bab i pendahuluan 1.1 latar...

43
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintahan pada masa sekarang memiliki fungsi diantaranya memberikan pelayanan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan memberikan pelayanan publik yang baik dan optimal (Rieseneder, 2008). Optimasi proses dan pelayanan (service and process optimization) merupakan salah satu komponen untuk mewujudkan pemerintah yang baik (good government) (Michigan Lean Consortium, 2013). Pelayanan publik yang optimal menjadi salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelayanan bagi masyarakat. Seringkali pelayanan yang optimal kepada masyarakat tidak dapat dipenuhi dikarenakan beberapa hal, salah satunya ialah kondisi dan lokasi pusat pemerintahan yang tidak kondusif akibat adanya tekanan perkotaan terhadap lokasi asal dan letak kantor-kantor pemerintahan yang tidak berada pada satu kawasan yang terpadu akibat minimnya lahan di lokasi awal. Untuk mengatasi hal tersebut munculah sebuah kebijakan pemindahan pusat pemerintahan ke wilayah lain yang dirasakan lebih kondusif. Pemindahan pusat pemerintahan dalam konteks ini bukan diartikan sebagai pemindahan Ibukota, namun diartikan sebagai pemindahan salah satu fungsi ibukota yang sangat kompleks, yang salah satunya ialah fungsi pemerintahan. Pusat pemerintahan sendiri diartikan sebagai fungsi wilayah yang didalamnya mencakup perkantoran pemerintahan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan pusat pemerintahan, tidak hanya memindahkan pusat perkantoran, namun juga memindahkan serangkaian fasilitas dan utilitas penunjang kegiatan pemerintah, memindahkan sistem, dan memindahkan aktivitas, serta mobilitas pemerintahan. Meskipun pada awalnya pemindahan ini sering ditandai dengan pemindahan pusat perkantoran pemerintahan.

Upload: hoangphuc

Post on 06-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemerintahan pada masa sekarang memiliki fungsi diantaranya

memberikan pelayanan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan

memberikan pelayanan publik yang baik dan optimal (Rieseneder, 2008).

Optimasi proses dan pelayanan (service and process optimization) merupakan

salah satu komponen untuk mewujudkan pemerintah yang baik (good

government) (Michigan Lean Consortium, 2013). Pelayanan publik yang optimal

menjadi salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelayanan bagi

masyarakat. Seringkali pelayanan yang optimal kepada masyarakat tidak dapat

dipenuhi dikarenakan beberapa hal, salah satunya ialah kondisi dan lokasi pusat

pemerintahan yang tidak kondusif akibat adanya tekanan perkotaan terhadap

lokasi asal dan letak kantor-kantor pemerintahan yang tidak berada pada satu

kawasan yang terpadu akibat minimnya lahan di lokasi awal. Untuk mengatasi

hal tersebut munculah sebuah kebijakan pemindahan pusat pemerintahan ke

wilayah lain yang dirasakan lebih kondusif.

Pemindahan pusat pemerintahan dalam konteks ini bukan diartikan

sebagai pemindahan Ibukota, namun diartikan sebagai pemindahan salah satu

fungsi ibukota yang sangat kompleks, yang salah satunya ialah fungsi

pemerintahan. Pusat pemerintahan sendiri diartikan sebagai fungsi wilayah yang

didalamnya mencakup perkantoran pemerintahan dan berbagai fasilitas

penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002).

Dalam pemindahan pusat pemerintahan, tidak hanya memindahkan pusat

perkantoran, namun juga memindahkan serangkaian fasilitas dan utilitas

penunjang kegiatan pemerintah, memindahkan sistem, dan memindahkan

aktivitas, serta mobilitas pemerintahan. Meskipun pada awalnya pemindahan ini

sering ditandai dengan pemindahan pusat perkantoran pemerintahan.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

2

Kebijakan pemindahan pusat pemerintahan dari satu wilayah ke

wilayah yang lain menjadi sebuah keputusan yang besar, karena membutuhkan

kesiapan institusi, masyarakat, dan dana yang cukup banyak. Memindahkan

fungsi pemerintahan ke lokasi yang baru merupakan sebuah upaya pemerintah

untuk membantu mengurangi tekanan di kota utama akibat berbagai

permasalahan perkotaan dan memberikan ruang lebih seiring dengan

meningkatnya kebutuhan akan lahan perkantoran (Siong, 2006). Dengan adanya

pusat pemerintahan yang baru akan memungkinkan pemerintah membangun

pusat perkotaan yang terencana dengan baik yang dilengkapi dengan berbagai

fasilitas dan teknologi penunjang untuk meningkatkan efisiensi dan produktifitas

pemerintah (Siong, 2006).

Pemindahan pusat pemerintahan saat ini menjadi salah satu fenomena

baru dalam perencanaan perkotaan dunia, meskipun di berbagai negara tema ini

bukan lagi menjadi fenomena yang baru. Tahun 2005 pemerintah Myanmar

mengumumkan keputusan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kota

Yangon ke Naypyitaw, sebuah kota yang berjarak 240 mil utara Kota Yangon

(Myoe, 2006). Alasan pemindahan ini dikarenakan beberapa faktor, yakni faktor

strategi militer, informasi keamanan negara, Naypyitaw merupakan daerah yang

lebih mudah dikontrol, faktor dekolonisasi, upaya untuk mengisolasikan pusat

pemerintahan dari jumlah penduduk yang besar, dan untuk mengikuti

kepercayaan trandisional Myanmar (Myoe, 2006).

Malaysia juga menjadi salah satu negara di Asia Tenggara yang

memindahkan pusat pemerintahannya dari Kuala Lumpur ke wilayah yang

dikenal dengan nama Putrajaya yang terletak 25 km dari Kuala Lumpur.

Kebijakan ini diambil untuk mengurangi tekanan perkotaan di Kuala Lumpur

dan seiring dengan kebutuhan ruang perkantoran pemerintahan yang meningkat

(Siong, 2006). Kebijakan untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala

Lumpur menuju Putrajaya telah dimulai sejak 1993 dan mulai dibangun pada

tahun 1996, serta pada tahun 2012 sebagian besar kantor-kantor pemerintahan

Malaysia telah menempati Putrajaya (Putrajaya Corporation, 2012). Kebijakan

ini juga diikuti oleh pemerintah Korea Selatan yang pada tahun 2005

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

3

mengumumkan kebijakan untuk memindahkan kantor-kantor pemerintahan dari

Seoul menuju Yeongi Gongju, sebagai upaya untuk menyeimbangkan

desentralisasi dan pembangunan nasional, dan pada tahun 2012 sebanyak 20

kantor pemerintah dan 16 pusat riset Korea Selatan telah resmi berada di Sejong

(United Nation of Experts on Geographical Names, 2014).

Kemunculan kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di Indonesia tak

lepas dari Undang-undang No 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah yang

pertama kali mengemukakan adanya kebijakan desentralisasi, dimana

pemerintah daerah mendapatkan wewenang dalam mengatur urusan

kepemerintahannya. Undang-undang tersebut kemudian diamandemen menjadi

Undang-undang No 32 Tahun 2004 dan Undang-undang 23 Tahun 2014 tentang

pemerintah daerah, yang menyatakan bahwa dalam menyelenggarakan

pemerintahannya, pemerintah daerah berkewajiban dalam memberikan

palayanan yang optimal. Optimalisasi pelayanan pemerintah inilah yang menjadi

dasar banyak pemerintah daerah di Indonesia membuat kebijakan untuk

memisahkan fungsi pemerintahan dari kompleksitas fungsi ibukota, dengan

harapan agar pelayanan dan sistem pemerintahan dapat berjalan lebih optimal.

Alternatif pemindahan pusat pemerintahan tidak hanya dapat

menciptakan optimalisasi pelayanan dan kinerja pemerintah, namun kebijakan

ini dapat menjadi strategi dan awal kemunculan kota baru (new town) di daerah

tujuan. Permasalahan perkotaan seperti ukuran kota yang tidak seimbang dengan

pertumbuhan populasinya, ketidakmampuan pemerintah untuk mengatur

populasi dan perkembangan kota yang menyebabkan kemacetan, polusi,

kriminalitas, serta banyaknya migrasi dari kota menuju pinggiran kota nyatanya

memicu untuk membuat alternatif pengembangan kota baru (Golany, 1976).

Salah satu yang dapat memicu perkembangan kota baru ialah dengan membuat

pusat-pusat pertumbuhan baru, salah satunya dengan melakukan pemindahan

pusat pemerintahan.

Pemindahan pusat pemerintahan juga terjadi di Provinsi Kalimantan

Selatan. Ibukota provinsi secara yuridis tetap berada di Kota Banjarmasin,

namun salah satu fungsinya, fungsi pemerintahan berpindah ke Kota Banjarbaru,

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

4

yakni sebuah Kota yang berjarak ± 35 Km2 dari Kota Banjarmasin. Hal ini

dikarenakan meningkatnya kebutuhan ruang perkantoran yang tidak diiringi oleh

lahan perkantoran yang cukup di Kota Banjarmasin, upaya mewujudkan kantor

pemerintahan yang berada pada satu kawasan yang terpadu, upaya untuk

menyediakan berbagai fasilitas kepemerintahan yang belum dapat disediakan

pada kota awal, serta upaya untuk peningkatan pelayanan pemerintah. Hasil

analisis yang dilakukan oleh Balitbangda Provinsi Kalimantan Selatan dan

Unlam (2006) menyatakan bahwa indeks kepuasan masyarakat terhadap

pelayanan di kantor Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan sebesar 66,563.

Angka tersebut termasuk pada kategori baik, namun dilihat dari intervalnya,

hampir mendekati posisi kurang baik, sehingga perlu dilakukan berbagai

alternatif untuk meningkatkan mutu pelayanan Pemerintahan Provinsi

Kalimantan Selatan. Pemindahan pusat pemerintahan ini telah melalui proses

yang panjang dan mempertimbangkan banyak faktor. Kebijakan ini telah

direncanakan sejak tahun 2006 dan pada tahun 2012 pemindahan fungsi

pemerintahan ini diawali dengan memindahkan kantor-kantor pemerintahan

Provinsi Kalimantan Selatan yang telah resmi dipindahkan ke Kota Banjarbaru.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa alasan yang menentukan

kebijakan pemindahan ibukota maupun pusat pemeritahan satu daerah dengan

daerah lain berbeda-beda. Ada yang dikarenakan oleh faktor meningkatnya

kebutuhan lahan kantor pemerintahan, ada yang disebabkan oleh faktor untuk

menyeimbangkan pembangunan nasional, dan ada pula yang dikarenakan faktor

politik, keamanan dan stabilitas nasional. Faktor pemilihan lokasi nya pun

beragam, ada yang mempertimbangkan aksesibilitas, letak geografis, kondisi

fisik, maupun sosial dan ekonomi. Proses implementasi kebijakan pemindahan

pusat pemerintahan yang terjadi pun beragam, ada yang melalui intervensi

politik dan konflik internal, namun ada pula yang dapat dilakukan dengan

baikmelalui pertisipasi publik dan tinjauan lainnya. Untuk itulah penelitian ini

perlu untuk dilakukan agar diketahui bagaimana proses kebijakan ini diambil

dan diimplementasikan serta faktor-faktor yang menjadi alasan pemindahan

pusat pemeritahan di Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

5

1.2 Rumusan Masalah

Fenomena kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di berbagai negara

di dunia telah terjadi sejak lama. Pemindahan ibukota maupun pusat

pemerintahan di berbagai daerah melalui proses yang panjang dan seringkali

dalam proses pemindahan tersebut terjadi ketidak sepemahaman yang dapat

menjadi kendala implementasi kebijakan. Salah hal yang penting dalam

pemindahan pusat pemerintahan ialah alasan pemilihan lokasi yang ditentukan

oleh berbagai faktor. Faktor yang menjadi alasan pemindahan itupun beragam

dan berbeda satu sama lain, mulai alasan untuk mengurangi beban kota utama,

untuk memenuhi peningkatan kebutuhan ruang perkantoran, untuk

menyeimbangkan pembangunan nasional, dan lain lain. Alasan pemilihan lokasi

yang akan direncanakan pun memiliki alasan tertentu, mulai dari faktor fisik,

lokasi geografis, aksesibilitas, fasilitas, historis dan politik. Pemindahan ini ada

yang berjalan sukses, namun ada juga yang masih terkendala. Setiap fenomena

pemindahan di sebuh tempat memiliki karakteristik yang berbeda, untuk itulah

muncul beberapa rumusan permasalahan dalam penelitian ini, yakni :

1. Mengapa pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan dipindah ke

Kota Banjarbaru ?

