bab i pendahuluan a. latar belakang...

30
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penurunan fungsi kognitif tidak hanya dialami oleh orang lanjut usia, namun juga dialami oleh anak-anak dan usia produktif. Hal tersebut akan berakibat buruk terhadap proses belajar. Pada manusia dan tikus, terdapat korelasi antara penurunan fungsi kognitif dengan akumulasi senyawa oksidatif pada lemak, protein, asam nukleat, dan berbagai neurotransmitter sehingga terjadi penumpukan senyawa radikal dalam tubuh yang menyebabkan kerusakan oksidatif. Penelitian telah membuktikan bahwa patogenesis dari penyakit-penyakit degeneratif dan proses penuaan melibatkan pembentukan radikal bebas atau ROS. Radikal bebas merupakan senyawa yang tidak stabil dan sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit terluarnya. Untuk memperoleh pasangan elektron, suatu radikal bebas akan menyerang secara acak (Sunarno, 2009). Bagian otak yang berperan dalam proses konsolidasi memori adalah hippocampus. Akson yang terdapat pada etorhinal cortex bersinapsis dengan neuron yang terdapat pada dentate gyrus. Informasi masuk ke hippocampus dengan cara menyebrangi celah antara subiculum dan dentate gyrus yang dikenal dengan perforant path. Neuron-neuron dentate gyrus mengirim mossy fiber (akson dengan terminal bulbous yang besar dan tidak berhubungan

Upload: dangxuyen

Post on 06-Mar-2019

236 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penurunan fungsi kognitif tidak hanya dialami oleh orang lanjut usia,

namun juga dialami oleh anak-anak dan usia produktif. Hal tersebut akan

berakibat buruk terhadap proses belajar. Pada manusia dan tikus, terdapat

korelasi antara penurunan fungsi kognitif dengan akumulasi senyawa oksidatif

pada lemak, protein, asam nukleat, dan berbagai neurotransmitter sehingga

terjadi penumpukan senyawa radikal dalam tubuh yang menyebabkan

kerusakan oksidatif.

Penelitian telah membuktikan bahwa patogenesis dari penyakit-penyakit

degeneratif dan proses penuaan melibatkan pembentukan radikal bebas atau

ROS. Radikal bebas merupakan senyawa yang tidak stabil dan sangat reaktif

karena mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbit

terluarnya. Untuk memperoleh pasangan elektron, suatu radikal bebas akan

menyerang secara acak (Sunarno, 2009).

Bagian otak yang berperan dalam proses konsolidasi memori adalah

hippocampus. Akson yang terdapat pada etorhinal cortex bersinapsis dengan

neuron yang terdapat pada dentate gyrus. Informasi masuk ke hippocampus

dengan cara menyebrangi celah antara subiculum dan dentate gyrus yang

dikenal dengan perforant path. Neuron-neuron dentate gyrus mengirim mossy

fiber (akson dengan terminal bulbous yang besar dan tidak berhubungan

2

dengan cerebrum) ke CA3. Informasi kemudian diteruskan akson Schaffer

collateral ke CA1 yang kemudian mengirimkan serabut lain ke subiculum.

Informasi direspon sebagai output dari hippocampus serta dapat mengirim

informasi ke hipothalamus dan korpus mamilar melalui forniks atau

meneruskan informasi kembali ke etorhinal cortex. Etorhinal cortex

menyampaikan semua informasi ke korteks sensoris. Pada dasarnya terjadi

aliran yang berlanjut dimulai dari korteks sensoris hippocampus (loop-the-

loop) dan kembali ke korteks sensoris (Molavi, 1997).

Konsentrasi antioksidan yang rendah menyebabkan jaringan otak lebih

rentan terhadap kerusakan akibat adanya stres oksidatif. Hippocampus dan

cerebelum merupakan bagian otak yang paling rentan mengalami kerusakan

karena memiliki kapasitas antioksidan paling rendah (Henderson et al., 1999).

Hal ini memunculkan berbagai usaha untuk mencegah stres oksidatif pada

otak. Salah satunya adalah dengan mengkonsumsi suplemen yang terbukti

mampu meningkatkan kapasitas memori. Masyarakat sekarang ini cenderung

mengikuti tren back to nature sehingga penggunaan suplemen herbal banyak

diminati. Hal ini disebabkan karena anggapan masyarakat bahwa obat herbal

memiliki efek samping yang lebih sedikit. Oleh sebab itu, diperlukan penelitian

mengenai efek obat herbal, baik efek terapetiknya maupun toksisitasnya.

Brotowali merupakan tanaman yang mudah ditemukan di Indonesia.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa brotowali mempunyai efek

farmakologi sebagai antioksidan, antihiperglikemik, antineoplastik, antistres,

antidot, antispasmodik, antipiretik, antialergi, antiinflamasi, antihiperlipidemia,

3

dan juga sebagai imunomodulator (Sharma et al., 2010). Dua et al., (2009)

menyebutkan bahwa brotowali telah dikenal lama untuk meningkatkan

learning dan memori dalam pengobatan tradisional di India. Uji farmakologi

dan penelitian klinis menyatakan bahwa ekstrak air akar brotowali

meningkatkan kemampuan verbal selama 21 hari (Bairy, 2004). Penelitian lain

menyebutkan bahwa brotowali mampu meningkatkan intelegensi pada anak-

anak yang mengalami retardasi mental dan gangguan perilaku (Singh et al.,

2003).

Senyawa aktif yang diduga berperan dalam meningkatkan memori adalah

flavonoid. Flavonoid merupakan antioksidan alami yang terdapat dalam

tanaman. Flavonoid diketahui dapat menghambat radikal oksigen dengan cara

mendonorkan atom hidrogen atau elektron kepada radikal bebas. Penelitian

Suryani (2010) menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari flavoinoid pada

batang brotowali paling tinggi terdapat dalam fraksi etil asetat. Sehingga,

dalam penelitian ini digunakan fraksi etil asetat batang brotowali untuk

mengetahui efek neuroprotektifnya. Efek neuroprotektif ditunjukkan oleh

peningkatan memori dan fungsi kognitif, serta kepadatan sel piramidalis CA1

hippocampus.

