masjid jami

23
Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu yang berlokasi di kota Palopo , Sulawesi Selatan . Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu yang bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Masjid yang memiliki luas 15 m² ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini. [1] Daftar isi 1 Aristektur o 1.1 Unsur o 1.2 Bangunan 2 Renovasi 3 Referensi Aristektur Arsitektur Masjid Tua Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang bersebati (melekat) dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam. Unsur Pertama, unsur lokal Bugis [1] . Unsur ini terlihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang ditandai oleh bentuk pelipit (gerigi); dan pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau , putih dan coklat . Kedua, unsur Jawa [1] . Unsur ini terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap rumah joglo Jawa yang berbentuk

Upload: pt-likers-ficecom

Post on 22-Jun-2015

931 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Masjid jami

Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu yang berlokasi di kota Palopo, Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu yang bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Masjid yang memiliki luas 15 m² ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.[1]

Daftar isi

1 Aristektur o 1.1 Unsur o 1.2 Bangunan

2 Renovasi 3 Referensi

Aristektur

Arsitektur Masjid Tua Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang bersebati (melekat) dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam.

Unsur

Pertama, unsur lokal Bugis [1] . Unsur ini terlihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang ditandai oleh bentuk pelipit (gerigi); dan pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau, putih dan coklat.

Kedua, unsur Jawa [1] . Unsur ini terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap rumah joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga atau sering disebut tajug. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramida paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (Cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari Cina.

Terdapat dua pendapat seputar bentuk atap Masjid Tua Palopo ini[2]. Yang pertama mengatakan bahwa atap tersebut mendapat pengaruh dari arsitektur Jawa. Sementara yang kedua menolak pendapat itu, dengan berargumen bahwa bentuk tersebut merupakan pengembangan dari konsep lokal masyarakat Sulawesi Selatan sendiri. Namun demikian, mengingat hubungan antara kedua masyarakat telah terjalin begitu lama, wajar jika terjadi akulturasi budaya.[2]

Page 2: Masjid jami

Susunan atap pertama dan kedua disangga empat tiang yang terbuat dari kayu cengaduri, dengan tinggi 8,5 meter dan berdiameter 90 cm. Keempat tiang tersebut dalam konsep Jawa disebut sokoguru. Sementara itu, atap paling atas ditopang dengan satu tiang terbuat dari kayu yang sama. Dalam kearifan lokal Sulawesi Selatan, satu tiang penyangga atap paling atas yang didukung oleh empat tiang lainnya merefleksikan yang sentral (wara) dikelilingi oleh unsur-unsur lain di luar yang sentral (palili).[2]

Ketiga, unsur Hindu [1] . Unsur ini terlihat pada denah masjid yang berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konstruksi candi. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan bunga lotus, mirip dengan hiasan di Candi Borobudur. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa.

Keempat, unsur Islam [1] . Unsur ini terlihat pada jendela masjid, yaitu terdapat lima terali besi yang berbentuk tegak, yang melambangkan jumlah Salat wajib dalam sehari semalam.

Bangunan

Ukuran bangunan utama Masjid Tua Palopo yaitu 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m[2], dengan tebal dinding 0,94 m yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur. Denahnya berbentuk segi empat yang agaknya dipengaruhi bentuk denah candi-candi di Jawa.

Bentuk segi empat pada Masjid Tua Palopo mengandung makna yang sama dengan bentuk segi empat pada bangunan pendopo atau candi candi, yakni mengandung makna filosofis dan fungsional. Yang pertama berarti bahwa bentuk geometri tersebut sebetulnya. Sedangkan, makna yang kedua melambangkan persamaan dan kesetaraan siapa saja yang berada di dalamnya[2].

