bab i pendahuluan a. latar belakangrepository.ump.ac.id/7400/2/nur hidayat_bab i.pdf · mempunyai...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masjid adalah lambang Islam. Masjid juga merupakan barometer atau
ukuran dari keadaan dan kesadaran masyarakat muslim pada suatu tempat dan
waktu. Keadaan suatu masjid adalah cerminan dari keadaan masyarakat yang ada
di lingkungannya. Pembangunan masjid dapat pula bermakna pembangunan Islam
dalam suatu masyarakat.
Indonesia sebagai salah satu negara dengan jumlah umat Islam terbesar di
dunia tentunya banyak sekali mempunyai masjid-masjid, baik itu masjid-masjid
baru yang mempunyai arsitektur modern atau masjid-masjid lama (kuna) yang
mempunyai arsitektur bangunan yang klasik atau tradisional. Masing-masing
masjid tersebut mempunyai arsitektur dan keunikan yang berbeda-beda sesuai
dengan ciri khas masjid tersebut.
Masjid merupakan bangunan yang digunakan oleh umat Islam untuk
melaksanakan kegiatan peribadatan seperti shalat, mengaji, dan kegiatan
peribadatan lainya. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah meningkatkan solidaritas
dan silaturahmi di kalangan umat Islam (Ayub dkk, 1996: 2).
Masjid-masjid lama yang terdapat di Jawa kebanyakan adalah masjid tipe
tradisional dengan atap tumpang yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin
1 Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
2
kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota, bilangan atapnya selalu
ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima. Desain bangunan masjid lama
merupakan hasil akulturasi antara masjid dengan tempat ibadah umat Hindhu. Ciri-
ciri masjid tradisional antara lain: (1) fondasi bangunan yang berbentuk persegi; (2)
Masjid itu tidak berdiri diatas tiang, seperti rumah Indonesia model kuna tetapi
diatas dasar yang padat; (3) Masjid itu mempunyai atap yang meruncing ke atas,
terdiri dari dua sampai lima tingkat, ke atas semakin kecil; (4) Masjid itu
mempunyai tambahan ruangan di sebelah barat atau barat laut, yang dipakai untuk
Mihrab; (5) Masjid itu mempunyai serambi, baik di depan maupun di kedua sisinya;
(6) Halaman di sekeliling masjid dibatasi oleh tembok dengan satu pintu masuk di
depan, disebut gapura (Pijper, 1992: 24). Masjid dengan tipe tradisional umumnya
merupakan masjid-masjid tua yang berusia lebih dari ratusan tahun seperti Masjid
Agung Demak, Masjid Agung Banten, Masjid Kudus, dan lain-lain. Selain tipe
tradisional, beberapa masjid modern di Jawa juga mengadopsi arsitektur bangunan
dari Eropa yaitu tipe Baroq dan Gothik. Masjid Besar Babul Qudus sendiri
kubahnya mengadopsi gaya Baroq. Ciri-ciri arsitektur Baroq adalah kubah masjid
berbentuk bulat.
Sebagian besar masjid yang terdapat di Jawa terutama masjid tipe
tradisional arsitekturnya masih dipengaruhi oleh Hindhu dan Budha. Hal tersebut
wajar karena pada masa lampau sebelum agama Islam datang ke nusantara
masyarakat sudah memeluk agama Hindhu dan Budha. Sebagai contoh Masjid
Agung Demak. Dengan bentuk atap berupa tajug tumpang tiga berbentuk segi
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
3
empat, atap Masjid Agung Demak lebih mirip dengan bangunan suci umat Hidhu
yaitu Pura. Hal ini menunjukan bahwa para Wali Sanga selaku penyebar agama
Islam di tanah Jawa memiliki kemampuan untuk mengharmonisasikan kehidupan
sosial di tengah-tengah masyarakat Hindhu pada masa itu. Pada umumnya
arsitektur masjid di Jawa kebanyakan adalah masjid tipe tradisional dengan atap
tumpang dengan bentuk seperti kerucut, mempunyai mihrab, dan beberapa masjid
mempunyai menara seperti Masjid Kudus dan Masjid Agung Banten.
