bab i pendahuluan 1.1 latar...
TRANSCRIPT
1
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Realisme magis merupakan salah satu istilah yang sering muncul dalam
pembahasan sastra. Istilah yang mencuat dalam tiga dekade terakhir ini muncul
sebagai genre yang menarik sekaligus problematik. Menarik berarti bahwa genre
ini memiliki daya tarik yang luar biasa, sehingga mempengaruhi beberapa benua.
Sementara itu, problematik dalam artian genre ini oleh beberapa kalangan
dianggap masih sulit untuk dipahami.
Donald L.Shaw dalam Hart dan Ouyang (2005) melacak sebuah tipe lain
dari genealogi dalam wacana realisme magis, bahwa pada saat ini, mitoslah yang
muncul sebagai topik utama secara berulang dalam sebuah karya tentang sebuah
tatanan figur-figur penting. Ini bahkan terjadi pada tataran global, yakni pada
bagian bahwa akhirnya realisme magis ini muncul di berbagai belahan dunia
(khususnya negara dunia ketiga).
Beberapa figur penulis yang diketahui memakai genre realisme magis
pada awal-awal kemunculannya antara lain Gabriel Garica Marquez, Miguel
Angel Asturias, Alejo Capentier. Mereka merupakan penulis-penulis dari Amerika
Selatan. Akan tetapi, pada perjalanannya, muncul nama-nama non-Amerika Latin,
seperti Salman Rushdie yang memiliki darah Asia Barat, dan Toni Morrison yang
berasal dari Amerika Serikat.
2
Toni Morrison kemudian menjadi pilihan bahasan dalam tesis ini karena
dia merupakan salah satu penulis kulit hitam yang berpengaruh di Amerika dalam
tiga dekade terakhir, yang disebut sebagai salah satu penulis yang memasukkan
unsur realisme magis dalam karyanya. Beberapa karya Toni Morrison yang cukup
dikenal adalah The Bluest Eye (1970), Sula (1974), Song of Solomon (1977), Tar
Baby (1981), Beloved (1987), Jazz (1992), dan Paradise (1997).
Pemilihan novel Beloved sebagai objek material didasarkan pada adanya
pengakuan yang luas terhadap novel ini dari masyarakat di Amerika. Dibanding
novel-novel lain, novel inilah yang mendapat legitimasi resmi dari sebuah badan
resmi di Amerika, yakni Pulitzer untuk kategori fiksi atas novel ini pada tahun
1988. Berdasarkan fakta tersebut, peneliti berasumsi bahwa novel ini setidaknya
memiliki efek atau setidaknya bersinggungan langsung dengan masyarakat
Amerika secara riil.
Fakta tersebut kemudian juga diasumsikan sebagai salah satu indikasi
menunjukkan bahwa realisme magis bukan lagi suatu wacana atau genre yang
terikat pada aspek teritorial. Sebagai catatan, realisme magis dalam sastra
sebelumnya lebih akrab dengan kalangan penulis Amerika Tengah dan Selatan,
serta biasa berkutat dalam konteks pascakolonialisme.
Novel Beloved, yang dipublikasikan pada tahun 1987 ini diciptakan oleh
seorang penulis yang lahir, dibesarkan, dan hidup di Amerika Serikat. Morrison
tepatnya lahir di Ohio. Beranjak dari landasan inilah, peneliti berasumsi bahwa
masalah kewilayahan bukan lagi faktor utama yang menjadi alasan utama
penggunaan realisme magis dalam novel ini.
3
Novel ini memuat mitos yang berkembang dalam masyarakat kulit hitam
di Amerika yang juga akrab disebut sebagai Afrika-Amerika. Sang pengarang,
Toni Morrison menggunakan latar waktu sekitar tahun 1860-1870-an, pada masa
perbudakan. Perbudakan di Amerika, hingga kini merupakan bahasan yang masuk
ke dalam kerangka relasi rasial, antara masyarakat kulit putih dan kulit hitam.
Relasi hitam dan putih inilah yang juga akan dijadikan konteks pembahasan mitos
dalam penelitian ini, karena mitos yang dimunculkan dalam novel tersebut ada
dalam kehidupan masyarakat kulit hitam. Segala sesuatu yang berhubungan
dengan hal non-empiris, atau irasional, seperti mitos, mistis, takhayul, yang ada di
dalam masyarakat kulit hitam selalu berjalan berseberangan dengan
perkembangan kebudayaan Amerika yang notabene didominasi oleh kebudayaan
ras kulit putih. Sebagai catatan, sejarah Amerika menunjukkan adanya sejumlah
istilah yang muncul dalam kehidupan di negara tersebut sebagai salah satu bentuk
segregasi spiritual atau religi, seperti black religion, black curch, dan black faith,
dan sempat muncul pula istilah white christianism.
Morrison, sebagaimana terlihat dari Beloved, tidak terlepas dari
kompleksitas yang muncul di Amerika tersebut. Menurut Maggie Ann Bowers
(2004: 55), identitas Morrison sebagai wanita kulit hitam, dengan latar belakang
kehidupan Amerika, secara spesifik mendorongnya memunculkan memori tentang
hubungan (persilangan) budaya Afrika-Amerika untuk membangun sebuah sense
di komunitas Afrika Amerika pada masa krisis, ketika mayoritas populasi Afro-
Amerika, menurutnya, berada dalam kondisi miskin baik secara ekonomis
maupun spiritual.
