bab i pendahuluan 1.1 latar belakang - sinta.unud.ac.id mega bab... · barang dan jasa yang lebih...

25
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konsumen merupakan salah satu komponen dari transaksi perdagangan yang memegang peranan penting dalam roda perekonomian suatu negara selain pelaku usaha dan produk yang dipasarkan. Dalam kegiatan bisnis, konsumen adalah komponen yang tidak terpisahkan dalam interaksi perdagangan. Tidak akan tercipta sebuah interaksi perdagangan tanpa ada konsumen. Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi memperluas ruang gerak arus transaksi barang atau jasa. Sehingga barang atau jasa yang ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi ini di satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang atau jasa yang dibutuhkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang atau jasa sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Tetapi di sisi lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Persaingan bisnis secara global yang semakin ketat juga menimbulkan persaingan diantara para pelaku usaha dalam menunjukkan keunggulan produknya. Pemasaran memasuki era persaingan global karena sekat dan batasan geografis tidak lagi menjadi kendala akibat kemajuan teknologi yang sangat cepat. Memenangkan persaingan menjadi semakin sulit karena ketatnya kompetisi diantara pelaku usaha. Daya saing menjadi tuntutan bagi pelaku usaha apabila ingin unggul dari kompetitornya. Daya saing merupakan kemampuan untuk mengkombinasikan

Upload: doanquynh

Post on 20-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Konsumen merupakan salah satu komponen dari transaksi perdagangan yang memegang

peranan penting dalam roda perekonomian suatu negara selain pelaku usaha dan produk yang

dipasarkan. Dalam kegiatan bisnis, konsumen adalah komponen yang tidak terpisahkan dalam

interaksi perdagangan. Tidak akan tercipta sebuah interaksi perdagangan tanpa ada konsumen.

Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi memperluas

ruang gerak arus transaksi barang atau jasa. Sehingga barang atau jasa yang ditawarkan

bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi ini di satu pihak

mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan akan barang atau jasa yang dibutuhkan

dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar karena adanya kebebasan untuk memilih aneka jenis

dan kualitas barang atau jasa sesuai dengan kemampuan dan keinginan konsumen. Tetapi di sisi

lain, dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan

konsumen berada pada posisi yang lemah.

Persaingan bisnis secara global yang semakin ketat juga menimbulkan persaingan diantara

para pelaku usaha dalam menunjukkan keunggulan produknya. Pemasaran memasuki era

persaingan global karena sekat dan batasan geografis tidak lagi menjadi kendala akibat kemajuan

teknologi yang sangat cepat. Memenangkan persaingan menjadi semakin sulit karena ketatnya

kompetisi diantara pelaku usaha. Daya saing menjadi tuntutan bagi pelaku usaha apabila ingin

unggul dari kompetitornya. Daya saing merupakan kemampuan untuk mengkombinasikan

efisiensi sumber daya serta strategi pemasaran yang tepat. Keunggulan daya saing yang dimiliki

membuka peluang pelaku usaha memenangkan persaingan di pasar bebas.

Suatu perusahaan atau pelaku usaha dapat memenangkan persaingan apabila mereka

memiliki keunggulan kompetitif atau komparatif. Menurut Kotler, keunggulan kompetitif adalah

keunggulan atas pesaing yang didapat dengan menyampaikan nilai pelanggan yang lebih besar,

melalui harga yang lebih murah atau dengan menyediakan lebih banyak manfaat yang sesuai

dengan penetapan harga yang lebih tinggi.1 Keunggulan kompetitif dapat dicapai melalui

banyak cara seperti menyediakan barang dan jasa dengan harga yang murah atau menyediakan

barang dan jasa yang lebih baik dari pesaing. Untuk mencapai keunggulan kompetitif, pelaku

usaha harus mampu menggunakan dengan baik sumber daya konseptual maupun sumber daya

fisik untuk mencapai tujuan usahanya. Keunggulan komparatif adalah suatu keunggulan yang

dimiliki perusahaan dimana mereka akan fokus untuk berproduksi di jenis barang yang paling

efisien diantara berbagai jenis barang yang mereka produksi. Mereka akan melakukan

spesialisasi produk yang mereka anggap paling efisien dari segi biaya sehingga harganya mampu

bersaing dan diharapkan pelaku usaha mendapatkan keuntungan maksimum dari penjualan

produk tersebut.

Pelaku usaha yang ingin menguasai pasar harus memilih apakah akan mengutamakan

keunggulan kompetitif atau keunggulan komparatif, karena keduanya tidak bisa sejalan.

Penentuan pilihan didasarkan pada kondisi sumber daya yang ada, baik itu sumber daya manusia,

kondisi keuangan, sumber daya alam dan lainnya. Pilihan antara keunggulan kompetitif dan

komparatif berpengaruh terhadap strategi pemasaran produk yang mereka hasilkan. Produk yang

dihasilkan dengan efisiensi yang tinggi memiliki harga pokok produksi yang lebih rendah dari

1Kotler, Philip, dkk, 2000, Manajemen Pemasaran dengan Pemasaran efektif dan Pofitable,

cetakan Kedua, Gramedia Pusat Utama, Jakarta, h.95.

produk sejenis. Keunggulan yang dimiliki tersebut harus disampaikan kepada konsumen melalui

pemasaran, sehingga konsumen mendapatkan informasi yang lengkap terhadap produk yang

dijual. Tanpa itu, keunggulan yang dimiliki suatu produk tidak akan sampai pada konsumen.

