bab i pendahuluan a. latar belakang masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/c0112004_bab1.pdf ·...

44
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya-karya sastra Jawa sejak dahulu terkenal karena selalu menyertakan ajaran-ajaran adi luhung dan luhur. Karya-karya sastra Jawa Kuno misalnya Ramayana Kakawin dan Mahabarata, kitab Purwa Kitab Pararaton dan Negarakertagama. Karya-karya sastra Jawa Tengahan meliputi: tembang gede, sastra suluk, babad manuskrip (tulisan tangan) berhuruf Jawa. Karya sastra Jawa modern meliputi serat, novel, roman sejarah, dongeng, hikayat, cerbung, cerkak, drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan daerah, keterlibatan para sastrawan Jawa, sangatlah berarti. Saat ini penelitian dan pengkajian terhadap kesusastraan daerah telah banyak dilakukan, bukan hanya oleh sastrawan dari etnis Jawa sendiri, namun juga para sastrawan dari etnis lain, bahkan oleh orang-orang luar negeri yang tertarik terhadap kebudayaan daerah, khususnya sastra Jawa. Sastra daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional aset bangsa yang perlu ditumbuh kembangkan keberadaannya, terutama dalam menghadapi era globalisasi karena sastra daerah terdapat berbagai ajaran, baik moral, etika, filosofi, maupun nilai-nilai budaya yang telah dikembangkan oleh masyarakat di sepanjang sejarah kebudayaan. Hal ini turut mewarnai kepribadian bangsa. Salah satu daerah yang kaya akan warisan kebudayaan, khususnya di bidang sastra adalah Jawa. Pada dasarnya masyarakat Jawa menganut sistem budaya terbuka terhadap pengaruh budaya luar atau budaya asing. Pengaruh budaya asing itu 1

Upload: duongnga

Post on 09-Mar-2019

276 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya-karya sastra Jawa sejak dahulu terkenal karena selalu menyertakan

ajaran-ajaran adi luhung dan luhur. Karya-karya sastra Jawa Kuno misalnya

Ramayana Kakawin dan Mahabarata, kitab Purwa Kitab Pararaton dan

Negarakertagama. Karya-karya sastra Jawa Tengahan meliputi: tembang gede,

sastra suluk, babad manuskrip (tulisan tangan) berhuruf Jawa. Karya sastra Jawa

modern meliputi serat, novel, roman sejarah, dongeng, hikayat, cerbung, cerkak,

drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

daerah, keterlibatan para sastrawan Jawa, sangatlah berarti. Saat ini penelitian dan

pengkajian terhadap kesusastraan daerah telah banyak dilakukan, bukan hanya

oleh sastrawan dari etnis Jawa sendiri, namun juga para sastrawan dari etnis lain,

bahkan oleh orang-orang luar negeri yang tertarik terhadap kebudayaan daerah,

khususnya sastra Jawa.

Sastra daerah merupakan bagian dari kebudayaan nasional aset bangsa

yang perlu ditumbuh kembangkan keberadaannya, terutama dalam menghadapi

era globalisasi karena sastra daerah terdapat berbagai ajaran, baik moral, etika,

filosofi, maupun nilai-nilai budaya yang telah dikembangkan oleh masyarakat di

sepanjang sejarah kebudayaan. Hal ini turut mewarnai kepribadian bangsa. Salah

satu daerah yang kaya akan warisan kebudayaan, khususnya di bidang sastra

adalah Jawa. Pada dasarnya masyarakat Jawa menganut sistem budaya terbuka

terhadap pengaruh budaya luar atau budaya asing. Pengaruh budaya asing itu

1

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

2

tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan sastra Jawa, dan pengaruh tersebut telah

berlangsung lama, dari satu fase ke fase berikutnya, yakni dari sastra Jawa Kuna,

sastra Jawa Pertengahan sampai dengan sastra Jawa Modern, sejalan dengan

waktu masuknya pengaruh asing yang mewarnainya (Pardi, 1996:10). Salah satu

sastrawan Jawa yang merupakan seorang pengarang, yang tertarik pada sastra

Jawa, khususnya guritan.

Guritan merupakan yang memiliki ciri sastra lama atau klasik yang

bersifat anonim yaitu tanpa nama pengarang dan penulis. Ini disebabkan karena

pada zamannya dibuat seorang penulis tidak mau menonjolkan diri dan karyanya

dianggap milik bersama. Kata guritan dalam kamus Bali – Indonesia berasal dari

kata “gurit” artinya gubah, karang, sadur (Depdikdas Prop. Bali, 1991:254), dan

dalam Kamus Umum Indonesia dijelaskan “guritan” itu berasal dari kata „gurit‟

artinya sajak atau syair” (Poerwadarminta, 1976:161). Sedangkan dalam Kamus

Kawi Indonesia diungkapkan “gurit” artinya goresan, dituliskan (Tim Penyusun,

1996:118). Ciri yang kental di dalam sebuah guritan adalah adanya pupuh-

pupuh yang membentuk guritan tersebut seperti: Pupuh Pucung, Durma, Sinom,

Pangkur, Asmaradhana, Dandhanggula. Oleh karena itu, membaca guritan tidak

sama halnya seperti membaca prosa.

Guritan sebagai salah satu jenis karya sastra tulis hasil budaya manusia

dan banyak menampilkan hal-hal yang menyangkut kehidupan masyarakat. Maka

dari itu penelitian ini akan diambil dengan objek kajian guritan yang didalamnya

terdapat nilai-nilai budaya lokal khususnya Jawa dalam buku kumpulan guritan

yang berjudul Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki. Dasar ketertarikan

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

3

untuk menggunakan objek kajian ini di dasarkan pada beberapa pertimbangan

atau alasan sebagai berikut.

Berdasarkan segi pengarang, Widodo Basuki termasuk pengarang yang

sangat produktif, karya-karyanya bukan saja merupakan bacaan yang memberikan

kesenangan pembaca, sesuai dengan pendapat Horace bahwa seni selayaknya

bersifat dulce at utile, artinya menyenagkan dan berguna. Seni sastra ini

menyenangkan karena bersifat seimbang (harmonis), berirama, kata-katanya

menarik hati, mengharukan, mengandung konflik dan sebagainya. Berguna di

sebabkan karena seni sastra itu memancarkan pengalaman yang tinggi dan hebat,

sehingga penikmat akan mendapatkan manfaat serta pengalaman jiwa yang di

kemukakan sastrawan itu (Pradopo, 1994:47).

Berdasarkan penjelasan diatas antologi guritan Medhitasi Alang-Alang

terbitan Sanggar Zuhra Gupita, cetakan pertama pada tahun 2004 merupakan

karya sastra yang menarik selain ditinjau dari pengarang yang sangat produktif

dan terkenal karya sastra guritan ini juga mengundang ketertarikan karena

mencerminkan keadaan masyarakat dan gambaran suasana yang mudah dinikmati

oleh pembaca. Dimana realitas atau kenyataan, dalam bahasa sehari-hari berarti

hal yang nyata yang benar-benar terjadi. Realitas yang terjadi seperti pengalaman-

pengalaman pribadi, rasa ingin tahu, pencarian, kebiasan orang-orang desa, mata

pencaharian di desa dan penggambaran tradisi budaya serta hal-hal yang lainya

yang sangat nyata terjadi dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya

Widodo Basuki. Hal ini berarti guritan tersebut betul-betul menggambarkan

pengalaman hidup ataupun hal yang dilihat dari pengarang dan menuangkan ide

dalam karyanya khususnya dalam sepuluh guritan berdasarkan tema yang sama

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

4

yaitu kebudayaan masyarakat khususnya Jawa, yang secara langsung didalamnya

terdapat nilai-nilai budaya lokal khususnya Jawa yang digambarkan melalui kata-

kata yang estetik oleh pengarang.

Nilai sendiri memiliki pengertian yaitu alat yang menunjukkan alasan

dasar bahwa cara pelaksanaan atau keadaan akhir tertentu lebih disukai secara

sosial dibandingkan cara pelaksanaan atau keadaan akhir yang berlawanan. Nilai

memuat elemen pertimbangan yang membawa ide-ide seorang individu mengenai

hal-hal yang benar, baik, atau diinginkan. Setiap manusia tentu melakukan suatu

aktivitas dan tindakan untuk mencapai tujuan yang ia harapkan. Pada

kenyataannya tidak sedikit orang yang melakukan segala tindakan untuk

mencapai tujuannya, baik itu berupa tindakan baik maupun tindakan buruk. Hal

terpenting ia mampu mencapai tujuan yang ia harapkan. Perlu adanya suatu

patokan atau tolak ukur untuk mengatur tindakan manusia. Antara norma dengan

nilai itu saling berkaitan, yang mana dalam nilai terdapat norma dan aturan yang

berfungsi sebagai pedoman untuk menentukan baik atau buruknya suatu tindakan

yang dilakukan oleh seseorang. Sehingga kedepannya kita dapat mengidentifikasi

bentuk-bentuk dari nilai.

Kehidupan sehari-hari manusia selalu berkaitan dengan nilai. Misalkan

kita mengatakan bahwa orang itu baik atau lukisan itu indah. Berarti kita

melakukan penilaian terhadap suatu objek. Baik dan indah adalah contoh nilai.

