bab i pendahuluan a. latar belakang alat bukti berupa...

36
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan interaksi antara masyarakat baik dari sisi perbuatan hukum antara masyarakat satu dengan yang lainnya, yang mana salah satu fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Demi tercapainya alat bukti berupa surat tersebut dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum, hal ini berdampak pula pada peningkatan di bidang jasa notaris, dimana penjelasan mengenai Notaris adalah pejabat yang diangkat oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan dokumen-dokumen legal yang sah. Apabila dikaitkan dengan sektor pelayanan jasa, peran Notaris dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh negara untuk melayani masyarakat dalam bidang perdata khususnya pembuatan akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang- undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, (selanjutnya disingkat dengan UUJN) : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu, dan

Upload: vudan

Post on 03-Mar-2019

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan interaksi antara masyarakat baik dari sisi perbuatan

hukum antara masyarakat satu dengan yang lainnya, yang mana salah satu

fungsi hukum adalah untuk memberikan kepastian hukum dalam kehidupan

bermasyarakat. Demi tercapainya alat bukti berupa surat tersebut dibutuhkan alat

bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa, atau

perbuatan hukum, hal ini berdampak pula pada peningkatan di bidang jasa

notaris, dimana penjelasan mengenai Notaris adalah pejabat yang diangkat oleh

pemerintah untuk melayani kebutuhan masyarakat akan dokumen-dokumen

legal yang sah. Apabila dikaitkan dengan sektor pelayanan jasa, peran Notaris

dalam sektor pelayanan jasa adalah sebagai pejabat yang diberi wewenang oleh

negara untuk melayani masyarakat dalam bidang perdata khususnya

pembuatan akta otentik, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-

undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, (selanjutnya

disingkat dengan UUJN) : “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang

untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud

dalam undang-undang ini”.

Untuk menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum

dibutuhkan alat bukti tertulis yang bersifat otentik mengenai keadaan, peristiwa,

atau perbuatan hukum yang diselenggarakan melalui jabatan tertentu, dan

2

bahwa Notaris merupakan jabatan tertentu yang menjalankan profesi dalam

pelayanan hukum kepada masyarakat. Pada Pasal 16 disebutkan pula bahwa

dalam menjalankan jabatannya, seorang Notaris wajib untuk “bertindak

amanah, jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga kepentingan

terkait dalam perbuatan hukum”. Seorang Notaris wajib untuk memberikan

pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Jabatan Notaris

kecuali ada alasan untuk menolaknya.1

Sebagai pejabat umum, seorang Notaris harus memegang teguh

prinsip kehati-hatian, oleh sebab pertanggungjawaban seorang Notaris terhadap

akta yang dibuatnya adalah seumur hidup. Dalam membuat akta otentik

Notaris harus mendahulukan prinsip kehati-hatian utamanya akta mengenai

perjanjian, sebab akta mengenai perjanjian umumnya mempunyai konsekuensi

hukum apabila terjadi wanprestasi (melanggar kesepakatan) oleh para pihak. Akta

sebagai produk yang dibuat oleh Notaris merupakan alat bukti yang sempurna

sesuai dengan asas Presumtio Justea Causa dimana demi kepastian hukum, akta

yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat harus dianggap benar dan

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sebelum dibuktikan sebaliknya.

Pada dasarnya sikap kehati-hatian Notaris/PPAT dalam menjalankan

jabatannya berawal dari perbedaaan dan ketidaksamaan kepentingan diantara para

pihak. Dalam hal ini Notaris/PPAT sebagai pihak yang netral hanya sebagai

pejabat pembuat akta yang membingkai dengan perangkat hukum untuk mengikat

1Wawan Setiawan. Sikap Profesionalisme Notaris Dalam Pembuatan Akta Otentik.

(Jakarta, 2004). hlm. 25.

3

para pihak, sehingga tercapainya perjanjian dari sisi kepastian dan keadilan

diantara para pihak terakomodasi melalui hubungan perjanjian yang bekerja

secara seimbang. Kemudian dari beberapa kasus yang sering menjerat Profesi

Notaris/PPAT adalah contoh Kasus Rosidah, SH. Notaris SIdoarjo, membantu

mengeluarkan Ikatan Jual Beli dan Akte Jual Beli, Tanah Kas Desa (TKD) di

Perumahan Renojoyo Desa Kedungsolo Kecamatan Porong, Sidoarjo. Rosidah

ditetapkan sebagai tersangka karena aktif dan terlibat langsung dalam relokasi dan

pembebasan lahan itu.2 Kemudian Penggelapan yang dilakukan Oleh Luluk

Wafiroh, SH. SPN. Notaris/PPAT Kota Malang terindikasi menggelapkan dana

hasil panen client dan penggelapan uang milik ahli Waris Client nya.3

Akta notariil yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris memiliki

pembuktian formil maupun pembuktian materiil yang mengharuskan Notaris

untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam suatu perjanjian, salah satu

contoh perjanjian yang harus menegakkan prinsip kehati-hatian adalah perjanjian

dalam pemberian kredit perbankan.4

Perjanjian merupakan peristilahan terjemahan dari kata overeenkomst

(Belanda) atau Agreement (Inggris)5. Kontrak pada dasarnya dibuat berdasarkan

kebebasan berkontrak. Setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian

2https://sidoarjo.memo-x.com/2668/notaris-rosidah-dikirim-ke-lapas-medaeng.html 3Putusan PN MALANG Nomor 632/Pid.B/2013/PN Mlg Tahun 2014

http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/e8c6d5e6f74e7b68650f8622dbbba6c1 4Dimas Fakhrul Harianto. Peranan Notaris dalam Perjanjian Kredit Guna Memenuhi

Prinsip Kehati-hatian Perbankan, http://blog.pasca.gunadarma.ac.id/2012/06/01/peranan-notaris-dalam-perjanjian-kredit-guna-memenuhi-prinsip-kehati-hatian-perbankan/, diakses 4 April 2017 Pukul 22.19 WIB.

5Sutan Remy Sjahdeini. Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit di Indonesia. (Jakarta, 1993). hlm. 158.

4

baik dari segi bentuk maupun muatan. Kebebasan berkontrak dapat disimpulkan

dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyebutkan, bahwa semua

perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka

yang membuatnya.

Asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan

kepada para pihak untuk: (1) membuat atau tidak membuat perjanjian; (2)

mengadakan perjanjian dengan siapapun; (3) menentukan isi perjanjian,

pelaksanaan, dan persyaratannya; (4) menentukan bentuknya perjanjian, yaitu

tertulis atau lisan.

Hukum Kontrak/Perjanjian di Indonesia mempergunakan sistem terbuka,

artinya adanya kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk

mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar hukum,

ketertiban umum dan kesusilaan6. Pembatasan tersebut sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata, bahwa suatu sebab adalah terlarang, jika

sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan

kesusilaan atau dengan ketertiban umum.

