bab i pendahuluan a. latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang penting dan utama dalam
kehidupan kita. Pendidikan juga merupakan hak asasi manusia yang dijamin oleh
Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen Bab X A Hak Asasi Manusia Pasal
28C yang berbunyi :
―Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi
meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat
manusia‖.
Dan UUD 1945 Amandemen Bab XIII Pendidikan Dan Kebudayaan Pasal 31,
ayat 1-5 yang berbunyi :
―(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap
warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah
wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan
Undang-Undang; (4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan
belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; (5)
Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk
kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia‖.
Oleh karena itu, hak setiap anak bangsa untuk mengenyam pendidikan
tidak dapat dihalangi oleh siapapun. Akses masyarakat terhadap pendidikan
merupakan amanah yang harus dilakukan bangsa Indonesia sesuai dengan tujuan
2
negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Pendidikan salah satu komponen terpenting dalam meningkatkan kualitas
hidup manusia, dalam Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)
menyampaikan kinerja pendidikan yaitu gabungan angka partisipasi kasar (APK)
jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi dan angka melek
aksara digunakan sebagai variabel dalam menghitung Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) bersama-sama dengan variabel kesehatan dan ekonomi. Oleh
karena itu pembangunan pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan
kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi
manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan
perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global. Pembangunan pendidikan
nasional yang akan dilakukan dalam kurun waktu 2004 – 2009 telah
mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional seperti Pendidikan
Untuk Semua (Education For All), Konvensi Hak Anak (Convention on the right
of child) dan Millenium Development Goals (MDGs) serta World Summit on
Sustainable Development yang secara jelas menekankan pentingnya pendidikan
sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan keadilan
dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta
peningkatan keadilan sosial.
Pendidikan merupakan investasi yang sangat mempengaruhi kualitas
kehidupan manusia di masa depan. Dengan pendidikan manusia bisa dilatih dalam
ketrampilan maupun kecerdasan untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan
3
yang semakin kompleks. Indikator yang penting dalam menilai sumber daya
manusia adalah pendidikan, artinya semakin baik taraf pendidikan maka semakin
baik pula sumber daya manusia tersebut. Dengan pendidikan orang yang bodoh
atau tidak tahu bisa menjadi pintar, artinya dengan pendidikan terjadi proses
transfer knowledge. Oleh karena itu pendidikan adalah suatu proses yang sangat
penting dalam peningkatan sumber daya manusia.
Dalam Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2013, Buku I – Bab V Prioritas
Pembangunan Nasional, sektor pendidikan merupakan prioritas kedua setelah
Reformasi Birokrasi Dan Tata Kelola. Dalam rangka meningkatkan akses
pendidikan yang terjangkau, berkualitas, relevan dan efisien, beberapa
permasalahan yang masih harus diselesaikan antara lain: (i) masih belum
meratanya kesempatan memperoleh pendidikan; (ii) masih rendahnya kualitas,
relevansi, dan daya saing pendidikan; (iii) masih rendahnya profesionalitas guru
dan belum meratanya distribusi guru; (iv) masih terbatasnya kualitas sarana dan
prasarana pendidikan; (v) belum optimalnya pendidikan karakter bangsa; (vi)
belum efektifnya manajemen dan tatakelola pendidikan; dan (vii) belum
terwujudnya pembiayaan pendidikan yang berkeadilan. Dari permasalahan
tersebut pemerintah mengambil arah kebijakan pendidikan yang mengacu pada :
1. Peningkatan kualitas wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun yang
merata; 2. Peningkatan akses, kualitas dan relevansi pendidikan menengah
universal; 3. Peningkatan kualitas, referensi dan daya saing pendidikan tinggi; 4.
Peningkatan profesionalisme dan pemerataan distribusi guru dan tenaga
kependidikan; 5. Peningkatan akses dan kualitas pendidikan anak usia dini
4
(PAUD), pendidikan nonformal dan pendidikan informal; 6. Peningkatan kualitas
pendidikan agama dan keagamaan; 7. Pemantapan pelaksanaan sistem pendidikan
nasional; 8. Peningkatan efisiensi dan efektivitas manajemen pelayanan
pendidikan; 9. Penguatan tata kelola pendidikan; dan 10. Peningkatan pendidikan
karakter.
Sedangkan tujuan pendidikan adalah menanamkan pengetahuan /
pengertian, pendapat dan konsep-konsep, Mengubah sikap dan persepsi,
menanamkan tingkah laku / kebiasaan yang baru (Soekidjo Notoatmodjo. 2003 :
68).
Jalur Pendidikan menurut UU RI No. 20 Tahun 2003, jalur pendidikan
dibagi menjadi tiga jalur, yaitu pertama Jalur Formal, meliputi : Pendidikan Dasar
(Pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah atau
bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Madrasah
Tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat; Pendidikan Menengah
(Pendidikan menengah terdiri atas pendidikan menengah umum dan pendidikan
menengah jurusan, seperti : SMA, MA, SMK, MAN atau bentuk lain yang
sederajat; Pendidikan Tinggi (Pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas), kedua Jalur Nonformal dan
ketiga adalah Jalur Informal.
Pendidikan sebagai bentuk suatu layanan publik hendaknya perlu
mendapat perhatian dari pemerintah karena pendidikan merupakan salah satu
public goods. Pemerintah berperan dalam menyediakan layanan ini khususnya
penyediaan kesempatan belajar bagi seluruh warga negara.
5
Sehingga pendidikan sebagai usaha yang disengaja untuk membangun
manusia menjadi manusia yang mandiri untuk kemudian menyatu dengan
masyarakat. Mandiri di sini berarti memiliki pengetahuan, kecakapan dan
ketrampilan yang diperlukan dalam kehidupan. Sedangkan menyatu adalah
mampu menjadi warga masyarakat dan warganegara dengan mengetahui hak dan
kewajiban.
Gambaran pendidikan di Kota Yogyakarta ataupun di kota-kota di
Indonesia tidaklah jauh berbeda. Bagi orang-orang yang mampu dalam ekonomi,
tidaklah sulit untuk mendapatkan akses atau layanan pendidikan yang berkualitas.
Siswa mampu secara ekonomi mempunyai sarana ataupun pendanaan yang
mendukung untuk memperloleh pendidikan yang berkualitas. Berbeda dengan
orang miskin, Siswa miskin akan mendahulukan kebutuhan pokok (makan,
sandang dan papan) terlebih dahulu sebelum pendidikan. Ketidakmampuan orang
miskin ini untuk mengakses pendidikan mengakibatkan rata-rata orang miskin
tidak memiliki kepandaian ataupun ketrampilan, sehingga orang miskin tidak
mampu untuk meningkatkan taraf hidup. Mereka melihat bahwa pendidikan di
sekolah-sekolah sangatlah mahal. Kondisi ini mengakibatkan ketidakberdayaan
masyarakat miskin untuk memperoleh pendidikan yang maksimal.
