bab i pendahuluan a. latar...

24
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan makhluk yang multi dimensi. Mengkaji manusia hanya dari satu dimensi, akan membawa stagnasi pemikiran tentang kapabilitas manusia, serta menjadikannya sebagai subjek-objek yang statis. Hakikat manusia tidak akan pernah ditemukan secara utuh karena setiap kali seseorang selesai memahami satu dimensi manusia, maka kemudian akan muncul dimensi lain yang belum dibahas. Alexis Carrel mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya (Abiddin, 1997 :29). Persoalan terbesar sepanjang masa yang senantiasa dihadapi manusia adalah tentang diri manusia itu sendiri. Siapakah manusia itu, dari mana asalnya mengapa dia ada berbedakah ia dengan mahluk lain, apa bedanya sampai dimana batas kemampuannya dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya mengenai masalah manusia yang mendorong paras filosof dengan kemampuan logikanya mencoba untuk merumuskan pemikirannya tentang manusia. Kebebasan merupakan problem yang terus-menerus digeluti dan diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan keinginan yang sangat mendasar. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau dalam sejarah perkembangan pemikiran muncul berbagai pendapat yang berusaha

Upload: dinhtuong

Post on 12-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia merupakan makhluk yang multi dimensi. Mengkaji manusia hanya

dari satu dimensi, akan membawa stagnasi pemikiran tentang kapabilitas manusia,

serta menjadikannya sebagai subjek-objek yang statis. Hakikat manusia tidak akan

pernah ditemukan secara utuh karena setiap kali seseorang selesai memahami satu

dimensi manusia, maka kemudian akan muncul dimensi lain yang belum dibahas.

Alexis Carrel mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena

derajat keterpisahan manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan

perhatiannya yang demikian tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya

(Abiddin, 1997 :29).

Persoalan terbesar sepanjang masa yang senantiasa dihadapi manusia adalah

tentang diri manusia itu sendiri. Siapakah manusia itu, dari mana asalnya

mengapa dia ada berbedakah ia dengan mahluk lain, apa bedanya sampai dimana

batas kemampuannya dan masih banyak lagi pertanyaan-pertanyaan lainnya

mengenai masalah manusia yang mendorong paras filosof dengan kemampuan

logikanya mencoba untuk merumuskan pemikirannya tentang manusia.

Kebebasan merupakan problem yang terus-menerus digeluti dan

diperjuangkan oleh manusia. Keinginan manusia untuk bebas merupakan

keinginan yang sangat mendasar. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau

dalam sejarah perkembangan pemikiran muncul berbagai pendapat yang berusaha

2

menjawab problem tersebut. Meskipun demikian tetap harus diakui bahwa

persoalan kebebasan manusia merupakan suatu persoalan yang masih tetap

terbuka sampai dewasa ini (Nico, 1993:5).

Munculnya paham eksistensial merupakan kritik terhadap filsafat klasik dan

pertengahan yang cenderung fatalisme. Pada era filsafat klasik dan pertengahan

akar-akar historis eksistensial sudah ada tetapi yang dibahas adalah manusia

dipandang sebagai manusia dan menjadikan manusia sebagai objek pemikirannya

sehingga terlepas dari kehidupan nyata (Abstrak), “Pemikir-pemikir filsafat

terdahulu turut menghancurkan kebebasan manusia itu sendri dan analisis

filsafatnya bersifat abstrak seolah-olah sang pemikir tidak memikirkan dirinya

secara konkret (Save, 1990 :45).

Eksitensialisme adalah paham atau aliran filsafat yang memandang gejala-

gejala dengan berpangkal pada eksistensi pandangannya relative modern dalam

filsafat. Pelopor gerakan ini adalah soren Kierkegaard (1813-1855), filosof asal

Denmark yang menentang keras pemikiran abtraknya Hegel yang menyatakan

manusia telah hilang atau tidak memiliki kepribadian lagi, sedangkan menurut

Kierkegaard dalam eksistensial menekankan secara khusus kepada individu,

pentingnya subjektifitas dan penderitaan sebagai emosi sentral kehidupan

manusia. Salah satu tokoh eksistensial lainnya yang mencoba mengembangkan

pemikirannya adalah Heiddegger yang melandaskan kebebasan manusia dan

Nietzsche yang mentemakan gerakannya “allah telah mati” dan tiap-tiap

individualis mencari nilai-nilainya sendiri, sebagai jembatan masa depan

(Vincent, 2001 :6).

3

Kierkegaard mengawali pemikirannya bidang eksistensi dengan

mengajukan pernyataan yaitu bagi manusia yang terpenting dan utama adalah

keadaan dirinya atau eksistensi dirinya. Eksistensi manusia bukanlah statis tetapi

senantiasa menjadi, artinya manusia itu selalu bergerak dari kemungkinan

kenyataan. Proses ini berubah, bila kini sebagai sesuatu yang mungkin, maka

besok akan berubah menjadi kenyataan. Karena manusia itu memiliki kebebasan,

maka gerak perkembangan ini semuanya berdasarkan pada manusia itu sendiri.

