Bumi Perkemahan Pramuka Desa Kepurun, Klaten. Persoalan ini muncul karena tidak ada rencana kontinjensi yang jelas sebelum kejadian erupsi.

Mempersiapkan SID antar desa dalam kerangka persaudaraan desa sebelum terjadi bencana akan sangat membantu koordinasi yang diperlukan untuk tindakan tanggap darurat maupun mitigasi. Untuk memudahkan pelacakan warga, Joyo menjelaskan, dalam aplikasi modul SID, perlu ditambahkan satu kolom berisi data alamat pengungsian setiap keluarga. “Minimal ada di mana kepala keluarganya. Itu harus diketahui,” kata Joyo.26

Bagaimana dengan Klaten? Dalam rencana strategi evakuasi BPBD Klaten, jalur evakuasi akan dibagi dalam tiga rute. Pertama, jalur Balerante menuju Tempat Evakuasi Akhir (TEA) di Desa Kebondalem Lor, Kecamatan Prambanan, Klaten. Kedua, jalur Sidorejo menuju TEA di Desa Menden, Kecamatan Kebonarum, Klaten. Ketiga, jalur Tegalmulyo menuju TEA di Desa

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 106

Desa Bersaudara (Sister Village)

Dengan perencanaan tata ruang yang lebih baik, relawan dan

aparat desa di Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Magelang,

bisa lebih terarah dan matang dalam mempersiapkan

penanganan pengungsi dari desa saudara mereka.

© ARMIN HARI

Page 127: Buku Asmaradana Merapi

Demakijo, Kecamatan Karangnongko, Klaten. Bila terjadi erupsi, warga Balerante akan turun terlebih dulu karena berada di KRB III. Sementara itu, desa-desa yang berada di KRB II akan turun sampai Tempat Evakuasi Sementara (TES).

Menurut Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Klaten Wachju Adi Pratomo, BPBD Klaten akan membangun sistem persaudaraan desa sebagai strategi evakuasi. Di situ kesiapan warga merupakan faktor yang paling signifikan. Warga tujuan evakuasi harus paham bahwa mereka akanmenampung warga yang bukan kerabat. Selama ini, menurut Wachju, pengungsian antardesa terjadi berdasarkan hubungan kekerabatan, belum secara komunal. Dia menolak anggapan bahwa pengungsian mandiri oleh warga penyintas mencerminkan konsep persaudaraan desa.27

Saat ini, sosialisasi strategi evakuasi BPBD Klaten mulai dilakukan melalui relawan-relawan BPBD di desa-desa di bawah KRB III, termasuk Bawukan. Bawukan pada erupsi 2010 sudah menjadi lokasi TES bagi pengungsi dari Balerante. Harapannya, desa-desa “bawah” (lebih rendah atau lebih jauh dari puncak Gunung Merapi dibanding desa-desa atas) secara sadar akan mau menerima warga desa-desa

Asmaradana Merapi107

atas begitu terjadi erupsi. Seandainya warga masih menolak, pengungsi akan difasilitasi sampai TES dan TEA. Selama proses pengungsian, baik dengan atau tidak dengan metode Desa Bersaudara, pemerintah tetap akan menanggung pembiayaan selama masa pengungsian, terutama biaya jatah hidup.

Selain memanfaatkan fasilitas umum, warga Desa Manjung, Kecamatan Ngawen, Klaten, juga menyediakan beberapa rumah sebagai lokasi pengungsian bagi korban erupsi Gunung Merapi asal Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten. Warga kedua wilayah itu kini menjalin persaudaraan desa.

© ARMIN HARI

Page 128: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 108

Page 129: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi109

Page 130: Buku Asmaradana Merapi

AUDIT sosial adalah audit yang dilakukan warga penerima manfaat proyek pembangunan.

Secara umum, audit sosial bertujuan untuk mengetahui apakah pelaksanaan proyek berjalan sesuai rencana atau belum sesuai rencana. Secara khusus, audit sosial bertujuan mengukur apakah pelayanan yang diterima warga sudah maksimal atau belum maksimal, menelusuri apakah anggaran yang dibelanjakan sampai kepada warga atau belum sampai kepada warga, menelusuri penggunaan anggaran proyek, mengukur efisiensi pembelian dan penjualan yang ditenderkan, dan mengukur apakah pelaksanaan layanan sudah sesuai dengan mekanisme yang disepakati atau belum sesuai dengan mekanisme.28

Dalam konteks bencana Gunung Merapi, audit sosial diperlukan karena rentang waktu antara perencanaan dan pelaksanaan Rencana Aksi Rehabilitasi dan Rekonstruksi Merapi 2011-2013 cukup panjang. Hal ini membuka lebar peluang salah sasaran dan asimetri

Penghidupan berkelanjutan warga di sekitar lereng Gunung Merapi

sangat bergantung dari upaya mereka untuk bangkit kembali

dan memulai hidup, di antaranya dengan membuka warung.

© ARMIN HARI

kebutuhan. Audit sosial juga diperlukansupaya program Renaksi berlangsung transparan dan akuntabel (bisa dipertanggungjawabkan). Dengan kedua alasan tersebut, audit sosial pun ditawarkan sebagai alat untuk pemantauan dan evaluasi Renaksi.

Institute Development and Economic Analysis (IDEA) dengan sokonganDR4-MRR mendorong pelaksanaan audit sosial di enam desa terdampakletusan dan lahar hujan GunungMerapi 2010, yaitu Jumoyo dan Sirahan (Magelang), Kepuharjo danWukirsari (Sleman), Balerante dan Sidorejo (Klaten). Audit sosialdilakukan terhadap tiga sektor, yaitu perumahan, peternakan, dan pertanian. Ketiga sektor ini dipilih karena merupakan sektor di mana pemerintah memberikan bantuanbagi warga penyintas.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 110

Audit Sosial

Page 131: Buku Asmaradana Merapi

Kegiatan Audit Sosial yang dilakukan di beberapa desa terdampak letusan dan lahar dingin erupsi Gunung Merapi setidaknya mampu memberikan kontrol pada penyesuaian dan pengecekan kesesuaian perencanaan dan pelaksanaan proyek yang diterima. Dan manfaat tidak langsungnya adalah bagaimana proyek atau bantuan tersebut tepat sasaran, utamanya bagi kelompok paling rentan: perempuan dan anak-anak.

© DWI OBLO

Asmaradana Merapi111

Mengapa Warga Perlu Berpartisipasi dalam Audit Sosial?

Mengapa warga penyintas pascabencana Gunung Merapi perlu berpartisipasi aktif dalam audit sosial?

• Warga penyintas Gunung Merapiadalah pihak penerima manfaatyang secara langsung merasakandampak program rehabilitasi danrekonstruksi pascabencana;

• Umpan balik warga bisa menjadimasukan bagi pemerintah dalamperencanaan (ulang) danimplementasi program di tahunberikutnya;

• Mekanisme umpan balik wargayang dilaksanakan secarapartisipatif melengkapi mekanismepemantauan dan evaluasi yangdimiliki oleh pemerintah;

• Mekanisme umpan balik warga

dilakukan dalam rangkameningkatkan kapasitas wargadan pemerintah untukmeminimalisasi risiko.

Sumber: Materi presentasi oleh Wasingatu Zakiyah bertajuk “Audit Sosial sebagai Akuntabilitas Sosial” (2013).

Page 132: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 112

Page 133: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi113

Page 134: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 114

Studi Longitudinal Merapi digagas oleh Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) DI Yogyakarta

dan FPRB Jawa Tengah bekerjasama dengan Survey Meter. Studi ini didukung oleh BNPB dan DR4-MRR. Survei pertama diselenggarakan pada 2012. Survei dilakukan terhadap 1.290 rumah tangga di empat kabupaten: Klaten, Boyolali, Sleman, dan Magelang. Survei kedua dilaksanakan pada awal 2014 terhadap sampel rumah tangga yang sama dengan survei pertama.

Studi longitudinal merupakan kegiatan penelitian (survei) yang dilakukan berulang kali dalam periode tertentu, bahkan sering memakan waktu bertahun-tahun, guna memperoleh tingkat validitas dan akurasi yang tinggi. Tidak seperti cross-sectional studies (penelitian yang dilakukan hanya dalam satu waktu), studi longitudinal melacak sampel rumah tangga atau unit tertentu yang sama sehingga bisa diamati perubahan yang konsisten dan pengaruh-pengaruhnya. Studi longitudinal merupakan kegiatan observasi yang dapat membedakan

antara fenomena sesaat (seperti peristiwa bencana) dan fenomena jangka panjang (seperti kemiskinan) yang memengaruhi ketahanan masyarakat. Hasil studi ini bisa ditarik ke dalam situasi populasi yang lebih besar (generalisasi).

Studi longitudinal dalam kajian bencana dapat menjadi instrumen untuk mengetahui dampak bencana di level individu, rumah tangga, dan komunitas. Selain itu, studi ini dilakukan untuk mengetahui kehidupan sosial ekonomi masyarakat sebagai salah satu hal penting dalam pengurangan risiko bencana; menganalisis permasalahan yang saling berkaitan yang tidak dimungkinkan dengan data single survey; mengetahui pengaruh jangka pendek dan jangka panjang suatuintervensi/kejadian, misalnya Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, atau bencana, dan; menyediakan data untuk memastikan keterkaitan (linkage) antara intervensi pada masa tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi, serta pembangunan secara umum.

Enumerator dari Survey Meter sedang mewawancarai seorang

warga yang bermukim di lereng Gunung Merapi sebagai metode pengumpulan data untuk Studi

Longitudinal Merapi.

© ARMIN HARI

Studi Longitudinal Merapi

Page 135: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi115

Semua itu kemudian diformulasikandalam bentuk Indeks Pemulihan Pascabencana Indonesia (Indonesia Disaster Recovery Index, InaDRI).1 InaDRI sangat berguna sebagai masukan utama dalam laporan pemantauan dan evaluasi program rencana aksi pascabencana Gunung Merapi 2010–2013 (dari sisi penerima manfaat). InaDRI memegang peran penting dalam membantu perumusan kebijakan pemulihan kehidupan pascaerupsi, mengevaluasi efektivitas program rencana aksi pemulihan, membantu perancangan program rehabilitasi dan rekonstruksi, serta mempermudah komunikasi dengan kalangan luas (publik) tentang keadaan atau perkembangan program pemulihan.

Hasil Studi Longitudinal Merapi pertama telah diterbitkan dalam buku Merapi: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010, Laporan Studi Longitudinal (2013). Studi Longitudinal Merapi kedua seharusnya dipresentasikan dalam bentuk buku juga. Di luar itu, tantangan terbesar yang ada adalah: sejauh mana aparat pemerintah, dalam hal ini pemerintah provinsi dan kabupaten di DI Yogyakarta dan Jawa Tengah, mau menggunakan dan mengambil manfaat dari hasil-hasil studi tersebut?2 Harus ada kemauan, komitmen, dan keputusan politik yang

tinggi dari aparat pemerintah supaya Studi Longitudinal Merapi bisa diposisikan sebagai rujukan penting dalam rencana pembangunan daerah.

Page 136: Buku Asmaradana Merapi

1 Di Indonesia, dan bahkan di dunia, mungkin belum pernah ada studi longitudinal pascabencana dengan hasil analisis sampai pada Indeks Pemulihan Pascabencana. Bandingkan, misalnya, dengan hasil studi longitudinal pascagempa di L’Aquila, Italia, dalam artikel Marco Valenti, Francesco Masedu, Monica Mazza, Sergio Tiberti, Chiara Di Giovanni, Anna Calvarese, Roberta Pirro, dan Vittorio Sconci (2013) “A Longitudinal Study of Quality of Life of Earthquake Survivors in L’Aquila, Italy”, BMC Public Health 13 (1143): 1–7. Baca juga studi longitudinal terkait bencana kebakaran hutan di Victoria, Australia, dalam artikel Lisa Gibbs, Elizabeth Waters, Richard A. Bryant, Philippa Pattison, Dean Lusher, Louise Harms, John Richardson, Colin MacDougall, Karen Block, Elyse Snowdon, Hugh Colin Gallagher, Vikki Sinnott, Greg Ireton, dan David Forbes (2013) “Beyond Bushfires: Community, Resilience and Recovery - A Longitudinal Mixed Method Study of the Medium to Long Term Impacts of Bushfires on Mental Health and Social Connectedness”, BMC Public Health 12 (1036):1–10.

2 BNPB sudah menunjukkan komitmen untuk tetap mendukung kegiatan Studi Longitudinal Merapi.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 116

Page 137: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi117

Page 138: Buku Asmaradana Merapi

DALAM mengerjakan program ini, DR4-MRR berkolaborasi dengan BPBD Sleman dan BPBD Magelang dalam rentang

waktu singkat, 15 April–31 Mei 2013. Bagi DR4-MRR, secara praktis tujuan akhir dari program ini adalah terselenggaranya upaya rehabilitasi dan rekonstruksi yang benar-benar bekerja dalam kerangka Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Bagi DR4-MRR, hal ini penting karena ada beberapa kesenjangan yang harus segera dijembatani untuk bisa mempercepat pemulihan warga, sebagaimana disebutkan di awal. Dengan periode program yang sangat pendek, target program ini boleh dikatakan belum sepenuhnya tercapai.

Selama ini, menurut Koordinator Proyek DR4-MRR Rinto Andriono, pengurangan risiko bencana terlalu fokus pada analisis ancaman (hazard). Analisis ancaman ini sudah dilakukan BPPTKG melalui program “Rahasia Merapi”. Tetapi, analisis ancaman ini belum dijabarkan menjadi analisis risiko yang memasukkan unsur kapasitas dan kerentanan warga.

Integrasi Pengurangan Risiko Bencana (PRB) dalam Rehabilitasi dan Rekonstruksi

Kalau unsur kapasitas dan kerentanan dimasukkan dalam strategi PRB, kesimpulan dan kebijakan yang akan ditempuh bisa berbeda.

Misalnya, dalam Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Sleman, perkiraan kawasan yang harus direlokasi hanya mengandalkan analisis ancaman (ukuran tentang ancaman erupsi dan lahar hujan). Padahal, kebijakan yang mendukung jika warga harus relokasi belum disiapkan, termasuk perlakuan atas tanah lama pasca relokasi. Saat ini, warga merasa tanah yang tertimbun material letusan Gunung Merapi dan lahar dingin bisa mereka olah menjadi lahan yang bisa menghidupi mereka. Wajar bila warga di Desa Glagaharjo, misalnya, dengan tegas menolak relokasi dengan slogan: sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati, ‘sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah terakhir’.

Begitu juga instalasi sistem informasi kebencanaan yang terintegrasi di tingkat kabupaten. Program ini baru masuk tahap

Salah satu sudut hunian tetap yang ada di Desa Tamanagung,

Kecamatan Muntilan, Magelang.

© ARMIN HARI

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 118

Page 139: Buku Asmaradana Merapi

menjalin komunikasi dan kesepakatan antara Pemerintah Desa Ngargomulyo dan Tamanagung di Kabupaten Magelang. Sementara itu, di Kabupaten Sleman, upaya serupa belum dilakukan. Padahal, bagi DR4-MRR, program informasi ini sangat penting dalam memfasilitasi kesiapsiagaan warga dan pengembangan sistem persaudaraan desa yang memungkinkan warga desa di kawasan Gunung Merapimemiliki tempat pengungsian yang lebih jelas dan siap jika sewaktu-waktu terjadi letusan Gunung Merapi.

Asmaradana Merapi119

Kandang sapi yang sudah dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan perangkat pemerahan susu serta jaringan stasiun biogas di Huntap Pagerjurang, namun bantuan sapi yang sudah dialokasikan semenjak 2012 belum juga diberikan.

© ARMIN HARI

Page 140: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 120

Page 141: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi121

Page 142: Buku Asmaradana Merapi

SELAIN SID, berbagai bantuan juga diperoleh warga Balerante. Sebagaimana di Sleman dan

Magelang, Pemerintah Kabupaten Klaten melalui BPBD berupaya membantu perekonomian warga, salah satunya melalui proyek pengolahan makanan dari hasil kebun warga. Makanan olahan berupa criping sayuran dan makanan ringan lain diharapkan dapat menjadi sumber mata pencaharian warga, meski mereka direncanakan pindah ke lokasi baru.29 Pemerintah juga menawarkan program bantuan sapi dan pengolahan pakan ternak, keduanya berlokasi di KRB II.30 Menurut Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Klaten Wachju Adi Pratomo, pemanfaatan kedua bantuan terakhir itu belum optimal. Program bantuan sapi pun tidak memenuhi target, yakni diterima oleh 165 kepala keluarga.

Di luar bantuan dari pemerintah, sebenarnya cukup banyak pihak lain yang mengulurkan bantuan bagi Balerante, sebut saja Yayasan Klaten Peduli Umat (YKPU), Bank CIMB Niaga, dan Disaster and Emergency

Upaya mitigasi bencana juga berdampak pada penyediaan akses pendidikan bagi anak-

anak usia sekolah selama mereka berada di pengungsian. Salah satu di antaranya adalah

SD Negeri Srunen yang harus menumpang sementara di huntara selama beberapa waktu.

© ARMIN HARI

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 122

Bantuan Non-DR4-MRR

Unit (Deru) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Salah satu wujud bantuan itu adalah bimbingan keterampilan membatik. Awalnya, kegiatan tersebut dimaksudkan sebagai metode trauma healing,31 hingga kini berkembang menjadi salah satu sayap usaha Desa Balerante.

Sebagaimana semua jenis bisnis yang mengalami pasang surut, begitu juga dengan usaha membatik. Pengajar UMS sekaligus salah satu relawan yang memfasilitasi kegiatan membatik ini, Meddy Sulistyanto, mengemukakan, awalnya banyak warga yang berminat membatik.32 Tetapi, lama-kelamaan jumlahnya semakin merosot. Tuntutan kesabaran serta ketersediaan waktu menjadi tantangan utama dalam aktivitas membatik. Meddy menuturkan, dari sekitar 30 peserta, merosot menjadi kurang dari separuhnya dalam tiga tahun. Kebanyakan anggota perempuan memilih mundur dari kegiatan setelah menikah dan memiliki anak. Kurangnya pesanan batik juga memengaruhi penurunan minat warga

Page 143: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi123

Page 144: Buku Asmaradana Merapi

menjadi pengrajin batik. Mereka kembali pada aktivitas yang selama ini menjadi sumber pencaharian utama, yaitu mencari rumput untuk ternak, bertani, atau terlibat dalam kegiatan penambangan pasir.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 124

Sebaran hunian tetap di beberapa daerah merupakan bantuan yang tidak terkira nilainya bagi mereka

yang harus kembali memulai penghidupan pascabencana

Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Page 145: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi125

Page 146: Buku Asmaradana Merapi

BALERANTE berpartisipasi dalam pengembangan SID sejak dimotori CRI pada 2009 silam.