Renovasi

Sejauh ini telah dilakukan beberapa kali renovasi untuk perbaikan masjid. Renovasi pertama pada 1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk memperbaiki seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Lahan masjid ini seluas 1.680 m².[2]

Bentuk arsitektur Masjid Tua Palopo secara keseluruhan menunjukkan nilai-nilai kebudayaan lokal yang berakulturasi dengan nilai-nilai dari luar, terutama Islam dan Jawa. Meski demikian, bagian inti dari kebudayaan setempat, tidak berubah.[2]

Pembangunan masjid dimulai pada sekitgar abad ke-16 tahun 1604 M oleh ulama yang berasal dari minangkabau, Sumatra “Datuk Sulaiman bergelar Datuk Pattimang”. Ukuran bangunan utama 11, 9 meter x 11,9 meter dan tinggi 3,64 meter, dinding masjid menggunakan batu setebal 0,94 meter yang direkatkan dengan putuh telur. Atap bersusun tiga dan dipuncaknya terdapat tempayan kramik sebagai mustaka yang mengandung falsafah LUWU, yaitu lampu, tongeng, benteng dan allele.

Page 3: Masjid jami

Sedangkan mustaka adalah refresentasi dari sifat tuhan yang maha adil. Tiang utama sebagai penopang atap bermakna payung yang mengembang sebagai konsep tegaknya addatuang, dengan tinggi 8,5 meter dan diameter 90 cm dengan baha kayu cengaduri. Konstruksi masjid sangat unik karena terdapatperpaduan unsur Beni Cina-Vietnam melalui arsitek POEMANTE. Luas lahan 1.680 m2. Pemugaran pertama tahu 1951 dengan mengganti lantai dengan tegel yang didatangkan dari Singapura. Kemudian pemugaran ketiga tahun 1981 yaitu memperbaiki pada bagian-bagian yang rusak, lalu pemugaran keempat dan kelima dengan melakukan penambahan luas bangunan. Lokasi masjid Berada di kota Palopo.

Masjid Jami Tua Palopo

*Sejarah pembangunan* Sesuai namanya, Masjid Jami Tua Palopo, masjid ini berusia sangat tua, diperkirakan berdiri pada tahun 1604 M. Artinya, usia masjid ini sudah lebih dari empat abad. Masjid Palopo merupakan masjid kerajaan yang didirikan ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya. Saat itu, yang berkuasa di Luwu adalah Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Sejarahnya, ketika ia naik menggantikan ayahnya pada tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan dari Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih dekat dengan pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah dilakukan. Sumber sejarah lain ada juga yang mengkaitkan perpindahan ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk penyebaran Islam. Jika pendapat ini benar, maka perpindahan tersebut juga menandakan bahwa pengaruh Islam semakin menguat dalam Kerajaan Luwu. Hal ini bisa dilihat dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru, di mana masjid dan istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek kerajaan. Satu unsur lagi yang dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu adalah lapangan luas yang terbuka (alun-alun). Struktur dan tata letak pusat pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur dan tata letak kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah Palopo. Maka, sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama menjadi Palopo. Kata Palopo berasal dari bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti. Arti pertama adalah penganan gula ketan dan air gula merah yang dicampur; sedangkan arti yang kedua adalah memasukkan pasak ke dalam tiang bangunan. Kedua makna kata ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Jami Tua ini. Oleh sebab itulah, timbul kemudian inspirasi untuk menamakan masjid yang dibangun tersebut dengan Palopo. Demikianlah sejarah asal usul munculnya kata Palopo.

Page 4: Masjid jami

*Lokasi*

Masjid Jami Tua Palopo terletak di kota Palopo, salah satu kota yang terdapat di Sulawesi Selatan, Indonesia.

*Luas*

Luas Masjid Jami Tua Palopo 15x15 meter.