Di Kabupaten Banyumas sendiri, tepatnya di Kecamatan Jatilawang yang
terletak kurang lebih 30 km dari Kota Purwokerto juga memiliki masjid yang
berusia tua. Masjid ini dikenal dengan nama Masjid Besar Babul Qudus. Masjid
Besar Babul Qudus ini sudah berdiri sejak tahun 1926. Masjid Besar Babul Qudus
terletak di Desa Tunjung RT 05 RW 02, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten
Banyumas, Jawa Tengah. Masjid Besar Babul Qudus telah beberapa kali
mengalami renovasi. Renovasi terakhir terjadi pada 2013. Proses renovasi Masjid
pada tahun tersebut Babul Qudus dilaksanakan berbarengan dengan proses renovasi
alun-alun Jatilawang. Renovasi masjid tersebut dilakukan agar bangunan masjid
lebih megah dan modern. Masjid Besar Babul Qudus merupakan salah satu masjid
dengan konsep arsitektur modern di Kecamatan Jatilawang.
Keistimewaan masjid Babul Qudus dibandingkan dengan masjid pada
umumnya adalah arsitekturnya yang cukup menarik menyerupai masjid-masjid
modern yang terdapat di Indonesia seperti Masjid Kubah Mas di Jakarta serta
beberapa masjid di Timur Tengah (Arab Saudi). Hal tersebut dilatar belakangi oleh
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
4
adanya renovasi total di Masjid Babul Qudus pada tahun 2013 lalu sehingga
bangunan masjid tampak lebih megah dan modern dari segi arsitekturnya.
Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti akan melakukan penelitian
untuk mengetahui lebih lanjut dengan judul penelitianya yaitu “SEJARAH,
PERAN, DAN ARSITEKTUR MASJID BESAR BABUL QUDUS
KECAMATAN JATILAWANG KABUPATEN BANYUMAS TAHUN 1926-
2017”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang dapat
dirumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah proses berdirinya Masjid Besar Babul Qudus ?
2. Bagaimanakah peran Masjid Besar Babul Qudus bagi masyarakat sekitar ?
3. Bagaimanakah arsitektur Masjid Besar Babul Qudus ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui proses berdirinya Masjid Besar Babul Qudus.
2. Untuk mengetahui peran Masjid Besar Babul Qudus bagi masyarakat
sekitar.
3. Untuk mengetahui arsitektur Masjid Besar Babul Qudus.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai
referensi bagi penelitian yang berkaitan dengan sejarah, peran, dan
arsitektur masjid, pengembangan ilmu sejarah atau memperkaya konsep-
konsep ilmu pengetahuan, dan mendorong untuk penelitian selanjutnya.
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
5
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pengelola, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan
evaluasi dalam mengelola masjid.
b. Bagi pengurus, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai arsip atau
dokumen penelitian.
c. Bagi masyarakat, hasil penelitian dapat dijadikan sebagai referensi
untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang Masjid Besar
Babul Qudus.
E. Kajian Pustaka
1. Pengertian Masjid
Masjid bagi umat Islam merupakan institusi yang paling penting
untuk membina suatu masyarakat muslim. Di masjid rasa kesatuan dan
persatuan umat Islam ditumbuhkan. Dalam bidang keagamaan, masjid
berfungsi sebagai tempat melakukan shalat baik fardhu maupun sunah.
Masjid juga mempunyai fungsi sosial, di masjid juga berlangsung proses
pendidikan, terutama pendidikan keagamaan, pengajian dan kegiatan sosial
lainya.