Inisiatif dari Balerante dalam mengembangkan SID menginspirasi pengembangan program serupa bagi desa-desa lain di Magelang. Kendati SID di Balerante agak tersendat, pendataan ke arah pengembangan sistem informasi yang lebih baik sudah ada. Balerante menunjukkan komitmennya dalam penerapan SID, yang sangat langka bahkan hingga kini. Wajar kalau DR4-MRR menjadikan penerapan SID di Balerante sebagai model replikasi untuk dikembangkan di Magelang dan Sleman.

Begitu pun dengan sistem persaudaraan desa, yang lagi-lagi mengambil inspirasi dari Klaten, khususnya merujuk pada pengungsian warga Dusun Deles ke Desa Manjung. Warga Dusun Deles memilih pengungsian mandiri karena khawatir dengan situasi di pengungsian di mana warga bergantung pada ketersediaan bantuan dari pemerintah. Mereka khawatir hal tersebut dapat mengurangi semangat hidup. Mereka

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 126

pun memilih tinggal sementara di Desa Manjung. Mereka membaur dengan aktivitas warga Manjung; anak-anak mereka bisa tetap bersekolah. Saat periode pengungsian berakhir, warga Dusun Deles dan Desa Manjung sepakat untuk meneruskan hubungan baik dan pola pengungsian yang sama ketika terjadi letusan. DR4-MRR mereplikasi, memperkuat, dan mengembangkan konsep persaudaraan desa serupa di Desa Ngargomulyo dan Desa Tamanagung.

Jadi, dua sistem yang telah dikembangkan di Klaten, yakni SID dan sistem persaudaraan desa, telah dikembangkan di tempat lain. Semua menunggu untuk terus diperkuat di masa datang. Pada bagian selanjutnya, kami akan meninjau lebih jauh bagaimana sebagian dari program ini bekerja dan apa saja hasilnya. []

Inspirasi dari Klaten

A.B. Amanto, Kepala Desa Manjung, Kecamatan Ngawen,

Klaten, menjelaskan tentang penerapan konsep desa

bersaudara. Konsep tersebut sangat membantu aparat dan warga desanya dalam proses penanganan pengungsi dari

Dusun Deles.

© ARMIN HARI

Page 147: Buku Asmaradana Merapi

1 Wawancara Sukiman, 3 Januari 2014.

2 Wawancara Parti, 24 November 2013.

3 Estuning Tyas Wulan Mei, Franck Lavigne, Adrien Picquout, Delphine Grancher (tanpa tahun) “Crisis Management during the 2010 Eruption of Merapi Volcano”.

4 Antaranews.com, 7 November 2010, “Jumlah Pengungsi Merapi di Jateng Membludak”.

5 Wawancara Joko Rukminto, 16 Januari 2014.

6 Detiknews.com, 1 November 2010, “Priyo dan Sultan Minta Bendera Parpol di Posko Pengungsi Merapi Dicopot”.

7 Kompas.com, Jumat, 5 November 2010, “Gerakan ‘Nasi Bungkus Yogya’”.

8 A.B. Widyanta (tanpa tahun) “Gelombang Erupsi Merapi, Pengungsi, dan Jejaring Posko Mandiri: Best Practice Penanggulangan Bencana ala Dusun Kadisoka”.

9 Merapi: Pemulihan Penghidupan Warga Pasca Letusan 2010, Laporan Studi Longitudinal (Yogyakarta: BNPB dan UNDP, 2013).

10 Tribunnews.com, 16 November 2010, “Aktivitas 900 UMKM Lumpuh Total Terkena Dampak Merapi”.

11 Sulit menyebut angka pasti jumlah lembaga dan warga yang memberi bantuan. Menurut Joko Rukminto dari BPBD Klaten (wawancara 16 januari 2014), banyak lembaga baik swasta maupun organisasi non-pemerintah yang memberikan bantuan tanpa koordinasi dengan pihak BPBD Klaten, sehingga aktivitas meraka sulit dipantau.

12 Wawancara Rinto Andriono, 24 Desember 2013.

13 Wawancara Dani Alfa, 23 Februari 2014. Menurut Dani, setidaknya ada dua hal yang sangat mungkin menjadi sebab keengganan pemerintah menggunakan hasil survei tersebut. Pertama, riset belum menjadi pertimbangan dalam kebijakan pemerintah. Kedua, pemahaman dan sikap bagi pentingnya kebijakan berdasarkan data riset belum terbentuk.14 SID menyediakan pangkalan data bagi pengelolaan program sehingga bisa menjadi medium peningkatan koordinasi antarwarga dan antara pemerintah dan warga. SID juga menyediakan data yang selalu diperbaharui, yang bisa digunakan sebagai bahan perumusan kebijakan. Hal itu diharapkan membantu pemerintah dalam mengembangkan program pengurangan risiko bencana.15 Wawancara Humam Zarodi, MIS/GIS Associate DR4-MRR, 11 Desember 2013. Untuk kegiatan audit sosial, awalnya sempat ditolak Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) karena dianggap dapat menimbulkan konflik antarwarga.

16 Wedang uwuh adalah minuman dari tanaman lokal, seperti jahe dan serei, dicampur gula merah.

17 Setelah status Gunung Merapi turun dari awas menjadi waspada pada akhir Desember 2010, warga dari tiga dusun di Glagaharjo (Srunen, Kalitengah Lor, dan Kalitengah Kidul) dan dua dusun di Kepuharjo (Gading dan Jetis Sumur), aparat desa, LPTP, dan sejumlah relawan bergotong-royong membersihkan lokasi tempat tinggal, fasilitas umum, dan instalasi air bersih untuk membangun kembali tempat tinggal secara swadaya. Kepala Dusun Kalitengah Lor Sujamin melihat, proses pembersihan bangunan rumah

Asmaradana Merapi127

Page 148: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 128

dan kebun warga di Glagaharjo dapat berjalan cepat karena banyak relawan yang datang dari wilayah lain seperti Bantul, Gunungkidul, dan Klaten. (Wawancara Suroto dan Sujamin, 1 November 2013).

18 Wawancara Suroto, 1 November 2013.

19 Wawancara melalui surat elektronik dengan Titik Ristiyawati, 3 Januari 2014.

20 Analisis rantai nilai merupakan alat analisis untuk memahami aktivitas-aktivitas yang membentuk nilai suatu produk atau jasa dan digunakan untuk menciptakan nilai bagi pelanggan dalam mencapai keunggulan yang kompetitif. Tujuan analisis rantai nilai adalah mengidenti ikasi tahap-tahap rantai nilai di mana perusahaan dapat meningkatkan value untuk pelanggan atau menurunkan biaya. Lihat Oktavima Wisdaningrum (2013) “Analisis Rantai Nilai (Value Chain) dalam Lingkungan Internal Perusahaan”, Analisa 1 (1), hal. 40.21 Harga jual salak di eksportir mencapai Rp 30.000–40.000 per kilogram. Di kelompok tani, setelah sortasi dan grading ditambah margin, hanya Rp 500–6.500 per kilogram. Lihat “Laporan Akhir Rantai Nilai Salak di Kabupaten Sleman & Magelang 2012” (Yogyakarta: UNDP dan UGM, 2012), hal. 71.

22 Sampai buku ini ditulis, menurut keterangan Koordinator Tim MRR UNDP Rinto Andriono, belum ada tindak lanjut dari Pemerintah Kabupaten Sleman dan Magelang terhadap hasil penelitian rantai nilai salak.

23 Ranggoaini Jahja dan kawan-kawan (2012) Sis-tem Informasi Desa (Yogyakarta: CRI dan Yayasan Tifa). SID yang dimaksud buku ini terdiri atas perangkat komputer serta aplikasi olah data. Sebelum

mengaktifkan SID, seorang operator memasukkan semua data yang tercantum dalam kartu keluarga. Data tersebut diolah oleh tim CRI menggunakan program aplikasi olah data berbasis hypertext preprocessor (PHP).

24 Wawancara Elanto Wijoyono, 10 Desember 2013.

25 Wawancara Elanto Wijoyono, 10 Desember 2013.

26 Wawancara Elanto Wijoyono, 10 Desember 2013.

27 Wawancara Wachju Adi Pratomo, 30 Desember 2013.28 Disarikan dari bahan presentasi “Social Audit on Public Budget Management for Disaster” dan Modul Audit Sosial Program Rehabilitasi dan Rekonstruksi Bencana (IDEA, 2013).

29 Ketika tim penulis mengunjungi Balerante pada 5 Januari 2014, kegiatan ini sudah berbulan-bulan terhenti. Pemilik warung di depan SD Balerante I mengaku sudah sekitar empat bulan tidak lagi dititipi makanan olahan. Sulastri, penanggungjawab Kelompok Usaha Maju Lestari yang memproduksi makanan olahan, mengaku sudah beberapa waktu tidak lagi berproduksi. Selain keterbatasan alat, kurangnya ketelatenan anggota juga menjadi penyebab.30 Wawancara Wachju Adi Pratomo, 30 Desember 2013. Sesuai dokumen Renaksi yang berakhir Desember 2013, pemerintah menawarkan bantuan sapi kepada 165 kepala keluarga (saat ini ada 188 kepala keluarga, namun yang dianggap berhak menerima bantuan sebanyak 165 kepala keluarga). Sapi diberikan kepada warga yang berhak, dengan syarat tidak boleh digembalakan ke atas (KRB III) dan harus dipelihara di KRB II. Wachju menjelaskan, sapi-sapi tersebut akan dikelola secara berkelompok

dengan pendekatan profesional. Namun, sosialisasi program bantuan sapi mengalami kendala. Dari 165 kepala keluarga, akhirnya hanya 143 kepala keluarga yang bersedia menerimanya; sisanya menolak. Wachju menduga, sebagian warga Balerante masih menganggap pemberian sapi tersebut akan berbuntut “pemaksaan” relokasi.

31 Kegiatan membatik merupakan kerjasama produsen batik “Batik Mahkota Laweyan” asal Solo, Himpunan Mahasiswa Psikologi Indonesia (Himpsi), dan Deru UMS.32 Wawancara Meddy Sulistyanto, 24 November 2013.

Page 149: Buku Asmaradana Merapi
Page 150: Buku Asmaradana Merapi
Page 151: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi131

Page 152: Buku Asmaradana Merapi

Narasi-NarasiKetangguhan

BAGIAN EMPAT

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 132

Page 153: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi133

j

Dari kajian kebencanaan kontemporer, muncul istilah

“ketangguhan”—sebuah terma yang kian banyak digunakan untuk

mengurai bagaimana sebuah kelompok warga berhadapan

dengan risiko bencana. Menggunakan kerangka turunan

dari konsep ini, kami melihat bangunan ketangguhan warga

lereng Gunung Merapi rapuh di sana-sini.

““

Page 154: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 134

Page 155: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi135

Page 156: Buku Asmaradana Merapi

SEDERET laporan di bawah ini menampilkan ketangguhan warga setelah letusan Gunung Merapi

2010. Cerita-cerita ini akan dipilah menurut tiga unsur ketangguhan. Mengacu pada Christophe Béné dan kawan-kawan, ada tiga komponen ketangguhan: kemampuan meredam (absorb) ancaman, kemampuan beradaptasi, dan kemampuan mengusahakan transformasi.1 Masing-masing komponen merupakan bentuk kemampuan sebuah sistem untuk menghadapi gangguan, baik guncangan sesaat maupun krisis jangka panjang. Untuk dikatakan tangguh secara ideal, sebuah kelompok warga harus memiliki ketiga unsur tersebut sekaligus.

KEMAMPUAN meredam ancaman terjadi ketika kelompok masyarakat atau rumah tangga dapat menghadapi dampak guncangan tanpa terjadi perubahan fungsi, status, atau kondisi pada masyarakat atau rumah tangga tersebut, sesementara apa pun. Hal ini, misalnya, dapat dilihat pada keberadaan bangunan peredam gempa atau pemakaian sumber

listrik cadangan. Kapasitas meredam ini bisa membantu mencegah atau menahan serangan bencana. Bila kapasitas meredam tak mampu mengatasi intensitas ancaman, orang harus memanfaatkan kapasitas adaptasi.

Salah satu cara meredam dampak ancaman gunung api adalah menghindar sebelum terjadi letusan. Sebagaimana uraian di atas, lahan lereng yang subur membuat banyak warga lebih memilih bermukim di seputar Gunung Merapi. Karena itu, menghindari ancaman tak selalu harus dilakukan secara permanen, seperti tercermin dalam kebijakan permukiman ulang. Sebaliknya, menghindar secara temporer menjadi lebih relevan, misalnya dengan mengungsi sementara ketika terjadi letusan. Ini membuat peran deteksi dini dan efektivitas evakuasi menjadi lebih penting.

Di bagian ini kami akan menelusuri sejauh mana kedua hal itu bekerja menciptakan daya redam. Deteksi dini dapat diperoleh dari kajian berkelanjutan BPPTKG. Sementara itu, bagaimana informasi

Seorang ibu di Dusun Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Kecamatan

Cangkringan, Sleman, sedang mencari rumput untuk hewan

ternaknya.

© DWI OBLO

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 136

Usaha-Usaha Meredam Ancaman

Page 157: Buku Asmaradana Merapi

informasi deteksi dini sampai ke pemerintah dan warga, serta bagaimana warga bertindak berdasarkan informasi itu, banyak dikerjakan pemerintah dan kelompok relawan warga. Alat-alat komunikasi jarak jauh seperti HT juga berperan membantu kelancaran penyebaran informasi bahaya dan efektivitas evakuasi. Selain itu, pembangunan infrastruktur seperti sabo dam berguna untuk memperlambat laju lahar hujan mencapai permukiman warga.

Peran BPPTKG adalah memantau aktivitas Gunung Merapi sekaligus memberi rekomendasi peringatan dini dan mitigasi bencana, salah satunya lewat pembuatan peta KRB. Menurut Kepala BPPTKG Subandriyo, penyusunan peta KRB didasarkan pada dampak erupsi pada kurun 100 tahun terakhir secara kumulatif.2 Semisal letusan terjadi pada tempat tertentu dalam 100 tahun terakhir, kawasan itu dapat dikatakan rawan bencana karena kemungkinan datangnya ancaman ulangan lebih besar. Karena itu, stratigrafi (susunan lapisan batu-batuan dalam kulit bumi) endapan material di lereng gunung perlu dipetakan. Hasil pemetaan itu menunjukkan peta kawasan di mana endapan awan panas kemungkinan akan bergerak dan di mana endapan lahar berada.

Meski demikian, erupsi tak selalu mengikuti apa yang pernah terjadi sebelumnya. Letusan bisa lebih kecil atau lebih besar dari letusan sebelumnya. Letusan juga tak akan ke semua arah sehingga perlu pengkajian lebih prediktif, yang didasarkan pada kondisi topografi saat ini. Salah satu hal yang mengontrol arah awan panas adalah bukaan kawah. Topografi puncak Gunung Merapi saat ini membuka ke selatan. Karena itu, kemungkinan arah letusan akan dominan ke selatan.

Untuk lebih memantapkan prediksi itu, BPPTKG kemudian menguji dengan membuat model rekaan letusan. Pertama-tama BPPTKG menaruh asumsi besaran material letusan Gunung Merapi. Pertanyaan utama dari model tersebut adalah: daerah manakah yang akan terlanda letusan? Dari proses reka model itu, BPPTKG menyimpulkan, dengan kondisi topografi saat ini dan jejak historis letusan Gunung Merapi, arah letusan memang dominan ke selatan. Rekomendasi BPPTKG berlandaskan pada pengkajian tersebut.3

Seluruh upaya itu akhirnya menunjukkan hasil. Pada erupsi Gunung Merapi 2010, prediksi BPPTKG tepat. Status awas ditetapkan sebelum terjadi letusan puncak pada 5 November 2010. Hal ini membuat

Relawan di Balerante menggunakan HT untuk berkomunikasi sesama warga mengenai berbagai informasi menyangkut Gunung Merapi.

© DWI OBLO

Asmaradana Merapi137

Page 158: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 138

Page 159: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi139

Page 160: Buku Asmaradana Merapi

waktu untuk memberikan peringatan dini kepada warga juga relatif tepat.

Selain memantau aktivitas vulkanis dan memberi rekomendasi status bahaya Gunung Merapi, BPPTKG juga merasa perlu mendatangi masyarakat. Kesiapsiagaan yang baik membutuhkan gabungan antara ketepatan prediksi bahaya dan pemahaman warga mengenai bahaya gunung api.

BPPTKG menyadari, tugas untuk memberikan peringatan dini butuh kesamaan persepsi antara lembaga tersebut sebagai pemberi informasi dan warga sebagai penerima informasi. Supaya bisa direspons dengan baik, warga harus terlebih dahulu diberi pengetahuan cukup. Termasuk pengenalan terhadap sistem peringatan dini sederhana: memahami tingkatan status bahaya gunung api, mulai dari aktif normal, waspada, siaga, hingga awas, berikut keterangan tentang apa yang harus dilakukan warga di masing-masing tingkatan status tersebut. Dengan begitu, bila peringatan dini menyatakan status awas, warga harus mengungsi ke tempat yang sudah direkomendasikan pemerintah daerah.