Banyak produk yang memiliki banyak keunggulan tetapi tidak laku di pasar karena kesalahan

strategi pemasaran maupun kurang efektifnya iklan dalam mempengaruhi keputusan konsumen

untuk membeli produk tersebut.

Menurut Deborah Goldring, attracting new clients and retaining loyal clients is a primary

marketing goal. This can only be achieved by delivering a high level of service quality such that

client expectations are met or exceeded.2 Bagi pelaku usaha yang bergerak dalam usaha

perdagangan atau penjualan produk, promosi penjualan memegang peranan penting dalam

mencapai tujuan utama pemasaran. Melalui promosi, diharapkan konsumen mau mencoba

penggunaan produk dan mendorong konsumen yang sudah ada untuk menggunakan produk lebih

sering lagi.

Untuk mencapai tujuan pelaku usaha yang diinginkan, promosi penjualan yang benar dan

tepat harus dilakukan dengan berbagai cara dan media, baik yang menggunakan biaya kecil

seperti brosur sampai yang memerlukan biaya besar antara lain iklan melalui media cetak

maupun media elektronik. Dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat dalam beberapa

tahun terakhir ini, bentuk-bentuk promosi penjualan khususnya iklan mengalami tranformasi

yang sangat pesat. Bentuk dan jenis iklan sangat beragam dengan berbagai tujuan, mulai dari

memberikan informasi, mengajak atau membujuk untuk membeli sampai menekankan tentang

brand awareness tentang produk yang telah dipakai oleh konsumen setianya.

2Deborah Goldring, 2013, Aligning Communicated and Conceived Brand Promise in Professional

Services Firms, Journal of Marketing Development and Competitiveness, Vol.7(2), Stetson University,

Florida, h.72.

Salah satu bentuk promosi penjualan adalah melalui iklan. Iklan merupakan sarana

promosi bagi pelaku usaha untuk memperkenalkan produk serta menarik perhatian konsumen

terhadap produk yang akan dijual. Iklan berfungsi menginformasikan, diantaranya tentang

kualitas, harga, garansi, suku cadang, manfaat, kelebihan dibanding produk lain, keamanan,

syarat dan atau cara untuk memperoleh produk tersebut, purna jual serta hal-hal lain yang terkait

dengan itu. Dalam dunia marketing “doing business without advertising is like a winking at the

girl in the night. You know what you are doing but nobody else does.”3 Iklan bagi pelaku

usaha merupakan keharusan dan dianggap sebagai darah yang mengisi denyut nadi kehidupan

usaha baik pada sektor barang maupun jasa.4

Iklan juga merupakan media informasi barang dan jasa yang menimbulkan efek tertentu

terhadap konsumen. Efek yang dimaksud bukan berarti konsumen diharapkan langsung membeli

produk yang diklankan tersebut karena iklan diciptakan tidak hanya untuk mendapatkan

penjualan seketika. Iklan juga bersifat jangka panjang, karena efeknya baru dirasakan dalam

jangka panjang terlebih lagi dengan adanya beberapa iklan yang hanya bertujuan untuk

meningkatkan pengetahuan konsumen akan suatu barang dan jasa atau untuk menanamkan

dibenak konsumen citra merek atau brand barang yang dijual sehingga konsumen yang sudah

memakai barang dan jasa tersebut tidak berpindah ke produk lain.

Untuk mencapai tujuan berupa keuntungan yang optimal, iklan yang benar dan tepat harus

dilakukan, karena pada dasarnya iklan mempunyai tujuan penting yang akan mendukung

tercapainya keuntungan optimal bagi perusahaan. Namun untuk memperoleh keuntungan yang

sebesar-besarnya, ada kecenderungan pelaku usaha melakukan praktek bisnis tidak jujur yang

3Steuart Henderson Britt, 1978, Marketing Management and Administrative Action, McGraw-Hill

Companies, New York. 4Zaim Saidi dalam Rampen, Felicia Lidya, 2013, Jurnal Lex ex Societatis, Vol.I, No. 2, April-Juni,

Universitas Sam Ratulangi, Manado, h.116.

dapat mengakibatkan kerugian pada konsumen selaku pemakai produk karena iklan yang

dilakukan hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi tanpa memikirkan kepentingan

konsumen. Konsumen membutuhkan berbagai informasi mengenai produk yang akan dibeli

terutama dalam tahapan pra-transaksi karena informasi yang di dapat dari iklan menjadi bahan

pertimbangan konsumen dalam membeli suatu produk. Karena pentingnya informasi yang

tercantum dalam iklan, maka pelaku usaha berusaha mengemas informasi tersebut semenarik

mungkin bahkan beberapa iklan memuat klaim yang berlebihan. Pelaku usaha terkadang

membuat iklan yang bombastis dengan mengabaikan kebenaran dan kejujuran dalam kegiatan

promosinya dengan tujuan semata-mata untuk menarik konsumen sebanyak-banyaknya.

Informasi yang termuat dalam iklan cenderung satu arah sehingga kebenaran akan informasi itu

baru dapat dibuktikan apabila konsumen sudah membeli atau mengkonsumsi barang atau jasa

yang ditawarkan.

Praktek bisnis yang tidak sehat (unfair trade practice) dari pelaku usaha berpotensi

menimbulkan kerugian pada pihak konsumen. Konsumen sering kali merasa tidak puas terhadap

produk yang telah mereka beli karena terdapat beberapa perbedaan kondisi, harga, fasilitas,

performa dan lain-lain dengan informasi dan janji yang tercantum dalam iklan yang mereka

lihat. Dalam beberapa kasus klaim-klaim dan janji-janji yang tertera pada iklan bahkan tidak

terbukti sama sekali kebenarannya sehingga konsumen menuntut pertanggungjawaban pelaku

usaha yang terlibat.