4

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka dapat dirumuskan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana pengaruh pemberian fraksi etil asetat batang brotowali terhadap

peningkatan memori dan fungsi kognitif pada mencit serta pengaruhnya

terhadap profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus?

2. Bagaimana pengaruh variasi dosis yang diberikan terhadap peningkatan

memori dan fungsi kognitif mencit setelah diberi shock listrik berdasarkan

metode passive avoidance test?

3. Bagaimana korelasi antara tampilan memori mencit dengan profil histologi

lamina piramidalis CA1 hippocampus mencit setelah diberi shock listrik dan

fraksi etil asetat batang brotowali?

C. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai efek

fraksi etil asetat batang brotowali di bidang neurofarmakologis dan menjadi

terapi alternatif dalam mencegah penurunan memori dan fungsi kognitif. Selain

itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat berupa :

1. Diperoleh informasi mengenai efek fraksi etil asetat batang brotowali untuk

meningkatkan memori dan fungsi kognitif melalui pemberian shock listrik

pada passive avoidance test serta profil histologi lamina piramidalis CA1

hippocampus.

5

2. Diperoleh informasi mengenai pemberian dosis yang esensial sebagai dasar

ilmiah pemberian brotowali kepada manusia.

D. Tujuan Penelitian

Pengaruh brotowali terhadap fungsi farmakologis telah banyak diketahui.

Namun, belum terdapat pengkajian mengenai efek fraksi etil asetat batang

brotowali. Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengkaji pengaruh pemberian fraksi etil asetat batang brotowali terhadap

peningkatan memori dan fungsi kognitif pada mencit dan pengaruhnya

terhadap profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus.

2. Membandingkan pengaruh variasi dosis yang diberikan terhadap

peningkatan memori dan fungsi kognitif mencit setelah diberi shock listrik

berdasarkan metode passive avoidance test.

3. Mengetahui korelasi antara tampilan memori mencit dengan profil histologi

lamina piramidalis CA1 hippocampus mencit setelah diberi shock listrik dan

pemberian fraksi etil asetat batang brotowali.

6

E. Tinjauan Pustaka

1. Brotowali

a. Taksonomi

Klasifikasi tanaman brotowali dalam kategori taksa adalah sebagai

berikut :

Divisi : Spermatophyta

Sub divisi : Angiospermae

Kelas : Dicotyledonae

Suku : Menispermaceae

Marga : Tinospora

Jenis : Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook.f. & Thoms.

(Backer dan Brink, 1965)

Gambar 1. Brotowali (Tinospora crispa (L.) Miers ex Hook.f. & Thoms)

(Praman et al., 2011)

Sinonim dari tanaman brotowali adalah Cocculus crispus DC,

Cocculus cordifolius Walp., Cocculus villosus DC., Menispermum crispum

7

Linn., Menispermum tuberculatum Lamk, Menispermum verrucosum flem,

Menispermum rimosum Blanco, Tinospora cordifolia F.-Vill., Tinospora

rumphii Boerl, Tinospora perculata Beumee, Tinospora tuberculatum

Lamk. (Dweck dan Cavin, 2007; Heyne, 1987; Sudarsono et al., 2006).

Di daerah Jawa, tanaman brotowali dikenal sebagai antawali,

putrawali, daun gadel, dan bratawali. Di Sunda, Nusa Tenggara, Bali, dan

Madura, disebut dengan antawali (Depkes, 1978).

b. Morfologi tumbuhan

Perdu memanjat, tinggi batang sampai 2,5 cm, berkutil-kutil yang

rapat, pepagannya mudah terkelupas. Daun tunggal, bertangkai, tersebar,

panjang sampai 16 cm, bentuknya seperti jantung atau agak membundar

telur tapi berujung runcing, lebar 6 cm sampai 13 cm. Daun menebal pada

pangkal dan ujung. Perbungaan majemuk, berbentuk tandan semu dengan 1

sampai 3 bunga bersama – sama, menggantung panjang 7 cm sampai 25 cm.

Bunga (jantan) bergagang pendek 3 mm sampai 4 mm, kelopak 6, hijau,

panjang lebih kurang 3,5 cm, daun mahkota 3, panjang lebih kurang 8 mm.

Buah berupa buah batu, kecil, dan berwarna hijau. Akar tunggang berwarna

putih kotor (Depkes, 1978; BPOM, 2008).

c. Ekologi

Brotowali tersebar di daerah tropis dan sub tropis, seperti Afrika,

Madagaskar, Asia yang tersebar hingga ke Australia dan Pasifik. Tumbuh di

hutan, semak, dan pagar hingga ketinggian 1.000 dpl (BBPPTOOT, 2010).

8

d. Budidaya

Brotowali mudah diperbanyak dengan stek batang yang biasanya

memanjat melingkari tumbuhan lain. Tanaman ini memerlukan pohon

sandaran sebagai tumpuan untuk memanjat ke atas (Depkes, 1978).

e. Kandungan kimia

Daun dan batang brotowali mengandung zat pahit berupa alkaloid,

saponin, tanin, polifenol, pati, dan glikosida, sedangkan batangnya

mengandung flavonoid (Depkes, 1978).

Alkaloid yang terdapat dalam brotowali antara lain aporfin, berberin,

N-asetilnornusiferin, N-formil-annonian, N-formil-nornusiferin, dan

palmatin. Alkaloid berberin hanya ditemukan pada akar tetapi tidak

ditemukan pada daun dan batang (Sudarsono et al., 2006).

