bab i pendahuluan 1.1.latar belakang masalah i tesis... · yang mencerminkan keadilan, kemanfaatan...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Kemajuan perkembangan arus globalisasi dan transportasi serta ilmu
pengetahuan beserta teknologi yang demikian pesat, membawa pengaruh akan
pola pikir dan mobilitas manusia merambah dari satu benua ke benua lain untuk
berpindah domisili secara tetap ataupun sementara demikian tinggi.
Kehendak manusia untuk berinvestasi diantar pulau atau negara dengan
niat bisnis, mencari ketenangan atau berwisata, akan berdampak pada sektor
sosial, budaya, ekonomi, politik dan hukum.
Sering terjadi warga negara asing yang terperangkap aturan hukum di
suatu negara tempat mereka beraktivitas seperti melakukan usaha bisnis. Praktek
yang mereka lakukan sering terjebak oleh aturan negara tujuan atau diperdaya
oleh oknum maupun perorangan yang memanfaatkan kelemahan mereka,
sehingga orang asing atau pihak inisiator seperti investor terjebak dan terjerumus
ke dalam kasus hukum, padahal semula mereka beritikat baik untuk menanamkan
modalnya guna keuntungan bersama.
Dalam perkembangan praktek terhadap munculnya kasus nominee, sering
terjadi dan dilakukan oleh pihak investor warga negara asing dengan warga negara
Indonesia. Salah satunya sampai muncul kasus hukum hingga diputus oleh
pengadilan, dalam hubungan ini kasus nominee yang diputus oleh Pengadilan
Negeri Denpasar dengan putusannya No. 82/PDT/G/2013 PN DPS. Dalam
2
putusan tersebut pengadilan memutus dengan mengabulkan gugatan penggugat
sebagian yakni agar penggugat mengembalikan uang penggugat yang dipakai
membeli tanah pada obyek sengketa.
Putusan hakim diatas tampak secara esensi bahwa kebenaran materiil atas
pembuktian dalam persidangan benar-benar ditegakkan. Karena penggugat secra
fakta dapat membuktikan dirinya melalui bukti surat melalui transfer uang kepada
tergugat untuk membeli tanah obyek sengketa yang diklaim kepemilikannya dari
pihak tergugat I tersebut. Walaupun dalam pembuktian perkara perdata bukti surat
sebagai syarat utama diakui sebagai alat bukti namun dalam pembuktian dengan
sasaran utama diperolehnya kebenaran materiil, karena sesungguhnya kebenaran
yang mencerminkan keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum adalah
kebenaran materiil melalui proses pembuktian di persidangan.
Aturan hukum pertanahan Indonesia melalui Undang – Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Undang – Undang Pokok Agraria Pasal 21 ayat (1)
menyatakan “hanya warga negara Indonesia dapat mempunyai hak milik”. Secara
yuridis formal berarti bahwa hanya warga negara Indonesialah yang diberi hak
oleh undang – undang untuk memiliki tanah di wilayah hukum Indonesia. Namun
secara diam-diam dalam praktek (dassollen) warga negara asing melalui istilah
praktek nominee telah melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (1) UUPA tersebut.
Perlindungan hukum oleh negara terhadap warga neara atas kepemilikan
hak atas tanah maupun perlindungan akan wilayah darat (tanah), laut (air) dan
udara (ruang angkasa) adalah merupakan tugas negara. Terlebih lagi setiap warga
negara Indonesia dlindungi oleh hukum secara keperdataan dan pidana yang
3
dijamin oleh konstitusi dan hak asasi manusia. Hak untuk memperoleh dan
perlindungan hak milik secara prinsip diatur dalam Pasal 36 ayat (1), (2) dan (3)
Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dan induk
perlindungan bagi warga negara Indonesia atas hak pribadinya adalah diatur oleh
UUD Negara RI Tahun 1945 (Konstitusi) RI dalam Pasal 28H ayat (4) yang
terumus, “setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambilalih secara sewenang-wenang oleh siapapun. Dengan
ketentuan perlindungan bagi warga negara Indonesia atas kepemilikan hak atas
tanah khususnya berarti pula ada usaha negara untuk menjaga keutuhan wilayah
darat khususnya tanah dari kepemilikan orang atau pihak lain selain warga negara
Indonesia. Dalam lingkup lebih luas negara berkomitmen menjaga melestarikan
dan melindungi wilayah bumi negara kesaturan Republik Indonesia dari
rongrongan pihak luar sekalipun atau pihak asing, lebih spesifik lagi dari iphak
berkedok investor sekalpun, karena dengan motif ekonomi atau dalil kemajuan
penanaman modal / investasi secara tidak langsung menandakan terjadinya
penjajahan ekonomi bagi Indonesia.
Apapun bentuknya investasi yang berkedok pariwisata, bantuan lunak,
bantuan hibah apalagi sifatnya usaha pribadi jelas akan menggerogoti aset negara,
walaupun obyeknya tanah milik individu (pribadi), namun bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya (Indonesia) adalah tetap dikuasai oleh negara.
Negara berhak dan berwenang untuk mengaturnya demi kesejahteraan semua
warganya. Walaupun apapun bentuk aturan formal sebagai dasar yang dibuat oleh
pihak-pihak terutama pihak non warga negara – negara asing dengan warga
4
negara Indonesia namun tetap tunduk pada hukum formal (ius constitutum)
Indonesia, yang bertumpu pada hukum perdata Indonesia, KUHP Indonesia serta
hukum administrasi Indonesia sebagai acuan dalam melakukan perbuatan hukum.
Konteks antara obyek perjanjian seperti nominee dengan suatu investasi
merupakan dua perbuatan hukum yang secara langsung tidak merupakan hal yang
saling terkait. Terkadang investasi dijadikan sebagai kedok saja oleh plihak
tertentu yang mengaku investor. Padahal ia hanya ingin tinggal sementara dalam
waktu tertentu atau kadang-kadang saja di wilayah atau tempat kota negara
tertentu guna mengisi waktu liburan untuk berwisata.
Fenomena demikian sering mengemuka dalam kehidupan praktek sosio –
yuridis berupa perjanjian formal, yang dibuat pihak orang asing sebagai investor
(pemilik modal) dengan pihak warga negara Indonesia, serta nantinya melibatkan
pejabat publik di negeri ini.
Saat ini Notaris berperan penting dalam masyarakat untuk membantu
berbagai kepentingan yang berkaitan dengan hukum khususnya dalam Hukum
Perdata. Dalam hal ini Notaris merupakan pejabat umum yang memberikan
jaminan kepastian hukum kepada masyarakat yang berhubungan dengan
pembuatan Akta Otentik, baik yang berhubungan dengan ekonomi, sosial maupun
politik. Dalam pembuatan akta otentik, Notaris sebagai pihak yang berhubungan
langsung dengan masyarakat harus mampu bertanggung jawab tidak hanya dalam
membuat akta otentik, tetapi juga memberikan informasi dan konsultasi hukum
yang dapat diandalkan oleh masyarakat sehingga masyarakat yang masih awam
5
atau kurang memahami aturan hukum, dapat memahami dengan benar yang
berlandaskan dengan Kode Etik Notaris dan Undang-Undang yang berlaku.
Hal tersebut dapat dijumpai dalam Undang-undang Republik Indonesia
Nomor. 30 Tahun 2004 tentang jabatan Notaris yang di Undangkan pada tanggal
06 Oktober 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun
2004 Nomor 117 dan Tambahan Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor
4432 selanjutnya disebut Undang – Undang Jabatan Notaris (UUJN), berikut
perubahannya berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 02 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris selanjutnya disebut (UUJN-P) pada Pasal 15 ayat (1) disebutkan
bahwa:
"Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini". Dalam hal ini dimaksudkan bahwa seorang Notaris adalah
Pejabat umum yang memiliki kewenangan mutlak atau kewajiban
utamanya adalah untuk membuat akta otentik."
Yang dimaksud dengan "akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat
umum yang berkuasa untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya" pengertian akta
otentik ini telah dirumuskan dalam Pasal 1868, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata1 (selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) tentang hukum pembuktian,
yang mengatur mengenai syarat-syarat agar suatu akta dapat berlaku sebagai akta
otentik. Ketentuan pasal tersebut menunjukkan, seseorang yang tidak mempunyai
1 R. Subekti, 2004, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerliik Wetboek] Pradnya
Paramita, Jakarta, hlm : 186
6
kedudukan sebagai pejabat umum maka tidak mempunyai kewenangan dalam
pembuatan akta otentik.
Awalnya pengaturan mengenai Jabatan Notaris telah diatur dalam
Peraturan Jabatan Notaris Stb. 1860-3 ( untuk selanjutnya disebut dengan PJN).
Yang memuat tentang pengertian Notaris disebutkan dalam Pasal 1 yaitu :
"Notaris itu adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan
ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau dikehendaki
oleh yang berkepentingan agar dinyatakan dalam suatu akta otentik,
menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan dari pada itu
memberikan grosse, salinan dan kutipannya kesemua itu sebegitu jauh
pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak pula ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat atau orang lain".2
Setelah diundangkannya UU Nomor.30 Tahun 2004, PJN dan peraturan-
peraturan lainnya yang mengatur tentang notaris dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku lagi. Adanya perubahan atas Undang-undang Nomor. 30 Tahun 2004
disebutkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014, tentang Jabatan Notaris,
Kode Etik Notaris, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan peraturan lainnya
yang berlaku secara umum.
Semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pemahaman betapa
pentingnya suatu alat bukti untuk mencatat peristiwa penting dengan sarana surat
(dokumen) dan ditandatangani oleh dua orang saksi atau lebih. Berdasarkan hal
tersebut masyarakatpun menyadari bahwa bukti tertulis merupakan alat
pembuktian yang penting dalam lalu lintas hukum. Sebagaimana diterangkan
dalam Pasal 1865 KUHPerdata menyatakan :
2 Komar Andasasmita, 1983, Notaris Selayang Pandang, Cetakan ke-2, Alumni 1983,
Bandung, hlm. 2.
7
"Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau
guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang
lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak
atau peristiwa tersebut."
Dalam kaitannya dengan alat bukti, dalam Pasal 164 Herzein Indonesisch
Reglement (HIR) Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) menyatakan :
Maka yang disebut bukti, yaitu :
- Bukti Surat /
- Tulisan Bukti Saksi
- Bukti Sangkaan
- Pengakuan
- Sumpah3
Alat-alat bukti tersebut sangat penting dalam menyelesaikan proses
perkara di pengadilan. Dalam hal pembuktian alat bukti surat dapat berupa surat
biasa, maupun berupa akta.
Kekuatan pembuktian dari akta notaris mempunyai 3 (tiga) macam
kekuatan pembuktian, antara lain:
1. Kekuatan pembuktian luar atau lahiriah, merupakan kekuatan
pembuktian yang didasarkan pada keadaan lahir, apa yang tampak pada
lahirnya (acta publica probant sese ipsa).
2. Kekuatan pembuktian formil, ialah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta
tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh
para pihak yang menghadap4.
3. Kekuatan pembuktian materiil ialah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam
akta itu merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang
3 R. Tresna,1996, Komentar HIR, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm.141.
4 Soetardjo, Soemoatmodjo, 1986, Apakah Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, Penerbit
Liberty,Yogyakarta,, hlm 25.
8
membuat akta, kecuali ada pembuktian sebaliknya (memberikan kepastian
tentang materi suatu akta)5.