4
Pemunculan unsur mitos masyarakat kulit hitam, yang juga ada dalam
karya yang akhirnya sukses berada di dalam masyarakat Amerika dan dominasi
kulit putihnya, serta kemungkinan adanya motif-motif lain, seperti kritik politik
ataupun sosial Morrison di novel Beloved inilah yang membuat peneliti tertarik
untuk melakukan pembahasan secara komprehensif.
Alasan lain pemilihan pembahasan realisme magis dalam Beloved adalah
kebaruan dari penelitian. Novel Beloved merupakan novel yang jamak dipilih
sebagai objek material. Bahkan , pembahasan secara komprehensif dalam sebuah
karya ilmiah tesis maupun buku yang memiliki bobot kedalaman analitis tertentu
belum ditemukan oleh peneliti. Tren pembahasan novel Beloved selama ini lebih
condong pada pembahasan dari perspektif gender.
Untuk menganalisis realisme magis dalam novel ini, peneliti
menggunakan teori naratif yang diformulasikan oleh Wendy B.Faris. Teori ini,
menurut peneliti, cukup adekuat untuk dijadikan pijakan sekaligus alat analisis
dalam penelitian ini. Penjelasan tentang definisi dan pembagian elemen yang
menjadi struktur realisme magis yang diformulasikan oleh Faris detail dan
aplikatif.
1.2 Perumusan Masalah
Amerika sering mengklaim diri mereka sebagai sebuah negara yag paling
demokratis, dan memiliki pengaruh yang kuat dalam hal arus modernitas. Meski,
pada faktanya polaritas hitam dan putih dalam segala aspek kehidupan masih ada,
dan putih hampir selalu dalam posisi yang dominan atau lebih tinggi.
5
Beloved, di sisi lain, mengangkat mitologi dalam masyarakat kulit hitam.
Dengan demikian, novel ini, jika dilihat dari tema dan bahasan di dalamnya,
seharusnya tidak bisa mencapai posisi bisa diterima oleh masyarakat Amerika.
Akan tapi, pada kenyataannya novel ini kemudian dapat diterima secara luas,
bahkan mendapat pengakuan dari masyarakat, dengan adanya legitimasi Pulitzer.
Adanya kemungkinan perubahan korelasi atau struktur hitam dan putih di
Amerika inilah yang menurut peneliti layak untuk dijadikan permasalahan, demi
adanya pijakan penelitian.
Untuk membahas masalah ini, peneliti merangkum arahan analisis
permasalahan menjadi sejumlah pertanyaan berikut ini.
1. a. Bagaimana magis dan riil itu dinarasikan dalam novel Beloved?
b. Bagaimana hubungan elemen magis dan realisme dalam
keseluruhan novel Beloved?
2. Bagaimana konteks sosial dan budaya serta ideologis, diskursif dari
novel tersebut sesuai dengan lokasi geografis karya itu berasal?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi lain dalam
pembelajaran sastra dan budaya. Pembahasan realisme magis dalam novel
dianggap penting sebagai pengayaan sastra modern, khususnya sastra barat.
Pasalnya, secara umum, pembahasan sastra berbahasa Inggris yang menggunakan
realisme magis, juga masih terbilang minim.
6
Padahal, pada dasarnya, pembahasan sastra baik asing maupun Indonesia
sangat memerlukan pemutakhiran tentang tren dan wacana yang berkembang,
karena pada faktanya, sastra dan studi budaya berkembang secara global. Secara
lebih umum, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi elemen pembangun
atau mungkin acuan komparasi bagi penelitian lain, tak terkecuali penelitian sastra
Indonesia.
1.4 Tinjauan Pustaka
Sebagai sebuah novel kanon, yang mendapat pengakuan dan apresiasi luas
dari komunitas sastra maupun masyarakat luas, khususnya di Amerika Serikat,
novel Beloved bukan merupakan objek material yang asing bagi peneliti serta
penulis di berbagai belahan dunia. Ada banyak buku yang memasukkan novel ini
sebagai salah satu sumber bahasan yang digunakan dalam buku-buku tersebut.
Berdasarkan penelusuran penulis dari berbagai sumber kepustakaan,
termasuk sumber online, ada cukup banyak karya buku maupun tulisan akademik
yang membahas tentang novel ini. Sandy Alexandre membahas tentang gender
dan kekerasan dalam artikelnya berjudul From the Same Tree: Gender and
Iconography in Representations of Violence in Beloved yang diterbitkan dalam
Journal of Women in Culture and Society pada tahun 2011. Artikel selanjutnya
ditulis oleh Florian Bast, dengan judul Reading Red: The Troping of Trauma in
Toni Morrison's Beloved dalam jurnal yang sama. Herman Beavers
mengetengahkan studi komparatif dalam artikelnya Cleaving the Body Politic:
7
The Rhetorics of Mediation and Meditation in Ralph Ellison's Invisible Man and
Toni Morrison's Belove" ,alam Foreign Literature Studies tahun 2011.