Kandungan brotowali adalah flavonoid antara lain diosmetin, apigenin

O-glikosida (apiin) dan pikroretosida. Glikosida yang terkandung dalam

brotowali yaitu kolumbin, tinokrisposid, dan pikroretosida. Komponen

alifatik berupa oktakosanol, heptakosanol, nonakosan-15-on. Komponen

lain yang terkandung dalam brotowali berupa senyawa fenolik antara lain

3,(α- 4 - dihidroksi - 3 - metoksi - benzil) - 4 - (4 - hidroksil - 3 - metoksi -

benzil) tetrahidrofuran, jatrorrihizin, tinosporidin, kordifol, kordifelon,

giloin, giloinin, N-cis-feruloiltiamin, N-trans-feruloiltiamin, dan

sekoisolarisiresinol (fenil propanoid). Sedangkan komponen steroid terdiri

dari giloinsterol, β-sitosterol, δ-sitosterol, 20-α-hidroksi ekdison, 20β-

9

hidroksi ekdison, ekdisteron, dan makisteron A. (Ling et al., 2009;

BBPPTOOT, 2010; Singh et al., 2003; Dweck dan Cavin, 2007).

Apigenin merupakan antioksidan, antialergenk, dan antivirus. N-cis -

feruloiltiramin, N-trans-feruloiltiramin, dan sekoisolarisiresinol yang

diisolasi dari ekstrak dikloretan memiliki aktivitas antioksidan berdasarkan

metode β-karoten-linoleat. Isolat bergenin dari ekstrak etanol batang

brotowali memiliki aktivitas sebagai penangkap radikal bebas (Dweck dan

Cavin, 2007). Berdasar penelitian Chantong et al. (2008) ekstrak etanolik

batang brotowali memiliki aktivitas antioksidan dengan IC50 0,141±0,033

mg/ml pada uji penangkapan radikal 2,2-Difenil-1-Pikrilhidrazil (DPPH).

f. Efek farmakologi

Brotowali telah lama dikenal sebagai tanaman obat tradisional.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa brotowali memiliki efek

sebagai antioksidan, antihiperglikemik, antineoplastik, antistres, antidot,

antispasmodik, antipiretik, antialergi, antiinflamasi, antihiperlipidemia, dan

juga sebagai imunomodulator (Sharma et al., 2010).

Tiap-tiap bagian dari tanaman brotowali mempunyai efek farmakologi

yang luas. Batang brotowali dapat dimanfaatkan untuk merangsang sekresi

getah empedu, menyembuhkan penyumbatan pada saluran empedu, serta

mengatasi penyakit infeksi saluran kemih dan saluran pernapasan bagian

atas (Vedavathy dan Rao, 1991). Ekstrak air batang brotowali digunakan

untuk mengatasi penyakit kulit (Aiyer dan Kolammal, 1963). Akar dan

batang brotowali dapat digunakan sebagai antidotum pada gigitan ular dan

10

sengatan kalajengking (Zhao et al., 1991). Pemberian ektrak metanolik

brotowali diketahui dapat menurunkan kadar glukosa darah pada tikus

(Rajalakshmi et al., 2009).

Daun dan batang brotowali mempunyai aktivitas hepatoprotektif.

Keduanya dapat menurunkan kadar enzim super oxide dismutase (SOD) dan

enzim katalase. Selain itu, juga mampu meningkatkan kadar aspartate

aminotransferase (AST), alanine aminotransferase (ALT), alkaline

phosphatase (ALP), dan acid phosphatase (ACP) (Sharma dan Pandey,

2010). Ekstrak air tanaman brotowali dapat menurunkan kadar kolesterol

dalam serum dan menurunkan HDL pada level normal. Selain itu, ekstrak

air, ekstrak metanolik, dan ekstrak metilen klorida mempunyai manfaat

sebagai antineoplastik dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai agen ko-

kemoterapi (Jagetia et al., 1998). Ektrak kental batang brotowali mampu

meningkatkan sistem imun dengan cara meningkatkan jumlah leukosit dan

sifat fagositasi sel. Selain itu, ekstrak kental batang brotowali juga

mempuyai aktivitas sebagai antiinflamasi yang kemudian dikembangkan

untuk pengobatan rheumatoid arthritis (Sharma et al., 2010).

2. Ekstraksi dan fraksinasi

Ekstraksi atau penyarian adalah kegiatan penarikan atau pemindahan

zat yang dapat larut dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair.

Faktor yang mempengaruhi penyarian adalah kecepatan difusi zat yang larut

melalui lapisan – lapisan batas antara cairan penyari dengan bahan yang

11

mengandung zat tersebut. Dalam suatu simplisia terkandung banyak bahan

aktif dengan struktur kimia berbeda-beda sehingga mempengaruhi

kelarutannya. Cairan penyari yang digunakan akan masuk ke dalam rongga

sel yang mengandung zat aktif dan zat aktif yang larut dengan penyari akan

keluar dari sel akibat perbedaan konsentrasi di dalam dan di luar sel.

Peristiwa itu terjadi secara berulang hingga terjadi kesetimbangan antara

larutan di dalam dan di luar sel (Depkes, 1986).

Salah satu metode ekstraksi adalah sokhletasi. Sokhletasi digunakan

untuk menyari bahan-bahan yang terdapat dalam jumlah kecil dalam

tanaman. Kelebihan metode ini antara lain membutuhkan pelarut yang lebih

sedikit, ekstrak langsung terpisah dari sampel, dan waktu yang dibutuhkan

sebentar. Kekurangannya adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa

termolabil. Sampel diletakkan di dalam kantung ekstraksi (kertas saring atau

karton) dan dimasukkan pada alat sokhlet. Wadah gelas yang mengandung

kantung diletakkan di antara labu suling dan suatu pendingin balik dan

dihubungkan dengan pipa. Labu tersebut kemudian diberi pelarut.

Pemanasan akan menyebabkan pelarut menguap. Uap yang terbentuk

kemudian diembunkan oleh pendingin udara membentuk tetesan-tetesan dan

terkumpul kembali bila melewati batas lubang sirkulasi. Sirkulasi terjadi

secara berulang sehingga penyarian lebih baik (Silvia et al., 1998).

Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi

zat aktif dari simplisia nabati atau hewani yang kemudian semua atau

hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa

12

diperlakukan sedemikian rupa sehingga memenuhi baku yang telah

ditetapkan (Depkes, 1995). Untuk mendapatkan senyawa yang diharapkan,

perlu dilakukan pemisahan dan pemurnian. Mengingat ada banyak senyawa

kimia yang terkandung dalam tanaman. Tujuan pemisahan dan pemurnian

adalah menghilangkan atau memisahkan senyawa yang tidak dikehendaki

semaksimal mungkin tanpa berpengaruh pada kandungan senyawa yang

dikehendaki, sehingga didapatkan ekstrak yang lebih murni (Depkes, 2009).