Selain kekuatan pembuktian, Akta juga memiliki 2 (dua) fungsi penting,
yaitu:
a. Fungsi formil (formalitas causa) berarti bahwa untuk lengkapnya atau
sempurnanya (bukan untuk sahnya) suatu perbuatan hukum haruslah dibuat
suatu akta.
b. Fungsi alat bukti (probationis causa) bahwa akta itu dibuat sejak semula
dengan sengaja untuk pembuktian di kemudian hari, sifat tertulisnya suatu
perjanjian dalam bentuk akta itu tidak membuat sahnya perjanjian, tetapi
hanyalah agar dapat digunakan sebagai alat bukti dikemudian hari. Akta
dibawah tangan adalah akta yang dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan
oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan Pejabat Umum
yang berwenang6.
Berdasarkan dari Fungsi akta otentik serta hubungannya dalam kekuatan
pembuktian terhadap akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris dimana bukan
hanya untuk saat ini saja, namun kekuatan pembuktian akta ini sangat diperlukan
untuk jangka panjang sebagai dokumen penting yang bisa dipertanggungjawabkan
secara hukum oleh seorang Notaris. Maka secara langsung seorang Notaris atau
Pejabat Umum mempunyai "kewenangan multak dan berhak untuk membuat Akta
Otentik" dan sebagai pejabat yang mampu menjaga profesionalisme kerja dalam
membuat akta otentik ataupun dalam menyelesaikan kasus yang berkaitan dengan
Kenotariatan. Selain itu Notaris bukan hanya semata-mata sebagai pembuat akta
tapi Notaris juga sebagai pengkaji apakah yang diinginkan para pihak yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik tidak bertentangan dengan
5 G.H.S LumbanTobing, 1996, Peraturan Jabatan Notaris, Penerbit Erlangga, Jakarta,
hlm 48. 6 Sudikno Mertokusumo, 1999, Mengenal Hukum suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta,
hlm. 121-122
9
ketentuan Pasal 39 dan Pasal 40 UUJN-P yang berakibat akta yang dibuat oleh
Notaris tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah
tangan ataupun selebihnya dinyatakan akta yang telah dibuat dinyatakan batal
demi hukum.
Kewajiban untuk mengetahui dan memahami syarat-syarat otentisitas,
keabsahan dan sebab-sebab kebatalan suatu akta Notaris sangat penting untuk
menghindari adanya cacat hukum yang dapat mengakibatkan menurunnya
(degradasi) kekuatan pembuktian akta Notaris dan dibatalkannya akta Notaris
dimana hal tersebut dapat merugikan pihak-pihak yang berkepentingan. Istilah
terdegradasi terjadi manakala akta Notaris sebagai akta otentik yang memiliki
kekuatan bukti sempurna dan mengikat, serta telah mencukupi batas minimal alat
bukti yang sah tanpa lagi diperlukan alat bukti lain dalam sengketa hukum Perdata
mengalami kemunduran, kemerosotan, atau penurunan mutu dalam kekuatan
sebagai alat bukti lengkap dan sempurna menjadi permulaan pembuktian seperti
akta di bawah tangan dan memiliki cacat hukum yang menyebabkan pembatalan
atau ketidak absahannya akta Notaris tersebut7. Disebutkan dalam Pasal 1872
KUHPerdata yaitu:
"Jika suatu akta otentik, dalam bentuk apa pun, diduga palsu, maka
pelaksanaannya dapat ditangguhkan menurut ketentuan-ketentuan
Reglemen Acara Perdata".
7 Sjaifurrachaman, 2011, Aspek Pertanggung jawaban Notaris Dalam Pembuatan Akta,
CV. Mandar Maju, Bandung, hlm. 122.
10
Pejabat Umum atau Notaris mempunyai kewenangan tidak hanya dalam
teknik administratif membuat akta, tapi juga penerapan berbagai aturan hukum
yang tertuang dalam akta yang bersangkutan untuk para penghadap, dan
kemampuan menguasai keilmuan bidang Notaris secara khusus dan hukum pada
umumnya, sehingga akta yang dibuat tersebut menjadi akta otentik dan memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga kepentingan yang bersangkutan
terlindungi dengan akta tersebut. Karena apabila seorang Notaris dalam
menjalankan dalam jabatannya bertindak tidak cermat, tidak teliti dan tidak tepat
dalam menerapkan aturan hukum yang berkaitan dengan isi akta, maka hal
tersebut dapat berakibat kedudukan akta Notaris yang dibuatnya mempunyai
kekuatan pembuktian akta dibawah tangan atau Akta Notaris tersebut menjadi
batal demi hukum atau Akta Notaris tersebut dibatalkan berdasarkan Putusan
pengadilan. Dan hal tersebut dapat menjadi dasar dijadikannya Notaris yang
bersangkutan sebagai tergugat di pengadilan karena adanya kesalahan dalam
pembuatan akta dan diperkarakan maka diperlukan suatu kekuatan pembuktian
terhadap akta tersebut yang jelas tercantum dalam KUHPerdata Pasal 1871, yang
berbunyi :
"Akan tetapi suatu akta otentik tidak memberikan bukti yang sempurna
tentang apa yang termuat didalamnya sebagai penuturan belaka, kecuali
bila yang dituturkan itu mempunyai hubungan langsung dengan pokok isi
akta."
Pengaturan ketentuan terhadap akta notaris dan pejabat umum secara
teorinya (das solen) telah disebutkan dalam Undang-Undang Dasar Negara
11
Republik Indonesia Tahun 1945 serta Undang-undang yang mengatur tentang
Jabatan Notaris, namun dalam kenyataanya (das sein) sering pula terjadi fakta
yang berbeda sebagai salah satu contoh dalam ilustrasi kasus seperti :
"Seorang Notaris dijadikan atau didudukkan sebagai Tergugat oleh pihak
yang lainnya meskipun Notaris tersebut telah menjalankan tugas dan jabatannya
sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam pembuatan akta Notaris sebagaimana
disyaratkan dalam UUJN-P, Kode Etik Notaris, dan ketentuan-ketentuan terkait
akta tersebut. Hal ini seperti yang dialami oleh Notaris X yang bertanggung jawab
dalam penerbitan atas Perjanjian Pengikatan Jual Beli No. 52 tanggal 12 Januari
2012, Akta Kuasa No. 53 Tanggal 12 Januari 2012 dan Akta Jual Beli No.
304/2012 tanggal 6 Agustus 2012, dan dibatalkannya SHM No. 5135/Kerobokan
Kelod. Sebagai Penggugat atas nama Susan Eileen Mather, berkewarganegaraan
Inggris, pada Putusan Pengadilan Negeri Nomor 82/PDT.G/2013/PN.DPS,
berdasarkan surat gugatan pada tanggal 5 Februari 2013.
Dalam studi kasus ini Notaris X sebagai Tergugat telah melanggar
ketentuan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dengan jelas
mengatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata ayat (3) bahwa Perjanjian-Perjanjian
yang tidak memenuhi syarat Obyektif, maka Perjanjian tersebut menjadi Batal
Demi Hukum. Dijelaskan Notaris X tersebut telah melakukan perbuatan
melanggar hukum yang berakibat dibatalkannya Perjanjian-Perjanjian, dan
sekaligus Akta-akta dan Sertifikat Hak Milik yang telah dibuat dan dikeluarkan
oleh Notaris X berkaitan dalam kasus ini adalah Batal Demi Hukum dan
dinyatakan tidak berkekuatan hukum."
12
Makna sebuah studi kasus menurut peneliti adalah diantaranya merupakan
sebuah usaha penjelajahan terhadap fenonema yang mengemuka menjadi fakta
sosio yuridis, atas perbuatan hukum tertentu yang dilakukan seseorang atau pihak-
pihak yang terlibat didalamnya. Perbuatan hukum tertentu dilakukan pihak-pihak
menyimpang dari aturan hukum yang semestinya. Baik bertentangan dengan
hukum materiilnya maupun hukum formalnya. Lapangan hukum yang mesti luas,
bidang hukum perdata, bidang hukum pidana dan lapangan hukum jenis lainnya.
Melalui usaha pembelajaran, mengkritisi serta mengkaji suatu kasus akan
diperoleh fakta-fakta yang menunjukkan anasir kebenaran secara materiil melalui
suatu proses pembuktian formal dipersidangan. Karena melalui sebuah proses
pembuktian pihak-pihak diwajibkan secara hukum saling mendalilkan hak-hak
dan kewajibannya masing-masing melalui alat-alat bukti yang mereka masing-
masing miliki sebagai dasar pembenar formal dan materiil untuk menentukan
salah benar, tepat tidaknya, menang – kalahnya para pihak atau pihak lain yang
tersangkut dalam suatu kasus.
Studi kasus bermakna pula melatih diri tiap orang untuk tidak berbuat
terhadap anasir melanggar hukum, karena dapat memetik makna kerugian dari
kasus tersebut. Dan pula studi kasus akan menambah wawasan prbiadi untuk lebih
profesional lagi memberi solusi secara hukum dalam memecahkan masalah-
masalah hukum yang dihadapi.
Berdasarkan latar belakang di atas menarik untuk di teliti dan diangkat
sebagai karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul ""KEKUATAN
PEMBUKTIAN AKTA NOTARIS YANG DINYATAKAN BATAL DEMI
13
HUKUM DALAM PERKARA NOMINEE DI PENGADILAN NEGERI
DENPASAR”
Berdasarkan tentang dibatalkannya akta otentik yang telah dibuat Notaris,
merupakan masalah yang sangat menarik untuk dikaji dan dijadikan objek
penelitian, diketahui belum ada penelitian yang persis sama judul ataupun
masalahnya yang membahas sesuai dengan dibatalkannya akta otentik yang
telah dibuat Notaris, maka diharapkan penelitian ini bisa saling melengkapi
penelitian yang telah ada sebelumnya.
Untuk membuktikan bahwa tulisan ini orginal atau asli, sebagai
perbandingan atas penelitian dengan dibatalkannya akta otentik yang telah dibuat
Notaris maka di bawah ini disajikan maupun dipaparkan beberapa karya tulis
yang ada kaitannya dengan dibatalkannya akta otentik yang telah dibuat Notaris
antara lain:
1. Tesis dengan judul : "Pembatalan Akta Notaris Dalam Sengketa Perdata Di
Pengadilan Negeri Semarang (Studi Kasus Putusan Perkara Nomor
14/pdt.G/2005/PNSmg) " oleh Peter Tamba Simbolon, Sarjana Hukum,
Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro, tahun 2008,
dengan metode penelitian yang digunakan metode yuridis Normatif, dengan
rumusan masalah sebagai berikut:
a. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan suatu akta notaris dapat
dibatalkan oleh Pengadilan dalam sengketa perdata ?
b. Bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta notaris yang dibatalkan?
14
Kesimpulan dari tesis tersebut adalah :
a. Perkara yang diambil di Pengadilan Negeri Semarang dijelaskan bahwa
faktor -faktor yang menyebabkan akta notaris dapat dibatalkan oleh
Pengadilan. Salah satu pihak telah meminta pembatalan akta berdasarkan
Pasal 1266 KUHPerdata, karena salah satu pihak (pembeli) wanprestasi
dalam pelaksanaan perjanjian, yaitu tidak adanya penyerahan uang kepada
penjual dan pembeli memasukkan keterangan tidak benar atau palsu
kedalam isi peijanjian. Pembeli mengalih namakan sertipikat tanah dari
nama penjual berdasarkan akta pengikatan jual beli yang ternyata akta
tersebut merupakan hasil rekayasa atau bohong-bohongan belaka.
b. Tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibatalkan. Salah satu pihak
telah wanprestasi, Notaris telah memenuhi syarat-syarat formil pembuatan
akta, maka Notaris tidak bertanggung jawab atau tidak dapat dibebankan
atas batalnya akta. Notaris tidak bertanggung jawab untuk mengganti
kerugian kepada para pihak yang bersangkutan. Notaris juga tidak
dibebankan untuk mengembalikan ke posisi semula.