Masjid pada zaman Islam merupakan institusi politik dan
pemerintahan karena dilangsungkanya musyawarah politik, latihan militer,
dan administrasi negara. Dalam catatan sejarah Islam, lembaga-lembaga
pendidikan Islam bermula dari masjid (Indah, 2013: 16).
Keberadaan masjid sangat penting sekali bagi umat Islam karena
selain berperan sebagai tempat ibadah, masjid merupakan simbol agama
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
6
terutama untuk masyarakat Islam pada umumnya. Selain itu masjid juga
digunakan masyarakat Islam untuk memperkuat Ukhuwah Islamiyah atau
memperkuat tali silaturahmi sesuai dengan ajaran Islam sehingga dapat
meningkatkan ikatan persaudaraan dan solidaritas di kalangan umat Islam.
Jika umat Islam tidak memiliki masjid maka rasa persatuan dan
kesatuan di kalangan umat Islam tidak akan terbentuk karena mereka tidak
mempunyai tempat untuk berkumpul dan bersosialisasi. Jadi dapat
disimpulkan bahwa keberadaan masjid sangat penting bagi umat Islam
dimanapun mereka berada.
Pada masa lampau, terutama di Jawa Masjid Besar atau Masjid
Agung letaknya sangat strategis yaitu berada didekat alun-alun kota.
Berdasarkan penjabaran tersebut, menurut kosmologis Jawa (sistem
mancapat) tata kota di Pulau Jawa pada masa lampau meliputi kawedanan,
alun-alun, penjara, masjd, dan pasar. Bangunan tersebut berdada di masing-
masing penjuru mata angin. Misal: masjid berada di sebelah barat, penjara
di sebelah selatan, Pasar di sebelah timur, dan kawedanan berada di utara.
Alun-alun biasanya terletak di tengah-tengah wilayah tersebut.
Gaya arsitektur masjid di Jawa Tengah secara umum berbeda dengan
masjid di daerah lain. Berdasarkan data yang tampak bahwa bentuk-bentuk
bangunan tersebut dipengaruhi oleh lingkungan dan tradisi budaya yang
berkembang di masyarakat. Masjid di Jawa Tengah pada umumnya
merupakan perkembangan benrtuk dari bangunan religi yang pernah hidup
di masyarakat yang telah dipadukan dengan bangunan tradisional di Jawa
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
7
Tengah. Masjid bagi umat Islam merupakan salah satu bentuk ungkapan
realitas dari emosi dan keagamaan. Pendirian bangunan suci tersebut
didasari komitmen tanpa pamrih dan hati yang suci. Hal ini sebagai bentuk
penghormatan tertinggi kepada penguasa dan pencipta alam semesta
(Nugroho, 2011: 41).
Asal usul arsitektur jawa, sejauh ini berpendapat bahwa rumah
tradisional Jawa setelah datangnya Islam di Pulau Jawa, seperti yang
sekarang ditemui diderah Jawa Tengah, sama dengan rumah Jawa zaman
Hindhu Majapahit. Kedatangan Islam dari China selatan pada abad ke-16
tidak memberi dampak pada transformasi arsitektur. Para ahli arkeologi ber
argumentasi bahwa pengaruh Islam di Jawa tidak mengubah tradisi
sebelumnya (Pratiwo, 2010: 246).
2. Penelitian yang relevan
Febri Hermawan (2012) dalam penelitianya yang berjudul Masjid
Jami Soko Tunggal Kebumen Sebagai Situs Budaya Warisan Indonesia,
menjelaskan bahwa Masjid saka mempunyai arti Masjid yang ditopang satu
tiang (saka). Saka Tungga sebagai penopang utama bangunan masjid jami
Saka Tunggal yang berbentuk segi empat dengan ukuran 30 x 30 cm. saka
Tunggal tersebut menjulang ke atas sekitar 4 meter tingginya. Saka Tunggal
memiliki makna filosofis tersendiri karena Saka Tunggal memiliji makna
ke-esaan kepada Allah SWT sebagai sang pencipta tunggal alam semesta
sehinga Masjid Saka Tunggal tersebut tempat untuk meyakini bahwa Allah
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
8
itu tunggal atau Esa. Sementara itu dalam kaitanya dengan sejarah
perjuangan, keberadaan masjid itu juga menjadi simbol sata tekad untuk
mengusir penjajah dari bumi nusantara karena Masjid Jami Saka Tunggal
Kebumen didirikan pada masa penjajahan Belanda.