Beatrice McKinsey membahas tema cinta dalam artikelnya The
Measurement of Love in Toni Morrison's Beloved melalui Publications of the
Mississippi Philological Association, pada tahun 2011. Perspektif gender
digunakan Amanda Putnam dalam "Mothering Violence: Ferocious Female
Resistance in Toni Morrison's the Bluest Eye, Sula, Beloved, and a Mercy," pada
tahun 2012 dalam buku “Talking in Circles: Multiple Narrators, Multiple
Truths”. Mark Sandy juga melansir artikel berjudul “Cut by Rainbow": Tales,
Tellers, and Reimagining Wordsworth's Pastoral Poetics in Toni Morrison's
Beloved and a Mercy." pada tahun 2011.
Artikel-artikel tersebut memang sudah membahas Beloved dari berbagai
segi. Akan tetapi, kebanyakan hanya berkutat pada isu seputar sosial, gender, dan
politik. Tak ada jurnal yang membahas realisme magis secara komprehensif.
Selain itu, pembahasan dalam jurnal cenderung sangat terbatas karena tidak
adanya ruang tulis yang mencukupi.
Harold Bloom (2009) juga membuat sebuah buku yang berupa kompilasi
artikel sebagai berikut Putting “His Story Next to Hers”: Choice, Agency, and
the Structure of Beloved oleh Steven V. Daniels. To Love and Be Loved:
Considering Black Masculinity and the Misandric Impulse in Toni Morrison’s
Beloved ditulis Nancy Kang. The Mother-Daughter Àjé Relationship in Toni
Morrison’s Beloved, Teresa N. Washington. Ten Minutes for Seven Letters:
Reading Beloved’s Epitaph ditulis oleh Jeffrey Andrew Weinstock. Derogatory
8
Images of Sex: The Black Woman and Her Plight in Toni Morrison’s Beloved
ditulis oleh Reginald Watson. Terakhir, What We Talk About When We Talk
About Beloved ditulis oleh Dean Franco.
Selain artikel-artikel tersebut, berbagai macam buku banyak membahas
tentang Beloved sebagai objek utama mereka. Salah satu buku yang membahas
tentang novel ini adalah buku karangan Mary Robinson, dan Kris Fulkerson
berjudul Cliff Note’s: Toni Morrison’s Beloved. Buku ini membahas tentang
Beloved secara terperinci, namun cenderung tidak mendalam karena segmentasi
yang dipatok oleh buku ini adalah pembaca pemula. Buku ini mengarahkan
bahasannya pada analisis struktur dan penokohan secara sederhana.
Justine Tally (2009) dalam bukunya Toni Morrison’s Beloved: Origin
membahas secara lebih mendalam novel Beloved. Tally membahas tentang
sejumlah sumber-sumber mitologis dari novel tersebut. buku tersebut menelusuri
sejumlah indikasi adanya penggunaan sumber-sumber mitologi Afrika maupun
Yunani, termasuk numerologi yang digunakan dalam novel tersebut.
Pembahasan yang dilakukan dalam buku tersebut terbilang dalam dan
teliti. Akan tetapi, buku tersebut tidak menyentuh pada realisme magis dan adanya
kemungkinan ktitik sosial dalam karya Toni Morrison ini. Sementara, Beloved
memiliki kaitan yang cukup erat dengan konteks sosial, ideologis, maupun
diskursif. Akan tetapi, buku ini tetap merupakan referensi yang berharga karena
menyodorkan dokumen-dokumen yang memuat adanya keterkaitan teks dengan
sistem mitos dari peradaban yang jauh ada sebelumnya.
9
Buku lain membahas tentang relasi ibu dan anak (motherhood) dalam
novel Beloved. Buku buku berjudul Love And Motherhood In Toni Morrison's
Beloved, oleh Zita Rarastesa (2011), mendiskusikan tentang penindasan yang
dialami oleh perempuan, yang bermuara pada seksisme, rasisme, and kelasisme.
Akan tetapi, Beloved juga diyakini mampu membuat pembaca dapat melihat
bahwa tidak semua orang kulit hitam adalah korban penindasan dan tidak semua
orang kulit putih adalah penindas.
Pembahasan tentang Toni Morrison pernah dilakukan di lingkup
Universitas Gadjah Mada, dalam sebuah disertasi yang disusun oleh Sri
Herminigrum (2010), dengan judul Pembentukan Karakter Budaya Amerika
melalui perempuan Afrika Amerika: Kajian Novel-novel Toni Morrison. Penulis
yang sama juga membahas Toni Morrison dalam artikel di jurnal Humaniora
volume 3. 2010 dengan judul Four Criteria for labelling Black Women and
Theira Community as ‘Others’ in Toni Morrison’s Novels. Beloved merupakan
salah satu objek material yang dipakai dalam disertasi dan artikel tersebut.
Herminingrum, dalam disertasinya, menganalisis delapan novel sebagai
objek material, yakni The Bluest Eye (1970), Sula (1973), Song Solomon (1977),
Tar Baby (1981), Beloved (1987), Jazz (1992), Paradise (1997) dan Love (2003).
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap data-data yang ada di dalam dan di
luar objek material itu, menghasilkan kesimpulan bahwa ada empat kelompok
perempuan Afrika-Amerika yang tercermin dari novel tersebut. secara lebih
spesifik, karakter-karakter perempuan yang ada di dalam Beloved mencerminkan
tipe kelompok tersendiri, yakni kelompok perempuan yang menjadi korban
10
kemanusiaan perbudakan. Perempuan digambarkan sebagai korban eksploitasi,
serta menjadi subjek segregasi dan stereotip. Hasil yang disodorkan dalam jurnal
oleh Herminingrum menghasilkan output penelitian yang kurang lebih sama.