2. Tesis dengan judul : "Analisis Yuridis Terhadap Akta Notaris Yang
Dibatalkan Melalui Putusan Pengadilan (Studi Kasus Terhadap Putusan
Pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN)" oleh Muhammad Rizky Akbar
Harahap, Sarjana Hukum, Program Studi Magister Kenotaritan Universitas
Gadjah Mada, Tahun 2010, dengan metode penelitian yang digunakan adalah
metode pendekatan yuridis normatif dengan rumusan masalah sebagai berikut:
15
a. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan akta otentik dibatalkan melalui
putusan pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN?
b. Bagaimanakah akibat hukum terhadap akta yang dibatalkan melalui
putusan pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN?
c. Bagaimanakah tanggung jawab Notaris terhadap aktanya yang dibatalkan
melalui putusan pengadilan No. 75/Pdt.G/2006/PN.MDN?
Kesimpulan dari tesis tersebut adalah :
a. Faktor yang menyebabkan akta notaris dibatalkan yaitu adanya perbuatan
wantprestasi dan perbuatan melawan hukum.
b. Sehingga akibat hukum terhadap notaris yang aktanya dibatalkan adalah
kesepakatan maupun perjanjian yang ada pada akta tersebut menjadi batal
dan tidak berlaku.
c. Notaris hanya dibebankan pertanggungjawaban untuk mengembalikan
surat-surat berharga yang dititipkan kepadanya.
3. Tesis dengan Judul : "Batalnya Suatu Akta Notaris Dalam Kasus
Penandatanganan Akta Notaris Dalam Rumah Tahanan (Rutan) " oleh Alfi.
Irfansyah, Sarjana Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan, Universitas
Diponegoro, Tahun 2008, dengan metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode Normatif, dengan rumusan masalah adalah sebagai berikut:
a. Apakah penandatangan akta yang pihaknya berada di dalam Rumah
Tahanan (RUTAN) dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar
Nomor. 3641 K/PDT/2001, tidak dapat dibenarkan dan apakah merupakan
perbuatan melawan hukum ?
16
b. Apakah ada kewenangan dari seorang notaris untuk meminta
penandatangan akta di dalam Rumah Tahanan (RUTAN)?
Kesimpulan dari tesis tersebut adalah :
a. Penandatangan akta yang pihaknya berada didalam rumah tahanan (rutan)
dalam kasus Putusan Pengadilan Negeri Denpasar Nomor: 3641
K/Pdt/2001, merupakan perbuatan melawan hukum.
b. Kewenangan seorang Notaris dalam hal ini diatur didalam Pasal 1 8 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang Nomor.30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris, yang berbunyi : Notaris mempunyai tempat kedudukan di
kabupaten atau kota.Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh
wilayah propinsi dari tempat kedudukannya.
Melalui perhandingan diatas dapat dipahami bahwa keaslian penelitian ini
memang khusus karya ilmiah dalam bentuk penelitian nominee dimana inti
pokoknya terdapat beberapa persamaan dibatalkannya akta notaris karena tidak
terpenuhi syarat materiil dan syarat formil dalam pembuatan akta otentik dan
adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak sehingga'
berakibat batal demi hukum. Namun secara kasuistis penelitian ini mengandung
esensi perjanjian nominee.
1.2.Rumusan Masalah
Mengacu pada ulasan dari latar belakang penelitian maka dapat diketahui
permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
17
1. Mengapa akta notaris dalam perkara No. 82/Pdt.G/2013/PN.Dps dinyatakan
batal demi hukum :
2. Bagaimana kekuatan pembuktian terhadap akta notaris yang dinyatakan batal
demi hukum oleh hakim tersebut ?
3. Apa akibat hukum dari akta notaris yang batal demi hukum tersebut ?
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini tidak lain mencari kejelasan atas dari perumusan
masalah diatas yaitu:
1.3.1. Tujuan Umum
1. Tujuan secara umum penelitian bertujuan sebagai aplikatif teori adanya
paradigma bahwa “science is a process (ilmu sebagai proses) terutama bila
dikaitkan dengan pengembangan keilmuan hukum secara umum dan
khususnya dalam lapangan hukum keperdataan dengan dinamika substansi-
substansinya yang berkembang terus mengikuti perkembangan global”.
2. Melalui penelitian secara umum berorientasi pada substansi tertentu dalam
lapangan hukum perdata menyangkut aspek substansi perbuatan hukum
melalui dokumen resmi yang dibuat pejabat publik diantaranya notaris.
3. Bertujuan meneliti kasus nominee yang terjadi serta dampak kerugian yang
ditimbulkan terhadap para pihak yang terlibat didalamnya.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Secara khusus penelitian ini bertujuan guna memenuhi salah satu syarat
akademik untuk menyelesaikan studi program spesialis kenotariatan yang
18
penulis tempuh di Program Studi Program Kenotariatan Pascasarjana
Universitas Udayana sehingga memperoleh gelar Magister Kenotariatan
(MKn).
2. Untuk mengetahui, mengkaji, mengkritisi substansi teoritik keilmuan hukum
menyangkut substansi akta notaris menyangkut alas hak perjanjian, akta jual
beli yang dibuat pihak-pihak dihadapan notaris selaku pembuat akta dan
pejabat publik, serta meningkatkan dan mengkritisi putusan pengadilan
dengan isi dan dasar pertimbangannya bahwa suatu perjanjian yang telah
dibuat notaris selaku pejabat publik dinyatakan cacat hukum dan beresiko
batal demi hukum.
3. Untuk mengetahui sebatas mana tanggung jawab secara hukum administrasi,
hukum perdata dan hukum pidana dari para pihak pembuat akta yang
merugikan pihak tertentu.
1.4.Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan diharapkan mendapatkan suatu manfaat
dari penelitian tersebut baik manfaat teoritis maupun secara praktis bagi peneliti
pengembangan suatu ilmu pengetahuan.
1.4.1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat bahwa dalam lapangan hukum
perdata dikenal adanya perbuatan hukum terselubung dengan istilah nominee
berupa perjanjian pihak-pihak atas dasar kesepakatan saling percaya (tidak diatur
19
/ belum masuk esensi Pasal 1320 KUHPerdata), sehingga memberikan sumbangan
sub materi keilmuan dalam lapangan hukum perdata.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis penelitian ini merupakan sumbangan dunia praktisi
khususnya kalangan notaris dan advokat untuk cermat, hati-hati dan profesional
dalam membuat perjanjian atua mendampingi klien yang terlibat dalam
pembuatan dokumen perjanjian bernuansa nominee.
1.5.Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir
Secara sederhana teori dapat diartikan sebagai dalil atau pendapat
mengenai suatu berdasarkan kekuatan akal (ratio). Peran teori sangat penting
sebagai dasar atau landasan dalam suatu riset / penelitian. Tanpa landasan teori
maka penelitian akan berujung pada kesalahan atau sering disebut dengan trial
and error.
Setiap teori bisa dikatakan sebagai dugaan sementara, karena hal tersebut
harus memerlukan pembuktian. Melakukan suatu penelitian apalagi yang
berhubungan dengan permasalahan hukum, sangat diperlukan adanya
landasan teori agar penelitian yang dilakukan mempunyai dasar yang
kokoh, dan bukan hanya sekedar retorika saja, sehingga mencirikan bahwa
penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data8
Secara umum landasan teoritis merupakan kerangka pemikiran atau butir-
butir pendapat, teori, asas maupun konsep yang relevan untuk mengupas suatu
kasus ataupun permasalan.9 Menurut Soerjono Soekanto, bahwa "kontinuitas
8 Siradjuddin, 2011 Landasan Teori, Kerangka Pikir Dan Hipotesis, TP, Makassar.
9 M. Solly Lubis, 1994, Filsafat Ilmu dan Peneiitian. Mandar Maju, Bandung, hlm. 80.
20
perkembangan ilmu hukum, selain bergantung pada metodologi, aktivitas
penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.10
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori,tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui. Penelitian ini
merupakan penelitian Empiris dimana Teori dan Pembuktian sangatlah penting
sehingga menjadi satu data yang akurat.
Adapun teori-teori hukum yang dipakai mengkaji atau membedah selaku
pisau analisis dari masalah yang disajikan disinerjikan seperti berikut :
1. Masalah 1, berupa : Mengapa akta notaris No. 82/Pdt.G/2013/PN.Dps batal
demi hukum ? Ini dikaji melalui teori kewenangan secara atributif yang
diberikan oleh undang-undang kepada hakim untuk menilai keabsahan alat
bukti di persidangan sebagai inti teori kewenangan adalah kewenangan
atributif oleh undang-undang kepada hakim (Teori Kewenangan oleh H. D.
Van Wijk / Willem Konijueubelt)
2. Masalah 2, berupa : Bagaimana kekuatan pembuktian terhadap akta notaris
yang dinyatakan batal demi hukum ? Ini dikaji berdasar atas teori pembuktian
dengan jenis teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang
logis, alasan logis mengacu pada ketentuan undang-undang, makanya disebut
pula sistem ini dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara
10
Soerjono Soekanto, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hlm. 6
21
positif. Karena alat-alat bukti diatur pasti dalam undang-undang. Teori ini
dicetuskan oleh Van Bemmelen, diikuti oleh Andi Hamzah.
3. Masalah 3, berupa : Apa akibat hukum dari akta notaris yang batal demi
hukum ? Ini dikaji berdasar teori pertanggung jawaban hakim dari Hans
Kelsen dengan inti teorinya seseorang dapat dikenakan suatu sanksi atas
perbuatan hukum yang ia lakukan, karena berkait dengan kewajiban hukum
atas tanggung jawab (liability) atas perbuatan melawan hukum atau melanggar
hukum.
1.5.1. Teori Kewenangan
Kewenangan memiliki arti : hal berwenang, hak dan kekuasaan yang
dipunyai untuk melakukan sesuatu. Kewenangan yang di dalamnya terkandung
hak dan kewajiban, menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut:
Het vermogen tot het verrichten van bepaalde rechtshandelingen
(handelingen die op rechtsgevolgen onstaan of teniet gaan). Een recht
houdt in de (rechtens gegeven) vrijheid om een bepaalde feitelijke
handeling te verrichen ofna te laten, of die (rechtens gegeven) aanspraak
of het verrichten van een handeling door een ander. Een plicht impliceert
een verplichting om een bepaalde handeling te verrichten ofna te laten.
Kemampuan untuk melakukan tindakan hukum tertentu (yaitu tindakan-
tindakan yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum, dan
mencakup mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum). Hak berisi
kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau
menuntut pihak lain untuk melakukan tindakan tertentu, sedangkan
kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu.11
11
Ridwan H.R, 2006, Hukum Administrasi Negara Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
102.
22
Wewenang tidak sama dengan kekuasaan, kekuasaan hanya
menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum. wewenang
sekaligus berarti hak dan kewajiban. Dalam negara hukum, wewenang
pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan yang berlaku, R.J.H.M.