Inilah yang memicu kemunculan program yang kemudian menciptakan pranata baru di tingkat warga, yakni Wajib Latih Penanggulangan Bencana (WLPB). Sebenarnya, sudah sejak 2005 BPPTKG bermaksud mengubah sistem penyuluhan satu arah dengan cara

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 140

yang lebih dialogis dan intensif. Tetapi, momentum untuk itu baru benar-benar mewujud ketika pada 2008 terbentuk Forum Merapi, forum koordinasi pemerintah empat kabupaten (Sleman, Magelang, Klaten, dan Boyolali) yang bertujuan meningkatkan kapasitas warga akan bahaya Gunung Merapi. WLPB menjadi salah satu program Forum Merapi.

Dalam penerapan WLPB, BPPTKG bekerjasama dengan Pusat Studi Manajemen Bencana (PSMB) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, yang dianggap terampil dalam urusan pendampingan masyarakat. BPPTKG juga berkolaborasi dengan organisasi masyarakat seperti Pasag Merapi. Sekalipun begitu, terutama karena ada kata “wajib”, sempat muncul pertentangan dari sebagian warga. Banyak kalangan trauma dengan kata itu, seperti mengingatkan warga dengan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).4 Padahal, WLPB sebenarnya merupakan wadah yang dibuat untuk menjelaskan proses vulkanis secara sederhana. Kegiatan WLPB tak hanya mengadakan penyuluhan, tetapi juga menggalakkan pelatihan.

Dalam penerapan WLPB, ada prioritas sasaran peserta. Selain diukur dari kajian dan prediksi letusan ke depan, penentuan prioritas itu diukur

Relawan Satgana Cakra-PMI Pakem sedang beristirahat di salah satu rumah warga setelah bekerja

menyisir perkampungan untuk mencari dan menyelematkan

korban.

© TRK INSIST/Edi Kusmaedi

Page 161: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi141

berdasarkan peta KRB. Misalnya, saat ini BPPTKG yakin arah letusan Gunung Merapi dominan ke selatan. Sebelum 2006, prioritas WLBP adalah desa-desa barat daya Gunung Merapi karena letusan Gunung Merapi selama hampir 80 tahun sebelumnya dominan ke barat daya. Sejak 2006, letusan bergeser ke selatan sehingga prioritas sasaran WLPB turut bergeser ke selatan.SELAIN informasi akurat mengenai status bahaya Gunung Merapi, jaringan relawan juga memegang peran penting dalam kerja tanggap darurat maupun segera setelahnya. Mereka menunjang dengan menekan dampak terhadap manusia maupun aset, sehingga warga dapat segera beraktivitas begitu keadaan mereka anggap memungkinkan. Dengan aset dan tubuh yang sehat, warga bukan hanya dapat segera pulih dari imbas bencana, melainkan juga bisa memanfaatkan peluang-peluang baru yang muncul setelah bencana.

Salah satu komunitas relawan itu adalah Satuan Siaga Penanggulangan Bencana (Satgana) Cakra-PMI Kecamatan Pakem, Sleman.5 Setelah bencana Gunung Merapi 2010, Satgana Cakra-PMI Pakem menjadi pendorong utama bagi upaya Pemerintah Kabupaten Sleman untuk menyatukan komunitas-komunitas relawan yang bergiat di bidang penanggulangan bencana.

Payung komunitas itu bernama Forum Komunitas Lintas Relawan (Foklar). Kini Foklar telah menggandeng 40-an komunitas relawan. Tak hanya mencakup daerah Sleman, Foklar juga merangkul komunitas-komunitas relawan dari Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Kelompok relawan itu telah bekerja secara nyata; bergabung dalam sistem kolektif bersama institusi lain untuk membentuk semacam sistem peredam ancaman. Kelompok ini bekerja agar ancaman sebisa mungkin tidak berubah menjadi bencana, dengan mengusahakan agar orang-orang dan aset yang mungkin terdampak berada di tempat aman ketika ancaman menyerang. Bila BPPTKG bekerja mendeteksi ruang dan waktu kedatangan ancaman, para relawan bertugas memastikan agar orang dan aset sudah tiba di tempat aman ketika datang ancaman. Dengan begitu, risiko bisa ditekan dan proses pascabencana bisa berlangsung lebih ringan.

Suranto, relawan Satgana Cakra-PMI Pakem, siap bahu-membahu bersama relawan lainnya di sepanjang lereng Gunung Merapi.

© TRK INSIST/Saleh Abdullah

Page 162: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 142

Page 163: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi143

Page 164: Buku Asmaradana Merapi

SALAH satu letusan Gunung Merapi yang menyentak kesadaran warga adalah letusan

pada 1994. Waktu itu, 67 warga Dusun Turgo, Desa Purwobinangun, Sleman, tewas. Ribuan warga lain mengungsi. “Di pengungsian, warga merasa ada sesuatu yang tidak beres. Warga diwedhuske (diperlakukan seperti kambing), karena makanan saja harus dimasakkan,” ujar Gendon, panggilan akrab Sigit Widdiyanto, pegiat Komunitas Pecinta Alam Pemerhati Lingkungan (Kappala).

Setelah melewati masa tanggap darurat, pada 1995 warga mulai membentuk wadah bersama untuk menyikapi ancaman bencana. Keanggotaannya terus meluas hingga menjangkau desa-desa di empat kabupaten yang mengelilingi Gunung Merapi.

Pada 5 April 2001, mereka resmi menamakan diri “Paguyuban Sabuk Gunung Merapi” atau Pasag Merapi. Nama ini mengacu pada keberadaan anggota yang mengelilingi Gunung Merapi. Beragam pelatihan diadakan guna membangun kesadaran dan

kesiapsiagaan warga terhadap ancaman bencana Gunung Merapi. Mereka berupaya semaksimal mungkin mengelola pengetahuan maupun peralatan yang ada untuk tujuan tersebut.

Pada erupsi Gunung Merapi 2006, semakin banyak anggota Pasag Merapi yang memanfaatkan HT untuk berkomunikasi. Radio komunitas pun mulai didirikan di empat kabupaten.

Pada erupsi 2010, anggota Pasag Merapi aktif mendampingi warga di lingkungannya masing-masing. Mereka adalah korban sekaligus relawan. Mereka ikut menyalurkan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan warga, serta berupaya agar warga dan anak-anak di lokasi pengungsian bisa tetap beraktivitas.

Pasag Merapi kini merupakan organisasi sosial kemasyarakatan yang mempunyai anggota dari 60 desa di sekeliling Gunung Merapi. Seluruh desa yang masuk di Kawasan Rawan Bencana (KRB) termasuk di dalamnya.

Bersiaga Mengelilingi Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 144

Beberapa petani dari lereng Gunung Merapi pulang dari ladang. Mereka mengangkut

rumput di atas truk pengangkut pasir.

© DWI OBLO

Page 165: Buku Asmaradana Merapi

Keanggotaannya bersifat cair. Siapa pun bisa bergabung selama memiliki kemauan. Koordinasi dengan anggota dilakukan oleh seorang koordinator yang ada di setiap kabupaten. “Kami sebenarnya lebih membangun paseduluran (persaudaraan). Tujuan kami sama, yakni supaya terhindar dari ancaman bahaya Gunung Merapi, serta melestarikan lingkungan gunung tersebut,” kata Purwo Widodo, Ketua Umum Pasag Merapi.

Anggota Pasag Merapi mayoritas bekerja sebagai petani dan peternak. Merekalah yang mendukung Pasag Merapi sehingga bisa bergerak secara mandiri. “Bahkan, untuk menghidupi pertemuan rutin Pasag Merapi setiap dua bulan sekali, kami bergantung pada iuran masing-masing individu,” ungkap lelaki asal Desa Kemiren, Kecamatan Srumbung, Magelang ini.

Saat ini, Pasag Merapi aktif menjalankan sejumlah kegiatan seperti pembangunan gardu pantau di sejumlah desa, pemberdayaan ekonomi anggota dengan fokus di sektor peternakan, serta memfasilitasi lokakarya pengurangan risiko bencana di berbagai komunitas.

Selain aktivitas tersebut, hal pokok yang menjadi perhatian Pasag Merapi adalah membangun gerakan kesiapsiagaan terhadap bencana, khususnya erupsi Gunung Merapi.

“Makanya kami berupaya membangun kesadaran soal itu di berbagai komunitas,” tambah Gendon.[]

Sumber: Layang PRB September–Oktober 2012

Asmaradana Merapi145

Salah satu upaya untuk mempersiapkan warga yang lebih siaga menghadapi bencana erupsi Gunung Merapi, SAR DI Yogyakarta melakukan penerimaan dan pelatihan sukarelawan di tingkat desa di sepanjang lereng Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Page 166: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 146

Page 167: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi147

Page 168: Buku Asmaradana Merapi

BENTUK lain dari daya redam adalah sarana dan prasarana yang khusus diadakan untuk mengurangi risiko bencana. Kapasitas seperti ini bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari tabungan untuk masa krisis pascabencana, jaringan komunikasi seperti radio komunitas, dan jalur evakuasi. Mengenai jalur evakuasi, pemerintah bisa berperan sebagai pembangun jalan. Pemerintah Kabupaten Sleman, misal, berkontribusi untuk menyiapkan jalan sebagai jalur evakuasi dari Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, yang berada di KRB III, hingga ke daerah di luar KRB.

Namun, tugas pemerintah bukan tanpa hambatan, terutama bila memerlukan koordinasi antar kabupaten. Keberadaan jalur evakuasi di Glagaharjo, misalnya, yang hendak dan dapat digunakan oleh warga Desa Balerante, Kecamatan Kemalang, Klaten, hingga awal 2014 masih belum memadai. Jalan utama untuk keluar dari KRB rusak parah karena selama ini dilalui truk pengangkut pasir. Pemerintah Kabupaten Sleman dan Klaten pernah bersepakat untuk membiayai bersama pembangunan jalur evakuasi tersebut.5 Tetapi, hingga Februari 2014, rencana tersebut belum tampak bergeliat.

Hambatan juga bisa datang dari perbedaan pendapat antara warga dan pemerintah daerah. Warga Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Magelang, semisal, menolak pindah keluar Gempol, sekalipun Gempol termasuk kawasan rawan bencana lahar hujan. Warga merasa wilayah Gempol kini sudah aman, setidaknya

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 148

berdasarkan pengamatan versi mereka, yakni dengan adanya pembuatan jembatan baru serta pendalaman dan pelebaran badan Kali Putih.7 Bahkan, beberapa bagian bantaran sungai sudah ditinggikan dengan tanggul yang kokoh. Di sejumlah titik di badan sungai pun didirikan sabo dam agar debit dan arus aliran sungai tak akan besar sesampai ke kawasan hilir.

Apalagi, warga Gempol sudah sedari dini membentuk tim siaga bencana, yang diambil dari relawan-relawan warga setempat. Mereka disokong Yakkum Emergency Unit (YEU) dalam mengembangkan kapasitas tim siaga. Mereka pernah melakukan simulasi seandainya terjadi banjir lahar hujan sehingga mengetahui cara yang benar untuk merespons bahaya. Sejumlah alat pendukung tim siaga juga hampir mencukupi: jalur evakuasi, titik kumpul, tandu, truk evakuasi, megaphone, genset, repeater dengan frekuensi tersendiri, termasuk protokol tetap serta tugas pokok dan fungsi bagi personel tim siaga.

KEBERADAAN sistem jaringan informasi berupa radio komunitas juga memegang peran penting dalam membentuk daya redam warga. Pada kondisi siaga, peran radio komunitas Lintas Merapi di Dusun Deles, Desa Sidorejo, Kecamatan Kemalang, Klaten, semisal, sangat efektif sebagai alat komunikasi untuk memantau perkembangan ancaman letusan Gunung Merapi. Wargasekitar belajar dari pengalaman bencana sebelumnya di desa-desa di lereng Gunung Merapi, yang lambat menanggapi ancaman letusan karena lambannya penyampaian

informasi kepada mereka.

Ide mendirikan Lintas Merapi muncul pada 1994. Kala itu, salah satu warga Deles, Sukiman, bersama dengan Pasag Merapi berpikir untuk menggunakan alat komunikasi yang mudah dan murah dalam urusan kebencanaan. Salah satu alternatif alat komunikasi semacam itu adalah HT. Tetapi, kala itu HT tak bisa dimiliki semua orang. Pada 2001, pintu mulai terbuka ketika mereka memperoleh bantuan peralatan radio dari sebuah lembaga swadaya masyarakat. “Harga peralatan radio itu hanya sekitar 2 juta rupiah. Tapi, bagi kami, ongkos tersebut sangat mahal. Kalau kami ada uang sejumlah itu, lebih baik untuk keperluan sehari-hari,” ungkap Sukiman.7

Seiring datangnya peralatan, Sukiman mulai melibatkan warga Deles untuk mengoperasikan peralatan radio. Warga dikirim untuk belajar dari satu pelatihan ke pelatihan lain. Mereka aktif meminta siapa pun yang dikenal untuk mengajarkan keterampilan mengoperasikan radio dan komputer. Walau pada tahap awal masih tertatih-tatih dalam hal teknis, mereka sadar bahwa radio komunitas itu mestinya bergerak mandiri dengan tenaga warga sekitar sekaligus hidup secara swadaya.

Kini, radio komunitas Lintas Merapi dihidupi oleh 26 kru, yang berasal dari Desa Sidorejo, Tegalmulyo, dan Balerante. Perannya pun terus berkembang. Tak hanya menyiarkan program radio, Lintas Merapi juga menjadi pusat kegiatan warga,

Page 169: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi149

Page 170: Buku Asmaradana Merapi

mulai dari kegiatan belajar anak-anak dan pemuda, pelestarian lingkungan, sampai urusan pengembangan ekonomi warga. “Radio komunitas itu punya roh kalau bermanfaat bagi warga setempat. Jadi, wargalah yang akan menghidupi radio komunitas,” ungkap Sukiman.9 Bukti bahwa Lintas Merapi memiliki “roh” bisa dilihat dari kesiapan warga Deles menghadapi ancaman bahaya Gunung Merapi yang datang berkali-kali. Mereka menjadi lebih tanggap dan siaga.

Selain radio komunitas, HT juga menjadi andalan komunikasi warga. Salah satu komunitas HT tergabung dalam frekuensi 149.070 Megahertz (MHz). Komunitas yang berpangkalan di Pos Pantau Merapi, Dusun Gondang, Desa Balerante ini sudah ada sejak 2006. Pemantauan dilakukan dengan menghubungkan HT pada saluran frekuensi seismograf yang ada di pos pantau. Koordinator Pos Pantau Merapi di Dusun Gondang, Agus Sarnyata, mengatakan, komunikasi HT sempat membantunya untuk menuntun warga evakuasi, sebelum peralatan tersebut musnah dilahap letusan 5 November 2010.10 Berawal dari tiga HT, kini komunitas tersebut berkembang menjadi tiga puluh HT setelah mendapat bantuan dari BPPTKG.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 150

Radio Gema Merapi FM merupakan salah satu radio

komunitas yang dibentuk oleh warga di sekitar Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Page 171: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi151

Page 172: Buku Asmaradana Merapi

MESKI warga lereng Gunung Merapi berhasil mengevakuasi diri dan sejumlah aset bergerak seperti

gerak seperti kendaraan dan ternak, sebagian masih harus mereka tinggalkan berhadapan dengan ancaman letusan. Rumah, lahan, ternak, atau aset lain mungkin tidak bisa mereka evakuasi. Karena itu, warga membutuhkan siasat agar segera bangkit setelah bencana; memanfaatkan segala yang tersedia saat itu.

Dari sini terbentuk adaptasi, penyesuaian-penyesuaian kecil yang dilakukan secara perlahan untuk menghadapi guncangan sesaat maupun tekanan jangka panjang. Ini dilakukan agar beragam fungsi masyarakat tetap bisa bertahan dan tidak terjadi perubahan kualitatif yang besar. Dengan begitu, di tengah kondisi yang senantiasa berubah, fungsi dan identitas sebuah struktur masyarakat tetap utuh. Bentuk kemampuan adaptasi bisa berwujud adopsi teknik bertani baru atau diversifikasi sumber penghidupan. Hal ini bisa dilakukan secara individual

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 152

Beradaptasi di Lereng Gunung Api

maupun kolektif sekaligus berlangsung di berbagai level, seperti rukun tetangga, desa, dan sebagainya.

Dengan demikian, sekadar mampu menghindar sebelum tertimpa ancaman tidaklah cukup. Adaptasi butuh kemampuan menyusun siasat menghadapi masa lebih panjang di antara dua letusan. Bila daya redam berfungsi sebagai pelindung otomatis setiap kali datang ancaman, daya adaptasi berperan merawat ketangguhan di luar kurun itu. Di bagian ini, kami akan melihat bagaimana warga senantiasa berusaha mengadaptasikan bentuk penghidupan dan permukiman mereka sesuai kondisi alam lereng Gunung Merapi, termasuk setelah tertimpa erupsi.SETELAH erupsi Gunung Merapi 2010, salah satu aktivitas wisata yang berkembang adalah petualangan menyusuri lereng Gunung Merapi dengan kendaraan yang memacu adrenalin: motor trail dan jip. Para pemuda yang biasanya mencari rumput untuk pakan ternak dan menggarap sawah, sebagian kini beralih profesi sebagai pegiat wisata

Bambang Sugeng bersama jip kesayangannya yang digunakan

untuk membawa wisatawan berwisata ke beberapa tempat di

lereng Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Page 173: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi153

Page 174: Buku Asmaradana Merapi

ini. Untuk jip, sampai Februari 2014, total ada sekira 180 jip dari 9 komunitas. Mereka menyulap mesin apa pun menjadi jip dengan modifikasi organik. Mereka pun mengenal istilah mobil “Kiwil”—mesin dicopot dari Kijang, bodi dari Willys. Pangkalan wisata ini terletak di Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.

Mengorganisir 13 jip, seorang warga dari Desa Pakembinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, Bambang Sugeng, mengawali aktivitas geowisata ini pada Februari 2011. Kala itu destinasi petualangan mereka masih terbatas. Maklum, hujan deras bisa merusak rute susur mereka. Tak sekali-dua kali mereka terjebak di antara dua bentangan sungai yang dilalui aliran lahar hujan. Kawasan-kawasan yang diratakan oleh erupsi pun belum bisa dijamah semua. Kini, ketika hampir seluruh sudut lereng Gunung Merapi sudah tersibak, bahkan wisatawan bisa leluasa memilih situs-situs yang diinginkan, seberat apa pun jalur yang mesti ditembus.