Perjanjian kredit dimulai dengan adanya permohonan kredit dari debitur,

yang selanjutnya bank selaku kreditur melaksanakan survey kelayakan dan

jaminan debitur, hal ini berkenaan dengan pemeriksaan kebenaran data debitur,

dari hasil survey akan terlihat nilai ideal jumlah kredit yang pantas diberikan

kepada debitur, yang selanjutnya dibuatkan perjanjian kredit oleh kreditur, blanko

6 Subekti. Hukum Perjanjian. (Jakarta, 2005). hlm. 13.

5

perjanjian kredit tersebut telah disiapkan terlebih dahulu tinggal diisi oleh kreditur

dan diberikan kepada debitur untuk dibaca dan ditandatangani.

Dalam beberapa hal, ada bank yang membuat perjanjian dibawah tangan,

tetapi banyak bank yang lebih memilih membuat akta notariil. Mengingat

kedudukan perjanjian kredit sangatlah penting yaitu merupakan perjanjian pokok

bagi perjanjian-perjanjian turutannya dimana perjanjian kredit tersebut merupakan

perjanjian yang menentukan sah atau tidak sahnya suatu perjanjian-perjanjian

turutannya, maka perjanjian kredit perbankan dibuat secara notariil (dibuat

dihadapan notaris) hal ini secara langsung akan memberikan kekuatan pembuktian

yang sempurna, dalam artian baik menyangkut peristiwa dan para pihak yang

membuatnya menurut hukum telah dinyatakan benar, dan pihak yang menyangkal

kebenarannya dibebankan untuk membuktikan keberatannya tersebut. Dalam hal

pembuktian akta dibawah tangan, para pihak dapat menyangkal kebenarannya

sehingga beban pembuktian diperlukan bagi kreditur. Terhadap perjanjian kredit

yang dibuat dibawah tangan yang dilanjuti dengan legalisasi yang kemudian

dibacakan dan dijelaskan oleh Notaris,sebenarnya tidak mengubah perjanjian

dibawah tangan menjadi akta notariil tetapi tindakan demikian telah memberikan

kekuatan pembuktian sendiri terhadap perjanjian tersebut yang lebih baik dari akta

di bawah tangan, hal lain yang dapat dijadikan pertimbangan adalah :

1. Sebagai seorang Notaris, yang merupakan pejabat umum, kedudukan

notaris tidak berpihak baik kepada kreditur maupun kepada debitur, hal ini sesuai

dengan ketentuan Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris dan salah satu isi Sumpah Jabatan Notaris yaitu “ bahwa saya

6

akan menjalankan jabatan saya dengan amanah, jujur, saksama, mandiri dan tidak

berpihak”.

2. Dengan dibuatnya perjanjian kredit dihadapan Notaris (secara akta

notariil) atau dengan dilakukan legalisasi yang kemudian dibacakan dan

dijelaskan oleh Notaris terhadap Perjanjian Kredit yang dibuat dibawah tangan,

maka akan menghindari/mencegah hilangnya suatu dokumen penting, hal ini

karena Notaris mempunyai arsip terhadap perjanjian kredit yang dilakukan

dihadapannya.

Sebagai seorang Notaris, yang merupakan Pejabat Umum, di dalam

menjalankan profesinya notaris harus dalam keadaan netral atau dengan kata lain

tidak memihak salah satu pihak dalam pembuatan akta perjanjian kredit. Sebagai

seorang pejabat umum Notaris harus memberikan kepastian hak dan kewajiban

bagi para pihak, memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang

berkepentingan serta meningkatkan pelayanan dan perlindungan hukum yang

lebih baik bagi masyarakat. Peran Notaris dalam mewujudkan keseimbangan

antara kepentingan kreditur dan debitur serta penerapan kehati-hatian dalam

pembuatan akta perjanjian kredit tercermin di dalam Pasal 16 UU No.30 tahun

2004 tentang Jabatan Notaris.

Peranan Notaris dalam pembuatan akta perjanjian kredit perbankan yang

begitu pentingnya menuntut Notaris sebagai pejabat publik untuk bersikap

profesional dengan menjembatani kepentingan kreditur dan debitur dalam

pembuatan akta perjanjian kredit. Akan tetapi kenyataan sikap profesionalisme

7

tersebut bersinggungan dengan tuntutan dunia perbankan yang mengutamakan

prinsip efisiensi prosedur perbankan, sehingga dalam praktek lembaga perbankan

cenderung menggunakan perjanjian baku dalam pernjanjian kreditnya. Di

samping itu juga terdapat beberapa potensi resiko hukum di antaranya

pelaksanaan pembacaan dan penandatanganan akta perjanjian notariil yang

menurut ketentuan Pasal 3 ayat (14) Kode Etik Notaris hal tersebut dilakukan di

kantor notaris, pada kenyataan umumnya dilakukan di kantor bank untuk

pembacaan dan penandatangan akta perjanjian kredit, dan hanya membawa satu

orang saksi dimana hal tersebut menyimpang dari ketentuan Pasal 16 ayat (1)

huruf (m) dan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang nomor 2 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

(Revisi UUJN) yang mengatur mengenai kehadiran paling sedikit oleh dua orang

saksi dalam setiap pembacaan akta, dan terkadang pembacaan dan penandatangan

akta perjanjian kredit notariil tersebut tidak dihadiri oleh salah satu pihak yaitu

Pimpinan Cabang yang bertindak mewakili bank.

Berdasarkan uraian dan permasalahan di atas, mendorong penulis untuk

melakukan kajian skripsi dengan judul :

“Prinsip Kehati-Hatian Notaris dalam Pembuatan Akta Perjanjian

Kredit (Pelaksanaan Pembacaan dan Penandatanganan) dan Pelaksanaan

Asas Keseimbangan”.

8

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis uraikan di atas, maka penulis

mengidentifikasi masalah yang akan di teliti sebagai berikut :

1. Mengapa Notaris wajib memperhatikan Prinsip Kehati-hatian dalam

pembuatan Akta Perjanjian Kredit?

2. Mengapa Notaris wajib melaksanakan Asas Keseimbangan?

3. Apakah akibat hukum jika Pembacaan dan Penandatangan Akta Notariil tidak

sesuai dengan Kode Etik Notaris?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaiman peran notaris dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya harus memperhatikan segala kelengkapan dokumen dan

kenyataan yang terjadi di lapangan berkaitan dengan akta yang hendak

dibuatnya, sehingga tidak akan menyebabkan kerugian bagi para pihak yang

membuat akta.

2. Untuk lingkup perdagangan ekonomi modern, perjanjian baku sebagai alat

yang sering dipergunakan dalam perjanjian antara Kreditur dan Debitur baik

berupa hak dan kewajiban hingga perjanjian yang hanya menguntungkan satu

pihak saja, sehingga notaris sebagai pihak yang netral haruslah selalu

menerapkan asas keseimbangan demi terwujudnya kesepakatan-kesepakatan

untuk mempersatukan sebuah kepentingan para pihak melalui negosiasi.

3. Untuk mengetahui dan memahami impilikasi yuridis dari pelaksanaan

pembacaan dan penandatangan Akta Notariil yang sesuai dengan Kode Etik

Notaris.