Eksistensi manusia justru terjadi dalam kebebasannya. Kebebasan itu muncul

dalam aneka perbuatan manusia. Baginya bereksistensi berarti berani mengambil

keputusan yang menentukan bagi hidupnya. Konsekuensinya, jika kita tidak

berani mengambil keputusan dan tidak berani berbuat, maka kita tidak

bereksistensi dalam arti sebenarnya.

Dari sedikit pemaparan tentang konsep kebebasan eksitensial Kierkegaard

tentunya akan muncul banyak pendapat baik pro atau kontra terhadap konsep

kebebasan esistensialisme kierkegaard tersebut. Selain itu akan ada masalah yang

muncul akibat dari adanya sebuah pengertian kebebasan karena adanya

keleluasaan untuk bertindak sesuai dengan yang diinginkannya. Pertanyaannya

setelah manusia mampu dan telah mendapatkan kebebasan itu apa yang harus di

lakukannya? Apa dampak serta konsekuensi dari sebuah keadaan bebas tersebut

bagi kehidupannya? Seperti yang sama-sama kita ketahui kebebasan datang

sepaket dengan konsekuensinya. Dari sinilah penulis tertarik dan berkeinginan

untuk mencari jawaban tentang makna kebebasan dan hakikatnya serta masalah-

masalah yang timbul berkaitan dengan sebuah kebebasan yang dicetus dari sang

4

pelopor eksistensial Kierkegaard yang akan di tinjau dari sudut pandang filsafat

manusia. Alasan mengapa penulis memilih filsuf Kierkegaard karena selain

merupakan filsuf awal pencetus aliran eksistensial dan dikenal sebagai Bapak

eksistensial penulis melihat pemikiran yang sangat khas, mendalam dan

komprehensif tentang kebebasan eksistensial seorang manusia. Dan akhirnya

menghasilkan sebuah judul Konsep Kebebasan Eksistensial Soren Aabey

Kierkegaard dalam Perspektif Filsafat Manusia yang diharapkan nanti akan

menghasilkan analisis mengenai konsep kebebasan eksistensial manusia menurut

kierkegaard serta implikasi/relevansinya dalam kehidupan sosial masyarakat di

negara Indonesia.

1. Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat di simpulkan tentang rumusan masalahnya

antara lain :

1. Apa makna dan hakikat kebebasan itu?

2. Bagaimana konsep Kierkegaard tentang tiga tahap bereksistensi?

3. Bagaimana konsep kebebasan eksistensial Kierkegaard dalam Perspektif

Filsafat Manusia?

2. Keaslian penelitian

Penelitian mengenai makna atau arti kebebasan memang sudah pernah

dilakukan sebelumnya. Tetapi sejauh peneliti ketahui sampai saat ini belum

ditemukan penelitian yang membahas secara komprehensif dan mendalam tentang

5

Konsep Kebebasan Eksistensial Kierkegaard di Tinjau dari Filsafat Manusia

dalam penelusuran penulis. Dan berikut lampiran beberapa judul skripsi di

fakultas filsafat yang mempunyai kemiripan judul dengan penelitian ini :

1) “Dimensi kebebasan pada komunitas Punk di Yogyakarta dalam perspektif

Eksistensialisme Soren Aabey Kiergegaard”, skripsi ini berisikan tentang

sebuah komunitas punk yang menjadi fenomena langka tentang kebebasan

manusia. Kebebasan yang ditawarkan menjadi budaya yang

diperjualbelikan. Konsep anti kemapanan yang menjadi pro dan kontra

antar orang tua dan anak, sikap memberontaknya menjadi stereotip dalam

masyarakat. Jenis penelitian ini adalah sistematis-refleksif bertujuan untuk

mendeskripsikan kebebasan pada komunitas punk di Yogyakarta,

menganalisis dalam eksistensial soren aabey Kierkegaard dan kemudian

merefleksikannya menurut keyakinan peneliti.

2) “Kajian Eksistensialisme Soren Aabey Kierkegaard dalam Film 200

Pounds Beauty”, skripsi ini merupakan penelitian kepustakaan. Metode

yang digunakan ialah hermeneutika filosofis dengan unsur metodis

interpretasi, koherensi internal, deskripsi dan refleksi filosofis. Objek

material dalam penelitian ini adalah film “200 Pounds Beauty” karya kim

yong-wa yang diadaptasi dari manga karya Yumiko Suzuki berjudul

“Kanna-San Daisekou Desu”. Kemudian dikaji secara kritis dan filosofis

dengan sudut pandang filsafat manusia, khususnya perspektif eksistensial

Soren Kierkegaard.

6

3) “Tinjauan Tahap Religius Konsep Eksistensi Kierkegaard pada agama

Kristen masa kini” skripsi ini berisikan tentang telaah kritis dan kritik pada

agama Kristen masa kini, dalam lingkup kristenan dunia pada umumnya

dan lingkup keristenan di Indonesia pada khususnya ditinjau dalam tahap

religious soren aabey Kierkegaard.