Manusia memberikan nilai pada sesuatu. Sesuatu itu dikatakan adil, baik, cantik,

anggun, dan sebagainya. Seperti halnya guritan karya Widodo Basuki juga

memiliki nilai-nilai yang terkandung didalamnya khususnya nilai budaya lokal

jawa, misal pada salah satu guritan terdapat tanda atau makna yang menunjukan

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

5

nilai budaya dalam suatu daerah tertentu seperti kata kembang mayang binukak ini

menunjukan adanya nilai budaya dalam guritan karya Widodo Basuki.

Koentjaraningrat (2004:9) mendefinisikan bahwa kebudayaan sebagai

keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar,

beserta keseluruhan gagasan dari hasil budi dan karyanya itu. Akan tetapi, tidak

mudah untuk merumuskan atau mendefinisikan konsep budaya lokal. Menurut

Irwan Abdullah, definisi kebudayaan hampir selalu terikat pada batas-batas fisik

dan geografis yang jelas. Misalnya, budaya Jawa yang merujuk pada suatu tradisi

yang berkembang di Pulau Jawa. Oleh karena itu, batas geografis telah dijadikan

landasan untuk merumuskan definisi suatu kebudayaan lokal. Namun, dalam

proses perubahan sosial budaya telah muncul kecenderungan mencairnya batas-

batas fisik suatu kebudayaan. Hal itu dipengaruhi oleh faktor percepatan migrasi

dan penyebaran media komunikasi secara global sehingga tidak ada budaya lokal

suatu kelompok masyarakat yang masih sedemikian asli.

Berdasarkan dari penelitian lain yang sejenis banyak tersimpan di

perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

diantaranya penelitian berjudul “Analisis puisi-puisi St. Iesmaniasita” (Prapto

Yuwana) pada tahun 1985 yang meneliti berdasarkan analisis struktur untuk

menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam puisi. Lestari Emi. 2013. Analisis

Semiotik dalam Antologi Warisan Geguritan Macapat Karya Suwardi. Skripsi.

Purworejo. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Bahasa dan Sastra Jawa.

Universitas Muhammadiyah Purworejo. 2013, dan aspek tematis dalam geguritan

karya Handaya Wibawa (Oei Tjhian Hwat). Analisis Struktur dan Semiotik tahun

2005.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

6

Antologi guritan Medhitasi Alang-Alang memberikan gambaran tentang

kondisi kebudayaan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai budayanya.

Selain itu keunggulan lainya karya ini tidak hanya menggambarkan satu tema saja

namun menggambarkan berbagai unsur-unsur yang ada di lingkungan masyarakat

seperti: kehidupan masyarakat, alam, politik, dan religius. Namun, peneliti

memilih tema yang mendominasi dalam guritan tersebut. Hal ini dapat diketahui

melalui tanda-tanda dan makna dalam karya antologi guritan Medhitasi Alang-

Alang melalui pendekatan yang mampu mengungkapkan tanda dan makna

tersebut. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

strukturalisme yang berdasarkan konsep semiotik karena dengan menggunakan

konsep ini dapat diketahui bagaimana struktur yang membangun terdapat dalam

guritan karya Widodo Basuki. Peneliti dalam meneliti harus tepat dalam

melakukan pendekatan. Pendekatan adalah cara memandang suatu hal, dan

pendekatan (approach) sastra pada dasarnya adalah memahami jenis sastra

tertentu sesuai dengan sifatnya (Satoto, 1991:9).

Semiotik adalah menganalisis karya berdasarkan satuan-satuan tanda yang

bermakna dengan tidak melupakan hubungan fungsi satuan tanda tersebut

(Pradopo,1995:118). Strukturalisme dinamik, memandang, karya sastra tidak

lepas dari konvensi-konvensi masyarakat, baik masyarakat sastra, bahasa maupun

masyarakat pada umumnya, dan dipandang sebagai suatu sistem tanda yang

bermakna. Penelitian ini menggunakan teori semiotik Michael Riffaterre dalam

(Pradopo, 1995:318) yang menyoroti tiga hal antara lain penggantian arti

(displancing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning) dan

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

7

penciptaan arti (creating of meaning). Konsep tersebut untuk menganalisis

struktur yang membangun dalam guritan tersebut.

Terlepas dari permasalahn di atas dari sinilah wawasan tentang bagaimana

karya sastra yang diciptakan oleh pengarang itu tidak hanya semata-mata menjadi

hiburan saja, namun karya sastra seperti guritan juga terdapat nilai-nilai yang ada

di dalamnya khususnya nilai budaya. Berdasarkan latar belakang yang telah

diuraikan di atas, peneliti ini mengambil judul Nilai Budaya Jawa dalam Guritan

Medhitasi Alang-Alang Karya Widodo Basuki (Suatu Tinjauan Semiotika).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka perumusan masalah yang

diajukan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah struktur yang membangun (meliputi: penggantian arti,

penyimpangan arti, penciptaan arti, matriks, model dan varian) sepuluh

guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo

Basuki sesuai teori semiotika Michael Riffaterre?

2. Bagaimanakah makna sepuluh guritan dalam antologi Medhitasi Alang-

Alang karya Widodo Basuki sesuai teori semiotika Michael Riffaterre?

3. Bagaimanakah bentuk nilai budaya Jawa beserta relevansinya dalam

antologi guritan Medhitasi Alang-Alan karya Widodo Basuki?

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

8

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang diajukan, maka penelitian ini

bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan struktur yang membangun (meliputi: penggantian arti,

penyimpangan arti, penciptaan arti, matriks, model, dan varian) sepuluh

guritan dalam antologi Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki

sesuai teori semiotika Michael Riffaterre.

2. Mendeskripsikan makna sepuluh guritan dalam antologi Medhitasi

Alang-Alang karya Widodo Basuki sesuai teori semiotika Michael

Riffaterre.

3. Mendeskripsikan bentuk nilai budaya Jawa beserta relevansinya dalam

guritan Medhitasi Alang-Alangkarya Widodo Basuki.

D. Pembatasan Masalah

Berdasarkan urian latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka

batasan masalah dalam penelitian ini ditinjau dengan kajian semiotika dan

membatasi permasalahanya pada (1) Struktur yang membangun (meliputi:

penggantian arti, penyimpangan arti, penciptaan arti, matriks, model, dan varian)

sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo

Basuki; (2) makna sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang

karya Widodo Basuki; dan (3) bentuk nilai budaya lokal Jawa beserta

relevansinya dalam Antologi Guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo

Basuki.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

9

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada secara

teoritis dann praktis.

1. Manfaat Teoretis

Secara Teoritis, hasil pengkajian ini diharapkan dapat memperkaya

khasanah kajian puisi dalam hal ini guritan melalui analisis semiotika

Michael Riffaterre.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini secara praktis dapat menambah refrensi penelitian

karya sastra Jawa dan menambah wawasan kepada pembaca mengenai nilai

budaya Jawa dalam guritan Medhitasi Alang-Alang Karya Widodo Basuki.

F. Landasan Teori

Landasan teori menampilkan dasar-dasar teori ilmiah yang relevan dengan

pokok permasalahan dalam penelitian. Landasan teori digunakan sebagai bekal

untuk menganalisis objek kajian. Dalam penelitian ini teori-teori yang diperlukan

yaitu mengenai pengertian puisi dan guritan, struktural yang dilanjutkan dengan

semiotika Michael Riffaterre, dan nilai budaya lokal Jawa. Berikut ini akan

dijelaskan tentang teori tersebut.

1. Puisi dan Geguritan

Secara etimologi, istilah puisi berasal dari bahasa Yunani „Poeima‟ yang

berarti „membuat‟ atau Poeisis yang berarti „pembuatan‟, dan dalam bahasa

Inggris disebut dengan Poem atau Poetry. Puisi diartikan membuat dan

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

10

pembuatan, karena lewat puisi pada dasarnya seseorang telah menciptakan dunia

tersendiri, yang mungkin berisikan pesan atau gambaran-gambaran suasana

tertentu, baik fisik maupun batiniah (Aminudin, 1991:134). Menurut

Purwodarminto dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan

puisi adalah karangan kesusastraan yang berbentuk sajak (syair, pantun dan

sebagainya).

Penciptaan puisi sebagai suatu kreasi seni itu bertolak dari kompleksitas

suatu masalah dalam kehidupan itu sendiri, dari segala yang ada dan yang

mungkin ada. Puisi pada dasarnya mampu menggambarkan problematik manusia

yang bersifat universal, yakni yang berhubungan dengan masalah hakekat

manusia, kematian juga ketuhanan (Aminudin, 1991:191).

Puisi adalah salah satu bentuk kesusastraan yang mengungkapkan pikiran dan

perasaan seorang penyair secara imajinatif dan disusun dengan konsentrasi

apapun yang ada yaitu struktur yang membangun puisi. Semuanya saling

mengikat dengan unsur-unsurnya membentuk suatu totalitas makna yang utuh.

Pada dasarnya yang disebut struktur fisik puisi terdiri dari diksi, pengimajian serta

majas, kata konkret, verifikasi dan tipografi puisi. Sedangkan struktur batin adalah

sebagai pengungkap dari perasaan dan semua pengalaman jiwa dari seorang

penyair (Waluyo, 1991:28). Pihak lain puisi dipandang sebagai suatu tindak

komunikasi, yaitu sebagai wacana puitik dari penyair yang diperuntukan bagi

khalayak dengan sentuhan yang khas, di dalam naungan konteks dan kode budaya

(Wiryatmaja, 1987:4).

Pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa puisi adalah ungkapan

perasan dan pikiran penyair atas dasar pengalamannya, yang bersifat imajinatif

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

11

atau rekaan yang dituangkan atau disusun dengan mengkonsentrasikan semua dari

kekuatan bahasa serta dikemas secara khas dalam konteks dan kode budaya yang

ada pada masyarakat.

Guritan merupakan nama yang diberikan kepada semua bentuk puisi Jawa

modern (Subalidinata, 1981:47). Pengertian guritan atau puisi Jawa Modern

adalah puisi yang pengungkapannya menggunakan media bahasa Jawa Modern.

Guritan tradisional memiliki aturan yang ketat, misalnya menyangkut jumlah

suku kata dan bunyi pada akhiran larik. Pada tahap awal perkembangannya,

biasanya guritan diawali kata sun gegurit „saya membuat guritan‟. Guritan

sekarang disebut puisi bebas, karena tidak terikat oleh konvensi-konvensi

tersebut.

Berbagai pendapat para ahli di atas dapat digunakan sebagai landasan

dalam memberi pengertian puisi dan guritan. Puisi adalah karya sastra yang

menggunakan kata ataupun bahasa yang ringkas namun padat akan makna sebagai

media untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan penyair. Sedangkan guritan

adalah puisi Jawa modern yang menggunakan bahasa Jawa sebagai medianya.

Sama halnya dengan puisi berbahasa Indonesia, guritan juga digunakan sebagai

media untuk menyampaikan gagasan dan perasaan penyair.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

12

2. Struktur Puisi

Puisi memiliki struktur yang terdiri unsur-unsur pembangun yang bersifat

padu karena tidak dapat dipisahkan tanpa mengkaitkan unsur-unsur lainnya

(Waluyo, 1991:25). Menghadapi sebuah puisi, kita tidak hanya berhadapan

dengan unsur kebahasaan yang meliputi serangkaian kata-kata indah, namun juga

merupakan kesatuan bentuk pemikiran atau struktur makna yang hendak

diucapkan penyair. Menurut Sayuti Suminto (1985:15), unsur-unsurnya adalah

kata-kata, bentuk, pola, rima, ritme, ide dan makna atau masalah yang diperoleh

penyair dalam hidup dan kehidupannya yang hendak disampaikan kepada

pembacanya, melalui teknik dan aspek-aspek tertentu.

Plat menambahkan (dalam Teeuw, 1983:2-3), bahwa dalam menganalisis

puisi hendaknya diperhatikan tiga aspek utama yakni :

(1) Aspek struktur luar karya puisi (eksterne strukturrelation)

(2) Aspek struktur batin (interne strukturrelation)

(3) Aspek dunia sekunder yang kompleks dan bersusun-susun

Struktur batin dan struktur fisik puisi bersifat padat karena keduanya

saling berhubungan dan berkaitan. Pada dasarnya puisi adalah konsentrasi dan

intensifikasi, dengan konsentrasi dimaksudkan pada pemusatan segala kesan,

perasaan, pikiran, dan persoalan. Intensifikasinya yang menimbulkan kesan

emosional sehingga tercipta suatu suasana puitis. Segenap struktur puisi berusaha

untuk membentuk tercapainya kedua proses itu (Murshal Esten, 1989:24).

Menurut Rene wellek dan Austin Warren, unsur-unsur yang membangun

sebuah puisi adalah citra, simbol, mitos dan tema (Wellek, 1983:235). Pengertian

dari masing-masing unsur struktur tersebut adalah :

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

13

a. Citraan

Menikmati (membaca atau mendengarkan) suatu karya sastra dalam hal

puisi, pentingnya salah satu unsur puisi yang menyentuh atau menggugah

indera perlu disadari. Dapat disebut sebagai kesan yang terbentuk dalam

angan-angan yang disebabkan oleh sebuah kata. Hal ini dimaksudkan untuk

memberikan gambaran yang jelas, dan untuk menimbulkan suasana yang

khusus, untuk membuat lebih hidup gambaran dalam pikiran dan penginderaan

dan untuk bisa menarik perhatian di samping sebagai alat kepuitisan yang lain.

Kesan yang terbentuk dalam angan-angan itulah yang disebut dengan citraan

atau imajinasi, dalam bahasa Inggrisnya adalah image (s) dan imagery.

Sedangkan dalam istilah perpuisian di Indonesia dikenal dengan istilah citra.

Istilah citraan sering dipakai dalam dua pengertian yang sebenarnya

berlainan. Pertama merupakan pengalaman dari indera yang terbentuk dalam

rongga imajinasi yang ditimbulkan oleh sebuah kata atau rangkaian kata.

Kedua merupakan bentuk bahasa (kata atau rangkaian kata) yang dipergunakan

oleh penyair untuk menyampaikan pengalaman estetiknya atau untuk

menyampaikan pengalaman inderanya. Jadi jelaslah bahwa citra itu bisa datang

dari penyairnya dan penikmat puisi (Pradopo, 1995:107).

Pradopo menyatakan bahwa gambaran-gambaran angan itu disebut citraan

atau imagery. Gambaran-gambaran angan itu ada beberapa macam, antara lain

: citraan penglihatan (visual imagery), citraan pendengaran (auditory imagery),

citraan rabaan (factile/thermal imagery), citraan penciuman (olfactory imagery)

dan citraan gerak atau movement (kinaesthetic/movement imagery) (1995:81).

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

14

Pencitraan adalah topik yang termasuk di dalam bidang psikologi dan

studi sastra. Renne Wellek mengatakan: “Ahli-ahli psikologi dan estetika

menyusun berbagai macam jenis pencitraan. Ada pencitraan yanng berkaitan

dengan suhu dan tekanan (kinaesthetic „gerak‟, haptic „sentuhan‟, empatic „

rasa simpati‟), ada pula yang berkaitan dengan penciuman” (Wellek,

1983:236).

Ezra Pound menggambarkan bahwa citra bukan sebagai gambaran fisik,

melainkan sebagai sesuatu yang rumit atau sesuatu dalam waktu sekejap dapat

menampilkan suatu kaitan pikiran dan juga emosi yang rumit (that wich

presentsan intelectual and emotional complex in an instan of time). Suatu cara

dari penggabungan ide-ide yang berlainan (Ezra Pound dalam Wellek,

1983:237).

Dari pengertian citra di atas dapat disimpulkan bahwasanya citra adalah

kata atau serangkaian kata-kata yang digunakan sebagai ungkapan kesan yang

terbentuk di dalam imaji, yang merupakan gambaran angan-angan. Citra ini

oleh penyair adalah bentuk pengungkapan segala kesan perasan atau

pengalaman dari inderanya.

b. Simbol

Simbol muncul dalam konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk

berbagai tujuan. Simbol bersifat mewakili terhadap sesuatu yang lain, tetapi

dalam kata simbol berasal bahasa Yunani yang berarti mencampurkan serta

membandingkan dan membuat analogi antara tanda dan objek yang lainnya

seperti apa yang diacu. Menurut teori sastra, simbol itu sebaiknya dipakai

dalam pengertian yang adanya sebagai berikut : objek yang mengacu pada

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

15

objek lain, yang juga menuntut perhatian pada diri sendiri sebagai suatu

perwujudan (Wellek, 1983:239-140).

Simbol dibedakan menjadi tiga, yaitu :

1) Simbol universal, berkaitan dengan artikepos, misalnya tidur lambang

dari suatu kematian.

2) Simbol kultural yang dilatarbelakangi oleh suatu dari kebudayaan

tertentu, misalnya keris dalam budaya Jawa.

3) Simbol individual yang biasanya dapat ditafsirkan dalam konteks

keseluruhan dari karya seorang pengarang (Hartoko & B. Rahmanto,

1984:133).

Ada pendapat yang menyatakan bahwa simbol dicirikan oleh nampaknya

sifat-sifat yang mencirikan spesies pada individu, atau sifat-sifat umum

(genus) pada khususnya, akhirnya oleh nampaknya hal-hal yang bersifat

pribadi abadi pada hal-hal yang sementara (Coleridge dalam Wellek,

1983:240).

Uraian tentang simbol tersebut bermanfaat untuk bisa memberikan

gambaran secara umum bahwa simbol adalah suatu pemakaian dari bentuk

baru yang harus menampakan sifat-sifat yang lebih umum dan abadi dari sifat-

sifat objek yang diacu.

Puisi perlu digunakan simbol karena penyair merasa bahwa katakata dari

kehidupan sehari-hari itu belumlah rasanya mencukupi untuk mengungkapkan

makna yang hendak disampaikan oleh diri penyair kepada pembaca. Penyair

merasa bahwasannya dengan simbol itu maknanya akan lebih hidup.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

16

c. Mitos

Mitos adalah suatu cara pengungkapan yang cenderung bersifat irasional

dan intuitif, meliputi bidang-bidang agama, folklor, antropologi, sosiologi, dan

lain-lain dengan tujuan sebagai dasar menghidupkan narasi. Secara umum,

suatu ciri mitos adalah sifatnya yang sosial, komunal, dan anonim. Mitos

menurut sejarahnya, mengikuti dan berkaitan erat dengan ritual. Mitos adalah

bagian ritual yang diucapkan, cerita yang diperagakan oleh ritual. Suatu

masyarakat, ritual yang sering dilakukan oleh pemuka-pemuka agama untuk

menghindarkan bahaya dan mendatangkan keselamatan. Pengertian yang luas,

mitos berarti cerita-cerita anonim mengenai asal mula alam semesta dan nasib

serta tujuan hidup, penjelasan-penjelasan yang diberikan oleh suatu masyarakat

kepada anak-anak mereka mengenai dunia tingkah laku manusia, citra alam

dan tujuan hidup manusia. Penjelasan ini bersifat mendidik (Wellek & Waren,

1983:243).

