bab i pendahuluan a. latar belakang...di indonesia kasus perkawinan usia dini yang terjadi pada...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Perkawinan merupakan suatu peristiwa yang sangat penting dan tak pernah terlupakan
dalam perjalanan hidup seseorang dalam membentuk dan membina keluarga sejahtera. Untuk itu
diperlukan perencanaan yang matang dalam mempersiapkan segala sesuatu yang meliputi aspek
fisik, mental, dan sosial ekonomi. Perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang merupakan
unit terkecil yang menjadi sendi dasar utama bagi kelangsungan dan perkembangan suatu
masyarakat, bangsa dan Negara.
Perkawinan pada umumnya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang pada
profesi, agama, suku bangsa, miskin atau kaya, tinggal di desa atau di kota. Namun tidak sedikit
manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik fisik maupun mental akan mencari
pasangannya sesuai dengan apa yang diinginkannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 7 ayat (1)
dinyatakan bahwa perkawinan hanya diijinkan jika pihak laki-laki sudah mencapai umur 19
tahun dan pihak perempuan sudah berumur 16 tahun. Ketentuan ini mengatur batas usia minimal
atau seseorang belum cukup umur untuk melangsungkan perkawinan, jika tidak terpenuhi maka
seseorang tidak dapat melangsungkan perkawinan. Maka perkawinan yang dilakukan dibawah
usia tersebut disebut dengan perkawinan usia dini.
Secara umum dapat dikatakan bahwa patokan minimal usia itu tergolong muda. Batasan
usia tersebut terlalu muda baik dilihat dari kondisi fisik maupun psikis, karena dengan kondisi
demikian sukar untuk merealisasikan tujuan kebahagiaan lahir dan batin sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang perkawinan.
Perkawinan usia dini dapat dilakukan apabila mendapatkan dispensasi nikah dari
Pengadilan Agama sesuai pada Pasal 7 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menyebutkan bahwa “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua
pihak pria maupun wanita”. Yang dimaksud dengan pengadilan disini adalah Pengadilan Agama
bagi mereka yang beragama Islam tentunya sesuai dengan kewenangan dan kompetensi
Peradilan Agama.
Faktor yang sering menjadi alasan pemohon dalam mengajukan permohonan dispensasi
nikah di Pengadilan Agama adalah hamil di luar nikah. Hamil di luar nikah ini merupakan
dampak dari kurangnya perhatian orang tua kepada anaknya, terutama mengenai persoalan moral
dan ajaran agama. Tanpa pernikahan yang sah anak yang akan dilahirkan nanti menjadi tidak
jelas statusnya dan akan menimbulkan dampak negatif yang akan merugikan si anak di kemudian
hari. Selain faktor hamil di luar pernikahan juga ada faktor lain yang berkaitan dengan
kebudayaan di suatu daerah yang tidak memperbolehkan anak untuk berpacaran. Maka dari itu
tidak sedikit pula anak-anak di bawah usia nikah dimintakan dispensasi kepada Pengadilan
Agama. Hal ini di lakukan oleh para orang tua untuk menghindari adanya hal-hal yang tidak
diinginkan seperti kumpul kebo.
Di Indonesia kasus perkawinan usia dini yang terjadi pada masyarakat wilayah perkotaan
yang tingkat pendidikannya rata-rata lebih tinggi, sebanyak 34,5% dari 2.049.000 perkawinan
yang terjadi setiap tahun merupakan perkawinan usia dini. Pada tahun 2011 terjadi 696.660
kasus perkawinan usia dini.1
Alasan penyebab terjadinya perkawinan usia dini juga tergantung pada kondisi dan
kehidupan social masyarakatnya. Terdapat dua alasan utama terjadinya perkawinan usia dini,
pertama, perkawinan usia dini sebagai strategi untuk bertahan secara ekonomi. Kemiskinan
adalah salah satu faktor utama yang menjadi tiang pondasi munculnya perkawinan usia dini.