9

D. Kegunaan Penulisan

Penulisan skripsi ini diharapkan akan memiliki kegunaan sebagai berikut :

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan pembanding secara teori dan fakta atau kenyataan yang

terjadi di lapangan.

b. Sebagai salah satu bahan acuan di bidang penelitian yang sejenis dan

pengembangan penelitian selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Universitas

Sebagai suatu hasil karya yang dapat menambah pengetahuan

keilmuan tentang prinsip kehati-hatian Notaris dalam melaksanakan

jabatannya sebagai bahan wacana dan pustaka bagi mahasiswa atau pihak

lain yang memiliki ketertarikan di bidang yang sama.

b. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran atas faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan penerapan

Kode Etik Jabatan Notaris, khususnya Organisasi Ikatan Notaris

Indonesia (INI).

c. Bagi Masyarakat

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan pengetahuan baru

bagi masyarakat tentang bagaimana sikap seorang Notaris dalam

menjalankan jabatannya berdasarkan Kode Etik.

10

E. Tinjauan Pustaka

1. Notaris

Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik

dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud di dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN). Para

notaris bergabung di dalam suatu organisasi profesi jabatan notaris yang

berbentuk perkumpulan yang berbadan hukum (Pasal 1 ayat (5) UUJN). Profesi

mengandung pengertian suatu bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan

keahlian (keterampilan, kejujuran, dan sebagainya) tertentu, bersifat terus-

menerus mendahulukan pelayanan daripada imbalan, mempunyai rasa tanggung

jawab yang tinggi, dan berkelompok dalam suatu organisasi7. Dengan demikian,

profesi jabatan Notaris adalah bidang pekerjaan yang dilandasi keahlian untuk

membuat akta otentik dan kewenangan lainnya oleh mereka yang menajabat

sebagai Notaris sebagaimana dimaksud di dalam UUJN. Jabatan Notaris

merupakan jabatan kepercayaan. Oleh karena itu, Notaris di dalam menjalankan

jabatan luhur tersebut tidak semata-mata hanya dituntut keahlian di bidang ilmu

kenotariatan, tetapi juga perlu dijabat oleh mereka yang berakhlak tinggi.

a. Peran Notaris di Bidang Hukum

Fungsi suatu akta notaris mempunyai peran penting, baik akta sebagai alat

bukti maupun akta sebagai syarat sahnya suatu peristiwa hukum. Untuk

perjanjian-perjanjian formil seperti pendirian perseroan terbatas (Pasal 7 ayat (1)

7Munir Fuady. Profesi Mulia (Etika Profesi Hukum bagi Hakim, Jaksa, Advokat,

Notaris, Kurator dan Pengurus). (Bandung, 2005), hlm. 5.

11

UUPT 2007) dan perjanjian pembebanan jaminan fidusia (Pasal 5 ayat (1) UUFid)

ada kewajiban agar perjanjian tersebut dibuat dengan akta notaris dalam bahasa

indonesia. Dengan demikian, peran notaris di dunia hukum dengan sistem

Kontinental pada umumnya dan dunia bisnis pada khusunya sangat penting

terutama dalam kaitannya dengan perjanjian-perjanjian formil selain adanya

keinginan pihak-pihak sendiri untuk membuatkan jenis perjanjian-perjanjian

lainnya di dalam bentuk akta notaris. Akta notaris merupakan alat bukti yang

sempurna sehingga dapat menjamin kepastian, ketertiban dan perlindungan

hukum bagi pihak-pihak yang berintikan kebenaran dan keadilan. Hal tersebut

didukung mengingat kedudukan notaris yang mandiri dan tidak berpihak. Oleh

sebab itu, dengan adanya akta notaris sebagai alat bukti dapat membantu di dalam

menyelesaikan sengketa di muka pengadilan, malahan mungkin dapat

menghindarkan para pihak dari suatu sengketa. Jasa notaris dalam dunia bisnis

makin hari makin meningkat sebagai salah satu kebutuhan hukum masyarakat.

b. Peran Notaris di Bidang Interaksi Sosial

Perilaku sosial seorang notaris di dalam interaksi sebagai salah satu pelaku

dalam dunia sosiologi interpretasi berarti bahwa interaksi sosial tidak akan dapat

dimengerti apabila kita tidak mengenal apa yang sudah biasa dilakukan orang lain

dan dianggap sebagai perilakunya. Dengan menggunakan ilmu pengetahuan sosial

dari Max Weber, Verstehen, orang mengenal dirinya dan memperkenalkan dirinya

kepada orang lain mengenai dunianya. Pekenalan mengenal “diri” seseorang

adalah dinilai dari perilaku yang hadir di dalam masyarakat. Dengan demikian,

notaris perlu memperkenalkan dirinya dengan secara sadar memberi arti atas

12

perilakunya dan dia juga berorientasi pada arti yang telah diberikan orang lain

mengenal perilakunya itu, yaitu dalam hal ini jabatan notaris dikenal sebagai

jabatan kepercayaan. Arti yang diberikan tentunya mempunyai pengaruh dan

peran tersendiri terhadap perilaku sosial ini yang akan bervariasi pada suatu

masyarakat sesuai dengan waktu dan tempatnya. Perilaku notaris yang bersifat

negatif membawa dampak negatif pula terhadap lembaga kepercayaan ini.

Namun, perilaku positif akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga ini pula. Singkatnya, masyarakat memberi penghargaan kepada notaris

sesuai dengan perilaku dari notaris.

c. Asas Keseimbangan

Sebagaimana dimaknai dalam bahasa sehari – hari kata “seimbang” (even

wicht) menunjuk pada pengertian suatu “keadaan pembagi beban di kedua sisi

berada dalam keadaan seimbang”. Dalam konteks ini keseimbangan dimengerti

sebagai keadaan hening atau keselarasan karena dari berbagai gaya yang bekerja

tidak satupun mendominasi yang lainnya, atau karena tidak satu elemen

menguasai lainnya. Dimana yang dimaksud dengan asas keseimbangan dalam hal

ini adalah suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata

hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata

yang mendasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak

dan cara pikir bangsa Indonesia pada lain pihak. Bahwa kata keseimbangan pada

satu sisi dibatasi oleh kehendak (yang dimunculkan oleh pertimbangan atau

keadaan yang menguntungkan), dan pada sisi lain oleh keyakinan (akan

kemampuan untuk) mengejawantahkan hasil atau akibat yang dikehendaki; dalam

13

batasan kedua sisi ini tercapailah keseimbangan yang dimaknai positif.