Sebagai salah satu kebutuhan dasar dan merupakan barang publik (public
good), pendidikan seharusnya dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Oleh
karena itu, layanan pendidikan membutuhkan jaminan dari negara/pemerintah.
Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28C dan pasal 31, sudah cukup sebagai
landasan bagi pemerintah untuk wajib menyelenggarakan pendidikan yang
6
berkualitas kepada semua warga negara tanpa terkecuali. Namun realitanya masih
banyak masyarakat miskin yang belum bisa mengakses pelayanan pendidikan
seperti yang diharapkan.
Usaha pemerataan pendidikan saat ini belum bisa diimbangi dengan
peningkatan mutu pendidikan. Masalah pendidikan dan kemiskinan ibarat menjadi
suatu siklus yang sulit untuk di cari jalan keluarnya. Adanya pendidikan menjadi
jalan untuk mengatasi kemiskinan, namun di sisi lain kemiskinan menyebabkan
mutu pendidikan rendah dan sulitnya mengakses pendidikan bagi orang miskin,
disinilah peran pemerintah dibutuhkan.
Tingkat kemiskinan di DIY pada tahun 2012 menduduki peringkat
tertinggi se-Jawa atau lebih jauh lebih tinggi dari DKI Jakarta, Banten dan Jawa
Tengah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DIY seperti yang dimuat
pada Harian Kedaulatan Rakyat (12 Januari 2013: 19) Daerah Istimewa
Yogyakarta pada akhir tahun 2012 lalu mencapai 15,88%. Jumlah ini memang
menurun dari Maret 2012 yang mencapai 16,05%, namun jumlah itu tetap
tertinggi di Pulau Jawa. Sedangkan gambaran pemegang KMS 2012 tercatat
17.018 KK dengan 44.530 jiwa pemegang KMS. Sementara itu di tahun 2013
diprediksi akan naik 25 % menjadi 21.299 KK dengan 68.188 jiwa pemegang
KMS, peningkatan ini diakibatkan adanya sasaran jaminan perlindungan sosial
yang diperluas. Warga yang rentan miskin yang selama ini hanya bisa mengakses
surat keterangan tidak mampu, akan dimasukkan sebagai pemegang Kartu Menuju
Sejahtera (KMS).
7
Dengan pelaksanaan otonomi daerah yang termasuk didalamnya
desentralisasi pada bidang pendidikan, pemerintah daerah harus berfikir keras
untuk bisa membuat atau mengambil keputusan terhadap kebijakan pendidikan di
daerah. Banyak program pemerintah di bidang pendidikan, antara lain wajib
belajar 9 tahun yang digratiskan mulai tahun 2005. Program ini didukung
penyediaan dana secara terpadu yang bersumber dari APBN dan APBD. BOS
diberikan dalam rangka memberikan jaminan pendidikan dasar mulai dari SD
sampai dengan SMPT negeri.
Program pendidikan pemerintah Kota Yogyakarta dalam Perda Kota
Yogyakarta Nomor 5 tahun 2008, tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan,
bertujuan menyelenggarakan pendidikan daerah yang berusaha menjamin
keberlangsungan proses pendidikan. Sistem ini juga bertujuan untuk
mengembangkan potensi perserta didik di daerah, agar menjadi manusia yang
beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia dan
berbudi pekerti luhur, sehat, berilmu, cakap, kreatif, berbudaya, mandiri, percaya
diri, dan menjadi warga masyarakat yang demokratis serta bertanggungjawab.
(Initiatives of Governance Innovation:4).
Tantangan terbesar dalam pembangunan Indonesia dalam rangka mencapai
tujuan UUD adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Kemudian, diterjemahkan
bagaimana membangun kebijakan pendidikan di daerah yang baik, dalam kontek
Kebijakan Pendidikan Nasional (UU no. 20/2003) dengan Kebijakan
Desentralisasi (UU No. 32/2004). Terobosan kebijakan publik tentang
8
pembangunan pendidikan di daerah, kemudian bisa dipahami sebagai daerah
mampu mengembangkan kebijakan pendidikan secara mandiri.
Penyelenggaraan jaminan pendidikan daerah merupakan salah satu
jawaban kepedulian pemerintah di Kota Yogyakarta untuk memberikan akses
pendidikan bagi semua warganya, terutama warga miskin. Terjaminnya warga
miskin harapannya bisa membantu warga miskin untuk bisa mengakses
pendidikan. Oleh karena itu, semenjak tahun 2007 Pemerintah Kota Yogyakarta
mencoba untuk menyelenggarakan adanya jaminan pendidikan di Kota
Yogyakarta yang disebut dengan Jaminan Pendidikan Daerah atau JPD. Jaminan
Pendidikan Daerah ini diselenggarakan dibawah koordinasi Unit Pelaksana Teknis
Jaminan Pendidikan Daerah (UPT JPD) Kota Yogyakarta.
Jaminan Pendidikan Daerah mulai muncul atas inisiatif Eksekutif yaitu H.
Herry Zudianto (Wali Kota Yogyakarta periode 2001-2006 dan Periode 2006-
2011). Menurut laporan Initiatives of Governance Innovation (IGI), warga Kota
Yogyakarta yang termasuk dalam keluarga menuju sejahtera (KMS) mendapatkan
JPD dari Pemerintah Kota Yogyakarta. Pemberian JPD diatur dalam Peraturan
Walikota Yogyakarta Nomor 35 Tahun 2007 tentang Pedoman Pemberian
Jaminan Pendidikan Daerah, dan selanjutnya diatur dalam Peraturan Walikota
Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Jaminan
Pendidikan Daerah, Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 4 Tahun 2009
tentang Pedoman Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah, dan yang terbaru diatur
dalam Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 19 Tahun 2010 tentang Pedoman
Pemberian Jaminan Pendidikan Daerah. Kebijakan JPD ini dimaksudkan untuk
9
peningkatan kesempatan memperoleh pendidikan bagi penduduk Daerah dan
penuntasan Wajib Belajar 12 (dua belas) tahun.
Alasan pokok mengapa Kota Yogyakarta menggulirkan program ini
adalah: pertama, sebagai kota pendidikan masih banyak terdapat anak yang putus
sekolah. Kedua, rendahnya kesempatan peserta didik dari keluarga miskin untuk
bisa mengakses pedidikan yang berkualitas / bermutu. Ketiga, Visi Pemerintah
Kota, memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat agar
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu dalam rangka penuntasan Wajib
belajar 12 tahun.