2. Bagaimana proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan Provinsi

Kalimantan Selatan ke Kota Banjarbaru ?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis faktor-faktor yang menjadi alasan pemindahan pusat

pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan di Kota Banjarbaru.

2. Menganalisis proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan

Provinsi Kalimantan Selatan dari Kota Banjarmasin ke Kota Banjarbaru.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

6

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini merupakan syarat akademik untuk menyelesaikan program

strata-2 di program sudi S2 Geografi, Fakultas Geografi Universitas Gadjah

Mada, yang diharapkan akan memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan di bidang kebijakan publik dari sudut pandang ilmu geografi,

khususnya dalam pembangunan wilayah. Karena pengkajian kebijakan-

kebijakan publik selama ini masih didominasi oleh pengkajian ilmu sosial dan

ekonomi, sehingga kemunculan sudut pandang ilmu lain perlu dilakukan sebagai

bentuk variasi penilaian dari sebuah kebijakan publik. Selain itu, penelitian ini

juga diharapkan menjadi referensi bagi penelitian-penelitian sejenis di masa

yang akan datang, maupun daerah-daerah lain yang berencana akan

memindahkan ibukota maupun pusat pemerintahannya sebagai sebuah upaya

yang dilakukan untuk mengembangkan daerah.

1.5 Keaslian Penelitian

Penelitian- penelitian yang berkaitan dengan pemindahan pusat pemerintahan,

pemindahan ibukota, dan pengembangan kota baru (new town) telah banyak

dilakukan, baik di Indonesia maupun di berbagai negara di dunia, seperti yang

dapat dilihat pada Tabel 1.1. Penelitian mengenai tema ini di beberapa negara

telah sejak lama dilakukan. Beberapa penelitian yang merujuk pada Tabel 1.1

menunjukan adanya perbedaan antara penelitian satu dengan penelitian lainnya,

baik dari segi spasial dan temporal atau dari metode dan teknik analisis data yang

disesuaikan dengan tujuan.

Evaluasi lokasi dan faktor-faktor yang menentukan menjadi salah satu tujuan

penelitian yang banyak dilakukan.Hal ini menunjukan bahwa saat ini banyak

ditemukan fenomena yang merujuk pada pengembangan kota baru, pemindahan

pusat pemerintahan maupun ibukota sebagai salah satu kebijakan perkotaan.

Fenomena ini menarik untuk dikaji lebih lanjut karena setiap daerah memiliki ciri

dan karakteristik perkotaan yang berbeda, sehingga akan menghasilkan fenomena

yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

7

Tabel 1.1 Perbandingan Keaslian Penelitian dengan Penelitian Sebelumnya

Nama

Peneliti

Jenis

Penelitian

dan

Tahun

Judul Tujuan Metode Analisis Hasil

Ho Chin

Siong

Jurnal

(2006)

Putrajaya-

Administrative

center of Malaysia:

Planning, Concept,

and Implementation

1. Menjelaskan perencanaan,

konsep, dan implementasi

putrajaya.

2. Menjelaskan faktor yang

mempengaruhi putrajaya dipilih

sebagai lokasi pusat

pemerintahan yang baru.

Studi

Literatur

Analisis

deskriptif

Faktor-faktor yang menentukan

putrajaya dipilih sebagai pusat

pemerintahan yang baru ialah harga

lahan, biaya pembangunan

infrastruktur, Lokasi strategis,

transportasi dan aksesibilitas, bentuk

lahan,vegetasi, lokasi yang potensial,

dan minimalisasi terhadap konflik

komunitas lokal.

Maung Aung

Myoe

Jurnal

(2006)

The Road to

Naypyitaw: Making

Sense of The

Myanmar

Government’s

Decision to Move

It’s

CapitalGovernment

1. Menjelaskan faktor yang

menjadi penentu keputusan

pemerintan Myanmar untuk

memindahkan Pusat

pemerintahan.

Studi

Literatur

Analisis

deskriptif

Faktor-faktor yang penyebab

Naypyitaw menjadi pusat pemerintahan

ialah Informasi keamanan negara, faktor

strategi militer, lebih mudah diawasi,

faktor dekolonisasi, faktor isolasi pusat

pemerintahan, dan faktor kepercayaan

tradisional.

Anne

Prentice

Jurnal

(1966)

Islamabad : A New

Capital City

1. Menjelaskan alasan pemidahan

ibukota Pakistan

2. Menjelaskan perencaan

Islamabad sebagai ibukota baru

Pakistan

Studi

Literatur

Analisis

Deskriptif

Karachi memliki permasalahan yang

kompleks, dan Islamabad dipilih

sebagai ibukota baru Pakistan

dikarenakan faktor fisik dan lokasi yang

strategis.

Deborah

Potts

Jurnal

(1985)

Capital Relocation

in Africa: The Case

of Lilongwe in

Malawi

1. Menjelaskan isu strategis dalam

pemindahan ibukota Malawi

dari Zomba ke Lilongwe

2. Menjelaskankeadaan Lilongwe

Metode

kualitatif

Analisis

deskriptif

kualitatif

Zomba memiliki berbagai permasalahan

yang sangat kompleks, sehingga ibukota

Malawi harus dipindahkan. Namun,

pemindahan ini justru menimbulkan

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

8

sebagai ibukota baru Malawi banyak permasalahan di Lilongwe.

Venni

Meitaria

Detiawati

Tesis

(2008)

Penetapan Pulau

Dompak sebagai

lokasi pusat

perkantoran

pemerintah Provinsi

Kepulauan Riau

1. Mengetahui kelayakan Pulau

Dompak dan faktor-faktor yang

menjadi alasan pemilihan Pulau

Dompak sebagai lokasi pusat

perkantoran di Provinsi

Kepulauan Riau

2. Mengetahui kelayakan

perbandingan lokasi yang

dipilih berdasarkan studi

kelayakan dengan lokasi yang

telah ditetapkan di Pulau

Dompak

3. Mengetahui persepsi

stakeholder terhadap Pulau

Dompak sebagai lokasi pusat

perkantoran pemerintahan

Provinsi Kepulauan Riau

Metode

kualitatif

Deskriptif

kualitatif

Faktor utama penetapan Pulau Dompak

sebagai pusat perkantoran ialah faktor

geografis, pemanfaatan lahan, dan

ketersediaan lahan kosong. Lokasi

perkantoraan saat ini sangat strategis

dan mudah dijangkau. Stakeholder

menilai hal ini akan membuka

keterisolasian kawasan.

Moh. Fitra

U.Ali

Tesis

(2010)

Evaluasi lokasi pusat

pemerintahan

Kabupaten

Halmahera Tengah

1. Mengevaluasi apakah situasi

dan kondisi Kota Weda sudah

memenuhi syarat dipilih sebagai

lokasi pusat pemerintahan

Kabupaten Halmahera Tengah.

Metode

deduktif

kualitatif

Deskriptif

deduktif

kualitatif

Faktor-faktor yang mempengaruhi Kota

Weda sebagai pusat pemerintahan ialah

faktor geografis, pemanfaatan lahan,

ketersediaan sumber air, dan

aksesibilitas. Namun Kota Weda rentan

terhadap bencana banjir dan ekonomi

masyarakat yang masih didominasi

sektor pertanian.

A. Malik

Ibrahim

Tesis

(2001)

Evaluasi Penetapan

Lokasi Ibukota

Provinsi Maluku

Utara

1. Mengkaji kebijakan penetapan

Sofifi sebagai ibukota untuk

memperoleh pertimbangan

akademis bagi penetapan

ibukota provinsi.

2. Mengkaji tingkat kesesuaian

Kualitatif

rasionalistik

Analisis

deskriptif

kualitatif

Berdasarkan hasil komparasi

merekomendasikan Sofifi sebagai

ibukota Provinsi Maluku Utara, namun

diperlukan strategi pemantapan untuk

fungsi pusat pemerintahan.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

9

lokasi terpilih dalam rangka

mencari alternatif lokasi lain

untuk memenuhi kriteria sebuah

lokasi untuk pengembangan

kota berkelanjutan

Muslihin Tesis

(2008)

Pemindahan Ibukota

Definitif Provinsi

Maluku Utara : Studi

tentang masalah-

masalah yang

muncul dalam proses

pemindahan ibukota

dari Ternate ke

Sofifi.

1. Mengetahui faktor-faktor yang

menjadi keterlambatan

pemindahan ibukota Maluku

Utara

Kualitatif

eksploratif

Analisis

deskriptif

eksploratif

Faktor yang mempengaruhi

keterlambatan pemindahan karena

dalam pengambilan keputusan tidak

melibatkan masyarakat dan beberapa

faktor lain seperti ekonomi, sosio

kultural dan historis, serta faktor politik.

Arry Ronny

Danny Deda

Tesis

(2002)

Evaluasi Penetapan

Lokasi Ibukota

Kabupaten Jayapura

di wilayah Sentani

1. Melakukan evaluasi penetapan

lokasi ibukota Kabupaten

Jayapura dan menemukenali

konsep dan norma perencanaan

yang dipakai sehingga

Kecamatan Sentani ditetapkan

sebagai ibukota Kabupaten

Jayapura

Kualitatif

rasionalistik

Analisis

deskriptif

kualitatif

Ada kesamaan kriteria secara teoritik

dan normatif dalam penetapan lokasi

ibukota Kabupaten Jayapura, namun

ada perbedaan kriteria teoritik dalam

penetapan lokasi yang ada dengan

konsep pemerintah, serta ada perbedaan

normatif dalam penetapan lokasi

ibukota Kabupaten Jayapura dengan

pemerintah daerah.

Syafruddin Tesis

(2001)

Evaluasi Konsep

Rencana Lokasi

Ibukota Kabupaten:

Rencana

Pemindahan Ibukota

Kabupaten Button.

1. Mengetahui apakah pemilihan

lokasi ibukota Kabupaten Buton

pada kawasan La Ompo dan

sekitarnya di Kecamatan

Batauga sudah sesuai dengan

teori, konsep, dan norma-norma

perencanaan ibukota kabupaten.

Kualitatif Analisis

deskriptif

kualitatif

Secara konsep, tidak ada perbedaan

yang kontradiktif antara konsep yang

diterapkan oleh pemerintah dengan

konsep perencanaan ibukota kabupaten,

namun ada beberapa kekurangan pada

lokasi ini yang perlu diperhatikan

pemerintah.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

10

Yuke Nori

Aurumbita

Tesis

(2014)

Pemindahan Pusat

Pemerintahan

Provinsi Kalimantan

Selatan di Kota

Banjarbaru

1. Menganalisis faktor-faktoryang

menjadi alasan pemindahan

pusat pemerintahan Kalimantan

Selatan di Kota Banjarbaru.

2. Menganalisis proses

implementasi pemindahan pusat

pemerintahan Provinsi

Kalimantan Selatan ke Kota

Banjarbaru

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

11

Pada Tabel 1.1 berbagai penelitian sebelumnya yang telah dilakukan baik

didalam maupun luar negeri yang menunjukan berbagai temuan yang berbeda. Ho

Chin Siong pada jurnalnya tahun 2006 meneliti mengenai perencanaan, konsep,

dan implementasi lokasi Putra Jaya sebagai pusat pemerintahan baru Malaysia,

serta faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi tersebut. Berdasarkan

penelitiannya, diketahui bahwa keputusan untuk merelokasi pusat pemerintahan

Malaysia telah diambil sejak tahun 1993, dan pembangunan dimulai pada tahun

1996, sedangkan pada tahun 2012 pusat pemerintahan Malaysia resmi

dipindahkan ke Putrajaya. Kebijakan ini diambil untuk mengurangi kemacetan di

Kuala Lumpur sebagai pusat pemerintahan Malaysia yang semakin hari semakin

bertambah.

Putrajaya dirancang dengan konsep garden city dan intelligent city dengan

dilengkapi infrastruktur modern dan smart yang memudahkan bagi para

penghuninya. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengoptimalkan kinerja

pemerintahan. Putrajaya terletak 25 km dari Kuala lumpur. Faktor-faktor

Putrajaya dipilih sebagai pusat pemerintahan yang baru ialah karena harga lahan

yang masih minim dan kalkulasi biaya pembangunan infrastruktur yang tidak

besar, lokasi Putrajaya sangat strategis karena berada pada wilayah pertumbuhan,

Putrajaya sudah memiliki transportasi dan aksesibilitas yang baik, bentuk lahan

dan jenis vegetasi yang memungkinkan dalam pembangunan, Putrajaya

merupakan lokasi potensial untuk pengembangan wilayah sekitar, serta lokasi

yang paling memiliki dampak konflik komunitas lokal yang paling minim.