3. Antioksidan dan stres oksidatif

Senyawa antioksidan memainkan peranan penting dalam mengatasi

pengaruh buruk radikal bebas. Antioksidan merupakan senyawa yang

mampu menghilangkan, menangkap, menahan pembentukan ataupun

meniadakan efek spesies oksigen reaktif (Lestariana, 2003).

Berdasar fungsi mekanismenya dalam tubuh, antioksidan dapat

digolongkan ke dalam antioksidan pencegahan, penangkapan radikal,

perbaikan dan de novo serta antioksidan adaptasi. Pada antioksidan

pencegahan, proses pertahanan tubuh dilakukan dengan menekan

pembentukan oksigen reaktif dan spesies nitrogen (ROS/RNS), misalnya

dengan mereduksi hidrogen peroksida, lipid hidroperoksida, dan lipid

hidroksida, atau menginaktivasi ion metal. Antioksidan yang termasuk

golongan ini adalah enzim SOD, katalase, glutation peroksidase, ferritin,

selenoprotein, dan katekin (Benzie, 2003). Antioksidan penangkap radikal

seperti kerotenoid, fenolik, dan amina aromatik bekerja dengan cara

13

menekan inisiasi maupun memutus propagasi rantai radikal sehingga dapat

menghilangkan spesies aktif tersebut menyerang molekul biologis penting.

Antioksidan perbaikan merupakan enzim untuk memperbaiki kerusakan

fungsi biologis serta membersihkan sampah hasil reaksi oksidan dan

antioksidan, misalnya enzim proteolitik dan enzim perbaikan DNA. Fungsi

mekanisme adaptasi mempunyai peran sebagai pembawa pesan sinyal

kepada sel untuk memproduksi dan mengatur level antioksidan dalam tubuh

(Niki et al., 1995).

Antioksidan dapat dibedakan menjadi antioksidan alami dan sintetik

berdasar sumber perolehannya. Antioksidan alami dapat berupa komponen

fenolik (flavonoid, asam fenolat, dan tanin), komponen yang mengandung

nitrogen (alkaloid, derivat klorofil, asam amino, peptida, dan amina),

karotenoid, tokoferol, serta asam askorbat dan derivatnya (Velioglu et al.,

1998 cit Amarowicz et al., 2004). Antioksidan alami mampu membantu

menjaga kesehatan dan memproteksi tubuh dari penyakit, misalnya penyakit

jantung koroner dan kanker (Kumaran dan Karunakaran, 2007). Antioksidan

sintetik mempunyai efektifitas yang tinggi, namun kurang aman bagi

kesehatan. Contoh antioksidan sintetik antara lain butil hidroksi anisol

(BHA), butil hidroksi toluen (BHT), propil galat (PG), dan tert-butil

hidrokuinon (TBHQ) (Yanishlieva-Maslarova, 2001).

Senyawa fenolik diketahui dapat menghambat radikal oksigen dengan

cara mendonorkan atom hidrogen atau elektron kepada radikal bebas.

Fenolik alam dapat menghambat oksidasi lipid dan dekomposisi

14

hidroperoksida baik dalam makanan maupun jaringan hidup (Wettasinghe

dan Shahidi, 1999). Berdasar penelitian Suryani (2010), batang brotowali

diketahui mengandung senyawa fenolik seperti flavonoid dan kumarin.

Fraksi etil asetat dari batang brotowali memiliki aktivitas antioksidan

tertinggi dimana pada konsentrasi 200 µg/mL sudah mampu menangkap

53,57 % radikal DPPH.

Spesies oksigen reaktif (ROS) secara alamiah diproduksi oleh tubuh

melalui metabolisme sel. ROS merupakan senyawa turunan oksigen yang

lebih reaktif dibandingkan oksigen dalam bentuk triplet (diradikal). Pada sel

yang normal, terdapat kesetimbangan antara produksi ROS dengan

pertahanan oleh antioksidan. Stres oksidatif terjadi apabila terjadi

ketidakseimbangan yang diakibatkan oleh produksi ROS yang berlebihan

atau kurangnya mekanisme pertahanan antioksidan intraseluler (Pizarro,

2009).

Kepekaan sistem saraf terhadap stres oksidatif disebabkan oleh

metabolisme, struktur molekul, dan kandungan senyawa metabolik yang

berperan secara fisiologis. Ketiga komponen tersebut secara bersamaan

maupun terpisah akan meningkatkan pembentukan ROS dan menurunkan

kapasitas antioksidan. Dibandingkan dengan organ lain, otak merupakan

organ yang lebih rentan terhadap stres oksidatif. Hal ini berkaitan dengan

tingginya aktivitas metabolisme oksidatif dan derajat pembentukan ROS.

Tingginya aktivitas metabolisme tersebut disebabkan oleh penggunaan 20%

oksigen oleh sel otak manusia. Pada keadaan tersebut, sebanyak 5% dari

15

oksigen yang dikonsumsi tereduksi tidak sempurna pada saat fosforilasi

oksidatif di otak. Reduksi tidak sempurna dari oksigen tersebut akan

menghasilkan senyawa turunan oksigen yang bersifat radikal atau

nonradikal. Di sisi lain, sistem saraf memiliki struktur molekul dengan

kandungan asam lemak tak jenuh dan besi yang sangat tinggi. Hal ini

menyebabkan sistem saraf peka terhadap peroksidasi lipid. Senyawa

metabolik yang dihasilkan otak turut memegang peranan terjadinya stres

oksidatif. Otak mengandung metal transisi dengan kadar yang tinggi,

misalnya besi. Besi mempunyai kemampuan untuk mengkatalisis reaksi

pembentukan radikal yang reaktif. Tingginya kandungan besi sangat

berperan dalam perkembangan otak. Akan tetapi apabila terjadi cidera otak,

ion besi akan dilepaskan. Pelepasan ion besi dapat memicu stres oksidatif

akibat adanya daya katalisator besi. Bagian tertentu pada otak juga kaya

katekolamin yang sangat potensial membentuk ROS. Adrenalin,

noradrenalin, dan dopamin secara spontan mengalami autooksidasi

membentuk ROS atau termetabolisme oleh enzim endogen, misalnya mono

amine oksidase (MAO), menjadi produk radikal (Fachir et al., 2005).

