bab i pendahuluan · 2017. 11. 10. · dan semangat gotong royong sehingga sanggup serta...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Orang Tionghoa adalah salah satu dari sekian kelompok
minoritas yang tersebar di seluruh Indonesia. Mereka sudah hadir
di negeri ini jauh sebelum negara Indonesia ada. Namun
kehadiran mereka telah dianggap sebagai sebuah masalah sejak
sebelum Indonesia merdeka.1 Setelah Indonesia merdeka dan terus
sampai naiknya rezim Orde Baru eksistensi mereka tetap menjadi
sebuah persoalan yang tak kunjung selesai. Dua masalah mereka
adalah masalah identitas dan loyalitas.2 Identitasnya dipersoalkan
karena dipandang asing dan tidak asli Indonesia; sementara
loyalitasnya dipersoalkan karena haluan politiknya dianggap
berorientasi kepada negara lain. Bagi pemerintah Orde Baru orang
Tionghoa bermasalah karena mereka berasal dari luar wilayah
geografis nasional Indonesia, berbeda budayanya, kuat secara
ekonomi namun dicurigai terkait erat dengan komunisme.3
Masalah-masalah tersebut dipandang berbahaya bagi
pencapaian dua tujuan besar pemerintah Orde Baru, yaitu
1 Hal itu tercermin dalam sebuah artikel yang ditulis oleh Amry
Vandenbosch yang berjudul “A Problem in Java: The Chinese in the Dutch
East Indies,” Pacific Affairs Vol. 3, No. 11 (Nov., 1930): 1001-1017. 2 Charles A. Coppel, Tionghoa Indonesia Dalam Krisis (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 1994), 59-61. 3 Ariel Heryanto, “Ethnic Identities and Erasure: Chinese
Indonesians in Public Culture,” dalam Joel S. Kahn, ed., Southeast Asian Identities: Culture and Politics of Representation in Indonesia, Malaysia, Singapore
and Thailand (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, 1998), 97.
2 | BAB I PENDAHULUAN
stabilitas politik dan keamanan serta pembangunan nasional.4
Dalam kaca mata ideologis Orde Baru, yang mengedepankan
kesatuan organis masyarakat,5 perbedaan-perbedaan yang dimiliki
oleh orang Tionghoa rawan memicu gesekan dan konflik sosial
serta berpotensi merintangi program pembangunan nasional. Agar
masalah itu tidak sampai terjadi maka pemerintah merasa perlu
mengambil langkah-langkah kontrol atas orang-orang Tionghoa.6
Solusi yang dipilih untuk menyelesaikannya ialah kebijakan atau
program asimilasi.
Sejumlah hal yang dijadikan pertimbangan kebijakan ini
adalah karena “agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina di
Indonesia” dianggap “berpusat pada negeri leluhurnya.” Hal
tersebut dikuatirkan “menimbulkan pengaruh psychologis, mental
dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia.”7
Selanjutnya, agar orang Tionghoa tidak lagi hidup secara “seklusif
rasial”8 yakni berkumpul di dalam kelompoknya sendiri, dan demi
mewujudkan warga negara Indonesia (WNI) yang “menghayati
dan berjiwa Pancasila” serta yang “menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan hidup di mana mereka berada”9 maka mereka harus
berasimilasi ke dalam masyarakat di mana mereka berada.
4 Untuk tujuan besar Orde Baru lihat Colin Brown, A Short History of
Indonesia: The Unlikely Nation? (Crows Nest, NSW.: Allen and Unwin, 2003),
200. Lihat juga Chang Yau Hoon, “Assimilation, Multiculturalism &
Hybridity: The Dilemmas of the Ethnic Chinese in Post-Suharto Indonesia,” Asian Ethnicity, Volume 7, Number 2 (June 2006): 151.
5 David Bourchier & Vedi R. Hadiz, Indonesian Politics and Society: A
Reader (New York: RoutledgeCurzon, 2003), 8. 6 Irman G. Lanti, “Comparing Ethnic Minorities in Control and in
Hegemoci Consociational Situations: The Political and Economic Roles of
the Chinese in Malaysia and Indonesia,” Graduate Journal of Asia Pacific Studies
2:1 (2004): 72, 75-80. 7 Inpres No. 14 Tahun 1967 tertanggal 6 Desember 1967 tentang
Agama, Kepercayaan dan Adat-Istiadat Cina. 8 Keppres No 240 Tahun 1967 tertanggal 6 Desember 1967 tentang
Kebijaksanaan Pokok yang Menyangkut Warga Negara Indonesia Keturunan
Asing. Lihat juga 9 Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0170/U/1975
tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Asimilasi
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 3 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Gambaran yang lebih detil dari itu dapat ditemukan dalam
keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tentang asimilasi
di bidang pendidikan. Meskipun mengatur soal asimilasi di bidang
pendidikan namun apa yang tergambar di sini dapat diterima
sebagai cerminan dari keinginan pemerintah secara keseluruhan.
Asimilasi diberlakukan supaya orang-orang Tionghoa10
1. memiliki sikap dan perilaku terbuka sebagai perwujudan
penghayatan nilai Pancasila;
2. memiliki cara hidup yang sesuai dengan nilai-nilai
kebudayaan nasional sehingga dengan demikian melenyap-
kan kantong-kantong kebudayaan asing;
3. mengadakan komunikasi sosial yang saling mengisi dengan
warga negara Indonesia lainnya sehingga menghilangkan
sikap eksklusivisme golongan;
4. menggunakan Bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-
hari baik di dalam maupun di luar sekolah sebagai bahasa
nasional;
5. memiliki kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
sehingga peri kehidupan beragama dapat dihayati dan
diamalkan sesuai dengan falsafah Pancasila demi tercapai-
nya kerukunan hidup beragama;
6. berjiwa Pancasila sehingga dapat menjadi generasi penerus
yang lebih baik, lebih bertanggung jawab, lebih mampu
mengisi dan membina kemerdekaan Bangsa;
7. memiliki kesadaran akan nilai-nilai sejarah perjuangan
Nasional dengan kemantapan keseimbangan kehidupan
lahiriah dan batiniah serta mempunyai jiwa yang dinamis
dan semangat gotong royong sehingga sanggup serta
(Pembauran) di Bidang Pendidikan. Juga lihat isi pidato kenegaraan Presiden Soeharto pada tanggal 16 Agustus 1967, yang menggemakan hal serupa.
Lihat Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila (Jakarta:
CSIS, 1976), 56. 10 Lihat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0170/U/1975 tertanggal 18 Maret 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan Asimilasi (Pembauran) di Bidang Pendidikan.
4 | BAB I PENDAHULUAN
mampu melanjutkan perjuangan Bangsa dalam mencapai
tujuan.