Laely Wijaya (2008), dalam penelitianya yang berjudul Masjid
Merah Panjunan Cirebon (Kajian Historis-Arkeologis), menjelaskan
berdirinya Masjid Merah Panjunan Cirebon serta proses akulturasi budaya
masa pra-islam yang datang setelah agama Hindhu-Budha di Indonesia.
Wujud akulturasi tersebut dapat dilihat dari adanya unsur-unsur budaya
yang ada pada arsitektur masjid Merah Panjunan. Meskipun dalam
penelitian ini tidak menyebutkan Masjid Babul Qudus namun penelitian ini
dapat dijadikan rujukan bagi penulis untuk meneliti Masjid Babul Qudus
yang berada di Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas.
Nugroho Bramasto Aji (2011) dalam penelitianya yang berjudul
Sejarah dan Arsitektur Masjid Raden Sayyid Kuning, menceritakan sejarah
dan arsitektur Masjid Raden Sayyid Kuning serta dampak bagi
perkembangan islam dan perencanaan perkembangan masjid pada masa
berikutnya di sekitar Purbalingga. Meskipun dalam penelitian ini tidak
menyebutkan Masjid Babul Qudus, namun penelitian ini dapat dijadikan
rujukan bagi penulis untuk meneliti Masjid Babul Qudus.
Beberapa hasil penelitian yang telah disebutkan di atas tidak
mengkaji latar belakang sejarah, peran, dan arsitektur Masjid Babul Qudus.
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
9
Dalam hal ini yang membedakan penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya adalah penelitian ini merupakan penelitian yang
membahas tentang sejarah, peran, dan arsitektur Masjid Babul Qudus
Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas.
F. Landasan Teori dan Pendekatan
1. Landasan Teori
a. Sejarah Masjid
Kata masjid berasal dari bahasa Arab masjidun, kemudian berubah
dalam bahasa Indonesia menjadi masjid, yang secara harfiah berarti tempat
sujud, tempat sembahyang, tetapi makna yang terkandung di dalamnya
sebenarnya jauh lebih luas daripada sekedar sujud (Hanafiah, 1988: 10).
Di Indonesia sendiri, tepatnya di Pulau Jawa masjid sudah ada sejak
zaman kerajaan Islam berdiri. Masjid yang sudah ada pada masa tersebut
antara lain Masjid Agung Demak, Masjid Agung Banten dan lain lain. Pada
mulanya masjid di Indonesia bentuknya seperti bangunan peribadatan Umat
Hindhu (Pura) atapnya berbentuk kerucut serta struktur bangunanya terbuat
dari kayu. Lambat laun bagunan masjid di Indonesia lebih modern dan
mengadopsi model dari Negara lain seperti Arab Saudi. Pada masa sekarang
ini masjid-masjid kuna masih berdiri kokoh sampai saat ini karena
bangunan tersebut mempunyai nilai historis.
Masjid pertama di Pulau Jawa adalah Masjid Agung Demak. Masjid
Agung Demak sebagai lambang kekuasaan bercorak Islam adalah sisi tak
terpisahkan dari Kesultanan Demak Bintaro. Kegiatan Walisanga yang
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
10
berpusat di Masjid itu. Disanalah tempat kesembilan wali bertukar pikiran
tentang soal-soal keagamaan.