Kelompok sasaran program JPD adalah semua peserta didik yang
merupakan penduduk Kota Yogyakarta pemegang kartu KMS dan Peserta didik
yang akan dan/ sedang menempuh pendidikan pada jenjang pendidikan
TK/RA/TKLB, SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK.
Pelaksanaan Pemberian JPD meliputi empat azas yaitu : Objektif, artinya bahwa
penentuan sasaran penerimaan Jaminan Pendidikan Daerah harus memenuhi
ketentuan; Transparan, artinya pelaksanaan Pemberian Jaminan Pendidikan
Daerah bersifat terbuka dan dapat diketahui oleh masyarakat termasuk orangtua
peserta didik; Akuntabel, artinya pelaksanaan pemberian Jaminan Pendidikan
Daerah dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, baik prosedur maupun
hasilnya; Tidak diskriminatif, artinya setiap anak usia sekolah dari keluarga
pemegang KMS dapat memperoleh Jaminan Pendidikan Daerah tanpa
membedakan suku, agama dan golongan.
10
Permasalahan pada proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) cukup
banyak, seperti yang diberitakan Harian Kedaulatan Rakyat (24 Juni 2013; p.15),
tingkat persaingan untuk melanjutkan ke sekolah negeri dipastikan akan
berlangsung kian sengit karena peserta membludak. Berdasarkan pendataan,
pemegang KMS yang akan melanjutkan ke jenjang SMP negeri mencapai 2.265
siswa. Sementara kuota yang diberikan hanya 863 kursi. Sedangkan untuk
melanjutkan jenjang SMA/SMK negeri mencapai 2.068 siswa yang akan
memperebutkan 133 kursi SMA dan 909 kursi SMK. Disamping itu pula, menurut
hasil pemantauan Forum Pemantau Independen (Forpi) Kota Yogyakarta selama
proses pendataan siswa KMS di Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta, masih
ditemui ketidaktepatan sasaran program, ini ditujukkan dengan gaya hidup siswa
KMS yang tergolong mewah sehingga semestinya tidak layak memegang KMS.
Antara lain memiliki sepeda motor yang bagus serta alat komunikasi (HP)
canggih.
Disamping itu pula, informasi yang menyatakan bahwa peserta didik dari
program JPD tidak bisa mengikuti proses proses belajar mengajar (PBM) di
sekolah favorit, seperti yang ditulis oleh Satyananda (2012), yang menyatakan :
―Sekolah menerima calon peserta didik baru dari golongan KMS
dengan nilai berapa pun. Akibatnya, rata-rata siswa KMS yang
mendaftar memiliki nilai yang jauh di bawah standar sekolah. Hal
tersebut yang kemudian menimbulkan berbagai fenomena terkait daya
saing siswa KMS. Keluhan terkait prestasi dan daya saing siswa KMS
bermunculan. Guru merasa kesulitan untuk mengajar karena
kemampuan dasar siswa KMS yang rata-rata jauh di bawah siswa
reguler lainnya. Belum lagi dengan motivasi rendah yang kemudian
diikuti dengan perilaku membolos, tidur di kelas, mengabaikan tugas,
dsb‖.
11
Dari hasil wawancara dengan salah satu warga masyarakat, Agung (5 Juni
2013) yang akan menyekolahkan putrinya pada sekolah negeri, dia mengatakan :
―Sekarang harus tambah jeli memilih sekolah, kalo dahulu cukup
melihat sekolah itu favorit atau tidak, lulusannya nilainya baik atau
tidak, nilai anak kita bisa masuk atau tidak...tapi sekarang harus
melihat berapa jumlah murid yang dari program Jaminan Pendidikan
Daerah itu...‖
Hal ini merupakan temuan-temuan awal yang menarik. Dari satu sisi
pemerintah dalam upayanya memberikan kesempatan bagi masyarakat miskin
untuk mengenyam pendidikan pada sekolah-sekolah favorit, tetapi pada sisi yang
lain program JPD membawa akibat pada animo masyarakat untuk menyekolahkan
putra-putrinya akan melihat seberapa besar jumlah siswa JPD di sekolah tersebut.
Permasalahan lainnya adalah ketika calon siswa KMS dan orang tua siswa
memilih sekolah, seperti disampaikan oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Jaminan
Pendidikan Daerah Dra. Suryatmi (7 Mei 2013), beliau menjelaskan :
―Sering terjadi masalah pada proses PBM, ketika calon siswa
maupun orang tua siswa mendaftarkan anaknya di sekolah-sekolah
favorit tanpa mempertimbangkan kemampuan akademik calon siswa
KMS sendiri. Akibatnya siswa akan mendapatkan kesulitan dalam
mengikuti pelajaran yang diberikan di sekolah yang bersangkutan.
Sehingga ketika siswa KMS memilih sekolah harus hati-hati dengan
melihat kemampuan dan peluang diterima.‖
Menurut Pemerintah Kota Yogyakarta, Program Jaminan Pendidikan
Daerah dianggap penting diselenggarakan karena nilai kebermanfaatan bagi
keluarga miskin untuk mengenyam pendidikan lebih terjamin. Seperti hasil
wawancara dengan Kepala UPT JPD Yogyakarta Dra. Suryatmi (5 Juni 2013),
beliau menyampaikan sebagai berikut :
―Program ini sudah digulirkan sejak tahun 2007, Pemerintah Kota
melihat penting program JPD ini karena masyarakat miskin bisa
12
mengenyam pendidikan secara gratis. Banyak pendapat yang
menyatakan bahwa program ini sangat membawa hasil yang baik
dengan semakin rendahnya angka putus sekolah, tetapi ada pula yang
menyatakan bahwa dengan program ini muncul banyak masalah
seperti ketidaktepatan penggunaan data KMS, tidak tepat sasaran
maupun dampak lain seperti munculnya kecemburuan sosial.‖
Selanjutnya, beliau menyatakan :
―Patut disayangkan bahwa pelaksana program Jaminan Pendidikan
Daerah ini yaitu Unit Pelaksana Teknis belum melakukan monitoring
dan evaluasi berkenaan dengan program ini. Sehingga tidak diketahui
secara pasti informasi yang berhubungan dengan kemajuan atau hasil
yang diraih. Demikian pula tidak adanya informasi tentang penilaian
secara obyektif dan sistematis berkaitan dengan pelaksanaan
program JPD maupun hasil dari program. Disamping itu pula UPT
JPD merasa tidak berkepentingan untuk melakukan monitoring dan
evaluasi karena hanya sebagai lembaga pelaksana program.‖
Melihat realitas yang terjadi di lapangan, perlu adanya evaluasi berkenaan
dengan program JPD ini. Evaluasi program JPD ini merupakan instrumen penting
untuk mengetahui apakah rencana program JPD tersebut dapat mencapai sasaran
atau mewujudkan tujuan dari program ini yaitu penuntasan wajib belajar 12
Tahun.