Ketujuh sasaran itu memperlihatkan bahwa asimilasi
ditujukan untuk mengubah sikap dan cara hidup pribadi, cara
hidup komunitas, komunikasi sosial, bahasa, agama serta orientasi
patriotisme orang Tionghoa. Dalam ungkapan Benny G. Setiono,
kebijakan ini pada hakikatnya hendak “melikuidasi pengaruh
seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat
istiadat dan agamanya dan mendorong terjadinya asimilasi secara
total.”11 Sasaran akhirnya adalah “secara fisik dan mental tidak
ada lagi tirai pemisah antara Warga Negara keturunan Cina
dengan Warga Negara Indonesia (asli).”12 Dengan demikian tidak
akan ada lagi yang namanya orang Tionghoa. Yang tersisa hanya
orang Indonesia saja.
Orang-orang Tionghoa Kristen di dalam Gereja Kristus
Tuhan (GKT) adalah imigran dari Tiongkok, yang secepat-
cepatnya masuk ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19 dan
paling lambat pada akhir tahun 40-an. Ketika Orde Baru
mengambil alih kekuasaan, sebagian besar di antaranya adalah
generasi pertama, yang lahir dan dibesarkan di Tiongkok atau lahir
di sana dan dibesarkan di sini. Sisanya adalah generasi kedua,
yakni anak-anak dari generasi pertama ini. Hampir semuanya
adalah warga negara asing Tiongkok (WNA). Di GKT mereka
berkumpul dalam jemaat-jemaat yang dibentuk menurut kesamaan
bahasa dan daerah asal. Dari antara lima belas jemaat yang
mendirikan Sinode GKT pada tahun 1968, empat belas di
antaranya memakai bahasa Tionghoa secara penuh dalam
kehidupan dan kegiatan-kegiatan gerejawi. Para pemimpin jemaat
hampir semua berkewarganegaraan asing; demikian pula dengan
para pekerja gerejawinya—para pendeta dan pengabar Injil. Untuk
pendidikan anak-anak, mereka mengirimkannya ke sekolah-
11 Benny G. Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik: Menyingkap
Fakta Sejarah Tersembunyi Orang Tionghoa di Indonesia (Jakarta: TransMedia
Pustaka, 2008), 1008. 12 Krissantono, ed., Pandangan Presiden Soeharto tentang Pancasila, 56.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 5 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
sekolah asing Tionghoa yang berada di kota-kota kediaman
mereka di Jawa Timur.
Dengan bangun kehidupan sosial dan keagamaan
semacam ini maka kebijakan asimilasi membawa sejumlah
masalah. Awalnya bersifat praktis saja, seperti bagaimana caranya
membina rohani umat yang sebagian besar hanya mampu
memahami bahasa Tionghoa saja. Atau, bagaimana caranya
memperoleh literatur-literatur spiritual Kristen, termasuk Kitab
Suci Kristen dalam bahasa Tionghoa dan materi pendamping-
nya;13 atau bagaimana caranya menyediakan tenaga-tenaga
pekerja gerejawi yang berbahasa Tionghoa;14 atau ke sekolah mana
anak-anak harus disekolahkan.15 Selanjutnya muncul persoalan
lain yang jauh lebih mendasar, yakni yang berhubungan dengan
identitasnya sebagai bagian dari kelompok etnis Tionghoa.
13 Dua orang informan mengungkapkan bahwa pada akhir 60-an
dan awal 70-an, sulit sekali bagi mereka untuk mendapatkan Alkitab dan
literatur Kristen dalam bahasa Tionghoa. Karena dilarang maka harus
diimpor dari Hongkong meski tetap dengan banyak kesukaran. Biasanya dibawa secara sembunyi-sembunyi dari Hongkong dengan memasukkannya
ke dalam koper. Wawancara di Mojokerto, 7 Juli 2009. 14 Sejak mulai dirintis pada awal abad XX sampai tahun 1940,
hampir semua pendeta yang melayani di THKTKH Klasis Jawa Timur
didatangkan dari Tiongkok. Pola penyediaan terhenti sama sekali pada masa
Pendudukan Jepang. Setelah masa Pendudukan Jepang berakhir, pola penyediaan tenaga seperti ini dilakukan kembali. Kali ini tidak lagi dari
Tiongkok tetapi dari Hongkong, Taiwan atau Singapura. [Beberapa tenaga pendeta tetap yang bekerja di GKT sampai tahun 1965 adalah Pdt. Yio Pek
Eng (Tiongkok, datang tahun 1940), Pdt. Oei Poo Tjin (Tiongkok, datang tahun 1946), Pdt. Sie Ren Tek (Singapura, datang tahun 1950), Pdt. Ie Tjin
Sin (Tiongkok, datang tahun 1930-an). Selain para pendeta ini juga hadir
guru-guru Injil yang datang dari Tiongkok.] Pola ini kembali terhenti sama sekali setelah tahun 1965. Keadaan ini menimbulkan krisis tersendiri pada
THKTKH Klasis Jawa Timur dan selanjutnya pada GKT. 15 Berdasarkan isi Surat Keputusan Menteri P.P. dan K No. 016/1966
tertanggal 6 Juli 1966 ditetapkan bahwa anak WNA, bekas murid sekolah
asing, diizinkan masuk ke sekolah negeri namun “tidak ada keharusan bagi sekolah negeri untuk menampung mereka.” Sekolah swasta juga “dilarang
menerima anak warga negara asing bekas murid sekolah asing yang telah
ditutup.” Yang bisa diterima oleh sekolah swasta adalah “bekas murid sekolah asing yang dapat memberikan bukti bahwa anak itu benar-benar dari
keluarga yang beragama” sesuai dengan landasan agama sekolah swasta tersebut.
6 | BAB I PENDAHULUAN
Penanda-penanda budaya (cultural markers) yang selama ini
dipergunakan untuk mengidentifikasi diri sebagai orang Tionghoa,
antara lain nama dan bahasa Tionghoa, sekarang dipaksa untuk
dihilangkan dan diganti dengan penanda-penanda yang lain.
Sejumlah pertanyaan kemudian muncul. Di antaranya,
“Apakah yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di
GKT dalam menghadapi paksaan itu? Apakah mereka patuh?
Apakah mereka melawan?” Penjelasan umum tentang sikap
orang-orang Tionghoa di masa Orde Baru mengatakan bahwa
mereka tunduk dan patuh kepada tuntutan kebijakan asimilasi.
Tidak ada perlawanan. Sekalipun prosesnya diakui tidak otomatis
dan membutuhkan waktu namun ide dasarnya adalah tunduk dan
mengindonesiakan diri.16 Dalam proses ini agama dan lembaga-
lembaga keagamaan orang Tionghoa dikatakan telah memfasilitasi
asimilasi.17 Jika pendapat ini benar maka seharusnya selama Orde
Baru aspek-aspek kultural orang Tionghoa Kristen di GKT akan
melemah. Kehidupan mereka akan makin cocok dengan cita-cita
asimilasi. Tetapi, seperti nanti akan diperlihatkan, kenyataan tidak
berjalan seperti itu. Dalam masa satu tahun setelah Orde Baru
tumbang, orang-orang Tionghoa Kristen di GKT malah begitu
bersemangat untuk menegaskan ke publik penanda-penanda
Tionghoanya sekaligus dengan itu bersemangat menyatakan
identitas ketionghoaannya.