4) “Kebebasan merupakan landasan untuk meningkatkan martabat hidup

manusia”. Skripsi dari saudara Y.F. Purwanto. Berisi tentang mengkaji arti

maupun makna dari sebuah kata kebebasan direlefansikan terhadap

martabat hidup seorang manusia dimana kebebasan merupakan dasar bagi

manusia untuk memperjuangkan harkat dan martabatnya dalam menjalani

kehidupannya.

5) “Manusia dan Kebebasan dalam Humanisme Erich Fromm” berisi tentang

pendeskripsian manusia dan kebebasan dalam humanismenya Erich

Fromm.

6) “Arti kebebasan dalam kehidupan seniman di Indonesia ditinjau dari segi

Filsafat Sosial”. Menelaah arti kebebasan kehidupan seorang seniman

yang di kaji melalui cabang filsafat yakni Filsafat Sosial.

3. Manfaat penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1) Bagi peneliti, penelitian ini diharapkan mampu mengasah kemampuan

peneliti untuk menulis ilmiah, memberikan pemahaman baru mengenai

7

problem yang berhubungan dengan manusia yang akan di pahami melalui

aliran eksistensial dalam ruang lingkup filsafat manusia

2) Bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan filsafat, penelitian ini

diharapkan dapat menambah wawasan tentang eksistensial manusia yakni

kebebasan berkehendak sebagai dasar setiap tindakan manusia dalam

menjalani kehidupannya. Sebagai pedoman dasar guna menjadi pondasi

untuk menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan

manusia.

3) Bagi kehidupan bangsa dan negara, memperkaya wacana keilmuan kita

tentang manusia, problematikanya, hak dan kewajibannya serta hakikat

sesungguhnya dari manusia. Masalah kebebasan yang hakiki dari setiap

segi baik itu kebebasan social, politik maupun budaya di Indonesia secara

mendalam. Dan juga mampu melihat kepekaan berfikir kita dalam melihat

realitas social masyarakat di Indonesia yang sangat komplek.

B. Tujuan Penelitian

Sebagai suatau penelitian ilmiah, penelitian ini bertujuan untuk menjawab

persoalan yang terdapat dalam rumusan masalah, yaitu sebagai berikut :

1. Memaparkan dengan lebih jelas mengenai makna dan hakikat dari konsep

kebebasan manusia itu sesungguhnya

2. Menjabarkan konsep eksistensial soren aabey Kierkegaard secara

sistematis

8

3. Menganalisis secara kritis tentang konsep kebebasan eksistensial soren

aabey Kierkegaard yang ditinjau dalam filsafat manusia.

C. Tinjauan Pustaka

Dalam “kamus filsafat” karya Loren Bagus (2002:406), kebebasan diartikan

sebagai kemampuan diri seorang pelaku untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai

dengan kemauan dan pilihannya serta mampu untuk bertindak sesuai yang disukai

atau menjadi penyebab dari tindakan-tindakannya sendiri. Kebebasan mempunyai

banyak definisi, namun persamaan inti dari makna kebebasan terletak pada

ketidakterikatan manusia oleh suatu kondisi dan aturan apa pun di luar dirinya.

Begitu juga dalam buku “Filsafat Kebebasan”, kebebasan dalam arti umum

adalah keadaan tiadanya penghalang, paksaan, beban atau kewajiban, sedangkan

kebebasan dalam arti khusus, yaitu suatu kemampuan manusia, terutama

kemampuan untuk menerima atau menolak kemungkinan-kemungkinan dan nilai-

nilai yang terus menerus ditawarkan kepada manusia oleh ihwal kehidupan (Nico

Syukur, 1991:40,51).

Banyak sekali definisi yang membicarakan tentang kebebasan, ada

pandangan bahwa kebebasan manusia itu tanpa batasan, seperti yang di dewa-

dewakan oleh Sartre, dia merumuskan kalimat yang terkenal “… man is free, or

rather, man is freedom” dan kebebasan ini adalah mencakup keseluruhan

eksistensi manusia, tidak ada batas untuk kebebasan, kebebasan itu sendiri yang

menentukan kebebasan, demikian kata Sartre. Karena kebebasan di mutlakkan

9

maka akibat yang paling nyata adalah penolakan terhadap tuhan, serta akibat etis

yang ditimbulkannya adalah nihilisme (Muzairi, 2002; 82-83).

Kebebasan dapat dijabarkan dalam beberapa point penting, maka akan

tampak seperti paparan dibawah ini :

1. Kebebasan sebagai kehendak bebas;

Kebebasan identik dengan sikap yang diambil secara pribadi, tanpa ada

paksaan dari pihak luar.

2. Kebebasan sebagai cita-cita;

Bahwa dalam kenyataannya manusia tetap akan menghadapi berbagai

kendala yang menghambat pemenuhan kebebasannya. Demikianlah

manusia akan menciptakan suatu proyeksi atau cita-cita yang

diperjuangkannya. Cita-cita tak lain ialah kebebasan sejati.