*Arsitektur*

Arsitektur Masjid Jami Tua Palopo sangat unik, kemungkinan mendapat pengaruh dari konstruksi candi Hindu dan Budha di Jawa. Keunikan masjid ini tampak dari bahan konstruksi dindingnya yang berasal dari batu cadas yang dibentuk menjadi blok-blok sangat tebal segi empat. Denah masjid yang berbentuk segi empat tampaknya juga terpengaruh oleh konstruksi candi Jawa. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan berupa molding penyederhanaan bunga lotus, mirip dengan hiasan di candi Borobudur. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa. Dari aspek keterpengaruhan dengan konstruksi candi, tampaknya Masjid Jami Tua ini merupakan satu-satunya di Indonesia. Pada bagian atap, ada pendapat yang mengatakan bahwa, konstruksi masjid ini dipengaruhi oleh atap joglo Jawa yang berbentuk piramidal bertumpuk tiga, sering disebut tajug. Masjid Jami Tua Palopo menggunakan atap tajug ini, dengan kemiringan makin ke atas makin curam dan pada puncaknya berbentuk piramidal. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramidal paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari China. Namun, ada pendapat lain yang mengatakan bahwa, sebenarnya konstruksi tersebut bukan terpengaruh Jawa, tapi melambangkan aspek simbolisme lokal berupa nilai-nilai yang menjadi inti pangngadereng dalam kebudayaan Bugis, yang berakar pada filsafat kosmogonisnya. Hal ini bisa dilihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susunan yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susunan ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga yang juga terdiri dari tiga susun yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang diantarai oleh bentuk pelipit; dan pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau, putih dan coklat. Selain aspek di atas, konsepsi wara (pusat) dan palili (yang mengelilingi pusat) merupakan unsur yang sangat penting dalam arsitektur masjid tersebut, yang terrefleksi pada tiang pusat (alliri posi) yang dikelilingi oleh empat tiang pembantu. Aspek simbolisme lain yang juga tampak dalam masjd ini adalah tujuh buah jendela yang berada di sisi kanan dan kiri dinding masjid yang melambangkan tujuh hari dalam seminggu. Pada jendela tersebut, terdapat pula terali besi yang berbentuk tegak, melambangkan jumlah shalat wajib dalam sehari semalam. Pada dinding bagian depan, terdapat pula tujuh bukaan, enam berbentuk jendela, masing-masing tiga di sisi kiri dan tiga di sisi kanan, dan satu berbentuk pintu yang berada di tengah untuk masuk jamaah. Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa konsep estetika yang diterapkan pada Masjid Jami Tua Palopo ini mengacu pada sistem pengetahuan, kosmogonis dan norma masyarakat Bugis; pemilihan bahan dan konstruksi bangunan juga masih dilatari oleh unsur lokal, kecuali bahan untuk konstruksi dinding dari batu yang lebih mirip konstruksi candi Hindu, dan mihrab yang berbentuk ceruk, mirip dengan kontruksi yang terdapat pada candi-candi. Dari situ, bisa disimpulkan bahwa, di samping unsur lokal yang masih sangat kuat, masjid ini juga dipengaruhi oleh unsur

Page 5: Masjid jami

asing, yaitu konstruksi candi Hindu di Jawa. Kesimpulannya, ada tiga unsur penting yang bersebati dalam konstruksi Masjid Jami Tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Hindu dan Islam. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa, masyarakat Bugis di Palopo sangat terbuka pada unsur luar, sehingga terjadi proses akulturasi dan inovasi. Dari sudut pandang sejarah dan budaya, terjadinya akulturasi dan inovasi merupakan bagian dari usaha untuk menghindari konflik, antara masyarakat lokal yang masih kuat menganut kepercayaan lama yang disebut attoriolong, dengan unsur Islam yang mulai menyebar luas di daerah tersebut. Sebagaimana diketahui, dalam unsur Islam tersebut juga terdapat unsur-unsur kebudayaan Hindu yang memang sudah sangat berakar di Nusantara. Oleh karena itu, unsur Hindu tersebut juga muncul dalam arsitektur Masjid Jami Tua Palopo ini. Dari proses akulturasi inilah, kemudian terjadi perubahan dalam konsep desain dan arsitektur Bugis di Palopo.

*Perencana*

Belum diketahui siapa perancang Masjid Jami Tua ini, di samping karena tidak adanya data sejarah tertulis, sejarah lisan yang berkembang di masyarakat juga tidak banyak menerangkan mengenai proses pembangunan Masjid Jami Tua ini.

*Renovasi*

Masjid ini telah pernah direnovasi, namun data mengenai proses renovasi tersebut masih dalam tahap pengumpulan.

Page 6: Masjid jami

PALOPO– Konstruksi batu cadas mewarnai bangunan religius di Jalan Andi Jemma, pusat kota Palopo, Sulawesi Selatan (Sulsel). Mesjid Jami’ Toea dibangun pada 1604 Masehi.