Etanol merupakan salah satu senyawa yang telah banyak dikenal dapat

menimbulkan efek neurotoksik yang dapat menginduksi apoptosis neuron

otak akibat peningkatan stres oksidatif (Heaton et al., 2000). Etanol yang

masuk ke dalam tubuh akan dioksidasi menjadi asam asetat. Proses oksidasi

etanol utamanya terjadi di hepar. Selain itu, oksidasi etanol juga terjadi di

otak (Zakhari et al., 2006). Oksidasi etanol akan menghasilkan asetaldehid.

16

Produksi asetaldehid oleh enzim katalase (dalam komponen internal sel

dikenal dengan peroksisom) dibantu oleh hidrogen peroksida (H2O2). Enzim

sitokrom P450 2E1 terdapat dalam sel otak khususnya pada retikulum

endoplasma halus (mikrosom). Alkohol dehidrogenase (ADH) merupakan

enzim yang terdapat dalam sitosol. Enzim aldehid dehidrogenase (ALDH)

terdapat dalam mitokondria dan sitosol yang akan mengubah asetaldehid

menjadi asam asetat (Deitrich et al., 2006).

Gambar 2. Jalur Oksidatif Metabolisme Etanol

(Zakhari, 2006)

Kerusakan akibat etanol pada otak dewasa menyebabkan defisit

kognitif seperti gangguan belajar dan memori (Butterfield et al., 1999). Hal

ini disebabkan adanya stres oksidatif yang menginduksi terbentuknya

radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel (Heaton et al.,

2000). Paparan etanol yang secara kronis akan mengakibatkan kerusakan

sistem saraf pusat, seperti frontal lobe, sistem limbik, thalamus,

hipothalamus, formasio hippocampus, neocortex, dan sistem

neurotransmitter. Lesi pada hippocampus, frontal lobe, dan sistem limbik

17

menyebabkan gangguan proses belajar dan memori jangka pendek

(Lundqvist et al., 1995; Oscar-Breman dan Marinkovic, 2003).

4. Fungsi kognitif dan memori

Neisser (1976) mengemukakan bahwa kognitif adalah aktivitas

mengetahui, memperoleh, mengorganisasi, dan menggunakan pengetahuan.

Sedangkan menurut Shaffer (1989), yang diartikan dengan perkembangan

kognitif adalah perubahan yang terlihat pada kemampuan dan keterampilan

mental pada selang waktu tertentu, secara khusus perubahan yang timbul

pada kegiatan mental seperti perhatian, persepsi, belajar, berpikir, dan

mengingat.

Dua fungsi penting dari sistem saraf antara lain proses belajar dan

memori. Proses belajar atau learning dapat diartikan sebagai modifikasi

yang permanen dari perilaku yang terjadi sebagai akibat dari latihan,

pengalaman, dan observasi. Sedangkan memori dapat diartikan sebagai

kemampuan untuk menerima informasi dan mengubah perilaku sesuai

dengan kondisi lingkungan. Memori merupakan kemampuan seseorang

untuk menyimpan dan menggunakan kembali pengetahuan yang telah

dipelajari sebelumnya secara sadar (Jared, 2010).

a. Klasifikasi memori

Klasifikasi memori secara umum berdasarkan aspek temporal atau

waktu dibagi menjadi tiga macam yaitu memori jangka pendek, jangka

menengah, dan jangka panjang. Memori jangka pendek adalah memori yang

berlangsung beberapa detik atau paling lama beberapa menit dan bertahan

18

selama seseorang terus-menerus memikirkan informasi tersebut. Memori

jangka menengah yaitu memori yang berlangsung selama beberapa hari

hingga beberapa minggu tetapi kemudian menghilang. Percobaan

menunjukkan memori jenis ini merupakan hasil dari perubahan fisik atau

kimiawi atau keduanya yang bersifat sementara, baik pada terminal sinaps

presinaptik atau pada membran sinaps postsinaptik. Sedangkan memori

jangka panjang merupakan memori yang sekali disimpan, dapat diingat

kembali selama bertahun-tahun kemudian atau bahkan seumur hidup.

Memori jangka panjang merupakan hasil dari perubahan struktural pada

sinaps-sinaps yang memperkuat penghantaran sinyal (Guyton dan Hall,

2005).

Memori jangka panjang selanjutnya dibagi lagi menjadi dua, yaitu

memori deklaratif dan memori non deklaratif. Memori deklaratif adalah

ingatan yang meliputi beragam detail yang digunakan dalam kehidupan

sehari-hari. Selanjutnya, memori deklaratif terbagi dalam memori episodik

yaitu memori yang spesifik seperti peristiwa tertentu dan memori semantik

yaitu memori mengenai perbendaharaan kata dan pengetahuan mengenai

dunia. Memori deklaratif dapat digunakan kembali secara sadar, relatif

mudah dibentuk dan dilupakan. Pembentukan memori episodik

berhubungan langsung dengan fungsi lobus temporalis medialis (khususnya

hippocampus) dan neocortex, sedangkan pembentukan memori semantik

berhubungan dengan area asosiasi korteks (Troster,1998).

19

Sedangkan memori non deklaratif adalah memori yang berhubungan

dengan keterampilan seseorang dan terbagi menjadi procedural memory

(keterampilan dan perilaku), priming, conditioning, dan nonassociative

memory, yang masing-masing secara berurutan berhubungan dengan

striatum, neocortex, amygdala, dan reflex pathway (Gluck dan Myers, 2001;

Bear et al., 2007).

Jenis memori lainnya yang dikenal adalah working memory atau

memori aktif. Working memory merupakan kemampuan untuk mengolah

informasi yang sedang berlangsung dalam waktu tertentu. Working memory

digunakan selama pemikiran intelektual dan berakhir jika permasalahan

sudah terselesaikan. Sebagai contohnya adalah mengingat rute jalan yang

pernah dilalui sebelumnya atau berdasar informasi yang baru saja diterima.