Mitos dapat juga dikatakan sebagai alusio yang diperjelas yang

menceritakan tentang dewa atau pahlawan yang mengisahkan tentang

keyakinan masyarakat mengenai persoalan yang berhubungan dengan

penciptaan dewa, sifat alam semesta, dan nasib suatu bangsa dengan tujuan

sebagai dasar untuk menghidupkan narasi.

d. Tema

Sebuah karya sastra dapat diangkat atau diambil ajaran moral maupun

yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau pendengar, hal

demikian disebut dengan tema (Sujiman, 1988). Tema, amanat, pesan, message

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

17

adalah merupakan rangkaian pengertian yang sama, karena menunjukan

dengan singkat inti atau peristiwa yang merupakan bahan suatu cerita.

Tema adalah hal yang menjadi inti cerita. Tema diisi dengan pengalaman

yang intens, yaitu pengalaman yang sudah mengandung interpretasi dan

penafsiran serta penilaian pengarang. Jadi, tema merupakan suatu ide, gagasan

atau pikiran di dalam suatu karya sastra, baik yang terungkap secara tersirat

maupun tersurat.

Tema atau amanat dapat dikatakan sebagai latar belakang kelahiran suatu

karya sastra. sebab kristalisasi ide, gagasan, pikiran pengarang menjadi dasar

penciptaan karya sastra, baik yang berhubungan dengan pendidikan,

pengobatan, ajaran agama, ajaran moral, maupun pesan-pesan lainnya. Pesan

atau amanat yang disampaikan pengarang berkait erat dengan makna karya

sastra. tema, amanat atau tendens dalam karya sastra akan menunjukan ciri-ciri

berikut : kias, subjektif dan impretatif, maka penafsiran pada suatu karya sastra

oleh seseorang dengan orang lain akan menunjukan suatu perbedaan.

3. Teori Semiotika

Semiotika adalah ilmu tentang tanda dan segala sesuatu yang

berhubungan dengannya : cara fungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain,

pengirimnya, penerimanya oleh mereka yang menggunakannya (Sudjiman dan

Zoest, 1990:5). Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan

kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem,

aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut

mempunyai arti, penelitian semiotik ini meliputi analisis sastra sebagai sebuah

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

18

penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan

bermacam-macam cara (modus) wacana mempunyai makna (Preminger dkk,

dalam Pradopo 1995:980)

Definisi tentang semiotik juga dikemukakan Sutadi Wiryatmaja (1987:3)

bahwa semiotik adalah ilmu yang mengkaji kehidupan tanda dan maknanya yang

luas di dalam masyarakat, baik yang lugas (literal) maupun yang kias (figuratif),

baik yang menggunakan bahasa dan non bahasa.

Dari beberapa definisi tentang semiotika, Santoso (1993:4-6) memberi

kesimpulan bahwa ada tiga komponen dasar semiotik, yaitu :

a. Tanda merupakan bagian ilmu semiotika yang menandai suatu hal atau

keadaan untuk menerangkannya atau memberikan obyek kepada subyek.

Dalam hal ini tanda selalu menunjukkan pada sesuatu hal yang nyata

misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, peristiwa dan bentuk-bentuk

tanda yang lain.

b. Lambang adalah sesuatu hal yang memimpin pemahaman si subjek kepada

objek. Suatu lambang selalu berkaitan dengan tanda-tanda yang sudah diberi

sifat-sifat kultural, situasional, dan kondisional.

c. Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subjek yang

diberikan isyarat pada waktu itu. Jadi isyarat selalu bersifat temporal

(Santoso, 1993:4-6).

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

19

4. Semiotik Riffaterre (Semiotik Puisi)

Penulis dalam penelitian ini menggunakan teori Semiotik Riffaterre. Studi

semiotik adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena

itu menentukan konvensikonvensi apa yang memungkinkan karya sastra

mempunyai arti (Preminger dalam Pradopo, 1995:109). Selanjutnya dikemukakan

pula bahwa konvensi-konvensi apa yang mendasari timbulnya makna dieksplisit

dalam konkretisasi (pemberian makna). Pemberian makna melibatkan peranan

teks dan pembaca.

a. Peranan Pembaca dalam Puisi

Peranan pembaca dalam puisi sangat penting. Pembaca juga merupakan

kritikus dalam mengkrotisasi makna karya sastra. Terjadi hubungan antara teks

karya sebagai sistem tanda dan pembaca yang memiliki horison sendiri

terhadap karya sastra yang dibacanya.

Analisis semiotik adalah sejauh mana peran pembaca dalam menentukan

makna suatu karya sastra. Pemberian makna oleh pembaca berarti pembaca

telah berkomunikasi dengan pengarang melalui tanda-tanda yang ditimbulkan,

baik secara langsung maupun tidak langsung. Melakukan komunikasi dengan

karya sastra, pembaca dituntut untuk menemukan makna yang terkandung

secara kreatif dan dinamis. Hal ini disebabkan pembaca merupakan satu-

satunya pelaku yang menciptakan pertalian, teks, penafsiran, dan interteks.

Peranan pembaca dalam penelitian karya sastra dengan menggunakan

pendekatan semiotik tidak dapat dikesampingkan. Pembaca puisi amat

menentukan sebab pembaca bertindak sebagai subyek, yaitu satu-satunya

pelaku yang menciptakan pertalian teks, panafsiran dan interteks. Pembaca

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

20

juga bertindak sebagai obyek yaitu dalam batin pembaca berlangsung transfer

semiotik dari satu tanda ke tanda yang lain (proses interpretasi).

Pada awal intepretasinya, Riffaterre sudah memperkenalkan apa yang

disebut sajak sebagai jawaban, karena pada dasarnya karya sastra merupakan

jawaban terhadap rahasia kehidupan manusia. Pembaca adalah petugas garda

depan untuk membongkar makna karya sastra, mencari jiwa, mencari respon,

kemudian menafsirkan (Pradopo, 1995:20).

Mengingat pembaca mempunyai horison harapan sendiri, maka tiap

pembaca akan memberikan makna yang berbeda dengan pembaca lain. Hal ini

mengacu pada apa yang dikatakan Jauss, bahwa apresiasi pembaca pertama

terhadap sebuah karya melalui tanggapan-tanggapan yang lebih lanjut dari

generasi ke generasi (Jauss dalam Pradopo, 1995:116). Setiap kali puisi dibaca

akan memberikan arti yang baru.

Pembaca sebagai pembongkar makna harus mempunyai bekal yang

cukup. Kebiasaan individual yang selalu menyertai, suasana dan persiapan diri

dalam menerima bacaan turut menentukan. Pendidikan kepribadian yang

meliputi latar belakang religi, filosofis, iklim budaya, serta wawasan

kebahasaan yang luas juga mempengaruhi daya tangkap pembaca teradap

makna puisi. Seorang pembaca yang tidak berpengalaman hanya menghasilkan

distorsi dan pemahaman yang dangkal (Wellek, 1983:180).

b. Peranan Penulis dalam Puisi

Kedudukan penulis dalam penafsiran karya sastra dikemukakan oleh Juhl

melalui tiga dalih. Pertama, ada kaitan logik antara sebuah arti karya sastra dan

niat penulisnya. Kedua, penulis yang nyata terlibat bertanggung jawab atas

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

21

proposisi yang diajukan dalam karyanya, jadi karya sastra tidak otonom, ada

kaitannya antara sastra dan kehidupan. Ketiga, karya sastra mempunyai satu

dan hanya satu arti saja. Apa yang diniatkan oleh kata-kata dipergunakan

penulis dalam karya sastranya adalah sesuatu yang dipikirkan sebelum

penciptaan, niat justru terwujud dalam proses perumusan kalimat-kalimat yang

dipakai dalam karya (Teeuw, 1984:177). Karya sastra merupakan luapan

penjelmaan perasaan, pikiran dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya.

Oleh sebab itu, faktor pengarang tidak boleh diabaikan meskipun tidak harus

mutlak (Pradopo, 1995:144).

Pembaca secara sadar atau tidak sadar, dalam membaca karya sastra

adalah komunikasi dengan sesama manusia (pengarang) yang mencipta karya

sastra yang diminatinya.

c. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Pembacaan heuristik adalah pembacaan yang berdasarkan pada struktur

bahasanya secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem simiotik tingkat

pertama. Pembacaan ini karya sastra dibaca secara linier, sesuai dengan

struktur bahasa sebagai sistem tanda semiotik tingkat pertama. Untuk

menjelaskan arti bahasa bilamana perlu susunan kalimat dibalik seperti

susunan bahasa secara normatif, di beri tambahan kata sambung (dalam

kurung), kata-kata dikembalikan ke dalam bentuk morfologinya yang normatif.