Mesjid ini merupakan mesjid peninggalan Kerajaan Luwu didirikan Raja Luwu bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe.

Luas bangunan 15 meterpersegi. Terdiri lima bagian: jendela besar, jendela kecil, tiang besar-kecil, mimbar, mihrab, dan pintu.

Statistik bangunan, yakni jendela besar ada di bagian selatan, timur, dan utara masing-masing berdimensi tinggi 1,16 meter, lebar 0,88 m, tebal 0,94 m. Di sisi barat terdapat jendela kecil dengan tinggi 0,31 m, lebar 0,41 m, dan tinggi terali 1,16 m. Tiang besar mesjid terbuat dari kayu Cina guri bersegi 12 memiliki diameter 0,90 m dan tinggi 8,50 m. Empat tiang kecil segidelapan setinggi 4,20 m mengitari tiang besar. Mimbar dengan tinggi 3,25 m, panjang 3,27 m, dan lebar 1,12 m. mihrab setinggi 0,93 m, lebar 1,70 m, dan panjang 1,02 m. Pintu mesjid memiliki dimensi setinggi 1,97 m dan lebar 0,94 m yang berdaun pintu setebal 0,5 m dan lebar 0,53 m.

Struktur bangunan masjid secara keseluruhan terdiri tiga susun mengikuti konsep rumah panggung. Konsep itu juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya seperti atap dan ornamen terdiri tiga susun; tiang penyangga juga terdiri tiga susun, yakni pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat), dan soddu; dinding tiga susun ditandai bentuk pelipit (gerigi); dan pewarnaan tiang bangunan bersusun tiga dari atas ke bawah dimulai warna hijau, putih, dan coklat.

“Arsitek mesjid ini konon orang Cina muslim bernama Fung Man Te,” ujar Abdul Latif Al-Masnawi, imam Mesjid Jami’ Toea yang telah 30 tahun mengabdi dalam tugasnya, Kamis (30/12/2010).

Dikatakannya, agama Islam pertama kali masuk ke Sulsel pada 1593 di daerah Luwu atau Malangke dibawa saudagar-saudagar Yaman. Dalam rombongan saudagar itu konon turut serta arsitek asal Cina.

Latif yang mengaku keturunan Arab berasal dari Hadramaut, menyatakan, sehari-hari umat muslim di Palopo bersembahyang di mesjid ini. Aliran udara dingin terasa sejuk saat okezone turut menjalankan ibadah shalat Zhuhur di Mesjid Jami’ Toea, Palopo. Di sela angin berhembus ke ambang jendela besar dan kokohnya konstruksi batu cadas, ikut mengalir pula hikayat berusia 400 tahun.

Page 7: Masjid jami

Masjid Jami’ Tua Palopo

Masjid Tua Palopo merupakan masjid peninggalan Kerajaan Luwu berada di kota Palopo, 

Sulawesi Selatan. Masjid ini didirikan oleh Raja Luwu tahun 1604 M. Memiliki luas 15 m².

Di beri nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari

kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang

terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang

tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua

Palopo ini[1].

Sebagian masyarakat percaya bahwa bagi orang yang datang ke Kota Palopo, belum

dikatakan resmi menginjakkan kaki di kota ini apabila belum menyentuh tiang utama Masjid

Tua Palopo yang terbuat dari pohon Cinaduri, serta dinding tembok yang menggunakan

bahan campuran dari putih telur. Oleh karena itu, masjid ini tidak pernah sepi dari jemaah,

Page 8: Masjid jami

khususnya pada bulan Ramadhan, setiap selesai shalat dhuhur hingga menjelang berbuka

puasa, biasanya para jamaah tetap tinggal di masjid untuk mengaji, tadarrus Alquran, dan

berzikir. Jamaah yang datang bukan hanya warga Kota Palopo, tetapi banyak juga yang

datang dari kabupaten tetangga, seperti Luwu, Luwu Utara, Sidrap, dan Wajo.