Masjid Agung Demak didirikan oleh Walisanga secara bersama-
sama. Babad Demak menunjukan bahwa masjid ini didirikan pada tahun
Saka 1399 (1477 M) yang ditandai oleh candra sengkala Lawang Trus
Gunaning Janni, sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab
masjid ini terdapat lambing tahun Saka 1401 yang menunjukan bahwa
masjid ini berdiri pada tahun 1479. Pada awalnya, Masjid Agung Demak
menjadi pusat kegiatan Kerajaan Islam pertama di Jawa. Bangunan ini juga
dijadikan para wali untuk mengadakan Sekaten. Pada upacara Sekaten,
dibunyikanlah gamelan dan rebana di depan serambi masjid, sehingga
masyarakat berduyun-duyun mengerumuni dan memenuhi depan gapura.
Lalu para Wali mengadakan semacam pengajian akbar, sehingga rakyat pun
secara sukarela dituntun mengucapkan dua kalimat syahadat (Shodikin,
2013: 11).
Cepatnya Kota Demak berkembang menjadi pusat perniagaan dan
lalu lintas serta pusat kegiatan pengislaman, tidak lepas dari keberkahan
Masjid Agung Demak. Dari sinilah para Wali dan Raja dari Kesultanan
Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi oleh kegiatan
dakwah Islam ke seluruh Jawa (Shodikin, 2013: 12).
b. Peran Masjid
Menurut Suherman (2012: 62) dalam bukunya yang berjudul
Manajemen Masjid, mencatat bahwa dalam sejarah perjalananya, masjid
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
11
yang pertama kali didirikan Nabi (Masjid Nabawi) tidak kurang dari
sepuluh fungsi yang diembannya, yaitu:
1) Tempat ibadah (shalat dan dzikir)
2) Tempat konsultasi dan komunikasi
3) Tempat pendidikan
4) Tempat santunan sosial
5) Tempat latihan militer
6) Tempat pengelolaan korban perang
7) Tempat perdamaian
8) Aula tempat menerima tamu
9) Tempat menawan tahanan
10) Pusat penerangan dan pembelaan agama.
Menurut Suherman (2012: 63) Masjid pada masa silam mampu
berperan sedemikian luas karena:
1) Keadaan masyarakat yang masih sangat berpegang teguh
kepada nilai, norma, jiwa, dan agama.
2) Kemampuan Pembina-pembina masjid berhubungan sosial
dan kebutuhan masyarakat dengan uraian dan kegiatan masjid.
Dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW. Terutama dalam periode
Madinah, eksistensi masjid tidak hanya dimanfaatkan sebagai pusat ibadah
yang bersifat mukhadah/khusus, seperti shalat tapi juga mempunyai peran
sebagai berikut:
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
12
a) Dalam keadaan darurat, setelah mencapai tujuan hijrah di
Madinah, beliau bukanya mendirikan benteng pertahanan
untuk menjaga-jaga dari kemungkingan serangan musuh tetapi
lebih dahulu membangun masjid;
b) Kalender Islam yaitu tahun Hijriah dimulai dengan pendirian
masjid yang pertama, yaitu pada tanggal 12 Rabiul Awal,
permulaan tahun baru Hijriah kemudian jatuh pada tanggal 1
Muharam;
c) Di Mekkah agama Islam tumbuh dan di Madinah agama Islam
berkembang. Pada kurun pertama atau periode Makkiyah Nabi
Muhammad SAW mengajarkan Dasar-dasar agama.
Memasuki kurun waktu kedua atau periode Madaniyah Nabi
SAW menandai tapal batas itu dengan mendirikan masjid.
d) Masjid menghubungkan ikatan yang terdiri dari kelompok
orang Muhajirin dan Anshar dengan landasan keimanan
kepada Allah SWT; dan
e) Masjid didirikan oleh orang-orang taqwa secara bergotong
royong untuk kemaslahatan bersama (Ayub dkk, 1996: 10).