Berbeda dengan disertasi dan artikel tersebut yang lebih pada pengkajian
budaya dan kondisi riil masyarakat Amerika, penelitian ini akan berfokus lebih
kepada novel tersebut dan memandangnya sebagai sebuah produk sastra, serta
dikaitkan dengan mitos dan realisme magis.
Disertasi dan artikel yang diterbitkan tersebut memiliki menggunakan
pendekatan interdisipliner yang menggabungkan gender, seksualitas, ras dan
etnisitas, dan memandang dari perspektif sosiohistoris. Pendekatan dan perspektif
ini terbilang adekuat untuk menyediakan hasil yang komprehensif dalam
pembahasan ranah studi Amerika. Akan tetapi, dalam memosisikan Beloved
sebagai sebuah karya sastra, masih ada lubang-lubang yang harus diisi, karena
Beloved memiliki beberapa karakter khusus yang tidak banyak terdapat dalam
karya lain, yakni realisme magis.
Aspek gender dan sosiohistoris cenderung mengesampingkan posisi novel
sebagai sebuah karya realisme magis. Padahal, Toni Morrison merupakan penulis
Amerika Serikat yang paling luas diakui telah menghasilkan karya realisme
magis. Genre realisme magis ini juga memiliki beberapa poin penting, yang
membutuhkan perhatian secara lebih, antara lain soal metodenya yang cenderung
inkonvensional maupun keterikatannya yang erat dengan aspek politis maupun
wacana global, seperti pascakolonial.
11
Permbahasan realisme magis dalam Beloved disebut dalam berbagai buku
referensi realisme magis. Buku-buku itu antara oleh Wendy B. Faris, Ordinary
Enchantments: Magical Realism and the Remystification of Narrative (2004),
Maggie Ann Bowers’s study, Magic(al) Realism, Stephen M. Hart dan Wen Chin-
Ouyang dalam buku A Companion To Magical Realism juga menyinggung Toni
Moorrison dan Beloved. Buku lainnya yang juga menyebut tentang Beloved
adaadalah karya Lois Parkinson Zamora dalam The Usable Past: The Imagination
of History in Recent Fiction of the Americas.
Buku-buku tersebut memang membahas tentang Beloved dalam kerangka
realisme magis. Namun, tidak ada satu pun yang membahas secara komprehensif
tentang dan mendalam novel ini. Oleh karena itu, peneliti menggunakan objek
Beloved dengan berfokus pada realisme magis.
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Realisme Magis dan Fantasi
Ketika novel-novel dengan metode naratif muncul pada periode pasca-
Marquez, maka secara bertahap pula muncul perluasan parameter-parameter
tentang realisme magis. Pada awalnya, teorisasi kritis terhadap karya realisme
magis hanya berfokus pada ranah teknis. Pada tahun 1980-an , teorisasi kritis ini
kemudian berfokus pada cara realisme magis menghadirkan praktik sosial dan
ideologi, serta berinteraksi dengan masalah-masalah yang menjadi kebalikan dari
teori pascakolonial.
12
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah seputar adanya dua
kemungkinan, yakni pertama realisme magis yang begitu berhasil dalam
bermigrasi ke berbagai bentuk kultur, atau, kedua, karena ini adalah bahasa yang
paling baik atau memungkinkan untuk digunakan sebagai efek dari munculnya
dunia pascakolonial. Salah satu alasannya adalah karena kemampuan (realisme
magis) untuk menampakkan/ mengutarakan sebuah dunia yang dipecah-pecah,
terdistorsi dan dibuat tidak kredibel oleh pergeseran/ pemindahan kultural. Ini
berkaitan dengan wacana pascakolonial.
Menurut Elleke Boehmer (dalam Hart dan Ouyang, 2005), sebagaimana
para penulis di Amerika Selatan, para penulis pascakolonial yang menulis dalam
bahasa Inggris memadukan antara supranatural yang diambil dari budaya
kolonialis untuk mewakili budaya-budaya yang secara berulang-ulang diguncang
oleh invasi, okupasi, dan korupsi politis. Efek magis digunakan untuk menggugat
kebodohan (hal-hal) tidak masuk diakal dan segala konsekuensinya. Ini sejalan
dengan pendapat Jean-Pierre Durix mengutarakan bahwa kekuatan imperialistik
bukan hanya merampas teritorial dan kemakmuran dari masyarakat koloni tetapi
juga imajinasi mereka.
Wacana realisme magis bisa bermigrasi dari Amerika Selatan sampai ke
berbagai kultur di berbagai belahan dunia lebih karena heterogenitas intrinsiknya,
bukan karena sinkretismenya. Bagi para penulis dari negara yang berhasil lepas
dari cengkeraman kolonialisme, realisme menawarkan sebuah idiom sastrawi
yang merefleksikan tensi politis yang liar, yang didampingi oleh perkembangan
13
terhadap kebangsaan, khususnya pada tahun 1980-1990, ketika realisme magis
mengglobal.