Sejarah

diperkirakan berdiri pada tahun 1604 M. merupakan masjid kerajaan yang didirikan

ketika Kerajaan Luwu sedang berada dalam masa kejayaannya dibawah kekuasaan

Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe. Ketika ia

naik tahta menggantikan ayahnya tahun 1604 M, ia memindahkan ibukota kerajaan dari

Patimang ke Ware, dengan alasan Ware berada di pantai dan lebih dekat dengan

pelabuhan, sehingga aktifitas ekonomi bisa lebih mudah dilakukan. Sumber sejarah lain

ada juga yang mengkaitkan perpindahan ibukota kerajaan ini dengan kepentingan untuk

penyebaran Islam. Jika pendapat ini benar, maka perpindahan tersebut juga

menandakan bahwa pengaruh Islam semakin menguat dalam Kerajaan Luwu. Hal ini

bisa dilihat dari konstruksi kompleks ibukota kerajaan yang baru, di mana masjid dan

istana dibangun berdekatan membentuk satu komplek kerajaan. Satu unsur lagi yang

dibangun dalam kompleks kerajaan Luwu adalah lapangan luas yang terbuka (alun-

alun). Struktur dan tata letak pusat pemerintahan yang seperti ini mirip dengan struktur

dan tata letak kerajaan Islam di Jawa. Seiring dengan penamaan masjid ini dengan

Masjid Palopo, daerah tersebut kemudian juga disebut sebagai daerah Palopo. Maka,

sejak tahun 1604 M tersebut, daerah Ware ini berubah nama menjadi Palopo.

Keunikan Arsitektur

Page 9: Masjid jami

Masjid Tua Palopo berukuran 11,9 m x 11,9 m, tinggi 3,64 m, dengan tebal dinding 0,94 m

yang terbuat dari batu cadas yang direkatkan dengan putih telur.  Arsitektur Masjid Tua

Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang melekat dalam konstruksi masjid tua

ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam. 

Unsur lokal Bugis terlihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri

dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga

konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga

susun; tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang

pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang ditandai oleh bentuk pelipit (gerigi); dan

pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari

warnahijau, putih dan coklat.

Unsur Jawa terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap rumah joglo Jawa yang

berbentuk piramida bertumpuk tiga atau sering disebut tajug. Dua tumpang atap pada

bagian bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru.

Sedangkan atap piramida paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna

gori (Cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan

dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari Cina.

Page 10: Masjid jami

Unsur Hindu terlihat pada denah masjid yang berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh

konstruksi candi. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan bunga lotus, mirip dengan

hiasan di Candi Borobudur. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip

dengan hiasan candi di Jawa.

Unsur Islam terlihat pada jendela masjid, yaitu terdapat lima terali besi yang berbentuk

tegak, yang melambangkan jumlah shalat wajib dalam sehari semalam.

Renovasi

Masjid Tua Palopo sudah beberapa kali renovasi untuk perbaikan. Renovasi pertama pada

1700 M dengan perbaikan pada lantai. Kedua, pada 1951, mengganti lantai yang lama

dengan lantai dari tegel yang didatangkan dari Singapura. Renovasi ketiga pada 1981 untuk

memperbaiki seluruh bagian masjid yang rusak. Sedangkan pada renovasi keempat dan

kelima dengan menambahkan luas bangunan hingga seperti yang sekarang ini. Lahan

masjid ini seluas 1.680 m².[

Page 11: Masjid jami

Kabupaten Palopo yang juga dikenal dengan sebutan Luwu' di Sulawesi Selatan, memiliki jejak sejarah sebagai pusat penyebaran agama Islam di Sulawesi Selatan. Diperkirakan agama Islam berkembang di Kedatuan Luwu', sekitar abad ke-17.

Setidaknya ada tiga situs utama yang menggambarkan Islam pernah berkembang pesat di daerah ini, yaitu bangunan Mesjid Jami'toa, Istana Dato' Luwu', dan makam Raja-raja Luwu yang terletak dalam satu kawasan di pusat kota Palopo, yang disebut kawasan Ilala'bata, atau kawasan istana raja.