Dari jeep adventure ini, Kotir, panggilan akrab Bambang Sugeng, melayani minimal dua kali trip dalam sehari. Tarif sekali trip 250.000 rupiah. Itu untuk short trip. Tarif medium trip dan long trip sama: Rp 500.000. Menerawang tahun-tahun ke belakang ketika baru memulai wisata jip, Kotir meyakini bahwa jeep adventure telah

menjadi magnet wisata baru Gunung Merapi.11 Kini wisatawan datang berduyun-duyun begitu memasuki musim libur. Ada yang mengetahuinya melalui internet, ada yang langsung datang ke pangkalan wisata.

Salah satu destinasi wisata jip ini Museum Sisa Hartaku di Dusun Petung, Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman. Museum itu awalnya merupakan inisiatif seorang nenek untuk menyulap rumah yang bersisa barang-barang sisa amukan awan panas dan tembok kusam. Bu Wati, nama pemilik rumah itu, mengumpulkan barang-barang yang tersisa dan menata di dalam rumah bagaikan museum. Kabar museum itu cepat menyebar di internet. Lapak-lapak suvenir, mulai dari kaos oblong sampai album foto erupsi, tumbuh di sekitar museum. Ibu Wati tidak memungut tiket masuk museum. Dia mendirikan warung kecil di dekat museum.

Di samping usaha jasa wisata, sebagian warga lereng Gunung Merapi bekerja dalam sektor penambangan pasir. Pada Minggu, 9 Februari 2014 lalu, kami dikemudikan jip oleh Kotir menuruni Kali Gendol yang kaya material vulkanis—batu dan pasir. Di kiri atau kanan jalan menurun menuju sungai sering tampak jurang tambang pasir. Dari sinilah warga sekitar sungai

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 154

Salah satu bagian terakhir dari perjalanan menggunakan jip, wisatawan diharuskan untuk

melewati tantangan medan basah di Kali Gendol.

© ARMIN HARI

Page 175: Buku Asmaradana Merapi

mengais lagi remah-remah pendapatan sisa erupsi. Sebagian sopir dan pemilik truk pengangkut pasir bukan warga lereng Gunung Merapi. Tetapi, pemerintah desa masih bisa mengambil keuntungan dengan cara menarik retribusi Rp 10.000 untuk setiap truk yang masuk lokasi tambang.

Sebagian warga bekerja sebagai thoker, yaitu meratakan pasir truk yang kelebihan muatan. Hampir semua truk mengalami kelebihan muatan karena pasir dikeruk dengan backhoe tanpa takaran. Untuk setiap truk, tersedia upah Rp 50.000 kepada buruh thoker yang mayoritas dilakoni kaum perempuan. Sekali meratakan muatan bisa menyedot sekitar sepuluh orang. Seorang ibu dari Huntap Batur yang melakoni kerja thoker di Kali Gendol mengaku, dalam sehari, dia pernah memperoleh upah Rp 50.000.12 Pendapatan yang paling maksimal itu berarti mensyaratkan cuaca cerah seharian, dengan bekerja dari subuh sampai sore.KENDALA yang mengancam proses adaptasi bisa tumbuh bersamaan dengan upaya warga memanfaatkan peluang seusai terjadi erupsi. Wakil Bupati Sleman Yuni Setia Rahayu kerap menerima laporan dari warga mengenai pelanggaran penambangan pasir, yang tidak jarang berlangsung sampai larut malam. Padahal, aktivitas tersebut seharusnya sudah berhenti

Asmaradana Merapi155

pada pukul 18:00.13 Bahkan, ketika Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor 284/Kep.KDH/A/2011 tentang Normalisasi Aliran Sungai Pasca Erupsi Gunung Api Merapi telah habis masa berlaku sejak 11 Desember 2013, hingga dua bulan setelahnya masih terdapat pengerukan material sungai.14

Yuni mengatakan, pemerintah desa mesti berupaya aktif untuk mengendalikan penambangan pasir dan menangani dampak-dampaknya.15 Menurut Yuni, kondisi itu turut menghambat gerak pemerintah desa untuk membuat peraturan desa, misalnya, demi menangkal dampak sosial penambangan pasir. Dia tak mengelak bahwa desa menghadapi dilema internal karena pemerintah desa maupun warga juga memetik berkah dari penambangan pasir. Pemerintah desa mendapatkan pemasukan lewat retribusi, sementara warga memperoleh penghasilan sementara (bagi mereka yang lahannya tertimbun material vulkanis). Selain menjadi sumber mata pencaharian baru, kegiatan penambangan pasir awalnya diharapkan dapat membantu normalisasi sungai-sungai yang tertutup oleh material vulkanis.

Isu lain yang berkembang dari penambangan pasir di Cangkringan, Sleman, adalah praktik prostitusi dan penyebaran infeksi menular seksual (IMS). Ini mencuat ketika kawasan itu

Para buruh angkut berusaha menarik keluar sebuah truk yang tertanam pada saat mengisi muatan pasir Gunung Merapi di daerah Kaliurang.

© ARMIN HARI

Page 176: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 156

Page 177: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi157

Page 178: Buku Asmaradana Merapi

praktis baru bergeliat dengan aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi pasca erupsi.16 Kasus itu terbongkar pada September 2013 saat Pemerintah Kecamatan Cangkringan mengamankan seorang anak di bawah umur yang menjajakan seks bagi para sopir truk di kawasan Kali Gendol.

Atas kasus tersebut, Camat Cangkringan mengelak jika dikatakan ada praktik prostitusi terselubung di sekitar penambangan pasir. Tetapi, sejak saat itu, pihaknya rutin menggelar razia di kawasan penambangan pasir, warung-warung di sekitar penambangan pasir, dan lokasi-lokasi wisata. Puskesmas Cangkringan pun segera membentuk tim penanganan IMS untuk memberikan penyuluhan, pendekatan, dan pendataan warga yang menderita IMS. Sejak tim bekerja pada September dan November 2013, tiga puluh dari tujuh puluh lima warga yang memeriksakan diri dinyatakan positif gonore alias penyakit kencing nanah.

Puskesmas Cangkringan mendata bahwa persebaran IMS di Cangkringan merata di empat desa: Umbulharjo, Kepuharjo, Argomulyo, dan Wukirsari. Keempat desa itu adalah daerah terdampak parah erupsi 2010. Pada 1 Desember 2013, Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Kabupaten Sleman pun menggelar peringatan Hari AIDS Sedunia di Cangkringan. Menurut KPA

Sleman, Cangkringan termasuk kecamatan yang memiliki indeks warga penderita IMS cukup tinggi di Sleman, salah satunya karena keberadaan banyak sopir truk pasir. Para sopir truk merupakan salah satu pelaku yang memiliki tingkat kerawanan menderita IMS tinggi, yang merupakan pintu masuk bagi virus HIV/AIDS.

PERBEDAAN cara pandang yang belum teratasi antara versi pemerintah dan warga sering terjadi dalam proses adaptasi. Bagi sebagian warga, ketetapan yang dibuat pemerintah tidak selalu akan diikuti karena berbagai alasan. Salah satu titik silang pendapat yang paling sering mencuat itu menyoal permukiman ulang atau relokasi. Berbagai kisah penolakan warga untuk tinggal di lokasi tujuan relokasi telah menjadi cerita lama dan tetap bertahan. Ini menjadi salah satu pekerjaan rumah bagi berbagai pihak untuk mencari cara terbaik menyikapinya.

Mengapa masalah relokasi warga terdampak letusan dan lahar hujan Gunung Merapi begitu sulit dipecahkan? Narasi di bawah ini menggambarkan kerumitan masalah relokasi.

Di Sleman, terdapat tiga dusun yang termasuk dalam KRB III tetapi tetap dihuni oleh warga, yakni Dusun Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen di Desa Glagaharjo. Ketiga

Sebagian besar buruh angkut yang bekerja di daerah pengga-

lian pasir Gunung Merapi adalah perempuan. Mereka bekerja untuk meratakan muatan pasir di setiap

truk yang akan membawa pasir ke beberapa bagian di Jawa Tengah.

© ARMIN HARI

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 158

Page 179: Buku Asmaradana Merapi

dusun berjarak sekitar 5 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Warga ketiga dusun itu menolak relokasi. Akibatnya, mereka sempat tak memperoleh bantuan dan fasilitas dari pemerintah. Warga ketiga dusun tak ambil peduli dengan status KRB. Mereka bahkan menanggapi sinis kebijakan kawasan rawan bencana: memelesetkan “KRB” sebagai “Kawasan Ra di Bantu" (Kawasan Tak Dibantu).17

Mereka sadar terhadap konsekuensi dari keputusan menolak relokasi. Dengan keputusan itu, warga secara swadaya, dibantu oleh beberapa LSM dan perorangan, membangun berbagai fasilitas hidup seperti jaringan air bersih, balai desa, masjid, dan jalan desa. Yang menarik adalah inisiatif mereka untuk membangun jaringan listrik. Mereka mendapat sambungan aliran listrik dari Klaten karena tak mendapati fasilitas sambungan listrik dari Pemerintah Kabupaten Sleman. Mereka beriuran untuk membeli tiang dan kabel listrik. Awalnya mereka tidak dikenakan biaya pemakaian oleh PLN Jawa Tengah. Sejak setahun terakhir, mereka diperlakukan seperti pelanggan PLN pada umumnya.

Kini, setelah tiga tahun warga berkeras tinggal di KRB, Pemerintah Kabupaten Sleman sudah menyalurkan listrik ke Glagaharjo. Program-program pembangunan yang lain, seperti raskin dan Program

Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), tetap disalurkan ke warga, tanpa memandang kawasan tinggal. “Kami cuma mau memberi pelajaran di awal. Lama-lama kami tidak tega. Dukungan dalam konteks pascabencana yang kami berikan akhirnya hanya dalam batas minimum. Kami tidak mau jadi sumber kecemburuan dengan warga yang sudah mau relokasi,” kata Wakil Bupati Sleman Yuni Setia Rahayu.18

Kepala Desa Glagaharjo Suroto mengisahkan, setelah warga berhasil membersihkan rumah dan lahan begitu balik ke rumah masing-masing, mereka langsung mengolah lahan dengan menanam tanaman pangan, seperti padi, ganyong, dan sayuran.19 Tak berapa lama, beberapa warga yang masih memiliki tabungan mulai membeli sapi. Warga Glagaharjo yang sudah tinggal di hunian tetap (Dusun Banjarsari, Singlar, dan Jetis Sumur) pun mulai “mengimpor” bahan pangan dari ketiga dusun teratas. Permintaan tersebut mendorong dusun teratas untuk meningkatkan produksi tanaman pangan dan sayuran. Suroto mengklaim bahwa peningkatan permintaan ini mendongkrak penghasilan warga di ketiga dusun teratas.

Meski tinggal di KRB III, menurut Suroto, warga tetap siaga dengan aktivitas Gunung Merapi. Artinya, kesiapsiagaan warga tetap menjadi

Salah satu hunian tetap yang dibangun di DI Yogyakarta adalah Huntap Pagerjurang. Hunian itu kini menjadi lokasi mukim baru bagi korban erupsi dan lahar hujan Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Asmaradana Merapi159

Page 180: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 160

Page 181: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi161

Page 182: Buku Asmaradana Merapi

bahan perhatian bagi pemerintah desa maupun institusi warga seperti Tim Siaga Bencana Kelurahan (TSBK). Seluruh pedukuhan di desa ini sudah membentuk TSBK. Selain itu, warga mengandalkan pengetahuan lokal dalam membaca gelagat Gunung Merapi. Menurut Suroto, warga tetap yakin pada tanda-tanda alam seperti peningkatan temperatur udara, perilaku hewan, dan wangsit yang diterima oleh orang-orang tertentu di desa sebagai pertanda yang layak dijadikan pertimbangan dalam mendeteksi aktivitas Gunung Merapi.

Wakil Bupati Sleman Yuni Setia Rahayu memahami bahwa warga Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, dan Srunen memang terbiasa hidup dengan rumah dan halaman yang luas, baik untuk pekarangan atau ternak. Selain itu, Yuni menambahkan, sebenarnya ada problem kekuasaan dalam relokasi warga. Kalau ketiga dusun di Glagaharjo dipindahkan ke tempat baru, para dukuhnya harus ikut relokasi dan melebur ke dusun tujuan. Artinya, para dukuh dari tempat yang lama tidak menjadi dukuh lagi di tempat baru. Padahal, setiap dukuh mendapatkan jatah tanah lungguh. Kalau mereka direlokasi, jabatan berikut hak dukuh atas tanah lungguh akan hilang.20

Sebagaimana di Sleman, Pemerintah Kabupaten Klaten juga harus berhadapan dengan warga yang menolak relokasi. Setelah erupsi 2010, Desa Balerante ditetapkan sebagai KRB III.Konsekuensinya, kawasan Desa Balerante harus bebas dari hunian tinggal dan hanya bisa diperuntukkan bagi lahan pertanian.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 162

Selain larangan untuk membangun hunian, larangan terhadap warga juga meliputi aktivitas penghidupan utama seperti beternak sapi di KRB III. Meskipun dihadang dengan sejumlah larangan tersebut, warga memilih bertahan di tanah mereka.

Sebagai bentuk adaptasi di KRB, warga Balerante menerapkan perilaku untuk mengurangi dampak letusan Gunung Merapi. Misalnya, warga mulai mengendalikan keinginan untuk membangun rumah mewah. Bagi mereka, rumah cukup berfungsi sebagai tempat berlindung. Selain itu, warga mulai menabung di bank ketimbang membelanjakan uang untuk membeli ternak atau barang-barang rumah tangga yang mewah. Untuk bersiaga menyelamatkan diri, aparat desa menghimbau setiap kepala keluarga agar memiliki kendaraan bermotor. Dalam keadaan darurat, kendaraan itu mesti siap dikendarai sewaktu-waktu.21

Kepala Bidang Rehabilitasi dan Rekonstruksi BPBD Klaten Wachju Adi Pratomo menguraikan kebijakan yang disiapkan lembaganya berdasarkan Rencana Aksi (Renaksi) Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pascabencana Gunung Merapi 2010. Isi dokumen Renaksi tersebut antara lain menyepakati relokasi bagi warga KRB III. Pemerintah Kabupaten Klaten menyediakan lahan seluas 100 meter persegi dengan serti ikat hak milik warga jika warga KRB III bersedia untuk relokasi. Namun, menurut Wachju, pelaksanaan relokasi tidak

semudah yang dibayangkan, khususnya bagi 165 kepala keluarga di Desa Balerante.22

Wachju menambahkan, salah satu kendala utama pelaksanaan relokasi adalah beredarnya isu bahwa, apabila warga meninggalkan tanah miliknya untuk relokasi, tanah itu akan dikuasai pemerintah dan menjadi kawasan hutan lindung. “Padahal tidak begitu. Sudah saya buktikan dengan (penggantian) serti ikat,” terang Wachju.23 Berbeda dengan Wachju, Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Klaten Joko Rukminto mengatakan bahwa gagasan menguasai lahan warga untuk Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) memang pernah terbersit sebagai salah satu opsi kebijakan pemerintah.24

Kisah tentang keenganan relokasi warga ini boleh jadi muncul karena mereka punya bukti nyata. Proses adaptasi bagi warga yang menghuni tempat relokasi, meski terus berlangsung, sering diusahakan di tengah berbagai keterbatasan. Pengalaman warga penghuni Huntap Pagerjurang di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, menunjukkan adanya keterbatasan hidup di lokasi huntap. Kendala yang mereka hadapi malah banyak diciptakan oleh pihak yang mengusahakan huntap (lihat Bagian Lima).

Page 183: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi163

Page 184: Buku Asmaradana Merapi

TRANSFORMASI melibatkan perubahan besar-besaran terhadap struktur sosial masyarakat.

Transformasi berbeda dengan adaptasi, yang merupakan penyesuaian kecil-kecilan yang terus berlangsung berdasarkan “kondisi yang sudah ada”. Upaya transformasi berusaha mengubah “kondisi” tersebut. Transformasi bukan perkara teknis atau teknologi semata, melainkan juga melibatkan tindakan menuju reformasi institusi dan perubahan perilaku. Dengan kata lain, upaya transformasi merupakan tindakan menantang status quo, dalam arti mengubah sistem yang mapan.

Karena itu, hambatan upaya transformasi cukup berat sebab ingin mengubah sesuatu yang mengakar dalam budaya dan cara berpikir, yang terekspresikan dalam kebijakan sosial dan ekonomi, praktik manajemen sumber daya, dan praktik-praktik institusi dan sosial lainnya. Cerita di bawah ini menunjukkan upaya dan tantangan dalam mengusahakan transformasi. Semua ini dapat dilihat dalam upaya pengenalan audit sosial dan SID.

SEJAK Januari 2013 hingga hampir satu tahun berikutnya, warga Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Magelang, menggelar audit sosial terhadap Bantuan Dana Rumah (BDR) dan Bantuan Dana Lingkungan (BDL)—alias bantuan huntap—pascabencana Gunung Merapi. Audit yang didampingi Institute for Development and Economic Analysis (IDEA) Yogyakarta dengan sokongan DR4-MRR ini mestinya bisa selesai sebelum Desember 2013. Tetapi, temuan dari audit sosial itu tak kuasa membuat warga berdiam diri. Mereka terhenyak karena dari temuan audit terpampang sejumlah keganjilan dalam pelaksanaan proyek huntap. Data audit sosial ditangkap sebagai pelanggaran atas bantuan yang seharusnya diterima warga Sirahan.

Atas nama warga Sirahan, Widarto mengadukan sederet pelanggaran dalam proyek huntap ke Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Widarto termasuk satu dari 256 pemukim asal Sirahan yang tercatat sebagai penerima huntap. Dia tak menyia-siakan peluang saat seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

Usaha dan Tantangan Menuju Transformasi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 164

Untuk memperkuat kapasitas warga di bidang radio komunitas,

beberapa organisasi secara berkala memberikan pembekalan kepada

penyiar radio komunitas yang menyampaikan informasi tentang

Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Page 185: Buku Asmaradana Merapi

Magelang memberinya nomor telepon salah satu orang BPK. Rekapitulasi temuan audit sosial pun dikirimkan ke BPK, dengan jaminan bahwa temuan warga bukan tanpa bukti dan boleh diperiksa langsung di lapangan.