Apa yang membuatnya jadi begitu? Mengapa setelah
kurang lebih tiga puluh tahun dilarang berbahasa Tionghoa dan
dilarang berkelompok secara eksklusif dengan sesama orang
Tionghoa kini malah berbalik arah dan condong memilih menjadi
seperti itu? Hal-hal semacam ini tentu tidak bisa muncul begitu
saja hanya gara-gara rezim berganti. Apalagi sampai saat itu,
kebijakan-kebijakan asimilasi masih belum dicabut. Kalau begitu
dapat diduga bahwa dalam cara-cara yang tidak teramati oleh
16 Lihat Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa (Jakarta: Grafiti
Pers, 1984), 206. 17 Stuart W. Greif, “WNI” Problematik Orang Indonesia Asal Cina
(Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1991), 127.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 7 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
penguasa, komponen-komponen penanda ketionghoaan, yang
selama ini coba dihapus lewat program asimilasi, ternyata secara
diam-diam berhasil terus dilestarikan. Dengan cara-cara yang rapi
dan tidak terlihat oleh observasi penguasa mereka berhasil
melawan upaya-upaya negara untuk menghapuskannya.
Dorongan untuk melakukan penelitian ini timbul dari
pengalaman pribadi saya, sebagai seorang non-Tionghoa dari etnis
Sumba yang lahir dan besar di kota Sumbawa Besar, Nusa
Tenggara Barat (NTB); yang sama sekali tidak mampu berbahasa
Tionghoa, namun yang bersekolah, hidup dan berkarya di antara
orang-orang Tionghoa Kristen yang berkumpul di dalam Gereja
Kristus Tuhan (GKT). Perkenalan sangat intensif dimulai ketika
saya menempuh studi teologi di sekolah tinggi teologi milik Sinode
GKT di kota Lawang, Malang. Sekolah itu bernama Sekolah
Tinggi Teologi Aletheia (STTA).18 Masa studi saya di sana
berlangsung dari tahun 1992-1997. Dari sejak tingkat dua sampai
tingkat terakhir, saya ditempatkan secara resmi untuk melakukan
latihan pelayanan akhir minggu di beberapa jemaat GKT di kota
Malang. Pertama-tama di GKT Pos Pekabaran Injil (PI) Singosari
(1993-1994), lalu GKT Pos PI Kepanjen (1994-1995) dan terakhir
di GKT Jemaat II Malang. Pada antara bulan Juni-Agustus 1994
saya ditugaskan di GKT Pos PI Mimbo, Situbondo. Lalu pada Juli
1995-Juni 1996 saya ditugaskan praktik pelayanan satu tahun di
sebuah gereja Tionghoa lain di kota Bandung, yaitu Gereja Kristen
Immanuel (GKIm) Jemaat Mesias.19 Setamat dari STTA pada
tahun 1997, saya ditempatkan oleh Badan Pengurus (BP) Sinode
GKT sebagai pekerja gerejawi penuh waktu di GKT Jemaat Sinai
18 Sekolah teologi ini didirikan oleh Gereja Kristus Tuhan sebagai
wadah untuk mempersiapkan calon-calon pendeta dan penginjil yang bekerja di lingkungannya. Sekolah ini didirikan oleh pada 12 Februari 1969. Selain
melayani kebutuhan GKT sekolah ini juga melayani gereja-gereja lain yang mengutus calon-calon pendeta dan penginjilnya belajar di situ.
19 GKIm merupakan sebuah sinode kecil yang muncul dari Sinode
Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat. Gereja-gereja yang tergabung dalam sinode ini berlatar belakang orang Tionghoa totok dari sub etnis
Hokchia/Hokchiu. Mereka memisahkan diri dari Sinode GKI Jabar pada tahun 1976.
8 | BAB I PENDAHULUAN
di Kota Batu, Malang. Saya menjadi pendeta di gereja tersebut
selama sembilan tahun sampai tahun 2006.
Saya belajar, hidup dan bekerja di antara orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT sejak tahun-tahun terakhir akhir era
pemerintahan Orde Baru sampai tumbangnya dan terus sampai
kini di dalam Orde Reformasi. Selain bekerja di level lokal saya
pun sempat ditunjuk memimpin dua lembaga sinodal, yaitu
Departemen Dogma dan Penelitian untuk periode 2001-2005 dan
Kelompok Kerja Penelitian dan Pengembangan (Pokja Litbang)
untuk masa bakti 1999-2005. Posisi ini membawa saya bertemu,
berkenalan akrab dan bekerja sama dengan banyak orang
Tionghoa di GKT di yang tinggal di kota-kota lain.
Saya hadir di tengah-tengah mereka pada masa kebijakan
asimilasi atau pembauran menjadi kebijakan resmi pemerintah
untuk menyelesaikan masalah orang-orang Tionghoa.20 Saya juga
hadir dan dapat merasakan kecemasan yang begitu mendalam
ketika bersamaan dengan jatuhnya pemerintahan Orde Baru
timbul aksi-aksi permusuhan terhadap orang-orang Tionghoa di
sejumlah tempat di Indonesia. Saya merasakan suasana takut yang
mencengkeram mereka di Kota Batu dan mendengarkan
ungkapan-ungkapan hati yang gelisah mencermati situasi yang
sedang berkembang. Namun saya juga hadir di tengah-tengah
mereka dan dapat merasakan antuasiasme serta optimisme yang
meledak setelah terbit perubahan sikap politik pemerintah kepada
orang-orang Tionghoa pasca jatuhnya pemerintahan Suharto.
Perubahan itu diresponi, salah satunya, dengan mengusulkan
kepada Sidang Sinode Ke-18 tahun 1999, sidang sinode pertama
yang dilakukan pada era reformasi, untuk memasukkan kembali
teks bahasa Tionghoa ke dalam edisi revisi buku Puji-pujian
Rohani (PPR), yang baru terbit dua tahun sebelumnya. Setelah
20 Tentang kebijakan pemerintah Orde Baru lihat Leo Suryadinata,
“Indonesian Policies toward the Chinese Minority under the New Order,”
Asian Survey, Vol. 16, No. 8 (Aug., 1976): 776; Mely G. Tan, Etnis Tionghoa di
Indonesia: Kumpulan Tulisan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), 48.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 9 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
melalui suatu perdebatan yang cukup sengit, usulan itu akhirnya
diterima dengan suara bulat.