Perkawinan usia dini meningkat ketika tingkat kemiskinan juga meningkat. Kedua adalah untuk
melindungi anak gadisnya. Perkawinan adalah salah satu cara untuk memastikan anak
perempuan mereka terlindungi sebagai istri, melahirkan anak yang sah dimata hukum dan akan
lebih aman jika memiliki suami yang dapat menjaga mereka secara teratur. Para orang tua tidak
menyadari bahaya yang dapat ditimbulkan apabila anak-anak ini melakukan hubungan seks usia
dini sehingga akan terjadi kehamilan dini dan penularan PMS (Penyakit Menular Seksual)
dengan seluruh permasalahan lainnya sampai mungkin terjadi pada mereka.
Bagi wanita yang berusia di bawah 17 tahun adalah usia yang dimana kondisi fisik dan
mentalnya belum siap untuk melakukan hubungan intim bahkan untuk melahirkan. Bahkan
resiko kematian tidak hanya pada ibu melainkan juga pada janin yang dikandung. Kebanyakan
kematian ibu atau janin disebabkan oleh pendarahan dan infeksi. Hal ini dikarenakan oleh organ
reproduksi yang belum siap untuk hamil.2
Seharusnya perkawinan diharapkan menjadi perkawinan yang bahagia dan kekal sesuai
dengan tujuan perkawinan dalam undang-undang perkawinan, dimana disebutkan bahwa
1 Data Laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional tentang pencapaian target tujuan pembangunan
Millenium Development Goals Indonesia tahun 2008 2 Abdi Tumanggor, “Inilah Dampak Pernikahan Dini!”, www.tribunnewsmedan.com terakhir diaskes
pada tanggal 10 Juli 2015
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seseorang pria dan wanita dengah tujuan
membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa”. Dari batasan
perkawinan tersebut jelaslah bahwa keinginan bangsa dalam hal ini Pemerintah yang dituangkan
dalam Undang-undang Perkawinan menghendaki agar setiap perkawinan dapat membentuk
keluarga yang sakinah baik lahir maupun batin. Demikian pula setiap perkawinan diharapkan
dapat membentuk keluarga yang kekal artinya tidak mengalami perceraian.3 Agar tujuan
perkawinan tersebut dapat tercapai dibutuhkan kematangan secara fisik maupun non fisik. Selain
dampak perceraian juga banyak dampak negatif lain yang dapat ditimbulkan yang diakibatkan
oleh perkawinan usia dini. Ada banyak kasus ibu muda yang meninggal dunia karena melahirkan
di usia yang masih sangat muda.
Dampak negatif selanjutnya adalah terjadinya adanya perubahan peran, yakni belum siap
menjalankan peran sebagai ibu dan menghadapi masalah rumah tangga yang seringkali melanda
kalangan keluarga yang baru menikah.
Dampak terhadap kemungkinan lemahnya perekonomian keluarga yang menikah dini
karena biasanya pasangan ini belum bekerja. Disisi pendidikan, tentunya jika menikah di usia
dini akan mengorbankan pendidikan, dimana di usia yang mungkin belum sepenuhnya lulus
SLTA/SMA.
Dampak lain dari menikah usia dini adalah dari segi kesehatan, sebab perempuan yang
menikah dibawah umur 20 tahun berisiko terkena kanker leher rahim.