Banyaknya iklan yang cenderung menyesatkan dan mengandung pernyataan bohong

karena belum ada standar atau perumusan yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan iklan

yang menyesatkan, termasuk di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Australia maupun New

Zealand.5 Sedangkan kriteria periklanan di Indonesia sedikit banyaknya telah disesuaikan

dengan standar kriteria yang berlaku di negara-negara maju, salah satunya Amerika Serikat, yaitu

dengan telah mempergunakan fakta-fakta material yang harus dipenuhi dalam proses periklanan

sebagaimana tertuang dalam pasal 10 dan pasal 17 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang No.8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang selanjutnya disebut UUPK) tetapi

pengaturan tentang kategori iklan yang menyesatkan belum diatur sehingga tidak terdapat

ketentuan yang tegas dalam penentuan kategori iklan menyesatkan. Dalam rumusan Pasal 10

UUPK hanya berkaitan dengan fakta materil dalam suatu iklan dimana pernyataan menyesatkan

mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran potongan harga, hadiah

maupun bahaya penggunaan barang dan/atau jasa yang dapat mempengaruhi konsumen dalam

memilih atau membeli produk yang diiklankan.

Sedikitnya kasus periklanan yang sampai di pengadilan juga menjadi penyebab tidak

adanya efek jera bagi pelaku usaha yang membuat iklan menyesatkan, sehingga masih banyak

iklan menyesatkan di berbagai media massa dan sarana periklanan lainnya. Untuk menentukan

misleading atau informasi menyesatkan yang terdapat pada iklan dapat dilihat apakah pada iklan

tersebut ada pernyataan yang secara eksplisit maupun inplisit bertolak belakang dengan fakta,

atau jika informasi penting untuk mencegah terjadinya misleading dalam praktek klaim,

representasi atau kepercayaan yang masuk akal tidak dipaparkan kepada konsumen yang dapat

mengakibatkan konsumen menyimpulkan informasi yang diterima secara salah. Praktek

pemberian informasi yang menyesatkan dapat berupa keterangan yang tidak benar, mengelabui

dan memberikan janji-janji yang berlebihan mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan,

5Lysonski. Steven dan Duffy, Michael F, 1992, The New Zealand Fair Trading Act of 1986 :

Deceptive Advertising, The Journal of Consumer Affair, Vol 26. Madison.

jaminan, tawaran potongan harga, hadiah, maupun bahaya penggunaan barang/jasa yang dapat

mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan.6

Bentuk-bentuk klaim produk tanpa disertai bukti konkrit merupakan bentuk penyesatan

informasi yang cukup banyak ditemukan di berbagai media cetak, elektronik maupun sarana

promosi lainnya. Melalui penonjolan klaim-klaim tersebut, pelaku usaha berusaha menunjukkan

keunggulan produk mereka dari kompetitor. Beberapa klaim produk bersifat subyektif misalnya

iklan shampo “pakailah shampo ini selama 6 hari dan rambut anda akan hitam berkilau.” Tetapi

faktanya konsumen yang membeli produk tersebut rambutnya tidak mengalami perubahan.

“Hanya 15 menit ke bandara dari Nusa Dua”. Tetapi faktanya jarak tempuh 15 menit tersebut

hanya bisa ditempuh saat jam 2 dini hari dan bukan pada jam padat kendaraan. Klaim-klaim

tersebut cenderung berlebihan dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.

Konsumen yang percaya dengan janji-janji yang diiklankan akan merasa dirugikan karena

produk yang mereka beli tidak sesuai dengan janji yang ditampilkan dalam iklan. Kebanyakan

konsumen enggan menuntut ganti rugi atau memidanakan pelaku usaha yang menampilkan iklan

menyesatkan dikarenakan biaya dan waktu yang harus dihabiskan untuk melakukan hal tersebut

sangat besar dan banyak. Terlebih lagi apabila harga barang yang mereka telah beli tidak

sebanding dengan biaya dan/atau ganti rugi yang mungkin akan mereka dapatkan. Keengganan

konsumen untuk memproses secara hukum pelaku usaha yang menampilkan iklan menyesatkan

membuat para pelaku usaha tetap melakukan praktek-praktek bisnis tidak jujur. Konsumen hanya

dapat mengeluh dan menceritakan keluhan-keluhan mereka melalui media maupun bercerita ke

orang lain agar orang itu tidak membeli produk serupa. Konsumen pada umumnya tidak

6Dedi Harianto, 2008, Standar Penentuan Informasi Iklan Menyesatkan, Jurnal Equality, Vol 13.

No.1 Februari, Universitas Sumatera Utara, Medan, h.44.

mengetahui bahwa janji-janji yang disebutkan dalam iklan dapat menimbulkan akibat hukum

apabila tidak ditepati.

Janji dalam tradisi hukum kontrak Common Law merupakan janji yang penegakannya

dapat dilakukan melalui pengadilan. Tidak semua janji adalah janji dan tidak semua janji dapat

ditegakkan melalui pengadilan.7 Sehingga janji dalam iklan berdasarkan konsep ini dapat

dikategorikan atas 2 jenis yaitu janji yang mengandung akibat hukum dan janji yang tidak

mengandung akibat hukum, atau iklan yang semata-mata merupakan informasi produk.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (yang selanjutnya disingkat KUHPerdata) tidak

mengenal konsep janji sebagaimana dikenal dalam tradisi hukum kontrak Common Law dan

tidak mengatur mengenai kategori janji yang dapat dikualifikasikan sebagai janji hukum dan

janji bukan hukum. Hal tersebut merupakan bentuk kekosongan norma dalam KUHPerdata yang

mengakibatkan konsumen tidak dapat menggunakan fasilitas norma hukum perjanjian untuk

melindungi hak-hak mereka dari janji-janji yang terkandung di dalam iklan yang dapat

dikategorikan sebagai janji hukum.