Bangunan Masjid Jami'toa diperkirakan berdiri tahun 1604. Sekilas, bangunan religius ini tampak sederhana, namun sesungguhnya sarat dengan simbol-simbol penting yang menggambarkan eksistensi Kedatuan Islam Luwu' pada masanya.

Simbol-simbol tersebut antara lain tersirat melalui atap tumpang bersusun tiga. Pada puncak atap terdapat tempayan keramik yang berfungsi sebagai kepala. Ditopang oleh sebuah tiang utama, yang terbuat dari kayu kamoni, atau oleh masyarakat setempat disebut Cina Gori.

Tiga tingkap atap masjid ini melambangkan unsur-unsur keIslaman yang masuk ke Indonesia. Yaitu syari'ah atau amal perbuatan manusia, pada tingkat paling bawah. tingkat kedua melambangkan thariqat, yaitu jalan mencari berkat Tuhan dan tingkat ketiga melambangkan hakekat, yaitu hakikat amal perbuatan seseorang. Dan puncak masjid, diibaratkan ma'rifat yakni mengenal Tuhan Yang Maha Tinggi.

Tiang utama Masjid Jami' berdiameter 90 centimeter, dan berbentuk segi dua belas yang masing-masing sisinya berukuran 19 senti meter. Kabarnya, serpihan kayu tiang utama Masjid Jami, dapat dibuat untuk ramuan obat-obatan yang menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Oleh karena itu, pengelola masjid membuat semacam selubung kaca untuk melindungi tiang tersebut dari tangan-tangan jahil.

Konstruksi dinding dirancang dengan teknik susun-timbun, terbuat dari balok-balok batu padas dengan ukuran bervariasi. Namun kedalaman pondasi masjid ke dalam tanah, hingga kini masih menjadi misteri rakyat Palopo. Karena setiap digali, tetap masih tampak susunan batunya.

Mihrab masjid, yang berfungsi untuk menentukan arah kiblat, berbentuk agak melengkung menyerupai kubah. Di depan mihrab ditempatkan sebuah mimbar yang berfungsi sebagai

Page 12: Masjid jami

tempat khatib berdiri, dengan atap terbuat dari kulit kerang asli. Namun tidak seperti masjid di Jawa pada umumnya, Masjid Jami'toa Palopo tidak memiliki serambi. Pada bentuk aslinya, masjid ini pun tidak memiliki langit-langit. Langit-langit Masjid Jami'toa yang ada saat ini, merupakan bagian yang ditambahkan.

Kesederhanaan hiasan dan arsitektur Masjid Jami' Palopo bertujuan untuk menimbulkan suasana yang kondusif untuk beribadah. Hingga saat ini, Masjid Jami' yang terletak di Jalan Andi Jenna' Nomor 1, Palopo, masih digunakan dan terbuka untuk umum. Renovasi-renovasi terus dilakukan untuk mempertahankan keberadaan masjid kuno Islam Palopo ini.

Situs Islam Kerajaan Luwu' yang kedua adalah Istana Datu' Luwu'. Bangunan ini dipugar dari situs aslinya oleh Belanda pada tahun 1907. Namun bahan-bahan bangunan baru ini, terbuat dari bahan-bahan istana lama yang dipugar. Di dekat istana, terdapat museum yang menyimpan benda-benda peninggalan raja-raja atau Datu' Luwu', hingga benda-benda dan senjata yang dipergunakan pahlawan-pahlawan Palopo pada masa perang kemerdekaan melawan penjajah Belanda.

Selain itu pula terdapat makam berbentuk kubah, tempat peristirahatan terakhir raja-raja Luwu', bangsawan, atau orang-orang yang dituakan di Luwu', yaitu orang yang bergelar Opu Daeng Bau. Orang pertama yang dikubur di dalam makam tua ini adalah Datu' Labaso' Langit, Raja Luwu' ke-17, dan dinamai juga Martin Roi Goa.

Kedatuan Islam Luwu' bisa dibilang saling terkait dengan 2 kerajaan besar lainnya di Sulawesi, yakni Gowa dan Bone. Hubungan yang terkait secara emosional ini pula yang memungkinkan Islam masuk ke wilayah Sulawesi.

