bab i pendahuluan 1.1 latar belakangeprints.umm.ac.id/45721/2/bab i.pdf · 2019. 4. 4. · 1 bab i...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan abad 21 berbeda dengan abad sebelumnya dalam berbagai hal,
meliputi dalam pekerjaan, hidup bermasyarakat dan aktualisasi diri, salah satu ciri yang
menonjol pada abad ke-21 adalah semakin berkembangnya dunia ilmu pengetahuan
menjadi semakin cepat (Wijaya et al., 2016 ). Tuntutan-tuntutan cepat dan serba baru
abad ke-21 yang mendasari permintaan berbagai terobosan baru dalam berfikir,
penyusunan konsep, dan tindakan-tindakan sehingga dalam hal ini yang dapat memicu
terjadinya stres (Mukhadis, 2013).
Stres merupakan hubungan interaksi seseorang dengan lingkungan yang
menyebabkan suatu kondisi persepsi antara tekanan serta ganguan yang berasal dari
sistem biologis, psikologis dan sosial dari individu (Nasir dan Muhith, 2011). Stres
dapat juga dianggap sebagai salah satu ancaman yang bisa menyebabkan kecemasan,
depresi, disfungsi sosial bahkan bisa untuk mengakhiri hidup (Keller et al., 2012).
Perguruan tinggi merupakan tempat mahasiswa melakukan kegiatan akademik
dan ekstra kurikuler, yang memperkaya serta memelihara dan selanjutnya
mempersiapkan mahasiswa untuk lebih dewasa (Pariat et al., 2014). Menurut Wong’s
dan Hockenberry (2007, dalam Suwartika et al., 2014) tanggung jawab dan tuntutan
kehidupan akademik yang didapat mahasiswa menjadi bagian penting dalam stress yang
biasa dialami mahasiswa, keadaan atau situasi objek atau individu yang dapat
menimbulkan stres merupakan sumber stres atau disebut dengan stresor.
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres pada mahasiswa meliputi faktor
privasi seperti terpisah jarak dengan orang tua, saudara, maupun keadaan ekonomi atau
finansial, sulit dalam bersosialisasi dengan teman, lingkungan, dan pelajaran atau mata
2
kuliah yang diterima dan lain sebagainya (Legiran et al., 2015). Kondisi stres yang terlalu
ekstrim atau jatuh dalam kedaan depresi pada mahasiswa perlu adanya perhatian agar
tidak berdampak negatif terhadap proses pembelajaran yang dapat mempengaruhi
prestasi mahasiswa (Sutjiato et al., 2015).
Distres merupakan kondisi stres yang bersifat merugikan dan buruk, di mana
tanggapan yang dirasakan bersifat negatif dan dapat menggangu integritas diri individu
sehingga keadaan dianggap sebagai suatu ancaman. Suatu masalah apabila tidak diatasi
atau diselesaikan dapat menyebabkan distres yang akan membuat pikiran dan perasaan
kita berada pada tempat dan suasana yang serba sulit sehingga dapat mengancam
keselamatan dan integritas (Nasir & Muhith, 2011).
Menurut Legiran et al., (2015) prevalensi atau angka kejadian individu mengalami
stres di dunia cukup tinggi. Sekitar 75% orang dewasa di Amerika mengalami stres
berat dan dalam satu tahun terakhir jumlahnya terus meningkat, Sementara di negara
Indonesia prevalensi individu yang mengalami gangguan mental atau kondisi stres
diperkirakan mencapai 1,33 juta penduduk atau mencapai 14% dari total penduduk
yang mengalami kondisi stres akut (stres berat) mencapai 1-3%. Penelitian yang di
lakukan oleh Rahmi (2013) tentang hubungan tingkat stres dengan prestasi belajar
mahasiswa tingkat II Prodi D-III Kebidanan Banda Aceh Jurusan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Nad Ta. 2011/2012 didapatkan hasil pada 133 mahasiswa dengan
82 responden mengalami stres ringan dan 51 responden mengalami stres sedang.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang di lakukan peneliti di Fakultas Ilmu
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang pada tanggal 05 Februari 2018
menggunakan metode quisioner dan wawancara dengan mahasiswa semester akhir
didapatkan hasil bahwa 32 dari 55 mahasiswa mengalami stres. Pada hasil quisioner
didapatkan mahasiswa mengalami stres ringan sebanyak 8 orang, mahasiswa yang
3
mengalami stres sedang sebanyak 16 orang, mahasiswa yang mengalami stres berat
sebanyak 7 orang, mahasiswa yang menangalami stres sangat berat sebanyak 1 orang,
sementara 23 mahasiswa normal, serta hasil dari wawancara yang dilakukan peneliti
didapatkan bahwa stres yang dialami mahasiswa disebabkan berbagai faktor internal
dan ekternal antara lain : 1) permasalahan keluarga 2) permasalahan diri sendiri seperti
saat mengikuti proses mengerjakan tugas akhir mahasiswa kesulitan bertemu dengan
dosen sehingga membuat mahasiswa malas dan kurangnya pemahaman ketika
diberikan masukkan oleh dosen yang membuat revisi yang di lakukan tidak sesuai
dengan yang di inginkan oleh dosen sehingga membuat mahasiswa kurang percaya diri
serta tertekan selain itu mata kuliah yang belum di tempuh juga menjadi penyebab
terjadinya stres yang di rasakan mahasiswa. Sebagai mana cuplikan wawancara terhadap
salah satu mahasiswa ketika ditanya tentang respon stres yang dialami mahasiswa
menjawab : 1) jalan-jalan 2) menunggu mood bagus 3) main handphone dan main game
akan tetapi hasil dari respon yang dilakukan oleh mahasiswa hanya bersifat sementara
dan beberapa mengatakan tidak mengurangi stres. Ketika ditanya sudah melakukan
terapi, beberapa mahasiswa menjawab belum melakukan terapi apapun sehingga
diperlukan terapi untuk menurunkan stres pada mahasiswa.