Huisman sebagaimana dikutip dan Ridwan H.R menyatakan pendapat berikut ini :
Een bestuurorgaan kan zich geen bevoegdheid toergenen. Slecht de wet
kan bevoegdheden verlenen. De wetgever kan en bevoegdheid niet alleen
attribueren aan en bestuurorgaan, maar ook aan ambtienaren
(bijvoorbeeld belastinginspecteursm ibspecteur voor hes milieu enz) of
aan speciale collage (bijvoorbeeld de kiesraad de pachskame), of zelfs aan
privaatrechtelijke rechtspersonen .
Organ pemerintah tidak dapat menganggap bahwa telah memiliki sendiri
wewenang pemerintahan. Kewenangan hanya diberikan oleh Undang-
Undang. Pembuat Undang-Undang dapat memberikan wewenang
pemerintah tidak hanya kepada organ pemerintahan, tetapi juga terhadap
para pegawai (misalnya inspektur pajak, inspektur lingkungan dan
sebagainya) atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum,
pengadilan khusus untuk perkara sewa tanah), atau bahkan terhadap badan
hukum private.12
Kewenangan diperoleh oleh seseorang melalui 2 (dua) cara yaitu dengan
atribusi atau dengan pelimpahan wewenang.
a) Atribusi
Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan. Dalam
tinjauan hukum tata negara, atribusi ini ditunjukkan dalam wewenang yang
dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya
berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat Undang-Undang.
12
R.J.H.M Huisman, 1995, Algemen Bestuursrecht, Een Inleiding, Amsterdam :
Kobra, tt, hlm. 4.
23
Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi atau
peraturan perundang-undangan.
b) Pelimpahan wewenang
Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dan wewenang
pejabat atasan kepada bawahan tersebut untuk membantu dalam melaksanakan
tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini
dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur
komunikasi yang bertanggung jawab, sepanjang tidak ditentukan secara
khusus oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bentuk pelimpahan
kewenangan dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
1) Delegasi
Pendelegasian diberikan biasanya antara organ pemerintah satu
dengan organ pemerintah lain dan biasanya pihak pemberi wewenang
memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pihak yang diberikan
wewenang.
2) Mandat
Umumnya mandat diberikan dalam hubungan kerja internal antara
atasan dengan bawahan. Kewenangan yang sah jika ditinjau dari mana
kewenangan itu diperoleh, maka ada tiga kategori kewenangan, yaitu
atributif, mandat, dan delegasi.
a. Kewenangan Atributif
Kewenangan atributif lazimnya digariskan atau berasal dari
adanya pembagian kekuasaan negara oleh Undang-Undang Dasar.
Istilah lain untuk kewenangan disrributif adalah kewenangan asli atau
kewenangan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada siapapun. Dalam
24
kewenangan atributif, pelaksanaannya dilakukan sendiri oleh pejabat
atau badan tersebut yang tertera dalam peraturan dasarnya. Adapun
mengenai tanggung jawab dan tanggung gugat berada pada pejabat
ataupun pada badan sebagaimana tertera dalam peraturan dasarnya13
.
b. Kewenangan Mandat
Kewenangan mandat merupakan kewenangan yang bersumber
dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang
lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah. Kewenangan
mandat terdapat dalam hubungan rutin atasan bawahan, kecuali bila
dilarang secara tegas. Setiap saat pemberi kewenangan dapat
menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan tersebut.
c. Kewenangan Delegatif
Kewenangan delegatif merupakan kewenangan yang
bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ
lain dengan dasar peraturan pemndang-undangan. Berbeda dengan
kewenangan mandat, dalam kewenangan delegatif, tanggung jawab
dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi limpahan wewenang
tersebut atau beralih pada delegataris. Dengan begitu, pemberi
limpahan wewenang tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi
kecuali setelah ada pencabutan dengan berpegang pada asas contrarius
actus. Oleh sebab itu, dalam kewenangan delegatif peraturan dasar
berupa peraturan perundang-undangan merupakan dasar pijakan yang
menyebabkan lahirnya kewenangan delegatif tersebut. Tanpa adanya
peraturan perundang-undangan yang mengatur pelimpahan wewenang
tersebut, maka tidak terdapat kewenangan delegasi.14
Pendapat beberapa sarjana lainnya yang mengemukakan bahwa
kewenangan yang diperoleh secara atribusi itu sebagai penciptaan
kewenangan (baru) oleh pembentuk wet (wetgever) yang diberikan kepada
suatu organ negara, baik yang sudah ada maupun yang baru dibentuk
untuk itu. Tanpa membedakan secara teknis mengenai istilah wewenang
dan kewenangan, Indroharto berpendapat dalam arti yuridis : pengertian
13
Lutfi Effendi, 2004, Pokok-pokok Hukum Administrasi, Edisi Pertama Cetakan Kedua,
Bayumedia Publising, Malang, hlm. 77-79. 14
Ibid, hal. 77-79.
25
wewenang adalah kemampuan yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum.
Menurut teori kewenangan dari H. D. Van Wijk / Willem
Konijnenbelt dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Attributie : toekenning van een bestuursbevoegheid door een wetgever
aan een bestuursorgaan (pemberian izin/wewenang oleh pemerintah
kepada pejabat administrasi Negara)
b. Delegatie : overdracht van een bevoegheid van het ene
bestuursorgaan aan een ander; (pelimpahan wewenang dari satu
badan ke yang lain)
c. Mandaat : een bestuursorgaan loot zijn bevoegheid namens
hem uitoefenen door een ander. (tidak adanya suatu pelimpahan
wewenang dari Badan atau pejabat yang satu kepada yang pejabat
lain15
Menurut Philipus M. Hadjon, kewenangan membuat keputusan
hanya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu dengan atribusi atau dengan
delegasi. Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu
jabatan. Philipus menambahkan bahwa "Berbicara tentang delegasi
dalam hal ada pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada.
Apabila kewenangan itu kurang sempurna, berarti bahwa keputusan yang
berdasarkan kewenangan itu tidak sah menurut hukum"16
.
Pernyataan diatas, dapat dipahami bahwa atribusi dan delegasi
merupakan suatu sarana yang digunakan untuk mengetahui apakah suatu
badan berwenang atau tidak dalam melaksanakan kewajiban kepada
masyarakat. Philipus M. Hadjon menyatakan dalam hal mandat tidak ada
15
Ibid, hal. 80. 16
Philipus M. Hadjon, 2001, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Cetakan
Ketujuh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II),
hlm. 110.
26
sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalih tangan kewenangan. Di
sini menyangkut janji-janji kerja intern antara penguasa dan pengawal.
Dalam hal-hal tertentu seorang pegawai memperoleh kewenangan untuk
atas nama si penguasa.17
Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dilihat
bahwa kewenangan yang dimiliki oleh notaris merupakan kewenangan
atribusi yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Max Weber
menyebutkan bahwa, "In legal authority, Legitimacy is based on a belief
in reason, and laws are obeyed because they have been enacted by proper
procedures.18
(Dalam kewenangan hukum, keabsahan suatu perbuatan
didasarkan pada keyakinan dalam penalaran dan hukum yang dipatuhi
karena telah diberlakukan dengan prosedur yang tepat).
Hal tersebut menunjukkan bahwa segala kewenangan notaris
adalah sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu
dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Hal ini secara tegas dapat
ditemukan dalam Pasal 15 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU Perubahan
atas UUJN tentang Kewenangan Notaris. Dalam pasal tersebut dijelaskan
bahwa notaris berwenang untuk membuat akta otentik secara umum.
Beberapa batasan terhadap kewenangan tersebut adalah:
1. Sepanjang tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan
dengan undang-undang;
17
Ibid, hlm. 131 18
Max Weber, 2008, Mastering Public Administration, Second Edition, CQ Press,
Washington, hll. 32.
27
2. Sepanjang menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang
membuat akta otentik yang diharuskan oleh aturan hukum atau
dikehendaki oleh yang bersangkutan;
3. Sepanjang mengenai subjek hukum untuk kepentingan siapa akta itu
dibuat.
Teori kewenangan ini digunakan untuk membahas dan
menganalisis masalah tentang kewenangan notaris dalam memberikan
jasanya kepada para pihak. Dengan mengetahui wewenang tersebut dapat
memberikan kejelasan mengenai tanggung jawab notaris dalam membuat
akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak.
1.5.2. Teori Pertanggung Jawaban Hukum
Pertanggung jawaban dapat diistilahkan ke dalam dua bentuk menurut
kamus hukum, yakni liability (the state of being liable) dan responsibility (the
state or fact being responsible). Liability merupakan istilah hukum yang luas (a
broad legal term), yang di dalamnya antara lain mengandung makna bahwa "it
has been reffered to as of the most comprehensive significance, including almost
every character of hazard or responsibility, absolute, contingen, or likely. It has
been defined to mean : all character of debt and obligations". (Liability)
menunjukkan kepada makna yang paling komprehensif, meliputi hampir setiap
karakter resiko atau tanggung jawab, yang pasti, yang bergantung atau yang
mungkin. Liability didefinisikan untuk menunjuk semua karakter hak dan
28
kewajiban).19
Disamping itu, liability juga merupakan "condition of being actually
or potentially subject to an obligation, condition of being responsible for a
possible or actual loss, pinalty, evil, exspense, or burden; condition which crate a
duty to perform an act immediately or in the future.20
(Kondisi tunduk kepada
kewajiban secara aktual atau potensial; kondisi bertanggung jawab terhadap hal-
hal yang aktual atau mungkin seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya, atau
beban; kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan Undang-Undang
dengan segera atau pada masa yang akan datang).
Responsibility berarti, "the state of being answerable for an obligation and
include judgement, skill, ability and capability" (Hal dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan,
keterampilan, kemampuan dan kecakapan)21
Responsibility juga berarti, "The
obligation to answer for an act done, and a repair or otherwise make restitution
for any injury it may have caused" (Kewajiban bertanggung jawab atas Undang-
Undang yang dilaksanakan, dan memperbaiki atau sebaliknya memberikan ganti
rugi atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkannya).
Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability menunjukkan
pada pertanggung jawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat kesalahan yang
dilakukan oleh subyek hukum. Pasal 1365 KUH Perdata yang lazim dikenal
sebagai pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya
empat unsur pokok, yaitu :
19
Ridwan H.R. 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.
335-337. 20
Ibid, hlm. 335 21
Ibid, hlm. 338
29
a. Adanya perbuatan;
b. Adanya unsur kesalahan;
c. Adanya kerugian yang diderita;
d. Adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian
Kesalahan yang dimaksud didalam Pasal 1365 KUH Perdata adalah unsur
yang bertentangan dengan hukum. Pengertian hukum tidak hanya bertentangan
dengan undang-undang tetapi juga kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.
Teori pertanggungjawaban menjelaskan bahwa seorang bertanggung jawab secara
hukum atas suatu perbuatan tertentu atau bahwa dia memikul tanggung jawab
hukum. Ini berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi dalam hal
perbuatan yang dilakukan itu bertentangan. Hans Kelsen membagi pertanggung
jawaban menjadi 4 (empat) macam yaitu :
a. Pertanggungjawaban individu yaitu pertanggungjawaban yang harus
dilakukan terhadap pelanggaran yang dilakukannya sendiri
b. Pertanggungjawaban kolektif berarti bahwa seorang individu
bertanggungjawab atas suatu pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain
c. Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan yang berarti bahwa seorang
individu bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena
sengaja dan diperkirakan dengan tujuan menimbulkan kerugian.
d. Pertanggungjawaban mutlak yang berarti bahwa seorang individu
bertanggung jawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan.22
Menurut pendapat Hans Kelsen tentang teori tanggung jawab hukum
menyatakan bahwa :
a concept related to that of legal duty is the concept of legal responsibility
(liability). That a person is legally responsible for a certain behavior or
that he bears the legal responsibility therefore means that he is liable to a
22
Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Edisi Revisi, Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta, hlm. 73-79.