3. Kebebasan politis dan social;

Fakta bahwa manusia hidup dalam suatu lingkungan social tertentu, yang

memungkinkan kebebasan individu yang mutlak akan mengalami

pembatasan. Kebebasanku dibatasi oleh kebebasan orang lain.

4. Kebebasan berasal dari manusia dan berada di dalam manusia.

Kebebasan adalah disposisi batin manusia dalam menghadapi berbagai

pilihan yang ditawarkan dunia padanya. Demikianlah kebebasan itu selalu

diasalkan pada si individu. Kebebasan juga berada dalam manusia, karena

yang memutuskan untuk bertindak itu adalah aku, atau batinku yang

bebas.

10

Filsafat Hegel memandang kebebasan secara negatif. Tentu saja hal ini

didasarkan pada pandangannya bahwa ada-nya manusia tergantung pada

perealisasian diri roh sang mutlak. Kebebasan yang real mengandaikan individu

sebagai agen yang melaksanakannya, bukan kelompok, apalagi universalitas.

Hegel jelas menolak pandangan liberal. Pandangan liberal yang ditolaknya adalah

pandangan bahwa pada tahap tertentu kebebasan itu dijamin oleh suatu kondisi

tertentu, tanpa campur tangan siapa pun. Hegel hanya menerima kebebasan warga

Negara yang dibatasi atau dinaungi oleh Negara. Sekalipun Hegel juga menelaah

dan menjelaskan tema kebebasan sebagai bagian dari filsafatnya, namun

kebebasan yang dipahami Kierkegaard sangatlah berbeda. Sebagai jawaban

sekaligus kritik terhadap Hegel, ia tidak melihat kebebasan semata-mata hanya

sebagai proses kerja pikiran, diperoleh lewat abstraksi. Kebebasan harus dilihat in

medias res dalam pengalaman hidup, bukan dalam abstraksi. Kebebasan itu

adalah keputusan hidup yang disertai dengan aktualisasi nyata dalam keseharian

manusia (Paulus, 2006 : 48).

Perbedaan penghayatan terhadap kebebasan bagi kedua filsuf menghasilkan

penjelasan kebebasan yang berbeda. Kalau pada Hegel kebebasan diasalkan dari

abstraksi, Kierkegaard mengasalkannya dari pengalaman hidup yang dialami,

dirasakan, dilibati dan dihayati. Karena itu, tema kebebasan dalam pandangan

Kierkegaard diturunkan dalam kerangka hidup sebagaimana terungkap dalam

bentuk-bentuk keterasingan dan rasa bersalah individu dalam menjalani

kehidupan dan penemuan diri (self discovery), ironi (suasana batin yang terdalam

individu merasa terejek), rasa putus asa, melankoli, kecemasan, ketakutan, dan

11

kegentaran. Semua itu menjadi konsep-konsep penting bagi Kierkegaard dalam

menjelaskan kebebasan karena semua konsep itu berakar dari dan di dalam

pengalaman hidup. Selain itu, kebebasan juga selalu didekati dari lingkaran kecil

(individu), dan bukan dalam konsep-konsep besar sebagaimana Hegel

menjelaskan dalam kerangka hukum, kehendak universal, Negara dan absolute

(Paulus, 2006 : 49).

Lebih jauh Kierkegaard menegaskan bahwa kebebasan adalah kebebasan

eksistensial. Kebebasan eksistensial adalah kebebasan yang menyeluruh yang

menyangkut seluruh kepribadian manusia kebebasan tersebut mencakup seluruh

eksistensi manusia dan tidak terbatas pada salah satu aspek tertentu saja. Orang

yang bebas secara eksistensial sungguh-sungguh memiliki dirinya sendiri dan

telah mencapai taraf otonomi, kedewasaan, otentitas dan kematangan rohani.

Orang yang sungguh bebas juga berarti bahwa ia dapat mewujudkan eksistensinya

secara kreatif. Ia dapat merealisir segala potensi dan kemungkinan-kemungkinan

yang dimilikinya dengan otonomi dan kemampuan diri yang penuh. Ia terlepas

dari segala bentuk alienasi dan sampai pada tahap religius. Dengan demikian

Kierkegaard sesungguhnya menekankan peranan atas kehendak bebas individu.

(Paulus,2006 :49). Seperti yang telah diungkapkan di atas, ajaran Kierkegaard

adalah refleksi atas kehidupan pribadinya. Hal yang sama juga terjadi dengan

“dialektika eksistensial”. Dialektika yang dikemukakan Kierkegaard terdiri dari

tiga tahap perkembangan yakni, tahap estetis, tahap etis, dan tahap religious

(Paulus, 1984:43).

12

Tahap estetis individu diombang ambingkan oleh dorongan –dorongan

nafsu duniawi dan emosi-emosinya. Ia melihat segala sesuatumya sebagai alat

yang bisa menyenangkan dirinya. Ia haus kepuasan. Kenikmatan adalah suatu

tujuan yang harus diraih. Kenikmatan harus diisi dengan berbagai hal. Harus ada

variasi dalam proses pemuasan hasrat ini. Semboyan hidupnya adalah

“kenikmatan sekarang”, sedangkan hari esok dipikir besok. Oleh karena itu

patokan moral tidak cocok untuk tahap ini, sebab akan menghambat pemuasan

hasrat individu. Individu juga tidak memiliki asas-asas yang kokoh sehingga dia

bisa dengan mudah terpikat dari orang yang satu ke orang yang lain (Paulus, 1984

: 43).