Masalah tersebut menunjukkan bahwa terdapat kebutuhan hukum yang timbul dari akibat

kekosongan hukum yang perlu diisi dengan formulasi norma yang dapat digunakan sebagai

pijakan bagi konsumen untuk melindungi hak-haknya dari janji-janji iklan yang bersifat hukum

yang menimbulkan kerugian pada konsumen. Aturan-aturan hukum sangat dibutuhkan karena

pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian bisnis membutuhkan sesuatu yang lebih dari hanya

sekedar janji serta itikad baik saja dan adanya kebutuhan untuk menciptakan upaya-upaya hukum

yang dapat digunakan seandainya salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya atau tidak

memenuhi janjinya. Berdasarkan hal tersebut maka pengaturan tentang janji sangat penting

7Ida Bagus Wyasa Putra, 2014, Hukum Kontrak Internasional (Bahan Ajar), Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Denpasar, h.37.

dalam dunia bisnis untuk melindungi hak konsumen dalam mendapatkan keadilan apabila terjadi

pelanggaran atas janji dari pelaku usaha dan pelaku usaha pun akan menjalankan bisnisnya

sesuai dengan koridor hukum dan tidak mempraktikkan bisnis yang dapat merugikan konsumen.

Untuk mengisi kekosongan tersebut maka perlu dilakukan penelitian terhadap konsep janji

di dalam iklan berdasarkan konsep janji di dalam tradisi hukum kontrak Common Law untuk

mengisi kekosongan konsep dan kekosongan norma di dalam KUHPerdata.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah janji dalam iklan dapat dikategorikan sebagai janji berdasarkan hukum

kontrak ?

2. Bagaimanakah pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata dan

bagaimanakah janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak konsumen?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup permasalahan dalam penelitian ini adalah permasalahan pertama dibahas

tentang bagaimana janji dalam iklan dapat dikategorikan sebagai janji menurut hukum kontrak

dan yang kedua membahas tentang bagaimana pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di

dalam KUHPerdata sehingga janji demikian dapat digunakan sebagai dasar perlindungan hak

konsumen.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu

tentang hukum kontrak yang berkaitan dengan konsep janji yang merupakan esensi dari

perjanjian di dalam KUHPerdata sebagai norma dasar yang mengatur tentang hukum perikatan di

Indonesia.

1.4.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisa konsep janji dalam iklan kaitannya dengan konsep

janji berdasarkan hukum kontrak.

2. Untuk mengetahui dan menganalisa bagaimana pengaturan janji sebagai unsur hukum

kontrak di dalam KUHPerdata dan bagaimana janji demikian dapat digunakan sebagai

dasar perlindungan hak konsumen.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah :

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi atau manfaat dalam usaha

mengembangkan pengetahuan hukum yang bersifat kritis khususnya dalam memahami

aspek hukum kontrak.

2. Memberi sumbangan pemikiran dan pengembangan hukum terkait pengaturan janji sebagai

unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.

1.5.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah :

1. Bagi masyarakat sebagai konsumen diharapkan dengan hasil penelitian dari tesis ini

memberikan pemahaman kepada konsumen berkenaan dengan konsep janji dalam iklan

sebagai dasar perlindungan hak konsumen.

2. Bagi marketing atau perusahaan yang memasarkan produknya melalui iklan diharapkan

dengan hasil penelitian dari tesis ini dapat memberikan masukan tentang konsep periklanan

sehingga dapat melindungi hak konsumen.

3. Penulis sendiri, dalam rangka membekali penulis dengan pengetahuan dan pemahaman

untuk menganalisis konsep hukum janji dalam iklan berdasarkan hukum kontrak di dalam

KUHPerdata.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Untuk menunjukkan gambaran bahwa penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti

lainnya, maka penulis mengemukakan penelitian-penelitian antara lain:

1. Penelitian tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Praktik Promosi Dalam Bentuk Brosur

Kendaraan Bermotor Berdasarkan Hukum Perlindungan Konsumen (Studi Kasus : Gugatan

Ludmilla Arief Melawan PT.Nissan Motor Indonesia di BPSK Propinsi DKI Jakarta) yang

diteliti oleh Ambar Ditya Hanesty, dari Universitas Indonesia Tahun 2012, yang meneliti

tentang kedudukan brosur dalam Hukum Perlindungan Konsumen dan apakah promosi

yang dilakukan oleh PT.Nissan Motor Indonesia melalui brosur Nissan March dalam kasus

Ludmilla Arief melawan PT.Nissan Motor Indonesia melanggar ketentuan dalam Undang-

Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen serta bagaimanakah bentuk

tanggungjawab yang harus dilakukan oleh PT.Nissan Motor Indonesia sebagai pelaku

usaha terhadap praktik promosi melalui brosur yang tidak jujur dalam kasus Ludmilla Arief

melawan PT.Nissan Motor Indonesia dan apakah putusan Badan Penyelesaian Sengketa

dalam kasus Ludmilla Arief melawan PT.Nissan Motor Indonesia sudah sesuai dengan

Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Penelitian ini lebih menekankan pada

perlindungan konsumen dan tanggungjawab yang harus dilakukan oleh penjual sebagai

pelaku usaha terhadap brosur yang tidak jujur sesuai dengan Undang-Undang No.8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Penelitian tentang Perlindungan Konsumen Dalam Jual Beli Perumahan Melalui Iklan

Penjualan Dalam bentuk Brosur di Daerah Istimewa Yogyakarta yang diteliti oleh

Oktaviana Kusuma Anggraini, dari S2 Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada

Tahun 2010. Penelitian ini adalah penelitian yuridis empiris yang menekankan pada sejauh

mana efektifitas pelaksanaan Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen sebagai peraturan yang memberikan perlindungan hukum kepada konsumen

dalam melakukan transaksi jual beli perumahan sehubungan dengan adanya iklan dalam

bentuk brosur yang ditawarkan.