Sesuai petunjuk teknis Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Kota
Yogyakarta, seluruh sekolah akan mendapatkan porsi siswa dari peserta program
JPD. Dinas Pendidikan kota akan membagi kuota bagi siswa program JPD pada
masing-masing sekolah. Data daya tampung perserta didik dari jenjang SMA
Negeri dapat dilihat pada tabel 1 berikut :
13
Tabel 1. Daya tampung Peserta Didik Baru pada SMA di Kota Yogyakarta
No Nama Sekolah Daya
Tampung
Kuota
Program
JPD
Kuota
Pendudu
k Daerah
Kuota
Penduduk
Luar
Daerah
1 SMA NEGERI 1 288 8 194 86
2 SMA NEGERI 2 288 9 193 86
3 SMA NEGERI 3 224 7 150 67
4 SMA NEGERI 4 192 12 122 58
5 SMA NEGERI 5 256 13 166 77
6 SMA NEGERI 6 256 14 165 77
7 SMA NEGERI 7 256 18 161 77
8 SMA NEGERI 8 256 9 170 77
9 SMA NEGERI 9 192 11 124 57
10 SMA NEGERI 10 160 12 100 48
11 SMA NEGERI 11 288 20 182 86
TOTAL: 2.656 133 1.727 796
Sumber : Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta 2013
Dari tabel tersebut, pembagian kuota bagi peserta program JPD berbeda-
beda satu sekolah dengan sekolah lainnya. Dalam penelitian ini, peneliti
mengkategorikan jumlah kuota siswa program JPD menjadi tiga kategori yaitu
rendah, dari interval 7-11 meliputi SMAN 1, SMAN 2, SMAN 3, SMAN 8,
SMAN 9; kategori sedang, dari interval 12-16 meliputi SMAN 4, SMAN 5,
SMAN 6, SMAN 10; dan kategori tinggi, dari interval 17-20 meliputi SMAN 7,
SMAN 11. Dari masing-masing kategori tersebut akan diambil sampel satu
sekolah, yaitu : SMAN 1, SMAN 4, SMAN 11. Lebih jelasnya dapat disajikan
dalam tabel berikut ini :
14
Tabel 2. Kategori Kuota Siswa Program JPD SMA Negeri Kota Yogyakarta
No. Jenis Kategori Interval Sekolah Sample
1. Rendah 7-11 SMAN 1, SMAN 2,
SMAN 3, SMAN 8,
SMAN 9
SMAN 1
2. Sedang 12-16 SMAN 4, SMAN 5,
SMAN 6, SMAN 10
SMAN 4
3. Tinggi 17-20 SMAN 7, SMAN 11 SMAN 11
Sumber : Data diolah
Sekolah ini mendapatkan kuota program JPD yang berbeda-bada menurut
kategori. Lokus ini menarik untuk dievaluasi lebih lanjut untuk melihat sejauh
mana implementasi program JPD. Hasil dari evaluasi, diharapkan nantinya akan
menghasilkan informasi yang mendukung perbaikan pelaksanaan program JPD.
Tidak hanya melihat pada aspek kuantitatif (jumlah peserta didik yang bisa
sekolah sampai 12 Tahun) tetapi pada aspek kualitatif (implementasi program,
peningkatan mutu peserta didik).
Menurut data Dinas Pendidikan dan Olah Raga Daerah Istimewa
Yogyakarta, Angka Putus Sekolah (APS) di kota Yogyakarta, pada jenjang SMA
terjadi peningkatan anak putus sekolah yang cukup memprihatinkan dari tahun
2008 sampai dengan 2011. Data tersebut dapat ditunjukkan sebagai berikut :
Tabel 3. Angka Putus Sekolah (APS) di Kota Yogyakarta
No. Jenjang TAHUN
2008-2009 2009-2010 2010-2011
1. SD/MI 13 siswa 24 siswa 24 siswa
2. SMP/MTs 23 siswa 17 siswa 17 siswa
3. SMA/MA/SMK 12 siswa 24 siswa 83 siswa
TOTAL 48 siswa 65 siswa 124 siswa
Sumber : Data dokumen Dispora DIY
15
Data tersebut memperkuat peneliti untuk melihat sejauhmana pelaksanaan
program JPD pada jenjang Sekolah Menengah Atas di Kota Yogyakarta.
B. Rumusan Masalah
Kebijakan JPD merupakan bentuk kepedulian Pemerintah Kota
Yogyakarta dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat
Kota Yogyakarta, khususnya pada masyarakat miskin dengan memberikan
jaminan pembiyaan pendidikan kepada siswa miskin. Program JPD yang
terselenggara sejak tahun 2007 perlu mendapat kajian-kajian ilmiah untuk
perbaikan dan kelangsungan program ini. Sekolah sebagai satuan pendidikan
tentunya memiliki standar dalam mendidik anak didiknya. Standar Nasional
Pendidikan merupakan standar yang harus dipenuhi satuan pendidikan untuk
mendapatkan kualitas lulusan yang mempunyai kompetensi standar.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana implementasi kebijakan JPD di SMA Negeri Kota
Yogyakarta?, Apakah Standar Nasional Pendidikan sebagai pedoman
kebijakan pendidikan dapat mewujudkan tujuan dari program JPD?.
2. Hambatan apa yang ditemui dalam implementasi kebijakan program
JPD?, kemudian usaha apa saja yang telah dilakukan dalam mengatasi
hambatan tersebut?.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian evaluasi Implementasi Kebijakan Jaminan Pendidikan
Daerah (JPD) antara lain dimaksudkan :
16
1. Mengetahui bagaimana proses implementasi JPD dan mengetahui
bagaimana Standar Nasional Pendidikan sebagai pedoman kebijakan
pendidikan dapat mewujudkan tujuan dari program JPD.
2. Mengetahui hambatan-hambatan yang bekenaan dengan implementasi
kebijakan JPD di SMA Negeri Kota Yogyakarta, dan untuk
mengetahui usaha apa saja yang telah dilakukan dalam mengatasi
hambatan tersebut.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini, adalah :
1. Hasil penelitian bisa dipergunakan untuk bahan informasi dalam
perbaikan implementasi kebijakan Jaminan Pendidikan Daerah.