Menurut Lazarus menjelaskan bahwa eustres adalah respon kognitif positif
terhadap stressor, tipe stres seperti ini berkaitan dengan perasaan positif dan kesehatan
fisik sedangkan distres merupakan stress berat yang berkaitan dengan perasaan negatif
dan gangguan fisik (Azzahra, 2017). Menurut Le Fevre, dkk faktor utama yang
menentukan apakah stressor akan menyebabkan distres atau eustress adalah presepsi
dan interprestasi mengenai suatu situasi dari individu masing-masing. (Kupriyanov &
Zhdanov, 2014). Oleh karena itu mahasiswa yang mengalami distres psikologis ini
memerlukan perhatian yang lebih. Tidak sedikit kasus distres psikologis yang dialami
4
mahasiswa berdampak buruk pada mental mahasiswa yang mengalaminya bahkan
banyak kasus yang berakhir dengan kematian. Hal ini dibuktikan dengan studi yang
dilakukan oleh Forman-Hoffman et al., (2014) beberapa daftar kematian yang terdaftar
ditegaskan bahwa nilai atau tingkatan dari penyakit mental (distres psikologis)
merupakan kemungkinan terkuat penyebab kematian dini, terlepas dari faktor resiko
sosiodemografi, faktor kesehatan fisik dan perilaku. Tidak hanya itu distres yang
ekstrim dapat menimbulkan berbagai konsekuensi dalam kesehatan mental negatif
yang kemungkinan dapat mempengaruhi fungsi dan produktivitas individu dalam
bekerja (Cardozo et al., 2012).
Menurut Utaminingtias et al. (2015) Koping stres dibutuhkan oleh individu
sebagai cara untuk menghadapi masalah penyebab stres, koping dilakukan untuk
mengurangi rasa stres yang dirasakan, upaya-upaya tersebut akan dapat mempengaruhi
langsung terhadap penyelesaian masalah (stressor). Dalam mengolah stres dapat diatasi
dengan beberapa pengobatan farmakologis yang meliputi penggunaan obat cemas
(axiolytic), dan anti depresi (anti depressant), serta terapi nonfarmakologi yang meliputi
pendekatan kognitif, serta relaksasi (Rahayu et al., 2015).
Jenis terapi yang dapat menjadi alternatif untuk mengurangi stres dengan
menggunakan gelombang dan vibrasi pada spectrum terlihat (warna) maupun
spectrum tidak terlihat (Inframerah dan UV). Salah satu jenis spectrum terlihat (warna)
yang belum banyak diterapkan di Indonesia adalah terapi warna (Gul et al, 2015).
Terapi warna atau sering disebut sebagai Chromatherapy adalah terapi relaksasi yang
menjadi salah satu alternatif untuk menangani masalah yang berhubungan dengan
kesehatan mental seseorang seperti stres (Unal, 2015).
Penggunaan terapi warna menjadi salah satu terapi yang menarik untuk
mengurangi stres karena sifatnya yang mudah dan berbeda dengan terapi lain yang
5
membutuhkan banyak peralatan serta membutuhkan biaya untuk tujuan yang sama.