Pemahaman terhadap daya kerja asas keseimbangan yang menekankan

keseimbangan posisi para pihak yang berkontrak terasa seimbang dalam kaitannya

dengan kontrak konsumen. Hal tersebut didasari bahwa pada suatu kenyataan

bahwa terdapat ketidakseimbangan posisi tawar para pihak. Dengan terciptanya

keadaan yang seimbang dimana tidak ada satu pihak pun yang posisisnya lebih

tinggi dan menghasilkan hak serta kewajiban yang seimbang membuat perjanjian

tersebut bisa sejalan dengan pandangan P.S Atiyah yang menekankan bahwa

sebuah perjanjian memiliki tiga tujuan dasar yaitu:

1) Tujuan pertama dari suatu kontrak ialah memaksakan suatu janji dan

melindungi harapan wajar yang muncul darinya;

2) Tujuan kedua dari suatu kontrak ialah mencegah pengayaan (upaya

memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar;

3) Tujuan ketiga ialah to prevent certain kind of harm. Sehingga dapat

diterima secara jelas dimana perjanjian yang didasari dengan asas

keseimbangan tersebut mencegah adanya pemberian harapan yang

diluar batas serta mencegah bentuk upaya memperkaya diri dengan

adanya bentuk ketidakseimbangan isi dari hak serta kewajiban yang

diikatkan kepada pihak dalam perjanjian tersebut.

Menurut Herlien Budiono, asas keseimbangan adalah suatu fakta hukum

atau kejadian nyata tunduk pada hukum kausalitas, dengan itu kita dapat

menelusuri asal mula atau keterjalinan sebab-akibat fakta tersebut dengan gejala-

gejala lainnya. Di dalam suatu perjanjian para pihak mengungkapkan kehendak

14

mereka dalam bentuk janji. Kenyataan bahwa orang menutup kontrak kiranya

dilandasi suatu tujuan atau maksud tertentu. Fakta menunjuk pada adanya

keterjalinan dengan gejala kemunculan suatu perjanjian, yang dibentuk oleh para

pihak, keterikatan atau kekuatan mengikat dan dipenuhinya perikatan. Melalui

suatu perjanjian, maksud dan tujuan para pihak dapat dicapai. Apakah maksud

dan tujuan perjanjian semata-mata adalah memunculkan kekuatan mengikat serta

pemenuhan perikatan. pertanyaan ini memunculkan persoalan lain, yaitu apa

tujuan dari perjanjian yang ditutup para pihak dan apa yang menjadi dasar dari

kekuatan mengikatnya perjanjian secara yuridikal.

d. Asas Kehati-Hatian

Asas ini merupakan asas yang timbul dari hukum kebiasaan yang menjadi

dasar bagi setiap Notaris/PPAT untuk melakukan tindakan dalam setiap perbuatan

hukum dengan seksama, menentukan apakah suatu tindakan dapat dituangkan

dalam akta atau tidak. Notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua

dokumen yang diperlihatkan oleh Client nya, meneliti semua dokumen yang

diperlihatkan kepada Notaris, mendengarkan keterangan atau pernyataan para

pihak, meskipun asas ini tidak ditentukan oleh undang-undang namun tetap harus

ditaati oleh seorang Notaris/PPAT, selama masyarakat sanggup menerima kaidah-

kaidah tersebut sebagai hukum dan ternyata kaidah-kaidah hukum tersebut

dipertahankan oleh penguasa-penguasa masyarakat lain yang tidak termasuk

lingkup perundang-undangan. Dengan demikian, Asas Kehati-hatian yang biarpun

tidak tertulis dalam aturan perundang-undangan masih juga sama kuatnya dengan

15

hukum tertulis, apalagi bilamana kaidah tersebut menerima perhatian dari pihak

pemerintah.

Apabila Asas Kehati-hatian tersebut diterapkan oleh setiap Notaris, dan

asas tersebut diterapkan berulang-ulang sedemikian rupa sehingga bilamana ada

tindakan yang berlawanan dengan asas ini, maka dirasakan sebagai pelanggaran

hukum, dengan demikian maka terbentuklah suatu Asas Kehati-hatian.

e. Kode Etik Notaris

Kode Etik bagi profesi Notaris sangat diperlukan untuk menjaga

kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat oleh karena hal tersebut, Ikatan

Notaris Indonesia (INI) sebagai satu-satunya organisasi protesi yang diakui

kebenarannya sesuai dengan UU Jabatan Notaris No.30 Tahun 2004, menetapkan

Kode Etik bagi para anggotanya.

Jabatan Notaris adalah merupakan jabatan kepercayaan. Undang-undang telah

memberi kewenangan kepada para Notaris yang begitu besar untuk membuat alat

bukti yang otentik, karenanya ketentuan-ketentuan dalam UU Jabatan Notaris

begitu ketatnya dan penuh dengan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi

pidana tanpa mengurangi kemungkinan diterapkannya sanksi pemberhentian

sementara sampai ke pemecatan.

Kode etik notaris sendiri sebagai suatu ketentuan yang mengatur tingkah

laku Notaris dalam melaksanakan jabatannya, juga mengatur hubungan sesama

rekanNotaris. Pada hakekatnya Kode Etik Notaris merupakan penjabaran lebih lan

jut dari apa yang diatur dalam Undang Undang Jabatan Notaris. Dalam kehidupan

16

bermasayarakat diperlukan suatu profesi dimana seorang dapat menyelesaikan

masalah-masalah hukum yang dihadapinya yaitu salah satunya

dengan menghadap kepada seorang Notaris.

Notaris adalah suatu profesi kepercayaan dan berlainan dengan profesi

pengacara, dimana Notaris dalam menjalankan tidak memihak. Oleh karena itu dalam

jabatannya kepada yang bersangkutan dipercaya untuk membuat alat bukti yang mempunyai

kekuatan otentik. Dengan demikian, peraturan atau undang-undang yang mengatur

tentang jabatan Notaris telah dibuat sedemikian ketatnya sehingga dapa

tmenjamin tentang otentisitasme akta-akta yang dibuat dihadapannya. Untuk

menjaga kualitas pelayanan kepada masyarakat, maka Asosiasi Profesi Notaris

seperti Ikatan Notaris Indonesia (INI) membuat Kode Etik yang berlaku terhadap

para anggotanya.

f. Akibat Hukum Notaris Tidak Menerapkan Asas Kehati-Hatian dalam

Pembuatan Akta

Penegakan hukum dapat dirumuskan sebagai usaha melaksanakan hukum

sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya, dan jika terjadi pelanggaran

memulihkan hukum yang dilanggar itu supaya ditegakkan kembali. Penegakkan

hukum dilakukan dengan penindakan hukum menurut urutan berikut:

1) Teguran peringatan supaya menghentikan pelanggaran dan jangan berbuat

lagi;

2) Pembebanan kewajiban tertentu (ganti kerugian, denda);

3) Penyisihan atau pengucilan (pencabutan hak-hak tertentu);

17

4) Pengenaan sanksi badan (pidana penjara, pidana mati) Dalam

pelaksanaannya tugas penegakan hukum, penegak hukurn wajib menaati

norma-norma yang telah ditetapkan.

Penegakan kode etik Notaris adalah usaha melaksanakan kode etik Notaris

sebagaimana mestinya, mengawasi pelaksanaannya supaya tidak terjadi

pelanggaran, dan jika terjadi pelanggaran memulihkan kode etik yang dilanggar

itu supaya ditegakkan kembali.