3. Penelitian tentang Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dari Iklan Televisi yang

Menyesatkan Perspektif Hukum Indonesia yang diteliti oleh Djudju Hendro dari Fakultas

Hukum Universitas Mataram. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang meneliti

tentang kategori iklan yang menyesatkan menurut hukum di Indonesia. Dalam

kesimpulannya peneliti menyimpulkan bahwa yang dimaksud iklan televisi menyesatkan

adalah iklan yang mengelabui konsumen (misleading) dalam hal kualitas, kuantitas, harga,

tarif, jaminan garansi dan hal lain yang termuat dalam iklan dimana pelaku usaha tidak

bertanggung jawab dan memenuhi janji-janji dalam iklan sebagaimana yang ditayangkan di

televisi. Pelaku usaha dilarang memberikan informasi yang keliru, tidak lengkap ataupun

memberikan informasi yang berlebihan mengenai sifat, kualitas, kuantitas, harga, tarif,

jaminan dan garansi serta membuat perbandingan dengan produk sejenis melalui klaim-

klaim tertentu. Perlindungan hukum terhadap konsumen dapat dilakukan melalui

perlindungan hukum yang bersifat preventif atau represif. Perlindungan hukum preventif

dilakukan dengan membuat regulasi mengenai hal-hal yang belum diatur agar hak-hak

konsumen tetap terlindungi. Perlindungan represif dilakukan dengan memberikan

perlindungan sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku apabila terjadi

sengketa karena konsumen merasa dirugikan oleh pelaku usaha.

1.7 Landasan Teoritis

Suatu teori pada hakekatnya merupakan hubungan antara dua atau lebih, atau pengaturan

fakta menurut cara-cara tertentu. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang dapat diamati dan pada

umumnya dapat diuji secara empiris.8 Oleh sebab itu dalam bentuknya yang paling sederhana,

suatu teori merupakan hubungan antara dua variabel atau lebih yang telah diuji kebenarannya.

Dalam menjawab permasalahan sebagaimana diuraikan dalam rumusan masalah penelitian

ini, maka dikemukakan landasan teoritis antara lain teori pembentukan kontrak dan teori janji

dalam pembentukan kontrak dipergunakan untuk mengkaji permasalahan yang pertama. Teori

perlindungan hukum dan teori kepastian hukum dipergunakan untuk mengkaji permasalahan

yang kedua. Berikut uraian singkat mengenai teori-teori tersebut diatas :

1.7.1 Teori Pembentukan Kontrak

8Burhan Ashshofa, 2004, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, h.19.

KUHPerdata tidak menentukan standar prosedur yang teknis berkenaan dengan

pembentukan kontrak. Satu-satunya ketentuan yang menunujukkan indikasi pengaturan

mengenai hal itu adalah Pasal 1313 yang menyatakan bahwa setiap kesepakatan merupakan

perbuatan dua orang atau lebih yang mengikatkan dirinya sendiri terhadap satu atau lebih orang

lainnya. Tetapi, tidak lagi ada ketentuan lain yang secara lebih teknis mengatur tentang apa yang

dimaksud dengan “perbuatan” dan “mengikatkan diri” itu. Dari sisi praktis dapat disimpulkan

bahwa “pernyataan kehendak” dapat saja dilakukan secara langsung oleh para pihak atau dengan

bantuan seorang notaris.9

Dalam tradisi Civil Law, setiap orang yang akan membuat kontrak harus mencari sendiri

atau menentukan sendiri cara untuk membuat perjanjian, sepanjang persyaratan sahnya

perjanjian terpenuhi sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata. 10

Sebagaimana yang tersirat dalam

pasal 1320 KUHPerdata, bahwa sebuah perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para

pihak dalam perjanjian sejak terjadi kata sepakat tentang unsur pokok dari perjanjian tersebut.

Sepakat mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari Hukum Perjanjian yaitu

asas yang menentukan lahirnya perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat dalam pasal 1320

KUHPerdata mengandung arti kemauan (will) para pihak untuk saling berpartisipasi, ada

kemauan untuk saling mengikatkan diri. Kesepakatan ini sangat erat hubungannya dengan asas

kebebasan mengadakan perjanjian.

Persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara para pihak merupakan momentum

terjadinya perjanjian (lahirnya perjanjian). Namun, adakalanya tidak terjadi persesuaian antara

pernyataan dan kehendak. Ada beberapa teori yang berusaha untuk menjelaskan hal tersebut,

9Japan International Cooperation Agency dan Pusat Kajian Regulasi, 2009, Studi Formulasi

Tentang Hukum Economi yang Terkait Dengan Iklim Investasi di Indonesia, Jakarta, h.277. 10

Ibid, h.278.

yaitu Teori Kehendak, Teori Pernyataan, dan Teori Kepercayaan.11

Berikut ini penjelasan dari

teori - teori tersebut :

a. Teori Kehendak (Wilstheorie)

Menurut Teori Kehendak, perjanjian terjadi apabila ada persesuaian antara kehendak dan

pernyataan. Apabila terjadi ketidakwajaran, kehendaklah yang menyebabkan terjadinya

perjanjian. Kelemahan teori ini adalah dapat menimbulkan kesulitan apabila tidak ada

persesuaian antara kehendak dan pernyataan.

b. Teori Pernyataan (Verklaringstheorie)

Teori ini mengajarkan bahwa kehendak merupakan proses batiniah yang tidak diketahui

oleh orang lain. Akan tetapi, yang menyebabkan terjadinya perjanjian adalah pernyataan. Jika

terjadi perbedaan antara kehendak dan pernyataan , perjanjian tetap terjadi. Dalam praktiknya,

teori ini menimbulkan berbagai kesulitan, seperti bahwa yang dinyatakan berbeda dengan yang

dikehendaki. Misalnya, A menyatakan Rp.500.000,- tetapi yang dikehendaki sebenarnya hanya

Rp.50.000,-.

c. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie)

Menurut teori ini tidak setiap pernyataan menimbulkan perjanjian, tetapi pernyataan yang

menimbulkan kepercayaan saja yang menimbulkan perjanjian. Kepercayaan dalam arti bahwa

pernyataan itu benar-benar dikehendaki. Kelemahan teori ini adalah bahwa kepercayaan itu sulit

dinilai.

Alternatif sebagai jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi dari ketiga teori ini adalah :

a. Dengan tetap mempertahankan teori kehendak, yaitu menganggap perjanjian itu terjadi

apabila tidak ada persesuaian antara kehendak dan pernyataan. Pemecahannya adalah pihak

lawan berhak mendapat ganti rugi karena pihak lawan mengharapkannya.

11

Syahmin AK, 2006, Hukum Kontrak Internasional, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, h.40.

b. Dengan tetap berpegang pada teori kehendak, hanya dalam pelaksanaannya kurang ketat,

yaitu dengan menganggap kehendak itu ada.

c. Penyelesaiannya dengan melihat pada perjanjian baku, yaitu suatu perjanjian yang didasarkan

pada ketentuan umum di dalamnya.

Subekti, dalam bukunya Hukum Perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim

dianut sekarang, perjanjian atau kontrak harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang

melakukan penawaran (offer) menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah

dapat dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwa mungkin ia tidak membaca menjadi

tanggungjawabnya sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya

dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.12

1.7.2 Teori Janji dalam Pembentukan Kontrak

Berdasarkan prestasi kedua belah pihak, menurut Roscoe Pound, sebagaimana yang dikutib

Munir Fuady terdapat berbagai teori kontrak yang berkaitan dengan konsep janji dalam kontrak

:13

a. Teori Hasrat (Will Theory).

Teori hasrat ini menekankan kepada pentingnya “hasrat” (will atau intend) dari pihak yang

memberikan janji. Ukuran dari eksistensi, kekuatan berlaku dan substansi dari suatu

kontrak diukur dari hasrat tersebut. Menurut teori ini yang terpenting dalam suatu kontrak

bukan apa yang dilakukan oleh para pihak dalam kontrak tersebut, akan tetapi apa yang

mereka inginkan.

12

Subekti, 1979, Hukum Perjanjian , Cet VI, Intermasa, Jakarta, h.29-30. 13

Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya

Bakti, Bandung, h.5-11.

b. Teori Tawar Menawar (Bargaining Theory).

Teori ini merupakan perkembangan dari teori sama nilai (equivalent theory) dan sangat

mendapat tempat dalam negara-negara yang menganut system Common Law. Teori sama

nilai ini mengajarkan bahwa suatu kontrak hanya mengikat sejauh apa yang dinegosiasikan

(tawar menawar) dan kemudian disetujui oleh para pihak.

c. Teori Sama Nilai (Equivalent Theory).

Teori ini mengajarkan bahwa suatu kontrak baru mengikat jika para pihak dalam kontrak

tersebut memberikan prestasinya yang seimbang atau sama nilai (equivalent).

d. Teori Kepercayaan Merugi (Injurious Reliance Theory).

Teori ini mengajarkan bahwa kontrak sudah dianggap ada jika dengan kontrak yang

bersangkutan sudah menimbulkan kepercayaan bagi pihak terhadap siapa janji itu diberikan

sehingga pihak yang menerima janji tersebut karena kepercayaannya itu akan menimbulkan

kerugian jika janji itu tidak terlaksana.

1.7.3 Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum melihat dari tahapan lahirnya yakni perlindungan hukum yang lahir

dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang

pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan perilaku

antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap

mewakili kepentingan masyarakat.

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk

mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai

dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif maupun dalam bentuk yang bersifat

represif, baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan

hukum. Pada hakekatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum. Hampir seluruh

hubungan hukum harus mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu terdapat banyak macam

perlindungan hukum.

Teori Perlindungan Hukum menurut Fitzgerald, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan

dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas

kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara

membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.14

Menurut Satijipto Raharjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap

hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.15

Selanjutnya

dikemukakan pula bahwa salah satu sifat dan sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah

memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu perlindungan

hukum terhadap masyarakat tersebut harus diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum.