Tak berbeda jauh dengan Ho Chin Siong, Maung Aung Myoe

memaparkan hasil penelitiannya pada jurnal tahun 2006 mengenai faktor-faktor

yang menjadi penentu pemerintah Myanmar memindahkan pusat pemerintahan

dari Yangon menuju Naypyitaw yang berjarak 240 mill utara Yangon. Keputusan

pemindahan pusat pemerintahan ini telah diumumkan sejak tahun 2005. Alasan

pemindahan ini dikarenakan 6 faktor, yakni faktor untuk melindungi informasi

kemanan negara Myanmar, faktor strategi militer yang lebih menguntungkan

apabila pusat pemerintahan berada di Naypyitaw, lokasi Naypyitaw yang lebih

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

12

mudah diawasi, faktor dekoloniasi, untuk mengisolasi pusat pemerintahan dari

lokasi yang memiliki populasi yang banyak sehingga kinerja pemerintah dapat

optimal dan mengurangi konflik sosial, serta untuk mengikuti kepercayaan

trandisional Myanmar bahwa lokasi yang tenang dan lebih tinggi akan membuat

kondisi pemerintahan lebih baik.

Pemindahan ibukota juga terjadi di Pakistan sejak lama. Anne Prentice

dalam jurnalnya pada tahun 1966 mengungkapkan bahwa ibukota Pakistan semula

berada di Karachi. Namun, Karachi memiliki berbagai permasalahan yang

kompleks, seperti minimnya fasilitas dan bangunan yang memadai, pertumbuhan

penduduk yang tinggi akibat banyaknya pengungsi dari India, kepadatan

penduduk, serta permasalahan sulitnya komunikasi yang terjalin. Hal ini lah yang

membuat ibukota Pakistan kemudian dipindahkan ke lokasi lain. Islamabad dipilih

sebagai lokasi ibukota yang baru dikarenakan kondisi fisiknya yang terletak di

dataran tinggi, dan berada pada lokasi strategis yang terletak dengan beberapa

kota penting di Pakistan. Dalam perencanaan nya, Islamabad dirancang sebagai

kota yang modern dan terintegrasi dengan pusat-pusat kota di Pakistan.

Pemindahan ibukota juga terjadi di Malawi. Deborah Potts dalam

jurnalnya pada tahun 1985 mengungkapkan bahwa pemerintah Malawi

memindahkan ibukota Malawi dari Zomba menuju Linglowe pada tahun 1965.

Pemindahan ini disebabkan karena berbagai permasalahan yang ada di Zomba,

seperti kemacetan, permukiman yang tidak layak, dan banyaknya bangunan yang

hancur pada masa kolonial. Alasan pemindahan ke lokasi yang lebih kondusif ini

terkait pula dengan beberapa elemen yang ingin dicapai pemerintahan Malawi

baik dari sisi regional maupun politik. Namun, pemindahan ibukota di Lilongwe

justru menimbulkan berbagai permasalahan di kota Lilongwe, seperti

permasalahan keuangan, pertumbuhan penduduk, pelayanan dan penyediaan

permukiman, dan pengangguran. Banyaknya permasalahan di lokasi ibukota yang

baru dikarenakan lemahnya komitmen pemerintah dalam membangun kebijakan

yang dapat mendukung Lilongwe sebagai ibukota pemerintahan yang baru.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

13

Beberapa kasus mengenai pemindahan ibukota maupun pusat

pemerintahan juga terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Venni Meitaria

Detiawati dalam penelitian tesis tahun 2008 mengemukakan faktor-faktor yang

menjadikan pulau Dompak sebagai pusat perkantoran pemerintahan baru di

Provinsi Kepulauan Riau, serta persepsi stakeholder terhadap pemindahan

tersebut. Faktor-faktor yang menentukan Pulau Dompak dipilih ialah karena letak

geografis yang tidak berhimpitan dengan kota yang telah tumbuh dan

berkembang, pemanfaatan lahan, dan ketersediaan lahan kosong yang masih luas,

sehingga mempermudah proses pembangunan. Para stakeholder menilai bahwa

lokasi pusat perkantoran yang baru sangat strategis dan mudah dijangkau dari

kabupaten/kota sekitar. Selain itu stakeholder juga menilai bahwa pusat

perkantoran ini akan membuka keterisolasian dan menjadi stimulus

perkembangan kawasan dan pemerataan pembangunan.

Moh.Fitra U. Ali pada penelitian tesis pada tahun 2010 melakukan studi

mengenai evalusai lokasi pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera Tengah di

Kota Weda. Berdasarkan penelitiannya diketahui bahwa faktor-faktor yang

menentukan Kota Weda dipilih sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Halmahera

Tengah ialah karena latak geografis yang tidak berhimpit dengan kota lain yang

telah berkembang, pemanfaatan lahan, ketersediaan sumber air, dan aksesibilitas

jaringan jalan yang baik. Namun, indikator yang membuat Kota Weda masih

belum layak untuk dijadikan pusat pemerintahan ialah kerentanan terhadap

bencana banjir dan perekonomian masyarakat yang masih didominasi oleh sektor

pertanian.

Penelitian mengenai evaluasi lokasi juga dilakukan A.Malik Ibrahim pada

penelitian tesis tahun 2001 yang melakukan evaluasi terhadap lokasi ibukota

Provinsi Kabupaten Maluku Utara, yakni Sofifi. Dalam penelitiannya, Malik

membandingkan tiga wilayah untuk mengentahui kelayakannya, yakni Kabupaten

Sofifi, KotaTernate, dan Kabupaten Sidangdoli. Berdasarkan komparasi ketiga

wilayah itu, maka Malik merekomendasikan Kabupaten Sofifi sebagai ibukota

Kabupaten Maluku Utara, seperti yang dilakukan oleh pemerintah. Hal ini

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

14

dikarenakan Kabupaten Sofifi memiliki lahan kosong yang masih luas, kabupaten

ini terhindar dari jalur bencana gempa bumi,terletak pada lokasi yang strategis

karena berada pada posisi yang sentral secara regional. Namun diperlukan strategi

pemantapan fungsi dan peran kota sebagai pusat pemerintahan yang baru.

Pada penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Muslihin pada tahun 2008

diketahui bahwa implementasi pemindahan ibukota Provinsi Maluku Utara

mengalami keterlambatan. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, yakno sosio-

kultural dan historis yakni tidak dilibatkannya kelompok masyarakat yang

bepengaruh dan perebuatan daerah kekuasaan dua kesultanan, serta fenomena

konflik sosial yang terjadi di Maluku Utara. Faktor ekonomi yang meliputi

minimnya pembangunan fasilitas yang menunjang pemindahan, serta faktor

politik yang meliputi konflik-konflik politik akibat ketidak setujuan sebagian

perangkat pemerintahan terhadap pemindahan ibukota.

Arry Ronny Dnny Deda pada tahun 2001 juga melakukan evaluasi

penetapan lokasi ibukota Kabupaten Jayapura di wilayah Sentani untuk melihat

konsep dan norma yang digunakan dalam penetapan lokasi tersebut. Berdasarkan

hasil penelitian didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antar teori dan

norma yang digunakan dalam menentukan kriteria lokasi ibukota kabupaten,

yakni kriteria ketersediaan lahan yang mencukupi dan aksesibilitas intra maupun

inter regional. Namun, ada perbedaan yang kontradiktif antara kriteria penetapan

lokasi ibukota yang ada dalam penelitian dengan yang dilakukan oleh pemerintah,

yakni berkaitan dengan kesesuain kondisi fisik dan ketersediaan lahan datar pada

lokasi terpilih, serta adanya perbedaan kontradiktif antara norma dan konsep

pemerintah kabupaten dalam penetapan lokasi ibukota, yakni berkaitan dengan

aspek fisik, lokasi strategis, keadaan ekonomi, dan aspek pembiayaan.

Evaluasi lokasi juga dilakukan oleh Syafruddin pada tahun 2001, yang

melakukan evaluasi lokasi terhadap rencana pemindahan ibukota Kabupaten

Buton. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui lokasi ibukota Kabupaten Buton

sudah sesuai dengan teori, konsep, dan norma-norma perencaan ibukota yang

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

15

tertera dalam penelitian. Hasil penelitian menunjukan bahwa kriteria yang

dikembangkan oleh pemerintah daerah dalam menentukan lokasi ibukota meliputi

luas lahan, daya dukung, jarak lokasi dengan sumber air minum, penggunaan

lahan eksisting, luas lahan kosong, laju pertumbuhan wilayah, jarak terhadap

kawasan lindung,dan aksesibilitas dari ibukota kecamatan sekitar. Kriteria-kriteria

ini secama umum tidak memiliki perbedaan yang kontradiktif dengan konsep

yang digunakan dalam penelitian, yang meliputi kondisi fisik, keberadaan sumber

air, kerentanan bencana, penggunaan lahan perkotaan, aglomerasi penduduk,

keadaan ekonomi, ketersediaan fasilitas pelayanan, dan aksesibilitas wilayah.

Namun, rencana lokasi ibukota Kabupaten buton yang berada di La Ompo

memiliki beebrapa kekurangan, yakni salah satunya minimnya fasilitas pelayanan

yang ada di lokasi tersebut, sehingga pemerintah harus mengeluarkan dana yang

cukup banyak untuk menyediakan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

16

1.6 Tinjauan Pustaka

1.6.1. Definisi dan Konsep Kebijakan Perkotaan

Kebijakan merupakan sebuah konsep yang dapat mewadahi beberapa

dimensi yang berbeda (Torjman, 2005). Lebih lanjut Torjman (2005) menjelaskan

bahwa kebijakan publik perkotaan merupakan sebuah keputusan yang diambil

secara sengaja sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat perkotaan. Sebagai

sebuah hal yang dapat mewadahi berbagai dimensi, kebijakan diharapkan dapat

dapat diterima oleh seluruh penduduk perkotaan. Winarno (2002) mencoba

menjelaskan berbagai definisi kebijakan publik dari beberapa ilmuan, yakni

diantaranya ialah Dye (1975) yang mengatakan bahwa kebijakan publik adalah

semua semua yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan,

Friederich yang mengatakan kebijakan sebagai suatu tindakan yang diusulkan

oleh seseorang, kelompok, ataupun pemerintah yang dapat digunakan untuk

mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Selain itu, Winarno (2002) juga

menjelaskan bahwa definisi kebijakan juga muncul dari Anderson yang

mendefinisikan kebijakan sebagai sebuah tindakan yang mempunyai maksud

tertentu yang ditentukan oleh seorang atau sejumlah aktor untuk mengatasi suatu

masalah tertentu.

Nagel (1984) mencoba mendefinisikan kebijakan publik sebagai

keputusan pemerintah yang didesain dari berbagai macam hal untuk melindungi

lingkungan, kriminalitas, pengangguran, dan mengatasi berbagai permasalahan

sosial lainnya. Santoso (1993 dalam Winarno 2002) menjelaskan bahwa terdapat

dikotomi pemahaman terhadap kebijakan, pernyataan yang pertama menyebutkan

bahwa kebijakan publik adalah sebuah instruksi dari para pembuat keputusan

yang memuat tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut, sedangkan

pendapat lain mengatakan bahwa kebijakan publik juga mengandung serangkaian

keputusan dan tindakan. Berdasarkan berbagai definisi yang telah diungakapkan,

diketahui bahwa kebijakan dirumuskan dalam rangka penyelesaian permasalahan.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

17

Secara umum, dibentuknya sebuah kebijakan perkotaan ialah untuk

membuat kota berjalan lebih efektif dan efisien, serta membuat keadaan yang

lebih baik bagi masyarakat perkotaan (Linn, 1983). Tujuan lain dibuatnya

kebijakan perkotaan ialah untuk mencegah agar kekayaan kota tidak hilang dan

meningkatkan kualitas hidup kota, serta sebagai usaha untuk merancang,

mengawasi, menata, mengatur pembangunan dan pengembangan kota

(Heryanto,2011). Kebijakan perkotaan umumnya dibuat berdasarkan diagnosis

permasalahan perkotaan yang terjadi (Linn, 1983). Pembuatan kebijakan sebagai

sebuah solusi dari permasalahan ialah mencari alternatif yang terbaik atau solusi

yang paling efektif dari berbagai pilihan yang ada (Simeon, 1976). Kebijakan

perkotaan dibuat dan diimplementasikan oleh pemimpin yang memiliki

kekuasaan, kemampuan, dan pengaruh yang besar terhadap kelompok masyarakat

(Northam, 1979). Dalam hal ini, pemimpin mempunyai peran yang sangat penting

dalam menentukan sebuah kebijakan perkotaan. Kebijakan yang dibuat akan

diimplementasikan pada satu wilayah atau satu lokasi yang memiliki

permasalahan yang sama (Northam,1979). Adanya konsep penerapan/adaptasi

tersebut, negara-negara berkembang cenderung melihat dari pengalaman negara-

negara yang lebih maju dan sukses menerapkan kebijakan perkotaan sebelumnya.