Penegakan hukum Kode Etik Notaris tercantum dalam Bab IV dan V yaitu

dari Pasal 6 sampai dengan Pasal 13. Yang meliputi :

Sanksi, Pengawasan, Pemeriksaan dan Penjatuhan Sanksi, Pemeriksaan dan

Penjatuhan Sanksi Pada tingkat Pertama, Banding dan Terakhir, Eksekusi atas

sanksi-sanksi dalarn Pelanggaran Kode Etik

Dalam aturan main yang telah ditetapkan oleh Kongres INI, Kode Etik ini

wajib diikuti oleh seluruh anggota maupun seseorang yang menjalankan profesi

Notaris. Hal ini mengingat bahwa profesi notaris sebagai pejabat umum yang

harus memberikan rasa aman serta keadilan bagi para pengguna jasanya. Untuk

memberikan rasa aman bagi para pengguna jasanya, Notaris harus mengikuti

kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Undang-undang Jabatan Notaris

maupun Kode Etik Notaris. Notaris harus bertanggung jawab terhadap apa yang ia

lakukan terhadap klien maupun masyarakat.

Kewajiban maupun larangan yang ada merupakan petunjuk moral dan

aturan tingkah laku yang ditetapkan bersama oleh anggota notaris dan menjadi

18

kewajiban bersama oleh seluruh anggota notaris dalam mewujudkan masyarakat

yang tertib.

g. Pengawasan Notaris

Pengawasan Notaris dimaksud diharapkan oleh pembentuk Undang-

undang Jabatan Notaris merupakan lembaga pembinaan agar para Notaris dalam

menjalankan jabatannya dapat leblh meningkatkan kualitas pelayanan kepada

masyarakat. Dalam Pasal 67 ayat (5) UUJN, yang harus diawasi adalah Perilaku

Notaris dan Pelaksanaan Jabatan Notaris.

Pengawasan baik preventif dan represif diperlukan bagi pelaksanaan tug as

Notaris sebagai pejabat umum. Fungsi Preventif dilakukan oleh Negara sebagai

pemberi wewenang yang I dilimpahkan pada instansi pemerintah. Fungsi represif

dilakukan oleh organisasi profesi jabatan Notaris dengan acuan kepada UUJN dan

Kode Etik Notaris.

Pengawasan Notaris diatur dalam Pasal 67-81 UUJN, yang intinya

pengawasan dilakukan oleh Menteri dan dalarn rnelaksanakan pengawasan

tersebut Menteri menunjuk Majelis Pengawas, yang terdiri dari Majelis Pengawas

Oaerah, Majelis Pengawas Wilayah dan Majelis Pengawas Pusat. Majelis

Pengawas terdiri dari 3 unsur yaitu unsure dari Pemerintah, organisasi Notaris dan

akademisi.

1) Majelis Pengawas Daerah (MPD)

MPD melakukan pengawasan secara berkala 6 bulan sekali dengan

melakukan pemerikasaan protocol Notaris, memberikan izin cuti selama 6 bulan

dan pemeriksaan adanyalaporan atau pengaduan dari masyarakat terhadap Notaris.

19

Apabila ada pengaduan dari masyarakat terhadap Notaris yang melakukan

pelanggaran kode etik maupun pelanggaran Undang-Undang jabatan Notaris,

maka MPD berwenang menyelenggarakan Sidang tertutup untuk umum, MPD

akan memeriksa dan mendengar keterangan pelapor, tanggapan terlapor,

memeriksa bukti yang diajukan pelapor dan terlapor, kemudian hasil pemeriksaan

dituangkan dalam Berita Acara pemeriksaan (BAP) dan wajib diberikan kepada

MajeJis Pengawas Wilayah dalam waktu 30 hari dengan tembusan kepada notaris

yang bersangkutan, pengurus Daerah Ikatan Notaris Indonesia dan Majelis

Pengawas Pusat

MPD tidak berwenang membenkan penilaian pembuktian terhadap fakta-

fakta hukum dan juga tanpa kewenangan untuk menjatuhkan sanksi

2) Majelis Pengawas Wilayah (MPW)

MPW berwenang meberikan cuti untuk 6 bulan sampai 1 tahun.

Berdasarkan BAP yang telah diberikan kepada MPW melalui MPD, MPW

berwenang melakukan Sidang Pemeriksaan Tertutup untuk umum dan Sidang

Pengambilan Keputusan yang terbuka untuk umum. Blla dalam sidang

pemeriksaan MPW Netarts tidak terbukti rnelakukan pelanggaran, maka laporan

BAP ditolak dan Notaris direhabilitasi nama baiknya. Bila Notaris terbukti

melanggar, putusan harus memuat alasan dan pertimbangan yang cukup yang

dijadikan dasar untuk menjatuhkan putusan.

MPW membuat berita acara atas setiap keputusan penjatuhan sanksi, yang

kemudian disampaikan kepada Mennteri, pelapor, teriapor, MPD, MPP dan

pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia.

20

Apabila Notaris terlapor keberatan alas putusan sidang MPW, maka

Notaris dapat mengajukan banding pad a tingkat Majelis Pengawas Pusat

3) Majelis Pengawas Pusat (MPP)

a) Berwenang memberi cuti notaris untuk jangka waktu 1 tahun lebih;

b) Menindaklanjuti Notaris yang melakukan banding yang disampaikan

melalui MPW;

c) MPP wajib melakukan Sidang Pemeriksaan dan Sidang Pengambilan

Putusan yang terbuka untuk umum.

2. Bank

Bank adalah suatu lembaga yang berperan sebagai perantara keuangan antara

pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana dan pihak-pihak yang memerlukan

dana, serta sebagai lembaga yang berfungsi memperlancar lalu lintas pembayaran.

Sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa pengertian bank adalah

merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang keuangan, artinya aktivitas

perbankan selalu berkaitan dengan bidang keuangan dimana kegiatan utamanya

adalah menghimpun dana, menyalurkan dana dan memberikan jasa bank lainnya

atas dasar kepercayaan yang telah diperolehnya.

a. Fungsi Bank

Secara umum fungsi bank adalah menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkannya kembali kepada masyarakat untuk berbagai tujuan atau

fungsi Financial Intermediary.

Fungsi utama bank secara spesifik dibagi menjadi 3 yaitu:

21

1) Agent of Trust

Kepercayaan adalah kunci dan dasar utama kegiatan perbankan ini (trust).

Kepercayaan disini meliputi kegiatan menghimpun dana dari masyarakat maupun

dalam penyalurannya kembali ke masyarakat atau bank lain. Kunci utama

masyarakat mau menitipkan dana yang mereka miliki kepada bank apabila sudah

dilandasi atas dasar kepercayaan kepada bank tersebut. Masyarakat sudah yakin

dan percaya dana yang mereka titipkan akan aman dan dapat diambil sewaktu-

waktu tanpa adanya ketakutan bank akan bangkrut atau tidak bisa diambil

kembali. Begitu pula bank dalam menyalurkan dana titipan tersebut untuk

dipinjamkan kepada debitur juga atas asas kepercayaan. Dimana bank tidak akan

khawatir debitur akan menyalahgunakan dana yang telah dipinjamkan kepada

mereka karena bank percaya debitur memiliki kemampuan untuk membayar

sesuai perhitungan yang masuk akal. Dan bank percaya bahwa debitur akan

memiliki niat untuk membayar meskipun saat jatuh tempo.