2. Hasil penelitian bisa dipakai sebagai bahan atau sumber rujukan untuk
penelitian selanjutnya.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan diskusi, terutama
bagi para peneliti pada persoalan yang menyangkut kebijakan jaminan
sosial khususnya pada bidang pendidikan.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai Jaminan Pendidikan relatif telah banyak
dilakukan. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumya mengenai
program JPD, dapat disampaikan sebagai berikut :
17
Tabel 4. Penelitian terdahulu mengenai Jaminan Pedidikan
Peneliti/
Journal Uraian/Hasil Metode/Model
Rochmat
Wahab
(2008)
Melakukan penelitian tentang Opini masyarakat mengenai
Kartu Menuju Sejahtera (KMS) dan Dampaknya bagi
masyarakat. Penelitian ini menjelaskan berbagai macam
pendapat dari masyarakat mengenai penggunaan kartu
KMS sebagai intrumen diberbagai program seperti JPD dan
berbagai dampak penggunaan kartu KMS.
Deskriptif
Kualititatif
Kuswinarti
(2009)
Penelitiannya yang berjudul The Performance Of
Indonesian Basic Education and The Japanese Experience,
mencoba menganalisis dengan membandingkan kinerja
pendidikan dasar Indonesia khususnya di Kota Yogyakarta
dan pengalaman Jepang. Penelitian ini menghasilkan
Penerapan kebijakan nasional program (BOS) atau program
dana operasional sekolah, yang didukung oleh kebijakan
pemerintah daerah tentang Biaya Operasional Sekolah
Daerah (BOSDA) atau dana operasional sekolah lokal dan
Jaminan Pendidikan Daerah (JPD) atau jaminan pendidikan
lokal, Biaya Operasional Sekolah di Yogyakarta
menghasilkan manfaat yang signifikan dalam layanan
pendidikan dasar. Namun, berbagai reformasi formulasi
masih diperlukan dalam rangka mengoptimalkan manfaat
potensial di masa depan.
Deskriptif
Kualititatif dengan
membandingkan
kebijakan yang ada
di Jepang dan di
Indonesia
Arum
Darmawati
(2011)
Meneliti mengenai Evaluasi Program Beasiswa Kartu
Menuju Sejahtera Terhadap Prestasi Belajar Siswa di SMA
Negeri Kota Yogyakarta, penelitian ini berfokus pada tinggi
rendahnya motivasi dan prestasi belajar siswa penerima
program JPD.
Pendekatan
kuantitatif dan
kualitatif. Model
evaluasi kesenjangan
(discrepancy model
of evaluation) oleh
Provus.
Ashari dan
Asmawati
(2012)
Meneliti tentang Jaminan Pendidikan Daerah Bagi
Pemegang KMS Kota Yogyakarta yang tergabung dalam
Initiatives for Governance Innovation, UGM Yogyakarta.
Penelitian ini menganalisis tentang dampak positif dan
negatif program JPD di Kota Yogyakarta.
Kualitatif, dengan
metode
pengumpulan data
wawancara, dan data
sekunder seperti dari
sumber penelitian
Bappeda Kota
Yogyakarta, 2011
Fajar Sidik
(2013)
Penelitian ini lebih melihat pada proses pelayanan
Pendidikan Bagi Keluarga Miskin KMS Melalui Program
Jaminan Pendidikan Daerah JPD. Meliputi akses, bias,
cakupan, dan ketepatan layanan.
Deskriptif
Kualititatif
Sumber : peneliti dari kajian literatur
Dari beberapa penelitian tersebut, peneliti berinisiatif untuk
melakukan analisis lebih mendalam tentang implementasi kebijakan JPD
18
pada tingkat SMA Negeri Kota Yogyakarta. Penelitian ini akan melihat
lebih mendalam mengenai implementasi program JPD disesuaikan dengan
Standar Nasional Pendidikan (SNP), serta melihat hambatan dan usaha
sekolah dalam pelaksanaan program JPD ini. Penelitian ini berbeda
dengan penelitian yang sudah dilakukan, yang membedakan dengan studi-
studi lainya adalah pendekatannya dalam menganalisis implementasi
dengan suatu model yang dikembangkan oleh Stufflebeam yaitu context,
input, process dan product (CIPP).
Dari sudut pandang ini diharapkan akan didapatkan analisis yang
lebih lengkap, sehingga dapat dijelaskan mulai dari konteks, input, proses
hingga output program dalam suatu sekolah. Jelas bahwa penelitian ini
penting untuk dilakukan dan belum pernah di teliti dan dikaji. Penelitian
ini menjadi penting karena studi ini akan mendalami kontek kebijakan,
input, proses dan produk dari kebijakan JPD. Penggunaan Standar
Nasional Pendidikan sebagai garis panduan digunakan peneliti dalam
melihat sejauh mana pelaksanaan pada sekolah khususnya SMA Negeri
Kota Yogyakarta dalam mengupayakan peserta didik dari program JPD ini
dapat mencapai harapan dan keinginan stakeholder mencapai peningkatan
mutu dan tuntas wajib belajar 12 tahun. Penelitian ini diharapkan akan
memberikan kontribusi perbaikan untuk pelaksanaan program JPD
maupun program jaminan serupa.
19
Penggunaan model CIPP yang dikembangkan oleh Stufflebeam
telah banyak digunakan dalam penelitian-penelitian lain di dunia.
Stufflebeam (2003) mengatakan:
―The model has been employed throughout the U.S. and around the
world in short-term and long-term investigations—both small and
large. Applications have spanned various disciplines and service
areas, including education, housing and community development,
transportation safety, and military personnel review systems.‖
Model CIPP ini telah digunakan di seluruh Amerika Serikat dan di seluruh
dunia dalam jangka pendek dan jangka panjang. Model ini mampu
melakukan penyelidikan baik kecil dan besar. Aplikasi model CIPP
meliputi berbagai disiplin ilmu dan bidang jasa, termasuk pendidikan,
perumahan dan masyarakat pengembangan, keselamatan transportasi, dan
meninjau personil sistem militer.
Banyak penelitian baik dalam bentuk desertasi maupun penelitian lain
yang menggunakan model CIPP sebagai landasan ataupun kerangka pikir
sebagai alat analisis karena dinilai model ini dapat memberikan gambaran
yang komprehensif tentang suatu kebijakan maupun program, beberapa
penelitian dapat terlihat pada tabel berikut :
20
Tabel 5. Journal dan Penelitian dengan penggunaan model CIPP
Journal/
Penelitian Uraian/Hasil
Taylor (2012) A Longitudinal Evaluation Study of a Science Professional Development
Program for K-12 Teachers. Sebuah evaluasi program pengembangan
profesional sains untuk guru dilakukan dengan menggunakan model
evaluasi CIPP .
Program ini difokuskan pada reformasi pendidikan. Program
pengembangan profesional berbasis penelitian program pengembangan
profesional yang efektif. Hasil menunjukkan bahwa model pengembangan
profesional yang dipelajari menghasilkan peningkatan
self-efficacy untuk guru sains yang berpartisipasi dalam program ini.