Bilamana perlu, kalimat karya sastra diberi sisipan-sisipan arti kata atau

sinonimnya, ditaruh dalam tanda kurung supaya artinya menjadi jelas

(Pradopo, 1995:295).

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

22

Pembacaan hermeneutik adalah pembacaan ulang dari awal sampai akhir

dengan penafsiran. Pembacaan ini adalah pemberian makna berdasarkan

konvensi sastra (puisi) (Pradopo, 1995:297).

d. Intertektualitas Puisi

Pengertian atau paham intertektualitas berasal dari bahasa Prancis yang

dipengaruhi oleh pemikiran filsuf Perancis, Jaques Derrida dan dikembangkan

oleh Julia Kristeva. Prinsip ini berarti bahwa setiap teks sastra dibaca dengan

latar belakang dari teks-teks lain, tidak ada sebuah tekspun yang sungguh-

sungguh mandiri, dalam arti bahwa dalam penciptaan dan pembacaannya tidak

dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka;

tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi

kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti bahwa dalam

penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan

peranan yang penting. Pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan

adanya sesuatu yang dapat diberontaki ataupun disimpangi; dan pemahaman

teks baru memerlukan latar belakang pengetahuan tentang teks-teks yang

mendahuluinya (Kristeva dalam Teeuw, 1984 :146).

Intertektualitas berlaku dalam karya sastra, termasuk puisi. Sebuah puisi

merupakan tanggapan terhadap karya-karya sebelumnya. Tanggapan ini berupa

penyimpangan atau menerusnya tradisinya. Penyair meresapi, menyerap dan

kemudian mentransformasikannya ke dalam puisi-puisinya. Mentransformasi

adalah memindahkan sesuatu dalam bentuk atau wujud lain, yang pada

hakikatnya sama (Pradopo, 1995:300).

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

23

Ada istilah khusus yang dikemukakan Riffaterre yaitu hipogram.

Hipogram adalah teks yang menjadi latar penciptaan teks lain atau puisi yang

menjadi latar penciptaan puisi lain. Perlu diingat bahwa dalam prinsip

pemahaman dan pemberian makna teks itu merupakan peresapan, penyerapan

dan transformasi teks lain (Riffaterre dalam Pradopo, 1995:229). Dapat

diketahui bahwa intertekstualitas mempunyai peran yang penting dalam

mengkaji puisi terutama dari pendekatan semiotik sastra.

Prinsip intertekstualitas ini merupakan salah satu sarana pemberian makna

kepada sebuah teks sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan

menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Menanggapi teks-teks lain

penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik

sendiri yang ditentukan oleh horison harapannya, yaitu pikiran-pikiran konsep

estetik dan pengetahuan sastra yang dimilikinya (Pradopo, 1995:228).

Hal yang paling penting dalam prinsip intertekstualitas adalah prinsip

pemahaman dan pemberian makna teks sendiri, tidak mempersoalkan saduran

atau turunan, melainkan setiap teks itu merupakan peresapan, penyerapan, dan

transformasi dari teks lain.

Teeuw (1983:69) menjelaskan bahwa prinsip intertekstualitas itu jauh

lebih luas jangkauannya dari pada hanya perkara pengaruh atau saduran

ataupun pinjaman dan jiplakan. Hakiki adalah untuk interpretasi sajak secara

tuntas dan sempurna, sebuah sajak baru mendapatkan makna penuh sebagai

sistem tanda (semiotik) dalam kontrasnya dengan hipogramnya.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

24

e. Wacana Puitik

Wacana puitik adalah kesepadanan yang ditentukan diantara kata dan

teks, atau antara sebuah teks dengan teks lain. Seperti telah diungkapkan

sebelumnya, sastra (puisi) merupakan sistem tanda (semiotik) tingkat kedua

yang mempergunakan bahasa sebagai sistem tanda tingat pertama. Jadi dalam

karya sastra tidak ada konvensi sastra sendiri yang disebut konvensi tambahan

(di luar konvensi bahasa) (Preminger dalam Pradopo 1995:209). Konvensi

tambahan dalam sastra antara lain konvensi bahasa kiasan, persajakan,

pembaitan, enjambemen dan tipografi.

Dikemukakan oleh Riffatrre bahwa ketidaklangsungan pernyataan puisi

itu disebabkan oleh tiga hal yang penting yaitu penggantian arti (displacing of

meaning),penyimpangan arti (distoring of meaning) dan penciptaan arti (creating

ofmeaning) (Pradopo, 1995:318).

1. Penggantian Arti (Displacing of Meaning)

Umumnya kata-kata kiasan menggantikan arti sesuatu yang lain,

lebih-lebih metafora dan metonimi. Dalam penggantian arti ini suatu kata

(kiasan) berarti yang lain (tidak menurut arti sesungguhnya) (Pradopo,

1995:210).

Metafora adalah maksud pemakainya yang sangat terasa, terencana

dan diperhitungkan untuk mengefektifkan efek emotif darinya (Wund dalam

Wellek, 1983:251). H. Konrad mengkontraskannya antara metafora estetis.

Metafora linguistis (misal kaki meja)menggarisbawahi dari kecendrungan

umum objeknya “memandikannya dengan suasana yangbaru” (Konrad

dalam Wellek, 1983:251). Metafora biasanya mengumpamakan atau

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

25

menggantikan sesuatu hal dengan tidak menggunakan kata pembanding :

bagi, bak, ibarat, seperti, laksana, dan sebagainya.

Metafora dianggap sebagai struktur penentu dari dua macam tipe

puisi, tipe yang pertama adalah membuat asosiasi berdasarkan perbandingan

yaitu puisi yang mengacu pada dunia wacana. Tipe yang kedua ialah

menggabungkan dari sebuah dunia yang berbeda (Wellek, 1983:250).

Penyebab munculnya metafora banyak disebabkan oleh rasa takut

dan segan. Memberinya sebutan metafora, kita dapat melihatnya dari sudut

pandang tertentu, karena melalui itulah objeknya dapat dicerminkan dalam

fokus tertentu oleh objeknya yang difokuskan tersebut. Ada beberapa unsur

sebagai dasar yaitu bahwa ada empat unsurnya yang mendasar di dalam

pengertian tentang apa itu metafora, adalah metafora (1) sebagai analogi (2)

sebagai visi ganda (3) sebagai citra indrawi yang mengungkapkan hal-hal

yang tak dapat dilihat dan (4) sebagai proyeksi animistis (Wellek,

1983:253).

Penggunaan metafora merupakan salah satu ciri khas dari puisi,

akan tetapi pemakaian dan penggunaan kiasan itu harus spontan, langsung

keluar dari sanubari penyair dan hendaknya ada persejajaran dengan adanya

apa yang dilukiskan oleh penyair dengan apa yang dimaksudnya.

Berbagai pendapat di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa

metafora adalah pergeseran dari suatu sifat tertentu ke dalam sifat lain

berdasarkan asosiasi kaitan atau asosiasi perbandingan. Metafora

memindahkan sifat tertentu ke dalam suatu objek yang dipersamakan oleh

suatu metafora.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

26

Metonimi dalam bahasa Indonesia sering disebut sebagai kiasan

pengganti nama. Bahasa ini berarti penggunaan sebuah atribut, sebuah objek

atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk

menggantikan objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo, 1995:77).

Penggunaan metonimi ini untuk membuat lebih hidup dengan menunjukan

hal yang kongkrit. Penggunaan hal tersebut lebih dapat menghasilkan imaji-

imaji yang nyata. Namun, tidak menutup kemungkinan bentuk pengganti

arti ini juga dibangun oleh bentuk-bentuk kiasan yang lain seperti

personifikasi, sinekdok, dan sebagainya.

2. Penyimpangan Arti (Distorting of Meaning)

Penyimpangan arti dalam karya sastra disebabkan oleh tiga hal

yaitu, ambigius, kontradiksi dan nonsense (Riffaterre, dalam Pradopo

1995:213).

a. Ambiguitas

Ambiguitas adalah keragu-raguan atau ketidakpastian dalam

menafsirkan makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya

beberapa kemungkinan (Panuti, 1990:50). Suatu puisi sering dijumpai

arti ganda sehingga menimbulkan banyak tafsiran atau ambiguitas.

Ambiguitas puisi, dapat memberi kesempatan kepada pembaca untuk

memberikan arti sesuai dengan asosiasinya. Asosiasi dalam puisi

berperan utama untuk memberikan efek atau pengaruh kepada pembaca.

Efek yang ditimbulkan berbeda-beda bagi setiap orang. Perbedaan itu

disebabkan perbedaan pengalaman batin pembaca. Kata yang sama

dalam sebuah puisi belum tentu menghasilkan asosiasi yang sama, bisa

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

27

jadi satu kata menghasilkan bermacam-macam asosiasi. Jadi, setiap kali

puisi dibaca akan menimbulkan arti baru.

b. Kontradiksi

Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan sesuatu dengan

menggunakan pertentangan atau secara berlawanan. Hal ini disebabkan

oleh paradoks dan ironi. Paradoks adalah pernyataan yang tampaknya

berlawanan dalam dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat

umum, akan tetapi kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya mengandung

sesuatu kebenaran, contoh kalimat : Walaupun bergelimang harta tetap

dalam kesedihan (Sudjiman, 1990:59).