Agar masyarakat mau menyimpan uangnya di bank, maka pihak perbankan

memberikan balas jasa kepada si penyimpan. Balas jasa tersebut dapat berupa

bunga, bagi hasil, hadiah, pelayanan dan lain-lain. Semakin tinggi balas jasa yang

diberikan akan menambah minat masyarakat untuk menyimpan uangnya.

2) Agent of Development

Sektor riil dan sektor moneter adalah dua hal perekonomian yang tidak

dapat dipisahkan, saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Jika salah satunya

bekerja kurang baik maka berpengaruh juga pada kurang baik pada sisi lainnya.

22

Disini bank difungsikan memberikan kegiatan yang memungkinkan masyarakat

melakukan investasi, distribusi serta konsumsi/jasa dimana semua kegiatan

tersebut tidak dapat terpisahkan dari penggunaan uang. Jika semua kegiatan itu

berjalan lancer tentu akan banyak membantu dalam pembangunan perekonomian

masyarakat.

3) Agent of Service

Selain kegiatan utama bank menghimpun dan menyalurkan uang, bank

juga memberikan penawaran jasa perbankan lainnya kepada masyarakat. Jasa

yang ditawarkan bank ini erat dengan kegiatan perekonomian masyarakat secara

umum. Jasa disini berupa pengiriman uang, barang berharga, pemberian jaminan

bank maupun penyelesaian tagihan.

b. Jenis Bank

Menurut Undang-Undang Perbankan, praktek perbankan di Indonesia dibagi

menjadi beberapa jenis bank yang dilihat dari berbagai segi yaitu jenis bank

dilihat dari segi fungsinya, kepemilikannya, status, dan dari segi cara menentukan

harganya. Kami akan kupas satu-persatu sebagai berikut:

Jenis bank dilihat dari segi fungsinya, antara lain :

Dijelaskan dalam Undang-Undang No 7 tahun 1992 kemudian ditegaskan

dalam Undang-Undang Perbankan No 10 tahun 1998, maka jenis perbankan

terdiri dari tiga jenis yaitu Bank Sentral, Bank Umum dan Bank Perkreditan

Rakyat.

23

1) Bank Sentral

Sebuah badan keuangan miliki negara yang diberikan tanggung jawab untuk

mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan lembaga-lembaga keuangan dan

menjamin agar kegiatan badan-badan keuangan tersebut akan menciptakan tingkat

kegiatan ekonomi yang stabil.

2) Bank Umum

Bank yang melaksanakan kegiatan usaha perbankan secara konvensional dan

atau berdasar prinsip syariah islam yang dalam kegiatannya memberikan jasa

dalam lalu lintas pembayaran. Sifat umum disini adalah memberikan seluruh jasa

perbankan yang ada dan beroperasi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Bank

Umum kemudian dikenal dengan sebutan bank komersil (commercial bank).

3) Bank Perkreditan Rakyat

Bank yang melaksanakan kegiatan perbankan secara konvensional maupun

prinsip syariah islam dimana dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu

lintasp pembayaran. Kegiatan BPR lebih sempit daripada bank umum dimana

hanya melayani penghimpunan dana dan penyaluran dana saja. Bahkan dalam

menghimpun dana BPR dilarang menerima simpanan giro. Dalam wilayah

operasipun BPR juga dibatasi operasinya pada wilayah tertentu. Larangan lain

yaitu tidak ikut kliring dan transaksi valuta asing.

24

c. Jenis Bank Dilihat Dari Cara Menentukan Harga

1) Bank yang berdasarkan Prinsip Konvensional

Bank ini menerapkan metode penetapan harga sesuai tingkat suku bunga

(spread base) dan metode fee base (menghitung biaya-biaya yang dibutuhkan).

2) Bank yang berdasarkan Prinsip Syariah

Bank ini menerapkan aturan perjanjian sesuai hukum Islam antara bank

dengan pihak lain dalam menyimpan dana, pembiayaan usaha atau kegiatan

lainnya. Dalam menentukan harga, bank syariah menerapkan prinsip syariah

sebagai berikut:

a) Pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah).

b) Pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah).

c) Prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabah).

d) Pembiyaan barang modal berdasarkan sewa murni tanpa pilihan

(ijarah).

e) Atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang

yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtana).

d. Perjanjian Kredit Bank

Pengertian Perjanjian8 Berdasarkan Pasal 1313 Kuhperdata adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih”, dari rumusan yang yang diberikan pasal tersebut

menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan

dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah kewajiban atau

8Gunawan Widjaja. Seri Hukum Bisnis memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend

Recht) dalam Hukum Perdata. (Jakarta, 2006). hlm 248.

25

prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau lebih orang (pihak)

lainnya yang berhak atas prestasi tersebut yang merupakan perikatan yang harus

dipenuhi oleh orang atau subjek hukum tersebut. Dengan demikian, rumusan

tersebut memberikan konsekuensi hukum bahwa dalam suatu perjanjjian akan

selalu ada dua pihak, di mana satu pihak merupakan pihak yang wajib berprestasi

(debitur) dan pihak lainnya merupakan pihak yang berhak atas prestasi (kreditur).

Masing-masing pihak tersebut dapat terdiri dari suatu atau lebih orang. Bahkan

dengan berkembangnya ilmu hukum, pihak tersebut dapat juga terdiri dari satu

atau lebih badan hukum. Namun, dalam perkembangannya pengertian perjanjian

banyak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat dari definisi Hofmann yang

menyatakan perikatan adalah: “Suatu hubungan hukum antara sejumlah

terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa

orang daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk

bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas

sikap yang demikian itu”

Pengertian kredit yang diatur dalam Pasal 1 angka 11 Undang-

Undang Perbankan. Pasal 1 angka 11 Undang – Undang Perbankan, menyatakan

bahwa: “Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan

dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara

bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi

utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga”.

26

Definisi kredit yang tercantum dalam Pasal 1 angka 11 Undang-

Undang Perbankan tersebut di atas mencerminkan bahwa dasar dari

perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam di dalam KUHPerdata.

Secara sederhana dapat pula dikemukakan bahwa kredit adalah

kepercayaan antara pihak kreditur dan pihak debitur. Jadi apa yang

disepakati wajib untuk ditaati. Dari definisi tersebut tampak bahwa suatu

hubungan hukum antara pihak kreditur dan pihak debitur berawal dari adanya

suatu perjanjian yang dalam praktek lebih dikenal dengan sebutan perjanjian

kredit bank.

e. Asas dan Syarat Sahnya Perjanjian Kredit

Dalam hukum perjanjian dikenal ada beberapa macam asas. Adapun

asas-asas yang melatarbelakangi pembuatan perjanjian kredit, yaitu :

1) Asas Konsensualisme

Konsensualisme merupakan kesepakatan. Perjanjian lahir atau terjadi

dengan adanya kata sepakat dari para pihak yang akan mengadakan suatu

perjanjian. Kesepakatan dimaksudkan untuk mewujudkan kemauan para pihak

yang menjadikan perjanjian tersebut sah dan mengikat para pihak yang

terlibat di dalamnya. Asas ini dijumpai dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata.

2) Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan

membuat perjanjian mempunyai kebebasan untuk menentukan isi yang akan

27

dituangkan dalam perjanjian yang akan dibuat asalkan tidak bertentangan dengan

kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang. Asas inilah yang menyebabkan

suatu perjanjian bersifat terbuka. Asas ini termaktub dalam Pasal 1339

KUHPerdata.

3) Asas Kepribadian

Pada umumnya seseorang hanya diperbolehkan mengikatkan dirinya

sendiri dalam suatu perjanjian. Adapun konsekuensi dari diterapkannya asas

ini adalah tidak dimungkinkannya pihak ketiga untuk turut serta dalam pembuatan

perjanjian karena pihak tersebut berada di luar perjanjian. Asas ini tercantum di

dalam Pasal 1315 KUHPerdata.

4) Asas Itikad Baik

Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Para pihak yang

terlibat dalam suatu perjanjian harus melaksanakan substansi yang tercantum

di dalam perjanjian yang telah mereka sepakati dengan penuh kejujuran agar

sesuai dengan maksud dan tujuan dari perjanjian tersebut. Asas itikad baik

tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata.

5) Asas Keadilan

Asas keadilan menekankan kepada substansi dalam perjanjian yang

dibuat oleh kedua belah pihak harus mencerminkan adanya keseimbangan antara

hak dan kewajiban sehingga perjanjian yang akan dibuat tidak menimbulkan

kesan tumpang tindih yang dapat merugikan salah satu pihak. Asas ini

diatur dalam Pasal 1320 ayat (2) KUHPerdata.

28

6) Asas Kepatutan

Selain memperhatikan ketentuan dalam undang-undang, suatu

perjanjian yang akan dibuat oleh para pihak hendaknya juga memperhatikan

kebiasaan, kesopanan, dan kepantasan yang berlaku di dalam masyarakat sehingga

perjanjian itu dibuat secara patut. Asas kepatutan diatur dalam Pasal 1337

KUHPerdata.

7) Asas Kepercayaan

Asas kepercayaan juga penting untuk diimplementasikan dalam suatu

perjanjian. Kepercayaan mengandung arti bahwa para pihak yang terlibat dalam

suatu perjanjian harus saling percaya satu dengan yang lainnya dalam memenuhi

kewajiban seperti yang tercantum di dalam perjanjian.

f. Bentuk Perjanjian Kredit

Dalam praktek sehari-hari yang dilakukan oleh pihak kreditur dan

debitur tentunya dihadapkan oleh bentuk-bentuk perjanjian kredit. Perjanjian

kredit dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu:

1) Perjanjian Kredit dengan Akta Otentik

Dalam Black Law Dictionary, yang diartikan dengan akta otentik

atau acte authentique adalah: “A deed executed with certain prescribed

formalities, in the presence, of notary, mayor, greffer, or functionary qualified to

act in the place in which it is drawn up”. (Akta yang dibuat dengan

beberapa formalitas tertentu, dihadapan seorang notaris, walikota, panitera, atau

29

pejabat yang memenuhi syarat sesuai dengan yang telah ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan).

Definisi dari akta notariil diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4432), selanjutnya disebut UUJN. Pasal 1 angka

7 UUJN menyatakan bahwa: “Akta notaris adalah akta otentik yang dibuat

oleh atau dihadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam

undang undang ini”. Akta notaris sebagaimana diuraikan di dalam UUJN

tersebut di atas mempunyai sifat otentik. Pasal 1870 KUHPerdata,

menentukan bahwa: “Suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta

ahli waris-ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu

bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”.

Selain diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata, akta otentik juga diatur

dalam Pasal 1868 KUHPerdata sehingga kedua pasal ini saling bertalian satu

sama lain. Pasal 1868 KUHPerdata, menyatakan bahwa: “Suatu akta otentik ialah

suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat

oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat

dimana akta dibuatnya”.

Akta Notaris selain sebagai Undang-Undang bagi mereka yang

membuatnya sesuai dengan bunyi Pasal 1337 Jo Pasal 1338 KUHPerdata,

juga merupakan salah satu alat bukti tertulis sebagaimana yang tercantum

30

dalam Pasal 1866 KUHPerdata. Pasal 1866 tertulis sebagai berikut: “Alat-

alat bukti terdiri atas: Bukti tulisan; bukti dengan saksi-saksi; persangkaan-

persangkaan; pengakuan; sumpah. Segala sesuatu dengan mengindahkan

aturan-aturan yang ditetapkan dalam bab-bab berikut”.

Akta notaris adalah akta otentik yang memiliki kekuatan hukum

dengan jaminan kepastian hukum sebagai alat bukti tulisan yang sempurna

(volledig bewijs), tidak memerlukan tambahan alat pembuktian lain, dan

hakim terikat karenanya. Grosse akta notaris kedudukannya sama dengan

vonis keputusan hakim yang tetap dan pasti (inkracht van gewijsde) dan

mempunyai kekuatan eksekutorial.

2) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan

Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan antara para pihak yang terlibat

dalam perjanjian kredit tersebut tanpa melibatkan pihak pejabat yang

berwenang/Notaris. Perjanjian Kredit Di bawah tangan ini terdiri dari:

a) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan Biasa;

b) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan yang dicatatkan di Kantor Notaris

(Waarmerking); Suatu akta di bawah tangan yang dibuat dan

ditandatangani oleh para pihak untuk kemudian didaftarkan pada

Notaris, karena hanya didaftarkan, maka Notaris tidak

bertanggungjawab terhadap materi/isi maupun tanda tangan para pihak

dalam dokumen yang dibuat oleh para pihak.

c) Perjanjian Kredit di Bawah Tangan yang ditandatangani di hadapan

Notaris namun bukan merupakan akta notarial (Legalisasi); Suatu akta di

31

bawah tangan yang dibuat oleh para pihak namun

penandatanganannya disaksikan oleh atau di hadapan Notaris,namun

Notaris tidak bertanggungjawab terhadap materi/isi dokumen melainkan

Notaris hanya bertanggungjawab terhadap tanda tangan para pihak yang

bersangkutan dan tanggal ditandatanganinya dokumen tersebut.

F. Landasan Teori

Notaris mempunyai peran yang sangat unik. Bagi masyarakat, Notaris muncul

sebagai sosok yang mempumyai kewenangan publik, penyuluh, dan pemberi

nasihat. Kewenangan publik diperoleh notaris berdasarkan undang-undang

(Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris dahulu Peraturan Jabatan Notaris, S. 1860-3) untuk memberikan

bantuannya kepada masyarakat dalam bentuk pembuatan akta otentik.