Seiring dengan perkembangan realisme magis, dari sastra sampai film,
dari sastra global, arstistik sampai lanskap visual, sampai yang berkaitan dengan
pascamodernisme, pascakolonialisme, istilah ini semakin sulit untuk dibakukan,
baik dari sudut pandang estetis maupun politis. Magis bisa diartikan sebagai
segala sesuatu yang menolak empirisme termasuk kepercayaan beragama,
takhyul, mitos, legenda, dan voodoo, ataupun hal yang fantatik ‘misterius’ dan
‘ajaib’. Realisme, dilihat dari perspektif magis, adalah salah satu dari sekian cara
untuk memahami realitas di luar matriks yang pada saat ini diremehkan
/dipandang rendah oleh realisme konvensional. (Hart dan Ouyang, 2005: 3). Hal
yang perlu diperhatikan adalah Realisme magis menolak untuk
dipandang/dipadankan dengan fantasi karena klaim terhadap sebuah teritori yang
terpisah di sisi dan karena aspirasinya pada sastra dan politik radikal, yang
kemudian menjelaskan (perbedaan) antara sastra dan fiksi populer.
Tabel . Perbedaan dan persamaan teks realisme magis dan fantasi
Aspek Realisme Magis Fantasi
Lokasi Realitas Neverland (antah berantah)
Politik - Didorong oleh hasrat untuk bergumul dengan realitas
dan sistem epistemologis di tempat untuk
mengetahuinya
- Untuk melampaui yang di sini dan sekarang, dan
mengimajinasikan sebuah dunia alternatif
14
Beberapa fitur tematik yang muncul dalam perkembangan realisme magis di
negara-negara Amerika Latin antara lain (1) penggunaan mitos dan legenda, (2)
Referensi magis dan supranatural, (3) inklusi heteroginitas etnik dan kultural (4)
keberadaan hutan dan fauna yang melimpah, yang sering kali dijelaskan dalam
bentuk fantastik, (5) pengaduan tentang ketidakadilan sosial dan kriminalitas,
yang dipupuk oleh minimnya hukum yang efektif dalam wilayah itu, dan
kesewenang-wenangan administrasi politis pada dua sisi tersebut.
1.5.2 Karakteristik Realisme Magis
Wendy B. Faris (2004) menjelaskan bahwa definisi realism magis tertuang
dalam lima karakterisik, yakni irreducible element (elemen yang tak tereduksi),
phenomenal World (dunia yang fenomenal), unsettling doubt (keraguan yang tak
terpelesaikan, merging realms (alam yang bercampur), dan disruption of time,
space, and identity (disrupsi waktu, ruang, dan identitas). Elemen yang tidak
dapat direduksi adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan hukum semesta
sebagaimana yang telah diformulasikan oleh wacana berbasis empirisme barat,
yang ditentukan berdasarkan pada “logika”, pengetahuan yang familier, atau
kepercayaan yang diwarisi. Oleh karena itu, pembaca memiliki kesulitan untuk
menyelesaikan pertanyaan-pertanyaan tentang status peristiwa dan karakter dari
fiksi semacam ini (realisme magis).
Sebagai suatu yang, “yang diberikan, diterima, namun tidak dijelaskan.”
Suara (voice) naratif menampilkan sebuah peristiwa yang tidak biasa—magis—
yang tidak dapat diterima oleh persepsi indrawi, dengan cara yang sama yang lain,
15
peristiwa biasa diceritakan. Cerita tersebut sering kali melibatkan deskripsi-
deskripsi fenomena yang tidak diartikualiskan dalam detail atau benar-benar
terintegrasi dengan realitas sehari-hari dalam tradisi naratif yang lain—mitos,
religius, folklor. Elemen ini melampaui konsep uncanny (aneh), yang menurut
penjelasan Todorov, keluar sebagai elemen insidental dalam berbagai jenis naratif.
Menurut Amaryll Chanady dalam Faris (2004) , ketika penulis tersirat itu
terpelajar menurut norma-norma konvensional kita tentang alasan dan logika,
sehingga bisa mengenali supranatural sebagai lawan dari hukum alam, dia
berusaha untuk menerima pandangan dunia dari sebuah kultur untuk
menjelaskannya. Sang penulis menghapus antinomi (sifat yang berlawanan)
antara yang natural dan yang supernatural pada tingkatan interpretasi tekstual,
sementara pembaca, yang mengenali dua kode logika yang bertentangan pada
tingkatan semantik, menunda atau menghentikan anggapannya tentang apa yang
rasional dan yang irasional dalam dunia fiksi.
Elemen yang tak tereduksi ini terasimilasi dengan baik dalam lingkungan
tekstual yang realitstik jarang sekali bisa menyebabkan adanya komentar oleh
narator atau tokoh, yang menjadi model (contoh) penerimaan (magis) bagi
pembaca. Meskipun, secara paradoksal, karena mereka juga sering kali tidak bisa
mengejutkan pembaca dan ekspektasi realistis mereka, mereka kadang
mengatakan “I EKsist (Saya ada)”, “I Stick Out (Saya bertahan)”, yang mendekati
gaya eksistensial.