Ironi yaitu majas yang menyatakan makna yang bertentangan

dengan makna sesungguhnya, misalnya mengemukakan makna yang

berlawanan dengan makna yang sebenarnya, ketidaksesuaian antara

harapan dan kenyataan, ketidaksesuaian antara suasana yang

diketengahkan (Sudjiman, 1990:38).

c. Nonsense

Nonsense adalah bentuk kata-kata yang secara linguistik tidak

mempunyai arti, sebab tidak terdapat pada kosa kata, karena hanya

berupa rangkaian bunyi yang tidak terdapat dalam kamus. Akan tetapi

dalam puisi mempunyai makna sesuai arti sastra berdasarkan konvensi

sastra (Pradopo, 1995:219).

3. Penciptaan Arti (Creating of Meaning)

Terjadinya penciptaan arti (Riffaterre, 1978:2) adalah ruang teks

berlaku sebagai prinsip pengorganisasian untuk membuat tanda-tanda keluar

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

28

dari hal-hal ketatabahasaan yang sesungguhnya secara linguistik tidak ada

artinya, misalnya simetri, rima, enjabemen, atau ekuivalensi makna diantara

persamaan-persamaan posisi di dalam bait (homologues) dan tipografi.

a. Rima

Pengulangan bunyi dalam puisi untuk musikalitas atau orkestrasi.

Untuk mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang

bunyi. Cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana

puisi (Waluyo, 1991:90). Menurut Wellek (dalam Santoso, 1993:38),

rima dibedakan menjadi rima akhir, rima tengah, rima awal. Ketiga rima

ini diperhatikan menjadi rima terus (a a a a), rima berpasangan (a a b b),

rima bersilang (a b a b). rima berpeluk (a b b a), rima putus (a a a b atau a

b a c).

Rima dalam larik diperinci menjadi : aliterasi, asonansi, desonansi,

dan anafora.

1) Aliterasi dimaksudkan sebagai runtutan konsonan dalam larik

seperti : desir, hari, lari, berenang.

2) Asonansi ialah runtutan paroh suku kata terakhir dalam larik

seperti: berjulang, datang, berkembang.

3) Desonansi yaitu runtun ragangan konsonan kata dalam larik seperti

: bolak-balik, compang-camping.

4) Anafora yaitu runtun suku awal kata yang sama dalam larik seperti

:bernyanyi, beria, berlupa.

Kombinasi bunyi-bunyi vokal (asonansi) : a, i, u, e, o, bunyi-bunyi

konsonan bersuara (voiced) : b, d, g, j, bunyi liquida : r, l, dan bunyi

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

29

sengau : m, n, ng, ny, menimbulkan bunyi merdu dan berirama yang

disebut eufoni. Bunyi yang merdu itu dapat mendukung suasana yang

mesra, kasih sayang, gembira, dan bahagia (Pradopo, 1995:29).

Rene Wellek dkk (dalam Santoso, 1993:37) mendefinisikan eufoni

sebagai daya guna bunyi.

Sebaliknya kombinasi bunyi yang tidak merdu, parau, penuh

bunyi k, p, t, s, ini disebut kakofoni. Kakofoni ini cocok untuk

memperkuat suasana yang tidak menyenangkan, kacau balau, serba tak

teratur, bahkan memuakan (Pradopo, 1995:30).

b. Homologues

Homologues itu misalnya tampak dalam sajak pantun. Semua tanda di

luar kebahasaan. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan

kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan paralellisme (Pradopo,

1995:220). Pada penciptaan arti telah mencakup adanya aspek formal

puisi. Aspek formal puisi berfungsi untuk menilai kepuitisan suatu puisi,

yaitu lewat estetik setiap unsur yang ada dalam puisi. Contoh

homologues adalah bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang

sejajar, baik bentuk visualnya atau bentuk kata-katanya, persejajaran

suara itu menyebabkan timbulnya arti yang sama.

c. Enjambemen

Enjambemen adalah pemutusan kalimat untuk diletakkan pada

baris berikutnya. Pemutusan atau pelompatan kalimat ke baris berikutnya

pada puisi ini berfungsi untuk membangun satuan kata atau kalimat yang

menunjukan satu kandungan tertentu, atau untuk memberi tekanan makna

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

30

baris tersebut. Menurut Riffaterre, enjambemen termasuk dalam

penciptaan arti, yang merupakan konvensi kepuitisan yang berupa bentuk

visual secara linguistik tidak mempunyai arti, tetapi menimbulkan makna

dalam puisi (Riffaterre, 1978:2).

d. Tipografi

Tipografi merupakan pembeda yang penting antara puisi dengan

prosa. Ciri yang demikian menunjukan eksistensi sebuah puisi. Cara

sebuah teks ditulis sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna

tambahan. Kata-kata yang disusun larik-larik yang panjang dan pendek

sedemikian bervariasi secara harmonis menimbulkan ritma yang padu

(Waluyo, 1991:97).

f. Matriks, Model, dan Varian

Puisi merupakan perkembangan dari matriks menjadi model dan

ditransformasikan menjadi varian-varian. Matriks diabstrasikan berupa satu

kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana.

Michael Riffaterre terkenal dengan pengibaratan puisinya sebagai sebuah

donat. Menurut Michael Riffaterre (1978: 13) signifikansi terbentuk seperti kue

donat. Ridha Al Qadri (2010: 175) menjelaskan adapun kue yang tampak

merupakan teks yang terbaca, sedangkan bagian tengah yang kosong tau

berlubang merupakan matriks dan hipogram. Bagian kosong ditengah-tengah

daging kue inilah pusat makna, inti puisi dan justru jadi tumpuan seluruh

produksi tanda dan teks puisi. Matriks tidak hadir secara langsung dalam puisi,

namun aktualisasinya berupa kata atau kalimat yang menjadi model dan

kemudian mengalami perluasan menjadi teks.

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

31

Menurut Michael Riffaterre (1978: 19) matriks bersifat hipotesis dan di

dalam struktur teks hanya terlihat sebagai aktualisasi kata-kata. Matriks bisa

saja berupa sebuah kata dan dalam hal ini tidak pernah muncul di dalam teks.

Matriks selalu diaktualisasikan dalam varian-varian. Bentuk varian-varian

tersebut di atur oleh aktualisasi primer atau pertama, yang disebut sebagai

model. Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang

sama.

Berdasarkan hubungan antara matriks dengan model, dapat dikatakan

bahwa matriks merupakan motor penggerak derivasi tekstual, sedangkan model

menjadi pembatas derivasi itu. Dalam praktiknya, matriks yang dimaksud

senantiasa terwujud dalam bentuk-bentuk varian yang berurutan. Bentuk varian

itu ditentukan oleh model. Dengan demikian, konsep semiotika Riffaterre yang

akan digunakan dalam kajian ini dapat membantu untuk menemukan makna

yang utuh dan menyeluruh dalam guritan karya Widodo Basuki

5. Nilai Budaya Jawa

Kehidupan sehari-hari kita tidak akan bisa terlepas dari yang dinamakan

budaya. Budaya memiliki bentuk yang abstrak namun dimanapun kita berdiri

di dunia ini maka secara langsung maupun tidak langsung kita akan terllibat

dalam suatu kebudayaan yang menjadi ciri khas suatu tempat atau daerah.

Adanya budaya disuatu tempat maka daerah tersebut dapat dengan mudah

untuk diketahui secara luas oleh orang lain, karena budaya juga merupakan ciri

khas yang pasti dimiliki oleh setiap daerah atau tempat di dunia.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

32

Kebudayaan sendiri diartikan sebagai hal-hal bersangkutan dengan akal

atau budi. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Sarjono Soekanto (2006:150)

bahwa budaya beralas dari bahasa Sansekerta yaitu “buddayah”, yang

merupakan bentuk jamak dari kata “budhi” yaitu budi atau akal. Kebudayaan

itu tumbuh karena adanya suatu masyarakat, kebudayaan dan masyarakat

adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Suatu kebudayaan akan bisa

berkembang dan bertahan jika masyarakat masih memandang kebudayaan

tersebut berguna bagi kehidupanya, namun sebaliknya kebudayaan tersebut di

pandang tidak berguna bagi mereka sehingga kebudayaan tersebut perlahan

dilupakan. Eksistensi suatu budaya dalam masyarakat sangat bergantung pada

keberadaan masyarakat itu sendiri. Koentjaraningrat (2004:9) mendefinisikan

kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus

dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan gagasan dari hasil budi dan

karyanya itu. Karena seperti yang disebutkan oleh Van Peursen (1988:144)

seluruh kebudayaan merupakan satu proses belajar yang besar.

Sekarang ini kebudayaan yang telah menjadi sistem pengetahuan, secara

terus menerus dapat digunakan untuk memahami berbagai peristiwa dan gejala

yang ada dalam lingkungan sehingga kebudayaan itu menjadi milik semua

masyarakat dimana budaya itu ada. Karena dalam kehidupan sosial masyarakat

harus menghasilkan sesuatu yang harus saling mereka pahami agar keteraturan

sosial dan kelangsungan hidup mereka sebagai makhluk sosial dapat

dipertahankan.Berdasarkan pengertian kebudayaan menurut para ahli, dapat

disimpulkan bahwa budaya merupakan hasil dari pemikiran manusia yang

dituangkan baik dalam bentuk gagasan, nilai, norma, dan benda yang berlaku

Page 33: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

33

dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari serta dijadikan pedoman hidup

dalam bertingkah laku di masyarakat. Kehidupan bermasyarakat, budaya kerap

kali dijadikan pengetahuan dasar secara menyeluruh untuk memahami

lingkungan yang dihadapi danmendorong terciptanya kelakuan yang sesuai

dengan tata kehidupan bermasyarakat.