Tahun-tahun sesudah itu kehidupan GKT diwarnai oleh
perdebatan lain mengenai identitas kelompok target (target group)
usaha pekabaran Injil (PI) yang dilakukan oleh GKT. Perdebatan
ini tampaknya dipicu oleh pernyataan visi dan misi sebuah jemaat
GKT di Surabaya yang barusan dirilis. Dalam pernyataan itu
dicantumkan bahwa identitas jemaat itu adalah sebuah gereja
Tionghoa.21 Dengan dasar itu maka sasaran yang sengaja dipilih
untuk karya PI-nya adalah orang-orang Tionghoa. Kelompok
Kerja Penelitian dan Pengembangan (Pokja Litbang) Sinode GKT
kemudian diminta oleh BP Sinode GKT untuk melakukan sebuah
riset jemaat terkait dengan maksud menjadikan orang Tionghoa
sebagai target utama karya PI GKT. Tugas kami adalah
mencermati kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan
timbul dalam jemaat bila ide itu benar-benar diwujudkan. Dalam
pembicaraan-pembicaraan awal didapati bahwa sebagian orang
mendukung penuh ide itu sementara yang lain meminta supaya
gagasan itu nantinya diformulasi dengan baik supaya di satu pihak
dapat mendorong pertumbuhan jumlah anggota GKT dan di pihak
lain tidak mengganggu harmoni dengan anggota-anggota jemaat
GKT yang non-Tionghoa. Gagasan ini akhirnya tidak dilanjutkan
karena tidak pernah ditemukan formulasi yang tepat dan timbul
kritik keras dari sejumlah anggota gereja, yang cemas terhadap
timbulnya konflik di antara anggota yang Tionghoa dan non-
Tionghoa.
Pengalaman-pengalaman tersebut menyadarkan saya
bahwa GKT masih tetap sebuah gereja etnis Tionghoa. Orang-
orang Tionghoa yang ada di dalamnya masih tetap ingin
mempertahankan identitas ketionghoaannya. Inilah yang mem-
bangkitkan minat saya untuk melakukan studi mendalam atas
21 Pernyataan Visi GKT Hosana, Surabaya. Kalimat lengkapnya
adalah: “Gereja Reformed Tionghoa yang sehat dan menjadi berkat dalam
kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk serta berperan aktif dalam misi sedunia.” Lihat situsnya: http://www.gkthosana.org/
10 | BAB I PENDAHULUAN
kehidupan orang-orang Tionghoa GKT di masa Orde Baru. Lewat
penelitian ini saya harap dapat menjelaskan hal-hal apa saja yang
dilakukan oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT melalui
lembaga keagamaannya untuk melawan program asimilasi. Saya
juga berharap bahwa penelitian ini akan memberikan suatu
pemahaman baru kepada studi-studi tentang orang-orang
Tionghoa di Indonesia dan kepada peran agama dalam
perlawanan kelompok-kelompok minoritas terhadap dominasi
negara.
B. Pertanyaan Penelitian dan Tujuan Penelitian
Kebijakan asimilasi adalah salah satu cara yang dipakai
negara untuk mendominasi kelompok minoritas di dalam negara.
Secara historis kemunculannya dihubungkan dengan timbulnya
negara-negara kuat (the strong states),22 yakni negara yang bercirikan
peran pemerintah pusat yang menonjol dalam mengontrol dan
mengatur kehidupan masyarakat.23 Maksud di belakangnya adalah
untuk mencegah timbulnya masalah yang disebabkan oleh
kelompok minoritas, baik itu yang bersifat kriminal maupun
pemberontakan.24 Etnis-etnis minoritas yang hidupnya berbeda
(distinct) dan diam dalam komunitas-komunitas yang ter-
konsentrasi di suatu tempat dalam pandangan negara-negara kuat
adalah suatu masalah berbahaya yang harus diselesaikan.25
Keperbedaannya mengancam homogenitas populasi dalam sebuah
teritori negara26 dan bisa mendatangkan ancaman serius kepada
22 Henry Minde, “Assimilation of the Sami—Implementation and
Consequences,” Gáldu Čála-Journal of Indigenous Peoples Rights No. 3 /2005: 7. 23 Lihat pula Joel S. Migdal, State in Society: Studying How States and
Societies Transform and Constitute One Another (Cambridge, UK.: Cambridge
University Press, 2004), khususnya dalam Bab 3. 24 Terence E. Cook, Separation, Assimilation, or Accomodation:
Contrasting Ethnic Minorities Policies (Westport, CT.: Praeger Publishers, 2003),
64. 25 Minde, gáldu čála No. 3 /2005: 7. 26 Adriana Kemp, “Dangerous Population: State Territoritoriality
and the Constitution of National Minorities” dalam Joel S. Migdal, ed., Boundaries and Belonging: States and Societies in the Struggle to Shape Identities and
Local Practices (New York: Cambridge University Press, 2004), 74.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 11 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
mereka yang berada di pusat kekuasaan.27 Agar ancaman-ancaman
itu tidak berubah menjadi kenyataan maka negara biasanya
membuat sebuah kebijakan nasional khusus (special national
policy)28 untuk mengendalikan orang-orang minoritas tersebut.
Asimilasi adalah kebijakan yang paling sering diambil.29
Berangkat dari aksioma Foucault yang mengatakan,
“Where there is power, there is resistance”30—setiap peragaan
kekuasan, apapun bentuknya dan oleh siapapun itu, akan selalu
melahirkan perlawanan—maka dua pertanyaan utama yang
melandasi proyek disertasi ini adalah: dengan cara-cara bagaimana
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT merespons kebijakan
asimilasi? Strategi-strategi apakah yang dipergunakan dalam
menghadapi tekanan kebijakan yang bermaksud menghapuskan
penanda-penanda budayanya sebagai orang Tionghoa?
Terhadap kebijakan asimilasi pemerintah Orde Baru
respons orang-orang Tionghoa tentu bermacam-macam. Berangkat
dari teori perlawanan orang-orang tertindas yang digagas oleh
James C. Scott, penelitian ini hendak mencapai dua tujuan.
Pertama, untuk menggambarkan tanggapan-tanggapan yang
diambil oleh orang-orang Tionghoa Kristen di GKT terhadap
kebijakan asimilasi sekaligus perlawanannya terhadap maksud
kebijakan tersebut. Tujuan yang kedua adalah untuk melengkapi
sejumlah pandangan yang selama ini sudah diajukan oleh para
ahli tentang respons-respons orang Tionghoa kepada kebijakan
asimilasi. Menambahkan kepada pemikiran-pemikiran yang sudah
ada selama ini tentang peran positif agama dalam proses asimilasi
orang Tionghoa di zaman Orde Baru, riset ini mau
memperlihatkan bahwa peran yang dimainkan agama dan
27 Mary P. Callahan, “Making Myanmars: Language, Territory, and
Belonging in Post Socialist Burma” dalam Joel S. Migdal, ed., Boundaries and
Belonging, 99. 28 Minde, gáldu čála, 7. 29 Thomas Hylland Eriksen, Ethnicity and Nationalism: Anthropological
Perspectives (London: Pluto Press, 2010), 149. 30 Michel Foucault, History of Sexuality Volume I: An Intriduction (New
York: Vintage Books, 1990), 95.
12 | BAB I PENDAHULUAN
lembaga keagamaan tidak selalu demikian. Dalam kasus orang
Tionghoa Kristen di GKT, akan diperlihatkan bahwa lembaga
keagamaan Kristen di mana mereka berkumpul malah memainkan
peran yang berbeda.
C. Fokus dan Ruang Lingkup Penelitian
Studi ini hendak menginvestigasi respons orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT terhadap upaya pemerintah Orde Baru
mengasimilasikan mereka ke dalam masyarakat dan budaya
Indonesia. Fokus analisisnya adalah orang-orang Tionghoa
Kristen yang berkumpul dalam wadah lembaga keagamaan yang
bernama Sinode Gereja Kristus Tuhan (GKT) dan strategi-
strateginya dalam menghadapi kebijakan asimilasi di masa
pemerintahan Orde Baru dari tahun 1968-1998.