Singkatnya, menurut Faris, teks tersebut menolak untuk diasimilasikan
secara keseluruhan dengan realisme mereka; teks tersebut tidak mengejutkan
16
secara brutal, tetapi ia juga tidak meleleh (menyatu dengan lembut), jadi ia
“seperti butir-butir pasir dalam tiram” dalam realisme itu. Dan karena ia
mengganggu kebiasaan membaca, butiran-butiran yang tidak tereduksi itu
meningkatkan partisipasi dari pembaca, berkontribusi pada proliferasi posmodern
dari teks-teks tertulis, teks-teks yang juga diciptakan oleh pembaca.
Peristiwa atau gambaran-gambaran magis bersinar/ memikat dari dalam
matriks realitas, menggarisbawahi isu sentral dalam teks tersebut. Dalam realisme
magis, realitas yang digambarkan sebagai sesuatu yang kasar, sering kali digaris
bawahi karena orang biasa bereaksi terhadap kejadian-kejadian magis, suatu
keadaan yang menormalisasikan peristiwa magis namun juga defamiliarisasi,
garis bawah, atau mengkritik aspek luar biasa dari The Real. Magis juga
memungkinkan munculnya komentar dan satire politik.
Sisi magis tumbuh secara hampir tak kelihatan di luar the real, dan narator
tidak menunjukkan adanya kejutan, dengan hasil bahwa elemen kejutan itu ke
dalam sejarah yang akan kita saksikan, yang memastikan adanya kejutan.
Karakteristik kedua dari realisme magis adalah deskripsinya menceritakan tentang
pajang lebar atau memberikan gambaran rinci tentang kehadiran yang meyakinkan
atas sebuah dunia yang fenomenal. Inilah yang menjadi realisme dalam realisme
magis, yang membedakannya dari fantasi dan alegori. Deskripsi realistik
menciptakan sebuah dunia fiksi yang menyerupai dunia yang kita tempati, sering
kali dengan penggunaan detail yang panjang lebar. Di satu sisi, perhatian pada
detail indrawi ini meneruskan sekaligus memperbarui tradisi realistik. Pada sisi
lain, sebagai tambahan dari memasukkan peristiwa-peristiwa magis, fiksi realisme
17
magis memasukkan detail magis yang membangkitkan minat/ penuh intrik.
Karena detail-detail magis ini mewakili sebuah keberangkatan yang jelas dari
realisme, detail ini dibebaskan dari perspektif Barthesian yang mempertanyakan
tentang mimesis spesifik lokasi dari realisme. Roland Barthes bahwa realisme
memberikan detail-detail dengan efek realitas, yang menyampaikan tidak hanya
informasi tertentu, namun juga ide bahwa cerita tersebut riil. Sebagai tambahan
pada pemroyeksian pesan tersebut dengan deskripsi yang detail, detail-detail tak
tereduksi dari realisme magis dapat menuju ke arah berlawanan, menandakan
bahwa ini mungkin imajiner. Kesan bahwa yang magis tumbuh di dalam yang
nyata ini pertama kali diartikulasikan oleh Franz Roh dalam pembahsasannya
tentang realisme magis dalam lukisan: “Dengan kata ‘magis’, sebagai lawan dari
kata ‘mistis’ saya berharap bisa menunjukkan bahwa misteri tidak tutun/ keluar
dari dunia yang diwakilinya., tetapi lebih pada bersembunyi dan berdenyut di
belakang dunia itu”.
Contoh dari fenomena percampuran ini adalah bagaimana peristiwa magis
biasanya secara tekstual dibuat membumi dalam sebuah fakta yang secara realistis
tradisional atau bahka eksplisit. Sebagaimana dikatakan Brenda Cooper (1998:
36), “yang misterius, merangsang indera, yang tidak diketahui, dan tidak dapat
diketahui tidak ada di dalam sub teks, sebagaimana dalam penulisan realistik,
melainkan berbagi ruang fiksi dengan sejarah”.
Sebagai contoh, ketika menulis ulang sejarah Amerika Latin dalam
Macondo, Gabriel Garcia Marquez memasukkan sebuah pembantaian yang sudah
dihapus dari catatan publik. Ini merupakan elemen yang berbeda dari komponen
18
mitologis yang ada dalam cerita-cerita itu, meskipun mereka memiliki kaitan satu
sama lain. Kombinasi antara peritiwa-peristiwa sejarah dengan mitos memberikan
bukti bahwa keduanya merupakan aspek esensial dalam memori kolektif kita.