Bagaimanapun dalam kesederhanaannya, Masjid Jami'toa Palopo dan situs Luwu' lainnya, menjadi saksi betapa kerendahan hati para pemimpin dan segenap rakyat Luwu', telah membawa kemuliaan bagi Kedatuan Islam Luwu'.(indah)

Page 13: Masjid jami

A. Selayang Pandang

Masjid  Tua Palopo merupakan masjid Kerajaan Luwu yang didirikan oleh Raja Luwu yang bernama Datu Payung Luwu XVI Pati Pasaung Toampanangi Sultan Abdullah Matinroe pada tahun 1604 M. Masjid yang memiliki luas 15 m2 ini diberi nama Tua, karena usianya yang sudah tua. Sedangkan nama Palopo diambil dari kata dalam bahasa Bugis dan Luwu yang memiliki dua arti, yaitu: pertama, penganan yang terbuat dari campuran nasi ketan dan air gula; kedua, memasukkan pasak dalam lubang tiang bangunan. Kedua makna ini memiliki relasi dengan proses pembangunan Masjid Tua Palopo ini.

Sebagian masyarakat percaya bahwa bagi orang yang datang ke Kota Palopo, belum dikatakan resmi menginjakkan kaki di kota ini apabila belum menyentuh tiang utama Masjid Tua Palopo yang terbuat dari pohon Cinaduri, serta dinding tembok yang menggunakan bahan campuran dari putih telur. Oleh karena itu, masjid ini tidak pernah sepi dari jemaah, khususnya pada bulan Ramadhan. Pada bulan tersebut, setiap selesai shalat dhuhur hingga menjelang berbuka puasa, biasanya para jamaah tetap tinggal di masjid untuk mengaji, tadarrus Alquran, dan berzikir. Jamaah yang datang bukan hanya warga Kota Palopo, tetapi banyak juga yang datang dari kabupaten tetangga, seperti Luwu, Luwu Utara, Sidrap, dan Wajo.

B. Keistimewaan

Arsitektur Masjid Tua Palopo ini sangat unik. Ada empat unsur penting yang bersebati (melekat) dalam konstruksi masjid tua ini, yaitu unsur lokal Bugis, Jawa, Hindu dan Islam.

Pertama, unsur lokal Bugis. Unsur ini terlihat pada struktur bangunan masjid secara keseluruhan yang terdiri dari tiga susun yang mengikuti konsep rumah panggung. Konsep tiga susun ini juga konsisten diterapkan pada bagian lainnya, seperti atap dan hiasannya yang terdiri dari tiga susun; tiang penyangga juga terdiri dari tiga susun, yaitu pallanga (umpak), alliri possi (tiang pusat) dan soddu; dinding tiga susun yang ditandai oleh bentuk pelipit

Page 14: Masjid jami

(gerigi); dan pewarnaan tiang bangunan yang bersusun tiga dari atas ke bawah, dimulai dari warna hijau, putih dan coklat.

Kedua, unsur Jawa. Unsur ini terlihat pada bagian atap, yang dipengaruhi oleh atap rumah joglo Jawa yang berbentuk piramida bertumpuk tiga atau sering disebut tajug. Dua tumpang atap pada bagian bawah disangga oleh empat tiang, dalam konstruksi Jawa sering disebut sokoguru. Sedangkan atap piramida paling atas disangga oleh kolom (pilar) tunggal dari kayu cinna gori (Cinaduri) yang berdiameter 90 centimeter. Pada puncak atap masjid, terdapat hiasan dari keramik berwarna biru yang diperkirakan berasal dari Cina.

Ketiga, unsur Hindu. Unsur ini terlihat pada denah masjid yang berbentuk segi empat yang dipengaruhi oleh konstruksi candi. Pada dinding bagian bawah, terdapat hiasan bunga lotus, mirip dengan hiasan di Candi Borobudur. Pada dinding bagian atas juga terdapat motif alur yang mirip dengan hiasan candi di Jawa.

Keempat, unsur Islam. Unsur ini terlihat pada jendela masjid, yaitu terdapat lima terali besi yang berbentuk tegak, yang melambangkan jumlah shalat wajib dalam sehari semalam.