Namun tidak semua kebijakan di negara maju dapat diaplikasikan di negara

berkembang, sehingga dalam pemilihan kebijakan harus melihat latar belakang,

karakteristik, potensi, dan permasalahan wilayah.

Secara konseptual, domain dari suatu kebijakan sangatlah luas, dan

meliputi berbagai proses tahapan didalamnya, diantaranya yang dikemukakan

oleh Dunn (1998 dalam Winarno 2002) yang membagi tahapan-tahapan kebijakan

yang meliputi penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adobsi kebijakan,

implementasi kebijakan, dan evaluasi kebijakan. Lebih lanjut Winarno (2002) jug

menjelaskan bahwa dalam kebijakan publik terdapat tiga pokok yang perlu untuk

diperhatikan, yakni penjelasan kebijakan itu sendiri, sebab dan konsekuensi dari

kebijakan yang diketahui bersarakan metodologi ilmiah, serta analisis

pengembangan teori kebijakan, sehingga dapat diaplikasikan pada lingkungan

yang berbeda.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

18

Salah satu kajian penting dalam melihat kebijakan perkotaan saat ini ialah

melihat unsur politik yang ada didalamnya. Geografi politik menjadi salah satu

usur politik yang kerkait terhadap pembuatan kebijakan perkotaan. Menurut

Barlow (1981) mengatakan bahwa kota menjadi ekspresi spasial dalam sistem

geografi politik, yang didalamnya sangat berasosiasi terhadap pola-pola

keruangan bentukan politik dan dengan area pemerintahan serta batas-batasnya.

Pada tahun 1960an, Issard (dalam Barlow 1981) memperluas teori lokasi

klasik dengan memasukan pembuatan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah,

dan menjadi bagian yang penting didalamnya. Murphy (1966 dalam Barlow 1981)

juga menekankan bahwa ada elemen politik yang signifikan terhadap

pembentukan struktur ruang perkotaan setelah dirinya melakukan sikusi dan

melihat proses dalam administrasi politik. Lebih lanjut Barlow (1981)

menjelaskan bahwa pada akhir tahun 1960 an politik menjadi bagian yang penting

dalam pengambilan keputusan. Salah satunya terjadi di Kota Chicago yang

menetapkan lokasi fasilitas publik berdasarkan unsur politik.

1.6.2. Teori dan Konsep Implementasi Kebijakan

Proses kebijakan publik terdiri dari tiga tahapan penting, yakni Proses

formulasi kebijakan, proses implementasi kebijakan, dan proses evaluasi

kebijakan (Nakamura dan Smallwood,1980). Konsep implementasi sudah banyak

dikaji oleh para ilmuan di dunia. Diantaranya ialah Rein dan Rabinovitz (1978

dalam Nakamura dan Smallwood 1980) yang menyatakan bahwa implementasi

merupakan deklarasi dari berbagai pilihan pemerintah, dilakukan oleh beberapa

aktor yang berperan, membuat proses sirkular yang dicirikan oleh negosiasi dan

hubungan kekuatan kekuasaan. Pressman dan Wildavsky (1973 dalam Nakamura

dan Smallwood 1980) yang mengungkapkan bahwa implementasi digunakan

untuk menjelaskan fenomena kegagalan, dan memiliki empat kata kunci utama,

yakni untuk menjalankan kebijakan (to carry out), untuk menghasilkan output (to

produce), untuk memenuhi janji-janji (to fulfill), dan untuk memenuhi misi yang

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

19

yang diwujudkan dalam sebuah kebijakan (to complete). Lester dan Steward

(2000 dalam Winarno 2002) menyatakan bahwa implementasi kebijakan

merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur,

dan teknik bekerjasama untuk mecapai tujuan tertentu. Secara sederhana,

implementasi kebijakan dapat diartikan sebagai sebuah cara agar kebijakan dapat

mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan, sedangkan Adamolekun (1983

dalam Makinde 2005) mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai sebuah

kegiatan yang dilakukan pada sebuah kebijakan yang telah ditentukan.

Implementasi kebijakan ini hanya merupakan salah satu proses tahapan kebijakan

publik yang menjadi salah satu variabel dalam keberhasilan memecahkan

permasalahan publik (Winarno,2002).

Proses Implementasi sebuah kebijakan dapat dipengaruhi dan ditentukan oleh

berbagai faktor penentu. Beberapa ilmuan mengemukakan berbagai faktor

penentu implementasi kebijakan, seperti McLaughling (1975 dalam Nakamura

dan Smallwood 1980) yang menyebutkan bahwa hubungan interpersonal antara

pembuat kebijakan dan pelaku implementasi kebijakan sebagi faktor kunci sukses

tidaknya sebuah proses implementasi selain faktor lain seperti ketertarikan

terhadap kebijakan, komitmen, serta dukungan masyarakat dan aktor-aktor

penting yang berpengaruh dalam kebijakan tersebut. Selain McLaughling,

Edward dan George (1980 dalam Makinde 2005) menjelaskan ada empat aspek

yang dapat menentukan proses implementasi kebijakan, yakni (1) komunikasi (2)

sumberdaya, (3) disposisi, (4) struktur birokrasi. Komunikasi menjadi bagian yang

penting untuk dapat mengimplementasikan kebijakan secara efisien. Melalui

komunikasi yang baik, maka informasi dari kebijakan dapat ditransmisikan secara

benar kepada sasaran kebijakan. Komunikasi yang tidak baik akan menghambat

penyampaian informasi yang pada akhirnya akan membuat ketidaksepahaman

antara pelaksana dengan sasaran kebijakan. Ketika informasi dapat tersampaikan

kepada sasaran kebijakan, ketersediaan sumberdaya (manusia, material, dan

finansial) menjadi salah satu aspek yang mendukung dalam implementasi

kebijakan. Disposisi atau perilaku pembuat kebijakan menjadi faktor kunci yang

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

20

mempengaruhi implementasi kebijakan. Pelaksana kebijakan akan membuat

kebijaksanaan dalam mengimplementasikan kebijakan. Tingkat keberhasilan

implementasi kebijakan sangat tergantung dari bagaimana pelaksana melihat

kebijakan mempengaruhi kepentingan pribadi dan organisasi. Pelaksana yang

memiliki komitmen yang kuat untuk mengimplementasikan kebijakan akan

berpengaruh terhadap kesuksesan implementasi. Komunikasi, sumberdaya, dan

disposisi yang dimiliki tidak akan berjalan baik tanpa struktur birokrasi yang

efisien. Tanpa adanya struktur birokrasi yang efisien, maka permasalahan dalam

implementasi selalu akan muncul. Perpecahan dalam organisasi akan menghambat

koordinasi antar pelaksana kebijakan. Hal ini akan membuat kelangkaan

sumberdaya, kebingungan, tujuan yang berbeda, dan pada akhirnya hasil akhir

yang ingin dicapai akan terabaikan.

Grindle (dalam Herman, dkk 2014) menjelaskan bahwa ada dua variabel

besar yang mempengaruhi berjalannya implementasi kebijakan, yakni isi dari

kebijakan dan cakupan kebijakan. Sedangkan Meter dan Horn (1975 dalam

Nakamura dan Smallwood 1980) menjelaskan bahwa proses implementasi

didasari atas enam variabel, yakni: (1) standar dan tujuan kebijakan, (2)

sumberdaya yang dimiliki, (3) hubungan dan komunikasi antar organisasi, (4)

karakteristik pelaksana implementasi, (5) kondisi lingkungan ekonomi, sosial, dan

politik, serta (6) disposisi pelaksana implementasi terhadap elemen-elemen

kebijakan. Bhuyan (2010 dalam Mthethwa 2012) menjelaskan tujuh dimensi yang

dapat mempengaruhi implementasi kebijakan, yakni (1) kebijakan, formula, dan

diseminasi, (2) cakupan sosial, politik, dan ekonomi, (3) kepemimpinan untuk

implementasi kebijakan, (4) stakeholder yang terkait dengan kebijakan, (5)

perencanaan implementasi dan mobilisasi sumberdaya, (6) pelaksanaan dan

pelayanan, (7) feedback dan hasil implementasi. Beberapa faktor ini akan sangat

menentukan keberhasilan suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

21

1.6.3. Kebijakan Perkotaan Sebagai Solusi Permasalahan Perkotaan

Kebijakan perkotaan muncul umumnya didasarkan atas permasalahan

sebuah kota. Namun, tidak semua permasalahan mendapatkan tanggapan oleh

pembuatan kebijakan, malainkan hanya permasalahan tertentu saja yang mendapat

tanggapan. Menurut Jones (1984 dalam Winarno 2002) permasalahan yang

biasanya menarik perhatian pembuat kebijakan ialah permasalahan yang tidak

dapat diselesaikan secara individu maupun kelompok, sehinnga menjadi

permasalahan publik, dan permasalahan yang menarik perhatian kelompok dan

warga kota yang terorganisasi untuk melakukan tidakan tertentu. Pada dasarnya,

permasalahan dapat dibagi menjadi beberapa kategori, yakni permasalahan

prosedural yang berkaitan dengan kegiatan kepemerintahan dan substansif yang

berakibat dari kegiatan manusia, serta permasalahan yang datang dari dalam negri

seperti pendidikan, kriminal, perpajakan, transportasi dan kejahatan dari luar negri

yang meliputi perjanjian ekstradisi (Winarno, 2002). Setiap negara di dunia

memiliki pengalaman dan tantangan yang berbeda dalam merumuskan dan

menjalankan kebijakan untuk menanggulangi permasalahan wilayahnya, salah

satu contohnya yang terjadi di Amerika Serikat dan Jepang.

Salah satu permasalahan Amerika Serikat yang terjadi hampir disetiap

kota ialah keberadaan masyarakat kulit hitam yang miskin dan terbelakang (urban

black poor). Komunitas masyarakat ini sering diidentikan dengan tindak kriminal

dan kemiskinan. Menurut Howard (1978) munculnya urban black poor terjadi

atas sejarah yang panjang mengenai permasalahan rasis di Amerika Serikat antara

masyarakat kulit putih dan kulit hitam, dimana masyarakat kulit hitam dianggap

memiliki struktur yang rendah dalam kelompok sosial, dan hal ini membuat

masyarakat kulit hitam memiliki kesempatan yang minim dalam mengakses

materi dan status sosial.

Untuk mengatasi permasalahan ini perlu diketahui apa yang dibutuhkan

oleh masyarakat tersebut, seperti meningkatkan kualitas kehidupan, pendidikan,

transportasi publik, perumahan, kesehatan, dan kesempatan kerja, serta komitmen

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

22

dalam membangun kemudahan masyarakat dalam mendapatkan servis sosial

dalam sebuah negara. Howard (1978) menyatakan bahwa permasalahan urban

black poor yang dianggap menjadi permasalahan disetiap kota-kota di Amerika

membuat pemerintah Amerika Serikat merumuskan empat kebijakan strategis

perkotaan untuk menanggulangi permasalahan ini, yakni kebijakan mengenai

fiskal/keuangan, kebijakan sosial, kebijakan dalam kesempatan kerja yang

diciptakan oleh pemerintah, serta kebijakan mengenai diskriminasi rasis di

Amerika Serikat.