Elemen ketiga adalah Unsettling Doubts (keraguan yang meresahkan/ tak
terpecahkan). Kualitas selanjutnya ealisme magis adalah bahwa sebelum
mengategorikan elemen tak tereduksi tersebut sebagai sesuatu yang tak bisa
tereduksi, pembaca mungkin akan berada dalam keraguan antara dua pemahaman
kontradiktif tentang peristiwa-peristiwa yang ada di dalamnya dan kini mereka
mengalami keragu-raguan yang meresahkan. Pertanyaan tentang keyakinan adalah
suatu yang penting dalam hal ini. keragu-raguan biasanya muncul dari adanya
perbenturan implisit antara sistem kulturan yang ada di dalam naratif (yang
bergerak ke arah kepercayaan dalam fenomena ekstrasensori namun bercerita dari
perspektif post-Enlightenment (pascapencerahan) dan dalam mode realistik yang
secara tradisional mengeksklusi mereka. Dan karena sistem kepercayaan secara
jelas berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka beberapa pembaca mungkin
akan mengalami keragu-raguan yang lebih sedikit dibanding yang lainnya,
tergantung pada kepercayaan dan tradisi naratif mereka. Meski demikian, realisme
magis sedikit banyak dicakup oleh formulasi tentang fantastik Tvetan Todorov,
yang menganggap bahwa dalam sebuah cerita pembaca mungkin merasa ragu-
ragu antara sesuatu yang aneh (uncanny), yakni ketika sebuah peristiwa dapat
dijelaskan dengan hukum-hukum alam semesta yang kita ketahui, dan yang
menakjubkan (marvellous), yakni ketika sebuah peristiwa hanya dalam dijelaskan
dengan perubahan dalam hukum-hukum alam terebut. Dengan kata lain, realisme
19
magis memperluas realitas fiksi untuk memasukkan peristiwa-peristiwa yang
biasa kita sebut sebagai magis dalam realisme.
Sekilas, pengertian tersebut memang terdengar sangat sederhana, tetapi ini
bukan hal sepele karena ada banyak variasi yang muncul. Keragu-raguan justru
bisa mengaburkan elemen yang tak tereduksi, yang mungkin menyebabkan
adanya kemungkinan perbedaan penerimaan (pemahaman). Keraguan pembaca
daerah Barat pada seringkali berada di antara pemahaman bahwa sebuah peristiwa
berada di wilayah mimpi tokoh atau halusinasi, dan alternatifnya adalah
menganggap itu sebagai keajaiban.
Adegan dalam realisme magis mungkin saja terlihat seperti mimpi, tetapi
mereka sama sekali bukan mimpi dan teks tersebut mungkin merangsang kita
untuk mengooptasi mereka dengan mengategorikan mereka sebagai mimpi, atau
melarang kooptasi itu. Narasi realisme magis hampir seperti memunculkan
kemungkinan untuk menginterpretasikan apa yang mereka ceritakan sebagai
sebuah mimpi untuk mencegah interpretasi itu, setelah sebelumnya
memperdengarkannya sebagai sebuah kemungkinan. Strategi ini, selain
meredakan kebimbangan pembaca, tapi juga mengundang mereka menjadi ada,
menyebabkan pembaca memiliki keraguan.
Ada banyak kasus yang membuat magis dalam realisme magis jelas
terlihat dan kita hampir tidak merasakan keraguan, penerimaan narator
memperagakan penerimaan kita (pembaca) akan teks tersebut, ini merupakan
salah satu strategi yang akan dibicarakan lebih lanjut pada bab III soal teknik-
teknik naratif. Strategi lain yang memungkinkan bagi pembaca adalah
20
menginterpretasikan sebuah contoh magis tertentu dalam sebuah fiksi realis,
sebagai sesuatu yang tidak lebih dari alegori.
Elemen keempat yang mendefinisikan realisme magis adalah adanya
dunia yang digabungkan/ dileburkan). Dalam tataran kultural historis, realisme
magis sering kali menggabungkan/ meleburkan dunia yang kuno atau tradisional
(dan bahkan kadang yang primitif) dengan dunia modern. Secara ontologis, di
dalam teks, realisme magis menyatukan antara yang magis dengan yang material.
Secara umum, ia menggabungkan realisme dan fantasi. Dengan kata lain, banyak
teks realisme magis “penglihatan terjadi jika Anda dapat menyelundupkan diri
Anda sendiri di antara (dua) dunia, dunia orang biasa dan dunia para penyihir”.
Visi (penglihatan) magis realis ada pada persimpangan dua dunia, pada
titik imajiner di dalam sebuah cermin dua sisi yang merefleksikan ke dua arah.
Hantu dan teks, atau orang dan kata-kata yang tampak berhantu, menghuni cermin
dua sisi ini, sering kali terletak di antara dua dunia yakni kehidupan dan kematian;
mereka memperluas persimpangan tersebut di mana sejumlah fiksi realis yang
magis ada. Dari perspektif metafisik, jika fiksi lelah dengan dunia ini, maka
mungkin teks-teks itu akan menciptakan sesuatu yang berseberangan yang bisa
menumpahkan (kelelahan) mereka, sehingga mereka melanjutkan kehidupan di
luar kuburan.
Adanya cara yang tak termediasi dalam menghadirkan realitas yang
berbeda ini membuat realisme magis juga mengaburkan batasan antara fakta dan
fiksi, sebuah karakteristik lain yang menempatkan realisme magis dalam
pascamodernisme.
21
Terakhir adalah elemen dalam definisi Disruption of Time, Space, and
Identitiy (Gangguan atas waktu, ruang dan identitas). Sebagai kelanjutan dari
penggabungan dua dunia yang yang terpisah, fiksi-fiksi realisme magis
mengganggu ide yang diakui (masyarakat) tentang waktu, ruang, dan identitas.
Sebagai contoh, dalam One Hundred Years of Solitude, logika umum/ lazim
tentang waktu ketika memunculkan adanya hujan yang turun selama “empat
tahun, tujuh bulan, dan dua hari”, sebuah wabah isomnia yang menghapus masa
lalu dan arti dari kata-kata, serta sebuah ruangan yang “selalu bulan Maret dan
selalu Senin”.