30
sanction in case contrary, behavior. Normally, that is, in case the sanction
is directed againts the immediate delinquent, it is his own behavior for
which an individual is responsible. In this case the subject of the legal
responsibility and the subject of the legal duty coincide23
Bahwa suatu konsep yang terkait dengan kewajiban hukum adalah konsep
tanggung jawab (liability). Seseorang dikatakan secara hukum bertanggungjawab
untuk suatu perbuatan tertentu adalah bahwa dia dapat dikenakan suatu sanksi
dalam kasus perbuatan berlawanan dengan hukum. Biasanya, dalam kasus, sanksi
dikenakan terhadap delinquent (penjahat) karena perbuatannya sendiri yang
membuat orang tersebut harus bertanggungjawab. Dalam kasus ini subjek
tanggung jawab hukum (responsibility) dan subjek kewajiban hukum adalah
sama.
Teori tanggung jawab dalam hal ini dikaitkan dengan tanggung jawab
Notaris dalam hal pembuatan akta berdasarkan pemalsuan surat oleh para pihak
yang dalam hal ini pemalsuan surat merupakan tindak pidana dimana di dalam
UUJN dan UU Perubahan atas UUJN tidak mengatur mengenai tanggung jawab
pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan data dan
informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Sehingga timbul kekosongan norma
hukum dalam UU Perubahan atas UUJN yang berkaitan dengan tanggung jawab
notaris dalam pembuatan akta berdasarkan data dan informasi yang dipalsukan
oleh para pihak.
23
Han Kelsen, 1944, General Theory Of Law And State, New York, hlm. 65.
31
1.5.3. Teori Pembuktian
Dalam proses mencari dan menemukan kebenaran hukum dilakukanlah
tahapan pembuktian di persidangan. Dalam perkara perdata yang berusaha dicari
adalah kebenaran formal melalui alat – alat bukti yang diajukan para pihak. Secara
teori dalam peradilan dikenal adanya 4 (empat) teori pembuktian, yang masing-
masing teori tersebut dipakai dasar acuan hakim dalam memutus sesuai bidang
hukum yang disengketakan. Adapun teori pembuktian tersebut terurai seperti
berikut :
1. Pembuktian yang melulu didasarkan pada alat – alat pembuktian yang disebut
dengan undang – undang, yang disebut dengan sistem atau teori pembuktian
berdasar undang-undang secara positif, artinya, jika telah terbukti suatu
perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang
maka keyakinan Hakim tidak diperlukan lagi. Positif artinya hanya didasarkan
pada undang-undang saja atau disebut juga dengan teori pembuktian formal.
2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim melulu. Sistem
atau teori pembuktian ini adalah bertolak belakang atau berlawanan dengan
sistem atau teori pembuktian menurut undang-undang secara positif karena
teori pembuktian ini hanya berdasarkan pada keyakinan Hakim saja sehingga
teori ini disebut juga istilah confiction intime, Sistem ini memberi kebebasan
terlalu besar kepada Hakim sehingga sulit diawasi, disamping itu baik
terdakwa maupun penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.
Dalam hal ini Hakim dapat memidana terdakwa hanya berdasarkan atas
32
keyakinannya saja bahwa terdakwa telah melakukan apa yang telah
didakwakan kepadanya.
3. Sistem/ teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang
logis. Sistem ini disebut juga dengan sistem atau teori pembuktian yang
berdasar atas keyakinan Hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini Hakim
dapat memutuskan seseorang bersalah atau tidak berdasar keyakinannya dan
keyakinan itu didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu
kesimpulan (conclusie) yang berdasarkan kepada peraturan-peraturan
pembuktian tertentu. Jadi putusan Hakim dijatuhkan dengan suatu inovasi
sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena Hakim
bebas untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.
4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sistem atau teori
pembuktian ini adalah merupakan perpecahan dari teori pembuktian
berdasarkan keyakinan Hakim sampai batas tertentu atau teori pembuktian
jalan tengah yaitu:
a) Teori pembuktian berdasar keyakinan Hakim atas alasan yang logis
(Convection Raesonee).
b) Teori pembuktian berdasar Undang-undang secara negatif (Negatief
Wettelijk Bewijs Theory)24
Persamaan antara kedua sistem atau teori tersebut adalah sama-sama
berdasar atas keyakinan Hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa
adanya keyakinan Hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya bahwa
24
Jur Andi Hamzah I, Op Cit, hlm. 254
33
yang disebut pertama adalah berpangkal tolak pada keyakinan Hakim, tetapi
keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis,
yang tidak didasarkan kepada undang-undang tetapi ketentuan-ketentuan menurut
pengetahuan Hakim sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan
pembuktian mana yang dipergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak
pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-
undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan keyakinan Hakim
1.5.4. Asas – Asas Hukum
Ada beberapa asas hukum terkait dengan pembuktian dalam perkara
perdata dalam hakim mencari dan menentukan kebenaran formal, diantara adalah :
1. Asas actori in cumbit probatio, berarti siapa yang menggugat dialah yang
wajib membuktikan. Asas ini diatur dalam Pasal 163 HIR, Pasal 283 RBg dan
Pasal 1865 KUHPerdata
2. Asas secundum allegat ludicare, berarti hakim tutwuri terhadap peristiwa-
peristiwa yang diajukan para pihak. Disini menandakan bahwa hakim bersifat
pasif, praktek asas ini dalam hal pembagian beban pembuktian
3. Asas judex ne procedat ex officio, artinya dimana tidak ada penggugat disini
tidak ada hakim. Asas ini menandakan bahwa hakim perdata bersifat
menunggu gugatan dari para pihak.
4. Asas unus testis nullus testis, secara harfiah berarti seorang saksi bukanlah
saksi. Tegasnya untuk membuktikan suatu peristiwa hukum baik dalam
konteks pidana maupun perdata dibutuhkan minimal dua orang saksi.
5. Asas persona standi injudico, asas ini juga dikenal dengan istilah asas locus
standi atau legal standing yang berarti orang yang berwenang dan cakap
hukum berperkara di pengadilan
6. Asas plaintift, diartikan sebagai pihak yang mengajukan perkara perdata
karena menderita kerugian. Pihak tersebut mendapat beban pembuktian terkait
dengan kerugian yang dideritanya yaitu bahwa ketika seorang menggugat
karena menderita kerugian dialah yang dibebani kewajiban untuk
membuktikan. Dalam konteks hukum perdata gugatan ganti kerugian ini
biasanya didasarkan pada Pasal 1365 KUHPerdata
7. Asas directed verdict, berarti putusan dalam persidangan yang dijatuhkan
hakim karena ketidakmampuan salah satu pihak untuk menyodorkan bukti-
bukti yang cukup untuk mendukung posisinya.
34
8. Asas unlawful legal evidence, secara harfiah berarti perolehan bukti yang
tidak sah. Dengan konsekuensi adalah bila bukti diperoleh dengan jalan tidak
sah, hal tersebut akan menggugurkan perkara.
9. Asas audi et alteram partum, berarti dalam mengadili hakim harus mendengar
kedua belah pihak. Hal ini dimaksud agar ada keseimbangan antara penggugat
dengan tergugat.
10. Asas probatio plena, artinya alat bukti yang memiliki kekuatan pembuktian
yang paling kuat adalah bukti tulisan atau alat bukti tertulis, salah satunya
seperti akta autentik, alat bukti seperti ini diakui sebagai alat bukti memiliki
kekuatan penuh dan sempurna (probatio plena)25
Mencermati semua asas diatas adalah terkait langsung dengan substansi
pembuktian dalam proses perkara perdata oleh hakim untuk menentukan pihak
yang dimenangkan / dikabulkan gugatannya.
1.5.5. Konsep Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan komponen terpenting dalam negara hukum.
Menurut Radbruch hukum memiliki tujuan yang berorientasi pada hal-hal berikut:
1. Keadilan;
2. Kemanfaatan;
3. Kepastian hukum;26
Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yaitu pertama adanya
aturan yang bersifat umum yang memberi penjelasan kepada individu tentang
perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kedua, adanya keamanan hukum
bagi individu dari kesewenangan kekuasaan pemerintah.
Kepastian hukum ini memberikan landasan tingkah laku individu dan
landasan perbuatan yang dapat dilakukan oleh negara terhadap individu.
25
Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori Hukum Pembuktian, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 42-
48 26
O. Notohamidjojo, 2011, Soal-Soal Pokok Filsafat Hukum, Griya Media, Salatiga, hal.
33.
35
Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang
melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan hakim
yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus yang serupa yang telah
diputuskan27
Kepastian hukum adalah kepastian aturan hukum, bukan kepastian
tindakan yang sesuai dengan aturan hukum. Kepastian hukum secara normatif
adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena dapat
memberikan pengaturan secara jelas dan logis. Jelas dalam arti tidak
menimbulkan keragu-raguan atau multi tafsir, dan logis dalam arti hukum tersebut
menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau
menimbulkan konflik norma ataupun adanya kekaburan dan kekosongan norma.
Konsep ini dapat dipergunakan untuk dapat mengatasi persoalan dalam hal
bentuk pertanggungjawaban notaris terhadap proses pembuatan akta otentik yang
data dan informasinya dipalsukan oleh para pihak. Realitanya banyak
permasalahan seperti ini timbul di masyarakat dan mengikutsertakan Notaris
tetapi di dalam pengaturannya terutama di UUJN sendiri tidak mengatur mengenai
tanggung jawab pidana seorang notaris dari akta yang telah dibuatnya berdasarkan
data dan informasi yang dipalsukan oleh para pihak. Dengan asas kepastian
hukum ini diharapkan dapat memberikan suatu bentuk kepastian bagi notaris
apabila berhadapan dengan kasus seperti ini.
27
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Pranada Media
Group, Jakarta (selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal. 158.
36
1.5.6. Doktrin / Pendapat Ahli Tentang Pertanggung Jawaban
Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus
hukum yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang
luas yang menunjuk hampir semua karakter resiko atau tanggung jawab, yang
pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan
kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya
atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.
Dilain sisi responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan
atas suatu kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan
kecakapan meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang
dilaksanakan. Dalam pengertian dan pernggunaan praktis, istilah liability
menunjuk pada pertanggungjawaban hukum yaitu tanggung gugat akibat
kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan responsibility
menunjuk pertanggungjawaban politik. Secara leksikal, kata
"pertanggungjawaban" kata dasarnya adalah "tanggung jawab" yang berarti
keadaan wajib menanggung segala sesuatu berupa penuntutan, diperkarakan dan
dipersalahkan sebagai akibat sikap sendiri atau pihak lain. Dari pemahaman
"tanggung jawab" yang merujuk terhadap makna tanggung jawab dalam proses
hukum, dimana seseorang dapat dituntut, diperkarakan dan dipersalahkan serta
kesiapan menerima beban sebagai akibat dari sikap sendiri atau pihak lain yang
menimbulkan kerugian bagi pihak lain. Melalui pendekatan analisis oleh Pound
37
berpendapat bahwa timbulnya pertanggungjawaban karena suatu kewajiban atas
kerugian yang ditimbulkan terhadap pihak lain.28
Menurut Sutarto, pertanggungjawaban adalah sebagai suatu kebebasan
bertindak untuk melaksanakan tugas yang dibebankan, tetapi pada akhirnya tidak
dapat melepaskan diri dari resultante kebebasan bertindak, berupa penuntutan
untuk melaksanakan secara layak apa yang diwajibkan kepadanya. Pandangan
tersebut sesuai dengan batasan Ensiklopedia Administrasi yang mendefinisikan
(responsibility) sebagai keharusan seseorang untuk melaksanakan secara layak
apa yang telah diwajibkan kepadanya.29
Dalam Pertanggung Jawaban ada 2 (dua) aspek yang dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Aspek internal yakni pertanggungjawaban yang diwujudkan dalam bentuk
laporan pelaksanaan kekuasaan yang diberikan oleh pimpinan dalam suatu
instansi.