Sifat budaya nasional akan menyangkut masalah kepribadian nasional, dan

masalah kepribadian nasional itu tidak hanya langsung mengenai identitasi kita

sebagai bangsa, tetapi juga menyangkut soal tujuan kita bersama untuk hidup

sebagai bangsa, menyangkut soal tujuan kita bersama untuk dengan susah

payah mengeluarkan tenaga banyak untuk membangun, dan menyangkut soal

motivasi kita untuk membangun. Sebagai negara yang multikultur, Indonesia

merupakan negara yang sangat menghargai kebudayaan meskipun terdapat

keragaman budaya yang tersebar di seluruh pelosok negeri, akan tetapi tidak

terjadi perpecahan di dalam masyarakat yang ada di wilayah Indonesia. Rangka

mewujudkan kebudayaan nasional, di Indonesia terdapat sebuah perlindungan

terhadap keragaman budaya yang ada di masyarakat, dengan adanya

pengakuan tersebut setiap daerah akan diberi kebebasan dalam berbudaya

sesusai dengan kebudayaan masing-masing.

Hubungan kebudayaan menyangkut semua kegiatan manusia, untuk itu

unsur-unsur dalam kebudayaan perlu dikaji lebih dalam. Menurut

Koentjrooningrat (2004:2) unsur-unsur kebudayaan bersifat universal dan

dapaat ditemukan didalam kebudayaan semua bangsa yang tersebar diberbagai

penjuru dunia. Ketujuh unsur kebudayaan tersebut adalah:

Page 34: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

34

1. Sistem Bahasa

Bahasa merupakan sarana bagi seluruh manusia untuk memenuhi

kebutuhan sosialnya untuk berinteraksi atau berhubungan dengan sesamnya.

2. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan dalam hal kultural universal berkaitan dengan

sistem peralatan hidup dan teknologi karena sistem pengetahuan bersifat

abstrak dan berwujud di dalam ide manusia. Batasan sistem pengetahuan

sangatlah luas karena mencakup pengetahuan manusia tentang berbagai

unsur yang digunakan dalam kehidupanya.

3. Sistem Kekerabatan dan Organisasi Sosial

Kekerabatan yang berkaitan dengan tentang pengertian tentang

perkawinan dalam suatu masyarakat karena perkawinan merupakan inti atau

dasar pembentukan suatu komunitas atau organisai sosial.

4. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Sistem teknologi dan peralatan merupakan produksi dari manusia

sebagai homo faber. Bersumber dari pemikirannya yang cerdas serta dibantu

dengan tangannya yang dapat memegang sesuatu dengan erat, manusia

dapat menciptakan sekaligus mempergunakan suatu alat. Dengan alat-alat

ciptaannya itu, manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya.

5. Sistem mata pencaharian hidup

Merupakan produk-produk dari manusia sebagai homo economicus

menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat.

Dalam tingkat sebagai food gathering, kehidupan manusia sama dengan

hewan. Tetapi dalam tingkat food producing terjadi kemajuan yang pesat.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

35

Setelah bercocok tanam, kemudian beternak yang terus meningkat (rising

demand) yang kadang-kadang cenderung serakah. Sistem mata pencaharian

hidup ini meliputi jenis pekerjaan dan penghasilan.istem Ekonomi/Mata

Pencaharian Hidup

6. Sistem Religi

Usaha untuk memecahkan pertanyaaan mendasar yang menjadi

penyebab lahirnya asal mula religi tersebut, para ilmuwan sosial berasumsi

bahwa religi suku-suku bangsa di luar Eropa adalah sisa dari bentuk-bentuk

religi kuno yang dianut oleh seluruh umat manusia pada zaman dahulu

ketika kebudayaan mereka masih primitif.

7. Kesenian

Kesenian merupakan hasil dari manusia sebagai homo esteticus.

Setelah mencukupi kebutuhan fisiknya, manusia perlu dan selalu mencari

pemuas untuk memenuhi kebutuhan psikisnya. Semuanya itu dapat dipenuhi

melalui kesenian. Kesenian ditempatkan sebagai unsur terakhir karena enam

kebutuhan sebelumnya, pada umumnya harus dipenuhi lebih dahulu.

Tiga wujud kebudayaan menurut Koentjaraningrat (1979: 186-187).

Pertama wujud kebudayaan sebagai ide, gagasan, nilai, atau norma. Kedua

wujud kebudayaan sebagai aktifitas atau pola tindakan manusia dalam

masyarakat. Ketiga adalah wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya

manusia. Wujud pertama berbentuk absarak, sehingga tidak dapat dilihat

dengan indera penglihatan. Wujud ini terdapat di dalam pikiran masyarakat.

Ide atau gagasan banyak hidup bersama dengan masyarakat. Gagasan itu selalu

berkaitan dan tidak bisa lepas antara yang satu dengan yang lainnya.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

36

Keterkaitan antara setiap gagasan ini disebut sistem. Koentjaraningrat

mengemukaan bahwa kata „adat‟ dalam bahasa Indonesia adalah kata yang

sepadan untuk menggambarkan wujud kebudayaan pertama yang berupa ide

atau gagasan ini. Sedangkan untuk bentuk jamaknya disebut dengan adat

istiadat (1979: 187).

Wujud kebudayaan yang kedua disebut dengan sistem sosial

(Koentjaraningrat, 1979: 187). Sistem sosial dijelaskan Koentjaraningrat

sebagai keseluruhan aktifitas manusia atau segala bentuk tindakan manusia

yang berinteraksi dengan manusia lainnya. Aktifitas ini dilakukan setiap waktu

dan membentuk pola-pola tertentu berdasarkan adat yang berlaku dalam

masyarakat tersebut. Tindakan-tindakan yang memiliki pola tersebut disebut

sebagai sistem sosial oleh Koentjaraningrat. Sistem sosial berbentuk kongkrit

karena bisa dilihat pola-pola tindakannya dengan indra penglihatan.Kemudian

wujud ketiga kebudayaan disebut dengan kebudayaan fisik (Koentjaraningrat,

1979: 188). Wujud kebudayaan ini bersifat konkrit karena merupakan benda-

benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan

manusia dalam masyarakat.

Kebudayaan yang dimiliki oleh setiap masyarakat adalah berbeda, tetapi

kebudayaan memiliki ciri dan sifat yang sama. Sifat itu tidak diartikan secara

spesifik melainkan suatu universal. Sifat-sifat kebudayaan memiliki ciri yang

sama bagi semua kebudayaan manusia tanpa membedakan faktor ras,

lingkungan alam atau pendidikan.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

37

G. Sumber Data dan Data

1. Sumber Data

Sumber data merupakan sumber di mana data dapat diperoleh. Menurut

sudaryanto (1993: 35) sumber data adalah hal-hal yang dapat dijadikan data dan

mampu menghasilkan data yang lengkap, benar, dan sahih. Sumber data

penelitian ini adalah sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-

alang karya Widodo Basuki yang bertemakan kebudayan masyarakat yang

terdapat nilai budaya. Dibawah ini merupakan daftar judul dari kesepuluh guritan

yang bertemakan kebudayaan.

a. Ziarah „Ziarah‟ tertanggal 13 Mei 1989

b. Tancepna Maneh „Tancapkan Lagi‟tahun 1995

c. Guritan Pari Sawuli„Puisi Padi Seikat‟ bulan Juli 1996

d. Riyayan „Lebaran‟bulan Pebuari 1997

e. Tembang Lemah Ngare „Lagu Tanah Pegunungan‟tahun 1997

f. Medhitasi Godhong Suruh „Medhitasi Daun Sirih‟ tertangal 11 Maret 2001

g. Medhitasi Alang-Alang 1„Medhitasi Alang-Alang 1‟ tahun 2001

h. Cengkir Gadhing „Cengkir Gadhing‟ tertanggal 14-20 Juli 2002

i. Dongeng Mistis tertanggal „Dongeng Mistis‟ 3 November 2003

j. Panen „Panen‟ tertanggal 3 Juli 2004

2. Data

Data yang dikumpulkan dan dianalisis berupa data primer sebagai data

utama dan data sekunder sebagai data pendukung. Data primer penelitian ini yakni

teks sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya

Widodo Basuki yang bertemakan nilai kebudayaan masyarakat Jawa sebagai

Page 38: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

38

gambaran kebiasaan hidup masyarakat jawa. Data sekunder yakni informasi lain

yang mendukung dari buku-buku teori dan penelitan terdahulu seperti banyak

tersimpan di perpustakaan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia diantaranya penelitian yang berjudul “Analisis puisi-puisi St.

Iesmaniasita” (Prapto Yuwana) pada tahun 1985 yang meneliti berdasarkan

analisis struktur untuk menemukan nilai-nilai yang terkandung dalam puisi.