Peningkatan diri kemanjuran telah terbukti positif mempengaruhi prestasi
belajar siswa. Kesimpulan program ini memiliki efek positif pada prestasi
siswa melalui guru yang berpartisipasi dalam program pengembangan
profesional.
Bachenheimer
(2011)
A Management-Based CIPP Evaluation Of A Northern New Jersey School
District‟S Digital Backpack Program. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengevaluasi program Digital Backpack (tas komputer bergulir
yang diberikan guru kelas yang berisi alat-alat digital portabel) di Sekolah
New Jersey Distrik Utara menggunakan model Berbasis CIPP Evaluasi
Manajemen sebagai kerangka kerja. Observasi kelas menunjukkan hasil
bahwa tingkat berpartisipasi guru teknologi yang terintegrasi ke dalam
kelas dalam berbagai cara, banyak yang memberikan kontribusi terhadap
tingginya tingkat keterlibatan siswa. Hasil penelitian lainnya adalah
peluang guru untuk menciptakan kreativitas bagi siswa dengan
menggunakan teknologi.
Roybal (2011) A Summative Program Evaluation of a Comprehensive 9th Grade
Transition Program. Melakukan penelitian tentang Evaluasi Program
Sumatif dari Program Kelas Transisi terutama bagi siswa minoritas yang
tinggal di masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Penelitian
ini menggunakan Model Stufflebeam CIPP Evaluasi Program untuk
menentukan konteks , input, proses , dan produk dari program tersebut.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa hubungan, komunikasi , dan
keberhasilan siswa adalah faktor kunci dalam pelaksanaan program
transisi. Proses implementasi menyebabkan perubahan keterbukaan dan
rasa hormat, pada gilirannya menciptakan pergeseran budaya menuju
pembelajaran organisasi.
Duvall (2011) An Examination Of Facilitated Mentoring On School Performance Within
An Urban Middle School. Penelitian tentang Kinerja Bimbingan Pada
Sekolah Menengah. Evaluasi program ini menggunakan Model (CIPP)
untuk secara komprehensif mengevaluasi dampak dari program mentoring
di sekolah menengah. Metode campuran, serta triangulasi, digunakan
untuk memastikan temuan yang diperoleh dari penelitian ini akan
didukung secara substansial. Penelitian ini dilaksanakan dalam sebuah
sekolah menengah di distrik perkotaan di Southwest. Penelitian ini
dipandu oleh 18 pertanyaan yang dikategorikan dalam refleksi dari empat
komponen dari model CIPP. Temuan menunjukkan bahwa Proyek
Mentoring berperan penting dalam (a) meningkatkan siswa, kinerja
21
akademik dalam seni bahasa Inggris dan matematika, (b) meningkatkan
kehadiran siswa dan (c) mengurangi frekuensi siswa yang berperilaku
tidak pantas di sekolah.
Richardson
(2012)
An Examination of School Re-enrollment Procedures for Juvenile
Offenders Re-entering Urban School Districts in Southern New England:
Implications for School Leaders. Penelitian tentang Pemeriksaan Prosedur
pendaftaran Sekolah Juvenile sebuah Sekolah di Distrik Perkotaan
Southern New England. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengevaluasi persepsi efektivitas proses pendaftaran ulang sekolah untuk
menentukan unsur-unsur yang perlu ditingkatkan atau menghindarkan dari
pelanggar sekolah menengah di perkotaan. Model evaluasi Stufflebeam
(CIPP ) yang digunakan sebagai kerangka kerja untuk studi (Stufflebeam
& Shinkfield , 2007). Temuan kualitatif dari wawancara menunjukkan
tidak ada metode pendaftaran ulang sistematis untuk mengukur dan
mengevaluasi hasil akademik, sosial, dan perilaku dari semua mantan
pelaku remaja. Temuan kuantitatif didapatkan bahwa persepsi, struktur
dan proses diperlukan untuk mendorong suksesnya pendaftaran ulang
sekolah.
Wen-Wei Ho
(2010)
Penelitian yang berjudul Evaluation of the Suicide Prevention Program in
Kaohsiung City, Taiwan, Using the CIPP Evaluation Model, adalah
Evaluasi Program Pencegahan Bunuh Diri di Kota Kaohsiung, Taiwan,
Menggunakan CIPP Evaluation Model mempunyai tujuan untuk
mengevaluasi efektivitas Kaohsiung dengan Pusat Pencegahan Bunuh Diri
(KSPC) Kota Kaohsiung, Taiwan. Peneliti menggunakan Model evaluasi
CIPP untuk mengevaluasi program pencegahan bunuh diri di
Kaohsiung. Empat model evaluasi yang diterapkan untuk mengevaluasi
KSPC : evaluasi konteks latar belakang, evaluasi masukan dari pusat
sumber daya, evaluasi proses kegiatan proyek pencegahan bunuh diri, dan
evaluasi produk dari penetapan tujuan proyek. Evaluasi konteks
mengungkapkan bahwa tugas KSPC adalah mengurangi kematian.
Evaluasi masukan menilai efisiensi tenaga kerja dan hibah didukung oleh
Departemen Taiwan Kesehatan dan Biro Pemerintah Kota Kaohsiung
tentang Kesehatan. Dalam proses evaluasi, strategi pencegahan bunuh diri
dari KSPC, merupakan modifikasi dari versi Strategi Pencegahan
Nasional Bunuh Diri Australia. Dalam evaluasi produk, empat tujuan
utama dievaluasi : (1) tingkat bunuh diri di Kaohsiung, (2) kasus bunuh
diri yang dilaporkan, (3) sambungan krisis panggilan (line telphon), dan
(4) adanya telepon konseling.
Boonchutima
(2013)
Evaluation Of Public Health Communication Performance By
Stufflebeam‘s Cipp Model: A Case Study Of Thailand‘s Department Of
Disease Control, merupakan penelitian mengenai Evaluasi Kesehatan
Masyarakat berbasis Kinerja Komunikasi dengan Model CIPP: Studi
Kasus Departemen Pengendalian Penyakit Thailand. Tujuannya adalah
untuk mengetahui efektivitas dari Kinerja komunikasi Departemen
Pengendalian Penyakit Thailand. Model CIPP Daniel Stufflebeam yang
diterapkan sebagai kerangka evaluasi. Hasil dari penelitian ini sangat
berguna, memberikan wawasan tentang organisasi kinerja komunikasi saat
ini. Organisasi yang sangat birokratis, menyebabkan kaku serta struktur
organisasi tidak jelas, memiliki dampak negatif pada komunikasi operasi
organisasi dan proses perlu segera diperbaiki.