Mengingat besarnya kuantitas dan luasnya wilayah
penyebaran subjek penelitian maka ruang lingkup penelitian akan
dikonsentrasikan pada dua lokasi saja. Yang pertama adalah
respons-respons yang mereka perlihatkan secara bersama-sama di
tingkat pusat atau sinodal. Di sini ada dua lokasi yang
diinvestigasi. Yang pertama adalah di sidang-sidang sinode GKT
dari tahun 1968-1999 dan yang kedua adalah di rapat-rapat Badan
Pengurus Sinode GKT.
Lokasi kedua adalah respons-respons yang mereka
perlihatkan di tingkat jemaat atau di level lokal. Dari keseluruhan
lokasi maka jemaat-jemaat yang mendapat perhatian adalah yang
berada di di kota Surabaya dan Malang. Dua tempat ini sengaja
dipilih karena di sinilah cikal bakal GKT ditanam, bertumbuh dan
berkembang. Yang lain, karena personel-personel yang duduk di
kepengurusan pusat organisasi gereja sebagian besar berasal dari
kedua kota ini. Kontribusi tenaga, dana dan pemikiran banyak
berasal dari jemaat-jemaat GKT di kedua kota ini. Lagipula,
sidang-sidang sinode, rapat-rapat atau pertemuan-pertemuan
penting para pemimpin GKT banyak dilakukan di kedua kota ini.
Hal ini tidak berarti bahwa jemaat-jemaat di kota lain sama sekali
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 13 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
diabaikan. Jemaat-jemaat itu tetap akan diinvestigasi sejauh
relevan dengan soal yang mau dibahas.
D. Metodologi
Pendekatan yang dipergunakan oleh penelitian ini bersifat
kualitatif. Ini karena perhatian yang diberikan oleh pendekatan ini
kepada individu-individu dan situasi hidup mereka31 serta
kemampuannya untuk memberikan gambaran rinci dan mendalam
tentang suatu peristiwa atau perilaku orang atau kelompok orang
di suatu masa dan tempat tertentu.32 Pusat perhatiannya bukan
pada data-data kuantitatif atau angka-angka melainkan pada data-
data tekstual dan kisah-kisah subjek yang diteliti,33 pada emosi-
emosi mereka, motivasi-motivasi, simbol-simbol dan maknanya,
serta aspek-aspek subjektif lain sebagaimana tampil dalam
perilaku-perilaku sehari-hari, dalam pengalaman-pengalamannya
dan dalam berbagai kondisi yang mempengaruhi hal-hal yang
rutin dan alami buat mereka.34
1. Metode-metode Penelitian
Mengingat penelitian ini dilakukan atas kehidupan yang
berlangsung di masa yang lalu maka strategi utama yang
dipergunakan untuk menggali data adalah dengan penelitian
dokumen-dokumen dan arsip-arsip. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih terang tentang situasi dan kondisi yang
sedang berlangsung pada masa yang diteliti serangkaian
31 Bruce L. Berg, Qualitative Research Methods for the Social Sciences
(Needham Heights, MA.: Allyn & Bacon, 2001), 10. 32 Prof. Dr. Djam’an Satori, M.A. & Dr. Aan Komariah, M.Pd.,
Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. Ke-2. (Bandung: Penerbit Alfabeta, 2010),
219. 33 Carl F. Auerbach & Louise B. Silverstein, An Introduction to Coding
and Analysis Qualitative Data (New York, NY.: New York University Press,
2003), 23, 24. 34 Berg, Qualitative Research Methods, 10-11.
14 | BAB I PENDAHULUAN
wawancara dilakukan atas sejumlah individu. Selain itu,
keterlibatan dalam berbagai kegiatan gerejawi bersama subjek
penelitian juga turut dilakukan untuk mencari informasi yang
melengkapi data-data penelitian. Informasi yang diperoleh dari
sejumlah percakapan direkam dalam laporan percakapan.
Di bawah ini merupakan penjelasan metode-metode riset
yang dipergunakan.
1.1. Penelitian Dokumen
Jika wawancara dan observasi berhubungan dengan subjek
yang hidup, riset dokumen berurusan dengan subjek-subjek yang
bisu, yang terdiri atas teks-teks tertulis dan artifak-artifak.35
Lincoln dan Guba membagi dokumen-dokumen ini ke dalam dua
kategori, yakni dokumen-dokumen (documents) dan rekaman-rekaman
(records).36 Rekaman-rekaman adalah teks-teks yang dipersiapkan
untuk suatu transaksi formal. Bentuknya seperti piagam nikah,
surat izin mengemudi, surat kontrak dan lain-lain. Dokumen-
dokumen adalah teks-teks yang dipersiapkan untuk urusan-urusan
personal. Bentuknya bisa berupa buku harian (diary), memo, surat-
surat, catatan-catatan lapangan dan lain-lain.
Hodder menyejajarkan dokumen dengan peristiwa ucapan
atau perkataan (speech). Untuk memahaminya dibutuhkan
interpretasi yang lebih kontekstual. Rekaman lebih sejajar dengan
peristiwa tulisan, yang penggunaannya dapat sangat lokal dan
karena itu maknanya bisa sangat jauh dari yang diterima secara
resmi. Jika dokumen melibatkan suatu teknologi yang bersifat
35 Ian Hodder, “The Interpretation of Documents and Material
Culture” dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, eds., Collecting and
Interpreting Qualitative Materials (Thousand Oaks, CA.: SAGE Publications
Inc., 2003), 155. 36 Ibid., 156.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 15 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
pribadi sementara rekaman suatu teknologi kekuasaan negara yang
penuh.37
Sartono Kartodirdjo membuat dua pembedaan lain atas
dokumen. Yang pertama dokumen dalam arti sempit dan kedua
dokumen dalam arti luas. Dokumen pertama adalah “kumpulan
data verbal yang berbentuk tulisan.”38 Dokumen jenis ini dapat
ditemukan pada surat-surat, catatan-catatan harian, memoar-
memoar, laporan-laporan dan lain sebagainya. Dokumen jenis
kedua adalah artifak-artifak, monumen-monumen, foto-foto, tape
dan lain-lain.
Pembedaan-pembedaan di atas tentu berguna dalam
menganalisis isi yang terkandung dalam suatu dokumen. Dalam
penelitian ini dipergunakan pengertian dokumen yang lebih luas,
seperti yang disarankan Hodder, yaitu teks-teks tertulis dari segala
macam jenis.39 Sejumlah besar dokumen-dokumen GKT yang
dibaca dan diteliti adalah sbb.:
1.1.1. Akta Rapat Tahunan Geredja Kristen Tionghoa
(THKTKH) Klasis Jatim tahun 1967-1968.
1.1.2. Akta-akta dan Notulen-notulen Sidang Sinode Gereja
Kristus Tuhan (GKT) dari Sidang Sinode Ke-1 tahun 1968
sampai dengan Sidang Sinode Ke-19 tahun 1999.