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
13
Fungsi masjid akan semakin terlihat pada bulan Ramadahan. Pada
bulan ini berbagai kegiatan ibadah dilakukan di masjid. Kegiatan tersebut
ada yang bersifat vertikal yaitu menekankan hubungan dengan Allah SWT
seperti i`tikaf atau berdiam diri di masjid beberapa waktu, membaca ayat-
ayat suci Al-Qur`an, meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah, shalat
tarawih dan ibadah lainya.aktivitas ibadah lainya yang dilakukan didalam
masjid pada bulan Ramadahan adalah aktifitas yang bersifat horizontal atau
bersifat sosial (menekankan hubungan sesama manusia) seperti pembayaran
zakat mal dan zakat fitrah. Peran sosial masjid juga terlihat dari terbukanya
masjid bagi para musafir (orang yang sedang dalam perjalanan) untuk
digunakan sebagai tempat menginap atau istirahat sementara. Selain itu
pelaksanaan akad nikah juga sering dilaksanakan di masjid (Juliadi, 2007:
12).
Umat Islam patut bersyukur bahwa dalam dekade akhir-akhir ini
masjid semakin tumbuh dan berkembang. Baik dari segi jumlahnya maupun
keindahan arsitekturnya. Hal ini menunjukan adanya peningkatan
kehidupan sosial ekonomi umat, dan semaraknya kehidupan keagamaan.
c. Arsitektur Masjid
Arsitektur merupakan hasil proses perancangan dan pembangunan
oleh seseorang atau sekelompok orang dalam memenuhi kebutuhan ruang
untuk melaksanakan kegiatan tertentu. Berdasarkan pengertian tersebut dan
batasan yang dimaksud dengan masjid, maka secara umum arsitektur masjid
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
14
adalah bangunan untuk sembahyang berjamaah pada hari jum`at dan ibadah
islam lainya dengan fungsi majemuk sesuai dengan perkembangan zaman.
Dalam perjalanan waktu, arsitektur masjid berkembang semakin
kompleks karena kecenderungan arsitektur masjid tersebut memasukan
budaya daerah (vernacularisme), namun perkembangan itu tidak lepas pula
dan pengaruh dan bentuk konsep dari pengaruh dan konsep yang lebih
dahulu ada. Sebagai contoh pemakaian kubah yang sejak ada sejak abad ke-
1 zaman Romawi dan dikembangkan pada zaman Bizantie sejak abad ke-3
dan zaman berikutnya (Juliadi, 2007: 52).
Seiring dengan perkembangan budaya manusia, percampuran unsur
budaya dalam arsitektur masjid kini semakin kompleks, terutama dalam
aspek perhubungan dan teknologi komunikasi, semakin banyak orang
bepergian dan berkomunikasi semakin banyak pula pengalaman yang
diperoleh sehingga percampuran budaya semakin cepat dan kompleks
(Juliadi, 2007: 53).
Masjid lama mempunyai ciri arsitektur sendiri dibandingkan dengan
masjid modern. Ciri-ciri masjid lama antara lain:
a. Atap tumpang, yaitu atap yang bersusun, semakin ke atas semakin
kecil dan yang paling atas biasanya semacam mahkota, bilangan
atapnya selalu ganjil, kebanyakan jumlah atapnya tiga atau lima.
Atap tumpan ini juga terdapat di Bali pada Upacara Ngaben
(Upacara Pembakaran mayat) atau relief Candi Jawa Timur.
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
15
b. Tidak mempunyai menara karena pemberitahuan waktunya
menggunakan bedug. Dari masjid tua lainya hanya Masjid Kudus
dan Masjid Agung Banten yang menggunakan menara.
c. Masjid masjid tua biasanya dibangun di dekat Istana atau keraton
yang mempunyai letak yang tetap dan selalu terletak di sebelah barat
lapangan atau alaun-alun dengan pohon beringin kembar. Di
belakang atau di sekitar area masjid terdapat makam-makam.
Rangkaian makam dan masjid ini pada hakikatnya adalah kelanjutan
dari fungsi candi pada zaman Hindhu-Budha (Sunanto, 2007: 95-
97).