22
Bostic (2013) Evaluation of the Implementation of Professional Learning Communities
and the Impact on Student Achievement. Penelitian dilakukan untuk
mengevaluasi pelaksanaan komunitas belajar professional dan dampak
pada siswa berprestasi di sekolah pinggiran kota di North Carolina.
Sebuah evaluasi program kuantitatif dan kualitatif dilakukan dengan
menggunakan model evaluasi CIPP untuk menentukan tingkat
pelaksanaan pembelajaran profesional masyarakat dan apakah
pelaksanaan telah berdampak pada siswa berprestasi sesuai dengan
keadaan akhir hasil tes. Model evaluasi CIPP digunakan sebagai proses
yang sistematis dalam mengevaluasi konteks, input, proses dan produk
dari program untuk menentukan efektivitas program tersebut. Berdasarkan
temuan penelitian ini, komunitas belajar jelas merupakan bagian dari
budaya daerah ini.
McBride (2012) Positive Behavior Support CIPP Evaluation. Penelitian yang berjudul
Positive Behavior Support CIPP Evaluation, menggunakan pendekatan
evaluasi CIPP untuk menyelidiki implementasi dan dampak dari School-
Wide Positive Behavior Support (SWPBS) di empat sekolah dasar .
Evaluasi ini menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut : konteks: Mengapa
sekolah menerapkan SWPBS, Apa masalah perilaku siswa yang hadir
pada awal penelitian, Apa tingkat masalah perilaku siswa dalam setiap
sekolah tahun sebelum pelaksanaan SWPBS; Input : Apa pelatihan yang
diberikan kepada staf di masing-masing sekolah; Sumber daya ( keuangan
dan manusia ) apa yang diberikan kepada masing-masing sekolah; proses :
Apa tingkat kesetiaan/konsistensi pelaksanaan SWPBS; Bagaimana
sekolah menerapkan SWPBS; produk : Apakah perilaku siswa berubah
setelah pelaksanaan SWPBS; Apakah ada perubahan prestasi akademik
setelah pelaksanaan SWPBS. Hasil menunjukkan bahwa sekolah-sekolah
yang menerapkan SWPBS dengan konsisten memiliki perbaikan dalam
iklim sekolah dan pengurangan perilaku mahasiswa masalah . Data
menunjukkan bahwa sekolah-sekolah yang menerapkan SWPBS dengan
konsisten mengalami peningkatan prestasi akademik .
Corina (2013) The Effectiveness Of A New Music Education Program In Cyprus. Tujuan
dari penelitiannya adalah untuk mengevaluasi program pendidikan musik,
yang digunakan oleh pendidik musik agar cocok untuk mengajarkan
pendidikan musik anak usia dini (6-8th).
Model yang digunakan adalah metodologi Stufflebeam (1971),
CIPP(Context Input - Process - Product). Evaluasi CIPP adalah suatu
kerangka kerja yang komprehensif untuk membimbing evaluasi program,
proyek, personel, produk, lembaga, dan sistem.
Penelitian difokuskan pada perbaikan program, dan memberikan umpan
balik efektivitas secara keseluruhan dan manfaat dari program ini.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa program pendidikan tersebut
sukses sebagai media untuk belajar pendidikan musik anak usia dini.
Program ini memungkinkan anak-anak untuk mengembangkan
pengetahuan dan keterampilan dengan mendengarkan, melakukan, dan
mengekspresikan emosi mereka dengan musik.
Sinclair (2012) Utilizing Stufflebeam‘s CIPP Model to Evaluate an Adult Degree
Completion Program. Penelitian ini memanfaatkan Model CIPP
Stufflebeam untuk Mengevaluasi Program Penyelesaian Gelar.
Tujuannya adalah untuk memeriksa program penyelesaian gelar di sebuah
23
perguruan tinggi seni swasta melalui penggunaan model CIPP
Stufflebeam.
Berdasarkan temuan evaluasi program, program penyelesaian gelar dapat
berfungsi secara efektif. Namun, peneliti menentukan tiga rekomendasi
utama untuk dipertimbangkan berdasarkan hasil evaluasi termasuk : fokus
pada peningkatan fleksibilitas metode penyampaian kelas, tetap
memperhatikan kebutuhan peserta didik melalui kurikulum dan kursus
pengajaran, dan menyediakan lebih banyak dukungan bagi para siswa.
LEE (2004) Quality in Early Childhood Programs: Reflections from Program
Evaluation Practices adalah penelitian tentang evaluasi kualitas dalam
Program Anak Usia Dini.
Studi ini menyelidiki bagaimana evaluasi program telah memberikan
kontribusi terhadap kualitas program anak usia dini dan apakah kondisi
sosial dan budaya telah mempengaruhi program ini.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah evaluasi program anak usia dini
harus didasarkan pada pemahaman mendalam tentang proses program
yang dinamis dan perspektif yang beragam dari stakeholder tentang
kualitas program tersebut.
Serrano, Dkk.
(2012)
Design of a Basic System of Indicators for Monitoring and Evaluating
Spanish Cooperation‘s Culture and Development Strategy merupakan
penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan proses dilaksanakannya
Pemantauan Dasar dan Sistem Evaluasi Budaya dan Strategi
Pengembangan Kerjasama di Spanyol. Metodologi untuk
mengembangkan sistem indikator didasarkan pada dua aspek yang saling
terkait yaitu: a Logical Framework Approach (LFA) atau Pendekatan
Kerangka Logis dan CIPP (Konteks, Input, Process, Product) . Model
evaluasi CIPP (Stufflebeam) dipandang sebagai proses dirancang untuk
mendefinisikan, memperoleh, dan memberikan informasi yang berguna
untuk mengevaluasi, menilai, dan proses yang menghasilkan informasi
yang layak dan karena itu berguna yang akan memungkinkan kita untuk
mengambil keputusan yang tepat.
Hasil akhir yang dicapai adalah sebuah sistem yang terdiri dari total 80
indikator, yang mencakup semua bidang strategis dan prioritas tindakan.
Vukovic, dkk.
(2008)
The training of civil servants in the Slovene state administration: issues in
introducing training evaluation merupakan suatu penelitian terhadap para
Pegawai Negeri Sipil di Slovenian khususnya pada bidang administrasi.
Dilatarbelakangi reformasi administrasi negara di Slovenia sejak
pemisahan negara dari Yugoslavia pada tahun 1991. Para PNS harus
menyesuaikan diri dengan sejumlah besar perubahan dalam waktu yang
sangat singkat.
Tantangan terhadap perubahan ini hanya dapat dipenuhi oleh PNS yang
berkualitas tinggi yang terus-menerus memperbarui kualifikasi mereka.