Sekitar akhir November 2013, seorang petugas BPK datang ke Sirahan untuk melakukan pemeriksaan lapangan. Di Sirahan, si petugas BPK didampingi oleh dua orang berseragam dinas Pemerintah Kabupaten Magelang. Menurut warga, dua orang dinas itu justru lebih sering merebut kesempatan untuk menjawab ketika BPK melempar pertanyaan kepada warga. Alhasil, pemeriksaan lapangan tersebut menjelma sebagai safari dinas belaka.

Tak mau dikira kalah gesit, Widarto segera membawa hasil temuan audit ke hotel tempat petugas BPK menginap. Orang BPK itu esoknya melakukan pemeriksaan lapangan/ulang tanpa didampingi orang dinas satu pun. Hasilnya, mengejutkan. BPK menengarai memang ada pelanggaran dalam pelaksanaan proyek huntap. Hal itu cukup melegakan Widarto dan warga Sirahan, hingga mereka kini bersedia menunggu keputusan BPK untuk ditindaklanjuti dalam wujud penyelesaian masalah huntap.

Atas terhubungnya warga Sirahan ke BPK, Rinto Andriono dari DR4- MRR mengatakan, “Sudah cukup

Asmaradana Merapi165

untuk menjadi tolok ukur keberhasilan audit sosial di Sirahan.”25 Capaian itu dianggap melebihi target yang bisa dibayangkan DR4-MRR, sekaligus IDEA. Semua ini dapat dibaca sebagai awal dari terjadinya transformasi melalui pembentukan pranata baru, yakni audit sosial. Audit sosial merupakan bentuk pemantauan secara partisipatif karena dilakukan oleh warga.

Menurut Koordinator Divisi Advokasi Kebijakan Sensitif Pengurangan Risiko Bencana IDEA Sunarja, selama ini tidak ada audit terhadap penerimaan bantuan yang dilakukan oleh warga. Mekanisme tersebut tidak ada dalam rancangan program pemerintah. Kalau pun ada evaluasi, pemerintah lebih melihat sisi serapan dana bantuan. Proses audit sosial atas bantuan dari pemerintah perlu didorong untuk menjalankan prinsip bahwa pemerintah merupakan pihak yang berkewajiban untuk memberi pelayanan kepada warga.26

SELAIN berhasil menginisiasi perubahan hingga tingkat dialog dengan pengambil kebijakan, pelaksanaan audit sosial sekaligus perkenalan cara baru untuk mengevaluasi program bantuan pemerintah. Imam Setiyadi, fasilitator IDEA untuk program audit sosial di Sirahan, berkisah bagaimana program itu memakan waktu cukup lama,

Totok, warga asal Dusun Srodokan, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Sleman, memperlihatkan papan informasi tentang bantuan uang tunai pembangunan rumah pascabencana Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Page 186: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 166

Page 187: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi167

hingga hasilnya dapat dirasakan warga maupun IDEA. Mereka memperkenalkan cara baru kepada warga sekaligus mengembangkan metode baru pelaksanaan audit sosial yang berbeda dengan standar baku.

Menurut Imam, audit sosial sejatinya dicanangkan sebagai aksi cepat untuk menyelesaikan permasalahan warga. “Setelah dilakukan audit, tiga bulan berikutnya mesti dilakukan audit lagi untuk memantau pengaruh, dalam arti perbaikan di lapangan, terhadap pelaksanaan audit yang pertama. Begitu seterusnya hingga masalah yang telah diidentifikasi bisa dicarikan solusi dan perbaikannya,” kata Imam.27 Berbeda dengan diktat pelaksanaan audit sosial yang ideal, proses pelaksanaan audit sosial Sirahan berjalan hampir satu tahun dan hanya untuk sekali audit.

Proses itu nyaris mengubah semua diktat yang pernah dibaca Imam mengenai audit serta ancangan bagaimana sebuah audit sosial diakhiri. Intinya, semua boleh direncanakan, tapi tetap bergantung pada warga yang menjalankannya. Di Sirahan, memang warga berperan besar dalam merancang dan menjalankan audit. Warga berperan sebagai auditor, pencari data, hingga mengadukan hasil audit. Pemilihan isu permukiman pun merupakan pilihan warga Sirahan. Tak lupa pula,

kuesioner disusun oleh warga sendiri. “Karena itu, tak mengherankan bila kuesioner yang dihasilkan warga itu cukup sederhana. Sebelum menjadi kuesioner yang final, kuesioner itu diujicobakan dulu ke tetangga terdekat mereka,” terang Imam.28

Imam mengisahkan, ketika bergerak mencari data penerima huntap, warga dibuat bingung oleh versi data dari beberapa pihak. Dari pemahaman warga sendiri muncul banyak versi terkait jumlah penerima huntap. Selain itu, ada versi Surat Keputusan (SK) Bupati Magelang dan versi Rekompak. Warga memakai panduan SK Bupati Magelang karena dianggap paling memiliki kepastian legal.

Setelah itu, warga berkeliling dari pintu ke pintu untuk menyebar dan mengisi kuesioner. Mereka kemudian menemukan banyak soal, antara lain adanya pungutan bagi warga yang ingin cepat memperoleh huntap, sejumlah material yang dipakai dalam pembangunan huntap berkualitas rendah (misalnya, kusen dan besi), termasuk ongkos menurunkan pasir yang tak semestinya ditanggung warga sendiri lantaran pengerjaan land clearing tidak tuntas. Selain itu, ada yang merasa rumah hanyut tetapi belum mendapatkan rumah, ada anak muda yang belum menikah tetapi sudah mendapatkan rumah, ada pula satu keluarga yang mendapatkan dua

Kunjungan dari Indonesia Disaster Fund (IDF) dan New Zealand Aid ke Balai Desa Sirahan, Kecamatan Salam, Magelang, untuk melihat pengembangan SID dan audit sosial.

© DWI OBLO

Page 188: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 168

Page 189: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi169

Page 190: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 170

rumah karena nama muda dan nama tua dari kepala keluarga tersebut dianggap sebagai penerima yang berbeda.

Akhirnya, warga pun menilai bahwa serentetan permasalahan tersebut perlu diusut tuntas. Warga mengusulkan supaya diadakan pertemuan multipihak untuk menemukan solusi dari semua permasalahan yang mereka identifikasi, hingga berujung pada sesi dengar pendapat (hearing) di Gedung DPRD Magelang.

Sesi dengar pendapat mengundang dinas di Kabupaten Magelang yang terkait pelaksanaan proyek huntap, termasuk BPBD, dan Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda).

Sesi dengar pendapat memunculkan komitmen politik, baik dari BPBD, Bappeda, maupun DPRD, untuk menuntaskan tiga problem utama warga: listrik, serti ikat tanah, dan BDL. Soal listrik, warga rupanya mengeluarkan biaya sendiri untuk memasang instalasi listrik karena tak kunjung ada fasilitas dari pihak vendor Rekompak. Lalu, soal BDL. Problem warga terletak pada BDL untuk Huntap Semawe. Hingga habis kalender 2013, BDL untuk Huntap Semawe tidak turun kepada warga karena dipinjamkan ke huntap lain. Warga curiga pada pengalihan dana seperti ini karena pada dasarnya setiap

huntap sudah memiliki anggaran.Persoalan serti ikat tanah rada pelik.

Ada dua item bantuan permukiman: dana 30 juta rupiah untuk bangunan seluas 100 meter persegi dan 7 juta rupiah untuk tanah seluas 150 meter persegi (100 meter persegi untuk bangunan, 50 meter persegi untuk space kanan-kiri rumah dan jalan). Namun, ternyata tidak ada tanah seharga jumlah

dana bantuan itu. Harga tanah melonjak naik melebihi dana bantuan. Tidak ada tanah seharga 7 juta rupiah yang termasuk serti ikat. Alih-alih membangun rumah, sebagian warga justru kesulitan mendapatkan tanah untuk lokasi huntap.

Sampai di sini, keberhasilan mendesakkan diadakannya dengar pendapat merupakan babak baru bagi warga. Hal ini berarti terbukanya ruang dialog dengan pengambil kebijakan untuk membicarakan agenda publik, yang disodorkan warga. Namun, di sini juga letak tantangan terberat menuju transformasi dalam membangun ketangguhan warga. Kelanjutan perjuangan warga Sirahan di bawah ini sekali lagi menunjukkan bahwa bangunan kekuasaan yang mapan tidak dapat ditembus hanya dengan langkah teknokratis.PADA pertemuan multipihak yang digelar DR4-MRR, dengan fasilitator dari IDEA pada 10–11 Desember 2013, tiga problem huntap warga Sirahan masih belum terselesaikan. Padahal,

Selain di beberapa lokasi wisata di lereng Gunung Merapi, warga

juga banyak membuka warung atau kios sederhana di beberapa tempat lainnya, misalnya saja di lokasi Museum Sisa Hartaku di Dusun Petung, Desa Kepuharjo,

Kecamatan Cangkringan Sleman.

© ARMIN HARI

Page 191: Buku Asmaradana Merapi

pertemuan tersebut sedianya menjadi forum evaluasi serta pamungkas program audit sosial di Sirahan. Pada pertemuan ini, diundang pula Bappeda dan Rekompak. Mayoritas peserta forum adalah warga Sirahan (dan Jumoyo). Rekompak tidak hadir. Perwakilan Bappeda yang menghadiri undangan berbeda orang dengan staf yang menghadiri sesi dengar pendapat di DPRD.

Memang, dalam pertemuan yang digelar di salah satu hotel di Magelang itu terungkap bahwa warga bukan tidak memetik manfaat dari pelaksanaan audit sosial. Salah satu warga mengaku, ia kini jadi tahu langkah-langkah merancang audit sosial, juga paham tentang permasalahan dalam sektor permukiman, termasuk adanya sebagian kecil perbaikan dalam pelaksanaan proyek huntap. Widarto tak menyangkal ia kini mengetahui bahwa sejumlah poin anggaran proyek huntap belum tampak bukti penerapannya. “Proses audit sosial membantu kami untuk mengetahui pemenuhan anggaran huntap di sejumlah titik,” ujarnya.29

“Tetapi, sejauh ini proses audit sosial hanya berhasil mengungkap temuan untuk sampai di telinga warga. Sekalipun ada sesi-sesi pertemuan, serta komunikasi dengan pihak pemerintah, semua itu belum mampu menjadikan persoalan yang sudah diinventaris melalui audit sosial

itu terpecahkan,” ungkap Widarto lagi. “Warga ibarat dituntun menanam pohon rambutan hingga berbuah lebat, tapi tidak bisa memetik buahnya. Warga hanya diiming-imingi.”30

UPAYA lain yang dapat dianggap sebagai cikal bakal transformasi adalah pengembangan SID. Ini merupakan pranata baru yang dapat menyokong efektivitas rencana kontijensi bencana. Penggunaan sistem informasi yang rapi, siap pakai, dan transparan merupakan adopsi baru yang bakal mengubah cara warga memperlakukan informasi. Meski menghadapi beberapa kendala di lapangan, bila pranata ini dilanjutkan, warga desa yang menerapkan akan memulai hidup dengan kebiasaan baru dalam menghadapi ancaman. Di bawah ini gambaran sebagian proses dan tantangan yang dihadapi dalam penerapan SID di Balerante.

Balerante terlibat pengembangan SID yang digalakkan Combine Resource Institution (CRI) sejak 2009. Saat itu, Jainu, salah satu perangkat Desa Balerante, berinisiatif untuk menerapkan SID di Balerante. Letusan Gunung Merapi 2010, yang diwarnai ketidaksiapan perangkat desa dalam menangani pengungsi maupun bantuan, membulatkan tekad Jainu untuk mewujudkan SID walau dari bilik pengungsian. Sebagaimana,

Asmaradana Merapi171

Relawan dari Desa Tamanagung, Kecamatan Muntilan, Magelang, sedang memeriksa kondisi pengungsian di desa tersebut. Tempat pengungsian itu telah dilengkapi dengan fasilitas utama seperti kamar mandi dan dapur umum.

© ARMIN HARI

Page 192: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 172

Page 193: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi173

Page 194: Buku Asmaradana Merapi

disinggung dalam bagian sebelumnya. SID merupakan perangkat komputer serta aplikasi olah data berbasis PHP. Data-data inilah yang digunakan untuk mengelola dan mengorganisasikan bantuan bagi warga penyintas sehingga pemberian bantuan menjadi efektif dan tepat sasaran.

“Awalnya pendataan manual untuk sapi-sapi yang mati. Lalu, dengan komputer kantor, kami memberikan pelayanan masyarakat di pengungsian,” kata Jainu.31 Pelayanan masyarakat yang dimaksud adalah penyiapan surat keterangan yang dibutuhkan untuk urusan administratif. Kantor Kesbangpolinmas Klaten membantu pengadaan kertas. Dalam proses tersebut, Jainu menyadari sulitnya berhadapan dengan setumpuk data yang masih tersimpan secara manual.

Jainu, yang menjabat Kepala Urusan Pemerintahan, Kepala Urusan Keuangan Desa Balerante, sekaligus Kepala Dusun Gondang, merupakan satu-satunya warga Balerante yang mampu mengoperasikan perangkat lunak SID. “Tantangan terbesar yang dihadapi Balerante adalah pembentukan tim kerja desa. Hingga saat ini, pengelolaan SID di Balerante belum kolektif; masih terpusat pada Jainu,” kata Elanto Wijoyono dari CRI.32 Setiap kali ada perubahan data karena perpindahan penduduk, misalnya, Jainu sendiri yang

Jainu, Kepala Dusun Gondang, Desa Balerante, Kecamatan

Kemalang, Kabupaten Klaten, di depan rumahnya yang digunakan

sebagai salah satu sentra batik yang dikembangkannya bersama

warga.

© DWI OBLO

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 174

memutakhirkan data. Mengenai hal ini, Jainu pun mengeluhkan sulitnya menemukan perangkat desa atau warga yang mau belajar SID.

Pengembangan SID semestinya dilakukan melalui pembentukan tim desa yang melibatkan pemerintah desa. Selain pamong desa, anggota tim desa mencakup warga komunitas seperti anggota karang taruna dan perwakilan dusun. Tidak seperti di beberapa desa-desa lain yang sudah mendapatkan perangkat lunak SID, tim desa di Balerante belum terbentuk. “Mungkin butuh waktu lebih panjang bagi Balerante agar membentuk tim desa,” kata Joyo.33 Keluhan Jainu dan Joyo ini mencerminkan sebagian tantangan dalam mengusahakan transformasi. Perubahan yang mulai terlihat baru dapat berkembang apabila menjadi fenomena kolektif, kemudian menjalani proses pelembagaan—dalam hal ini, lembaga yang mengatur perilaku baru dalam menangani data.

Belum terlembagakannya perubahan ini dapat terlihat dari hasil kerja SID di Balerante. Informasi mengenai kependudukan Desa Balerante memang bisa diakses melalui situs web http://www.balerante-klaten.info/. Namun, hingga tengah Maret 2014, tampilan situs web tersebut masih berupa templat. Sebagian besar menu masih kosong; menu yang aktif baru data-data

Page 195: Buku Asmaradana Merapi

kependudukan sesuai format kartu keluarga. Situs web ini pun sementara masih menumpang hosting milik CRI. Saat ini domain dan hosting situs web Desa Balerante masih ditanggung CRI.

Harapan Joyo, pemerintah kabupaten akan mengambil alih pembiayaan tersebut. Harapan tersebut dapat ditafsirkan sebagai keinginan supaya terjadi transformasi yang terlembagakan. Transformasi hanya bisa terjadi jika berlangsung perubahan signifikan di institusi negara dan warga. Bila SID bisa berjalan dengan baik dalam kerangkainstitusi formal, maka transformasi sudah benar-benar terjadi. Tetapi, upaya transformasi di sini tidak hanya

perkara mengubah sistem pangkalan data, melainkan juga mengatasi masalah yang terungkap dalam audit sosial, perbedaan pendapat antara warga dan pemerintah soal relokasi, dan isu penghidupan warga penghuni KRB. []

Asmaradana Merapi175

Murid SDN Balerante menggunakan seragam olah raga mereka dan berpura-pura menjadi seorang ninja. Beberapa bulan setelah erupsi, mereka harus menempati sementara bangunan di salah satu kompleks hunian sementara.

© ARMIN HARI

Page 196: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 176

Page 197: Buku Asmaradana Merapi

1 Christophe Béné, Rachel Godfrey Wood, Andrew Newsham, Mark Davies (2012) “Resilience: New Utopia or New Tyranny? Reflection about the Potentials and Limits of the Concept of Resilience in Relation to Vulnerability Reduction Programmes”, CSP Working Paper 006, hal. 21.

2 Wawancara Subandriyo, 17 Januari 2014.

3 Subandriyo menekankan bahwa sifat ancaman gunung api tidak sepenuhnya dapat diprediksi (predictable), tapi bukan berarti tak bisa dideteksi (detectable). Itu berarti, ada gejala-gejala awal yang bisa dibaca sehingga warga pun mempunyai akses informasi peningkatan status bahaya gunung api.

4 Wawancara Subandriyo, 17 Januari 2014.

5 Komunitas relawan ini terbentuk dari

sekumpulan pemuda dari Kecamatan Turi, Pakem, dan Cangkringan kala merespons letusan Gunung Merapi pada 1994. Selepas letusan Gunung Merapi pada 2006, relawan Cakra mulai diupayakan menjadi anggota Satgana di dalam PMI Pakem. Lobi digeber sampai ke meja Bupati Sleman. Kini Cakra berlabel “Satgana Cakra-PMI Kecamatan Pakem”. Cakra pun mengantongi izin frekuensi radio dari Departemen Komunikasi dan Informatika dengan nama “Cakra-PMI”.6 Wawancara Yuni Setia Rahayu, 10 Februari 2014.