Working memory tidak hanya penting sebagai kemampuan memori dasar,

namun juga sebagai dasar untuk proses kognitif yang lebih kompleks,

misalnya pengambilan keputusan dan penyelesaian masalah. Working

memory dapat menjadi memori jangka panjang apabila dilatih dan diulang

sehingga menjadi memori yang lebih stabil (Baddeley et al., 2002).

Memori spasial termasuk dalam jenis memori episodik karena

berkaitan dengan ruang dan tempat, serta termasuk dalam memori jangka

pendek apabila dilihat dari sisi waktu. Memori jangka pendek yang

dimaksudkan adalah memori yang harus diaktivasi melalui recall menjadi

sebuah memori aktif atau working memory yang berlangsung selama

20

beberapa detik hingga menit sesuai dengan keinginan dan kebutuhan

individu (Budson dan Price, 2005).

b. Pembentukan memori

Memori disimpan sebagai akibat pengalaman fisiologis sebagai respon

dari neuron. Memori tidak disimpan dalam sel otak. Memori ada karena

penjalaran sinaptik diantara neuron. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya

aktivitas neuron dalam membentuk alur sinaptik baru atau adanya

modifikasi terhadap alur sinaptik yang telah ada sebelumnya pada sinaps

yang dikenal sebagai memory traces (Guyton dan Hall, 2008). Perubahan

yang terjadi pada alur sinaptik neuron yang terjadi berkaitan dengan

pengalaman atau kebiasaan yang didapat disebut dengan plastisitas (Byrne

dan Roberts, 2004). Proses pembentukan memori sangat bergantung pada

perubahan pola sinaps yang dipercaya mampu mengubah dan memperkuat

koneksi antar neuron (Hergenhahn dan Olson, 2008; Lynch, 2004). Memori

dapat mengalami habituasi atau sensitisasi. Proses habituasi atau inhibisi

sinapsis terjadi jika informasi yang didapat tidak memberikan akibat dan

merupakan tipe ingatan negatif. Sedangkan proses sensitisasi atau fasilitasi

sinapsis terjadi jika informasi yang didapat memberikan efek seperti rasa

nyeri atau rasa senang atau informasi dalam pembelajaran yang merupakan

ingatan positif. Regio limbik (bagian amigdala) pada basal otak dianggap

berperan untuk menentukan apakah informasi dianggap penting atau tidak

(Guyton dan Hall, 2008).

21

Bliss dan Lomo (1973) menemukan proses learning secara

neurobiologi dan neurokimiawi dengan mengamati adanya transmisi

berfrekuensi rendah yang diikuti oleh stimulasi berfrekuensi tinggi pada

presinaptik serat input hippocampus yang menghasilkan transmisi

berkepanjangan (Pinel, 2009). Sedangkan Vanderwolf et al. (1975)

mengamati serangkaian transmisi berfrekuensi rendah secara internal pada

presinaptik perforant path dan mempengaruhi sel-sel di sekitar gyrus

dentatus saat tikus mempelajari lingkungan baru (Hergenhahn dan Olson,

2008). Fenomena ini dikenal dengan long-term potentiation (LTP) karena

potensiasinya bisa berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam dengan

frekuensi 100 Hz per detik. Selain itu, juga dikenal adanya long-term

depression (LTD) yaitu aktivitas sinaptik yang dapat menurunkan kekuatan

sinaptik, dengan frekuensi 1 Hz per detik (Hudmon, 2005). LTP dan LTD

merupakan plastisitas sel saraf.

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pembentukan memori

melibatkan dua macam reseptor glutamat, yaitu N-methyl-D-aspartate

receptor (NMDAR) dan α-amino-3-hydroxy-5-methyl-4-isoxazole propionic

acid receptor (AMPAR). Kanal ion kalsium yang terdapat pada reseptor

NMDA diblok oleh ion magnesium pada keadaan istirahat. Sehingga,

apabila ada glutamat yang dilepaskan ion kalsium tidak dapat memasuki

neuron pascasinaptik. Sedangkan reseptor AMPA memiliki kanal natrium.

Kedua reseptor tersebut memfasilitasi influks ion kalsium yang merupakan

second messenger untuk mengaktifkan protein-protein kinase pada dendrit

22

pascasinaptik. Keduanya terletak pada permukaan neuron pascasinaptik di

sel-sel piramidal hippocampus (Saladin, 2003; Li dan Tsien, 2009).

LTP dapat terjadi selama stimulasi berfrekuensi tinggi dalam periode

singkat. LTP terdiri dari dua fase, yaitu fase induksi dan fase maintenance.

Fase induksi berlangsung selama 1-20 detik serta sangat bergantung

terhadap voltase dan NMDA. Stimulasi frekuensi tinggi pada membran

pascasinaptik akan menginduksi Schaffer collateral pada hippocampus

untuk melepaskan glutamat. Glutamat yang dilepaskan akan berikatan

dengan reseptor AMPA sehingga kanal natrium terbuka. Natrium akan

memasuki neuron pascasinaptik. Apabila ambang batas tercapai, terjadi

depolarisasi lokal yang mengakibatkan terlepasnya ion magnesium dari

reseptor NMDA. Hal ini memungkinkan glutamat berikatan dengan reseptor

NMDA dan mengakibatkan terbukanya kanal kalsium. Influks kalsium akan

mengaktivasi protein kinase pascasinaptik. Ion kalsium akan berikatan

dengan calmoduline dan mengaktifkan CAM kinase II serta adenylate

cyclase. Kedua protein tersebut akan memodulasi protein-protein yang

berperan dalam perubahan sinaps misalnya cAMP, MAP kinase, dan PKA.

Aktivasi reseptor NMDA akibat adanya perubahan voltase dan ikatan

dengan glutamat dapat menginduksi pembentukan LTP (Kandel et al., 2000;

Lynch, 2004; Hammond, 2008; Li dan Tsien 2009).