Ironisnya, manusia yang hidup dalam tahap ini tidak akan menemukan apa

yang dicarinya: puncak kenikmatan. Ia tidak menemukan kenikmatan yang tidak

ada tandingannya lagi. Rupanya persoalan utama ada pada diri atau pada batin

sang pencari nikmat itu sendiri. Sampai kapanpun ia mencari dan mendapatkan

hasil, selalu ada hasrat untuk mendapatkan yang lebih. Proses ini berulang terus

sampai pada satu saat ia bosan. Ketakutan pokoknya adalah rasa tidak enak dan

kebosanan. Ia lalu merasa putus asa. Puncak-puncak kenikmatan yang dirasa tidak

pernah membuatnya merasa cukup. Batinnya kosong, hidupnya menjenuhkan. Ia

sebenarnya mengejar hal-hal yang tak terbatas, tapi ia jatuh dalam keterbatasan

dirinya. Ia membenci segala batasan. Ia membenci batasan-batasan moral yang di

buat masyarakatnya (Paulus, 1984:44).

Meski memiliki ciri-ciri rendah semacam itu, tahap ini juga tahap

eksistensialis. Artinya, orang bisa dengan bebas memilih untuk hidup dalam tahap

13

ini dan secara konsisten hidup sebagai manusia estetis. Namun pada akhirnya

tahap ini akan berakhir pada keputusasaan. Menurut Kierkegaard, kalau manusia

dengan bebas memilih estetis, rasa putus asa akan membawanya ke sebuah

pembebasan. Dengan kata lain, dia akan menghadapi tawaran untuk hidup

menurut cara eksistensi yang baru, yaitu tahap etis. Untuk sampai pada tahap ini,

individu tersebut harus membuat pilihan bebas, sebuah “lompatan eksistensialis”.

Jadi tahap ini bukan tahap yang niscaya mutlak perlu atau otomatis. Pada tahap

ini, individu dapat menguasai dirinya dan mengenali dirinya. Dia menyesuaikan

tindakan-tindakannya dengan patokan-patokan moral universal. Baginya ada

distingsi yang jelas antar baik dan buruk. Kehidupan seperti ini jelas berbeda

dengan kehidupan pada tahap sebelumnya. Tak ada lagi rasa atau hasrat untuk

selalu mengejar kepuasan. Berhala kepuasan kini diganti dengan berhala distingsi

antara yang baik dan buruk. Ada puncak lain yang dikejar, yakni keutamaan-

keutamaan moral (Paulus, 1984:45).

Menurut Kierkegaard, manusia etis masi terkungkung pada dirinya sendiri.

Jadi walaupun masi berusaha mencapai asas-asas moral universal, ia masih

bersikap imanen mengandalkan kekuatan rasionya belaka. Bagi Kierkegaard

manusia etis tidak memahami bahwa dasar-dasar eksistensinya serba terbatas.

Manusia pada tahap ini begitu yakin bahwa ia bisa mengandalkan kebenaran-

kebenaran subjektif yang diketahuinya. Moral adalah puncak dari kehidupan

seperti ini. Sayangnya bagi Kierkegaard, kehidupan seperti ini belumlah cukup

bagi eksistensi si individu. Kisah tragis Socrates dalam filasafat yunani kuno

menjadi model bagi kehidupan individu pada tahap ini. Socrates dianggap layak

14

mewakili tipe seperti ini karena keyakinan yang begitu besar pada moral universal

yang di ajarkannya membuatnya kehilangan nyawa. Socrates dan siapa saja yang

hidup pada tahap ini tidak akan menjumpai “paradoks absolute” tetapi kalau

hidupnya semakin dalam, dia akan menjumpai paradoks absolute dan ia ditantang

untuk melompat ke cara eksistensi yang baru. Sama seperti pada tahap

sebelumnya, pada titik tertentu akan menjadi krisis dalam tahap ini. Tiba-tiba

individu merasa berdosa. Ada gejolak atau pergulatan batin dalam diri sang

individu. Akhirnya ia merumuskan untuk masuk ke tahap yang baru (Paulus,

1984:46).

Tahap yang baru itu adalah tahap religious. Tahap ini di tandai oleh

pengakuan individu akan allah dan kesabarannya sebagai pendosa yang

membutuhkan pengampunan allah. Pada tahap ini, individu membuat komitmen

personal dan melakukan apa yang disebutnya “lompatan keimanan”. Lompatan ini

bersifat non-rasional dan bisa disebut pertobatan. Tokoh yang cocok untuk tahap

ini adalah Abraham. Dengan keputusan bebas Abraham mengorbankan putra

tunggalnya, issac, demi imannya kepada allah yang menghendaki pengorbanan

sang anak tunggal itu. Dapat dilihat dalam kasus ini, Abraham tidak memenuhi

atau bertentangan dengan tuntutan etis yang mengharuskan sang ayah menjaga

anaknya. Abraham berani mengambil sikap untuk mendahulukan kehendak allah.