2. Aspek Eksternal yakni pertanggungjawaban kepada pihak ketiga, jika suatu
tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain
berupa tanggung jawab gugat atas kerugian kepada pihak lain atau dengan
perkataan lain berupa tanggung jawab gugat atas kerugian yang ditimbulkan
kepada pihak lain atas tindakan jabatan yang diperbuat.30
Dalam konteks perspektif hukum khususnya hukum perdata apabila
seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka
tidak terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan
28
Roscoe Pound, 1982, Pengantar Filsafat Hukum, Diteriemahkan dari edisi yang
diperluas oleh Drs. Mohammad Radjab, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, hlm. 90. 29
Sutarto, 1989, Encyclopedia Administrasi, MCMLXXVII, Jakarta, hlm. 291. 30
Suwoto Mulyosudarmo, 1997, Peralihan Kekuasaan: Kaiian Teoritis dan Yuridis
Terhadap Pidato Nevaksara, Gramedia, Jakarta, hlm 42.
38
undang-undang juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara orang tersebut
yang menimbulkan kerugian itu.31
Demikian pula sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) Notaris
berwenang membuat akta otentik. Sehubungan dengan kewenangannya tersebut
Notaris dapat dibebani tanggung jawab atas perbuatannya dalam membuat akta
otentik. Tanggung jawab notaris sebagai pejabat umum meliputi tanggung jawab
profesi notaris itu sendiri yang berhubungan dengan akta : Tanggung jawab
Notaris secara perdata atas akta yang dibuatnya, dalam hal ini adalah tanggung
jawab terhadap kebenaran materiil akta, dalam konstruksi perbuatan melawan
hukum. Perbuatan melawan hukum disini dalam sifat aktif maupun pasif. Dalam
arti aktif melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian pada pihak lain.
Sedangkan pasif, dalam artian tidak melakukan perbuatan yang merupakan
keharusan, sehingga pihak lain menderita kerugian. Jadi unsur dari perbuatan
melawan hukum disini yaitu adanya perbuatan melawan hukum, adanya kesalahan
dan adanya kerugian yang ditimbulkan. Perbuatan melawan hukum disini
diartikan luas, yaitu suatu perbutan tidak saja melanggar undang-undang, tetapi
juga melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain dan menimbulkan
kerugian. Kerugian yang berakibat kepada berbagai pihak terutama Notaris yang
bertanggung jawab terhadap akta yang dibuat bisa batal demi hukum.
31
A.Z. Nasution, 2002, Hukum Perlindungan Konsumen. Cetakan kedua, Diapit Media,
Jakarta, hlm.
39
1.5.7. Konsep Alat Bukti, Barang Bukti dan Pembuktian
Dalam suatu proses perkara hukum, sangat diperlukan adanya suatu alat
bukti dan proses pembuktian terhadap adanya suatu kasus hukum baik secara
perdata maupun pidana. Proses Pembuktian diperlukan apabila terjadinya satu
gugatan dari pihak terhadap satu kasus dimana perlu adanya tindak lanjut
sehingga memerlukan suatu pembuktian terhadap gugatan tersebut dimana
kewenangan seorang hakim untuk menyelidiki ada atau tidak hubungan hukung
yang menjadi dasar gugatan, hal ini yang menentukan diterima atau ditolaknya
suatu gugatan.
Secara umum Teori Pembuktian adalah proses membuktikan dan
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang dikemukakan oleh para pihak
dalam suatu persengkataan di muka persidangan. Selain itu Pembuktian juga
dapat diartikan suatu usaha atau upaya yang meyakinkan hakim tentang kebenaran
dalil-dalil yang dikemukakan oleh pihak-pihak berperkara dipersidangan
pengadilan berdasarkan alat-alat bukti yang telah ditentukan didalam peraturan
perundang-undangan. Dari beberapa definisi tentang pembuktian oleh pakar
hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pembuktian
dalam hukum perdata adalah "upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk
menyelesaikan persengketaan mereka atau untuk memberi kepastian tentang benar
terjadinya peristiwa hukum tertentu, dengan menggunakan alat bukti yang
40
ditentukan hukum sehingga dapat dihasilkan suatu penetapan atau putusan oleh
Pengadilan.32
Alat bukti (bewijsmiddel) memiliki berbagai macam bentuk dan jenisnya
yang mampu memberi keterangan dan penjelasan tentang suatu kasus yang
diperkarakan dipengadilan. Alat bukti diajukan oleh para pihak untuk
membenarkan dalil gugatan atau dalil bantahan, sehingga para pihak yang
berperkara hanya dapat membuktikan kebenaran dalil gugatan dan dalil bantahan
maupun fakta-fakta yang dikemukakan dengan jenis atau alat bukti tertentu. Alat
bukti yang diakui dalam hukum acara perdata dalam Pasal 1866 KUHPerdata dan
Pasal 164 HIR adalah tertulis/tulisan, saksi-saksi, persangkaan, pengakuan, dan
sumpah.
Sedangkan yang dimaksud barang bukti yaitu benda yang bergerak atau
tidak bergerak, yang berwujud maupun tidak berwujud yang mempunyai
hubungan dengan tindak pidana yang terjadi. Agar dapat dijadikan sebagai barang
bukti maka benda-benda tersebut harus dikenakan penyitaan oleh penyidik dengan
surat izin yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri sesuai dengan wilayah
penyitaan berada.
Diperlukannnya alat bukti dan barang bukti sangat mempengaruhi dari
proses penyelidikan yang dilakukan sehingga suatu kasus bisa
dipertanggungjawabkan sesuai dengan kebenaran dari suatu proses kekuatan
pembuktian terhadap kasus yang ditangani dan telah sesuai dengan aturan hukum
dan Undang-undang yang berlaku.
32
Ahmad Ali dan Wiwi Heriyani, 2013, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, hlm 21.
41
Dalam proses pembuatan suatu akta otentik kekuatan pembuktian akta
dapat dibagi menjadi 3 (tiga) diantaranya:
a. Kekuatan pembuktian lahir dimana kekuatan pembuktian yang didasarkan
pada keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya
b. Kekuatan pembuktian formil atau memberikan kepastian tentang peristiwa
bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang dimuat
dalam akta otentik.
c. Kekuatan pembuktiaan materiil dimana kekuatan pembuktian ini memberikan
kepastian tentang materi suatu akta.
Oleh sebab itu Kekuatan pembuktian dalam proses pembuatan akta sudah
harus memenuhi dari 3 (tiga) dasar Kekuatan Pembuktian.
1.5.8. Konsep Akta Otentik
Konseptual atau berasal dari kata dasarnya konsep berarti satu tahapan
terpenting dari teori. Konsep dasar dalam melakukan suatu penelitian adalah
untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak dan kenyataan. Dengan
demikian landasan konseptual dapat diartikan pula sebagai sarana umum pokok
penelitian yang akan dibahas sebelum memulai penelitian (observasi) masalah
yang akan diteliti. Konsep diartikan pula sebagai kata yang menyatakan abstraksi
yang digeneralisasikan dari hal-hal khusus yang disebut definisi operasional33
.
Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau
masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah
33
Sumadi Surya Brata, 1998, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
hlm. 28.
42
diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian dan
suatu konsep sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau
gejala itu. Maka konsep merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsep
menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan
empiris. Dari pengertian tersebut ada beberapa hal yang penting yang tersirat yaitu
ketentuan dalam permulaan pasal tersebut, bahwa Notaris adalah pejabat umum
(openbaar ambtenaar), dikatakan demikian karena erat hubungannya dengan
wewenangnya atau kewajibannya yang utama ialah membuat akta-akta otentik.
Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat, dalam arti bahwa apa
yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap
sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan
suatu bukti yang sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu
penambahan pembuktian. la merupakan alat bukti yang mengikat dan sempurna.
Kekuatan pembuktian akta otentik, demikian juga akta Notaris, adalah akibat
langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan bahwa
ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian dan dari tugas yang dibebankan
oleh undang-undang kepada pejabat-pejabat atau orang-orang tertentu. Dalam
pemberian tugas ini terletak kepercayaan kepada para pejabat tersebut dan
pemberian kekuatan pembuktian kepada akta-akta yang dibuat mereka. Dengan
adanya otentitas akta tersebut akan secara otomatis memberikan perlindungan
kepada Notaris, pihak yang bersangkutan, dan termasuk juga pihak-pihak yang
membutuhkan jasanya. Perlindungan hukum terhadap diri Notaris dan pihak-
pihak yang membutuhkan jasanya, perlindungan hukum terhadap diri Notaris dan
43
pihak-pihak yang membutuhkan jasanya sangat penting karena itu Notaris harus
menguasai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan jabatannya.
Dengan Notaris menguasai peraturan perundang-undangan maka akta Notaris
yang dibuat akan terhindar dari kecacatan hukum, yang dapat menimbulkan akta
tersebut batal demi hukum, sesuai dengan Undang-undang KUHPerdata Pasal
1872.
Semakin meningkatnya perkembangan terhadap hukum dalam kehidupan
bermasyarakat semakin menuntut adanya kepastian hukun terhadap pihak-pihak
yang berkepentingan akan hukum terkait dalam hal ini adalah pembuatan akta
otentik oleh pejabat umum yang mampu memberikan kepastian hukum yang
mengikat sebagai alat bukti yang kuat. Aturan hukum yang mampu menciptakan
kepastian hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Beberapa
pandangan dari Para Sarjana terhadap kepastian hukum diantaranya, Pendapat
kepastian hukum dikemukakan oleh Jan M. Otto yaitu bahwa kepastian hukum
dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut:
1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible) yang diterbitkan oleh kekuasaan negara
2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan
hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya
3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut.
44
4. Bahwa Hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak
menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka
menyelesaikan sengketa hukum; dan
5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan34
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan
bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukum sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Kepastian hukum yang mencerminkan budaya masyarakat
inilah yang disebut dengan hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly),
yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam be-
rorientasi dan memahami sistem hukum.
Secara umum kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan,
bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa
putusan dapat dilaksanakan. Walaupun kepastian hukum erat kaitannya dengan
keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum,
mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan, sedangkan keadilan bersifat
subyektif, individualistis dan menyamaratakan35
.
Nurhasan Ismail, berpendapat bahwa penciptaan kepastian hukum dalam
peraturan perundang-undangan memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan
struktur internal dari norma hukum itu sendiri.
"Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, kejelasan
konsep yang digunakan. Norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu
yang kemudian disatukan ke dalam konsep tertentu pula. Kedua, kejelasan hirarki
kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan
hirarki ini penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya
34
Jan Michiel Otto, 2003 "Reele Rechtszekerheidin Ontwikkelingslanden", Terjemahan
Tristam Moeliono, Kepastian Hukum yang Nyata di Negara Berkembang. Cetakan Pertama,
Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia (KHN-RI), Jakarta, hlm 5. 35
Ibid, hlm. 160
45
peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberi
arahan pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu
peraturan perundang-undangan tertentu. Ketiga, adanya konsistensi norma hukum
perundang-undangan. Artinya ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan satu subyek tertentu tidak saling
bertentangan antara satu dengan yang lain.36
Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam
perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa,
sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya
kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.
Bertumpu pada uraian-uraian mengenai kepastian hukum di atas, maka
kepastian da-pat mengandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak
menimbulkan multi-tafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat
dilaksanakan. Hukum harus ber-laku tegas di dalam masyarakat, mengandung
keterbukaan sehingga siapapun da-pat memahami makna atas suatu ketentuan
hukum. Hukum yang satu dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga
tidak menjadi sumber keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum
suatu negara yang mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak
menimbulkan kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak
dan kewajiban setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.
Hal-hal pokok tersebut diatas dapat dipergunakan sebagai acuan para
pakar ilmu hukum, para pejabat umum (Notaris), hakim, jaksa dan pejabat
berwenang lainnya suatu proses perkara hukum baik dalam proses kekuatan
pembuktian dan pengambilan keputusan sehingga tidak menimbulkan berbagai
36
Nurhasan Ismail, 2006, Perkembangan Hukum Pertanahan Indonesia: Suatu
Pendekatan Ekonomi-Politik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm 39.
46
multitafsir maupun keragu-raguan dan keputusan yang diambil memiliki kekuatan
pembuktian yang sah dan kuat serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
kepada para pihak yang terkait didalamnya.
Akta otentik dibuat dengan tujuan untuk dipergunakan sebagai alat bukti
telah diatur pada Pasal 1870 KUHPerdata dimana akta otentik memiliki
pembuktian telah diatur pada pasal yang sempurna. Dengan kesempurnaan akta
yang dibuat oleh Notaris sehingga menjadi satu alat bukti yang sah, maka akta
tersebut harus dilihat apa adanya, tidak perlu dinilai atau ditafsirkan lain, seperti
yang tertulis dalam akta tersebut.
Tiap – tiap akta notaris yang dibuat, harus mampu menilai sejauh mana
kekuatan pembuktiannya, bagaimana perbandingan dari kekuatan-kekuatan
pembuktian yang tersimpul didalamnya, ada kalanya bahwa kekuatan pembuktian
yang luar atau lahiriahnya kuat namun kekuatan pembuktian formalnya atau
materialnya kurang kuat karena terlalu banyak mengandung tindakan-tindakan
nyata tapi kurang mengandung tindakan-tindakan hukum sehingga alat
pembuktian menjadi lemah dan berakibat melanggar hukum sehingga dampaknya
mengakibatkan kerugian dari berbagai pihak atas kekuatan pembuktian yang tidak
kuat.
1.5.9. Konsep Notaris Sebagai Pejabat Umum
Istilah pejabat dapat diartikan sebagai pemegang jabatan orang lain untuk
sementara, sedangkan pejabat sebagai pegawai pemerintah yang memegang
47
jabatan (unsur pimpinan) atau orang yang memegang suatu jabatan.37
Suatu
jabatan sebagai personifikasi hak dan kewajiban dapat berjalan oleh subyek
manusia atau subyek hukum yang dapat menjalankan hak dan kewajiban dengan
didukung oleh jabatan ialah pejabat.38
Jabatan dilaksanakan melalui perantara
pejabatnya, jabatan merupakan lingkungan pekerjaan tetap sebagai subyek hukum
(persoon), yakni pendukung hak dan kewajiban (suatu personifikasi). Sebagai
subyek hukum maka jabatan itu dapat menjamin kesinambungan hak dan
kewajiban.
Hubungan antara jabatan dengan pejabat, bahwa jabatan bersifat tetap
(lingkungan pekerjaan tetap). Jabatan dapat berjalan oleh manusia sebagai
pendukung hak dan kewajiban sehingga disebut sebagai pejabat, pejabat adalah
orang yang menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan amanat dari
jabatannya. Pejabat dapat berganti-ganti orangnya terhadap suatu jabatan,
sedangkan jabatan akan terus ada selama masih dibutuhkan di dalam suatu
struktur pemerintahan ataupun struktur organisasi.39
Jabatan dengan pejabat sangat berhubungan erat dan tidak dapat
dipisahkan, jabatan bersifat tetap dan baru dapat dijalankan apabila ada pejabat
sebagai pendukung hak dan kewajibannya. Oleh karena itu suatu jabatan tidak
akan berjalan jika tidak ada pejabat yang menjalankanya, kata pejabat lebih
menonjolkan orang yang memangku jabatan. Segala tindakan yang dilakukan oleh
37
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1994, Kamus Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 392. 38
Habib Adjie, 2008, Hukum Notaris Indonesia-Tabir Tematik Terhadap UU No. 30
Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, PT. Rafika Aditama, Bandung (selanjutnya disebut Habib
Adjie I), hlm. 12. 39
Ibid, hlm. 14
48
pejabat sesuai dengan jabatannya merupakan suatu implementasi dari hak dan
kewajiban jabatannya.
Pejabat Umum berasal dari bahasa Belanda yaitu Openbare Ambtenaren,
menurut kamus hukum.40
Salah satu arti dari Openbare Ambtenaren adalah
pejabat, dengan demikian Openbare Ambtenaren adalah pejabat yang mempunyai
tugas bertalian dengan kepentingan masyarakat, sehingga Openbare Ambtenaren
diartikan sebagai pejabat yang diserahi tugas untuk membuat akta otentik yang
melayani kepentingan masyarakat, dan kualifikasi seperti itu diberikan kepada
Notaris41
. Menurut N.G Yudara42
"Pejabat umum adalah organ negara yang
dilengkapi dengan kekuasaan umum (met openbaar gezag bekleed), yang
berwenang menjalankan sebagian kekuasaan negara khususnya dalam pembuatan
dan peresmian alat bukti terrulis dan otentik dalam bidang hukum perdata
sebagaimana ditentukan Pasal 1868 BW". Pejabat Umum satu-satunya yang
ditunjuk oleh Pasal 1868 BW adalah Notaris berdasarkan UUJN dan UU
Perubahan atas UUJN.
Notaris adalah Pejabat Umum yang berfungsi menjamin otoritas pada
tulisan-tulisannya (akta). Notaris diangkat oleh pengurus tertinggi negara dan
kepadanya diberikan kepercayaan dan pengakuan dalam memberikan jasa bagi
kepentingan masyarakat43
. Notaris sebagai Pejabat Umum memiliki tanggung
jawab atas perbuatannya terkait dengan pekerjaannya dalam membuat akta. Ruang
40
N.E. Algra, H.R.W. Gokkel dkk, 1983, "Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae,
Belanda Indonesia," Bina Cipta, Jakarta, hlm. 29. 41
Habib Adjie I, Op Cit., hlm. 13 42
Husni Thamrin, 2010, Pembuatan Akta Pertanahan oleh Notaris, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, hlm. 74 43
Ibid, hlm. 72
49
lingkup pertanggung jawaban Notaris meliputi kebenaran materiil, dapat dibagi
menjadi empat poin44
.
1. Tanggung jawab Notaris secara perdata terhadap kebenaran materiil dari akta
yang dibuatnya.
Kontruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab perdata
terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuat oleh Notaris adalah
kontruksi perbuatan melawan hukum.45
Kontruksi yuridis ini bersifat sangat
luas dan dapat mencakup segala perbuatan yang menyebutkan terjadinya
kerugian pada pihak lain. Bila dikaitkan dengan Notaris sebagai Pejabat
Umum, bahwa berdasarkan kontruksi yuridis perbuatan melawan hukum dapat
terjadi apabila Notaris melakukan suatu perbuatan yang mengakibatkan
kerugian salah satu atau kedua belah pihak. Notaris dalam hal ini dapat
dimintakan pertanggungjawaban berdasarkan kontruksi perbuatan melawan
hukum.
Tanggung jawab Notaris terkait dengan kebenaran materiil dari isi akta
yang di buat dihadapannya menurut Sudikno Mertokusumo menyatakan
bahwa :
Mengingat Notaris pada dasarnya hanya mencatat apa yang
dikemukakan oleh para penghadap dan tidak diwajibkan untuk
menyelidiki kebenaran materiil isinya, maka tidaklah tepat bila hakim
membatalkannya. Notaris dapat berbuat salah atas mengenai isi akta
karena informasi yang salah dari para pihak. Kiranya kesalahan
demikian tidak dapat dipertanggung jawabkan kepada Notaris karena
isi akta telah dikonfirmasikan kepada para pihak oleh Notaris.46
44
Abdul Ghofur Anshori, Op Cit, hlm. 34 45
Abdul Ghofur Anshori, Op Cit, hlm. 35 46
Abdul Ghofur Anshori, Op Cit, hlm. 36
50
2. Tanggung jawab Notaris secara pidana terhadap kebenaran materiil dari akta
yang dibuatnya
Berdasarkan pengertian dari tindak pidana, konsekuensi dari perbuatan
pidana dapat melahirkan jawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana baru
timbul bila subyek hukum melakukan kesalahan yang dapat berupa
kesengajaan maupun kealpaan (culpa).
Berkaitan dengan pertanggungjawaban Notaris sebagai Pejabat Umum
maka sesungguhnya Notaris bila melakukan tindak pidana dapat dikenakan
tuntutan pidana yang berdasarkan perbuatan pemalsuan surat, namun dalam
hubungannya dengan kebenaran materiil atas akta yang dibuat, Notaris dalam
menjalankan profesinya melalui kontruksi yuridis bahwa Notaris sejatinya
hanya fasilitator dari para pihak dalam partij acte. Sehingga secara materiil
Notaris tidak terlibat di dalam akta para pihak tersebut. Kecuali Notaris
mengetahui para pihak dalam membuat akta itu beritikad buruk atau dengan
akta tersebut dapat timbul perbuatan pidana.
3. Tanggung jawab Notaris berdasar Peraturan Jabatan Notaris terhadap
kebenaran materiil dalam akta yang dibuatnya
Mengenai kebenaran materiil dalam akta yang dibuat, Notaris
bertanggung jawab untuk mengikuti aturan di dalam UU Perubahan atas
UUJN. Apabila akta yang dibuat tidak memenuhi ketentuan dalam UU
Perubahan atas UUJN maka akta yang dibuat akan bersifat sebagai akta di
bawah tangan atau akta tersebut akan menjadi batal demi hukum. Kelalaian
dan ketidakpahaman Notaris terhadap peraturan di dalam UU Perubahan atas
51
UUJN dapat menyebabkan Notaris dimintai pertanggungjawaban atas
kesalahan sehingga pihak yang menderita kerugian memiliki alasan yuridis
untuk menuntut penggantian biaya, ganti rugi, dan bunga kepada Notaris.47
4. Tanggung Jawab Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya berdasarkan
kode etik Notaris
Hubungan profesi Notaris dengan masyarakat dan negara telah diatur
dalam UUJN berikut aturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan
hubungan profesi Notaris dengan organisasi profesi Notaris diatur melalui
kode etik Notaris. Keberadaan kode etik merupakan suatu konsekuensi dari
sebuah profesi. Ada pendapat yang menyatakan bahwa Notaris sebagai
Pejabat Umum yang mengemban kepercayaan harus memegang teguh tidak
hanya kepada peraturan perundang-undangan semata namun juga pada kode
etik profesinya, karena tanpa adanya kode etik profesi harkat dan martabat
dari profesinya akan hilang.