Selain kebijakan mengenai urban black poor, salah satu kebijakan

perkotaan Amerika Serikat yang masih dilakukan hingga saat ini ialah kebijakan

perkotaan yang komprehensif dan memiliki konsep partnership, yang pertama

kali dikemukakan oleh Jimmy Carter tahun 1978. Konsep kebijakan partnership

dinilai lebih kooperatif dan dapat meningkatkan hubungan kerja antara

pemerintah dan swasta dalam sebuah program atau proyek, serta dapat

meningkatkan keinginan masyarakat dalam membantu program yang ditujukan

untuk mereka (Hartshorn, 1980). Lebih lanjut Hartshorn (1980) menjelaskan

bahwa kebijakan yang dikemukakan oleh Carters ini disebuat juga dengan

program kemandirian lingkungan dalam hal permukiman, sosial, kesehatan,

transportasi, kriminal, taman, dan rekreasi. Untuk mejalankan kebijakan

partnership ini, pemerintah Amerika Serikat membuat sembilan program yang

akan dilaksakan secara bersama, yakni : 1) meningkatkan perencanaan lokal dan

menejemen kapasitas, 2) meningkatkan kapasitas negara sebagai partner kota-kota

di Amerika, 3) meningkatkan keterlibatan masyarakat dan organisasi secara suka

rela, 4) menyediakan layanan keringanan permasalahan keuangan kepada

masyarakat kelas bawah, 5) mendorong investasi swasta dalam pembangunan

masyarakat, 6) menyediakan kesempatan kerja kepada pengangguran dan

masyarakat kelas bawah, 7) meningkatkan akses untuk memberi kesempatan

kepada masyarakat korban diskriminasi sosial, 8) meningkatkan pelayanan sosial

dan kesehatan, serta 9) meningkatkan kondisi lingkungan perkotaan, budaya,

keindahan kehidupan perkotaan dan mengurangi urban sprawl (Hartshorn, 1980).

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

23

Lain halnya dengan Amerika Serikat, Jepang mengalami tantangn

perkotaan dalam hal urbanisasi. Jepang dapat mengatasi permasalahan urbanisasi

lebih sukses dibandingkan negara lainnya yang memiliki permasalahan yang

sama. Permasalahan perkotaan di Jepang dapat diatasi dengan adanya inisiatif dari

berbagai stakeholder yang berpartisipasi dalam proses pembangunan perkotaan

dan perumusan kebijakan perkotaan (Zetter, 1986). Zetter (1986) terdapat

beberapa tantangan kebijakan perkotaan di Jepang, yakni kebijakan mengenai

perumahan, kebijakan dalam penyedian infrastruktur, kebijakan mengenai

kerentanan terhadap bencana, kebijakan mengenai harga lahan, kebijakan

mengenai urban sprawl, kebijakan renovasi permukiman, partisipasi publik, dan

urban decline.

1.6.4. Pemindahan Ibukota dan Pusat Pemerintahan sebagai Kebijakan

Perkotaan

Seringkali masyarakat banyak mengartikan bahwa ibukota dan pusat

pemerintahan adalah dua hal yang sama. Hingga saat ini, masih banyak

perdebatan diantara keduanya. Banyak ilmuan mencoba untuk mendefinisikan

pengertian ibukota. Claval (2000) menyatakan bahwa ibukota dapat diartikan

sebagai refleksi dari sifat dan organisasi sebuah wilayah yang mana fungsi

kehidupan nya lebih tinggi dibandingkan wilayah lain disekitarnya dengan sistem

terpusat yang dalam penentuannya menggunakan hukum kontinental dan berada

pada pengawasan sistem kekuasaan. Fungsi-fungsi yang berada dalam sebuah

ibukota mencakup fungsi ekonomi, fungsi sosial, dan fungsi pemerintahan. Claval

(2000) mengungkapkan pula bahwa kajian mengenai ibukota juga banyak dikaji

oleh geograf, dimana pada ilmu geografi ibukota difokuskan pada pengertian

sebuah tempat yang memiliki jumlah individu yang tinggi, tradisi yang kuat,

wilayah dengan peninggalan historis dan monumen yang mencolok, serta wilayah

tersebut terkadang memiliki nilai yang tinggi.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

24

Sejalan dengan pengertian yang diutarakan oleh Claval, Wusten (2000)

juga mengungkapkan bahwa ibukota diartikan sebagai pusat administrasi dan

politik yang menjadi simbol kekuasaan yang didalamnya terdapat banyak fungsi

dan hierarki yang berbeda, seperti fungsi pelayanan, fungsi agama, fungsi

pemerintahan, dan fungsi militer. Dalam hal ini Wusten (2000) juga

menambahkan bahwa ibukota adalah sebuah simbol sebuah pusat wilayah. Qi

(2008) juga mendefinisikan bahwa pada mulanya ibukota dibangun sebagai

sebuah simbol dari lahirnya atau berdirinya sebuah wilayah dan juga sebagai

sebuah simbol peradaban.

Berbeda dengan Claval dan Wusten, Dashcer (2000) mengungkapkan

bahwa ibukota biasa diinterpretasikan sebagai seperangkat pemerintahan yang

keberadaannya adalah hasil dari aktivitas politik. Dalam hal ini Dashcer (2000)

juga mengungkapkan ada dua tipe ibukota di dunia yakni ibukota yang terletak

pada kota terbesar utama, dan ibukota yang terletak tidak di kota terbesar utama.

Sejalan dengan Dasher, Traugott (1995) juga mendefinisikan ibukota sebagai

seperangkat sistem kepemerintahan yang mengontrol wilayah secara langsung

yang memiliki aturan tertentu. Spate (1942) juga mendefinisikan ibukota sebagai

tempat dimana kekuasaan politik terkonsentrasi. Sedangkan Dijkink (2000)

mendefinisikan ibukota adalah sebuah pusat dari berdirinya wilayah yang akan

menjadi pusat kehidupan individu dalam mendefinisikan ruang perkotaan dan

memiliki fungsi pemerintahan, sosial, dan dianggap pula sebagai sebuah simbol

lingkungan wilayah utama.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat diketahui bahwa keberadaan

ibukota dipandang berbeda, yakni sebagai ibukota dipandang sebagai pusat

kekuasaan pemerintah, ibukota dipandang sebagai sebuah wilayah yang memiliki

fungsi yang kompleks dan syarat akan historis, serta ibukota dipandang sebagai

sebuah simbol pusat wilayah, historis dan lingkungan wilayah. Di Indonesia

sendiri ibukota lahir seiring dengan lahirnya sebuah daerah secara administratif

yang dilegalkan oleh perundangan dan bersifat tetap. Dalam hal ini, secara yuridis

Ibukota memiliki teritorial dan fungsional wilayah sebagai pusat wilayah. Dengan

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

25

penetapan secara perundangan juga, Ibukota dipandnag sebagai sebuah simbol

dari berdirinya sebuah daerah administratif. Namun, hingga saat ini definisi dan

fungsi ibukota secara umum belum dirincikan secara jelas dalam perundangan.

Berdasarkan berbagai definisi diatas terdapat definisi yang dirasa sesuai dengan

fenomena daerah kajian, yakni ibukota didefinisikan sebagai simbol berupa pusat

kegiatan wilayah dengan hierarki yang lebih tinggi, dan memiliki fungsi sebagai

pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan sosial, pusat kegiatan lingkungan, dan

juga pusat kegiatan politik dan kepemerintahan yang mendapatkan legalitas

hukum secara perundangan dan bersifat tetap.

Pusat pemerintahan didefinisikan sebagai tempat yang menjadi

kedudukan utama pemerintahan (KBBI, 1994). Pusat pemerintahan juga

didefinisikan sebagai satu fungsi wilayah yang digunakan untuk kegiatan

pelayanan kepemerintahan yang didalamnya terdapat kantor-kantor pemerintah

dan berbagai fasilitas yang menunjang untuk menjalankan fungsi dan tugas

pemerintah yang memiliki posisi sangat central (PSPPR, 2002). Tidak seperti

ibukota, penetapan pusat pemerintahan tidak lahir seiring dnegan lahirnya daerah

secara administratif, dan tidak dilegalkan secara perundangan Nasional, namun

istilah pusat pemerintahan ini lahir seiring dengan lahirnya Undang-undang

otonomi daerah dan pemerintah daerah sebagai acuan banyak daerah untuk

memindahkan salah satu fungsi, yakni fungsi kepemerintahan pada wilayah lain.

Dalam fenomena ini, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud pusat

pemerintahan ialah salah satu fungsi wilayah yang terdapat pada sebuah ibukota.

Secara sederhana, pusat pemerintahan didefinisikan sebagai wilayah sebagai

sebuah fungsi, bukan sebuah teritorial yang bersifat tetap secara yuridis.

Sayangnya, pemisahan pengertian pusat pemerintahan dan ibukota memang tidak

diatur secara jelas pada perundangan di Indonesia, sehingga cukup

membingungkan dalam melakukan pembatasan pengertian.

Mengesampingkan perbedaan definisi dan pengertian ibukota maupun

pusat pemerintahan, fenomena pemindahan ibukota maupun pemindahan pusat

pemerintahan telah banyak terjadi didunia. Fawcett dan Litt (1918) menyatakan

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

26

bahwa pemindahan ibukota dipengaruhi oleh beberapa hal, dan politik merupakan

salah satu faktor yang mendominasinya. Wusten (2000) juga mengungkapkan hal

yang sama, bahwa pembentukan sebuah ibukota berkaitan dengan kekuasaan

politik dan kekuasaan sistem peemrintahan. Dibeberapa kasus seperti di Amerika

Serikat, Kanada, dan Australia, pemindahan ibukota ke lokasi baru dikarenakan

untuk meletakkan ibukota pada lokasi strategis yang dapat diakses secara mudah

oleh semua daerah federasi, dan untuk menghindari memberikan keuntungan yang

lebih kepada salah satu daerah federasi terhadap posisi ibukota yang lama

(Fawcett dan Litt 1918). Sedangkan Spate (1942) mengungkapkan di beberapa

kasus di dunia faktor-faktor yang membentuk ibukota lebih dikarenakan oleh

faktor pertimbangan politik dibandingkan oleh faktor pertimbangan ekonomi dan

lokasi yang strategis, sehingga seiring dengan perkembangan wilayah kota,

kompleksitas fungsi dalam ibukota mendesak pemerintah untuk memindahkan

ibukota pada lokasi lainnya. Pendapat tersebut juga diperkuat oleh Dijkink (2000)

bahwa dalam sejarah pembentukan ibukota di Benua Eropa merupakan bentuk

intervensi dan bentuk batas politik.

Pemindahan ibukota dan pembentukan ibukota baru memang syarat

dengan faktor politik, demikian pun di Indonesia. Lokasi ibukota ditetapkan oleh

peraturan kepala daerah dan peraturan DPRD, namun dalam Peraturan Pemerintah

No 78 Tahun 2007 mengatur pembentukan ibukota harus memperhatikan berbagai

faktor, yakni tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak

geografis, kependudukan, sosial ekonomi, politik, dan budaya. Seiring dengan

pemekaran wilayah, baik penggabungan wilayah maupaun pemisahan wilayah,

oembentukan ibukota baru menjadi hal yang penting sebagai pelengkap

administrasi dalam legalitas kebijakan pemekaran wilayah. Untuk itulah

pemerintah membuat aturan dalam kajian pembentukan ibukota.

Seiring dengan undang-undang otonomi daerah No 22 Tahun 1999,

undang-undang pemerintah daerah No 32 Tahun 2004 dan undang-undang No 23

Tahun 2014 dimana pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur

pemerintahannya sendiri membuat pemerintah daerah kemudian memisahkan satu

Page 27: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

27

fungsi dari ibukota, yakni fungsi pemerintahan untuk dapat berdiri sendiri. Hal ini

lah yang kemudian menjadi cikal bakal pembentukan kawasan pusat

pemerintahan baru di Indonesia. Munculnya pemindahan ibukota maupun pusat

pemerintahan baru sebagai sebuah kebijakan perkotaan menjadi salah satu cikal

bakal pembentukan kota baru (new town). Sebagai sebuah kebijakan perkotaan,

pemindahan pusat pemerintahan daerah menjadi salah satu upaya untuk

menyelesaikan permasalahan di daerah asal maupun daerah tujuan.