Pada usia remaja sel-sel rahim belum matang, maka kalau terpapar Humam Papiloma
Virus (HPV) pertumbuhan sel akan menyimpang menjadi kanker. Semakin dini seorang
3 Imam Masykoer Ali, et.al., Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, Penerbit Direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Jakarta, 2001, hal 1
perempuan melakukan hubungan seksual semakin tinggi risiko terjadinya lesi prakanker pada
leher rahim. Hal ini disebabkan pada usia tersebut terjadi perubahan lokasi sambungan skuamo-
kolumner sehingga relative lebih peka terhadap stimulasi onkogen.4
Menurut Melva, wanita menikah dibawah usia 16 tahun biasanya 10-12 kali lebih besar
kemungkinan terjadi kanker leher rahim dibandingkan dengan mereka yang menikah di atas 20
tahun. Pada usia tersebut rahim seorang remaja putri sangat sensitive. Seviks remaja lebih rentan
terhadap stimulus karsinogenik karena terdapat proses metaplasia yang aktif, yang terjadi dalam
zona transformasi selama periode perkembangan. Metaplasia epitel skuamosa biasanya
merupakan proses fisiologis. Tetapi dibawah pengaruh karsinogen, perubahan sel dapat terjadi
sehingga mengakibatkan suatu zona transformasi yang patologik. Perubahan yang tidak khas ini
menginisiasi suatu proses yang disebut neoplasma intraepitil serviks (Cervical Intraepithelial
Neoplasia) yang merupakan fase prainvasif dari kanker leher rahim.5
Di bawah usia 18 tahun, alat-alat reproduksi perempuan masih sangat lemah. Kehamilan
di usia dini akan berisiko terhadap ibu dan bayi yang dikandungnya. Jika dia hamil, maka
akibatnya akan mudah keguguran karena rahimnya belum begitu kuat, sehingga sulit terjadi
perlekatan janin di dinding rahim. Selain itu, kemungkinan mengalami aborsi, kelainan
kehamilan, kelainan persalinan, dan berisiko terkena penularan penyakit lebih cepat. 6
Perkawinan usia dini banyak terjadi pada kelompok masyarakat miskin yang ditandai
dengan pendapatan yang rendah, kurangnya pendidikan, kurangnya kesehatan, dan kurangnya
4 Nugroho Kampono, Pernikahan Dini Tingkatkan Resiko Kanker Serviks, Kelud Raya, Semarang, 2007 5 Melva, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Kanker Serviks Pada Penderita yang Datang di
RSUP H. Adam Malik Medan, Skripsi, Universitas Sumatera Utara, 2008 6 BKKBN Jatim, Nikah Muda Berbahaya Bagi Gadis Remaja, www.jatim.bkkbn,go.id dikunjungi pada
tanggal 17 Mei 2016
aset. Menikah dini di Negara berkembang termasuk Indonesia berkaitan dengan aspek ekonomi,
pendidikan, kependudukan dan sosio kultural.
Di Kecamatan Tingkir Kota Salatiga, dari bulan September 2015 terdapat 7 kasus
perkawinan usia dini, kemudian meningkat pada bulan berikutnya yaitu pada bulan Oktober
2015 ada 9 kasus perkawinan usia dini, dan masih meningkat lagi pada bulan Desember 2015
yang mencapai 11 kasus perkawinan usia dini dan masih banyak ditemukan anak perempuan
yang berumur 14-15 tahun yang melakukan perkawinan usia dini. Sedangkan pada bulan Maret
dan Mei 2016 dari data perkawinan usia dini tahun 2015 tersebut terdapat 9 kasus perceraian di
Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir yang berasal dari perkawinan usia dini. Dari angka
tersebut menunjukan hampir setengah perkawinan usia dini berakhir dengan perceraian.7
Menurut Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir perkawinan usia dini adalah
perkawinan yang dilakukan apabila perempuan belum mencapai usia 16 tahun dan laki-laki
belum memcapai 19 tahun sesuai yang diatur pada Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
1974. Berdasarkan wawancara penulis dengan Kepala KUA Kecamatan Tingkir Salatiga bahwa
beliau mendukung program Pemerintah Kota Salatiga dalam mencegah pernikahan usia dini,
karena menurut beliau anak-anak Salatiga bisa lebih optimis dalam menatap masa depan. Namun
yang sering menjadi masalah di Kota Salatiga khususnya Kecamatan Tingkir bahwa kurangnya
pengetahuan tentang dampak-dampak negatif pernikahan usia dini. Selain itu rendahnya
kesadaran dan kemajuan diri sendiri pada remaja. Apabila usia calon mempelai belum mencapai
16 dan 19 tahun maka harus ada dispensasi dari Pengadilan Agama sesuai Pasal 7 ayat (2)
Undang-undang Perkawinan.