1.1.3. Surat-surat Pengurus Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee
(THKTKH) Klasis Jatim yang dikirim kepada perorangan,
lembaga-lembaga pemerintah dan badan-badan gerejawi
antara tahun 1960-1967 dan balasannya.
1.1.4. Surat-surat Badan Pengurus Sinode Gereja Kristus Tuhan
(GKT) yang dikirim kepada perorangan, lembaga-lembaga
37 Hodder dalam Norman K. Denzin & Yvonna S. Lincoln, eds.,
Collecting and Interpreting Qualitative Materials, 156. 38 Sartono Kartodirdjo, “Metode Penggunaan Dokumen” dalam
Metode-metode Penelitian Masyarakat, Koentjaraningrat, ed. (Jakarta; PT
Gramedia Pustaka Utama, 1993), 46. 39 Lihat Hodder dalam Denzin & Lincoln, eds., Collecting and
Interpreting Qualitative Materials, 156.
16 | BAB I PENDAHULUAN
pemerintah dan badan-badan gerejawi antara tahun 1968-
1999 dan balasannya.
1.1.5. Buku Tata Gereja dan Peraturan Khusus Sinode Gereja
Kristus Tuhan (GKT) edisi 1977, edisi 1993 dan edisi
revisi 2008.
1.1.6. Anggaran Dasar Sekolah Kristen Aletheia Departemen
Pendidikan Synode Gereja Kristus Tuhan Tahun 1970,
Buku Pedoman Pengelolaan Sekolah Kristen Aletheia
1987 dan Pedoman Tehnis Penyelenggaraan Pendidikan
dan Operasional Sekolah Kristen Aletheia Tahun 1993.
1.1.7. Majalah-majalah Sinode GKT. Majalah ini awalnya
diterbitkan dua bulan sekali dengan nama Berita Geredja
Sinode Geredja Kristus Tuhan. Beberapa waktu kemudian
namanya berganti menjadi Berita Warga Gereja Kristus
Tuhan Indonesia. Setelah berhenti terbit pada akhir 70-an,
pada tahun 1987 majalah ini terbit lagi dengan nama baru
Buletin Sinode Gereja Kristus Tuhan. Edisi baru ini terbit tiga
kali, April, Agustus dan Desember tiap tahun sampai dengan
tahun 1997. Setelah itu, karena masalah finansial
diputuskan tidak terbit lagi.
1.1.8. Buku-buku peringatan hari ulang tahun jemaat GKT.
Beberapa jemaat mempunyai kebiasaan merayakan ulang
tahun jemaat. Umumnya dipaskan dengan hari pendirian
gedung gereja yang pertama. Buku peringatan ulang tahun
tidak diterbitkan setiap tahun namun hanya pada momen-
momen HUT tertentu. Di dalamnya disajikan sejarah
berdirinya jemaat yang bersangkutan, sejarah pem-
bangunan gedung gereja, kesaksian hidup tokoh-tokoh
perintisnya, baik yang ditulis sendiri maupun oleh orang
lain, serta artikel-artikel yang berhubungan dengan orang
Tionghoa Kristen di GKT dalam jemaat itu. Buku-buku
peringatan HUT jemaat yang dapat ditemukan dan diteliti
di sini adalah buku peringatan HUT GKT Jemaat I
Malang, Jemaat III Malang, GKT Nazareth, Surabaya,
GKT Jember dan GKT Genteng Banyuwangi.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 17 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
1.1.9. Catatan-catatan lapangan sejarah GKT yang berisi
catatan-catatan versi pribadi dari sejumlah tokoh GKT
pada awal tahun 70-an. Catatan-catatan ini mereka susun
dalam rangka dilaporkan kepada tim peneliti survei
menyeluruh gereja-gereja di Indonesia, DGI. Catatan-
catatan ini masing-masing dibuat oleh Go Yauw Koen
(anak Go A Sie, salah satu pendiri GKT Jemaat I,
Malang), Ds. Ie Tjin Sin (pendeta emeritus GKT), Koo
Twan Tjhing (Tua-tua GKT Jemaat III Malang), Komisi
Visitasi ke Jemaat Lumajang, Jemaat Probolinggo, Jemaat
Jember dan Jemaat Genteng, Go Beng Kie, dan Ds. Yang
Pek Yung. Sebagian catatan diketik, sementara sebagian
ditulis tangan. Dokumen-dokumen ini diterima dari
Kantor Sinode GKT.
Sebagian besar dokumen pertama sampai keempat
diperoleh dari koleksi alm. Singgih Lukito Setiawan, mantan
Ketua Sinode GKT periode 1970-1985. Sebagian sebagian kecil
dari arsip yang tersimpan Kantor Sinode GKT, Jl. Argopuro 6,
Malang. Untuk notulen-notulen sidang-sidang sinode, sebagian
besar diperoleh dari koleksi pribadi alm. Pdt. Moretz Masrikat.
Selain material primer di atas, sejumlah material sekunder
turut pula dibaca dan diteliti. Yang pertama adalah sejumlah besar
dokumen dan arsip Gereja Methodist Episkopal Konferensi
Malaysia dan Gereja Methodist Episkopal Konferensi Misi Hindia
Belanda, dari tahun 1909-1928. Dokumen dan arsip itu berupa
notulen-notulen, laporan-laporan, surat dan majalah. Laporan-
laporan itu ditulis oleh para misionaris dan superintenden para
misionaris serta pekerja gerejawi lainnya dari Gereja Methodist
Episkopal yang bekerja di kota Surabaya dan sekitarnya.
Dokumen-dokumen ini sebagian diperoleh dari The Methodist
Church Archives, Singapura dan sebagian dari perpustakaan digital
Yale University.
Sumber sekunder lain yang diinvestigasi adalah Madjalah
Bulanan Dewan Geredja-geredja Kristen Tionghoa Indonesia (DGKTI),
18 | BAB I PENDAHULUAN
yang berbahasa Indonesia. Majalah ini terbit dari tahun 1948
sampai dengan tahun 1958. Isinya berupa laporan berbagai
kegiatan jemaat-jemaat Tionghoa di berbagai tempat di Indonesia,
artikel-artikel dan laporan-laporan perjalanan yang dilakukan oleh
pengurus masing-masing klasis. Majalahnya diterbitkan dalam dua
bahasa, bahasa Indonesia dan bahasa Tionghoa. Sebagian edisi
diperoleh dari arsip digital perpustakaan Ohio University, Amerika
Serikat, dalam bentuk salinan elektronik. Sebagian lain, dalam
jumlah yang lebih banyak dan dalam bentuk cetakan, dari koleksi
GKT Jemaat Efrata, Genteng, Banyuwangi.