Perlindungan hukum kaitannya dengan konsumen juga mengalami perkembangan teori dan

doktrin. Az. Nasution dalam bukunya menyatakan bahwa pengertian hukum konsumen diartikan

sebagai keseluruhan asas-asas atau kaidah-kaidah hukum yang mengatur hubungan dan masalah

antara berbagai pihak satu sama lain berkaitan dengan barang dan atau jasa konsumen, didalam

pergaulan hidup.16

14

Satijipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.53. 15

Ibid, h.54. 16

Az. Nasution, 1995, Hukum dan Konsumen : Tinjauan Sosial Ekonomi dan Hukum pada

Perlindungan Konsumen Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, h.64-65.

Konsumen memperoleh perlindungan hukum dari hukum perlindungan konsumen

diantaranya untuk :17

1. Menghindari iklan/ promosi yang menyesatkan (misleadingadvertising);

2. Mengontrol transaksi yang dapat menimbulkan resiko tertentu terhadap konsumen; dan

3. Secara umum memberikan kontrol terhadap keadaan yang tidak seimbang (unfair) dan

”tidak sadar” (unconsciousness) dalam perjanjian business-to-consumer (B to C).

Berdasarkan teori yang dikembangkan oleh Adam Smith bahwa yang berpengaruh terhadap

pembentukan teori hukum perlindungan konsumen yang melahirkan dua teori besar yaitu :

1. Perlindungan oleh mekanisme pasar tanpa intervensi pemerintah, dan

2. Perlindungan konsumen dengan intervensi pemerintah terhadap pasar.18

Dasar dari perlindungan hukum bagi konsumen adalah dengan melindungi hak-hak

konsumen. Dalam konteks hukum perlindungan konsumen terdapat prinsip-prinsip yang berlaku

dalam bidang hukum. Prinsip-prinsip yang muncul tentang kedudukan kosumen dalam hubungan

hukum dengan pelaku usaha berangkat dari doktrin atau teori yang dikenal dalam perjalanan

sejarah hukum perlindungan konsumen, termasuk dalam kelompok ini adalah:19

1. Let the buyer beware (caveat emptor)

Asas ini berasumsi pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak yang sangat seimbang

sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi si konsumen. Tentu saja dalam

perkembangannya konsumen tidak mendapat akses informasi yang sama terhadap barang

atau jasa yang dikonsumsinya, ketidakmampuan itu bisa karena keterbatasan pengetahuan

17

Chris Reed, 2004, Internet Law Text and Materials, Second Edition, Cambridge University Press,

Cambridge, h. 296. 18

Inosentius Samsul, 2004, Perlindungan Konsumen, Kemungkinan Penerapan Tanggung Jawab

Mutlak, Cet.I, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, h.26. 19

Shidarta, 2006, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Grasindo, Jakarta, h.61.

konsumen, tetapi terlebih-lebih lagi banyak disebabkan oleh ketidak terbukaan pelaku

usaha terhadap produk yang ditawarkan. Dengan demikian, apabila konsumen mengalami

kerugian, maka pelaku usaha dapat berdalih bahwa kerugian tersebut akibat dari kelalaian

konsumen sendiri.

2. The due care theory

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-hati dalam

memasarkan produk baik barang maupun jasa. Selama berhati-hati dengan produknya, ia

tidak dapat dipersalahkan. Jika ditafsirkan secara a-contrario, maka untuk mempersalahkan

si pelaku usaha seseorang harus dapat membuktikan pelaku usaha itu melanggar prinsip

kehati-hatian. Ditinjau dari beban pembuktian, penggugat (konsumen) yang melakukan

pembuktian. Berdasarkan bukti-bukti dari penggugat, tergugat membela dirinya, misalnya

dengan memberikan bukti-bukti kontra yang menyatakan dalam peristiwa tadi sama sekali

tidak ada kelalaian. Dalam realita agak sulit bagi konsumen untuk menghadirkan bukti-

bukti guna memperkuat gugatannya, sebaliknya si pelaku usaha dengan berbagai

keunggulannya (secara ekonomis, sosial, psikologis, bahkan politis) relatif lebih mudah

berkelit, menghindar dari gugatan demikian, disinilah kelemahan teori ini.

3. The prifity of contract

Doktrin ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk melindungi konsumen,

tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika diantara mereka telah terjalin suatu hubungan

kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat disalahkan atas hal-hal di luar yang diperjanjikan.

Artinya konsumen boleh menggugat berdasarkan wanprestasi. Di tengah minimnya

peraturan perundang-undangan di bidang konsumen, sangat sulit menggugat dengan dasar

perbuatan melawan hukum.Walaupun secara yuridis sering dinyatakan, antara pelaku usaha

dan konsumen berkedudukan sama, tetapi faktanya konsumen adalah pihak yang berada

dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan posisi pelaku usaha.

1.7.4 Teori Kepastian Hukum

Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A.Hart mengungkapkan tentang

kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat bahwa makna dalam sebuah

undang-undang dan apa yang diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu

bisa jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan penerapannya.

Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi atas peraturan hukum lainnya. Hal

inilah menurut H.L.A.Hart salah satu contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.20

Menurut Tan Kamello, dalam suatu undang-undang, kepastian hukum meliputi dua hal

yaitu :21

1. Kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan

antara satu dengan yang lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara

keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada diluar undang-

undang tersebut.

2. Kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip-prinsip

hukum undang-undang tersebut.