C. Lokasi

Masjid Tua Palopo terletak di Kota Palopo, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia.

D. Akses

Kota Palopo berada 390 km di sebelah utara Kota Makassar. Perjalanan dari Kota Makassar ke Kota Palopo dapat ditempuh dengan menggunakan mobil pribadi maupun dengan angkutan umum, berupa mobil panther, kijang, dan bus.

E. Harga Tiket Masuk

Pengunjung tidak dipungut biaya masuk.

F. Akomodasi dan Fasilitas

Dalam proses pengumpulan data.

Page 15: Masjid jami

Palopo

Sepenggal kalimat itu mengalir dari mulut Abdul Latief Al Muscati, seorang imam masjid Jami tua di Palopo, Selasa 14 September. Meski agak terbata-bata, pria paruh baya ini masih tampak semangat menceritakan perjuangan hidupnya menjadi seorang imam masjid tertua di Palopo.

Hampir semua jemaah masjid Jami (masjid tertua) di Palopo mengenal sosok keturunan Arab ini. Pasalnya, sejak tahun 1978, pria ini sudah mulai ada di masjid itu. Awalnya, dia hanya bertugas untuk membersihkan masjid paling bersejarah di Sulawesi Selatan itu.

"Awalnya, saya hanya membantu membersihkan Masjid, terus jadi guru mengaji, sampai sekarang jadi imam Masjid," jelas Abdul Latief.

Seperti dengan nama belakangnya; Al Muscati. Abdul Latief adalah salah seorang keturunan Arab yang bermukim di Palopo. Bahkan menurutnya, dia mengaku adalah keturunan cucu dari salah seorang penyebar Syiar Islam terkenal di Palopo bernama Syekh Salim Djewed.

Latief mengatakan, Syekh Salim Djewed adalah sosok penyebar islam di Palopo. Dia pernah menjadi salah satu penasehat agama pada kerajaan Luwu yang saat itu dipimpin oleh Datuk Andi Djemma.

"Tidak ada yang tidak kenal dengan nenek saya itu, apalagi orang-orang kerajaan, pasti dia mengenalnya," jelas Latief.

Latief mengaku, banyak belajar dari neneknya mengenai agama Islam. Bahkan dia pernah belajar di

Page 16: Masjid jami

Pendidikan Guru Agama (PGA) selama tiga tahun. Sayang, pendidikan tersebut harus terhenti karena saat itu terjadi perang oleh laskar yang dipimpin oleh Qahhar Mudzakkar. Latief pun harus meninggalkan kota Palopo selama tiga tahun.

Usai dari sana, Latief kemudian mulai tinggal di Masjid Jami tua. Saat itu, dia dipercaya untuk membersihkan masjid dan menjadi guru mengaji. Dia mengaku mulai tinggal di masjid itu sejak tahun 1978.

Lalu, berapa upah Latief saat itu? pria paruh baya dengan janggot yang mulai memutih ini mengaku hanya diberi upah Rp 2500 per bulan. Kehidupannya hanya ditopang dengan jualannya yang tidak jauh dari Masjid itu.

"Setelah beberapa tahun, saya diangkat menjadi imam masjid," jelasnya.

Pofesi sebagai imam masjid masih dilakoni Latief sampai sekarang. Selain itu, dia juga masih mengajar mengaji dan meladeni mayat. Kadang juga dia dipanggil oleh beberapa warga sebagai juru baca doa di sebuah acara.

"Selama hidup di Masjid Jami, ada saja berkah yang diberikan Tuhan," jelasnya.

Latief menambahkan, di hari raya idulfitri ini, dia meminta kepada semua orang agar senantisa menjalin silaturahmi dengan sesama umat muslim lainnya. Selai itu rasa cintanya kepada Tuhan juga harus ditingkatkan. Menurutnya, Tuhan akan selalu memberikan berkah kepada ummatnya yang senantiasa cinta kepada-Nya.

"Saya rasakan ketenraman saat berada di masjid ini, itu adalah salah satu berkah buat saya," jelas Latief.(**)

Page 17: Masjid jami
Page 18: Masjid jami