7 Data pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir bahwa pada tahun 2015 dan 2016
Mengingat berbagai macam dampak negatif dan banyaknya kasus perkawinan usia dini,
maka hal ini mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah, yaitu melalui beberapa instrumen,
salah satunya dengan peraturan perundang yang melarang pernikahan usia dini. Menurut Pasal
20 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi,
“Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan Perlindungan Anak”, agar di
waktu yang akan datang kasus pernikahan dini ini dapat diminimalkan atau bahkan dihilangkan.
Kemudian pada Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 11 ayat
(2) yang berbunyi “usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh Pemerintah dan atau masyarakat.
Kesejahteraan Anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin
pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.”
Hal ini dapat diartikan bahwa usaha kesejahteraan sosial anak harus dilaksanakan bersama-sama
oleh Pemerintah dan masyarakat.8 Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan
penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik
secara rohani, jasmani maupun sosial.
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam Pasal 7 ayat
(1) disebutkan bahwa” Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun”.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan
bahwa “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak
8 Endah Puspita, Peran Badan Pemberdayaan Masyarakat, Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak
dan Keluarga Berencana dalam Pemenuhan Hak Anak di Kota Surakarta,Skripsi, Universitas Negeri Solo,
2010
yan masih dalam kandungan”. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa “Perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar gapat hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Dalam Pasal 4 disebutkan bahwa ”Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Pasal 11 juga menyebutkan
bahwa “Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan
anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat
kecerdasannya demi pengembangan diri”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, memang tidak ada aturan yang secara eksplisit
dan tegas melarang pernikahan usia dini. Namun dapat disimpulkan bahwa perkawinan usia dini
adalah dilarang dan juga melanggar hak-hak anak, yang mana setiap anak berhak untuk hidup,
tumbuh, berkembang dan berpartisipasi sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, dan
juga bergaul, bermain, dengan teman sebaya, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan bakat,
minat dan tingkat kecerdasan demi pengembangan diri.
Pernyataan tersebut dipertegas oleh adanya Pasal 26 Undang-undang No 35 Tahun 2014
Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi, “(1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk: a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak; b.
menumbuhkembangkan Anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; c. mencegah
terjadinya perkawinan pada usia Anak; dan d. memberikan pendidikan karakter dan penanaman
nilai budi pekerti pada Anak. (2) Dalam hal Orang Tua tidak ada, atau tidak diketahui
keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih
kepada Keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Menurut Robert B. Seidman, untuk melihat bekerjanya hukum dalam masyarakat dapat
dilihat dari tiga elemen, yaitu: 1) lembaga pembuat peraturan; 2) lembaga pelaksana peraturan;
dan 3) pemangku peran. Tiga elemen tersebut, disebut dengan proses pembuatan hukum; proses
penegakan hukum; dan pemakai hukum, merupakan hal yang sangat penting untuk menilai
berfungsinya hukum atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Hukum diharapkan dapat
berfungsi optimal, dan bekerja dengan baik dalam masyarakat, serta harus diperhatikan secara
sungguh-sungguh.9
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang diatur pada Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai batasan usia menikah tidak sejalan dengan Undang-
undang Nomor 23 tahun 2002 jo Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan
Anak, dan Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Oleh karena itu,
Lembaga-Lembaga Pencegah Perkawinan Usia Dini Kota Salatiga bersama dengan pihak-pihak
lain berkewajiban untuk melakukan upaya pencegahan perkawinan usia dini, yang pada akhirnya
untuk mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak. Pada unsur Pemerintahan Kota
Salatiga, penulis mengkaji apakah ada peran Bapermas (Badan Pemberdayaan Perempuan dan
Anak), Kecamatan, Kelurahan, Kantor Urusan Agama dalam pencegahan pernikahan usia dini.