Jika perumusan norma dan prinsip hukum sudah memiliki kepastian hukum tetapi hanya

berlaku secara yuridis saja dalam arti hanya demi undang-undang semata (law in the

20

H.L.A.Hart, The Concept of Law, (New York : Clarendon Press-Oxford, 1997) diterjemahkan

oleh M.Khozim, 2010, Konsep Hukum, Nusamedia, Bandung, h.230 21

Tan Kamello, 2004, Hukum Jaminan Fidusia, Alumni, Bandung, h.117

books), menurut Tan Kamello kepastian hukum seperti ini tidak akan menyentuh kepada

masyarakatnya.22

Argumentasi yang didasarkan pada asas-asas, dan norma-norma, serta ketentuan-ketentuan

hukum sesungguhnya memiliki argumentatif yang didasarkan pada kepastian hukum. Faisal

dalam pandangan lain melihat dari segi putusan-putusan para hakim pengadilan, bahwa hakim

harus dijiwai oleh tiga nilai dasar yaitu, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Pendapat

ini muncul sesuai dengan realitas yang menunjukkan kecenderungan terjadi pertentangan antara

nilai yang satu dengan nilai yang lainnya. Bila telah terjadi pertentangan antara keadilan dan

kepastian hukum muncul pula pertanyaan, nilai manakah yang harus didahulukan.23

Masalah

kepastian hukum masih menjadi perdebatan ketika memperhatikan perkara-perkara tertentu,

terutama di kalangan para hakim yang mempertimbangkan dalam putusannya yang berbeda-

beda.

Kepastian hukum pada negara dengan sistem civil law, positivistik hukum merupakan

prioritas utama meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan kepastian

hukum dalam law in the books. Kepastian hukum dalam arti law in the books tersebut akan

dilaksanakan secara substantif bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri. Walaupun

law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun jika aparatur penegak hukum itu

sendiri tidak menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap

saja dikatakan tidak ada kepastian hukum.

Kepastian hukum harus meliputi seluruh bidang hukum. Kepastian hukum tidak saja

meliputi kepastian hukum secara substansi tetapi juga kepastian hukum dalam penerapannya

(hukum acara) dalam putusan-putusan peradilan. Antara kepastian substansi hukum dan

22

Ibid, h.118 23

Faisal, 2012, Menerobos Positivisme Hukum, Gramata Publishing, Bekasi, h.162

kepastian penegakan hukum seharusnya sejalan, tidak hanya kepastian hukum bergantung pada

law in the books tetapi kepastian hukum yang sesungguhnya adalah bila kepastian dalam law in

the books tersebut dapat dijalankan sebagaimana mestinya sesuai dengan prinsip-prinsip dan

norma-norma hukum dalam menegakkan keadilan hukum. 24

1.8. Metode Penelitian

1.8.1 Jenis Penelitian Hukum

Penelitian hukum ini tergolong penelitian hukum normatif yaitu metode yang dipergunakan

dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara studi kepustakaan, dengan jalan

mempelajari buku literatur, perundang-undangan dan bahan-bahan tertulis lainnya yang

berhubungan dengan kategori janji dalam iklan menurut hukum kontrak dan pengaturan janji

sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.

1.8.2 Jenis Pendekatan

Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang bertujuan mendapatkan

informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti. Penelitian ini akan menggunakan

beberapa jenis pendekatan antara lain :

1. Pendekatan Perundang-Undangan (Statute Approach)

Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini akan dilakukan dengan mengkaji dan

menganalisa peraturan perundang-undangan, dimana penelitian akan dilakukan dengan

menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan janji dalam

iklan dan janji menurut hukum kontrak serta pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak

di dalam KUHPerdata.

24

Mahmul Siregar, 2008, Kepastian Hukum dalam Transaksi Bisnis Internasional dan Implikasinya

Terhadap Kegiatan Investasi di Indonesia, Jurnal Hukum Bisnis, Vol.27 No.4, Yayasan Pengembangan

Hukum Bisnis, Jakarta, h.58

2. Pendekatan Konsep (Conseptual Approach)

Penelitian ini juga akan mengkaji konsep-konsep berkenaan dengan permasalahan yang

akan diteliti, dimana konsep tersebut merujuk pada prinsip-prinsip hukum. Prinsip-prinsip

ini dapat ditemukan dalam pandangan-pandangan sarjana ataupun doktrin-doktrin hukum

yang berkembang di bidang hukum kontrak. Konsep yang akan dikaji adalah konsep janji

iklan kaitan dengan janji dalam hukum kontrak dan konsep janji sebagai unsur hukum

kontrak di dalam KUHPerdata.

1.8.3 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari:

1. Bahan Hukum Primer.

Yaitu bahan yang isinya mengikat, karena dikeluarkan oleh pemerintah, seperti berbagai

peraturan perundang-undangan yang terdiri dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan

Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

2. Bahan Hukum Sekunder

Dalam hal menjelaskan bahan hukum primer tersebut digunakan bahan hukum sekunder

berupa buku-buku hukum bisnis tentang kontrak dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan

janji dalam iklan dan kontrak.

1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik

studi kepustakaan dan undang-undang terutama yang relevan dengan permasalahan yang diteliti.

Studi kepustakaan yang dimaksud adalah melakukan penelusuran dan pencatatan mengenai

bahan-bahan hukum terkait dengan permasalahan yang diteliti, baik itu bahan hukum primer

maupun sekunder.

1.8.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, analisis bahan-bahan hukum yang telah terkumpul dianalisa dengan

menggunakan teknik deskriptif analitis. Beberapa aspek akan dianalisa dengan demikian akan

diketahui janji dalam iklan apakah merupakan janji menurut hukum kontrak. Selanjutnya akan

dikaji pengaturan janji sebagai unsur hukum kontrak di dalam KUHPerdata.25

25

Pedoman Penulisan Usulan Penelitian Tesis dan Penulisan Tesis Program Studi Magister (S2)

Ilmu Hukum, 2013, Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, h. 32.