Keputusan ini tentu merupakan sesuatu yang paradox tetapi Abraham memang

memilih sang paradoks itu sendiri. Allah bagi Kierkegaard adalah sang paradoks

sang tak terbatas ( Paulus, 2006 ; 46).

15

Di antara filsuf eksistensial lainnya, Kierkegaard memperkenalkan

kebebasan dengan ciri khasnya sendiri yakni, Kebebasan bagi Kierkegaard bukan

demi kebebasan itu sendiri, tetapi kebebasan untuk merealisasikan segala

kemungkinan menuju kehidupan dengan eksistensi sejati. Hal lain yang

membuatnya beda ialah keberaniannya memasuki daerah metafisis. Kierkegaard

tetap menerima adanya ilahi sebagai sumber pertolongan bagi individu dalam

merealisasikan segala kebebasannya menuju hidup yang bereksistensi. Dan

sebagai seorang moralis kierkegaardsampai pada eksistensial religious (Paulus,

2006 : 52).

D. Landasan Teori

Eksistensial merupakan aliran filsafat yang memfokuskan pandangannya

terhadap cara berada manusia melalui pilihan, eksistensial memberikan

pemahaman akan pilihan sebagai akibat dari kepemilikan kebebasan oleh

individu. Individu dalam eksistensial di posisikan sebagai subjek, individu yang

memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan. Kebebasan yang di dapatkan

ketika tidak ada ikatan antara individu dengan jeratan objektivitas. Kebebasan

dalam kerangka fikir eksistensial merupakan sebuah keadaan ingin terlepas dari

jeratan objektivitas dimaknai sebagai terlepasnya individu dari alienasi diri,

alienasi yang berarti individu terasing dari dirinya sehingga individu tidak

“memiliki” dirinya sendiri (Bertens, 2004:113)

Kierkegaard menjelaskan bahwa individu adalah seorang subjek yang sering

dikelilingi oleh rasa cemas dan takut, terlebih ketika mereka dituntut untuk harus

16

mengambil sebuah keputusan. Dalam pandangan Kierkegaard, individu sejati

tidak berkerumunan. Kerumunan atau publik selalu meniadakan kesubjektifitasan

individu sebab menurutnya kerumunan adalah sebuah abstraksi melainkan sebuah

hal yang konkret (Tjaya, 2004 ; 78). Konkret yang dimaksud adalah individu.

Ketika bergabung dengan publik maka individu tersebut tidak akan memberikan

komitmen sejati karena pengaruh langsung dari public yang terlalu kuat.

Komitmen sejati baru dapat diberikan jika individu keluar dari ruang publik. Bagi

banyak orang, kerumunan adalah kehidupan manusia yang sesungguhnya, tetapi

bagi Kierkegaard secara kualitatif eksistensi manusia berbeda dengan eksistensi

yang hanya rutinitas belaka (Tjaya, 2004 : 79).

Didalam kata pengantar yang di tulis oleh Achmad Charris Zubair dalam

buku filsafat manusia karya Septiana beliau mengatakan bahwasannya manusia

menghadapi persoalan universal yang menyangkut dua kutup yakni, otonomi dan

dependensi dalam hidupnya. Manusia memiliki keinginan-keinginan mendasar

untuk dapat menentukan keputusan-keputusan tindakannya secara bebas tanpa

tekanan. Kendatipun di satu sisi ia juga menyadari bahwa dalam hidupnya ada hal

yang tak bertolak secara otonom, dalam realitas hidupnya ada hal yang menjadi

keniscayaan dan harus diterima begitu saja. Asal keturunan, jenis kelamin, ras,

kecerdasan merupakan bagian dari keniscayaan itu. Sehingga dalam pengertian

sempit, nasib seolah sudah ditentukan serta tak ada pilihan berarti namun manusia

merupakan makhluk yang berakal budi yang dikaruniai otonomi yang terwujud

dalam dan berupa kebebasan kehendak, kebebasan berpihak dan kebebasan untuk

menentukan pilihan. Semua itu mengisyaratkan adanya kemampuan atau

17

kemungkinan manusia untuk mengubah ketentuan yang dimilikinya tersebut.

Kebebasan manusia itu sendiri baik secara substansial maupun proses

“pembebasan” merupakan masalah krusial baik dibidang filsafat maupun teologi.

Menjadi masalah yang bersifat filosofis karena berkaitan dengan kecendrungan

manusia untuk membangun eksistensi dan jati dirinya melalui otonomi manusia

sebagai symbol utuh kemanusiaan. Kebebasan adalah milik manusia, makhluk

lain tidak memilikinya karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang

istimewa karena hanya manusia lah yang diberi akal pikiran, kehendak dan juga

mempunyai emosi berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya.