Seperti halnya karya-karya Gothic pada abad ke-19, banyak tulisan fiksi
realisme magis melampirkan gambaran-gambaran ritual atau nyaris sakral, namun
ruang-ruang sakral ini tidak kedap air (tertutup). Narasi magisnya membanjiri
seluruh teks dan dunia yang digambarkan oleh teks tersebut, sebagaimana realitas
eksterior itu meresapi mereka.
Realisme magis tidak hanya bereorientasi pada kebiasaan kita pada waktu
atau ruang, tetapi juga pada nalar tentang identitas. Asal-usul multivocal naratif
dan hibriditas kultural yang mencirikan realisme magis meluas sampai karakter-
karakternya, yang mengarah pada multiplisitas radikal. Sering kali, multiple
identity yang ada (dalam realisme magis) merupakan sesuatu yang terkonstruksi.
1.6 Hipotesis Penelitian
Salah satu ciri realisme magis yang hadir dalam narasi adalah bahwa
magis yang ada di dalam novel dinarasikan dalam melalui teks yang
22
mengaplikasikan teknik-teknik realisme. Dengan demikian, dalam sebuah karya
sudah karya akan didapati elemen magis dan elemen riil. Secara teoretik, elemen
magis yang ada di dalam novel tersebut tetap akan dekat dengan bumi karena
dalam posisi yang simultan, realisme menjadi jangkar bagi magis, agar magis
tidak melambung dan menjadi fantasi. Berdasarkan penelusuran masing-masing
elemen tersebut, gradasi dari kadar realisme magis dalam novel Beloved akan
terlihat. Konteks sosial, ideologis, maupun diskursif seusai dengan yang ada di
lokasi geografis novel tersebut.
1.7 Metode Penelitian
Untuk melakukan pembuktian dari hipotesis tersebut, peneliti melakukan
langkah penelitian yang secara garis besar terdiri dari dua proses utama, yakni
pengumpulan data dan pengolahan data, sesuai kaidah-kaidah yang ada dalam
teori.
1.7.1 Pengumpulan Data
Data-data terkait pertanyaan pertama dalam perumusan masalah berupa
teks yang ada di dalam novel. Ini merupakan data primer dalam penelitian ini.
Data primer tersebut terdiri dari teks-teks yang akan diklasifikasikan ke dalam
elemen-elemen magis dan elemen riil dalam novel. Data primer ini tersebut
dikategorikan sesuai karakteristiknya, yakni mencari data magis yang memiliki
elemen tak tereduksi (irreducible element), data riil yang merupakan pembangun
elemen phenomenal world, data magis yang tereduksi, atau yangh menimbulkan
keragu-raguan tak terselesaikan (unsettling doubt). Data selanjutnya adalah data
23
yang menunjukkan adanya peleburan antara dua dunia, yakni dunia magis dan
dunia riil, dan terakhir, data gangguan atas waktu, ruang dan identitas.
Untuk menjawab pertanyaan kedua, peneliti perlu mengumpulkan data
lain. Data-data ini tidak lagi berasal dari teks di dalam novel, melainkan dari luar
teks, yang kemudian disebut data sekunder. Data ini berupa teks-teks yang
memilikin keterkaitan dengan konteks sosial, ideologi, maupun diskursif. Ini bisa
ditemukan pada sumber-sumber pustaka lain yang mendukung data sesuai dengan
latar belakang novel tersebut dituliskan.
1.7.2 Analisis Data
Setelah data dikumpulkan dan diklasifikasikan, langkah selanjutnya adalah
melakukan analisis terhadap data-data tersebut. Sesuai dengan konsep teoritik
yang digunakan, setelah data-data terklasifikasi ke dalam lima karakteristik
tersebut, maka perlu adanya verifikasi dan telaah untuk memastikan bahwa
masing-masing data berada pada elemen yang benar. Setelah data terletak pada
masing-masing elemen, maka harus dicari hubungan antara data-data realisme dan
magis. Hubungan itu ditentukan berdasarkan pada kaidah-kaidah logika yaitu
kemungkinan adanya kontradiksi, ketumpang-tindihan, atau hierarki antara
realisme dan magis. Ini diperlukan untuk mengukur dan melihat gradasi realisme
magis.
Langkah selanjutnya, terkait pertanyaan tentang konteks adanya pencarian
hubungan antara teks dengan konteks. Ini dilakukan dengan cara melihat
24
kesejajaran persoalan yang ada di dalam teks, maupun persoalan yang ada di luar
teks, yang berhubungan dengan konteks sosial, ideologis, maupun diskursif.
1.8 Sistematika Penyajian
Bab 1 merupakan Pendahuluan, terdiri dari latar belakang, rumusan
masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode
penelitian dan sistematika penyajian.
Bab 2 Kadar Realisme Magis dalam Novel Beloved terdiri dari
karakteristik realisme magis, terdapat lima satuan dalam bagian ini dari tiap
karakteristik dalam realisme magis, relasi antarelemen dan Kadar Realisme
Magis.
Bab 3 Konteks Sosial dan Budaya dalam Novel Beloved terdiri dari
konteks sosial, ideologis, diskursif.
Bab 4 Penutup terdiri dari kesimpulan serta kritik dan Saran