Fase maintenance berguna untuk menjaga voltase dan

keberlangsungan LTP. Pada fase ini, neuron mengeluarkan beberapa

senyawa retrograde messenger, seperti asam arakhidonat dan nitrit oksid

23

(NO). Senyawa-senyawa tersebut berperan untuk meningkatkan

pengeluaran glutamat dan menurunkan re-uptake glutamat oleh sel glial

(Bliss dan Collingridge, 1993).

Gambar 3. Mekanisme Induksi Long-term Potentiation dan Long-term Depression

(Hudmon, 2005)

LTD terjadi pada stimulasi frekuensi rendah untuk periode yang

panjang. Stimulasi frekuensi rendah menyebabkan neuron pascasinaptik

mengalami peningkatan ion kalsium, namun konsentrasinya jauh di bawah

LTP. Protein fosfatase pascasinaptik teraktivasi dan menyebabkan

internalisasi reseptor NMDA sehingga menurunkan sensitivitas terhadap

glutamat. LTD pada hippocampus berfungsi untuk mengembalikan sinapsis

yang telah mengalami LTP ke level normal sehingga informasi baru dapat

disimpan (Hudmon, 2005; Bear et al., 2007).

c. Hippocampus

Hippocampus terletak bilateral di dalam lobus temporalis medialis dan

berperan penting pada memori jangka panjang dan navigasi spasial.

Hippocampus merupakan bagian dari sistem limbik pada otak, yaitu

24

sekelompok struktur yang terletak di area perbatasan antara korteks cerebri

dan hipothalamus dan berada di bagian basal cereberum. Hippocampus

terbentang dari amigdala hingga septum, sepanjang lobus temporal.

Hippocampus membentuk formasi yang dikenal dengan formasio

hippocampus, terdiri dari gyrus dentatus, hippocampus, subiculum,

presubiculum, parasubiculum, dan entorhinal cortex. Struktur hippocampus

tersusun atas substansia grisea yang berbentuk kuda laut pada manusia atau

berbentuk pisang pada hewan pengerat (Andersen et al., 2007).

Gambar 4. Letak hippocampus proper di otak

(Paxinos dan Watson, 2007)

Hippocampus terbagi menjadi dua daerah yaitu gyrus dentatus dan

Cornu Ammonis (CA). Bagian CA terbagi lagi menjadi beberapa subbagian

CA1, CA2, dan CA3. Gyrus dentatus tersusun atas sel-sel granul. Struktur

hippocampus memiliki 6 lapisan molekuler yang terdiri dari: 1) stratum

lacunosum-moleculare yang mengandung serabut dari Schaffer collateralis

dan juga serabut perforant path yang bersinaps di dendrit apikal sel

piramidal; 2) stratum radiatum yang berisi Schaffer collateralis jalur CA3-

CA1; 3) stratum lucidum yang merupakan daerah terminasi mossy fiber; 4)

25

stratum piramidal yang berisi neuron-neuron piramidal; 5) stratum oriens

yang terdiri dari sel basket dan dendrit basal dari neuron piramidal; 6)

alveus yang memiliki serabut komisura sel piramidal melalui fimbria.

Gambar 5. Potongan sagital hippocampus

(Paxinos dan Watson, 2007)

Sedangkan gyrus dentatus hanya memiliki 3 lapisan yaitu : lapisan

polimorfik yang berhubungan dengan asosiasi-asosiasi di dalam gyrus

dentatus; 2) lapisan granular yang merupakan kumpulan dari neuron-neuron

berbentuk oval atau bulat dan merupakan tempat asal mossy fibers yang

berakhir pada dendrit dari sel piramidal hippocampus; 3) lapisan molekuler

yang merupakan daerah terminasi perforant pathway (Taupin, 2008;

Wieshmann et al., 1999; Waxman, 2009)

Serabut aferen ke hippocampus berasal dari gyrus dentatus (via mossy

fibers), septum (via cornix), dan lobus lymbicus (via cingulum). Sedangkan

serabut eferen dari hippocampus menuju corpus mamillaris, thalamus

anterior, area septalis, dan tuber cinereum (via fornix), serta area

subcallosus (via striae longitudinale). Sel granuler dari gyrus dentatus

mengirimkan akson (mossy fibers) yang berakhir pada neuron piramidal di

26

CA3 hippocampus. Neuron ini akan memproyeksikan aksonnya ke fornix

sebagai serabut eferen utama. Cabang kolateral (kolateral Schaffer) dari

neuron CA3 akan memproyeksikan aksonnya ke daerah CA1 hippocampus

(Waxman, 2009).

d. Hippocampus dan memori

Hippocampus memiliki tiga fungsi utama yang terkait dengan fungsi

inhibisi, memori, dan spasial. Fungsi inhibisi diperoleh dari hasil observasi

yang menyebutkan bahwa hewan dengan kerusakan hippocampus akan

lebih hiperaktif. Hasil observasi lain menyebutkan bahwa hewan dengan

kerusakan hippocampus akan mengalami kesulitan untuk menghambat

respon yang sebelumnya telah dipelajari (Gray dan McNaughton, 2000).

Penelitian yang dilakukan Gruart et al (2006) menunjukkan bahwa

terjadi perubahan yang tergantung aktivitas pada sinapsis CA3 dengan CA1

hippocampus tikus selama proses acquisition, extinction, recall, dan

reconditioning. Hal ini membuktikan adanya hubungan antara plastisitas

dengan learning dan memori.