Karena menurut Perwali Nomor 55 Tahun 2011 Bapermas memiliki Sub Bidang Perlindungan
dan Peningkatan Kualitas Hidup Anak, dimana sudah diatur dalam Perwali Nomor 55 Tahun
9 Soetanto Soepadhy, Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat, 12 Desember 2012
www.surabayapagi.com/index.php?read=Bekerjanya-Hukum-dalam-Masyarakat, dikunjungi pada tanggal
17 Mei 2016
2011 tentang Tugas Pokok dan Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat Struktural Pasal 75 ayat (2),
bahwa tugas sub bidang Perlindungan dan Peningkatan Kualitas Hidup Anak adalah “melakukan
upaya terciptanya kesejahteraan dan perlindungan anak, melakukan hubungan kerja dengan
komponen dan instansi terkait dalam pelaksanaan kebijakan terhadap kesejahteraan dan
perlindungan anak, memfasilitasi pendampingan, advokasi, dan konseling bagi kesejahteraan
dan perlindungan anak, melaksanakan pengumpulan, pengolahan, analisis, danpenyebarluasan
sistem informasi anak.”
Hal-hal yang diatur dalam Perwali sudah sejalan dengan Undang-undang Perlindungan
Anak dan Undang-undang Kesejahteraan Anak. Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah
diuraikan di atas, memang tidak ada aturan yang secara eksplisit dan tegas melarang pernikahan
usia dini. Namun dapat dilihat bahwa pernikahan usia dini banyak memberikan dampak negatif
tehadap anak, bahkan hak-hak anak untuk hidup, tumbuh dan berkembang terancam musnah, dan
masih banyak lagi dampak negatif terhadap psikologis anak dimana anak seharusnya bergaul
dengan teman sebaya dan dapat mengembangkan diri sesuai dengan bakat dan kemauan
kemungkinan tidak terwujud. Maka dari itu pencegahan pernikahan usia dini adalah hal yang
penting untuk diperhatikan.
Oleh karena itu, dalam penulisan ini, penulis mengkaji apakah ada peran Bapermas,
Instansi-instansi di tingkat Kecamatan, atau KUA dalam upaya pencegahan pernikahan usia dini.
Disamping itu, mengingat calon mempelai yang berusia dibawah 16 dan 18 tahun harus
memperoleh dispensasi dari Pengadilan Agama, kemudian apakah ada peran pencegahan
pernikahan usia dini dari Pengadilan Agama. Maka isu-isu tersebut menjadi perhatian penulis
untuk melakukan penelitian yang dituangkan ke dalam Skripsi dengan judul “Peran Lembaga-
lembaga di Kota Salatiga dalam Pencegahan Pernikahan Usia Dini” (Studi Kasus di
Kecamatan Tingkir)”.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka penulis merumuskan masalah
untuk mempermudah pemahaman terhadap permasalahan yang akan dibahas serta untuk lebih
mengarahkan pembahasan. Adapun rumusan permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai
berikut:
1. Lembaga apa saja yang mempunyai peran dan kewenangan untuk mencegah pernikahan usia
dini?
2. Kebijakan apa saja yang dilakukan lembaga-lembaga tersebut untuk mencegah pernikahan
usia dini?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lembaga apa saja yang mempunyai
peran dan kewenangan untuk mencegah pernikahan usia dini dan kebijakan apa saja yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga tersebut dalam mencegah pernikahan usia dini.