7 Wawancara Sudiyanto, 11 Desember 2012.

8 Wawancara Sukiman, 10 November 2012.

9 Wawancara Sukiman, 10 November 2012.

10 Wawancara Agus Sarnyata, 24 November 2013.

11 Wawancara Bambang Sugeng, 9 Februari 2014.

Asmaradana Merapi177

Page 198: Buku Asmaradana Merapi

12 Wawancara buruh toker di Kali Gendol, 9 Februari 2014.

13 Wawancara Yuni Setia Rahayu, 10 Februari 2014.

14 Harianjogja.com, 27 Januari 2014, “Aturan Normalisasi Kadaluwarsa, Penambang Diminta Berhenti”.

15 Wawancara Yuni Setia Rahayu, 10 Februari 2014.

16 Lihat Harianjogja.com, 26 November 2013, “Penderita Kebanyakan Ibu Rumah Tangga, Ada Unsur Ganti-ganti Pasangan”; Harianjogja.com, 26 November 2013, “Puluhan Warga Cangkringan Terinfeksi Penyakit Kelamin”; Harianjogja.com, 26 November 2013, “Puskesmas Cangkringan Bentuk Tim, Warga Jangan Malu Periksa”; Sorotjogja.com, 1 -Desember 2013, “Peringati Hari AIDS, Puluhan Pelajar Cegat Sopir Truk Pasir di Cangkringan”; Harianjogja.com, 1 Desember 2013, “Pernah Temukan PSK Anak, Camat Cangkringan Bantah Ada Prostitusi Terselubung”; Sorotjogja.com, 2 Desember 2013, “Di Sleman, Hubungan Seksual Masih Jadi Penular Terbanyak Kasus AIDS”.17 Wawancara Suroto, 1 November 2013. Lihat Kompas.com, 24 Mei 2013, “Protes Tak Dibantu, Kepanjangan KRB Jadi 'Kawasan Ra di-Bantu’”.

18 Wawancara Yuni Setia Rahayu, 10 Februari 2014.

19 Wawancara Suroto, 1 November 2013.

20 Yuni juga menjelaskan bahwa ada faktor eksternal yang semakin menyulitkan penerapan kebijakan relokasi pada warga ketiga dusun teratas di Glagaharjo. Warga Glagaharjo melihat bahwa warga Balerante, yang termasuk KRB III, dibiarkan Pemerintah Kabupaten Klaten untuk tinggal di sana. Hal ini menjadi alasan pembanding yang dipakai

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 178

warga Glagaharjo untuk beradu argumentasi di hadapan pejabat Pemerintah Kabupaten Sleman, yang terus mendesak mereka untuk relokasi. Sejauh mana kebenaran pernyataan ini, masih perlu diperiksa di lapangan.

21 Wawancara Jainu, 24 November 2013.

22 Wawancara Wachju Adi Pratomo, 30 Desember 2013.

23 Lokasi huntap untuk relokasi warga Balerante direncanakan tetap di wilayah Desa Balerante, tetapi berada di luar KRB III (10 kilometer dari puncak Gunung Merapi). Karena warga menolak relokasi, rencana tersebut tidak pernah direalisasikan. Padahal, menurut Wachju, tidak jauh dari lokasi relokasi akan dibangunkan kompleks peternakan sapi sehingga warga bisa tetap melanjutkan mata pencaharian utama sebagai peternak.

24 Wawancara Joko Rukminto, 16 Januari 2014. Menurut Joko, skema penguasaan lahan warga untuk TNGM tidak berjalan karena menemui banyak kendala.

25 Wawancara Rinto Andriono, 24 Desember 2013.

26 Wawancara Sunarja, 1 Juli 2013.

27 Wawancara Imam Setiyadi, 3 Desember 2013.

28 Wawancara Imam Setiyadi, 3 Desember 2013.

29 Komentar Widarto dalam Lokakarya Strategi Pemulihan Penghidupan Pasca Lahar Hujan, 10 Desember 2013.

30 Komentar Widarto dalam Lokakarya Strategi Pemulihan Penghidupan Pasca Lahar Hujan, 10 Desember 2013.

31 Wawancara Jainu, 24 November 2013.

32 Wawancara Elanto Wijoyono, 10 Desember 2013.

33 Wawancara Elanto Wijoyono, 10 Desember 2013.

Page 199: Buku Asmaradana Merapi
Page 200: Buku Asmaradana Merapi
Page 201: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi181

Page 202: Buku Asmaradana Merapi

Belajar dari Pengalaman

BAGIAN LIMA

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 182

Page 203: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi183

j

Silang pendapat mengenai apa yang seharusnya terjadi

pascaerupsi, tentang bagaimana seharusnya ketangguhan dibangun, telah melecut

perlawanan warga, diam-diam maupun terbuka. Deretan

perlawanan itu, boleh jadi, justru mengisyaratkan hadirnya bibit

ketangguhan.

““

Page 204: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 184

Page 205: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi185

Page 206: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 186

PADA suatu siang di bulan Desember 2012, ketika para tukang tengah memoles dinding rumah barunya, Zainal Arifin

berujar, “Harta benda selalu bisa dicari kembali.” Warga Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Magelang, ini merupakan bagian dari para penambang pasir dan pengolah batu, yang merupakan pekerjaan mayoritas warga Gempol. Bagi mereka, tidak ada luncuran lahar hujan malah membuat merana (meski sebaik-baik kemeranaan adalah hidup tanpa terpaan bencana). Orangtua mereka pun demikian. Setelah kehilangan rumah akibat ancaman serupa pada 1969, mereka kembali membangun hunian di lokasi semula.

Di akhir 2012, puluhan keluarga di Gempol sudah membangun lagi rumah di lokasi semula yang terdampak limpasan lahar hujan pada 2011. Keputusan untuk menghuni lagi kawasan Gempol ditandai dengan aksi bersama jalan kaki disertai pementasan teatrikal dari hunian sementara di Lapangan Desa Jumoyo menuju Gempol pada 21 September 2012.

Menakar Ketangguhan Warga

Tindakan simbolik itu merupakan jawaban atas kebijakan pemerintah yang hendak memindahkan mereka. Bagaimana posisi tindakan semacam ini dalam perspektif ketangguhan? Bagaimana dengan tindakan-tindakan lain dari berbagai aktor mulai dari tahap evakuasi sampai upaya membangun penghidupan pascabencana?

Bagian ini akan mencoba menakar secara kualitatif watak ketangguhan yang dimiliki warga. Uraian ini menampilkan gambaran, hingga tingkatan mana tiga unsur ketangguhan (daya redam, adaptasi, transformasi) ada pada diri warga. Dari lensa ini, kami bisa memperkirakan, bila datang ancaman (minimal) dalam skala serupa, sejauh mana warga dan pemerintah bisa menghadapinya dengan lebih baik. Dari sana kami bisa membayangkan apa saja yang dapat dilakukan untuk memperbaiki usaha yang sudah ada sejauh ini.

Pemandangan sehari-hari di Dusun Gempol, Desa Jumoyo, Kecamatan Salam, Magelang.

Warga kembali membangun rumah mereka di atas lokasi

semula setelah diluluhlantakkan oleh lahar hujan Gunung Merapi

pada awal 2011.

© TRK INSIST/Lubabun Ni’am

Page 207: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi187

Page 208: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 188

Meredam Ancaman

WARGA dan pemerintah terlihat cukup punya kemampuan dalam hal

meredam ancaman. Ini dapat terlihat dari kemampuan mengurangi potensi kerugian dan korban akibat berubahnya besaran dan arah letusan pada 2010. Memang jumlah korban cukup banyak, tetapi angka itu sangat mungkin lebih banyak lagi bila tanpa sistem peringatan dini yang tepat. Akurasi prediksi BPPTKG, setidaknya pada erupsi 2010, telah mencapai titik memadai, ditandai dengan ketepatan meramalkan waktu ledakan. Akurasi ini berpadu dengan meningkatnya kepercayaan warga terhadap prediksi letusan, khususnya mengenai rentang waktu tingkatan bahaya (aktif normal, waspada, siaga, awas).

Sistem penyebaran informasi mengenai tingkatan status juga berjalan nisbi efektif. Ini berkat kerjasama berbagai pihak, termasuk kelompok-kelompok dan jaringan di antara kelompok relawan seperti Pasag Merapi, yang dilengkapi dengan alat komunikasi dan transportasi yang kian canggih dan beragam. Mereka semakin

terorganisasi dengan membentuk beberapa jaringan relawan maupun jaringan penyebaran informasi. Koordinasi kerja mereka dengan badan-badan pemerintahan juga sudah terbentuk dan hingga taraf tertentu telah membantu peningkatan kesiapsiagaan warga.

Aspek yang masih butuh perhatian khusus adalah persinggungan antara informasi berbasis teknologi kegunungapian dengan warga yang kadang punya pendapat berbeda. Bagaimana menghadapi keengganan sebagian warga untuk segera mengungsi begitu ada peringatan dan tidak perlu menguji peruntungan dengan kembali ke kampung ketika status gunung masih awas? Bagaimana membentuk jaminan bahwa aset mereka (ternak dan harta benda lain) bisa aman selama mereka di pengungsian?

Selain itu, masih ada kesimpangsiuran dalam kerja-kerja evakuasi. Ketiadaan koordinasi di banyak tempat menimbulkan kebingungan dan kepanikan hingga tingkat yang seharusnya bisa dibatasi. Kekacauan evakuasi selama letusan 2010 dipengaruhi

Dengan menggunakan kendaraan roda empat bak terbuka, warga

diungsikan dari perumahan mereka ke lokasi pengungsian untuk menghindari jatuhnya

korban jiwa akibat erupsi Gunung Merapi.

© DWI OBLO

Page 209: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi189

oleh watak erupsi yang relatif baru, dalam hal ini arah dan besaran letusan. Di sini terlihat bahwa lembaga formal dan pranata warga sama-sama belum bisa mengantisipasi perubahan yang bagi sebagian pihak “tak terduga”, meski BPPTKG sudah meramalkannya.

Sementara itu, di titik-titik pengungsian, terlihat solidaritas yang begitu luas dan sanggup mengorganisasi diri dengan cepat, setidaknya pada tahap tanggap darurat. Gerakan warga menyediakan nasi bungkus sebelum posko pengungsian melayani kebutuhan warga penyintas bisa menjadi preseden yang perlu dikembangkan. (Demikian pula kerja para relawan yang menyebarkan informasi peningkatan status bahaya, membantu di pengungsian, dan setelah itu membersihkan puing-puing sisa letusan dan banjir lahar hujan).

Tetapi, catatan baik ini tidak bertahan lama. Seperti diungkapkan para penyintas, sebagian mereka yang harus tinggal cukup lama di pengungsian mengalami kondisi serba kekurangan. Di samping itu, untuk kepentingan jangka panjang, sebagian warga mulai membangun sistem peredam ekonomi yang sewaktu-waktu mereka butuhkan ketika ancaman kembali datang, seperti menyiapkan tabungan yang digalang secara kolektif di tingkat desa.

Kapasitas warga meredam ancaman boleh dikatakan cukup memadai, dengan melihat fakta bahwa sistem sosial mereka tidak berubah, hanya terganggu sementara karena mandeknya mata pencaharian dan meninggalnya anggota keluarga. Bahkan, kehilangan anggota keluarga dapat diterima sebagian warga sebagai risiko hidup di lereng gunung api, sehingga tidak menimbulkan luka kolektif berkepanjangan. Bagi mereka, kehilangan lahan penghidupan jauh lebih berbahaya. Seperti ungkapan seorang warga yang dikutip sebelumnya, “Sedumuk bathuk senyari bumi ditohi pati.” Sejengkal tanah akan dibela sampai titik darah terakhir.

Setelah terjadi peningkatan status Gunung Merapi, warga yang bermukim di wilayah KRB III diungsikan ke daerah yang lebih aman.

© DWI OBLO

Page 210: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 190

Page 211: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi163 Asmaradana Merapi191

Page 212: Buku Asmaradana Merapi

Menabung Supaya Siaga Bencana

SARTOYONO (56) gemetar meng-ingat hari itu. Suatu hari di bulan Oktober 2010, yakni pada hari

ketika Gunung Merapi meletus, sama seperti warga lain dari Dusun Kalitengah Kidul, Desa Glagaharjo, Sleman, dia segera berlari menuruni lereng gunung. Tanpa pikir panjang, ia segera menyambar sepeda motor yang terparkir di halaman, lalu buru-buru menarik seorang cucunya, Siti Nur Khofifah (9), ke atas motor.

Lelaki paruh baya itu beruntung. Ketika dia harus secepat-cepatnya memacu sepeda motor, bahan bakar di tangki motor masih penuh. Ia pun bisa sampai di lokasi pengungsian dengan selamat.

Ia mengaku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya sepeda motor itu kehabisan bensin. “Waktu itu uang di kantong saya tinggal Rp 500. Saya juga tidak sempat memilih barang-barang berharga untuk dijual di bawah,” kenangnya, Minggu, 23 September 2012.

Hidup di kawasan yang hanya terpaut enam kilometer dari puncak Gunung Merapi jelas membutuhkan kesiapsiagaan ekstra tinggi. Setahun setelah erupsi, ketika Sartoyono dan warga lain sudah kembali ke dusunnya, peristiwa menegangkan pada akhir 2010 itu menjadi cambuk yang mendorong mereka mengantisipasi terjadinya letusan Gunung Merapi di kemudian hari. “Kami harus punya tabungan yang bisa dimanfaatkan di pengungsian,” ungkap Sujamin (38), Kepala Dusun Kalitengah Kidul.

Dusun Kalitengah Kidul saat ini dihuni 110 Kepala Keluarga (KK), dengan sekitar 300 jiwa. Terbagi dalam empat Rukun Tetangga (RT), masing-masing RT menggalang inisiatif menabung sebagai bekal ketika bencana menghampiri mereka kembali. “Warga sadar suatu ketika akan dan harus menuruni kawasan lereng Gunung Merapi untuk mengungsi sementara,” tandas lelaki empat anak itu.

Inisiatif mengawali tabungan siaga bencana itu rata-rata sudah dimulai sejak setengah tahun terakhir.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 192

Sukiman bersama warga di Dusun Deles, Desa Sidorejo,

Kecamatan Kemalang, Klaten, mengembangkan sistem tabungan

siaga bencana. Uang tabungan dapat digunakan oleh mereka

pada saat terjadi bencana erupsi Gunung Merapi.

© TRK INSIST/Lubabun Ni’am

Page 213: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi193

Pengelolaannya diserahkan pada pengurus RT. Setiap RT bebas menerapkan sistem tabungan siaga itu.

Di RT 04, tempat Sujamin tinggal, misalnya, warga mengumpulkan uang Rp 5.000 per lapan (setiap 35 hari) bersamaan dengan arisan rutin. Pertemuan lapanan di RT 04 itu digelar warga secara bergilir pada malam Kamis Pahing.

Di RT 01, uang tabungan itu disetorkan melalui kaleng jimpitan yang dipasang di depan rumah warga. Masing-masing keluarga menaruh uang minimal Rp 1.000 dalam kaleng tersebut.

Uang itu akan dikumpulkan oleh petugas ronda. Selanjutnya, pengurus RT akan menyimpan uang jimpitan yang telah terkumpul selama satu bulan ke bank.

Beberapa keluarga memanfaatkan sistem tersebut sebagai tabungan keluarga. Tak heran jika beberapa keluarga menaruh Rp 5.000, bahkan Rp 10.000 ke dalam kaleng jimpitan. “Tapi khusus untuk tabungan siaga bencana, uangnya tidak boleh diambil kecuali saat terjadi bencana,” ujar Wakidi (34), Ketua RT 01.

Menurut Sujamin, bagi warga Du-sun Kalitengah Kidul, tabungan siaga bencana itu menjadi langkah kecil warga dalam menghadapi ancaman

bencana. Dalam jangka panjang, kalau uang tabungan itu sudah terkumpul banyak, warga punya angan-angan untuk membeli sebidang tanah di daerah yang aman dari bahaya letusan Gunung Merapi. “Minim ada jujugan (tujuan) untuk mengungsi. Tidak segalanya harus menunggu pengaturan pemerintah,” tuturnya. []

Sumber: Layang PRB September–Oktober 2012

Salah satu bentuk dari konsep tabungan siaga bencana yang dikembangkan warga lereng Gunung Merapi adalah ternak sapi. Sapi bisa digunakan sebagai aset yang sewaktu-waktu bisa dijual pada saat warga mengungsi ke daerah yang lebih aman.

© ARMIN HARI

Page 214: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 194

Page 215: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi195

Page 216: Buku Asmaradana Merapi

MERUJUK pada pengertian kapasitas meredam dan cerita-cerita di atas, warga dapat dianggap memiliki kapasitas meredam ancaman yang memadai bila: pertama, warga dan pemerintah berhasil memperbaiki pengelolaan sistem dan pelaksanaan proses evakuasi sehingga dapat menekan kerugian jiwa dan harta benda seminimum mungkin. Termasuk dalam hal ini, BPPTKG yang berhasil meningkatkan akurasi prediksi letusan, kelompok relawan yang kian terorganisasi, dan warga terkoneksi dengan kerangka kerja pemerintah.

Kedua, jika pemerintah, warga, dan kelompok-kelompok relawan dapat mempertahankan dan meningkatkan kemampuan dalam mengelola pengungsian; termasuk bila solidaritas warga non-penyintas bisa bertahan dan terorganisasi. Ketiga, jika warga berhasil mempertahankan prakarsa-prakarsa untuk menyediakan sistem cadangan (redundancy) secara mandiri seperti tabungan siaga bencana.

Semua ini akan membantu menghindari terjadinya disfungsi dalam bangunan masyarakat warga penyintas secara kolektif. Artinya, segala fungsi dasar yang ada sebelum erupsi dan banjir lahar hujan (pangan, sandang, papan, pendidikan) tetap bertahan selama masa tanggap darurat dan masa-masa setelahnya.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 196

Beberapa warga di wilayah lereng Gunung Merapi kembali

membuka warung atau kios sederhana agar sumber

penghidupan mereka bisa dibangun kembali.