Berdasarkan penelitian O’Keefe dan Dostrovsky (1971), sel-sel

piramidal hippocampus teraktivasi ketika tikus mulai mengenali sebuah

tempat yang baru dan menempatkan diri pada medan tempatnya. Saat tikus

bergerak ke ruangan yang lain, sel yang teraktivasi tersebut menjadi diam

dan sel piramidal lain menjadi teraktivasi. Sehingga, dapat disimpulkan

bahwa hippocampus memiliki sel yang menginduksi lokasi yang spesifik

terhadap lingkungan. Sel piramidal ini disebut dengan place cells (O’Keefe

27

dan Nadel, 1978; Mizumori, 2008). Penelitian selanjutnya mengemukakan

bahwa place cells paling baik dikarakterisasi pada area CA1 dan korteks

entorhinal (Nakazawa et al., 2004). Penemuan mengenai place cells

mengindikasikan bahwa hippocampus berperan sebagai suatu peta kognitif,

merupakan suatu reprsentasi neural dari tatanan lingkungan (O’Keefe dan

Nadel, 1978).

e. Stres dan pengaruhnya terhadap memori

Stres dapat diartikan sebagai suatu ketegangan fisiologis atau

psikologis yang disebabkan oleh stimuli fisik atau emosi yang berasal dari

internal dan eksternal serta mengganggu fungsi suatu organisme. Stres dapat

mempengaruhi fungsi kognitif seperti learning dan memori (Tak et al.,

2007).

Struktur CA1 hippocampus merupakan bagian yang rentan terhadap

efek stres karena memiliki 2 kelas reseptor kortikosteroid. Plastisitas

sinaptik yang berperan dalam learning dan memori adalah long-term

potentiation dan long-term depression yang terjadi pada area CA1

hippocampus. Aktivasi reseptor glukokortikoid mengganggu pembentukan

LTP, sedangkan aktivasi reseptor mineralokortikoid dapat memfasilitasi

LTP. Faktor yang teraktivasi akan bertindak sebagai faktor transkripsi, oleh

sebab itu protein yang berhubungan dengan reseptor mineralokortikoid

berperan mempertahankan LTP (Korz dan Frey, 2003; Taupin, 2008).

Struktur hippocampus mengandung banyak reseptor kortisol yang

dapat menyebabkan stres oksidatif. Fenomena ini dapat menyebabkan

28

fenomena stres oksidatif. Fenomena ini adalah suatu keadaan dimana

terdapat ketidakseimbangan antara radikal bebas dan aktivitas netralisasi

(antioksidan) oleh neuron. Jika keadaan ini terjadi terus-menerus,

degenerasi dari neuron hippocampus dapat terjadi sehingga berdampak pada

penurunan memori (Simonian, 1996). Di sisi lain, jenis stres yang berupa

aliran listrik dapat mengakibatkan kejang otak dan mengganggu proses

konsolidasi memori baik secara mekanik maupun kimiawi. Hal ini dapat

menyebabkan informasi baru tidak dapat diingat sama sekali (Guyton,

2008).

5. Passive Avoidance Test

Passive avoidance test adalah uji one-trial learning secara cepat.

Passive avoidance test merupakan suatu prosedur untuk meneliti fungsi

memori pada mencit. Pada uji jenis ini, hewan uji dilatih untuk menghindar

dari hukuman (shock listrik) dengan melawan kebiasaan alamiah (Vohora et

al., 2000). Ingatan dari pengalaman tunggal merupakan bentuk belajar yang

cepat dan memungkinkan untuk mengingat kembali pengalaman tersebut

serta bersifat adaptif. Hewan uji diberi shock listrik dan kemudian diuji

ulang untuk mengetahui ingatan mencit terhadap shock yang diberikan.

Pada dasarnya proses mengingat kembali didasarkan pada kemampuan

masing-masing mencit untuk menghindari kondisi uji yang berbahaya bagi

mencit. Pengujian ini dapat dilakukan dalam rentang waktu yang bervariasi,

mulai sangat singkat (5 menit) hingga beberapa bulan.

29

Alat uji passive avoidance terdiri atas dua kompartemen, yaitu

kompartemen gelap dan kompartemen terang. Lantai tiap kompartemen

terbuat dari stainless steel dan mempunyai sebuah pintu geser yang

memisahkan kedua kompartemen. Kedua kompartemen terbuat dari kaca

gelap. Pada kompartemen terang dilengkapi oleh lampu, sedangkan

kompartemen gelap memungkinkan untuk pengaliran shock listrik

(Rodriguiz dan Wetsel, 2006).

F. Landasan Teori

Stres oksidatif mampu menginduksi terbentuknya radikal bebas dalam

jaringan. Radikal bebas yang terbentuk mampu menginduksi peroksidasi lipid

dan menyebabkan kematian sel (Heaton et al., 2000). Otak merupakan organ

yang rentan terhadap kerusakan akibat stres oksidatif karena memiliki tingkat

metabolisme oksidatif yang tinggi dengan kapasitas antioksidan yang rendah

(Hendersen et al., 1999; Pizzaro, 2009).

Hippocampus merupakan bagian otak yang berperan dalam fungsi

kognitif dan penyimpanan memori. Platisitas pada lamina piramidalis CA1

hippocampus berperan dalam pembentukan memori. O’Keefe dan Dostrovsky

(1971) menyebutkan bahwa place cells dalam lamina piramidalis CA1

hippocampus berperan sebagai peta kognitif. Kematian sel-sel piramidal

hippocampus yang diinduksi stres oksidatif akan menyebabkan penurunan

fungsi kognitif dan pembentukan memori baru.

30

Flavonoid merupakan antioksidan alami yang mampu memberikan efek

neuroprotektif. Uji farmakologi dan klinis yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa pemberian ektrak air dan ekstrak etanolik brotowali menunjukkan

perbaikan fungsi kognitif (Bairy et al., 2004). Penelitian Suryani (2010)

menunjukkan bahwa fraksi etil asetat batang brotowali memiliki kandungan

antioksidan yang paling tinggi. Peningkatan memori dan fungsi kognitif pada

mencit ditunjukkan dengan meningkatnya waktu latensi untuk menghindari

kompartemen gelap.

G. Hipotesis

1. Pemberian fraksi etil asetat batang brotowali mampu meningkatkan memori

dan fungsi kognitif pada mencit yang terinduksi etanol.

2. Adanya kenaikan variasi dosis fraksi etil asetat batang brotowali yang

diberikan menimbulkan efek yang lebih baik terhadap peningkatan memori

dan fungsi kognitif dibandingkan terhadap pemberian dosis yang lebih

rendah.

3. Terdapat korelasi positif yang kuat antara tampilan memori dan fungsi

kognitif dengan profil histologi lamina piramidalis CA1 hippocampus.