Secara teoritik, manusia akan mengatasi permasalahan keruangan dengan

dengan menerapkan efisiensi keruangan, seperti memaksimalkan fungsi dan

produktivitas wilayah melalui hal yang minimal, memaksimalkan interaksi

keruangan dengan usaha dan biaya yang minimum, serta mendekatan berbagai

kegiatan ekonomi sejenis yang tidak saling bersaing (Morril 1974 dalam Rijanta

2006). Salah satu solusi penerapan efisiensi keruangan yang dilakukan oleh

manusia ialah dengan memindahkan pusat pelayanan pada ruang yang optimal

agar dapat berfungsi secara optimal pula. Dalam konteks pemekaran wilayah,

terdapat sebuah fenomena zero sum game dimana sekelopok orang akan

beruntung karena lebih dekat dan lebih murah dalam mengakses pelayanan,

namun sebagian lainnya harus berjalan lebih jauh dan lebih mahal dari semula

dalam mengakses pelayanan (Rijanta, 2006). Hal inilah yang juga terjadi pada

kebijakan pemindahan ibukota, maupun pemindahan pusat pemerintahan ke lokasi

baru, dimana sebagian masyarakat akan merasa beruntung dengan pemindahan ini

karena tidak perlu menempuh jarak yang jauh, namun sebagian lainnya merasa

merugi dengan adanya kebijakan ini karena pertambahan jarak dari lokasi asal.

Beberapa negara di dunia telah menerapkan kebijakan pemindahan pusat

pemerintahan ini, seperti Malaysia, Myanmar, Korea Selatan, dan beberapa daerah

di Indonesia, seperti Kepulauan Riau, Halmahera Tengah, dan Kalimantan

Selatan.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

28

1.6.5. Faktor-Faktor Pemilihan Lokasi Ibukota dan Pusat Pemerintahan

Untuk menentukan lokasi pembangunan kota baru, ibukota baru maupun

pusat pemerintahan yang baru, diperlukan beberapa faktor yang menjadi

pertimbangan. Kriteria penentuan sebuah lokasi akan menentukan sukses tidaknya

pembangunan kotabaru, sehingga semua kriteria harus diidentifikasi secara jelas

untuk keberlanjutan pembangunan kota baru dimasa yang akan datang (Golany,

1976). Beberapa literatur telah banyak menjelaskan faktor yang mempengaruhi

pemilihan lokasi ibukota/pusat pemerintahan. Secara yuridis, tertuang pada pasal

12 Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang pembentukan, penghapusan,

dan penggabungan daerah menyebutkan bahwa lokasi pemilihan ibukota baru

harus ditentukan sesuai dengan keputusan gubernur dan DPRD provinsi untuk

ibukota baru dalam lingkup provinsi, dan keputusan bupati serta DPRD kabupaten

untuk ibukota baru kabupaten. Dalam peraturan tersebut juga dijelaskan bahwa

dalam pemilihan lokasi ibukota harus memperhatikan beberapa faktor, yakni

faktor tata ruang, ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak

geografis,kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.

Budiharjo dan Sujarto (1999 dalam Syafruddin 2001) mengatakan bahwa

jenis kota baru yang difungsikan sebagai pusat pemerintahan sebaiknya

dikembangkan pada lahan yang masih perawan (belum termanfaatkan) dan

dikembangkan pada kota kecil yang telah ada sebelumnya. Menurut Budiharjo

dan Sujarto (1999 dalam Syafruddin 2001) bahwa kota baru yang memiliki fungsi

pemerintahan harus diletakan dengan jarak > 60 km dari kota besar utama, agar

perencanaan dan perkembangannya dapat disesuaikan dengan fungsi

pemerintahan.

Golany (1976) menyatakan ada lima kriteria dalam menentukan lokasi

sebuah kota baru, yakni (1) kriteria fisik, (2) kriteria sosial dan ekonomi, (3)

kriteria potensi sumberdaya lokal, (4) kriteria lingkungan, dan (5) kriteria politik.

Perencanaan harus memperhatikan kriteria fisik seperti topografi, tanah,

penggunaan lahan, serta kerentanan bencana. Topografi sebuah wilayah dapat

Page 29: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

29

menentukan pola penggunaan lahan, bentuk kota, dan intensitas pembangunan.

Jenis tanah dapat berpengaruh terhadap penggunaan lahan dan kerentanan

bencana, seperti kepekaan terhadap erosi, ketahanan terhadap konstruksi, dan

manajemen jalan. Penggunaan lahan suatu wilayah dapat mempengaruhi luasan

lahan yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan kota baru.

Kriteria sosial ekonomi berkaitan dengan fasilitas-fasilitas penting yang

ada disekitar lokasi perencaan, seperti fasilitas pendidikan, fasilitas olahraga,

fasilitas ekonomi, serta jarak terhadap fasilitas tersebut. Kedekatan terhadap

fasilitas yang dibutuhkan oleh masyarakat dapat menjadi nilai lebih. Lokasi yang

memiliki sumberdaya lokal yang melimpah, dapat menjadi lokasi kotabaru yang

potensial dan dapat meminimalisir ketergantungan terhadap wilayah sekitar.

Perencanaan kota baru harus mempertimbangkan lingkungan lokasi dan

kerusakan yang mungkin ditimbulkan. Lingkungan yang masih alami dan kaya

akan keanekaragaman hayati, serta merupakan kawasan lindung tidak tepat dipilih

sebagai lokasi kota baru. Hal ini dikarenakan pembangunan kota baru justru akan

merusak sistem lingkungan yang ada. Isu politik dalam sebuah wilayah menjadi

konsentrasi yang penting bagi para perencana. Perencana harus menginvestigasi

kekuatan politik di lokasi dan disekitar lokasi. Perencana juga harus

menginvestigasi struktur politik yang ada di lokasi yang direncanakan, hal ini

akan berkaitan dengan kemampuan wilayah untuk menyediakan pelayanan kepada

masyarakat.

Menurut Siong (2006), Putra jaya dipilih sebagai lokasi pusat

pemerintahan Malaysia yang baru dikarenakan beberapa faktor, yakni: (1)

ketersediaan lahan yang masih cukup dan kalkulasi biaya infrastruktur yang lebih

rasional, (2) lokasi strategis yang berada pada koridor pertumbuhan, (3)

aksesibilitas yang baik dan jaringan transportasi, (4) jenis dan kerapatan vegetasi

yang dapat mendukung kebijakan, (5) bentuk lahan, dan (6) dampak minimum

terhadap masyarakat lokal. Syarief (2013) menjelaskan bahwa terdapat beberapa

faktor yang dapat mempengaruhi pemilihan lokasi dan perkembangan sebuah

kota, yakni faktor geografis, jenis tanah, ketersediaan air, spekulasi tanah,

Page 30: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

30

keberadaan fasilitas, aksesibilitas, jumlah dan kepadatan penduduk, kebijakan

perkotaan, pendapatan penduduk, dan keberadaan industri. PSPPR (2002)

menentukan kriteria lokasi pusat pemerintahan Kepulauan Riau yang tepat, yakni:

(1) lokasi tersebut merupakan lokasi strategis, (2) memiliki nilai ekonomi yang

berada pada titik simpul interaksi kegiatan regional, (3) memiliki alokasi ruang

yang cukup, (4) memiliki sumberdaya alam yang cukup dan stabil (tanah, air,

listrik), (5) lokasi harus memiliki kemananan dan kenyamanan, (6) kesesuaian

lahan dan daya dukung lingkungan, (7) memiliki ciri budaya, dapat melayani

wilayah belakang, dan dapat menjadi kebanggan masyarakat.

Beberapa faktor prasyarat dalam pembentukan daerah baru sesuai dengan

Peraturan pemerintah No. 78 Tahun 2007 diantaranya ialah kemampuan ekonomi,

potensi daerah, keadaan sosial budaya, kependudukan, luas daerah, pertahanan,

keamanan, kemampuan keuangan, dan tingkat kesejahteraan masyarakat (PSPPR,

2010). Ricks (1970) menjelaskan bahwa dalam memilih lokasi kota baru

diperlukan beberapa pertimbangan, yakni harga lahan, aksesibilitas, dan tenaga

kerja yang dimiliki. Ali (2010) mengemukakan beberapa faktor yang

mempengaruhi pemilihan lokasi pusat pemerintahan, yakni : (1) letak geografis

yang strategis dan berada pada dataran rendah (< 3%), (2) ketersediaan lahan yang

cukup, (3) penggunaan lahan yang bukan lahan pertanian, (4) status lahan, (5)

bukan daerah rawan bencana, (6) ketersediaan sumberdaya air yang memadai, (7)

aksesibilitas yang baik, (8) jumlah penduduk, (9) kepadatan penduduk, (10)

heterogenitas masyarakat (ekonomi, agama, etnis), dan (11) ketersediaan fasilitas

ekonomi dan sosial (rumah sakit, air bersih, jaringan telepon, jaringan listrik).

Sujarto (2004 dalam Detiawati 2008) menyebutkan beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi pemilihan lokasi pusat pemerintahan, yakni : (1) faktor

geografis yang mudah dijangkau dari kota-kota sekitar, (2) faktor topografi (< 20

%), (3) pertanahan (harga tanah dan status tanah), (4) aksesibilitas (harga tanah

dan status tanah), (5) sistem telekomunikasi, (6) fasilitas sosial dan ekonomi, (7)

ketersediaan air, dan (8) ketenagakerjaan (komposisi pertanian dan non pertanian).

Selain itu, Direktorat Jendral Penataan Ruang Kementrian Pekerjaan Umum

Page 31: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

31

(Tidak ada tahun) juga menyebutkan syarat-syarat lokasi yang dapat dipilih sebagi

sebuah ibukota baru, yakni : (1) aspek ruang yang didalamnya mencakup secara

fisik tidak berdekatan dengan ibukota lain, mempunyai sumberdaya air yang baik,

memiliki luas wilayah yang memadai, mampu memberikan wilayah seluruh

masyarakat, (2) luas daerah yang mencakup luas keseluruhan dan luas wilayah

yang dapat dimanfaatkan, (3) jumlah penduduk yang mencakup jumlah penduduk,

mata pencaharian, tingkat pertumbuhan penduduk, dan ketenagakerjaan, (4)

potensi daerah mencakup sarana dan prasarana transportasi, perumahan, sarana

dan prasarana ekonomi, pendidikan, kesehatan, olahraga, peribadatan, jaringan

komunikasi, penerangan,limbah, persampahan, (5) sosial budaya yang mencakup

organisasi kemasyarakatan, kemananan, dan kenyamanan.

1.6.6. Pembentukan wilayah baru, pemindahan ibukota, maupun pusat

pemerintahan baru di Indonesia : Proses dan Konflik.

Pembentukan wilayah baru (pemekaran wilayah), pemindahan ibukota,

maupun pemindahan pusat pemerintahan bukan menjadi fenomena perkotaan

yang baru di Indonesia. Undang-undang No 22 Tahun 1999 tentang otonomi

daerah yang direvisi pada Undang-undang No 32 Tahun 2004 yang kemudian

direvisi lagi menjadi Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang pemerintah

daerah membuat daerah memiliki hak dan wewenang untuk mengatur dan

menyelenggarakan kepemerintahan dan kepentingan masyarakat secara mandiri.

Adanya perundangan ini menjadi dasar bagi beberapa daerah di Indonesia untuk

memindahkan ibukota maupun pusat pemerintahannya ke daerah lain yang lebih

dengan alasan untuk efektifitas dan efisiensi kinerja pemerintah. Peraturan

Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang pembentukan, penghapusan, dan

penggabungan daerah juga menguatkan fenomena pembentukan kota baru di

Indonesia.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

32

Rijanta (2006) menyebutkan bahwa sebagain besar justifikasi dalam

pembentukan wilayah baru ialah percepatan pembangunan di daerah dengan

menyediakan pelayanan yang lebih baik, meskipun diantara justifikasi tersebut

terdapat kekecawaan dan ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah.

Ketidakpuasan tersebut terkait dengan seringnya keputusan ditumpangi dengan

ambisi sesorang atau sekelompok, ditambah isu-isu yang berkaitan dengan

permasalahan SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan), bahkan

permasalahan pembentukan wilayah baru di Indonesia setelah tahun 1998 juga

semakin rumit seiring dengan semangat demokratisasi dan kebebasan berpendapat

setiap masyarakat (Rijanta, 2006). Lebih lanjut Rijanta (2006) juga menjelaskan

bahwa dalam proses pembentukan wilayah baru sering kali muncul konflik antar

pemerintah dan masyarakat atau antar masyarakat yang diwarnai kekerasan

maupun tidak yang disebabkan oleh kompleksitas permasalahan dan juga

ketidaksepahaman birokrasi dan normatif perencanaan diantara keduanya.