Selanjutnya adalah dokumen Sidang Lengkap IV dan V
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang diadakan di Jakarta
pada tahun 1960 dan 1964.40 Di dalamnya ditemukan
pembahasan-pembahasan tentang orang-orang Tionghoa Kristen
di GKT, yang waktu itu masih bernama Tiong Hoa Kie Tok Kauw
Hwee Klasis Jawa Timur (THKTKH Klasis Jatim) dan data-data
lain terkait dengan gereja tersebut. Dokumen lain dari DGI yang
turut diteliti di sini adalah sebuah laporan survei gereja-gereja di
Indonesia yang dilakukan oleh DGI dari tahun 1968-1976.41 GKT
adalah salah satu gereja anggota yang turut disurvei. Data-data
yang disajikan dalam dokumen-dokumen ini dipergunakan untuk
memahami identitas sosial-budaya dan keagamaan orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT sampai sebelum Orde Baru berkuasa.
Yang bertanggung jawab mengumpulkan data dan mengirimkan-
nya ke tim di Jakarta adalah Pdt. Joseph Tong, mantan Sekretaris
Assisten Sinode GKT dan dekan di sekolah tinggi teologi GKT
pada awal tahun 70-an.
Selain itu, turut pula dibaca dan dianalisis tulisan-tulisan
yang muncul dari kalangan Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa
Timur (GKI Jatim). Alasanya, karena sebelum berpisah, GKI
40 Dokumen ini sudah diterbitkan oleh Sekretariat Umum PGI pada
tahun 1996. 41 Dr. Fridolin Ukur & Dr. Frank L. Cooley, peny., Jerih dan Juang:
Laporan Nasional Survai Menyeluruh Gereja di Indonesia (Jakarta: Lembaga
Penelitian dan Studi-DGI, 1979).
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 19 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Jatim dan GKT adalah sama-sama bagian dari THKTKH Klasis
Jatim. GKI Jatim adalah THKTKH Klasis Jatim Seksi bahasa
Indonesia sementara GKT adalah THKTKH Klasis Jatim Seksi
bahasa Tionghoa. Sumber-sumber GKI Jatim yang dipergunakan
adalah Buku Kenang-kenangan 50 Tahun Gereja Kristen Indonesia
Jawa Timur 22-2-1934—22-2-1984, Benih Yang Tumbuh 14: Gereja
Kristen Indonesia Jawa Timur dan Boekoe Sedjarah Geredja Kristen
Indonesia Toemapel Malang 1941-2001.
1.2. Penelitian Wawancara
Tujuan wawancara ialah untuk menemukan gambaran
yang lebih kongkrit tentang situasi yang dihadapi, yang menjadi
konteks segala percakapan dan keputusan yang diambil dalam
rapat-rapat gerejawi GKT, atau surat-surat yang dikirimkan
kepada berbagai pihak, atau tindakan-tindakan tertentu yang
diambil di level jemaat. Ada beberapa kriteria yang dipergunakan
untuk memilih para informan. Pertama, mengetahui riwayat
orang-orang Tionghoa Kristen di THKTKH Klasis Jatim pada
dekade 50-an dan 60-an. Kedua, mengetahui riwayat orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT pada akhir dekade 60-an sampai akhir
dekade 90-an. Ketiga, memiliki pengetahuan secara tidak langsung
tentang THKTKH Klasis Jatim dan GKT, yakni dari tokoh atau
pelaku yang diketahui terlibat langsung dalam kehidupan dua
organisasi gerejawi tersebut. Keempat, memiliki pengetahuan dan
pengalaman tentang keadaan hidup orang-orang Tionghoa Kristen
di suatu jemaat GKT pada zaman sebelum Orde Baru, atau di
zaman Orde Baru, atau di kedua-duanya.
Pemilihan informan dilakukan secara purposif dan
snowball. Awalnya dipilih orang-orang yang cocok dengan kriteria
di atas kemudian dari mereka diperoleh tentang informan-
informan lain. Sebagian besar informan adalah laki-laki (22) dan
sisanya perempuan (5). Dua puluh enam dari antaranya adalah
orang Tionghoa. Umumnya berdomisili di Malang (9) dan
Surabaya (9). Sisanya berdomisili di kota-kota lain seperti
Mojokerto (2), Jember (3), Genteng-Banyuwangi (1), Jakarta (1)
20 | BAB I PENDAHULUAN
dan di luar negeri (3). Profesi mereka bermacam-macam: pekerja
gerejawi (9), pengusaha (13), dosen (2), pekerja seni (1), mantan
guru (1) dan ibu rumah tangga (1). Sebagian besar informan saya
kenal secara pribadi sementara sebagian kecil baru bertemu dan
berkenalan dalam proses wawancara. Sebagian wawancara dapat
direkam dengan alat perekam sementara sebagian lain tidak dapat
karena keengganan informan untuk direkam. Informasi yang
diperoleh dari informan yang bermukim di luar negeri sebagian
besar melalui korespondensi surat elektronik (e-mail).
Wawancara yang dilakukan bersifat tidak terstruktur. Sifat
wawancara ini dipilih karena memberi kesempatan kepada peneliti
untuk masuk secara mendalam, menyingkapkan petunjuk-
petunjuk baru, membuka dimensi-dimensi baru dari sebuah
problem dan untuk memperoleh laporan-laporan yang hidup,
akurat dan inklusif dari para informan, berangkat dari
pengalaman-pengalaman pribadi mereka.42 Meski tidak
terstruktur, wawancara tetap dbingkai dalam problem yang coba
ditemukan jawabannya oleh riset ini, yaitu dalam cara-cara
bagaimana informan atau orang-orang Tionghoa Kristen di GKT
mensiasati kebijakan asimilasi dari pemerintah Orde Baru. Waktu
yang dihabiskan untuk tiap wawancara bervariasi antara empat
puluh menit sampai tiga jam.
1.3. Pengamatan Terlibat
Selain data-data dari wawancara, sepanjang tahun 2008-
2014 saya juga telah mengambil bagian dalam berbagai kegiatan
orang-orang Tionghoa Kristen di GKT di berbagai kota di Jawa
Timur. Dalam kegiatan-kegiatan ini saya telah bertemu dan
bercakap-cakap dengan sejumlah anggota sebuah jemaat GKT dan
sejumlah pekerja gerejawi GKT. Dari pertemuan-pertemuan itu
saya telah membuat catatan-catatan yang merekam hal-hal yang
relevan dengan penelitian yang sedang dilakukan.
42 Robert G. Burgess, “The Unstructured Interview as a
Conversation” dalam Robert G. Burgess, ed., Field Research: A Sourcebook and
Field Manual (New York, NY: Routledge, 2005), 166.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 21 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
2. Prosedur Analisis Data
Data-data yang tersaji di dalam dokumen-dokumen primer
dan sekunder serta wawancara dipilah-pilah ke dalam empat level
analisis. Level pertama adalah level sidang-sidang gerejawi. Level
kedua adalah level korespondensi dengan lembaga-lembaga
pemerintah dan aktor-aktor pemerintah; level ketiga korespondensi
dengan lembaga-lembaga gerejawi lain. Dan, terakhir, level
keempat adalah level kehidupan jemaat setempat di mana orang-
orang Tionghoa Kristen ini menjadi anggotanya. Tiga level
pertama berhubungan dengan lokasi pertama penelitian ini, yaitu
di tingkat sinodal; sementara level analisis terakhir berhubungan
dengan lokasi kedua penelitian ini, yaitu di tingkat lokal.