2. Pendekatan
Berdasarkan objek penelitianya, yaitu Masjid Babul Qudus, yang
mengkaji tentang sejarah, peran, dan arsitektur sehingga pendekatan yang
dilakukan oleh peneliti adalah pendekatan antropologi dan pendekatan
sosiologi. Pendekatan antropologi adalah ilmu yang membahas tentang
sistem kebudayaan masyarakat sekitar. Pendekatan antropologi digunakan
untuk menjelaskan arsitektur Masjid Babul Qudus. Penelitian sejarah
memerlukan data yang bersifat antropologis karena data yang relevan
adalah persoalan kebudayaan (Priyadi, 2013: 73). Pendekatan sosiologi
adalah adalah ilmu yang mempelajari kehidupan sosial masyarakat yang
mengkaji interaksi sosial yang terjadi di masyarakat (Kartodirdjo, 1992:
144). Pendekatan sosiologis digunakan untuk mengungkap peranan, fungsi,
dan kegiatan kerohanian sosial di Masjid Babul Qudus. Pendekatan ini
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
16
dilakukan dengan mengamati aktifitas di masjid baik pada saat shalat wajib
maupun aktifitas keagamaan lainya.
G. Metode Penelitian
Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti dihadapkan pada tahap-tahap
pemilihan metode atau teknik pelaksanaan penelitian. Sesuai dengan pokok
permasalahan yang akan dibahas pada penelitian ini maka peneliti menggunakan
metode historis. Metode Historis adalah penelitian terhadap kejadian-kejadian pada
masa lampau dengan menggunakan analisis logis atau sering disebut sebagai
penelitian sejarah (Iskandar, 2009: 54). Langkah-langkah penelitian sejarah adalah
sebagai berikut:
1. Heuristik
Heuristik adalah langkah-langkah dalam mencari dan menemukan data
langsung (Priyadi, 2013: 112). Dalam hal ini peneliti terlebih dahulu melakukan
observasi ke Masjid Babul Qudus untuk melihat-lihat bangunan masjid, arsitekur
masjid, serta fasilitas yang ada di masjid tersebut. Kemudian peneliti
mewawancarai takmir Masjid Besar Babul Qudus. Setelah pihak masjid
mengerti dan memahami bahwa kedatangan penulis betul-betul untuk keperluan
akademis maka pengelola Masjid Besar Babul Qudus memberikan pelayanan
yang baik dan sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan peneliti. Narasumber
yang peneliti temui mengerti sejarah Masjid Besar Babul Qudus.
Pada tahapan ini peneliti menggunakan metode wawancara untuk mencari
informasi tentang seluk beluk Masjid Babul Qudus. Wawancara adalah cara
untuk mencari data sejarah dengan menggali kesaksian dari informan kunci,
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
17
yaitu pelaku dan penyaksi sejarah. Peneliti menngunakan model wawancara
terstruktur. Wawancara terstruktur adalah format masalah yang akan diteliti dan
telah ditentukan oleh peneliti (Iskandar, 2009: 131). Wawancara dilakukan
dengan narasumber seperti takmir Masjid Babul Qudus, Kepala Desa Tunjung,
ustad atau kyai, dan masyarakat dilingkungan masjid yang mengetahui sejarah,
arsitektur, dan peran Masjid Babul Qudus Kecamatan Jatilawang Kabupaten
Banyumas.
2. Kritik atau Verifikasi
Verifikasi pada penelitian sejarah identik dengan kritik sumber, yaitu kritik
ekstern dan kritik intern. Kritik ekstern bertujuan untuk mencari otentitas atau
keaslian sumber. Sedangkan kritik intern digunakan untuk menilai apakah isi
sumber tersebut memilki kredibilitas (dipercaya) atau tidak (Priyadi, 2013: 118).