Di bawah ini adalah penjelasan sistematis mengenai pandangan aliran-aliran

serta filosof yang berbicara tentang kebebasan manusia :

a) Determinisme materialis, pendapat bahwa manusia adalah mesin yang di

usung oleh j.o de la mettrei, menggambarkan manusia dengan sebuah mesin

yang jiwanya merupakan fungsi yang mekanis, namun ungkapnya juga mesin

itu lain dari pada yang lain karena mesin manusia dapat memutar sendiri.

Sama halnya dengan feurbach yang menggambarkan manusia itu adalah

sesuatu yang konkrit dan bukan hasil dari perkembangan ide semata. Manusia

itu semata-mata proses dari benda yang bersifat mekanis dan jiwapun adalah

cetusan dari jasmani (Muzairi, 2002 ; 11-12). Mekanisme, paham bahwa

instasi “asing” mendominasi subjek dengan total, objek, prasejarah dan

unsure-unsur dinamik natural di dalam subjek atau manusia menentukannya

dengan keharusan alamiah, dalam hakikatnya dan sampai dengan putusan,

18

pilihan, dan tindakan akhir. Anton bakker menyebutnya determinisme total

materialistis (Bakker, 2000 ; 213).

Kemudian tampil selanjutnya pandangan materialisme praktisnya marx,

yang berbeda dengan paham feurbach, bahwa materialisme kontemplatif tidak

sepenuhnya mampu memahami keindrawian sebagai kegiatan praktis.

Menurut marx, persoalan yang mendesak bukan lagi soal menafsirkan dunia

akan tetapi bagaimana mengubah dunia. Dengan inilah tindakan praktis perlu

dilakukan, dan dengan sendirinya bahwa peranan materi berada diatas

manusia. Kemudian pandangan mark tentang manusia, dia menghubungkan

kesadaran manusia dengan tingkah lakunya, tingkah laku ini dihubungkan

dengan kehidupan dan penyediaan kebutuhan material, menurutnya materi

adalah factor penentu kesadaran manusia, makanya muncul istilah

materialisme ekonomis. Marx mereduksi manusia dengan harga naluri

ekonomis, yaitu bagaimana memproduksi hasil dan menguasai alat-alat

produksi tersebar untuk memenuhi hajat materi. Inilah perubahan yang

dimaksut oleh marx (Muzairi, 2002 ; 13).

Hakikat manusia menurutnya adalah dengan menguasai dunia dan

dengan itu maka manusia memperoleh keberadaannya. Jadi seluruh proses

pilihan-pilihan terikat pada hakikat manusia sebagai bagian materi umum,

yang mendorong dengan mutlak dan praktis tidak ada kebebasan (Bakker,

2000 ; 213).

19

b) Determinisme spiritual, pandangan idealisme yang memandang manusia

terdiri dari cita-cita, jiwa dan akal. Plato berpandangan bahwa hakikat

manusia sebagai suatu kesatuan, kehendak dan nafsu-nafsu. Kemudian

dilanjutkan dengan aristoteles yang memandang manusia sebagai makhluk

yang rasional yakni pandangan tentang jiwa sebagai formal tubuh

mengajurkan suatu kesatuan organik ( Lorenzo, 2000 : 565).

Idealism intelektualis, hegel berpandangan juga bahwasanya manusia

ialah makhluk rohani, wujud manusia terletak dalam rohnya bagi hegel,

manusia adalah pangkal roh yang sedang berkembang, suatu momen-momen

diantara rangkaian momen-momen lain dalam kesatuan proses relasi dimana

kesadaran gerak mencapai kesempurnaan (Muzairi, 2002 ; 21) tentang

kebebasan manusia, hegel berpendapat bahwasannya tidak ada instansi

“asing” semua objek, prasejarah dan unsur-unsur bawah-human diciptakan

oleh subjek sendiri. Kehendak menurut hakikatnya menikamti kebebasan

penuh. Namun yang dimaksut kebebasan adalah spontanitas intern yang

murni (Bakker, 2000 ; 212).

c) Indeterminisme materialis, naturalisme rousseau, berpendapat manusia

dilahirkan merdeka, namun dimana-mana ia terbelenggu” maka ia harus

dibiarkan hidup menurut kehendaknya, lalu ia akan menemukan jalannya

sendiri. Atomisme, berpandangan semua kejadian atau peristiwa (bahkan

manusia) terjadi kebetulan, dari pertemuan dan penggabungan atom-atom

yang kebetulan belaka (Bakker, 2000 : 213-214).