© DWI OBLO

Page 217: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi197

Page 218: Buku Asmaradana Merapi

Adaptasi

SETELAH untuk sementara waktu menghuni lokasi pengungsian, sebagian warga pulang untuk

kembali beraktivitas sebagai kelompok masyarakat yang sama dengan sistem kolektif serupa (meskipun ini bukan berarti baik bagi semua orang). Di sisi lain, erupsi membuka peluang baru—beberapa penghidupan baru muncul, misalnya dalam bentuk meningkatnya jumlah pelancong dan penambangan material vulkanis di badan sungai. Pada titik ini, fungsi adaptasi mulai bekerja.

Persoalan klasik soal selisih paham warga-pemerintah masih menyelimuti proses adaptasi pascabencana. Dalam pandangan pemerintah (dan sebagian pihak lain), pilihan bagi warga hanya bertahan dengan segala risiko atau pindah. Dari perspektif warga penyintas, pindah lebih mungkin mendatangkan risiko ketimbang bertahan di kampung sendiri. Bagi warga, dalam hal beradaptasi, permukiman dan penghidupan saling terkait. Penghidupan utama yang bergantung pada alam vulkanis mengharuskan mereka untuk tinggal

di dekat tempat mencari nafkah. Hal inilah yang coba diubah oleh pemerintah melalui program relokasi.

Banyak warga menolak relokasi dan memilih bertahan sebab mereka telah beradaptasi dengan kehidupan bersama ancaman Gunung Merapi. Mereka dengan cepat membangun kembali rumah dan penghidupan dari tinggalan letusan dan lahar hujan. Mereka menambang material letusan serta memanfaatkan kesuburan tanah dan lingkungan alam lereng Gunung Merapi yang diminati pelancong. Sebagian dari mereka tidak “kembali seperti semula”, melainkan melenting maju (bounch forward).

Upaya adaptasi ini diperlihatkan oleh mereka yang membuka jasa usaha wisata maupun yang terlibat dalam penambangan pasir dan batu. Begitu pula mereka yang mendapatkan pasar pro-duk pertanian baru dari warga yang tinggal di huntap. Hanya saja, persoalan juga muncul dari sebagian mata pencaharian ini, semisal degradasi lingkungan atau munculnya prostitusi dan penyebaran IMS menyusul maraknya penambangan

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 198

Seorang warga Huntap Pagerjurang, Kabupaten Sleman,

kembali menanami areal persawahannya di lokasi yang

sama setelah ditimbun oleh material awan panas selama

terjadi erupsi.

© ARMIN HARI

Page 219: Buku Asmaradana Merapi

nya penambangan pasir pascaerupsi.

Persoalan lebih pelik terlihat dalam hubungan antara warga dan kebijakan pemerintah, khususnya soal penetapan kawasan rawan dan permukiman ulang. Kebijakan-kebijakan ini menciptakan krisis yang lebih panjang bagi sebagian warga. Ini membuat layanan publik di KRB III seperti listrik dan bantuan-bantuan lain pascabencana menjadi mandek, setidaknya sementara waktu—tetapi justru ketika sangat dibutuhkan. Penetapan KRB juga membuat wargakhawatir akan kehilangan rumah dan lahan mata penca-harian, tanpa ganti yang layak. Ketetapan ini malah dilihat sebagian warga sebagai sejenis ancaman baru yang harus mereka antisipasi, nyaris sama dengan menyiapkan diri menghadapi letusan.

Jainu dan warga Balerante lain, misalnya, sudah beberapa bulan terakhir mempromosikan Balerante sebagai desa wisata, tetapi merasakan KRB sebagai ancaman bagi penghidupan baru ini. Padahal, melalui berbagai aktivitas wisata (outbond, tracking, pertanian, dan membatik), desa mereka semakin dikenal sebagai tujuan wisata. Konsep desa wisata ini bahkan dapat “menyelamatkan” aktivitas membatik yang nyaris terpuruk. Melalui konsep desa wisata, wisatawan bukan hanya diajak untuk melihat-lihat batik,

melainkan juga belajar membatik.1

Tetapi, kebijakan penetapan zonasi senantiasa menghantui pikiran mereka. “Yang menjadi kendala itu wilayah kami di KRB III. Tapi, sebisa mungkin kami mencoba bangkit,” demikian Agus Sarnyata, warga Balerante, memandang penetapan desanya sebagai kawasan paling berisiko. Menurut penilaian warga, kebijakan zonasi ini hanya akan berjalan sementara atau tidak efektif sebagai aturan. “Begitu tertata, nanti jadi seperti semula, bukan lagi KRB; atau wilayahnya KRB, tetapi disenangi banyak orang,” simpul Agus, yang juga mengelola langsung bisnis wisata bersama sekelompok warga lain.

Kisah ini menunjukkan salah satu titik penting perbedaan persepsi warga dan pemerintah. Pemerintah lebih menekankan kemampuan meredam ancaman dengan cara memindahkan warga; sementara warga lebih memerhatikan kapasitas adaptasi dengan penghidupan yang sudah mereka akrabi. Kekhawatiran akan kehilangan lahan dan penghidupan sesungguhnya merupakan ancaman yang lebih diperhatikan warga. Mereka sulit meyakini bahwa pindah merupakan solusi yang lebih baik, meski sudah dijanjikan jaminan jatah hidup, lahan, rumah, serta bantuan lain.

Asmaradana Merapi199

Warga Balerante memulai pengembangan desa wisata dengan batik sebagai salah satu daya tarik wisatanya.

© DWI OBLO

Page 220: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 200

Page 221: Buku Asmaradana Merapi

Pilihan mereka untuk bertahan tidak begitu keliru, mengingat sulitnya segera mendapatkan jaminan penghidupan yang layak di tempat relokasi yang disediakan pemerintah. Di tempat relokasi, warga kerap terhalang oleh berbagai persoalan yang berada di luar kendali mereka untuk segera bangkit. Temuan-temuan audit sosial terhadap penyaluran bantuan di huntap menunjukkan bahwa pengelolaan skema bantuan tidak begitu menguntungkan bagi warga penyintas. Bantuan yang tidak mencukupi dan lamban dirasakan warga penghuni Huntap Pagerjurang.

Asmaradana Merapi201

Seorang warga di huntap di daerah Turgo, Desa Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Sleman, membawa anak lelakinya berjalan di sekitar rumah-rumah yang dibangun setelah erupsi Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Page 222: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 202

Page 223: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi203

Page 224: Buku Asmaradana Merapi

Setelah Dua Tahun di Pagerjurang

HUNTAP Pagerjurang merupakan salah satu lokasi permukiman kembali warga

penyintas letusan Gunung Merapi. Lebih dari 500 keluarga dari berbagai dusun menghuni rumah-rumah yang berderet rapi di Pagerjurang, termasuk warga asal Dusun Kaliadem, Desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman.

Rencana aksi pascabencana Gunung Merapi membantu korban penyintas untuk mendirikan hunian tetap, disertai program pemulihan ekonomi, dan sapi-sapi beserta kandangnya. Di Pagerjurang, ada lima bangunan kandang sapi, masing-masing seluas lapangan sepakbola. Kandang itu dilengkapi dengan instalasi biogas.

Tetapi, sampai Desember 2013, belum ada sapi di kandang itu. Tiga tahun semenjak rencana bantuan sapi dicanangkan, hanya kandang yang didirikan. Hingga fajar 2014 menyingsing, kandang tanpa sapi menjadi wajah terbaik dari sentuhan pemulihan ala pemerintah yang kalah berlari dengan kebutuhan hidup warga sehari-hari, melengkapi

riuhnya program pemulihan ekonomi skala kecil yang kian biasa ditinggalkan pergi oleh warga.

Belakangan ada donatur yang memberi kandang tak kalah besar, dibalut cat biru yang mencolok pandang, yang tak disia-siakan warga Kaliadem. Ukuran kandang hampir sama dengan kandang dari pemerintah, hanya ditempatkan lebih ke selatan dan dua buah saja. Berkebalikan dengan suasana di kandang bantuan pemerintah, di kandang yang belakangan dibangun terlihat aktivitas peternak dengan hijauan sapi yang ditebas dari Kaliadem, tumpukan kotoran sapi, dan penanda-penanda lain kehidupan ala peternak.

Tukiman, salah satu kepala keluarga asal Kaliadem, punya empat ekor sapi sebelum erupsi. Keempat sapi itu dijual untuk biaya hidup di pengungsian, dan cukup sampai sebelum mendapatkan bantuan huntap. Dengan bantuan rumah berupa “dinding batako ditutup pintu” itu, sudah lebih banyak uang yang dikeluarkannya daripada nilai bantuan

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 204

Paimin, istri Tukiman, secara rutin menyediakan pakan hijau bagi sapi perahnya. Terkadang mereka harus membeli hijauan

pada saat musim kering.

© ARMIN HARI

Page 225: Buku Asmaradana Merapi

pemerintah. “Dinding batako ditutup pintu” itu dipoles sedikit demi sedikit, kadang dikerjakan sendiri bersama sang istri, kadang membayar tukang. Dia sendiri lupa berapa besar uang yang sudah dikeluarkannya untuk menyulap huniannya menjadi sebuah gubuk elok dengan dinding bercat oranye, lantai beralas keramik, dan teras lengkap dengan atap.

Tukiman kini merasa nyaman tinggal di Pagerjurang, terutama karena bisa memelihara sapi. Aktivitas memelihara sapi bisa menjadi senjata ampuh untuk menahan orang jadi gila karena terhanyut nestapa bencana. Tukiman termasuk beruntung bisa membeli sapi. Dulu seharga 13,5 juta rupiah.

Warga lain, yang tak memiliki modal untuk langsung membeli sapi, mendapatkan sapi dengan sistem gaduh dari sebuah koperasi. Sapi hasil gaduh dipelihara sampai punya anakan. Anakan itulah yang dikembalikan kepada koperasi, sementara sapi induk beralih status menjadi milik peternak.

Menurut Tukiman, meski tidak bisa menyebut angka pasti, saat ini sudah banyak warga Kaliadem yang mampu mengembalikan anakan sapi dan memiliki sapi induk sendiri. Dia menyebutkan lebih dari lima nama orang, sembari menjulur-julurkan

Bahkan untuk memiliki sapi, warga bergeliat mengusahakannya dengan berbagai cara. Di tempat relokasi yang disediakan pemerintah itu, sebagian besar warga harus menunggu dua tahun sebelum bisa kembali menjadi peternak. []

Asmaradana Merapi205

Kandang sapi yang digunakan oleh warga Huntap Pagerjurang untuk memelihara sapi perah.

© ARMIN HARI

ujung telunjuk ke sapi yang ada di kandang. Dia seperti menegaskan bahwa warga bukan kelompok manusia tak berdaya yang selalu terpuruk oleh bencana.

Page 226: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 206

Page 227: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi207

Page 228: Buku Asmaradana Merapi

Bahkan, silang pendapat tentang cara adaptasi terbaik dapat membuka perpecahan di antara warga. Adaptasi yang membutuhkan pengetahuan mendalam soal beragam ancaman justru bisa menimbulkan simpang siur pendapat di antara warga, karena beragamnya informasi yang diterima warga. Kondisi ini menjadi semakin rumit ketika silang pendapat muncul bersamaan dengan proses relokasi, sebagaimana terjadi di Gempol.

Kepala Dusun Gempol Sudiyanto mengisahkan, Gempol memang pernah diterjang bencana limpasan lahar hujan pada 1969.2 Kala itu, rumah-rumah warga masih berdiri dengan bahan papan-papan kayu. Sementara itu, pada kejadian bencana 2010, hampir semua bagian dinding rumah warga sudah berbahan batako atau batu bata. Artinya, tidak ada kelemahan dari segi kekuatan bangunan. Hanya saja, tinggi dan meluasnya kerusakan pada bencana 2011 itu lebih dikarenakan material luncuran, terutama batu, yang berukuran besar sehingga bangunan apa pun tidak mungkin bisa menahannya.

Namun, menurut pemahaman sebagian warga, material vulkanis yang masih tersimpan di perut gunung sudah banyak berkurang, sehingga sulit untuk membentuk lagi luncuran lahar sehebat sebelumnya. Perkiraan

itu menjelma jadi sebentuk pengetahuan yang direproduksi warga Gempol berdasar persentuhan mereka dengan berbagai aktor, kabar, dan kebijakan yang menghampiri mereka. Bahwa sikap yang diambil tidak segaris dengan arah kebijakan untuk relokasi, justru keyakinan itu menunjukkan suatu proses dan pengetahuan sosial yang membentuk preferensi masing-masing individu.

Karena berbagai preferensi sikap itu, kini Sudiyanto merasa warganya terpecah-pecah. “Ada simpang siur informasi bahwa warga bisa menerima rumah huntap, meski tak ditempati pun tidak apa-apa,” ujarnya. Sebagian warga menerima huntap, tetapi masih menempati rumah mereka di Gempol. Sudiyanto berujar, “Warga tidak pernah menolak huntap, hanya menolak relokasi.”

PERNYATAAN Sudiyanto tentang huntap, dan Agus mengenai KRB, dapat dibaca sebagai bentuk adaptasi warga terhadap kebijakan pemerintah, yang hingga tingkat tertentu dianggap punya potensi ancaman bagi penghidupan mereka. Di satu sisi, sebagian warga tidak setuju relokasi tetapi tidak mampu memberi saran lain mengenai huntap dan KRB. Sementara itu, pemerintah tidak menjalankan program dengan serius. Ini menciptakan celah yang segera dimanfaatkan oleh warga.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 208

Atas inisiatif warga setempat, sebuah rumah yang merupakan

bekas terjangan awan panas Gunung Merapi dijadikan sebagai

Museum Sisa Hartaku. Kini museum itu menjadi salah satu

objek tujuan wisata.

© ARMIN HARI

Page 229: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi209

Page 230: Buku Asmaradana Merapi

Mirip dengan strategi menghadapi ancaman Gunung Merapi, warga telah menyusun siasat untuk hidup di KRB III maupun huntap, untuk tujuan jangka panjang: merawat penghidupan. Bagi warga, penghidupan sehari-hari lebih penting ketimbang letusan yang datang sesekali. “Warga biasanya tidak beradaptasi terhadap satu faktor penekan tertentu (misalnya, erupsi atau banjir lahar hujan), tetapi lebih pada gabungan sekian banyak perubahan sekaligus,” tulis Christophe Béné dan rekan-rekannya.3

Dari pengalaman warga, bisa dibelajari bahwa adaptasi akan berjalan lancar bagi warga bila: pertama, pemerintah lebih banyak berdiskusi dengan warga mengenai bagaimana sebaiknya program dan kebijakan pascabencana (rehabilitasi dan rekonstruksi) berlangsung, terutama untuk mengatasi perbedaan persepsi mengenai KRB dan huntap.

Kinerja lembaga negara (dalam hal ini BPBD) tampak lebih baik di masa tanggap darurat, tetapi kedodoran di masa setelahnya. Di sisi lain, secara umum warga lebih membutuhkan bantuan dalam rentang ketika letusan terjadi dan selama di pengungsian. Saat itulah mereka membutuhkan “tumpangan” sebelum pulang ke kampung. Setelah itu, mereka ingin kembali menjalani penghidupan di

desa masing-masing. Kebijakan inilah yang membuat warga bisa bekerjasama lebih baik dengan pemerintah di masa tanggap darurat. Setelah itu, perbedaan persepsi lebih mengemuka, barangkali karena kondisi sosial ekonomi mereka berbeda dengan yang dihadapi warga dataran rendah. Karena itu, bantuan untuk menyokong penghidupan (di desa asal maupun huntap) menjadi lebih penting bagi warga ketimbang relokasi dan zonasi rawan bencana.

Selain itu, kedua, kapasitas adaptasi bisa meningkat bila warga lebih aktif mencari informasi mengenai berbagai program dan kebijakan agar mendapatkan informasi yang lebih akurat dari berbagai perspektif. Ini bisa dilakukan dengan lebih awas mengamati perkembangan program dan bantuan yang mengalir masuk ke desa, terutama yang berpotensi meru-gikan mereka. Termasuk dalam hal ini adalah aktivitas-aktivitas baru misalnya, prostitusi, aturan, dan program pemerintah), institusi yang membawa informasi (misalnya, informasi tentang kerja aktual gunung api dan peta KRB), orang (misalnya, pekerja proyek dan petambang), dan barang (misalnya, beragam bantuan).

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 210

Sebagai salah satu sumber penghasilan warga, hasil

pertanian yang biasanya berupa pisang atau salak, dijajakan

secara berkeliling oleh ibu-ibu ke beberapa tempat wisata di lereng

Gunung Merapi.

© ARMIN HARI

Page 231: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi211

Page 232: Buku Asmaradana Merapi

Transformasi

TANTANGAN dalam upaya menuju transformasi memang besar karena mesti berhadapan

dengan bangunan sosial yang mapan dan karena itu cenderung lebih kuat. Ini melibatkan perubahan struktur yang sudah bertahan lama, baik yang berhubungan dengan mekanisme pengambilan dan implementasi kebijakan publik maupun cara warga sehari-hari menghadapi ancaman. Dari kisah-kisah di atas, kami melihat bagaimana pranata yang coba dibentuk dari bawah menghadapi dinding tebal untuk menembus sistem sosial yang mapan di berbagai tingkatan.

Proses audit sosial berhadapan dengan struktur kekuasaan yang rumit di tingkat kabupaten. Di sana ada mekanisme yang melampaui kesanggupan warga untuk mengontrolnya, yang antara lain membuat pihak-pihak tertentu dapat menghindar dari tanggung jawab. Ada juga keruwetan birokrasi ditambah siasat lapangan untuk menghindarkan warga menyampaikan hasil audit dengan leluasa. Di balik itu, tercermin fakta betapa warga sulit

menyampaikan persoalan secara langsung kepada pihak yang bisa segera mengambil keputusan. Bila pun berhasil, langkah selanjutnya untuk mendesakkan agar suara mereka dapat berubah menjadi kenyataan lebih sulit lagi.

Sementara itu, SID berhadapan dengan kurangnya minat warga dan pemerintah desa untuk mempelajari dasar-dasar teknologi informasi dan memanfaatkan ragam data dan informasi. Meskipun sudah diinisiasi oleh segelintir warga pionir, dan mereka sadar akan kegunaannya, pengembangan SID masih terhalang tembok kukuh. Kebiasaan baru memang perlu dibangun untuk menciptakan sistem informasi yang dibutuhkan warga, dengan melibatkan kerja rutin nan telaten untuk memperbarui data dan menganalisisnya menggunakan aplikasi komputer yang mungkin baru bagi sebagian warga. Semua itu belum berhasil dibangun sebagai kerja kolektif dan terlembagakan.