Lestari Emi. 2013. Analisis Semiotik dalam Antologi Warisan Geguritan Macapat

Karya Suwardi. Skripsi. Purworejo. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan.

Bahasa dan sastra Jawa. Universitas Muhammadiyah Purworejo. 2013, dan aspek

tematis dalam geguritan karya Handaya Wibawa (Oei Tjihian Hwat) analisis

Struktur dan Semiotik tahun 2005.

H. Metode dan Teknik

1. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

deskreptif kualitatif. H.B. Sutopo (2006:48) mengemukakan bahwa penelitian

kualitatif menekankan pada makna, lebih memfokuskan pada data kualitas dengan

analisis kualitatifnya. Bogdan dan Taylor dalam Lexy J. Moleong (2007:3)

mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitan yang

menghasilkan data deskriptif dan perilaku yang dapat diamati. Metode kualitatif

yang digunakan dalam peenelitian ini dinilai sesuai dengan teori yang diterapkan

yakni semiotika sastra. Makna karya sastra sebagai tanda adalah makna

semiotikanya. Yaitu makna yang bertautan dengan dunia nyata. Bentuk penelitian

Page 39: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

39

deskriptif kualitatif diharapkan mampu memperoleh deskripsi dari objek yang

sedang diteliti yakni sepuluh guritan karya Widodo Basuki.

2. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data

ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami yang dimulai dengan menelaah

seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber (Moleong, 2007: 247) analisis

data dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga komponen yaitu reduksi data,

sajian data, dan penarikan kesimpulan (Sutopo, 2006: 94). Adapun tahapanya

sebagai berikut:

a. Reduksi Data

Reduksi data adalah merampingkan dengan memilih data yang dipandang

penting, menyederhanakan, dan mengabstrasikannya (Sangidu, 2007:73).

Analisis ini dimulai setelah mengumpulkan data-data dari struktur guritan

Medhitasi Alang-alang karya Widodo Basuki yang menggunakan struktur yang

membangun berupa ketidaklangsungan ekspresi yang meliputi penggantian

arti, penyimpangan arti dan penciptaan arti serta matriks, model dan varian.

Data yang lainnya diperoleh dari mencari refrensi dari buku, artikel dan

sebagainya yang terkait dengan masalah yang akan diangkat. Hasil dari

pencarian refrensi tersebut dijadikan sebagai data semiotika sastra. Setelah

semua data diperoleh, selanjutnya dilakukan reduksi data yang sesuai dan tepat.

b. Sajian Data

Tahap selanjutnya setelah melakukan reduksi data atu pemilihan data yaitu

penyajian data. Sajian data adalah menyajikan data secara analitis dan sintetis

dalam bentuk uraian dari data-data yang terangkat disertai dengan bukti-bukti

Page 40: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

40

tekstual yang ada (Sangidu, 2007:74). Sajian data mengenai unsur struktural

antologi guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki yang meliputi

struktur yang membangun, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan semiotika

yang diterapkan di dalam penelitian ialah pendekatan semiotika yang

menggunakan teks sastra sebagai dasar penelitian. Setelah strukturalisme di

pahami, selanjutnya menafsirkan guritan menggunakan pembacaan semiotik.

Terdapat dua proses pembacaan semiotik yaitu pembacaan heuristik dan

pembacaan hermeneutik.

c. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Tahap selanjutnya setelah melakukan proses reduksi dan sajian data yang

terkumpul adalah penarikan kesimpulan. Kesimpulan yang sudah diperoleh,

selanjutnya adalah melakukan verivikasi. Verifikasi dan simpulan adalah

melihat kembali (diverivikasi) pada catatan-catatan yang telah dibuat oleh

peneliti dan selanjutnya membuat simpulan-simpuln (Sangidu, 2007: 74).

Verifikasi dan kesimpulan adalah mengecek kembali pada catatan yang

telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya membuat kesimpulan sementara

(Sangidu, 2004:178). Melalui data strukturalisme dan pengungkapan makna

yang diperoleh maka dapat digunakan untuk mengungkapkan nilai budaya

lokal Jawa dalam guritan Medhitasi Alang-Alang karya Widodo Basuki.

Kesimpulan diperoleh secara siklus, adapun bentuknya:

Page 41: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

41

(Milles Huberman dalam H. B. Sutopo 2002:96)

3. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan data yang digunakan maka teknik pengumpulan yang

dilakukan adalah sebagai berikut.

a. Content Analysis/ Analisis

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik

content analysis atau analisis isi. Teknik analisis ini dilakukan dengan cara

membaca berulang-ulang karya sastra hingga menemukan berbagai hal yang

hendak diungkap dalam penelitian. Menurut Lexy J. Moleong (2007:163)

content analysis „analisis isi‟ merupakan prosedur baku di dalam penelitian ini

untuk menarik sebuah kesimpulan akhir yang sahih dari sumber buku, naskah

atau dokumen. Berbeda dengan studi pustaka dan telaah buku yang hanya

mengambil data, dengan content analysis setelah diambil data-data yang

diperlukan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan dari fakta-fakta maupun teori-

teori yang didapat. Melalui content analysis, data yang diperoleh berupa

struktur yang membangun sepuluh guritan dalam antologi guritan Medhitasi

Alang-Alang karya Widodo Basuki. Guritan dikaji secara cermat untuk dapat

mengambil kesimpulan mengenai data yang dapat digunakan dalam penelitian

Penyajian data Pengumpulan data

Kesimpulan Reduksi data

Page 42: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

42

ini serta point-point penting yang menjadi pokok persoalan yang kemudian

dianalisis secara struktural.

b. Teknik Wawancara

Wawancara merupakan cara untuk memperoleh data dengan percakapan,

yaitu antara pewawancara dengan yang diwawancarai (Lexy J.Moleong,

2001:135). Tujuan utama melakukan wawancara adalah; pertama, menyajikan

konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai pribadi, peristiwa,

aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan, tingkat dan bentuk

keterlibatan dan sebagainya. Kedua, untuk merekonstruksi beragam hal seperti

itu sebagai bagian dari pengalaman masa lampau. Ketiga, memproyeksikan

hal-hal itu dikaitkan dengan harapan yang bisa terjadi di masa yang akan

datang (Sutopo, 2002:58). Wawancara dilakukan dengan pengarang guritan

yaitu Widodo Basuki secara terstruktur. Kegiatan tersebut dilakukan dengan

wawancara secara mendalam (in depth interviewing) guna menggali informasi.

Penggunaan teknik ini bertujuan agar informan dapat lebih leluasa dan terbuka

dalam memberikan informasi yang dibutuhkan sehingga diperoleh data yang

lengkap mengenai objek penelitian.

c. Teknik Studi Pustaka

Penelitian dalam guritan ini juga menggunakan teknik studi pustaka, yaitu

mengumpulkan data-data dengan bangunan pustaka yang meliputi naskah, buku-

buku, skripsi dan media masa. Teknik studi pustaka ini dimaksudkan untuk

memperoleh data-data yang dapat menunjang penelitian. Data yang diperoleh

dari penelitian perpustakaan ini di jadikan pondasi dasar dan alat utama bagi

praktek penelitian.

Page 43: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

43

4. Vaditas Data

Ada empat macam teknik trianggulasi menurut Patton yang diungkapkan

Sutopo (2003: 78), yaitu (1) trianggulasi data, (2) trianggulasi peneliti, (3)

trianggulasi metode, dan (4) trianggulasi teori. Penelitian terhadap karya sastra

yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan triangulasi data. Teknik

triangulasi merupakan teknik yang didasari oleh pola pikir femenologi yang

bersifat multiperspektif, artinya untuk menarik simpulan yang mantap, diperlukan

tidak hanya satu cara pandang (Sutopo, 2003:78). Karena hal itu berkaitan dengan

hasil yang diperoleh, maka diperlukan beberapa cara pandang untuk menguji

keabsahan data agar data yang diperoleh benar-benar teruji kebenarannya. Teknik

yang digunakan dalam penelitianan ini adalah teknik triangulasi sumber data.

Teknik triangulasi sumber data dilakukan dengan cara menggali sumber yang

berupa catatan atau arsip dan dokumen yang memuat catatan yang berkaitan

dengan data yang dimaksud dan dapat berupa sumber dari informan atau

narasumber.

I. Sistematika Penulisan

Agar penelitian ini menurut pola penelitian ilmiah, maka penulisan skripsi

ini perlu dibuat dengan penulisan sistematik sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Terdiri darilatar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, Tinjauan pustaka, Kerangka Teori, Metode

Penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: PEMBAHASAN

Page 44: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalahabstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0112004_bab1.pdf · drama dan geguritan (Pardi, 1996:25). Khusus untuk pengembangan kesusastraan

44

Berisi tentang sajian data dan pembahasan dari hasil penelitian berdasarkan

hasilpembahasan mengenai Nilai Budaya Lokal Jawa dalam Antologi

guritanMedhitasi Alang-Alang.

BAB III.: PENUTUP

Berisi kesimpulan dan saran.

DAFTAR PUSTAKA

Meliputi buku-buku refrensi sebagai acuan dalam penelitian

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Meliputi riwayat hidup pengarang, bukti wawancara dengan pengarang disertai

foto, surat keterangan wawancara serta sepuluh guritan karya Widodo Basuki

dalam antologi guritan Medhitasi Alang-Alang.