D. MANFAAT PENELITIAN
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa:
1. Manfaat teoritis, yaitu menjadi referensi dalam pengembangan teori-teori tentang
pernikahan usia dini, pemberdayaan perempuan, harmonisasi keluarga, kesehatan
reproduksi, model pembinaan generasi muda dan pengembangan penelitian sejenis di
masa yang akan datang;
2. Manfaat praktis, yaitu memberikan masukan bagi lembaga-lembaga di Kota Salatiga
yang mempunyai peran dan kewenangan dalam upaya mencegah terjadinya
pernikahan usia muda, baik melaui penegasan dalam tugas pokok dan fungsi
ataunpun melalui kebijakan, program dan kegiatan.
3. Untuk menambah wawasan bagi pembaca dan memberikan kesadaran bagi
masyarakat untuk patuh terhadap hukum.
E. METODE PENELITIAN
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah penelitian
sosiologis hukum. Penulis menggunakan penelitian sosiologis karena yang diteliti
adalah data sekunder yang kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data
primer di lapangan atau terhadap masyarakat. Penulis meneliti efektivitas suatu
Undang-Undang dan Penelitian yang ingin mencari hubungan (korelasi) antara
berbagai gejala atau variabel sebagai alat pengumpul datanya terdiri dari studi
dokumen, pengamatan (observasi), dan wawancara (interview).10
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini, sumber data yang menjadi objek penelitian ini adalah
sumber data primer dan data sekunder.
10 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, 2005
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari obyek penelitian.
Dalam penulisan ini data primer yang digunakan adalah sample yang di peroleh
dari Pengadilan Agama dan Kantor Urusan Agama Kecamatan Tingkir Salatiga,
hasil observasi yang di peroleh dari responden yang melakukan perkawinan dini,
dan hasil wawancara yang diperoleh dari ketua Pengadilan Agama dan Kepala
Sub Bidang Perlindungan dan Peningkatan Kualitas Hidup Anak.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh melalui studi kepustakaan.
Dalam penulisan ini data sekunder terdiri dari Undang-Undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 jo Undang-
undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang
Nomor 4 Tahunn 1974 Tentang Kesejahteraan Anak, Peraturan Walikota Nomor
55 Tahun 2011 tentang Tugas Pokok dan Fungsi dan Uraian Tugas Pejabat
struktural, dan Penetapan Dispensasi oleh Hakim Pengadilan Agama.
3. Unit Amatan
Dalam penelitian ini yang menjadi unit amatan adalah Bapermas Kota
Salatiga, Pengadilan Agama Kota Salatiga, Kantor Urusan Agama Kecamatan
Tingkir, Tokoh Masyarakat, Seksi Kesejahteraan Rakyat Kecamatan Tingkir,
Masyarakat yang melakukan pernikahan dini, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 4 tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak, Peraturan
Walikota Nomor 55 Tahun 2011 tentang Tugas Pokok dan Fungsi dan Uraian Tugas
Pejabat Struktural.
4. Unit Analisis
Dalam penelitian ini yang menjadi unit analisis adalah peran lembaga-
lembaga di Kota Salatiga dalam mencegah perkawinan usia dini (Studi Kasus di
Kecamatan Tingkir).
F. SISTEMATIKA PENULISAN
1. Bab Pendahuluan
Bab pendahuluan berisi hal-hal yang melatar belakangi permasalahan yang memaparkan
isu penelitian ini, yaitu tentang pencegahan pernikahan usia dini. Terdapat rumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sitematika penulisan.
2. Bab Pembahasan
Dalam bab pembahasan akan memaparkan kerangka teori, serta pembahasan mengenai
lembaga-lemabga yang berperan dan berwenang untuk mencegah pernikahan usia dini. Dan akan
dijelaskan juga mengenai kebijakan yang berupa program dan kegiatan dari lembaga-lembaga
tersebut untuk mencegah terjadinya pernikahan usia dini.
3. Bab Penutup
Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian ini yang berisikan kesimpulan-kesimpulan yang
diambil berdasarkan hasil penelitian dan saran-saran sebagai tindak lanjut kesimpulan tersebut.