Pada tahapan kritik ekstern peneliti beusaha untuk mencari keaslian sumber
sedangkan dalam kritik intern peneliti akan menyelidiki apakah isi sumber
tersebut dapat dipercaya (kredibel) atau tidak. Pada tahapan ini peneliti
melakukan perbandingan antara data yang diperoleh dari narasumber Masjid
Babul Qudus dengan keterangan yang diberikan oleh narasumber. Kemudian
peneliti akan memverifikasi data-data tersebut.
3. Interpretasi
Interpretasi nama lainya adalah penafsiran. Interpretasi adalah upaya
menafsirkan atau memberi makna kepada fakta-fakta (facts) atau bukti-bukti
sejarah (evidences). Interpretasi diperlukan karena pada dasarnya bukti-bukti
sejarah sebagai saksi (witness) realitas di masa lampau adalah hanya saksi-saksi
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
18
bisu belaka (Daliman, 2012 : 81). Pada bagian ini peneliti menafsirkan fakta-
fakta sejarah yang terdiri dari (1) mentifact (kejiwaan), (2) sosifact (hubungan
sosial), dan (3) artifact (benda) (Priyadi, 2013: 112). Dalam menginterpretasikan
fakta sejarah ini, peneliti berusaha mendeskripsikan hal-hal secara detail
mengenai fakta-fakta yang disebut analisis. Fakta-fakta diatas harus ditafsirkan
setelah tahapan kritik ekstern dan kritik intern. Tanpa interpretasi, fakta-fakta
tersebut tidak bisa berbicara sendiri (Priyadi, 2013: 122). Pada tahapan ini
peneliti melakunan interpretasi dengan cara menafsirkan data yang diperoleh di
lapangan, baik dalam bentuk dokumen ataupun dalam bentuk kutipan
wawancara dari pengurus masjid dan masyarakat sekitar. Peneliti melakukan
Interpretasi agar terhindar dari unsur subjektifitas.
4. Historiografi
Historiografi merupakan puncak dari metode sejarah. Penyajian laporan
penelitian meliputi (1) pengantar, (2) hasil penelitian, (3) simpulan (Priyadi,
2013: 123). Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu
cara yang utama untuk memahami sejarah (Sjamsudin, 2007: 156). Pada tahapan
ini peneliti menyajikan laporan penelitian dari awal hingga akhir yang meliputi
masalah-masalah yang telah diajukan yaitu berupa mengumpulkan dokumen
sebagai sumber terhadap obyek yang telah diteliti, mengumpulkan kutipan
wawancara dari narasumber, dan catatan lainya yang menyangkut dengan
penelitian.
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018
19
H. Sistematika Penyajian
Agar skripsi ini terencana dan tersusun dengan baik maka peneliti akan
menjelaskan sistematika yang terdiri dari lima bab.
Bab pertama, Pendahuluan berisi tentang: latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, landasan teori dan
pendekatan, metode penelitian, dan sistematika penyajian yang merupakan
gambaran singkat mengenai urutan pembahasan dari penulisan skripsi. Bab inilah
yang menjadi kerangka dasar pemikiran dan kemungkinan menjadi landasan bagi
peneliti untuk memulai penelitian dengan objek Masjid Babul Besar Qudus.
Bab kedua, Latar Belakang berdirinya Masjid Besar Babul Qudus. Berisi
tentang kondisi lingkungan masjid, proses berdirinya Masjid Babul Qudus, serta
letak dan fasilitas masjid.
Bab ketiga, Peran Masjid Besar Babul Qudus. Pada bagian ini akan
dijabarkan mengenai peran keagamaan, dan peran sosial.
Bab keempat, Arsitektur Masjid Babul Besar Qudus. Pada bagian ini akan
dijabarkan mengenai gaya bangunan, eksterior dan interior masjid, serta filosofi
bangunan masjid.
Bab kelima, penutup berisi tentang simpulan dan saran.
Sejarah, Peran, dan Arsitektur, Nur Hidayat, FKIP UMP, 2018