Oleh karena itu pelatihan layanan yang sistematis sangat penting untuk
menjaga pegawai sipil yang kompeten.
Dengan pendekatan sistem, model yang digunakan adalah model CIPP
(Stufflebeam, 2002). CIPP berfokus pada pendekatan keputusan evaluasi
dan menekankan penyediaan informasi sistematis untuk pengelolaan
program dan
operasi. Dalam pendekatan ini, informasi dipandang sebagai yang paling
berharga untuk membantu manajer untuk membuat keputusan yang lebih
24
baik.
Penelitian menilai bahwa karakteristik demografi berpengaruh populasi
PNS sejumlah 414 responden. Hasil lainnya menunjukkan bahwa
pengaruh posisi hirarkis mempengaruhi, meskipun manajer PNS kurang
terlibat dalam evaluasi seperti yang diharapkan. Data empiris juga
menunjukkan bahwa mayoritas karyawan bersedia berpartisipasi dalam
evaluasi pelatihan.
May and Pal
(1999)
Good Fences Make Good Neighbours Policy Evaluation and Policy
Analysis – Exploring the Differences merupakan penelitian Evaluasi
Kebijakan dan Analisis Kebijakan dengan menjelajahi perbedaan.
Penelitian ini mencoba untuk membangun dimensi politik evaluasi yang
telah mengaburkan perbedaan antara analisis kebijakan dan evaluation.
May dan Pal berpendapat bahwa evaluasi dan analisis kebijakan memang
berbeda menurut definisi, fungsi dan metodologi tetapi kebijakan tidak
ada konflik tentang pentingnya akan konteks politik dan nilai-nilai untuk
evaluasi atau analisis kebijakan.
Evaluasi cenderung untuk mengadopsi sikap analis yang didesak untuk
membuat rekomendasi tentang pilihan-pilihan kebijakan dalam lingkup
sempit dalam menjawab pertanyaan evaluasi, tanpa memperhatikan
informasi yang konstektual.
Penelitian ini membandingkan evaluasi dan analisis kebijakan, kebijakan
dari segi konsep, metode penelitian, batasan masalah dan penyajian data
dan argumentasi.
Model CIPP mengusulkan bahwa isi evaluasi pada tujuan , desain , proses
pelaksanaan dan hasil dari obyek evaluasi (Stufflebeam et al., 1971) .
Sebagai evaluasi tersebut berfokus atas jasa dan nilai komponen sasaran .
Penelitian ini menghasilkan adanya ketegangan yang nyata antara analisis
dan evaluasi kebijakan, serta beberapa tumpang tindih, dan sementara
evaluasi tentu tidak bisa disarikan dari nilai-nilai dan konteks politik.
Mereka menemukan adanya kegagalan untuk menghormati dan mengakui
batas-batas diantara keduanya yang cenderung merugikan antara analisis
kebijakan dan evaluasi.
F. Sistematika Penulisan Tesis
Sistematika penulisan tesis ini merupakan uraian alur tesis dari awal
sampai akhir, dengan menyertakan argumen yang jelas dan valid, logis.
Sistematika tesis tersaji sebagai berikut :
1. BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini dijelaskan secara logis tentang latar belakang masalah,
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta
sistematika penulisan tesis.
25
2. BAB II : LANDASAN TEORI
Pada bab ini diuraikan secara sistematis mengenai landasan teori tema
penelitian ini yang menjadi dasar dalam menjawab permasalahan
penelitian. Landasan teori tersebut meliputi kebijakan pendidikan
merupakan salah satu kebijakan publik, aksesibilitas jaminan sosial
pendidikan, monitoring dan evaluasi, evaluasi kebijakan pendidikan,
fungsi evaluasi kebijakan pendidikan, model evaluasi kebijakan
pendidikan, konsepsi kebijakan jaminan pendidikan, dan ditutup
dengan alur kerangka pikir yang digunakan dalam tesis ini.
3. BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini akan membahas secara ringkas tentang beberapa hal yang
berkaitan dengan metode yang digunakan dalam penelitian, seperti
pendekatan penelitian, jenis penelitian, lokus dan fokus penelitian,
metode pengumpulan data, sumber-sumber data, serta teknik analisis
data. Hal ini sangat penting, karena dengan pemilihan metode yang
tepat akan mendapatkan hasil yang baik, yaitu menjawab
permasalahan dalam rumusan masalah yang telah ditetapkan
sebelumnya.
4. BAB IV : HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan membahas tentang evaluasi implementasi kebijakan
pemerintah Kota Yogyakarta tentang Jaminan Pendidikan Daerah
(JPD) di SMA Negeri Kota Yogyakarta. Dalam melihat implementasi
program ini, akan menggunakan jenis penelitian evaluasi program
26
CIPP yaitu model yang dikembangkan oleh Daniel L. Stufflebeam
meliputi empat aspek yaitu meliputi context, input, process dan
product evaluation (Zhang, dkk. 2011:64-66). Konteks,
menggambarkan sejauhmana SNP pada SMA dapat dilaksanakan
dengan baik, kemudian melihat kesesuaian pelaksanaan kebijakan JPD
di SMA Negeri Kota Yogyakarta antara permintaan/keinginan
sekolah, pemerintah, dan warga masyarakat khususnya orang tua dan
peserta didik dari program JPD. Input, sebagai cara melihat seberapa
besar pemanfaaatan sumber daya yang dimiliki atau sumber daya yang
harus ada dalam rangka pencapaian tujuan, yaitu kompetensi pendidik
dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan
pembiayaan. Proses, menggambarkan sejauhmana proses pelaksanaan
program JPD terutama pada komponen proses yaitu pada aspek standar
isi, proses dan penilaian. Produk, dimaksudkan untuk mendeskripsikan
komponen yang berhubungan dengan hasil akhir atau output dari
implementasi program JPD, yaitu tuntasnya wajib belajar 12 tahun
bagi anak usia sekolah dari keluarga miskin dengan tercapainya
Standar Nasional Pendidikan.
5. BAB V : REFLEKSI TEORI TERHADAP HASIL PENELITIAN
Pada bab ini akan dibahas keterkaitan antara teori yang berhubungan
dengan pelaksanaan kebijakan, disamping itu dari teori tersebut
dibandingkan dengan temuan-temuan yang di lapangan sehingga
diharapkan menghasilkan informasi yang penting dalam kerangka
27
perbaikan kebijakan JPD. Pembahasan pada bab ini meliputi refleksi
teoritik dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi.
6. BAB VI : KESIMPULAN DAN IMPLIKASI DAN SARAN
Pada bab ini akan disimpulkan dari hasil penelitian dan tesis yang
sudah dikaji dalam pembahasan sebelumnya.