Relasi kuasa yang timpang juga tampak dalam hubungan antarwarga.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 212

Suasana penambangan pasir di Kali Gendol yang sejak dahulu

merupakan lokasi penambangan tradisional warga.

© ARMIN HARI

Page 233: Buku Asmaradana Merapi

Bangunan kekuasaan kerapmenghambat proses transformasi. Proses itu membutuhkan kemampuanmembangun pranata kolektif sebagai wadah redistribusi sumberdaya. Hal ini dapat dilihat pada kasus Organisasi Pengurangan Risiko Bencana (OPRB) bentukan warga Desa Watugajah, salah satu desa yang terdampak banjir lahar hujan.4 Berhadapan dengan struktur kekuasaan yang kuat, potensi organisasi ini menjadi layu sebelum berkembang.

TETAPI, memulai transformasi dengan mengenalkan cara baru menangani urusan publik mungkin lebih mudah dilakukan ketimbang secara langsung menyasar struktur kekuasaan. Pelaksanaan audit sosial, misalnya, termasuk berhasil memperkenalkan metode sederhana dalam mengumpulkan dan mengolah data, serta mengenali persoalan bersama secara kolektif. Warga menghitung isian kuesioner secara manual menggunakan sistem batang lidi. Dengan metode ini, warga bisa menerapkan sendiri di lain kesempatan. Untuk tabulasi data pun tak perlu SPSS (Statistical Package for Social Science). Keluwesan dalam pelaksanaan audit sosial membantu warga untuk menerima audit sebagai cara yang mampu dikerjakan oleh warga secara biasa.5

Dari keseluruhan pelaksanaan audit sosial, warga berhasil menyusun bukti-bukti kejanggalan proyek bantuan pascabencana, membangkitkan kesadaran kritis warga, yang terbangun secara kolektif. Meski hal itu tampaknya belum cukup kuat menghadapi tembok kukuh kekuasaan, yang mereka temui ketika melaporkan hasil audit, satu-dua langkah menuju transformasi telah dirintis.

Asmaradana Merapi213

Penduduk sedang menyelesaikan pembuatan rumah joglo di Dusun Kinahrejo, Kabupaten Sleman, untuk prasarana wisatawan yang mengunjungi daerah ini.

© DWI OBLO

Page 234: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 214

Page 235: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi215

Page 236: Buku Asmaradana Merapi

OPRB di Desa Watugajah

OPRB di Desa Watugajah mengalami kemunduran segera setelah didirikan pada

2009. OPRB termasuk strategis karena terbentuk dari perwakilan tiap dusun. Bagi kepala desa, OPRB bisa berubah menjadi medan yang amat sayang untuk dilepaskan dari kendali kekuasaan.

Salah satu warga perancang OPRB Desa Watugajah, Bapak S, menilai bahwa Kepala Desa Watugajah kala itu memaksakan diri untuk menjadi Ketua OPRB. Menurutnya, kepala desa mestinya cukup menjadi pelindung atau penanggung jawab. Kenyataannya, tak ada seorang pun yang bisa mengerem ambisi sang kepala desa untuk mengendalikan OPRB selaku ketua. Bentuk dan kegiatan OPRB yang belum apa-apa kemudian ditantang dengan kasus yang tak enteng: lahar hujan pasca letusan Gunung Merapi.

Bapak S menambahkan, seiring membaiknya kondisi setelah bencana Gunung Merapi 2010, OPRB berubah menjadi senjata bagi Pemerintah Desa Watugajah untuk membelokkan

alokasi retribusi truk pengangkut pasir yang beroperasi di kawasan Watugajah. Padahal, senyatanya OPRB hanya mendapatkan dana ketika sedang ada kegiatan dan memintakan dananya ke desa. Jadi, tidak pernah ada anggaran khusus untuk OPRB yang rutin dan tetap dari Pemerintah Desa Watugajah. Hasil penerimaan retribusi yang sedianya dialokasikan untuk OPRB pun tak pernah dilaporkan kepada warga.

Penyimpangan tersebut bukan satu-satunya masalah yang membelit institusi desa, yang menunjukkan bagaimana relasi kuasa di Watugajah menghambat transformasi.

Pada akhir 2013, warga Watugajah sibuk dengan pemilihan kepala desa. Sebelum pencoblosan, setiap calon kepala desa diminta panitia pemilihan (atas nama warga) untuk menandatangani selembar surat pernyataan bermeterai Rp 6.000. Isinya, sang penandatangan menyatakan tidak akan memberi izin penambangan pasir dengan alat berat atau eskavator begitu terpilih sebagai

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 216

Warga di lereng Gunung Merapi sedang melaksanakan Shalat Ied

setelah mereka pulang dan membangun kembali perumahan

seusai diterjang erupsi Gunung Merapi.

© DWI OBLO

Page 237: Buku Asmaradana Merapi

kepala desa.Namun, beberapa hari saja seusai

pelantikan kepala desa pada Januari 2014, sejumlah eskavator sudah turun ke badan sungai yang melintasi Watugajah. Tidak ada warga yang melayangkan protes terbuka.

Bagi Bapak S pribadi, semua itu menjadi alasan kuat untuk undur diri dari segala hingar-bingar kegiatan desa dan urusan kebencanaan usai pemilihan kepala desa. Dari Bapak S, bisa dipetik pelajaran berharga bagaimana sebuah prakarsa, pranata, bahkan pengusungnya, surut sebelum mampu berbuat banyak. []

Asmaradana Merapi217

Perempuan yang bekerja sebagai buruh angkut pasir sedang memindahkan muatan pasir di atas truk di daerah penambangan pasir tradisional Kali Gendol.

© ARMIN HARI

Page 238: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 218

Page 239: Buku Asmaradana Merapi

Asmaradana Merapi219

Page 240: Buku Asmaradana Merapi

SEKALI lagi, upaya mengusahakan transformasi adalah pekerjaan besar. Cerita-cerita di atas telah membuktikannya. Tetapi, belajar dari pengalaman warga, kami dapat ditarik beberapa kesimpulan sementara mengenai upaya mengusahakan transformasi dalam konteks bencana Gunung Merapi.

Pertama, pemerintah perlu membentuk kelembagaan dengan daya lentur yang baik, sehingga perubahan “mendadak” seperti pergeseran watak ancaman Gunung Merapi bisa diantisipasi dengan cukup baik. Seandainya sistem penyebaran pengetahuan tentang kerja aktual gunung api berjalan masif, sangat mungkin kerugian masih lebih bisa ditekan. Misalnya, pemerintah kabupaten, yang saat itu belum membentuk BPBD meski prediksi akan berulangnya letusan sudah diketahui dan ada mandat undang-undang dan peraturan pemerintah jauh sebelum erupsi, seharusnya segera menjalankan fungsi yang kini diemban BPBD.

Kedua, warga perlu melanjutkan kegiatan-kegiatan kolektif baru, seperti audit sosial, yang terlembagakan sebagai struktur sosial (prilaku kolektif sebuah kelompok sosial yang bisa bertahan lama), untuk mengganti struktur lama yang merugikan. Kelompok-kelompok dan lembaga-lembaga yang menyokong warga

selama ini juga dapat mengusahakan hal serupa, dan tidak berhenti pada dukungan teknis. Meski demikian, mulai dari yang “teknis” patut dicoba dan direplikasi, sebab cukup bersahabat dan menarik sebagai awal untuk membentuk kegiatan-kegiatan kolektif.

Ketiga, sumber informasi relevan bisa bersumber dari mana pun, baik dari warga maupun pihak-pihak eksternal lain. Informasi dari berbagai sumber itu penting bagi perumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah. Bukan semata karena menampung aspirasi masyarakat, melainkan juga karena nilai informasi itu sendiri yang penting. Selama ini sumber-sumber informasi yang digunakan dalam perumusan kebijakan, seperti yang biasa terjadi, selain sudah merupakan prosedur operasional standar, selalu merujuk pada informasi statistik yang umum seperti data Badan Pusat Statistik (BPS). Ketersediaan data BPS, terutama BPS di level daerah, kerap bersifat terlalu umum dan tidak kontekstual dengan kebutuhan perumusan kebijakan kebencanaan.

Akhirnya, keempat, warga dan pemerintah perlu saling memberi pemahaman bahwa menjadi politis itu bukan sikap yang keliru apalagi tabu. Menjadi subjek yang sadar dan berusaha mendobrak ketimpangan kekuasaan justru bisa menghasilkan

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 220

Sekelompok buruh pertambangan tradisional di daerah Kali Kuning

sedang beristirahat setelah mengangkut batu dan pasir ke atas truk sebagai sumber

penghasilan tambahan mereka.

© ARMIN HARI

Page 241: Buku Asmaradana Merapi

masyarakat yang sehat. Tanpa membuka ruang-ruang negosiasi, konflik-konflik kepentingan akan terakumulasi sebelum meledak dalam bentuk yang tidak sehat. Tanpa keberanian warga melaporkan hasil audit ke pihak yang lebih kuasa mengambil tindakan, kasus itu akan lenyap setelah pertama kali dilaporkan. Setidaknya, tindakan semacam itu bisa memberi informasi berharga bagi para pengambil keputusan untuk memperbaiki kinerja mereka di masa datang. []

Asmaradana Merapi221

Dengan keterbukaan informasi, warga memiliki akses untuk melakukan pengawasan dan pelaporan pelaksanaan beberapa proyek yang berhubungan dengan pembangunan hunian tetap, seperti di daerah Huntap Sirahan.

© DWI OBLO

Page 242: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 222

Page 243: Buku Asmaradana Merapi

1 Desember lalu, menurut pengelola bisnis wisata, Agus Sarnyata (juga koordinator Pos Pantau Merapi 149.070 MHz), Balerante sudah dikunjungi tiga rombongan wisata, salah satunya dari UGM. Agus tidak tampak khawatir jika praktik desa wisata ini tercium oleh Pemerintah Kabupaten Klaten. Ia menyadari, sebagai bagian dari KRB III, kemungkinan akan sulit bagi Desa Balerante untuk mengembangkan bisnis wisata. Saat ini, tiap rombongan wisata dipatok Rp 20.000 per orang. Harga itu sudah termasuk makan siang. “Ya, perkenalan dululah,” kata Agus.2 Wawancara Sudiyanto, 11 Desember 2012.

3 Christophe Béné, Rachel Godfrey Wood, Andrew Newsham, Mark Davies (2012) “Resilience: New Utopia or New Tyranny? Reflection about the Potentials and Limits of the Concept of Resilience in Relation to Vulnerability Reduction Programmes”, CSP Working Paper 006, hal. 22

4 Nama desa “Watugajah” bukan nama sebenarnya. Nama narasumber untuk kasus desa ini pun hanya nama inisial (lihat “OPRB di Desa Watugajah”). Penyamaran nama desa dan pemakaian nama inisial ditujukan untuk menjaga keberlanjutan upaya pengurangan risiko bencana di desa tersebut.

5 Keuwesan itu beranjut saat warga sampai pada

tahap rekapitulasi kuesioner. Warga bisa melihat banyaknya pertanyaan kuesioner yang masih butuh penjelasan tambahan. Karena itu, setelah isian kuesioner dihitung, narasi-narasi yang ditemui enumerator dikumpulkan jadi satu. Langkah ini tidak ada dalam manual kuesioner audit sosial. Karena temuan di lapangan tak sesederhana rumusan pertanyaan di kuesioner, warga merasa perlu dilakukan pengumpulan data kasus-kasus.

Asmaradana Merapi223

Page 244: Buku Asmaradana Merapi

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 224

Page 245: Buku Asmaradana Merapi
Page 246: Buku Asmaradana Merapi
Page 247: Buku Asmaradana Merapi

BONAR SARAGIH. Lahir di Medan, Sumatra Utara, 1961. Tamat dari Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada, pada 1986. Pernah menjadi Program Officer, Oxfam GB, pada 1990–1997. Direktur INSISTPress pada 2005-2011, kemudian menjadi anggota Dewan Pengurus INSIST sejak 2011 hingga sekarang. Selain menulis, juga menerjemahkan dan menyunting beberapa buku, antara lain Indonesia Mencari Demokrasi (INSISTPress, 2005), Evolusi Pendidikan di Indonesia: Dari Kweekschool sampai ke IKIP, 1852–1998 (INSISTPress, 2007), dan Meniti Jalan Lain: Pengalaman Malaysia Menghadapi Krisis Ekonomi (INSISTPress, 2008). Saat ini menjadi koordinator program Partners for Resilience, INSIST.

LUBABUN NI’AM. Memiliki nama lengkap Mohammad Lubabun Ni’am Asshibbamal Shoddamiyah. Lahir di Rembang, 28 Agustus 1988. Menempuh pendidikan dasar hingga menengah di Tuban, Jawa Timur. Pada Agustus 2014, menyelesaikan studi S1 di Jurusan Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Setelah menjadi pemimpin redaksi pers mahasiswa UGM, Balairung, kini bekerja sebagai editor INSISTPress dan redaktur pelaksana Jurnal WACANA sejak 2011. Buku ini merupakan bagian dari minatnya dalam kajian bencana di Indonesia setelah Merancang-bangun Sistem Keselamatan Rakyat: Pengalaman Kelola Bencana di Lima Kabupaten (Maluku Tenggara, Sinjai, Ende, Bengkulu Utara, Bengkulu Tengah) (INSISTPress, 2012) dan penelitian skripsi “Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Gempol Pasca Erupsi Gunung Merapi, 2011–2013” (2014).

NURHADY SIRIMOROK. Lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, pada 1975. Menyelesaikan studi S2 di Institute of Social Studies, Den Haag, Belanda, dalam kajian Rural Livelihood and Global Change pada 2007. Pernah mengikuti pertukaran pemuda Indonesia-Kanada pada 1996–1997. Salah satu pendiri Komunitas Ininnawa, Makassar, ini pernah bekerja sebagai Manager of Research and Development, Remdec, Jakarta, pada 2009–2010. Banyak melakukan penelitian sosial dan budaya. Menulis dan menerjemahkan sejumlah buku kajian kebudayaan dan kebencanaan (ketangguhan), di antaranya Merdesa: Jatuh-Bangun Membangun Desa (INSISTPress, 2010), Laskar Pemimpi: Andrea Hirata, Pembacanya dan Modernisasi Indonesia (INSISTPress, 2008), Navigasi Bugis karya Gene Ammarell (Lembaga Penerbitan Unhas, 2008, judul asli: Bugis Navigation), Warisan Arung Palakka: Sejarah Sulawesi Selatan Abad ke-17 karya Leonard Andaya (Ininnawa, 2006, judul asli: The Heritage of Arung Palakka: A History of South Sulawesi (Celebes) in the Seventeenth Century), dan Kisah-Kisah Pengorganisasian Masyarakat di Delapan Desa di Jawa. Saat ini bekerja sebagai penasihat program Partners for Resilience, INSIST.

Asmaradana Merapi227

TIM KERJA

Page 248: Buku Asmaradana Merapi

SALEH ABDULLAH. Lahir di Jakarta pada 1960. Pernah bekerja serabutan sebagai peneliti dan wartawan lepas. Bekerja pada lembaga hak asasi manusia pada masa Orde Baru di Jakarta. Menulis beberapa artikel, menyunting buku, dan ikut menulis beberapa panduan pelatihan pendidikan hak asasi manusia dan politik. Anggota Dewan Tetua Jaringan Baileo, Maluku, anggota dewan redaksi INSISTPress, dan anggota Dewan Pengurus INSIST. Anggota pengarah Tim Relawan Kemanusiaan (TRK) INSIST. Trainer untuk pendidikan politik, advokasi, dan hak asasi manusia. Saat ini menjadi penanggungjawab program Partner for Resilience, INSIST.

DWI OBLO. Lahir di Wonogiri, Jawa Tengah, pada 1967. Lulus dari Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Sejak 2004 bekerja sebagai stringer kantor berita Thomson-Reuters Biro Jakarta. Mulai 2005 aktif bekerja sebagai kontributor majalah National Geographic Indonesia. Pernah terlibat pembuatan buku Bengawan Solo (National Geographic Indonesia, 2009), Kretek Jawa: Gaya Hidup Lintas Budaya (Gramedia, 2011), dan Borobudur: The Road to Recovery (UNESCO bekerjasama dengan National Geographic Indonesia, 2012).

ARMIN HARI. Lahir di Pinrang, Sulawesi Selatan, 1978. Alumni Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin, ini kerap memadukan teknik fotografi dengan pesan kuat realitas sosial. Karyanya “End of Horizon” menjuarai Hamdan Bin Mohammed Bin Rashid Al Maktoum International Photography Award 2011 untuk kategori “Love of The Earth”. Juga beberapa penghargaan nasional dan internasional lainnya. Terlibat dalam penulisan beberapa buku dengan menyumbangkan foto-fotonya, antara lain Images of Hope: BOS Training and Indonesia’s School System (AusAID dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2012). Anggota Komunitas Ininnawa, Makassar, ini bekerja pada Indonesian Society for Social Transformation (INSIST).

PUTRI YUNIFA. Lahir di Bandung pada 1973. Alumni Fakultas Psikologi UGM ini menyukai fotografi, membaca, dan masalah-masalah kemanusiaan. Pernah bekerja sebagai wartawan pada 2000–2003. Media specialist for peace building program di Catholic Relief Services (CRS) pada 2003–2004. Media coordinator of HIV/AIDS Prevention Project, Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DIY, pada 1996–1999. Independent consultant for HIV/AIDS media development di International Labour Organisation (ILO) pada 2010–2011. Saat ini bekerja sebagai senior creative designer and illustrator di CV Media Kampus Kreasi.

Narasi Ketangguhan Orang-Orang Merapi 228

Page 249: Buku Asmaradana Merapi
Page 250: Buku Asmaradana Merapi
Page 251: Buku Asmaradana Merapi
Page 252: Buku Asmaradana Merapi
Page 253: Buku Asmaradana Merapi