Beberapa kasus dalam pembentukan daerah baru, pemindahan ibukota

maupun pusat pemerintahan di Indonesia juga melalui proses yang berbeda,

dengan konflik maupun tanpa konflik, dan melalui intervensi politik maupun

kajian akademis. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gottman (1969

dalam Barlow 1981) yang menyebutkan bahwa ekspansi perkotaan merupakan

sebuah proses politik, sedangkan Eyre (1969 dalam Barlow 1981) menjelaskan

bahwa dalam setiap proses politik yang terjadi, akan terdapat konflik batasan antar

elemen di pemerintahan. Rein dan Rabinovits (1978 dalam Nakamura dan

Smalwoods 1980) mengatakan bahwa dalam sebuah proses implementasi tidak

hanya memiliki satu dimensi saja, melainkan proses transisi pada berbagai level

yang membentuk sebuah sistem sirkular tertentu, yang didalamnya saling

mengintervensi bagian satu sama lain. Intervensi ini seringkali menimbulkan

konflik dalam proses implementasi kebijakan.

Beberapa kasus pembentukan wilayah baru di Indonesia diantaranya

Kabupaten Kutai dan Kabupaten Kolaka Timur. Pembentukan wilayah baru pada

Kabupaten Kutai disebabkan oleh bebrapa hal, diantaranya ukuran luas wilayah

Page 33: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

33

dan kendala alamiah, kesenjangan antar masyarakat dan antar wilayah, rendahnya

partisipasi masyarakat, pemanfaatan sumberdaya yang kurang optimal,

terbatasnnya rentang kendali pemerintah yang disebabkan oleh luasan wilayah,

dan menyebabkan sebagian masyarakat merasakan pelayanan yang mahal

(Rijanta, 2006). Lebih lanjut Rijanta (2006) juga menjelaskan bahwa pemekaran

Kabupaten Kutai berjalan dua tahun lebih cepat dari yang direncanakan,karena

pada tahun 1998 pemerintah memberika kemudahan dalam pemekaran wilayah,

sehingga pada tahun 2000 Kabupaten Kutai terbagi menjadi Kabupaten Kutai

Timur, Kutai Barat, Kutai Kartanegara, dan Kota Bontang. Secara umum,

pemekaran wilayah ini tidak menimbulkan konflik, karena didukung situasi

pemerinatahan orde baru yang tidak banyak memberikan ruang kebebasan

berpendapat kepada masyarakat, terlebih dipengaruhi oleh homogenitas penduduk

yang memudahkan dalam proses komunikasi dan implementasinya. Dalam proses

pemekaran ini diketahui bahwa pertimbangan batas-batas wilayah dilakukan

melalui kajian akademik, dan disetujui oleh masyarakat serta perangkat

pemerintahan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dan dapat diterima oleh

masyarakat, meskipun dalam proses nya dibantu oleh intervensi politik

pemerintah.

Kasus pemekaran wilayah di Indonesia lainnya ialah pembentukan

Kabupaten Kolaka Timur di Provinsi Sulawesi Tenggara. Darmawan (2014)

dalam penelitian tesisnya menyebutkan bahwa pembentukan Kabupaten Kolaka

Timur ditengarai banyak dipengaruhi oleh kepentingan politik lokal dan pusat

yang memiliki tujuan tertentu, meskipun juga didorong oleh keinginan dari

masyarakat untuk menjadi kabupaten mandiri. Kepentingan politik ini memiliki

peran yang besar dalam pembentukan kabupaten, dimana para elit politik menjadi

katalisator melalui hubungan relasi yang dimiliki dan bantuan dana yang

diberikan. Namun, intervensi politik yang cukup besar dalam pembentukan

kabupaten baru ini menimbulkan berbagai permasalahan di Kabupaten Kolaka

Timur, salah satunya ialah permasalahan ekonomi wilayah, dimana pendapatan

asli daerah masih rendah dan tidak berimbang dengan dana yang dikeluarkan.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

34

Sebenarnya, Kabupaten Kolaka Timur telah memenuhi beberapa aspek prasyarat

dalam pemekaran wilayah, seperti faktor kependudukan, lokasi geografis, luas

daerah, sosial budaya, sosial politik, dan potemsi daerah. Namun, dalam sektor

kemampuan keuangan wilayah masih cukup rendah.

Salah satu kasus pemindahan pusat pemerintahan di Indonesia ialah

pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Pariaman, Provinsi Sumatra Barat.

Revid (2010) mengungkapkan bahwa kebijakan otonomi daerah di Indonesia

berdampak pada pemisahan Kota Pariaman menjadi sebuah kota administratif

sendiri. Lepasnya Kota Pariaman dari Kabupaten Pariaman membawa dampak

bagi Kabupaten Pariaman untuk merelokasi ibukota kabupaten yang semula

berada di Kota Pariaman. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Revid

(2010) menjelaskan bahwa proses pemindahan ibukota ini dilakukan sesuai

dengan prosedur yang ada dan melibatkan peran akademis dalam menentukan

lokasi yang tepat sebagai ibukota baru. Berdasarkan kajian akademis terhadap

studi kelayakan lokasi-lokasi yang memungkinkan, maka Nagari Palit Malintang

dipilih sebagai lokasi ibukota Kabupaten Pariaman yang baru. Kajian ini menjadi

pertimbangan bagi pemerintah, yang kemudian resmi memindahkan pusat

pemerintahannya ke Nagari Palit Malintang. Proses pemindahan ibukota ini tidak

diwarnai oleh konflik dan berbagai permasalahan, bahkan mendapat dukungan

oleh masyarakat sekitar lokasi pemindahan.

Contoh lain dalam relokasi ibukota ialah pemindahan ibukota administrasi

Maluku Utara dari Kota Ternate ke Sofifi yang telah tercantum pada Undang-

undang No 46 Tahun 1999. Namun sayangnya pemindahan ibukota tersebut

mengalami keterlambatan. Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan oleh

Muslihin (2008) menjelaskan bahwa keterlambatan pemindahan ibukota Provinsi

Maluku Utara disebabkan oleh berbagai faktor penghambat, yakni faktor sosio

kulural dan historis, ekonomi, dan faktor politik yang menimbulkan berbagai

permasalahan dalam proses implementasinya.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

35

Dilihat dari segi sosio kultural dan historis, pada proses penetapan Sofifi

sebagai ibukota Provinsi Maluku Utara tidak melibatkan masyarakat dan

komunitas lokal serta berkaitan dengan sejarah perkembangan berdirinya empat

kasultanan yang masing-masing memiliki batas teritorial kekuasaan tertentu,

sehingga menimbulkan perebutan wilayah kekuasaan antara kasultanan Tidore

dan Ternate. Konflik sosial yang terjadi yang melibatkan suku dan agama

menglihkan perhatian pemerintah terhadap fokus pemindahan ibukota. Secara

ekonomi, keterlambatan ini ketidaksiapan infrastruktur penunjang di Sofifi,seperti

transportasi, jaringan listrik, komunikasi, air, dan berbagai fasilitas penunjang

lainnya. Sedangkan faktor politik yang mempengaruhi keterlambatan

implementasi pemindahan ini ialah intervensi yang cukup besar bagi para elit

politik, sehingga mengesankan pemindahan ibukota ke Sofifi dipengaruhi oleh

faktor politik saja, sehingga tidak dapat memuaskan semua pihak. Kondisi ini

diperparah dengan adanya konflik politik internal beberapa aparat birokrasi yang

tidak menginginkan pemindahan ibukota ini, demi mempertahanka status quo.

Berdasarkan berbagai kasus diatas, intervensi politik masih menjadi kendali

yang besar dalam perumusan dan proses implementasi kebijakan sebuah kota.

Para elit politik masih memaksakan kehendak masing-masing demi mencapai

tujuan tertentu dengan mengatas namakan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Meskipun demikian beberapa daerah juga telah mempertimbangkan aspek-aspek

akademis dan mengikutsertakan akademisi dalam perumusan dan implementasi

kebijakan wilayah.

1.7 Landasan Penelitian

Sebelum menjabarkan lebih jauh mengenai landasan penelitian yang

digunakan dalam penlitian ini, hal yang penting untuk dipahami bersama ialah

batasan definisi dan pemahaman mengenai pusat pemerintahan. Hal ini penting

untuk dilakukan agar tidak terjadi kesalahpaham mengenai konteks pembahasan

dalam penelitian. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, definisi Ibukota

Page 36: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

36

belum terdefinisi secara jelas dan masih banyak perbedaan dalam

pendefinisiannya. Begitupula dengan definisi pusat pemerintahan yang masih

sangat minim dalam pendefinisiannya, seperti yang terlihat pada Tabel 1.2. Secara

umum, pusat pemerintahan dalam kajian ini didefinisikan sebagai salah satu

fungsi yang dimiliki oleh Ibukota. Secara umum, pusat pemerintahan lebih

melihat wilayah secara fungsional, bukan teritorial. Jadi, pemindahan pusat

pemerintahan dapat didefinisikan sebagai pemindahan salah satu fungsi Ibukota,

dan bukan pemindahan secara teritorial.

Tabel 1.2 Definisi Ibukota, Pusat Pemerintahan, dan Adopsi Pengertian

dalam Daerah Penelitian

Ibukota Pusat Pemerintahan Pusat Pemerintahan dalam

Daerah Penelitian

1. Ibukota didefinisikan sebagai

seperangkat pemerintahan yang

merupakan hasil dari aktivitas

politik (Dascher, 2000).

2. Ibukota sebagai sistem

kepemerintahan yang mengontrol

wilayah (Traugott, 1995).

3. Ibukota adalah pusat wilayah dan

pusat individu dalam

mendefinisikan ruang perkotaan

yang memiliki fungsi

pemerintahan, sosial, dan simbol

lingkungan.

4. Ibukota adalah simbol pusat sebuah

wilayah (Wusten,2000)

5. Ibukota adalah simbol berdirinya

sebuah wilayah dan peradaban

(Qi,2008)

6. Ibukota adalah pusat administrasi

yang memiliki banyak fungsi,

fungsi pelayanan, agama,

pemerintahan, dan militer (Wusten,

2000).

7. Ibukota adalah wilayah yang

memiliki fungsi yang lebih tinggi,

yakni fungsi ekonomi, sosial, dan

pemerintahan yang penentuannya

menggunakan hukum kontinental

1. Pusat Pemerintahan ialah

tempat kedudukan utama

pemerintah (KBBI,

1994)

2. Pusat pemerintahan ialah

fungsi wilayah yang

digunakan untuk

pelayanan pemerintah,

yang memuat pusat

perkantoran pemerintah

untuk menjalankan

fungsi dan tugas

pemerintah yang

memiliki posisi central

(PSPPRD, 2002)

Pusat pemerintahan dalam

konteks daerah penelitian

didefinisikan sebagai salah

satu fungsi yang dimiliki

oleh ibukota, yakni fungsi

pemerintahan, yang

didalamnya memuat pusat

kantor-kantor pemerintah

yang dibangun secara

terpadu, berbagai fasilitas

dan utilitas penunjang, dan

juga sistem, kegiatan, serta

mobilitas yang berkaitan

dengan aktivitas

kepemerintahan.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

37

(Calaval, 2000).

8. Di Indonesia ibukota ditetakan

seiring dengan pembentukan

daerah otonom dan ditetapkan

secara yuridis.

Berdasarkan kajian-kajian terhadap penetuan pemilihan lokasi kota baru

(new town)/ibukota baru/ pusat pemerintahan baru yang telah dilakukan

sebelumnya, terdapat sebuah dasar hukum yang telah ditetapkan di Indonesia

yang menyinggung mengenai lokasi ibukota baru.Berdasarkan Peraturan

Pemerintah No 78 Tahun 2007 tentang tata cara pembentukan, penghapusan, dan

penggabungan daerah pasal 12 ayat 3, disebutkan bahwa

Penetapan lokasi ibukota sebagaimana dimaksud pada ayat 2

dilakukan setelah adanya kajian daerah terhadap aspek tata ruang,

ketersediaan fasilitas, aksesibilitas, kondisi dan letak geografis,

kependudukan, sosial ekonomi, sosial politik, dan sosial budaya.

Berdasarkan dasar hukum tersebut, dan hasil kajian terhadap beberapa

penelitian dan literatur yang berkaitan dengan fakor penentuan lokasi, dapat

ditentukan faktor apa yang dapat diadaptasi dalam penelitian ini. Beberapa faktor

yang menentukan terhadap pemilihan lokasi ibukota/pusat pemerintahan yang

diadaptasi dalam penelitian ini ialah faktor letak geografis, faktor kondisi fisik,

faktor aksesibilitas, faktor kependudukan, faktor ketersediaan fasilitas, dan faktor

kebijakan pemerintah, faktor politik, dan faktor historis, seperti pada Tabel 1.2

berikut.