Kewenangan publik yang diberikan pada notaris memberikan suatu kesan bahwa

notaris “penguasa”. Kesan ini ternyata tidaklah demikian halnya. Jabatan notaris

mempunyai dua ciri dan sifat yang essentiil, yaitu ketidakmemihakkan dan

kemandiriannya dalam pelaku-pelaku jabatan ini. Hal ini didukung oleh Pasal 17

Peraturan Jabatan Notaris (S. 1860-3; PJN) jo. Surat Ketetapan Menteri

Kehakiman RIS tanggal 22 mei 1950 Nomor JZ/171/4 (BN 1950-35).

Melihat pada stelsel hukum kita, yaitu stelsel hukum kontinental, maka

lembaga notariat Latin sebagai pelaksana undang-undang dalam bidang hukum

pembuktian memang harus ada, semata-mata untuk melayani permintaan dan

keinginan masyarakat. Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan bahwa :

32

“Suatu akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

undang-undang dibuat oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk

itu di tempat di mana akta itu di buatnya.”

Dihubungkan dengan ketentuan Pasal 1 butir 1 UUJN bahwa:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan

kewenangan lainnya (...).”

Dahulu pasal tersebut diatur di dalam ketentuan Pasal 1 PJN yang

menyatakan bahwa:

“Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat

Akta Otentik .....”

Dari bunyi ketentuan tersebut menyebabkan keberadaan lembaga notariat ini

memang merupakan suatu conditio sine quanon. Lain halnya dengan notariat

Anglo-Saxon atau Anglo-Amerika yang mempunyai tugas dan jabatan lain di

dalam sistem hukumnya9. Mereka bersikap pasif dan hanya bertugas untuk

semacam melegalisasi Akta di Bawah Tangan. Di dalam pekerjaan sehari-hari

seorang Notaris baru menjalankan tugasnya apabila mendapat suatu permintaan

atau “perintah” dari kliennya. Atas permintaan atau “perintah” tersebut notaris

menjalankan tugasnya guna mencapai suatu tujuan yang bersifat yuridis idiil,

yaitu tercapainya kepastian hukum, pencegahan, dan penyelesaian pekerjaan yang

sempurna;

9Herlien Budiono. Kumpulan tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan,

(Bandung. 2013). hlm. 284.

33

1. Kepastian hukum dicapai dengan melaksanakan tugas yang diberikan

kepada notaris sebaik dan sesempurna mungkin dengan menuangkan

keinginan para kliennya di dalam suatu akta otentik.

2. Pencegahan dilakukan sebagai kelanjutan dari pembuatan akta tersebut

agar di kemudian hari tidak terjadi komplikasi atau hal lain yang tidak

diinginkan oleh semua pihak.

3. Penyelesain pekerjaan yang sempurna merupakan tugas seorang Notaris

yang Profesional yang harus diberikan kepada kliennya di dalam bentuk

pelayanan pekerjaan hingga selesai dan tuntas termasuk penyelesaian

segala urusan berkaitan dengan instansi yang bersangkutan dengan

perbuatan hukum yang dilakukan kliennya.

4. Selain tugas tersebut di atas, masih ada tugas yuridis idiil lain dari notaris,

yaitu “pengaruh” notaris hingga dilakukannya tindakan hukum atau

terjadinya perjanjian di antara para pihak, tetapi dengan memegang teguh

ketidakmemihakan dan ketidakbergantungan. Dengan demikian, notaris

terhindar dari tuduhan telah ikut serta menyalahgunakan keadaan (misbruk

van omstandigheden) di dalam pembuatan aktanya sehingga akibatnya

akta notaris tersebut menjadi batal atau dapat dibatalkan. Notaris tidak lagi

dapat bersikap pasif, asal semua formalitas telah dipenuhi, tetapi proaktif

untuk menjaga keseimbangan di antara para pihak.

5. Last but not least, notaris harus dapat memupuk hubungan kepercayaan

dengan para kliennya. Tidak dapat dibayangkan apa jadinya jabatan

notaris apabila telah hilang kepercayaan masyarakat terhadap Notaris.

34

Tugas ini harus secara terus menerus dilakukan, baik secara perorangan

maupun secara kolegial karena jika tidak, akan dapat membawa akibat

buruk terhadap lembaga notariat.

G. Metode Penelitian

Dalam pelaksanaan penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Metode

Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approch) yaitu penelitian hukum

yang dilakukan dengan cara meneliti bahan-bahan pustaka atau penelitian

hukum kepustakaan, dan penelitian dari keadaan yang terjadi dalam kejadian

hukum yang nyata. Penelitian Yuridis Normatif adalah suatu proses untuk

menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-

doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi.

Penelitian ini merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum,

prinsip prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, yang beranjak dari

penerapan kode etik kenotariatan.

1. Metode Pendekatan

Jenis pendekatan yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini

adalah Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach). Pendekatan

Perundang-Undangan dilakukan dengan menelaah Undang-undang dan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani.

2. Teknik Analisis

Dalam penelitian ini data dianalisis secara kualitatif atau juga sering

dikenal dengan analisis deskriptif kualitatif. Keseluruhan bahan-bahan pustaka

35

yang terkumpul, diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan, kemudian

dianalisis dengan teori dan konsep yang relevan, sehingga dapat menjawab

permasalahan yang akan diteliti dan akhirnya data tersebut disajikan secara

deskriptif kualitatif dan sistematis.

H. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini, penulis membagi menjadi 4 (empat)

bab, dan masing-masing bab terbagi ke dalam sub-sub bab, dengan perincian

sebagai berikut :

BAB I

PENDAHULUAN, menguraikan latar belakang masalah dan perumusan masalah,

tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II

HASIL PENELITIAN, Peran notaris dalam melaksanakan tugas dan

kewajibannya harus memperhatikan segala kelengkapan dokumen dan kenyataan

yang terjadi di lapangan berkaitan dengan akta yang hendak dibuatnya, sehingga

tidak akan menyebabkan kerugian bagi para pihak yang membuat akta.

BAB III

ANALISIS HASIL PENELITIAN, dari penelitian tersebut dapat dijelaskan

adanya ketidakseimbangan dalam kontrak/perjanjian dapat dicermati dari

beberapa model kontrak, terutama kontrak-kontrak konsumen dalam bentuk

standar/baku yang didalamnya memuat klausul-klausul yang isinya cenderung

berat sebelah. Dalam praktek pemberian kredit di lingkungan perbankan, misalnya

36

terdapat klausul mewajibkan nasabah untuk tunduk terhadap segala petunjuk dan

peraturan bank, baik yang sudah ada atau yang akan diatur dikemudian hari.

Dalam kontrak jual beli, misalnya terdapat klausul barang yang sudah dibeli tidak

dapat dikembalikan. Klausul tersebut pada umumnya merupakan klausul ekstensi

yang isinya terkesan lebih memberatkan salah satu pihak.

Disamping itu juga menjelaskan bagaimana Notaris dalam melaksanakan

prinsip kehati-hatian dalam penandatanganan akta perjanjian kredit, pelaksanaan

prinsip keseimbangan, hingga akibat hukum bila Notaris dalam melaksanakan

jabatan tidak berdasarkan Kode Etik Notaris.

BAB VI

PENUTUP, terdiri dari kesimpulan dan saran-saran dari hasil pembahasan bab-

bab sebelumnya.