Salah satu metode dari terapi warna ini adalah Blue Color Breathing Therapy (Gul et al.,
2015). Menurut penelitian dari Minguillon et al. (2017) Dari hasil yang dilaporkan
menunjukkan bahwa dengan pencahayaan biru dapat mempercepat pengurangan
tingkat stres dibandingkan dengan pencahayaan putih. Hasil penelitian menunjukkan
ketika diberikan pencahayaan biru selama tiga menit tingkat stres berkurang atau
menurun. Selain itu, tingkat minimum stres tetap stabil dengan pencahayaan biru
dibandingkan dengan pencahayaan putih. Menurut pendapat yang dikemukakan oleh
Vivyan (2010) Warna biru baik digunakan untuk mengurangi Insomnia, stres,
kecemasan dan kemarahan disbanding dengan beberapa warna lain karena efek yang
dapat di timbulkan oleh warna biru dapat membuat ketenangan, kedamaian, relaksasi,
ekspresi diri, intuisi, kejujuran, kebenaran, kreativitas.
Menurut Gaurav et al. (2010) metode terapi pernafasan warna yang membantu
seseorang berfokus terhadap udara yang dihirup berubah menjadi energi positif.
Warna biru dapat membuat seseorang merasa tenang, rileks, dan memberikan
kedamaian. Efek lain ketika seseorang melakukan terapi pernafasan warna dapat
memperkuat kondisi tubuh dan pikiran, dan menenangkan kondisi jiwa. Melalui
pernafasan dalam dan teratur serta memusatkan perhatian atau fokus dapat mengubah
udara yang dihirup menjadi energi yang positif (Harini, 2013).
Berdasarkan uraian di atas stres merupakan suatu kondisi yang dapat
mempengaruhi sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang yang dapat
menyebabkan kecemasan, depresi, disfungsi sosial bahkan bisa untuk mengakhiri
hidup, sehingga dari uraian tersebut peneliti tetarik meneliti tentang “Pengaruh pemberian
Blue Color Breathing Therapy terhadap Penurunan Tingkat Stres pada Mahasiswa Ilmu
keperawatan FIKES Universitas Muhammafiyah Malang”.
6
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1.2.1 Bagaimana pengaruh Blue Color Breathing Therapy terhadap penurunan tingkat
stress pada Mahasiswa Ilmu keperawatan FIKES UMM?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini terdari dari tujuan umum dan tujuan khusus:
1.3.1 Tujuan Umum
Berdasarkan masalah dan paparan yang telah di uraikan peneliti ingin
melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh Blue Color Breathing Therapy dalam
menurunkan tingkat stres pada Mahasiswa Ilmu keperawatan FIKES Universitas
Muhamadiyah Malang.
1.3.2 Tujuan Khusus
1.3.2.1 Mengidentifikasi pengaruh Blue Color Breathing Therapy terhadap penurunan
tingkat stres pada Mahasiswa Ilmu keperawatan FIKES Universitas
Muhammadiyah Malang.
1.3.2.2 Mengidentifikasi lama waktu pengaruh setelah terapi Blue Color Breathing
Therapy terhadap penurunan tingkat stres pada Mahasiswa Ilmu keperawatan
FIKES Universitas Muhammadiyah Malang.
1.3.2.3 Menganalisis Blue Color Breathing Therapy terhadap penurunan tingkat stres
pada mahasiswa FIKES di Universitas Muhammadiyah Malang.
7
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelian yang dilakukan di Universitas Muhammadiyah Malang
adalah :
1.4.1 Manfaat Akademik
1.4.1.1 Sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan ilmu keperawatan di
FIKES Universitas Muhammadiyah malang.
1.4.2.1 Menambah wacana studi dalam ilmu keperawatan jiwa tentang factor-faktor
yang berhubungan dengan stres.
1.4.2 Manfaat Bagi Masyarakat
Menunjukan kepada masyarakat tentang Blue Color Breathing Therapy dapat
menurunkan stres dan diharapkan sebagai upaya kuratif dalam masalah stres.
1.4.3 Bagi Mahasiswa Ilmu Keperawatan FIKES Universitas
Muhammadiyah Malang
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan keuntungan kepada Mahasiswa
Ilmu Kesehatan FIKES Universitas Muhammadiyah Malang dalam menangani stres.
Penelitian ini memberikan tambahan ilmu serta pilihan lain yang menjadi alternatif
bagi mahasiswa dalam menangani stres yang sering dialami baik fisik, psikologi,
biologi, maupun spiritual saat menempuh kuliah. Blue Color Breathing Therapy ini
mudah serta praktis dalam penerapannya sehari-hari serta tidak mengeluarkan banyak
biaya dan mahasiswa Ilmu Kesehatan FIKES Universitas Muhammadiyah Malang
mampu melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Dapat digunakan sebagai
pedoman atau referensi dalam melakukan penelitian selanjutnya dengan
menggunakan variabel yang berbeda.