20

d) Indeterminisme spiritualistis, Sartre berpendapat setiap manusia

menciptakan dirinya sendiri secara baru, lingkungan dan partner-objek yang

kerap mengganggu, tetapi harus di atasi. “L’homme est condamne a ertre

libre” manusia di hukum menjadi bebas (Bakker, 2000 ; 214). Eksistensial

dalam memandang manusia, ide pokok dari aliran ini adalah bagaimana

menitik beratkan pada persoalan kedudukan manusia, manusia sebagai

subyek dan tidak menjadi obyek pemikiran. Kemudian kebebasan menurut

kaum eksistensial berarti manusia tidak menjadi obyek yang dibentuk

dibawah pengaruh keniscayaan alam dan sosial. Manusia membentuk dirinya

dengan bertindak dan berbuatnya. Seorang manusia bebas mengambil

tanggung jawab atas apa yang di perbuatnya. Heidegger alah satu tokoh

eksistensial memeberikan pandangannya mengenai manusia bahwasannya

manusia itu selalu bersifat berlawanan dengan keberadaan manusia itu

sendiri, serta menghalangi kebebasannya dalam bertindak dan menghalangi

dia dari individualitasnya (Lorenz, 2000 ; 569).

E. METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan studi kepustakaan yang membahas konsep dari

sebuah kebebasan eksistensial dari pemikiran Kierkegaard yang kemudian ditinjau

dari Filsafat Manusia sebagai pisau analisisnya. Mengadopsi model historis

faktual tokoh. Bahan dan materi penelitian ini diambil dari karya-karya

Kierkegaard dan juga buku-buku penunjang yang membahas Kierkegaard serta

Filsafat Manusia Peneliti dalam hal ini meneliti objek material maupun objek

formal dengan mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang relevan dengan

21

penelitian ini sejauh yang dapat di jangkau dan di peroleh oleh penulis yaitu

sebagian besar bersumber dari buku, jurnal, e-book, karya ilmiah, dan beberapa

sumber media online yg berkaitan dalam penelitian ini.

1. Metode pelaksanan penelitian

a) Inventarisasi data, yaitu dengan mengumpulkan informasi kepustakaan

dengan tema manusia dan kebebasan, dan juga Filsafat manusia dan

beberapa yang dijadikan bahan objek material, serta beberapa buku yang

menulis tentang pemikiran Soren Abey Kierkegaard dan juga beberapa

buku pendukung yang sesuai dengan penulisan ini.

b) Klarifikasi: mengelompokkan data sesuai dengan bidangnya, baik yang

terkait dan mendukung objek formal maupun objek material.

c) Pengelolahan data, yaitu proses kritis analitis hasil penelusuran pustaka

untuk mendapatkan pemahaman dan pengetahuan yang sesuai dan

berkaitan dengan tujuan peneliti.

d) Penyajian hasil penelitian, yaitu tahap penulisan hasil pengelolahan data.

2. Analisis data

Data primer dan sekunder dikumpulkan, kemudian di klasifikasikan dan

dianalisis menggunakan metode hermeneutika dan tahapan-tahapan metodis

yang mengacu pada buku “Metode Penetilian Filsafat” karya Anton Bakker

dan Achmad Charis Zubair (1990 : 63) :

22

a) Deskripsi : Penulis memberikan gambaran dan menguraikan seluruh

materi yang didapat dengan lengkap dan sistematis mengenai Kebebasan

Eksistensial Kierkegaard seobjektif mungkin.

b) Interpretasi : menelaah data yang diperoleh dan berusaha menangkap

maknanya. Data tersebut diinterpretasikan untuk mengartikan arti yang

tersirat.

c) Analitika bahasa : hal ini dilakukan khususnya terhadap konsep-konsep

termonologi yang kurang jelas sehingga diuraikan secara analitis agar

menjadi mudah dimengerti dan dipahami.

d) Abstraksi : abstraksi diperlukan karena penelitian ini menyangkut problem

filosofis, fenomena yang harus diabstraksikan untuk mengungkap makna

metafisis dan direduksi untuk menemukan makna yang lebih mendalam.

Dalam hal ini misalnya untuk mengbstraksikan tentang kebebasan

manusia.

e) Refleksi mengemukakan analisis kritis pemikiran Kierkegaard mengenai

kebebasan manusia.

23

F. HASIL YANG INGIN DICAPAI

Penelitian ini bertemakan tentang konsep kebebasan eksistensial Soren

Aabey Kierkegaard dan akan ditinjau dalam salah satu cabang filsafat yakni

Filsafat Manusia. Dimana hasil yang ingin dicapai dari penelitian ini ialah

mengetahui apa sebenarnya hakikat atau makna kebebasan dari tokoh tersebut

tersebut yang nantinya diharapkan dapat memberikan relevansi dalam kehidupan

manusia baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain di dalam kehidupan

bermasyarakat.

G. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu :

Bab l

Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah penelitian, rumusan

masalah, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, landasan teori, metode penelitian dan hasil yang ingin dicapai.

Bab ll

Berisi tentang objek material penelitian yaitu bagaimana konsep kebebasan

eksistensial Soren Aabey Kierkegaard .

Bab lll

Berisi tentang deskripsi objek formal yakni telaah dari filsafat manusia

Bab lV

24

Berisi tentang analisis kritis dan relevansinya mengenai konsep kebebasan

eksistensial soren aabey Kierkegaard terhadap kehidupan manusia di dalam

masyaraka Indonesia saat ini.

Bab V

Penutup yang berisi kesimpulan dan saran serta daftar pustaka.