47
Ghofur Anshori, Op.Cit, hal. 46.
52
KERANGKA BERPIKIR
Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Yang Dinyatakan Batal Demi
Hukum Dalam Perkara Nominee di Pengadilan Negeri Denpasar
- Muncul perjanjian sebagai alas hak secara terselubung
- Secara dassein di langgar undang – undang
- Tetap praktek dasssollen terjadi / berlangsung
- Investor – spekulasi
- Merugikan investor sendiri
- Menyangkut kridibilitas notaris selaku pejabat publik
- Hakim memutus atas fakta
- Namun secara kasuistis – hakim – kebenaran di keadilan atas
fakta terungkap dalam pembuktian di sidang
2
Bagaimana kekuatan
pembuktian terhadap akta
notaris – batal demi
hukum ?
3.
Apa akibat hukum
terhadap akta notaris
– batal demi
hukum ?
1
Mengapa akta notaris dalam
perkara No. 82 / Pdt.G / 2013
/ PN.Dps batal demi
hukum ?
PENELITIAN
- Empiris, deskriptif, data primer +
sekunder, data di Pengadilan Negeri
Denpasar + studi dokumentasi
LANDASAN TEORITIS
- Asas, konsep, teori : teori kewenangan,
teori pertanggungjawaban hukum dan
teori pembuktian
SIMPULAN
1. Akta dapat batal demi hukum karena
dianggap cacat hukum oleh hakim
2. Tidak memiliki kekuatan mengikat
3. Akibat hukum secara perdata, pidana dan
administratif
SARAN
1. Agar notaris teliti dan cermat membuat
akta unutk tidak melanggar undang-
undang
2. Agar perjanjian praktek nominee agar
dihentikan oleh semua pihak karena
akan merugikan dan dilarang oleh
undang-undang
3. Agar pihak-pihak bertanggung jawab
terhadap perbuatan yang telah ia lakukan
53
1.6. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah didasarkan pada
metode sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya. Kecuali itu
juga diadakan pemeriksaan mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk
kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan - permasalahan
yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.48
1.6.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum empiris berupa usaha yang dilakukan peneliti untuk
mencari dan menemukan data sebagai bahan kajian dan analisis terhadap
permasalahan yang disediakan. Jenis Penelitian ini adalah jenis penelitian hukum
empiris karena mengacu pada permasalahan yang terjadi di masyarakat secara
nyata terkait dengan masalah hukum khusunya hukum perdata yang melibatkan
pejabat umum yang bertanggungjawab atas akta otentik yang telah dibuat
sehingga dalam kenyataannya menimbulkan suatu sengketa sehingga sering
berakhir di Pengadilan. Beberapa perkara yang diajukan di Pengadilan karena
timbulnya suatu kesalahan terhadap akta otentik diperlukan kajian yang
disesuaikan dengan Undang-Undang yang mengatur.
48
Lexy J Moloeng, 2000, "Metodologi Penelitian Kuantitatif" PT. Remaja, Rosda Karya,
Bandung, him. 5. hlm. 13.
54
1.6.2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis
artinya penelitian ini bersifat menggambarkan, menjelaskan, menganalisis dan
membuktikan maupun dalam bentuk secara jelas dan akurat terhadap masalah
yang diambil sebagai objek penelitian ini tidak di kurangi dan di tambahkan.
Dalam setiap analisis dan ditunjang dengan pembuktian di lapangan dengan
menggunakan data primer dalam hal ini dari data di lapangan maupun data
pendukung yang dapat dianalisis dengan tujuan memperjelas data tersebut secara
kategoris penyusunan dengan sistematis dan selanjutnya dibahas dan dikaji secara
logis.49
1.6.3. Jenis dan Sumber Data
1.6.3.1. Jenis Data
Jenis data ada 2 (dua), yakni :
1. Data Primer adalah data pokok yang diperoleh langsung melalui pihak-pihak
yang terkait melalui para responden dengan tahap observasi dan praktik di
lapangan, melakukan wawancara, melakukan kuisioner baik secara terbuka
ataupun tertutup dan secara tatap muka, serta melakukan uji coba.
2. Data sekunder merupakan data yang diperoleh sebagai pembanding dalam
data primer yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan sebagai penunjang
penelitian seperti buku-buku, dokumen-dokumen, karya ilmiah , jurnal dan
49
Joko P. Subagyo, 1997, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta,
Jakarta, hlm 2.
55
sumber lain yang terkait sehingga penelitian ini mudah dilakukan baik melalui
pengumpulan data primer maupun data sekunder.
1.6.3.2. Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian hukum ini bersumber dari :
1. Data Primer (field research) merupakan data yang diperoleh dari sumber
utama yaitu dari lapangan dalam hal ini adalah data dokumen dan para
responden yaitu para pihak yang terlibat dalam kasus yang diperkarakan di
Pengadilan Negeri seperti wawancara langsung dengan Hakim yang terlibat
atau dari pihak yang bersengketa seperti advokatnya / kuasanya serta bahan
hukum yang berupa peraturan perundang-undangan.
2. Data Sekunder merupakan data yang bersumber dari data kepustakaan (library
research) yang diperoleh dari Buku-buku dan dokumen-dokumen resmi hasil-
hasil penelitian yang berwujud sebagai laporan merupakan data yang
tingkatanya kedua bukan yang utama.50
3. Data Tersier berupa kamus, ensiklopedia, jurnal, makalah dan lain-lain
1.6.4. Langkah-Langkah Pengumpulan Data
Mengumpulkan data dalam suatu penelitian merupakan suatu hal yang
wajib dan harus dipersiapkan, apabila tanpa adanya data atau materi terutama
yang sesuai dengan jenis penelitian dipastikan tidak mampu membuat suatu
penelitian yang akurat. Teknik pengumpulan data diperoleh dari berbagai sumber
diantaranya:
50
H. Salim, HS dan Erlies Septiana Nurbani, 2013, Penerapan Teori Hukum pada
Penelitian Tesis dan Disertasi, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 25.
56
1. Melakukan studi kepustakaan (study document) yaitu dengan cara
mempelajari peraturan-peraturan yang terkait dengan penelitian, mempelajari
berbagai teori dan kasus yang terkait, memahami buku-buku, jurnal - jurnal,
karya ilmiah dari berbagai hasil penelitian yang terkait pula serta dokumen
lain yang diperlukan baik dari media maupun dari berbagai sumber.51
2. Dalam tahap selanjutnya dilakukan melalui tahap uji dilapangan dengan
membuat suatu daftar jenis pertanyaan dalam suatu wawancara yang
digunakan kepada beberapa responden sehingga terstruktur dari setiap jenis
masalah maupun jalan keluar dari studi kasus penelitian baik secara langsung
maupun tidak langsung serta mencari data pendukung yang diambil dari
narasumber ataupun responden.
1.6.5. Lokasi Penelitian
Penelitian berlokasi di Pengadilan Negeri Denpasar, dan dalam melakukan
penelitian telah mendapatkan izin dari Ketua Pengadilan Negeri serta izin dari
Pemerintah Kota Denpasar. Peneliti melakukan penelitian dengan mengikuti
beberapa sidang perkara di Pengadilan Negeri Denpasar, sehingga memudahkan
Penulis untuk melakukan tahap pencarian sumber data terhadap studi kasus yang
diambil dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan teknik observasi yang dilakukan selama 5
(lima) kali dengan mencatat serta mewawancari para kuasanya / advokatnya
seperti advokat bernama Rizal Maya Putra, umur 55 tahun, alamat Jl. Gatot
51
Imelda, 2009, Analisis Yuridis Kekuatan Pembuktian Akta Perjanjian Musyarakah
Yang Dibuat Notaris Studi Bank Sumut Svariah Medan, Medan., hlm. 17
57
Subroto No. 39 Denpasar dan advokat bernama Mohammad Sukedi, umur 49
tahun, alamat Jl. A. Yani Utara No. 16 Denpasar. Wawancara dilakukan berturut –
turut pada hari Senin, Rabu, Kamis tanggal 12, 14, 16 Oktober 2015 dan Selasa,
Rabu, Jumat tanggal 3, 4, 8 November 2015.
1.6.6. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Data
1.6.6.1. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan dan analisis data apabila data primer maupun sekunder
telah dihimpun, dilakukan tahap analisis data untuk mengetahui kebenarannya.
Data yang diperoleh baik dari studi lapangan maupun studi dokumen pada
dasarnya merupakan data lapangan yang dianalisis secara kuantitatif. Setelah data
terkumpul kemudian dituangkan dalam bentuk uraian logis dan sistematis,
selanjutnya dianalisis untuk memperoleh kejelasan penyelesaian masalah,
kemudian ditarik kesimpulan secara induktif, yaitu dari hal yang bersifat umum
menuju hal yang bersifat khusus.52
Teknik analisis data yang dilakukan dengan cara menyajikan yang
diperoleh dari hasil wawancara terhadap Hakim, Notaris yang beberapa pihak
terkait dalam penelitian ini. Setelah semua data yang berkaitan dengan penelitian
ini dikumpulkan, kemudian dilakukan abstraksi dan rekonstruksi terhadap data
tersebut, selanjutnya disusun secara sistematis53
, sehingga diperoleh analisa
tentang sumber masalah dan penanganan dari perkara serta pengujian materi
terhadap Undang-undang yang mengatur. Dalam menganalisis data dipergunakan
52
Ibid, hlm. 10 53
Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 13.
58
analisis bersifat kualitatif, yang artinya menguraikan data secara bermutu dalam
bentuk kalimat yang teratur, logis jelas dan dilakukan suatu penyajian data secara
lengkap dan dapat dipertanggungjawabkan.
1.6.6.2. Teknik Analisis Data
Adapun data yang dianalisis terkait kasus nominee di Pengadilan Negeri
Denpasar berupa data dari Putusan No. 82/Pdt.G/2013/PN.Dps, dengan penggugat
berhadapan dengan para tergugat. Penggugat mendalilkan haknya atas pembelian
sebidang tanah dengan uang milik penggugat untuk membeli obyek sengketa yang
dilakukan bertindak atas nama tergugat I. Dalam rangkaian kasus tersebut
tergugat mengalihkan tanah sengketa berupa menjual obyek lagi pada tergugat II,
obyek sengketa sudah atas nama tergugat I yang dokumen hukumnya dibuat di
depan pejabat publik dengan akta jual beli yang dibuat notaris.
Penggugat merasa dirugikan haknya atas obyek (miliknya – versi perjanjian
nominee), maka penggugat menggugat ke Pengadilan Negeri Denpasar. Dalam
putusan pengadilan hakim memeriksa dan memutus mengabulkan gugatan
sebagian gugatan penggugat berupa tergugat I mesti mengembalikan harga
sebesar nilai pembelian obyek tanah sengketa karena sesuai bukti – bukti (tertulis)
yang dipegang penggugat ada bukti transfer uang kepada penggugat I untuk
pembelian obyek tanah sengketa, walaupun obyek sengketa atas nama tergugat I
(disini telah terjadi pembuatan dokumen akta jual beli antara penggugat dan
tergugat I secara terselubung), hal inilah indikasi ciri perjanjian / perbuatan
hukum dengan istilah nominee.
59