Tabel 1.3. Faktor-faktor penentuan lokasi pusat pemerintahan/ ibukota

baru yang diadaptasi dalam penelitian

Faktor Keterangan

Letak geografis Jarak terhadap pusat pemerintahan lama

Jarak terhadap kota sekitar

Kondisi Fisik

Kemiringan lereng

Penggunaan lahan

Status lahan

Page 38: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

38

Luas lahan

Ketersediaan air

Kerentanan bencana

Aksesibilitas Sarana dan prasarana transportasi

Jaringan jalan

Kependudukan

Jumlah penduduk

Tingkat pertumbuhan penduduk

Angkatan kerja

Mata pencaharian penduduk

Heterogenitas suku, agama, dan etnis

Ketersediaan fasilitas

Fasilitas kesehatan

Fasilitas ekonomi

Fasilitas sosial

Jaringan utilitas

Kebijakan

RPJMD dan RPJPD

Zonasi tata ruang

Praktek perizinan

Politik Visi misi kepala daerah

Historis Sejarah pembentukan kota

Sejarah karisidenan/kasultanan/kerajaan

Sumber : Berbagai kajian literatur.

Faktor letak geografis dapat menggambarkan jarak lokasi pusat

pemerintahan yang baru dengan pusat pemerintahan yang lama, serta jarak dengan

kota-kota yang ada disekitar. Hal ini nantinya akan sangat menentukan interaksi

wilayah. Lokasi pusat pemerintahan yang baru sebaiknya tidak berhimpit dengan

lokasi pusat pemerintahan yang lama, karena dengan jarak yang dekat hanya akan

mempersulit pengembangan pembangunan di lokasi baru. Kondisi fisik

merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pemilihan sebuah lokasi.

Dalam menentukan sebuah lokasi harus memperhatikan kemiringan lereng, jenis

tanah, penggunaan lahan, luasan lahan yang tersedia, status lahan yang akan

Page 39: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

39

dibangun, ketersediaan air, dan kerentanan lokasi terhadap bencana. Lokasi ideal

sebaiknya berada di lereng yang landai ataupun datar, tidak berada pada kawasan

lindung maupun kawasan lahan pertanian, memiliki akses terhadap air yang baik,

memiliki status lahan yang jelas, memiliki luasan yang cukup untuk dapat

dikembangkan, serta tidak berada pada kawasan rawan bencana.

Aksesibilitas merupakan faktor yang menentukan lokasi, semakin baik

aksesibilitas yang tersedia pada lokasi baru yang akan direncanakan, maka akan

menunjang interkasi wilayah, baik intra maupun inter-regional. Hal ini juga dapat

mengehemat biaya pembangunan infrastruktur transportasi. Aksesibilitas memuat

ketersediaan transportasi, baik darat, udara, maupun laut dan jaringan jalan yang

menghubungkan antar wilayah. Kondisi kependudukan suatu lokasi juga menjadi

penentu, yakni yang mencakup jumlah penduduk yang ada di lokasi baru dan

kota-kota sekitar untuk mengetahui potensi interaksi yang akan terjadi, mata

pencaharian penduduk di lokasi baru, heterogenitas penduduk dari segi suku.

agama, dan etnis, tingkat pertumbuhan penduduk, dan angkatan kerja yang

mencakup jumlah angkatan kerja dan jumlah pengangguran yang ada di lokasi

baru.

Ketersediaan fasilitas menjadi salah satu penentu pemilihan sebuah lokasi

baru. lokasi yang telah memiliki berbagai fasilitas akan lebih efisien dipilih

sebagai sebuah lokasi pusat pemerintahan, karena tidak perlu membangun

berbagai fasilitas yang akan meningkatkan anggaran pemerintah. Ketersedian

fasilitas yang dimaksud mencakup fasilitas kesehatan, ekonomi, sosial, dan

jaringan utilitas. Kebijakan pemerintah merupakan salah satu faktor penentu

pemilihan lokasi, hal ini berkaitan dengan prakter perizinan yang lebih mudah,

RPJP, RPJM, dan zonasi tata ruang yang mendukung memungkinkannya

kebijakan pemindahan pusat pemerintahan di lokasi tersebut. Apabila kebijakan

pemerintah disebuah kota mendukung adanya kebijakan pemindahan pusat

pemerintahan, maka implementasinya akan lebih mudah.

Faktor politik dan faktor historis merupakan salah satu faktor yang dapat

menentukan pemilihan sebuah lokasi. Kadang kala, dua faktor ini menjadi faktor

yang paling utama dalam pemilihan lokasi. Beberapa kasus contoh di Indonesia

Page 40: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

40

menyiratkan bahwa kontribusi elit politik dalam mencapai visi misi tertentu,

kepentingan politik suatu golongan, dan wilayah yang memiliki historis kerjaan

dapat menjadi penyebab utama pemilihan lokasi tersebut.

Proses implementasi atau dalam kajian kebijakan disebut dengan state

implementation menjadi salah satu bagian dalam penelitian. Proses implementasi

secara general dapat diimplementasikan secara langsung maupun bertahap,

melalui proses yang panjang maupun tidak. Goggin,dkk (1990) menyatakan

bahwa terdapat beberapa model dalam proses implementasi, yakni dapat

dilaksanakan secara defiance, delay, strategic delay, dan compliance. Model

implementasi secara defiance diartikan sebagai proses yang dilakukan secara

bertahap dan didalamnya terdapat modifikasi kebijakan yang justru menyulitkan

pemerintah dalam mencapai tujuan. Model delay diartikan sebagai implementasi

yang dilakukan bertahap yang sesuai dengan kebijakan awal yang ditetapkan.

Model strategic delay merupakan model implementasi secara bertahap yang

didalamnya terdapat modifikasi kebijakan yang justru membantu pemerintah

dalam mencapai tujuan. Sedangkan model compliance merupakan model

implementasi secara serentak dan cepat dengan atau tidak ada modifikasi

kebijakan yang dapat membantu pemerintah dalam mencapai tujuan.

Goggin,dkk (1990) juga menjelaskan bahwa proses implementasi dapat

dibedakan menjadi dua, yakni proses secara spasial, maupun proses secara

temporal. Proses secara spasial dimaknai bahwa sebuah kebijakan yang akan

diimplementasikan pada suatu wilayah tidak dilakukan secara langsung pada

seluruh bagian dalam wilayah itu, namun secara bertahap. Sedangkan proses

secara temporal dimaknai sebagai sebuah dimenasi waktu dari proses

implementasi kebijakan yang dilaksanakan. Dalam penelitian ini, nantinya akan

membatasi proses penelitian pada proses implementasi secara temporal.

Goggin,dkk (1990) menyebutkan bahwa dalam proses implementasi terdapat

tahapan-tahapan yang biasa dilakukan dalam proses implementasi, yakni meliputi

komunikasi antar aktor dan lembaga terkait meliputi kebijakan yang akan

diimplementasikan, persiapan sumberdaya yang meliputi dana dan aktor yang

akan berperan dalam implementasi, sosialisasi dan komunikasi terhadap sasaran

Page 41: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

41

kebijakan, desain/model implementasi yang digunakan apakah bertahap maupun

secara langsung, serta aktifitas final implementasi kebijakan.

Model dalam proses implementasi tidak serta merta terjadi begitu saja,

namun sangat ditentukan oleh beberapa variabel. George C Edwards III (dalam

winarno, 2002) menyatakan bahwa dalam sebuah implementasi sangat ditentukan

oleh komunikasi, sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi. Komunikasi

menyangkut penyampaian informasi antar pembuatan kebijakan dengan

masyarakat, sasaran kebijakan, maupun pihak lainnya yang terkait agar informasi

dapat ditransmisikan dengan baik dan tidak terdapat distorsi informasi.

Sumberdaya mencakup sumberdaya manusia dan sumberdaya finansial yang

dapat mendukung kebijakan yang akan diimplementasikan. Disposisi memiliki

arti tindakan yang dilakukan atasan untuk mensukseskan implementasi kebijakan

yang dibuat, yang mencakup komitmen, kejujuran, dan sifat demokratis yang

dimiliki pemimpin. Struktur birokrasi diartikan sebagai prosedur atau standar

dalam melakukan setiap tindakan dalam implementasi kebijakan, yang dalam hal

ini menyangkut prosedur pemindahan pusat pemerintahan. Pada penelitian ini,

akan membahas proses implementasi pemindahan pusat pemerintahan secara

umum melalui model state implementation, apakah dilakukan secara cepat dan

serentak, atau dilakukan dengan bertahap dan modifikasi-modifikasi didalamnya.

Proses implementasi yang dilakukan akan dilihat secara temporal dari

disahkannya kebijakan menjadi dasar hukum hingga akktifitas final pemindahan

pusat pemerintahan kalimantan selatan di Kota Banjarbaru, yang didalamnya

memuat berbagai tahapan yang telah dijelaskan sebelumnya. Untuk melihat proses

ini, maka penelitian ini akan menggunakan variabel-variabel implementasi yang

dikemukakan oleh George C Edwards III.

Pemindahan pusat pemerintahan Provinsi Kalimantan Selatan di Kota

Banjarbaru tentunya menjadi sebuah isu yang akan menimbulkan banyak

pertanyaan, diantaranya latar belakang kebijakan, faktor yang menjadi alasan

pemilihan lokasi dan proses implementasi kebijakannya. Hubungan antara latar

belakang, permasalahan, tujuan, serta pencapaian akhir dari penelitian ini dapat

tercermin dalam Gambar 1.3.

Page 42: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

42

1.8 Kerangka Penelitian

Gambar 1.1. Kerangka Penelitian

Latar Belakang

Optimalisasi

Pelayanan

Pemerintah

Good government:

Performance management

Service optimization

Employee engagement

Change management

Service/

process

optimization

Minimnya

lahan

perkantoran

Usulan pemindahan

lokasi pemerintahan

yang lebih optimal

Issue Tujuan 1

Faktor Lokasi

Geografis

Faktor Fisik

Faktor

Aksesibilitas

Faktor

Kependudukan

Faktor Fasilitas

Faktor

Kebijakan

Faktor Politik

Faktor Historis

Tujuan 2

Pemindahan LokasiPusat

Pemerintahan Provinsi

Kalimantan Selatan ke Kota

Banjarbaru Komunikasi

Sumberdaya

Disposisi

Struktur

birokrasi

Faktor-faktor utama yang

menjadi alasanpemindahan

pusat pemerintahan Provinsi

Kalimantan Selatan di Kota

Banjarbaru

Proses implementasi

pemindahan pusat pemerintahan

Provinsi Kalimantan Selatan

dari Kota Banjarmasin ke Kota

Banjarbaru

Rekomendasi pengembangan

kota baru untuk layanan

pemerintahan

Page 43: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/89052/potongan/S2-2015...penunjang lainnya untuk menjalankan kegiatan kepemerintahan (PSPPR,2002). Dalam pemindahan

43

1.9 Batasan Oprasional

Penelitian ini membatasi konsep pada faktor-faktor yang menjadi alasan

kebijakan pemindahan pusat pemerintahan dan proses implementasi

kebijakannya dalm konteks terhadap kebijakan publik. Batasan-batasan

yang penting dipahami dalam penelitian ini mencakup :

1. Kebijakan perkotaan ialah keputusan yang diambil secara sengaja

sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat perkotaan (Torjman,

2005) yang bertujuan agar kota dapat berjalan efektif dan efisien,

serta membuat keadaan yang lebih baik bagi masyarakat perkotaan

(Linn,1983).

2. Pusat pemerintahan ialah fungsi wilayah yang digunakan untuk

kegiatan pelayanan pemerintahan yang didalamnya memuat pusat

perkantoran pemerintah, berbagai fasilitas, dan utilitas untuk

menjalankan fungsi dan tugas kepemerintahan.

3. Proses implementasi merupakan bagian dari konsep implementasi

kebijakan, yang ditentukan setelah kebijakan ditetapkan kedalam

sebuah peraturan dan dan yang dibutuhkan tersedia, didalamnya

memuat serangkaian aksi yang dilakukan untuk mewujudkan

output dari kebijakan yang telah ditetapkan (Nakamura dan

Smallwood 1980).