1.4.4 Bagi Pelayanan Kesehatan
8
Dapat memberikan ilmu yang bermanfaat agar dapat diimplikasikan pada
pasien yang mengalami stres sebagai salah satu terapi untuk mengatasinya. Terapi ini
tergolong sangat mudah serta praktis untuk diterapkan. Peneliti berharap dengan
adanya metode lain seperti Blue Color Breathing Therapy ini dapat membantu tenaga
kesehatan sebagai salah satu alternatif terapi untuk menurunkan stres.
1.5 Keaslian penelitian
Beberapa peneliti sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian yang
diakukan oleh peneliti :
1.5.1 Penelitian yang dilakukan oleh Shinta et al. (2013), yaitu Pengaruh Terapi Warna
Hijau Terhadap Stres Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana Seraya
Denpasar. Penelitian ini mengambil sampel 30 orang dari 52 orang lansia
dengan teknik sampling Non Probability Sampling, yaitu Purposive Sampling. Hasil
yang didapatkan berdasarkan statistik terdapat perbedaan yang signifikan
antara perubahan skor stres kelompok kontrol setelah-sebelum Green Color
Breathing Therapy dan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh Green Color
Breathing Therapy terhadap stres lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Wana
Seraya Denpasar. Perbedaan yang dilakukan oleh peneliti terletak pada
responden, metode serta durasi pemberian terapi. Persamaan pada penelitian
ini terletak di prosedur saat melakukan intervensi untuk menurunkan stres.
Pemberian terapi ini dilakukan setiap hari dalam seminggu sesuai jadwal yang
sudah disepakati oleh responden.
1.5.2 Penelitian yang dilakukan oleh Harini (2013), yaitu Terapi Warna Untuk
Mengurangi Kecemasan. Penilitian ini menggunakan rancangan experimental
design dengan Desain eksperimental yang digunakan adalah desain dua
9
kelompok. Subjek dalam penilitian adalah mahasiswa yang berusia antara 18-
22 tahun, laki-laki atau perempuan, dan memiliki skor kecemasan sedang
sampai berat berdasarkan skala kecemasan TSAS. Hasil yang didapatkan bahwa
terapi warna dapat mengurangi kecemasan dengan ditunjukkanya tingkat
kecemasan kelompok eksperimental lebih rendah dari pada kelompok kontrol.
Perbedaan yang dilakukan oleh peneliti terletak pada responden, metode,
durasi, pemberian, serta tujuan terapi. Persamaan pada penelitian ini terletak di
prosedur saat melakukan intervensi untuk menurunkan stres. Pemberian terapi
ini dilakukan setiap hari dalam seminggu sesuai jadwal yang sudah disepakati
oleh responden.
1.5.3 Penelitian yang dilakukan oleh Kasrin et al. (2015), yaitu Perbedaan Efektifitas
Terapi Warna Merah dan Senam Otak Terhadap Memori Jangka Pendek Pada
Lansia Dengan Dimensia di Panti Sosial Tresna Werdha Sabai Nan Aluih di
Sicincin Tahun 2015. Penelitian ini mengambil populasi seluruh lansia di
PSTW sabai nan aluih sicincin sebanyak 110 yang kemduian dilakukan sampling
menggunakan purposive sampling dan dihasilkan sampel sebanyak 32 orang. Hasil
dalam penelitian ini yaitu didapatkan tidak ada perbedaan rata-rata mean yang
bermakna pada memori jangka pendek pada lansia demensia sesudah dilakukan
terapi warna merah dan sesudah dilakukan senam otak. Perbedaan penelitian
yang dilakukan peneliti yaitu terletak pada tujuan, populasi, penggunaan warna,
serta metode terapi warna yang digunakan. Dalam penelitian tersebut diketahui
menggunakan warna merah sebagai terapi untuk memulihkan memori jangka
pendek yang dibandingkan dengan senam otak terhadap lansia di PSTW Sabani
Nan Aluih di Sincinci, namun metodenya tidak dijelaskan secara rinci,
sedangkan penelitian yang dilakukan peneliti menggunakan warna biru
10
bertujuan untuk menurunkan tingkat stres pada Mahasiswa Ilmu Kesehatan
Fikes Universitas Muhammadiyah Malang dengan cara melakukan relaksasi
pernapasan dalam serta membayangkan warna biru dan dibantu dengan
menggunakan alat berupa kain biru dengan modifikasi untuk mempermudah
responden. Pemberian terapi ini dilakukan setiap hari dalam seminggu sesuai
jadwal yang sudah disepakati oleh responden.