Teori perlawanan James C. Scott, yang telah diakui
sebagai alat yang berguna dalam memahami perilaku orang-orang
yang didominasi saat berhadapan dengan penguasa dan di
belakang penguasa di antara sesamamua,43 dipergunakan sebagai
kerangka teoretis utama untuk menganalisis perilaku orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT terhadap kebijakan asimilasi. Dua
kerangka konseptual yang disediakan oleh teori itu, yakni transkrip
publik dan transkrip tersembunyi, dipakai sebagai pisau untuk
menganalisis data-data yang ditemukan dari penelitian.
3. Akses kepada Informan dan Informasi
Sejak awal telah saya sadari bahwa isu yang dibahas
dalam penelitian ini adalah topik yang sensitif bagi orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT. Sebagai bagian dari masyarakat
minoritas Tionghoa, mereka turut pula mengalami pahit getirnya
hidup di bawah rezim yang mendiskriminasi. Karenanya, untuk
43 Carol J. Greenhouse, “Hegemony and Hidden Transcript: The
Discursive Arts of Neoliberal Legitimation” dalam American Anthropologist
Vol. 107, Issue 3: 356-368. Juga tanggapan James C. Scott terhadap artikel Greenhouse, “Afterword to ‘Moral Economies, State Spaces and Categorical
Violence’” dalam American Anthropologist Vol. 107, Issue 3: 395-402.
22 | BAB I PENDAHULUAN
memperoleh informasi, dibutuhkan suatu relasi yang baik dan rasa
percaya mereka.
Faktor yang saya temukan telah berperan besar dalam
relasi saya dengan para informan dan penyedia dokumen adalah
profesi saya sebagai pekerja gerejawi GKT, yang pernah bekerja di
level lokal jemaat dan sinodal. Meski dari antara informan ada
yang sama sekali belum pernah mengenal saya secara pribadi, latar
belakang itu telah membuat permintaan saya untuk menggali
informasi mendapat sambutan yang baik.
Meski demikian hambatan yang saya hadapi juga ada.
Sebagai orang non-Tionghoa yang tak bisa berbahasa Tionghoa,
akses saya kepada informasi dan informan berbahasa Tionghoa
menjadi terhambat. Ada informan-informan yang mestinya dapat
memberi informasi namun karena keterbatasan tersebut saya
akhirnya memilih tidak menghubungi mereka.
Semua informan yang diwawancarai telah setuju untuk
diwawancarai. Sebagian dengan perekam sementara sebagian lain
tidak. Nama-nama yang tertulis dalam surat-surat, akta-akta
sidang dan notulen-notulen diungkapkan secara terbuka karena
semua dokumen itu bukan dokumen rahasia. Sementara nama-
nama sebenarnya dari informan yang diwawancarai diubah untuk
menjaga kerahasiaan namanya sesuai kesepakatan peneliti dengan
mereka.
E. Garis Besar Isi
Penelitian ini adalah untuk memaparkan respons orang
Tionghoa Kristen di GKT terhadap kebijakan asimilasi
pemerintah Orde Baru. Di dalamnya akan diperlihatkan strategi-
strategi yang dipergunakan untuk di satu pihak memperlihatkan
ketundukannya kepada kebijakan itu dan di pihak lain
memperlihatkan penolakannya untuk tunduk. Agar pembahasan-
nya menjadi terang maka disertasi ini akan diatur dalam
sistematika sebagai berikut.:
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan Orang-Orang Tionghoa | 23 Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998
Bab I menyajikan latar belakang timbulnya studi ini diikuti
dengan artikulasi masalah, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang
diajukan dan tujuan yang mau dicapai. Selanjutnya disajikan fokus
dan ruang lingkup studi yang memberikan penjelasan tentang isu
yang hendak didalami dan sampai di mana batas-batasnya. Bab ini
ditutup dengan uraian singkat mengenai metodologi yang
dipergunakan untuk penelitian ini.
Di dalam Bab II disajikan suatu kajian pustaka mengenai
kerangka teori yang akan dipergunakan dalam penelitian ini.
Pembahasan akan diawali dengan pembahasan ringkas temuan-
temuan terdahulu mengenai orang Tionghoa dan kebijakan
asimilasi. Ditunjukkan di sana bahwa perlawanan belum dilihat
sebagai suatu sikap yang turut diambil oleh orang-orang Tionghoa.
Peran agama dan lembaga keagamaan masih dilihat sebagian
medium berasimilasi. Berangkat dari kenyataan bahwa operasi
kekuasaan selalu menimbulkan resistensi uraian selanjutnya
bergerak kepada sebuah kerangka teori baru untuk membaca
pengalaman orang-orang Tionghoa di Indonesia, yang akan
dipergunakan dalam penelitian ini. Sesudah sejumlah diskusi
mengenai perlawanan terhadap dominasi negara bab ini akan
diakhiri dengan bahasan tentang teori perlawanan yang diajukan
James C. Scott. Kerangka teori inilah yang dipergunakan dalam
menjelaskan aktivitas orang-orang Tionghoa Kristen di GKT.
Bab III membuka pembahasan mengenai hasil-hasil
penelitian dengan deskripsi historis singkat mengenai siapa dan
bagaimana orang-orang Tionghoa Kristen di GKT sampai
menjelang tahun 1968. Di dalamnya akan diterangkan latar
belakang sosial, budaya, politis dan spiritual orang-orang
Tionghoa Kristen di GKT. Uraian ini berperan sebagai latar untuk
memahami respons-respons mereka, yang diuraikan dalam bab
selanjutnya.
Deskripsi temuan dilanjutkan dalam Bab IV, yang fokus
pada bagaimana cara orang-orang Tionghoa Kristen di GKT
merespons kebijakan asimilasi yang dipaksakan oleh pemerintah
24 | BAB I PENDAHULUAN
Orde Baru atas semua orang Tionghoa. Akan diurai aneka strategi
yang dijalankan untuk memperlihatkan kepatuhan mengikuti
kebijakan asimilasi di depan penguasa. Lalu juga sikap dan
perilaku yang diperagakan di pentas belakang (off stage), di ruang-
ruang yang luput dari pemantauan (surveillance) penguasa, demi
melestarikan penanda-penanda budaya Tionghoa, yang coba
dihapus oleh kebijakan asimilasi.
Bab V akan menjadi sebuah kajian yang lebih teoretis,
yang membahas temuan-temuan yang sudah dipaparkan dalam
dua bab sebelumnya. Akan didiskusikan kontribusi penelitian ini
kepada teori-teori mengenai orang-orang Tionghoa di Indonesia
dan kepada teori-teori tentang perlawanan orang-orang tertindas.
Bab VI memberikan sejumlah kesimpulan dan saran bagi
pihak-pihak yang relevan dan bagi upaya-upaya penelitian lebih
lanjut di kemudian hari.
Kebijakan Asimilasi Pemerintah Orde Baru dan Tanggapan | 25
Orang-Orang Tionghoa Kristen di Gereja Kristus Tuhan (GKT), 1968-1998